tugas agama buddha - konsep vegetarian menurut ajaran buddha

11
NAMA : MICHELLE NIM : 100503051 PRODI : S1 - AKUNTANSI TUGAS AGAMA BUDDHA

Upload: michellemarley

Post on 09-Aug-2015

133 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

Tugas Diskusi

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Agama Buddha - Konsep Vegetarian Menurut Ajaran Buddha

NAMA : MICHELLE

NIM : 100503051

PRODI : S1 - AKUNTANSI

TUGAS AGAMA BUDDHA

Page 2: Tugas Agama Buddha - Konsep Vegetarian Menurut Ajaran Buddha

Konsep Vegetarian Menurut Ajaran Buddha

Ajaran Buddha sebenarnya tidak menganjurkan praktik vegetarian. Dalam

sutta-sutta, Sang Buddha tidak mengatakan bahwa praktik vegetarian

adalah benar atau salah, seseorang bebas untuk memilih apa yang akan

mereka jadikan makanan, baik itu sayuran maupun daging. Menkonsumsi

makanan penting sekedar untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama.

Mengenai hal ini Sang Buddha pernah berkata, "Semua makhluk hidup

bertopang pada makanan".

Sebelum munculnya ajaran Buddha, banyak brahmana dan pertapa yang

percaya bahwa kesucian hanya dapat tercapai dengan jalan mengatur

dengan ketat apa yang mereka makan, mereka hanya makan nasi dan

sayuran dalam jumlah yang sangat sedikit. Bahkan sering kali mereka tidak

makan apa pun. Mereka percaya bahwa dengan cara yang semacam

penyiksaan diri, kesucian dapat tercapai. Sang Buddha menolak konsep

penyucian diri dengan cara ini, Sang Buddha tidak menganggap bahwa

vegetarian merupakan praktik moralitas. Bahkan praktik vegetarian sama

sekali bukan bagian dari moralitas (sila) yang merupakan salah satu faktor

dari Jalan Mulia Beruas Delapan.

Sang Buddha menganjurkan kepada semua murid-Nya untuk mempraktikkan

Dhutanga( latihan untuk menghancurkan kekotoran batin). Praktik

vegetarian tidaklah termasuk dalam faktor dhutanga, yang berarti bukan

merupakan faktor penting untuk mengakhiri penderitaan. Oleh karenanya,

Sang Buddha tidak mendorong para murid-Nya untuk menjadi vegetarian.

Tetapi Beliau menyarankan untuk bersikap terkendali dalam hal makan.

Terdapat beberapa jenis vegetarian,antara lain:

Page 3: Tugas Agama Buddha - Konsep Vegetarian Menurut Ajaran Buddha

1.Semi Vegetarian, ialah orang yang hanya memakan daging pada waktu menghadiri suatu pesta atau pertemuan.

2.Vegetarian Sebagian (partial Vegetarian), yaitu orang yang tidak memakan daging merah yang berasal dari hewan mamalia seperti lembu, kambing, dan babi, tetapi memakan ikan, ayam, telur dan susu, disamping sayur-mayur, kacang-kacangan, dan makanan nabati lainnya.

3.Lacto Ovo Vegetarian (Latin: Lacto=susu, Ovo = telur), ialah orang yang tidak memakan daging dari semua kenis hewan apapun termasuk tidak memakan daging ikan, tetapi memakan telur, mengkonsumsi susu, dan hasil produksi susu disamping sayur-mayur, kacang-kacangan, dan makanan nabati lainnya. Jenis ini disebut Lactovarian.

4.Lacto Vegetarian, ialah orang yang tidak memakan segala jenis daging hewan, ikan dan telur, tetapi mengkonsumsi susu dan hasil produksi susu, sayur-mayur, kacang-kacangan, dan makanan nabati lainnya. Jenis ini disebut Lactarian.

5.Total Vegetarian (Vegetarian Murni), ialah orang yang sama sekali tidak

memakan segala jenis daging hewan, ikan, telur, susu dan hasil produk susu,

bahkan tidak memakai produk yang diolah dari tubuh hewan, misalnya apa

saja yang terbuat dari kulit hewan. Mereka hanya memakan sayur-mayur,

kacang-kacangan, dan makanan nabati lainnya. Jenis ini disebut Fruitarian,

karena menurut anggapan mereka hasil nabati adalah buah-buahan bumi.

