tugas afta
TRANSCRIPT
A. Pengertian AFTA
Sebagai negara yang secara geografis terletak di Asia Tenggara
bersama dengan Sembilan negara lainnya dan atas dasar kesamaan letak
geografis itu maka dibentuklah suatu organisasi bernama ASEAN (Asosiation
South East Asia Nation). Pembentukan organisasi tersebut tidaklah semata –
mata karena kesamaan letak geografis saja, namun secara ranah sejarahnya
seluruh anggota ASEAN adalah bekas jajahan negara kolonial. Dalam
organisasi tersebut terjalinlah suatu kerjasama dagang dalam wadah AFTA.
ASEAN Free Trade Area (AFTA).
ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan
dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas
perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan
regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia
serta serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.
B. Sejarah AFTA
AFTA dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN
Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-
negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam
rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan
menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu
15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir
dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Skema Common Effective Preferential
Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT- AFTA) merupakan suatu
skema untuk 1 mewujudkan AFTA melalui penurunan tarif hingga menjadi 0-
5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif
lainnya.
Pembentukan AFTA berdasarkan pertemuan para Menteri Ekonomi
anggota ASEAN pada tahun 1994 di Chiang Mai, Thailand. Pertemuan
Chiang Mai menghasilkan tiga keputusan penting sebagai berikut:
a. Seluruh anggota ASEAN sepakat bahwa pembentukan kawasan
perdagangan bebas dipercepat pelaksanaannya dari tahun 2010
menjadi 2005.
b. Jumlah produk yang telah disetujui masuk dalam daftar AFTA
(inclusion list/IL) ditambah dan semua produk yang tergolong
dalam temporary exclusion list/TEL secara bertahap akan masuk
IL. Semua produk TEL diharapkan masuk dalam IL pada tanggal 1
Januari 2000.
c. Memasukkan semua produk pertama yang belum masuk dalam
skema common effective preferential tariff (CEPT) yang terbagi
sebagai berikut:
o Daftar produk yang segera masuk dalam IL menjadi immediate
inclusion list/IIL mulai tarifnya menjadi 0–5% pada tahun
2003.
o Produk yang memiliki sensitivitas (sensitive list), seperti beras
dan gula, akan diperlakukan khusus di luar skema CEPT.
o Produk dalam kategori TEL akan menjadi IL pada tahun 2003.
Negara-negara anggota ASEAN menggagas melaksanakan AFTA
dengan tujuan :
1. Meningkatkan perdagangan dan spesialisasi di lingkungan
keanggotaan ASEAN.
2. Meningkatkan jumlah ekspor negara-negara anggota ASEAN.
3. Meningkatkan investasi dalam kegiatan produksi dan jasa
antaranggota ASEAN
C. Negara-negara yang terlibat
AFTA disepakati pada tanggal 28 Januari 1992 di Singapura. Pada
awalnya ada enam negara yang menyepakati AFTA itu:
1. Brunei Darussalam
2. Indonesia
3. Malaysia
4. Filipina
5. Singapura dan
6. Thailand.
Vietnam bergabung dalam AFTA tahun 1995, sedangkan
Laos dan Myanmar pada tahun 1997, kemudian Kamboja pada
tahun 1999.
D. Skema CEPT-AFTA
Pada pelaksanaan perdagangan bebas khususnya di Asia Tenggara
yang tergabung dalam AFTA proses perdagangan tersebut tersistem pada
skema CEPT-AFTA. Common Effective Preferential Tarif Scheme (CEPT)
adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif
yang disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN. Dalam skema CEPT-
AFTA barang – barang yang termasuk dalam tariff scheme adalah semua
produk manufaktur, termasuk barang modal dan produk pertanian olahan,
serta produk-produk yang tidak termasuk dalam definisi produk pertanian.
(Produk-produk pertanian sensitive dan highly sensitive dikecualikan dari
skema CEPT). Dalam skema CEPT, pembatasan kwantitatif dihapuskan
segera setelah suatu produk menikmati konsesi CEPT, sedangkan hambatan
non-tarif dihapuskan dalam jangka waktu 5 tahun setelah suatu produk
menikmati konsensi CEPT.
E. Tujuan Pembentukan AFTA dan Persyaratan Produk
1. Meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan
menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia.
2. Untuk menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota
ASEAN.
3. Meningkatkan investasi di antara Negara Negara
Oleh karena itu, penerapan AFTA guna meningkatkan perdagangan
antar anggota juga memiliki beberapa persyaratan produk yang harus
dipenuhi yaitu :
1. Produk yang bersangkutan harus sudah masuk dalam Inclusion List (IL)
dari Negara eksportir maupun importir.
2. Produk tersebut harus mempunyai program penurunan tarif yang
disetujui oleh Dewan AFTA (AFTA Council);
3. Produk tersebut harus memenuhi persyaratan kandungan lokal 40%.
Suatu produk dianggap berasal dari negara anggota ASEAN apabila
paling sedikit 40% dari kandungan bahan didalamnya berasal dari negara
anggota ASEAN.
