web viewpo houw yang tidak memiliki prestasi secemerlang po giok di sekolah merasa kesal. ... cerita...
TRANSCRIPT
PENOKOHAN DALAM NOVEL TJERITA SIE PO GIOK:
CERITA ANAK KESUSASTERAAN MELAYU TIONGHOA
1. Pengantar
Tjerita Sie Po Giok atawa Peroentoengannja Satoe Anak Piatoe, yang
lebih dikenal dengan judul pendek Sie Po Giok, adalah novel anak Hindia
Belanda, sekarang Indonesia. Novel tersebut ditulis oleh Tio Ie Soei dalam bahasa
Melayu Pasar pada tahun 1911. Novel tersebut mengisahkan Sie Po Giok, seorang
anak yatim yang menghadapi berbagai macam tantangan ketika ia tinggal bersama
pamannya di Batavia, sekarang Jakarta. Secara garis besar novel tersebut
menceritakan tentang kehidupan Sie Po Giok yang sudah harus menjadi anak
yatim piatu sejak dia berumur sebelas tahun. Akhirnya ia tinggal bersama
pamannya Sie Thian Bie di Batavia (sekarang Jakarta) yang memiliki seorang istri
dan tujuh orang anak. Sie Po Giok memiliki perasaan yang sensitif, selalu
bersikap baik, dan sopan.
Namun, Sie Po Giok tidak nyaman karena merasa membebani
keluarga pamannya yang berasal dari kelas menengah tersebut. Dua anak putra
pamannya yang bernama Po Houw dan Po Soeij selalu membenci Sie Po Giok. Po
Houw yang tidak memiliki prestasi secemerlang Po Giok di sekolah merasa kesal.
Po Houw menjebak Po Giok dengan meletakan kulit buah sawo yang sebelumnya
oleh Thian Bie dilarang untuk dimakan karena diperuntukan sebagai hadiah. Po
Giok bisa menenangkan hatinya setiap kali bersama anak perempuan pamannya
yang bernama Kim Nio.
1
Novel Sie Po Giok ditulis oleh Tio Ie Soei. Ia adalah jurnalis kelahiran
Batavia keturunan Cina. Tjerita Sie Po Giok merupakan novel pertamanya. Novel
Tjerita Sie Po Giok terdiri dari delapan bab dan memiliki beberapa catatan kaki
yang memperjelas konten novel, termasuk satu catatan di akhir novel yang
memberitahukan nasib Thian Bie dan anak-anaknya. Novel Sie Po Giok awalnya
dicetak dalam bentuk serial di harian Tionghoa Sin Po dan sukses besar. Cerita itu
kemudian dijadikan novel pada tahun 1911 dan diterbitkan oleh Hoa Siang In
Giok, rumah penerbitan milik saudara ipar Tio. Edisi kedua diterbitkan Goan
Hong & Co. pada tahun 1921. Pada tahun 2000 novel Tjerita Sie Po Giok dicetak
ulang sesuai Ejaan yang Disempurnakan di volume pertama Kesastraan Melayu
Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, sebuah antologi sastra Tionghoa Melayu1.
Karya Tio le Soei lainnya sebagai berikut, Tjerita Item Poeti dan
Meiradi (1915), Harta Besar, Satoe Boekoe jang Bergoena boeat Orang-orang
jang Soeka Madjoeken Diri dalem Pergaoelan jang Sopan (1915), Tatjana atawa
Doeka Lantaran Eïlok (1915), Apa Artinja Pekerdja'an? (1920), Li Hung Chang
(1920), Badjak: Kedjahatan di Laoetan antara Java dan Australië (1921), Tjerita
Nona Siok Lie (1922), Nona Tjoe Joe: Pertjinta'an jang Membawa Tjilaka (1922),
Satoe Makota-Radja: Tjerita di Djeman Permoesoehan antara Zweden dan
Denemarken (1923), Pieter Elberveld: Satoe Kedjadian jang Betoel di
Betawi (1924), Sariboe Satoe Malem, Dongeng-dongeng Arab (1924), Hikajat
Pemboenoehan Doorman (1925), Harta atawa Istri? (1925), Terloepoet ...