Pada masa kehidupan Sang Buddha, dalam Kanon Pali (Pacittiya Pali, Vinaya

Pitaka) disebutkan bahwa ada lima jenis makanan yang biasa disajikan

sebagai menu sehari-hari dan juga biasa didanakan kepada para bhikkhu,

yaitu nasi, bubur beras, terigu rebus, ikan, dan daging. Selain dari lima jenis

makanan di atas, disebutkan pula sembilan jenis makanan yang lebih

istimewa, yaitu makanan yang dicampur dengan mentega cair, mentega

segar, minyak, madu, sirup gula, ikan, daging, susu, dan dadih.

Sembilan jenis makanan tersebut umumnya ditemukan di kalangan keluarga

kaya yang mendanakannya kepada para bhikkhu. Bhikkhu diperbolehkan

menerima makanan itu bila didanakan oleh para umat awam, namun

Page 4: Tugas Agama Buddha - Konsep Vegetarian Menurut Ajaran Buddha

dikatakan melanggar vinaya jika dengan sengaja meminta makanan tersebut

kepada umat, tanpa alasan tertentu, yaitu ketika mereka sedang sakit.

Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa ikan dan daging sudah biasa

dikonsumsi sejak masa hidup Sang Buddha. Sang Buddha dan para murid-

Nya hanya makan dari hasil pindapatta. Sang Buddha sendiri memakan

daging dan memperkenankan para murid-Nya berlaku serupa, dengan

catatan, daging tersebut tidak khusus disediakan atau dibunuh untuk Beliau

dan para bhikkhu.

Sebagai pendukung, ada beberapa contoh yang membuktikan bahwa daging

sudah biasa dikonsumsi sebelumnya dan Kanon Pali menyebutkan bahwa

ada beberapa macam daging yang didapati dalam mangkok (patta) Sang

Buddha.

Pada suatu ketika, di sebuah hutan, segerombolan perampok membunuh

seekor sapi untuk dimakan. Pada saat yang sama, di hutan itu seorang

bhikkhuni arahat bernama Uppalavamna sedang duduk bermeditasi di

bawah pohon. Ketika melihat bhikkhuni tersebut, kepala gerombolan

perampok menganjurkan anak buahnya untuk tidak mengganggu. Dia

sendiri menggantungkan sepotong daging sapi di cabang pohon,

mempersembahkannya kepada bhikkhuni ini, dan berlalu. Bhikkhuni

Uppalavamna kemudian mengambil potongan daging tersebut dan

mempersembahkannya kepada Sang Buddha (Nissaggiyapacittiya Pali,

Vinaya Pitaka).

Di dalam bukunya Y.M. Buddhagosa menyebutkan penafsiran pengajar-

pengajar lain tentang sukaramaddava. Ada yang mengatakan bahwa itu

adalah semacam susu beras atau puding beras susu; beberapa lagi

menyebutkan bahwa itu adalah semacam obat penguat (tonik). Belakangan

ini, beberapa pelajar vegetarian menyebutkan bahwa sukaramaddava adalah

sejenis jamur.

Page 5: Tugas Agama Buddha - Konsep Vegetarian Menurut Ajaran Buddha

Jadi kita mendapati adanya daging dalam mangkok Sang Buddha dan murid-

Nya, tetapi Sang Buddha menganjurkan untuk menghindari memakan

sepuluh jenis daging. Kesepuluh jenis daging tersebut adalah daging

manusia, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging ular, daging

singa, daging harimau, daging macan tutul, daging beruang, dan daging

serigala atau hyena (Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka).

Seorang Bhikkhu tidak dianjurkan mengkonsumsi sepuluh macam daging

tersebut karena beberapa alasan yang secara ringkas tercantum di kitab

Komentar Vinaya (Samattpasadika) seperti berikut ini: Daging manusia tidak

seharusnya dimakan karena berasal dari spesies yang sama. Daging gajah

dan kuda tidak seharusnya dimakan karena mereka adalah peliharaan dari

seorang raja. Sedangkan daging anjing dan ular dikarenakan mereka

termasuk jenis hewan yang menjijikkan, kelompok terakhir adalah singa,

harimau, dan sebagainya, tidak seharusnya dimakan karena mereka

tergolong binatang berbahaya dan jika dimakan bau daging binatang

tersebut bisa membahayakan para bhikkhu yang bermeditasi di hutan.

