tribunal rakyat internasional: menolak bungkam, melawan...

19
1 Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan Impunitas (Bagian 1) 4 November 2015 http://indoprogress.com/2015/11/tribunal-rakyat-internasional-menolak-bungkam-melawan-impunitas-bagian-1/ Ayu Wahyuningroem Harian Indoprogress Print PDF Ilustrasi gambar oleh Alit Ambara Kemunculan dan Perjalanan Tribunal Rakyat Internasional “May this Tribunal prevent the crime of silence” KALIMAT di atas adalah petikan dari pidato penutup Bertrand Russell, seorang filsuf besar dari Inggris, ketika meresmikan War Crimes Tribunal di London, 13 November 1966. War Crimes Tribunal, atau Tribunal Kejahatan Perang, adalah suatu pengadilan non Negara yang ia gagas bersama karibnya, Jean Paul-Sartre, seorang eksistensialis kiri asal Perancis, dan rekan-rekan lain dari mulai pengacara, aktivis gerakan mahasiswa, ilmuwan, dokter, korban perang, hingga pensiunan tentara Amerika. Tribunal ini murni merupakan inisiatif masyarakat sipil dari beberapa Negara, dan dilakukan untuk menuntut pertanggung jawaban Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Inggris, Australia, dan Korea, atas perang di Vietnam. Tribunal ini, yang

Upload: vubao

Post on 15-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

1

Tribunal Rakyat Internasional:

Menolak Bungkam, Melawan Impunitas

(Bagian 1)

4 November 2015

http://indoprogress.com/2015/11/tribunal-rakyat-internasional-menolak-bungkam-melawan-impunitas-bagian-1/

Ayu Wahyuningroem

Harian Indoprogress

Print PDF

Ilustrasi gambar oleh Alit Ambara

Kemunculan dan Perjalanan Tribunal Rakyat Internasional

“May this Tribunal prevent the crime of silence”

KALIMAT di atas adalah petikan dari pidato penutup Bertrand Russell, seorang filsuf

besar dari Inggris, ketika meresmikan War Crimes Tribunal di London, 13 November

1966. War Crimes Tribunal, atau Tribunal Kejahatan Perang, adalah suatu pengadilan non

Negara yang ia gagas bersama karibnya, Jean Paul-Sartre, seorang eksistensialis kiri

asal Perancis, dan rekan-rekan lain dari mulai pengacara, aktivis gerakan mahasiswa,

ilmuwan, dokter, korban perang, hingga pensiunan tentara Amerika.

Tribunal ini murni merupakan inisiatif masyarakat sipil dari beberapa Negara, dan

dilakukan untuk menuntut pertanggung jawaban Amerika Serikat dan sekutunya,

termasuk Inggris, Australia, dan Korea, atas perang di Vietnam. Tribunal ini, yang

Page 2: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

2

kemudian dikenal dengan Russell’s Tribunal, lantas menginspirasi kemunculan tribunal

rakyat di level internasional (biasa disebut International People’s Tribunal) terhadap

beragam kasus-kasus kejahatan serius, termasuk kejahatan perang, agresi, genosida dan

kejahatan terhadap kemanusiaan di banyak Negara di dunia, termasuk yang berkaitan

dengan Indonesia.

Hingga saat ini, lebih dari delapan puluh tribunal rakyat internasional, atau beberapa

menggunakan istilah pengadilan warga internasional (International Citizen’s Tribunal)

sudah diselenggarakan, baik yang bersifat permanen seperti Permanent People’s

Tribunal yang berbasis di Roma, ataupun yang ad hoc berdasarkan kasus-kasus tertentu.

Apa dan bagaimana sebetulnya Tribunal Rakyat Internasional, dan apa kontribusinya

terhadap rejim HAM internasional serta narasi besar tentang keadilan? Apa

relevansinya terhadap upaya memutus impunitas di Indonesia? Apa pula prospek dan

kontribusinya terhadap penguatan gerakan masyarakat sipil dan wacana penuntasan

kasus-kasus pelanggaran HAM berat d Indonesia? Hal-hal ini akan menjadi bahasan

utama dalam tulisan singkat ini.

Saya akan membagi tulisan ini dalam dua bagian. Tulisan bagian pertama akan mencakup

pertanyaan yang pertama, sedangkan tulisan bagian kedua membahas dua pertanyaan

lainnya. Masing-masing tulisan akan saya tutup dengan sebuah kesimpulan.

Tribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik Hukum Internasional

Salah satu kejahatan yang seringkali diamini banyak orang dan banyak Negara, adalah

kejahatan yang diistilahkan oleh Russell sebagai crime of silence, atau kejahatan atas

kebungkaman terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Jenis kejahatan ini tidak

diatur dalam instrumen hukum baik nasional maupun internasional, tapi pembungkaman

dan kebungkaman umumnya selalu menjustifikasi kekuasaan Negara yang

sewenang-wenang dan berujung pada impunitas. Seringkali upaya masyarakat sipil yang

oposan terhadap rezim penguasa menemui jalan buntu. Tidak saja perangkat hukum dan

alat politik yang ada tidak cukup efektif sebagai senjata perlawanan, tapi juga perangkat

dan ruang yang ada umumnya dikooptasi oleh rezim penguasa untuk melanggengkan

impunitas.

Sasaran perlawanan lantas dialihkan di ruang internasional, dimana perangkat hukum

pidana internasional sudah dibentuk dan sudah ada preseden untuk meminta

pertanggungjawaban Negara yang telah melanggar hak-hak dasar warganya atau warga

negara lain. Sayangnya, di tingkatan internasional pun seringkali tidak efektif membantu

perlawanan kelompok oposisi untuk membela keadilan bagi mereka yang ditindas. Sistem

Page 3: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

3

hukum pidana internasional mendapat banyak kritikan dari kelompok legalis kritis, realis,

poskolonial, dan juga kelompok kiri, terutama dalam kaitannya dengan politik dan

kepentingan ekonomi negara-negara tertentu serta keterbatasan implementasinya di

tingkatan praksis. Karl Marx, misalnya, termasuk yang memberikan warisan kritik atas

institusi hukum borjuis yang menjadi bagian dari kekuasaan yang menindas.[1] Dari sini,

Samuel Moyn (2012) mengkritik asas ‘netralitas’ yang diumbar oleh sistem hukum pidana

internasional yang pada prakteknya tidak lebih sebagai kamuflase untuk memberi jalan

bagi liberalisme untuk menghancurkan perjuangan sosialis dan anti-kolonialisme.