Saltima: Doea Tjerita dari Kedjadian-kedjadian jang Betoel di Djawa Wetan dan
1 Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Tio_Ie_Soei diakses 3 Desember 2015 pukul 9.21 WIB
2
Djawa Koelon (1925), Sara Specx: Satoe Kedjadian jang Betoel di Betawi di
Djeman Pamerentahannja Jan Pieterszoon Coen dalem Taon 1629 (1926),
Riwajatnja Satoe Boxer Tionghoa (1928), dan Lie Kimhok 1853–1912 (1958)2.
Dalam cerita Sie Po Giok, tokoh-tokohnya menggunakan bahasa
Melayu pasar. Po Giok, Po Houw, dan Po Soeij pun bersekolah di sekolah
Tionghoa peranakan di Capgokeng untuk belajar bahasa Hokkian. Hal ini
disebabkan di Indonesia bahasa Tionghoa sendiri rupanya tidak pernah populer.
Penggunaan bahasa Melayu pasar dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari
Tionghoa peranakan membuktikan hal itu. Bahasa Melayu pasar atau Melayu
rendah ini merupakan percampuran berbagai bahasa, antara lain bahasa Melayu,
Hokkian, dan Jawa.
Latar cerita terjadi dua ratus tahun setelah kota Batavia atau Betawi
berdiri (kira-kira abad ke-18), yang berarti Belanda telah masuk ke Batavia, tetapi
belum banyak percampuran bahasa Belanda dalam dialog antartokoh. Bahasa
Belanda masih terbatas digunakan dalam cerita, yaitu untuk menjelaskan bahwa
rumah Sie Po Giok terletak di suatu district Pasar Senen, afdeeling Weltevreden,
dan menyebut pekerjaan Sie Thian Bie, paman Po Giok, sebagai kassier, serta
mata uang yang dipakai saat itu. Hal ini jelas terlihat dalam kalimat berikut.
“Kutika masih bekerja pada kassier Thian Bie, adalah Kim Tjiang biasa dapet f 15.- sabulan…” (KMT: 289)
Bahasa lain yang banyak dipakai selain Melayu adalah bahasa
Hokkian. Hal ini tergambar dari percampuran kedua bahasa (Melayu dan
2 Sumber: http://kelas-sore-malam-unimus.kartun.org/en3/central-671/Tio-Le-Soei_113353_kelas-sore-malam-unimus-kartun.html diakses 3 Desember 2015 pukul 9.24 WIB
3
Hokkian) dalam dialog antartokoh, misalnya untuk menyebut status dalam
keluarganya. Sie Thian Bie, paman Po Giok, dipanggil dengan
sebutan engko (paman) oleh Po Giok, sedangkan oleh anak-anaknya dipanggil
dengan sebutan encim (ayah). Nama-nama sapaan pun masih bercampur dengan
bahasa Hokkian, misalnya sebutan sinshe untuk guru.
Novel Sie Po Giok dianggap menarik untuk dianalisis oleh penulis
karena Sie Po Giok merupakan cerita anak yang dianggap sebagai satu-satunya
sastra anak yang tulis oleh penulis Melayu Tionghoa. Selain itu, novel Sie Po
Giok merupakan satu-satunya bacaan anak-anak dalam perkembangan
kesusasteraan Melayu Tionghoa. Tidak dapat dipungkiri bahwa bacaan anak
sangat diperlukan dalam suatu kesusasteraan. Cerita yang dibaca anak-anak dapat
merangsang kepekaannya terhadap situasi sekitar sehingga segala sesuatu yang
dianggapnya menarik akan mereka tiru. Melalui cerita anak, cerita yang dibawa
anak-anak dengan bimbingan dan pengarahan anggota dewasa suatu masyarakat,
sedang penulisannya juga dilakukan oleh orang dewasa (Sarumpaet, 2010:2).