Meskipun Sang Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk menkonsumsi

daging kecuali kesepuluh jenis di atas, Beliau memberlakukan tiga

persyaratan, yaitu seorang bhikkhu tidak diperbolehkan menerima daging

apabila:

1. Melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh.

2. Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh.

3. Mengetahui bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk dirinya.

Berdasarkan Jainisme, memakan daging adalah hal yang salah. Mereka

berpandangan bahwa seseorang yang memakan daging akan mewarisi

setengah karma buruk yang dibuat oleh si pembunuh hewan itu. Si

pembunuh membunuh hewan karena si pemakan memakan daging.

Page 6: Tugas Agama Buddha - Konsep Vegetarian Menurut Ajaran Buddha

Sebelum menjadi pengikut Sang Buddha, Siha adalah pengikut Mahavira,

pendiri Jainisme.

Sang Buddha mengizinkan untuk mengkonsumsi daging asalkan bebas dari

ketiga syarat di atas, karena memakan daging bukanlah perbuatan buruk,

seperti halnya perbuatan membunuh makhluk hidup. Karena itu Sang

Buddha menolak kepercayaan bahwa orang yang makan daging akan ikut

mewarisi perbuatan buruk dari orang yang membunuh hewan.

Bhikkhu Devadatta, sepupu Sang Buddha, yang selalu menentang Sang

Buddha, pada suatu ketika datang dan meminta Sang Buddha untuk tidak

mengizinkan para bhikkhu mengkonsumsi daging dan ikan sepanjang hidup

mereka, dan apabila hal itu dilanggar maka mereka dinyatakan bersalah.

Dengan tegas Sang Buddha menolak permintaan Devadatta ini (Culavagga

Pali, Vinaya Pitaka).

Sehubungan dengan konsumsi daging, Amagandha Sutta adalah sutta yang

sangat penting. Sutta yang termasuk dalam Sutta Nipata, Khudaka Nikaya,

ini untuk pertama kalinya dibabarkan oleh Buddha Kassapa dan kemudian

dikatakan ulang oleh Buddha Gotama.

Pada suatu ketika, seorang pertapa yang menjalani vegetarian mendatangi

Sang Buddha dan menanyakan apakah Sang Buddha memakan amagandha

atau tidak. Sang Buddha bertanya kepada pertapa itu, "Apakah amagandha

itu?", dan pertapa itu menjawab bahwa amagandha adalah semacam

daging. Amagandha secara harfiah berarti bau daging, dalam hal ini

berkonotasi sesuatu yang busuk, menjijikkan, dan kotor. Karena itulah

pertapa ini memakai istilah amagandha.

Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan bahwa sesungguhnya daging

Page 7: Tugas Agama Buddha - Konsep Vegetarian Menurut Ajaran Buddha

bukanlah amagandha, tetapi segala jenis kekotoran batin dan semua bentuk

perbuatan jahatlah yang semestinya disebut amagandha. Sang Buddha

berkata: Yang disebut Amagandha: membunuh; menganiaya; memotong;

mencuri: berdusta; menipu; berzinah; serakah; berpandangan salah; berlaku

kasar dan kejam; memfitnah; sombong; kikir; keras kepala; munafik; dengki;

tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.Sedangkan memakan daging

tidaklah merupakan amagandha.

Menurut ajaran Buddha, pemurnian dari kekotoran batin (kilesa) adalah hal

yang sangat penting untuk mencapai Nibbana. Kita harus berusaha dengan

sungguh-sungguh untuk membersihkan pikiran, kemurnian pikiran hanya

dapat dicapai melalui pengembangan kebajikan dalam diri individu masing-

masing, yaitu melalui pengembangan moralitas (sila), konsentrasi (samadhi),

dan kebijaksanaan (panna). Kita tidak akan menjadi ternoda atau menjadi

suci dengan makan daging atau sayuran.

Telah disebutkan bahwa Sang Buddha tidak pernah menganjurkan para

pengikut-Nya untuk menjadi vegetarian atau non-vegetarian, namun Beliau

menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan (bhojana

mattannuta). Anda harus mengendalikan diri terhadap rasa dari makanan itu

untuk mencegah timbulnya kemelekatan pada makanan tersebut

(rasatanha).

Kemelekatan terhadap rasa dapat dikikis dengan jalan mengembangkan

ketidakmelekatan terhadap makanan atau melalui perenungan tujuan

makan (paccavekkhana).

