tugas 2 tek.semen_2312106017_yuyun yuniarti
TRANSCRIPT
Yuyun Yuniarti
2312106017
Mata Kuliah Teknologi Semen
TK091371
JURUSAN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2014
Makalah Penggunaan Efisiensi Energi Pada Industri Semen di Unit Kiln Mill
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di kawasan ASEAN, Indonesia pengguna semen terbesar kedua setelah Vietnam.
Dari total produksi 121 juta ton semen di ASEAN, 20% diantaranya, dikonsumsi di
Indonesia. Sedangkan Vietnam yang tertinggi mencapai 27%. Data Asosiasi Semen
ASEAN menyebutkan Singapura adalah pengguna semen terkecil yakni 2%
(Suarasurabaya, 2003).
Hingga akhir tahun 2008, diperkirakan konsumsi semen mencapai 45 juta ton. Pada
akhir 2007, penjualan semen hampir mencapai 42,2 juta ton. Apabila dibandingkan dengan
negara lain, konsumsi semen per kapita penduduk Indonesia masih rendah. Konsumsi
semen hanya sekitar 160 kilogram per kapita pertahun, sedangkan negara lain di kawasan
Asia Tenggara di atas 200 kilogram perkapita per tahun (Tempo, 2007).
Minat investasi industri semen di Indonesia sangat tinggi menyusul terus naiknya
pertumbuhan permintaan semen di dalam negeri akibat meningkatnya kegiatan konstruksi
khususnya sektor perumahan di Pulau Jawa. Program pembangunan jalan tol sepanjang
1.600 kilometer pada periode 2005-2009 merupakan program lain yang membutuhkan
persediaan semen (Bisnis,2005).
Berdasarkan pertumbuhan rata-rata pertahun selama 15 tahun terakhir (1993-2007)
yang mencapai 7,8% dan 5 tahun terakhir (2002-2007) yang mencapai 11,2%, dan dengan
asumsi tingkat pertumbuhan Gross Domestic Product dalam lima tahun rata-rata 4% - 5%
pertahun maka konsumsi semen dalam periode 10 tahun mendatang (2005-2015) akan
berkisar 8% per tahun, maka pada tahun 2007 konsumsi semen di dalam negeri mencapai
42,2 juta ton.
Kekhawatiran akan kekurangan pasokan semen di dalam negeri memang beralasan
karena pertumbuhan konsumsi semen yang cukup tinggi selama lima tahun terakhir,
apalagi dengan maraknya sektor properti dan sektor konstruksi akhir-akhir ini. Dengan
pertumbuhan ekonomi di atas 6% yang direncanakan oleh pemerintah, akan mendorong
perkembangan sektor konstruksi dan selanjutnya akan menyebabkan meningkatkan
kebutuhan semen dan bahan-bahan lainnya. Kebutuhan semen yang semula diperkirakan
hanya sekitar 3% tahun 2004 meningkat menjadi 9,7% dibandingkan tahun sebelumnya.
Selama limabelas tahun terakhir kebutuhan semen meningkat rata-rata 10,1% pertahun.
Dengan demikian apabila lima tahun yang akan datang kebutuhan semen meningkat rata-
rata 6-8% maka pada tahun 2010 kebutuhan semen nasional akan mencapai 47,9 juta ton.
Berarti melampaui kapasitas produksi semen nasional yang tercatat sebesar 47,49 juta ton
(Tabel 1.1).
Tabel 1.1 Kapasitas Industri Semen Indonesia Tahun 2000-2005
(Sumber: Warta Semen dan Beton Indonesia Volume 4 No 1, 2006).
Departemen Perindustrian prediksikan akan terjadi krisis semen pada tahun 2011 jika
pertumbuhan konsumsi mencapai 8% hingga 10% per tahun, mengingat utilisasi pabrik
semen nasional umumnya telah mencapai 90%. Sementara itu, pembangunan fisik pabrik
semen akan membutuhkan waktu sekitar 36 bulan, dan 12–24 bulan untuk persiapan (studi
kelayakan, AMDAL dan pendanaan) sehingga apabila dikehendaki beroperasi penuh pada
tahun 2010 maka paling lambat kegiatan persiapan pembangunan pabrik semen seharusnya
sudah dimulai dari tahun 2005 – 2006 (Sunyoto, 2006).
Indonesia memiliki sembilan perusahaan besar yang memproduksi semen dari
berbagai macam jenis produk semen. Kesembilan perusahaan tersebut memiliki plant yang
tersebar di seluruh Indonesia. Di Pulau Jawa ada 6 lokasi dan setiap lokasi memiliki 1
sampai 6 unit pabrik dengan kapasitas produksi yang bervariasi. Di luar pulau Jawa ada 4
No Produsen Kepemilikan Kapasitas (Juta ton)
2000 2001 2002 2003 2004 2005
1 PT Semen Padang BUMN 5,44 5,44 5,44 5,44 5,44 5,44
2 PT Semen Gresik BUMN 8,20 8,20 8,20 8,20 8,20 8,20
3 PT Semen Tonasa BUMN 3,48 3,48 3,48 3,48 3,48 3,48
4 PT Semen
Cibinong
HOLCIM 9,70 9,70 9,70 9,70 9,70 9,70
5 PT Indocement
Tunggal Perkasa
HEIDELBERG 15,65 15,65 15,65 15,65 15,65 15,65
6 PT Semen Baturaja BUMN 0,60 1,25 1,25 1,25 1,25 1,25
7 PT Semen Andalas
Indonesia
LAFARGE 1,40 1,40 1,40 1,40 1,40 -
8 PT Semen Kupang BUMN 0,27 0,57 0,57 0,57 0,57 057
9 PT Semen Bosowa
Maros
Swasta
Nasional
1,80 1,80 1,80 1,80 1,80 1,80
TOTAL KAPASITAS NASIONAL 46,82 47,49 47,49 47,49 47,49 46,09
lokasi yaitu di Sulawesi 2 lokasi, Kalimantan 1 lokasi dan di NTT 1 lokasi. Total kapasitas
terpasang adalah 40.730.000 ton klinker dan 44.890.000 ton semen pertahun (Assosiasi
Semen Indonesia, 2008). Proses produksi semen di Indonesia sekarang ini umumnya telah
menggunakan dry process kiln.
Keterbatasan sumber energi yang disediakan oleh alam ini menyebabkan
berbagai pihak berusaha melakukan berbagai alternatif pemecahan untuk
menghadapi masalah krisis energi. Beberapa usaha yang dilakukan saat ini adalah
dengan mengembangkan sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui serta
dengan langkah optimasi penggunaan energi sehingga konsumsi energi dapat
dikurangi. Industri semen adalah salah satu industri yang bersifat energi
intensive, karena menyerap energi dalam jumlah yang besar. Jika biaya untuk
konsumsi energi dapat ditekan, maka dengan demikian keuntungan
perusahaan dapat ditingkatkan. Kiln merupakan sebuah alat pembakar produk
rawmix jadi clinker di pabrik semen, karena peranannya yang sangat besar
sebagai komponen utama penghasil produk semen. Penggunaan energi pada unit ini
meliputi energi untuk proses pembakaran. Biaya yang dikeluarkan
untuk konsumsi energi pada sebuah pabrik semen berkisar 20–30 % dari total biaya
produksi semen [UNIDO,1994].
