tranlate ebv

18
The Epstein-Barr virus encoded cytokine viral interleukin-10 enhances transformation of human B lymphocyte Sitokin Viral Interleukin-10 yang dikodekan virus Epstein Barr meningkatkan transformasi sel limfosit B manusia Amanda D. Stuart, James P. Stewart, John R. Arrand and Mike Mackett Infeksi limfosit human B dengan virus Epstein-Barr secara in vitro berdampak pada transformasi pertumbuhan dan pembentukan lini sel limfoblastoid imortal. Virus tersebut ditemukan mengkode homolog dari sitokin pleitropik IL-10 yang memiliki efek luas pada sistem kekebalan. Kami telah meneliti efek viral faktor pertumbuhan pada EBV yang dapat membuat sel limfosit B imortal dari tonsil dan darah dewasa dan neonatus. IL-10 rekombinan viral dapat meningkatkan transformasi pertumbuhan sel B dari ketiga populasi yang terinfeksi kedua virus, baik type 1 strain B95-8 yang memiliki kecenderungan transformasi tinggi atau tipe 2 strain BL16 yang kurang efisien. Peningkatan mencolok pada kemampuan transformasi pada kehadiran IL-10 viral sebagian mungkin diakibatkan oleh meningkatnya viabilitas sel B selama infeksi dan penurunan kadar interferon-γ, Alfa sitokin telah diketahui dapat menghambat transformasi EBV. Dengan demikian IL- 10 viral mempengaruhi beberapa tipe sel pada sistem kekebalan yang dapat memungkinkan terjadinya peningkatan pertumbuhan pada sel EBV yang bertransformasi. Pendahuluan

Upload: triadinda

Post on 18-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

ebv

TRANSCRIPT

The Epstein-Barr virus encoded cytokine viral interleukin-10 enhances transformation of human B lymphocyte Sitokin Viral Interleukin-10 yang dikodekan virus Epstein Barr meningkatkan transformasi sel limfosit B manusiaAmanda D. Stuart, James P. Stewart, John R. Arrand and Mike Mackett

Infeksi limfosit human B dengan virus Epstein-Barr secara in vitro berdampak pada transformasi pertumbuhan dan pembentukan lini sel limfoblastoid imortal. Virus tersebut ditemukan mengkode homolog dari sitokin pleitropik IL-10 yang memiliki efek luas pada sistem kekebalan. Kami telah meneliti efek viral faktor pertumbuhan pada EBV yang dapat membuat sel limfosit B imortal dari tonsil dan darah dewasa dan neonatus. IL-10 rekombinan viral dapat meningkatkan transformasi pertumbuhan sel B dari ketiga populasi yang terinfeksi kedua virus, baik type 1 strain B95-8 yang memiliki kecenderungan transformasi tinggi atau tipe 2 strain BL16 yang kurang efisien. Peningkatan mencolok pada kemampuan transformasi pada kehadiran IL-10 viral sebagian mungkin diakibatkan oleh meningkatnya viabilitas sel B selama infeksi dan penurunan kadar interferon-, Alfa sitokin telah diketahui dapat menghambat transformasi EBV. Dengan demikian IL-10 viral mempengaruhi beberapa tipe sel pada sistem kekebalan yang dapat memungkinkan terjadinya peningkatan pertumbuhan pada sel EBV yang bertransformasi.PendahuluanEpstein-Barr virus adalah virus human -herpes yang bersifat universal. Infeksi inisial pada usia muda biasanya asimtomatik dan lebih banyak di negara berkembang, dimana infeksi primer dihambat sehingga penyakit ini bermanifestasi sebagai mononukleosis infeksius (Henle dan Henle, 1979). Infeksi EBV dikaitkan dengan kejadian kanker termasuk limfoma Burkitt (Geser et al., 1983), karsinoma nasofaring (de The, 1980), limfoma Hodgkin (Mueller et al., 1989) maupun penyakit limfoproliferatif B meningkat