Kelompok poskolonial juga melihat ketidak seimbangan kekuasaan antara negara-negara

bekas penjajah dan negara-negara yang baru merdeka, yang umumnya adalah negara

miskin dan powerless, sehingga sistem hukum internasional malah justru melanggengkan

kolonialisme dalam bentuk baru.

Hal ini juga disadari Russell dan kawan-kawan ketika menggagas War Crimes

Tribunal.[2] Amerika Serikat dan sekutunya tidak pernah digugat atas kejahatan perang

yang mereka lakukan terhadap Vietnam, negara yang baru merdeka, di tahun 1960-an.

Kondisi ini bertolak seratus delapan puluh derajat dari komitmen negara-negara “Barat”

dalam hal kejahatan berat yang dilakukan oleh Nazi. Pengadilan Nuremberg digelar

khusus untuk mengadili Jerman Timur, dalam hal ini Nazi, atas kejahatan genosida

terhadap bangsa Yahudi. Berkaca pada Nuremberg Tribunal tersebut, tribunal yang

banyak dikritik sebagai pengadilan sang pemenang atas mereka yang jadi pecundang,

Russel dan kawan-kawan menggagas sebuah cermin baru untuk masyarakat dunia berkaca

pada kejahatan perang yang sesungguhnya. Sebagaimana disampaikan Sartre dalam salah

satu sesi tribunal:

You know the truth: in the last twenty years, the great historical act has been the

struggle of the underdeveloped nations for their freedom. The colonial empires

have crumbled, and in their place independent nations have grown or have reclaimed

ancient and traditional independence which had been eliminated by colonialism. All

this has happened in suffering, sweat and blood. A tribunal such as that of

Nuremberg has become a permanent necessity. I have already said that, before the

Nazi trials, war was lawless. The Nuremberg Tribunal, an ambiguous reality, was

created from the highest legal principles no doubt but, at the same time, it created

a precedent, the embryo of a tradition. Nobody can go back, stop what has already

existed, nor, when a small and poor country is the object of aggression, prevent one

from thinking back to those trials and saying to oneself: it is this very same

thing that was condemned then. In this way, the hasty and incomplete measures

taken and then abandoned by the Allies in 1945 have created a real gap in

international affairs. We sadly lack an organization which has been created and

Page 4: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

4

affirmed in its permanency and universality and which has irreversibly defined its

rights and duties. It is a gap which must be filled and yet which no one will fill.[3]

Kalimat terakhir merupakan benang merah dari beragam inisiatif pelaksanaan TRI.

Sebuah TRI berperan dalam mengisi kekosongan hukum yang diciptakan oleh

negara-negara besar yang kemudian ditinggalkan ketika kejahatan justru dilakukan oleh

negara-negara ini terhadap negara kecil. Kekosongan yang sama yang juga ditinggalkan

oleh rezim-rezim penguasa di sebuah Negara yang dengan sewenang-wenang melakukan

kejahatan berat terhadap warga negaranya sendiri, atau terhadap warga negara lain.

Tribunal ini menegaskan pentingnya keadilan formal, dan bahwa keadilan adalah juga

suatu hak dan kewajiban bagi masyarakat dunia, tidak hanya terbatas pada otoritas

resmi negara atau pemerintah, untuk mewujudkannya.

Tentu saja, sebuah TRI tidak bisa menggantikan formalitas hukum yang hanya mampu

disahkan atau dimandatkan kepada Negara. Ini juga kritik utama yang sering ditujukan

pada model tribunal masyarakat sipil yang demikian. TRI dinilai tidak memiliki basis

formal dalam sistem dan mekanisme resmi yang didukung oleh negara-negara, sehingga

tidak mampu mengimplementasikan putusan-putusan yang dibuatnya dalam perangkat

hukum yang ada.[4] Meski begitu, TRI punya tiga peran penting: secara prinsip, teori,

dan politik.

Secara prinsip, TRI mengadopsi prinsip-prinsip dan mekansime internasional dengan

keluaran yang seringkali berbeda dari mekanisme resmi Negara atau lembaga

antar-negara yang juga mengadopsi prinsip yang sama. Argumentasi dan putusan

didasarkan pemeriksaan terhadap bukti-bukti primer dan sekunder yang didapatkan dari

investigasi dan riset yang ketat, serta public hearing atau kesaksian publik yang juga

melibatkan saksi-saksi baik pelaku maupun korban. Karena berjarak dengan kepentingan

rezim penguasa, dan umumnya mandat didapat dari korban-korban kekerasan, maka hasil

dari proses eksaminasi atau pemeriksaan ini lebih mencerminkan prinsip-prinsip keadilan

yang dianutnya.

Pemihakan terhadap korban berarti juga merupakan peran teoretis yang difungsikan

oleh tribunal, yakni melawan asumsi bahwa Negara melalui representasinya bebas bias

dan adil. Pada kenyataannya, senada dengan kritikan Marx, institusi dan sistem hukum

seringkali ikut berperan dalam menindas kelompok atau negara tertentu. TRI

menegaskan bahwa keadilan sesungguhnya juga merupakan relasi perjuangan atas

kekuasaan, dan karenanya hukum perlu memihak pada mereka yang ditindas oleh

kekuasaan yang sewenang-wenang. TRI juga membongkar berbagai kelemahan dan

Page 5: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

5

keterbatasan dalam sistem hukum yang ada, dan menunjukkan dengan gamblang

impunitas yang terjadi lewat upaya-upaya pembungkaman oleh negara. Dengan begitu,

TRI mempertanyakan sumber legitimasi dan kepemilikan atas norma-norma hukum

internasional dengan menunjukkan berbagai kesenjangan atau kekosongan keadilan yang

ada.

Ilustrasi gambar oleh Dadang Christanto

Secara politik, peran terbesar TRI adalah membuka ruang artikulasi sekaligus

mengesahkan klaim dan pengalaman mereka yang ditindas di saat ruang-ruang resmi

negara telah tertutup semua. Tidak saja ruang ini memberi jalan bagi mereka yang

ditindas di dalam negeri, tapi juga mereka yang di luar negeri dan bahkan masyarakat

dunia ikut mengakuinya.[5] Karena ruang lingkupnya dan penglibatannya yang mendunia,

TRI merupakan sebuah gerakan transnasional atau lintas negara yang menggalang

dukungan dan kesadaran masyarakat dunia atas kejahatan-kejahatan serius yang

dilakukan oleh pemerintah atau Negara, sekaligus mengingatkan perlunya memori

bersama untuk mencegah keberulangan di tempat dan masa yang lain. Dalam prinsip

demokrasi, penguasa tetap harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada

rakyat yang memilihnya, dan rakyat inilah yang menjadi anggota masyarakat dunia yang

bisa menekan pemerintahnya untuk menghadirkan keadilan. Negara, lewat mekanisme

yang resmi, bisa saja mengabaikan sebuah kejahatan dan menegaskan impunitas. Namun,

masyarakat sipil internasional dapat memobilisasi gerakan yang luas untuk menolak

pembungkaman oleh negara terhadap sebuah ketidak adilan.