Berikut rumus perhitungan kandungan lokal ASEAN 40% Valune of
Imported + Valune of Parts or produce Produce Non-ASEAN Materials
Undetermined x 100% is less FOB price or equal than 60%.
Yang dimaksud dengan ketentuan asal barang (Rules of Origin)
adalah sebagai sejumlah kriteria yang digunakan untuk menentukan negara
atau wilayah pabean asal dari suatu barang atau jasa dalam perdagangan
internasional.
F. Penerapan AFTA Secara Penuh
AFTA diberlakukan secara penuh untuk negara ASEAN-6 sejak 1
Januari 2002 dengan fleksibilitas (terhadap produk-produk tertentu tarifnya
masih diperkenankan lebih dari 0 - 5%). Target tersebut diterapkan untuk
negara ASEAN-6 sedangkan untuk negara baru sbb : Vietnam (2006); Laos
dan Myanmar (2008); dan Cambodia (2010). AFTA 2002 tidak mencakup
pula adanya kebebasan keluar masuk sektor jasa (misalnya arus perpindahan
tenaga) di negara-negara ASEAN. CEPT-AFTA hanya mencakup
pembebasan arus perdagangan barang. Sedangkan liberalisasi sektor jasa di
atur sendiri dengan kesepakatan yang di sebut ASEAN Framework
Agreement on Services (AFAS), dimana liberalisasinya ditargetkan tercapai
pada tahun 2020. Perkembangan terakhir AFTA Dalam KTT Informal
ASEAN III para kepala negara menyetujui usulan dari Singapura untuk
menghapuskan semua bea masuk pada tahun 2010 untuk negara-negara
ASEAN-6 dan tahun 2015 untuk negara-negara baru ASEAN. Selanjutnya
dalam KTT ASEAN-Cina tahun 2001, telah di sepakati pembentukan
ASEAN-Cina Free Trade Area dalam waktu 10 tahun.
G. Indonesia dan AFTA
Asean Free Trade Area (AFTA) adalah bentuk dari kerjasama
perdagangan dan ekonomi di wilayah ASEAN yang berupa kesepakatan
untuk menciptakan situasi perdagangan yang seimbang dan adil melalui
penurunan tarif barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tariff (bea
masuk 0 – 5 %) maupun hambatan non tariff bagi negara-negara anggota
ASEAN.
Mekanisme utama untuk mencapai tujuan di atas adalah skema
“Common Effective Preferential Tariff” (CEPT) yang bertujuan agar barang-
barang yang diproduksi di antara negara ASEAN yang memenuhi ketentuan
setidak-tidaknya 40 % kandungan lokal akan dikenai tarif hanya 0-5 %.
Anggota ASEAN mempunyai tiga pengecualian CEPTdalam tiga kategori :
(1) pengecualian sementara,
(2) produk pertanian yang sensitif
(3) pengecualian umum lainnya (Sekretariat ASEAN 2004)
Untuk kategori pertama, pengecualian bersifat sementara karena pada
akhirnya diharapkan akan memenuhi standar yang ditargetkan, yakni 0-5 %.
Sedangkan untuk produk pertanian sensitif akan diundur sampai 2010. Dapat
disimpulkan, paling lambat 2015 semua tarif di antara negara ASEAN
diharapkan mencapai titik 0 %
AFTA dicanangkan dengan instrumen CEPT, yang diperkenalkan
pada Januari 1993. ASEAN pada 2002, mengemukakan bahwa komitmen
utama dibawah CEPT-AFTA hingga saat ini meliputi 4 program, yaitu :
1. Program pengurangan tingkat tarif yang secara efektif sama di antara
negara- negara ASEAN hingga mencapai 0-5 persen.
2. Penghapusan hambatan-hambatan kuantitatif (quantitative restrictions)
dan hambatan-hambatan non-tarif (non tariff barriers).
3. Mendorong kerjasama untuk mengembangkan fasilitasi perdagangan
terutama di bidang bea masuk serta standar dan kualitas.
4. Penetapan kandungan lokal sebesar 40 persen.
Untuk Indonesia, kerjasama AFTA merupakan peluang yang cukup
terbuka bagi kegiatan ekspor komoditas pertanian yang selama ini dihasilkan
dan sekaligus menjadi tantangan untuk menghasilkan komoditas yang
kompetitif di pasar regional AFTA.
Upaya ke arah itu, nampaknya masih memerlukan perhatian serta
kebijakan yang lebih serius dari pemerintah maupun para pelaku agrobisnis,
mengingat beberapa komoditas pertanian Indonesia saat ini maupun di masa
yang akan datang masih akan selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan
dalam peningkatan produksi yang berkualitas, permodalan, kebijakan harga
dan nilai tukar serta persaingan pasar di samping iklim politis yang tidak
kondusif bagi sektor pertanian.
Diharapkan dengan diberlakukannya otonomi daerah perhatian pada
sektor agribisnis dapat menjadi salah satu dorongan bagi peningkatan kualitas
produk pertanian sehingga lebih kompetitif di pasar lokal, regional maupun
pasar global, dan sekaligus memberikan dampak positif bagi perekonomian
nasional maupun peningkatan pendapatan petani dan pembangunan daerah.
