tugas kewarganegaraan

14
Korupsi Pajak Kekayaan Dhana Terbesar | Heru Margianto | Rabu, 14 Maret 2012 | 09:28 WIB AKARTA, KOMPAS.com — Tersangka kasus dugaan korupsi dan pencucian uang Dhana Widyatmika diketahui memiliki kekayaan dan transaksi mencurigakan paling besar d para pegawai negeri sipil yang dilaporkan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keu kepada kejaksaan. ”Dengan alasan itulah, kejaksaan memprioritaskan penyidikan kasus Dhana,” kata D Penyidikan Pidana Khusus Arnold Angkouw, Selasa (13/3/2012), di Jakarta ketika d mengapa hingga kini hanya Dhana yang diusut. Sebagaimana diberitakan, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan menyampaika terlapor yang dicurigai melakukan pencucian uang kepada penegak hukum. Dari juml 174 terlapor (59,5 persen) terindikasi korupsi, 148 orang (50,3 persen) berstatu 174 terlapor, 63 orang berusia di bawah 40 tahun. Arnold mengatakan, berdasarkan pemeriksaan atas lima bank pada Selasa, Dhana dik juga berinvestasi reksadana pada perusahaan sekuritas asing. Uang untuk investa dari Bank Standard Chartered. Kejaksaan juga mendapatkan informasi seputar jumla simpanan, transaksi, dan aliran masuk keluar rekening Dhana. Seperti diberitakan, Dhana diketahui menyimpan uangnya di sejumlah bank, antara Mandiri, BCA, BNI, dan Bukopin. Di Bank Mandiri, Dhana menyimpan kekayaan dalam safe deposit box . Isinya, antara lain, adalah uang tunai 28.000 dollar AS, uang tuna juta, sertifikat tanah, dan emas 1 kilogram. Penyidik kejaksaan akan memeriksa sejumlah saksi pada pekan ini. Salah satunya a Herly Isdiharsono, mitra bisnis Dhana dalam mengelola PT Mitra Mandiri Mobilindo perusahaan jual beli dan showroom mobil. Herly dan Dhana memiliki perusahaan tersebut dengan komposisi saham 50 : 50. Seperti halnya Dhana, Herly juga pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Pencucian uang Penyidik menduga Dhana menggunakan perusahaan showroom mobil tersebut sebagai tempat pencucian uang. Dhana disangka menerima uang miliaran rupiah dari sejumlah wajib terkait jabatannya sebagai pegawai pajak. Salah satu wajib pajak yang diduga men uang ke rekening Dhana adalah PT TRS yang bergerak di bidang properti dan konstr Secara terpisah, kuasa hukum Dhana, Reza Edwijanto, mengatakan, kliennya menerim transfer uang dari atasannya yang berinisial FRM. FRM adalah kepala seksi di Kan Pelayanan Pajak Setiabudi, Jakarta Selatan. ”Ya, transferan dari FRM itu ada, tetapi itu transferan untuk jual beli mobil. I mobil baru, tetapi mobil bekas,” katanya.

Upload: imanuel-agung-adidjojowidyosumarto

Post on 21-Jul-2015

50 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Korupsi Pajak Kekayaan Dhana Terbesar | Heru Margianto | Rabu, 14 Maret 2012 | 09:28 WIB

AKARTA, KOMPAS.com Tersangka kasus dugaan korupsi dan pencucian uang Dhana Widyatmika diketahui memiliki kekayaan dan transaksi mencurigakan paling besar di antara para pegawai negeri sipil yang dilaporkan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan kepada kejaksaan. Dengan alasan itulah, kejaksaan memprioritaskan penyidikan kasus Dhana, kata Direktur Penyidikan Pidana Khusus Arnold Angkouw, Selasa (13/3/2012), di Jakarta ketika ditanya mengapa hingga kini hanya Dhana yang diusut. Sebagaimana diberitakan, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan menyampaikan 294 terlapor yang dicurigai melakukan pencucian uang kepada penegak hukum. Dari jumlah itu, 174 terlapor (59,5 persen) terindikasi korupsi, 148 orang (50,3 persen) berstatus PNS. Dari 174 terlapor, 63 orang berusia di bawah 40 tahun. Arnold mengatakan, berdasarkan pemeriksaan atas lima bank pada Selasa, Dhana diketahui juga berinvestasi reksadana pada perusahaan sekuritas asing. Uang untuk investasi ditransfer dari Bank Standard Chartered. Kejaksaan juga mendapatkan informasi seputar jumlah simpanan, transaksi, dan aliran masuk keluar rekening Dhana. Seperti diberitakan, Dhana diketahui menyimpan uangnya di sejumlah bank, antara lain Bank Mandiri, BCA, BNI, dan Bukopin. Di Bank Mandiri, Dhana menyimpan kekayaan dalam safe deposit box. Isinya, antara lain, adalah uang tunai 28.000 dollar AS, uang tunai Rp 10 juta, sertifikat tanah, dan emas 1 kilogram. Penyidik kejaksaan akan memeriksa sejumlah saksi pada pekan ini. Salah satunya adalah Herly Isdiharsono, mitra bisnis Dhana dalam mengelola PT Mitra Mandiri Mobilindo, perusahaan jual beli dan showroom mobil. Herly dan Dhana memiliki perusahaan tersebut dengan komposisi saham 50 : 50. Seperti halnya Dhana, Herly juga pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Pencucian uang Penyidik menduga Dhana menggunakan perusahaan showroom mobil tersebut sebagai tempat pencucian uang. Dhana disangka menerima uang miliaran rupiah dari sejumlah wajib pajak terkait jabatannya sebagai pegawai pajak. Salah satu wajib pajak yang diduga mentransfer uang ke rekening Dhana adalah PT TRS yang bergerak di bidang properti dan konstruksi. Secara terpisah, kuasa hukum Dhana, Reza Edwijanto, mengatakan, kliennya menerima transfer uang dari atasannya yang berinisial FRM. FRM adalah kepala seksi di Kantor Pelayanan Pajak Setiabudi, Jakarta Selatan. Ya, transferan dari FRM itu ada, tetapi itu transferan untuk jual beli mobil. Itu pun bukan mobil baru, tetapi mobil bekas, katanya.

Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko mengatakan, penelusuran kasus penggelapan pajak dan rekening tidak wajar dari PNS atau pegawai pajak sebaiknya tidak berhenti pada Dhana. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, ketika ditanya soal kemungkinan adanya tersangka baru dalam kasus ini, mengatakan, hal itu tergantung dari perkembangan penyidikan. Adi juga mengatakan, kejaksaan tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan yang diajukan Dhana. (FAJ/LOK) Dhana, Saya, dan Mafia Pajak | Egidius Patnistik | Kamis, 8 Maret 2012 | 07:56 WIB Oleh: Heri Prabowo Nama Dhana Widyatmika sebagai pegawai negeri sipil pajak pemilik rekening gendut telah mengguncang Indonesia. Saya terkejut. Nama teman sekelas saya di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) angkatan 1993 diberitakan berbagai media massa. Mungkin Dhana merasakan hal serupa pada Mei 2005 ketika saya diberitakan dalam kasus mafia pajak: faktur pajak fiktif di Surabaya oleh Alfian dan kawan-kawan. Seingat saya, Dhana anak baik. Dari kalangan berada, tetapi tak sombong. Kadang ia terlambat masuk kuliah demi mengantar ibunya yang berobat jalan saban pekan. Selama berdinas di kantor pajak, saya tak pernah dengar berita negatif tentang Dhana. Saya, Dhana, dan sesama mahasiswa STAN mendapat pendidikan gratis dan berkualitas. Kami dididik jadi pegawai pajak berintegritas. Toh, tak sedikit alumni STAN, seperti saya dan Gayus Tambunan, akhirnya terjerumus dalam lingkup mafia pajak. Saya tak kenal Gayus, tetapi kenal sejumlah orang top di mafia pajak atau mereka yang diduga masuk lingkup mafia pajak. Saya mulai dari Delip V yang bikin heboh karena vonis bebasnya di Pengadilan Negeri Surabaya dalam kasus restitusi pajak fiktif. Kami bertemu di Rumah Tahanan Medaeng, Sidoarjo, karena Delip akhirnya divonis MA dua tahun penjara. Lalu Siswanto, tukang bersihbersih kantor pajak, dan Suhertanto, juru sita kantor pajak, yang terjerat kasus penggelapan pajak senilai Rp 300 miliar. Mereka pernah sekantor dengan saya. Terakhir Pulung Sukarno yang kini ditahan Kejaksaan Agung karena penyimpangan pengadaan sistem teknologi informasi (TI). Watak mereka berbeda-beda. Ada yang baik, alim, dan nakal. Jadi, masuk ke lingkup mafia pa- jak tak berkaitan dengan watak seseorang. Mafia pajak terbentuk karena budaya dan sistem. Budaya korupsi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selama puluhan tahun telah membentuk jaringan mafia pajak yang kuat mapan. Apalagi, sebelum reformasi, pemberantas korupsi nyaris tak bergigi. Istilah nego atau all in (wajib pajak kasih uang pajak dan suap dalam satu paket) sudah kaprah di kantor pajak. Maka, tak salah jika pada 2007 pemerintah mereformasi birokrasi DJP. Di awal hasil reformasi sangat menggembirakan. Berdasarkan survei Transparency International 2007, kantor pajak tak masuk lagi sebagai instansi yang dipersepsikan terkorup.