pada individu immunocompromized.Neoplasia tersebut menggambarkan tropisme jaringan virus yang potensial untuk menginfeksi kedua sel epitel (Sixbeys et al., 1984) dan limfosit B (Pope et al., 1968). Infeksi limfosit B dengan EBV berdampak pada pembentukan masa laten jangka panjang. Selama masa laten virus mengekspresikan sejumlah protein dan dua molekul RNA kecil pada sel B (EBERs-Arrand et al., 1989). Pada masa laten tipe I yang terdapat pada limfoma Burkitt dan pada darah tepi individu yang seropositif terhadap EBV (Tierney et al., 1994) hanya protein EBNA1 dan EBERs yang terdeteksi; EBNA1 dibutuhkan untuk mempertahankan genome virus melalui divisi sel subsekuen dan sel yang terinfeksi menunjukkan resting phenotype. Sepuluh protein viral diekspresikan selama masa laten tipe III, termasuk didalamnya 6 antigen nuklear: EBNA1, EBNA2, EBNA3a, EBNA3b, EBNA3c dan EBNA-LP, BARF0 dan 3 protein membran LMP1, LMP2A dan LMP2B. Limfosit B yang mengekspresikan protein laten EBV secara lengkap memperlihatkan fenotip teraktivasi dengan tingkat high surface HLA kelas II, CD23 dan CD54 (ICAM-1) (Wang et al., 1987; Alfiere et al., 1991; Kieff dan Liebowitz, 1990).Infeksi limfosit B manusia dengan virus Epstein-Barr secara in vitro berdampak pada transformasi pertumbuhan dan pembentukan lini sel limfoblastoid imortal yang mengekspresikan 10 protein laten dan menunjukkan fenotip yang teraktivasi.Dua subtipe EBV yang ada di populasi dideterminasi dengan variasi signifikan pada EBNA2, EBNA3, dan EBERs (Adldinger et al., 1985; Arrand et al., 1989; Rowe et al., 1989). Virus tipe 1 memiliki kecenderungan bertransformasi (prototip strain tipe I adalah B95-8, strain laboratorium yang sering digunakan), dan virus tipe 2 yang lebih kurang efisien dalam bertransformasi. Perbedaan kemampuan transformasi dikaitkan dengan variasi pada sekuensi koding EBNA2 (Rickinson et al., 1987), walaupun variasi sekuensi pada EBNA3a dan EBNA3c dapat berkontribusi (Rowe et al., 1989).Open reading frame EBV, BCRF1 memberikan homologi sekuens ekstensif dengan sitokin IL-10 (IL10; Moore et al., 1990). Sebagai tambahan, produk dari BCRF1 dan IL-10 secara fungsional merupakan analog dan oleh karena itu produk BCRF1 dinamakan IL-10 viral (vIL-10). Baik IL-10 maupun vIL-10 dapat meregulasi fungsi berbagai tipe sel dalam sistem kekebalan, termasuk sel limfoid dan mieloid. Fungsi ini termasuk deaktivasi makrofag, inhibisi sintesis sitokin oleh CD4, Sel T helper, dan proliferasi dan diferensiasi sel B teraktivasi (untuk ulasan lihat Moore et al., 1993). Fungsi vIL-10 pada siklus hidup EBV masih belum diketahui, walau demikian dengan menggunakan open reading frame rekombinan EBV yang kekurangan VIL-10, dapat ditunjukkan bahwal vIL-10 tidak esensial untuk tranformasi sel B secara in vitro (Swaminathan et al., 1993). vIL-10 diekspresikan di akhir fase produktif dalam siklus hidup EBV, saat partikel virus diproduksi (Steward dan Rooner, 1992; Stewart et al., 1994). Oleh karena itu vIL-10 berperan sebagai faktor patogenesis in vivo dimana repilkasi produktif berlangsung dan vIL-10 ada selama infeksi inisial sel B. pada percobaan, kami mencoba meniru situasi in vitro dengan menambahkan rekombinan vIL-10 eksogen selama transformasi sel B. limfosit B tonsiler yang telah dimurnikan, sel mononuklear perifer dewasa, dan sel darah mononuklear neonatal digunakan pada pengujian transformasi dengan EBV tipe 1 dan tipe 2. Pengujian ini digunakan untuk menilai efek vIL-10 eksogen pada kemampuan EBV untuk merubah limfosit B dari beberapa populasi sel yang berbeda dan penelitain lebih lanjut dilakuan untuk mempelajari mekanisme aksi vIL-10 dalam pengujian tersebut. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa vIL-10 meningkatkan transformasi sel B dari ketiga populasi dan mekanisme yang paling mungkin termasuk meningkatkan viabilitas sel dan inhibisi sekresi interferon-.HasilEfek VIL-10 rekombinan pada transformasi EBVEfek vIL-10 pada transformasi sel B oleh EBV dipelajari menggunakan fetal cord blood mononuclear cells (CBMC), sel mononuklear darah tepi dewasa (PMBC) dari donor dengan EBV seronegatif dan sel B tonsiler yang dimurnikan. Populasi sel ini digunakan karena tidak mengandung sel kekebalan yang dapat memediasi regresi sel B yang baru bertransformasi. Sel diinfeksi dengan EBV tipe 1 strain B95-8 yang memiliki kecenderungan transformasi tinggi atau tipe 2 strain BL16 yang kurang efisien. Untuk meniru situasi in vivo, sel yang terinfeksi diberi nutrisi dengan media yang mengandung vIL-10 hanya pada minggu pertama dan yang hanya dengan media. Metode ini berhasil pada pengujian yang diberikan vIL-10 selama periode, walau demikian dari pengujian tersebut dapat disimpulkan vIL-10 aktif hanya 5 hari dalam kultur dan hanya efektif diberikan hanya pada minggu pertama. Pengujian dipertahankan selama 6 minggu dan dinilai setiap minggu untuk menilai adanya multipel fokus yang bertransformasi seperti yang dideskripsikan oleh Moss dan Pope (1972). Keberadaan transformasi yang spesifik EBV sebagai lawan dari aktivasi nonspesifik dikonfirmasi dengan imunostaining pada fokus dengan antibodi monoklonal terhadap EBNA2 dan kemudian fokus yang bertransformasi tersebut digunakan untuk membentuk lini sel limfoblastoid jangka panjang yang menahan pewarnaan postif dengan anti EBNA2 antibodi monoklonal selama 6 bulan post infeksi.Set awal eksperimen digunakan CBMC. Pada konsentrasi virus tertinggi, bukti transformasi termediasi B95-8 jelas setelah 1 minggu terlepas dari kehadiran vIL-10, meskipun fokus tampaknya lebih sedikit dan lebih kecil dalam ketiadaan sitokin. Perbedaan dalam ukuran dan frekuensi tetap terjadi sepanjang pengujian. Gambar 1 C menunjukkan contoh fokus B95-8-bertransformasi tanpa adanya vIL-10 pada 5 minggu post-infeksi. Dengan adanya vIL-10, seperti dapat dilihat pada Gambar ID, lebih banyak fokus bertransformasi yang lebih besar. EBV Strain BL16 EBV kurang efisien dalam mengubah CBMC. Dengan tidak adanya vlL10, fokus tidak muncul sampai 2 minggu post-infeksi dan jika ada, focus hanya sedikit dan kecil ukurannya. Namun, dengan adanya vIL-10, fokus yang, dalam semua kasus, tampak jelas setelah hanya 1 minggu selama kultur. Gambar 1 A dan B menunjukkan contoh CBMC bertransformasi dengan BLl6 EBV pada 5 minggu post-infeksi. Dapat dilihat bahwa fokus pada media tanpa vIL-10 Gambar 1A) sangat kecil dan sedikit jumlahnya dibandingkan fokus dalam media yang diberi vIL-10 (Gambar 1B). Fokus yang bertransformasi ditunjukkan pada Gambar 1 berasal hanya dari konsentrasi virus tertinggi. Gambar 2 menunjukkan hasil yang diperoleh dengan menggunakan berbagai konsentrasi virus. Dengan tidak adanya vIL-10, baik B95-8 dan BL16 virus dapat dititrasi ke titik akhir di mana transformasi tidak dapat lagi dilihat. Dengan adanya vIL-10, transformasi