Secara umum, situasi ekonomi Indonesia sangat sulit. Perdagangan
Indonesia dalam kurun 2000-2002 melemah, baik dalam kegiatan ekspor
maupun impor. Kondisi ekonomi makro ditambah stabilitas politik yang tidak
mantab serta penegakan hukum dan keamanan yang buruk ikut
mempengaruhi daya saing kita dalam perdagangan dunia.
Memang, secara umum, beberapa produk kita siap berkompetisi.
Misalnya, minyak kelapa sawit, tekstil, alat-alat listrik, gas alam, sepatu, dan
garmen. Tetapi, banyak pula yang akan tertekan berat memasuki AFTA. Di
antaranya, produk otomotif, teknologi informasi, dan produk pertanian.
Dalam AFTA, peran negara dalam perdagangan sebenarnya akan
direduksi secara signifikan. Sebab, mekanisme tarif yang merupakan
wewenang negara dipangkas. Karena itu, diperlukan perubahan paradigma
yang sangat signifikan, yakni dari kegiatan perdagangan yang mengandalkan
proteksi negara menjadi kemampuan perusahaan untuk bersaing. Tidak saja
secara nasional atau regional dalam AFTA, namun juga secara global. Karena
itu, kekuatan manajemen, efisiensi, kemampuan permodalan, dan keunggulan
produk menjadi salah satu kunci keberhasilan.
H. Keuntungan AFTA Bagi Indonesia.
Suatu kesepakatan atau perjanjian kerjasama dalam perdagangan
dilakukan terdapat suatu keuntungan tersendiri bagi negara yang ikut
kedalamnya. Dalam AFTA tersendiri, negara-negara ASEAN sepakat untuk
ikut serta berarti terdapat suatu keuntungan yang nantinya akan didapat oleh
negara anggotanya.
Bagi Indonesia sendiri, AFTA merupakan kerjasama yang
menguntungkan. AFTA merupakan peluang bagi kegiatan eksport komoditas
pertanian yang selama ini dihasilkan dan sekaligus menjadi suatu tantangan
tersendiri untuk menghasilkan komoditas yang kompetitif si pasar regional
AFTA sendiri. Peningkatan daya saing ini akan mendorong perekonomian
Indonesia untuk semakin berkembang. AFTA juga merangsang para pelaku
usaha di Indonesia untuk menghasilkan barang yang berkualitas sehingga
dapat bersaing dengan barang-barang yang dihasilkan oleh negara-negara
ASEAN lainnya.
AFTA juga dianggap dapat memberikan peluang bagi pengusaha kecil
dan menengah di Indonesia untuk mengekspor barangnya. Hal ini membuat
para pelaku usaha tersebut mendapatkan pasar untuk melempar produk-
produknya selain di pasar dalam negeri. Adanya kesempatan besar bagi para
pelaku usaha di Indonesia untuk lebih meningkatkan produk barangnya dari
segi mutu juga mendorong kesadaran para pengusaha-pengusaha di Indonesia
untuk memiliki daya saing usaha yang kuat.
Jelas semua hal tersenut dapat terwujud dengan adanya sokongan dari
pemerintah Indonesia dalam memberikan modal bagi peningkatan kualitas
produksi dan standar mutu barang. Pemerintah Indonesia sepatutnya
menerapkan suatu undang-undang yang memberikan kebebasan bagi para
pelaku usahanya untuk meningkatkan daya saingnya. Hal ini dikarenakan
untuk menciptakan suatu usaha yang mandiri terutama dalam menghadapi
AFTA. Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan disini, jika suatu industri
tidak dapat bersaing dikarenakan rendahnya mutu barang pemerintah haruslah
memberikan suatu sokongan dengan cara memberikan bantuan modal.Bentuk
bantuan tersebut semata-mata untuk merangsang para pengusaha kecil dan
menengah dalam peningkatan kualitas barang produksinya agar dapat
bersaing dengan produk-produk lain yang masuk ke pasar dalam negeri.
I. Hambatan Yang Dihadapi Indonesia
Dalam setiap hubungan kerjasama pasti terdapat hambatan-hamatan
yang dihadapi. Hambatan tersebut biasanya muncul saat pengaplikasian
perjanjian. Dalam penerapan AFTA banyak hambatan yang dihadapi saat
pertama kali diterapkan. ASEAN-6 merupakan negara anggota ASEAN yang
pertama kali menerapkan usaha pengaplikasian AFTA. ASEAN-6 menjadi
contoh bagi empat negara ASEAN lain. Dalam penerapan AFTA terutama
penerapan penurunan tarif terhadap beberapa barang komoditas. Banyak
negara anggota ASEAN melakukan proteksi terhadap barang yang dianggap
penting bagi negaranya sehingga penerapan penurunan tarif terhadap
komoditas yang diproteksi tersebut mengalami penundaan.
