tugas pendahuluan morfologi tebu
DESCRIPTION
Tugas Pendahuluan Morfologi Tebu, membahas mengenai tebu berkaitan dengan morfologi tebu beserta fungsi dan peranannyaTRANSCRIPT
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gula merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan bahan pokok bagi
penduduk Indonesia. Kebutuhan tersebut terbagi atas kebutuhan rumah tangga
maupun industri makanan dan minuman baik yang berskala besar maupun yang
kecil. Dewasa ini kebutuhan akan gula semakin meningkat, namun, ternyata
produksi gula yang dihasilkan oleh Indonesia sendiri tidak dapat memenuhi
permintaan dalam negeri, sehingga pengimporan gula pun harus diadakan setiap
tahunnya.
Gula dihasilkan dari proses panjang yang dimulai oleh ekstraksi nira tebu
yang dihasilkan ketika proses penggilingan. Tanaman tebu (Saccharum
officinarum) merupakan salah satu tanaman yang sejak dahulu dibudidayakan dan
dikenal sebagai bahan baku dalam industri gula. Sebenarnya tebu bukan satu-
satunya tanaman yang mampu digunakan dalam industri gula. Masih banyak
komoditas tanaman seperti sorghum, jagung, maupun bit yang memiliki
kandungan sukrosa yang mampu digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula,
namun dari dulu hingga sekarang tanaman tebu tetap menjadi bahan baku utama
dalam industri gula.
Tanaman tebu sudah tidak asing lagi bagi penduduk Indonesia, karena
telah sejak dahulu tumbuh dan berkembang di negeri ini. Keberadaan tebu di
Pulau Jawa telah ada sejak 400 tahun sebelum masehi. Saat itu tebu hanya
digunakan sebagai tebu kunyah. Namun seiring dengan perkembangan teknologi
dan kebutuhan pangan, tebu dikembangkan menjadi bahan utama pembuatan
gula. Sejauh ini pemanfaatan tebu juga digunakan sebagai minuman segar berupa
olahan air sari tebu yang dapat ditemukan dengan mudah disekitar daerah kita.
Selain itu, sebenarnya tanaman tebu ini juga dimanfaatkan sebagai bahan
baku pembuatan penyedap makanan (vetsin).
Sebenarnya selain batangnya, bagian lain dari tanaman tebu memiliki
manfaat pula yang memiliki potensi industri. Sebagai contoh yaitu daunnya yang
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan bahan baku pembuatan pupuk hijau,
atau kompos maupun sebagai bahan substitusi bahan bakar minyak. Kemudian
ampas tebu dapat digunakan oleh pabrik gula itu sendiri sebagai bahan bakar
selain itu biasanya dipakai oleh industri pembuat kertas sebagai campuran
pembuat kertas dan masih banyak manfaat yang lainnya.
Dewasa ini dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, maka dapat
dilakukan perbandingan tentang cara-cara budidaya tanaman yang baik dan
berproduksi tinggi. Salah satu fokusnya terletak pada kegiatan pembibitan. Pada
budidaya tanaman tebu pembibitan termasuk ke dalam tahapan yang krusial
karena berpengaruh terhadap rendemen gula. Cara pembibitan yang biasanya
dilakukan dirasakan sudah kurang memberikan produksi yang diharapkan,
sehingga para peneliti kini telah menerapkan model pembibitan yang baru bagi
budidaya tebu yang disebut sebagai single bud planting.
1.2 Tujuan
1. Agar mahasiswa dapat mengerti sistem pembibitan single bud.
2. Memahami cara perawatan bibit tebu pada pembibitan single bud.
BAB 3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Usaha Budidaya Komoditas Perkebunan Unggulan acara
“Pembibitan Tebu Menggunakan Metode Single Bud” dilaksanakan pada hari
Sabtu tanggal 23 Oktober 2012 pukul 15.00 – 17.00 WIB di Fakultas Pertanian,
Universitas Jember.
