tugas ushul fiqh
TRANSCRIPT
LAFAZH MUTLAQ
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Mata Kuliah
Ushul Fiqh II
Oleh:
1. Ubaidillah Al-Masyariqi (092321020)
2. Putry Rezky Amalia (092323021)
3. Firdaus Kurniawan (092323024)
4. Mufti Hasan (1123201008)
5. Arif Sulaiman Bakhtiar (1123201018)
6. Muhammad Ishaq (1123201020)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2012
1
I. PENDAHULUAN
Perbedaan pendapat antara para imam madzhab merupakan sesuatu yang
lazim dijumpai dalam pembahasan fiqh. Perbedaan pendapat antara mereka dalam
mehamami dan menginterpretasi suatu lafazh merupakan salah satu penyebab utama.
Perbedaan pendapat ini juga dilandasi oleh ketidakjelasan redaksi hukum yang
disampaikan oleh syari’.
Pemahaman mengenai suatu lafazh, dan prosedur aplikasinya dalam
menetapkan suatu hukum, harus dilakukan secara komprehensif, agar para intelektual
muslim dapat memahami, bagaimana metode pengambilan suatu lafazh dalam ayat
dapat menjadi salah satu dasar hukum yang benar.
Pemahaman secara komprehensif mengenai lafazh mutlaq, nampaknya tidak
dapat terjadi jika tidak menyertakan pembahasan lafazh muqayyad. Oleh karena ini
maka dalam pembahasan ini, tidak hanya lafazh mutlaq, lafazh muqayyad juga akan
sedikit disinggung, dengan menjelaskan posisi keduanya dalam penetapan hukum,
khususnya dalam ekstraksi dasar hukum yang akan digunakan.
2
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara lughawy, muthlaq berarti :1
Terbebas dari batasan apapun.
Sedangkan dalam kajian ushul fiqh, ada beberapa pendapat ulama tentang
definisi dari lafazh mutlaq, antara lain :
1) Muhammad Abu Zahrah
Lafazh muthlaq adalah lafazh yang menunjukkan kepada sesuatu
permasalahan tanpa memandang pada satu, banyak, atau sifatnya akan tetapi
menunjuk pada hakikat dari sesuatu apa adanya2.
2) Abu Abdillah Badruddin Az-Zarkasy
Lafazh muthlaq adalah lafazh yang menunjukkan makna hakikat (sebenarnya) tanpa
ada batasan ini dan itu.3
Demi memudahkan pembahasan, maka akan diberikan beberapa contoh
lafazh mutlaq sebagai berikut:
1) Lafazh mutlaq yang tidak mengandung sifat (non characteristic)
Contoh dalam kehidupan sehari-hari:
Aku ingin menjadi guru.
Kata ‘guru’ di atas merupakan satu contoh bentuk lafazh muthlaq, karena
‘guru’ yang dimaksud oleh mutakallim (orang yang berbicara) adalah ‘guru’ dalam
pengertian yang sebenarnya, yaitu orang yang mengajar. Namun kata ‘guru’ tersebut
tidak diberi penjelasan apapun, apakah guru PAUD atau SD, apakah guru sekolah
atau madrasah, apakah guru matematika atau guru bahasa Jawa, dsb.
1 Abdul Karim bin Ali bin Muhammad, Al-Muhadzdzab fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh al-Muqaran,
Maktabah Syamilah, versi 3.36, juz 4, hlm. 1703.
2 Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, (Cairo: Dar Al-Fikr Al-Arabiy, tt), hlm. 170.
3 Abu Abdillah Badruddin Az-Zarkasy, Al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Maktabah Syamilah,
versi 3.36, juz 5, hlm. 5.