Negara-negara di ASEAN sebenarnya memiliki perbedaan tinggak
perekonomian. Hal itu terlihat pada pendapatan perkapita masing-masing
negara anggota ASEAN. Beberapa negara memiliki pendapatan perkapita
lebih tinggi dari pada negara lainnya. Belum lagi ketidak stabilan politik
dalam negeri yang juga mempengaruhi perekonomian di negara-negara
anggota ASEAN. ASEAN-6 contohnya, pendapatan perkapita negara-negara
ASEAN-6 lebih tinggi dibandingkan empat negara lainnya yaitu, Lao PDR,
Myanmar, Vietnam dan Kamboja. Sehingga sulit bagi keempat negara
tersebut untuk menurunkan tarif bagi barang yang dianggap sensitif bagi
kepentingan dalam negerinya. Belum lagi persaingan barang komoditas
antara negara-negara anggota ASEAN, terkadang kualitas barang yang rendah
dan tidak dapat bersaing membuat ambruknya industri kecil di beberapa
negara tersebut. Bahkan bukan bagi keempat negara di ASEAN yang
tergolong memiliki perekonomian rendah tetapi juga negara anggota
ASEAN-6 harus menghadapi kenyataan bahwa industri kecil di negaranya
harus mengalami guncangan karena tidak dapat bersaing dengan barang
komoditas yang masuk ke negaranya.
Bahkan banyak anggapan bahwa AFTA hanya menghasilkan
persaingan yang tidak seimbang bagi negara anggota ASEAN itu sendiri.
Penurunan tarif barang bagi barang yang masuk dari negara anggota ASEAN
menimbulkan kerugian. Ketidak siapan pasar industri lokal juga yang menjadi
kendala bagi berjalannya AFTA dan penerapan penurunan tarif. Seperti
negara-negara anggota ASEAN lainnya Indonesia pun mengalami hal yang
sama. Daya saing barang yang diperdagangkan kurang memenuhi standar
yang ditetapkan, hal ini mengakibatkan banyaknya industri-industri kecil dan
menengah di Indonesia mengalami kerugian yang besar. Persaingan produk
dalam negeri dengan produk yang masuk kedalam negeri membuat para
pengusaha harus bisa meningkatkan kualitas barang produksinya. Hal tersebut
tidak mudah dengan keterbatasan modal yang dimiliki oleh para pengusaha-
pengusaha kecil dan menengah. Belum lagi keterbatasan dari segi
infrastruktur di Indonesia, keterbatasan tekhnologi yang menunjang produksi
para pengusaha kecil dan menengah di Indonesia juga menjadi suatu masalah
tersendiri. Dalam AFTA para pengusaha dipaksa untuk memiliki daya saing
yang tinggi, agar nantinya pengusaha-pengusaha dalam negeri ini dapat
mandiri.
Peran dan dukungan pemerintah sangat dibutuhkan disini, pemerintah
haruslah membuat suatu regulasi yang jelas dalam menanggapi masalah-
masalah yang dihadapi oleh para pengusaha di Indonesia khususnya
pengusaha kecil dan menengah mengenai bantuan modal usaha. Pemerintah
sepatutnya menolong para pengusaha kecil dan menengah kita dalam
meningkatkan kualitas produknya agar nantinya produksi mereka tidak
berhenti dan rugi. Selama ini permasalahan yang yang selalu timbul adalah
ketidak mampuan pemerintah Indonesia dalam melindungi para pengusaha
kecil dan menengah di Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya para
pengusaha yang tergolong pengusaha kecil dan menengah di Indonesia
mengalami kerugian besar dan produksinya berhenti dikarenakan kualitas
barang mereka kalah dibandingkan dengan barang-barang yang masuk dari
Vietnam dan Cina. Contohnya industri rotan di Indonesia, biasanya para
pengusaha rota hanya mengirim berupa rotan yang belum diolah sehingga
merugikan pihak pengusaha rotan dalam negeri, sedangkan rotan yang masuk
dari Cina dan Vietnam biasanya telah diolah menjadi suatu produk yang
memiliki nilai jual lebih tinggi. Dari permasalah tersebut seharusnya
pemerintah sudah memiliki langkah yang pasti untuk melindungi para
pengusaha rotan, caranya dengan mengekspor produk rotan bukan sekedar
bahan dasarnya saja tapi berupa rotan yang telah di olah menjadi suatu
produk yang harga jualnya lebih tinggi, sama dengan yang diekspor Vietnam
dan Cina.
Dalam banyak hal, AFTA dapat efektif dan menguntungkan Indonesia
jika para pengusaha dan pemerintah Indonesia bekerja sama. Solusi yang jelas
bagi para pengusaha di Indonesia akan membantu Indonesia dalam
menghadapi pasar bebas yang diberlakukan. Pemerintah melindungi para
pengusaha kecil dan menengah dengan cara bantuan modal untuk melakukan
produksi agar para pengusaha kecil dan menengah di Indonesia dapat
membuat suatu produk yang memiliki daya saing yang tinggi saat dipasarkan.
Kendala yang tengan dihadapi adalah masalah infrastruktur di Indonesia yang
kurang mendukung. Pemerintah juga sepatutnya menyediakan infastruktur
yang memadai, seperti jalanan yang rusak akan menghambat proses distribusi
barang dan dapat merugikan. Indonesia memiliki banyak barang komoditas
yang tidak kalah oleh Vietnam dan Cina. Masalahnya hanya terletak pada
daya saing para pengusaha di Indonesia dalam persaingan di dalam pasar
bebas ini.
