trauma thorax

63
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisanreferat dengan judul Penatalaksanaan Trauma Thorax di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo PeriodeJanurai 2009-Desember 2012”.Tujuan penulisan ini untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepanitraan Klinik di bagian Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo, Purwokerto. Dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. dr. Hj. Fridayati Dewi Mustikawati, Sp.Bselaku pembimbing yang telah memberikan arahan pada presus ini. 2. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan presus ini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan presentasi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih banyak terdapat kekurangan.Kami berharap semoga presentasi kasus ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca serta perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kedokteran.

Upload: qonnita

Post on 13-Aug-2015

234 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Bahasan tentang trauma thorax yang diterapkan dalam ATLS

TRANSCRIPT

Page 1: Trauma Thorax

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan

rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisanreferat dengan judul

“Penatalaksanaan Trauma Thorax di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo

PeriodeJanurai 2009-Desember 2012”.Tujuan penulisan ini untuk memenuhi

salah satu syarat mengikuti Kepanitraan Klinik di bagian Ilmu Bedah RSUD Prof.

Dr. Margono Soekardjo, Purwokerto.

Dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk menyampaikan

ucapan terima kasih kepada :

1. dr. Hj. Fridayati Dewi Mustikawati, Sp.Bselaku pembimbing yang telah

memberikan arahan pada presus ini.

2. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan

presus ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan presentasi kasus

ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih banyak terdapat kekurangan.Kami

berharap semoga presentasi kasus ini dapat memberikan manfaat bagi para

pembaca serta perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang

kedokteran.

Purwokerto, Februari 2013

Penulis

Page 2: Trauma Thorax

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma thoraks masih menjadi salah satu penyebab utama kematian

pada seluruh kelompok usia dengan angka kejadian yang cukup tinggi, yaitu

25 - 50% dari semua cedera traumatik (Hunt, Greaves dan Owen, 2005).

Cedera thoraks menduduki peringkat ketiga terbanyak pada kasus-kasus

trauma, setelah cedera pada kepala ekstremitas. Tingkat mortalitas rata-rata

sebesar 10,1 %, terbanyak pada pasien dengan cedera kardiak atau cedera

trakheobronkhial-oesophageal. Lebih jauh lagi, adanya cedera thoraks dalam

setting trauma multisitemik dapat meningkatkan mortalitas pasien secara

signifikan. Cedera seperti flail chest, kontusio pulmo, hemothoraks, dan

pneumothoraks dapat dapat menimbulkan berbagai komplikasi (Kaewlai,

Avery, Asrani, dan Novelline, 2008).

Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang

umumnya berupa trauma tumpul.Trauma tajam terutama disebabkan oleh

tikaman dan tembakan.Cedera thoraks sering disertai dengan cedera perut,

kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan cedera multipel. Banyak

penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit, dan banyak di antara

kematian ini sebenarnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan

diagnostic dan terapi. Kurang dari 10% dari cedera tumpul thorakdan hanya

15-30% dari cedera tembus thoraks yang membutuhkan tindakan thorakotomi

(American College of Surgeons, 2004).

Cedera dada yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi jalan

napas, hemotoraks massif, tamponade jantung, pneumothoraks, flail chest,

pneumothoraks terbuka, dan kebocoran udara trakea-bronkus. Semua kelainan

ini menyebabkan gawat dada atau thoraks akut yang analog dengan gawat

abdomen, dalam arti diagnosis harus ditegakkan secepat mungkin dan

penanganan dilakukan segera untuk mempertahankan pernapasan, ventilasi

paru, dan perdarahan. Sering tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan

penderita bukan merupakan tindakan operasi, seperti aspirasi rongga pleura,

aspirasi rongga pericardium, menutup sementara luka dada, membebaskan

Page 3: Trauma Thorax

jalan napas, pengontrol nyeri, dan perawatan suportif lainnya (Lukitto,

Rachmad, dan Manuaba, 2004; Wanek dan Mayberry, 2004).

Dengan tingginya angka kejadian trauma thoraks yang menyebabkan

cedera dinding dada dan paru, penting bagi dokter umum untuk mengetahui

mekanisme dan penatalaksanaan trauma thoraks untuk mengurangi angka

mortalitas dan morbiditasnya.

B. Perumusan Masalah

Beberapa permasalahan yang akan dirumuskan adalah:

1. Berapa jumlah pasien trauma thoraks dan bagaimana distribusinya

berdasarkan usia dan jenis kelamin di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto periode Januari 2009 - Desember 2012?

2. Bagaimana penatalaksanaan pasien trauma thoraksdi RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari 2009 - Desember2012?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui jumlah pasien trauma thoraksdan distribusinya

berdasarkanusia dan jenis kelamin di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto periode Januari 2009 - Desember2012.

2. Mengetahui penatalaksanaan pasien trauma thoraksdi RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari 2009 - Desember2012.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi data ilmiah terkait dengan

jumlah pasien trauma thoraksdan distribusinya menurut umur dan jenis

kelamin serta penatalaksanaan pasien trauma thoraksdi RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari 2009 - Desember2012.

Page 4: Trauma Thorax

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi

Dada berisi organ vital yaitu paru dan jantung. Pernapasan berlangsung

dengan gerak dinding dada. Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus yang

mengembang dan mengempis tergantung pada mengembang atau mengecilnya

rongga dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernapasan, yaitu m.

intercostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar dan

paru mengembang sehingga udara terisap ke alveolus melalui trakea dan

bronkus (Lukitto, Rachmad, dan Manuaba, 2004).

Sebaliknya, bila m. intercostalis melemas, dinding dada mengecil

kembali dan udara terdorong ke luar. Sementara itu, karena tekanan intra

abdomen, diafragma akan naik ketika m. intercostalis tidak berkontraksi.

Ketiga faktor ini, yaitu kelenturan dinding toraks, kekenyalan jaringan paru,

dan tekanan intra abdomen, menyebabkan ekspirasi jika otot interkostal dan

diafragma kendur dan tidak mempertahankan keadaan inspirasi. Dengan

demikian, ekspirasi merupakan kegiatan yang pasif (Lukitto, Rachmad, dan

Manuaba, 2004).

Jika pernapasan gagal karena otot pernapasan tidak bekerja, ventilasi

paru dapat dibuat dengan meniup cukup kuat agar paru mengembang di dalam

toraks bersamaan dengan mengembangnya toraks.Kekuatan tiupan harus

melebihi kelenturan dinding dada, kekenyalan jaringan paru, dan tekanan intra

abdomen. Hal ini dilakukan pada ventilasi dengan respirator (Lukitto,

Rachmad, dan Manuaba, 2004).

Adanya lubang di dinding dada atau di pleura viseralis akan

menyebabkan udara masuk ke cavum pleura sehingga pleura viseralis terlepas

dari pleura parietalis dan pulmo tidak lagi ikut dengan gerak napas dinding

toraks dan diafragma. Hal ini terjadi pada pneumotoraks. Jika dipasang

drainase tertutup yang diberi tekanan negative, maka udara ini akan terisap

dan pulmo dapat mengembang lagi (Lukitto, Rachmad, dan Manuaba, 2004).

Page 5: Trauma Thorax

Gambar 2.1. Topografi Thoraks

(Martini, 2000)

B. Patofisiologi

Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh cedera

toraks, Hipoksia jaringan merupakan akibat dari tdak adekuatnya

pengangkutan oksigenke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan

darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch (misalnya kontusio,

hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intra toraks

(misalnya tension pneumothorax, pneumotoraks terbuka).

Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi

akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan tingkat kesadaran.

Asidosis metabolic disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok)

(American College of Surgeons, 2004).