Timbulnya dampak lingkungan dari penggunaan bahan bakar fosil harus disikapi
secara bijaksana dengan melakukan upaya-upaya pencegahan atau pengurangan dampak
tanpa harus mengurangi kinerja maupun produksi suatu kegiatan (industri), seperti
optimalisasi proses, peningkatan effisiensi, pemanfaat bahan baku yang ramah lingkungan
dan sebagainya. Upaya ini dikenal sebagai prinsip-prinsip metoda produksi bersih.
Dalam industri semen, beberapa proses produksi masih memungkinkan dikaji lebih
dalam melalui penerapan prinsip-prinsip produksi bersih tersebut untuk memperoleh
efisiensi penggunaan energinya secara langsung akan berdampak pada penekanan biaya
produksi dan meningkatkan keuntungan perusahaan.
Kajian penggunaan energi meliputi profil pemakaian energi listrik dan termal, neraca
energi listrik dan energi termal, serta konsumsi energi spesifik disingkat KES. Nilai KES
merupakan perbandingan pemakaian energi listrik per satuan produk (kWh/ton) di masing-
masing tahapan proses, mulai dari dari raw mill sampai finish mill. Konsumsi energi
spesifik untuk termal difokuskan pada proses pembuatan klinker di kiln mill. Nilai KES ini
digunakan untuk membenchmarking penggunaan energi listrik dan thermal.
1.2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yang ingin dicapai oleh penyusun yaitu
sebagai berikut:
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan semen portland.
2. Mengetahui jenis-jenis semen portland dan kegunannya.
3. Mengetahui sifat-sifat semen portland.
4. Mengetahui bagaimana produksi pembuatan semen portland.
5. Mengetahui efisiensi penggunaan energi dalam memproduksi semen khususnya pada
proses pembakaran di kiln.
1.3. Metode Penulisan
Metode penulisan yang dipakai oleh penyusun dalam proses pembuatan makalah ini
adalah metode studi pustaka dari beberapa literatur dan beberapa jurnal yang sebagian
besar berasal dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Semen
Semen (cement) adalah hasil industri dari paduan bahan baku: batu kapur/gamping
sebagai bahan utama dan lempung/tanah liat atau bahan pengganti lainnya dengan hasil
akhir berupa padatan berbentuk bubuk/bulk, tanpa memandang proses pembuatannya, yang
mengeras atau membatu pada pencampuran dengan air. Bila semen dicampurkan dengan
air, maka terbentuklah beton. Beton nama asingnya, concrete-diambil dari gabungan
prefiks bahasa Latin com, yang artinya bersama-sama, dan crescere (tumbuh), yang
maksudnya kekuatan yang tumbuh karena adanya campuran zat tertentu.
Batu kapur/gamping adalah bahan alam yang mengandung senyawa kalsium oksida
(CaO), sedangkan lempung/tanah liat adalah bahan alam yang mengandung senyawa:
silika oksida (SiO2), aluminium oksida (Al2O3), besi oksida (Fe2O3) dan magnesium oksida
(MgO). Untuk menghasilkan semen, bahan baku tersebut dibakar sampai meleleh,
sebagian untuk membentuk clinkernya, yang kemudian dihancurkan dan ditambah dengan
gips (gypsum) dalam jumlah yang sesuai. Hasil akhir dari proses produksi dikemas dalam
kantong/zak dengan berat rata-rata 40 kg atau 50 kg.
Dalam pengertian umum, semen adalah suatu binder, suatu zat yang dapat
menetapkan dan mengeraskan dengan bebas, dan dapat mengikat material lain. Abu
vulkanis dan batu bata yang dihancurkan yang ditambahkan pada batu kapur yang dibakar
sebagai agen pengikat untuk memperoleh suatu pengikat hidrolik yang selanjutnya disebut
sebagai “cementum”. Semen yang digunakan dalam konstruksi digolongkan kedalam
semen hidrolik dan semen non-hidrolik.
Semen hidrolik adalah material yang menetap dan mengeras setelah dikombinasikan
dengan air, sebagai hasil dari reaksi kimia dari pencampuran dengan air, dan setelah
pembekuan, mempertahankan kekuatan dan stabilitas bahkan dalam air. Pedoman yang
dibutuhkan dalam hal ini adalah pembentukan hidrat pada reaksi dengan air segera
mungkin. Kebanyakan konstruksi semen saat ini adalah semen hidrolik dan kebanyakan
didasarkan pada semen Portland, yang dibuat dari batu kapur, mineral tanah liat tertentu,
dan gypsum, pada proses dengan temperatur yang tinggi yang menghasilkan karbon
dioksida dan berkombinasi secara kimia yang menghasilkan bahan utama menjadi senyawa
baru. Semen non-hidrolik meliputi material seperti batu kapur dan gipsum yang harus tetap
kering supaya bertambah kuat dan mempunyai komponen cair. Contohnya adukan semen
kapur yang ditetapkan hanya dengan pengeringan, dan bertambah kuat secara lambat
dengan menyerap karbon dioksida dari atmosfer untuk membentuk kembali kalsium
karbonat.
Penguatan dan pengerasan semen hidrolik disebabkan adanya pembentukan air yang
mengandung senyawa-senyawa, pembentukan sebagai hasil reaksi antara komponen semen
dengan air. Reaksi dan hasil reaksi mengarah kepada hidrasi dan hidrat secara berturut-
turut. Sebagai hasil dari reaksi awal dengan segera, suatu pengerasan dapat diamati pada
awalnya dengan sangat kecil dan akan bertambah seiring berjalannya waktu. Setelah
mencapai tahap tertentu, titik ini diarahkan pada permulaan tahap pengerasan.
Penggabungan lebih lanjut disebut penguatan setelah mulai tahap pengerasan.
2.2. Jenis-Jenis Semen
1. Portland Cement
Semen portland adalah semen hidraulis yang dihasilkan dengan cara menghaluskan
klinker yang terdiri dari silikat – silikat kalsium yang bersifat hidraulis, bersama bahan
tambahan yang biasanya digunakan adalah gypsum. Klinker adalah penamaan untuk
gabungan komponen produk semen yang belum diberikan tambahan bahan lain untuk
memperbaiki sifat dari semen. Tipe – tipe semen portland:
a. Tipe I (Ordinary Portland Cement)
Ordinary Portland Cement adalah semen portland yang dipakai untuk segala macam
konstruksi apabila tidak diperlukan sifat–sifat khusus, misalnya ketahanan terhadap sulfat,
panas hiderasi dan sebagainya. Ordinary Portland Cement mengandung 5 % MgO, dan
2,5–3 % SO3. Sifat–sifat Ordinary Portland Cement berada diantara sifat–sifat moderate
heat semen dan high early strength portland cement.
b. Tipe II ( Moderate Heat Portland Cement )
Tipe II adalah semen portland yang dipakai untuk pemakaian konstruksi yang
memerlukan ketahanan terhadap sulfat dan panas hiderasi yang sedang, biasanya
digunakan untuk daerah pelabuhan dan bangunan sekitar pantai. Moderate Heat Portland
Cement terdiri dari 20 % SiO2, 6 % Al2O3, 6 % Fe2O3, 6 % MgO, dan 8 % C3A. Semen
tipe ini lebih banyak mengandung C2S dan mengandung lebih sedikit C3A dibandingkan
dengan semen tipe I.
c. Tipe III ( High Early Strength Portland Cement )
High Early Strength Portland Cement adalah semen portland yang digunakan
keadaan–keadaan darurat dan musim dingin. Juga dipakai untuk produksi beton tekan.