Dalam sebuah cerita, alur merupakan hal penting karena alur yang
menggerakan peristiwa dan cerita, tetapi tokoh merupakan unsur cerita yang
paling banyak dibicarakan pembaca. Tokoh cerita yang hadir sebagai pelaku
berbagai kejadian lebih sering mengesankan hati pembaca, terutama anak-anak.
Banyak orang pada umumnya, anak-anak pada khususnya, setelah selesai
membaca sebuah cerita yang tersisa di ingatan ialah mengenai tokoh-tokohnya
(Nurgiyantoro, 2013:75). Pengidentifikasian tokoh seperti tindakan, sikap, tingkah
laku, kata-kata, serta perwatakan yang dimiliki tokoh merupakan bagian yang
menarik untuk dianalisis lebih jauh, apalagi, jika pembaca cerita itu adalah anak-
4
anak yang sedang memiliki rasa ingin tahu yang besar dalam rangka membangun
dunianya.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori sturkturalisme. Hal
tersebut untuk mengetahui lebih jauh mengenai tindakan, sikap, tingkah laku,
kata-kata, serta perwatakan yang dimiliki tokoh Sie Po Giok dalam novel Sie Po
Giok. Strukturalisme adalah teori yang mengganggap sebuah karya sastra
merupakan sebuah struktur. Dalam struktur tersebut terdapat unsur-unsur yang
bersistem. Antarunsur terjadi timbal balik dan saling menentukan. Teori yang
digunakan juga merupakan pembuktian kecocokan cerita Sie Po Giok dengan ciri-
ciri bacaan cerita anak.
Strukturalisme adalah sebuah paham, sebuah keyakinan, bahwa segala
sesuatu yang ada dalam dunia ini mempunyai struktur, bekerja secara struktural
(Faruk, tanpa tahun:173). Hawkes (dalam Faruk, tanpa tahun:173) mendefinisikan
strukturalisme sebagai sebuah cara berpikir tentang dunia yang terutama
mengaitkan diri pada persepsi dan deskripsi mengenai struktur itu. Pujiharto
dalam bukunya (2012:24) menyatakan bahwa dalam strukturalisme terdapat
empat rumusan, yakni (1) unsur hanya bisa dimengerti melalui keterkaitan
antarunsur, (2) tidak mencari struktur permukaan, tetapi mencari yang berada di
bawah atau di balik realitas empiris, (3) dalam peringkat empiris keterkaitan
antarunsur bisa berupa binary opposition (pertentangan antara dua hal), dan (4)
strukturalisme memperhatikan unsur-unsur yang sinkronis bukan diakronis.
Unsur dalam novel Sie Po Giok yang dianalisis ialah unsur tokoh.
Tokoh-tokoh yang dianalisis penulis ialah Po Giok yang merupakan tokoh utama
5
di dalam cerita. Pembahasan yang berkenaan dengan tokoh mencakup beberapa
hal. Dalam bukunya, Pujiharto (2012:44) berpendapat bahwa terdapat tiga hal
yang berkenaan dengan tokoh yakni penokohan, jenis tokoh, dan motivasi tokoh,
sedangkan Nurgiyantoro (2013:74) memiliki dua hal berkenaan dengan tokoh
yakni kualifikasi tokoh dan pengungkapan tokoh. Secara garis besar kedua
pendapat di atas memiliki persamaan, yakni jenis tokoh yang disampaikan
Pujiharto serupa dengan kualifikasi tokoh seperti yang dimaksud Nurgiyantoro
dan motivasi tokoh sama dengan pengungkapan tokoh. Peneliti menganalisis
penokohan Po Giok melalui dua hal yaitu kualifikasi tokoh dan pengungkapan
tokoh sebagai pembuktian kecocokan cerita Sie Po Giok dengan ciri-ciri bacaan
cerita anak.
2. Kualifikasi Tokoh
Tokoh cerita hadir di hadapan pembaca membawa kualifikasi tertentu
terutama yang menyangkut jati diri (Nurgiyantoro, 2013:75). Menurut Lukens
(dalam Nurgiyantoro, 2013:75) tokoh itu sendiri dapat dipahami sebagai
seseorang (atau sesosok) yang memiliki kualifikasi mental dan fisik yang
membedakannya dengan orang (sosok) lain.
