tutorial sd

Upload: rizky-zulfa-afrida

Post on 30-Oct-2015

53 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

Kromosom adalah merupakan serat-serat khusus yang terdapat didalam setiap sel didalam badan manusia dimana terdapat bahan-bagan genetik yang menentukan sifat-sifat seseorang.Selain itu down syndrom disebabkan oleh hasil daripada penyimpangan kromosom semasa konsepsi. Ciri utama daripada bentuk ini adalah dari segi struktur muka dan satu atau ketidakmampuan fisik dan juga waktu hidup yang singkat. Bayi normal dilahirkan dengan jumlah 46 kromosom (23 pasang) yaitu hanya sepasang kromosom 21 (2 kromosom 21). Sedangkan bayi down syndrom terjadi kelebihan kromosom 21 dimana 3 kromosom 21 menjadikan jumlah kesemua kromosom ialah 47 kromosom.Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom (Cuncha, 1992). Down syndrome dinamai sesuai nama dokter berkebangsaan Inggris bernama Langdon Down, yang pertama kali menemukan tanda-tanda klinisnya pada tahun 1866. Pada tahun 1959 seorang ahli genetika Perancis Jerome Lejeune dan para koleganya, mengidentifikasi basis genetiknya. Manusia secara normal memiliki 46 kromosom, sejumlah 23 diturunkan oleh ayah dan 23 lainnya diturunkan oleh ibu. Para individu yang mengalami down syndrome hampir selalu memiliki 47 kromosom, bukan 46. Ketika terjadi pematangan telur, 2 kromosom pada pasangan kromosom 21, yaitu kromosom terkecil gagal membelah diri. Jika telur bertemu dengan sperma, akan terdapat kromosom 21yang istilah teknisnya adalah trisomi 21. Masalah ini penting, karena seringkali terjadi di berbagai belahan dunia, sebagaimana menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan Biotechnology (ICBB) Bogor, di Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak pengidap down syndrome. Sedangkan angka kejadian penderita down syndrome di seluruh dunia diperkirakan mencapai 8 juta jiwa (Aryanto, 2008). Angka kejadian kelainan down syndrome mencapai 1 dalam 1000 kelahiran. Di Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000 anak dengan kelainan ini. Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa (Sobbrie, 2008). Dalam beberapa kasus, terlihat bahwa umur wanita terbukti berpengaruh besar terhadap munculnya down syndrome pada bayi yang dilahirkannya. Kemungkinan wanita berumur 30 tahun melahirkan bayi dengan down syndrome adalah 1:1000. Sedangkan jika usia kelahiran adalah 35 tahun, kemungkinannya adalah 1:400. Hal ini menunjukkan angka kemungkinan munculnya down syndrome makin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan (Elsa, 2003).Suatu skrining bertujuan mendeteksi risiko untuk mendapat penyakit pada populasi yang asimptomatik. Skrining kelainan kongenital dan genetik menjadi semakin penting dan kompleks sejak diperkenalkannya amniosentesis pada tahun 1969. Sejumlah faktor harus dipertimbangkan apabila akan melakukan program skrining kelainan genetik, di antaranya prevalensi penyakit pada populasi yang bersangkutan, beratnya penyakit, sensitivitas dan spesifisitas, dan biaya/kerugian.1

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

DEFINISIDown Syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom (Cuncha, 1992).Menurut JW. Chaplin (1995), down syndrome adalah satu kerusakan atau cacat fisik bawaan yang disertai keterbelakangan mental, lidahnya tebal, dan retak-retak atau terbelah, wajahnya datar ceper, dan matanya miring. Sedangkan menurut Kartini dan Gulo (1987), down syndrome adalah suatu bentuk keterbelakangan mental, disebabkan oleh satu kromosom tembahan. IQ anak down syndrome biasanya dibawah 50, sifat-sifat atau ciri-ciri fisiknya adalah berbeda, ciri-ciri jasmaniahnya sangat mencolok, salah satunya yang paling sering diamati adalah matanya yang serong ke atas.

Sindroma Down, yang juga dikenal dengan sebutan Trisomi 21 adalah kelainan kromosom yang bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan suatu kelainan genetik yang dapat terjadi pada pria maupun wanita. Trisomi 21 biasanya disebut sindroma down karena pertama diidentifikasi pada tahun 1966 sebagai sebuah kondisi yang spesifik oleh John Langdon Down, seorang dokter di Inggris.3,15,16Sebelumnya kelainan genetika ini disebut sebagai Mongolism, karena adanya lipatan pada kelopak mata penderita, yaitu lipatan epicanthal, yang memberi kesan seperti ras Mongoloid. Namun, untuk menghindari penghinaan ras tertentu, maka nama yang sering digunakan adalah sindroma Down.3Sedangkan, dari segi sitologi, down syndrome dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu: Syndroma Down Triplo-21 atau Trisomi 21, sehingga penderita memiliki 47 kromosom. Penderita laki-laki= 47,xy,+21, sedangkan perempuan= 47,xx,+21. Kira-kira 92,5% dari semua kasus syndrome down tergolong dalam tipe ini. Syndrome Down Translokasi, yaitu peristiwa terjadinya perubahan struktur kromosom, disebabkan karena suatu potongan kromosom bersambungan dengan potongan kromosom lainnya yang bukan homolog-nya (Suryo, 2001).

EPIDEMIOLOGIMenurut penelitian, down syndrome menimpa satu di antara 700 kelahiran hidup atau 1 diantara 800 - 1000 kelahiran bayi. Diperkirakan saat ini terdapat empat juta penderita down syndrome di seluruh dunia, dan 300 ribu kasusnya terjadi di Indonesia. Analisis baru menunjukkan bahwa dewasa ini lebih banyak bayi dilahirkan dengan down syndrome dibanding 15 tahun lalu.Kejadian sindroma Down diperkirakan satu per 800 sampai satu per 1000 kelahiran. Pada tahun 2006, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit memperkirakan tingkat kejadiannya sebagai satu per 733 kelahiran hidup di Amerika Serikat (5429 kasus baru per tahun). Sekitar 95% dari kasus ini adalah trisomi 21. Sindroma Down terjadi pada semua kelompok etnis dan di antara semua golongan tingkat ekonomi.Karena merupakan suatu kelainan yang tersering yang tidak letal pada suatu kondisi trisomi, maka skrining genetik dan protokol testing menjadi fokus dibidang obstetri. Kelainan mayor yang sering berhubungan adalah kelainan jantung 30-40%, atresia gastrointestinal, leukimia dan penyakit tiroid. IQ berkisar 25-50. Diperkirakan 20% anak dengan sindroma Down dilahirkan oleh ibu yang berumur diatas 35 tahun. Pada usia ibu 20 sampai 24 tahun, probabilitasnya adalah satu diantara 1.562 kelahiran, pada usia 35 sampai 39 tahun probabilitasnya adalah satu di antara 214 kelahiran, dan di atas usia 45 tahun probabilitasnya adalah satu di antara 19 kelahiran. Meskipun kemungkin risiko meningkat seiring dengan meningkatnya usia ibu, 80% anak dengan sindroma Down dilahirkan pada wanita di bawah usia 35 yang mencerminkan ibu padamasa kesuburan juga berisiko memiliki anak seindroma Down. Selain dipengaruhi oleh usia ibu, sindrom Down juga bisa di pengaruhi oleh umur ayah. Data terakhir juga menunjukan bahwa usia ayah, khususnya di atas 42 tahun, juga mempengaruhi meningkatnys risiko terjadinya sindroma Down. Penelitian saat ini menunjukkan bahwa sindroma Down terjadi karena peristiwa acak selama pembentukan sel kelamin pada kehamilan. Belum ada bukti bahwa itu terjadi karena perilaku orang tua (selain usia) atau faktor lingkungan. Insidensnya pada Wanita yang hamil diatas usia 35 th meningkat dengan cepat menjadi 1 diantara 250 kelahiran bayi. Diatas 40 tahun semakin meningkat lagi, 1 diantara 69 kelahiran bayi.

Angka kejadian DS dikaitkan dengan usia ibu saat kehamilan: 15-29tahun 1 kasusdalam 1500 kelahiran hidup 30-34 tahun 1kasusdalam 800 kelahiran hidup 35-39 tahun 1kasusdalam 270 kelahiran hidup 40-44 tahun 1 kasusdalam100 kelahiran hidup Lebih45 tahun 1 kasusdalam 50 kelahiran hidup

Sindroma Down (SD) adalah kelainan genetik yang biasa terjadi. Frekuensi terjadinya penderita sindroma Down di Indonesia adalah 1 dalam 600 kelahiran hidup.3 Di seluruh dunia, prevalensi keseluruhan adalah 10 SD per 10.000 kelahiran hidup, meskipun dalam tahun terakhir angka ini telah meningkat. Untuk sebagian besar, prevalensi SD tergantung pada beberapa variabel sosial-budaya. Di Negara - negara di mana aborsi ilegal seperti Irlandia dan Uni Emirat Arab, prevalensinya lebih tinggi. Sebaliknya, di Prancis, prevalensi SD rendah, dan ini mungkin karena tingginya persentase penghentian kehamilan SD. Di Belanda, ukuran yang paling terbaru dari prevalensi SD adalah 16 per 10.000 kelahiran hidup. Di Inggris, prevalensi kehamilan SD telah meningkat secara signifikan, namun belum ada perubahan secara keseluruhan prevalensi kelahiran hidup dari SD.14 Angka kejadian sindroma Down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilan. Semakin meningkat usia ibu saat kehamilan, semakin besar resiko melahirkan anak dengan sindroma Down.17 Gambar 1: Peningkatan angka kejadian sindroma down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilan. Sumber : Stewart KB. Trisomi 21-sindroma Down. The australasian genetiks resource book; 2007: 28. [internet]. Available from URL: www.genetiks.edu.au

Tabel 1. Angka kejadian sindroma down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilanSumber : Stewart KB. Trisomi 21-sindroma Down. The australasian genetiks resource book; 2007: 28. [internet]. Available from URL: www.genetiks.edu.au

FAKTOR RISIKOFaktor risiko ibu hamil untuk terjadi sindrom down yaitu :a. ibu yang berusia diatas 35 tahun. Hal ini terjadi karena diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang dapat menyebabkan non-disjunction pada kromosom yaitu terjadi translokasi kromosom 21 dan 15. Hal ini dapat mempengaruhi pada proses menua. Bagi ibu-ibu yang berumur 35 tahun keatas, semasa mengandung mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk melahirkan anak Down Syndrom. 95 penderita down syndrom disebabkan oleh kelebihan kromosom 21. Keadaan ini disebabkan oleh non-dysjunction kromosom yang terlibat yaitu kromosom 21 dimana semasa proses pembahagian sel secara mitosis pemisahan kromosom 21 tidak berlaku dengan sempurna.b. Di kalangan 5 % lagi, anak-anak down syndrom disebabkan oleh mekanisme yang dinamakan Translocation. Keadaan ini biasanya berlaku oleh pemindahan bahan genetik dari kromosom 14 kepada kromosom 21. Bilangan kromosomnya normal iaitu 23 pasang atau jumlah kesemuanya 46 kromosom. Mekanisme ini biasanya berlaku pada ibu-ibu di peringkat umur yang lebih muda.Sebahagian kecil down syndrom disebabkan oleh mekanisma yang dinamakanmosaicRisiko untuk mendapatkan abnormalitas kromosom meningkat dengan meningkatnya umur ibu (grafik 1). Selain itu, janin dengan abnormalitas kromosom lebih sering mati intrauterin dibanding dengan janin normal, risiko untuk itu menurun dengan meningkatnya umur kehamilan (grafik 2).