3
Contoh yang diambil dari al-Quran :
76
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu sekalian (Bani Israil) untuk menyembelih
sapi. (QS. Al-Baqarah : 67)
Kata pada ayat di atas tidak disertai dengan penjelasan kriteria sapi yang
dimaksud oleh Mutakallim, dalam hal ini adalah Allah SWT, apakah sapi itu gemuk
atau kurus, apakah sapi itu putih mulus atau bercorak, apakah sapi itu sapi ternak atau
sapi pekerja, dsb. Walaupun pada empat ayat berikutnya disebutkan keterangan
kriteria sapi yang Allah inginkan. Terkadang Allah menyebutkan suatu lafazh dengan
redaksi muthlaq bertujuan untuk mengurangi tuntutan (taqlil al-takalif) kepada umat
manusia, dan inilah salah satu asas pembinaan hukum Islam.4 Bayangkan jika Allah
memberikan batasan-batasan tertentu berkaitan dengan hudud, betapa agama akan
berat dilakukan karena banyaknya tuntutan yang harus dipenuhi.
Contoh dari ayat ahkam (banyak dibahas dalam kajian fiqih):
.... 98
(Maka kiffaratnya) adalah membebaskan budak (QS. Al-Maidah : 89)
Dalam perintah membebaskan budak ini, Syari’ tidak pula menjelaskan
bagaimana bentuk tubuh budak yang harus dibebaskan, yang badannya kekar atau
yang kurus kering, dan tidak menjelaskan pula apa warna kulitnya, bagaimana
rambutnya lurus atau keriting, atau apa jenis kelaminnya, atau dari suku apakah ia,
suku Jawa atau Batak atau yang lainnya, atau bagaimana keyakinannya apakah ia
beriman atau tidak. Pada pokoknya, lafazh mutlaq itu tidak dibatasi dengan sifat
tertentu.
2) Lafazh mutlaq yang tidak ditentukan bilangannya (uncountable).
Contoh dalam kehidupan sehari-hari :
Ibu membeli mangga.
Kata ‘mangga’ tersebut jelas artinya, yaitu satu jenis dari buah-buahan.
Namun kata ‘mangga’ tersebut tidak disertai keterangan apapun. Kaitannya dengan
4 Muhammad Khudory, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, (Al-Haramain), hlm. 18.
4
bilangan (‘adad) berarti kadar atau jumlah dari mangga tersebut, apakah ibu membeli
1 kg atau lebih, 1 buah atau lebih, 1 bungkus atau lebih,dsb.
Contoh dari al-Quran :
...........116
(Allah) Pencipta langit dan bumi .......... (QS. Al-Baqarah : 117)
Ayat menjelaskan bahwa Dia adalah Pencipta langit dan bumi. Allah dalam
masalah ini tidak menyebutkan secara spesifik berapakah jumlah langit yang Dia
ciptakan. Apakah langit itu satu, tiga, lima, atau sepuluh? Dari ayat lain kemudian
Allah menjelaskan jawabannya, bahwa langit yang dimaksud adalah berjumlah tujuh
tingkatan, yaitu dalam ayat berikut:
...........3
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis..... (QS. Al-Mulk : 3)
Kata (tujuh langit) itulah yang dimaksud dengan taqyid, sehingga
spesifikasi lafazh “tujuh langit” yang dikandung itulah yang kemudian dikenal dengan
lafazh muqayyad.
Contoh lafadz muthlaq pada ayat ahkam :
.....
187
Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia
bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau
berkorban. (QS. Al-Baqarah : 196)
Ketiga lafadz diatas adalah contoh lafadz muthlaq karena semuanya
menunjukkan makna yang jelas dan tidak dibatasi oleh sifat atau jumlah tertentu. Jika
kita mengambil makna dzahir-nya, maka bisa dipahami tebusan yang harus dibayar
oleh pelaku pelanggaran mencukur rambut saat ihram adalah berpuasa atau shadaqah
atau berkurban.
Namun pada sebuah hadits, Rasul memberikan keterangan terkait hadd
tersebut :
5
][
Cukurlah rambutmu dan berpuasalah tiga hari atau berilah makan enam orang
miskin atau berkurbanlah satu ekor kambing. (HR. al-Bukhary)
Hadits tersebut secara jelas memberikan keterangan tentang batasan
ketentuan yang disebutkan dalam surat al-Baqarah : 196, yaitu pembatasan puasa
selama tiga hari, shadaqah makanan kepada orang miskin sejumlah enam orang,
menyembelih hewan kurban sebanyak satu ekor.
B. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan lafazh muthlaq
5
Lafazh yang menunjukkan makna satu, dua, atau banyak tanpa ada batasan adalah
lafazh muthlaq, baik kata benda ataupun kata kerja. Lafadz muthlaq diterapkan
sesuai ke-muthlaq-annya sampai ada yang membatasinya.
6
Apabila yang muthlaq dan yang membatasi (taqyid) bertemu, maka yang muthlaq
diintroduksikan ke yang muqayyad.
Contoh :
/13
Yang dikehendaki dari ayat tersebut adalah ‘menyebut nama Allah’ secara
muthlaq sebagai permulaan shalat.. Pengertian ‘menyebut’ tersebut kemudian
diintroduksikan ke dalam makna ‘menyebut-Nya dengan takbir’ karena ada hadits
Nabi sebagai taqyid:
5 Abdul Hamid Muhammad ash-Shanhajy, Mabadi’ al-Ushul, Maktabah Syamilah, versi 3.36,
hlm. 39.
6 ash-Shanhajy, Mabadi’, hlm. 39.
6
(Melakukan sesuatu dengan) menggabung dua dalil sekaligus itu lebih utama dari
pada mengaplikasikan yang satu dan meninggalkan yang lain.
8
Mengintoduksikan lafazh muthlaq pada lafazh muqayyad akan menghilangkan hukum
pada yang muthlaq.
. 9
Lafazh muthlaq tetap pada ke-muthlaq-kannya jika terjadi pertentangan antara kedua
muqayyadnya.
10
Lafazh muthlaq dibatasi dengan lafadz muqayyad jika ada qiyas atau dalil lain yang
menunjukkan hal tersebut (taqyid). Peng-introduksi-an didasarkan pada petunjuk
dari qiyas aula’i atau dalil lain yang lebih kuat. C. Macam-macam Lafazh Muthlaq
Menurut Imam Zarkasy, Lafazh muthlaq itu terbagi menjadi dua bagian,
yaitu :11
1. Lafadz muthlaq pada tulisan
7 Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1709.
8 Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1713.
9 Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1715.
10 Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1715.
11 Az-Zarkasy, Al-Bahr al-Muhith, juz 5, hlm. 7.
7
2. Lafadz muthlaq pada perkataan
D. Lafazh Muthlaq dan Implikasinya Ketika Bertemu Lafazh Muqayyad.
Kedudukan lafazh mutlaq dan lafazh muqayyad merupakan salah satu sub
pembahasan para ulama ushul fiqh, yaitu kontent hukum dalam lafazh apa yang akan
diaplikasikan, apabila terdapat beberapa redaksi hukum yang berbeda antara lafazh
mutlaq dan muqayyad, sedangkan dalam kedua lafazh tersebut terdapat satu redaksi
hukum yang sama, dan lain sebagainya. Perbedaan redaksi hukum itu, biasanya
terdapat penyebutan jumlah dari suatu redaksi hukum yang uncountable (Ghairu
Wahdiyyah), atau dalam pengkhususan sifat dari non characteristic.
Mengenai hal ini, ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu12
:
1. Ketika terdapat lafazh mutlaq dan muqayyad, yang di dalam keduanya terdapat
suatu kesatuan antara objek hukum yang disebutkan dengan status hukum yang
melekat pada objek itu, contohnya:
Lafadz muthlaq-nya :
3
Lafadz muqayyad-nya :
141
Kedua ayat itu mengandung satu kesatuan antara status hukum yang
diberikan Syari’ yaitu keharaman dari suatu objek makanan, dan objek yang dituju
diantara keduanya sama yaitu darah. Jika terdapat lafazh mutlaq dan muqayyad yang
mengandung kesamaan suatu objek hukum dan kesamaan status hukumnya, seperti
yang terjadi dalam kasus ini, maka menurut kesepakatan seluruh ulama, lafazh yang
12
Kemungkinan-kemungkinan ini merupakan konklusi dari data yang diperoleh dalam kitab
Ushul Fiqh karangan Imam Abu Zahrah sebagai data pokok, dengan Ushul Fiqh karangan Prof. Amir
Syarifuddin sebagai data penunjang. Sedangkan pengarang al-Bahr al-Muhith hanya
mengklasifikasikan kemungkinan-kemungkinan tersebut menjadi 4 kemungkinan saja, yaitu yang
tersebut dalam point 1-4 dalam makalah ini.