C. Mekanisme cedera

Penyebab terbanyak dari trauma tumpul thoraks adalah kecelakaan

kendaraan bermotor. Walaupun perjalanan dengan kendaraan bermotor telah

semakin aman pada beberapa dekade terakhir, setidaknya 44% dari 98.000

cedera yang tidak disengaja di Amerika Serikat pada tahun 2001 disebabkan

Page 6: Trauma Thorax

oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Secara umum, diperkirakan terdapar

risiko trauma thoraks serius sebesar 7% dari kecelakaan kendaraan bermotor,

dan di Amerika Serikat, setidaknya 1.500 pasien perhari mengalami trauma

thoraks yang mengancam nyawa hanya dari kecelakaan kendaraan bermotor.

Mekanisme trauma thoraks yang lain disebabkan jatuh dari ketinggian, cedera

akibat kerja, dan akibat tindak kekerasan (Wanek dan Mayberry, 2004).

Tiga tipe mekanisme cedera tumpul yang dapat menyebabkan trauma

thoraks adalah kompresi, pemotongan, dan penghancuran/ledakan.Cedera

kompresi thoraks seperti fraktur costae terjadi saat tenaga yang membentur

melebihi kekuatan dinding thoraks untuk menahannya.Area dinding dada yang

terlemah ditemukan pada posisi 60orotasi sternum, yaitu pada posisi costae

yang terdatar dan kurang terlindung (Wanek dan Mayberry, 2004).

Rudapaksa akibat pemotongan dapat menyebabkan cedera vascular dan

jaringan lunak.Sebagai respons terhadap akselerasi atau deselerasi cepat,

gerakan organ tubuh dan jarigan lunak terhambat pada perlekatan

anatomisnya.Pada akhirnya, apabila daya rentang jaringan yang melekat

terlampaui, robekan atau rupture dapat terjadi.Efek kelembaman inilah yang

menjadi penyebab salah satu trauma thoraks yang mematikan, yaitu transeksi

aorta.Cedera pemotongan pada parenkim pulmo dapat menyebabkan kaserasi,

hematoma, kontusio atau pneumatokel (Wanek dan Mayberry, 2004).

Ledakan merupakan mekanisme yang bersifat mematikan, tidak hanya

karena tekanan gelombang ledakan, tapi juga karena korban ledakan dapat

terlontar sampai jarak yang jauh dan serpihan ledakan benda-benda di sekitar

dapat menusuk tubuh korban.Cedera primer paru akibat ledakan terjadi saat

gelombang tekanan menyerang dinding dada dan menghasilkan perbedaan

tekanan pada permukaan udara-jaringan.Semakin besar perbedaan tekanan

yang dihasilkan, semakin besar rudapaksa yang disalurkan ke paru.Derajat

cedera paru bergantung pada jarak korban dari sumber ledakan.Cedera

sekunder dihasilkan dari objek yang bergerak menyerang korban akibat

ledakan.Mekanisme cedera lainnya disebabkan oleh luka bakar thermal dan

luka bakar inhalasi (Wanek dan Mayberry, 2004).

Page 7: Trauma Thorax

D. Initial Assessment dan Pengelolaan

Prinsip-prinsip initial assessment dan pengelolaan (American College of

Surgeons, 2004):

1. Pengelolaan terdiri dari:

a. Primary survey

b. Resusitasi fungsi vital

c. Secondary survey yang rinci

d. Perawatan definitif

2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada cedera toraks,

intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.

3. Cedera yang bersifat meng ancam nyawa secara langsung, dilakukan terapi

secepat dan sesederhana mungkin.

4. Kebanyakan kasus cedera toraks yang mengancam nyawa diterapi dengan

mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang toraks atau

dekompresi toraks dengan jarum.

5. Secondary survey membutuhkan riwayat cedera dan kewaspadaan yang

tinggi terhadap adanya cedera toraks yang bersifat khusus.

E. Primary Survey: cedera yang mengancam nyawa

Primary survey pada penderita cedera toraks dimulai dengan airway.

Masalah utama harus dikoreksi begitu teridentifikasi (American College of

Surgeons, 2004).

Penatalaksanaan pada setiap pasien trauma tetap tidak melupakan

prinsip penilaian awal (initial assessment).Penilaian keadaan pasien dan

prioritas terapi didasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme

trauma. Pada pasien yang terluka parah, terapi tetap harus diberikan

berdasarkan orioritas.Tanda vital pasien harus dinilai secara cepat dan

efisien.Pengelolaan pasien berupa primary survey yang cepat dan kemudian

resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Proses ini

merupakan ABCDE-nya trauma, dan berusaha untuk mengenali keadaan yang

mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut

(American College of Surgeons, 2004):

Page 8: Trauma Thorax

1. Airway

Cedera berat pada airway harus dikenali dan dikoreksi saat

melakukan primary survey. Patensi airway dan ventilasi harus dinilai

dengan mendengarkan gerakan udara pada hidung penderita mulut dan

dada serta inspeksi pada daerah orofaring untuk sumbatan airway oleh

benda asing, dan dengan mengobservasi retraksi otot-otot interkostal dan

supraklavikular (American College of Surgeons, 2004).

Cedera laring dapat bersamaan dengan cedera toraks. Walaupun

gejala klinis yang ada kadang tidak jelas, sumbatan airway karena cedera

laring merupakan cedera yang mengancam nyawa

Beberapa kondisi yang jarang ditemukan mungkin timbul pada

penderita dengan cedera skeletal yang menyebabkan gangguan bermakna

pada airway dan pernapasan penderita. Sebagai contoh adalah cedera pada

dada bagian atas, yangmenyebabkan dislokasi ke arah posterior atau

fraktur dislokasi dari sendi sternoklavikular. Ini dapat menimbulkan

sumbatan airway bagian atas yang menyebabkan dislokasi kea rah

posterior bila displacement dari fragmen proksimal fraktur atau komponen

sendi distal menekan trakea. Hal ini juga dapat menyebabkan cedera

pembuluh darah pada ekstremitas yang homolateral akibat kompresi

fragmen fraktur atau laserasi dari cabang utama arkus aorta (American

College of Surgeons, 2004).

Cedera ini diketahui bila ada sumbatan airway atas (stridor),

adanya tanda berupa perubahan dari kualitas suara (jika penderita masih

dapat bicara), dan cedera yang luas pada dasar leher dengan terabanya

defek pada region sendi strenoklavikular.

Penanganan pada cedera ini adalah menstabilkan patensi dari

airway, yang terbaik dengan intubasi endotrakeal, walalupun hal ini

kemungkinan sulit dilakukan jika ada tekanan yang cukup besar pada

trakea. Yang paling penting, reposisi tertutup dari cedera yang terjadi

dengan cara mengekstensikan bahu, mengangkat klavikula dengan pointed

clamp seperti towel clip dan melakukan reposisi fraktur secara manual.

Cedera seperti ini bila dilakukan tindakan di atas biasanya akan tetap stabil

Page 9: Trauma Thorax

walaupun penderita dalam posisi berbaring (American College of

Surgeons, 2004).

2. Breathing

Dada leher penderita harus terbuka selama penilaian breathing dan

vena-vena leher. Pergerakan pernafasan dan kualitas pernafasan dinilai

dengan observasi, palpasi dan didengarkan.