High Early Strength Portland Cement ini mempunyai kandungan C3S lebih tinggi
dibandingkan dengan semen tipe lainnya sehingga lebih cepat mengeras dan cepat
mengeluarkan kalor. High Early Strength Portland Cement tersusun atas 6 % MgO, 3,5–
4,5 % Al2O3, 35 % C3S, 40 % C2S, dan 15 % C3A. Semen tipe ini sangat cocok digunakan
untuk pembangunan gedung–gedung besar, pekerjaan–pekerjaan berbahaya, pondasi,
pembetonan pada udara dingin, dan pada prestressed coccretel, yang memerlukan kekuatan
awal yang tinggi.
d. Tipe IV ( Low Heat Portland Cement )
Low Heat Portland Cement adalah semen portland yang digunakan untuk bangunan
dengan panas hiderasi rendah misalnya pada bangunan beton yang besar dan tebal, baik
sekali untuk mencegah keretakan. Low Heat Portland Cement ini mempunyai kandungan
C3S dan C3A lebih rendah sehingga pengeluaran kalornya lebih rendah. Low Heat Portland
Cement tersusun atas 6,5 % MgO, 2,3 % SO3, dan 7 % C3A. Semen ini biasa digunakan
untuk pembuatan atau keperluan hidraulik engineering yang memerlukan panas hiderasi
rendah.
e. Tipe V ( Shulphato Resistance Portland Cement )
Shulphato Resistance Portland Cement adalah semen portland yang mempunyai
kekuatan tinggi terhadap sulfur dan memiliki kandungan C3A lebih rendah bila
dibandingkan dengan tipe–tipe lainnya, sering digunakan untuk bangunan di daerah yang
kandungan sulfatnya tinggi, misalnya: pelabuhan, terowongan, pengeboran di laut, dan
bangunan pada musim panas. Shulphato Resistance Portland Cement tersusun atas 6 %
MgO, 2,3 % SO3, 5 % C3A.
f. Semen Putih (White Cemen )
Semen Putih adalah semen yang dibuat dengan bahan baku batu kapur yang
mengandung oksida besi dan oksida magnesia yang rendah (kurang dari 1%) sehingga
dibutuhkan pengawasan tambahan agar semen ini tidak terkontaminasi dengan Fe2O3
selama proses berlangsung. Pembakaran pada tanur putar menggunakan bahan bakar gas,
hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kontaminasi terhadap abu hasil pembakaran, juga
terhadap oksida mangan sehingga warna dari semen putih tersebut tidak terpengaruh.
Semen putih mengandung 24,2% SiO2, 4,2% Al2O3, 0,39% Fe2O3, 65,8% CaO, 1,1% MgO
dan 0,02% Mn2O3. Semen Putih digunakan untuk bangunan arsitektur dan dekorasi.
g. Semen Sumur Minyak ( Oil Well Cement )
Semen Sumur Minyak adalah semen portland yang dicampur dengan bahan retarder
khusus seperti lignin, asam borat, casein, gula, atau organic hidroxid acid. Semen Sumur
Minyak mengandung 6 % MgO, 3 % SO3, 48 – 65 % C3S, 3% C3A, 24 % C4AF + 2C3A,
dan 0,75 % alkali (N2O). Fungsi retarder disini adalah untuk mengurangi kecepatan
pengerasan semen atau memperlambat waktu pengerasan semen, sehingga adukan dapat
dipompakan kedalam sumur minyak atau gas. Semen Sumur Minyak digunakan antara lain
untuk melindungi ruangan antara rangka sumur minyak dengan karang atau tanah
sekelilingnya, sebagai rangka sumur minyak dari pengaruh air yang korosif.
h. Semen Masonry
Semen Masonry adalah semen hidraulik yang digunakan sebagai adukan konstruksi
masonry, mengandung satu atau lebih blast furnance slag cement (semen kerak dapur
tinggi), semen portland pozzolan, semen alam atau kapur hidraulik dan bahan
penambahnya mengandung satu atau lebih bahan–bahan seperti: kapur padam, batu kapur,
chalk, calceous shell, talk, slag, atau tanah liat yang dipersiapkan untuk keperluan ini. Sifat
semen ini mempunyai penyerapan air yang baik, berdaya plastissitas yang tinggi dan kuat
tekan yang rendah.
2. Semen Non Portland
a. Semen Alam (Natural Cement)
Semen alam merupakan semen yang dihasilkan dari proses pembakaran batu kapur
dan tanah liat pada suhu 850–1000oC kemudian tanah yang dihasilkan digiling menjadi
semen halus.
b. Semen Alumina Tinggi (High Alumina Cement)
Semen Alumina Tinggi pada dasarnya adalah suatu semen kalsium aluminat yang
dibuat dengan meleburkan campuran batu gamping, bauksit, dan bauksit ini biasanya
mengandung oksida besi, silika, magnesia, dan ketidak murnian lainnya. Cirinya ialah
bahwa kekuatan semen ini berkembang dengan cepat, dan ketahananya terhadap air laut
dan air yang mengandung sulfat lebih baik.
c. Semen Portland Pozzolan.
Semen Portland Pozzolan adalah bahan yang mengandung senyawa silika dan
alumina dimana bahan pozzolan itu sendiri tidak mempunyai sifat seperti semen akan
tetapi dalam bentuk halusnya dan dengan adanya air, maka senyawa – senyawa tersebut
akan bereaksi membentuk kalsium aluminat hidrat yang bersifat hidraulis.
Reaksi: 3CaO.Al2O3 + 3H2O 3CaO.Al2O3.H2O
Bahan pozzolan tersusun atas 45–72 % SiO2, 10–18 % Al2O3 , 1–6 % Fe2O3 , 0,5–3 %
MgO , 0,3-1,6 % SO3. Semen portland pozzolan merupakan suatu bahan pengikat hidraulis
yang dibuat dengan menggiling bersama–sama terak semen portland dan bahan yang
mempunyai sifat pozzolan, atau mencampur secara merata bubuk semen portland dan
bubuk bahan lain yang mempunyai sifat pozzolan. Bahan pozolan yang ditambahkan
besarnya antara 15–40 %.
d. Semen Sorel.
