tutor 10 - makalah bmsp 5 case 1

139
MAKALAH KASUS I Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas blok BMSP 5 Disusun oleh: Tutor 10 BMSP 5 Dosen Pembimbing: Dr. drg. Sri Tjahajawati, M.Kes. FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2015

Upload: zahranff

Post on 01-Feb-2016

378 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

jd

TRANSCRIPT

MAKALAH

KASUS I

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas blok BMSP 5

Disusun oleh:

Tutor 10 BMSP 5

Dosen Pembimbing:

Dr. drg. Sri Tjahajawati, M.Kes.

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2015

Daftar Nama Anggota Tutor 10 BMSP 5

1. Annisa Putri Jania 160110130121

2. Nadia Amanda N. 160110130122

3. Ghinda Nevithya Kono 160110130123

4. Amira Pradsnya P. 160110130124

5. Valencia Ignes 160110130125

6. Dikea Feradilla 160110130126

7. Cleverys Qisthi Phienna 160110130127

8. Riri Werdhany 160110130128

9. Silmi Azhari Armadiani 160110130129

10. Zahra Najmi Afifah 160110130130

11. Ridha Widyastuti 160110130131

12. Salma Nadiyah Ridho 160110130133

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Kasus I

BMSP 5 tepat pada waktunya.

Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas

mata kuliah BMSP 5 di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen

pembimbing, serta seluruh pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan

makalah ini, baik langsung maupun tidak langsung.

Penulis sudah berusaha mewujudkan makalah ini dengan sebaik-baiknya.

Apabila masih terdapat kesalahan, penulis bersedia menerima kritik dan saran

yang bersifat membangun.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya

dan pembaca pada umumnya.

Bandung, 28 Oktober 2015

Penulis

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR NAMA ........................................................................................i

KATA PENGANTAR…………………………………………………….ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………iii

BAB I Pendahuluan 1

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1. Analgesik............................................................................................3

2.1.1 Opioid……………………………………………………….3

2.1.2 Non Opioid…………………………………….……………5

2.2 Golongan NSAID...............................................................................5

2.2.1 Derivat Salisilat…………………………………………….….7

2.2.2 Pyrazolone……………………………………………………..9

2.2.3 Derivat Indole dan Indene……………………………………10

2.2.4 Derivat Asam Propionat………………………………………11

2.2.5 Anthralinic Acid Derivatives…………………………………17

2.2.6 Oxicam Derivatives…………………………………………...18

2.2.7 Aryl Acetatic Acid Derivat…………………………………...19

2.2.8 Paracetamol/Asetaminofen (N-acetyl-p-aminophenol)………..21

2.2.9 Obat untuk Rheumatoid Arthritis……………………………..26

2.2.10 Obat untuk Gout……………………………………………..30

iv

2.3 Muscle Relaxant.................................................................................38

2.3.1 Siklus Penyebab 37

2.3.2 Klasifikasi 37

2.3.3 Eperisone HCl 43

2.4 Cara Penulisan Resep Obat................................................................48

2.5 Anestesi Lokal...................................................................................51

2.6 Absorbable Hemostatics (Spons Gelatin/ Gelfoam)...................................................74

BAB III Studi Kasus 79

BAB IV Hasil Diskusi 82

BAB V Kesimpulan 83

DAFTAR PUSTAKA 85

iv

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Impaksi gigi molar ke tiga rahang bawah merupakan hal yang sering

terjadi. Seringkali impaksi ini disertai terjadinya perikoronitis yang menyebabkan

gusi bengkak dan nyeri. Sebagai dokter gigi tentunya kita harus mengetahui cara

untuk menangani rasa sakit yang di alami oleh pasien, salah satunya adalah

dengan pemberian obat NSAID.

Untuk mengatasi nyeri akibat impaksi selain dilakukan pemberian NSAID,

dilakukan juga tindakan bedah, yaitu odontektomi. Salah satu prosedur

odontektomi adalah dilakukannya anastesi lokal. Apabila pasien mengalami

masalah pembekuan darah karena dilakukan odontektomi, maka pasien harus

diberikan zat yang mengandung koagulan atau hemostasis untuk menghentikan

perdarahan dan membantu penutupan luka untuk mencegah infeksi lanjutan. Maka

dari itu, kita sebagai calon dokter gigi perlu mengetahui berbagai macam obat

yang digunakan dalam kedokteran gigi termasuk obat jenis NSAID, anastesi lokal,

hemostasis dan koagulasi.

Selain mengetahui golongan obat, kita juga harus mengetahui cara kerja

dari obat itu sendiri. Farmakokinetik adalah aspek farmakologi yang mencakup

nasib obat dalam tubuh, yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya.

Sedangkan farmakodinamik adalah ilmu yang mempelajari cara kerja obat, efek

obat terhadap fungsi berbagai organ dan pengaruh obat terhadap reaksi biokimia

dan struktur organ. Jadi untuk dapat memberikan obat yang tepat kepada pasien

hal-hal yang perlu kita ketahui antara lain adalah golongan, indikasi,

kontraindikasi, farmakokinetik, farmakodinamik, efek samping, dan dosis dari

masing-masing obat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa golongan analgesik?

1

2. Apa definisi, golongan, indikasi, kontraindikasi, efek samping, bentuk

sediaan dan bagaimana cara kerja dan penghitungan dosis parasetamol?

3. Apa golongan NSID?

4. Apa definisi, golongan, indikasi, kontraindikasi, efek samping, bentuk

sediaan dan bagaimana cara kerja dan penghitungan dosis ibuprofen?

5. Apa golongan muscle relaxant?

6. Apa definisi, golongan, indikasi, kontraindikasi, efek samping, bentuk

sediaan dan bagaimana cara kerja dan penghitungan dosis eperisone HCL?

7. Apa golongan anastesi lokal?

8. Apa definisi, golongan, indikasi, kontraindikasi, efek samping, bentuk

sediaan dan bagaimana cara kerja dan penghitungan dosis lidokain?

9. Apa definisi, golongan, indikasi, kontraindikasi, efek samping, bentuk

sediaan dan bagaimana cara kerja dan penghitungan dosis obat

hemostasis?

1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui:

1. Golongan analgesik?

2. Definisi, golongan, indikasi, kontraindikasi, efek samping, bentuk sediaan

dan bagaimana cara kerja dan penghitungan dosis parasetamol?

3. Golongan NSID?

4. Definisi, golongan, indikasi, kontraindikasi, efek samping, bentuk sediaan

dan bagaimana cara kerja dan penghitungan dosis ibuprofen?

5. Golongan muscle relaxant?

6. Definisi, golongan, indikasi, kontraindikasi, efek samping, bentuk sediaan

dan bagaimana cara kerja dan penghitungan dosis eperisone HCL?

7. Golongan anastesi lokal?

8. Definisi, golongan, indikasi, kontraindikasi, efek samping, bentuk sediaan

dan bagaimana cara kerja dan penghitungan dosis lidokain?

9. Definisi, golongan, indikasi, kontraindikasi, efek samping, bentuk sediaan

dan bagaimana cara kerja dan penghitungan dosis obat hemostasis?

2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Analgesik

Klasifikasi Analgesik berdasarkan mekanisme kerjanya dibagi dalam dua

kelompok yaitu analgesic opioid dan analgesik non-opioid.

2.1.1 Opioid

Analgesik opioid merupakan golongan obat yang bekerja

pada sistem saraf pusat (SSP) dan bila digunakan dalam jangka

waktu lama dapat menimbulkan ketergantungan pada sebagian

pemakai. (Mutschler,1991; Tan & Rahardja, 2002).

Analgesik Opioid merupakan kelompok obat yang

memiliki sifat seperti opium. Opium yang berasal dari getah

Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid

diantaranya morfin, kodein, tebain, dan paparevin. Analgesik

opioid terutama digunakan untuk meredakan atau

menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan

berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik

narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini,

akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan

analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran

maka istilah analgesik narkotik menjadi kurang tepat (Dewoto,

1971).

Klasifikasi obat golongan opioid berdasarkan kerjanya

pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi :

a. Agonis penuh (kuat)

b. Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)

3

c. Campuran agonis dan antagonis

d. Antagonis

Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai

efek agonis, sedangkan agonis parsial dapat menimbulkan

efek agonis, atau sebagai antagonis dengan menggeser

agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan

mengurangi efeknya. Opioid yang merupakan campuran

agonis dan antagonis adalah opioid yang memiliki efek

agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai

suatu parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor

opioid lainnya. (Jayanti, 2015)

Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan

opioid dibagi menjadi derivat fenantren, fenilheptilamin,

fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan. (Jayanti, 2015)

Tabel 1. Pembagian obat golongan opioid (Jayanti, 2015)

STRUKTUR

DASAR

Agonis

Kuat

Agonis

Lemah

sampai

sedang

Campuran

agonis-

antagonis

Antagonis

Fenantren

Morfin

Hidromorfon

Oksimorfon

Kodein

Oksikodon

Hidrokodon

Nalbufin

Buprenorfin

Nalorfin

Nalokson

Naltrekson

Fenilheptilamin Metadon Propoksifen

FenilpiperidinMeperidin

FentanilDifenoksilat

Morfinan Levorfanol Butorfanol

Benzomorfan Pentazosin

4

2.1.2 Non Opioid

Analgesik non-opioid merupakan golongan obat yang

walaupun kerja utamanya adalah pada sistem saraf perifer dengan

menghambat mediator penyebab nyeri, contohnya pada golongan

NSAID menghambat enzim siklooksigenasi yang fungsinya

mengubah asam arakhidonat menjadi prostaglandin yang

merupakan mediator rasa nyeri, dapat pula bekerja pada sistem

saraf pusat. Analgesik non-opioid dapat dibedakan menjadi dua

golongan yaitu golongan steroid (betametason, hidrokortison) dan

golongan non-steroid/NSAIDs (Non-Steroidal Anti Inflammatory

Drugs) (Mutschler,1991; Tan & Rahardja, 2002).

2.2 Golongan NSAID

Obat anti inflamasi non-steroid (NSAID) yang juga dikenal sebagai

analgesik nonopioid merupakan obat yang menghilangkan rasa sakit tanpa

berinteraksi dengan reseptor opioid dan tidak menekan SSP dan tidak memiliki

ketergantungan obat atau sifat penyalahgunaan obat serta memiliki aktivitas

antipiretik juga. Obat ini terutama bertindak atas mekanisme nyeri perifer dan

juga dalam SSP dalam meningkatkan ambang nyeri. (Singh, 2007)

Obat golongan NSAID dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

5

Tabel 2 Klasifikasi Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (Singh, 2007)

Jadi, obat ibuprofen yang diberikan pada pasien dalam kasus ini

merupakan golongan obat anti inflamasi non-steroid atau analgesik non

opioid yang termasuk kelompok derivate asam propionate.

6

2.2.1 Derivat Salisilat

Salisilat adalah ester atau garam-garam dari asam salisilat. Asam

asetil salisilat (aspirin) dengan cepat dikonversi dalam tubuh menjadi

asam salisilat dan menghasilkan tindakan farmakologis. salisilat

meredakan nyeri oleh aksi sentral dan perifer. Situs aksi analgesia pusat

tampaknya terjadi di hipotalamus. Derivat salisilat tidak memiliki tindakan

kortikal pada komponen reaksi rasa sakit tetapi menimbulkan ambang

persepsi nyeri. Tidak seperti morfin, mereka tidak menghasilkan sedasi

dan tidak ada toleransi obat atau ketergantungan dan tidak efektif terhadap

nyeri viseral. (Singh, 2007)

Komponen perifer aksi analgesik derivat salisilat adalah karena

penghambatan sintesis prostaglandin yang peka terhadap reseptor rasa

sakit untuk rangsangan mekanik dan kimia. Aspirin menghambat sintesis

prostaglandin dan blok sensitisasi mekanisme nyeri. (Singh, 2007)

`Salisilat menurunkan suhu tubuh yang meningkat. Hipotalamus

pusat termoregulasi bertindak sebagai termostat tubuh yang

mempertahankan keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan

panas. Salisilat mengembalikan thermostat hipotalamus yang terganggu

selama demam. Derivat salisilat tidak mempengaruhi produksi panas

tetapi mereka meningkatkan kehilangan panas dengan menyebabkan

vasodilatasi dan berkeringat. Tindakan antipiretik dari salisilat mungkin

karena penghambatan sintesis prostaglandin. (Singh, 2007)

.Salisilat diabsorbsi baik setelah administrasi oral. Mereka

diabsorbsi dari lambung dan sebagian besar dari bagian atas usus halus.

Setelah pemberian oral, konsentrasi plasma yang cukup ditemukan dalam

waktu setengah jam, tingkat plasma puncak dicapai dalam waktu dua jam

dan sekitar 50 persen dari obat tersebut tereliminasi dalam waktu 24 jam

dan waktu paruh plasma adalah dua sampai delapan jam. Setelah absorbsi,

sekitar 80 persen salisilat terikat ke protein plasma (terutama albumin) dan

cepat didistribusikan dalam jaringan. Aspirin dideasetilasi untuk asam

7

salisilat yang merupakan bentuk utama dan aktif. Salisilat terutama

dimetabolisme di hati dan diekskresikan dalam urin dalam bentuk konjugat

dengan glisin dan asam glukuronat. (Singh, 2007)

Adverse effect dari derivat salisilat berupa mual, muntah, iritasi

lambung iritasi dan darah samar pada tinja. Reaksi alergi termasuk

urtikaria, ruam kulit, rhinorrhoea, serangan asma dan reaksi anafilaksis.

Administrasi berkepanjangan salisilat menyebabkan sindrom yang disebut

'salicylism' yang ditandai dengan sakit kepala, pusing, tinnitus, vertigo,

kesulitan dalam pendengaran, keremangan visi, kebingungan mental,

mengantuk, kelesuan, hiperventilasi dan ketidakseimbangan elektrolit.

Overdosis salisilat akut ditandai dengan salicylism yang terdiri dari

tinnitus, vertigo dan tuli, hipertermia, ensefalopati toksik (agitasi,

kebingungan dan kejang-kejang diikuti dengan koma), dehidrasi (karena

hiperpireksia, berkeringat dan muntah), gangguan keseimbangan asam

basa dan perdarahan petekie. (Singh, 2007)

Kegunaan theurapetik dari derivat salisilat adalah sebagai berikut.

(Singh, 2007)

1. Dalam Kedokteran Gigi: NSAID adalah kebanyakan obat penting

untuk pengelolaan sakit gigi akut. Obat tertentu dapat dipilih atas dasar

keparahan nyeri dan kehadiran gejala lain yang terkait misalnya untuk

nyeri ringan ke sedang, parasetamol umumnya direkomendasikan, dan

pada sakit yang akut, diklofenak sendiri atau dikombinasikan dengan

parasetamol umumnya lebih dipilih. Tetapi pemeliharaan harus diberikan

setiap pada pasien yang mengalami peptikum ulkus, asthma atau riwayat

hipersenstivitas.

2. Sebagai analgesik antipiretik: Salisilat efektif dalam pengobatan

jenis nyeri ringan sampai sedang. Mereka digunakan dalam pengobatan

sakit kepala, bodyache, arthralgia, neuralgia dan dismenorea. Mereka

juga efektif untuk demam.

8

3. Sebagai antiinflamasi: Salisilat umum digunakan dalam

pengobatan berbagai kondisi peradangan seperti arthritis dan

fibromyositis.

4. Sebagai antirematik: Salisilat adalah obat pilihan dalam

pengobatan rheumatoid arthritis. Dalam dosis yang lebih besar mereka

menekan pembengkakan, imobilitas dan kemerahan pada sendi yang

terlibat. Mereka juga berguna dalam demam rematik akut. Mereka

menghasilkan penurunan rasa sakit, pembengkakan dan kekakuan pada

pagi hari pada pasien rheumatoid arthritis.

5. Pengobatan gout: Dalam dosis besar, aspirin efektif dalam

pengobatan asam urat.

6. Sebagai agen antiplatelet: Dengan menghambat agregasi platelet

aspirin dapat menurunkan kejadian reinfarction. Telah digunakan untuk

mencegah pembentukan platelet fibrin trombus pada pasien dengan

penyakit jantung iskemik.

2.2.2 Pyrazolone

Derivat pyrazolone memiliki 2 turunan obat yaitu Phenylbutazone

dan Oxyphenbutazone. Keduanya mengandung bahan anti-

inflamasi,namun keduanya dapat menyebabkan iritasi dan perdarahan pada

lambung. Selain itu kedua obat tersebut juga dapat menyebabkan retensi

sodium dan air dalam tubuh yang mengakibatkan keparahan hipertensi dan

gagal jantung. Phenylbutazone dan Oxyphenbutazone digunakan untuk

merawat osteoathritis, rheumatoid athritis, phlebitis, gout, dan ankylosing

spondylitis. Namun, kedua obat ini dapat meracuni sumsum tulang dan

dikarenakan efek samping yang dihasilkan lebih banyak daripada

keuntungannya, maka obat ini pemakaiannya terbatas. (Cawson,1995)

Phenylbutazone memiliki nama dagang Butazolidin dengan

sediaan tablet 100mg. Dosis yang digunakan pada orang dewasa adalah

300mg/harinya dengan pembagian 100mg selama 3 kali sehari sesudah

9

makan. Butazolidin diindakasikan untuk perawatan arthropathies kronis

dengan disertai inflamasi. Butazolidin kontraindikasi dengan pasien

dengan riwayat alergi dengan NSAID, hipertensi, dan pada ibu hamil dan

menyusui. Phenylbutazone memiliki waktu paruh 8 jam. (Robin, 1996)

2.2.3 Derivat Indole dan Indene

Derivat indole dan indene terdiri dari beberapa obat yang berguna dalam perawatan penyakit inflamasi akut maupun kronis

Indomethacin

Indomethacin adalah methylated indole acetic acid dengan sifat antiinflamasi yang kuat. Indomethacin merupakan inhibitor COX yang poten serta obat antiinflmasi in vivo yang poten dibandingkan aspirin. Indomethacin mempengaruhi berbagai kejadian biomekanis dan selular yang terjadi di dalam proses inflamasi. (Yagiela, 2011)

Secara klinis, indomethacin memproduksi efek antipiretik dan analgesik, terlebih pada kasus yang disertai inflamasi. Indomethacin tidak digunakan sebagai antipiretik saja atau analgesik ringan karena potensial toksiknya. Biasanya indomethacin digunakan pada kasus rheumatoid arthritis, ankylosing spondylytis, dan ostheoarthritis di mana obat yang lebih tidak berbahaya tidak efektif. Selain itu, indomethacin juga digunakan sebagai agen antiinflamasi jangka pendek dalam perawatan bursitis, tendinitis, dan serangan akut pada arthritis yang parah.