dapat diamati pada semua konsentrasi virus yang diujikan, meskipun pada konsentrasi rendah fokus cenderung lebih sedikit dan lebih kecil.PBMC dan sel B tonsil murni digunakan dalam percobaan selanjutnya untuk pengujian transformasi. efek yang diamati pada umumnya sama dengan yang ditemukan dengan CBMC, kecuali bahwa penambahan vIL-10, dalam hal ini memiliki efek yang lebih nyata. Dalam hal ini transformasi dengan B95-8 EBV tanpa vlL-10 tidak muncul sampai 2 minggu post-infeksi, sedangkan dengan adanya sitokin fokus menjadi lebih jelas, di semua konsentrasi virus, 1minggu lebih cepat. Gambar 1 E dan G menunjukkan contoh PBMC yang bertransformasi dan sel B tonsil masing-masing tanpa vIL-10 4 minggu setelah infeksi. jelas dapat terlihat bahwa ukuran dan frekuensi fokus ini jauh lebih sedikit daripada yang diberikan vlL-10 (Gambar 1F dan H).Seperti halnya CBMC, vlL-10 meningkatkan transformasi dari PBMC pada kisaran konsentrasi virus. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3A dan B, dimana transformasi terlihat pada konsentrasi virus tertinggi hanya tanpa adanya vIL-10. Namun, dengan adanya vIL-10, fokus bertransformasi tampak jelas pada semua konsentrasi virus yang diuji, meskipun berbeda dengan CBMC hal ini dapat dititrasi ke titik akhir. Aktifitas biologis VIL-10 bisa dinetralkan dengan penambahan protein fusi glutathione-S-transferase anti-sera raised vIL-10 (data tidak ditampilkan). Hasil di atas menunjukkan bahwa vIL-10 memiliki efek meningkatkan transformasi sel B manusia dengan EBV.Pengaruh virus vIL-10 terhadap viabilitas sel selama infeksi EBVKami selanjutnya meneliti mekanisme potensial dimana vIL-10 dapat meningkatkan proses transformasi. Interleukin- 10 sebelumnya telah terbukti meningkatkan viabilitas sel B resting murine dalam dose dependent manner (Go et al., 1990). Untuk mempelajari efek dari vIL-10 terhadap viabilitas sel yang terinfeksi dengan EBV tipe I dan tipe 2, sel B tonsil, CBMC dan PBMC diinfeksi B95-8 dan BL16 dan viabilitas dinilai menggunakan trypan blue. Sel-sel viabel muncul tidak terwarna dengan pewarna dan memiliki morfologi bulat. Seperti dapat dilihat pada Gambar 4 viabilitas kelompok kontrol yang tidak terinfeksi dalam tiga populasi sel berkurang menjadi antara 5 - 10% setelah 3 hari. Infeksi EBV sebagian bisa menyelamatkan beberapa sel-sel ini, dengan meningkatkan kelangsungan hidup sel hingga 20 - 40% dan dengan penambahan vIL-10 sel yang terinfeksi menghasilkan peningkatan kelangsungan hidup hingga 80- 90% dari sel-sel dan tetap bertahan setelah 3 hari pasca infeksi. Hasil ini menunjukkan bahwa satu mekanisme yang mungkin dari vIL-I0 adalah untuk meningkatkan viabilitas sel selama EBV infeksi. Pengaruh vIL-10 pada sekresi interferon-telah ditunjukkan sebelumnya bahwa transformasi EBV sangat rentan terhadap efek anti-virus interferon- (IFN-y) (Lotz dkk., 1985) dan bahwa sitokin ini diproduksi pada konsentrasi tinggi selama infeksi in vitro PBMC dengan EBV (Whittingham et al., 1993). Karena vIL-10 dapat menekan produksi IFN-gamma, dari sel T helper aktif dan sel natural killer (NK) (Hsu et al., 1990), kami memperkirakan produksi IFN-y selama infeksi EBV dari CBMC dan PBMC menggunakan capture ELISA spesifik. Supernatan dipanen 1 minggu post infeksi saat tingkat IFN-y tertinggi (Whittingham dkk., 1993) dan efek vIL-10 pada IFN- endogen dipelajari. Seperti ditunjukkan pada Gambar 