Semen Sorel adalah semen yang dibuat melalui reaksi eksotermik larutan magnesium
kloida 20 % terhadap suatu ramuan magnesia yang didapatkan dari kalsinasi magnesit dan
magnesia yang didapatkan dari larutan garam.
Reaksi : 3MgO + MgCl2 + 11 H2O 3MgO.MgCl2.11 H2O
Semen Sorel mempunyai sifat keras dan kuat, mudah terserang air dan sangat
korosif. Penggunaannya terutama adalah semen lantai, dan sebagai dasar pelantai dasar
seperti ubin dan terazu.
e. Portland Blast Furnance Slag Cement.
Portland Blast Furnance Slag Cement dalah semen yang dibuat dengan cara
menggiling campuran klinker semen portland dengan kerak dapur tinggi ( Blast Furnance
Slag) secara homogen. Kerak ( slag) adalah bahan non metal hasil samping dari pabrik
pengecoran besi dalam tanur (Dapur Tinggi) yang mengandung campuran antara kapur
(CaCO3) silika (SiO2) dan alumina (Al2O3) . Sifat semen ini jika kehalusannya cukup,
mempunyai kuat tekan yang sama dengan semen portland, betonnya lebih stabil dari beton
semen portland, permeabilitinya rendah, pemuaian dan penyusutan dalam udara kering
sama dengan semen portland.
2.3. Sifat-sifat semen portland
1. Hiderasi Semen.
Hiderasi semen adalah reaksi antara komponen-komponen semen dengan air. Untuk
mengetahui hiderasi semen, maka harus mengenal hiderasi dari senyawa – senyawa yang
terkandung dalam semen (C2S, C3S, C3A, C4AF).
a. Hiderasi Kalsium Silikat ( C2S dan C3S )
Kalsium silikat di dalam air akan terhidrolisa menjadi kalsium hidroksida Ca (OH)2
Dan kalsium silikat hidrat (3CaO.2SiO2.3H2O) pada suhu 30oC.
2 (3CaO.SiO2 ) + 6 H2O → 3 CaO.2SiO2.3 H2O + 3Ca(OH)2
2 (2CaO.SiO2 ) + 4 H2O → 3 CaO.2SiO2.2 H2O + Ca(OH )2
Kalsium silikat hidrat (CSH) adalah silikat di dalam kristal yang tidak sempurna,
bentuknya padatan berongga yang sering di sebut Tobermorite Gel. Adanya kalsium
hidroksida akan membuat pasta semen bersifat basa kuat (pH=12,5) hal ini dapat
menyebabkan pasta semen sensitif terhadap asam kuat tetapi dapat mencegah baja
mengalami korosi.
b. Hiderasi C3A
Hiderasi C3A dengan air yang berlebih pada suhu +30oC akan menghasilkan kalsium
alumina hidrat (3CaO.Al2O33 H2O) yang mana kristalnya berbentuk kubus, di dalam
semen karena adanya gypsum maka hasil hiderasi C3A sedikit berbeda. Mula-mula C3A
akan bereaksi dengan gypsum menghasilkan sulfo aluminate yang kristalnya berbentuk
jarum dan biasa disebut ettringite namun pada akhirnya gypsum bereaksi semua, baru
terbentuk kalsium aluminate hidrat (CAH).
- Hiderasi C3A tanpa gypsum (+30 oC ):
3CaO.Al2O3 + 6 H2O → 3CaO.Al2O3 .6H2O
- Hiderasi C3A dengan gypsum ( + 30 oC ) :
3CaO.Al2O3 + 3CaSO4 + 32 H2O → 3CaO.Al2O3.3CaSO4.32 H2O
Penambahan gypsum pada semen dimaksudkan untuk menunda pengikatan, hal ini
disebabkan karena terbentuknya lapisan ettringite pada permukaan–permukaan kristal C3A
sehingga dapat menunda hiderasi C3A.
c. Hiderasi C4AF ( + 30 H2O oC ) :
4CaO.Al2O3.Fe2O3+2Ca(OH)2+ 10 H2O → 3CaO.Al2O3.6 H2O +3CaO. Fe2O3. 6 H2O
2. Setting Dan Hardening.
Setting dan Hardening adalah pengikatan dan pengerasan semen setelah terjadi
reaksi hiderasi. Semen apabila dicampur dengan air akan menghasilkan pasta yang plastis
dan dapat dibentuk (Workable) sampai beberapa waktu karakteristik dari pasta tidak
berubah dan periode ini sering disebut Dorman Period (periode tidur). Pada tahapan
berikutnya pasta mulai menjadi kaku walaupun masih ada yang lemah, namun sudah tidak
dapat dibentuk (Unworkable). Kondisi ini disebut Initial Set, sedangkan waktu yang
diperlukan mulai dibentuk (ditambah air) sampai kondisi Initial Set disebut Initial Setting
Time (waktu pengikatan awal). Tahapan berikutnya pasta melanjutkan kekuatannya
sehingga didapat padatan yang utuh dan bias disebut Hardened Cement Pasta. Kondisi ini
disebut final set sedangkan waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi ini disebut
Final Setting Time ( waktu pengikatan akhir). Proses pengerasan berjalan terus berjalan
seiring dengan waktu akan diperoleh kekuatan proses ini dikenal dengan nama hardening.
Waktu pengikatan awal dan akhir dari semen dalam prakteknya sangat penting,
sebab waktu pengikatan awal akan menentukan panjangnya waktu dimana campuran
semen masih bersifat plastik. Waktu pengikatan awal minimum 45 menit sedangkan waktu
pengikatan akhir maksimum 8 jam.
3. Panas Hiderasi
Panas Hiderasi adalah panas yang dilepaskan selama semen mengalami proses
hiderasi. Jumlah panas hiderasi yang terjadi tergantung tipe semen, kehalusan semen, dan
perbandingan antara air dengan semen. Kekerasan awal Semen yang tinggi dan panas
hiderasi yang besar kemungkinan terjadi retak – retak pada beton, hal ini disebabkan oleh
phosfor yang timbul sukar dihilangkan sehingga terjadi pemuaian pada proses
pendinginan.
4. Penyusutan
Ada tiga macam penyusutan yang terjadi didalam semen:
- Drying Shringkage (Penyusutan karena pengeringan)
- Hideration Shringkage (Penyusutan karena hiderasi)
- Carbonation Shringkage (Penyusutan karena carbonasi)
Yang paling berpengaruh terhadap permukaan beton adalah Drying Shringkage,
penyusutan ini terjadi karena penguapan selama proses setting dan hardening. Bila besaran
kelembapannya dapat dijaga, maka keretakan beton dapat dihindari. Penyusutan ini
dipengaruhi juga kadar C3A yang terlalu tinggi.
5. Kelembaban
Kelembaban timbul karena semen menyerap uap air dan CO2 dalam jumlah yang
cukup banyak sehingga terjadi penggumpalan. Semen yang menggumpal kualitasnya akan
menurun karena bertambahnya loss on ignition (LOI) dan menurunnya spesifik gravity
sehingga kekuatan semen menurun, waktu pengikatan dan pengerasan makin lama, dan
terjadinya false set.