Gejala yang terpenting dari cedera toraks adalah hipoksia termasuk

peningkatan frekuensi dan perubahan pada pola pernafasan, terutama

pernafasan yang denga lambat memburuk. Sianosis adalah gejala hipoksia

yang lanjut pada penderita trauma. Tetapi bila sianosis tidak ditemukan,

bukan merupakan indikasi bahwa oksigenasi jaringan adekuat atau airway

adekuat. Jenis cedera toraks yang penting dan mempengaruhi breathing

adalah keadaan-keadaan di bawah ini (American College of Surgeons,

2004):

a) Tension pneumothorax

Tension pneumothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve

(fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru atau dari

luar melalui dinding dada, masuk ke dalam rongga pleura dan tidak

dapat keluar lagi. Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura

yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan

semakin meninggi, paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi

berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung

(venous return), serta akan menekan paru kontra lateral.

Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi

penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan

positif pada pasien dengan kerusakan pada pleura visceral. Tension

pneumothorax juga dapat timbul dari pneumotoraks sederhana akibat

cedera toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru yang

tidak menutup atau setelah salah arah pada pemasangan kateter

subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan

pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax jika

salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut kedap

Page 10: Trauma Thorax

udara occlusive dressing) yang kemudian akan menimbulkan

mekanisme katup (flap valve). Tension pneumothorax juga dapat

terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran

(displaced thoracic spine fractures) (American College of Surgeons,

2004).

Manifestasi Klinis

Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan secara klinis dan terapi

tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologis.

Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak yang

berat, distress pernafasan, takikardi, hpotensi, deviasi trakea, hilangnya

suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan

manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension

pneumothorax dan tamponade jantung maka pada awalnya sering

membingungkan, namun perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara

nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax akan

dapat membedakannya (American College of Surgeons, 2004).

Penatalaksanaan

Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan

penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang

berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks

yang terkena. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax

menjadi pneumotoraks sederhana (kemungkinan akan terjadi

pneumotoraks yang bertambah akibat penusukan jarum. Evaluasi ulang

selalu diperlukan. Terapi definitip selalu dibutuhkan dengan

memasang selang dada (chest tube) pada sela iga ke-5 (setinggi putting

susu) dari anterior dari garis midaxillaris (American College of

Surgeons, 2004).

Page 11: Trauma Thorax

Gambar 2.2.Tension Pneumothorax

(Eyolfson, 2010)

b) Pneumotoraks terbuka (sucking chest wound)

Defek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan

pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan seger

menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada

lebih dari 2/3 diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir

melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil

dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga

menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia (American College of

Surgeons, 2004).

Penatalaksanaan

Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa oklusif steril yang

diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini

diharapkan akan terjadi efek katup (flutter type valve) di mana saat

inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara

dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan

udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada

yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan

menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan

menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah

Page 12: Trauma Thorax

terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat digunakan adalah

plastic wrap atau petrolatum gauze, sehingga penderita dapat

dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan

luka. Penjahitan luka primer seringkali diperlukan (American College

of Surgeons, 2004).

c) Flail chest

Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai

kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi

karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua

atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen

mengambang) menyebabkan gangguan pada pergeraka dinding dada.

Bila terjadi kerusakan parenkim paru di bawah kerusakan dinding dada

maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada

kelainan flail chest yaitu cedera pada parenkim paru yang mungkin

terjadi (kontusio paru) (American College of Surgeons, 2004).

Manifestasi klinis

Walaupun ketidakstabilan dinding dada menimbulkan gerakan

paradoksal dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri

saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia disebabkan nyeri

yang mengakibatkan gerakan dinding dada menjadi tertahan dan

cedera jaringan parunya.

Flail chest ungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting

dengan dinding dada. Gerakan pernapasan menjadi buruk dan toraks

bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan

pernapasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan

membantu diagnosis. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan

terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi

costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yang

menunjukkan hipoksia akibat kegagalan penafasan juga membantu

dalam diagnosis flail chest (American College of Surgeons, 2004).

Penatalaksanaan

Page 13: Trauma Thorax

Terapi awal yang diberikan adalah pemberian ventilasi adekuat,

oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan

syok maka pemberian cairan krostaloid intra vena harus lebih berhati-

hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Kerusakan parenkim

paru pada flail chest akan sangat sensitive terhadap kekurangan atau

kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus

dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal.

Terapi definitive ditujukan untuk mengembangkan paru dan berupa

oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk

memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan

penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting

pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi untuk waktu singkat

mungkin diperlukan. Sampai diagnosis dan pola cedera yang terjadi

pada penderita tersebut lengkap. Indikasi waktu untuk melakukan

intubasi dan ventilasi tergantung pada penilaian hati-hati dari frekuensi

pernafasan, tekanan oksigen arterial, dan penilaian kinerja pernafasan

(American College of Surgeons, 2004).

Gambar 2.3. Flail Chest

(Wanek dan Mayberry, 2004)

Page 14: Trauma Thorax

d) Hemotoraks massif

Terkumpulnya darah dan cairan di salah satu hemitoraks dapat

menyebabkan gangguan usaha bernafas akibat penekanan paru dan

dapat menghambat ventilasi yang adekuat. Persarahan yang banyak

dan cepat akan mempercepat timbulnya syok dan akan dibahas lebih

lanjut pada bahasan tentang sirkulasi (American College of Surgeons,

2004).

3. Circulation

Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan

keteraturannya. Pada penderita hipovolemia, denyut nadi arteri radialis dan

arteri dorsalis pedis mungkin tidak teraba oleh karena volume yang kecil.

Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai

melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan temperature. Vena

leher harus dinilai apakah distensi atau tidak. Distensi vena leher mungkin

tidak tampak pada penderita hipovolemia walalupun ada tamponade

jantung, tension pneumothorax atau cedera diafragma (American College

of Surgeons, 2004).

Monitor jantung dan pulse oximetry harus dipasang pada penderita.

Penderita yang dicurigai cedera toraks terutama pada daerah sternum atau

cedera deselerasi yang hebat harus dicurigai adanya cedera miokard

apabila ada disritmia. Hipoksia ataupun asidosis akan mempermudah

terjadinya. Kontraksi ventrikel premature, disritmia yang kerap terjadi,

mungkin membutuhkan terapi dengan bolus lidocain segera (1mg/kg)

dilanjutkan dengan drip lidocain (2-4 mg/menit) (American College of

Surgeons, 2004).

Pulseless Electric Activity (PEA) merupakan keadaan di mana pada

EKG ditemukan irama, sedangkan pada perabaan nadi tidak ditemukan

pulsasi. PEA dapat dtemukan pada tamponade jantung, tension

pneumothorax, hipovolemia, atau yang lebih buruk lagi rupture jantung

(American College of Surgeons, 2004).

Page 15: Trauma Thorax

Cedera toraks yang akan mempengaruhi sirkulasi dan harus

ditemukan pada primary survey adalah (American College of Surgeons,

2004):

a) Hemotoraks massif

Hemotoraks massif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari

1500 cc di dalam rongga pleura. Hal in sering disebabkan oleh luka

tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah

pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan oleh cedera tumpul.

Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps

(flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemuan

distensi vena leher, jika disertai tension pneumothorax. Jarang terjadi

efek mekanik dari darah yang terkumpul intratoraks lalu mendorong

mediastinum sehingga menyebarbkan distensi dari pembuluh vena

leher(American College of Surgeons, 2004).

Manifestasi klinis

Diagnosis ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas

menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma

(American College of Surgeons, 2004).

Penatalaksanaan

Terapi awal hemotoraks massif adalah dengan penggantian volume

darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura.

Dimulai dengan infuse cairan kristaloid secara cepat dengan jarum

besar dan kemudian pemberian darah dengan golongan spesisfik

secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam

penempungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan dengan

pemberian infuse, sebuah selang dada no 38 French dipasang setinggi

puting susu, anterior dari garis midaxillaris kemudian dekompresi

rongga pleura secepatnya. Ketika kita mencurigai hemotoraks massif,

pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya

sudah keluar 1500 cc, kemungkinan besar penderita membutuhkan

torakotomi segera.