Seorang bhikkhu seharusnya mengkonsumsi makanan bukan dengan tujuan

kenikmatan, bukan untuk mendapatkan kekuatan khusus, bukan untuk

mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik, dan bukan untuk

mempercantik diri. Tetapi hendaknya sekedar demi kelangsungan hidup,

Page 8: Tugas Agama Buddha - Konsep Vegetarian Menurut Ajaran Buddha

memelihara kesehatan, dan memungkinkan mereka tetap bisa menjalankan

kehidupan suci (Apannaka Sutta, Anguttara Nikaya).

Di dalam Puttamamsupama Sutta, Sang Buddha menjelaskan bagaimana

seharusnya seorang bhikkhu merenungkan makanan mereka dengan

mengibaratkan kabalikara sebagai daging anak sendiri. Semua jenis

makanan, daging atau sayuran, disebut sebagai kabalikara.

Sang Buddha memberi perumpamaan, "Ada sepasang suami istri dengan

satu-satunya anak bayi mereka sedang menempuh perjalanan jauh. Di

tengah perjalanan mareka kehabisan bekal makanan dan tidak mampu

meneruskan perjalanan tanpa makanan. Di tengah cekaman bayangan

kematian karena kelaparan, gagasan buruk muncul dalam pikiran mereka.

Akhirnya mereka sepakat untuk membunuh bayinya dan memakan

dagingnya. Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan dengan penuh

kesedihan karena telah membunuh anak satu-satunya."

Setelah memberikan perumpamaan tersebut, Sang Buddha menjelaskan

artinya melalui tanya-jawab, "O Bhikkhu, bagaimana pendapatmu? Apakah

suami istri itu memakan daging bayi sendiri untuk tujuan kenikmatan

(davaya), untuk mendapatkan kekuatan khusus (madaya), untuk

mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik (mandanaya), atau

untuk mempercantik diri (vibhusanaya)?" Para bhikkhu menjawab, "Tidak

Yang Mulia. Mereka tidak akan memakan daging anaknya karena tujuan-

tujuan itu." Sang Buddha bertanya lagi, "Apakah mereka makan hanya

dengan tujuan agar dapat meneruskan perjalanan mereka?" "Benar, O Yang

Mulia".

Menurut sutta di atas, hendaknya seseorang merenungkan makanannya

seolah seperti daging anak sendiri. Dengan melakukan perenungan

semacam ini seseorang bisa mengurangi kehausan atau kemelekatan

Page 9: Tugas Agama Buddha - Konsep Vegetarian Menurut Ajaran Buddha

terhadap rasa dari makanan.

Selanjutnya, ditinjau dari sudut pandang Empat Kesunyataan Mulia. Menurut

ajaran Buddha, makanan termasuk materi, yang berkaitan dengan agregat

materi (rupa khanda). Agregat materi adalah suatu jenis penderitaan. Karena

itulah makanan juga subjek dari penderitaan. Ini salah satu hal yang harus

dimengerti secara benar (parinneyya). Makanan bukanlah suatu hal yang

harus dihancurkan (na pahatabba). Nafsu terhadap rasa yang ditimbulkan

oleh makanan itu adalah sebab dari penderitaan (dukkhasamudaya). Sebab

inilah yang harus dihancurkan (phatabba). Hilangnya nafsu terhadap rasa

dari makanan adalah berakhirnya penderitaan (dukkhanirodha). Inilah yang

harus dicapai (sacchikatabba). Merenungkan makanan secara benar agar

bebas dari kemelekatan terhadap makanan adalah jalan menuju berakhirnya

penderitaan (dukkha nirodha gamini patipada). Inilah yang seharusnya

dikembangkan dalam diri masing-masing(bhavetabba).

Menurut ajaran Buddha, berakhirnya penderitaan adalah hal yang paling

penting. Dan hanya bisa dicapai dengan jalan melenyapkan hawa nafsu atau

kehausan (tanha). Manusia harus berupaya untuk mencabut akar dari

kehausan, kemelekatan terhadap rasa yang ditimbulkan oleh apa pun yang

dimakan untuk mencapai akhir dari penderitaan. Nibbana adalah tujuan

akhirnya. Semua bebas menjadi vegetarian ataupun non-vegetarian. Tetapi

hal penting yang harus diupayakan adalah melatih diri untuk menghilangkan

kemelekatan terhadap rasa dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari.