tugas
DESCRIPTION
Pangan FungsionalTRANSCRIPT
MATA KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN
FUNGSIONAL
Disusun oleh:
Utiya Listy Biyumna / 121710101119
THP C
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
November, 2014
1) Mekanisme perubahan serat pangan dan pati resisten
dalam usus besar menjadi asam butirat.
Proses fermentasi karbohidrat, lemak, maupun protein
akan menghasilkan SCFA (Short Chain Fatty Acids). Melalui
absorbsi dan metabolisme, sel dapat menggunakan energi
dari pangan yang tak tercerna pada saluran pencernaan atas.
Sebagian besar SCFA merupakan hasil fermentasi karbohidrat
komplek yang mengacu pada bentuk molekuler besar (pati
resisten dan serat pangan). Karbohidrat ini merupakan
karbohidrat yang tak dapat dicerna pada saluran pencernaan
bagian atas dan difermentasi pada usus besar oleh berbagai
bakteri.
Produk utama hasil fermentasi karbohidrat kompleks oleh
mikroba dalam usus yaitu SCFA asam asetat, propionat,
butirat. Koloni bakteri dalam intestinal manusia
memfermentasi “resistant starch” atau pati resisten dan
polisakarida non-pati (sebagian besar berupa serat pangan)
menjadi SCFA terutama asetat, propionat dan butirat.
Fermentasi dalam usus besar berlangsung pada kondisi
anaerob. Polimer susbstrat akan dihidrolisa menjadi monomer
unit glukosa, galaktosa, xylosa, arabinosa, yang kemudian
akan difermentasi melalui glikolisis menjadi asam piruvat.
Setelah dalam bentuk piruvat, akhirnya diubah menjadi asam
lemak rantai pendek dan sebagian gas.
Hasil samping selain SCFA akibat fermentasi bakteri
diantaranya methana (CH4), hidrogen (H2), dan karbon
dioksida (C02). SCFA hasil fermentasi akan diserap pada
lokasi usus besar dan diangkut ke hati melalui sirkulasi
enterohepatic.
Reaksi dan Rasio Pembentukan SCFA
Persamaan fermentasi karbohidrat (heksosa) menjadi
SCFA dalam kolon adalah sebagai berikut:
59 C6H12O6 + 38 H20 → 60 CH3COOH + 22 CH3CH2COOH +
18 CH3CH2CH2COOH + 96 CO2 + 268 H+ + panas +
additional bakteri.
Pada pencernaan manusia dewasa, produksi SCFA juga
seiring dengan produksi gas lain seperti C02, CH4, dan H2 dan
produksi panas. Hasil utama fermentasi adalah SCFA yang
terdiri dari asetat, propionat, butirat dengan rata-rata rasio
molar kurang lebih 60 : 25: 15. SCFA dengan cepat
diabsorbsi dari lumen kolon masuk ke mucosa di sekitarnya
dimana sebagian besar butirat dioksidasi menghasilkan
energi. Sisa butirat dan sebagian sisa SCFA yang lain masuk
ke dalam pembuluh darah porta dan diangkut ke liver.
Setelah diabsorbsi masing-masing SCFA primer
dimetabolisme oleh tubuh dengan cara yang berbeda-beda.
Faktor-faktor Pembentukan SCFA
Fermentasi SCFA secara normal Iebih aktif di dalam
caecum dan proksimal kolon daripada distal kolon (Topping
dan Clifton, 2001). Seberapa banyak serat pangan yang
difermentasi oleh bakteri usus dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, diantaranya substrat yang spesifik, seperti strukiur
kimia serat dan kelarutannya, spesifik inang seperti aktivitas
dan populasi mikrobia kolon dan waktu transit di saluran
pencernaan.
Selain itu, produksi SCFA tergantung pada ketersediaan
heksosa, ketersediaan enzim yang dihasilkan oleh mikrobia
dan dipengaruhi oleh macam dan jumlahnya. Efek fisiologis
dari karbohidrat dalam/menjadi bentuk SCFA tergantung
pada luas fermentasi usus besar dan fermentasi produk
yang terbentuk.
Sumber serat pangan yang merupakan substrat
fermentasi akan mempengaruhi hasil akhir fermentasi.
Polisakarida non selulosa (serat larut) yang bersifat dapat
difermentasi menghasilkan lebih banyak SCFA daripada
polisakarida yang sulit difermentasi (serat tak larut). Uji in
vitro pada produksi SCFA yang dihasilkan oleh fermentasi
gum arab, gum, pektin lebih tinggi dibanding “oat bran
fiber” maupun “rice bran “. Pektin menghasilkan jumlah
SCFA yang paling tinggi diantara serat larut (gum dan gum
arab).