Page 16: Trauma Thorax

Beberapa penderita pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1500

cc, tetapi perdarahan tetap berlangsung. Ini juga membutuhkan

torakotomi. Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan

darah terus-menerus sebanyak 200 c/jam dalam waktu 2-4 jam, tetapi

status fisiologi penderita teap diutamakan. Transfusi darah diperlukan

selama ada indkasi untuk torakotomi. Selama penderita diresusitasi,

volume darah awl yang dikeluarkan dengan selang dada dan

kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan

pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan

merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar

dilakukannya torakotomi (American College of Surgeons, 2004).

Gambar 2.4.Hemothorax

(Eyolfson, 2010)

b) Tamponade jantung

Sering disebabkan oleh luka tembus, namun cedera tumpul juga dapat

menyebabkan pericardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh

darah besar, maupun pembluh darh perikard. Perikard manusia terdiri

dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walalupun relative sedikit

darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas

jantung dan mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau

cairan perikard walalupun hanya 15-20 cc, sudah akan memperbaiki

hemodinamik(American College of Surgeons, 2004).

Page 17: Trauma Thorax

Manifestasi Klinis

Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnosis klasik adalah

adanya trias Beck yaitu peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan

arteri, dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh

sulit ditemukan bila ruang gawat darurat dalam keadaan ramai, distensi

vena leher tidak ditemukan karena dalam keadaan hipovolemia, dan

hipotensi sering disebabkan hipovolemia.

Pulsus paradoksus adalah keadaan fisiologis di mana terjadi penurunan

tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan lebih

dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade

jantung, namun tanda ini tidak selalu ditemukan. Lagipula jika terdapat

tension pneumothorax pada sisi kiri, akan sangat miriip dengan

tamponade jantung.

Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena saat inspirasi biasa)

adalah kelainan paradoksal yang sesungguhnya dan menunjukkan

adanya tamonade jantung (American College of Surgeons, 2004).

Penatalaksanaan

Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita

dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi

cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini

menyelamatkan nyawa dan tdak boleh diperlambat untuk mengadakan

pemeriksaan diagnostic tambahan. Metode sederhana untuk

mengeluarkan cairan dari perikard adlah dengan perikardiosintesis.

Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada penderita

yang tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan

indikasi untuk tindakan perikardiosintesis melalui metode subskifoid.

Tindakan altenatif lain adalah melakukan operasi jendela perikard atau

torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur

ini akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita

memungkinkan.

Walaupun kecurigaan besar akan adanya tamponade jantung, tetap

dilakukan pemberian cairan infuse awal karena akan dapat

Page 18: Trauma Thorax

menngkatkan tekanan vena dan cardiac output untuk sementara,

sambil melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis melalui

metode subskifoid. Pada tindakan ini penggunaan plastic-sheated

needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling

baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi

darah dari kantung perikard.

Monitoring EKG dapat menunjukkan tertusuknya miokard atau

terjadinya disritmia. Karena luka jantung akan menutup sendiri,

prikardiosintesis akan memperbaiki gejala untuk sementara. Namun

semua penderita dengan prikardiosintesis positif akan memerluka

toakotomi atau median sternotomi untuk pemeriksaan dan perbaikan

cedera jantungnya. Perikardiosintesis mungkin negative karena darah

beku. Untuk pasien ini harus disiapkan tindakan untuk merujuk ke ahli

bedah yang berpengalaman (American College of Surgeons, 2004).

4. Disability

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap

keadaan neurologis secara cepat yang meliputi tingkat kesadaran, ukuran

dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat (level) cedera spinal.

5. Exposure/environmental control

Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara

menggunting, guna memeriksa dan mengevaluasi pasien. Setelah pakaian

dibuka, pasien diselimuti agar tidak hipotermia. Selimut yang digunakan

adalah selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan

intravena yang sudah dihangatkan.

Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus

dikenali, dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga.Tindakan primary

survey adalah bentuk berurutan (sekuensial) sesuai prioritas namun dalam

praktek nya sering dilakukan secara bersamaan (simultan).

F. TORAKOTOMI RESUSITASI

Pijatan jantung tertutup untuk henti jantung atau PEA kurang efektif

pada keadaan penderita yang hipovolemia. Penderita dengan luka tembus

Page 19: Trauma Thorax

toraks yang sampai di rumah sakit tidak teraba denyut nadi tetapi masih ada

aktivitas elektrik miokard merupakan calon untuk torakotomi resusitasi

secepatnya. Seorang ahli bedah yang berpengalaman harus ada ketika

penderita sampai di ruang gawat darurat untuk menetapkan indikasi dan

melakukan operasi yang mungkin akan berhasil (American College of

Surgeons, 2004).

Torakotomi antero-lateral kiri dilakukan untuk mendapatkan akses

langsung ke jantung, sambil meneruskan resusitasi cairan. Intubasi

endotrakeal dan ventilasi mekanik mutlak harus dikerjakan (American College

of Surgeons, 2004).

Penderita dengan cedera tumpul yang sampai di rumah sakit dan tidak

teraba denyut nadi namun masih ada aktivitas elektrik miokard bukan

merupakan indikasi untuk torakotomi resusitasi. Tindakan terapi efektif yang

dapat dikerjakan selama torakotomi adalah (American College of Surgeons,

2004):

1. Evaluasi darah perikard yang menyebabkan tamponade jantung

2. Kontrol langsung sumber perdarahan pada perdarahan intratoraks

3. Pijatan jantung terbuka

4. Klem silang aorta desenden untuk mengurangi kehilangan darah di bawah

diafragma dan meningkatkan perfusi ke otak dan jantung.

Berbeda hasilnya jika ini dilakukan pada cedera tumpul. Banyak

laporan yang mengonfirmasi tidak efektifnya hasil torakotomi di ruang gawat

darurat untuk penderita yang mengalami henti jantung setelah cedera tumpul.

Setelah memberkan terapi bagi cedera yang langsung mengancam nyawa,

perhatian dapat diteruskan ke survey sekunder (American College of

Surgeons, 2004).

G. SECONDARY SURVEY: CEDERA TORAKS YANG POTENSIAL

MENGANCAM NYAWA

Secondary survey membutuhkan pemeriksaan fisik yang lebih dalam

dan teliti. Foto toraks tegak dibuat jika kondisi penderita memungkinkan, serta

pemeriksaan analisis gas darah, monitoring pulse oxymetry, dan EKG. Pada

Page 20: Trauma Thorax

foto toraks harus dinilai pengembangan paru, adanya cairan, ada tidaknya

pelebaran mediastinum. Pada fraktur iga multipel atau fraktur iga I dan/atau

iga II harus dicurigai bahwa cedera yang terjadi pada toraks dan jaringan

lunak di bawahnya sangat berat (American College of Surgeons, 2004).

Delapan cedera toraks yang mungkin mematikan adalah pneumotoraks

sederhana, hemotoraks, kontusio paru, perlukaan percabangan trakeo-bronkial,

cedera tumpul jantung, cedera aorta, cedera diafragma, serta mediastinal

transversing wound. Tidak seperti kondisi yang langsung mengancam nyawa

yang harus dikenal selama primary survey, cedera di atas biasanya dari

pemeriksaan fisisk tidak jelas. Pengenalan membutuhkan indeks kecurigaan

yang tinggi. Cedera-cedera ini sering tidak terdiagnosis saat awal setelah

cedera namun dapat berakibat fatal (American College of Surgeons, 2004).