J. Persoalan yang dihadapi oleh Indonesia
Dalam menghadapi AFTA, Indonesia sebagai salah satu Negara
anggota ASEAN masih memiliki beberapa kendala yang menunjukan
ketidaksiapan kita dalam menghadapi AFTA, diantanya adalah; dari segi
penegakan hukum, sudah diketahui bahwa sektor itu termasuk buruk di
Indonesia. Jika tak ada kepastian hukum, maka iklim usaha tidak akan
berkembang baik, yang mana hal tersebut akan menyebabkana biaya ekonomi
tinggi yang berpengaruh terhadap daya saing produk dalam pasar
internasional.
Faktor lain yang amat penting adalah lembaga-lembaga yang
seharusnya ikut memperlancar perdagangan dan dunia usaha ternyata malah
sering diindikasikan KKN. Akibat masih meluasnya KKN dan berbagai
pungutan yang dilakukan unsure pemerintah di semua lapisan, harga produk
yang dilempar ke pasar akan terpengaruhi. Otonomi daerah yang diharapkan
akan meningkatkan akuntabilitas pejabat publik dan mendorong ekonomi
lokal ternyata dipakai untuk menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dari
dunia usaha tanpa menghiraukan implikasinya. Otonomi malah menampilkan
sisi buruknya yang bisa mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar
dunia.
Persoalan lain yang harus dihadapi adalah kenyataan bahwa
perbatasan Indonesia sangat luas, baik berupa lautan maupun daratan, yang
sangat sulit diawasi. Akibatnya, terjadi banjir barang selundupan yang
melemahkan daya saing industri nasional. Miliaran dolar amblas setiap tahun
akibat ketidakmampuan menjaga perbatasan dengan baik. Menurut taksiran
kemampuan TNI-AL, sekitar 40 persen dari seharusnya digunakan untuk
mengamankan lautan akibat kekuarangan dana dan sarana yang lain. Kendala
utama bagi masyarakat Indonesia adalah mengubah pola pikir, baik di
kalangan pejabat, politisi, pengusaha, maupun tenaga kerja. Mengubah pola
pikir ini sangat penting bagi keberhasilan kita memasuki AFTA.Namun,
selain menghadapi berbagai persoalan, AFTA jelas juga membawa sejumlah
keuntungan. Pertama, barang-barang yang semula diproduksi dengan biaya
tinggi akan bisa diperoleh konsumen dengan harga lebih murah. Kedua,
sebagai kawasan yang terintegrasi secara bersama-sama, kawasan ASEAN
akan lebih menarik sebagai lahan investasi. Indonesia dengan sumber daya
alam dan manusia yang berlimpah mempunyai keunggulan komparatif.
Namun, peningkatan SDM merupakan keharusan. Ternyata, kemampuan
SDM kita sangat payah dibandingkan Filipina atau Thailand.
Berdasarkan peraturan Pemerintah Nomer 63 tahun 1999, pihak asing
dimungkinkan untuk mempunyai saham hampir 99 persen. Jadi jika ingin
menambah sahamnya, sedangkan partner lokalnya tidak mampu, maka saham
partner lokal menjadi terdivestasi.
K. Dampak AFTA
Ada banyak dampak suatu perjanjian perdagangan bebas, antara lain
spesialisasi dan peningkatan volume perdagangan. Sebagai contoh, ada dua
negara yang dapat memproduksi dua barang, yaitu A dan B, tetapi kedua
negara tersebut membutuhkan barang A dan B untuk dikonsumsi.
Secara teoretis, perdagangan bebas antara kedua negara tersebut akan
membuat negara yang memiliki keunggulan komparatif (lebih efisien) dalam
memproduksi barang A (misalkan negara pertama) akan membuat hanya
barang A, mengekspor sebagian barang A ke negara kedua, dan mengimpor
barang B dari negara kedua.
Sebaliknya, negara kedua akan memproduksi hanya barang B,
mengekspor sebagian barang B ke negara pertama, dan akan mengimpor
sebagian barang A dari negara pertama. Akibatnya, tingkat produksi secara
keseluruhan akan meningkat (karena masing-masing negara mengambil
spesialisasi untuk memproduksi barang yang mereka dapat produksi dengan
lebih efisien) dan pada saat yang bersamaan volume perdagangan antara
kedua negara tersebut akan meningkat juga (dibandingkan dengan apabila
kedua negara tersebut memproduksi kedua jenis barang dan tidak melakukan
perdagangan).
Saat ini AFTA sudah hampir seluruhnya diimplementasikan. Dalam
perjanjian perdagangan bebas tersebut, tarif impor barang antarnegara
ASEAN secara berangsur-angsur telah dikurangi. Saat ini tarif impor lebih
dari 99 persen dari barang-barang yang termasuk dalam daftar Common
Effective Preferential Tariff (CEPT) di negara-negara ASEAN-6 (Brunei,
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) telah diturunkan
menjadi 5 persen hingga 0 persen.
