tradisi latama kareyoo dalam pernikahan adat …etheses.uinmataram.ac.id/1677/1/nurtilawah abubakar...
TRANSCRIPT
i
TRADISI LATAMA KAREYOO DALAM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT MUSLIM SUKU SUMBA PERSPEKTIF
HUKUM KELUARGA (Studi di Desa Pero Konda Kecamatan Kodi Kabupaten Sumba Barat
Daya)
Oleh
NURTILAWAH ABUBAKAR NIM. 152142032
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM 2018/2019
ii
TRADISILATAMA KAREYOO DALAM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SUKU SUMBA BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM KELUARGA(Studi di Desa Pero Konda Kecamatan KodiKabupaten Sumba
BaratDaya)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram Untuk Melengkapi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum
oleh
NURTILAWAH ABUBAKAR NIM. 152142032
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM 2018/2019
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi oleh : Nurtilawah Abu Bakar, Nim : 152.142.032 dengan judul, “Tradisi
Latama Kareyoo dalam Pernikahan Adat Masyarakat Suku Sumba berdasarkan
Perspektif hukum keluarga (studi di Desa Pero Konda Kecamatan Kodi
Kabupaten Sumba Barat Daya)” telah memenuhi syarat dan disetujui untuk diuji.
Disetujuipadatanggal :2018
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. Khairul Hamim, M. A Nunung Susfita, M. S. I NIP: 197703222005011003 NIP: 198010282014122006
iv
NOTA DINAS PEMBIMBING
Hal: Munâqasyah
Mataram, 2018
Kepada
Yth.Rektor UIN Mataram
di-
Mataram
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Setelah diperiksa dan diadakan perbaikan sesuai masukan
pembimbing dan pedoman penulisan skripsi, kami berpendapat bahwa
skripsi Nurtilawah Abubakar, NIM. 152.142.032, yang berjudul ”Tradisi
Latama Kareyoo dalam Pernikahan Adat Masyarakat Muslim Suku Sumba
Berdasarkan Perspektif Hukum Keluarga (Studi di Desa Pero Konda
Kecamatan Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya)” telah memenuhi syarat
untuk diajukan dalam sidang Munaqasyah skripsi Fakultas Syariah UIN
Mataram.
Demikian, atas perhatian Bapak Rektor disampaikan terima kasih.
Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. KhairulHamim, MA Nunung Susfita, M.S.I
vii
MOTTO
ه فيما عرض كم ول جناح علي ة خط من ۦتم ب أنفسكم في ننتم أك ء أو لنسا ٱب
Artinya : “dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita
itu”1
1 Depang RI, Al- Qur‟an dan ...., Op. Cit.,
viii
PERSEMBAHAN
Dengan penuh cinta dan kasih sayang karya Ku persembahkan untuk:
1. Orang tuaku tercinta (Bapak saya Abu Bakar Ambu Day), terimah kasih
atas dukungan serta pengorbanan bapak sehingga saya bisa menyelesaikan
pendidikan hingga bangku kuliah, dan juga terimah kasih untuk
(almarhum) ibuku tercinta (Asiyah Umar) jasa dan pengorbanan mu tak
akan pernah tergantikan dengan apapun.
2. Saudara/I kutercinta (Marlia Abubakar, Umar Abdul Kadir, Abdillah,
Nurmin, bapak Alif, Awi, Intan, Eva dan Vita) serta yang lainnya yang
tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
3. Unruk Guru dan juga dosenku tercinta yang telah membimbing serta
mengajariku untuk menimba ilmu sampai saat ini terimah kasih banyak
atas jasa-jasanya.
4. Untuk Om-Om saya yang tidak bisa saya sebutka satu –persatu, Paman
saya Pua Sulaiman dan semua keluarga besarku yang selalu mendo‟akan
dan menyemangatiku.
5. Sahabatku tercinta dan teman-teman seperjuangan Jurusan Ahwal Al-
Syakhshiyah khususnya teman-teman kelas B
6. Almamaterku dan Kampus tercinta UIN Mataram
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam atas
segala limpahan Rahmat, Taufik, Hidayah dan Karunia yang senantiasa
memberikan kemudahan kepada penulis sehingga mampu merampungkan
skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir untuk mencapai gelar Sarjana
Hukum Di Fakultas Syari‟ah Di Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi besar
Muhammad SAW, yang telah membawa kedamaian yakni agama Islam
rahmatanlil‟alamin. Segala kemampuan penulis telah tercurahkan dalam
penyusunan tugas akhir ini. Namun demikian, penulis menyadari bahwa skripsi
ini jauh dari kata sempurna karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.
Oleh karena itu, segala bentuk saran dan kritik konstruktif senantiasa penulis
harapkan agar kedepannya tulisan ini menjadi lebih baik. Pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada kedua
orang tua penulis, yakni ayahanda Abu Bakar Ambu Day, Ibunda Asiya Umar,
nenek, dan Om saya yang senantiasa merawat, mendidik, memotivasi dengan
penuh kasih sayang serta doa-doa beliau yang tiada putus untuk anak anaknya.
Ucapan terima kasih juga kepada kakak penulis,yakni Hadijha Sulaiman,
Muhlis Lepu,dan adik penulis Lia Abu Bakar dan yang selalu mengingatkan
dan memberikan semangat serta keluarga besar penulis atas doa-doa mereka
juga hingga penilis mampu menyelesaikan tugas akhir ini.
Terimakasihpenulishaturkan pula kepada :
1. Bapak Dr. Khairul Hamim, M.A selaku pembimbing I dan IbuNunung
Susfita, M. S. I selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan,
motivasi, dan koreksi mendetail terus menerus, dan tanpa bosan ditengah
kesibukannya dalam suasana keakraban menjadikan skripsi ini lebih
matang dan cepat selesai.
2. Bapak Dr. H. Musawar, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah beserta
Bapak dan Ibu dosen yang telah bekerja keras mendidik dan memberi
x
bimbingan dengan penuh keiklasan dan kesabaran kepada peneliti selama
melaksanakan studi di UIN Mataram.
3. Bapak Prof. Dr. H. Mutawalli selaku rector Universitas Islam Negeri
(UIN) Mataram beserta Staf akademika UIN Mataram, yang telah
memeberi tempat bagi penulis untuk menuntut ilmu dan memberikan
bimbingan dan keringanan untuk tidak berlama lama dikampus tanpa
pernah selesai dan jajarannya.
4. Ayah, Ibunda (alm), paman dan om-om yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu, adikku Marlia Abubakar dan Kakakku Umar Abdul Kadir, yang
senantiasa mendukung dan memberi motivasi dalam suka maupun duka.
5. Teman-teman seperjuangan Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah, kelas B
angkatan 2014, sahabatkuseperjuangan di tanah rantauan dan adek-adekku
tersayang terimahkasih telah membagi kebahagiaan denganku dan
terimahkasih juga atas cerita dan cinta yang telah kita ukir bersama yang
menjadi suatu kenangan bagiku.
Mataram,.......