1. Pneumotoraks sederhana

Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru yang

pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan

permukaan (tekanan naegatif) antara kedua permukaan pleura. Adanya

udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru.

Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps

tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi (American

College of Surgeons, 2004).

Manifestasi Klinis

Suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipersonor.

Foto toraks posisi tegak pada saat ekspirasi akan membantu menegakkan

diagnosis (American College of Surgeons, 2004).

Penatalaksanaan

Terapi terbaik adalah dengan pemasangan chest tube pada SIC IV atau V,

anterior garis midaxillaris. Bila hanya diobservasi atau diaspirasi, maka

akan menimbulkan risiko. Selang dada dihubungkan dengan WSD dan

foto toraks dilakukan lagi untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali

paru.

Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan

pada pnderita dengan pneumotoraks traumatic atau pada penderita yang

Page 21: Trauma Thorax

berisiko terjadi pneumotoraks intra opertaif yang tidak terduga, sampai

dipasang selang dada.

Pneumotoraks sederhana dapat menjadi tension pneumothorax yang

mengancam nyawa. Toraks penderita juga harus didekmpresi sebelum

transpotasi udara (American College of Surgeons, 2004).

2. Hemotoraks

Penyebab utama biasanya laserasi paru, laserasi pembuluh darahinterkostal

atau arteri mammaria interna akibat cedera tajam atau tumpul (American

College of Surgeons, 2004).

Penatalaksanaan

Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks

diterapi dengan selang dada ukuran besar untuk mengeluarkan darah dari

rongga pleura, mengurangi risiko terbentuknya bekuan darah, serta untuk

memonitor kehilangan darah berikutnya.

Bila darah yang dikeluarkan dari selangdada sebanyak 1500 cc atau lebih

dari 200 cc/jam selama 2-4 jam, eksplorasi bedah harus dipertimbangkan

(American College of Surgeons, 2004).

3. Kontusio paru

Merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan

potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan

dan berkembang sesuai waktu, sehingga rencana penanganan definitif

dapat berubah berdasarkan penilaian klinis.Monitoring harus ketat dan

hati-hati (American College of Surgeons, 2004).

Penatalaksanaan

Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 <65 mmHg atau 8,6 kPadalam

udara ruangan, SaO2 <90%) harus dilakukan intubasi dan diberikan

bantuan ventilasipada jam-jam pertama setelah trauma. Beberapa penderita

dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi

endotrakeal atau ventilasi mekanik.

Monitoring analisis gas darah, pulse oxymetry, EKG dan alat bantu

pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi

Page 22: Trauma Thorax

penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi

dan ventilasi terlebih dahulu (American College of Surgeons, 2004).

4. Perlukaan percabangan trakeo-bronkial

Cedera terhadapat trakea dan bronkus utama merupakan perlukaan yang

luar biasa dan berpotensi fatal yang sering terlihat saat penilaian awal.

Perlukaan ini sering disebabkan cedera tumpul dan terjadi pada 1 inchi

dari carina. Kebanyakan penderita meninggal di tempat kejadian. Bila

penderita sampai di rumah sakit, risiko kematian meningkat karena cedera

lain yang menyertai (American College of Surgeons, 2004).

Manifestasi Klinis

Sering ditemukan hemoptisis, emfisema subkutan dan tension

pneumothorax dengan pergeseran mediastinum. Adanya pneuomotoraks

dengan gelembung udara yang banyak pada WSD setelah dipasang selang

dada harus dicurigai adanya cedera ini. Sering dibutuhkan lebih dari satu

selang dada pada kebocoran yang besar. Diagnosis perlukaan ini dibuat

dengan cara bronkoskopi (American College of Surgeons, 2004).

Penatalaksanaan

Jika dicurigai adanya perlukaan trakeobronkial, harus segera dilakukan

konsultasi. Intubasi pada cabang utama bronkus utamam kontralateral

dibutuhkan sementara waktu untuk mencukupi kebutuhan akan oksigenasi.

Intubasi sering mengalami kesulitan karena adanya distorsi anatomi akibat

hematom paratrakeal, akibat cedera orofaringeal yangmenyertai atau

cedera terhadap trakeobronkial sendiri. Untuk penderita seperti ini

diperlukan terapi operatif segera. Untuk penderita yang stabil, terapi

operasi dapat ditunda sampai reaksi radang akut dan edema diserap

(American College of Surgeons, 2004).

5. Cedera tumpul jantung

Cedera ini dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium, atau

ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai dengan

tamponade jantung yang harus diwaspadai saat primary survey. Kadang

tanda dan gejala lambat terjadi bila yang mengalami rupture adalah atrium

(American College of Surgeons, 2004).

Page 23: Trauma Thorax

Manifestasi klinis

Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh tidak nyaman pada

dada, tapi keluhan tersebu juga bisa disebabkan oleh kontusio dinding

dada atau fraktur sternum atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat

ditegakkan dengan inspeksi miokard yangmengalami trauma.

Gejala klinis yang penting adalah hipotensi, gangguan hantaran yangjelas

pada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada

pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi.

Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang menunjukkan suatu infark

miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel premature yang multipel, sinus

takikardi yang tidak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, RBBB dan

perubahan segmen ST sering sitemukan pada EKG.

Pemeriksaan troponin tidak dilakukan pada kontusio miokard karena

konduksi yang abnormal berisiko terjadinya disritmia akut, dan harus

dimonitor pada 24 jam pertama, karena setelah interval tersebut, risiko

disritmia menurun secara bermakna (American College of Surgeons,

2004).

6. Ruptur aorta

Ruptur aorta traumatik sering menyebabkan kematian segera setelah

kecelakaan mobil tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Penderita

dengan ruptur aorta, biasanya laserasi yang terjadi tidak total dan dekat

dengan ligamentum arteriosum (American College of Surgeons, 2004).

Manifestasi Klinis dan penegakan diagnosis

Seringkali gejala atau tanda spesifik tidak ada, namun kecurigaan yang

besar atas riwayat trauma, adanya gaya deselerasi dan temuan radiologis

yang khas diikuti arteriografi merupakan dasar dalam penetapan diagnosis.

Gambaran radiologi di bawah ini dapat digunakan sebagai indikasi adanya

cedera pembuluh darah besar dalam rongga toraks, yaitu

a) Pelebaran mediastinum

b) Obliterasi lengkung aorta

c) Deviasi trakea ke kanan

d) Jendela aorta-arteri pulmonal tidak jelas

Page 24: Trauma Thorax

e) Bronkus utama kiri tertekan ke bawah

f) Deviasi esophagus ke kanan

g) Pelebaran paratrakeal tidak merata

h) Pelebaran paraspinal

i) Pleural/apical cap

j) Hemotoraks kiri

k) Fraktur Iga I/II/scapula

Penatalaksanaan

Terapi yang dilakukan dapat berupa penjahitan primer aorta atau reseksi

dan dipasang graft (American College of Surgeons, 2004).

7. Ruptur diafragma

Lebih sering terdiagnosis pada sisi kiri karena obliterasi hepar pada sisi

kanan, sedangkan usus atau gaster mempermudah diagnosis sisi kiri.

Cedera tumpul menghasilkan robekan besar yang menyebabkan herniasi

organ abdomen. Cedera tajam menghasilkan perforasi kecil yang

memerlukan waktu lamam untuk berkembang menjadi hernia

diafragmatika.

Penegakan diagnosis

Diagnosis dapat terlewatkan jika salah menginterpretasikan foto toraks

sebagai elevasi diafragma, dilatasi gaster akut, pnemotoraks local atau

hematom subpulmonal. Jika curiga laserasi diafragma kiri, NGT harus

dipasang. Jika diagnosis masih tidak jelas, dapat dilakukan pemeriksaan

gastrointestinal bagian atas. Keluarnya cairan peritoneum dari selang dada

juga dapat mengonfirmasi diagnosis.