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
1. Bud tebu
2. Pasir
3. Tanah
4. Bahan organik
5. Fungisida
3.2.2 Alat
1. Gelas aqua
2. Sprayer
3. Gergaji
3.3 Cara Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan.
2. Membuat media tanam tanah, BO dan pasir dengan perbandingan 2:1:1, 1:2:1,
1:1:2.
3. Melakukan pengeplongan pada tanaman tebu dengan menggunakan gergaji
yang bersih. Ukuran bud antara 5-6 cm.
4. Memberi fungisida pada bud tersebut untuk menghindari serangan penyakit
terutama jamur.
5. Melakukan penanaman pada media gelas aqua.
6. Melakukan perawatan selama 15 hari dan mengamati parameter setiap 3 hari
sekali.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu jenis tanaman
yang hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki iklim tropis. Di Indonesia
perkebunan tebu menempati luas areal ± 321 ribu hektar dengan total produksi
tebu Indonesia ± 2 juta ton pada tahun 2002. Perkebunan tersebut tersebar di
Medan, Lampung, Semarang, Solo, dan Makasar. Dari seluruh perkebunan tebu
yang ada di Indonesia, 50% diantaranya adalah perkebunan rakyat, 30% adalah
perkebunan swasta dan sisanya 20% adalah perkebunan milik negara (Misran,
2005).
Awal mula penanaman tebu di Indonesia adalah pada masa Sistem Tanam
Paksa yang memberikan keuntungan besar untuk kas Negara kolonial. Setelah
Sistem Tanam Paksa dihentikan, perkebunan tebu dilakukan oleh pengusaha-
pengusaha swasta. Perluasan perkebunan tebu pada masa itu tidak pernah
melampaui Pulau Jawa karena jenis tanah dan pola pertanian di Pulau Jawa lebih
sesuai untuk penanaman tebu. Penanaman tebu mendorong pendirian pabrik-
pabrik pembuatan gula. Perkebunan tebu dan pabrik gula menjadi motor
perekonomian Hindia Belanda terutama di Pulau Jawa ketika masa itu
(Poesponegoro dan Notosusanto, 2008).
Asal mula tanaman tebu sampai saat ini belum didapatkan kepastiaanya,
dari mana asal muasal tanaman tebu. Namun sebagian besar para ahli yang
memang berkompeten dalam hal ini, berasumsi bahwa tanaman tebu ini berasal
dari Papua New Guinea. Pada 8000 SM, tanaman ini menyebar ke Kep. Solomon
dan Kaledonia Baru. Ekspansi tanaman ini ke arah timur Papua New Guinea
berlangsung pada 6000 SM, dimana tebu mulai menyebar ke Indonesia, Filipina
dan India. Dari India, tebu kemudian dibawa ke China pada tahun 800 SM, dan
mulai dimanfaatkan sebagai pemanis oleh bangsa China pada tahun 475 SM. Pada
tahun 510 Sebelum Masehi, ketika menguasai India, Raja Darius dari Persia
menemukan ”batang rerumputan yang menghasilkan madu tanpa lebah”. Seperti
halnya pada berbagai penemuan manusia lainnya, keberadaan tebu sangat
dirahasiakan dan dijaga ketat, sedangkan produk olahannya diekspor dan untuk
menghasilkan keuntungan yang sangat besar (Permana, 2011).
Tebu termasuk keluarga Graminae atau rumput-rumputan dan berkembang
biak di daerah beriklim udara sedang sampai panas. Tebu cocok ditanam pada
daerah yang memiliki ketinggian 1 sampai 1.300 meter diatas permukaan laut.
Batang tebu (Sacharum officinarum) memiliki rasa yang manis menyegarkan
karena mengandung air gula yang kadarnya mencapai 20%. Batang tebu ini
berkhasiat untuk meredakan jantung berdebar, sakit panas dan batuk (Harmanto,
2007).