Kualifikasi tokoh yang ada di dalam novel Sie Po Giok, penokohan
terbagi menjadi dua yakni tokoh berkualifikasi baik dan tokoh berkualifikasi
jahat. Hal tersebut dilakukan agar terlihat tokoh anak yang mewakili kebaikan dan
keburukan. Di dalam cerita, Po Giok merupakan tokoh utama dengan kualifikasi
tokoh baik. Keterlibatannya dalam cerita sangat intens, bahkan Po Giok
merupakan sumber konflik dari peristiwa ke peristiwa. Selain itu, dari awal
6
hingga akhir cerita ia menjadi pusat sorotan dalam cerita. Berikut merupakan
kutipan dari cerita yang menggambarkan Po Giok sebagai kualifikasi tokoh baik.
... Juga Sie Po Giok tiada lupa pesenan ibunya, apa yang ia harus simpen di dalem hati: di segala waktu ia harus sujut pada Tuhan Allah Yang Maha Kwasa; ia jangan sekali bicara justa; musti ada kesabaran hati; ia jangan berbuat jahat pada laen orang, kendatipun orang suda berbuat jahat padanya; ia harus yakinken segala pelajaran yang berfaeda...
... Ingetan ini suda membikin tegu hatinya Sie Po Giok, hingga aer matanya tiada mengucur lagi. (KMT:6)
Di bagian selanjutnya di dalam cerita, Po Giok memergoki salah satu
karyawan pamannya Thian Bie, Kim Tjiang sedang mencuri buah-buah di kebun
pamannya. Karena ia mendapat ancaman dari Kim Tjing, Po Giok merasa takut
sampai akhirnya ia berjanji untuk tidak memberitahu kepada siapa pun kalau
selama ini buah-buah di perkebunan pamannya Kim Tjiang yang mencuri.
...“Kau suda mengarti apa aku bilang?” menanya itu maling, yang dari rupanya pun orang bisa dapet kenyataan, ia ada satu anak yang tiada boleh diharep bisa menjadi saorang baek. Samentara tangannya Po Giok ia goncang ka kiri dan ka kanan, ia berkata lagi begini: “Bicara sekarang dengen betul, atawa kau nanti jadi menyesel! Aku kenal satu nasehat buat tutup mulutnya satu anak seperti kau ini.”
Ini suara yang kaluar dari mulutnya itu anak jahat ada cukup aken membikin parasnya Po Giok menjadi pucat ampir seperti kertas dan membikin ilang seantero kebranian yang ada di dalem hatinya, maka dengen ringkes dan swara yang ampir tiada kedengeran ia menyaut:
“Aku tiada nanti cerita, meski pada siapa juga.” (KMT: 258)
... “Kau dapet liat siapa yang suda curi itu jambu, Po Giok?” menanya sang paman pada kaponakannya ini, yang dateng dari kamar mandi.
... “Tida, encek, aku tiada liat siapa yang suda curi itu jambu.”
Tapi baru saja mengucapken ini perkataan, Po Giok merasa, ia telah berbuat satu kadosaan besar sekali, suda melanggar pesanan ibunya yang sudah kasi nasehat padanya supaya selama-lamanya ia musti bicara trus trang dalem segala perkara. (KMT: 4)
7
Dari kutipan di atas diketahui bahwa Po Giok yang merasa ketakutan
atas ancaman Kim Tjiang. Ia tidak dapat melawan ancaman Kim Tjiang sampai
akhirnya ia diperbolehkan pulang setelah ia berjanji tidak mengatakannya pada
siapa pun. Di dalam cerita, Po Giok menjadi tokoh berkualifikasi tidak baik
sekaligus menjadi sumber konflik antarperistiwa seperti pertistiwa ia pergi ke
kebun pamannya dan memergoki Kim Tjiang sedang mencuri buah milik
pamannya seperti pada kutipan berikut.