Apakah mafia pajak yang telah beroperasi puluhan tahun dengan hasil miliaran rupiah langsung bubar hanya karena gajinya jadi belasan hingga puluhan juta? Mereka tiarap sejenak cari celah. Yang bertobat hanya yang masuk lingkup mafia pajak karena ikut-ikutan dan gaji pas-pasan. Pengawasan yang mulai ketat dan berkurangnya kawula mafia pajak justru menaikkan tarif kawula mafia pajak. Jangan kaget, muncul kasus Dhana dan Gayus setelah reformasi DJP. Masih eksis Ada lima penyebab mengapa mafia pajak masih eksis. Pertama, kekuasaan besar. Lingkup kekuasaan DJP tak hanya menetapkan pajak, tetapi juga mengadili sengketa pajak dalam proses keberatan, menyita aset wajib pajak (WP), memblokir rekening bank, menyidik tindak pidana pajak, minta pencekalan WP hingga menahan WP (penyanderaan). Ungkapan kekuasaan cenderung korup berlaku mutlak. Kedua, banyaknya hubungan kekerabatan antarsesama karyawan di DJP. Ini tak lazim di institusi keuangan, karena kekerabatan mendorong persekongkolan, dan persekongkolan sulit dideteksi. Ketiga, lemahnya pengawasan internal di DJP. Kasus Gayus jadi bukti. Jangankan investigasi, DJP baru menskors Gayus setelah kasus mencuat di media massa. Padahal, sesuai Pasal 2 PP 4/1966 tentang pemberhentian sementara PNS, Gayus seharusnya diskors sejak jadi tersangka dalam kasus pertama saat dia pernah divonis bebas. Keempat, rendahnya target pajak. Dalam RAPBN 2012 rasio pajak ditetapkan 12,72 persen dari PDB. Angka ini jauh di bawah rata-rata ASEAN yang berkisar 15-20 persen. Kelima, adanya wilayah abu-abu. Sesuai Pasal 23A UUD 1945, semua pajak dan pungutan lain yang bersifat memak- sa untuk keperluan negara harus diatur dengan UU. Namun, dalam UU Pajak, selain obyek pajak, yang bukan obyek pajak pun ditentukan. Asal tahu saja, transaksi di luar obyek dan non-obyek adalah wilayah abu-abu yang berpotensi jadi sumber korupsi. Apalagi, ada seloroh bahwa UU Pajak Indonesia merupakan UU perpajakan paling tipis di dunia. Modus korupsi Sebelum reformasi, kantor pajak tak hanya dianggap sebagai sarang koruptor, tetapi juga dianggap momok oleh masyarakat. Ini karena WP kerap diperas oleh aparatur pajak, misalnya dalam pemeriksaan atau pengurusan pengembalian kelebihan pajak atau restitusi. WP ditakut-takuti dengan perhitungan pajak yang tak masuk akal. Masalah ini cukup teratasi sebab setelah reformasi birokrasi, diadakan jabatan account representative (AR), mirip konsultan pajak, yang bertugas membantu WP. WP tak usah pusing berurusan dengan banyak pihak di kantor pajak. Cukup dengan AR. Target penerimaan pajak setiap kantor pajak dibagi kepada setiap AR. Maka, AR jadi tulang punggung kantor pajak hingga dijuluki ahli rekoso. DJP pun memberi wewenang besar kepada AR, mulai dari meneliti laporan pajak, konseling, kunjungan kerja ke WP, hingga mengusulkan pemeriksaan khusus. Akses besar kepada WP, sistem TI DJP yang canggih, dan pasok- an data keuangan dari banyak instansi membuat AR mudah mendeteksi jika ada laporan pajak yang tak benar. Apakah AR meminta WP membetulkan laporan atau AR justru membantu WP