Tanaman tebu tergolong tanaman perdu dengan nama latin Saccharum
officinarum. Di daerah Jawa Barat disebut Tiwu, di daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur disebut Tebu atau Rosan. Sistematika tanaman tebu adalah:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledone
Ordo : Graminales
Famili : Graminae
Genus : Saccharum
Species : Saccarum officinarum
(Sutardja, 2006).
Bagian tanaman tebu terdiri atas batang, daun, bunga, daun dan buah.
Adapun morfologi dari tanaman tebu adalah sebagai berikut :
1. Batang
Batang tanaman tebu berdiri lurus dan beruas-ruas yang dibatasi dengan
buku-buku. Pada setiap buku terdapat mata tunas. Batang tanaman tebu berasal
dari mata tunas yang berada dibawah tanah yang tumbuh keluar dan berkembang
membentuk rumpun. Diameter batang antara 3-5 cm dengan tinggi batang antara
2-5 meter dan tidak bercabang (Indrawanto dkk., 2010).
Tabel berikut menyajikan komponen komponen yang terdapat dalam
batang tebu :
Komponen Jumlah (%)
Monosakarida 0,5 – 1,5
Sukrosa 11 – 19
Zat-zat organic 0,5 -1,5
Zat-zat anorganik 0,15
Sabut 11 – 19
Air 65 – 75
Bahan lain 12
(Misran, 2005).
2. Akar
Akar tanaman tebu termasuk akar serabut tidak panjang yang tumbuh dari
cincin tunas anakan. Pada fase pertumbuhan batang, terbentuk pula akar dibagian
yang lebih atas akibat pemberian tanah sebagai tempat tumbuh (Indrawanto dkk.,
2010).
3. Daun
Daun tebu berbentuk busur panah seperti pita, berseling kanan dan kiri,
berpelepah seperti daun jagung dan tak bertangkai. Tulang daun sejajar, ditengah
berlekuk. Tepi daun kadang-kadang bergelombang serta berbulu keras
(Indrawanto dkk., 2010).
4. Bunga
Bunga tebu berupa malai dengan panjang antara 50-80 cm. Cabang bunga
pada tahap pertama berupa karangan bunga dan pada tahap selanjutnya berupa
tandan dengan dua bulir panjang 3-4 mm. Terdapat pula benangsari, putik dengan
dua kepala putik dan bakal biji (Indrawanto dkk., 2010).
5. Buah
Buah tebu seperti padi, memiliki satu biji dengan besar lembaga 1/3
panjang biji. Biji tebu dapat ditanam di kebun percobaan untuk mendapatkan
jenis baru hasil persilangan yang lebih unggul (Indrawanto dkk., 2010).
Dalam penanaman tebu ini harus diperhatikan mengenai varietas yang
akan digunakan. Pemilihan varietas ini memperhatikan sifat-sifat varietas unggul
yaitu :
1. Memiliki potensi produksi gula yang tinggi melalui bobot tebu dan rendemen
yang tinggi;
2. Memiliki produktivitas yang stabil dan mantap;
3. Memiliki ketahanan yang tinggi untuk keprasan dan kekeringan;
4. Tahan terhadap hama dan penyakit
(Indrawanto dkk., 2010).
Kualitas nira tebu dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu karakteristik varietas
tebu, teknik pemotongan tebu dan penundaan giling tebu. Tebu yang merupakan
varietas unggul adalah kunci untuk mendapatkan kualitas gula yang optimal.
Sedangkan untuk teknik pemotongan tebu juga perlu diperhatikan. Petani pada
umumnya memotong tebu hingga ukuran paling kecil dengan tujuan untuk
memaksimalkan ruang alat angkut tebu. Akibatnya terdapat kotoran yang
akhirnya terangkut hingga ke pabrik. Faktor selanjutnya adalah penundaan giling.
Semakin lama masa tunda tebu untuk masuk ke pengolahan akan berpengaruh
pada penyusutan bobot tebu dan kadar guka yang terkandung dalam tebu.