Sifat fisik kimia serat pangan mempengaruhi karakteristik
fermentasinya. Serat pangan larut seperti pektin dan gum
umumnya difermentasi secara cepat dalam kolon,
sedangkan serat pangan tak larut seperti selulosa dan
bekatul biasanya lebih tahan terhadap fermentasi. β-glukan
dan rafinosa menghasilkan asam butirat dalam jumlah
cukup tinggi (15%), sedangkan guar gum menghasilkan
asam propionat tinggi (27%). Fermentasi pati resisten
menghasilkan asam propionat (16%) dan asam butirat (9%).
2) Mekanisme perubahan asam butirat menjadi anti
kanker pada usus besar
Telah diketahui bahwa fermentasi pati resisten akan
menghasilkan asam butirat dalam konsentrasi yang lebih
besar dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh Non Starch
Polysaccharides. Asam butirat telah dilaporkan bersifat anti-
karsinogenik. Tiga mekanisme yang diyakini terlibat dalam
proteksi terhadap perkembangan dan pertumbuhan sel-sel
kanker adalah inisiasi, diferensiasi dan apoptosis. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa asam butirat melindungi sel-
sel kolon dari kerusakan DNA dengan cara menghambat
pertumbuhan dan proliferasi sel-sel tumor, meningkatkan
diferensiasi (normalisasi) sel-sel tumor/kanker, memproduksi
fenotip yang serupa dengan sel normal dewasa, dan
meningkatkan apoptosis (program kematian sel) sel-sel
kanker kolorektal pada manusia (Topping, 2007; Leu et al,
2002; Topping dan Clifton, 2001; Hague, et al, 1995; dan
Bingham, 1990).
Asam butirat terbukti memiliki efek langsung dalam
mencegah kanker kolon secara invivo. Asam butirat juga
dapat berperan meningkatkan kekuatan sistem imun karena
perannya sebagai sumber energi bagi sel kolonosit sehingga
menstimuli sel epitel dan pembebasan sejumlah sitokin dan
mediator pengaturan fungsi sel imunitas seperti IL-8 yang
mampu mengaktifkan sel T sitotoksik sehingga mampu
mengeliminasi secara dini sel-sel yang mengalami
perubahan. Cumming dan Mac Farlan mengatakan bahwa
asam butirat juga berperan dalam menstabilkan kromatin
selama pembelahan sel.
Pati resisten membantu mempertahankan kesehatan
kolon dan mencegah kanker kolorektal lebih efektif dari Non
Starch Polysaccharides, dengan beberapa mekanisme
sebagai berikut:
Pati resisten meningkatkan pengaturan kesehatan usus
dengan efek laksatif (pencahar) yang lebih rendah
daripada Non Starch Polysaccharides. Pati resisten
mencegah degradasi lapisan mukosa kolon. Lapisan
mukosa ini berfungsi untuk melindungi sel-sel kolon
(Topping, 2007).
Pati resisten bersifat prebiotik yang secara selektif akan
meningkatkan populasi bakteri kolonik yang
menguntungkan yaitu bifidobacteria dan lactobacilli.
Bifidobacteria dan lactobacilli adalah bakteri kolonik yang
paling menguntungkan pada manusia sebagai inangnya.
Menurut Leu et al (2007), peningkatan jumlah
bifidobacteria dan lactobacilli di dalam saluran cerna bisa
menekan kanker (termasuk kanker kolorektal) dengan
cara meningkatkan kecepatan produksi SCFA (terutama
asetat, propionat dan butirat), menurunkan pH lingkungan
usus, bersifat proapotopsis dan menekan pertumbuhan
patogen dengan meningkatkan kemampuan kompetisinya
terhadap ketersediaan nutrisi, reseptor dan faktor
pertumbuhan lainnya.
Fermentasi pati resisten akan meningkatkan konsentrasi
dari asam lemak rantai pendek (short chain fatty acids –
SCFA) didalam kolon. Fermentasi pati resisten akan
menghasilkan butirat dalam konsentrasi yang lebih besar
dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh Non Starch
Polysaccharides (Topping dan Clifton, 2001; Govers et al,
2001; Bingham, 1990). Keistimewaan asam butirat
dibandingkan dengan jenis SCFA lainnya adalah karena
asam butirat merupakan sumber energi utama untuk sel-
sel mukosa kolonik dan mempunyai sifat anti-inflamasi
yang penting untuk menjaga kesehatan dan
penyembuhan sel-sel kolon (Bingham, 1990). SCFA akan
menstimulasi aliran darah kolonik dan pengambilan
(uptake) fluida dan elektrolit. Asam butirat merupakan
substrat yang paling disukai untuk colonocyte dan
tampaknya membentuk fenotip normal didalam sel-sel ini.