membetulkan laporan pajak untuk melakukan penghindaran/penggelapan pajak dengan memanfaatkan celah aturan yang ada atau memanipulasi laporan keuangan WP sehingga laporan pajak seolah telah benar lalu AR dapat imbalan, itu perkara lain. Dengan budaya korupsi yang masih kental, kemungkinan AR melakukan penyimpangan sangat besar. Apalagi, jika AR dibe- bani target pajak yang rendah. Godaan kian besar bagi AR ketika menangani WP besar yang membayar pajak triliunan rupiah. Dengan mudah AR meraup puluhan miliar dengan menawarkan jasa utak-atik laporan pajak. Apakah Dhana juga mempraktikkan ini mengingat dia pernah jadi AR di KPP WP Besar? Pengadilanlah yang membuktikan ini semua. Kalaupun ternyata AR tak melakukan penyimpangan dan mengusulkan WP diperiksa, peluang korupsi masih ada. Dalam pemeriksaan, bahkan hingga penyi- dikan, bisa terjadi negosiasi antara WP dan pemeriksa/penyidik pajak. Praktik ini sudah terjadi sebelum reformasi birokrasi. Peluang negosiasi terhambat jika AR berani menghambat. Namun, toh, jalan untuk menilep pajak masih ada jika WP mengajukan keberatan. Negosiasi dengan penelaah keberatan (PK) bisa terjadi. Negosiasi bisa berlanjut bila WP mengajukan banding atas putusan keberatan. PK bisa memberi bantuan agar DJP kalah dalam persidangan. Bantuan itu bisa berwujud mengonsep surat banding untuk WP, membuat lemah argumen dalam memori banding lalu membocorkannya ke WP, dan terakhir PK sengaja tak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke MA atas kekalahan DJP dalam banding. Kebijakan DJP yang membatasi wewenang penyelesaian keberatan di kantor wilayah berakibat menumpuknya kasus keberatan di kantor pusat. Dengan demikian, pengawasan sulit dilakukan. Maka, petugas PK di kantor pusat yang nakal bisa mengumpulkan banyak uang suap. Adakah keterlibatan atasan mereka? Bisa ya bisa tidak. Pejabat pajak bisa saja ikut mengamankan laporan pajak buatan AR. Dengan bantuan staf TI pajak yang nakal, data perpajakan di pangkalan data DJP bisa disesuaikan dengan data laporan pajak yang tak benar. Keterlibatan pejabat pajak tampak nyata jika korupsi ada di pemeriksaan atau keberatan sebab atasan PK atau pemeriksa ikut menelaah hasil keberatan atau pemeriksaan. Modus korupsi yang dilakukan AR atau PK bukan hal baru di DJP. Jadi, sulit membantah bahwa pejabat pajak tak tahu. Jauh sebelum reformasi birokrasi, banyak petugas hingga pejabat pajak berlaku seperti konsultan pajak. Mereka tak hanya mengutak-atik laporan pajak, tetapi bahkan mengintervensi pemeriksaan, keberatan, hingga banding. Mereka disebut pawang pajak. Karena tak punya jabatan AR atau PK, pawang pajak tak bisa pasang tarif tinggi. Jadi, korupsi yang ada di DJP saat ini hanya beda kemasan dan tarif. Tak adanya pembersihan mafia pajak secara menyeluruh dalam reformasi birokrasi berakibat adanya pejabat pajak yang tutup mata atas penyimpangan ini selama penyimpangan itu tak melibatkannya. Soalnya, sang pejabat pajak sudah kaya raya dari hasil korupsi sebelumnya. Dia sungkan jadi maling teriak maling. Prinsip yang penting target pajak tercapai dan tetap bergaji besar sering jadi pegangan. Mafia pajak seharusnya menjadi sejarah jika reformasi birokrasi DJP berhasil. Banyak pihak berharap kinerja aparat pajak bagus agar pendapatan negara meningkat. Bayangkan jika nisbah pajak Indonesia mencapai 20 persen. Kita tak perlu bingung dengan subsidi BBM.

Semoga DJP bisa memperbaiki diri. Heri PrabowoBekas Narapidana Penggelapan Pajak DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK Dhana Minta Penangguhan Penahanan | Robert Adhi Ksp | Selasa, 6 Maret 2012 | 07:14 WIB JAKARTA, KOMPAS.com Dhana Widyatmika, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, serta tersangka dugaan penggelapan pajak dan pemilik rekening tidak wajar, melalui penasihat hukumnya, mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Permohonan penangguhan penahanan disampaikan kepada penyidik Kejaksaan Agung, Senin (5/3/2012), dengan alasan Dhana kooperatif selama pemeriksaan dan tak mungkin melarikan diri. Selain itu, dia adalah kepala keluarga yang mempunyai anak yang masih sangat kecil. Anaknya baru berusia 1,5 tahun. Semua hartanya disita, barang bukti disita, dan paspor juga disita. Dhana sudah dicegah (tak bisa bepergian ke luar negeri) sehingga tidak mungkin lari ke luar negeri. Dia juga kooperatif. Bahkan, walau Kamis malam pekan lalu mukanya terkena kamera wartawan, Jumat pun dia tetap datang ke pemeriksaan, kata Reza Edwijanto, penasihat hukum Dhana. Penasihat hukum Dhana juga meminta izin kepada penyidik untuk menemui kliennya di rumah tahanan Kejaksaan Agung. Sejak Jumat sampai Minggu, kami belum bertemu Dhana. Saat bertemu Dhana, kami hanya menanyakan kabarnya. Belum ada pembicaraan serius dengan kami. Istrinya belum membesuk, kata Reza lagi. Kamis dan Jumat pekan lalu, lanjut Reza, penyidik baru mengajukan pertanyaan sekitar data pribadi serta tugas pokok dan fungsi Dhana saat masih menjadi pegawai Ditjen Pajak. Terkait permohonan penangguhan penahanan yang diajukan Dhana, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisma menyatakan, hal itu sedang dipelajari tim penyidik. (Elok Dyah Messwati/Sri Rejeki/M Hernowo/Sidik Pramono/Anwar Hudijono)