(Kuspratomo dkk., 2012).
Tebu dipanen setiap setahun sekali. Sekali tanam, tanaman tersebut dapat
dipanen hingga 6 kali (6 tahun). Setiap panen akarnya dibiarkan tertinggal untuk
selanjutnya menjadi tanaman baru yang dapat dipanen kembali (keprasan). Panen
biasanya dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki. Hasil dari panen kemudian dibawa
ke pabrik gula (PG) untuk diproses lebih lanjut (Chrysantini, 2007).
Dari proses pemanenan tebu dihasilkan limbah berupa daun tebu kering
yang disebut klethekan atau daduk, pucuk tebu, dan sogolan (pangkal tebu).
Untuk penanganan limbah tersebut tentunya dibutuhkan tenaga kerja yang pada
akhirnya akan berimbas pada peningkatan pengeluaran PG. Limbah yang seolah-
olah tak mempunyai nilai ekonomi tersebut apabila diberi sentuhan teknologi
sederhana akan diperoleh produk bernilai ekonomis. Seperti daun tebu kering
yang diolah sebagai subtitusi bahan bakar, misalnya untuk substitusi minyak
tanah. Selain menghemat minyak tanah yang makin mahal, bahan bakar ini juga
cepat panas. Adapula yang mengolah limbah tersebut menjadi arang briket dengan
proses pirolisis seperti yang dikembangkan di negara India. Di Malang kini daun
tebu kering ini sudah juga digunakan sebagai bahan baku pakan ternak ruminansia
yaitu berupa wafer pakan ternak. Sedangkan pucuk tebu dimanfaatkan menjadi
pakan ternak yang potensial, baik segar maupun yang diawetkan dalam bentuk
silase (Misran, 2005).
Pada proses pengolahan tebu menjadi gula yang dilakukan di pabrik gula
menghasilkan ampas yang diperoleh dari proses pengilingan berkisar 32 % dari
total tebu yang diolah. Dengan produksi tebu di Indonesia pada tahun 2007
sebesar 21 juta ton potensi ampas yang dihasilkan sekitar 6 juta ton ampas per
tahun. Selama ini hampir di setiap pabrik gula tebu menggunakan ampas sebagai
bahan bakar boiler, campuran pakan ternak dan sisanya dibuang atau dibakar
(Ginting dkk., 2013).
Ampas tebu ini mudah terbakar karena di dalamnya terkandung air, gula,
serat dan mikroba, sehingga bila tertumpuk akan terfermentasi dan melepaskan
panas. Beberapa kasus kebakaran ampas di beberapa pabrik gula diduga akibat
proses tersebut. Ampas tebu selain dijadikan sebagai bahan bakar ketel di
beberapa pabrik gula mencoba mengatasi kelebihan ampas dengan membakarnya
secara berlebihan (inefisien). Dengan cara tersebut mereka bisa mengurangi
jumlah ampas tebu (Ginting dkk., 2013).
Ampas tebu (bagasse) mempunyai kandungan lignin yang mencapai 24
%, dan tekstur yang keras. Ampas tebu (bagasse) dapat digunakan sebagai pakan
ternak namun memerlukan pengolahan lebih lanjut. Melalui fermentasi
menggunakan probiotik, kualitas dan tingkat kecernaan ampas tebu akan
diperbaiki sehingga dapat digunakan sebagai bahan pakan. Tahapan fermentasi
ampas tebu sama dengan fermentasi jerami. namun perlu ditambahkan beberapa
bahan untuk melengkapi kebutuhan mineral yang diperlukan dalam bahan pakan
tersebut. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah menyebutkan bahwa pada
tahun 2011 produksi tebu di wilayah Jawa Tengah sebanyak 244.192,45 ton,
sehingga diperkirakan bagasse yang dihasilkan mencapai 87.909,282 ton.
Potensi tersebut belum sepenuhnya dimanfatkan sebagai pakan ternak (Rayhan
dkk., 2013).