Russell Tribunal atas kejahatan perang di Vietnam, terlepas dari berbagai kritik yang

menyertainya, adalah salah satu contoh sukses gerakan transnasional lewat mekanisme

tribunal non resmi ini. Tribunal ini adalah yang pertama kali di dunia yang menegaskan

Page 6: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

6

bahwa Vietnam adalah satu negara, bukan dua, yang baru merdeka, dan menjadi obyek

ekspansi imperialisme Amerika Serikat. Kedua, Amerika Serikat, dibantu oleh Australia,

New Zealand, dan Korea Selatan menyerang bukan hanya Vietnam, tapi juga Kamboja dan

Laos. Dalam serangan ini, negara tetangga seperti Thailand, Filipina dan Jepang

juga complicit terhadap serangan brutal Amerika dan sekutunya. Sesi-sesi tribunal

dilakukan di beberapa negara, dan mengumpulkan dukungan dari berbagai lapisan. Respon

dunia dari tribunal ini adalah pengakuan atas invasi Amerika dan sekutunya, dan dukungan

luas untuk pembebasan Vietnam dan mengakhiri perang di Asia Tenggara. Kesuksesan

tribunal ini dilanjutkan dengan Russel Tribunal kedua yang diadakan untuk memeriksa

dan memberi putusan terhadap kasus pelanggaran HAM berat di Amerika Latin oleh

rejim dikatator militer.

Contoh yang lain adalah tribunal rakyat atas pendudukan Palestina oleh Israel. Didukung

sepenuhnya oleh Bertrand Russell Foundation, tribunal yang dikenal dengan Russell

Tribunal for Palestine (disingkat RToP) ini diselenggarakan untuk menginvestigasi

pelanggaran hukum internasional yang mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Palestina

dan menghalangi hak mereka untuk menentukan nasib sendiri (self determination).

Tribunal ini melibatkan seratus enampuluh nama-nama besar di berbagai dunia, mulai dari

musisi, artis, peraih nobel, ilmuwan, mantan petinggi PBB, hingga mantan kepala negara,

dan juga ratusan lembaga serta organisasi yang mendukung perdamaian dan penyelesaian

masalah Palestina. Termasuk juga yang terlibat adalah Carmel Budiarjo, seorang mantan

tahanan politik 1965 di Indonesia yang kemudian mendirikan organisasi Tapol di London.

Dalam situs RToP disebutkan:

This Tribunal has been named the Russell Tribunal on Palestine. It will reaffirm the

supremacy of international law as the basis for a solution to the Israeli Palestinian

conflict. It will identify all the failings in the implementation of this right and will

condemn all the parties responsible for these failings, in full view of international

public opinion.[6]

Kemampuan RToP memobilisir dukungan terhadap penyelesaian masalah Palestina

mendesak pengakuan dunia dan PBB atas kejahatan serius yang terjadi di Palestina,

sekaligus menolak pembungkaman yang dilakukan oleh negara-negara besar termasuk

juga PBB. RToP, dalam putusan akhirnya, menegaskan terbuktinya kejahatan perang,

kejahatan terhadap kemanusiaan, dan hasutan ke arah genosida. Meskipun RToP tidak

secara eksplisit menyebutkan genosida dalam tuntutannya, namun RToP berpendapat

bahwa genosida dapat terjadi karena impunitas terus dibiarkan di tengah kejahatan

terhadap kemanusiaan yang terjadi dan adanya hasutan langsung ke arah

genosida.[7] Israel dan beberapa negara pendukungnya dinilai mengabaikan hukum

Page 7: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

7

internasional, dan PBB serta negara-negara di dunia diminta bersikap untuk aksi-aksi

illegal yang dilakukan Israel dalam okupasinya di Palestina. Putusan RToP ini adalah

pengakuan internasional pertama yang resmi, mengadopsi hukum internasional yang tidak

pernah dilakukan oleh negara-negara dan PBB sebelumnya. Pengakuan ini menjadi rujukan

resmi dan advokasi jangka panjang untuk penyelesaian masalah Palestina.

Selain RToP, Russell Tribunal juga menginspirasi berbagai tribunal lain. Permanent

Peoples’ Tribunal (PPT) adalah salah satunya. Berbeda dengan RToP atau beberapa

tribunal lain yang sifatnya per kasus (ad hoc), PPT dibentuk berdasarkan pertimbangan

perlunya sebuah mekanisme tribunal masyarakat sipil yang berkelanjutan, yang dapat

terus menerus mengakomodir kebutuhan akan keadilan yang terus dibungkam atau tidak

mampu dihadirkan oleh negara lewat mekanisme resminya. PPT dibentuk tahun 1979 dan

berbasis di Roma, Italia, diinisiasi awalanya oleh pengacara dan senator Italia Lelio

Basso dan didukung oleh sejumlah tokoh masyarakat sipil di beberapa negara. PPT

mendasarkan dirinya pada Dekalarasi Universal Hak-hak Rakyat (Universal Declaration

of the Rights of the Peoples, atau dikenal juga dengan Deklarasi Aljir) dan Kesimpulan

Russel Tribunal Kedua tentang Amerika Latin. Hingga hari ini, tidak kurang dari tiga

puluh Sembilan kasus sudah digelar oleh PPT di berbagai negara.[8] PPT memeriksa

berbagai complain atas dugaan pelanggaran HAM yang diajukan oleh beragam komunitas

yang terkena dampak pelanggaran tersebut. Sama seperti TRI lainnya, PPT juga

menggunakan format pengadilan formal yang ketat, dan mengeluarkan putusan. Beberapa

kasus besar yang selama ini dibungkam oleh negara-egara lewat pemerintah dan

institusinya, antara lain kasus genosida Armenia, dan intervensi Amerika di Nikaragua

dan Amazon.

Kesimpulan

Sejarah mencatat, hanya sedikit saja kasus-kasus kejahatan oleh Negara yang bisa

diadili dalam sistem hukum internasional yang ada saat ini. Dengan kata lain, hukum

internasional dan domestik tidak selalu dapat memberikan keadilan karena memiliki

berbagai keterbatasan dan selalu beririsan dengan kepentingan politik dan ekonomi

tertentu. Hukum kemudian menjadi milik penguasa, dan memapankan impunitas serta

membuat sebuah kejahatan pembungkaman terhadap ketidak adilan dan penindasan.