Dian Tak Jadi Saksi, Kasus Dhana Tetap JalanKepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman menyatakan, Kejaksaan Agung tak bisa memaksakan kehendak untuk tetap memeriksa Dian Anggraeni sebagai saksi dalam kasus yang menimpa suaminya, Dhana Widyatmika. Hal ini karena Dian menggunakan haknya sebagai istri Dhana sesuai dengan Pasal 168 huruf c dalam Kitab Hukum Acara Pidana, di mana ia berhak untuk tidak memberikan kesaksian dan keterangan. "Ditawarkan oleh penyidik sesuai ketentuan yang ada Pasal 168 KUHAP di mana suami atau istri tersangka bisa mengundurkan diri untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Dengan demikian atas penjelasan penyidik, saksi DA mengatakan menggunakan haknya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 168 huruf c," ujar Adi dalam jumpa pers di Kantor Kejakgung, Jakarta, Kamis (8/3/2012).

Meski Dian tak bisa diperiksa sebagai saksi, proses penyidikan terhadap kasus Dhana tetap berjalan menggunakan keterangan saksi-saksi lainnya. "Jadi bukan dilepas begitu saja, tapi memang ada hak yang melekat kepada yang bersangkutan, sudah diatur secara tegas dalam KUHAP. Tapi yakin, penyidik akan mencari fakta hukum yang lain dari sumber yang lain pula," tegas Adi. Selain itu, penyidik memiliki strategi-strategi khusus untuk mendapatkan fakta kasus Dhana, meski itu bukan berasal dari keterangan Dian. Strategi itu digunakan mendapatkan fakta-fakta hukum yang berkaitan harta kekayaan Dhana. Penyidik akan mengembangkan informasi tidak hanya dari istri tersangka, tetapi juga pihak-pihak lain. Selama memasuki Gedung Jampidsus pagi hingga siang hari tadi, Dian tidak menjalani pemeriksaan oleh penyidik. Meski menggunakan haknya sesuai dengan aturan hukum, ia menyatakan siap memberikan keterangan, jika dibutuhkan oleh penyidik Kejakgung. Padahal, Kejakgung awalnya memanggil Dian untuk dimintai keterangan terkait kasus dugaan korupsi Dhana di Direktorat Jenderal Pajak dan kasus dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya. Namun, dengan alasan pasaldi atas, pemeriksaan batal dilakukan.

Sepak terjang korupsi pegawai negeri sipil

Tersangka korupsi Dhana Widyatmika dinonaktifkan sementara dari pegawai negeriKamis, 08 Maret 2012 pukul 15:32. Tags: Sepak terjang korupsi pegawai negeri sipil, Tersangka korupsi Dhana Widiyatmika dinonaktifkan sementara dari pegawai negeri

Jakarta-Yustisi.com: Tersangka skandal suap dan korupsi pajak Dhana Widyatmika dinonaktifkan sementara sebagai pegawai negeri sipil sampai perkaranya inkrah, Kamis (08/03) di Jakarta. Demikian Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Arief Susilo di Jakarta, Kamis. Menurutnya, status penonaktifan Dhana akan dicabut jika sudah keluar inkrah putusan pengadilan yang menyatakan Dhana tak bersalah. Sanksi pemecatan akan dilakukan jika putusan pengadilan menyatakan Dhana bersalah. Dhana Widyatmika (33 tahun) adalah pegawai negeri Direktorat Jenderal Pajak golongan III C yang 12 Januari 2012, menjadi staf Bagian Tata Usaha Dinas Pelayanan Pajak Daerah Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan. Gajinya Rp5-an juta, namun hartanya Rp60-anmiliar. Skandal penggelapan pajak

Dinas Pelayanan Pajak DKI akan menjelaskan keberadaan Dhana WidyatmikaSelasa, 28 Februari 2012 pukul 11:33. Tags: Dinas Pelayanan Pajak DKI akan menjelaskan keberadaan Dhana Widyatmika, Skandal penggelapan pajak

Jakarta-Yustisi.com: Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta akan memberikan keterangan, berkait instruksi Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, yang meminta Dhana Widyatmika dipecat dari jabatannya, Selasa (28/02) di Jakarta.

Humas Pemprov DKI Jakarta, Cucu Ahmad Kurnia, mengatakan Sekretaris Dinas Pelayanan Pajak DKI, Djuli Zulkarnaen akan menyampaikan segala sesuatu yang diketahui tentang keberadaan Dana selama ini di Kantor Dinas pelayanan Pajak DKI Jakarta. Direktorat Jenderal Imigrasi sudah mencegah Dana pergi keluar negeri melalui surat bernomor IMI.5.GR.02.06-3.20108, yang berlaku sampai 21 Agustus 2012. Surat cegah ini dikeluarkan berdasarkan keputusan Jaksa Agung RI nomor KEP-028/D/Dsp.3/02/2012 tanggal 21 Februari 2012. Dana yang beristri seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak ini dijerat dengan UndangUndang Tindak Pidana Korupsi. lin Sepak terjang korupsi pegawai negeri