Produksi gula dapat ditingkatkan dengan melakukan pembenahan media
tanam (tanah) tebu sehingga dapat tumbuh dengan baik. Perbaikan tersebut dapat
dilakukan dengan merubah sistem pengolahan tanahnya dan juga memberikan
bahan organik ke dalam tanah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan menggunakan sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) dan pengaplikasian BBA
(bagas, blotong, abu) tebu yang dihasilkan dari sisa produksi pabrik gula itu
sendiri. Sistem TOT dilakukan dengan tidak mengolah tanah secara mekanis,
kecuali alur kecil atau lubang tugalan untuk menempatkan benih agar cukup
kontak dengan tanah. Prasyarat utama budidaya pertanian tanpa olah tanah yaitu
adanya mulsa yang berasal dari sisa-sisa tanaman musim sebelumnya. Mulsa
dibiarkan menutupi permukaan tanah untuk melindungi tanah dari benturan
langsung butiran hujan, disamping untuk menciptakan mikroklimat yang
mendukung pertumbuhan tanaman (Batubara dkk., 2013).
Peningkatan produksi tebu penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk
mengurangi bahkan menghentikan ketergantungan impor gula. Produksi tebu
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis tanah, varietas, teknik
budidaya, modal, infrastruktur, pengolahan tanah, pemeliharaan, lingkungan, dan
bahan tanam atau bibit. Bahan tanam merupakan salah satu faktor produksi yang
esensial, mutu bahan tanam menentukan produksi tebu secara keseluruhan
disamping faktor lainnya (Argaranu, 2013).
Dewasa ini, sistem pengadaan bahan tanam yang selama ini diterapkan
dengan bagal, rayungan, dan lonjoran dirasa kurang efesien. Alasannya sistem
tersebut memiliki waktu pembibitan lama, kesehatan dan kemurnian bibit kurang
terjamin, membutuhkan lahan yang luas, kebutuhan bahan tanam besar,
penanaman harus dilakukan pada awal atau akhir musim hujan, dan pertumbuhan
bibit kurang serempak. Solusi yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi
permasalahan tersebut ialah dengan menerapkan satu inovasi baru dalam
pembibitan tebu yang diadopsi dari Kolumbia, pembibitan tersebut dikenal
dengan sistem pembibitan tebu satu mata tunas atau popular dengan sebutan
single bud nurserry (PTPN XI, 2011).
Sistem pembibitan Single Bud Planting (SBP) adalah salah satu metode
pembibitan baru dalam dunia pertebuan Indonesia. Teknologi ini berasal dari
Brazil dan Columbia. Brazil dan Columbia selama ini dipandang sebagai negara
di Amerika Selatan yang cukup maju dalam hal budidaya tanaman tebu. Produksi
kui/ha rata-rata Brazil dan Columbia mencapai 90-95 ton/ha dengan Rendemen
antara 13%-15% dengan produksi hablur rata-rata per hektar adalah 11.7 - 12.35
ton/ha (Sudarto, 2013).
Pembibitan secara single bud nurrsery ini memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan pembibitan secara konvensional, keunggulan tersebut antara
lain :
1. Areal yang dibutuhkan lebih sedikit. Lebih hemat tempat dalam proses
pembibitan (dalam 1 ha tempat SBP bisa dihasilkan kurang lebih 9,6 juta mata
atau setara dengan 518 hektar tertanam (dalam 1 hektar membutuhkan bibit
18.500 mata).
2. Umur bibit lebih pendek yaitu kurang dari 3 bulan sudah siap tanam
3. Setiap saat bibit akan tersedia sehingga jenjang pembibitan lebih efektif
4. Kualitas bibit lebih terjamin dan presentase serta kepastian hidup lebih tinggi.
5. Mempunyai daya tumbuh seragam.
6. Jumlah anakan yang dihasilkan lebih banyak dibanding sistem pembibitan
konvensional.