TRI menjadi sebuah ide yang dikongkritkan atas pertimbangan kekosongan dan

kesenjangan hukum, antara yang normatif dan yang riil. TRI adalah keresahan

masyarakat sipil yang muncul dari ambiguitas negara-negara terhadap keadilan. Atas

dasar keresahan inilah pilihan TRI mengadopsi sepenuhnya hukum-hukum dan norma yang

Page 8: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

8

ada untuk menjadikannya sebuah cermin lain keadilan, yakni keadilan yang memihak pada

korban dan kelompok yang tertindas.

TRI, meskipun tidak mendapatkan legitimasi formal dari negara, namun memiliki dampak

penting secara teori, prinsip dan politik. TRI tidak saja memberikan ruang bagi korban

untuk mereklamasi tuntutannya, tapi juga mampu memberi fondasi dan pengakuan

internasional terhadap sebuah kejahatan berat, dan memobilisir solidaritas dunia untuk

menekan negara-negara menunaikan tanggung jawab bersama untuk menegakkan HAM

dan keadilan. TRI adalah suatu terobosan yang mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip

hukum, namun tetap mengedepankan kebutuhan untuk kebenaran, pemulihan untuk

korban serta reformasi institusi untuk jaminan ketidak berulangan di masa depan.

Tulisan berikutnya, sebagaimana saya sampaikan di bagian awal, akan membahas

beberapa TRI yang sudah dilaksanakan terkait dengan Indonesia, dan prospek serta

tantangannya untuk dilakukan kembali sebagai inisiatif penyelesaian pelanggaran HAM

berat di tanah air.

* * *

(bersambung ke bagian-2)

Kepustakaan:

Argibay, Carmen, “Sexual Slavery and the Comfort Women of World War II”,

dalam Berkeley Journal of International Law, Vol 21, Issue 2, 2003

Bickford, Louis, “Unofficial Truth Project”, dalam Human Rights Quarterly, 29,

2007, hal. 994-1004

Byrnes, Andrew dan Gabrielle Simm, “Peoples’ Tribunals, International Law and the

Use of Force”, dalam University of New South Wales Law journal, 28, 2013

Chega! Final Report of the Commission for Reception, Truth and Reconciliation in

East Timor (CAVR), 2005

Henry, Nicola, “ Memory of an Injustice: the “Comfort Women” and the Legacy of

the Tokyo Trial”, dalam Asian Studies Review, vol 37 issue 3, 2013

Hindra, Eka, dan Koichi Kimura, Mereka Memanggilku Momoye, Esensi, 2007

Jiwon, Suh, The Politics of Transitional Justice in Post-Soeharto Indonesia, 2012

(tidak diterbitkan)

Klinghoffer, Arthur, dan Judith Apter Klinghoffer, International Citizens’ Tribunal:

Mobilizing Public Opiniion to Advance Human Rights, Palgrave, 2002

Kontras dan ICTJ, Derailed: Transitional Justice in Indonesia since the Fall of

Soeharto, 2011

Page 9: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

9

Limqueco, Peter, and Peter Weiss (eds), Prevent the Crime of Silence, Reports from

the Sessions of International War Crimes Tribunal Funded By Bertrand

Russell, 1971

Linton, Suzannah, “Accounting for Attrocities in Indonesia”, dalam Singapore Year

Nook of International Law, Vol 11, 2007

Moyn, Samuel, The Last Utopia: Human Rights in History, Harvard University Press,

2012

Simm, Gabrielle dan Andrew Byrnes, “International Peoples’ Tribunal in Asia:

Political Theatre, Juridical Farce, or Meaningful Intervention?”, dalam Asian

Journal of International Law, 2015

Wahyuningroem, Sri Lestari, “Seducing for Truth and Justice: Civil Society

Initiatives for the 1965 Mass Violence in Indonesia”, dalam Journal of Current

Southeast Asian Affairs, 32, 3, 2013

——————

[1] Lihat Karl Marx, The Rights of Man and Citizen in “On the Jewish Question”,

pertama kali diterbitkan tahun 1844.

[2] War Crimes Tribunal yang digagas Russell dan kawan-kawan ini, menurut beberapa

peneliti, bukanlah inisiatif tribunal masyarakat sipil yang pertama. Hanya saja,

dimensi internasional, dengan pelibatan dari berbagai kalangan di beberapa negara

dan penyelenggaraan serta cakupannya yang menduinia, membuat tribunal ini

menjadi tribunal internasional pertama yang selanjutnya menginspirasi kmunculan

banyak tribunal rakyat internasional lainnya. Lihat diskusinya di Arthur Klinghoffer

dan Judith Apter Klinghoffer, International Citizens’ Tribunal: Mobilizing Public

Opiniion to Advance Human Rights, Palgrave, 2002.

[3] Peter Limqueco and Peter Weiss (ed), Prevent the Crime of Silence, Reports from

the Sessions of International War Crimes Tribunal Funded By Bertrand

Russell, 1971

[4] Simm, Gabrielle dan Andrew Byrnes, “International Peoples’ Tribunal in Asia:

Political Theatre, Juridical Farce, or Meaningful Intervention?”, dalam Asian

Journal of International Law, September 2015, hal. 2

[5] Byrnes, Andrew dan Gabrielle Simm, “Peoples’ Tribunals, International Law and the

Use of Force”, dalamUniversity of New South Wales Law journal, 28, 2013, hal. 18

[6] http://www.russelltribunalonpalestine.com/en/about-rtop

[7] ibid

[8] Lihat websitenya http://www.fondazionebasso.it/2015/introduction?lang=en

Page 10: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

10

Tribunal Rakyat Internasional:

Menolak Bungkam, Melawan Impunitas (Bagian 2-selesai)

6 November 2015

http://indoprogress.com/2015/11/tribunal-rakyat-internasional-menolak-bungkam-melawan-impunitas-bagian-2-selesai/

Ilustrasi gambar oleh Andreas Iswinarto

DALAM tulisan sebelumnya, saya sudah membahas kemunculan dan perkembangan

Tribunal Rakyat Internasional (TRI). Pasca Russel Tribunal di akhir 1960-an, mulai

bermunculan pula berbagai TRI lainnya di beberapa negara untuk melawan kebungkaman

negara-negara terhadap banyak kasus kejahatan serius di dunia. Dalam tulisan ini, saya

akan membahas sepintas beberapa TRI di Asia, khususnya TRI yang diselenggarakan dan

menyangkut negara dan rakyat Indonesia. Bagaimana relevansi TRI ini untuk penguatan

wacana HAM di Asia, khususnya di Indonesia, dan bagaimana prospeknya TRI yang

demikian untuk menjadi sebuah alternatif bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran

HAM berat di Indonesia?