Mekanisme kerja obat ini melalui dua cara; tocolytic (untuk menghentikan kerja prematur) dan untuk penutupan duktis anterior yang poten. Kedua mekanisme ini cara kerjanya sama yaitu menghambat produksi PG. Tidak ada indikasi untuk perawata kedokteran gigi.

Indometachin diserap oleh traktus GI, konsentrasi plasma puncak mencapai 1-2 jam. Obat ini berikatan besar dengan protein plasma. Setelah dosis tunggal, obat dieliminasi melalui urin setelah 24 jam berikutnya. Paruuh-waktu plasma sekitar 2,5 jam.

Efek samping dari pemakaian indometachin ini biasanya terjadinya gangguan pada GI. Yang paling sering adalah nyeri lamung, nausea, dan diare. Obat ini kontraindikasi bagi pasien dengan masalah GI. Selain itu, obat ini memiliki efek terhadap SSP berupa sakit kepala hebat dan pusing. Efek samping lainnya berupa reaksi deramtologi dan alergi, leukopenia, anemia aplastik, trombositopenia, dan hepatitis. Indomethacin sangat

10

berpotensi untuk berinteraksi dengan obat lain. Pengonsumsian indmethacin bersamaan atau berdekatan dengan antikoagulan mulut dapat sanagat berbahaya.

Etodolac

Digunakan untuk perawatan nyeri akut dan untuk manajemen tanda dan gejala rheumatoid arthritis dan osteoarthritis. Walaupun tergolong sebagai OAINS nonselektif, etodolac tiga kali lebih selektif untuk kemudahan induksi COX-2 isoenzyme daripada konstitutif COX-1 isoenzyme. Hal ini menyebabkan rendahnya insidensi dari efek samping pada GI dan ulserasi walaupun setelah pemakaian etodolac jangka panjang dibandingkan pemakaian OAINS yang lain.

Konsentrasi plasma puncak dicapai dalam 1-2 jam setelah administrasi oral. Paruh waktu plasma sekitar 7 jam, dan pemakaian 200-400 mg setiap 6-8 jam untuk penghilang nyeri. Dosis harian tidak boleh melebihi 1200 mg. Onset analgesia kira-kira muncul setelah 30 menit administrasi oral dengan durasi 4-6 jam. (Yagiela, 2011)

Pada pasien dengan nyeri pasca impaksi, 200 mg etodolac memberikan efek analgesia lebih tinggi dibandingkan 650 mg aspirin, tetapi durasinya lebih sedikit. Pada sebagian pasien, dosis 400 mg secara umum meredakan nyeri selama 5-6 jam sebelum adanya remedikasi. Onset of action etodolac terlalu lambat untuk dijadikan opsi perawatan nyeri postsurgical yang akut. (Yagiela, 2011)

Sulindac

Termasuk derivat indene, juga merupakan sulfoxide. Sulindac adalah prodrug yang harus direduksi menjadi sulfide sebelum aktif sebagai OAINS. Konsentrasi plasma puncak sekitar 2 jam. Sulindac sulfide memiliki paruh waktu sekitar 15 jam. Paruh waktu yang lama ini terjadi karena obat ini masuk melalui sirkulasi enteroherpatic. (Yagiela, 2011)

2.2.4 Derivat Asam Propionat

Definisi

Turunan asam propionat yang yang disetujui untuk digunakan

dalam pengobatan gejala rheumatoid arthritis, osteoarthritis, ankylosing

spondylitis, arthritis gout akut dan, juga digunakan sebagai analgesik,

11

untuk tendinitis akut dan bursitis, dan dismenore primer. Ibuprofen, yang

paling umum digunakan tNSAID di Amerika Serikat adalah anggota

pertama dari kelas asam propionat NSAID yang dapat digunakan secara

umum, dan tersedia tanpa resep. Naproxen, juga tersedia tanpa resep,

memiliki panjang tetapi variabel paruh, membuat administrasi dua kali

sehari layak (dan mungkin sekali sehari pada beberapa individu).

Oxaprozin juga memiliki paruh yang panjang dan mungkin dapat

diberikan sekali sehari.

Studi klinis menunjukkan bahwa turunan asam propionat

sebanding dalam keberhasilan terhadap aspirin untuk kontrol tanda-tanda

dan gejala rheumatoid arthritis dan osteoarthritis, mungkin dengan

meningkatkan tolerabilitas. Ibuprofen, naproxen, flurbiprofen, fenoprofen,

ketoprofen, dan oxaprozin, tersedia di Amerika Serikat. Beberapa agen

tambahan di kelas ini sedang digunakan atau diteliti di negara lain. Ini

termasuk fenbufen, carprofen, pirprofen, indobufen, dan asam tiaprofenic.

Properti Farmakologi Sifat farmakodinamik dari turunan asam propionat

tidak berbeda secara signifikan. Semua adalah penghambat

siklooksigenase nonselektif dengan efek dan efek samping umum untuk

tNSAIDs lainnya. Meskipun ada cukup banyak variasi dalam potensi

mereka sebagai inhibitor COX, ini bukan konsekuensi klinis yang jelas.

Beberapa turunan asam propionat, khususnya naproxen, memiliki efek

penghambatan yang menonjol pada fungsi leukosit, dan beberapa data

menunjukkan bahwa naproxen mungkin memiliki khasiat sedikit lebih

baik berkaitan dengan analgesia dan relief pagi kekakuan. (Hart dan

Huskisson, 1984).

Studi epidemiologis menunjukkan bahwa sementara risiko relatif

infark miokard berubah dengan ibuprofen, itu dikurangi dengan sekitar

10% naproxen, dibandingkan dengan penurunan dari 20% menjadi 25%

oleh aspirin. Ini saran perjanjian manfaat dengan farmakologi klinis

naproxen yang menunjukkan bahwa beberapa individu diobati dengan 500

mg dua kali sehari dapat mempertahankan penghambatan trombosit

seluruh interval dosis.

12

Sifat Obat

a. Farmakokinetik

Obat NSAID derivate propionate ini secara farmakokinetik akan

diabsorbsi di gastrointestinal, dengan kecepatan absorbsi yang cepat.

Kecepatan absorbs tersebut dapat dicegah dengan mengonsumsi beberapa

obat ataupun makanan di dalam lambung. Selanjutnya, derivate propionate

ini dimetabolisme dihati dengan hidroksilasi dan konjugasi glukoroid.

Ibuprofen, fenoprofen dan ketoprofen mempunyai waktu paruh yang

pendek yaitu 1-4 jam sedangkan naproksen 15 jam. Selanjutnya obat

tersebut akan di ekskresikan di urin.

b. Farmakodinamik

Sama seperti golongan NSAID lainnya, derivate asam propionate

ini juga bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin dengan

nonselektif Cox inhibitor.

Berikut dibawah ini adalah jenis-jenis obat dari golongan derivate

asam propionate :

1.) Naproxen

Merupakan salah satu derivat asam propionat yang efektif dan efek

samping obat ini lebih rendah dibandingkan derivat asam propionat lain.

Absorpsi obat ini berlangsung baik melalui lambung dan kadar puncak

plasma dicapai dalam 2-4 jam. Metabolismenya dihati dan waktu paruh

obat ini 14 jam, sehingga cukup diberikan 2 kali sehari. Ekskresi terutama

dalam urin, baik dalam bentuk utuh maupun sebagai konjugat glukuronida

dan demetilat. Interaksi obat sama seperti ibuprofen yaitu menghambat

enzim sikloogsigenase dalam biosintetis prostaglandin. Naproxen bersama

ibuprofen dianggap yang paling tidak tosik diantara derivat asam

propionat.

13

Indikasi obat ini yaitu penyakit reumatik, juvenile idiophatic

arthritis, dysmenorrhea, gout akut, migraine, dan nyeri sedang sampai

berat. Kontraindikasinya pada penderita asma, ibu hamil trisemester 3, dan

rhinitis. Efek samping yang dapat timbul adalah dispepsia ringan sampai

perdarahan lambung. Efek samping terhadap sistem saraf pusat berupa

sakit kepala, pusing, rasa lelah, dan ototoksisitas. Terhadap kulit seperti

erythema multiforme, SJS, dan TNE. Dosisnya 250 mg per 6-8 jam dengan

maksimal 1375 mg sehari.

Sama seperti ibuprofen, dibidang kedokteran gigi obat ini juga

digunakan untuk meredakan nyeri akut paska operasi.

Nama dagang obat yang mengandung naproxen adalah Anaprox,

Naprosyn, dan Aleve

2.) Fenoprofen

Fenoprofen adalah derivate asam propionate yang didalam tubuh

dapat berfungsi sebagai analgesic dan antiinflamasi. Obat ini diabsorbsi

dilambung, selanjutnya akan dimetabolism dihati dan terakhir diekskresi

bersamaan dengan urin.

Dosis oral fenoprofen mudah diserap tapi tidak lengkap (85%

diserap). Keberadaan makanan menghambat penyerapan lambung dan

menurunkan konsentrasi puncak plasma yang biasanya dicapai dalam

waktu 2 jam. Administrasi bersamaan dengan antasida tampak tidak

mengubah konsentrasi yang dicapai.

Setelah penyerapan, fenoprofen berikatan dengan protein, yang

ekstensif dimetabolisme, dan diekskresikan dalam urin dengan waktu

paruh sekitar 3 jam.

Indikasi

Penggunaan Fenoprofen ini dapat diindikasikan untuk beberapa

penyakit seperti Rheumatoid athritis (peradangan sendi kronis),

14

Osteoathritis (penyakit degeneratif tulang rawan dan sendi) dan Penyakit

degeneratif sendi

Kontraindikasi

Fenoprofen memiliki beberapa kontraindikasi dalam pemakaiannya

diantaranya adalah obat ini memeiliki sifat hipersensitivitas terhadap

aspirin atau NSAIDs lain, trimester ketiga kehamilan dan laktasi.

Efek samping

Efek samping gastrointestinal fenoprofen yang mirip dengan ibuprofen

atau naproxen dan terjadi di sekitar 15% pasien, yaitu dapat berupa mual,

Dyspepsia (nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas), ulserasi

saluran pencernaan, perdarahan, pusing, diare, sembelit, epistaksis

(mimisan), Sakit kepala, ruam (kemerahan pada kulit), hipertensi.

Dosis

Dosis fenoprofen yang dapat diberikan yaitu 200 mg 4-6 kali/hari sesudah

makan dan atau 300-600 mg 3-4 kali/hari sesudah makan.

15

3.) Ketoprofen

Fenoprofen adalah derivate asam propionate yang didalam tubuh

dapat berfungsi sebagai analgesic dan antiinflamasi. Obat ini diabsorbsi

dilambung, selanjutnya akan dimetabolism dihati dan terakhir diekskresi

bersamaan dengan urin.

Ketoprofen menunjukkan farmakokinetik profil yang mirip dengan

fenoprofen. Ketoprofen memiliki waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam

kecuali pada orang tua, sedikit berkepanjangan. Ketoprofen terkonjugasi

dengan asam glukuronat dalam hati, dan konjugat diekskresikan dalam

urin. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal menghilangkan obat lebih

lambat.

Indikasi

Indikasi ketoprofen hampir serupa dengan fenoprofen, yaitu pada

penderita Rheumatoid athritis (peradangan sendi kronis), Osteoathritis

(penyakit degeneratif tulang rawan dan sendi) dan Dysmenorrhea (nyeri

haid).

Kontraindikasi

Kontraindikasi ketoprofen adalah:

a. Dyspepsia (nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas)

b. Hipersensitivitas terhadap aspirin dan NSAIDs lain

c. Asma bronkialis

d. Angioedema (pembengkakan kulit akibat alergi)

e. Urtikaria (gatal-gatal) atau rhinitis (bersin-bersin akibat alergi)

f. Penyakit ginjal berat

16

Efek samping

Efek samping yang dapat diakibatkan ketoprofen adalah dapat berupa

mual, Dyspepsia (nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas),

ulserasi saluran pencernaan, perdarahan, pusing, diare, sembelit, epistaksis

(mimisan), Sakit kepala, ruam (kemerahan pada kulit), hipertensi.

Dosis

a. Analgesik : 25 mg 3-4 kali/hari sesudah makan

b. Antiinflamasi : 50-75 mg 3-4 kali/hari sesudah makan

2.2.5 Anthralinic Acid Derivatives

Mefenamic acid

Mefenamic acid atau asam mefenamat merupakan inhibitor

cyclooxygenase dengan sifat analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik.

(Singh, 2007)

Mefenamic acid menghambat sintesis dan aktivitas dari PGs. Pada

dosis 200 sampai 250, sifat analgesik sebanding dengan aspirin dengan

dosis yang sama. (Yagiela, 2011)

Obat jenis ini mudah diabsorbsi dari traktus gastrointestinal, terikat

secara ekstensif pada protein plasma, dan diekskresi terutama pada urin

sebagai obat yang tidak berubah atau metabolit terkonjugasi. (Singh, 2007)

Indikasi

Mefenamic acid diindikasikan untuk penyembuhan rasa sakit

sedang (tidak lebih dari satu minggu) pada nyeri otot, sendi, dan jaringan

17

lunak, dysmenorrhoea, rheumatoid dan osteoarthritis, sebagai antipiretik,

pada sakit gigi, nyeri postoperative atau postpartum. (Singh, 2007)

Potensi mefenamic acid untuk menghasilkan diskrasia darah serius

dan efek samping gastrointestinal (dyspepsia, diare) membatasi

penggunaan mefenamic acid hanya untuk administrasi jangka pendek dan

intermitten. (Yagiela, 2011)

Efek samping

Beberapa efek samping mefenamic acid diantaranya rasa kantuk,

diare, ruam, trombositopenia, anemia hemolitik, dan anemia aplastik.

Kejang-kejang mungkin terjadi pada overdosis. (Singh, 2007)

Sebagai tambahan, fenamates memiliki efek samping yang khas

seperti NSAIDs lainnya (tinnitus, perdarahan lambung, dan penurunan

fungsi keeping darah). Telah ditemukan pula toksisitas yang lebih serius,

dalam bentuk fungsi ginjal dan hati yang abnormal. (Yagiela, 2011)

2.2.6 Oxicam Derivatives

Piroxicam

Piroxicam adalah obat golongan NSAID yang baru dengan

memiliki efek antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik. Obat ini dapat

menghilangkan rasa sakit dan kekauan yang efektif dan bersifat lama.

Piroxicam ini bekerja secara peripheral dengan mencegah sintesis dari

prostaglandin dengan reversible inhibisi dari cyclooxygenase. (Singh,

2007)

18

Farmakokinetik

Absorpsi : pada GIT, berkurang jika diberi bersamaan dengan makanan,

dan mengikat 99% plasma protein.

Metabolisme: pada liver

Ekskresi: melalui renal, fecal, dan sebagai piroxicam yang tidak

dimetabolisme

Efek samping

Efek samping dari piroxicam meliputi mual, muntah, sakit pada bagian

epigastrik, kulit memrah, jarang ditemukan haematuria, proteinuria,

hepatitis, dan depresi. (Singh, 2007)

Indikasi

Pada rheumatoid arthritis akut dan kronik, dan penyakit rheumatic lainnya

seperti osteoarthritis, ankylosing spondylitis, servikal spondylosis, akut

gout arthritis, dan akut musculoskeletal. (Singh, 2007)

Dosis

Untuk meringankan osteoarthritis, dosis yang dianjurkan adalah 20mg per

oral sekali dalam sehari.

Tenoxicam

Tenoxicam merupakan congener dari piroxicam dengan sifat dan

kegunaan yang sama seperti piroxicam. (Singh,2007)

2.2.7 Aryl Acetatic Acid Derivat

Merupakan golongan obat NSAID (Non Steroid Anti Inflamtion

Drug. Terdiri dari 2 jenis yaitu Diclofenac (voveran) dan Aceclofenac

(Aceclo).

19

Diclofenac

Merupakan golongan NSAID yang berfungsi sebagai antiheuretik,

antiinflamasi, analgesic, dan an-sifat tipyretic. Obat ini berfungsi

mengobati kondisi inflamsi, sakit, dan dismenorrhea. Diclofenac juga bias

digunakan sebagai topical gel dan formulasinya menempel untuk

mengobati nyeri sendi dan otot da obat tetes mata untukk mengobati

inflamasi pada ocular. (Yagiela, 2011 dan Singh 2007)

Farmakodinamik : penghambatan prostaglandin sehingga efektif sebagai

pereda rasa nyeri dan inflmasi.

Farmakokinetik : memiliki ikatan puncak pada konsentrasi plasma sekitar

2-3 jam setelah admisnistrasi oral dan memunyai waktu paruh 1-2 jam.

Dosis : 50-150 mg BD-TDS, 25-75mg IM

Efek samping dari diclofenac adalah mual, muntah,

ketidaknyamanan epigastric, ruam kulit, ulkus peptikum. Hal ini

digunakan dala pengobatan inflamasi dan bentuk degenerative rematik,

rheumatoid arthritis, ankylosis spondyle, osteoarthritis/ (Singh, 2007)

Acelofenac

Merupakan golongan NSAID yang berfungsi sebagai antiinflamasi

dan pereda rasa nyeri. Merupakan jenis obat baru, dari Aryl Acetatic Acid

Derivat. (Singh, 2007)

Farmakodinamik: menghambat kerja sintesis dari IL-1b dan TNF-a dan

menghambat produksi dari prostaglandin.

20

Farmakokinetik: obat sangat cepat diserap setelah pemberian secara oral

dan sangat terikat dengan protein plasma dan bioavailbiliti hamper 100 %.

Hal ini dimetabolisme menjadi metabolit oleh hydroxyaceclofenac.

Dosis: 100-200 mg BD

Efek samping dyspepsia, nyeri abdominal, mual an diarrho. Selain itu obat

ini diindikasikan untuk menghilangkan nyeri dan peradanga di

osteoarthritis, rheumatoid arthritis, dan trauma musculo-skeletal

2.2.8 Paracetamol/Asetaminofen (N-acetyl-p-aminophenol)

Definisi

Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non

narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di

Sistem Syaraf Pusat (SSP). Parasetamol digunakan secara luas di

berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-

antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat

flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono

2002)

Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit

fenasetin dan telah digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995).

Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri

kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung,

2011). Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik,

antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak

menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993).

Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik

sama dengan asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak

seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang,

dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat

21

antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun

Parasetamol.

Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek

samping yang paling ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak

di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada

pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anak-anak

dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja

lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri.

(Sartono 1996)

Gambar 1. Struktur kimia asetaminofen dan analognya

Sifat Obat

a. Farmakokinetik

Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.(Lusiana Darsono 2002)

22

b. Farmakodinamik

Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.

Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Mahar Mardjono 1971).

Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase (COX-3) pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik. (Aris 2009)

Indikasi penggunaan Parasetamol adalah untuk perawatan sakit

ringan hingga sedang. Parasetamol memiliki bahan anti-inflamasi dan

antipiretik sehingga efektif dalam menghilangkan nyeri. Parasetamol

termasuk obat analgesik yang aman dan efektif sehingga dapat digunakan

oleh anak-anak. Parasetamol diserap dengan baik melalui administrasi

oral. (Robin,1996)

Kontra Indikasi dari penggunaan Parasetamol adalah bagi pasien

dengan riwayat penyakit hati, hepatitis atau penyakit hepatoksik lainnya.

Hal itu disebabkan karena penggunaan Parasetamol dapat menyebabkan

hepatoksisitas. Kerusakan hati dapat muncul dengan penggunaan jangka

23

panjang dan besarnya dosis dari parasetamol. Selain itu, pada pasien

dengan alergi obat NSAID tidak disarankan untuk mengkonsumsi

parasetamol karna dapat menyebabkan alergi. (Robin,1996)

Gambaran Klinis

Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium :

1. Stadium I (0-24 jam)

Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual, muntah,

pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah

tanpa berkeringat.

2. Stadium II (24-48 jam)

Gejala sistim pencernaan menghilang dan muncul ikterus, nyeri perut

kanan atas, meningkatnya bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula

gangguan faal ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.

3. Stadium III ( 72 - 96 jam )

Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul kembali,

ikterus dan terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum.

4. Stadium IV ( 7- 10 hari)

Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif

dapat terjadi sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan

kematian. (Lusiana Darsono 2002)

Sediaan

Parasetamol tersedi sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500mg

atau sirup yang mengandung 120mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat

sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan.

(Mahar Mardjono 1971)

24

Penggolongan

a. Indikasi

Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam

dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan

bagi nyeri yang ringan sampai sedang (Cranswick 2000).

b. Kontraindikasi

Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif

terhadap obat ini (Yulida 2009).

Dosis

Dosis parasetamol untuk dewasa 300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g

per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali, dengan maksimum

1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60mg/kali, pada keduanya diberikan

maksimum 6 kali sehari. .(Mahar Mardjono 1971).

Efek Samping

Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi.

Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih

berat berupa demam dan lesi pada mukosa.

Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada

pemakaian kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan

mekanisme autoimmune, defisiensi enzim G6PD dan adanya metabolit

yang abnormal.

Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia jarng

menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3%

Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan

masalah pada takar lajak.

Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan penggunaan

Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang digunakan sebagai obat

tunggal, hubungan sebab akibat sukar disimpulkan. Eksperimen pada

hewan coba menunjukkan bahwa gangguan ginjal lebih mudah terjadi

akibat Asetosal daripada Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik

25

dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi dapat

menyebabkan nefropati analgetik.

Penggunaan di Kedokteran Gigi

Diketahui secara luas bahwa aspirin memiliki efek samping

sehingga menyebabkan banyak dokter gigi menggantinya dengan

parasetamol pada pengobatan nyeri postoperatif, meskipun efek anti-

inflamasinya minor. Dalam suatu studi, aspirin dan parasetamol memiliki

keefektifitas yang sama dalam membebaskan rasa nyeri setelah ekstraksi

molar ketiga. Dosis maksinal asetaminofen untuk analgesik sampai

1000mg. Untuk rasa nyeri postoperatif, parasetamol sering digunakan

dengan kombinasi agen opioid analgesik.

2.2.9 Obat untuk Rheumatoid Arthritis

Senyawa Emas

Umumnya diindikasikan pada kasus aktif dimana arthritis

berkembang cepat meskipun terapi NSAID sudah tepat. Emas parenteral

menunjukkan penurunan erosi pada tulang sendi. Senyawa emas

menghambat sintesis PG, menekan reaksi imun sel, menghambat hidrolasi

lisosom, dan khususnya mengurangi aktifitas sel mononuklear. Berbeda

dengan NSAID, garam emas tidak memiliki sifat antipiretik atau analgesik

pada kondisi non-rheumatik. (Yagiella, 2007)

Karena garam emas konvensional seperti autothiglukosa tidak

diabsorbsi dengan baik di GI, dosis diberikan secara IM. Distribusinya

bergantung pada dosis dan intervalnya. Toksik yang terdapat dalam

aurothioglukosa, termasuk pruritus, dermatitis (ringan sampai berat),

stomatitis (termasuk glositis), kolitis, dan vaginitis. Diskardia darah,

termasuk leukopenia, agranulositosis dan anemia aplastik juga dilaporkan.

Reaksi nitrinoid, seperti hipotensi ortostatik, kulit kemerahan dan nausea

seringkali terlihat dengan administrasi nitrogliserin, setelah injeksi.

26

Gangguan pengecapan pada pasien rheumatoid artitis merupakan alasan ke

dokter gigi. (Yagiella, 2007)

Auranofin adalah bentuk efektif emas secara oral, lebih sedikit

toksik dibanding chrysotheraphy parenteral dengan efek samping berupa

diare. Pilihan antara auranofin dan aurothioglukosa tergantung dari

keparahan penyakit, respon dari terapi sebelumnya dan keinginan untuk

menjauhi injeksi. (Yagiella, 2007)

Agen Antimalaria

Klorokuin atau hidroklorokuin memiliki efek anti-inflamasi,

termasuk perbaikan lokomasi neutrofil dan kemostasis eosinofil yang

digunakan pada pengobatan rheumatoid arthritis dan lupus eritematosa.

Umumnya diadministrasikan pada konjuntiva dengan agen anti inflamasi

lain untuk menyembuhkan arthritis ringan atau penisilamine untuk kasus

berat. Kemajuannya sangat lambat, memerlukan 3-6 bulan. Efek toksis lain

termasuk GI, dermatologi dan gangguan neuropsikiatri. (Yagiella, 2007)

Penisilamine

Adalah turunan dari penisilin yang diganakan sebagai agen khelat untuk

pengobatan keracunan logam berat. Penisilamine memiliki sifat

imunosupresif dan imunostimulan namun tanpa antibakteri. Mirip dengan

senyawa emas, diindikasikan pada kasus rheumatoid arthritis yang sulit

disembuhkan oleh senyawa lain. Sama seperti chrysotherapy, penisilamine

perlu diadministrasikan selama beberapa bulan hingga perubahan terlihat.

Efek samping pada awal terapi berupa kulit kemerahan, reaksi GI,

stomatitis dan gangguan pengecapan. (Yagiella, 2007)

Sulfasalazine

Adalah derivat sulfonamide yang telah digunakan untuk

pengobatan kolik ulseratif dan rheumatoid arthritis. Senyawa ini memiliki

efek anti inflamasi dan imunomodulator. Setelah administrasi oral,

sulfasalazine dihidrolisis oleh bakteri enterik untuk menghasilkan

27

sulfonamide sulfapiridin dan 5-aminosalisilat. Efek samping terbesar

adalah gangguan GI, diskrasia darah, SJS, hepatitis dan neuropati perifer.

Pasien dengan alergi sulfonamid atau salisilat dilarang menerima

sulfasalazine. (Yagiella, 2007)

Immunosuppressants dan Antineoplastics

Immunosuppressants berupa azathioprine dan cyclosporine, serta

antineoplastics berupa cyclophosphamide dan methotrexate efektif dalam

meredakan gejala dan memperlambat perkembangan penyakit arthritis

rheumatoid. Methotrexate telah menjadi pilihan pertama DMARD untuk pasien

arthritis rheumatoid. Jika dibandingkan dengan gold, anti malaria, dan

penicillamine, onset of action dari methotrexate lebih cepat. (Yagiela, 2007)

Farmakokinetik:

Karena methotrexate, cyclophosphamide, azathioprine, and cyclosporine

merupakan general systemic immunosuppressants dan mempengaruhi banyak

komponen respon inflamasi, mekanisme yang tepat mengenai dimana obat ini

memperbaiki arthritis rheumatoid belum diketahui. (Yagiela, 2007)

Efek Samping:

Pada pengobatan arthritis rheumatoid, dosis yang diberikan lebih rendah

dibanding dosis untuk terapi antineoplastic dan terapi organ rejection, sehingga

efek samping yang serius juga jarang terjadi. Namun obat ini tetap dapat

menyebabkan keracunan seperti, promoting infections, blood dyscrasias,

nephrotoxicity, dan neoplastic transformation. Pada rongga mulut, cyclosporine

dapat menyebabkan gingival hyperplasia, sedangkan methotrexate dan

cyclophosphamide dapat menyebabkan stomatitis dan mucositis. Karena salah

satu aksi dari methotrexate adalah untuk mengurangi sintesis asam folat dalam

jaringan yang aktif berproliferasi, efek sampingnya dapat diminimalisir dengan

penggunaan bersamaan asam folat atau leucovorin. (Yagiela, 2007)

Interaksi Obat:

Penggunaan bersamaan dengan NSAIDs dapat memindahkan

methotrexate dari protein plasma dan meningkatkan konsentrasi darah bebas

28

methorextae serta meningkatkan keracunan. Interaksi farmakokinetik ini

tampaknya paling penting pada terapi methotrexate dengan dosis tinggi untuk

kanker, dan terapi methotrexate dengan dosis yang tidak rendah untuk arthritis

rheumatoid. (Yagiela, 2007)

Biologic Agents

Kemajuan di bidang teknologi telah menyebabkan perkembangan agen

biologis yang selektif dalam menargetkan komponen patogen tertentu dari respon

imun tanpa menyebabkan imunosupresi umum. Dua agen yang di administrasi

secara intravena yaitu, infliximab and etanercept, dan satu agen yang di

administrasi secara subkutan yaitu, adalimumab, target TNF-. (Yagiela, 2007)

Infliximab adalah IgG1 chimeric antibodi monoklonal terdiri dari human

constant dan murine variable regions, adalimumab adalah monoklonal anti- TNF-

manusia sepenuhnya, sedangkan etanercept adalah protein fusi dimeric yang

terdiri dari extracellular ligand- binding portion dari TNF reseptor yang terkait

pada Fc portion dari IgG1 manusia. Ketiga obat ini mengikat secara khusus

TNF-. dan menghambat pengikatan TNF-. pada reseptor yang terletak di

berbagai jenis sel inflamasi. Melalui aksi ini, aktivitas biologis TNF-.

dinetralkan, termasuk kemampuan TNF- untuk menginduksi IL-1 dan IL-6,

meningkatkan migrasi leukosit, dan mengaktifkan neutrofil dan eosinofil.

(Yagiela, 2007)

Obat ini biasanya digunakan kepada pasien dalam kondisi yang paling

parah dari sakitnya dan kepada pasien yang gagal dengan terapi methotrexate.

Infliximab dan adalimumab umunya diberikan dengan kombinasi terapi

methotrexate dosis rendah sedangkan etanercept dapat di administrasi sendiri atau

dengan kombinasi terapi methotrexate dosis rendah. (Yagiela, 2007)

Efek Samping:

Walaupun obat-obatan ini bukan imunosupresan umum, infeksi serius

bahkan fatal pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang menerima obat-obatan

ini. Hal ini banyak terjadi pada pasien yang menerima terapi imunosupresi

29

bersamaan dengan obat seperti methotrexate atau azathioprine. Reaksi infusi

seperti panas dingin, demam, dan urticaria juga pernah dilaporkan, dan lebih

mungkin terjadi pada pasien. (Yagiela, 2007)

Implications for Dentistry

Kebanyakan pasien arthritis rheumatoid yang membutuhkan dental care,

menerima satu atau lebih DMARDs untuk memperlambat perkembangan dari

penyakitnya, dan bervariasi menghambat berbagai derajat imunosupresi.

Sebelum prosedur dental surgical apapun, disarankan untuk terlebih dahulu

berkonsultasi dengan dokter rheumatologi pasien, untuk mendiskusikan

kebutuhan dari presurgical atau postsurgical antibiotic course. Pada keadaan

pasien dengan arthritis rheumatoid yang juga memiliki prosthetic joint

replacement, mungkin membutuhkan antibiotik prophylactic regimen yang telah

disetujui oleh American Academy of Orthopedic Surgeons dan the American

Dental Association. Semua pasien arthritis rheumatoid yang menerima DMARDs

harus merawat kebersihan mulut dengan baik untuk mencegah perkembang

infeksi intar oral yang serius. (Yagiela, 2007)

2.2.10 Obat untuk Gout

Gout merupakan hasil dari hyperuricemia yaitu meningkatnya

kadar asam urat dalam serum darah. Kadar serum asam urat yang normal

1-5 mg / dl. Asam urat terbentuk dalam metabolisme purin. Ketika kadar

asam urat darah tinggi, akan terjadi endapan di sendi, tulang rawan, ginjal

dan jaringan subkutan dan menimbulkan berbagai tanda-tanda dan gejala.

(Singh, 2007)

Hyperuricemia juga terdapat dalam berbagai variasi leukemia,

lymphomas (peningkatan produksi) atau induksi obat (karena

berkurangnya ekskresi ginjal oleh asal urat). Obat untuk Gout dapat di bagi

menjadi dua grup : ( Singh, 2007)

a. Obat untuk serangan Gout akut : NSAIDs, colchicine, corticosteroid

30

b. Obat untuk Gout kronis/ hyperuricemia : Dapat menginhibitor sintesis

asam urat (allopurinol) dan uricosurics (meningkatkan ekskresi asam

urat dari ginjal) misalnya probenesid dan sulfinpirazon.

Berikut ini merupakan beberapa obat untuk Gout :

NSAIDs

Obat yang berguna antara lain indometachin, piroxicam, atau naproxen.

Kegunaannya adalah sebagai aksi antiinflamasi yang kuat dan dapat

dilanjutkan selama 3-4 minggu. Mereka juga menghambat migrasi leukosit

chemotactic ke dalam sendi yang terkena. (Singh, 2007)

Kortikosteroid

Steroid sistemik atau intraartikular dapat digunakan untuk kasus ini

apabila NSAIDs atau colchicine tidak menaggapi atau tidak mentoleransi.

(Singh, 2007)

Colchicine

Obat ini efektif untuk pengobatan serangan akut gout. Tidak

mempengaruhi ginjal dalam mengekskresi asam urat. Colchicine mengikat

tubulin, hal itu mengganggu fungsi mitosis spindle, menyebabkan

depolimerisasi dan hilangnya dari mikrotubulus fibrillar di granulosit.

Dalam gout, manfaat colchicine adalah untuk menghambat pelepasan

glikoprotein dari granulosit di sendi yang meradang sehingga mencegah

pengendapan kristal asam urat dan pelepasan enzim lisosom. (Singh,

2007)

Efek samping dari colchicine antara lain nausea (mual), muntah, diare,

nyeri abdominal, neuropathy, myopathy terutama pada pasien dengan

penurunan fungsi ginjal. Terapi berkepanjangan dapat menyebabkan

anemia aplastik, agranulositosis, alopecia, dan myopathy. Colchicine

digunakan sebagai perawatan untuk gout akut dan profilaksis gout. (Singh,

2007)

Allopurinol

31

Obat ini menghambat terminal step asam urat dengan menginhibisi

enzim xanthine oksidase. Selama terapi dengan allupurinol, kadar asam

urat plasma menurun. Setelah administrasi melalui oral, obat ini di

absorpsi dengan sangat cepat. (Singh, 2007)

Efek samping termasuk reaksi hipersensitivitas, maculopapular rash,

urticaria, myalgia, demam malaise, leukopenia transien, atau leukositosis,

kerusakan hari, mual, muntah, diare, sakit kepala, dan mengantuk.

Hal ini diindikasikan untuk hyperuricarmia primer gout, secondary

hyperuricaemia karena metaplasia, radiasi, kemoterapi kanker, thiazide

diuretics. (Singh, 2007)

Probenecid

Obat ini meningkatkan ekskresi asam urat (dengan cara menginhibisi

reabsorpsi dari tubulus ginjal) sehingga menurunkan kadar asam urat

serum. Setelah administrasi oral tereabsorpsi sempurna, 90% plasma

protein terikat. Sebagian dimetabolisme dan di ekskresi lewat urin. (Singh,

2007)

Efek samping antara lain skin rash, iritasi gastrointestinal. Overdosis

dapat menyebabkan konvulsi dan kematian karena kegagalan sistem

pernapasan. Probenecis digunakan untuk gout kronis dan secondary

hyperuricaemia. (Singh, 2007)

Sulfynpirazone

Derivat pyrazolone berkaitan dengan phenylbutazone, yang

memiliki aksi uricosuric. Obat ini juga menginhibisi agregasi platelet.

Sulfynpirazone diabsorpsi secara oral dan 98% protein plasma terikat.

Diekskresikan oleh sekresi aktif di tubulus proksimal ginjal. Efek samping

antara lain iritasi lambung (paling umum), reaksi hipersensitivitas. Obat ini

digunakan dalam gout kronis. (Singh, 2007)

Jenis Obat Parasetamol

1) Alaxan FR (Medifarma/ Darya-Varia)

Komposisi : Ibuprofen 200mg + paracetamol 325 mg

32

Indikasi: meredakan nyeri otot, sakit kepala, sakit gigi,

dismenore primer, dan menurunkan demam

Dosis: dewasa 1 kapsul 3-4x/hari

Pemberian obat: sesudah makan

Kontraindikasi: hipersensitivas terhadap paracetamol,

ibuprofen, atau OAINS

Sediaan/kemasan: kapsul 10x10

Gambar 2. Alaxan FR (www.mims.com)

2) Arthrifen (Armoxindo Farma)

Komposisi: Ibuprofen

Indikasi: Tab RA & OA (rheumatoid arthritis dan

ostheoarthritis). Susp untuk meredakan demam pada anak,

sakit gigi ringan sampai dengan sedang atau sesudah cabut

gigi, sakit kepala

Dosis: Tab awal 1200mg/hari. Dosis pemeliharaan 600-

800mg/hari. Diberikan dalam 3 atau 4 dosis terbagi. Susp

dewasa 2sdt 3-4x/hari, anak 8-12tahun2sdt, 3-7tahun1sdt,

1-2thn ½ sdt. Semua dosis dierikan 3-4x/hari.