Penatalaksanaan

Terapinya berupa penjahitan langsung (American College of Surgeons,

2004).

8. Mediastinal transversing wound

Cedera penetrans melintasi mediastinum dapat mencederai struktur utama

di mediastinum.

Penegakan diagnosis

Page 25: Trauma Thorax

Diagnosis ditegakkan bila pemeriksaan fisik yang teliti foto toraks

menunjukkan adanya luka masuk di satu hemitoraks dan luka keluar di

hemitoraks kontralateralnya.

Penatalaksanaan

Konsultasi bedah mutlak dilakukan. Pemasangan selang dada bilateral

harus dilakukan untuk mengatasi hemopneumotoraks dan darah yang

keluar harus diukur. Indikasi torakotomi segera sama dengan indikasi

untuk hemotoraks massif. Terapi umum harus dimulai pada sisi yang

kehilangan darahnya paling banyak. Periksa fungsi neurologi bila peluru

melewati medulla spinalis (American College of Surgeons, 2004).

H. MANIFESTASI CEDERA TORAKS LAIN

Cedera toraks lain yang harus dideteksi selama secondary survey

karena potensial memburuk walaupun tidak mengancam nyawa adalah sebagai

berikut (American College of Surgeons, 2004) :

1. Emfisema subkutis

Dapat disebabkan oleh cedera airway, parenkim paru, atau cedera ledakan.

Ika penderita menggunakan ventilasi dengan tekanan positif maka

pemasangan selang dada dipertimbangkan untuk dipasang pada sisi yang

terdapat emfisema sebagai antisipasi berkembangnya tension

pneumothorax (American College of Surgeons, 2004).

2. Asfiksia traumatik

Tergencetnya toraks akan menimbulkan kompresi yang tiba-tiba dan

sementara terhadap vena cava superior, menimbulkan plethora serta

petekiae yang meliputi badan bagian atas, wajah dan lengan. Dpat terjadi

edema yang berat. Yang harus diterapi adalah cedera penyerta.

3. Fraktur iga, sternum, dan scapula

Fraktur costae dapatbersifat tunggal maupun multipel. Jika multipel,

bentuk dan gerak thoraks mungkin masih memadai atau mungkin tidak.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda nyeri. Nyeri dapat

berupa nyeri local, nyeri kompresi kiri-kanan atau muka-belakang, dan

Page 26: Trauma Thorax

nyeri pada gerak napas. Jika fraktur multiple, biasanya dinding thoraks

tetap stabil, akan tetapi jika beberapa iga mengalami fraktur pada dua

tempat, suatu segmen dinding dada dapat terlepas dari kesatuannya.

Penatalaksanaan

Fraktur costae dengan gerak dada yang masih memadai atau teratur

ditangani dengan pemberian analgesic atau anestetik. Nyeri hars

dihilangkan untuk menjamin pernapasan yang baik atau mencegah

pneumonia akibat gerak napas tidak memadai dan terganggunya batuk

akibat nyeri. Jika pemberian analgesic tidak menghilangkan nyeri, harus

dilakukan anesthesia blok interkostal yang meliputi segmen di kaudal dan

cranial iga yang patah.

Pemasangan bidai rekat (adhesive strapping) tidak bermanfaat walaupun

memberi rasa aman pada penderita. Bidai rekat akan mengganggu

pengembangan rongga dada, mengganggu gerakan napas, dan dapat

menyebabkan dermatitis, sedangkan dalam mengurangi nyeri tidak lebih

baik daripada analgesik (Lukitto, Rachmad, dan Manuaba, 2004).

4. Cedera Tumpul Esofagus

Lebih sering disebabkan oleh cedera tembus. Cedera ini jarang terjadi

namun mematikan jika tidak teridentifikasi

Manifestasi klinis

Gejala klinis seperti rupture esophagus yang erjadi setelah pasien muntah-

muntah. Diagnosis dipertimbangkan pada pada penderita yang:

a) Menderita peneumotoraks atau hemmotoraks kiri tanpa adanya fraktur

iga

b) Mengalami cedera langsung yang berat pada sternum bagian bawah

atau epigastrium dan nyeri atau syok yang tidak proporsional terhadap

cedera yang dialami

c) Adanya sisa makanan pada selang dada setelah darah keluar

Penatalaksanaan

Drainase luas dari rongga pleura dan mediastinum dengan penjahitan

langsung terhadap luka yang terjadi melalui torakotomi jika

memungkinkan.

Page 27: Trauma Thorax

5. Indikasi lain yang membutuhkan pemasangan selang dada

Yaitu penderita dengan keadaan berikut (American College of Surgeons,

2004):

a) Penderita dicurigai cedera paru berat jika dikirim melalui udara atau

darat

b) Penderita yangakan dilakukan anestesi umum untuk terapi cedera lain

dan dicurigai terdapat cedera paru bermakna

c) Penderita yang membutuhkan ventilasi dengan tekanan positifyang

dicurigai adanya cedera dada.

I. PERUJUKAN

Keputusan merujuk didasarkan padakriteria fisiologis, pola perlukaan,

biomekanika trauma, masalah khusus pada pasien.Merujuk pasien

memperhitungkan jarak ke rumah sakit yang diruju, keberadaan tenaga trampil

yang akan mendampingi pasien dan intervensi yang perlu dilakukan. Sebelum

merujuk, atasi kegawatdaruratan yang mengancam nyawa, jika kemungkinan

butuh intervensi bedah, mengusahakan pasien dalam keadaan optimal sebelum

dirujuk, koreksi hemodinamik sebelum dirujuk.Jangan menunda rujukan

dengan melakukan tindakan diagnostic yang tidak perlu dan mengubah

rencana tindakan (ACSCOT, 2008).

Pengelolaan pasien gelisah, tidak kooperatif dengan penurunan

kesadaran dapat sulit diatasi dan berbahaya.Dengan demikian pasien perlu

dipertahankan dengan posisi terlentang, kaki tangan terikat erat. Bila akan

memberi sedative,sebaiknya lakukan intubasi. Sebelum memberi sedative,

sebaikknya pastikan masalah ABCDE sudah teratasi, mengurangi nyeri pasien

dan usaha menenangkan pasien.Komunikasikan rujukan dengan rumahsakit

yang dituju, menyampaikan riwayat medic lengkap pasien, transportasi

disiapkan dengan baik aman sesuai kondisi pasien, ada persetujuan rumahsakit

yang dituju (ACSCOT, 2008).

Pasien diresusitasi agar pasien sestabil mungkin sebagai berikut:

1. Airway : intubasi, suction, NGT jika perlu dan tersedia.

2. Breathing : awasi laju respirasi,beri oksigen

Page 28: Trauma Thorax

3. Circulation : kontrol perdarahan luar, infus 2 jalur, kateter uretra jika tak

ruptur uretra, monitor fungsi jantung.

4. Susunan syaraf pusat :jika tak sadar, beri oksigen, manitol atau diuretik

jika perlu. Imobilisasi kepala, leher, thoraks, vertebra lumbal

5. Pemeriksaan diagnostik : dilakukan bila ada indikasi,namun jangan

menunda perujukan. Beri hasil pada rumah sakit rujukan.

6. Luka : setelah kontrol perdarahan, bersihkan dan perban luka ; profilaksis

tetanus dan antibiotik jika perlu (ACSCOT, 2008).

