tradisi ruwatan anak gimbal di dieng

17
Eki Satria 155 Jurnal Warna, Vol.1, No.1, Juni 2017 TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG Eki Satria Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta ABSTRAK Saat ini rambut gimbal merupakan salah satu tren gaya rambut semata. Namun siapa sangka dalam salah satu kebudayaan di Indonesia justru anak kecil yang berambut gimbal dipercaya sebagai titisan dewa. Hal ini merupakan adat-istiadat di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara. Kepercayaan ini diakhiri dengan upacara Ruwatan pada anak-anak gimbal yang dipercaya sebagai utusan dewa tersebut. Ruwatan ini merupakan proses pemotongan rambut anak gimbal yang sudah pada usia balligh dan sudah memiliki ketentuan-ketentuan khusus. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode semiotika Roland Barthes untuk membedah makna yang terdapat pada tradisi Ruwatan anak gembel di Dieng. Hasil peneilitian merupakan penemuan makna ruwatan anak gimbal di Dieng secara teks maupun konteks. Secara teks, tradisi ruwatan ini sebatas pemotongan rambut, sedangkan makna secara konteks dari pemotongan rambut gimbal ini sendiri sebagai upaya dan tadisi untuk membersihkan lahir dan batinnya dari pengaruh jahat, agar dalam kehidupan dan perkembangannya terhindar dari gangguan kekuatan gaib yang berada dalam dirinya serta masih banyak sekali makna dibalik acara ruwatan dan prosesi acaranya yang panjang. Kata kunci: Ruwatan, anak gimbal, Dieng A. Pendahuluan Di era kekinian, rambut gimbal bisa dianggap tren mode. Rambut model pilin ini dapat dibentuk kapster-kapster salon dengan waktu relatif singkat, tapi biayanya mahal. Otomatis rambut pilin ini dianggap sebatas ungkapan rasa seni pemiliknya. Namun tidak demikian bagi masyarakat Dieng Jawa Tengah. Rambut gimbal di

Upload: others

Post on 13-Nov-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

155 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta

ABSTRAK

Saat ini rambut gimbal merupakan salah satu tren gaya rambut semata.

Namun siapa sangka dalam salah satu kebudayaan di Indonesia justru

anak kecil yang berambut gimbal dipercaya sebagai titisan dewa. Hal

ini merupakan adat-istiadat di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten

Banjarnegara. Kepercayaan ini diakhiri dengan upacara Ruwatan pada

anak-anak gimbal yang dipercaya sebagai utusan dewa tersebut.

Ruwatan ini merupakan proses pemotongan rambut anak gimbal yang

sudah pada usia balligh dan sudah memiliki ketentuan-ketentuan

khusus. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode semiotika

Roland Barthes untuk membedah makna yang terdapat pada tradisi

Ruwatan anak gembel di Dieng. Hasil peneilitian merupakan penemuan

makna ruwatan anak gimbal di Dieng secara teks maupun konteks.

Secara teks, tradisi ruwatan ini sebatas pemotongan rambut, sedangkan

makna secara konteks dari pemotongan rambut gimbal ini sendiri

sebagai upaya dan tadisi untuk membersihkan lahir dan batinnya dari

pengaruh jahat, agar dalam kehidupan dan perkembangannya terhindar

dari gangguan kekuatan gaib yang berada dalam dirinya serta masih

banyak sekali makna dibalik acara ruwatan dan prosesi acaranya yang

panjang.

Kata kunci: Ruwatan, anak gimbal, Dieng

A. Pendahuluan

Di era kekinian, rambut gimbal bisa dianggap tren mode.

Rambut model pilin ini dapat dibentuk kapster-kapster salon dengan

waktu relatif singkat, tapi biayanya mahal. Otomatis rambut pilin ini

dianggap sebatas ungkapan rasa seni pemiliknya. Namun tidak

demikian bagi masyarakat Dieng Jawa Tengah. Rambut gimbal di

Page 2: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

156 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

kalangan mereka, karena terkena gembel ( terpilin tak teratur ). Tapi

karena itu, dipercaya memiliki makna mistis sangat dalam. Anak balita

pemilik rambut gimbal dipercaya sebagai titisan roh kyai mumpuni.

Bagi warga Dieng dianggap titisan Kyai Kolodete.

Tradisi ruwatan yang dilakukan oleh masyarakat di dataran

tinggi Dieng Jawa Tengah ini telah ada secara turun-temurun sehingga

menjadi suatu kebudayaan khususnya kebudayaan Jawa pada

masyarakat dataran tinggi Dieng. Kebudayaan merupakan hasil cipta,

rasa dan karsa serta nilai-nilai yang turun temurun dan digunakan

masyarakat pada waktu tertentu untuk menghadapi dan menyesuaikan

diri terhadap sesuatu baik dalam kehidupan individu maupun

masyarakat dan menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut.

Kebudayaan setiap bangsa berbeda-beda memiliki ciri khas masing-

masing yang menjadi warisan budaya bagi generasi berikutnya. Seperti

yang lainnya kebudayaan Jawa juga memiliki ciri khas tersendiri.

Menurut Karkono yang dikutip oleh Imam Sutardjo” Kebudayaan Jawa

adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang

mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai

kesejahteraan, keselamatan lahir dan batin” (Imam Sutardjo,2008: 14-

15). Menurut Paul B. Horton (1984: 59), “Masyarakat adalah

sekumpulan manusia yang relatif secara mandiri, yang hidup bersama-

sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki

kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian kegiatannya dalam

kelompok tersebut”. Selain itu masyarakat juga merupakan sekelompok

Page 3: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

157 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

manusia yang memiliki adat istiadat yang sama yang terikat oleh ciri

khas yang sama.

B. Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan studi mengenai analisis makna dari

tradisi ruwatan anak gimbal di Dieng. Metode penelitian yang

digunakan adalah semiotika. Semiotika merupakan sebuah cabang

disiplin ilmu yang mengkaji tentang tanda. Pendekatan yang dipilih

dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotika sebagai teori dan

pendekatan. Konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini

menggunakan konsep representasi dari Roland Barthes. Dalam

representasi ini mencakup dua hal, yaitu teks (makna sebenarnya) dan

konteks (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan

personal) dimana keduanya harus dibedah dulu sehingga terlihat

penanda dan petandanya. Peneliti melakukan pencarian dan

pengumpulan sumber berupa literatur yang berkaitan dengan tradisi

Ruwatan anak Gimbal di Dieng.

C. Temuan Dan Pembahasan

Anak berambut gimbal dipercaya memiliki daya linuwih (orang

yang doanya senantiasa dikabulkan Tuhan) dibanding anak sebayanya

yang berambut normal dan dipercaya mampu berhubungan dengan

dunia maya. Maka jarang ada yang berani sembrono dengan si gimbal.

Keberadaan anak berambut gimbal di lingkungan keluarga, justru

dianggap sebagai berkah, bisa melindungi keluarga dari marabahaya.

Tak heran setiap permintaan dan ucapannya, dinilai sebagai sabda kyai,

Page 4: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

158 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

harus dituruti. Kalau tidak, petaka bisa menyergap keluarga. Bahkan

dampaknya bisa meluas ke warga sekitarnya.

Fenomena seperti ini sering terjadi pada masyarakat tradisional

Jawa mengingat masyarakat tradisional Jawa masih percaya pada

kekuatan di luar diri manusia seperti yang diungkapkan oleh

Koentjoroningrat: Orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang

melebihi segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal, yaitu

kesakten, kemudian arwah atau ruh leluhur, dan mahluk-mahluk halus

seperti misalnya memedi, lelembut, tuyul, dhemit, serta jin, dan lain

sebagainya yang menempati sekitar tempat tinggal mereka

(Koentjoroningrat ,1993: 46).