Pemberian obat: segera sesudah makan

3) Yariven (Yarindo Farmatama)

Indikasi: Menurunkan demam, meredakan nyeri ringan s/d

sedang (sesudah ekstraksi gigi, sakit kepala, sesudah operasi)

33

Dosis: Dewasa dan anak 8-12 tahun 2 sdt. Anak 3-7 tahun

1 sdt, 1-2 tahun ½ sdt. Semua dosis diberikan 3-4x per

hari

Pemberian obat: pada saat atau segera sesudah makan

Kontraindikasi: tukak peptic aktif dan berat. Hamil trimester

ketiga

4) Ostarin (Otto)

Komposisi: Ibuprofen

Indikasi: AR, OA, gangguan otot rangka, penurun panas.

Menghilangkan sakit gigi, nyeri pasca operasi, nyeri yang

berhubungan dengan ekstraksi gigi, sakit kepala

Dosis: dewasa 1200-1500mg/hari, maks 2400mg/hari.

AR&OA 400-600mg 3-4x/hari. Susp dewasa dan anak >12

tahun 2sdt, anak 8-12tahun 1-2sdt. Diberikan 3x/hari

Pemberian obat: segera sesudah makan

Kontraindikasi: hipersensitif terhadap AINS lain, pasien asma

Gambar 3. Ostarin (www.google.com)

5) Profenal (Yarindo Farmatama)

Komposisi: Ibuprofen 200mg, paracetamol 350mg

34

Indikasi: meredakan nyeri misalnya sakit gigi, sakit kepala,

nyeri otot, dismenore primer

Dosis: dewasa 1 kaplet 3-4x/hari

Pemberian obat: segera sesudah makan

Kontraindikasi: hipersensitif terhadap parasetamol, ibuprofen,

atau AINS lain.

Dosis

Ibuprofen merupakan the first single-entity oral analgesic to be

approved by the FDA, dimana menghasilkan efek analgesik yang lebih

besar dibandingkan dengan 650mg dari aspirin. Dosis analgesik yang

direkomendasikan untuk ibuprofen adalah 400-600mg setiap 4-6 jam,

dengan dosis maksimal perharinya 2400 mg. (Yagiela, 2011)

Dalam suatu kasus, dosis ibuprofen 400mg lebih efektif

dibandingkan kombinasi dari 650mg aspirin dan 60mg kodein ketika

dievaluasi setelah 4 jam. Pada kasus yang lain, ibuprofen dengan sediaan

campuran gel cair yang mengandung 200mg larutan potassium ibuprofen

menghasilkan efek analgesik yang lebih besar dan lebih lama

dibandingkan dengan 100mg dari acetaminophen. (Yagiela, 2011)

Gambar 4. Kurva waktu dan efek untuk placebo, kodein, aspirin, aspirin + kodein, dan

ibuprofen . (Yagiela, 2011)

Penggunaan sebagai pre operasi ataupun post operasi yang

diberikan segera dapat memberlambat onset serta mengurangi rasa sakit

35

post operasi. Dosis ibuprofen untuk sakit rematik dan inflamasi adalah

antara 1200mg sampai 3600mg per hari.(Yagiela, 2011)

Perhitungan dosis

1) Berdasarkan usia (berat badan normal)

a. Rumus Fried untuk bayi kurang sama dengan 1 tahun

*n = usia dalam bulan

b. Rumus Young untuk anak berusia kurang dari 8 tahun

*n = usia dalam tahun

c. Rumus Dilling untuk anak usia lebih dari 8 tahun

*n = usia dalam tahun

2) Berdasarkan berat badan

a. Rumus Clark (Amerika)

3) Berdasarkan luas permukaan tubuh

=

(Syamsuni.A, 2006)

36

2.3 Muscle Relaxant

Muscle relaxants adalah obat yang digunakan untuk meredakan nyeri

atau kejang otot dan kekejangan muskuloskeletal yang berat. Muscle relaxants

digunakan untuk mengobati nyeri muskuloskeletal akut dan kekejangan otot yang

berhubungan dengan multiple sclerosis (MS) (demielinasi progresif pada materi

putih otak dan sumsum tulang belakang yang menyebabkan disfungsi neurologis

yang luas), cerebral palsy (gangguan fungsi motorik otak disebabkan oleh

kerusakan neurologis), stroke (berkurangnya pasokan oksigen ke otak, yang

mengakibatkan defisit neurologis), dan cedera tulang belakang yang dapat

menyebabkan kelumpuhan atau kematian. (Lippincott Williams & Wilkins, 2009)

2.3.1 Siklus Penyebab

Paparan dingin yang parah, kurangnya aliran darah ke otot, atau

kelelahan dapat mengirimkan impuls sensorik dari serabut saraf sensorik

posterior ke sumsum tulang belakang dan tingkat yang lebih tinggi dari

sistem saraf pusat (SSP). Impuls sensorik ini dapat menyebabkan refleks

(involunter) kontraksi otot atau spasme dari trauma, epilepsi,

hipokalsemia (kadar kalsium rendah), atau gangguan otot. Kontraksi otot

ini kemudian menstimulasi reseptor sensorik untuk kontraksi yang lebih

intens, menghasilkan sebuah siklus. Centrally acting muscle relaxants di

percaya untuk merusak siklus ini dengan berperan sebagai SSP depresan.

(Lippincott Williams & Wilkins, 2009)

2.3.2 Klasifikasi

Muscle Relaxant diklasifikasikan menjadi dua kelompok obat

yaitu Neuromuscular blockers dan Centrally acting muscle relaxants.

37

(Gambar 5. Classification of skeletal muscle relaxants (Singh, 2007)

1. Centrally acting muscle relaxants

Berperan pada SSP, digunakan untuk menangani kejang akut

yang disebabkan oleh kondisi seperti kecemasan, inflamasi, nyeri, dan

trauma.

Farmakokinetik

Masih banyak yang kita tidak ketahui tentang bagaimana

centrally acting muscle relaxants beredar dalam tubuh. Secara umum,

obat ini diserap dari saluran pencernaan, didistribusikan secara luas

dalam tubuh, dimetabolisme di hati, dan diekskresikan oleh ginjal.

(Lippincott Williams & Wilkins, 2009)

Farmakodinamik

Centrally acting muscle relaxants tidak mengendurkan otot

skeletal secara langsung atau menekan konduksi saraf, transmisi

neuromuskuler, atau rangsangan otot. Meskipun mekanisme yang tepat

dari aksi mereka tidak diketahui, obat ini dikenal sebagai depresan SSP.

Efek relaksasi otot mereka mungkin berhubungan dengan efek sedatif

mereka. (Lippincott Williams & Wilkins, 2009)

Farmakoterapeutik

38

Pasien menerima Centrally acting muscle relaxants untuk

mengobati, nyeri mukoskeletal akut. Obat ini biasanya diresepkan

bersamaan dengan istirahat dan terapi fisik. (Lippincott Williams &

Wilkins, 2009)

Interaksi obat

Centrally acting muscle relaxants berinteraksi dengan depresan

SSP lainnya (termasuk alkohol, narkotika, barbiturat, antikonvulsan,

antidepresan trisiklik, kava kava, dan obat-obatan anti ansietas),

menyebabkan peningkatan sedasi, gangguan fungsi motorik, dan depresi

pernapasan. Selain itu, beberapa obat berikut memiliki interaksi lainnya:

(Lippincott Williams & Wilkins, 2009)

1) Cyclobenzaprine dapat mengurangi efek

antihipertensi pada obat penurun tekanan darah guanethidine dan

clonidine.

2) Orphenadrine dan cyclobenzaprine kadang-kadang

meningkatkan efek obat kolinergik-blocking.

3) Methocarbamol dapat menentang efek kolinergik

obat antikolinesterasi yang digunakan untuk mengobati myasthenia

gravis.

4) Orphenadrine dan propoxyphene bila di gunakan

bersama-sama dapat menyebabkan efek SSP aditif, termasuk

kebingungan mental, kecemasan, dan tremor.

5) Tizanidine dikombinasikan dengan diuretik, agonis

alpha-adrenergik sentral, atau antihipertensi dapat meningkatkan

efek obat hipotensi. Penggunaan bersamaan Concurrent Tizanidine

dengan depresan SSP dapat menyebabkan depresi SSP aditif.

Kontrasepsi hormonal dapat mengurangi clearance Tizanidine,

memerlukan pengurangan dosis.

2. Neuromuscular blockers

Blocking neuromuskular bekerja dengan cara mengendurkan otot

skeletal dengan mengganggu transmisi impuls saraf dan motor end plate (

39

terminal bercabang dari akson saraf motorik ). Neuromuscular blockers

memiliki tiga indikasi, antara lain : (Lippincott Williams & Wilkins,

2009)

1. Untuk merelaksasi otot skeletal selama pembedahan

2. Untuk mengurangi intensitas spasme atau kejang otot

karena diinduksi listrik atau obat

3. Untuk membantu pasien yang memakai ventilator

Klasifikasi

Ada dua kelas utama obat natural dan sintetik yang digunakan

sebagai neuromuscular blocker, yaitu non-delapolarizing dan

delapolarizing. (Lippincott Williams & Wilkins, 2009)

1) Non-delapolarizing Blocking Drugs

Jenis obat ini disebut juga obat kompetitif atau obat

penstabil. yang berasal dari alkaloid curare dan senyawa sintetis

yang serupa . Mereka termasuk: (Lippincott Williams & Wilkins,

2009)

1) atracurium

2) cisatracurium

3) pancuronium

4) rocuronium

5) vekuronium

Farmakokinetik

Karena obat nondepolarizing blocker diabsorbsi sangat

sedikit oleh traktus GI, obat ini sebaiknya diadministrasi secara

parenteral. Rute Intra Vena merupakan pilihan karena aksinya lebih

mudah diprediksi. (Lippincott Williams & Wilkins, 2009)

Distribusi

Jenis obat ini didistribusikan sangat cepat ke seluruh tubuh.

(Lippincott Williams & Wilkins, 2009)

40

Metabolisme dan Ekskresi

Proporsi besar dari obat nondepolarizing di ekskresi lewat

urin. Sedangkan beberapa obat seperti atracurium, pancuronium

dan vecuronium sebagian di metabolis di dalam hepar. (Lippincott

Williams & Wilkins, 2009)

Farmakodinamik

Nondepolarizing blockers bersaing dengan acetylcholine

pada reseptor kolinergik dari membran otot skeletal . Aksi

neurotransmitter asetilkolin blok yang ini, mencegah otot

berkontraksi. Namun, efeknya dapat dinetralkan oleh obat

antikolinesterase, seperti neostigmin dan pyridostigmine, yang

menghambat aksi acetylcholinesterase, enzim yang menghancurkan

asetilkolin. (Lippincott Williams & Wilkins, 2009)

Farmakoterapeutik

Nondelapolarizing blockers digunakan untuk relaksasi otot

menengah atau berkepanjangan untuk : (Lippincott Williams &

Wilkins, 2009)

1) meringankan bagian dari sebuah endotrakeal ( ET )

tabung

2) mengurangi jumlah anestesi diperlukan selama

operasi

3) memfasilitasi penataan kembali patah tulang dan

dislokasi sendi

4) melumpuhkan pasien yang membutuhkan dukungan

ventilasi yang melawan tabung ET dan ventilasi

5) mencegah cedera otot selama terapi

electroconvulsive ( ECT ) ( melewati sebuah listrik

41

6) arus melalui otak untuk mengobati depresi ) dengan

mengurangi intensitas otot yang kejang

Interaksi Obat

Obat ini mengubah efek nondepolarisasi neuromuscular

blocker : (Lippincott Williams & Wilkins, 2009)

1) Antibiotik aminoglikosida dan anestesi

mempotensiasi atau membesarkan blokade neuromuskular .

2) Obat-obatan yang mengubah level serum elektrolit

kalsium , magnesium , atau kalium juga mengubah efek dari

blocker nondepolarisasi .

3) The antikolinesterase ( neostigmin ,

pyridostigmine , dan edrophonium ) antagonis dengan obat

nondepolarisasi blockers dan digunakan sebagai antidot

4) Obat-obatan yang dapat meningkatkan intensitas

dan durasi kelumpuhan ketika dikonsumsi dengan nondepolarisasi

blocker termasuk anestesi inhalasi , aminoglikosida , klindamisin,

polimiksin , verapamil , turunan kina , ketamine , lithium , nitrat ,

thiazide diuretik , tetrasiklin , dan garam magnesium .

5) Obat-obatan yang dapat menyebabkan penurunan

blokade neuromuskular bila dikonsumsi dengan blocker

nondepolarisasi termasuk carbamazepine , hydantoins , ranitidine ,

dan teofilin . ( Lihat Efek samping untuk blocker

nondepolarisasi . )

6) Penggunaan kortikosteroid dapat mengakibatkan

kelemahan otot yang berkepanjangan

2) Depolarizing Blocking Drugs

Succynilcholine adalah satu-satunya terapi obat depolarizing

blocking. Meskipun mirip dengan blocker nondepolarisasi pada

efek terapeutiknya, mekanisme kerjanya berbeda .Succinylcholine

bertindak seperti asetilkolin, tetapi tidak aktif oleh

42

cholinesterase .Ini adalah obat pilihan ketika short-term muscle

relaxation diperlukan. (Lippincott Williams & Wilkins, 2009)

Farmakokinetik

Karena succinylcholine diabsorbsi sangat sedikit pada

traktus GI, rute administrasi sebaiknya dilakukan lewat Intra Vena,

Intra Muskular jika diperlukan. (Lippincott Williams & Wilkins,

2009)

Farmakodinamik

Setelah administrasi, succinylcholinedengan cepat

dimetabolisme , tetapi pada tingkat yang lebih lambat dari

asetilkolin . Akibatnya , succinylcholine tetap melekat pada situs

reseptor membran otot skeletal untuk jangka waktu yang lama . Hal

ini untuk mencegah repolarisasi dari motor end plate dan dapat

menyebabkan kelumpuhan otot. (Lippincott Williams & Wilkins,

2009)

Metabolisme dan Eksresi

Succinylcholine dihidrolisis di dalam liver dan plasma oleh

enzim pseudocholineterase dan di eksresi oleh ginjal. (Lippincott

Williams & Wilkins, 2009)

Farmakoterapeutik

Succinylcholine adalah obat pilihan untuk short-term

muscle relaxation, seperti selama intubasi dan ECT. (Lippincott

Williams & Wilkins, 2009)

Interaksi Obat

Aksi suksinilkolin yang potensial oleh sejumlah anestesi

dan antibiotik . di kontras untuk interaksi mereka dengan

nondepolarisasi blocker , antikolinesterase peningkatan blokade

suksinilkolin . (Lippincott Williams & Wilkins, 2009)

43

2.3.3 Eperisone HCl

Eperisone (dirumuskan dengan Eperisone hydrochloride)

merupakan obat antispasmodik atau obat untuk gejala-gejala yang

berhubungan dengan spasme muskuloskeletal atau kejang otot. Obat ini

dapat menimbulkan efek pada sistem saraf pusat. Eperisone HCl banyak

dijual di Jepang, India dan Bangladesh dengan merk dagang Myonal.

Eperisone bekerja dengan cara merelaksasi otot-oto skeletal dan

otot halus vaskuler, serta menghasilkan berbagai efek seperti mengurangi

myotonia, memperbaiki sirkulasi dan menekan refleks nyeri. Obat ini

menghambat daur myotonia dengan mengurangi rasa sakit, iskemia,

hipertonia pada otot skeletal, sehingga dapat mengurangi kekakuan

dan spastisitas otot, serta memfasilitasi gerakan otot.

Suatu relaksan otot yang menstimulir SSP. Obat ini bekerja pada

medula spinalis dan susunan saraf pusat tanpa menyebabkan efek sedatif

atau hipnotik dan memperbaiki gejala serebral atau spinal paralisis spastis

seperti rigiditas, rasa kaku dan kesulitan berjalan dengan cara menghambat

refleks monosinaptik dan polisinaptik. Obat ini akan membantu

rehabilitasi pasien-pasien dengan paralisis spastis terutama bila

dikombinasi dengan fisioterapi.

Farmakologi

Eperisone bekerja pada saraf pusat melalui poli dan mono

sinaptik reflek di batang otak (spinal cord). Obat ini menunjukkan

44

Gambar 6. Struktur Molekuler Eperisone HCl Berdasarkan penamaan IUPAC, Eperisone HCl diidentifikasi sebagai 4’-ethyl-2-methyl-3-piperidinoprophiophenone hydrochloride

(Cabitza, 2008)

efek vasodilatasi, meningkatkan aliran darah dan menghambat

masuknya refleks rasa sakit ke otak.

Eperisone memiliki efek pelemas otot dan vasodilator yang

berkaitan dengan cara kerja obat tersebut pada SSP dan otot polos

pembuluh darah. Eperisone bekerja di SSP, terutama pada sumsum

tulang belakang, dengan cara merelaksasi otot rangka yang

hipertonik melalui penghambatan refleks spinal dan menurunkan

sensitivitas muscle spindle melalui pengurangan pelepasan gamma

motorneuron. Eperisone juga mempunyai efek vasodilator yang

dapat meningkatkan sirkulasi darah.

Fungsi dari Eperisone:

1. Relaksasi otot skeletal

2. Merelaksasi otot skeletal yang hipertonis

3. Memperbaiki aliran darah intramuskular

4. Menekan potensial refleks spinal

5. Mereduksi sensitivitas muscle spindle via gamma-neuron

motorik. Eperisone HCl dapat menekan aktivitas serabut saraf

aferen (motorik) otot manusia 20 menit setelah administrasi.

6. Vasodilatasi dan augmentasi aliran darah. Vasodilatasi atau

pelebaran pembuluh darah disebabkan adanya ion .

Augmentasi meningkatkan volume darah mengalir di kulit ,

otot , eksternal dan internal yang arteri karotis

7. Berfungsi juga sebagai analgesik dan menginhibisi refleks

sakit pada spinal cord

Farmakokinetik

Eperisone hydrochloride masuk ke dalam tubuh melalui

oral pada 8 orang relawan sehat dengan dosis tunggal 150 mg

sekali sehari selama 14 hari berturut-turut. Konsentrasi plasma

dihitung pada hari ke 1, 8 dan ke 14. Waktu untuk mencapai

45

puncak konsentrasi plasma (tmax) berkisar antara 1,6 – 1,9 jam,

puncak konsentrasi plasma (Cmax) 7,5 – 7,9 ng/ml. Waktu paruh

plasma berkisar antara 1,6-1,8 jam. Volume distribusi 3 L/Kg.

Indikasi Eperisone HCl

Eperisone HCl termasuk pada golongan muscle relaxant.