8
mutlaq harus diintroduksikan kepada muqayyad13
. Sehingga, sesuatu yang
dimaksudkan haram oleh syari’ adalah darah “yang mengalir”, dan selain darah yang
mengalir adalah halal (ex. hati, jantung, paru-paru).
2. Antara kedua lafazh mutlaq dan muqayyad, ada satu kesamaan hukum, padahal
sebab yang melatarbelakangi munculnya hukum itu berbeda. Contohnya:
Lafazh muthlaq :
98
3
Lafazh muqayyad :
89
Lafazh mutlaq terdapat dalam ayat pertama dan kedua. Ayat pertama
menjelaskan mengenai kaffarat/denda bagi pelanggaran sumpah dan ayat yang kedua
kiffarat bagi suami yang men-zhihar isterinya. Baik ayat yang pertama maupun yang
kedua, redaksi hukum yang disampaikan syari’ adalah (membebaskan
budak), tanpa ada spesifikasi budak seperti apa yang harus dibebaskan. Sedangkan
dalam ayat yang kedua, berkenaan dengan hukuman pembunuhan culpa causa,
dimana dalam ayat tersebut redaksi hukumnya berbunyi
(membebaskan budak yang mukmin).
Sebab yang melatarbelakangi keduanya berbeda, yang pertama dan yang
kedua karena melanggar sumpah dan zhihar, dan yang ketiga karena membunuh atas
dasar culpa. Akan tetapi terlihat ada bentuk hukum yang sama yaitu membebaskan
budak.
13
Imam Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 171, lihat pula dalam Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid
2, hlm 124.
9
Mengenai ini, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama, yang paling
signifikan adalah antara Madzhab Syafi’iiyyah dan Madzhab Hanafiyyah. Madzhab
Syafi’iyyah cenderung mengintroduksi lafazh mutlaq kepada Muqayyad14
, sehingga
implikasinya, kaffarat bagi pelanggar sumpah dan suami yang men-zhihar isterinya
adalah “membebaskan budak yang mukmin”15
. Sedangkan Madzhab Hanafiyyah,
menganggap lafazh mutlaq, harus diaplikasikan dalam bentuk sesuai ke-mutlaq-
annya, dan tidak perlu mengintroduksikan kepada Muqayyad 16
.
Menurut Imam Hanafi, setiap ayat yang terkandung, memiliki fungsi sendiri-
sendiri. Demi menunjang statement tersebut, maka akan penulis sajikan sebuah
contoh:
1. Lafazh muthlaq: Mahasiswa yang terlambat masuk kuliah ini akan mendapat
hukuman
2. Lafazh muqayyad: Barangsiapa yang menghilangkan nyawa orang lain secara
sengaja, akan mendapat hukuman penjara 15 tahun.
Sebab yang mendasari timbulnya hukum adalah berbeda, yang pertama
karena terlambat masuk kuliah, dan yang kedua disebabkan membunuh. Hukum yang
ditimbulkan adalah keharusan mendapat hukuman. Jika kita mengikuti alur pemikiran
Imam Hanafi, maka hukuman mahasiswa yang terlambat tidak sama dengan hukuman
pembunuhan, karena setiap statement hanyalah ditujukan untuk apa yang ia sebutkan,
tidak untuk yang lain.
Sedangkan menurut Imam Syafi’i, -untuk kasus ini- lafazh muthlaq
diintroduksikan ke lafazh muqayyad. Statement yang diajukan adalah adanya korelasi
(munasabah) antara bagian-bagian dalam al-Quran, sehingga satu kata pada satu
tempat dalam Al-Quran bisa diterapkan pada tempat yang lain, sekalipun membahas
masalah yang berbeda.