Saya akan memulai dengan melihat sekilas beberapa inisiatif TRI di Asia dan menelaah

tiga TRI yang pernah dilakukan terkait dengan Indonesia, yakni Tribunal untuk kasus

Timor Timur, Tribunal Tokyo untuk kasus Perbudakan Seksual oleh Jepang, dan Tribunal

Warga untuk kasus Biak berdarah. Dari sini, saya akan mencoba mengaitkan dengan

inisiatif serupa dan tantangannya di masa depan. Bagian akhir akan saya tutup dengan

sebuah kesimpulan.

Tribunal Rakyat Internasional di Asia dan yang terkait dengan Indonesia

Page 11: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

11

Kemunculan Russel Tribunal dan perkembangan banyak TRI lain di dunia juga menjalar

hingga ke Asia. Hal ini bisa dipahami mengingat negara-negara Asia baru saja keluar dari

masa penjajahan yang panjang oleh negara-negara kolonial. Bahkan, sebagaimana yang

saya sampaikan di tulisan Bagian Pertama tentang TRI, Russel Tribunal sebagai TRI

pertama justru memeriksa dugaan kejahatan perang di salah satu negara Asia, yakni

Vietnam, yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya.

Di Asia, masyarakat sipil juga menyelenggarakan TRI untuk berbagai kasus pelanggaran

HAM berat pasca Perang Dunia II. Simm dan Byrnes (2015) mencatat paling tidak ada

tiga tribunal yang diselenggarakan oleh PPT terkait dengan kejahatan yang dilakukan

oleh negara, yakni pendudukan Indonesia di Timor Timur tahun 1981, Filipinna dan Bangsa

Moro tahun 1982, dan pendudukan Cina atas Tebet tahun 1992. Selain itu, ada juga

sesi-sesi yang digelar untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan multinasional,

misalnya di Bhopal dan Bangalore. Baru-baru ini, PPT juga menyelenggarakan sesi untuk

kasus genosida Tamil di Srilanka.[1]

Di samping PPT, ada juga beberapa TRI yang diselenggarakan di Asia. Salah satu yang

paling dikenal dan menjadi rujukan adalah Tribunal Kejahatan Perang Perempuan untuk

Pengadilan Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang (atau disebut the Tokyo Women’s

Tribunal). Saya akan menjelaskan lebih banyak tentang tribunal ini dalam bagian

berikutnya. Selain Tokyo Tribunal, juga ada Independent Peoples’ Tribunal untuk

menghakimi G7 tahun 1993,International Criminal Tribunal for Afghanistan tahun 2004,

dan International Peoples’ Tribunal on Human Rights and Justice in Indian-administered

Kashmir, serta Peoples’ Tribunal on World Bank tahun 2007 di India.

Khusus tentang TRI yang terkait dengan Indonesia, tiga yang pernah dilaksanakan

adalah PPT untuk kasus invasi Timor Timur, Tokyo Tribunal untuk kasus perbudakan

seksual, dan Tribunal Warga Internasional untuk kasus pembantaian Biak (Biak

Berdarah).

i. Permanent Peoples’ Tribunal tentang Timor Timur

Setelah lebih dari lima tahun sejak Indonesia menginvasi Timor Timur yang baru

merdeka dari Portugal, the Revolutionary Front for an Independent East

Timor (FRETILIN) yang memenangkan 50 persen suara pada Pemilu tahun 1975,

mengajukan gugatan terhadap negara Indonesia ke PPT. Dengan melibatkan pemimpin

Fretilin, pengacara, ilmuwan, jurnalis, wakil gereja dan beberapa warga negara Indonesia,

tribunal ini digelar mulai tanggal 19 hingga 21 Juni 1981 di Lisbon.[2] Keputusan PPT

menetapkan bahwa Indonesia telah melakukan agresi dengan melanggar ayat 2(4)

Page 12: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

12

Charter PBB, dan karenanya bersalah dan bertanggung jawab atas kejahatan terhadap

perdamaian. PPT juga menyimpulkan Indonesia dan didukung oleh beberapa negara lain

juga telah melanggar hak menentukan nasib sendiri oleh bangsa Timor Timur.[3] Tribunal

ini menandai sebuah bentuk kolaborasi internasional yang pertama kali terjadi tentang

apa yang terjadi di Timor Timur, dan berdampak pada terbentuknya sebuah organisasi

solidaritas Hak Asasi Rakyat Maubere (Comissão para os Direitos do Povo Maubere,

CDPM).[4]Materi-materi sidang PPT juga menjadi bahan advokasi dan diplomasi lebih

lanjut untuk pembebasan Timor Timur.

ii. Tokyo Tribunal tentang Perbudakan Seksual oleh Jepang

Tribunal ini diadakan di Tokyo tahun 2000 untuk memeriksa dugaan perbudakan seksual

oleh tentara Jepang terhadap perempuan-perempuan muda (biasa disebut comfort

women atau jugun ianfu) di Asia dan khususnya Asia Tenggara pada masa Perang Dunia II.

Tribunal ini menunjuk dirinya sebagai kelanjutan dari International Military Tribunal for

the Far East (IMFTE atau Tokyo Trial) yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu

untuk mengadili kejahatan perang oleh Jepang selama Perang Dunia II, dimana

pengadilan ini absen memasukkan kasus perbudakan seksual dalam dakwaannya meskipun

bukti-buktinya sangat kuat dan tersebar. Tribunal Tokyo ini diinisiasi oleh sejumlah

feminis dan organisasi masyarakat sipil internasional lintas negara. Melibatkan ratusan

praktisi dan akademisi serta korban, Tribunal digelar dan mendapatkan publisitas serta

perhatian dunia internasional. Selama lima hari dari tanggal 8 hingga 12 Desember,

tribunal ini menghadirkan kesaksian dan tuntutan-tuntutan dari masing-masing negara

asal para korban. Dari Indonesia sejumlah korban juga memberikan kesaksiannya,

sedangkan tuntutan dibacakan oleh satu tim penuntut yang terdiri dari pengacara senior

dan aktivis perempuan seperti Nursyahbani Katjasungkana dan Antarini Arna. Putusan

tribunal menyatakan bahwa negara dan pemerintah Jepang, yang diwakili oleh Kaisar

Hirohito, bersalah atas kejahatan serius terhadap ribuan perempuan di Asia yang

dipaksa menjadi budak seksual untuk melayani tentara-tentara Jepang selama masa

Perang Dunia II. Selain itu, Tribunal ini juga merekomendasikan permintaan maaf dari

Kaisar serta reparasi kepada para korban yang dirampas hak dan kehidupan social

ekonominya selama bertahun-tahun.