Obat yang termasuk pada skeletal muscle relaxant terbagi menjadi

dua golongan yaitu yang bertindak secara perifer pada

neuromuscular junction atau secara terpusat pada cerebrospinal

axis yang disebut sebagai neuromuscular blockers dan yang

melakukan tindakan selektif pada cerebrospinal axis tanpa

mempengaruhi kesadaran yang disebut sebagai muscle relaxant

yang bertindak secara terpusat (centrally acting muscle relaxants).

Keduanya sama-sama bekerja untuk mengurangi tonus otot. (Singh,

2007)

Karena termasuk dalam muscle relaxants, eperisone HCl

efektif untuk kondisi myotonik termasuk trismus yang merupakan

spasme otot mengunyah disertai kesulitan membuka mulut.

(Dorland, 2012)

Selain itu, indikasi dari eperisone meliputi spastic paralysis

pada kondisi seperti penyakit cerebrovascular, spastic spinal

paralysis, cervical spondylosis, gejala sisa post-operative

(termasuk cerebrospinal tumor), gejala sisa trauma (seperti trauma

spinal dan cedera kepala), sclerosis amytotrophic lateral, cerebral

palsy, degenerasi spinocerebellar, penyakit vascular spinal dan

46

encephalomyelopathies, perbaikan gejala hipertonik otot pada

kondisi seperti cervical syndrome, periarthritis pundak, dan

lumbago.

Kontraindikasi Eperisone HCl

Eperisone belum ditetapkan pasti aman untuk penggunaan

pediatrik, oleh karena itu penggunaannya pada pediatrik tidak

direkomendasikan tanpa penelitian lebih lanjut. Apabila pasien

lanjut usia diobati oleh eperisone, maka direkomendasikan untuk

dilakukan pengurangan dosis dan pasien diamati apakah terdapat

tanda hipofungsi psikologi selama pengobatan atau tidak.

Eperisone juga belum ditetapkan aman untuk penggunaan oleh ibu

hamil, oleh karena itu eperisone digunakan apabila keuntungan

terapeutik lebih penting dari risiko yang terkait dengan pengobatan.

Manufaktur dari Myonal merekomendasikan bahwa obat tersebut

tidak digunakan selama laktasi (menyusui). Apabila eperisone

harus digunakan, maka pasien direkomendasikan untuk

menghentikan laktasi selama dilakukan pengobatan (telah

dilaporkan penelitian pada hewan tikus bahwa eperisone diekskresi

pada air susu induknya). Eperisone merupakan kontraindikasi dari

pasien yang memiliki hipersensitivitas,

Efek Samping Eperisone HCl

Efek samping dari epiresone HCl antara lain reaksi shock

dan anaphylactoid. Pada gejala-gejala seperti kemerahan, gatal,

47

urticaria, oedema wajah dan bagian lain dari tubuh, dispnea, dan

lain-lain, pengobatan seharusnya dihentikan dan lakukan tindakan

yang tepat. Oculo-muco-cutaneous syndrome (Steven Johnson

Syndrome) dan Toxic Epidermal Necrolysis mungkin terjadi. Jika

timbul gejala-gejala seperti demam, erythema, blistering, gatal,

ocular congestion atau stomatitis, dan lain-lain, pasien harus

diamati secara hati-hati, pengobatan dihentikan dan lakukan

tindakan yang tepat. Efek samping yang lain ialah anemia, ruam

(rash), pruritus, rasa kantuk, insomnia, sakit kepala, mual dan

muntah, anorexia, nyeri abdominal, diare, konstipasi, retensi urin

atau incontinence.

Bentuk Sediaan Obat

Eperisone HCl tersedia dengan merek dagang Eprinoc 50

mg tablet salut gula, Epsonal 50 mg tablet, Estalex 50 mg tablet

salut selaput, Myobat 50 mg tablet salut selaput, Myonal 50 mg

tablet, Myonep 50 mg tablet, Perilax 50 mg tablet salut selaput,

Permyo 50 mg tablet salut selaput, Plexion 50 mg tablet salut

selaput, Rizonax 50 mg tablet salut selaput, dan Zonal 50 mg

berbentuk tablet salut selaput.

Dosis dan Administrasi Obat

Pada dewasa, dosis umum eperisone adalah 50-150 mg/hari

(3x1), setelah makan. Namun, dosis disesuaikan dengan keparahan

penyakit, usia dan respon pasien. Eperisone belum dikategorikan

benar-benar aman untuk digunakan anak. Pada pasien lansia,

direkomendasikan untuk menurunkan dosis, dan pemantauan tanda

hipofungsi psikologi selama pengobatan. Eperisone tidak disebut

aman digunakan untuk wanita hamil; oleh karena itu bila obat harus

48

digunakan pada wanita hamil atau yang akan hamil, keuntungan

terapi harus lebih tinggi dari resiko.

Pabrik menyarankan obat ini tidak digunakan selama

laktasi (penyusuan ASI). Bila eperisone sangat diperlukan, pasien

harus menghentikan penyusuan ASI selama perawatan berlangsung

2.4. Cara Penulisan Resep Obat

Resep biasanya ditulis pada pad kosong yang dicetak, yang terdiri dari

elemen-elemen berikut. (Singh, 2007)

2.4.1 Nama dan alamat penulis resep

Kebanyakan form resep kosong dicetak dengan nama, alamat,

nomor telepon dan informasi terkait lainnya (seperti ketersediaan dokter

pada waktu tertentu,jika dokter yang berpraktek di lebih dari satu rumah

sakit).

2.4.2 Nama, umur, jenis kelamin, dan alamat pasien, serta tanggal

pemberian resep.

Tanggal resep harus ditulis di dekat bagian atas form resep atau di

awal dari urutan chart. Nama, umur, jenis kelamin dan alamat pasien yang

diperlukan pada resep harus dieja jelas.

2.4.3 Superscription

Bagian ini terdiri dari simbol Latin Rx yang artinya take thau atau

Anda mengambil dan telah diyakini untuk Horus dan Jupiter, ayah dari

Dewa yang membantu berharap untuk membuat resep yang efektif.

2.4.4 Inscription

49

Ini adalah bagian utama dari resep yang menentukan kekuatan,

dosis dan arah obat untuk digunakan oleh pasien. Saat menulis obat nama,

baik nama merek (nama pro-proprietary) atau nama generik(nama non-

proprietary) mungkin digunakan.

2.4.5 Subscription

Bagian ini terdiri dari arah ke apoteker untuk meracik atau

mempersiapkan resep. Subscription terdiri dari nama bentuk dosis (sebagai

tablet, kapsul, sirup dsb.) dan jumlah unit dosis yang diberikan.

2.4.6 Signatura

Kata signatura biasanya disingkat sigma atau sig cara menandai

Engkau. Bagian ini termasuk arah untuk pasien. Petunjuk tentang cara dan

kapan harus mengambil obat, durasi terapi harus dijelaskan kepada setiap

pasien oleh dokter dan oleh apoteker. Arah untuk Penggunaan harus jelas

dan dimengerti kepada pasien dan ringkas untuk menghindari toksisitas

apapun dan untuk mendapatkan manfaat maksimal dari terapi.

2.4.7 Tanda tangan penulis resep dan nomor registrasi

Jadi, contoh penulisan resep obat terkait kasus adalah sebagai

berikut.

Tabel 3 Contoh Penulisan Resep

Drg. Salma Nadiyah

Spesialis Bedah Mulut

Jln. Sayang no.1, Jatinangor

Telp: (022) 12345 Hari/jam praktek:

Fax : (022) 5678 senin-selasa 17.00-.00

Jatinangor, 29 Oktober 2015

Nama pasien : Triperi Usia : 25 tahun

Alamat : Antapani, Bandung

50

Rx/ Ibuprofen 400 mg tab.

S. 3 x 3 (t.i.d selama 3 hari)

Rx/ Eperisone HCL 50 mg tab.

S. 2 x 3 (b.i.d selama 3 hari)

Drg. Salma Nadiyah

2.5 Anestesi Lokal

Rasa sakit didefinisikan sebagai perasaan tidak nyaman dan suatu

pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan

tubuh (Levine, 2012), oleh karena itu sangat penting bagi klinisi untuk

mengurangi rasa sakit dan ketidaknyamanan selama perawatan dental. Anestesi

lokal merupakan metode yang paling efektif untuk mengurangi rasa nyeri dan

ketidaknyamanan pasien selama prosedur perawatan restoratif dan bedah

(Schwartz, 2012).

Anastesi Lokal adalah obat yang diberikan secara oral (topikal atau

suntikan) dalam kadar yang cukup dapat menghambatan hantaran implus pada

syaraf yang dikenal oleh obat tersebut .Obat-obat ini menghilangkan rasa/sensasi

nyeri (pada konsentrasi tinggi dapat mengurangi aktivitas motorik) terbatas pada

daerah tubuh yang dikenai tanpa menghilangi kesadaran .

Sifat Anestesi Lokal

51

Sifat penting dari anestesi lokal adalah mampu menghasilkan proses

kehilangan sensasi tanpa menginduksi hilangnya kesadaran, ini adalah salah satu

hal yang membedakan anestesi lokal dari anestesi umum (Malamed, 2004)

sehingga pasien akan tetap sadar (Ghorpade, 2006).

Kebanyakan obat anestesi lokal adalah suatu ester atau amida dari derivat

benzen sederhana . Secara Kimia, obat-obat anestesi lokal terdiri dari golongan

senyawa kimia yang mirip dengan senyawa yang memblok kanal Na pada

membran sel syaraf yang mudah dirangsang .Tipe ikatan ini menentukan sifat

farmakologi obat anestesi lokal, terutama anestesi lokal golongan ester (yang

mempunyai ikatan ester) umumnya kurang stabil dan mudah dimetabolisme

karena pada degredasi dan inaktif didalam tubuh , gugus tersebut akan

dihidrolisis.

Lidokain HCl merupakan anestesi lokal yang banyak dipergunakan dalam

kedokteran gigi dan merupakan standard dalam perbandingan dengan anestesi lokal yang

lain (Padhye et al, 2009; Hassan et al, 2011). Menurut Mitchell (2006) lidokain 2%

dengan adrenalin 1:80.000 merupakan larutan anestesi lokal yang paling sering

digunakan. Terdapat dua metode anestesi yang utama digunakan dalam kedokteran gigi

yaitu anestesi infiltrasi dan anestesi blok (Robinson dan Bird, 2013). Ketika larutan

anestesi diinjeksikan superfisial pada membran mukosa, akan berdifusi dalam segala

arah, dinamakan anestesi infiltrasi, sedangkan anestesi blok, larutan dideposisikan pada

area yang lebih dalam, dekat dengan cabang saraf utama. Anestesi akan mencapai pada

seluruh regio yang disuplai oleh saraf dan cabangnya (Ghorpade, 2006).

Klasifikasi Anastesi Lokal

Anestesi lokal secara reversibel memblokir konduksi impuls dalam area

tubuh terbatas di mana obat tersebut diterapkan oleh aplikasi topikal atau injeksi

lokal. Anastesi lokal diklasifikasikan seperti pada tabel : (Singh, 2007)

52

Semua anestesi lokal memiliki tingkat kelarutan dalam air dan lemak yang

berbeda-beda. Keduanya merupakan sifat penting untuk anestesi lokal, kelarutan

lemak membantu dalam migrasi aktif obat ke dalam serat saraf dan air. Kelarutan

sangat penting untuk mendistribusikan obat ke tempat aksi dari tempat

administrasi. (Singh, 2007)

Anestesi lokal digunakan secara rutin dalam kedokteran gigi dengan

memblok saraf atau dengan infiltrasi dan / atau teknik memblok daerah untuk cary

prosedur operatif varous. Anestesi lokal juga dapat diklasifikasikan menjadi dua

kategori berdasarkan struktur kimianya: (Singh, 2007)

a. Ester terkait anestesi lokal : misalnya kokain, prokain, tetrakain,

benzokain, chloroprocaine.

b. Amida terkait anestesi lokal : misalnya lidokain, bupivakain, dibucaine,

prilocaine, ropivacaine.

53

Tabel 1. Klasifikasi anastesi lokal (Singh, 2007)

1) Benzocaine

Merupakan obat anastesi lokal yang termasuk ke dalam golongan

ester yang berasal dari derivat procain dan memiliki kelarutan sangat

rendah dalam cairan. Benzocaine menghibisi konduksi impuls saraf dari

saraf sensoris. Aksi ini merupakan hasil dari perubahan permeabilitas

membran sel ke dalam ion. Obat ini sulit diserap dari epidermis utuh.

(Singh, 2007)

54

Gambar 2. Obat anastesi lokal Benzocaine memiliki rumus struktur 4-ethyl aminobenzoat, (Yagiela, 2011)

Benzocaine telah disebut oleh FDA sebagai 'salah satu analgesik

eksternal yang paling banyak digunakan dan paling aman serta bahwa

kejadian sensitivitas terhadap benzocaine cukup rendah’. Benzocaine

apabila diaplikasikan pada penis dapat membantu dalam memperlambat

timbulnya ejakulasi. (Singh, 2007)

Benzocaine dapat tertinggal selama beberapa waktu di daerah

yang di aplikasikan dan tidak segera di absorpsi ke dalam sistem sirkulasi.

Benzokain baik digunakan dalam permukaan yang luas dalam rongga

mulut dan memiliki toksisitas yang sangat rendah. Penggunaan benzocaine

dalam dosis tinggi pada anak-anak dapat menimbulkan terjadinya

methemoglobinemia. Sediaan benzocaine dapat berupa aerosol spray, gel,

oitment, pasta, dan cairan yang mengandung 20% benzocaine biasanya

digunakan untuk anastesi topikal di intra oral.

a. Farmakoterapeutik

Benzocaine diindikasikan untuk menghilangkan: sariawan, cold

sores, atau fever blisters, aplikasikan benzocaine gel dan solusi topikal.

Nyeri pada gingiva atau mukosa mulut (misalnya, rasa sakit yang

disebabkan oleh mulut atau iritasi gusi, radang, luka, atau prosedur gigi

kecil) dapat menggunakan benzocaine yang terdapat pada gel, pasta gigi,

lozenges, dan solusi topikal. Nyeri dari prostetik gigi (yaitu, rasa sakit atau

iritasi yang disebabkan oleh gigi palsu atau peralatan gigi atau ortodontik

lainnya) Dapat menggunakan benzocaine yang terdapat pasta gigi, gel

salep, dan larutan topikal. Nyeri atau sakit pada gigi, aplikasikan

benzocaine 7,5% dan 10% gel. (Thomson, 2004)

Benzocaine juga dapat digunakan untuk menekan refleks muntah,

dan/atau laringeal dan esofageal refleks untuk memfasilitasi pemeriksaan

atau prosedur dental (termasuk bedah mulut), endoskopi, atau intubasi.

Gunakan benzocaine dalam bentuk gel, aerosol topikal, dan solusi topikal.

(Thomson, 2004)

55

Benzocaine dapat meredakan nyeri akibat sengatan sinar matahari

dengan cara : (Lippincott Williams & Wilkins, 2009)

a. Mematikan permukaan kulit, mengurangi persepsi nyeri

b. Membekukan kulit, yang mencegah transmisi impuls saraf

c. Memblok transmisi impuls saraf dengan mencegah sel saraf

depolarisasi.

d. Merangsang ujung saraf, mengganggu persepsi nyeri

b. Efek Samping

Bayi dan orang tua lebih mungkin untuk mengalami

methemoglobinemia toksis setelah paparan benzocaine. Faktor risiko lain

termasuk kekurangan genetik reduktase, paparan dosis tinggi anestesi, dan

adanya kulit gundul dan selaput lendir. Karena potensi komplikasi berat,

methemoglobinemia harus ditangani segera pada pasien yang

compromised dan orang dengan konsentrasi toksik benzocaine.

Kemungkinan masking gejala (gejala tersembunyi) selama anestesi umum

membawa risiko khusus dari penggunaan zat ini dalam pengaturan

perianesthesia. (Rodriguez, 1994)

Kontak antara benzocaine dan kulit yang mengalami dermatitis

dapat menyebabkan rasa terbakar, sensai menyengat, tenderness, pruritus,

erythema, rash, urticaria, dan edema. Pada kasus yang jarang,

methemoglobinemia akibat benzocaine dapat mengakibatkan kesulitan

bernapas dan cyanosis. (Thomson, 2004)

c. Absorpsi, Distribusi, dan Ekskresi

Eliminasi brankial residu benzocaine sangat cepat dan mencapai

59,2% dosis selama tiga jam setelah diberikan. benzocaine di ekskresikan

oleh ginjal 2,7% dosis dalam waktu tiga jam dan 9,0% dalam waktu 24

jam setelah administrasi. Kantung empedu mengandung 2,0% dosis dalam

waktu 24 jam setelah injeksi. (Meinertz, 1991)

d. Metabolisme

56

Pengaruh dosis dan penghambatan enzimatik pada penyerapan

perkutan dan metabolisme benzocaine dipelajari secara in vitro pada

kelinci percobaan berbulu. Pada tingkat dosis 2 ug / sq cm, benzocaine

dengan cepat diserap dan dimetabolisme secara ekstensif (80%) oleh

asetiltransferase. Dosis terapan dari benzocaine meningkat menjadi 40 dan

200 ug / sq cm, N-asetilasi benzocaine menurun menjadi 44 dan 34%,

masing-masing, menunjukkan kejenuhan sistem acetyltransferase.

Penyerapan total 14 (C) setelah aplikasi benzocaine tidak berbeda

secara signifikan antara kontrol dan enzyme-inhibited skin dan oleh karena

itu tampaknya tidak akan terpengaruh oleh tingkat metabolisme

benzocaine saat penetrasi perkutan. Kulit memberikan efek metabolik

first-pass yang signifikan untuk dosis terapi berzocaine abrsopsi perkutan,

dan metabolit primer terbentuk, acetylbenzocaine, secara biologis aktif.