3. Kebalikan dari point ke dua, dalam masalah ini, sebab yang melatarbelakangi
munculnya suatu hukum itu sama, namun hukumnya menjadi berbeda.
Contohnya:
14
Az-Zarkasy, Al-Bahr al-Muhith, juz 4, hlm. 294.
15 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, hlm 126.
16 Imam Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm 171
10
7
Keterangan :
: lafazh muqayyad
: lafazh muthlaq
Yang menarik, ayat ini adalah salah satu contoh dari suatu ayat yang
mengandung dua lafazh sekaligus, yaitu mutlaq dan muqayyad. Konklusi hukum
yang dapat dipetik dari ayat ini adalah, dalam lafazh mutlaq, Syari’ memerintahkan
untuk membasuh tangan dalam prosesi tayammum, tanpa menyebutkan secara
spesifik batasan tangan. Sedangkan dalam lafazh yang muqayyad, syari’
memerintahkan untuk mencuci kedua tangan sampai siku, dalam prosesi wudhu.
Sebab yang menimbulkan dalam kasus ini adalah sama, yaitu bersuci untuk
mendirikan sholat.
Menurut Abu Zahrah, Para ulama sepakat bahwa lafazh yang muthlaq tidak
boleh diintroduksikan kepada muqayyad, kecuali ada dalil lain yang melegitimasi
bahwa yang muqayyad itulah yang harus diaplikasikan. Jika tidak ada dalil lain yang
melegitimasi penggunaan lafazh muqayyad. Implikasi dari pemikiran ulama itu
adalah bahwa prosesi pembasuhan tangan dalam tayammum tidak harus sampai
kedua siku17
.
Namun faktanya, ada hadist yang menyebutkan bahwa batasan tayammum
adalah sampai kedua siku18
. Hadist inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum
oleh para fuqaha untuk menetapkan batasan tangan saat tayammum yaitu sampai
17
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm 171-172
18 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm 171-172
11
siku, sehingga dasar hukumnya bukan dengan ayat yang telah disebutkan di atas.
Hadist tersebut berbunyi:
Terdapat kontradiksi antara data yang disebutkan oleh Imam Abu Zahrah
tadi, dengan data yang disebutkan oleh Prof. Amir Syarifuddin dalam bukunya,
berkenaan dengan sikap para ulama terhadap aplikasi lafazh. Menurut Prof Amir
Syarifuddin, para imam terpecah menjadi dua kelompok19
:
a. Kelompok yang terdiri dari Madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan sebagian
Syafi’iyyah. Mereka menganggap bahwa yang muthlaq diamalkan sesuai
redaksinya, dan yang muqayyad diaplikasikan sesuai dengan lafazhnya.
b. Kelompok yang terdiri dari sebagian besar ulama madzhab Syafi’iyyah. Mereka
menganggap bahwa yang harus diaplikasikan adalah lafazh yang muqayyad saja.
Implikasinya, dalam prosesi tayammum, tangan harus dibasuh sampai ke siku.
4. Adanya mismacht dalam lafazh mutlaq dan muqayyad, sebab yang
melatarbelakangi suatu hukum berbeda, akan tetapi akibat hukumnya sama.
Contohnya:
Lafazh muthlaq :
39
39
Ayat yang pertama menjelaskan tentang hukuman bagi pencuri, baik laki-
laki maupun perempuan. Redaksi hukum berupa “maka potonglah kedua tangannya”,
masih tergolong lafazh mutlaq. Sedangkan dalam ayat yang kedua, berkenaan
dengan perintah berwudhu ketika akan sholat, redaksi hukumnya berbunyi “
....tangan sampai ke siku” merupakan muqayyad karena menjelaskan batasan tangan
wilayah tangan dalam prosesi wudhu.
19
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, hlm 126.
12
Karena terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara sebab hukum yang
terdapat dalam contoh di atas, para ulama Madzhab Empat, secara bulat berpendapat
bahwa yang mutlaq tidak diintroduksi menjadi muqayyad20
. Implikasinya, memotong
tangan pencuri tidak sampai ke siku.