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i HALAMAN JUDUL ii PERSETUJUAN PEMBIMBING iii NOTA DINAS PEMBIMBING iv PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI v PENGESAHAN DEWAN PENGUJI vi HALAMAN MOTTO vii HALAMAN PERSEMBAHAN viii KATA PENGANTAR ix ABSTRAK x DAFTAR ISI ix BAB I PENDAHULUAN 1
A.Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 5 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 5
1. Tujuan Penelitian 5 2. Manfaat Penelitian 6
D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian 7 E. Telaah Pustaka 7 F. Kerang kaTeori 11
1. Konsep Tradisi Latama Kareyoo 11 2. Konsep Perkawinan di Indonesia 14 3. Konsep Umum Adat Istiadat („urf) 16
G. MetodePenelitian 20 1. Pendekatan Penelitian 20 2. Jenis Penelitian 20 3. Kehadiran Peneliti 21 4. Lokasi Penelitian 21 5. Sumber Data 22 6. Teknik Pengumpulan Data 23 7. Analisis Data 26 8. Validitas Data 27
H. Sistematika Pembahasan 28
BAB II PAPARAN DATA DAN TEMUAN 30 A. Profil Desa Pero Konda 30
1. Sejarah Singkat Desa Pero Konda 30 2. Keadaan Geografi Desa Pero Konda 32
B. Praktek Latama kareyoo dalam pernikahan adat Masyarakat suku Sumba 38
C. Pendapat Tokoh Adat, Tokoh Agama Dan Tokoh Masyarakat Atau Pelaku Yang Melakukan Adat Latama Kareyoo 46
xii
BAB III PEMBAHASAN 51 A. Analisis Praktek tradisi latama kareyoo dalam pernikahan
adat masyaraka tmuslim suku sumba 51 B. Analisis Perspektif hukum keluarga dalam merespon
tradisi latama kareyoo 55
BAB IV PENUTUP 61 A. Kesimpulan 61 B. Saran 63
DAFTAR PUSTAKA 64 LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
TRADISI LATAMA KAREYOO DALAM PERNIKAHAN ADAT
MASYARAKAT SUKU SUMBA BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM
KELUARGA (Studi di Desa Pero Konda Kecamatan Kodi Kabupaten
Sumba Barat Daya)
Oleh:
Nurtilawah AbuBakar
NIM: 152142032
ABSTRAK
Peneliti ini memaparkan bagaimana Tradisi Latama Kareyoo dalam Pernikahan Adat Masyarakat Suku Sumba (Studi Di Desa Pero Konda Kecamatan Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya), dan bagaimana analisis hukum keluarga terhadap Praktek Tradisi Latama Kareyoo tersebut. Sebagian besar masyarakat di Sumba khususnya di Desa Pero Konda dalam melaksanakan tradisi atau upacara adat pernikahan yang sudah turun temurun telah berlaku di dalam kehidupan masyarakat Sumba itu sendiri, masyarakat seringkali mengeluh dengan tradisi adat yang ada di masyarakat dalam memulai kehidupannya untuk berkeluarga. Terkait dengan tradisi latama kareyo calon laki-laki yang mau melamar harus membawa seserahan yang telah disepakati dan apabila tidak dibawa atau di penuhi maka lamaran tersebut ditolak.
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu melalui data primer dan sekunder dan di kumpulkan melalui observasi, dan wawancara dengan beberapa masyarakat Desa Pero Konda, seperti wawancara kepada tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat dan pelaku. Berdasarkan tulisan tersebut bahwasannya diwajibkan kepada calon mempelai laki-laki untuk membawa kuda, emas, sarung sumba dan apabila semua syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka lamarannya akan ditolak dan sanksi adatnya yaitu pihak laki-laki harus memberikan sarung atau mamuli (emas putih) Sumba sedangkan menurut hukum keluarga islam bahwasannya, tidak menyebutkan jumlah pemberian saat lamaran, karena menurut hukum keluarga Islam peminangan tidak diwajibkan jadi dilakukan atau tidak, tidak ada masalah.
Kata Kunci: Tradisi Latama Kareyoo, perspektif Hukum Keluarga
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adapun hukum adat suatu suku atau kebudayaan masyarakat adat suku
Sumba Barat Daya Kec. Kodi tentang adat penikahan sangatlah fanatik
kepercayaannya terhadap suatu adat istiadat. Dalam acara perkawinan di
Sumba Barat Daya Kec. Kodi Desa Pero Konda mempunyai tata cara
tersediri dalam melakukan perkawinan seperti dalam hal latama kareyooo
(peminangan), di dalam peminangan terdapat beberapa tataran. Dalam adat
Sumba Barat Daya Kec. Kodi Desa Pero Konda, pernikahan tidak begitu saja
dilaksanakan, namun melalui proses yang cukup lama dan kadang memakan
waktu berbulan bahkan bertahun untuk melaksanakan latama kareyyo
(peminangan). Proses tersebut akan didahului oleh perkenalan atau
pendekatan dari pihak keluarga laki-laki untuk menyatakan keinginana nya.
Adapun proses yang dilalui oleh kedua pihak yang terlibat, yaitu latama
kareyoo adalah pelaksananan tradisis peminangan dimana adat ini
memberikan persyaratan kepada semua orang khususnya laki-laki yang ingin
menikah diwajibkan membawa seserahan berupa kuda, emas, siri pinang, dan
kain. “ konon tidak dikenal yang namanya pacaran, seperti pada saat ini yang
terjadi pada anak muda.2
Penetapan waktu untuk pertemuan keluarga kedua belah pihak,
penetapan mas kawin (belis dan mahar) bagi wanita yang dipinang aturan
2 Yasmin, Observasi Awal, Desa Pero Konda, Tanggal, 25 September 2017
2
pelaksanaan pembayaran maskawin hingga acara pernikahannya. Tahap-
tahap tersebut harus dilewati satu persatu dan setiap tahap mempunyai aturan
pelaksanaan sendiri-sendiri.
Tapi saat keluarga mempelai perempuan sudah menerima lamaran dari si
mempelai pria, akan ada tanda mata atau sebagai bukti bahwa telah diterima
lamaran dari peminang. Setelah peminangan diterima maka dari pihak laki-
laki akan memberikan hewan yaitu kuda atau kerbau 1 ekor dan sebaliknya
pihak wanita memberi sarung (kain) kepada pihak peminang sebagai tanda
bahwa lamaran peminang telah diterima. Setelah itu, laki-laki peminang dan
wanita yang dipinang boleh bertatap muka, bepergian, dan juga laki-laki
peminang boleh ke rumah perempuan yang dipinang untuk bersilahturahim
dan sebaliknya wanita yang dipinang boleh ke rumah laki-laki peminang
untuk bersilahturahim.
Bagi masyarakat kodi, istilah perkawinan dapat diartikan sebagai hasil
upaya kedua calon pengantin, laki-laki dan perempuan beserta keluarga
besarnya yang hendak dipersatukan dalam ikatan perkawinan. Perkawinan
dalam masyarakat kodi, banyak melibatkan pihak-pihak yang mempunyai
hubungan darah yang dalam kepercayaan sumba disebut kabisu (klan) yang
berasal dari satu keturunan atau satu Marapu (leluhur) yang terikat oleh garis
keturunan.3
Dalam proses penyelesaian adat ini calon pria dan wanita yang akan
menikah, sama sekali tidak diikut sertakan dan keduanya hanya akan
3 Hasan, Observasi Awal, Desa Pero, tanggal 10-Oktober-2017
3
menjalani pernikahan apabila proses adat telah diselesaikan. Hal ini
mengingatkan agar kedua calon yang akan menikah tersebut tetap taat dan
patuh pada aturan-aturan dan norma yang telah ditetapkan dan berlaku dalam
masyarakat tersebut, dapat menjaga keutuhan perkawinan. 4
Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dalam bahasa hukum
adat sumba yang tinggi nilai budayanya. Ungkapannya antara lain :
1) Setiap perempuan mempunyai nilai, punya harga, sedangkan sarung dan
bajunya juga mempunyai nilai dan harga, sehingga setiap laki-laki harus
membayar
2) Ibulah yang memelihara dan membesarkannya
3) Dan ayah yang menjaga dan mendewasakannya
4) Dan ibu pula yang memberikannya perhiasan
5) Ayah yang memberikan sandang.