(Kraeling, 1996)

2) Procaine (Novocaine)

Procaine (Novocaine) merupakan anesthesi lokal derivat ester

yang bertindak cepat. Hidrofobisitasnya yang rendah mempercepat

pemindahan obat dari situs administrasi melalui sirkulasi dan

menghasilkan sekuestrasi kecil dari obat pada jaringan lokal yang

mengelilingi saraf. Pada sirkulasi darah, procaine terdegredasi secara cepat

oleh plasma pseudocholinesterase dan hasil metabolit berupa PABA di

ekskresi kemudian di urin. (Golan, 2008)

Kegunaan utama procaine adalah sebagai anesthesi infiltrasi dan

berguna pada prosedur dental. Procaine kadang digunakan untuk

peripheral nerve block karena potensinya yang rendah, onset yang lambat,

dan durasi aksi yang cepat. (Golan, 2008)

Procaine tersedia dalam multidosis vial dan digunakan sebagai

antiarritmia. Formulasinya terdiri dari 2% procaine plain, 4% procaine

plain, 2% procaine dengan 1:100.000 epinephrine, dan 4% procaine

dengan 1:100.000 epinephrine. (Logothetis, 2012)

57

Procaine secara signifikan lebih rendah potensi dan efek toksiknya

dibanding dengan anesthesi lokal derivat amid. Namun derajat tinggi

procaine terhadap rekasi alergi dan sifat vasodilatasinya membuat obat ini

kurang diterima dan tidak dilanjutkan penggunaannya. Procaine

dimetabolisme melalui plasma cholinesterase menjadi PABA, yaitu produk

samping metabolit utama yang bertanggung jawab pada reaksi alergi.

(Logothetis, 2012)

3.). Tetracaine (Anethane)

Tetrakain merupakan derivat ester asam p-aminobenzoic dimana

rantai butil menggantikan salah satu hidrogen pada kelompok p-amino.

Obat ini memiliki sekitar 10 kali toksisitas dan potensi daripada prokain.

Obat ini tidak lagi tersedia untuk injeksi dalam kedokteran gigi; untuk

aplikasi permukaan obat ini paling sering dipasarkan sebagai 2% garam

hidroklorida dalam kombinasi dengan 14% benzocaine dan 2% butamben

dalam bentuk spray aerosol, solution, gel, dan salep dengan nama merk

dagang Cetacaine. Tetrakain adalah salah satu anestesi topikal yang paling

efektif, namun potensi toksik obat setelah aplikasi permukaan harus

diperhatikan dalam penggunaannya. (Yagiella, 2011)

Absorbsi aplikasi topikal sangat bervariasi. Meskipun kulit intact

dan mukosa keratin relatif impermeable, anestesi lokal mudah diserap dari

hampir seluruh permukaan mukosa. Pemberian perlahan dari tetrakain ke

fossa Piriform menghasilkan puncak konsentrasi plasma diperoleh

sepertiga hingga setengah setelah infus intravena yang cepat. (Yagiella,

2011)

Saat memasuki sirkulasi, anestesi lokal terikat sebagian oleh

plasma protein (5%-95%) dan sel darah merah. Pengikatan dengan protein

plasma secara langsung berkorelasi dengan hidrofobisitas anestesi lokal.

Setelah distribusi ke seluruh ruang intravaskular, obat yang yang tidak

terikat bebas berdifusi ke dalam berbagai jaringan dari tubuh. Selain

memasuki SSP, obat ini mudah melewati plasenta dan kadang-kadang

58

dapat depresi jantung menyebabkan berat pada janin. Distribusi ke

jaringan perifer merupakan sarana utama untuk penghapusan amida dan

anestesi lokal ester yang dimetabolisme dengan lambat dari aliran darah

untuk menjaga konsentrasi plasma mereka di bawah batas toksik.

Berdasarkan sirkulasi paru, paru-paru memainkan peran yang unik dalam

proses ini ketika anesthesi lokal disuntikkan secara intravena. Awalnya,

90% obat dapat diambil oleh paru-paru. Meskipun sebagian besar agen

berdifusi kembali ke dalam aliran darah dalam menit pertama setelah

injeksi, aksi penyangga yang cepat dari paru dapat mengurangi puncak

konsentrasi darah arteri. (Yagiella, 2011)

Obat ester diinaktivasi oleh proses hidrolisis. Derivate asam p-

aminobenzoic (misalnya prokain dan tetrakain) dimetabolisme secara khas

dalam plasma oleh pseudokolinesterase. Produk dari pembelahan hidrolitik

dapat mengalami biotransformasi lebih lanjut dalam hati sebelum

dieliminasi dalam urin. (Yagiella, 2011)

Tetracaine digunakan secara topikal 0.25-0.5% dalam bentuk

bubuk dan salep, serta secara parenteral 0.25-0.5% dengan injeksi dan 0.5-

0.75% untuk anesthesi spinal. (Singh, 2007)

4) Chloroprocaine

Chloroprocaine adalah Lokal Anastetik Ester, diberikan dengan

cara injeksi ketika prosedur bedah. Seperti anestesi lokal lain,

chloroprocaine memblokir generasi dan konduksi impuls saraf dengan

menambah ambang pintu untuk eksitasi elektrik pada saraf, dengan

memperlambat propagasi impuls saraf dan dengan mengurangi tingkat

kenaikan potensial aksi. (DrugBank)

59

Gambar 3. Struktur chloroprocaine dengan cincin intermediet Ester. (Sumber:

https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov)

Chloroprocaine dapat terbentuk dari penambahan atom chlorine

pada posisi ortho di cincin benzene pada struktur procaine. (Yagiela,

2011)

Interaksi chloroprocaine dengan; (1) sodium berperan dalam

aktivitas ion channel, (2) glutamat berperan dalam aktivitas reseptor

ionotropic glutamate, (3) asetilkolin berperan dalam aktivitas reseptor

neurotransmitter, dan (4) cholinestrase berperan dalam metabolisme dan

transportasi lipid. (DrugBank)

5) Lidocaine

Lidocaine merupakan golongan aminoethylamide. Lidocaine

menghasilkan anestesi lebih cepat, intens, durasi yang lebih lama daripada

procaine dengan konsentrasi yang sama. Lidocaine adalah pilihan

alternatif bagi pasien yang alergi dengan anestesi lokal tipe ester. (Hilal-

Dandan, 2013)

Lidocaine diserap secara cepat setelah administrasi parenteral dan

dari traktus GI dan pernafasan. Walaupun lidocaine efektif digunakan

tanpa vasokonstriktor, epinefrin dapat menurunkan tingkat absorpsi

60

sehingga toksisitas berkurang dan durasi aksinya bertambah. (Hilal-

Dandan, 2013)

Untuk preparasi injeksi, lidocaine diformulasikan untuk topikal,

optalmik, mukosa, dan transdermal. Lidocaine transdermal patch

(LIDODERM) digunakan untuk meredakan sakit yang berhubungan

dengan postherpetic neuralgia. Oral patch (DENTIPATCH) tersedia untuk

aplikasi pada membran mukosa mulut sehubung dengan prosedur dental

superfisial. (Hilal-Dandan, 2013)

Kombinasi lidocaine (2,5%) dan prilocaine (2,5%) pada occlusive

dressing (EMLA) digunakan sebagai bahan anestesi untuk venipuncture,

skin graft harvesting, dan infiltrasi anestesi untuk daerah genital.

Kombinasi lidocaine dengan tetracaine (P LIAGLIS) berperan sebagai

analgesik lokal topikal untuk prosedur dermatologis superfisial seperti

pengisi injeksi dan perawatan dengan laser. Lidocaine yang

dikombinasikan dengan tetracaine dengan formulasi yang menghasilkan

panas pada paparan udara (SYNERA), yang digunakan untuk akses vena

dan prosedur dermatologis superfisial seperti eksisi, electrodessication,

dan biopsi lesi kulit. Panas ringan ini bertujuan untuk meningkatkan suhu

kulit sekitar 5°C agar mempermudah penghantaran anestesi lokal ke kulit.

(Hilal-Dandan, 2013)

Penggunaan 2% lidocaine hydrochloride dengan 1:100.000

epinefrin paling cocok digunakan dalam kedokteran gigi, tersedia juga

dalam 1:50.000 epinefrin. Walaupun 2% lidocaine dengan vasokonstriktor

efektif untuk perawatan gigi dalam keadaan normal, kombinasi ini sering

tidak efektif untuk mengatasi nyeri pasien dengan gigi yang sensitif parah.

Kombinasi 5% lidocaine dengan 1:80.000 epinefrin terbukti paling efektif

apabila preparasi anastesi lokal konvensional gagal dilakukan. (Yagiela,

2011)

Efek samping penggunaan lidocaine terkait penambahan dosis

berupa mengantuk, tinnitus, dysgeusia, pusing, dan berkedut. Jika dosis

61

terus ditambah, dapat terjadi kejang, koma, serta depresi dan serangan

pernafasan. Depresi cardiovascular dapat terjadi pada level serum

lidocaine yang menghasilkan efek bagi SSP. Metabolit

monoethylglycinexylidide dan glycine xylidide dapat berkontribusi pada

efek-efek samping ini. (Hilal-Dandan, 2013)

Dosis maksimal penggunaan 2% lidocaine dan 1:100.000 epinefrin

adalah 500 mg, 2% lidocaine dan 1:50.000 epinefrin adalah 250 mg, serta

2% lidocaine adalah 300 mg. (Yagiela, 2011)

6) Bupivacaine Hydrocloride

Bupivacaine merupakan homolog dari mepivacaine yang memiliki

kelarutan yang tinggi dalam lemak dengan mengganti grup N metil dengan

rantai butil. Bupivacaine memiliki potensial dan toksisitas yang sama besar

dengan mepivacaine. Bupivacaine memiliki pKa yang tinggi dan onset

yang lambat dibandingkan dengan mepivacaine. Bupivacaine mampu

menghasilkan blokade saraf berkepanjangan. Obat ini dapat menimbulkan

anestesi sensorik pada 1/3 konsentrasi yang dibutuhkan oleh motor

blokade. (Yagiela, 2007)

a. Farmakokinetik

Bupivacaine diabsorbsi pada jaringan mukosa, dan meninggalkan

metabolit bebas untuk berdifusi kedalam tulang. (Yagiela, 2007)

b. Farmakologi

Lapotan pada manusia menunjukkan dan percobaan pada beberapa

spesies lain mengkonfirmasi bahwa bupivacaine dan anestesi lokal yang

highly lipophilic bersifat kardiotoksik dibandingkan dengan yang less

lipophilic. Ventricular arrhythmias yang serius dan cardiovascular collapse

lebih mungkin terjadi, dan resusitasinya lebih bermasalah. Bupivacaine

memiliki berat molekul tinggi untuk anestesi lokal. Hal itu, ditambah

dengan kecenderungan lipofilik dan kemungkinan pKa yang tinggi,

62

memungkinkan obat ini untuk menggunakan strong phasic block pada

denyut jantung normal. Penghambatan K+ dan Ca++ channels juga dapat

berkontribusi untuk potensi aritmogenik dari bupivacaine dalam

konsentrasi beracun. (Yagiela, 2007)

c. Efek Samping

Pada umumnya anestesi lokal dianggap aman untuk digunakan

selama kehamilan. Studi pada wanita yang menerima anestesi lokal untuk

prosedur darurat pada trimester pertama dan / atau prosedur gigi rutin pada

trimester kedua telah mendukung pandangan ini. Studi pada hewan juga

sebagian besar negatif, meskipun bupivacaine telah terbukti menyebabkan

kematian janin pada lima kali dosis maksimum manusia yang dianjurkan.

US Food and Drug Administration (FDA) telah mengklasifikasikan

bupivacaine dalam kategori c risiko kehamilan. Adapaun kategori C yang

dimaksud adalah studi pada hewan yang menunjukkan adanya efek

terhadap janin (menyebabkan kecacatan atau kematian), namun studi pada

manusia belum tersedia. Obat kategori ini boleh diberikan pada manusia

hanya jika manfaatnya melebihi risikonya pada janin. (Yagiela, 2007).

d. Penggunaan di Kedokteran Gigi

Bupivacaine awalnya digunakan pada tahun 1963 tetapi tidak

dipasarkan dalam dental cartridge sampai tahun 1983. Penggunaan

bupivacaine di kedokteran gigi terdapat dalam sediaan 0,5% bupivacaine

ditambahkan dengan 1:200.000 efinefrin digunakan untuk memblok saraf.

Obat ini digunakan untuk menghilangkan rasa sakit pasca pembedahan

rata-rata 8 jam untuk mandibula dan 5 jam untuk maksila. Bupivacaine

dengan epinefrin akan menjadi pilihan yang baik untuk blokade saraf jika

63

efek yang benar-benar panjang diinginkan. (Yagiela, 2007)

7) Prilocaine

Prilocaine secara klinis digunakan pertama kali pada tahun 1960,

obat ini termasuk dalam amino derivate sekunder dari toluidine. Merk

dagang dari Prilocaine adalah Citanest,Citanest Forte. Prilocaine tidak

sepotensial dan tidak setoksik Lidocaine, obat ini juga tidak digunakan

secara topikal sebagai agen tunggal, namun sangat efektif tanpa epinefrin

untuk penggunaan kedokteran gigi. (Yagiella,2011)

Efek samping dari Prilocaine dapat menyebabkan

methemoglobinemia pada darah karena defisiensi NADH-methemoglobin

reductase. 4% larutan prilocaine dapat menyebabkan kerusakan permanen

pada saraf yang signifikan apabila di administrasikan inferior alveolar

nerve block. FDA mengklasifikasikan prilocaine pada resiko kehamilan

kategori B. (Yagiella,2011)

8) Ropivacaine.

Ropivacaine merupakan anastesi local yang memproduksi sedikit

toksik pada jantung. Biasa digunakan untuk memblok saraf dan pada post-

perawatan yang menyebabkan kesakitan. (Singh,2007)

Ropivacaine merupakan derivat dari mepivacaine.Pada rumus

kimianya hanya terdapat S-enantiomer yang diduga dapat mengurangin

toksik pada jantung. Pada kedokteran gigi, 0.75% dari ropivacaine

merupakan local anastesi yang tahan lama. Ropivacaine berguna pada

penderita hipertensi dan memiliki onset lebih lama dibandingkan dengan

mepivacaine. Merk dagang dari ropivacaine adalah Naropin.

Dosis dan Preparasi

1) Agen untuk Administrasi Parenteral

64

Anestesi lokal injeksi yang dipergunakan pada kavitas oral sediaannya

berupa dosis tunggal 1,7 mL dan 1,8 mL. Air saringan bebas pyrogen dengan

sodium klorida ditambahkan untuk menyeimbangkan ostomotik pada anestesi

lokal. Larutan anestesi lokal memiliki pH kurang dari 3 dan lebih dari 6; preparasi

dengan vasokontriksi diatur untuk menurunkan pH dibandingkan formulasi biasa

untuk menaikkan stabilitas unsur pokok symphathomimetic amine. Asam sitrat

dan sodium metabisulfite (atau antioksidan serupa) juga membantu pencegahan

gangguan vasokontriksi. (Oksidasi senyawa catecholamine mengasilkan asam

untuk menurunkan waktu kerja pH). Beberapa anestesi lokal mengandung

methylparaben sebagai antimikroba. (Yagiella, 2011)

Lidocaine hydrochloride

Adalah derivat aminoethylamide dari xylidine, beberapa kali lebih manjur

dan toksik dibanding procaine; setelah dibandingkan dengan anestesi lokal lain

lebih tepat, lebih luas dan tahan lama. Administrasi lidocaine hydrochloride 2%

dengan 1:100.000 epinefrin paling tepat untuk penggunaan dental, obat ini juga

tersedia dalam larutan biasa dan dengan 1:50.000 epinefrin. Meskipun 2%

lidokain dengan vasokontriksi memberikan kepuasan anestesi dental pada keadaan

normal, namun terbukti tidak efektif pada gigi sensitif yang ekstrim. Larutan

konsentrasi lidocaine 5% dengan 1:80.000 epinefrin menunjukan anestesi efektif

ketika anestesi lokal konvensional gagal. Lidocaine satu-satunya amide di pasaran

sebagai anestesi topikal kedokteran gigi. Sediaan lidocaine hydrochloride yaitu

gel 2%, larutan kental (viscous) 2%, larutan 4% dan di Kanada berupa spray

topikal 10%. Lidocaine yang terdapat di pasaran berupa salep dan larutan 2,5%

dan 5% serta spray aeorosol 10% dan juga mucosal adherent patch 2x1 cm dan

mengandung 46,1 mg. (Yagiella, 2011)

Mepivacaine hydrochloride

Adalah produk dari xylidine dan asam N-methyl-pipecolic. Terdiri atas

konsentrasi 2% dengan 1:20.000 levonordefrin dan larutan 3% tanpa

vasokontriksi. Berbeda dengan anestesi lokal ester lain, alergi silang jarang terjadi

antara mepivacaine dan agen yang berhubungan. (Yagiella, 2011)

65

Prilocaine hydrochloride

Adalah derivat amino sekunder dari toluidine. Kurang manjur dibanding

lidocaine, dipasarkan sebagai larutan 4% dengan dan tanpa 1:200.000 epinefrin.

Prilocaine dihubungkan dengan insidensi kerusakan syaraf setelah injeksi blok

syarat inferior alveolar. (Yagiella, 2011)

Articaine hydrochloride

Articaine merupakan amide yang unik karena berasal dari struktur cincin

thiophene. Di pasaran Amerika Utara berupa konsentrasi 4% dengan 1:100.000

atau 1:200.000 epinefrin, articaine menjadi agen popular di penggunaan rutin

kedokteran gigi. Hidrolisis cepat pada rantai ester menurunkan toksik yang

berhubungan dengan absorpsi lambat dari daerah injeksi; sebaliknya, konsentrasi

tinggi dari agen akan menekan bahaya injeksi intravaskular dan resiko kerusakan

syaraf pada area di dekat injeksi, terutama mempengaruhi syaraf lingual dan

inferior alveolar setelah blok syaraf inferior alveolar. (Yagiella, 2011)

Bupivacaine hydrochloride

Kira-kira 4x lebih manjur dan setoksik mepivacaine, dengan pKa sedikit

tinggi dan onset of action yang lebih lambat. Untuk kedokteran gigi, 0,5%

bupivacaine hydrochloride hadir dengan 1:200.000 epinefrin diberikan untuk

prosedur blok anestesi syaraf beberapa kali lebih lama dibanding obat lain.

Tambahan lain, formulanya memberikan analgesik post-operasi sekitar 8 jam pada

mandibula dan 5 jam di maksila. Bupivacaine sedikit efektif dan bekerja lebih

pendek dibanding lidocaine. Merupakan larutan-lipid yang banyak diabsorbsi

pada jaringan mukosa, meninggalkan bekas obat untuk berdifusi dalam tulang.

(Yagiella, 2011)

Ropivacaine hydrochloride

Tidak terdapat pada sediaan dental. Merupakan derivat dari mepivacaine

dengan rantai propyl menempati N-methyl moiety. Di kedokteran gigi, 0,75%

66

menunjukan produksi anestesi lokal yang tahan lama setelah blok syaraf inferior

alveolar. Berguna untuk pasien yang kontraindikasi dengan vasokontriksi da

durasi aksi yang panjang dibanding aksi yang dihasilkan mepivacaine 3%.