5. Terdapat dua lafazh muqayyad, yang satu menjadi taqyid atas lafazh muqayyad,
dan satunya “seolah” menjadi lafazh mutlaq, karena ada ayat lain serupa yang
sama-sama spesifik atau lebih spesifik.
Contoh 1
Dalam riwayat lain disebutkan :
.....
Dalam riwayat lain disebutkan :
.....
Keterangan:
: lafazh muthlaq
: lafazh muqayyad
: lafazh muqayyid al-muqayyad
: lafazh muqayyidu muqayyidi al-muqayyad
Untuk mensucikan sesuatu dari najis mughaladlah, Nabi mensyaratkan
membasuh sebanyak tujuh kali, dengan memberi taqyid salah satunya dengan debu,
seperti disebutkan hadits pertama. Pada hadits kedua Nabi menyebutkan yang lebih
spesifik, yaitu pensucian sebanyak tujuh kali cucian, dengan menggunakan debu di
awalnya. Sedangkan pada hadits ketiga juga disebutkan hal yang spesifik, namun
terjadi ta’arudl, karena pada hadits ketiga penggunaaan debu dilakukan di akhir
pensucian. Kaidah yang digunakan untuk kasus ini adalah :
.
20 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh , Jilid 2, hlm. 128. Lihat pula dalam al-Bahr al-Muhith, juz 4,
hlm. 288.
13
Lafazh muthlaq tetap pada ke-muthlaq-kannya jika terjadi pertentangan antara kedua
muqayyadnya.21
Alasan yang diajukan adalah mengaplikasikan lafazh muthlaq pada salah satu
lafazh muqayyad yang bertentangan tidak berarti lebih baik dari meninggalkan lafazh
muqayyad yang lain. Maka dengan alasan tersebut, maka ia tetap diaplikasikan
dengan lafazh muqayyad yang pertama, artinya pencucian tujuh kali dengan
penggunaan debu pada salah satunya. Pada salah satunya bisa di awal, di tengah, dan
di akhir.
Contoh 2
Lafazh Muthlaq :
194
Ada ketentuan baku yang diberikan Syari’ pada masalah qadha’ puasa
karena alasan sakit dan safar, yaitu dilakukan pada hari-hari diluar Ramadlan.
Ketentuan tersebut ditunjukkan oleh frase . Syari’ tidak menyebutkan ketentuan
tambahan untuk masalah tersebut. Sehingga bisa dipahami kemutlakan waktu qadha’
puasa , bahwa qadha’ puasa bisa dilakukan kapanpun diluar Ramadlan dan dengan
cara bagaimanapun, boleh dilakukan dengan cara berturut-turut (tatabu’) atau tidak
(tafriq).
Lafazh Muqayyad pertama :
187
Berbeda dengan puasa qadha’, puasa yang dilakukan sebagai kaffarat haji
tamattu’ diberikan ketentuan tafriq (tidak dilakukan secara berturut-turut).
Lafazh Muqayyad kedua:
89
4
21
Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1715.
14
Ayat tersebut berkenaan dengan kaffarah pembunuh tersalah/khatha’ (QS.
An-Nisa : 92) dan kaffarah dzihar (QS. Al-Mujadalah:4). Frase ‘berturut-turut’
menunjukkan adanya ketentuan harus dilakukan secara istimrar dalam batas waktu
yang ditentukan, yaitu selama dua bulan.
Kaidah yang digunakan untuk masalah ini adalah :
Lafazh muthlaq dibatasi dengan lafadz muqayyad jika ada qiyas atau dalil lain yang
menunjukkan hal tersebut (taqyid). Peng-introduksi-an didasarkan pada petunjuk
dari qiyas aula’i atau dalil lain yang lebih kuat.22
Ketiga dalil tersebut dalam hierarki mashadir al-ahkam terdapat pada satu
taraf, yaitu Al-Quran. Ketiganya memiliki tingkatan yang sama dilihat dari dilalah-
nya, yaitu qath’i. Selain itu tidak ada dalil yang menunjukkan yang satu menjadi
muqayyid yang lain, maka tidak ada yang rajih dan marjuh untuk masalah di atas.23
Kesimpulannya puasa qadha’ tetap diaplikasikan sesuai kemutlakannya, artinya
boleh saja puasa qadha’ dilakukan dengan tafriq ataupun tatabu’ dengan tetap
berpegang pada ketentuan baku, yaitu dilakukan pada har-hari selain bulan
Ramadlan. 24
Dari penjabaran tersebut di atas, terlihat ada perbedaan pendapat para ulama
mengenai aplikasi lafazh dalam suatu perbuatan. Secara umum terdapat dua
kelompok besar, yaitu Kelompok Rasionalis yang direpresentasikan oleh Madzhab
Hanafiyyah, dan Skriptualis-Moderat yang direpresentasikan oleh Malikiyyah,
Hanbaliyyah, Dan Syafi’iyyah.