Fermentasi pati resisten lebih efektif dalam menurunkan
produksi amonia dalam luminal, dibandingkan dengan
Non Starch Polysaccharides (Govers et al, 1999). Amonia
adalah produk akhir dari dari fermentasi mikrobial
komponen bernitrogen. Amonia ini bersifat toksik
karsinogenesis terhadap epitelium kolonik. Fermentasi
pati resisten akan menekan proses fermentasi protein
(atau komponen bernitrogen lainnya), sehingga menekan
peningkatan jumlah amonia. Selain itu, peningkatan
fermentasi pati resisten mungkin menstimulasi proses
asimilasi nitrogen dari amonia untuk sintesa protein
bakteri (Govers et al, 1999).
Fermentasi dari pati resisten menurunkan pH intestinal
dan menurunkan produksi asam empedu sekunder.
Sebaliknya, konsumsi Non Starch Polysaccharides tinggi
dapat meningkatkan sekresi asam empedu. Asam
empedu diketahui dapat meningkatkan resiko kanker
kolorektal. Menurut Bingham (1990), konversi asam
empedu primer menjadi asam empedu sekunder
merupakan penyebab awal munculnya kanker usus besar.
Hylla et al (1998) menunjukkan terjadinya penurunan
asam empedu sekunder (asam deoksikolat dan asam
litokolat) di dalam tinja dari volunteer yang
mengkonsumsi diet dengan pati resisten tinggi.
Penurunan pH karena produksi SCFA akan menyebabkan
inaktivasi dari enzim 7α-dehidroksilase, sehingga proses
konversi asam empedu primer menjadi asam empedu
sekunder terhambat. Selain itu, penurunan konsentrasi
asam empedu sekunder juga diduga disebabkan oleh
faktor pengenceran karena peningkatan volume tinja.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
asam butirat yang dihasilkan dari fermentasi serat tidak larut
air dapat mencegah kanker pada usus besar. Asam butirat
dapat membuat keasaman usus besar menjadi meningkat
(lebih asam, pH rendah). Kondisi ini merupakan hal yang
tidak mendukung pertumbuhan sel kanker. Selain itu, dengan
asam butirat juga akan menetralkan amonia. Amonia
merupakan komponen yang membuat sel kanker dapat
tumbuh dengan cepat. Dengan bertambahnya jumlah bakteri
probiotik, maka tubuh akan lebih kebal terhadap penyakit,
termasuk dalam melawan sel kanker. (McIntyre, et al., 1993)
3) Proses konjugasi asam lemak linoleat menjadi CLA
(pada bahan pangan hewani)
Asam linoleat [C18:2, cis-9, cis-12)] merupakan asam
lemak tak jenuh yang tersusun atas 18 atom C dengan 2
ikatan rangkap berkonfigurasi cis pada C9 dan C12 (dihitung
dari ujung karboksil, -COOH) dan termasuk dalam kelompok
asam lemak tak jenuh ώ6 (omega 6, ikatan rangkap pada C6
jika dihitung dari ujung metil, –CH3) [Food Chemistry, 2004].
Jika posisi ikatan rangkapnya terkonjugasi, maka asam
linoleat ini disebut sebagai CLA atau conjugated linoleic acid.
Jadi, CLA adalah campuran isomer posisi dan geometris dari
asam linoleat, dimana ikatan rangkap terkonjugasinya dapat
berada pada posisi C8 dan C10, C9 dan C11, C10 dan C12,
atau 11 dan 13 dengan konfigurasi cis-trans, trans-cis, cis-cis
atau trans-trans [Aydin R., 2005]. Struktur dari asam linoleat
dan CLA beserta salah satu isomernya diberikan sebagai
berikut:
Gambar 1. Struktur asam linoleat (atas); c-9, t-11 CLA
(tengah); dan t-10, c-12 CLA (bawah) [Aydin, R., 2005]
Asam lemak konjugasi terdiri dari asam lemak trans dan
cis. Ikatan cis disebabkan rendahnya titik didih dan berguna
bagi efek kesehatan. Tidak seperti asam lemak trans, asam
lemak tersebut tidak berbahaya, namun bermanfaat.
Hubungan trans dalam sistem konjugasi tidak dihitung seperti
lemak untuk tujuan dari regulasi nutrisi dan penamaan. CLA
dan beberapa isomer trans dari asam oleat, diproduksi oleh
mikroorganisme rumen dari ruminansia. Non ruminan,
termasuk manusia, juga memproduksi CLA dari isomer trans
asam oleat, seperti asam vaccinate, yang termasuk CLA
delta-9-desaturase.