- Loss On Ignation (Hilang Pijar)
Loss on ignation dipersaratkan untuk mencegah adanya mineral – mineral yang
terurai pada saat pemijaran, dimana proses ini dapat menimbulkan kerusakan pada batu
setelah beberapa tahun kemudian.
- Spesifik Gravity
Spesifik Graviti dari semen merupakan informasi yang sangat penting dalam
perancangan beton. Didalam pengontrolan kualitas Spesifik Graviti digunakan untuk
mengetahui seberapa jauh kesempurnaan pembakaran klinker, juga apakah klinker
tercampur dengan impuritis.
- False Set
Proses yang terjadi bila adonan mengeras dalam waktu singkat. False set dapat
dihidari dengan melindungi semen dari pengaruh udara luar, sehingga alkali karbonat tidak
terbentuk didalam semen.
2.4. Proses Pembuatan Semen
Teknologi Pembuatan Semen terdiri dari:
1. Proses Basah
Pada proses ini, bahan baku dipecah kemudian dengan menambahkan air dalam
jumlah tertentu serta dicampurkan dengan luluhan tanah liat. Bubur halus dengan kadar air
25-40 % (slurry) dikalsinasikan dalam tungku panjang (long rotary kiln).
Keuntungan:
- Umpan lebih homogen, semen yang doperoleh lebih baik
- Efisiensi penggilingan lebih tinggi dan tidak memerlukan suatu unit homogenizer
- Debu yang timbul relatif sedikit
Kerugian:
- Bahan bakar yang digunakan lebih banyak, butuh air yang cukup banyak.
- Tanur yang digunakan terlalu panjang karena memerlukan zone dehidrasi yang lebih
panjang untuk mengendalikan kadar air.
- Biaya produksi lebih mahal.
2. Proses Semi Basah
Pada proses ini penyediaan umpan tanur hampir sama seperti proses basah. Hanya
saja disini umpan tanur disaring lebih dahulu dengan filter press. Filter cake dengan kadar
15-25 % digunakan sebagai umpan tanur. Konsumsi panas pada proses ini sekitar 1000-
1200 Kcal / Kg klinker. Proses ini jarang dipakai karena biaya produksi yang terlalu tinggi
dan kurang mengguntungkan.
3. Proses Semi kering
Proses ini dikenal sebagai grate proses, dimana merupakan transisi dari proses basah
dan proses kering dalam pembentukan semen. Pada proses ini umpan tanur disemprot
dengan air dengan alat yang disebut granutor ( pelletizer ) untuk diubah menjadi granular
atau nodule dengan kandungan air 10 - 12 %.
4. Proses Kering
Pada proses ini bahan baku diolah (dihancurkan) di dalam Raw Mill dalam keadaan
kering dan halus dan hasil penggilingan (tepung baku) dengan kadar air 0,5–1%
dikalsinasikan dalam rotari kiln. Proses ini menggunakan panas sekitar 1500 – 1900
kcal/kg klinker.
Keuntungan:
- Tanur yang digunakan relatif pendek.
- Panas yang dibutuhkan rendah, sehingga bahan bakar yang dipakai relatif sedikit, dan
membutuhkan air yang relatif sedikit pula.
- Kapasitas produksi lebih besar
Kerugian :
- Kadar air sangat mengganggu proses, karena material menempel pada alat.
- Campuran umpan kurang homogen.
- Banyak debu yang dihasilkan sehingga dibutuhkan alat penangkap debu.
Dalam produksinya kebanyakan menggunakan proses kering dalam proses
pembuatan semennya. Keuntungan proses kering ini bila dibandingkan dengan proses
basah adalah penggunaan bahan bakar yang lebih sedikit, dan energi yang dikonsumsi
lebih kecil. ukuran tanur yang lebih pendek serta perawatan alatnya lebih mudah. Proses
pembuatan semen secara garis besar melalui proses – proses sebagai berikut :
1) Penambangan
2) Penghancuran bahan baku (Crushing).
3) Penyimpanan dan pengumpanan bahan baku.
4) Penggilingan dan pengeringan bahan baku.
5) Pencampuran dan homogenisasi(Blending).
6) Pemanasan awal (Pre-heating)
7) Pembakaran (Firring)
8) Pendinginan (Colling)
9) Penggilingan akhir (Finish Mill)
10) Pengepakan (Packing)
2.5. Efisiensi Penggunaan Energi di Kiln
Proses produksi dari bahan baku seperti batu kapur, tanah liat dan pasir silika hingga
menjadi semen memerlukan energi. Bahan mentah yang digunakan dalam pembuatan
semen adalah batu kapur, batu silika, tanah liat dan pasir besi serta bahan-bahan tambahan
lainnya tergantung jenis produk yang diinginkan. Bahan mentah tersebut dihancurkan dan
digiling di Raw Mill, kemudian dicampur dan dipanaskan di dalam sistem pemanas awal
(cyclone) untuk pemisahan zat kapur karbonat dengan kapur oksida. Kemudian bahan baku
dimasukkan ke tanur putar (kiln) untuk dipanaskan sehingga terjadi reaksi antara zat kapur
oksida dan unsur-unsur lain membentuk zat kapur silikat dan aluminat pada temperatur
sampai 1450oC, proses ini disebut clinker burning. Hasil pembakaran berupa butiran hitam
yang disebut terak atau klinker. Bahan bakar utama untuk menghasilkan panas adalah
batubara. Proses selanjutnya adalah penggilingan klinker di cement mill dengan
menambahkan sejumlah bahan tambahan seperti gipsum pada perbandingan tertentu. Hasil
dari penggilingan ini adalah semen yang siap untuk dijual ke pasaran dalam kemasan
kantong maupun curah.
Secara teoritis, untuk memproduksi satu ton clinker diperlukan minimal 1,8 GJ panas
[cement data book]. Kenyataannya dilapangan, dari penelitian di beberapa pabrik semen
dengan proses produksi semen tipe kering (dry process), diperlukan rata-rata konsumsi
energi sebesar 3,5 GJ untuk menghasilkan satu ton clinker dengan efisiensi sistem kiln
sebesar 50 % dan efisiensi rotary kiln 96 % [UNIDO,1994].
Sebuah pabrik semen di Turki dengan kapasitas produksi 600 ton clinker per hari
memerlukan energi intensive, karena menyerap konsumsi energi sebesar 3,6 GJ untuk
menghasilkan satu ton produk clinker [Engin Tahsin 2002]. Tidak semua dari energi yang
digunakan Kiln tersebut dimanfaatkan untuk proses pembentukan clinker, tetapi ada
sebagian dari energi tersebut terbuang ke lingkungan dalam bentuk panas. Panas yang
terbuang tersebut hendaknya bisa di manfaatkan kembali atau dikurangi. Oleh karena itu
diperlukan pengkajian efisiensi mengenai kinerja kiln.
Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi pada industri semen maka perlu
dilakukan benchmarking konsumsi energi spesifik atau dikenal (KES). Benchmarking
adalah satu proses berkelanjutan yang memungkinkan perusahaan untuk secara terus-
menerus memonitor kinerja. Pencatatan penggunaan energi salah satu hal yang sangat
penting dalam usaha mengoptimalkan penggunaan energi dan memastikan efisien
penggunaan sumber-sumber daya energi. Penggambaran penggunaan energi melalui
benchmarking membantu industri dalam mengevaluasi apakah energi yang digunakan
sudah efisien. Benchmarking juga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk
melakukan tindakan peningkatan produktifitas dan efektivitas perusahaan, baik berupa
tindakan yang tidak memerlukan biaya hingga perlu investasi yang besar untuk
penggunaan teknologi baru yang efisien.
Dengan cara mendeteksi dan mengukur pemborosan energi, perusahaan dapat
membandingkan tingkat intensitas energi untuk berbagai proses dan memudahkan dalam
manajemen energi. Dengan mengetahui penggunaan energi yang paling efektif untuk
menghasilkan suatu produk, maka para manager energi dapat menentukan suatu acuan atau
standar yang didapat dijadikan target, dan setiap orang yang terlibat langsung maupun
tidak langsung dapat mendukung target tersebut, hal ini akan meningkatkan efisiensi
penggunaan energi yang pada akhirnya terjadi penghematan energi dan biaya serta
memperbaiki unjuk kerja perusahaan. Benchmarking juga satu perangkat (tool)
peningkatan produktivitas sehari-hari untuk dalam menyediakan informasi untuk
membantu tim manajemen dalam usaha meningkatkan daya saing perusahaan.
Dalam rangka untuk menghitung benchmarking, diperlukan data total konsumsi
energi (elektrik dan termal) demikian pula data total produksi. Bila memungkinkan ada
baiknya untuk menghitung konsumsi energi setiap unit terhadap produksi, atau konsumsi
energi spesifik (KES) di sub-proses. Hal ini akan membantu untuk mengidentifikasi
penyebab pemborosan selama proses produksi.
Kajian penggunaan energi meliputi profil pemakaian energi listrik dan termal, neraca
energi listrik dan energi termal, serta konsumsi energi spesifik disingkat KES. Nilai KES
merupakan perbandingan pemakaian energi listrik per satuan produk (kWh/ton). Konsumsi
energi spesifik untuk termal difokuskan pada proses pembuatan klinker di kiln mill. Nilai
KES ini digunakan untuk membenchmarking penggunaan energi listrik dan thermal, dan
selanjutnya dibandingkan dengan world best pactice yang ada.
Secara umum kiln mempunyai tiga lapisan, sisi bagian luar adalah steel
sheet (lapisan baja) dan bagian tengah dipasang firebricks layer (lapisan batu tahan
api) dan bagian dalam yang bersinggungan dengan clinker disebut coating layer,
lapisan ini terbentuk dari penggumpalan clinker. Untuk lebih jelasnya akan
diberikan gambar dibawah ini.
Gambar 2.1 Struktur dalam kiln
Dari Gambar 2.1 diperlihatkan bagian–bagian dari kiln, batu tahan api yang
dipasang paling tebal diantara lapisan yang lain, gunanya untuk melindungi kiln shell
yang temperaturnya sangat tinggi. Apabila lapisan batu tahan api tipis maka
temperatur shell akan meningkat. Dalam operasinya, kiln berputar dengan bantuan
kiln driver dan bertumpu dengan menggunakan bantuan supporting roller.
Sewaktu kiln beroperasi massa kiln feed akan masuk ke inlet kiln menuju outlet
kiln sedangkan batubara dan udara pembakaran melalui burner yang terletak di outlet
kiln akan diumpankan sebagai energi untuk membakar kiln feed Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Aliran massa dan energi
Pada Gambar 2.2 dapat dilihat massa-massa yang masuk ke kiln. Pada bagian
inlet kiln massa yang masuk adalah massa kiln feed dan debu dari siklon, sedangkan
pada bagian outlet kiln massa yang massuk adalah batu bara dan udara
pembakaran. Setelah terjadinya pembakaran, kiln feed akan berubah menjadi
clinker, gas buang, debu dan energi panas pada dinding luar kiln akan terbentuk.
Massa clinker akan masuk ke grate cooler sedangkan gas buang dan debu masuk ke
siklon. Material yang terlibat dalam proses di sistem rotary kiln adalah rawmix/kiln
feed yang berasal dari suspention preheater dan batubara yang berasal coal mill
serta udara tertier yang digunakan untuk pembakaran di dalam kiln. Sedangkan
aliran gas meliputi gas panas dari rotary kiln yang mengalir pertama kali ke
suspention preheater yang digunakan untuk membantu pemanasan di supention
preheater/ cyclone, kemudian gas panas buang tersebut di alirkan ke dua tempat
yaitu coal mill dan silo raw mill dimana debit gas buang lebih banyak di alirkan
untuk pengeringan awal raw mill dibandingkan dengan debit panas ke coal mill
Perbedaan debit aliran gas panas ini karena raw mill membutuhkan energi panas
yang lebih besar untuk mengeringkan raw material dari pada energi pengeringan
untuk batubara pada coal mill.
Proses pembuatan klinker di Kiln melalui proses kimia. Dasar proses kimia
pembuatan semen dimulai dengan pemecahan kalsium karbonat (CaCO3) pada temperatur
900°C membentuk kalsium oksida (CaO) dan melepaskan gas karbon dioksida (CO2);
proses ini dikenal sebagai kalsinasi. Proses selanjutnya adalah proses klinkerisasi di mana
kalsium oksida bereaksi pada temperatur tinggi (1400-1500°C) dengan silika, aluminium
oksida, dan ferro-oksida untuk membentuk silikat, aluminat, dan ferrite zat kapur, yang
disebut dengan klinker atau terak.
Total konsumsi energi listrik pada 12 pabrik untuk memproduksi klinker sebanyak
18.020.213 ton adalah 616,270,324.86 kWh. Unit kiln Mil A dan B memiliki kapasitas
produksi yang sama yakni 1900 ton per hari. Namun demikian produksi dan konsumsi
energi spesifiknya berbeda. Kiln A sedikit lebih efisien dibanding dengan dengan kiln B.
Kiln D, E dan K mempunyai kapasitas sama yakni 2200 ton per hari. Teknologi yang
digunakan juga sama yakni 1 string, 4 stages. Walaupun demikian produksi kiln K jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan kiln D dan E. Nilai konsumsi energi spesisifiknya juga
lebih baik yakni 33,35 kWh/ton klinker. Nilai konsumsi energi spesisifik Kiln D dan E
masing-masing 39,08 kWh/ton klinker dan 39,39 kWh/ton klinker.
Kiln C, H dan L menggunakan teknologi 2 strings dan 4 stages, dengan kapasitas
produksi yang sama yakni 7500 ton per hari. Terlihat bahwa diantara ketiga kiln tersebut
yang paling tinggi produksinya adalah kiln H dengan produksi 2.277.614 ton klinker
pertahun, namun demikian bukan berarti bahwa kiln tersebut paling efisien.