Kejaksaan Agung akan tetapkan tersangka baru selain Dhana WidyatmikaRabu, 14 Maret 2012 pukul 10:46. Tags: Kejaksaan Agung akan tetapkan tersangka baru selain Dhana Widyatmika, Sepak terjang korupsi pegawai negeri

Jakarta-Yustisi.com: Kejaksaan Agung mengisyarakatkan akan menetapkan tersangka baru, berkait skandal korupsi dan pencucian uang di Direktorat Jenderal Pajak oleh tersangka Dhana Widyatmika, Rabu (14/03). Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Andi Nirwanto mengatakan, pihaknya akan memeriksa semua pihak yang berkaitan dengan tersangka Dhana Widyatmika. Penyidik senantiasa akan memeriksa siapa-siapa yang berkaitan dengan aktifitas Dhana Widyatmika, ujar Andi. Menurut Andi, penyidik akan menetapkan tersangka baru pascapemeriksaan beberapa saksi. Secara umum tindak pidana korupsi itu tidak dilakukan sendirian, katanya. lin

Larangan Bagi PNS beserta Sanksinya - Jika Benar !Jakarta - Menjadi birokrat alias Pegawai Negeri Sipil (PNS) ternyata tidak mudah. Bekerja demi negara, seorang PNS memiliki beberapa hal yang tidak boleh dilakukannya. Seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, terdapat larangan bagi PNS dan sanksi yang diberikan jika melanggar. "Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin," tulis PP tersebut seperti dikutip detikFinance di Jakarta, Rabu (29/2/2012). Dalam aturan tersebut, terdapat 15 poin dalam pasal 4 yang berisi larangan-larangan bagi PNS. Antara lain, PNS dilarang bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing. Kemudian PNS dilarang memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah. PNS juga dilarang melakukan kegiatanbersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara. Jika PNS kedapatan melakukan larangan yang tertuang diatas maka akan diberikan hukuman disiplin. Hukuman disiplin ini dibagi menjadi tiga yakni disiplin ringan, hukuman disiplin sedang dan hukuman disiplin berat. Hukuman disiplin ringan hanya berupa teguran-teguran. Sedangkan hukuman disiplin sedang cukup bervariasi. "Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun," tulis aturan ini. Sedangkan jenis hukuman disiplin berat sebagaimana antara lain penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. PP ini merupakan aturan terbaru soal PNS sebagai revisi dari beberapa PP sebelumnya termasuk PP Nomor 6 Tahun 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam Usaha Swasta yang mengatur tegas soal larangan PNS berbisnis. Pada PP No 53 Tahun 2010 justru tak diatur soal larangan PNS untuk berbisnis. (dru/dnl)

Pembuktian Terbalik Amat Urgen Selasa, 6 Maret 2012 | 14:15 Korupsi tidak juga lekang dari negeri ini. Sudah banyak yang diringkus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dibawa ke hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tapi tetap saja korupsi merajalela. Kasus dugaan korupsi dengan tersangka pegawai pajak Dhana Widyatmika yang mirip dengan kasus Gayus Tambunan membuktikan penjarah uang negara tidak pernah jera. Bahkan, hukuman terhadap para terdakwa yang dituduh dengan pasal-pasal dari UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana cenderung ringan. Sejumlah putusan pengadilan atas kasus korupsi lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa. Gayus, misalnya, diganjar enam tahun, padahal penuntut umum meminta hakim mengganjar dengan vonis delapan tahun penjara. Belum lagi putusan peradilan umum dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di beberapa daerah yang lebih memilih untuk membebaskan terdakwa perkara korupsi dari tuntutan hukum. Semangat memberantas korupsi di Indonesia yang sudah mulai muncul sejak empat dekade namun tidak pernah membebaskan negeri ini dari cengkeraman para penjarah uang negara. Semasa awal Orde Baru, rezim pemerintahan kala itu menerbitkan UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan sampai rezim koruptif yang ditumbangkan oleh kekuatan reformasi itu berakhir, korupsi tidak juga berkurang. Korupsi sekarang ini bukan hanya membuat banyak orang terkaget-kaget karena nilai uang negara yang dijarah mencapai triliunan rupiah. Pembuktian atas sebuah kasus korupsi kini semakin rumit. Meski selalu ada kasus-kasus baru korupsi yang terungkap, publik meyakini masih banyak kasus lainnya yang tidak atau belum terbongkar. Akibatnya, Indonesia terus bertengger di urutan atas negara-negara paling korup. Sudah ada KPK dengan kompetensi luar biasa yang tidak dimiliki oleh lembaga penegak hukum lain, seperti menyadap, tetap saja tindak pidana yang merugikan keuangan negara itu tidak juga menyusut. Kalau di masa lalu korupsi hanya dikenal di kalangan birokrasi, sekarang sudah menjangkiti para wakil rakyat. Bahkan penegak hukum pun tidak kebal korupsi yang menyebar cepat bagaikan virus. Memang korupsi tidak hanya terjadi di negeri ini. Korupsi juga terjadi di belahan bumi lain. Namun budaya takut berbuat korupsi dan sistem hukum yang mengganjar hukum berat bagi pelakunya, bisa menjadi faktor penghambat sehingga korupsi tidak sampai menggurita. Oleh karena itu, upaya memberantas korupsi yang dikualifikasikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) harus juga memakai cara-cara yang luar biasa, tidak lagi bisa jurusjurus konvensional. UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah mengadopsi berbagai cara luar biasa, seperti penyadapan pembicaraan telepon dan pemeriksaan terhadap penyelenggara negara tanpa harus meminta izin lebih dulu atasan. Sejumlah peraturan perundang-undangan juga sudah dibuat sebagai sarana hukum untuk memerangi kejahatan itu, seperti UU No 28 tahun 199 tentang Penyelenggaraan Negara Yang