Banyak peneliti dan praktisi menilai bahwa tribunal ini merupakan satu lagi contoh sukses

TRI. Keputusan Tribunal ini merupakan kemenangan besar bagi para feminis, aktivis

HAM, dan terutama para korban yang tersebar di berbagai negara.[5] Kontribusi lainnya

adalah menguatnya gerakan solidaritas regional untuk isu ini dan secara umum isu

hak-hak perempuan, dan sejumlah memorialisasi yang dibangun untuk mengingat

pengalaman pahit masa lalu. Pemerintah Jepang pernah menyatakan permintaan maaf

Page 13: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

13

melalui perdana menterinya, namun kemudian ditarik kembali, seperti juga dengan skema

reparasi kompensasi yang pernah disalurkan ke beberapa pemerintah negara asal korban,

termasuk Indonesia.

iii. Tribunal Warga tentang Biak Berdarah

Tribunal ini diadakan belum lama berselang, yakni pada tanggal 6 Juli 2013, tepat lima

belas tahun pasca terjadinya pembantaian atas warga sipil di Biak, Papua. Pembantaian

itu terjadi tidak lama setelah perubahan politik nasional di Jakarta, dimana sejumlah

massa pimpinan Filep Karma melakukan aksi damai dan mengibarkan bendera Bintang

Kejora di sebuah menara air di kota Biak. Di hari ketiga aksi tersebut, sejumlah besar

pasukan TNI dari berbagai kesatuan dan angkatan serta polisi, menyerang kerumunan

massa dan dengan membabi buta melepaskan tembakan serta aksi-aksi kekerasan hingga

pembunuhan. ELSHAM, sebuah LSM lokal di Papua yang pertama melakukan investigasi

atas insiden ini menuliskan laporan banyaknya “kuburan tanpa nama, nama tanpa kuburan”.

Tidak ada yang bisa memastikan berapa jumlah korban, namun Human Rights Watch

(1998) memperkirakan ratusan orang yang hilang entah dibunuh atau dihilangkan paksa.

Tribunal dilakukan di Universitas Sydney, Australia, melibatkan beberapa pengacara

senior seperti Mantan Jaksa Agung negara bagian New South Wales, John Dowd.

Tribunal ini digagas oleh Center for Peace and Conflict Studies yang antara lain

beranggotakan Peter King dan Eben Kirksey.[6] Tribunal ini mendapat banyak perhatian

dari media nasional Australia, dan beberapa media internasional. Saksi-saksi

didatangkan dari Papua dan beberapa yang berdomisili di Australia. Tribunal ini tidak

mendapat banyak perhatian dari media di Indonesia, dan juga tidak menimbulkan reaksi

besar dari pemerintah Indonesia pada saat sebelum dan ketika pelaksanaan. Hal ini bisa

berdampak positif, karena dengan begitu keamanan untuk saksi dan penyelenggaraannya

lebih lancar. Tentu aspek yang kurang maksimal adalah terbatasnya informasi dan

perhatian serta pelibatan masyarakat dan organisasi yang selama ini bekerja untuk isu

HAM di Papua. Tribunal menyimpulkan bahwa penyerangan yang dilakukan oleh aparat

keamanan adalah di bawah kontrol pemerintah Indonesia, berakibat pada bentuk-bentuk

kekerasan mulai dari pembunuhan hingga kekerasan seksual. Rekomendasi utama tribunal

ini adalah agar pemerintah Indonesia menindaklanjuti dengan investigasi hukum serta

melakukan reparasi bagi para korban. Selain itu, pemerintah Australia dan Amerika

Serikat juga ikut bertanggung jawab karena telah mendukung dan memfasilitasi tentara

Indonesia dalam berbagai pelatihan, karena itu Australia dan Amerika Serikat juga

harus mendesak Indonesia untuk menindak lanjuti putusan tribunal.

Page 14: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

14

Ilustrasi gambar oleh Alit Ambara

Sebuah Tribunal Rakyat Internasional untuk Kejahatan Berat di Indonesia?

Indonesia bisa dikatakan sebagai sebuah negara yang paling responsif terhadap tuntutan

pengadopsian prinsip dan norma hukum internasional, tapi juga yang paling enggan untuk

memenuhi komitmen yang sudah dijanjikan di atas kertas. Hingga saat ini, Indonesia

telah meratifikasi tidak kurang dari sebelas instrumen HAM internasional, dan

memimpin dalam forum-forum internasional dan regional terkait HAM. Meski demikian,

urusan implementasi dari norma-norma dan aturan ini menunjukkan kemunduran terus

menerus di setiap pergantian presiden, meskipun demokrasi tetap bertahan sejak

turunnya pemimpin otoriter Soeharto di tahun 1998. Upaya-upaya untuk menuntaskan

kasus-kasus pelanggaran HAM berat sudah dicoba, namun yang terjadi justru impunitas

tetap bertahan dan negara semakin menegasikan klaim-klaim korban dan ketidakadilan.

Hingga tahun 2011, sejumlah 137 nama tersangka yang disebut dala laporan investigasi

KOMNAS HAM ternyata hanya 34 yang dimasukkan dalam tuntutan Kejaksaan Agung,

dan hanya 18 yang dinyatakan bersalah. Dari yang sedikit itu, tidak ada satupun yang

akhirnya dihukum karena proses banding.[7] Artinya, angka pembebasan bagi para pelaku

pelanggaran HAM di Indonesia adalah 100 persen. Sementara persoalan pelanggaran

HAM masa lalu tidak selesai, ditambah terus dengan kasus-kasus pelanggaran HAM

terbaru, sehingga sulit untuk meyakini bahwa rezim penguasa yang sewenang-wenang

Page 15: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

15

memang sudah berakhir dan digantikan oleh rezim yang akuntabel dan menghormati

hak-hak dasar warganya.

Sementara itu, masyarakat sipil di dalam negeri tidak henti-hentinya mendesakkan

tuntutan atas keadilan dan akuntabilitas. Beragam upaya, baik di tingkatan komunitas

maupun nasional, telah ditempuh. Namun bukan saja upaya-upaya ini tidak dihiraukan,

pemerintah lewat beragam institusinya, terutama institusi keamanan, justru

membenturkan upaya-upaya ini dengan kelompok-kelompok yang dioposisikan terhadap

tuntutan keadilan dan akuntabilitas; kelompok-kelompok yang pro pada impunitas dengan

dalih agama, nasionalisme, ataupun NKRI.