7. Penangkaran bibit tinggi antara 20-25 (dalam 1 hektar tegakan bibit jika
disinglebudkan maka bisa tertanam dalam 20 - 25 hektar tebu giling).
8. Biaya pembibitan yang diperlukan lebih murah, dengan Harga Pokok Penjualan
(HPP) permata hanya Rp. 300,- dan kebutuhan per hektar 18.500 mata maka
biaya bibit yang dibutuhkan hanya Rp.5.550.000, jika dibandingkan dengan
bibit bagal yang dalam 1 hektar perlu 100 kuintal bibit dengan harga perkuintal
rata-rata Rp. 65.000 maka biaya bibit single bud lebih murah.
(Argaranu, 2013).
Disamping keunggulan dari pembibitan secara single bud, ternyata pada
pembibitan ini masih terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan yaitu :
1. Membutuhkan tenaga kerja terampil
2. Belum diketahui oleh sebagian besar masyarakat luas atau khalayak
3. Adaptasi penanaman (transplantting)
4. Sistem pemeliharaan masih membutuhkan kajian lebih lanjut.
5. Biaya investasi cukup tinggi terutama untuk pembelian alat-alat (Pottray dan
pembuatan tangkringan).
6. Jumlah anakan kurang optimal jika ditanam di saat curah hujan sudah cukup
tinggi dan intens.
(Sudarto, 2013).
Pada sistem pembibitan SBP, metode yang perlu dilakukan adalah sebagai
berikut :
1. Klentek Bibit
Bibit yang datang dari lahan agar bisa di ambil mata tumbuhnya dengan
cara di bor maka bibit harus diklentek terlebih dahulu. Hal penting yang harus di
kontrol dalam kegiatan klentek bibit ini adalah harus dipastikan batang bibit tebu
bebas dari daduk, karena kalau daduk masih ada yang tertinggal di batang bibit
maka akan mengganggu proses pengeboran (Sudarto, 2013).
2. Seleksi Bibit
Proses seleksi bibit ini merupakan bagian yang sangat penting karena
seleksi ini sangat menentukan terhadap kemurnian dan keseragaman daya tumbuh
yang merupakan keunggulan dari sistem single bud itu sendiri. Pada dasarnya
seleksi bibit di sistem SBP menyeleksi agar bibit varietas lain tidak tercampur dan
mengelompokkan bibit bagian bawah dan atas, agar diperoleh daya tumbuh yang
seragam (Sudarto, 2013).
3. Pengeplongan bibit
Di Pabrik Gula Pangkah Kabupaten Tegal, pelakuan pengeplongan bibit
dengan menggunakan mesin plong. Kegiatan ini dilakukan karena dirasakan lebih
efektif dan efisien dan dihasilkan mata stek tebu seragam ukurannya (Sudarto,
2013).
4. Perlakuan Hot Water Treatment
Perlakuan hot water treatment dilakukan bertujuan untuk memecah
dormansi pada bibit tebu sekaligus untuk mematikan penyakit rattoon stuning
desease ( RSD ). Perlakuan hot water treatment dilakukan pada suhu 45 derajat
celcius selama 15 menit (Sudarto, 2013).
5. Perlakuan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) dan Desinfektan
Mata bibit setelah mendapatkan perlakuan hot water treatment selanjutnya
mata bibit direndam pada cairan ZPT untuk memacu perkecambahannya. Setelah
direndam pada larutan ZPT kurang lebih 5 menih bibit kembali direndam pada
larutan desinfektan guna mencegah serangan penyakit dan jamur selama 5 menit
(Sudarto, 2013).
6. Penanaman Bibit Mata Satu ke Bedengan (P1)
Bibit mata satu yang telah diaplikasi zpt dan desinfektan telah siap
ditanam di bedengan (perkecambahan). Bibit ditanam pada jarak 2 x 2 cm. Bibit
ditanam dibedengan selama 10 - 15 hari, setelah 10 - 15 hari ( berdaun tiga ) bibit
dipindah ke Pottray (Sudarto, 2013).