Ungkapan ini memberi keyakinan bahwa martabat perempuan sangat
dihargai, oleh karena itu maka pihak klen penerima wanita, harus membayar
sejumlah belis kepada klen pemberi wanita sesudah itu baru dinyatakan
seluruh perkawinan prosesnya sah.5
Karena Mengingat begitu fanatiknya adat dan prosesnya yang
memakan waktu sangat lama untuk menjadikan mereka pasangan suami
istri. 6 Adapun hukum adat suatu suku atau kebudayaan masyarakat adat
suku Sumba Barat Daya Kec. Kodi tentang adat penikahan sangatlah
4 Abdurahim, Observasi Awal,Desa Pero, tanggal 15 desember 2017
5 http://dartowisnuwardhanamalangsumbaindah.blogspotperkawinan-kodi-sumba-barat-dayahtm?m=1 di ambil pada tanggal 5-12-2018 jam 12.33
6 H. Jummah Pua Nggolo, Observasi Awal, Desa Pero tanggal 17 oktober 2017
4
fanatik kepercayaannya terhadap suatu adat istiadat. Dalam acara
perkawinan di Sumba Barat Daya Kec. Kodi Desa Pero Konda mempunyai
tata cara tersediri dalam melakukan perkawinan seperti dalam hal latama
kareyooo (peminangan), di dalam peminangan terdapat beberapa tataran.
Dalam adat masyarakat muslim Sumba Barat Daya Kec. Kodi Desa Pero
Konda, pernikahan tidak begitu saja dilaksanakan, namuan melalui proses
yang cukup lama dan kadang memakan waktu berbulan bahkan bertahun
untuk melaksanakan latama kareyyo (peminangan). Proses tersebut akan
didahului oleh perkenalan atau pendekatan dari pihak keluarga laki-laki
untuk menyatakan keinginananya. Adapun proses yang dilalui oleh kedua
pihak yang terlibat, yaitu latama kareyoo.
Penetapan waktu untuk pertemuan keluarga kedua belah pihak,
penetapan mas kawin (belis atau mahar) bagi wanita yang di pinang aturan
pelaksanaan pembayaran maskawin hingga acara pernikahannya. Tahap-
tahap tersebut harus dilewati satu persatu dan setiap tahap mempunyai
aturan pelaksanaan sendiri-sendiri.
Berdasarkan tradisi tersebut, bahwa pada saat peminangan pihak laki-
laki membawa seserahan berupa jajanan, buah-buahan, perlengkapan calon
mempelai perempuan Dan diwajibkan membawa hewan kuda (dewasa) 1
ekor bermakna bahwa laki-laki tersebut berani, sedangkan emas (2grm)
bermakna bahwa perempuan tersebut sudah memiliki ikatan , siri pinang
diberikan kepada perempuan agar didekatkan jodohnya, dan kain sumba
5
bertanda bahwa tanda untuk orang tua perempuan. Jika barang-barang
tersebut tidak di bawa saat lamaran maka lamaran tersebut akan di tolak.
Dengan problematik tradisi adat latama kareyoo yang dijelaskan di
atas, maka hal itu mendorong peneliti untuk menelaah lebih mendalam
mengenai hukum Adat Sumba Barat Daya Kecamatan Kodi dalam konsep
Tradisi Latama Kareyoo Dalam Pernikahan Adat Masyarakat Muslim Suku
Sumba Perspektif Hukum keluarga . Oleh karena itu, peneliti ingin
mengangkat judul penelitian” Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik
Latama Kareyoo Pernikahan Adat Suku Sumba Pada Masyarakat Muslim di
Desa Pero Konda Kecamatan Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya.
B. Rumusan masalah
Berkaitan dengan judul maka permasalahan yang akan dikaji dalam
penulisan ini adalah:
1. Bagaimana praktek tradisi latama kareyoo dalam pernikahan adat
masyarakat muslim suku sumba ?
2. Bagaimana perspektif hukum keluarga dalam merespon tradisi latama
kareyoo di Desa Pero Konda Kecamatan Kodi Kabupaten Sumba Barat
Daya ?
C. Tujuan Dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui praktek tradisi latama kareyoo pernikahan adat
Masyarakat Muslim suku sumba.
6
b. Untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum keluarga dalam
merespon tradisi latama kareyoo di Desa Pero Konda Kecamatan
Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya.
2. Manfaat Penelitian
Secara akademis, penelitian ini untuk memenuhi sebagian
persyaratan menyelesaikan kebulatan studi strata 1 (S1) Fakultas
Syari‟ah Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah ( AS ) UIN MATARAM .
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
keilmuan pembaca terutama bagi Fakultas Syari‟ah, Jurusan Ahwal
Al-Syakhsiyah (AS) UIN Mataram, khususnya mengenai latama
kareyoo dalam pernikahan masyarakat adat suku sumba
berdasarkan perspektif hukum keluarga.
Menjadi rujukan bagi peneliti berikutnya dan bagi mahasiswa
yang ingin mendalami tentang latama kareyoo dalam pernikahan
masyarakat adat Suku Sumba berdasarkan perspektif hukum
keluarga.
b. Manfaat praktis
Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa/i
Fakultas Syari‟ah Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah dan juga bagi
masyarakat di Desa Kodi yang akan melangsungkan perkawinan
agar dalam melaksanakan perkawinan rambu-rambu dalam hukum
adat tetap di pedomani. Sedangkan bagi tokoh adat, tokoh agama dan
7
tokoh masyarakat memberikan arah untuk menentukan kebijakan
dalam penentuan kegiatan perkawinan melalui adat Latama Kareyoo.
D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian
Penelitian ini agar terfokus, maka perlu dibatasi ruang lingkupnya.
Adapun ruang lingkup penelitian ini terbatas pada tradisi adat latama
kareyoo di Desa Pero Konda Kecamatan Kodi Kabupaten Sumba Barat
Daya perspektif hukum keluarga.
Setting penelitian ini dilakukan di Desa Pero Kecamatan Kodi
Kabupaten Sumba Barat Daya. Dipilihnya Desa Pero Kecamatan Kodi
Kabupaten Sumba Barat Daya karena salah satu Desa yang penduduknya
bermayoritas muslim, dan sedangkan desa lain penduduknya masih banyak
agama non muslim. Walaupun Desa Pero Konda masyarakatnya
bermayoritas muslim tetapi dia tidak memegang teguh hukum Islam sebagai
dasar hukum.