Setelah melihat perbuatan jelek dari Ho Kim Tjiang, Po Giok jadi sanget terkejut, hingga parasnya beroba pucet, dan sari sebab ka-mekmek3, Po Giok jadi tinggal berdiri diam. Tapi itu pencuri ada amat brani; ini hal orang bisa dapet liat dari sorot mata gerakannya. (KMT: 257—258)
Kemudian peristiwa lain saat pamannya, Thian Bie, melarang seluruh
anggota keluarga untuk memakan buah sawo di kebunnya, Po Giok dijadikan
kabing hitam oleh Po Soeij. Po Soeij adalah anak ketiga Thian Bie. Sejak awal
kedatangan Po Giok di rumahnya ia sudah tidak menyukai Po Giok sampai
akhirnya ia memetik lalu memakan buah sawo yang dilarang oleh ayahnya sendiri
lalu membuang kulitnya di kamar Po Giok yang saat itu sedang terbuka.
“Aku merasa tiada pantes aku mengaku betul aku suka curi itu bua,” menyaut Po Giok. “melaenken buat luputken aku dari hukuman, sebab sebenernya aku tiada merasa sekali-kali pegang itu sawo brangkali suda sajek tiga minggu yang berselang, jangan pula aku makan isinya.”
Sedeng Po Giok menyaut begini, Po Soeij suda jalan ka pertengaan luar dan awasken pada dua saudaranya dan Po Giok dari gang ruma.
“Aku tiada ada punya kesian lagi orang yang biasa mencuri,” kata Po Soeij pada itu dua sudaranya perempuan.
“Kau bodo, kalu kau kesian pada anak begini” (KMT:316—317)
3 Terperangah (pengarang)
8
Peristiwa di atas menunjukkan ketidaksukaan Po Soeij terhadap Po
Giok. Ia ingin semua orang di rumahnya tidak ada yang menyukai Po Giok seperti
dirinya. Cara yang digunakan agar tujuannya berhasil adalah dengan memfitnah
Po Giok dan menghasut orang tua dan saudara-saudaranya. Namun, Po Giok yang
merasa tidak pernah memakan sawo pamannya, membela diri.
Dari dua peristiwa yang sudah disampaikan di atas diketahui bahwa
Po Giok, tokoh utama dalam cerita, memiliki watak bulat. Tokoh berwatak bulat
adalah tokoh yang memiliki perwatakan multidimensional (Nurgiyantoro, 2013:
77). Tokoh berwatak bulat cenderung berkembang dan mengalami perubahan
dalam cerita. Tokoh berwatak bulat, seperti Po Giok, merupakan refleksi
sempurna dari keadaan orang-orang di kehidupan nyata (lifelikeness). Namun,
bagi pembaca anak-anak, mereka harus mengikuti pemikiran yang mendukung
pada cerita sehingga dapat merepotkan. Lukern (dalam Nurgiyantoro, 2013:77)
mengatakan bahwa anak yang biasa menanggapi orang dari kehidupan nyata akan
berbuat hal yang sama terhadap tokoh cerita. Jadi, keuntungan lain dengan adanya
tokoh yang memiliki kualifikasi keseperhidupan (lifelikeness) lebih mudah
dipahami dan diidentifikasi sebab, bagaimanapun, persepsi anak sering berangkat
dari realitas kehidupan di sekitarnya.
3. Pengungkapan Tokoh
Nurgiyantoro dalam bukunya (2013: 78), menyatakan bahwa alur
dipergunakan untuk mengungkapkan tokoh cerita. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, alur bergerak dan mengikat unsur di dalam cerita, salah satunya
tokoh. Di satu sisi alur dapat berkembang karena adanya peristiwa dan aksi yang
9
dialami tokoh, di sisi lain jati diri tokoh dapat muncul karena adanya rangkaian
peristiwa dan rangkaian aksi yang dibawakan secara runut melalui alur.
Terdapat dua cara dalam mengungkapkan jati diri tokoh yakni cara
langsung dan cara tidak langsung. Pertama, cara langsung atau uraian (telling)
mengungkapkan karakter tokoh secara langsung dengan diuraikan penulis
sepanjang cerita oleh pengarang, sedangkan kedua, cara ragaan (showing) atau
dramatik yang mengungkapkan watak tokoh secara tidak langsung melalui alur
cerita.