Pada titik ini, ruang-ruang resmi negara di dalam negeri semakin mengecil dan membuat

gerak masyarakat sipil, termasuk korban, semakin sulit menyuarakan kepentingannya.

Demokrasi prosedural yang dipilih oleh para penguasa saat ini merupakan pisau bermata

dua: ia seolah-olah memberi pilihan dan akuntabilitas politik kepada rakyat, namun pada

saat yang sama ia menjustifikasi kebijakan, termasuk kebijakan yang melanggengkan

impunitas, dan aksi penguasa yang telah dipilih rakyat tadi. Pada saat yang sama,

ruang-ruang resmi di luar Indonesia juga belum banyak memberikan komitmen berarti ke

arah pelembagaan keadilan dan penghormatan HAM di Indonesia.

TRI memberikan sebuah alternatif ruang dari kepepatan yang demikian. Ruang itu tidak

di dalam negeri, tapi di luar negeri dengan mengundang lebih banyak kelompok

masyarakat di dunia untuk bersolidaritas dan sama-sama mendukung penyelesaian

pelanggaran HAM yang bermartabat. Ia sekaligus mereklamasi keabsahan pengalaman

kelompok tertindas, seperti korban, sesuai standar hukum dan norma internasional, dan

menjadi alat untuk membongkar kebungkaman negara dan internasional terhadap

kejahatan besar yang terjadi di Indonesia, sekaligus menolak impunitas yang begitu

kokoh bertahan.

Meski TRI merupakan sebuah alternatif yang strategis, ada setidaknya tiga tantangan

besar untuk penerapannya dalam konteks Indonesia. Yang pertama adalah legitimasi

hukum. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, ketiadaan legitimasi hukum merupakan

kritik terbesar bagi TRI dimanapun di dunia. Meski demikian, hal ini merupakan

persoalan yang juga dihadapi oleh semua model inisiatif masyarakat sipil non-negara,

termasuk misalnya memorialisasi, upaya pencarian kebenaran, dan sebagainya. TRI harus

dilihat di luar dari cara pandang formalistik yang demikian. Legitimasi terbesar dari TRI

adalah moral dan politik, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip hukum yang diakui, dan

Page 16: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

16

legitimasi ini berasal dari mandat yang diberikan oleh korban dan/atau kelompok yang

tertindas.

Tantangan kedua adalah adanya kekakuan dalam memahami pembagian aspek keadilan

yang diturunkan dari konsepsi tentang keadilan transisi (transitional

justice). International Center for Transitional Justice (ICTJ), sebuah lembaga nirlaba

internasional yang mempromosikan pendekatan keadilan transisi, membagi keadilan

dalam empat aspek besar: pengungkapan kebenaran, pengadilan, reparasi dan reformasi

institusi.[8] Konsepsi ini diadopsi oleh PBB, dan menjadi rujukan dari beragam riset dan

advokasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil. Di Indonesia, keadilan

transisi juga menjadi rujukan dan kerangka bagi beragam inisiatif baik oleh KOMNAS

HAM, KOMNAS Perempuan, LPSK, maupun ornop-ornop baik di Jakarta maupun di

daerah-daerah.[9] Pembagian aspek keadilan ini umumnya dipahami sebagai pembagian

mekanisme-mekanisme turunan dari masing-masing aspek. Pengungkapan kebenaran,

misalnya, dilakukan dalam bentuk tim pencari fakta, tim pendokumentasian, komisi

kebenaran, dan sebagainya. Sementara itu, pengadilan merupakan inisiatif untuk keadilan

dalam bentuk formal, upaya judisial, dan ditujukan untuk mendapatkan keadilan dengan

penghukuman. Sementara itu, reparasi bentuknya bisa berupa restitusi, rehabilitasi

ataupun kompensasi, disamping bentuk reparasi kolektif seperti memorialisasi. Terakhir,

dan yang seringkali sulit dielaborasi dalam praktik karena dimesnsinya yang luas, adalah

reformasi institusi. Ini termasuk juga reformasi sektor keamanan, misalnya, tentara dan

polisi. Dalam pemahaman demikian, TRI umumnya dipahami sebagai bagian dari aspek

pengadilan, atau keadilan formal.

Kenyataannya, TRI merupakan inisiatif yang menabrak batas empat aspek keadilan

tersebut. TRI dilakukan mengikuti dan mengadopsi prinsip-prinsip dan ketentuan serta

mekanisme dalam hukum pidana internasional yang resmi (disponsori oleh negara), dimana

bukti-bukti diperiksa dan kesaksian-kesaksian disampaikan untuk membuktikan tuduhan

pelanggaran HAM berat. Pada umumnya, berbeda dengan pengadilan kriminal biasa, TRI

mendakwa negara yang melakukan pelanggaran HAM dengan menyebutkan

individu-individu yang terbukti melakukan kejahatan. Proses terpenting dari mekanisme

ini adalah riset dan pengumpulan data dan bukti-bukti yang menjadi dasar dari tuntutan.

Ini adalah bentuk lain pencarian kebenaran, dan keputusan tribunal merupakan

kebenaran itu sendiri yang telah melalui verifikasi dalam kerangka hukum formal. Louis

Bickford (2007) menyebutkan beberapa contoh TRI dan memasukkannya

sebagai unofficial truth projects atau inisiatif kebenaran non-resmi.

Page 17: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

17

Tantangan ketiga lebih terkait dengan situasi keamanan di dalam negeri. Dalam hal ini,

yang dimaksud adalah kemampuan aparat keamanan dan pemerintah Indonesia secara

keseluruhan untuk menjamin ataupun mengabaikan keamanan terhadap penyelenggaraan

TRI, terutama keamanan korban dan aktivis pembela HAM. Beberapa riset menunjukkan,

pemerintah Indonesia akan sangat defensif sekaligus reaktif terhadap berbagai upaya

pembahasan masalah pelanggaran HAM di forum internasional.[10] Tergantung pada

dinamika politik di dalam negeri, dalam beberapa kasus tekanan masyarakat internasional

mampu melunakkan dan membuat pemerintah lebih akomodatif. Dalam kasus lain,

pemerintah, terutama insitusi keamanan dan kelompok-kelompok tertentu di masyarakat,

malah cenderung lebih reaktif dan cenderung melakukan kekerasan. Ada dua hal yang

bisa mengendalikan atau mengimbangi situasi ini. Yang pertama adalah faktor

kepemimpinan kepala negara dan kemauannya memihak pada keadilan, serta dukungan

luas masyarakat sipil di dalam negeri, termasuk LSM, akademisi, dan media. Yang

terakhir ini menjadi penting, karena TRI adalah inisiatif yang lahir dari masyarakat sipil

dan memiliki tujuan yang sama dalam memutus impunitas dan menolak crime of silence.