Terlihat nilai KES yang paling rendah adalah Kiln C yakni 29,03 kWh/ton klinker,
sedang Kiln L mempunyai nilai KES 33,26 kWh/ton klinker. Sedangkan kiln yang
memiliki kapasitas terbesar adalah kiln G, I dan J, dengan kapasitas 7.800 ton per hari.
Kapasitas, konsumsi energi, produksi dan SEC serta teknologi yang digunakan masing-
masing pabrik secara lengkap diperlihatkan pada Tabel 2.1, dan dalam bentuk grafik
hubungan antara konsumsi energi dengan produksi disajikan pada Gambar 2.3.
Nilai KES unit kiln berada pada rentang 29,03 – 39,39 kWh/ton klinker, dan rata-rata
34,42 kWh/ton klinker. Variasi KES disebabkan oleh adanya perbedaan kapasitas
terpasang, produktivitas, kualitas bahan baku dan pengoperasian pabrik. Ada
kecenderungan kapasitas yang besar memiliki KES lebih baik atau lebih rendah dibanding
dengan kapasitas kecil dan utilisasi untuk berproduksi mendekati kapasitas terpasangnya.
Secara teoritis bila jumlah produksi lebih banyak pada priode yang sama untuk mesin raw
mill yang sama, pada umumnya memiliki KES yang lebih baik. Hal lain yang membuat
perbedaan KES adalah running time, yield, kualitas bahan baku, dan juga teknologi mesin
yang digunakan. Kapasitas, produksi, konsumsi energi, KES dan teknologi yang digunakan
masing-masing pabrik.
Tabel 2.1 Data Kapasitas, Jumlah Produksi, Konsumsi Energi, dan KES masing-
masing Pabrik di Unit Kiln Mill
Pabrik
Semen
Unit Kil
Mill
Konsumsi Energi
setahun (kWh)
Produk
Clinker
pertahun
(ton)
SEC
(kWh/ton
klinker)
World best
practice
(kWh/ton
klinker)
A A 15.603.527,5 526.412,0 29.64
22
B B 16.296.115,0 510.474,3 31.92
C C 61.038.229,7 2.102.658 29,03
D D 14.086.229,7 360.446 39,08
E E 27.912.029,7 708.607 39,39
F F 58.419.792,7 1.530.917 38,16
G G 86.533.000,0 2.324.865 37,22
H H 76.960.601,7 2.277.614,7 33,79
I I 80.120.781.1 2.355.800,7 34,01
J J 81.686.748,2 2.389.899 34,18
K K 29.688.815,3 890.309,8 33,35
L L 67.924.084,0 2.042.209 33,26
Minimum 29,03
Rata-rata 34,42
Maksimum 39,39
Gambar 2.3 Hubungan Konsumsi Energi vs Produksi Clinker
Secara garis besar penggunaan energi termal pada industri semen adalah untuk
proses pembakaran klinker pada Kiln, termasuk didalamnya preheater dan precalciner,
untuk proses pengeringan bahan mentah pada raw mill, dan untuk proses pengeringan
batubara pada coal mil, sisanya terbawa oleh klinker keluar dan sebagai gas buang.
Sumber energi termal pada semua pabrik yang disurvei menggunakan batubara, dan
sebagian kecil menggunakan BBM sebagai bahan bakar tambahan dalam proses
pembuatan klinker di kiln mill. Di atara 12 pabrik yang disurvei, ada satu pabrik yang
menggunakan bahan bakar tambahan dari cangkang kelapa sawit, yang mencapai 3% dari
total bahan bakar yang digunakan.
Berdasarkan hasil analisis penggunaan energi termal didapatkan bahwa pabrik I
menggunkan energi termal yang paling efisien, yakni 754,44 kilo kalori per kilogram
klinker, dan rata-rata 819,80 kkal/kg klinker. Berdasarkan data World Best Practice, yang
terbaik adalah 680 kkal/kg klinker. Bila dibandingkan dengan harga terbaik penggunaan
energi termal pabrik yang disurvei, maka harga tersebut 10,96% di atas best practice dan
secara rata-rata diperoleh 20% di atas world best practice. Data konsumsi energi termal,
produksi klinker dan KES termal masing-masing pabrik Secara lengkap disajikan pada
Tabel 2.2. Grafik KES termal masing-masing pabrik semen diberikan dalam Gambar 2.4.
Tabel 2.2 Data Konsumsi Energi Termal, Produksi Klinker dan KES Termal
Gambar 2.4 Grafik KES Termal masing-masing
Pabrik Semen dan World Best Practice
Pabrik
Semen
Unit Kil
Mill
Konsumsi Energi
setahun (kkal)
Produk
Clinker
pertahun
(ton)
SEC
(kkal/kg
klinker)
SEC
(GJ/ton
klinker)
A A 459.873.523.200 526.412,0 873,60 3,66
B B 451.922.862.378 510.474,3 885,30 3,71
C C 1.639.652.901.962 2.102.658 779,80 3,26
D D 314.809.931.940 360.446 873,39 3,66
E E 619.485.497.610 708.607 874,23 3,66
F F 1.308.245.122.350 1.530.917 854,55 3,58
G G 1.771.500.632.700 2.324.865 761,98 3,19
H H 1.720.510.167.042 2.277.614,7 754,40 3,16
I I 1.777.569.403.094 2.355.800,7 754,55 3,16
J J 1.803.489.489.916 2.389.899 754,63 3,16
K K 804.840.043.478 890.309,8 904,00 3,78
L L 1.564.712.218.562 2.042.209 766,19 3,21
World Best Practice 680 2,65
Minimum 754,55 3,16
Rata-rata 819,80 3,43
Maksimum 904,00 3,78
Gambar 2.5 Grafik KES Termal Indonesia
Pabrik Semen beberapa negara dan World Best Practice
Untuk itu dengan melakukan efisiensi energi menggunakan biomassa sebagai bahan
bakar alternatif pengganti batubara, selain itu juga merupakan salah satu inovasi yang
sudah di implementasikan untuk penurunan emisi gas CO2. Biomassa yang digunakan
adalah sekam padi, serbuk gergaji dan limbah tembakau. Pengelolahan peralatan pabrik
juga terus dilakukan, kondisi pabrik yang prima juga menjadi optimalisasi efisiensi energi.
Dalam hal ini perusahaan melakukan manajemen operasional pabrik secara terpadu dengan
menjaga stabilitas operasi, menekan jumlah shutdown yang tidak terencana,
mengoperasikan peralatan pada kapasitas maksimal dan mengendalikan kualitas bahan
baku serta mengendalikan kualitas bahan bakar.
Selain itu dalam operasional pabrik, melakukan penghematan energi dan konservasi
energi. Dengan menjaga keberlanjutan lingkungan karena langkah tersebut akan
berdampak positif yang pada akhirnya bisa meningkatkan profitabilitas perusahaan.