E. Telaah pustaka
1. Ridwan umar leky.7 “Tradisi Upacara Adat Perkawinan Suku KUI di
Kecamatan Alor Barat Daya kabupaten Alor Provinsi NTT perspektif
hukum islam”. Skiripsi ini membahas tentang bagaimana pelaksanaan
tradisi upacara adat dalam perkawinan di kabupaten Alor (perspektif
islam). Tradisi yang begitu khas dan cukup unik menjadi perhatian bagi
masyarakat luas yang memiliki latar belakang adat dan tradisi yang
7 Ridwan umar leky, “Tradisi upacara adat perkawinan suku KUI di Kecamatan Alor
Barat Daya Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur Perspektif hukum Islam, (skripsi, FSEI IAIN Mataram, Mataram, 2015),
8
berbeda-beda dan unik dalam hal pernikahan. Persamaan penelitian
Ridwan umar leky dengan penelitian yang akan dilkukan oleh penulis
saat ini adalah sama-sama membahas masalah peminangan sampai pada
perkawinan.
Perbedaan antara penelitian Ridwan dengan penelitian yang
dilakukan peneliti saat ini adalah peneliti sebelumnya lebih kepada
kesesluruhan tradisi upacara adat dalam perkawinan, dari proses
peminangan hingga sampai pada sesi pernikahan selesai, dan di tinjau
dari segi perspektif hukum Islam. Adapun lokasi dari penelitian
sebelumnya berada di kecamatan alor barat daya kabupaten alor provinsi
NTT, sedangkan peneliti saat ini lebih kepada praktek peminangan
Tradisi latama kareyoo pernikahan suku Sumba dan sedangkan peneliti
saat ini meninjau dari segi perspektif hukum keluarga, adapun lokasi
yang dilakukan peneliti saat ini berada di desa Pero Konda Kecamatan
Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur. Adapun
hasil akhir skripsi umar adalah cara agar masyarakat luas mengtahui tata
cara pernikahan suku KUI yang unik dan akan menjadi rujukan bagi
masyarakat setempat bahwa adat yang di dilakukan di desa tersebut telah
menjadi adat istiadat turut temurun.
2. Yanuarius lende wara 2012,8 Pergeseran Makna Belis dalam Adat
Perkawinan Masyarakat Sumba, skripsi ini membahas tentang
8 Yanus lende wara, pergeseran makna belis dalam adat masyarakat sumba,http://resp
ostory.ukw.edo/bitstream/123456789/6410/2/pros.yanuariuslendew%2cwahyu p-pergeseran maknabelis_fulltext.o.pdf, diakses tanggal 20, Nivember,2018, pukul 13.10.
9
bagaimana pergeseran makna belis karena ketidak sanggupan
masyarakat dalam permintaan belis tradisi upacara adat dan dengan
keadaan perekonomian masyarakat yang tidak memadai. Persamaan
penelitian, Yanuarius Lende wera dengan penelitian yang akan
dilakukan penulisan saat ini adalah sama-sama membahas tentang
perkawinan adat Sumba.
Perbedaan antara penelitian Yanuarius Lende Wara dengan
penelitian yang dilakukan peneliti saat ini adalah peneliti sebelumnya
lebih kepada “pergeseran makna belis dalam pernikahan adat Sumba,
adapun lokasi dari penelitian sebelumnya berada di Kecamatan Wewewa
Kabupaten Sumba Barat Daya Provinsi NTT, sedangkan peneliti saat ini
lebih kepada “ Tradisi latama kareyoo dan peneliti saat ini meninjau dari
segi perspektif hukum keluarga, adapun lokasi yang dilakukan peneliti
saat ini berada di Desa Pero Konda Kecamatan Kodi Kabupaten Sumba
Barat Daya Nusa Tenggara Timur. Dan hasil akhir dalam skripsi
Yanuarius adalah makna belis sebuah ikatan sosial yang memuat jalinan
kekerabatan, kehidupan saling tolong menolong, menghargai pihak lain,
serta sebagai upaya melindungi kaum perempuan.
3. L. Ade Sukrizal Watoni dengan judul “Tradisi Nyongkolan Adat Sasak
dalam Perspektif Hukum Islam (Study Kasus di Desa Mendana Raya
Kecamatan Keruak Kabupaten Lombok Timur”. Penelitian Ade
berbicara tentang tradisi nyongkolan dalam pandangan para tokoh
terutama tokoh agama dan tokoh masyarakat yang ada di desa Mendana
10
Raya terkait masalah adat nyongkolan itu sendiri bahwa, pada dasarnya
acara tersebut diperbolehkan karena tujuannya yang sangat mulia, yakni
untuk menyebarluaskan atau memberitahukan kepada masyarakat
banyak bahwasanya kedua mempelai tersebut telah resmi menjadi suami
istri. Hal ini bisa terus dilestarikan, sehingga kebiasaan nyongkolan
nantinya dapat dijadikan salah satu media dalam berdakwah,
mensyiarkan ajaran agama dengan cara memperkenalkan sekaligus
mengumumkan kedua pengantin sehingga nanti dikemudian hari tidak
menimbulkan fitnah. Bahwasanya Islam sendiri memandang tradisi pada
hakekatnya dihajatkan untuk menjalankan ruh agama itu sendiri, bahkan
itu merupakan tuntunan syari‟at agama yang disyari‟atkan pada umat
Nabi Muhammad saw, yang berlandaskan pada al-Hadits.9
Berdasarkan hasil penelitian Ade di atas maka dapat peneliti
uraikan persamaan dan perbedaannya. Persamaan, penelitian dilapangan
dan jenis penelitiannya adalah kualitatif serta topik bahasannya tentang
tradisi perkawinan. Perbedaannya, walaupun sama-sama tentang tradisi
namun Ade Sukrizal Watoni lebih fokus pada tradisi nyongkolan
sedangkan peneliti fokus pada tradisi Latama Kareyoo. Kedua tradisi
tersebut merupakan tradisi yang berbeda.
9 L. Ade Sukrizal Watoni, “Tradisi Nyongkolan Adat Sasak dalam Perspektif Hukum
Islam, Study Kasus di Desa Mendana Raya Kecamatan Keruak Kabupaten Lombok Timur, ( skripsi FSEI IAIN Mataram, Mataram, 2015), hlm. 80.
11
F. Kerangka Teori
1. Konsep Peminangan
a. Pengertian
Peminangan dalam ilmu fiqh disebut dengan “khitbah” yang
mempunyai arti permintaan. Menurut istilah mempunyai arti
menunjukkan (menyatakan) permintaan untuk perjodohan dari
seorang laki-laki pada seorang perempuan atau sebaliknya dengan
perantara seorang yang dipercaya.
Pengertian khitbah adalah adapun kata khitbah merupakan
terminologi Arab yang berasal dari akar kata al-khithaab dan al-
khatbu.
Al-khitab berarti pembicaraan. Apabila dikatakan “takhothoba”
maka artinya kedua itu sedang berbincang bincang dan khotabahu fi
amrin artinya adalah berbicara pada orang itu tentang suatu
persoalan. Jika khitab (berbicara) ini berhubungan dengan ikhwal
perempuan maka makna yang pertama kali ditangkap darinya adalah
pembicaraan ini berhubungan dengan persoalan tentang pernikahan.
Demikian kita dapat bahwa makna khitbah ditinjau dari segi
bahasa (Arab) adalah pembicaraan/berbincang-bincang seorang laki-
laki dan seorang perempuan tentu untuk dinikahinya. Meskipun
hanya sebatas permohonan saja ini sudah dikatakan bahwa si fulan
telah melamar si fulanah, terlepas dari apakah permohonan ini
12
diterimah oleh perempuan sendiri ataupun diterima oleh keluarganya
maupun belum ada kepastian apakah diterimah/ditolak.