Di dalam cerita Sie Po Giok, tokoh Po Giok, pengungkapan jati diri
tokoh oleh pengarang diungkapkan melalui kedua cara yakni cara langsung dan
tidak langsung. Cara langsung dapat terlihat di awal cerita. Pengarang
menggambarkan secara langsung keadaan Po Giok saat itu yang memiliki sifat
pemurung pascameninggalnya kedua orang tua Po Giok. Hal tersebut
memaksanya tinggal bersama pamannya, Thian Bie, yang memiliki delapan anak
sehingga ia selalu merasa tidak enak hati dan memberatkan pamannya. Namun, Po
Giok juga memiliki watak dasar yang baik, patuh, dan sabar.
... Tapi kendatipun keliatannya ada amat lesu, toch orang yang memandang pada ini anak nanti bilang, ia ada satu lelaki yang cakep: potongan mukanya ada bagus sekali, kulitnja kuning langsat dan keliatan alus serta lemes seperti kulitnja orang prempuan yang cantik, sedeng pengawakannya ada kecil dan badannya langsing. Dari matanya yang jeli dan aer mukanya yang trang ada menerbitken dugaan, ia ini ada satu anak yang cerdik serta sabar, hingga tiada gampang kena ditipu oleh sembarang orang. (KMT: 253—254)
Rupa-rupanya itu anak, Sie Po Giok namanya, pun parasnya telah keliatan lesu dari lantaran ingetannya ada terkenang pada perkara sedi yang suda kejadian di bulan Juni....
... Umurnya Sie Po Giok baru 11 taon dan kadua orng tuanja ampir dalem satu taon suda meninggal dunia: ayahnya meninggal di bulan
10
November dan ibunya meninggal di bulan Juni, hingga, sajek ia suda menjadi piatu, ia musti menumpang tinggal di ruma enceknya. (KMT: 255)
... Betul sampe di itu waktu ia blon perna mendapet liat ia punya encek, encim (istrinya Thian Bie) dan saudara-saudara cinthongnya (misanannya) ada keliatan kurang senang padanya, tapi toch ia merasa tanggungan enceknya ada brat sekali dan jadi bertamba brat, lantaran ia sendiri dateng menumpang tinggal, karena anak-anaknya encek ini pun bukan sedikit.... (KMT: 259)
Cara pengungkapan jati diri Po Giok yang kedua yakni tidak
langsung. Peristiwa yang menggambarkan jati diri Po Giok secara tidak langsung
seperti saat ia berjanji pada Kim Tjiang. Hal tersebut menyiratkan bahwa Po Giok
memiliki watak penakut dan pembohong, walaupun pada akhirnya ia tetap
mengatakan yang sebenarnya pada pamannya, Thian Bie.
...“Kau suda mengarti apa aku bilang?” menanya itu maling, yang dari rupanya pun orang bisa dapet kenyataan, ia ada satu anak yang tiada boleh diharep bisa menjadi saorang baek. Samentara tangannya Po Giok ia goncang ka kiri dan ka kanan, ia berkata lagi begini: “Bicara sekarang dengen betul, atawa kau nanti jadi menyesel! Aku kenal satu nasehat buat tutup mulutnya satu anak seperti kau ini.”
Ini suara yang kaluar dari mulutnya itu anak jahat ada cukup aken membikin parasnya Po Giok menjadi pucat ampir seperti kertas dan membikin ilang seantero kebranian yang ada di dalem hatinya, maka dengen ringkes dan swara yang ampir tiada kedengeran ia menyaut:
“Aku tiada nanti cerita, meski pada siapa juga.” (KMT: 258)
4. Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri bahwa bacaan anak sangat diperlukan dalam
suatu kesusasteraan. Cerita yang dibaca anak-anak dapat merangsang
kepekaannya terhadap situasi sekitar sehingga segala sesuatu yang dianggapnya
menarik akan mereka tiru. Melalui cerita anak, cerita yang dibawa anak-anak
11
dengan bimbingan dan pengarahan anggota dewasa suatu masyarakat, sedang
penulisannya juga dilakukan oleh orang dewasa (Sarumpaet, 2010:2).