Conjugated Linoleic Acids (CLA) merupakan kelompok
lemak yang terdiri dari setidaknya 28 isomer dari asam
linoleat. CLA tergolong sebagai lemak essensial yang
diperlukan oleh tubuh dan dapat ditemukan terutama pada
daging dan produk susu dari hewan pemamah
biak/ruminansia (sapi, kambing dan lain sebagainya). Struktur
dari CLA mengandung ikatan rangkap yang terkonjugasi.
Sistem konjugasi terjadi dalam senyawa organik yang atom-
atomnya secara kovalen berikatan tunggal dan ganda secara
bergantian (C=C-C=C-C) dan memengaruhi satu sama
lainnya membentuk daerah delokalisasi elektron.
Gambar 2. Struktur methyl ester of CLA (9-cis, 11-trans)
Berikut adalah Proses Metabolisme Lemak Menjadi CLA:
Gambar 3. Proses Metabolisme Lemak di dalam
Rumen
Bila lemak (trigliserida, glikolipida, fosfolipida) dikonsumsi
oleh ternak ruminansia, maka ketika masuk ke dalam rumen,
akan terjadi dua proses besar yaitu proses hidrolisis ikatan
ester dalam lemak yang berasal dari pakan dan proses
biohidrogenasi asam lemak yang tidak jenuh yang terjadi
setelah lemak dihidrolisis menjadi asam lemak bebas
(Bauman dan Lock 2006).
Pada gambar 3 memperlihatkan lemak bila dikonsumsi
oleh ruminansia dan mengalami proses metabolisme di dalam
rumen dan pasca rumen, namun yang dibahas disini adalah
proses pembentukan CLA.
Lemak yang masuk ke dalam rumen akan mengalami
proses hidrolisis oleh bakteri rumen seperti Anaerovibrio
lipolytica dan Butyrivibrio fibrisolvens yang akan
mengeluarkan enzim lipase, galactosidase dan phospholipase
(Doreau dan Chilliard 1997; Harfoot dan Hazlewood 1997).
Lock et al. (2006) menyatakan bahwa bakteri memegang
peranan penting dalam proses hidrolisis lemak walaupun
protozoa juga mampu menghidrolisis lemak. Tingkat hidrolisis
lemak di dalam rumen sangat tinggi yaitu lebih dari 85%
lemak terhidrolisis menjadi asam lemak bebas, gula, fosfat
dan gliserol (Gambar 3). Gliserol dan gula akan mengalami
proses perubahan menjadi asam lemak terbang (volatile fatty
acid: VFA) dan kemudian VFA digunakan untuk membentuk
sel mikroba rumen. Asam lemak bebas di dalam rumen
kemudian akan mengalami beberapa proses yaitu proses
isomerisasi dari posisi “cis” menjadi “trans” dan proses
biohidrogenasi, sehingga asam lemak yang tidak jenuh akan
menjadi asam lemak jenuh serta proses konjugasi pada asam
lemak tidak jenuh (lebih dari 2 ikatan rangkap), sehingga
terbentuk asam lemak konjugasi (contohnya: conjugated
linoleic acid: CLA) (Bauman dan Lock 2006).
Proses biohidrogenasi terjadi tidak secepat proses
lipolisis, tetapi proses biohidrogenasi akan mengurangi
pengaruh negatif dari asam lemak tidak jenuh terhadap
bakteri rumen. Selain itu, proses biohidrogenasi merupakan
proses untuk menghilangkan kelebihan hidrogen yang
terbentuk selama proses fermentasi rumen. Proses
biohidrogenasi asam lemak tidak jenuh juga berguna karena
mengurangi pengaruh asam lemak tidak jenuh yang
menekan pertumbuhan bakteri-bakteri rumen.
Proses biohidrogenasi melibatkan dua grup bakteri rumen
(grup A dan B) (Lock et al. 2006). Grup A terdiri dari bakteri-
bakteri yang menghidrogenasi asam lemak tidak jenuh
menjadi asam lemak trans 18:1. Dalam proses biohidrogenasi
di dalam rumen terbentuk senyawa antara (intermediate)
yang sangat spesifik yaitu “cis” 9, “trans” 11 asam linoleat
konjugasi (CLA) dan senyawa ini mempunyai pengaruh yang
menguntungkan manusia karena bersifat anti kanker dan anti
atherogenic (Bauman et al. 2006). Bakteri grup B hanya
terdiri dari beberapa spesies bakteri rumen yang berfungsi
dalam proses akhir hidrogenasi asam lemak trans 18:1
menjadi asam stearat (Bauman dan Lock 2006). Tingkat
hidrogenasi dari asam lemak tidak jenuh bervariasi dari 70-
100% menjadi asam lemak jenuh yaitu asam stearat, yang
merupakan asam lemak yang paling banyak lewat dari rumen
dan masuk ke duodenum. Berikut adalah biosintesa
terbentuknya CLA.
Gambar 4. Biosintesa CLA