Cerita dibalik rambut gimbal ini adalah kisah dari Kyai

Kolodete. Kyai Kolodite dipercaya sebagai kyai berilmu kanuragan

sangat tinggi. Jadi pembela kaum miskin dan lemah. Kyai Kolodete

adalah anak Kyai Badar, perangkat desa di masa kejayaan Mataram.

Kesaktian Kyai Badar, tentu melebihi anaknya. Kolodite muda dikenal

memiliki rambut gimbal. Dianggap pula sebagai cikalbakal pendiri

Kota Wonosobo. Selain punya ilmu tinggi, Kolodite juga sebagai sosok

kyai pengayom. Disegani musuhnya, dicintai teman dan warganya.

Ketika berlangsung pemilihan kepala desa di daerahnya, Kolodite

didorong mencalonkan diri. Tapi tanpa diketahui sebabnya, Mataram

menolak pencalonannya. Untuk memupus kekecewaan, Kolodite

memutuskan untuk menyepi. Mencoba mendalami makna hidup di

tengah kesepian, sekaligus mengadu kepada Sang Khalik, pengatur

semesta.

Page 5: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

159 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

Dalam setiap doa dan semedinya, Kolodete memohon agar

keinginannnya untuk mengayomi masyarakat terkabul. Dia juga

bersumpah, bila keinginannya tak terkabul, dia akan menitiskan rohnya

pada anak yang baru lahir atau sedang mulai bisa berjalan. Sebagai

tanda titisannya, si anak akan berambut gimbal dan dianggap sebagai

cucu dari Kyai Kolodete yang berkekuatan gaib itu. Berangkat dari

legenda itu, warga Dieng menempatkan anak berambut gimbal lebih

tinggi dari sebayanya. Secara spiritual, perilakunya dinilai sama dengan

Kyai Kolodete. Tapi berkah rambut gimbal berakhir saat anak berumur

7 tahun. Sebab anak mulai menginjak akhilbaligh. Kemudian diruwat

dengan upacara khusus.

Gambar 1. Kyai Kolodete

Rambut gimbal atau gembel yang dimiliki sejumlah anak di

Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, itu bukanlah tren

rambut yang mereka ikuti melainkan terbentuk dengan sendirinya.

Konon, anak-anak berambut gimbal ini memiliki keistimewaan

Page 6: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

160 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

dibanding anak-anak lainnya. Mereka yang berambut gimbal ini juga

memiliki impian maupun cita-cita seperti halnya anak-anak sebaya

termasuk ingin berambut normal. Sebenarnya fenomena anak berambut

gimbal dapat dijumpai tidak hanya di Dataran Tinggi Dieng (2010

mdpl), tapi juga di di Kawasan lereng Gunung Merbabu dan Sindoro

(Wonosobo). Rambut gimbal ini bukan mode yang meniru gaya artis

Bob Marley, atau pesepakbola Ruth Gulith, tetapi merupakan fenomena

alam yang muncul secara misterius di kawasan tersebut.

Gambar 2. Anak Gimbal

Kendati demikian, rambut gimbal yang mereka miliki tidak bisa

dihilangkan begitu saja atau dipotong karena gimbalnya akan kembali

tumbuh meskipun telah dihilangkan. Rambut-rambut gimbal tersebut

harus dipotong melalui sebuah prosesi ruwatan agar bisa tumbuh

normal dan dilaksanakan atas dasar keinginan si anak, bukan kemauan

orang tuanya. Selain itu, orang tua juga harus memenuhi permintaan si

Page 7: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

161 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

anak berambut gimbal yang sudah bersedia untuk diruwat. Oleh

karenanya, ruwatan rambut gimbal ini tidak dilaksanakan setiap saat.

Bahkan dalam satu tahun, belum tentu ada anak berambut

gimbal yang diruwat karena kadang kala orang tuanya belum mampu

menyiapkan permintaan si anak termasuk biaya untuk menggelar

ruwatan. Terkait hal itu, Kelompok Sadar Wisata ( Pokdarwis ) Dieng

Pandawa, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara,

menggelar ruwatan massal anak berambut gimbal yang dirangkaikan

dengan ajang "Dieng Culture Festival”.