Dalam sebuah cerita, alur merupakan hal penting karena alur yang
menggerakan peristiwa dan cerita, tetapi tokoh merupakan unsur cerita yang
paling banyak dibicarakan pembaca. Tokoh cerita yang hadir sebagai pelaku
berbagai kejadian lebih sering mengesankan hati pembaca, terutama anak-anak.
Banyak orang pada umumnya, anak-anak pada khususnya, setelah selesai
membaca sebuah cerita yang tersisa di ingatan ialah mengenai tokoh-tokohnya
(Nurgiyantoro, 2013:75). Pengidentifikasian tokoh seperti tindakan, sikap, tingkah
laku, kata-kata, serta perwatakan yang dimiliki tokoh merupakan bagian yang
menarik untuk dianalisis lebih jauh, apalagi, jika pembaca cerita itu adalah anak-
anak yang sedang memiliki rasa ingin tahu yang besar dalam rangka membangun
dunianya.
Berdasarkan kualifikasinya, tokoh Sie Po Giok diketahui bahwa Po
Giok, tokoh utama dalam cerita, memiliki watak bulat. Tokoh berwatak bulat
adalah tokoh yang memiliki perwatakan multidimensional (Nurgiyantoro, 2013:
77). Tokoh berwatak bulat, seperti Po Giok, merupakan refleksi sempurna dari
keadaan orang-orang di kehidupan nyata (lifelikeness). Namun, bagi pembaca
anak-anak, mereka harus mengikuti pemikiran yang mendukung pada cerita
sehingga dapat merepotkan. Persoalan sebenarnya bukan pada apakah tokoh itu
berkualifikasi lifelikeness atau tidak. Hal yang lebih penting adalah sarat dengan
ajaran moral dan hal tersebut banyak dibebankan pada tokoh cerita. Berdasarkan
pemaparan di atas, tokoh Po Giok sarat dengan ajaran moral dari awal sampai
akhir cerita.
12
Berdasarkan pengungkapan tokoh, pengarang menggunakan dua cara
yakni cara langsung melalui uraian dan cara tidak langsung melalui cara ragaan
atau dramatik yang mengungkapkan watak tokoh secara tidak langsung melalui
alur cerita. Nurgiyantoro (2013:79) dalam bukunya berpendapat bahwa variasi
cara pengungkapan karakter tokoh juga merupakan salah satu cara untuk
mencapai keindahan cerita. Watak tokoh diubah pengarang, namun tidak berbeda
sama sekali, Po Giok tidak melulu menjadi tokoh dengan watak yang baik, tetapi
juga ada beberapa peristiwa di mana ia menjadi tokoh dengan watak tidak baik.
Bahkan, pengarang berusaha membuat Sie Po Giok sebagai tokoh yang
lifelikeness, seperti keadaan orang dalam kehidupan nyata. Hal tersebut dapat
digunakan pembaca, khususnya anak, dijadikan sebagai sarana pengembangan
cara berpikir, bersikap, dan berperasaan karena dengan dengan kehidupannya.
13
DAFTAR PUSTAKA
Faruk. Tanpa Tahun. Metode Penelitian Sastra (Sebuah Penjelajahan Awal). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Marcus, A. S. dan Pax Benedanto. 2000. Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia. Jilid I. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Sastra Anak (Pengantar Pemahaman Dunia Anak). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pujiharto. 2012. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Sarumpaet, Riris K. Toha. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak: Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sumber Acuan Lain:
https://id.wikipedia.org/wiki/Tio_Ie_Soei diakses 3 Desember 2015 pukul 9.21 WIB
http://kelas-sore-malam-unimus.kartun.org/en3/central-671/Tio-Le-Soei_113353_kelas-sore-malam-unimus-kartun.html diakses 3 Desember 2015 pukul 9.24 WIB