Sesuai dengan teori yang dibahas di atas, AFTA tampaknya telah
dapat meningkatkan volume perdagangan antarnegara ASEAN secara
signifikan. Ekspor Thailand ke ASEAN, misalnya, mengalami pertumbuhan
sebesar 86,1 persen dari tahun 2000 ke tahun 2005. Sementara itu, ekspor
Malaysia ke negara-negara ASEAN lainnya telah mengalami kenaikan
sebesar 40,8 persen dalam kurun waktu yang sama.
Adanya AFTA telah memberikan kemudahan kepada negara-negara
ASEAN untuk memasarkan produk-produk mereka di pasar ASEAN
dibandingkan dengan negara-negara non-ASEAN. Untuk pasar Indonesia,
kemampuan negara-negara ASEAN dalam melakukan penetrasi pasar kita
bahkan masih lebih baik dari China. Hal ini terlihat dari kenaikan pangsa
pasar ekspor negara ASEAN ke Indonesia yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan kenaikan pangsa pasar China di Indonesia.
Pada tahun 2001 pangsa pasar ekspor negara-negara ASEAN di
Indonesia mencapai 17,6 persen. Implementasi AFTA telah meningkatkan
ekspor negara-negara ASEAN ke Indonesia. Akibatnya, pangsa pasar
ASEAN di Indonesia meningkat dengan tajam. Dan pada tahun 2005 pangsa
pasar negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 29,5 persen.
Berbeda dengan anggapan kita selama ini bahwa ternyata daya
penetrasi produk-produk China di Indonesia tidak setinggi daya penetrasi
produk-produk negara ASEAN. Pada tahun 2001 China menguasai sekitar 6,0
persen dari total impor Indonesia. Pada tahun 2005 baru mencapai 10,1
persen, masih jauh lebih rendah dari pangsa pasar negara-negara ASEAN.
Jadi, saat ini produk-produk dari negara ASEAN lebih menguasai pasar
Indonesia dibandingkan dengan produk-produk dari China.
Sebaliknya, berbeda dengan negara-negara ASEAN yang lain,
tampaknya belum terlalu diperhatikan potensi pasar ASEAN, dan lebih
menarik dengan pasar-pasar tradisional, seperti Jepang dan Amerika Serikat.
Hal ini terlihat dari pangsa pasar ekspor kita ke negara-negara ASEAN yang
tidak mengalami kenaikan yang terlalu signifikan sejak AFTA dijalankan.
Pada tahun 2000, misalnya, pangsa pasar ekspor Indonesia di Malaysia
mencapai 2,8 persen. Dan pada tahun 2005 hanya meningkat menjadi 3,8
persen. Hal yang sama terjadi di pasar negara-negara ASEAN lainnya.
Produsen internasional tidak harus mempunyai pabrik di setiap negara
untuk dapat menyuplai produknya ke negara-negara tersebut. Produsen
internasional dapat memilih satu negara di kawasan ini untuk dijadikan basis
produksinya dan memenuhi permintaan produknya di negara di sekitarnya
dari negara basis tersebut. Turunnya tarif impor antarnegara ASEAN
membuat kegiatan ekspor-impor antarnegara ASEAN menjadi relatif lebih
murah dari sebelumnya. Tentunya negara yang dipilih sebagai negara basis
suatu produk adalah yang dianggap dapat membuat produk tersebut dengan
lebih efisien (spesialisasi).
Negara-negara di kawasan ini tentunya berebut untuk dapat menjadi
pusat produksi untuk melayani pasar ASEAN karena semakin banyak
perusahaan yang memilih negara tersebut untuk dijadikan pusat produksi,
akan semakin banyak lapangan kerja yang tersedia. Sayangnya, Indonesia
tampaknya masih tertinggal dalam menciptakan daya tarik untuk dijadikan
pusat produksi.
L. Kesiapan Indonesia
Infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia dinilai
belum siap menghadapi ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau pasar bebas
ASEAN mulai 2015. “Kita semua tahu bagaimana kualitas SDM dan
infrastruktur kita, padahal pasar bebas ASEAN itu tidak lama lagi,” kata
pengamat politik ekonomi internasional UI, Beginda Pakpahan, di Jakarta. Ia
mengatakan pada dasarnya FTA (Free Trade Area) sangat potensial untuk
memperluas jejaring pasar sekaligus menambah insentif, karena tidak adanya
lagi pembatasan kuota produk.
Namun, bagi Indonesia bukan melulu keuntungan, sebab FTA juga
bisa menjadi ancaman bila pemerintah RI tidak mempersiapkan SDM dan
infrastruktur dalam negeri. Dampak terburuk justru mengancam masyarakat
lapisan paling bawah, seperti petani gurem dan pedagang kecil. Saat ini
Indonesia setidaknya berada di peringkat keenam di ASEAN di luar negara-
negara yang baru bergabung (Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar).
Selain SDM, infrastruktur di tanah air juga belum mendukung untuk
menghadapi AFTA. Indonesia harus bisa menjadi pengelola atau tidak melulu
menjadi broker atau mediator dalam perdagangan bebas. Agenda terdekat
menjelang era pasar bebas, Indonesia harus bisa membenahi dan
menyelesaikan kepemimpinan nasional, mewujudkan “good corporate
governance“, dan membenahi birokrasi sekaligus memberantas korupsi.