Grafik 1. Hubungan umur ibu dengan risiko abnormalitas kromosom

Grafik 2. Hubungan umur kehamilan dengan risiko abnormalitaskromosom. Setiap garis menunjukkan risiko relative

Berdasarkan kedua grafik di atas, dapat ditarik kesimpulan untuk hubungan risiko abnormalitas kromosom dengan usia ibu dan gestasi adalah2: Risiko untuk trisomi meningkat menurut umur ibu Risiko untuk Sindroma Turner and triploidi tidak berubah dengan meningkatnya umur ibu. Semakin dini usia gestasi, semakin besar risiko mendapatkan abnormalitas kromosom. Angka kematian janin pada trisomi 21 antara umur kehamilan 12 minggu ( pada saat skrining NT dilakukan ) dan umur kehamilan 40 minggu sekitar 30% dan antara 16 minggu ( pada saat dilakukan skrining trimester ke dua serum biokimiawi ) dengan 40 minggu, sekitar 20%. Pada trisomi 18, 13 dan sindroma Turner, angka kematian janin pada umur kehamilan 12-40 minggu berkisar 80%

ETIOLOGIPenyebab langsung terjadinya sindroma Down adalah adanya kelebihan kromosom 21. Penyebab tidak langsung adanya kelebihan kromosom belum dapat diidentifikasi. Namun, sindroma Down tidak diakibatkan oleh aktivitas ibu selama hamil.15

Trisomi 21 dapat terjadi dalam satu dari tiga bentuk:a. Kegagalan berpisah pada meiosis. Sebuah kesalahan terjadi pada pemisahan sepasang kromosom 21 selama pembelahan sel pada proses pembentukan sperma atau sel telur. Seorang anak dengan sindroma Down mempunyai 47 kromosom yang berbeda pada setiap sel (bandingankan dengan keadaan biasa dimana terdapat 46 kromosom). Ini adalah tipe yang paling sering. Terhitung rata-rata 95% terjadi sindroma Down.b. Translokasi. Sekitar 3 % terjadi sindroma Down. Hal ini terjadi jika salah satu kromosom 21 yang berlebih menempel (translokasi) pada kromosom lain. Kromosom lain itu kemungkinan adalah kromosom 13, 14, 15, atau 22. Dengan terjadinya translokasi, terdapat 46 kromosom dalam setiap sel ditambah kelebihan kromosom 21 yang menempel pada kromosom lain. c. Mosaik. Sekitar 2 % terjadi sindroma Down. Mosaik sindroma down (46, XX/47, XX, 21) terjadi ketika beberapa sel dalam tubuh normal dan sel-sel lain trisomi 21.15

Penyebab terjadinya sindrom down yaitu :1. Penyebab BiologisDown syndrome terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan hingga jumlahnya menjadi 46. Pada penderita down syndrome, kromosom nomor 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga totalnya menjadi 47 kromosom. Jumlah yang berlebihan tersebut mengakibatkan kegoncangan pada sistem metabolisme sel, yang akhirnya memunculkan down syndrome.2. Ibu hamil lebih dari 40 tahunHingga saat ini, diketahui adanya hubungan antara usia sang ibu ketika mengandung dengan kondisi bayi. Yaitu semakin tua usia ibu, maka semakin tinggi pula risiko melahirkan anak dengan down syndrome.

55

3. Kurang zat iodiumDown syndrome juga disebabkan oleh kurangnya zat-zat tertentu yang menunjang perkembangan sel syaraf pada saat bayi masih di dalam kandungan, seperti kurangnya zat iodium. Menurut data badan UNICEF, Indonesia diperkirakan kehilangan 140 juta poin Intelligence Quotient (IQ) setiap tahun akibat kekurangan iodium. Faktor yang sama juga telah mengakibatkan 10 hingga 20 kasus keterbelakangan mental setiap tahunnya (Aryanto, dalam Koran Tempo Online).4. Infeksi virus atau keadaan yang mempengaruhi susteim daya tahan tubuh selama ibu hamil.

PATOFISIOLOGISindroma Down (SD) dikenal sebagai suatu kelainan genetik yang disebabkan adanya tiga kromosom 21.1 Berdasarkan pemeriksaan sitogenetik, umumnya sindroma Down dibedakan atas tiga tipe, yaitu SD trisomi bebas, SD translokasi, dan SD mosaic. Sindroma Down trisomi bebas merupakan tipe yang paling banyak dijumpai. Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut ketiga tipe sindroma Down tersebut.18Kromosom adalah struktur seperti benang yang terdiri dari DNA dan protein lain. Kromosom-kromosom itu ada di setiap sel tubuh dan membawa informasi genetik yang diperlukan oleh sel untuk berkembang. Gen adalah unit informasi yang dikodekan dalam DNA. Sel manusia normal memiliki 46 kromosom yang dapat disusun dalam 23 pasang. Dari 23 pasang, 22 sama untuk pria maupun wanita yang disebut dengan autosom. Pasangan kromosom ke-23 adalah kromosom kelamin (X dan Y). Setiap anggota dari sepasang kromosom membawa informasi yang sama, yang berarti bahwa gen yang sama berada di daerah yang sama pada kromosom. Namun, variasi gen (alel) mungkin terjadi. Contoh: informasi genetik untuk warna mata disebut gen, dan variasi untuk biru, hijau, dan lain-lain disebut alel.19Ada dua cara pembelahan sel manusia. Yang pertama adalah pembelahan sel biasa (mitosis). Dengan cara ini, satu sel membelah menjadi dua sel yang memiliki jumlah dan tipe kromosom yang sama persis dengan kromosom sel induk. Yang kedua adalah pembelahan sel yang terjadi dalam ovarium dan testis (meiosis) dan terdiri dari satu sel yang membelah menjadi dua, dengan jumlah kromosom setengah dari jumlah kromosom sel induk. Jadi, normalnya sel telur dan sel sperma hanya memiliki 23 kromosom bukan 46.19Ada banyak kesalahan yang dapat terjadi selama proses pembelahan sel. Pada meiosis, beberapa pasang kromosom membelah diri dan berpisah ke tempat yang berbeda, peristiwa ini disebut disjungsi. Namun, kadang-kadang salah satu pasang tidak membelah, dan seluruhnya pergi ke satu daerah. Ini berarti bahwa dalam sel-sel yang dihasilkan, seseorang akan memiliki 24 kromosom dan yang lain akan memiliki 22 kromosom.19 Peristiwa kecelakaan ini disebut dengan nondisjunction dan dapat terjadi pada meiosis I atau II (lebih sering terjadi pada meiosis I).20 Jika sperma atau sel telur dengan jumlah kromosom yang abnormal menyatu dengan pasangan normal, sel telur yang dibuahi akan memiliki jumlah kromosom yang abnormal. Pada sindroma Down, 95% dari semua kasus disebabkan oleh peristiwa ini, satu sel mempunyai dua kromosom 21, bukan satu sehingga sel telur yang dibuahi akan memiliki tiga kromosom 21. Oleh karena itu sering disebut dengan nama ilmiah, trisomi 21. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa dalam kasus ini, sekitar 90% dari sel-sel yang abnormal adalah sel telur. Penyebab kesalahan nondisjunction tidak diketahui, tetapi pastinya memiliki kaitan dengan usia ibu. Penelitian saat ini bertujuan untuk mencoba menentukan penyebab dan waktu terjadinya peristiwa nondisjunction.19

Gambar 2 : Proses meiosis (a) Proses meiosis normal, (b) Terjadi kesalahan pada meiosis I, (c) Terjadi kesalahan pada meiosis II. Sumber : Girirajan S. Parental-age effects in sindroma Down. USA: Journal of Genetiks 2009 Apr;88(1):1-7.

3 4 % dari semua kasus trisomi 21 adalah karena Translokasi Robersonian. Dalam kasus ini, dua pembelahan terjadi di kromosom yang terpisah, biasanya pada kromosom 14 dan 21. Ada penataan ulang materi genetik sehingga beberapa dari kromosom 14 digantikan oleh kromosom 21 tambahan (ekstra). Jadi pada saat jumlah kromosom normal, terjadi triplikasi dari kromosom 21. Beberapa anak mungkin hanya terjadi triplikasi pada kromosom 21 bukan pada keseluruhan kromosom, yang biasa disebut dengan trisomi 21 parsial. Translokasi yang hasilkan dari trisomi 21 mungkin dapat diwariskan, jadi penting untuk memriksa kromosom orang tua dalam kasus ini untuk melihat apakah anak mungkin memiliki sifat pembawa (carrier).19Sisa kasus trisomi 21 adalah karena kejadian mosaik. Orang-orang ini memiliki campuran garis sel, beberapa diantaranya memiliki sejumlah kromosom normal dan lainnya memiliki trisomi 21. Dalam mosaik sel, campuran ini terlihat berbeda dari jenis yang sama. Dalam mosaik jaringan, satu set sel , seperti semua sel darah mungkin memiliki kromosom normal dan juga tipe yang lain, seperti semua sel-sel kulit, mungkin memiliki trisomi 21.19Kromosom adalah pemegang gen, dimana sejumlah kecil DNA diarahkan dalam hal produksi beragam materi yang dibutuhkan oleh tubuh. Pengarahan oleh gen ini disebut ekspresi gen. Pada trisomi 21, kehadiran sebuah gen tambahan menyebabkan overekspresi dari gen yang terlibat, sehingga meningkatkan produksi produk tertentu. Untuk sebagaian besar gen, overekspresi memiliki pengaruh yang kecil karena adanya mekanisme tubuh yang mengatur gen dan produknya. Akan tetapi, gen yang menyebabkan sindroma Down tampaknya merupakan suatu pengecualian.19Gen-gen apa saja yang terlibat? Itu menjadi pertanyaan peneliti-peneliti sejak ketiga kromosom 21 ditemukan. Dari penelitian bertahun-tahun, satu teori yang terkenal menyebutkan bahwa hanya sedikit bagian dari kromosom 21 yang sebenarnya benar-benar perlu ditriplikasi untuk membuat efek pada sindroma Down, yang disebut sebagai Downs Syndrome Critical Region. Namun, region ini bukan merupakan satu daerah yang kecil, tetapi beberapa daerah yang kemungkinan besar tidak selalu berdampingan. Kromosom 21 mungkin benar-benar memegang 200-250 gen (menjadi kromosom yang terkecil dalam hal jumlah gen), tetapi diperkirakan bahwa hanya beberapa persen saja yang mengakibatkan ciri-ciri pada sindroma Down. 19Adanya Downs Syndrome Critical Region (DSCR), sebuah segmen kecil pada kromosom 21 yang mengandung gen-gen yang bertanggung jawab pada ciri-ciri utama sindroma Down, telah mendominasi penelitian sindroma Down pada tiga decade terakhir. Gen-gen yang terdapat pada daerah 5,4 Mb ini dikelompokkan menjadi DSCR1 dan DSCR2.21Menurut Davies ae al. (2007) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), DSCR1, yang sekarang diberi nama RCAN1 (Regulator of Calcineurin 1) di overekspresikan dalam otak fetus sindroma Down dan berinteraksi secara fisik dan fungsional dengan kalsineurin A, sebuah katalitik sub unit dari kalsium / calmodulin-dependent protein phosphatase. Menurut Fuentes et al. (1995) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), RCAN1 yang banyak diekspresikan di otak dan jantung menunjukkan overekspresi itu berhubungan pada patogenesis sindroma Down, terutama retardasi mental dan / atau kelainan jantung. Sedangkan menurut Vidal-Taboada et al. (2000) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), DSCR2 lebih banyak diekspresikan pada semua jaringan dan sel yang berproliferasi, seperti jaringan fetus, testis, dan sel kanker.21Gen yang mungkin terlibat dalam terjadinya sindroma Down meliputi : 18a. Superoxide Dismustase (SOD1) overekspresi yang menyebabkan penuaan dini dan menurunnya fungsi sitem imun. Gen ini berperan dalam demensia tipe Alzheimer.b. COL6A1 overekspresi yang menyebabkan cacat jantung.c. ETS2 overekspresi yang menyebabkan kelainan tulang (abnormalitas skeletal).d. CAF1A overekspresi yang dapat merusak sintesis DNA.e. Cystathione Beta Synthase (CBS) overekspresi yang menyebabkan gangguan metabolisme dan perbaikan DNA.f. DYRK overekspresi yang menyebabkan retardasi mental.g. CRYA1 overekspresi yang menyebabkan katarak.h. GART overekspresi yang menyebabkan gangguan sintesis dan perbaikan DNA.i. IFNAR gen yang mengekspresikan interferon, overekspresi yang dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh dan sistem organ lainnya.