Bersih Dan Bebas dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, perubahan UU No 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi dan UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi tahun 2003. Menghadapi itu, kini kembali mencuat gagasan untuk memberlakukan pembuktian terbalik guna menghadapi kasus-kasus korupsi, terutama di kalangan penyelenggara negara. Dengan pembalikan beban pembuktian ini, seorang penyelenggara negara, apakah dia pejabat di lingkungan legislatif, eksekutif dan yudikatif berkewajiban membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya bukan dari hasil korupsi. Usulan itu menjadi lebih urgen bila mencermati kasus yang menjerat Dhana Widyatmika. Kejaksaan Agung yang mengusut kasus itu menyebutkan, pegawai muda dengan golongan III C itu menyimpan rekening sampai Rp 60 miliar serta sejumlah aset lainya. Tentu muncul pertanyaan sederhana, dari mana dan bagaimana bisa seorang pegawai negeri mampu menimbun harta begitu banyak. Penyidikan atas kasus itu tidak sekadar adanya tindak pidana korupsi, tapi juga dugaan kejahatan pencucian uang. Bila menilik pendapatan para pegawai negeri yang diperoleh dari negara, sulit untuk dianggap sebagai kewajaran mereka bisa mengumpulkan uang belasan bahkan puluhan miliar rupiah dalam rekening di bank. Memang pencuri sering kali lebih pintar dari korban. Koruptor lebih lihai untuk menyimpan uang hasil korupsi dibandingkan negara sebagai pemilik dana yang dicuri. Karena itu, sangat mendesak pemberlakuan pembuktian terbalik terhadap penyelenggara negara yang memiliki harta secara tidak wajar. Sudah ada undangundang yang mewajibkan para penyelenggara negara untuk melaporkan kekayaan kepada KPK, namun perintah itu hanya untuk pegawai yang sudah berpangkat tinggi, seperti eselon satu. Tidak semua orang setuju dengan gagasan pembuktian terbalik. Mereka yang menentang mengkhawatirkan pembuktian terbalik berpotensi melanggar HAM dan mengabaikan praduga tidak bersalah. Sesungguhnya kekhawatiran itu tidak perlu apabila pemberlakuan beban pembuktian hanya dipakai dalam proses pemeriksaan di hadapan majelis hakim. Proses pemeriksaan di pengadilan dapat diawasi karena dilakukan secara terbuka untuk umum. Ide apapun yang tujuannya memerangi korupsi perlu dituangkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Tapi jauh lebih berarti adalah semangat dan keinginan kuat memberantas korupsi.

Jangan Terpesona dengan Kasus Dhana Widyatmika, Bisa Jadi Itu Cuma pengalihan Isu!Minggu, 04 Maret 2012 , 20:05:00 WIB

Laporan: Ninding Julius Permana

RMOL. Nama Dhana Widyatmika tiba-tiba mencuat karena ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka kasus suap dan pencucian uang. Dhana pun disebut-sebut memiliki Rp 60 miliar yang tersebar di 18 rekening.

Menariknya, dalam laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) kepada Kementerian Keuangan (Kemenku), nama Dhana tidak termasuk dalam 88 pegawai negeri terkait kepemilikian rekening mencurigakan. Karena itu tidak heran bila berkembang spekulasi bahwa kasus Dhana ini hanyalah sebuah pengalihan isu. Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti, tidak merasa aneh bila ternyata Dhana ini sekedar pengalihan isu semata. Sebab penegak hukum membidik satu kasus untuk melupakan banyak kasus yang lainnya. Ray pun curiga kasus Dhana ini untuk menutupi penyelidikan PPATK atas lebih dari rekening gendut anggota DPR dan juga rekening gendut ribuan PNS. "Kasus penyelidikan itu hilang, dan cukup ditutup oleh kasus Dhana," kata Ray kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Minggu, 4/3). Selain itu, lanjut Ray, kasus Dhana juga menghilangkan kasus-kasus lain seperti kasus anggota Banggar Wo Ode Nurhayati, yang juga diduga melibatkan pimpinan DPR. Begitu juga untuk menutupi kasus dugaan Mafia Anggaran, dan anggaran renovasi Ruang Banggar. "Dalam menghadapi suasana seperti ini, kita semua jangan terpesona kasus-kasus dengan pelaku kecil. Benar-benar harus kita perhatikan dan cermati. Para aparat penegak hukum boleh bermain-bermain dengan kasus, tapi kita jangan lengah," ungkap Ray sambil mengimbau agar seluruh masyarakat tetap memantau dan mendesak aparat hukum untuk membongkar kasus-kasus besar dengan dana besar. [ysa]