Kesimpulan

Negara-negara Asia sesungguhnya sudah tidak asing lagi dengan TRI. TRI yang pertama

yang digagas oleh Russell dan kawan-kawan adalah inisiatif masyarakat sipil sedunia yang

memeriksa dugaan kejahatan perang yang dilakukan terhadap Vietnam. Disusul kemudian

beberapa TRI lainnya yang dilakukan terkait dengan kejahatan serius di beberapa

negara di Asia, baik yang dilakukan oleh negara maupun perusahaan multinasional.

Terkait dengan Indonesia, TRI sudah pernah dilakukan sebanyak tiga kali dengan

dampaknya masing-masing. Ke depannya, TRI patut dipertimbangkan sebagai satu lagi

alternatif masyarakat sipil untuk menuntaskan kasus-kasus kejahatan berat, di tingkat

internasional, secara bermartabat. Sejumlah tantangan memang ada di depan mata, dan

ini juga hal yang perlu didialogkan bersama. Untuk dialog itulah saya menulis tulisan ini

sebagai sebuah pengantar semata.

* * *

Penulis adalah kandidat Doktor, Australian National University (ANU), peneliti

International Peoples’ Tribunal untuk kejahatan berat 1965 (IPT 65)

Kepustakaan:

Argibay, Carmen, “Sexual Slavery and the Comfort Women of World War II”,

dalam Berkeley Journal of International Law, Vol 21, Issue 2, 2003

Page 18: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

18

Bickford, Louis, “Unofficial Truth Project”, dalam Human Rights Quarterly, 29,

2007, hal. 994-1004

Byrnes, Andrew dan Gabrielle Simm, “Peoples’ Tribunals, International Law and the

Use of Force”, dalam University of New South Wales Law journal, 28, 2013

Chega! Final Report of the Commission for Reception, Truth and Reconciliation in

East Timor (CAVR), 2005

Henry, Nicola, “ Memory of an Injustice: the “Comfort Women” and the Legacy of

the Tokyo Trial”, dalam Asian Studies Review, vol 37 issue 3, 2013

Hindra, Eka, dan Koichi Kimura, Mereka Memanggilku Momoye, Esensi, 2007

Jiwon, Suh, The Politics of Transitional Justice in Post-Soeharto Indonesia, 2012

(tidak diterbitkan)

Klinghoffer, Arthur, dan Judith Apter Klinghoffer, International Citizens’ Tribunal:

Mobilizing Public Opiniion to Advance Human Rights, Palgrave, 2002

Kontras dan ICTJ, Derailed: Transitional Justice in Indonesia since the Fall of

Soeharto, 2011

Limqueco, Peter, and Peter Weiss (eds), Prevent the Crime of Silence, Reports from

the Sessions of International War Crimes Tribunal Funded By Bertrand

Russell, 1971

Linton, Suzannah, “Accounting for Attrocities in Indonesia”, dalam Singapore Year

Nook of International Law, Vol 11, 2007

Moyn, Samuel, The Last Utopia: Human Rights in History, Harvard University Press,

2012

Simm, Gabrielle dan Andrew Byrnes, “International Peoples’ Tribunal in Asia:

Political Theatre, Juridical Farce, or Meaningful Intervention?”, dalam Asian

Journal of International Law, 2015

Wahyuningroem, Sri Lestari, “Seducing for Truth and Justice: Civil Society

Initiatives for the 1965 Mass Violence in Indonesia”, dalam Journal of Current

Southeast Asian Affairs, 32, 3, 2013

————–

[1] http://www.ptsrilanka.org/

[2] Lihat laporan CAVR, 2005, hal. 104, 115

[3] Byrnes dan Simm, 2011, hal. 10

[4] Laporan CAVR, 2005, hal 104

[5] Banyak peneliti yang menuliskan pengalaman dan dampak tribunal tidak saja terhadap

aktivisme transnasional tetapi juga terhadap hukum pidana dan norma hukum

internasional. Lihat misalnya Nicola Henry, “ Memory of an Injustice: the “Comfort

Women” and the Legacy of the Tokyo Trial”, dalam Asian Studies Review, vol 37

Page 19: Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan ...gelora45.com/news/G30S_MenolakBungkamMelawanImpunitas.pdfTribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik

19

issue 3, 2013; atau Carmen Argibay, “Sexual Slavery and the Comfort Women of

World War II”, dalam Berkeley Journal of International Law, Vol 21, Issue 2, 2003.

Selain tulisan jurnal, juga banyak buku-buku yang ditulis berdasarkan riset terhadap

tribunal ini. Beberapa kisah dan kesaksian korban Jugun Ianfu Indonesia juga telah

dipublikasikan, antara lain Eka Hindra dan Koichi Kimura, Mereka Memanggilku

Momoye, Esensi, 2007.

[6] Lihat informasi tentang tribunal ini, beserta rekaman sesi-sesi tribunal di

http://www.biak-tribunal.org

[7] Lihat analisisnya dalam laporan Kontras dan ICTJ, Derailed: Transitional Justice in

Indonesia since the Fall of Soeharto, 2011, hal 37-62

[8] lihat https://www.ictj.org/about/transitional-justice. Konsepsi ini diadopsi oleh PBB

sebagaimana dituliskan dalam dokumen Guidance Note of the Secretary General:

United Nations Approach to Transitional Justice, Maret 2010.

[9] Lihat misalnya Sri Lestari Wahyuningroem, “Seducing for Truth and Justice: Civil

Society Initiatives for the 1965 Mass Violence in Indonesia”, dalam Journal of

Current Southeast Asian Affairs, 32, 3, 2013, hal. 115-142; Suh Jiwon,The Politics

of Transitional Justice in Post-Soeharto Indonesia, 2012 (disertasi dari Ohio State

University, tidak diterbitkan), Suzannah Linton, “Accounting for Attrocities in

Indonesia”, dalam Singapore Year Nook of International Law, Vol 11, 2007, hal.

195-259

[10] Pasca reformasi 1998, misalnya, pemerintah sangat akomodatif terhadap tekanan

luar negeri untuk isu-isu pelanggaran HAM. Misalnya saja, pemberian referendum

untuk Timor Timur, dan pembuatan sejumlah aturan dan Undang-undang terkait

HAM. Masa-masa awal ini, oleh Kontras dan ICTJ, disebut sebagai periode yang

menjanjikan, yang kemudian mulai mundur ke periode dimana mekanisme

akuntabilitas merupakan kompromi-kompromi diantara kekuatan politik sebelum

kemudian macet samasekali. Lihat Kontras dan ICTJ, Derailed, 2012.