(Yagiella, 2011)

2) Batasan Agen pada Aplikasi Permukaan

Anestesi lokal yang digunakan pada cavitas oral memiliki berbagai tujuan.

Spray menghasilkan anestesi permukaan yang meluas secara tepat untuk membuat

cetakan atau radiografi intraoral. Cairan topikal, mencegah kemungkinan

terhirupnya aerosol, juga dapat digunakan untuk anestesi yang menutupi

permukaan daerah yang besar. (Yagiella, 2011)

Benzocaine

Adalah deravat procaine tanpa amino terminus. Kurang larut dengan baik

pada cairan encer, benzocaine cenderung bersisa pada daerah aplikasi dan tidak

siap diabsorbsi ke dalam sirkulasi sistemnik. Karena potensi toksiknya rendah,

benzocaine berguna untuk anestesi pada daerah luas di cavitas oral. Benzocaine

tidak sepenuhnya aman, kasus methemoglobinemia dilaporkan setelah adminstrasi

dosis yang sangat besar. Benzocaine tersedia dalam berbagai preparasi;

konsentrasi 20% berupa spray aerosol, gel, salep, pasta dan larutan untuk

penggunaan intraoral serta mucosal gel patch (mengandung 36 mg per 2x1 cm).

(Yagiella, 2011)

Tetracaine hyrdrochloride

Adalah derivat asam p-aminobenzoic dimana rantai butyl menempati satu

hidrogen pada grup p-amino. Obat ini lebih toksik dengan potinsi sekitar 10x

lebih banyak dari procaine. Tidak lagi tersedia berupa injeksi, untuk aplikasi

permukaan umumnya dipasarkan berupa garam hydrochloride 2% yang

dikombinasikan dengan benzocaine 14% dan butamben 2% dalam sediaan spray

aerosol, cairan, gel dan salep dibawah nama Cetacaine. Tetracaine adalah salah

satu anestesi topikal paling efektif, namun potensi toksik obatnya perlu

diperhatikan setelah aplikasi. (Yagiella, 2011)

67

Dyclonine hydrochloride

Memiliki hubungan ketone antara aromatic moiety dan sisa molekul

anestesi. Tersedia dalam bentuk tablet (lozenge) untuk penggunaan topikal, tidak

diadministrasikan dalam injeksi karena cenderung menyebabkan iritasi jaringan.

Diindikasikan pada pasien yang alergi terhadap derivat asam p-aminobenzoic.

(Yagiella, 2011)

Chlorobutanol

Merupakan anestesi lokal lemah yang diformulasikan dengan agen lain.

Utamanya pada obtundent dreesing untuk mengurangi pulpitis akut dan

penyembuhan sakit postekstraksi. (Yagiella, 2011)

Cocaine hydrochloride

Anestesi pertama yang digunakan di kedokteran gigi dan kedokteran. Obat

ini menghambat kecepatan catecholamine oleh terminal syaraf adrenergik.

Cocaine memungkinkan pelepasan endogen dan eksogen dari symphathomimetic

amine. Hasilnya menyebabkan pupillary mydriasis, konstriksi vaskular dan

manifestasi lain pada sistem syaraf simpatik. Cocaine memiliki pengaruh kuat

terhadap SSP dan menjadi populer dalam penyalahgunaan obat. Karena aplikasi

terapi yang membuat vasokontriksi untuk keperluan lain (sebagai operasi

intranasal), cocaine tidak digunakan lagi sebagai anestesi rutin di kedokteran gigi.

(Yagiella, 2011)

Lidocaine/prilocaine

Dipasaran dikenal sebagai EMLA (euctectic mixture of 2,5% lidocaine

adn 2,5% prilocaine) tersedia dalam bentuk krim untuk anestesi topikal kulit.

Ketika ditempatkan dibawah occlusive dressing dalam 1 jam, EMLA obtund sakit

dari venipuncture dan berguna pada anak-anak serta pasien lain yang tidak suka

jarum suntik. Walaupun tidak digunakan untuk cavitas oral (rasanya buruk dan

tidak enak untuk intraoral), EMLA akan mengurangi ketidaknyamanan injeksi

68

palatal 5 menit setelah aplikasi dan bisa dilakukannya probing dalam pada sulkus

gingiva tanpa ketidaknyaman lebih baik dibanding lidocaine topikal 5%.

(Yagiella, 2011)

Dipasaran bernama Oraqix, memiliki kekentalan yang rendah pada

temperatur ruangan, anestesi akan menjadi gel elastik setelah diaplikasikan pada

sulkus gingiva untuk scaling periodontal dan root planing. Efek keseluruhannya

penurunan 50% untuk perawatan rasa sakit. (Yagiella, 2011)

Compound topical anesthetics

Contohnya adalah TAC 20% yang mengandung lidocaine 20%, tetracaine

4% dan phenylephrine 2%. Meskipun produk ini memberikan khasiat yang baik

(karena kekuatan konsentrasi) namun belum disetujui oleh FDA dan belum

diujikan dalam keselamatan, khasiat dan stabilitas. (Yagiella, 2011)

Pemelihan Obat

Seleksi anestesi local untuk aplikasi dental harus berdasarkan efisiensi,

aman pemelihan sesuai dengan kebutuhan dari pasien. Terdapat factor-faktor yang

mengevaluas keragaman hasil yang diperoleh dalam bebagai hasil uji klinis. Pada

tahun 1984 terdapat perjanjian pengenelan lidoklain amida ditandai dengan

signifikan tersedia dalam anestesi ester hidroklorida. Untuk yang biasa digunaka

lidokain hidrokloride dengan 1: 100,00 epenepherin yang tetap menjadi standard

anestesi pada gigi. Selain lidokain tersedia empat tambahan amida tersedia dalam

cartridges dental yang proses sama dan keuntungan yang sama dalam stabilitas,

non alergenititas, dan khasiat atas agen ester. (Yagiela, 2011)

Prilocaine digunakan pertama kali pada tahun 1960dengan sedikit ampuh

dan sedikit toxic alternative dari lidokain biasanya tidak diaplikasikan dengan

epinephrine. Articaine adalah anestesi local dari amida thiophene-based yang

digunakan pertama kali pada tahun 1970 dan samapi sekarang. Dengan 4%

Articainedengan 1;100,000 atau 1;200,000 epinephrine dengan equivalen dengan

persiapan amida lainnya dapat meredakan rasa sakit lebih baik. (Yagiela, 2011)

69

Bupivacaine digunakan pertama kali pada tahun 1963. Dimana

menunjukan lebih lambat onset time disbanding dengan amida lainnya tetapi sama

efeknya dlaam memblok saraf dan aksi nya ditandai dengan durasinya lama yag

membuat cocok untuk persiapan bedah mulut dengan dosis 0.5 % dengan

1:200,000 epinephrine. . (Yagiela, 2011)

Salah satu perbedaan yang signifkan dengan amide adalh menyangkut ada

atau tidaknya aditif vasokontriksi. Formulasi anestesi local tanpa epinephrine

seperti obat terutama yang beguna pada sympathomimetic amine merupakan

kontraindikasi. Durasi anestes local tanapa vasokontriktor lebih cepat ketika

digunakan pada infiltrasi maksila disbanding infiltrasi mandibula dengan injeksi

3%mepivacaine atau 4%prilocaine. Anestesi local tanpa vasokontriksi

diindiasikan untuk anak-anak karena memiliki durasi yang pendek dan dapat

digunakan jika simpatomimetik amin memeiliki kontraindikasi. . (Yagiela, 2011)

Lidocaine hydrochloride

Definisi

Lidocaine adalah satu-satunya amida yang dipasarkan sebagai agen

tunggal untuk anestesi topikal dalam kedokteran gigi. Lidokain merupakan

turunan dari aminoethylamide xylidine. Obat ini lebih kuat dan toksik dari

prokain dan memberikan anestesi lokal yaitu dengan perbandingan yang

lebih cepat, lebih luas, dan lebih tahan lama. Pemberian 2 % lidokain

hidroklorida dengan perbandingan 1 : 100.000 epinefrin yang paling cocok

untuk penggunaan gigi rutin, tetapi obat ini juga tersedia sebagai solusi

polos dan dengan 1 : 50.000 epinefrin. Meskipun lidokain 2% dengan

vasokonstriktor memberikan anestesi gigi memuaskan dalam keadaan

normal, kadang-kadang terbukti tidak efektif dalam menangani gigi sangat

sensitif untuk sepenuhnya bebas dari rasa sakit. Pada larutan pekat dari 5

% lidocaine dengan 1 : 80.000 epinefrin telah terbukti untuk menghasilkan

anestesi efektif dalam kebanyakan kasus ketika persiapan anestesi lokal

konvensional telah gagal . (Yagiela, 2011)

70

Gambar 7. Struktur kimia dari lidokain (Yagiela, 2011)

Nama dagang untuk lidocaine hydrochloride adalah Akten,

Anastetafoam, Lida Mantle, Lidocaine, Lidocream, Lidoderm, Topicaine,

Xylocaine

Dosis

Dosis lidokain tidak diberikan melebihi 4.4mg/kg berat badan.

Untuk dosis maksimum rata-rata 300mg pada oramg dewasa. Jika lidokain

dikombinasikan dengan epinefrin, maka dosis amannya sampai 7mg/kg,

dengan dosis maksimum 500mg untuk dewasa. Pada anak-anak, orang

yang sudah tua, orang dengan penyakit jantung, hati, dan ginjal dosis yang

diberikan diturunkan. (Scully, 2010)

Gambar 8. Perbandingan dosis lidokain dan epinefrin dengan dosis maksimum (Yagiela,

2011)

Sifat farmakologi

a. Sifat farmakokinetik

Lidokain umumnya dimasukan melalui intravena, karena kurang

efektif bila melalui oral. Namun, dalam kondisi tertentu, lidokain dapat

melalui intramuskular (bila kekurangan peralatan ECG, dan bila fasilitas

administrasi melalui intravena tidak ada). Jika diberikan melalui

intramuskular, level serum yang lebih tinggi dan lebih cepat dicapai

71

melalui injeksi sampai ke otot deltoid. Meskipun demikian, lidokain yang

diberikan secara intramuskular dapat meningkatkan level creatine

phosphokinase (CPK) . CPK adalah enzim yang digunakan untuk

mendiagnosis infark miokardial akut. (Aschenbrenner, 2009)

Lidokain dimetabolisme secara eksteksif di hati dalam setidaknya

dua metabolit aktif. Metabolisme ini memiliki efek antiaarhythmic dan

konvulsan. Metabolisme dari obat ini akan terganggu bila ada gangguan

pada fungsi hati. Lidokain memiliki biphasic half-life, fase distribusi dari

lidokain kurang dari 10 menit. (Aschenbrenner, 2009)

Selain itu, proses eliminasi hanya sekitar 10% dari dosis yang

diberikan, yang sangat terlibat dalam ekskresi metabolit,karena penyakit

ginjal atau fungsi ginjal yang rusak dapat menyebabkan efek toksis dari

lidokain. Fase eliminasi sekitar 1.5 sampai 2 jam, juga bisa sampai 3 jam

atau lebih jika infus lidokain lebih dari 24jam. (Aschenbrenner, 2009)

Sifat farmakodinamik

a. Sistem saraf pusat

Anestesi lokal masuk ke sirkulasi perifer menuju ke otak. Karena

system saraf pusat sensitif terhadap lokal anestesi, maka konsesntrasi

dalam darah mampu mengubah aktivitas saraf perifer sehingga

mempengaruhi fungsi dari sistem saraf pusat, sehingga menghasilkan

gejala cadel, perasaan mengantuk, dan ketidaksadaran.

Studi electroencephalographic menyatakan bahwa serangan dari

lokal anestesi bermula dari amigdala. Temuan lain juga menyatakan bahwa

lokal anestesi dapat memblok saluran K+ sehingga merangsang

peningkatan dari sistem saraf pusat dan cardiac arrhythmias dapat muncul

akibat rangsangan dari persyarafan langsung. (Yagiela, 2011)

b. Sistem kardiovaskuler

Pengaruh utama lidokain pada otot jantung menyebabkan

penurunan eksitabilitas, kecepatan konduksi, serta kekuatan kontraksi.

Selain itu juga, lidokain dapat menyebabkan vasodilatasi arteriol. Efek

terhadap kardiovaskular baru terlihat sesudah dicapai kadar obat sistemik

72

yang tinggi, dan sesudah menimbulkan efek pada sistem saraf pusat.

(Yagiela, 2011)

c. Miokardium

Mekanisme terjadinya miokardium akibat kemampuan anestesi

untuk memblok saluran Ca++ dimana Ca++ ini dilepaskan dari reticulum

sarkoplasma. Terjadinya pemblokan ini menyebabkan terjadinya

penurunan / depresi dari kontrakti miokardial. Dengan dosis dari lidokain

yang konvensional, efeknya simpatiknya kecil dan efek pembuluh

langsung menghasilkan peningkatan dari resistensi perifer yang mencegah

penurunan dari tekanan darah. (Yagiela, 2011)

d. Pembuluh perifer

Efek dari anestesi lokal pada pembuluh darah bersifat kompleks

dan bergantung dari dosis. Larutan yang dicairkan menyebabkan kontraksi

miogenik yang spontan. Hal ini terjadi akibat adanya peningkatan

konsenstrasi sitoplasma dari Ca++ dalam serabut otot halus. (Yagiela,

2011)

Tabel 4. Parameter farmakodinamik dan farmakokinetik untuk lidokain

(Yagiela, 2011)

Drug Oral

availabi

lity

Urinary

excretion

Bound

in

plasma

Clearance

(L/h/70kg2)

Volume of

distribution

Half-

life

Target

concent

ration

Toxic

concent

ration

Lidocaine 35% 2% 70% 38.4 77 L/70kg 1.8h 3mg/L >6mg/

L

Alasan penambahan 1:100.000 epinefrin untuk anestesi 2%

lidokain hidroklorid.

Epinefrin merupakan vasokonstriktor yang digunakan dalam anestesi lokal

pada kedokteran gigi. Vasokonstriktor yang ditambahkan pada larutan

anestesi lokal berfungsi untuk menghalangi absorpsi sistemik dari agen

73

anesthesia. Epinefrin dengan konsentrasi 5µg/ml sampai 20µg/ml

(1:200.000 sampai 1:50.000) umum digunakan untuk tujuan ini. Durasi

dari anestesi lokal dapat menjadi lebih lama beberapa kali, dan tingkat

kesuksesan seerta intensitas dari blok saraf data meningkat. Toxic sistemik

dapat berkurang karena kurangnya obat yang diperlukan, dan metabolism

anestesi dapat lebih diimbangin dengan absorpsi obat. Selama prosedur

pembedahan, penggunaan epinefrin juga lebih menguntungkan dalam

proses hemostasis. (Yagiela, 2011)

Dosis yang rendah pada epinefrin, misalnya mengandung satu atau

dua katrid dari lidokain dengan 1:100.000 epinefrin (18µg asmpai 36µg),

dapat mengurangi total resisten perifer 20%-30%, tapi dapat meningkatkan

cardiac output.

Penggunaan vasokonstriktor harus hati-hati, karena dapat

meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah sistolik. Penggunaan pada

pasien dengan kelainan jantung tidak diperbolehkan menggunakan sediaan

anestesi lokal dengan kandungan vasokonstriktor lebih dari 200µg atau

setara dengan 20ml atau 1:100.000. (Yagiela, 2011)

Indikasi dan Kontraindikasi Lidokain

a.Indikasi

Lidokain dalam bentuk injeksi diindikasikan untuk produksi

anestesi lokal atau regional melalui teknik infiltrasi seperti injeksi

perikutan, block saraf perifer, dan block spinal atau subarachnoid. (Singh,

2007)

b. Kontraindikasi

Lidokain tidak dapat diberikan pada pasien dengan alergi anestesi

local amida, porfiria akut, dan EMLA sebaiknya tidak digunakan pada

bayi di bawah usia satu tahun. Selain itu, dosis harus dikurangi pada

pasien dengan penyakit hepar. (Meechan, 2002)

74

Efek Samping Lidokain

Manifestasi efek samping pada sistem saraf pusat antara lain

timbulnya rangsang dan/atau depresan dengan ciri-ciri kepala terasa

ringan, nervous, rasa takut, euforia, kebingungan, pusing, lemas, tinnitus,

penglihatan kabur, muntah, sensai panas, dingin, atau mati rasa, kejang,

tremor, ketidaksadaran, dan depresan resiprasi. (Singh, 2007)

Rasa lemas yang diakibatkan administrasi lidokain biasanya

merupakan gejala awal level darah yang tinggi pada obat dan dapat terjadi

karena absorpsi yang cepat. (Singh, 2007)

Manifestasi kardiovaskular yang umum terjadi adalah bradycardia,

hipotensi, dan kegagalan kardiovaskular yang dapat mengakibatkan

cardiac arrest. (Singh, 2007)

Reaksi alergi lidokain dapat ditandai dengan adanya lesi kutan,

urtikaria, edema atau reaksi anafilaksis yang diakibatkan sensitivitas

terhadap agen anestesi local. (Singh, 2007)

Kegunaan dalam Kedokteran Gigi

Lidokain (2%) dengan adrenalin (1:80,000) paling sering

digunakan dalam kedokteran gigi karena menghasilkan anestesi yang baik

pada jaringan lunak dan pulpa serta mengurangi perdarahan post-ekstraksi.

Anestesi pulpa diperoleh selama 2 – 3 menit setelah injeksi dan dapat

bertahan selama satu jam. (Singh, 2007)

Lidokain dengan epinefrin merupakan anestesi lokal ‘gold

standard’ untuk anestesi kedokteran gigi. (Meechan, 2002)

2.6 Absorbable Hemostatics (Spons Gelatin/ Gelfoam)

Spons gelatin merupakan bahan hemostatic yang tidak dapat larut dalam air terbuat dari

gelatin yang dimurnikan ( non-antigenic carbohydrat), sering digunakan sebagai biodegradable,

absorbable embolic agent (Golzarian, 2006) . Spons gelatin adalah bahan hemostatic dari

gelatin dimana gelatin itu sendiri merupakan protein yang digunakan sebagai bahan hemostatic

75

dalam prosedur bedah (MIMS, 2011) . Correll dan Wise adalah orang pertama yang melaporkan

sifat hemostatic dari spons gelatin dan kemampuannya untuk digunakan selama pembedahan.