Masyarakat di kawasan lereng Sindoro dan Merbabu

mempercayai bahwa anak-anak berambut gimbal merupakan karunia

atau anugerah dari para dewa, bukan musibah atau kutukan, sehingga

mereka akan merasa bersyukur jika salah satu anak atau anggota

keluarga mereka mempunyai rambut gimbal. Hal ini tidak dipandang

sebagai aib keluarga. Bahkan, orangtua dari anak gimbal ini yakin

bahwa anak tersebut bukan murni anaknya sendiri, melainkan titipan

dari dewa, sehingga orang tua akan sangat memberikan perhatian

kepada anak-anak ini. Apapun permintaan anak ini akan dituruti,

sehingga dalam banyak hal, anak gimbal tampak lebih manja dari anak

lain yang tidak gimbal. Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak rambut

gimbal ini tidaklah berbeda dengan anak normal lainnya, dari sisi anak-

anak mereka juga suka bermain dan bersenda gurau bersama teman-

temannya. Anak-anak lain memanggil anak gimbal ini bukan dengan

namanya, melainkan dengan sebutan “mbel”, pemendekan dari gembel.

Page 8: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

162 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

Satu hal yang membedakan adalah kekuatan fisik mereka yang

melebihi anak-anak pada umumnya (yang tidak gimbal). Perilaku yang

agresif yang cenderung nakal dan manja, serta ketahanan dari berbagai

serangan penyakit yang sering menyerang anak-anak seperti flu, pilek,

adalah keunggulan anak-anak ini. Tetapi bukan berarti anak-anak

gimbal ini tanpa hambatan, karena biasanya pada setiap malam jumat

mereka rewel.

1. Makna Secara Teks

Ruwatan atau memotong rambut dari anak gimbal yang

melalui proses panjang layaknya sebuah acara atau pagelaran besar

padahal intinya hanya untuk memotong rambut yang berbentuk

gimbal tersebut. Ruwatan pemotongan rambut gimbal yang

dilakukan sendiri tidak sulit. Orangtua hanya perlu mengadakan

sebuah acara pengajian, memenuhi permintaan dari sang anak, dan

menyediakan beberapa sesaji terutama tumpeng. Sementara, jika

dilakukan secara massal, acara ruwatan akan melalui proses yang

amat panjang. Dalam acara ruwatan masal ini tidak hanya satu anak

yang diruwat, biasanya terdiri dari beberapa anak yang memang

sudah siap diruwat dan orang tua sudah memenuhi permintaan dari

anak yang akan diruwat tersebut. Biasanya dalam satu tahun hanya

diadakan beberapa kali ruwatan saja, mengingat dalam proses

ruwatan tidak sedikit biaya yang dikeluarkan tetapi itu semua

tergantung dari kemauan anak itu sendiri kapan siap dan mau untuk

diruwat. Biasanya ruwatan diadakan pada saat liburan sekolah anak.

Ruwatan masal ini termasuk dalam acara Dieng Culture Festival

Page 9: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

163 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

yang menjadi acara tahunan di Dieng, selain itu juga banyak acara

pertunjukan lainnya seperti pesta kembang api, menerbangkan

sampai 2000 lampion secara serentak, Musik Festival Jazz Negeri di

Atas Awan, Acara Kesenian Daerah Dieng, pesta kembang api dan

banyak lainnya.

Gambar 3. Poster Dieng Culture Festival 2014

Gambar 4. Pertunjukan Jazz Di Atas Awan

Page 10: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

164 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

Gambar 5. Pelepasan Lampion

1. Makna Secara Konteks

Makna dari pemotongan rambut gimbal ini sendiri sebagai

upaya dan tadisi untuk membersihkan lahir dan batinnya dari

pengaruh jahat, agar dalam kehidupan dan perkembangannya

terhindar dari gangguan kekuatan gaib yang berada dalam dirinya.