Makana khitbah dalam pengerian hukum Islam tidak keluar dari
lingkup makna secara bahasa yaitu lamaran atau permohonan untuk
menikah yang ditujukan pada seorang perempuan tertentu, baik
permohonan ini diterima oleh perempuan tersebut atau sudah
diterimah oleh salah seorang keluarganya maupun kepastian belum
jelas apakah permohonan itu diterima atau ditolak.
Khitbah atau permohonan belum dikatakan sempurna hanya
dengan permohonan saja (meskipun belum ada respon), sedangkan
akad menurut asalnya baru dikatakan sempurna bila telah ijab kabul
(serah terima).
Begitu pula dalam KHI dan hukum adat sudah diatur tentang
cara peminangan dimana peminangan dapat langsung dilakukan
oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh dan dapat
pula dilakukan melalui perantara yang dapat dipercaya (pasal 11
KHI). Namun praktik kebiasaan dalam masyarakat menunjukan
bahwa peminangan merupakan permulaan yang hampir pasti
dilakukan.
Pasal 12 KHI menjelaskan, pada prinsipnya peminangan dapat
dilakukan terhadap seorang perempuan yang masih perawan atau
terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Hal ini dapat
13
dipahami sebagai syarat-syarat lainnya, perempuan yang dipinang
tidak terdapat halangan seperti berikut, pasal 12 ayat (2), (3), dan (4).
Ayat (2) : wanita yang ditalak suaminya yang berada dalam masa
iddah raji‟ah, haram dan dilarang untuk dipinang
Ayat (3) : dilarang juga meminang seorang perempuan yang
sedang dipinang pria lain, selama pinang pria tersebut
belum putus atau belum ada penolakan dari wanita.
Ayat (4) : putusan pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan
tentang putusnya hubungan pinanga atau secara diam-
diam pria yang meminang telah mejauhi dan
meminanggal wanita yang dipinang.10
b. Dasar hukum khitbah
Khitbah disyariatkan oleh islam berdasarkan al-Qur‟an, as-
sunnah dan ijma‟. Di dalam al- Qur‟an surat al – Baqarah (2): 235,
Allah SWT berfirman :
ه فيما عرض كم ول جناح علي ة خط من ۦتم ب في ننتم أك ء أو لنسا ٱب
أنفسكم
10 Ahmad Rafiq, Hukum Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 13
14
Artinya : “dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita
itu”11
Adapun letak penetapan dalil dari ayat ini terhadap persoalan
yang sedang dibahas adalah bahwasannya Allah swt membolehkan
seseorang untuk meminang wanita. Maka dapat dipahami bahwa
meminang wanita hukumnya boleh (mubah) dan tidak berdosa
melakukannya.
Khitbah menurut mayoritas ulama pada dasarnya adalah
mubah (boleh), akan tetapi bisa saja diharamkan pada sebagian
keadaan, seperti mengungkapkan pinangan itu dengan tegas kepada
wanita yang masih berada dalam masa iddah karena ditalak raj‟i
oleh oleh suaminya, baik pinangan itu diungkapkan dengan terus
terang maupun dengan sindiran.
Sebagian ulama ada berpendapat bahwa hukum meminang
pada dasarnya mustahab, yakni ia adalah perkara yang disukai dan
dianjurkan untuk menjadi masa perkenalan antara laki-laki sebagai
peminang dan wanita sebagai yang dipinang. Hukum ini tidak
berubah kecuali pada kondisi dimana pinangan itu diharamkan
ataupun tidak disukai (makruh).
Hukum dasar melamar itu adalah mubah karena tidak
disebutkan satu dalilpun menyatakan bahwa hukum dasar
meminang itu selain dari pada mubah, dan segala sesuatu yang
11 Depang RI, Al- Qur‟an dan ...., Op. Cit.,
15
keadannya seperti itu maka hukumnya dapat dipastikan adalah
mubah.
Hadits ini mengindikasikan bahwa pinangan itu disyari‟atkan
bagi peminangan pertama, dan haknya dalam pinangan itu wajib
untuk dihargai. Sedangkan di dalam sunnah fi‟liya (sunnah yang
bersumber pada pembuatan) dapat ditemukan dalam praktik Nabi
saw yang meminang sebagian istri-istrinya.
Selanjutnya perempuan yang sudah dipinang saudaranya.
Dilarang untuk dipinang lagi olehnya, kecuali apabila saudaranya
itu (peminang pertama) sudah melepaskanya, barulah (peminang
selanjutnya) diperkenankan untuk mengajukan peminagan kepada
si perempuan tersebut sesuai dengan hadits di atas.
c. Orang-orang Yang Boleh Dipinang
Pada dasarnya peminangan itu adalah proses awal dari
perkawinan. Dengan begitu perempuan-perempuan yang secara
hukum syara‟ boleh dikawini oleh seorang laki-laki, boleh
dipinang. Dalam hukum islam terdapat aturan tentang siapa yang
boleh dipinang dan siapa yang tidak boleh dipinang. Seseorang
boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat:
1) Pada waktu dipinang tidak ada halangan yang melarang
dilangsungkannya perkawinan dibagi menjadi tiga yaitu:
a) Wanita itu tidak terikat perkawinan yang sah
16
b) Wanita yang bukan mahram yang haram dinikahi untuk
sementara atau selamanya.
c) Wanita itu tidak dalam masa iddah.
2) Belum dipinang orang secara sah.12
d. Hukum Memandang Wanita Terpinang
Syariat Islam memperbolehkan seorang laki-laki memandang
wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan disunnahkan
karena pandangan peminang terhadap terpinang merupakan bagian
dari sarana keberlangsungan hidup pernikahan dan ketenteraman.
Syariat Islam memperbolehkan pandangan terhadap wanita
terpinang padahal asalnya haram memandang wanita lain yang
bukan mahram. Hal ini didasarkan pada kondisi darurat, yakni
unsur keterpaksaan untuk melakukan hal tersebut karena masing-
masing calon pasanmgan memang harus mengetahui secara jelas
permasalahan orang yang akan menjadi teman hidup dan secara
khususnya prilakunya.
e. Anggota Tubuh Terpinang yang Boleh dipandang
Di sini ada 4 pendapat para fuqaha‟ dan ulama tentang
anggota tubuh mana yang boleh dilihat antara lain yaitu
1) Mayoritas fuqaha‟ seperti Imama Malik, Asy Syafi‟i, dan
Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa
anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah
12Abdul,Shomad,hukum islam (jakarta: Kencana 2010),hlm. 275
17
wajah dan kedua telapak tangan. Wajah tempat menghimpun
segala kecantikan dan mengungkapkan banyak nilai-nilai
kejiwaan,kesehatan dan akhlak. Sedangkan dua telapak tangan
dijadikan indikator kesuburan badan, gemuk dan kurusnya.
Adapun dalil mereka adalah firman Allah swt:
هر من ول يب هن إل ما ظ ها دين زينت
“ Dan janganlah menampakan perhiasannya (auratnya),
kecuali apa yang terlihat darinya. ( QS. An-Nur (24) : 31)13
2) Ulama Hanbali berpendapat bahwa batas kebolehan
memandang anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana
memandang wanita mahram, yaitu apa yang tampak pada
wanita pada umumnya disaat bekerja dirumah, seperti wajah,
kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan
sesamanya. Tidak boleh memandang anggota tubuh pada
umumnya tertutup seperti dada, punggung dan sesamanya.