Selain itu, DPR juga harus sejalan dengan pemerintah dalam masa-masa
krisis dan membenahi jajaran TNI/POLRI.
Yang harus dilakukan Indonesia agar dapat dengan baik menghadapi
AFTA dan dapat bersaing dengan Negara-negara lain di dalamnya adalah :
1. Pemantapan Organisasi Pelaksanaa AFTA
AFTA sebagai suatu kegiatan baru dalam kerjasama ASEAN
harus didukung oleh struktur organisasi yang kuat agar
pelaksanaannya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Struktur
organisasi yang kuat sangat diperlukan karena AFTA harus
dilaksanakan dengan baik, adil dan terarah sehingga dapat
dimanfaatkan secara maksimal dan merata. Juga diperlukan
pengawasan yang ketat untuk menjaga agar jangan sampai terjadi
kecurangan dalam pelaksanaan perdagangan yang akan merugikan
negara tertentu.
2. Promosi dan Penetrasi Pasar
Kenyataan menunjukkan bahwa volume perdagangan Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, adalah
nomor dua terkecil setelah Filipina, sedangkan volume
perdagangan Indoensia dengan Singapura hanya 5,1 persen dari
seluruh perdagangan intra-ASEAN. Keadaan tersebut terutama
disebabkan oleh komoditas ekspor Indonesia belum banyak
dikenal oleh negara-negara ASEAN. Karena itu, keikutsertaan
dalam pameran perdagangan internasional perlu ditingkatkan.
Peningkatan kunjungan dagang sangat besar pula artinya dalam
melakukan promosi dan penetrasi pasar hasil produksi Indonesia.
3. Peningkatan Efisiensi Produksi Dalam Negeri
Untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri, perlu
diciptakan kondisi persaingan yang sehat di antara sesama
pengusaha agar tidak terdapat “distorsi harga” bahan baku. Di
samping itu, biaya-biaya non produksi secara keseluruhan dapat
ditekan. Dalam kaitan ini, kebijakan deregulasi yang telah
dijalankan Pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu perlu terus
dilanjutkan dan diperluas kepada sektor-sektor riil yang langsung
mempengaruhi kegiatan produksi dan selanjutnya perlu
diusahakan agar pemberian fasilitas-fasilitas yang cenderung
menciptakan kondisi monopoli dalam pengelolaan usaha perlu
dihilangkan.
4. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
Kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih jauh lebih rendah
dibandingkan kualitas sumberdaya manusia negara ASEAN
lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka menghadapi AFTA, usaha-
usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perlu
lebih ditingkatkan dengan mengembangkan sekolah kejuruan dan
politeknik di masa mendatang.
5. Perlindungan Terhadap Industri Kecil
Pelaksanaan AFTA akan mengakibatkan tingginya tingkat
persaingan, sehingga hanya perusahaan besar yang mampu terus
berkembang. Perusahaan besar tersebut di-perkirakan terus
menekan industri kecil yang pada umumnya kurang mampu
bersaing dengan para konglomerat. Untuk melindungi industri
kecil tersebut, perlu diwujudkan sebuah undang-undang anti
monopoli atau membentuk suatu organisasi pemersatu perusahaan-
perusahaan berskala kecil.
6. Upaya Meningkatkan Daya Saing Sektor Pertanian
Dalam upaya meningkatkan peran ekspor sektor pertanian, perlu
dikembangkan produk-produk unggulan yang mampu bersaing di
pasar, baik pasar domestik maupun pasar internasional.
Pengembangan produk-produk unggulan dilaksanakan melalui
serangkaian proses yang saling terkait serta membentuk suatu
sistem agribisnis yang terdiri dari sistem pra produksi, produksi,
pengolahan dan pemasaran (Kartasasmita, 1996).
M. Jangka Waktu Realisasi AFTA
KTT ASEAN ke-9 tanggal 7-8 Oktober 2003 di Bali, dimana enam
negara anggota ASEAN Original Signatories of CEPT AFTA yaitu Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand,
sepakat untuk mencapai target bea masuk dengan tingkat tarif 0% minimal
60% dari Inclusion List (IL) tahun 2003; bea masuk dengan tingkat tarif 0%
minimal 80% dari Inclusion List (IL) tahun 2007; dan pada tahun 2010
seluruh tarif bea masuk dengan tingkat tarif 0% harus sudah 100% untuk
anggota ASEAN yang baru, tarif 0% tahun 2006 untuk Vietnam, tahun 2008
untuk Laos dan Myanmar dan tahun 2010 untuk Cambodja.
a. Tahun 2000 : Menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak
85% dari seluruh jumlah pos tarif dalam Inclusion List (IL).
b. Tahun 2001 : Menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak
90% dari seluruh jumlah pos tarif dalam Inclusion List (IL).
c. Tahun 2002 : Menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak
100% dari seluruh jumlah pos tarif dalam Inclusion List (IL), dengan
fleksibilitas.
d. Tahun 2003 : Menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak
100% dari seluruh jumlah pos tarif dalam Inclusion List (IL), tanpa
fleksibilitas.