Gen lainnya yang mungkin juga terlibat, diantaranya APP, GLUR5, S100B, TAM, PFKL, dan beberapa gen lainnya. Sekali lagi, penting untuk diketahui bahwa belum ada gen yang sepenuhnya terkait dengan setiap karakteristik yang berhubungan dengan sindroma Down.19

KLASIFIKASIKarakteristik sindroma Down terbagi atas 2, yaitu:a. Karakteristik Fisik151) Penurunan laju pertumbuhan dan perkembangan fisik. Kebanyakan orang dengan sindroma down tidak mencapai tinggi dewasa rata-rata2) Mempunyai bentuk kepala atipikal. Kepala mungkin lebih kecil dari rata-rata (Microcephaly), dengan daerah datar di bagian belakang (tengkuk)3) Mata yang miring ke atas, menuju tepi wajah (upslanting palpebral fisura) dan kelebihan lipatan kulit di atas sudut dalam mata (Lipatan Epicanthal)4) Bintik-bintik putih (Brushfield) di bagian berwarna dari mata5) Telinga kecil atau berlipat, hidung datar, dan mulut kecil dengan tonus otot mulut yang rendah dan lidah yang menonjol6) Tangan pendek dan lebar dengan jari pendek dan sebuah garis selebar telapak tangan (single palmar crease).7) Penurunan tonus otot. b. Karakteristik Perkembangan151) Keterlambatan perkembangan kognitif, biasanya dengan retardasi mental kategori ringan hingga sedang. Pada individu tertentu, dengan genotip mosaik mungkin memiliki IQ di kisaran rata-rata.2) Keterlambatan berbicara dan berbahasa3) Keterlambatan perkembangan keterampilan sosial.4) Keterlambatan keterampilan motorik5) Kemungkinan adanya gangguan perkembangan lain, kesehatan mental atau kondisi perilaku.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang muncul akibat sindrom down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar.Karakteristik dari sindroma tersebut ada yang berubah dengan bertambahnya umur anak, misalnya lekukan epikantus atau jaringan tebal di sekitar leher akan berkurang dengan bertambahnya umur anak. Berdasarkan atas ditemukannya karakteristik dengan frekuensi yang tinggi pada sindroma Down, maka gejalagejala tersebut dianggap sebagai cardinal sign dan petunjuk diagnostik dalam mengidentifikasi sindroma Down secara klinis.Sifat pada kepala, muka dan leher pada anak dengan sindrom down mempunyai paras muka yang hampir sama seperti muka orang Mongol. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar. Pangkal hidungnya kemek. Jarak diantara 2 mata jauh dan berlebihan kulit di sudut dalam. Ukuran mulut adalah kecil dan ukuran lidah yang besar menyebabkan lidah selalu terjulur. Mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia).Pertumbuhan gigi lambat dan tidak teratur. Paras telinga adalah lebih rendah. Kepala biasanya lebih kecil dan agak lebar dari bahagian depan ke belakang. Lehernya agak pendek.Penderita syndrome down biasanya mempunyai tubuh pendek dan puntung, lengan atau kaki kadang-kadang bengkok, kepala lebar, wajah membulat, mulut selalu terbuka, ujung lidah besar, hidung lebar dan datar, kedua lubang hidung terpisah lebar, jarak lebar antar kedua mata, kelopak mata mempunyai lipatan epikantus, sehingga mirip dengan orang oriental, iris mata kadang-kadang berbintik, yang disebut bintik Brushfield.Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds)(80%), white Brushfield spots di sekililing lingkarandi sekitar iris mata(60%), medial epicanthal folds, keratoconus, strabismus,katarak (2%),dan retinal detachment. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan korneaManifestasi mulut yaitu gangguan mengunyah menelan dan bicara. scrotal tongue, rahang atas kecil (hypoplasia maxilla), keterlambatan pertumbuha gigi, hypodontia, juvenile periodontitis, dan kadang timbul bibir sumbing. Manifestasi lain yaitu hypogenitalism (penis, scrotum,dan testis kecil), hypospadia, cryptorchism, dan keterlambatan perkembangan pubertas. Manifestasi kulit yaitu kulit lembut, kering dan tipis, keriuput (dermatoglyphics). Xerosis (70%), atopic dermatitis (50%), palmoplantar hyperkeratosis (40-75%), dan seborrheic dermatitis (31%), Premature wrinkling of the skin, cutis marmorata, and acrocyanosis, Bacteria infections, fungal infections (tinea), and ectoparasitism (scabies), Elastosis perforans serpiginosa, Syringomas, Alopecia areata (6-8.9%), Vitiligo, Angular cheilitis. Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. Tangan dan kaki kelihatan lebar dan tumpul, telapak tangan kerap kali memiliki garis tangan yang khas abnormal, yaitu hanya mempunyai sebuah garis mendatar saja. Ibu jari kaki dan jari kedua adakalanya tidak rapat.Mata, hidung, dan mulut biasanya tampak kotor serta gigi rusak. Hal ini disebabkan karena ia tidak sadar untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri (Suryo, 2001).

Kelainan kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistem organ yang lain. Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupacongenital heart disease. kelainan ini yang biasanya berakibat fatal karena bayi dapat meninggal dengan cepat. Masalah jantung yang paling kerap berlaku ialah jantung berlubang seperti Ventricular Septal Defect (VSD) yaitu jantung berlubang diantara bilik jantung kiri dan kanan atau Atrial Septal Defect (ASD) yaitu jantung berlubang diantara atria kiri dan kanan. Masalah lain adalah termasuk salur ateriosis yang berkekalan (Patent Ductus Ateriosis / PDA). Bagi kanak-kanak down syndrom boleh mengalami masalah jantung berlubang jenis kebiruan (cynotic spell) dan susah bernafas.Pada sistem pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esofagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia). Saluran esofagus yang tidak terbuka (atresia) ataupun tiada saluran sama sekali di bahagian tertentu esofagus. Saluran usus rectum atau bagian usus yang paling akhir (dubur) yang tidak terbuka langsung atau penyempitan yang dinamakan Hirshprung Disease. Keadaan ini disebabkan sistem saraf yang tidak normal di bagian rektum. Biasanya bayi akan mengalami masalah pada hari kedua dan seterusnya selepas kelahiran di mana perut membuncit dan susah untuk buang air besar. Apabila anak sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan diikuti muntah-muntah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi.Sifat pada tangan dan lengan : Sifat-sifat yang jelas pada tangan adalah mereka mempunyai jari-jari yang pendek dan jari kelingking membengkok ke dalam. Tapak tangan mereka biasanya hanya terdapat satu garisan urat dinamakan simian crease, kaki agak pendek dan jarak di antara ibu jari kaki dan jari kaki kedua agak jauh terpisah dan tapak kaki, otot yang lemah menyebabkan mereka menjadi lembik dan menghadapi masalah lewat dalam perkembangan motor kasar.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan anak-anak down syndrom mungkin mengalami masalah kelainan organ-organ dalam terutama sekali jantung dan usus. Down syndrom mungkin mengalami masalah Hipotiroidism yaitu kurang hormon tairoid. Masalah ini berlaku di kalangan 10 % kanak-kanak down syndrom. Down syndrom mempunyai ketidakstabilan di tulang-tulang kecil di bagian leher yang menyebabkan berlakunya penyakit lumpuh (atlantoaxial instability) dimana ini berlaku di kalangan 10 % kanak-kanak down syndrom. Sebagian kecil mereka mempunyai risiko untuk mengalami kanker sel darah putih yaitu leukimia. Pada otak penderita sindrom Down, ditemukan peningkatan rasio APP (amyloid precursor protein) seperti pada penderita Alzheimer.

PROSEDUR DIAGNOS.a. Sebelum lahirSindrom Down banyak di temukan pada usia ibu lebih dari 35 tahun, makin tua usia ibu makin besar kemungkinan mememperoleh anak dengan sindromDown. Jika seluruh wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun di lakukan pemeriksaan amniosentesis, sekitar 30 % kehamilan dengan trisomi 21 dapat di deteksi Alfa feto protein ( AFP ), estriol tidak terkonjugasi dan human chorionic gonadotropin ( hCG ) merupakan pertanda serum umum yang di gunakan untuk screening sindrome Down.Kombinasi pemeriksaan ini di kenal sebagai tripel test atau tripel screen. Konsultasi dengan ahli genetic medic atau penasehat genetic harus di lakukan bila terdapat riwayat kehamilan yang bermasalah akibat abnormalitas kromosom atau salah satu orang tua di ketahui karier balanced translocation.Jika hasil uji diagnostic menunjukan trisomi 21,orang tua harus di bekali inforasi terkini dan akurat mengenai sindrom Down dan di damping saat memetuskan suatu tindakan.

b. Saat LahirDiagnosis sindromDown di tegakan berdasarkan adanya kumpulan gambaran fisik dan di pastikan dengan kariotip genetik. Ekspesi fisis sindrom ini sangat bervariasi sehingga tidak semua bayi dengan Trisomi 21 memiliki seluruh gambaran wajah khas sindrom Down, hipotoni merupakan karakteristik khas yang pertama kali di temukan pada sindrom Down, yang harus meningkatkan kecurigaan dan mendorong penilaian lebih lanjut. Gambaran fisik sindromDown lainnya terdapat pada table2

INDIKASI DIAGNOSIS PRENATALAlasan utama untuk melakukan diagnosis prenatal adalah faktor usia maternal (>35 tahun), abnormalitas maternal serum alfa fetoprotein (MSAFP) dan hasil skrining test lain yang positif.Indikasi untuk diagnosis prenatal adalah sebagai berikut :1-31. Usia maternal 35 tahun atau lebih2. Riwayat keluarga dengan anomali kromosom3. Orang tua dengan karier translokasi4. Abnormalitas MSAFP atau multiple markers screen5. Riwayat keluarga dengan neural tube defect (NTD)6. Kelainan gen tunggal riwayat keluarga atau karier yang didapat dari skrining populasi.7. Malformasi kongenital yang didiagnosis dengan USG8. Kecemasan.

Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun perlu ditawarkan untuk menjalani pemeriksaan diagnosis prenatal karena pada usia 35 tahun insidens trisomi mulai meningkat dengan cepat. Hal ini berhubungan dengan non-disjunction pada miosis. Pada usia 35 tahun kemungkinan untuk mendapat bayi lahir hidup dengan kelainan kromosom adalah 1:192, sehingga ada beberapa ahli yang menawarkan diagnosis prenatal pada usia 33 tahun namun hal ini belum menjadi konsensus.1, 2Selama 20 tahun terakhir, teknologi baru telah meningkatkan metode deteksi kelainan janin, termasuk sindrom Down. Dalam deteksi sindrom Down dapart dilakukan deteksi dini sejak dalam kehamilan. Dapat dilakukan tes skrening dan tes diagnostik.Dalam tes diagnostik, hasil positif berarti kemungkinan besar pasien menderita penyakit atau kondisi yang memprihatinkan.skrining, tujuannya adalah untuk memperkirakan risiko pasien yang memiliki penyakit atau kondisi. Tes diagnostik cenderung lebih mahal dan memerlukan prosedur yang rumit; tes skrining cepat dan mudah dilakukan. Namun, tes skrining memiliki lebih banyak peluang untuk salah: ada false-positif (test menyatakan kondisi pasien ketika pasien benar-benar tidak) dan false-negatif (pasien memiliki kondisi tapi tes menyatakan dia / dia tidak).

Diagnosis prenatal meliputi evaluasi terhadap tiga kategori pasien berupa yaitu :11. Janin dengan risiko tinggi untuk kelainan genetik dan kongenital2. Mereka dengan risiko yang tidak diketahui untuk kelainan kongenital umum.3. Janin yang pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan mempunyai kelainan struktur dan perkembanganKualitas USG mempengaruhi kemampuannya untuk diagnostik prenatal dalam mendeteksi kelainan-kelainan kongenital yang secara klinis sudah jelas tampak, dan juga peningkatan kemampuannya mendeteksi kelainan kongenital yang masih belum tampak jelas secara klinik, selain itu dapat membantu atau sebagai pembimbing yang sangat akurat untuk berbagai prosedur seperti : pemeriksaan amniosintesis, pemeriksaan villi khorialis, pemeriksaan darah janin dan pemeriksaan biopsi Janin.

Maternal Serum ScreeningDarah ibu diperiksa kombinasi dari berbagai marker: alpha-fetoprotein (AFP), unconjugated estriol (uE3), dan human chorionic gonadotropin (hCG) membuat tes standar, yang dikenal bersama sebagai tripel tes.Tes ini merupakan independen pengukuran, dan ketika dibawa bersama-sama dengan usia ibu (dibahas di bawah), dapat menghitung risiko memiliki bayi dengan sindrom Down. Selama 15 tahun terakhir, ini dilakukan dalam kehamilan 15 sampai minggu ke-18.Baru-baru ini, tanda lain yang disebut Papp-A ternyata bisa berguna bahkan lebih awal. Alpha-fetoprotein dibuat di bagian rahim yang disebut yolk sac dan di hati janin, dan sejumlah AFP masuk ke dalam darah ibu. Pada sindrom Down, AFP menurun dalam darah ibu, mungkin karena yolk sac dan janin lebih kecil dari biasanya. Estriol adalah hormon yang dihasilkan oleh plasenta, menggunakan bahan yang dibuat oleh hati janin dan kelenjar adrenal. estriol berkurang dalam sindrom Down kehamilan. Human chorionic gonadotropin hormon yang dihasilkan oleh plasenta, dan digunakan untuk menguji adanya kehamilan. bagian yang lebih kecil tertentu dari hormon, yang disebut subunit beta, adalah sindrom Down meningkat pada kehamilan. Inhibin A adalah protein yang disekresi oleh ovarium, dan dirancang untuk menghambat produksi hormon FSH oleh kelenjar hipofisis. Tingkat inhibin A meningkat dalam darah ibu dari janin dengan Down syndrome. PAPP-A , yang dihasilkan oleh selubung telur yang baru dibuahi. Pada trimester pertama, rendahnya tingkat protein ini terlihat dalam sindrom Down kehamilan.

Pertimbangan yang sangat penting dalam tes skrining adalah usia janin (usia kehamilan). Analisis yang benar komponen yang berbeda tergantung pada usia kehamilan mengetahui dengan tepat. Ultrasound Screening (USG Screening)Kegunaan utama USG (juga disebut sonografi) adalah untuk mengkonfirmasi usia kehamilan janin (dengan cara yang lebih akurat daripada yang berasal dari ibu siklus haid terakhir). Manfaat lain dari USG juga dapat mengambil masalah-masalah alam medis serius, seperti penyumbatan usus kecil atau cacat jantung. Mengetahui ada cacat ini sedini mungkin akan bermanfaat bagi perawatan anak setelah lahir. Pengukuran Nuchal fold juga sangat direkomendasikan.Ada beberapa item lain yang dapat ditemukan selama pemeriksaan USG bahwa beberapa peneliti telah merasa bahwa mungkin memiliki hubungan yang bermakna dengan sindrom Down. Temuan ini dapat dilihat dalam janin normal, tetapi beberapa dokter kandungan percaya bahwa kehadiran mereka meningkatkan risiko janin mengalami sindrom Down atau abnormalitas kromosom lain. echogenic pada usus, echogenic intracardiac fokus, dan dilitation ginjal (pyelctasis). Marker ini sebagai tanda sindrom Down masih kontroversial, dan orang tua harus diingat bahwa setiap penanda dapat juga ditemukan dalam persentase kecil janin normal. Penanda yang lebih spesifik yang sedang diselidiki adalah pengukuran dari hidung janin; janin dengan Down syndrome tampaknya memiliki hidung lebih kecil USG dari janin tanpa kelainan kromosom. masih belum ada teknik standar untuk mengukur tulang hidung dan dianggap benar-benar dalam penelitian saat ini.Penting untuk diingat bahwa meskipun kombinasi terbaik dari temuan USG dan variabel lain hanya prediksi dan tidak diagnostik. Untuk benar diagnosis, kromosom janin harus diperiksa.

AmniosentesisProsedur ini digunakan untuk mengambil cairan ketuban, cairan yang ada di rahim.Ini dilakukan di tempat praktek dokter atau di rumah sakit.Sebuah jarum dimasukkan melalui dinding perut ibu ke dalam rahim, menggunakan USG untuk memandu jarum.Sekitar satu cairan diambil untuk pengujian.Cairan ini mengandung sel-sel janin yang dapat diperiksa untuk tes kromosom. Dibutuhkan sekitar 2 minggu untuk menentukan apakah janin sindrom Down atau tidak.Amniocentesis biasanya dilakukan antara 14 dan 18 minggu kehamilan; beberapa dokter mungkin melakukannya pada awal minggu ke-13.Efek samping kepada ibu termasuk kejang, perdarahan, infeksi dan bocornya cairan ketuban setelah itu. Ada sedikit peningkatan risiko keguguran: tingkat normal saat ini keguguran kehamilan adalah 2 sampai 3%, dan amniosentesis meningkatkan risiko oleh tambahan 1 / 2 sampai 1%. Amniosentesis tidak dianjurkan sebelum minggu ke-14 kehamilan karena risiko komplikasi lebih tinggi dan kehilangan kehamilan.Rekomendasi saat ini wanita dengan risiko memiliki anak dengan sindrom Down dari 1 dalam 250 atau lebih besar harus ditawarkan amniosentesis. Ada kontroversi mengenai apakah akan menggunakan risiko pada saat penyaringan atau perkiraan resiko pada saat kelahiran. (Risiko pada saat skrining lebih tinggi karena banyak janin dengan Down syndrome membatalkan secara spontan sekitar waktu penyaringan atau sesudahnya.

Chorionic Villus Sampling (CVS) Chorionic Villus Sampling (CVS)Dalam prosedur ini, bukan cairan ketuban yang diambil, jumlah kecil jaringan diambil dari plasenta muda (juga disebut lapisan chorionic). Sel-sel ini berisi kromosom janin yang dapat diuji untuk sindrom Down. Sel dapat dikumpulkan dengan cara yang sama seperti amniosentesis, tetapi metode lain untuk memasukkan sebuah tabung ke dalam rahim melalui vagina.CVS biasanya dilakukan antara 10 dan 12 minggu pertama kehamilan. Efek samping kepada ibu adalah sama dengan amniosentesis (di atas). Risiko keguguran setelah CVS sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan amniosentesis, meningkatkan risiko keguguran normal 3 sampai 5%.Penelitian telah menunjukkan bahwa dokter lebih berpengalaman melakukan CVS, semakin sedikit tingkat keguguran.

SKRINING TRIMESTER PERTAMAa. BIOKIMIAWIPetanda biokimia untuk skrining trimester pertama telah banyak diteliti, tetapi tampaknya kebanyakan dari petanda tersebut hanya sering dipakai pada trimester kedua, dan hanya -hCG dan pregnancy associated plasma protein A (PAPP-A) yang sering dipakai untuk trimester I. Berbeda dengan pemeriksaan trimester II, kadar total hCG tidak mempunyai nilai untuk skrining trimester I. Pada kehamilan dengan trisomi 21 kadar -hCG meningkat dan kadar PPAP-A menurun dibanding dengan kehamilan normal. Setelah kehamilan 13 minggu kadar PPA-P tidak dipakai lagi sebagai petanda skrining. Program skrining trimester I dengan menggabungkan umur ibu, -hCG dan PPAP-A dilaporkan mampu mendeteksi trisomi 21 sekitar 60-68% , dengan risiko cut off level 1 : 250, untuk angka positif palsu sekitar 5%.3, 4

PetandaMedian MoM

-hCG 1,83

PAPP-A0,38

Tabel 1. Petanda biokimia trimester pertama :median MoM pada kehamilan dengan trisomi 21

b. ULTRASONOGRAFIPada trisomi 18 dan 13 pola peningkatan NT serupa dengan rata-rata pada trisomi 21. NT pada kelainan ini sekitar 2,5 mm di atas median normal untuk CRL. Pada sindroma Turner, median NT kurang lebih 8 mm di atas median norma.2Selain itu, pada trisomi 18 terjadi restriksi pertumbuhan janin lebih dini, kecenderungan untuk bradikardiadan eksomfalos pada 30% kasus, tulang hidung negatif pada 55% dan arteri umbilikalis tunggal pada 75% kasus. Pada trisomi 13, terjadi takikardia pada 70% kasus dan IUGR dini, megakistik, holoprosensefali atau eksomfalos pada 40% kasus. Pada sindroma Turner, terjadi takikardia pada 50% kasus dan IUGR dini. Pada triploidi terjadi IUGR asimetris yang dini, bradikardia pada 30% kasus, holoprosensefali, perubahan molar pada plasenta sekitar 30%.2a. Nuchal TranslucencyPerkembangan terakhir untuk skrining trisomi 21 adalah dengan kombinasi pemeriksaan NT pada trimester I dengan marker biokimia, beberapa penelitian telah melaporkan kombinasi NT dengan -hCG, PAPP-A dan umur ibu mempunyai sensitifitas 80-89% untuk deteksi trisomi 21. Pemeriksaan dengan kombinasi ini secara substansial lebih sensitif bila dilakukan pada trimester pertama, berdasarkan kalkulasi bahwa pemeriksaan trimester I didapatkan sensitifitasnya 8,3% lebih tinggi dari pemeriksaan pada trimester kedua. 3, 5, 6Nicolaides KH dkk dalam penelitiannya mengemukakan skrining kelainan kromosom trisomi 21 pada kehamilan 12 minggu hanya dengan petanda umur ibu saja sensitifitasnya 30%, bila dengan petanda umur ibu dan petanda serum biokimia pada trimester II sensitivitasnya 60-70%, bila dengan petanda umur ibu, dengan NT trimester I sensivisitasnya 75% dan bila kombinasi petanda umur ibu, NT pada trimester I, serum biokimia - hCG dan plasma protein A (PAPP-A) pada usia kehamilan 11-14 minggu hasilnya akan mencapai 90%. Dengan kemajuan teknologi dalam pemeriksaan biokimia memungkinkan untuk mendapatkan hasilnya dalam 30 menit sehingga pemeriksaan USG dapat digabungkan dengan pemeriksaan biokimia yang cepat. Konsep baru ini disebut dengan One Stop Clinic for Assesment of Risk (OSCAR). Kaissenberg CS dkk dalam penelitian multisenter di Jerman dengan prinsip yang sama seperti metode OSCAR, mengemukakan hasil skrining kelainan kromosom untuk trisomi 21 kehamilan pada kehamilan 11-14 minggu dengan pengukuran umur ibu, NT trimester I dan biokimia serum darah -hCG dan PPAP-A , akan mendapatkan sensitifitas sekitar 86-90%.5, 7Nuchal Translucency (NT) merupakan diskripsi gambaran USG dari cairan yang mengisi rongga antara kulit janin dengan jaringan lunak diatas spina servikalis, gambaran ini dapat diukur pada kehamilan 10-14 minggu, tetapi saat yang paling optimal adalah antara kehamilan 11-13 minggu. Untuk melakukan pemeriksaan NT menurut Snijders dkk (1998) ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut2, 3 : Ukuran CRL antara 38 84 mm Potongan sagital janin harus jelas Gambaran janin menempati > 75 % dari image, pada posisi netral USG mempunyai kaliper dengan kemampuan jarak ukuran 0,1 mm Ketebalan maksimum subcutaneus translusensi antara kulit dan jaringan lunak diatas spina servikalis cukup jelas Dapat dibedakan antara kulit janin dengan selaput amnion

Gambar 1. Pengukuran fetal NT

Beberapa penelitian telah mengemukakan hubungan antara NT dengan anomali kromosom, dalam kehamilan normal trimester I ketebalan NT meningkat sesuai dengan kehamilannya. Persentil ke 95 ketebalan median NT normal adalah 0,8 mm sampai dengan kehamilan 10-14 minggu. Penelitian multisenter dengan polulasi besar menunjukkan pengkuran NT dengan kombinasi beberapa petanda bersama usia ibu dapat mendeteksi kelompok risiko tinggi trisomi 21 sebesar 77% dengan angka positif palsu 5%. Beberapa masalah dalam mengukur NT untuk skrining trisomi 21 adalah kesulitan mengukur pada keadaan posisi janin yang tidak tepat dan masalah kegemukan pada ibu, sehingga pengukuran memerlukan waktu yang lama dan pengulangan pemeriksaan.2, 3

Tabel 2. Perbandingan angka deteksi (detection rate), untuk angka positifpalsu 5%, pada berbagai metode skrining trisomi 21.

b. Tulang Hidung (Nasal Bone)Sejumlah penelitian terakhir mengukur tulang hidung (nasal bone) sebagai metode skrining trisomi 21 pada akhir kehamilan trimester pertama. Cicero dkk melakukan USG pada 1092 janin usia 11-14 minggu mendapatkan 99,5% janin dengan kromosom normal mempunyai tulang hidung yang panjangnya sesuai dengan pertambahan CRL (crown rump length) sedang duapertiga janin dengan trisomi 21 dan 18 tidak didapatkan gambaran tulang hidung, hal ini karena keterlambatan osifikasi, namun pada 25 dari 79 janin trisomi mempunyai nasal bone dan panjangnya sesuai dengan CRL serta tidak berbeda secara bermakna dengan janin yang normal. Sementara penelitian terakhir untuk mendeteksi trisomi 21 pada 60-70% janin dengan tulang hidung negatif, sehingga membuka kemungkinan menggunakan teknik ini untuk skrining trisomi 21.2

SKRINING TRIMESTER KEDUAa. BIOKIMIAWIAlfa fetoprotein (AFP) merupakan petanda serum pertama yang dipakai untuk program skrining trisomi 21. Skrining biokimia AFP secara tradisi dilakukan pada kehamilan antara 15 21 minggu, dimana saat ini serum maternal AFP telah meningkat disebabkan adanya transport transplasenta dan transamnion dari janin ke sirkulasi maternal. Kehamilan dengan trisomi 21 kadar MSAFP menurun dibanding dengan kehamilan normal, dan bila petanda MSAFP dikombinasi dengan umur ibu mampu mendeteksi sekitar 40% trisomi 21.3, 6, 8Dalam program skrining kadar petanda ditetapkan berdasarkan nilai MoM dan usia kehamilan, penggunaan nilai MoM sendiri tergantung dari hasil interprestasi laboratorium dan fasilitas yang digunakan untuk menentukan variabel yang dapat mempengaruhi kadar petanda.3, 6

PETANDAMoM Trisomi 21

MSAFP0,75

HCG2,06

-hCG 2,20

Estriol0,72

Inhibin A1,92

Tabel 3. Petanda serum trimester II, nilai MoM kehamilan dengan trisomi 21 Petanda biokimiawi serum yang digunakan untuk skrining trisomi 21 trimester II cukup banyak, antara lain -hCG, Estriol (E3), dan inhibin A. Program skrining saat ini yang sering dilakukan adalah kombinasi umur ibu dengan beberapa petanda, seperti Double Test yang merupakan kombinasi usia, AFP dan hCG yang mempunyai kemampuan deteksi sekitar 60% dan false positif 5%. Triple Test yang merupakan kombinasi usia, AFP, hCG dan E3 mempunyai kemampuan deteksi sekitar 70%, dan bila skrining double test atau triple test digabungkan dengan test Inhibin A akan meningkatkan kemampuan masing-masing sebesar 5% sampai 10%.3

PROGRAM SKRININGSENSITIFITASOAPR

Umur ibu > 35 th30 %1 : 130

Usia + AFP37 %1 : 105

Usia + AFP + hCG *59 %1 : 65

Usia + AFP + hCG + E3 **68 %1 : 55

Usia + AFP + hCG + E3 + Inhibin A ***76 %1 : 55

Tabel 4. Kemampuan skrining dengan berbagai kombinasi petanda pada trimester II untuk angka positif palsu 5%MoMOAPR = odds of pregnancy being affected if screening test positif* Double test, ** Triple test, *** Quadriple test.

b. ULTRASONOGRAFIHubungan kelainan struktural dan anomali kromosom telah diketahui, kurang lebih sepertiga janin dengan trisomi 21 mempunyai kelainan struktural mayor. Defek kongenital jantung merupakan kelainan yang paling sering dengan insidensi sekitar 45%. Defek kanalis atrioventrikular dan ventrikular septal defek adalah bentuk anomali yang paling sering ditemukan. 3, 6Tabel dibawah ini menunjukkan beberapa soft marker yang telah diidentifikasi secara USG pada janin trisomi 21. Soft petanda adalah gambaran USG minor beberapa diantaranya bersifat sementara. Ketebalan nuchal fold merupakan salah satu pemeriksaan soft marker yang paling sensitif dan spesifik sebagai petanda pemeriksaan dengan USG pada trimester kedua, ukuran > 6 mm dapat mengidentifikasi sekitar 40% kasus trisomi 21 pada populasi risiko tinggi. Risiko aneuploidi akan meningkat dengan semakin banyaknya anomali janin yang terdeteksi. Pada wanita yang dengan pemeriksaan biokimia tergolong risiko tinggi untuk mendapat bayi trisomi 21 diperkirakan risiko ini akan meningkat sekitar 5 kali lebih besar bila dijumpai kelainan secara USG, tetapi pemeriksaan USG yang normal tidak dapat menyingkirkan kelainan kromosom, karena hanya 50% janin dengan trisomi 21 yang dijumpai kelainan dengan pemeriksaan USG.3Kombinasi pemeriksaan petanda yang terbaik adalah ketebalan nuchal fold, humerus pendek dan pyelectasis renal yang bila ditemukan bersamaan mempunyai sensitifitas 87% dengan angka positif palsu 6,7% untuk identifikasi trisomi 21. Keuntungan memakai petanda ini karena relatif lebih mudah dibanding dengan pemeriksaan dengan petanda kelainan jantung yang membutuhkan waktu lama dan tingkat pengalaman yang tinggi seorang sonografer. 3

STRUKTURALSOFT MARKER

Kistik higromaKetebalan NT

Atrioventrikular septal defekPyelectasis renal

Ventrikular septal defekPemendekan humerus

Atresia duodenalPemendekan femur

Ventrikulo megaliEchogenik bowel

EksomfalosEchogenik intracardiac focus

HidrotoraksHipoplasia falank tengah jari kelima

Sandal gap

Tabel 5. Soft marker trisomi 21 yang ditemukan pada pemeriksaan USG

Tabel 6. Defek kromosomal janin dan abnormalitas pada trimester ke-2

SKRINING NEURAL TUBE DEFECTS (NTDs)Sebelum akhir tahun 1970an belum diketahui cara untuk mendeteksi kehamilan dengan kelainan NTD sampai kemudian ditemukan bahwa alfa fetoprotein dalam cairan amnion dan serum ibu merupakan petanda bagi kehamilan dengan janin sindrom down.6Alfa fetoprotein adalah glikoprotein yang diproduksi oleh yolk sac, beredar dalam sirkulasi janin dan keluar melalui urin ke dalam cairan amnion. Walaupun fungsinya belum diketahui tetapi alfa fetoprotein (AFP) merupakan protein serum yang terutama dalam tubuh janin. Kadarnya dalam serum dan cairan amnion meningkat sampai usia kehamilan 13 minggu kemudian akan menurun dengan cepat. AFP masuk dalam sirkulasi ibu melalui difusi melewati membran plasenta dan mungkin ditranspor melalui sirkulasi plasenta. Brock dan Sutcliffe (1972) menemukan peningkatan kadar AFP dalam cairan amnion dan serum ibu pada kehamilan dengan janin anencephali. Penelitian prospektif yang pertama mengenai hubungan kadar AFP dalam serum ibu dengan kejadian NTD dilakukan di Inggris, kemudian dipakai secara luas di Amerika Serikat dan daratan Eropah.4, 6, 8Pemeriksaan AFP dalam serum ibu biasanya dilakukan pada usia kehamilan 15-22 minggu, namun sensitivitas yang terbesar pada usia 16-18 minggu. Hasilnya dipengaruhi oleh usia ibu, berat badan, ras, status diabetes dan jumlah janin. Kadarnya diukur dalam ng/mL dan dilaporkan sebagai multiple of median (MOM) dari populasi normal. Peningkatan AFP lebih besar dari atau sama dengan 2.0 sampai 2.5 MOM merupakan indikasi meningkatnya risiko NTD dan anomali struktur yang lain dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.4, 6, 8Bila dengan pemeriksaan USG ditemukan usia kehamilan yang tidak sesuai maka pemeriksaan AFP diulang. Bila kadar AFP antara 2.5-3.5 MOM maka sebaiknya diulang, karena daerah antara 2.5 3.5 MOM tumpang tindih antara kadar normal dan yang terkena NTD (lihat gambar 1). Bila kadar AFP > 3.5 MOM tidak perlu diulang lagi karena jelas menandakan ada risiko kelainan pada janin.4, 6

Gambar.1 Kadar AFP dalam serum ibu pada kehamilan tunggal 16 18 minggu. 6

The American College of Obstetrician and Gynecologists pada tahun 1996 merekomendasikan semua wanita hamil untuk menjalani skrining maternal serum AFP (MSAFP). Dengan cut off point 2.0 2.5 MOM kebanyakan laboratorium melaporkan hasil skrining positif berkisar 3-5 persen, dengan sensitivitas 90% dan nilai prediksi positif 2 6%. Oleh karena hanya 1 dari 16 33 wanita dengan peningkatan AFP yang mempunyai janin dengan kelainan, maka harus diberikan konseling yang jelas pada ibu mengenai tingginya angka positif palsu, risiko amniosintesis dan tujuan program skrining.6Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kelainan NTD dengan baik. Dalam telaah terhadap 234 janin spina bifida dari 9 penelitian, Watson dkk (1991) melaporkan bahwa 99% kasus mempunyai paling sedikit satu dari lima gambaran spesifik anomali kranial yang terdeteksi dengan pemeriksaan USG. Gambaran tersebut meliputi : lemon sign, ventriculomegaly, obliterasi cisterna magna, diameter biparietal yang kecil dan cerebelum yang elongasi (banana sign).6, 9Kadar AFP dalam cairan amnion diperiksa bila hasil pemeriksaan USG terhadap ibu dengan peningkatan MSAFP tidak ditemukan adanya kelainan. Bila kadar AFP dalam cairan amnion meningkat dilakukan pemeriksaan acetylcholinesterase dalam cairan amnion. Bila acetylcholinesterase meningkat menandakan adanya paparan terhadap jaringan neural atau ada defek terbuka yang lain pada janin. Bila kadar AFP cairan amnion meningkat tanpa peningkatan acetylcholinesterase berarti mungkin ada penyebab lain atau mungkin karena kontaminasi dari darah janin.6, 8Dengan resolusi USG yang semakin baik maka hampir semua kelainan NTD dapat terdiagnosis dengan pemeriksaan USG sehingga amniosintesis untuk karyotype maupun untuk pemeriksaan AFP sudah menjadi hal yang kontroversial. Pemeriksaan karyotype hanya dilakukan bila kadar AFP dalam cairan amnion dan serum ibu meningkat tanpa ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan USG. Bila kadar AFP dalam cairan amnion abnormal maka kemungkinan untuk adanya kelainan kromosom pada janin meningkat lima kali lipat.6Peningkatan kadar AFP dalam cairan amnion juga dapat ditemukan pada anomali yang disebabkan oleh multifaktorial seperti omphalocele, gastochisis, cystic hygroma. Pada keadaan ini acetylcholinesterase dapat meningkat atau tetap, sedang pada kelainan gen tunggal (mendelian) seperti nefrosis kongenital, AFP akan meningkat sedang acetylcholinesterase tidak.6, 8DIAGNOSIS PRENATAL INVASIFDengan makin meluasnya indikasi untuk melakukan diagnosis prenatal maka metode yang tersedia untuk mendeteksi kelainan-kelainan genetik juga meningkat dengan cepat. Selain amniosintesis, metode diagnostik invasif yang lain meliputi pemeriksaan villi korialis (CVS), pemeriksaan darah janin (FBS) dan biopsi janin untuk indikasi yang spesifik. Sampel yang diperoleh dengan metode ini digunakan untuk analisis sitogenetik (karyotipe dan FISH), diagnosis DNA molekuker (deteksi mutasi langsung, lingkage analysis) dan atau evalusi biokimia, tergantung pada apa yang diinginkan. Tiap prosedur invasif ini mempunyai keuntungan dan kerugian yang perlu dipertimbangkan saat menawarkan pemeriksaan diagnosis prenatal.9,10

AMNIOSINTESIS MIDTRIMESTERAmniosintesis adalah tindakan mengeluarkan cairan amnion yang mengandung sel-sel janin dan unsur biokimia dari rongga amnion. Pertama kali dilakukan pada tahun 1880 untuk dekompresi polihidramnion. Pada tahun 1950 amniosintesis menjadi alat diagnostik ketika mulai dilakukan pengukuran kadar bilirubin dalam cairan amnion untuk memantau isoimunisasi rhesus. Amniosintesis untuk deteksi kelainan kromosom prenatal pertama kali dilaporkan pada tahun 1967. Sejak itu amniosintesis diterima secara luas menjadi metode untuk diagnosis prenatal untuk kelainan kromosom, penyakit-penyakit yang diturunkan, dan beberapa infeksi kongenital. 10,13Indikasi utama untuk tindakan amniosintesis adalah pemeriksaan karyotype janin. Sel sel dalam cairan amnion berasal dari kulit janin yang mengalami deskuamasi dan dikeluarkan dari saluran gastrointestinal, urogenital, saluran pernafasan dan amnion. Sel-sel ini dipersiapkan untuk analisis pada tahap metafase maupun untuk pemeriksaan FISH. Namun laboratorium lebih senang bila mendapat sampel dari darah atau villi korialis karena banyak mengandung DNA yang diperlukan untuk kultur.13Dahulu cairan amnion juga dipakai untuk pemeriksaan kadar enzym untuk menentukan adanya gangguan metabolisme dan analisis metabolit untuk mendeteksi penyakit kistik fibrosis, namun saat ini telah digantikan dengan pemeriksaan yang lebih akurat yaitu dengan pemeriksaan mutasi DNA yang bertanggung jawab tehadap kondisi ini.13Amniosintesis midtrimester untuk pemeriksaan genetik umumnya dilakukan pada usia kehamilan antara 15-18 minggu. Pada saat itu jumlah air ketuban sudah memadai (sekitar 150 ml) dan perbandingan antara sel yang viable dan non viable mencapai rasio terbesar. 10,13Sebelum amniosintesis terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan USG untuk menentukan jumlah janin, konfirmasi usia kehamilan, memastikan viabilitas janin, deteksi anomali pada janin dan menentukan lokasi plasenta dan insersi tali pusat serta memperkirakan jumlah air ketuban. Dilakukan tindakan antisepsis pada kulit perut ibu dan operator memakai sarung tangan steril. Dengan tuntunan USG, tusukkan jarum ukuran 20-22 pada kantong amnion yang tidak berisi bagian kecil janin atau tali pusat. Sebaiknya dilakukan pada daerah fundus untuk mengurangi risiko robekan selaput ketuban, dan sedapat mungkin menghindari daerah plasenta. Bila terpaksa harus melakukan tusukan pada daerah plasenta sebaiknya dibantu dengan color doppler untuk mengidentifikasi pembuluh darah dan lakukan tusukan pada daerah yang paling tipis jauh dari tepi plasenta. Prosedur ini biasanya tidak memerlukan anestesi lokal. 10,13 Dapat dilakukan dengan teknik free hand dimana tangan operator yang satu memegang tranduser dan tangan lainnya memegang jarum, atau dapat dipasang pengantar jarum pada tranduser. Cara ini mempunyai keuntungan karena dapat menghindari gerakan jarum ke arah lateral yang dapat meningkatkan ukuran tusukan jarum. Cairan amnion yang pertama diaspirasi dibuang sebanyak 1-2 ml untuk menghindari kontaminasi dengan sel-sel maternal. Dilakukan aspirasi cairan amnion sebanyak 15 ml ke dalam tabung untuk analisa sitogenetika. 10,13 Bila pada kesempatan pertama gagal untuk mengaspirasi cairan maka dapat dilakukan pada lokasi lain setelah terlbih dahulu menilai kembali keadaan janin dan letak plasenta. Tenting pada selaput ketuban atau kontraksi uterus sering menjadi penyebab kegagalan. Bila tindakan kedua gagal maka tunda tindakan amniosintesis untuk beberapa hari kemudian, jangan melakukan dua kali tindakan pada satu kesempatan yang sama.10,13 Walaupun dengan pengalaman selama kurang lebih tiga dekade dengan amniosintesis midtrimester namun masih sulit untuk menentukan risiko prosedur ini yang berhubungan dengan abortus. Pada penelitian prospektif, multisenter yang luas diperkirakan risiko abortus berkisar 0,5 1%. Selain abortus risiko lain pada janin dan ibu juga perlu untuk dipertimbangkan. Sudah ada laporan mengenai terjadinya scar pada tubuh janin akibat tusukan jarum namun jarang terjadi. Amniosintesis yang dilakukan dengan tuntunan USG dapat mengurangi risiko tersebut dan juga risiko perlukaan yang lain. Komplikasi lain dari amniosintesis midtrimester meliputi korioamnionitis, robekan selaput ketuban dan perdarahan pervaginam. Insidens korioamnionitis < 1 per 1000 prosedur, robekan selaput ketuban terjadi pada 1-2% penderita, namun biasanya sembuh sendiri dan terjadi reakumulasi cairan dan pada umumnya luaran kehamilan normal. Insiden perdarahan pervaginam juga sekitar 1% dan berhubungan dengan ukuran jarum yang dipakai.6,13 Sudah pernah dilaporkan kasus sensitasi pada wanita dengan rhesus negatif setelah amniosintesis, risikonya sekitar 1%. Risiko ini dapat dikurangi dengan menghindari pendekatan transplasenta, memakai jarum berukuran kecil dan pemberian anti-D immunoglobulin intramuskuler sesudah tindakan amniosintesis terhadap pasien Rh-negatif yang belum tersensitasi.13

AMNIOSITESIS DINIAmniosintesis dini adalah amniosintesis yang dilakukan pada usia kehamilan sebelum 15 minggu (11-14 minggu). Kesulitan teknisnya lebih besar karena jumlah air ketuban belum banyak dan fusi antara amnion dan korion belum sempurna sehinngga sering menyebabkan tenting pada selaput ketuban. Selain itu targetnya lebih kecil, uterus belum berbatasan dengan dinding perut sehingga meningkatkan kemungkinan perlukaan pada usus atau masuknya kuman dari usus ke uterus.6,7 Tindakan amniosintesis dini dilakukan dengan maksud untuk melakukan diagnosis prenatal yang lebih dini dan menjadi tindakan alternatif untuk pemeriksaan villi korialis yang tekniknya relatif lebih sulit dan mempunyai lebih banyak komplikasi. Dengan tuntunan USG dilakukan pengambilan cairan amnion sebanyak 10-12 ml. Walaupun jumlah sel yang terambil lebih sedikit namun persentasi sel yang viable lebih besar dibanding dengan pada usia kehamilan yang lebih lanjut. Keberhasilan kultur pada kehamilan 12-14 minggu lebih dari 95% dengan waktu panen rata-rata 12 hari (1-2 lebih lama ) daripada kehamilan 16 minggu. Dibanding dengan CVS, amniosintesis dini mempunyai frekuensi kontaminasi sel maternal dan mosaicsm yang lebih rendah.13 Beberapa penelitian melaporkan peningkatan risiko abortus pada tindakan amniosintesis dini dibanding dengan amniosintesis midtrimester dan CVS, namun Johnson dkk tidak menemukan adanya perbedaan kejadian abortus antara kelompok amniosintesis dini dan midtrimester. Penelitian lain di Kanada menemukan perbedaan yang bermakna pada kejadian abortus (7,6% vs 5,9%), robekan selaput ketuban (3,5% vs 1,7%) dan deformitas tulang, khususnya talipes equinovarus (1,4% vs 0,4%) antara kelompok amniosintesis dini dan midtrimester, sehingga peneliti ini menganjurkan untuk tidak melakukan amniosisntesis dini kecuali tidak ada alternatif lain.10,13 PEMERIKSAAN VILLI KORIALISDiagnosis prenatal yang dikerjakan pada trimester kedua mempunyai beberapa kekurangan antara lain, diagnosis baru dapat diketahui pada usia kehamilan yang lebih lanjut sehingga risiko untuk terminasi kehamilan lebih besar dan terminasi pada saat janin sudah mulai bergerak menimbulkan beban emosional yang berat bagi pasien, sehingga diusahakan untuk melakukan diagnosis prenatal pada trimester pertama.Teknik pemeriksaan villi korialis pertama kali diperkenalkan di Cina pada tahun 1975 yang bertujuan untuk menentukan jenins kelamin janin dengan cara memasukkan kateter halus ke dalam uterus dengan hanya dituntun perasaan taktil. Bila terasa ada hambatan, kemudian pengisap dipasang dan dilakukan aspirasi potongan villi.7 Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan antara 10-12 minggu, untuk pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis DNA) dan atau metode biokimia yang dapat diaplikasikan pada jaringan villii. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi anomali kromosom, defek gen spesifik dan aktivitas enzym yang abnormal dalam kehamilan terutama pada penyakit turunan.6,7 Jaringan villi dapat diambil dengan teknik transervikal maupun transabdominal. Sebelum tindakan, dilakukan pemeriksaan USG untuk konfirmasi denyut jantung janin dan letak plasenta. Tentukan posisi uterus dan serviks, bila uterus anteversi maka tambahan pengisian kandung kemih dapat membantu untuk meluruskan posisi uterus, namun hindari pengisian kandung kemih yang berlebihan karena dapat mendorong uterus keluar dari rongga pelvis sehingga memperpanjang jarak untuk mencapai tempat pengambilan sampel yang dapat mengurangi kelenturan yang diperlukan untuk manipulasi kateter.9,10Pasien dibaringkan dalam posisis litotomi, antisepsis vulva dan vagina kemudian masukkan spekulum dan lakukan hal yang sama pada serviks. Ujung distal kateter (3-5 cm) sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan dan kateter dimasukkan kedalam uterus dengan tuntunan USG sampai terasa tahanan menghilang pada endoserviks. Operator menunggu sampai sonographer menvisualisasi ujung kateter, kemudian kateter dimasukkan sejajar dengan selaput korion ke tepi distal plasenta. Keluarkan stylet dan pasang tabung pengisap 20 ml yang mengandung medium nutrien. Jaringan villi yang terisap ke dalam tabung dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai struktur putih yang terapung dalam media. Kadang kala diperlukan pemeriksaan mikroskop untuk mengkonfirmasi jaringan villi. Sering jaringan desidua ibu ikut terambil namun mudah dikenali sebagai stuktur yang amorf (tak berbentuk). Bila tidak berhasil mendapat jaringan villi yang cukup maka dapat dilakukan insersi kedua.9,10 Teknik transabdominal pertama kali diperkenalkan oleh Smid Jensen dan Hahnemann dari Denmark. Dengan tuntunan USG masukkan jarum spinal ukuran 19 atau 20 ke dalam sumbu panjang plasenta. Setelah stylet dikeluarkan, aspirasi villi ke dalam tabung 20 ml yang berisi media kultur jaringan. Berhubung karena jarum yang dipakai lebih kecil dari kateter servikal maka perlu dilakukan tiga sampai empat kali gerakan maju mundur pada ujung jarum terhadap jaringan plasenta agar jaringan villi dapat terambil. Berbeda dengan teknik transervikal yang dilakukan sebelum usia kehamilan 14 minggu, teknik ini dapat dilakukan sepanjang kehamilan sehingga dapat menjadi alternatif untuk amniosintesis dan pemeriksaan darah janin.9,10 Komplikasi yang dapat terjadi pada pemeriksaan villi korialis adalah abortus dan yang ditakuti akhi-akhir ini adalah hubungan antara tindakan ini dengan kejadian reduksi anggota gerak. CVS yang dilakukan pada kehamilan < 9 minggu mempunyai risiko untuk reduksi anggota gerak 10-20 kali lebih besar dibandingkan dengan CVS yang dilakukan setelah usia > 11 minggu.9Kontaminasi jaringan desidua ibu pada sampel yang dikultur dapat memberikan hasil negatif palsu, dan hal ini sering terjadi bila hanya sedikit sampel yang terambil, namun di senter yang telah berpengalaman kejadian ini tidak ditemukan lagi.12

PEMERIKSAAN DARAH JANINPada tahun 1983, Daffos dkk memperkenalkan metode pengambilan darah janin dengan tuntunan USG menggunakan jarum spinal ukuran 20-22 melalui perut ibu ke dalam tali pusat. Teknik ini disebut juga kordosentesis, PUBS (percutaneous umbilical blood sampling), fetal blood sampling atau furnipuncture. Kordosintesis adalah istilah yang sering digunakan.11 Indikasi pemeriksaan ini dapat dibagi atas indikasi diagnostik dan terapeutik. Umumnya, pemeriksaan darah janin diindikasikan bila keuntungannya lebih banyak dari kerugiannya. Sebelumnya pemeriksaan darah janin dilakukan untuk karyotype cepat namun dengan teknik sitogenetik yang baru memakai metode FISH sampel dari villi korialis dan amniosit juga dapat diperiksa dengan cepat. Indikasi lain untuk pemeriksaan ini adalah bila ditemukan mosaik atau kegagalan kultur pada amniosintesis dan biopsi plasenta. Pemeriksaan darah janin juga dilakukan pada wanita yang datang terlambat (usia kehamilan lanjut) pada kunjungan antenatal dan menginginkan pemeriksaan karyotype atau untuk diagnosis prenatal retardasi mental fragile-X.10,11Indikasi diagnostik yang lain adalah pemeriksaan hemoglobinopathi, koagulaopathi, penyakit granulomatous kronik dan beberapa kelainan metabolisme serta penentuan anemia dan trombositopenia pada janin. Untuk indikasi terapeutik adalah : terapi anemia pada janin melalui transfusi darah dan pemberian obat antiaritmia pada janin dengan hidrops.11 Dengan tuntunan USG tusukkan jarum melalui dinding perut ibu dan arahkan ke tempat insersi tali pusat di plasenta, tusukan pada bagian tali pusat yang melayang lebih sulit dilakukan. Bila menggunakan pengantar jarum pada tranduser USG maka ukuran jarumnya lebih kecil (22-26) sedang bila menggunakan teknik free hand jarum yang dipakai berukuran 20-22. Bila ujung jarum telah mencapai tali pusat, pasang tabung pengisap dan isap darah kurang lebih 5 ml. Penting untuk menentukan apakah sampel darah ini berasal dari janin atau terkontaminasi darah ibu, walaupun dengan teknik yang baik hal ini jarang terjadi namun lebih bijaksana bila dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya. Sel darah janin akan tampak lebih besar dengan MCV yang lebih besar. Pengambilan sampel darah janin juga dapat dilakukan pada vena intrahepatik maupun jantung janin.10,11Komplikasi yang dapat terjadi pada janin pasca kordosintesis adalah : terjadinya hematoma atau perdarahan pada tempat tusukan jarum, bradikardi, infeksi. Kemungkinan untuk terjadinya kematian janin berkisar 1% untuk itu perlu dilakukan pemantauan denyut jantung janin dengan kardiotokografi selama paling sedikit 30 menit. Pada ibu komplikasi yang dapat terjadi adalah isoimunisasi rhesus, sehingga harus diberikan anti-D immunoglobulin pada ibu dengan rhesus negatif.11

BIOPSI JANINIndikasi pemeriksaan jaringan janin sampai saat ini masih terus berkembang. Teknik yang invasif ini digunakan hanya untuk kelainan dengan morbiditas tinggi, dimana diagnosis dengan pemeriksaan amniosintesis, villi khorialis atau darah janin tidak memuaskan. Jaringan yang diambil dari janin untuk prenatal diagnosis antara lain : kulit, otot, liver, ginjal dan otak. 9,10Indikasi yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan jaringan janin adalah untuk diagnosis genodermatosis, yang merupakan penyakit berat turunan pada kulit dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi.Pada awalnya biopsi janin dilakukan dengan fetoskopi, tetapi saat ini telah diganti dengan memakai USG. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan 17-20 minggu dengan memakai forsep biopsi yang dimasukkan melalui jarum angiocath no 14. Biopsi jaringan janin untuk diagnosis genodermatosis hanya dapat dilakukan dengan biopsi kulit, hasil biopsi ini dapat diperiksa dengan teknik morfologi, immunohistokimia, dan biokimia.9,10 Biopsi jaringan otot janin, jarang dilakukan tetapi pernah dilakukan untuk diagnosis prenatal mucular dystrophy yang disebabkan mutasi gen pada kromosom X, gen untuk distrofin. Sejak karakteristik gen distrofin diketahui diagnosis prenatal untuk janin yang berisiko dapat dilakukan dengan metode molekuler (polymerase chain reaction) yang diambil dari ekstrak DNA dari cairan ketuban atau vili korialis.9Seperti halnya biopsi otot, maka biopsi hati juga hanya dilakukan pada penyakit yang diturunkan yang tidak dapat didiagnosis dengan pemeriksaan amniosit atau villi korialis. Sejumlah kecil penyakit gangguan metabolisme termasuk dalam kategori ini dan dapat didiagnosis dengan pemeriksaan enzym yang diproduksi di hati, seperti ornitrin transcarbamilase (OTC) deficiency, carbamoyl phospstase synthetase (CPS) deficiency, glucosa 6 phospatase deficiency (G6PD).9

DIAGNOSIS PRENATAL NONINVASIF DIAGNOSIS PRAIMPLANTASIPerkembangan polymerase chain reaction (PCR) telah membawa revolusi dalam molekuler genetik, teknik ini dapat menggandakan / mengkopi jutaan target segmen DNA. Dimasa mendatang teknik ini bila dikombinasi dengan teknik fertilisasi invitro akan membantu diagnosis prenatal terhadap pasangan dengan risiko penyakit keturunan, dimana dengan pemeriksaan amniosintesis atau villi korialis saja masih sulit untuk menetapkan keputusan diteruskan atau tidaknya suatu kehamilannya. Kebanyakan wanita hamil akan mengharapkan janinnya tumbuh lengkap dan tidak mempunyai karier, tetapi untuk itu memerlukan beberapa teknologi yang dapat melakukan skrining terhadap embrio sebelum terjadinya implantasi.9Teknologi untuk diagnosis genetik preimplantasi ini dimungkinkan karena adanya perkembangan didalam fertilisasi invitro, sebelum dilakukan transfer embryo kedalam kandungan sebagian sel zygot dibiopsi untuk analisa kromosom atau DNA. Sel-sel embrio ini dapat berasal dari polar body, blastomere atau trophectoderm, dengan demikian hanya embrio dengan material genetik yang diprediksi tidak terdapat kelainan akan dilakukan implantasi. 6,9Setiap metode ini mempunyei keuntungan dan kerugian tergantung derajat kesulitan dan kejadian kelainan tersebut dalam kehamilan. Kesalahan dalam diagnosis akan membahayakan terutama karena hanya satu sel yang dianalisa. Biopsi seperempat dari embrio pada hari ke 3 setelah fertilisasi (sekitar stadium 12 sel) merupakan teknik diagnosis praimplantasi yang paling memungkinkan untuk dilakukan.9

SEL JANIN DALAM SIRKULASI MATERNALSejak tahun 1950 berbagai jenis sel janin telah ditemukan dalam dalam sirkulasi maternal. Dengan teknologi PCR, sekarang telah diketahui bahwa hampir semua wanita mempunyai sedikit sel sel janin dalam aliran darahnya. Bila sel-sel janin ini dapat dianalisa untuk diagnosis prenatal maka prosedur yang invasif sudah tidak diperlukan lagi. 6Untuk mengidentifikasi sel-sel janin, telah dikembangkan antibodi monoclonal terhadap berbagai antigen sel janin meliputi antibodi terhadap trofoblas, antigen permukaan sel eritrosit janin dan antigen HLA paternal.9Teknik analisa genetik yang juga dipakai untuk isolasi sel janin dari maternal sirkulasi adalah PCR dan insitu hibridisasi. Terhadap sel-sel janin yang diisolasi telah dilakukan pemeriksaan untuk penyakit autosom resesif seperti -thalasemia. Juga telah dilakukan karyotype sel janin dengan teknik FISH. Bianchii dkk (1997) melaporkan bahwa pada janin dengan aneuploidy ditemukan peningkatan jumlah sel-sel janin dalam sirkulasi maternal sebesar 6 kali. Penelitian multisenter yang disponsori oleh National Institutes of Health diharapkan dapat menyempurnakan teknik untuk aplikasi yang lebih luas.6,9

2.9. PENATALAKSANAANPenanganan anak Sindroma Down didasarkan pada penanganan dasar untuk anak dengan retardasi mental yang meliputi edukasi, psikoterapi, dan farmakoterapi serta menangani kondisi medisnya dengan penyuluhan pada orang tua pasien.a. EdukasiPenyediaan pendidikan khusus bagi anak yang mengalami retardasi mental yang meliputi remediasi, tutoring, dan pelatihan kemampuan sosial.13 Anak dengan sindroma Down juga mampu memberikan partisipasi yang baik dalam belajar melalui program intervensi dini, Taman kanak-kanak dan melalui pendidikan khusus yang positif akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara menyeluruh.Latihan khusus yang diberikan meliputi aktivitas motorik kasar dan halus serta petunjuk agar anak mampu berbahasa. Demikian pula dengan mengajari anak untuk dapat menolong dirinya sendiri seperti belajar makan, belajar buang air besar/kecil, mandi, berpakaian, akan memberi kesempatan anak untuk belajar mandiri. Taman bermain/taman kanakkanak juga mempunyai peran yang penting pada awal kehidupan anak. Anak akan memperoleh manfaat berupa peningkatan keterampilan motorik kasar dan halus melalui bermain dengan temannya. Dapat berinteraksi sosial dengan temannya. Dengan memberikan kesempatan bergaul dengan lingkungan di luar rumah maka kemungkinan anak dapat berpartisipasi dalam dunia yang lebih luas. Di samping tindakan diatas program pendidikan khusus juga dapat membantu anak melihat dunia sebagi suatu tempat yang menarik untuk mengembangkan diri dan bekerja. Pengalaman yang diperoleh di sekolah akan membantu untuk memperoleh perasaan tentang identitas personal, harga diri, dan kesenangan. Selama dalam pendidikan anak diajari untuk biasa bekerja dengan baik dan menjalin hubungan yang baik dengan teman-temannya. Sehingga anak akan mengerti mana yang salah dan mana yang benar, serta bagaimana harus bergaul dengan masyarakat.

b. Penatalaksanaan masalah klinisAnak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan medis yang sama dengan anak yang normal. Mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan, imunisasi, kedaruratan medis, serta dukungan dan bimbingan dari keluarga, tetapi terdapat beberapa keadaan di mana anak dengan sindroma Down memerlukan perhatian khusus antara lain:a. Pemeriksaan mata dan telinga serta pendeteksian fungsi tiroid pada bayi baru lahir dan rutin pada anak sindroma Downb. Penyakit jantung bawaan, intervensi dini dengan pemeriksaan kardiologi pada bayi baru lahirc. Status Nutrisi, perlu perhatian meliputi kesulitan menyusu pada bayi sindroma Down dan pencegahan obesitas pada usia anak dan remajad. Kelainan tulange. Pendidikan, sebagai intervensi dini terhadap kelainan perkembangan terutama menyangkut kemampuan kognitif dan perkembangan sosialf. Monitoring pertumbuhan dan perkembangan dengan kurva spesial untuk sindroma Down dan disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak sindroma Downg. Perawatan mulut dan gigih. Atlanto-axial instability screening pada usia tiga tahuni. Konseling genetik.

c. Penyuluhan pada orang tuaBegitu sindroma Down ditegakan, dokter harus mampu menyampaikan hal ini secara bijaksana dan jujur. Penjelasan pertama sangat menentukan adaptasi dan sikap orang tua selanjutnya. Orang tua harus diberitahu bahwa fungsi motorik, perkembangan mental, dan bahasa biasanya terlambat pada sindroma Down. Demikian pula kalau ada hasil analisa kromosom, harus dijelaskan dengan bahasa yang sederhana. Informasi juga menyangkut tentang risiko terhadap kehamilan berikutnya. Hal yang penting lainnya adalah menekankan bahwa bukan ibu atau pun ayah yang dapat dipersalahkan tentang kasus ini. Apabila diperlukan, juga penting untuk mempertemukan sesama orang tua dengan anak sindroma Down agar dapat saling berbagi sehingga nantinya hasil yang diharapkan adalah ketegaran orang tua itu sendiri.

d. PsikoterapiTerapi perilaku dilakukan untuk membentuk dan meningkatkan kemampuan perilaku sosial serta mengontrol dan meminimalkan perilaku agresif dan destruktif. Terapi kognitif, seperti menanamkan nilai yang benar dan latihan relaksasi dengan mengikuti instruksi, direkomendasikan untuk anak yang mampu mengikuti instruksi. Terapi psikodinamik digunakan untuk mengurangi konflik tentang pencapaian yang diharapkan yang dapat mengakibatkan kecemasan, kemarahan dan depresi.

e. FarmakoterapiPenderita sindroma Down yang disertai gejala ADHD atau depresi dapat diberikan stimulan atau antidepresan. Agitasi, agresi, dan tantrum merespon baik terhadap pemberian antipsikotik. Antipsikotik atipikal seperti risperidone (Risperidal) dan olazapine (Zyprexal) lebih dipilih karena memiliki kecenderungan lebih kecil dalam mengakibatkan gejala ekstrapiramidal dan diskinesia. Litium (Eskalith) berguna dalam mengontrol sifat agresif atau menyakiti diri sendiri. Carbamazepin (Tegretol), valproate (Depakene), dan propanolol (Inderal) juga dapat digunakan untuk perilaku agresif dan tantrum. Pemberian antibiotik yang adekuat sangat diperlukan pada pasien Sindroma Down dengan infeksi karena terbukti mampu mencegah mortalitas.

2.10. PENCEGAHANUpaya pencegahan cacat bawaan dapat dibedakan atas pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer ditujukan pada upaya pencegahan terjadinya kehamilan dengan cacat bawaan, kegiatan utamanya adalah penyaringan atau deteksi dini golongan yang mempunyai risiko untuk mendapat keturunan dengan cacat bawaan, yang meliputi kegiatan skrining, konseling prakonsepsi / pranikah dan tindakan supportifnya berupa keluarga berencana, adopsi atau inseminasi donor.2, 3Pencegahan sekunder ditujukan pada upaya pencegahan kelahiran bayi dengan cacat bawaan dengan melakukan kegiatan pranatal antara lain: skrining genetika dalam kehamilan, konseling prenatal, diagnosis prenatal dan tindakan suportif lainnya berupa terminasi kehamilan, terapi gen maupun terapi janin in utero.2, 3 Konseling Genetik maupun amniosentesis pada kehamilan yang dicurigai akan sangat membantu mengurangi angka kejadian Sindrom Down. Dengan Biologi Molekuler, misalnya dengan gene targeting atau yang dikenal juga sebagai homologous recombination sebuah gen dapat dinonaktifkan. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlsh kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16 minggu.

2.11. PROGNOSISSurvival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40 tahun. Selain perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan fisik. Kemampuan berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan kelainan jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel yang memperburuk prognosis.15 Sebesar 44% penderita sindroma Down hidup sampai 60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko terkena leukemia pada sindroma Down adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun.

Beberapa penderita sindroma Down mengalami hal-hal berikut ::a. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa.b. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.c. Pada usia 30 tahun menderita dementia (berupa hilang ingatan, penurunan kecerdasan dan kepribadian).d. Gangguan tiroid.Bisa terjadi kematian dini pada penderita sindroma Down meskipun banyak juga penderita yang berumur panjang. Kematian biasanya disebabkan kelainan jantung bawaan. Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini yang mengakibatkan 80% kematian. Anak-anak dengan sindroma Down memiliki risiko tinggi untuk menderita kelainan jantung dan leukemia. Jika terdapat kedua penyakit tersebut maka angka harapan hidupnya berkurang dan jika kedua penyakit tersebut tidak ditemukan maka anak bisa bertahan sampai dewasa

DAFTAR PUSTAKA

1. Enkin M, Keirse MJNC, Neilson J, Crowther C, Duley L, Hodnett E, et al. Screening for congenital anomalies. Available at: URL: www.maternitywise.org/prof/. Accessed April 1st, 2005.2. Nicolaides K, Snijders R. First trimester diagnosis of chromosomal defects. In: Nicolaides K, editor. The 1113+6 weeks scan. London: Fetal Medicine Foundation; 2004. p. 7-42.3. Cameron A, Macara A, Brennand J, Milton P. Screening for chromosomal abnormalities. In: Fetal medicine for the MRCOG and beyond. London: RCOG press; 2002. p. 1-12.4. Rodeck C, Pandya P. Prenatal diagnosis of fetal abnormalities. In: Chamberlain G, Steer P, Breat G, Chang A, Johnson M, Neilson J, editors. Turnbull's obstetrics. 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2001. p. 169-96.5. Nicolaides K, Bindra R, Cicero S. One-stop clinic for assesment of risk of chromosomal defects at 12 weeks of gestation. The Journal of Maternal -Fetal and Neonatal Medicine 2002 2002;12:9-18.6. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins G. Prenatal diagnosis and therapy. In: Williams Obstetrics. 21st ed. New York: McGraw Hill; 2001. p. 973-1003.7. Kaissenber C, Wiens A, Biellicki M, et al. Screening for trisomy 21 by maternal age, fetal nuchal translucency and maternal serum biochemistry at 11-14 weeks; a German multicenter study. The Journal of Maternal -Fetal and Neonatal Medicine 2002 2002;12:89-94.8. Yankowitz, Williamsom R. Abnormalities of alpha-fetoprotein and other biochemical tests. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2nd ed. New York: WB Saunders; 2000. p. 153-70.9. Rossiter J, Blakemore K. Fetal genetic disorders. In: Winn H, Hobbins J, editors. Clinical maternal-fetal medicine. 1st ed. New York: Parthenon Publishing Group; 2000. p. 783-98.10. Jenkins T, Wapner R. Prenatal diagnosis of congenital disorders. In: Creasy R, Resnik R, Iams J, editors. Maternal fetal medicine. 5 th ed. Philadelphia: WB. Saunders; 2004. p. 235-73.11. Soothill P. Fetal blood sampling before labor. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 225-33.12. Holzgreve W, Miny P. Chorionic villus sampling and placental biopsy. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 207-13.13. Overton T, Fisk N. Amniocentesis. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 215-23.14. Sadock, Benjamin J., Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed. 2. Jakarta: EGC, 2010:563.15. Fatusi, Buckley, Sue. 2005. Specificity in Down syndrome. The Down Syndrome Educational Trust. p81-86.16. Riyanto, Buckley, S. and Bird, G. (2001). Memory Development for Individuals with Down Syndrome. The Down Syndrome Educational Trust, p112.120.17. N Heyn, Sietske. 2011. Down Syndrome.http://www.medicinenet.com18. Sherman SL, Allen EG, Bean LH, Freeman SB. Epidemiology of Down Syndrome. Mental Retardation And Developmental Disabilities Research Reviews. 2007; 13: 221 227.19. Wiseman, F. K., Alford, K. A., Tybulewicz, V. L. J., Fisher, E. M. C. 2009. Down Syndrome-Recent Progress and Future Prospects. Human Molecular Genetics. 18(1):R75R83.20. Shin, M., Besser, Lilah M., Kucik, James E., Lu, C., Siffel, C., Correa, A. et al. 2009. Prevalence of Down Syndrome Among Children and Adolescents in 10 Regions of the United States. Official Journal of the American Academic of Pediatrics. 124:1565-1571.21. Soetjiningsih. 1995. Tumbung Kembang Anak. Jakarta: EGC. Tarek,M. 2005. The Baby with Down Syndrome. ASJOG. 2: 362-5.22. Chen Harold. Genetics of Down Syndrome. http://emedicine.medscape.com/ article/943216. [Akses : 21 Maret 2011].23. Weijerman, Michel E. De Winter, J. Peter. 2010. The care of children with Down syndrome. Eur J Pediatr. 169:14451452.24. V. Madan, J. Williams and J. T. Lear. 2006. Dermatological manifestations of Downs syndrome. Blackwell Publishing Ltd. 31, 623629.25. Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J., Grebb, Jack A. Retardasi Mental. Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Jakarta. 1997. 35:673-696.26. Anonim. 2006. Sindroma Down.http://www.medicastore.com/sindroma down. [Akses : 6 Juni 2011].27. Anonim. 2007. Down Sydrome survival Rate Increasing; Racial Disparitas Exist In a Large Metropolitan Area. http//www.cdc. gove/od/oc/media/pressrel. [Akses : 6 Juni 2011].