Akan tetapi banyak sekali makna dibalik acara ruwatan dan prosesi

acaranya yang panjang. Menurut Budiono Herusatoto (1987: 9)

“Secara umum tradisi itu biasanya dimaksudkan untuk menunjukan

kepada suatu nilai, norma, dan adat kebiasaan tertentu yang

berkembang lama dan berlangsung hingga kini masih diterima, dan

diikuti bahkan dipertahankan oleh masyarakat tertentu”. Tradisi

diartikan sebagai adat kebiasaan yang dilakukan turun temurun dan

masih terus dilakukan dalam masyarakat dan setiap tempat atau

daerah atau suku yang berbeda-beda.

Rangkaian dimulai beberapa hari sebelum dilakukan

ruwatan. Para tetua adat akan melakukan ziarah ke tempat-tempat

Page 11: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

165 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

yang dianggap suci dan mengambil air dari tujuh sumber mata air

yang ada di Dataran Tinggi Dieng. Tempat-tempat yang diziarahi

berjumlah 21, termasuk tujuh sumber mata air. Prosesi ini dapat

dilakukan dalam satu hari atau beberapa hari. Ziarah ini bertujuan

meminta izin agar acara yang akan dilakukan dapat berjalan dengan

lancar. Selain itu, sekaligus berdoa agar acara ruwatan dapat

membawa keberkahan bagi si anak, keluarga, maupun seluruh

masyarakat Dataran Tinggi Dieng.

Pada hari pelaksanaan, rangkaian dimulai pada pagi hari.

Anak-anak berambut gimbal yang akan diruwat berkumpul di rumah

tetua adat. Di setiap desa yang ada di Dataran Tinggi Dieng, terdapat

seorang tetua adat. Tetua adat yang memimpin acara ruwatan massal

tergantung dari tempat pelaksanaan ruwatan massal tersebut. Selain

anak-anak rambut gimbal, di sini juga berkumpul wanita pengiring

yang membawa berbagai makanan persembahan atau biasa disebut

dengan nama domas. Kelompok-kelompok kesenian, serta para tetua

adat. Rombongan ini kemudian akan berkeliling kampung.

Setelah berkeliling kampung, arak-arakan akan menuju

Kompleks Candi Arjuna. Tempat pertama yang didatangi adalah

Sedang Sedayu. Di sumber mata air ini, anak-anak berambut gimbal

akan melalui ritual pensucian atau dikenal dengan nama penjamasan.

Setelah itu, ke Dharmasala untuk merapikan pakaian mereka. Acara

lalu dilanjutkan ke salah satu candi yang ada di Kompleks Candi

Arjuna. Di candi ini, dilakukan pemotongan rambut gimbal.

Page 12: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

166 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

Diadakannya ruwatan massal, selain menjadi tujuan wisata,

juga lebih untuk memudahkan orangtua anak-anak berambut gimbal.

Sebelum dipotong, anak-anak berambut gimbal akan meminta

sesuatu yang harus dituruti. Permintaan ini dapat berwujud benda

atau yang lain. Pada suatu ketika, ada seorang anak berambut gimbal

yang ingin rambutnya dipotong oleh seorang pejabat. Adanya

ruwatan massal yang diadakan oleh pihak pemerintah daerah, dapat

meringankan beban orangtua dari permintaan semacam itu.

Selain itu, permintaan yang sering diajukan pun terdengar

‘aneh’. Misalnya, seorang anak berambut gimbal yang meminta dua

buah ikan asin. Masyarakat Dieng percaya bahwa permintaan

tersebut bukanlah permintaan si anak, tapi permintaan mahluk lain

yang menjaga si anak berambut gimbal. Rambut gimbal yang telah

dipotong kemudian akan dilarung di sumber air yang ada di Dieng.

Tempat yang biasanya dijadikan tempat pelarungan adalah Telaga

Warna, Telaga Balaikambang, atau Sungai Serayu. Setelah melalui

prosesi ini, rambut gimbal pada anak tersebut tidak akan tumbuh

kembali.