Spons gelatin sebagai bahan hemostatic bekerja dengan cara segera membentuk bekuan

pendukung atau buatan (Golzarian, 2006). Spons gelatin bersifat menyerap dengan cepat dan

efektif sehingga dapat meminimalkan kehilangan darah bagi pasien. Hal ini juga

memungkinkan ahli bedah untuk melakukan operasi di bidang bedah. Dengan

penggunaan spons Gelatin hemostatik dapat menghemat waktu dalam bidang

bedah dan anestesi.

Sifat Farmakologi Gelatin Sponge

Perdarahan dari struktur tulang, khususnya dari soket pasca ekstraksi,

dapat dikontrol oleh berbagai cara. Apabila usaha awal untuk mencapai

hemostasis dengan kapas kasa dan tekanan tidak berhasil, mungkin dapat

dimasukkan gelatin sponge, sponge selulosa yang terdenaturasi, atau collagen

plug ke dalam bony crypt. (Yagiela, 2011)

Gelatin sponge dimaksudkan untuk menjadi matriks dimana platelet dan

sel darah merah terperangkap. Dengan begitu, sponge memfasilitasi gangguan

platelet dan dapat mengabsorbsi empat puluh sampai lima puluh kali berat mereka

dalam darah, yang membantu dalam koagulasi. Sponge biasanya meresorbsi

dalam empat sampai enam minggu. Karena sponge ini terbuat dari gelatin, maka

harus diaplikasikan dalam keadaan kering; apabila lembab maka akan sulit untuk

dipergunakan. Karena hal ini, banyak praktisi yang lebih memilih untuk

menggunakan preparasi selulosa yang terdenaturasi atau collagen sponge.

(Yagiela, 2011)

Sponge selulosa yang terdenaturasi atau kain kasa (gauze) berfungsi

sebagai penyumbat fisik (physical plug) dan chemical hemostatic. Aksi yang

mengembangkan koagulasi yang jelas berasal dari pelepasan asam selulosa

(cellulosic acid), yang mendenaturasi hemoglobin, produk pecahan ini membantu

menyumbat daerah injury. Asam selulosa, seperti halnya dengan tannic acid,

dapat menginaktivasi thrombin sehingga penggunaan sponge selulosa bersamaan

dengan prokoagulan tidak efektif. Terdapat dua bentuk sponge selulosa yang

tersedia, yaitu oxidized cellulose dan oxidized regenerated cellulose. Kedua

76

material ini menyebabkan penyembuhan yang lambat, khususnya oxidized

cellulose, yang terutama menghalangi regenerasi tulang dan epitelisasi. Meskipun

regenerated cellulose dikatakan memiliki lebih sedikit tindakan yang

menghambat, baik oxidized cellulose maupun oxidized regenerated cellulose

seharusnya tidak dibiarkan tertinggal secara permanen apabila dapat diangkat.

(Yagiela, 2011)

Collagen plug, seperti halnya dengan microfibrillar collagen, berfungsi

untuk mempercepat agregasi platelet dan membentuk barrier fisik. Karena

collagen plug juga biasanya terbuat dari sumber kolagen bovine, respon benda

asing sesekali dapat terjadi. Secara keseluruhan, collagen plug secara umum

mengaktivasi platelet lebih menyeluruh dan merupakan produk intrasocket yang

sering dipakai. (Yagiela, 2011)

Indikasi

Hemostatik golongan ini berguna untuk mengatasi perdarahan yang berasal dari

pembuluh darah kecil saja misalnya kapiler. Pada prosedur pembedahan sebagai alat hemostatic,

dimana ketika mengontrol perdarahan kapiler dan arteri ketika dengan cara tekanan, penggunaan

benang penjahit luka, atau cara konvensional lainnya tidak efektif. (Golzarian, 2006)

Kontraindikasi

Penggunaan Hemostatik golongan ini tidak efektif untuk menghentikan perdarahan

arteri atau vena yang tekanan intravaskularnya cukup besar. Gelfoam juga tidak boleh diberikan

pada pasien yang alergi terhadap porcine collagen. (Golzarian, 2006)

Cara Mengaplikasikan Gelatin Sponge

Gelatin foam atau Gelfoam saat ini tersedia dalam dua bentuk yaitu bubuk

yang mengandung partikel dengan diameter berkisar antara 40 sampai 60 µ dan

lembaran yang dapat dipotong dari berbagai bagian dan berbagai ukuran. Gelfoam

biasanya dicampur dengan contrast agent sebelum diinjeksikan. Terdapat

bebetapa cara untuk memotong lembaran Gelfoam. Cara yang pertama ialah

dengan menggunakan pisau (blade) dan potong lapisan tipis dari Gelfoam.

77

Kemudian potongan ini dipotong secara longitudinal dan transversal untuk

menjadi potongan yang kecil dengan menggunakan gunting. (Golzarian, 2006)

Gambar 9. Gelfoam. a Pertama-tama potong lembaran Gelfoam secara longitudinal dengan

menggunakan pisau. b Lembaran tersebut kemudian dipotong secara memanjang dengan

menggunakan gunting. c Setiap potongan kemudian dipotong menjadi kubus yang kecil. d

Partikel-partikel tersebut lalu direndam dalam contrast agent dan siap untuk digunakan.

(Golzarian, 2006)

Cara lain ialah dengan menggurat atau menggores (scratch) lembar

Gelfoam secara hati-hati dengan menggunakan pisau untuk memperoleh potongan

berukuran kecil. Ukuran dari partikel akan jauh lebih sedikit homogen dibanding

dengan cara yang sebelumnya. Meskipun demikian, pencampuran yang kuat dari

partikel dengan contrast agent akan membuatnya mungkin untuk memperoleh

bentuk larutan jelly yang dapat diinjeksikan dengan mudah. (Golzarian, 2006)

78

Gambar 10. Gelfoam slurry. Lembaran Gelfoam diiris dengan pisau dengan sudut 45 . campuran

semiliquid (slurry) dicampur dengan contrast agent. Setelah dicampur maka akan diperoleh

larutan seperti jelly. (Golzarian, 2006)

Cara yang terakhir ialah dengan memotong Gelfoam menjadi potongan

yang panjang dan kecil yang juga disebut ‘torpedo’. Potongan torpedo biasanya

digunakan untuk mendapatkan proximal vessel occlusion pada arteri mayor atau

sebagai embolisasi komplementer untuk mencegah perdarahan kembali.

(Golzarian, 2006)

79

Gambar 11. Gelfoam ‘torpedo’. (Golzarian, 2006)

80

BAB III

STUDI KASUS

3.1 Kasus

Kasus: Tn. Triperi

Tutorial I

Seorang pria bernama Tn. Triperi berusia 25 tahun datang dengan keluhan sulit

membuka mulut sejak 1 hari yang lalu. Sejak 3 hari yang lalu pasien mengeluhkan

sakit dan bengkak pada gusi belakang kiri rahang bawah. Pada saat makan gusi

sering tergigit. Rasa sakit tidak hilang setelah meminum parasetamol, dan

sekarang pasien semakin tersiksa karena selain sakit, dia mengalami kesulitan

membuka mulutnya. Pasien ingin giginya dirawat.

Pemeriksaan fisik menunjukkan suhu badan pasien 37oC dengan tekanan darah

120/80 mmHg.

Pemeriksaan ekstra oral: lymphadenitis pada kelenjar submandibular kiri,

pembukaan mulut trismus 2 jari.

Pemeriksaan intra oral: tidak dapat dilakukan

Dokter gigi menduga bengkak yang dialami pasien adalah perikoronitis e.c.

impaksi gigi 38 disertai dengan trismus 2 jari. Dokter gigi memberikan resep

Ibuprofen 400 mg yang diberikan 3x sehari selama 3 hari bila diperlukan,

Eperisone HCl 50 mg diberikan 2x sehari selama 3 hari. Pasien diminta untuk

datang kembali setelah 3 hari untuk dilakukan odontektomi.

81

Tutorial II

Setelah 3 hari pasien datang kembali dan kondisinya membaik. Rasa sakit

hilang, mulut dapat dibuka dengan normal. Pemeriksaan intra oral : gusi terlihat

kemerahan dan sedikit membengkak di regio 38. Pemeriksaan radiografis

menunjukkan adanya gigi impaksi kelas II gigi 38. Dokter gigi memutuskan untuk

melakukan tindakan odontektomi gigi 38 dengan menggunakan anestesi lokal

hidroklorid 2 % ditambahakan dengan 1:100.000 epinefrin sebelum pembedahan.

Dokter gigi memberikan instruksi pada pasien untuk menggigit tampon minimal 1

jam dan tidak mempermainkan ataupun menyentuh luka bekas pencabutan dengan

tangan, lidah ataupun benda lain. Pasien juga diinstuksikan untuk melanjutkan

penggunaan ibuprofen bila merasakan sakit. Tapi esok paginya pasien datang

kembali karena darah tidak mau berhenti dan dokter gigi mengaplikasikan gelatin

sponge pada luka bekas pencabutan untuk menghentikan perdarahan. Pasien

diminta datang kembali 1 minggu kemudian.

3.2 Identifikasi Masalah

1. Sulit membuka mulut,sejak 1 hari yang lalu, trismus 2 jari

2. Gusi belakang RB bengkak sejak 3 hari yang lalu

3. Gusi sering tergigit

4. Rasa sakit tidak hilang setelah diberikan parasetamol

5. Lymphadenitis pada kelenjar submandibular kiri

6. 3 hari setelah dilakukan perawatan, pasien dilakukan

pembedahan, terjadi perdarahan yang tidak berhenti pasca pencabutan setelah 24

jam.

3.3 Hipotesis

I : pericoronitis et causa impaksi gigi 38 disertai trismus 2 jari

II : perdarahan sekunder pasca odontektomi gigi 38

82

3.4 Mekanisme

Impaksi gigi 38

Pericoronitis

Gusi belakang RB (regio 3) bengkak & sakit

Gusi sering tergigit

Parasetamol

Sakit tidak hilang& tidak bisa membuka mulut

Pemberian ibuprofen dan Eperison HCl

Sakit hilang, pembukaan mulut normal, gusi tampak kemerahan dan

bengkak

Odontektomi Anastesi Lokal

Luka Ibuprofen

Perdarahan sekunder setelah 24 jam pembedahan

Gelatin sponge

83

BAB IV

HASIL DISKUSI

Pasien Tn. Triperi berusia 25 tahun mengalami pericoronitis yang

disebabkan oleh impaksi gigi 38. Sehingga gusi belakang rahang bawahnya terasa

sakit dan bengkak. Selain itu, gusi juga sering tergigit dan kesulitan membuka

mulut. Untuk mengatasi itu, Tn. Triperi mengkonsumsi obat parasetamol, namun

sakit tak kunjung hilang. Sehingga dokter memberikan ibuprofen untuk

menghilangkan sakitnya karna ibuprofen lebih efektif daripada parasetamol.

Selain ibuprofen dokter juga memberikan eperisone HCl untuk mengobati trismus

dari Tn. Triperi.

Setelah 3 hari Tn. Triperi datang kembali tanpa rasa sakit. Ini

menunujukan bahwa ibuprofen lebih efektif daripada parasetamol. Tn. Triperi

dilakukan pembedahan odontektomi, dokter memberikan intruksi agar tidak

memainkan luka pasca pembedahan dan memberikan ibuprofen untuk dikonsumsi

jika merasa sakit. Namun, sehari setelahnya, Tn. Triperi datang dengan keadaan

perdarahan sekunder pada luka pasca pembedahan. Perdarahan sekunder dapat

terjadi karena Tn. Triperi tidak mengikuti instruksi dokter untuk tidak memainkan

luka pasca pembedahan. Setelah itu dokter mengaplikasikan gelatin sponge agar

perdarahan sekunder berhenti.

84

BAB V

KESIMPULAN

Analgesik dibagi dalam dua kelompok yaitu analgesik opioid dan

analgesik non-opioid.

Analgesik opioid merupakan golongan obat yang bekerja pada

sistem saraf pusat (SSP) dan bila digunakan dalam jangka waktu lama

dapat menimbulkan ketergantungan pada sebagian pemakai. Berdasarkan

rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi menjadi derivat

fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan.

Analgesik non-opioid merupakan golongan obat yang walaupun

kerja utamanya adalah pada sistem saraf perifer dengan menghambat

mediator penyebab nyeri. Analgesik non-opioid dapat dibedakan menjadi

dua golongan yaitu golongan steroid (betametason, hidrokortison) dan

golongan non-steroid/NSAIDs (Non-Steroidal Anti Inflammatory

Drugs). Parasetamol/Asetaminofen termasuk pada golongan analgesik

non-opioid. Ibuprofen merupakan golongan obat anti inflamasi non-

steroid atau analgesik non opioid yang termasuk kelompok derivate asam

propionate.

Muscle relaxant berperan pada SSP, digunakan untuk menangani

kejang akut yang disebabkan oleh kondisi seperti kecemasan, inflamasi, nyeri,

dan trauma. Eperisone merupakan obat antispasmodik atau obat untuk

gejala-gejala yang berhubungan dengan spasme muskuloskeletal atau

kejang otot. Obat ini dapat menimbulkan efek pada sistem saraf pusat.

Anastesi Lokal adalah obat yang diberikan secara oral (topikal

atau suntikan) dalam kadar yang cukup dapat menghambatan hantaran

implus pada syaraf yang dikenal oleh obat tersebut .Obat-obat ini

menghilangkan rasa/sensasi nyeri (pada konsentrasi tinggi dapat

85

mengurangi aktivitas motorik) terbatas pada daerah tubuh yang dikenai

tanpa menghilangi kesadaran .

Anestesi lokal digunakan secara rutin dalam kedokteran gigi

dengan memblok saraf atau dengan infiltrasi dan / atau teknik memblok

daerah untuk cary prosedur operatif varous. Anestesi lokal juga dapat

diklasifikasikan menjadi dua kategori berdasarkan struktur kimianya.

Spons gelatin merupakan bahan hemostatic yang tidak dapat larut dalam air

terbuat dari gelatin yang dimurnikan ( non-antigenic carbohydrat), sering digunakan

sebagai biodegradable, absorbable embolic agent. Perdarahan dari struktur

tulang, khususnya dari soket pasca ekstraksi, dapat dikontrol oleh

berbagai cara. Apabila usaha awal untuk mencapai hemostasis dengan

kapas kasa dan tekanan tidak berhasil, mungkin dapat dimasukkan

gelatin sponge.

Gelatin sponge dimaksudkan untuk menjadi matriks dimana

platelet dan sel darah merah terperangkap. Dengan begitu, sponge

memfasilitasi gangguan platelet dan dapat mengabsorbsi empat puluh

sampai lima puluh kali berat mereka dalam darah, yang membantu dalam

koagulasi. Sponge biasanya meresorbsi dalam empat sampai enam

minggu. Karena sponge ini terbuat dari gelatin, maka harus diaplikasikan

dalam keadaan kering; apabila lembab maka akan sulit untuk

dipergunakan.

86

DAFTAR PUSTAKA

American Society of Health-System Pharmacists 2011; Drug Information 2011.

Bethesda, MD. 2011, p. 2893 Physicians Desk Reference. 58th ed. Thomson

PDR. Montvale, NJ 2004., p. 113

Aschenbrenner, Diane S dan Samantha J. Vernable. 2009. Drug Therapy in

Nursing 3rd edition. Philadelphia

Dart, R.C. (ed). Medical Toxicology. Third Edition, Lippincott Williams &

Wilkins. Philadelphia, PA. 2004., p. 1084

Dewoto, Hedi. 1971. Farmakologi dan Terapi, Edisi V. Jakarta : Departemen

Farmakologi dan Terapi FK UI.

Dorland, W. A. Newman. 2012. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28.

Jakarta: EGC Medical Publisher.

Ellenhorn, M.J. and D.G. Barceloux. Medical Toxicology - Diagnosis and

Treatment of Human Poisoning. New York, NY: Elsevier Science

Publishing Co., Inc. 1988., p. 645

Golzarian, Jafar, Shiliang Sun, dan Mel Sharafuddin. 2006. Vascular

Embolotherapy: A Comprehensive Approach, Volume 1: General

Principles, Chest, Abdomen, and Great Vessels Medical Radiology

Diagnostic Imaging. Berlin: Springer Science & Business Media.

Harvey, A.L. (ed.). Natural and Synthetic Neurotoxins. London, England:

Academic Press 1993., p. 268

Hart FD, Huskisson EC. 1984. Non-steroidal anti-inflammatory drugs: current

status and rational therapeutic use. Drugs.

Hilal-Dandan, Rana dan Laurence L. Brunton. 2013. Goodman and Gillman’s The

Manual of Pharmacology and Therapeutics. Mc Graw-Hill Education

Jayanti, Irma., dkk. 2015. Farmakologi Toksikologi I Analgesik Opioid. Makasar:

Fakultas Farmasi Universitas Indonesia Timur

Kraeling ME et al; Skin Pharmacol 9 (3): 221-30 (1996)

Meechan, J.G. 2002. Drug Dictionary for Dentistry. New York: Oxford

Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, Edisi V, 88, Penerbit ITB, Bandung

87

Physicians Desk Reference. 58th ed. Thomson PDR. Montvale, NJ 2004., p. 113

Rodriguez LF et al; Ann Pharmacother 28 (5): 643-9 (1994)

Scully, Crispian. 2010. Medical Problems in Dentistry 6th edition. Elsevier:

Chruchill Livingstone

Singh, Surender. 2007. Pharmacology for Dentistry. New Delhi: New Age

International Publisher.

Syamsuni, H. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta : EGC

Tjay, T.H., Rahardja, K., 2002,Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-

efek Sampingnya,edisi V, Penerbit PT Elex Media Komputindo kelompok

Gramedia, Jakarta.

Woods, Robin. 1996. A Guide To The Use Of Drugs In Dentistry 12th Edition.

Australian Dental Association Inc.: Australia

Yagiela, John A. 2011. Pharmacology and Therapeutics for Dentistry 6th Edition.

St. Louis, Missouri: Mosby, Elsevier.

http://www.eisai.jp/medical/products/di/EPI/MYO_T-G_EPI.pdf diakses tanggal 27

Oktober 2015

www.google.com diakses tanggal 27 Oktober 2015

www.mims.com diakses tanggal 27 Oktober 2015

International Programme on Chemical Safety; Poisons Information Monograph:

Cocaine (PIM 139) (1999) Available from, as of November 14,

2011: http://www.inchem.org/pages/pims.html diakses tanggal 30 Oktober

2015

http://www.drugbank.com diakses tanggal 1 November 2015

https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov diakses tanggal 1 November 2015

88