1. Untuk ASEAN-4 (Vietnam, Laos, Myanmar dan Cambodja) realisasi
AFTA dilakukan berbeda yaitu :
2. Vietnam tahun 2006 (masuk ASEAN tanggal 28 Juli 1995).
3. Laos dan Myanmar tahun 2008 (masuk ASEAN tanggal 23 Juli 1997).
4. Cambodja tahun 2010 (masuk ASEAN tanggal 30 April 1999).
N. Beberapa istilah dalam CEPT-AFTA
a. Fleksibilitas adalah suatu keadaan dimana ke-6 negara anggota ASEAN
apabila belum siap untuk menurunkan tingkat tarif produk menjadi 0-5%
pada 1 Januari 2002, dapat diturunkan pada 1 Januari 2003. Sejak saat itu
tingkat tarif bea masuk dalam AFTA sebesar maksimal 5%.
b. CEPT Produk List
Inclusion List (IL) : daftar yang memuat cakupan produk yang
harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
o Produk tersebut harus disertai Tarif Reduction Schedule.
o Tidak boleh ada Quantitave Restrictions (QRs).
o Non-Tarif Barriers (NTBs) lainnya harus dihapuskan dalam
waktu 5 tahun.
Temporary Exclusion (TEL) : daftar yang memuat cakupan produk
yang sementara dibebaskan dari kewajiban penurunan tarif,
penghapusan QRs dan NTBs lainnya serta secara bertahap harus
dimasukkan ke dalam IL.
Sensitive List (SL) : daftar yang memuat cakupan produk yang
diklasifikasikan sebagai Unprocessed Agricultural Products.
Contohnya beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan
cengkeh, serta produk tersebut juga harus dimasukkan ke dalam
CEPT Scheme tetapi dengan jangka waktu yang lebih lama.
Contohnya Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina,
Thailand harus telah memasukkan produk yang ada dalam SL ke
dalam IL pada tahun 2010, Vietnam pada tahun 2013, Laos dan
Myanmar pada tahun 2015, serta Kamboja pada tahun 2017.
General Exception (GE) List : daftar yang memuat cakupan produk
yang secara permanen tidak perlu untuk dimasukkan ke dalam
CEPT Scheme dengan alas an keamanan nasional,
keselamatan/kesehatan umat manusia, binatang dan tumbuhan,
serta pelestarian objek arkeologi, dan sebagainya (Article 9b of
CEPT Agreement). Contohnya antara lain senjata, amunisi, da
narkotika. Produk Indonesia dalam GE List hingga saat ini
sebanyak 96 pos tarif.
O. Beberapa Protocol/Article yang dapat dipakai untuk mengamankan
produk Indonesia
a. Protocol Regarding the Implementation of the CEPT Scheme
Temporary Exclusion List
Dapat digunakan sebagai acuan untuk menarik kembali produk
industri yang telah dimasukkan ke dalam IL terakhir tahun 2000
atau Last Tranche. Konsekuensi penarikan kembali suatu produk
dari IL harus disertai dengan kompensasi.
b. Article 6 (1) dari CEPT Agreement
Dapat digunakan sebagai acuan untuk menarik kembali produk
yang telah dimaukkan ke dalam Skema CEPT-AFTA, karena
adanya lonjakan impor dari negara anggota ASEAN lainnya yang
menyebabkan atau mengancam kerugian yang serius terhadap
industri dalam negeri.
c. Protocol on Special Arrangement for Sensitive and Highly
Sensitive Products.
Dapat digunakan sebagai acuan untuk memasukkan produk yang
diklasifikasikan ke dalam Highly Sensitive (seperti beras dan gula
bagi Indonesia).
P. Jadwal Penurunan dan atau Penghapusan Tarif Bea Masuk
a. Inclusion List
Negara Anggota AFTA Jadwal Penurunan/Penghapusan
ASEAN -6
1. Tahun 2003 : 60% produk dengan tarif 0%
2. Tahun 2007 : 80% produk dengan tarif 0%
3. Tahun 2010 : 100% produk dengan tarif 0%
Vietnam
1. Tahun 2006 : 60% produk dengan tarif 0%
2. Tahun 2010 : 80% produk dengan tarif 0%
3. Tahun 2015 : 100% produk dengan tarif 0%
Laos dan Myanmar
1. Tahun 2008 : 60% produk dengan tarif 0%
2. Tahun 2012 : 80% produk dengan tarif 0%
3. Tahun 2015 : 100% produk dengan tarif 0%
Kamboja1. Tahun 2010 : 60% produk dengan tarif 0%
2. Tahun 2015 : 100% produk dengan tarif 0%
b. Non Inclusion list
TEL harus dipindah ke IL
GEL dapat dipertahankan apabila konsisten dengan artikel 9 CEPT
Agreement, yaitu untuk melindungi :
Keamanan Nasional
Moral
Kehidupan Manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan dan
kesehatan Benda-benda seni, bersejarah dan purbakala