Page 29: Trauma Thorax

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian non-eksperimental

menggunakan metode survei deskriptif dengan pendekatan cross sectional

untuk mengetahui distribusi frekuensi dan penatalaksanaan trauma thoraks di

RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Subjek penelitian adalah

pasien dengan diagnosis trauma thoraksyang masuk ke RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto, periode Januari 2009 sampai Desember 2012.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

a. Populasi target

Populasi yang menjadi target penelitian kali ini adalahsemua pasien

dengan trauma thoraks.

b. Populasi terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian adalah pasien dengan trauma

thoraks yang mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo

Purwokerto.

2. Sampel

Notoatmodjo (2005), menyebutkan sampel adalah sebagian atau

wakil populasi dari keseluruhan populasi yang diteliti dan dianggap

mewakili.Sampel penelitian merupakan populasi terjangkau yaitu pasien

dengan trauma thoraks yang mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono

Soekardjo Purwokerto yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

a. Kriteria inklusi dan eksklusi

1) Kriteria inklusi meliputi:

Pasien trauma thoraks yang mengunjungi RSUD Prof. Dr.

Margono Soekardjo Purwokerto

2) Kriteria eksklusi

Pasien yang data rekam mediknya tidak ditemukan

Page 30: Trauma Thorax

b. Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling, yaitu

pengambilan seluruh sampel pada populasi terjangkau (Budiarto,

2003).

c. Besar sampel

Berdasarkan informasi dari rekam medik, diperoleh data bahwa

populasi terjangkau sebesar 75 pasien.

C. Pengumpulan Data

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan

cara melihat data sekunder dari rekam medik pasien trauma abdomen yang

masuk ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama periode

Januari 2009 sampai Desember 2012. Data rekam medik pasien diambil dari

bagian Rekam Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari 2012.Rekam medis

dikumpulkan, dianalisis, dan dilakukan tabulasi sehingga dapat diketahui

distribusi frekuensi umur, jenis kelamin, dan penatalaksanaan.

D. Tata Urutan Kerja

1. Pengambilan data sekunder pasien dengan diagnosis trauma thoraks di

rekam medik pasien di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

2. Tahap pengolahan dan analisis data.

3. Tahap penyusunan laporan.

E. Analisis Data

Analisis data merupakan bagian dari suatu penelitian, di mana tujuan

dari analisis data adalah agar diperoleh suatu kesimpulan masalah yang

diteliti. Data yang telah terkumpul dari bagian rekam medik akan diolah dan

dianalisis secara deskriptif.

Analisis data yang digunakan adalah metode analisis

univariat.Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing

variabel berupa distribusi frekuensi dan persentase pada setiap variabel seperti

Page 31: Trauma Thorax

umur, jenis kelamin, dan penatalaksanaan.Analisa data secara deskriptif

disajikan dalam bentuk tabel frekuensi.

F. Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari 2013 di bagian Rekam

Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Puwokerto.

Page 32: Trauma Thorax

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Jumlah Total Kasus Trauma Thorax

Sampel penelitian ini berasal dari pasien trauma thoraks di RSUD

Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto.Penelitian dilakukan selama 8

hari.Penelitian dimulai pada tanggal 7Januari 2013 sampai dengan 18

Januari 2013.Jumlahyang diambil dari pasien ginekologi di RSUD Prof.

Dr. Margono Soekardjo Purwokerto adalah 75sampel. Jumlah pasien yang

dieksklusi sebanyak 11 sampel, 7sampel karena data rekam mediknya

tidak ditemukan dan 4sampel lainnya karena bukan merupakan pasien

trauma thoraks,sehingga diperoleh 64sampel penelitian.

Dari data rekam medis didapatkan jumlah total kasus trauma

thoraxdi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari

2009 sampai Desember 2012 seperti pada tabel 4.1 berikut

Tabel 4.1. Jumlah Total Kasus Pasien Trauma Thoraks di RSMS

Purwokerto Januari 2009-Desember 2012

Tahun 2009 2010 2011 2012 TotalJumlah Kasus 18 13 14 19 64

Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah total pasien trauma

thoraxsebanyak 74 pasien dan yang terbanyak adalah pada tahun 2012.

Sedangkan jumlah penderita terkecil adalah pada tahun 2010.

Page 33: Trauma Thorax

2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin

Jenis kelamin/Tahun

2009 2010 2011 2012 Total

Laki Laki 1688,9%

1184,6%

1276,4%

1263,1%

5179%

Perempuan 211,1%

215,4%

223,6%

736,9%

1321%

Jumlah 18100%

13100%

14100%

19100%

64100%

Dari tabel di atas diketahui bahwa proporsi pasien trauma

thoraxberdasarkan jenis kelamin lebih di dominasi oleh laki-laki sebanyak

51 pasien (79%).

3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia

Tabel 4.3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Variabel Usia

Usia/Tahun 2009 2010 2011 2012 Total

≤ 20 tahun 211,11%

323,07%

214,28%

421,05%

1116,92%

21-40 tahun 844,44%

430,77%

642,86%

736,84%

2538,46%

41-60 tahun 633,33%

538,46%

321,42%

736,84%

2132,3%

>60 tahun 211,11%

17,69%

321,42%

15,26%

710,77%

Jumlah 18100%

13100%

14100%

19100%

65100%

Dari tabel di atas diketahui bahwa proporsi pasien trauma

thoraksberdasarkan usia dengan jumlah tertinggi di dominasi oleh usia 21

– 40 tahun sebanyak 25 pasien (33,85%). Sedangkan untuk jumlah

terendah terdapat pada usia lebih dari 60 tahun sebanyak 7 pasien

(10,77%).

Page 34: Trauma Thorax

4. Jenis Trauma Thorax

Tabel 4.4. Jenis Trauma Thorax

Jenis/Tahun 2009 2010 2011 2012 Total1. Trauma Tumpul

Thoraks8

44,44%

753,85

%

426,67

%

1263,16

%

3147,69

%2. Disertai keadaan

laina. Fraktur Costae 7

38,89%

323,07

%

533,33

%

15,26%

1624,61

%b. Fraktur Clavicula 1

5,56%2

15,38%

- - 34,61%

c. Hemothorax 316,67

%

215,38

%

- 421,05

%

913,84

%d. Pneumothoraks 1

5,56%1

7,69%- 1

5,26%3

4,61%e. Emfisema

Subcutis3

16,67%

17,69%

213,33

%

15,26%

710,77

%f. Contusio Pulmo 2

11,11%

430,76

%

426,67

%

15,26%

1116,92

%g. Contusio jaringan

lunak- 1

7,69%1

6,67%2

10,52%

46,15%

Jumlah 18100%

13100%

15100%

19100%

65100%

Dari tabel di atas didapatkan data bahwa pada tahun 2009, jumlah

pasien terbanyak didominasi oleh pasien dengan trauma tumpul thoraks

tanpa disertai penyulit yang lain, yaitu sebanyak 8 pasien (44% dari

jumlah total pasien trauma thoraks tahun 2009), pada tahun 2010 sebanyak

7 pasien (53,85% dari jumlah total pasien trauma thoraks tahun 2010), dan

pada tahun 2012 sebanyak 12 pasien (63,16% dari jumlah total pasien

trauma thoraks tahun 2012). Sedangkan pada tahun 2012, kasus terbanyak

merupakan kasus trauma thoraks dengan fraktur costae, yaitu sebanyak 5

pasien (33,33% dari jumlah total pasien trauma thoraks tahun 2011).

Page 35: Trauma Thorax

Secara umum, dari seluruh pasien trauma thoraks tahun 2009-2012,

kasus terbanyak merupakan kasus trauma tumpul thoraks tanpa disertai

penyulit yang lain, yaitu sebanyak 31 pasien (47,69%).