5A, PBMC terinfeksi EBV merespon dengan memproduksi interferon-, produksi sitokin ini berkurang ketika vIL-10 ditambahkan ke dalam kultur. vIL-10 menghambat sintesis TFN sebesar 70% dan 60% untuk masing-masing B95-8 dan BL16. infeksi CBMC dengan kedua EBV tipe 1 dan tipe 2 menghasilkan IFN- dalam jumlah minimal.Variasi sekuens vIL-10 open-reading frame Untuk menghilangkan kemungkinan perbedaan fungsional pada Open reading frame (ORF) vIL-I0, kami melakukan sequencing ORF vIL-10 dari sejumlah strain EBV, dengan menggunakan amplifikasi polymerase chain (PCR) untuk memperkuat bagian DNA virus yang mengandung ORF dan kemudian langsung dilakukan sequencing pada produk PCR menggunakan sequencer otomatis ABI (seperti yang dijelaskan oleh Wrightham et al., in press). hasil ditunjukkan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada variasi di sekuens BCRFI antara salah tipe I virus (jika dibandingkan B95-8 terhadap DNA virus yang berasal dari lini sel langsung). Meskipun ada perbedaan di tingkat nukleotida untuk virus tipe 2, ini tidak menghasilkan perubahan dalam sekuens asam amino dari protein, sehingga baik EBV tipe 1 dan tipe 2 EBV mengkode viral IL-10 yang fungsional. Diskusi Hasil dari penelitian kami jelas menunjukkan kemampuan VIL-10 untuk meningkatkan transformasi virus Epstein-Barr limfosit B manusia. sejumlah populasi sel yang digunakan dalam pengujian transformasi: darah mononuclear plasenta neonatus, sel mononuklear darah tepi dewasa dari donor seronegatif dan sel B tonsiler yang dimurnikan. Dalam setiap kasus penambahan vIL-10 secara dramatis meningkatkan kemampuan transformasi dari virus. Namun tampak perbedaan sejauh mana vIL-10 meningkatkan transformasi. kedua EBV tipe I dan tipe 2 mengubah sel mononuclear plasenta neonatus di berbagai pengenceran virus. B95-8 (tipe I) Apakah lebih efisien daripada BL16 (tipe 2) di pengenceran virus yang lebih tinggi karena variasi fungsional pada EBNA 2 (Rickinson et al., 1987) dan dimungkinkan EBNA3a dan b (Rowe et al., 1989). Penambahan vIL-10 pada pengujian meningkatkan kemampuan transformasi dari kedua virus sehingga transformasi 100% bisa terlihat di semua pengenceran virus. Sebaliknya, transformasi dari PBMC dan sel B dimurnikan hanya jelas pada pengenceran virus terendah tanpa vIL-10; adanya vIL-10 di pengujian secara nyata meningkatkan ukuran dan frekuensi fokus di berbagai pengenceran. Pengujian transformasi yang melibatkan sel B tonsil yang dimurnikan menghasilkan hasil yang sama dengan yang terlihat pada PBMC. Hal ini kemungkinan besar karena kontaminasi sel T sisa pada persiapan sel B yang akan menyediakan baik sitokin dan efek anti-virus yang dimediasi sel.Perbedaan terlihat pada tes transformasi yang dapat dijelaskan sebagian oleh variasi dalam respon kekebalan yang dihasilkan oleh populasi sel yang berbeda dalam merespon infeksi EBV. Sejumlah sitokin seperti interleukin-2, interferon-, interleukin-6 dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor meningkat sebagai respon terhadap infeksi EBV pada PBMC (Whittingham al ef., 1993). Namun demikian sel mononuclear plasenta tampaknya kekurangan produksi sejumlah sitokin termasuk IFN-, IL-4, IL-5 dan IL-10 (Kruse et al, 1993.); juga kekurangan jumlah yang sigifikan dari CD8 sitotoksik dan sel T memori CD45RO+ (Roncarlo et al., 1994). Telah dibuktikan bahwa CBMC refrakter terhadap efek anti-virus interferon- (Thorley-Lawson, 