Adapu alasan mereka; Nabi SAW tatkala memperbolehkan
seorang sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya.
Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang
tampak pada umumnya. Oleh karena itu, tidak mungkin hanya
13 Abdul Aziz Muhammad Azam, fiqih munakahat, (jakarta : AMZAH ,2009), hlm. 11
18
memandang wajah, kemudian diperbolehkan memandang yang
lain karena sama-sama tampak seperti halnya wajah. 14
3) Ulama Hanafiah dan Hanabilah masyhur mazhabnya
berpendapat,kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk
dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki,
tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai
cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya.
Menyikap dan memandang wanita lebih dari anggotah tubuh
tersebuat akan menimbulkan kerusakan dan maksiat yang pada
umumnya diduga maslahat.
4) Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bahwa bolehnya melihat
seluruh anggota tubuh wanita terpinang yang diinginkan.
Berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW : “ lihatlah
kepadanya.” Disi Rasulullah SAW tidak mengkhususkan
suatu bagian bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
Kadang kala wanita terpinang tidak terlalu cantik, terkadang
karena baik sifat-sifat dan tingkah lakunya.15
f. Kapan Waktu Melihat Wanita Terpinang
Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu yang
diperbolehkan melihatwanita terpinang adalah pada saat seorang
laki-laki memiliki azam (keinginan kuat) menikah dan ada
14 Ibid hlm. 12
15Ibid hlm.13
19
kemampuan baik secara fisik maupun materil. Syarat lain
berkenaan wanita yang dipinang pada saat dilihat baik untuk
dinikahi, bukan wanita penghibur atau bukan istri orang lain. Ini
berarti, melihat wanita yang terpenting itu diperbolehkan pada
waktu meminang. Dalam hal ini Imam Asy Syafi‟i menjelaskan,
hendaknya melihat wanita sebelum khitbah dengan niat akan
menikahinya, baik tanpa sepengetahuan yang bersangkutan
maupun sepengetahuan keluarganya.
g. Empat Mata dengan Wanita Terpinang
Syariat Islam memperbolehkan laki-laki melihat wanita
terpinang, demikian juaga wanita terpinang boleh melihat laki-laki
peminang. Penglihatan masing-masing ini dimaksudkan agar saling
memahami dan menerimah sebelum melangkah kepernikahan.
Kebolehan melihat tersebut hanya pada saat khitbah. Oleh karena
itu, peminang tidak boleh bersunyian empat mata dengan wanita
terpinang, tidak boleh pergi bersamaan, keluar untuk rekreasi, dan
lain-lain kecuali dengan mahram (saudara).16
Setelah dilakukan peminangan dan para pihak telah sama-sama
sepakat, maka perkawinannya dapat dilangsungkan. Masa ikatan
untuk melangsungkan perkawinan ini disebut khitbah atau masa
pertunangan. Dalam masa ini antara laki-laki dan wanita belum
16 Ibid . hlm 14-16
20
boleh bergaul layaknya suami istri, karena belum terikat dalam tali
perkawinan. Larangan-larangan yang berlaku dalam hubungan laki-
laki dan wanita yang bukan muhrim berlaku juga dalam masa
pertunangan ini.
2. Konsep Perkawinan di Indonesia
a. Pengertian Perkawinan di Indonesia
Kata perkawinan menurut istilah hukum Islam sama dengan
kata nikah dan kata zawaj. Nikah menurut bahasa mempunyai arti
sebenarnya yakni dham yang berarti menghimpit, menindih atau
berkumpul. Nikah mempunyai arti kiasan yakni wathaa yang berarti
setubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.
Dalam kehidupan sehari-hari nikah dalam arti kiasan lebih banyak
dipakai dalam arti sebenarnya jarang sekali dipakai saat ini. 17
Menurut ahli ushul, arti nikah terdapat 3 macam pendapat
yakni:
1. Menurut ahli ushul golongan Hanafi, arti aslinya adalah setubuh
dan menurut arti majazi (metaphoric) adalah akad yang
dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan
wanita.
2. Menurut ahli ushul golongan Syafi‟I, nikah menurut arti aslinya
adalah akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin
17Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 258-259.
21
antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti Majazi adalah
setubuh.
3. Menurut Abdul Qasim1 Azzajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan
sebagian ahli ushul dari sahabat Abu Hanifah mengartikan nikah
bersyarikat artinya antara akad dan setubuh.
b. Pengertian Perkawinan berdasarkan UU No.1 Tahun 1974
Perkawinan yang termuat dalam pasal 1, yang menyatakan
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.18
Pengertian tersebut lebih dipertegas oleh KHI Pasal 2 abahwa
perkawinan menurut hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidzan, untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.19
c. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa. Apabila kita amati tujuan perkawinan menurut konsepsi UUP
tersebut, ternyata bahwa konsepsi UUP Nasional tidak ada yang
bertantangan dengan tujuan perkawinan menurut konsepsi hukum
Islam, bahkan dapat dikatakan bahwasannya ketentuan-ketentuan di
18 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat ( Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 15. 19 Ibid
22
dalam Undang-Undang No.1 1974 dapat menunjang terlaksananya
tujuan perkawinan menurut hukum Islam.
3. Konsep Umum Adat Istiadat (‘urf)
a. Pengertian Adat
Adat atau „urf yaitu suatu yang sudah diyakini mayoritas
orang, baik berupa ucapan atau perbuatan yang sudah berulang-ulang
sehingga tertanam dalam jiwa dan diterima oleh akal mereka. :20
b. Macam-macam Adat
Penggolongan macam-macam adat atau urf itu dilihat dari
berbagai segi:
1) Ditinjau dari Segi Materi yang Biasa Dilakukan
a) „Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan
kata-kata atau ucapan.
b) „Urf Fi‟li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan.
Umpamanya; kebiasaan jual beli barang-barang enteng.
2) Ditinjau dari Ruang Lingkup Penggunaannya
a) Adat atau Urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum
berlaku dimana-mana, hamper di seluruh penjuru dunia,
tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Umpamanya;
menganggukkan kepala tanda menyetujui dan
menggelengkan kepala tanda menolak atau menidakkan.
20 Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟ (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 167.
23
b) Adat atau „Urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan
sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu
tertentu; tidak berlaku disemua tempat dan disembarang
tempat.
3) Dari segi Penilaian Baik dan Buruk
a) Adat yang shahih, yaitu adat yang berulang-ulang dilakukan,
diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan
agama, sopan santun, dan budaya yang lahir.
b) Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku disuatu tempat
meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan
dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun.21
c) Unsur-Unsur Hukum Adat
Berdasarkan sifatnya yang tidak tertulis, hukum adat
memiliki peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan
dalam hukum formal tetapi ia tetap menjadi hukum yang
ditaati dan didukung oleh rakyat dengan segenap keyakinan
mereka bahwasanya peraturan tersebut memiliki kekuatan
hukum.