Menurut Abu Zahrah, reasoning dari Madzhab Hanafiyyah, mengenai sikap
mereka dalam aplikasi lafazh mutlaq dalam suatu perbuatan hukum, dan melarang
mengintroduksikan lafazh mutlaq kepada muqayyad adalah bahwa dalam dimensi
teks syari’at, tiap ayat akan menjadi dasar hukum atas apa yang diatur dalam ayat
22
Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1715.
23 Muhammad bin Husein bin Hasan al-Jizany, Ma’alim Ushul al-Fiqh inda Ahli as-Sunnah
wa al-Jama’ah, Maktabah Syamilah, versi 3.36, hlm. 439.
24 Abdul Karim, Al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 1716.
15
itu25
. Legal reasoning semacam ini sama halnya dengan peraturan perundangan, satu
pasal hanya akan mengatur hukuman bagi apa yang disebutkan dalam pasal itu.
Sebagai analogi, hukuman dalam pasal pencabulan tidak boleh diintroduksikan
kepada hukuman pasal pemerkosaan. Karena hukuman pencabulan sudah diatur
tersendiri dalam pasal pencabulan. Rasionaliasi Hanafiyyah tepat. Namun jika kita
bawa pada ranah aqidah –apakah hukum Allah yang termaktub dalam Al-Quran bisa
dianalogikan dengan perundangan buatan manusia?- Pasti ada hal-hal khusus dalam
Al-Quran yang menjadikannya berbeda dengan kitab perundangan lainnya.
Sedangkan menurut madzhab Skriptualis-Moderat, berpendapat bahwa jika
di dalam al-Qur’an dan Hadist, terdapat suatu spesifikasi khusus terhadap suatu
redaksi hukum dalam satu lafazh, maka lafazh yang telah dispesifikkan itulah yang
berlaku pada semua jenis perbuatan hukum. Misalnya, terdapat redaksi hukuman
berupa “berpuasa secara berturut-turut” dalam kasus Kaffarah Zhihar, menurut
Madzhab ini, segala jenis kaffarah yang berupa puasa, harus dilakukan secara
“berturut-turut” agar terjadi suatu integrasi dalam hukuman kaffarah26
.
Seputar perdebatan antara kedua madzhab ini kami ringkas dalam tabel
berikut :
Permasalahan Madzhab
Skriptualis-Moderat (tesis) Rasionalis (antitesis)
Al-Quran adalah
satu kesatuan.
Ya. Sehingga lafazh-lafazh yang
digunakanpun simple.
Ya, tapi kesatuan tersebut
adalah pada ayat-ayat yang
membahas satu
permasalahan.
Lafazh muthlaq
diintroduksikan
ke lafazh
muqayyad
Ya. Karena dalam al-Quran, satu
kata yang digunakan untuk
mensifati suatu kata, juga bisa
diterapkan pada tempat yang lain
yang juga membahas masalah
yang sama.
Setiap ayat menjadi dasar
hukum atas apa yang diatur
dalam ayat itu.
Konsekuensinya satu ayat
harus diartikan natural
(sesuai redaksi).
Sebagai titik temu dari kedua madzhab tersebut, penulis mengajukan
pendapat sebagai sintesis dari keduanya, yaitu : Setiap ayat memang menjadi dasar
hukum atas apa yang diatur, namun penyebutan sifat pada satu redaksi dan
25
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 173.