Penggunaan bahan bakar alternatif biomass ini nantinya diaplikasikan dalam proses
pembakaran, tentunya dengan prosentase pemakaian yang disesuaikan dengan tetap
mengutamakan keberlangsungan operasi.
Biomass yang akan dipakai nanti tidak akan mengganggu konsumsi biomass yang
dimanfaatkan masyarakat. Yang menjadi sasaran tembak adalah 56% yang belum
termanfaatkan dan ada 44% potensi energi yang tidak termanfaatkan. Sehingga dengan
implementasi proyek ini akan mendukung pembangunan yang berkelanjutan yaitu:
mengurangi bahan bakar fosil, bahan bakar lebih ramah lingkungan dan memanfaatkan
biomass yang tidak terpakai.
Bahan bakar alternatif dapat menggantikan sebagian dari bahan bakar fosil yang
digunakan dalam tungku pembakaran semen sehingga dapat menurunkan emisi CO2.
Penurunan emisi CO2 tergantung pada kandungan karbon dan nilai kalor bahan bakar
alternatif yang digunakan. Bahan bakar alternatif yang berasal dari limbah industri dan
biomasa memerlukan sistem penanganan khusus sehingga dapat digunakan oleh industri
semen.Tingkat subtitusi yang tinggi hanya dapat diperoleh bila terdapat pasokan bahan
bakar alternatif secara reguler dalam jumlah yang cukup. Beberapa perusahaan semen di
Indonesia sudah mulai menggunakan dan menelaah biomasa, seperti cangkang, biji kelapa
sawit, sekam padi, jagung, limbah kayu dan limbah tembakau dan lain-lain. Beberapa
pabrik juga menggunakan limbah industri dan limbah domestik (sampah tersortir) lainnya
sebagai bahan bakar alternatif sesuai ketersediaannya. Hambatan untuk penggunaan Bahan
Bakar Alternatif :
- Peraturan pengelolaan limbah industri dan limbah domestik;
- Jaringan lokal pengumpulan dan pemisahan sampah;
- Kuantitas dan kualitas bahan bakar alternatif yang tersedia;
- Fluktuasi harga bahan bakar alternatif.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Semen adalah bahan perekat yang mempunyai sifat yang mampu mengikat bahan-
bahan padat menjadi satu kesatuan yang kompak dan kuat. Semen portland adalah semen
hidraulis yang dihasilkan dengan cara menghaluskan klinker yang terdiri dari silikat-silikat
kalsium yang bersifat hidraulis, bersama bahan tambahan yang biasanya digunakan adalah
gypsum. Semen portland terdiri dari Semen Tipe I (Ordinary Portland Cement), Semen
Tipe II (Moderate Heat Portland Cement ), semen Tipe III (High Early Strength Portland
Cement), Semen Tipe IV (Low Heat Portland Cement), Semen Tipe V (Shulphato
Resistance Portland Cement), Semen Putih (White Cemen ), Semen Sumur Minyak ( Oil
Well Cement ), dan Semen Masonry. Semen Portland memiliki banyak kegunaan
diantaranya yaitu untuk membangun gedung, jembatan, bangunan yang ada disekitar
pelabuhan, melindungi ruangan antara rangka sumur minyak dengan karang atau tanah
sekelilingnya, sebagai rangka sumur minyak dari pengaruh air yang korosif, dan masih
banyak kegunaan lainnya.
Peningkatan kualitas semen dapat dilakukan dengan meningkatkan sifat fisika dan
sifat kimia semen, yaitu dengan mengatur kehalusan dari semen, meningkatkan kadar C3S
dan C3A. Proses pembuatan semen saat ini lebih cenderung menggunakan proses kering,
dimana tahapan proses pada proses ini yaitu penambangan, penghancuran bahan baku,
penyimpanan dan pengumpanan bahan baku, penggilingan dan pengeringan bahan baku,
pencampuran dan homogenisasi, pemanasan awal (pre-heating), pembakaran (firring),
pendinginan (colling), penggilingan akhir, dan pengepakan.
Kajian penggunaan energi meliputi profil pemakaian energi listrik dan termal, neraca
energi listrik dan energi termal, serta konsumsi energi spesifik disingkat KES. Nilai KES
merupakan perbandingan pemakaian energi listrik per satuan produk (kWh/ton). Konsumsi
energi spesifik untuk termal difokuskan pada proses pembuatan klinker di kiln mill. Untuk
melakukan efisiensi energi dapat menggunakan biomassa sebagai bahan bakar alternative
pengganti batubara, salah satu inovasi yang sudah di implementasikan dalam penurunan
emisi gas CO2. Selain itu untuk melakukan efisiensi energi dapat melalui penggunaan
teknologi yang lebih efisien, optimalisasi penggunaan alat serta penerapan sistem
manajemen energi.
3.2 Saran
Industri semen adalah industri yang banyak memerlukan energi untuk proses
produksinya, yaitu bervariasi antara 20-30% dari total biaya produksi. Dengan demikian
industri semen termasuk sebagai salah satu industri yang boros energi. Sejalan dengan
kondisi krisis energi yang melanda dunia dan terjadinya fenomena pemanasan global
(global warming) saat ini, maka upaya penghematan penggunaan energi, terutama energi
yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil perlu menjadi perhatian semuanya. Untuk
meningkatkan efesiensi penggunaan energi maka diperlukan bahan bakar alternatif sebagai
substitusi dari penggunaan bahan bakar fosil. Selain itu juga perusahaan melakukan
peninjauan penggunaan energi, kemudian dibadingkan dengan beberapa perusahaan
nasional dan dibndingkan pula dengan world best practice.
DAFTAR PUSTAKA
Austin, George T, 1984. “Shrevès Chemical Prosess Industries”, 5 th edition. Singapore.
Bernasconi, G 1995. “Teknologi Kimia”. Terjemahan Dr. Ir; Lienda Hanjojo, M Eng. Pt
Prandnya Paramitha, Jakarta
Duda, Walter H. 1984. “Cement Data Book”, International process Engineering in the
cement Industry, 2nd Edition . Boverlag Gm Bh. Weis Baden anf Berum, Mc Donald
and Evan. London.
Pusat Sumber Daya Geologi, 2007, Neraca Batubara di Indonesia.
Richardho, Ivan. dan Hasudungan S. 2006. “Proses Pembuatan Semen di Unit nr 4 pt.
Holcim Indonesia tbk” , Jurusan Teknik Kimia FT. UNTIRTA, Cilegon.
Sunyoto, 2006, Akankah Krisis Semen Berulang di Indonesia , Warta Semen dan Beton
Indonesia Vol.4 No. 1 2006, hal 45 – 49.
Tempo interaktif, 2007, Pertumbuhan Produksi Semen 2008 turun, kamis 13 Desember
2007.
www.bisnis.com, 2005, Siapkah industri semen, hadapi booming permintaan.
www.suarasurabaya.net, 2003, Setelah Vietnam, Indonesia Pengguna Semen Terbesar
Kedua di Kawasan ASEAN.