1981). Dalam tes kami tingkat IFN- diproduksi sebagai hasil dari infeksi EBV pada PBMC sebanding dengan yang diterbitkan sebelumnya. Penambahan vIL-10 mengurangi ekspresi ini sebesar antara 60 - 70%. Limfosit pada darah tali pusat dinyatakan memiliki jumlah IFN- yang kurang secara signifikan seperti yang ditemukan untuk rangsangan lain seperti PHA dan antibody monoklonal antiCD3 (Roncarlo et al., 1994).Perbedaan dalam ukuran dan frekuensi fokus transformasi antara PBMC dan memiliki peran penting bagi IFN-y dalam pengendalian infeksi EBV. Ini telah disimpulkan dari penelitian yang menunjukkan bahwa sel B terinfeksi EBV sangat sensitif terhadap efek anti-virus IFN-gamma (Lotz dkk., 1985) dan juga menunjukkan salah satu fungsi utama dari vIL-10 adalah untuk menghambat produksi sitokin ini selama transformasi. Gen lain yang dikodekan EBV juga ditemukan mampu memodulasi ekspresi sitokin. produk protein BZLFI (Z transactivator) baru-baru ini terbukti meningkatkan ekspresi TGF-F1 (Cayrol dan Flemington, 1995), sebuah imunosupresor yang poten. Tumor necrosis factor alpha, sitokin yang bersinergi dengan interferon- untuk menghasilkan keadaan anti-virus, dihambat pada tingkat transkripsi pada infeksi EBV pada monosit manusia (Gosselin et al, 1991.), penghambatan ini membutuhkan protein ekspresi laten. Telah dilaporkan bahwa produksi IL-10 manusia diinduksi dalam terhadapa infeksi EBV pada limfosit B secara in vitro (Burdin et al., 1993) dan bahwa LMP-1 bertanggung jawab pada induksi ini (Nakagomi et al., 1994). Sel B yang terinfeksi EBV dapat diinduksi untuk mengeluarkan sejumlah besar IL-10 manusia (4-9 ng ml) ke media, dengan protein yang pertama muncul pada 3-4 hari post infeksi dan memuncak pada 14 hari post infeksi. Rentang waktu ini konsisten dengan persyaratan untuk vIL-10 selama tahap awal infeksi saja, setelah waktu dimana sel berubah menghasilkan sitokin mereka sendiri untuk mendukung pertumbuhan mereka. Tingkat vIL-10 yang d digunakan dalam pengujian kami adalah 10 kali lipat lebih tinggi dari ini, tetapi dalam mikro-environment sekeliling sel yang terinfeksi dimungkinkan bahwa konsentrasi local vIL-10 bisa melebihi nilai ini melalui interaksi dengan cell surface glycosaminoglycans (GAG) seperti heparin atau heparan sulfat (hasil penelitian kami yang tidak dipublikasikan menunjukkan kemampuan vIL-10 untuk berinteraksi dengan kedua GAG tersebut).Peningkatan kelangsungan hidup sel selama infeksi EBV dengan vIL-IO kemungkinan besar karena penghambatan apoptosis, seperti resting B cell yang biasanya EBV infeksi sangat rentan terhadap mekanisme kematian sel terprogram. Aktivitas ini telah dijelaskan sebelumnya untuk IL-10 dengan activated human T cells (Taga et al., 1993).Peran pasti vIL-10 masih belum jelas, studi yang lalu menggunakan model in vitro telah mengusulkan dua teori bertentangan. Swaminathan et al. (1993) menggambarkan penggunaan EBV rekombinan kurang menyediakan open reading frame untuk vIL-10. Penghapusan ORF vIL-10 ORF tidak berpengaruh pada kemampuan transformasi virus jika dibandingkan dengan tipe virus liar, tetapi reaktivasi lini sel limfoblastoid bertransformasi dengan virus mutan mengakibatkan induksi tingkat interferon- yang lebih besar. Tidak adanya perbedaan transformasi dengan EBV tipe liar dibandingkan dengan delesi mutan vIL-10 mungkin menghasilkan fakta bahwa tes ini sudah dioptimalkan untuk