Jumpa Pers Singkat, Kejagung Belum Mau Buka Perkembangan Kasus DhanaFerdinan - detikNews Senin, 12/03/2012 18:02 WIB Jakarta Kejaksaan Agung (Kejagung) belum mau membuka perkembangan penanganan perkara kasus dugaan korupsi dan pencucian uang dengan tersangka Dhana Widyatmika. Hal itu terlihat dalam jumpa pers yang digelar di Kejagung hanya sekitar 10 menit. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Adi Toegarisman dalam jumpa pers tersebut tidak memberikan penjelasan terkait kemajuan perkara mafia pajak yang ditangani. Bahkan kepada wartawan, Adi hanya menjelaskan proses pengembangan penyidikan hari ini. "Kelanjutan perkara atas nama DW, menyaksikan pemeriksaan komputer dia oleh ahli IT, disaksikan oleh DW," ujar Adi di kantor Kejagung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta, Senin (12/3/2012). Toegar juga mengaku belum mengetahui hasil pemeriksaan komputer milik bekas pegawai golongan III C di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tersebut.

"Hasilnya belum bisa kita sampaikan, nanti dituangkan BAP. Pokoknya itu komputer milik DW," tandasnya. Usai menjelaskan informasi pemeriksaan sejumlah saksi kasus Dhana dan pemeriksaan saksi kasus Merpati, Toegar memilih langsung ngacir dari kejaran wartawan. Sebelum keluar dari ruangan jumpa pers, Toegar sempat dicecar soal ketertutupan perkembangan perkara yang ditangani Kejagung dibanding KPK yang terbuka memberi informasi. "Segala sesuatu tidak semua bisa disebutkan demi penyidikan," jawab Toegar tersenyum. Sebelumnya Dhana yang digiring ke gedung Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) dari Rutan Salemba cabang Kejagung, mengaku hanya ditunjukkan barang bukti yang disita penyidik yakni telepon genggam. "Saya hanya menyaksikan barang bukti yang dibuka oleh penyidik, handphone saya," sebutnya. (rmd/nwk)

KPK Percaya Kejagung Mampu Tuntaskan Kasus DhanaFerdinan - detikNews Senin, 12/03/2012 12:27 WIB Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum berniat mensupervisi kasus dugaan korupsi dan pencucian uang dengan tersangka Dhana Widyatmika. KPK percaya Kejaksaan Agung mampu mengusut tuntas kasus tersebut. "Kan baru saja ditangani, kok diambil alih, ini kan dalam koordinasi. Kita akan berbagi. Kalau baru saja ditangani untuk apa kita itu mensupervisi?" kata Wakil Ketua KPK Zulkarnain usai mengikuti rapat koordinasi di Kantor Kejagung, Senin (12/3/2012). Zulkarnain menjelaskan, KPK akan menggunakan fungsi supervisi bila lembaga penegak hukum lainnya mengalami kesulitan dalam menangani perkara tertentu. "Itu sudah termasuk tugas pokok dan fungsi kita, tentu yang kita supervisi dan kita koordinasikan itu tentu berdasarkan perencanaan-perencanaan. Jangan lihat kasus per kasus, kita dukung tugas itu. Inilah namanya sinergi menangani perkara korupsi," tambahnya. Saat ini, KPK lanjut dia meyakini perkara kasus bekas pegawai golongan III C di Ditjen Pajak itu akan tuntas. "Ya itu nanti, kan masih baru kita berikan support dukungan. Ini kan masih baru, Kejagung kan juga banyak jaksa-jaksa senior yang bisa menangani kasus-kasus seperti itu, ya sama-sama kita lihat perkembangannya," pungkasnya. Dhana ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada 17 Februari 2012. Saat ini dia mendekam di rutan Salemba cabang Kejagung. Pengacara Dhana, Daniel Alfredo sebelumnya mengatakan, sejumlah aset milik kliennya sudah disita termasuk safe deposit box (SDB) milik kliennya yang tersimpan di Bank Mandiri. Dalam SDB itu terdapat satu kilogram emas, uang Rp 10 juta dan USD 28 ribu. (rmd/rmd)