7. Pemindahan Bibit Ke Pottray
Bibit yang telah berumur 10 - 15 hari ( mempunyai helai daun minimal 3 )
telah siap dipindah ke dalam pottray. prinsip dasar dari kegiatan ini adalah
tanaman diberikan media tanam yang terbatas dan hanya sedikit diberikan unsur
hara tambahan ( 5 gr NPK per 72 mata ) tujuan dari pembatasan ini agar bibit
tumbuh kerdil dan mempunyai ruas pendek-pendek. Dari ruas yang pendek-
pendek inilah nantinya diharapkan muncul anakan baru ketika bibit telah ditanam
di lahan. Pottray yang telah terisi bibit diletakkan di tangkringan yang tingginya
kurang lebih 30 cm agar akar tidak menyentuh tanah (Sudarto, 2013).
8. Penanaman Bibit Ke Lahan
Bibit yang telah berumur 2 -2,5 bulan di pottray telah siap dipindah ke
lahan. sebelum dikirim ke lahan bibit di roges terlebih dahulu untuk mengurangi
penguapan ketika bibit telah ditanam di lahan (Sudarto, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Argaranu. 2013. Sistem Pembibitan Tebu Single Bud Nurserry. http://argaranu.blogspot.com/2013/02/sistem-pembibitan-tebu-single-bud.html. [online]. Diakses pada 20 November 2013.
Batubara, M.H. dkk. 2013. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Aplikasi Mulsa Bagas Terhadap Populasi dan Biomassa Cacing Tanah Pada Pertanaman Tebu (Saccharum Officinarum L.) Tahun Ke 2. Agrotek Tropika, 1(1): 107 – 112.
Chrysantini, Pinky. 2007. Berawal Dari Tanah: Melihat ke Dalam Aksi Pendudukan Tanah. Bandung: Akatiga.
Ginting, A. R. dkk. 2013. Studi Pertumbuhan dan Produksi Jamur Tiram Putih (Pleorotus ostreatus) Pada Media Tumbuh Gergaji Kayu Sengon dan Bagas Tebu. Produksi Tanaman, 1 (2) : 17-24.
Harmanto, Ning. 2007. Herbal Untuk Keluarga : Jus Herbal Segar & Menyehatkan. Jakarta : P.T. Elex Media Komputindo.
Indrawanto, C dkk. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Jakarta: ESKA Media.
Kuspratomo, A.D. dkk. 2012. Pengaruh Varietas Tebu, Potongan dan Penundaan Giling Terhadap Kualitas Nira Tebu. Agrointek, 6(2): 123-132.
Misran, Erni. 2005. Industri Tebu Menuju Zero Waste Industry. Teknologi Proses, 4(2) : 6-10.
Permana, Krishadi. 2011. Sejarah Tanaman Tebu. http://ambhen.wordpress.com/2011/09/20/sejarahtanamantebu/. [online]. Diakses pada 13 Oktober 2013.
Poesponegoro, M.D. dan Notosusanto, N. 2008. Sejarah nasional Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.
PTPN XI. 2011. Single Bud Planting Model Cenicana. http://litbang-pradjekan.blogspot.com/2011/12/single-bud-planting-model-cenicana.html . [online]. Diakses pada 20 November 2013.
Rayhan, M. dkk. 2013. Fermentasi Ampas Tebu (Bagasse) Menggunakan Phanerochaete chrysosporium Sebagai Upaya Meningkatkan Kecernaan
Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik Secara in vitro. Ilmiah Peternakan, 1(2): 583 – 589.
Sudarto. 2013. Pembibitan Tebu Single Bud Planting (SBP). http://cybex.deptan.go.id/lokalita/pembibitan-tebu-single-bud-planting-sbp . [online]. Diakses pada 20 N ovember 2013.
Sutardja, Edhi. 2006. Budidaya Tanaman Tebu. Yogyakarta: Bumi Aksara.