Page 13: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

167 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

Gambar 6. Prosesi pemotongan rambut yang diadakan di kompleks

Candi Arjuna

Gambar 7. Prosesi iring-iringan ruwatan

Gambar 8. Iringan sesaji yang akan di tempatkan di tempat yang

dianggap sakral.

Page 14: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

168 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

Gambar 9. Barang permintaan anak berambut gimbal.

Gambar 10. Tarian Kuda Kepang.

Page 15: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

169 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

Gambar 11. Sendang Sedayu dan Dharma sala tempat penyucian diri

sebelum prosesi pemotongan rambut.

Gambar 12. Prosesi pelarungan rambut gimbal yang sudah dipotong.

Gambar 13. Ruwatan massal yang menjadi daya tarik pariwisata di

Dieng

B. Kesimpulan

Fenomena ruwatan pemotong rambut gimbal di Dieng menjadi

bentuk budaya yang perlu dilestarikan dan dijadikan aset pariwisata

Page 16: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

170 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

budaya bagi masyarakat setempat dan pemerintah. Dari sisi

kepercayaan masyarakat Dieng tradisi ruwatan bertujuan untuk

meminta suatu berkat dan kemakmuran untuk desa dan anak gimbal

tersebut, tapi di sisi ekonomi dan seni pertunjukan acara ruwatan seperti

itu mendatangkan daya tarik tersendiri kepada wisatawan lokal maupun

mancanegara sehingga mendatangkan rejeki dan keuntungan kepada

masyarakat disana. Pemanfaatan potensi pariwisata budaya oleh

masyarakat Dieng (Dieng Culture Festival) dalam mempertahankan

identitas sosial pada tradisi ruwatan anak rambut gimbal di dataran

tinggi Dieng dengan cara berperan aktif dan melaksanakan tradisi

ruwatan rambut gimbal secara rutin. Pemerintah setempat memotivasi

masyarakat Dieng, berperan aktif mementaskan seni pertunjukan

kesenian daerah untuk mempertahankan kebudayaan daerah dan

mendukung dalam tradisi ruwatan anak rambut gimbal.

Daftar Pustaka

Brandon, 2003. Jejak-Jejak Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara.

Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan

Seni Tradisional UPI

Fajrin, 2009. Identitas Sosial Dalam Pelestarian Tradisi Ruwatan

Anak Rambut Gimbal Dieng Sebagai Peningkatan Potensi

Pariwisata Budaya (Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng,

Dieng Kulon Banjarnegara ). Surakarta : FKIP Universitas

Sebelas Maret

Horton, Paul. B & Chester L. Hunt, 1984. Sosiologi. Jakarta: Erlangga

Imam Sutardjo, 2008. Kajian Budaya Jawa. Surakarta : FSSR UNS

Page 17: TRADISI RUWATAN ANAK GIMBAL DI DIENG

Eki Satria

171 J u r n a l W a r n a , V o l . 1 , N o . 1 , J u n i 2 0 1 7

Inglis & Hughson, 2005. The Sociology of Art Ways of Seeing. London

: Palgrave Macmilan

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT

RINEKA CIPTA

Soedarsono, 2003. Seni Pertunjukan Dari Perspektif Politik, Sosial,

dan Ekonomi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Sunarti, 2005. Tradisi Upacara Ruwatan Anak Massal ( Studi Kasus Di

Kelurahan Kadilangu Kabupaten Demak). Semarang : FIS

UNNES

Svasek, 2007. Anthropology, Art and Cultural Production. London :

Pluto Press

http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/anak-anak-rambut-

gimbal-di-dieng-titipan-kyai-kolo-dete

http://travel.kompas.com/read/2014/10/04/084500227/asal.muasal.leg

enda.rambut.gimbal

http://www.merdeka.com/foto/peristiwa/kisah-ruwatan-potong-

rambut-7-anak-gimbal-di-pegunungan-dieng.html

https://hendsmountenerings.wordpress.com/tentang-rambut-gimbal-di-

dieng/