Page 36: Trauma Thorax

5. Penatalaksanaan dan Outcome Pasien

Tabel 4.5. Jenis Penatalaksanaan

2009 2010 2011 2012 JumlahKonservatif 14

77,78%11

25%15

100%15

78,95%55

84,61%Invasif (WSD) 4

22,22%2

75%-

0%4

21,05%10

15,39%Jumlah 18

100%13

100%15

100%19

100%65

100%

Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar pasien trauma

thoraks ditangani secara konservatif (medikamentosa), yaitu sebesar 55

pasien (84,61%), sedangkan pasien yang menjalani terapi invasive dengan

pemasangan water seal drainase (WSD) sebanyak 10 orang pasien

(15,39%).

Tabel 4.6. Kondisi Pasien Saat Keluar RSMS

2009 2010 2011 2012 JumlahHidup 18

100%12

92,3%15

100%19

100%64

98,46%Meninggal 0

0%1

7,7%0

0%0

0%1

1,72%Jumlah 18

100%13

100%15

100%19

100%65

100%

Dari tabel di atas diketahui bahwa hampir seluruh pasien pulang

dalam keadaan hidup, yaitu sebanyak 64 pasien (98,46%). Hanya 1 pasien

(1,72%) yang pulang dalam keadaan meninggal.

B. PEMBAHASAN

Jumlah kasus pasien yang mengalami trauma thoraks di RSUD Prof.

Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dari Januari 2009 sampai dengan

Desember 2012 yang menjadi sampel penelitian ini berjumlah 65 pasien.

Jumlah kasus di tahun 2012 mengalami peningkatan yang cukup signifikan

dibandingkan tahun 2010 dan 2011. Jumlah kasus paling sedikit adalah pada

Page 37: Trauma Thorax

tahun 2010 sebanyak 13 pasien, sedangkan jumlah terbanyak pada tahun 2012

sebanyak 19 pasien. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak terkena

trauma abdomen terbukti dengan jumlah penderitanya sebanyak 51 pasien

(79%). Sedangkan untuk usia, kisaran usia 21 - 40 tahun paling banyak

terkena trauma thoraks terbukti dengan jumlah penderitanya sebanyak 25

pasien (33,85%)dan kisaran usia diatas 60 tahun terbukti paling sedikit

mengalami trauma thoraks dengan jumlah penderitanya sebanyak 7 pasien

(10,77%).

Jumlah sampel yang mendapat penatalaksanaan invasif water seal

drainase (WSD) pada tahun 2009 sebanyak 4 pasien (22,22%), tahun 2010

sebanyak 2 pasien (75%), tahun 2012 sebanyak 4 pasien (21,05%) dan tahun

2011 tidak ada sampel yang ditatalaksana dengan WSD. Sehingga jika

dijumlahkan besarnya sampel yang mendapat penatalaksanaan invasif WSD

dari tahun 2009-2012 adalah sebanyak 10 pasien (15,39%). Dari jumlah

tersebut, 7 orang pasien terindikasi WSD karena hemothorax, 2 orang pasien

karena hematopneumothoraks, dan 1 orang pasien karena efusi pleura dengan

pneumothoraks.

Jumlah sampel dengan penatalaksanaan non-invasif (konservatif) pada

tahun 2009 sebanyak 14 pasien (77,78%), tahun 2010 sebanyak 11 pasien

(25%), tahun 2011 sebanyak 15 pasien (100%), dan tahun 2012 sebanyak 15

pasien (78,95%). Sehingga jika dijumlahkan besarnya sampel yang mendapat

penatalaksanaan konservatifdari tahun 2009-2012 adalah sebanyak 55 pasien

(84,61%). Penatalaksanaan konservatif yang diberikan meliputi terapi cairan,

oksigen yang adekuat, analgesik, dan antibiotik.

Dari 65 sampel yang diambil dari tahun 2008 – 2012, kondisi pasien

yang keluar RSMS dengan kondisi meninggal hanya sebanyak 1 pasien

(1,72%) dibandingkan dengan yang keluar RSMS dengan kondisi hidup

sebanyak 64 pasien (98,46%)

Page 38: Trauma Thorax

BAB V

KESIMPULAN

Trauma toraks adalah suatu cedera pada toraks, bisa disebabkan oleh luka

tumpul atau luka tusuk yang bisa mengakibatkan kerusakan pada organ dalam

thorax.Trauma thorax yang tidak diketahui (luput) masih tetap menjadi momok

sebagai penyebab kematian yang seharusnya bisa dicegah (preventable death).

Berdasarkan klasifikasinya trauma toraks dibagi menjadi trauma akibat

kompresi, ledakan/penghancuran, dan trauma akibat deselerasi. Penilaian terhadap

trauma toraks bisa didapatkan primary survey maupun secondary survey.

Penatalaksanaan pada pasien trauma toraks pada awalnya selalu

melakukan penilaian awal (initial assessment) terutama terhadap airway,

breathing dan circulation. Pada pasien dengan trauma toraks, penanganan harus

dilakukan dengan agresif dan alur penatalaksanaannya tergantung dari jenis

traumanya. Diagnosis yang tepat tidak terlalu dibutuhkan, yang penting adalah

adanya indikasi untuk tindakan invasive .Sehingga selanjutnya penatalaksanaan

trauma toraks dibagi menjadi konservatif atau invasif.

Pasien trauma toraks di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

periode Januari 2008-Mei 2012 berjumlah 65 pasien dengan mayoritas berjenis

kelamin laki-laki sebesar 79% dan berada pada rentang usia 21-40 tahun sebesar

33,85%. Dari 65 pasien yang dijadikan sampel, 31 pasien diantaranya mengalami

trauma tumpul thoraks tanpa disertai penyulit yang lain atau sebesar 47,69%.

Sebanyak 55 pasien (84,61%)mendapat penatalaksanaan konservatif, sedangkan

10 orang (15,39%) sisanya mendapatkan terapi invasif berupa WSD atas indikasi

tertentu. Dari 65 sampel yang diambil dari tahun 2009 – 2012, kondisi pasien

yang keluar RSMS dengan kondisi meninggal sangat sedikit sekali jika

dibandingkan dengan pasien yang pulang hidup yaitu hanya sebanyak 1 pasien

(1,72%).

Page 39: Trauma Thorax

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons Committee on Trauma (ACSCOT). 2008.

Rujukan. Dalam: Advanced Trauma Life Support for Doctors, ATLS

Student Course Manual . Eight Edition. Chicago.

American College of Surgeons. 2004. Cedera Toraks. Dalam: Advanced Trauma

Life Support fo Doctors. Chicago.

Budiarto, E. 2003.Metodologi Penelitian Kedokteran. EGC, Jakarta. 1-230 hal.

Eyolfson, D. 2010. Thoracic Injuries.Paramedic Association of Canada.4-18.

Hunt, P.A., I. Greaves, dan W.A. Owens. 2006. Emergency Thoracotomy in

Thoracic Trauma-A Review. International Journal of The Care of The

Injured. 37: 1-19.

Kaewlai, R., L.L. Avery, A.V. Asrani, dan R.A. Novelline. 2008. Multidetector

CT of Blunt Thoracic Trauma. Radiographics.28:1555-70.

Lukitto, P., K.B. Rachmad, dan T.W. Manuaba. 2004. Dinding Thoraks dan

Pleura.Hal. 4040-14. Dalam : W. Karnadihardja, R. Sjamsuhidajat. Dan

W. de Jong (Eds.). Buku Ajar Ilmu Bedah.EGC, Jakarta.

Martini, Ric. 2000. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Pearson Company.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta,

Jakarta. 79.

Wanek, S. and J.C. Mayberry. 2008. Blunt Thoracic Trauma. Critical Care

Clinics. 20: 71-81.