transformasi, sedangkan tes kami digunakan berbagai konsentrasi virus suboptimal untuk menyelidiki aktivitas vIL-10 selama transformasi. Data kami mengenai penghambatan sintesis IFN-gamma dengan penambahan vIL-10 untuk tes transformasi, mendukung kesimpulan bahwa vIL-10 dapat menekan setiap respon imun pada infeksi EBV secara in vivo.Miyzaki et al. (1993) mendeskripsikan peran penting vIL-10 selama proses transformasi dengan menggunakan oligonukleotida antisense untuk menghambat produksi protein dan meyakinkan bahwa protein yang terekspresi pada awal setelah infeksi dan dengan demikian merupakan true gene latency. Ekspresi vIL-10 sebelumnya telah dibuktikan pada waktu akhir selama fase produktif siklus replikasi virus (Hudson et al, 1985.; Stewart dan Rooney 1992; Stewart et al., 1994) dengan tidak terdeteksinya protein yang diproduksi oleh sel yang telah terinfeksi laten. Hasil kami mendukung peran vIL-10 selama proses transformasi itu sendiri, namun data dari Swaminathan et al. (1993) mengemukakan bahwa protein tersebut ternyata tidak penting untuk transformasi dan protein tersebut bertindak sebagai faktor patogenesis dengan meningkatkan transformasi selama infeksi limfosit B dengan jumlah virus sub-optimal. Hasil kami, bersama dengan data yang diterbitkan sebelumnya, mengusulkan model yang ditunjukkan pada Gambar 6 untuk menggambarkan kemungkinan peran vIL-10 selama kehidupan siklus hidup EBV. vIL-10 dapat bertindak dalam dua cara: untuk meredam setiap respon imun awal terhadap infeksi dan juga meningkatkan proses transformasi itu sendiri. Kegiatan yang telah menunjukkan bahwa vIL-10 dapat berguna dalam beberapa aplikasi praktis. Ini memungkinkan pemulihan titer rendah pada EBV tipe 1 dan, yang lebih penting, EBV tipe 2 dari darah atau sampel klinis, EBV tipe 2 sangat sulit untuk dipisahkan dari sampel karena kemampuan transformasinya rendah. VIL-10 juga mungkin berguna untuk membangun lini sel sel spontan dari individu dengan EBV seropositif, dimana replikasi awal virus endogen diperlukan dan tidak mudah berkembang dari sel transformasi yang ada (Rickinson dan Epstein 1975). VIL-10 tampaknya memainkan peran penting dalam pembentukan dan pemeliharaan keadaan carrier EBV yang ditemukan pada individu seropositif melalui kemampuannya meningkatkan transformasi sel B selama infeksi awal dan untuk menekan setiap respom kekebalan yang timbul dari infeksi ini atau dari reaktivasi virus.Bahan dan metode Ekspresi viral interleukin-10 BCRFI dikloning, menggunakan teknik konvensional (Sam sungai et al., 1989), sebagai fragmen RsaI untuk menghapus sinyal sekuens N-terminal dari protein ke dalam PMAL-c2 (New England Biolabs) vector ekspresi prokariotik. Hal ini menciptakan protein fusi dengan maltosa binding protein (MBP) yang dapat dimurnikan dengan menggunakan afinitas kromatografi dengan resin amilosa, seperti yang dijelaskan oleh produsen. Setelah pembelahan dari MBP dengan pembatasan Faktor Xa protease, viral interleukin-10 Lebih lanjut dimurnikan menggunakan kolom agarosa heparin. vIL10 yang telah dibelah dielusi dari kolom heparin dengan 300 mM NaCl dan menghasilkan solusi protein dengan kemurnian sekitar 90%. Sel dan virus Sampel darah tali pusat diperoleh dari neonatus dan disediakan oleh Dr Fiona Clarke (Departemen Imunologi, Paterson Institute, Rumah Sakit Christie, Manchester). Eritrosit darah tali pusat diendapkan dengan menggunakan 