26
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 173.
16
peniadaannya pada redaksi yang lain setidaknya memberikan kita pengetahuan agar
kita bisa menentukan pilihan dari yang spesifik (muqayyad) atau yang tidak
(muthlaq) dengan mempertimbangkan ke-mashlahatan-nya.
Contoh :
Dalam masalah pembebasan budak tentu yang diutamakan adalah budak se-Iman,
walaupun dalam beberapa kasus boleh saja membebaskan budak non-Islam.
Dalam masalah menghadirkan dua orang saksi, dalam satu redaksi Syari’
menafikan syarat, namun pada redaksi lain, saksi disyaratkan adil. Bagaimanapun
saksi yang adil akan lebih menjamin keabsahan suatu akad.
............... 999
............ 9
Dalam masalah wali nikah, tentu idealnya seorang wali adalah seseorang yang
dapat menuntun seseorang pada jalan kebenaran.
Terlepas dari perdebatan antara kaum Rasioanlis dan Skriputualis-Moderat,
ada pula ulama yang cenderung mempersamakan muthlaq dan muqayyad dengan ‘am
dan khass. Sehingga mereka mendudukkan lafazh muqayyad adalah sebagai
interpreter dari lafazh mutlaq. Bahkan ada sebagian lain yang mengatakan bahwa
jika ayat yang mengandung lafazh muqayyad itu lahir setelah ayat yang mengandung
lafazh mutlaq, maka ayat yang mengandung lafazh muqayyad adalah nasikh dari ayat
yang mengandung lafazh mutlaq.27
27
Taqiyuddin Ibnu An-Najar Al-Hanbaly, Syarh Kaukab al-Munir, Maktabah Syamilah,
versi 3.36, juz 2, hlm. 411.
17
III. PENUTUP
Dari penjabaran di atas, kita dapat mengetahui bahwa lafazh mutlaq
merupakan lafazh yang tidak dijelaskan secara spesifik mengenai jumlah atau
sifatnya. Spesifikasi jumlah dan sifat yang menjelaskan konten yang sama dengan
yang terdapat dalam lafazh mutlaq, lazimnya disebut sebagai lafazh muqayyad.
Terdapat perbedaan pendapat antara para ulama, mengenai aplikasi suatu
lafazh, apakah lafazh mutlaq ataukah lafazh muqayyad yang akan diaplikasikan
dalam suatu perbuatan hukum, jika terdapat beberapa kesamaan redaksi hukum
antara keduanya.
Implikasi dari perbedaan pendapat para ulama ini menimbulkan signifikansi
perbuatan hukum antara madzhab satu dengan madzhab lain. Perbedaan pendapat
para ulama berbasis pada relevansi suatu redaksi hukum terhadap objek hukum lain
yang pada dasarnya bukan merupakan kompetensi yuridisnya. Dan ulama
Hanafiyyah berpendapat bahwa kompetensi suatu ayat hanya terdapat pada konten
hukum yang dikandungnya saja, sehingga lafazh mutlaq harus diamalkan apa
adanya. Sedangkan ulama lain, secara umum menginginkan adanya relevansi hukum.
18
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Al-Fiqh, (Cairo: Dar Al-Fikr Al-Arabiy, tt).
Al-Hanbaly, Taqiyuddin Ibnu An-Najar, Syarh Kaukab al-Munir, Maktabah
Syamilah, versi 3.36.
Ibnu Muhammad, Abdul Karim bin Ali, Al-Muhadzdzab fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh al-
Muqaran, Maktabah Syamilah, versi 3.36.
Al-Jizany, Muhammad bin Husein bin Hasan, Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-
Sunnah wa al-Jama’ah, Maktabah Syamilah, versi 3.36.
Khudory, Muhammad, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, (Al-Haramain, tt).
Ash-Shanhajy, Abdul Hamid Muhammad, Mabadi’ al-Ushul, Maktabah Syamilah,
versi 3.36.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh , (Jakarta: Kencana, 2009).
Az-Zarkasy, Abu Abdillah Badruddin Al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Maktabah
Syamilah, versi 3.36.