6% (b / v) dekstran (250 000 mol.wt., ICN) (Walls dan Crawford, 1987). Eritrosit tanpa sel mononuclear kemudian diisolasi dengan sentrifugasi densitas dengan Lymphocyte Separation Medium (LCN). Sel mononuclear darah perifer (PBMC) diisolasi dari sampel darah heparinized dari donor sehat yang EBV seronegatif dengan sentrifugasi melalui LCN. Sel B tonsil yang diberikan oleh Diane Johnson (Departemen Regulasi Gen, Paterson Institute, Manchester) dan disiapkan dengan menggunakan metode yang telah dijelaskan sebelumnya (Wei ner dkk., 1973). Stok konsentrasi virus B95-8 (Miller et al., 1972) dan BLI6 (Lenoir et al., 1985) disusun dengan menginduksi lini sel untuk replikasi siklus litik. Kultur supernatan disentrifugasi dan disaring untuk menghilangkan kotoran sebelum dipekatkan 100 kali lipat menggunakan Hollow Fibre & TurboTube Ultrafiltration Cartridge dengan berat molekul eksklusi 500.000 Da (A / G Technology Corporation).Tes transformasi Tes Transformasi dilakukan seperti yang dijelaskan sebelumnya (Wallsdan Crawford, 1987), secara singkat sel monokluear atau sel B tonsil dimurnikan ditempatkan pada kepadatan 1x 106 sel per ml dalam 96 plate kultur jaringan sehat (Falcon) dan diinfeksi dengan pengenceran serial 10 kali lipat baik B95-8 atau BLl6 (B95-8: 10-3 10-7 dan BLI6: 2x 10- 1 -- 2 x 10-5). Enam ulangan dari setiap virus yang diencerkan disiapkan tanpa 10 ng ml-1 rekombinan vIL-10 dalam RPMI 1640 (Gibco BRL) yang mengandung 10% serum fetal sapi (Globepharm). Alat tes transformasi diinkubasi pada suhu 37 C/5% CO2 dan diberi nutrisi sekali per minggu dengan mengambil setngah dari media dan mengganti dengan RPM 1640 segar yang berisi 10% FCS. Sumur yang positif Transformasi dinilai setelah 6 minggu dalam kultur.Imunofluoresensi untuk menentukan fenotipe seluler Sel bertransformasi dari tes di atas dihapus dan dicuci dua kali dengan PBS dan kemudian difiksasi dengan Aseton: metanol (I: I). Apusan dipreinkubasi dengan PBS yang mengandung 0,2% Tween-20 dan 5% serum kelinci normal (PBST / NRS) selama 30 menit pada suhu 37 C sebelum penambahan antibodi diencerkan dalam PBS / NRS. Kelebihan antibodi dihilangkan dengan mencucinya dengan PBST dan kemudian, jika diperlukan antibodi sekunder terkonjugasi untuk phycoerythrin (PE) ditambahkan. Apusan dicuci sekali lagi, dipasang di PBS: gliserol (I: I) yang mengandung 2,5% DABCO (Sigma) dan divisualisasikan menggunakan mikroskop uv.Anti-EBNA2: PE2 (Dako); anti-CD23 (Serotec); konjugat anti-CDI9 FITC (Dako) dan konjugat anti-mouse PE (Dako).Viabilitas selSel mononuklear darah perifer yang ditempatkan pada kerapatan 2 x 106 sel per ml dalam 96 well dan diinfeksi dengan baik dilusi B95-8 10-3 atau 2 x 10-1 dilusi BL16. Sel B tonsil dimurnikan terinfeksi dengan pengenceran virus yang sama, tetapi pada kepadatan 1 x 106 sel per ml. Viabilitas sel diukur dengan menggunakan eksklusi trypan blue (Sigma) Produksi interferon- selama infeksi EBV Supernatan dikumpulkan dari semua uji transformasi pada minggu I dan 2 post infeksi dan tingkat interferon- yang ada di setiap sampel diukur dengan menggunakan interferon- ELISA (Serotec).PenghargaanPenulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr S Stacey dan Dr M Tham Wrigh untuk meninjau naskah dan membantu diskusi dan Dr F Clarke dan Diane Johnson untuk untuk mendapatkan sampel sel. Penelitian ini didukung oleh Cancer Research Campaign, London.