Berdasarkan beberapa batasan yang telah dikemukakan
mengenai hukum adat diatas, maka unsur-unsur hukum adat
dapat diuraiakan sebagai berikut:
21 H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh (Jakarta, Kencana, 2008), hlm. 413.
24
a) Adanya tingkah laku yang dilakukan secara terus
menerus
b) Adanya pola tingkah laku yang sistematis dan teratur
c) Adanya nilai sakral yang dipakai dalam tingkah laku
tersebut
d) Adanya keputusan kepala adat
e) Adanya akibat hukum/ sanksi
f) Tidak tertulis
g) Ditaati karena kepatutan dan kewibawaannya.22
d) Penyerapan Adat dalam Hukum Islam
Islam datang dengan seperangkat norma syara‟ yang
mengatur kehidupan muamalah yang harus dipatuhi umat
Islam sebagai konsekuensi dari keimanannya kepada Allah
dan Rasulnya. Sebagian dari adat lama itu ada yang selaras
dan ada yang bertentangan dengan hukum syara‟ yang
datang kemudian. Adat yang bertentangan itu dengan
sendirinya tidak mungkin dilaksanakan oleh umat Islam
secara bersamaan dengan hukum syara‟. Pertemuan antara
adat dan syari‟at tersebut terjadilah perbenturan, penyerapan,
dan pembauran antara keduanya. Dalam ini yang diutamakan
adalah proses penyeleksian adat yang dipandang masih
diperlukan untuk dilaksanakan. Adapun yang dijadikan
22 A. Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat (Jakarta: Prenadamedia Group,2014), hlm.8.
25
pedoman dalam menyeleksi adat lama itu adalah
kemaslahatan manurut wahyu. Berdasarkan hasil seleksi
tersebut, adat dapat dibagi kepada empat kelompok sebagai
berikut:
1) Adat yang lama secara substansial dan dalam ini
pelaksanaannya mengandung unsur kemaslahatan.
Maksudnya dalam perbuatan itu terdapat unsur manfaat
dan tidak ada unsur mudaratnya; atau unsur manfaatnya
lebih besar dari unsur mudaratnya, adat dalam bentuk ini
diterima sepenuhnya dalam hukum Islam.
2) Adat lama yang pada prinsipnya secara substansial
mengandung unsur maslahat (tidak mengandung unsur
mufsadat atau mudarat), namun dalam pelaksanaannya
tidak dianggap baik oleh Islam. Adat dalam bentuk ini
dapat diterima dalam Islam, namun dalam
pelaksanaannya selanjutnya mengalami perubahan dan
penyelesaian.
3) Adat lama yang ada pada prinsip dan pelaksanaannya
mengandung unsur mafsadat (merusak). Maksudnya,
yang dikandungnya hanya unsur perusak dan tidak
memiliki unsur manfaatnya; atau ada unsur manfaatnya
tetapi unsur perusaknya lebih besar.
26
4) Adat atau „urf yang telah berlangsung lama, diterima oleh
orang banyak karena tidak mengandung unsur mafsadat
(merusak) dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟
yang datang kemudian, namun secara jelas belum
terserap ke dalam syara‟, baik secara langsung atau
tidak.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan normatif sosiologi. adalah memandang agama
dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari tuhan yang di dalamnya
belum terdapat penalaran manusia. Sedangkan sosiologi adalah sebuah
kajian ilmu yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial manusia
antara satu dengan yang lain atau antara kelompok yang satu dengan
yang lain.23
Alasan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena
pendekatan kualitatif memiliki karakteristik yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat. Selain itu alasan peneliti menggunakan
pendekatan untuk dapat mendeskripsikan bagaimana pelaksanaan adat
latama kareyoo di Desa Pero Konda.
23 Khoiriyah, Memahami Metodelogi Studi Islam, (Yogyakarta, Penerbit Teras,2013).hlm . 87-88
27
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan peneliti yaitu jenis penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti kondisi yang alamiah, dimana peneliti merupakan
instrumen kunci.24 Adapun alasan peneliti menggunakan jenis penelitian
kualitatif, karena penelitian kualitatif memiliki dasar deskriptif guna
memahami suatu pristiwa dengan lebih mendalam serta dalam penelitian
kualitatif menggunakan landasan teori untuk memfokuskan penelitian
serta menekankan pada proses dan makna yang terdapat dalam peristiwa
tersebut.
3. Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti dimaksudkan adalah peran dan upaya peneliti
dalam memproleh data. Dalam hal ini peneliti sebagai instrumen kunci
sekaligus sebagai pengumpul data yang langsung melibatkan diri dalam
kehidupan subyek penelitian dalam waktu yang telah ditentukan yaitu
sesuai dengan jadwal peneliti.
4. Lokasi Peneliti
Adapun Lokasi Penelitian yang dipilih peneliti adalah di Desa Pero
Konda Kec. Kodi Kab. Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur.
Jumlah penduduk Desa Pero Konda secara keseluruhan adalah 554 jiwa
dengan mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Keunikan dari
Desa Pero Konda ini karena dengan penduduknya yang bermayoritas
24 H. Afifuddin, Beni Ahmad Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 57.
28
muslim tersebut, namun juga sangat kental dengan hukum adatnya yang
senantiasa menjadi pedoman hidup masyarakat dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, karena adatnya yang sangat kental
tersebut dalam proses tradisi dan praktek latama kareyoo harus
memakan waktu yang sangat lama dan membuat para pasangan yang
sudah terikat dengan pinangan leluasa pergi berduaan di tempat yang
sepi dan ramai‟ tanpa menyadari bahwa mereka belum melakukan akad
atau ijab kabul yang menjadikan mereka sebagai pasangan suami istri
atau mahramnya.
5. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat
diperoleh.25 Adapun sumber data penelitian ini terbagi menjadi 2 yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder.
a. Data Primer
Sumber primer adalah suatu objek atau dokumen original
material mentah dari pelaku yang biasa disebut “First-had
information”.26 Data primer, sumber datanya diperoleh secara
langsung dari sumber aslinya. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan wawancara dalam mengumpulkan data. Data primer
sumber datanya berasal dari hasil wawancara peneliti dengan ketua
adat, tokoh agama dan masyarakat yang terkena dengan denda
latama kareyoo tersebut.
25 Ibid., hlm. 172. 26 UlberSilalahi, Metode Penelitian Sosial,(Bandung :PT Refika Aditama,2010), hlm
.289.
29
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari,
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, tangan kedua atau dari
sumber-sumber lainnya yang telah tersedia sebelum penelitian
dilakukan.27 Sedangkan data sekunder, sumber datanya diperoleh
peneliti secara tidak langsung melalui media perantara, seperti buku,
jurnal, Al-Qur‟an dan Hadits yang terkait dengan permasalahan yang
penulis teliti.
Berangkat dari hal tersebut di atas, tepatlah apa yang dikatakan
oleh Suharsimi Arikunto yang menyatakan bahwa sumber data
dalam penelitian adalah subyek darimana data dapat diperoleh.28
Sumber data sekunder ini diperoleh melalui berbagai media
baik secara langsung atau secara tidak langsung yang berupa buku,
catatan, jurnal, dan bukti yang telah ada, atau arsip baik yang di
publikasikan maupun yang tidak di publikasikan.
6. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa
cara, diantaranya adalah :
a. Observasi
Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala
27 Ibid.,hlm.291. 28Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik(Jakarta: Rineka
Cipta, 2006), hlm. 129
30
yang di selidiki.29 Obervasi ada dua yaitu observasi partisipan dan
non partisipan teknik observasi yang digunakan oleh peneliti adalah
observasi non partisipan, karena peneliti hanya melakukan
pengamatan terhadap tradisi dan praktek adat latama kareyoo, tidak
mengikuti secara langsung proses berjalannya acara adat latama
kareyoo tersebut. Data yang diperoleh melalui observasi adalah
terkait dengan letak dan kondisi desa Pero Konda dan Tradisi adat
latama kareyoo.
b. Wawancara
Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.30
Wawancara ada dua yaitu wawancara struktur dan wawancara tidak
terstruktur.
Tehnik wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara
tidak terstruktur. Artinya, peneliti tidak menyusun terlebih dahulu
pedoman pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan
atau responden. Namun, peneliti hanya menyusun point-point besar
atau umum dari pertanyaan yang diajukan.
Wawancara yang bersangkutan dengan cara melakukan tekhnis
snowball, yaitu bergulir bagaikan bola salju. Pertama peneliti
melakukan wawancara pada informan kunci yaitu tokoh adat
29 Cholid Narbuko, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 70 30Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D
(Bandung: Alfabeta, 2010), hlm.126.
31
setempat lalu tokoh adat tersebut kemudian memberikan informasi
kepada peneliti pada orang-orang yang dianggap memiliki
pengetahuan yang lainnya. Sehingga berdasarkan snowball itulah
kemudian tokoh adat yang peneliti wawancara sebanyak 3 orang,
dan tokoh agama sebanyak 4 orang dan masyarakat yang terkena
adat latama kareyoo sebanyak 5 pasangan yang memungkinkan
dapat memberikan informasi valid terkait obyek penelitian.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.31
Bentuk dokumentasi itu berrupa resmi maupun tidak resmi,
baik itu berbentuk lapoan, surat resmi, buku harian, dan
semacamnya. Dokumen berkaitan dengan bentuk dokumen yang
merupakan informasi, dengan kata lain bahwa metode dokumentasi
sebagai sumber informasi merupakan cara pengumpulan data yang
dilakukan dengan mempelajari tulisan-tulisan yang ada, serta data
sarana dan prasarana yang mendukung pencarian data tersebut.
Selain itu mendapatkan data seperti catatan-catatan penting yang
berkaitan dengan obyek penelitian yang diteliti di Desa Pero dalam
hal praktik Latama Kareyoo, seperti profil Desa Pero.
7. Analisis Data
31 Ibid. 23
32
Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang
dapat disertakan kepada orang lain dalam mengalisis data.32
Setelah data terkumpul, maka peneliti melakukan analisis dan
diinterpretasikan dengan teliti, ulet dan kecakapan sehingga diperoleh
suatu kesimpulan yang objektif dari suatu penelitian. Bila data dan
informasi yang diperoleh itu sudah dianalisis dan diinterpretasikan,
maka akan diketahui respon hukum keluarga terhadap Tradisi adat
latama kareyo dalam perkawinan.
Mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan normatif
sosiologis, maka peneliti menggunakan analisis data filosofi atau logika
dengan metode induksi yaitu berangkat dari fakta-fakta khusus,
peristiwa-pristiwa yang konkrit, kemudian dari fakta-fakta khusus atau
pristiwa yang konkrit tersebut ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
Merujuk pada pengertian di atas, peneliti menggunakan metode ini
adalah untuk menyimpulkan hasil observasi, dan wawancara.
Ada beberapa metode yang kita kenal dalam menganalisis data
yang telah didapatkan dilapangan diantaranya:33
a. Metode Deduktif
32Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Thesis Bisnis (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007), hlm. 248. 33 Hilalul Hairi,TKI Tujuan Malaysia dan dampaknya terhadap angkaperceraian,
(Skripsi IAIN Mataram, Mataram, 2008), hlm. 51
33
Metode deduktif adalah metode yang bertolak dari suatu dalil
atau definisi untuk meneliti suatu kajian. Menurut pendapat lain
bahwa pola berfikir deduktif, yaitu suatu pola berfikir yang
berangkat dari pengetahuan dan bersifat umum dalam rangka menilai
masalah yang bersifat khusus.
b. Metode Induktif
Metode induktif yaitu metode berfikir yang berangkat dari
fakta-fakta khusus atau peristiwa-peristiwa konkrit, kemudian dari
data-data tersebut ditarik generalisasi yang bersifat umum.
8. Validitas Data
Teknik validitas data yang digunakan peneliti adalah:triangulasi,
membicarakan dengan teman sejawat dan perpanjangan penelitian dan
pengamatan. Untuk lebih jelasnya dibawah ini diuraikan secara rinci
sebagai berikut:
a. Triangulasi
Triangulasi dalam penelitian ini adalah untuk mengecek data
tertentu dengan membandingkan data yang diperoleh dengan sumber
lain. Triangulasi yang dipergunakan adalah triangulasi sumber, dan
triangulasi metode. Triangulasi sumber dilakukan untuk
mendapatkan informasi dari informan atau sumber lain yang
berbeda. Hal tersebut dilakukan dengan cara: Membandingkan data
hasil wawancara yang satu dengan hasil wawancara yang lain; hasil
34
observasi yang satu dengan observasi yang lain.34 Seperti hasil
wawancara antara tokoh adat yang bernama bapak Lepu di Dusun
Trenen dengan bapak Murni di Dusun pasir putih. Hasil wawancara
dengan tokoh agama seperti bapak H. Ahmad di Dusun trenen
dengan bapak Mukhlis di Dusun pasir putih. sehingga memperoleh
hasil yang sama dengan bahasa yang berbeda.
b. Perpanjangan Penelitian dan Pengamatan
Perpanjangan penelitian dan pengamatan merupakan salah satu
cara untuk menggali lebih dalam data-data lapangan apabila data-
data yang dibutuhkan masih kurang. Tujuannya untuk menghindari
kesalah pahaman terhadap data yang dihasilkan.35
Perpanjangan penelitian dan pengamatan merupakan salah satu
cara peneliti untuk mendapatkan data yang lebih valid dan akurat.
Apabila dalam data penelitian masih kurang dan membutuhkan yang
lebih lengkap maka peneliti memperpanjang penelitian dan mencari
data yang lebih banyak. Yang awalnya penelitian dilakukan pada
bulan april sampai mei.
H. Sistematika Penulisan
Sebagai upaya untuk menjaga keutuhan pembahasan dalam proposal
skripsi ini agar terarah secara metodis maka penyusun menggunakan
sistematika sebagai berikut:
34 Sutrisno Hadi, Metode Research (Jakarta: Andi Offsel, 1986), hlm. 43. 35 Ibid., hlm. 44.
35
1. Bagian awal yang berisi mulai dari halaman Cover sampai dengan daftar
isi.
2. Bagian isi mulai dari Bab I - IV
BAB I Pendahuluan berisikan konteks penelitian, fokus kajian,
tujuan dan manfaat, ruang lingkup dan setting penelitian, telaah pustaka,
kerangka teoritik, Metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II tradisis adat latama kareyoo dalam pernikahan di Desa Pero
Kecamatan Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya berisikan : gambaran
umum Desa Pero, proses dan Tradisi adat latama kareyoo di Desa Pero,
keadaan dari tradisis peminangan dalam masyarakat muslim di Desa
Pero Konda dan akibat dari tradisis itu sendiri Desa Pero Konda,
perspektif hukum keluarga.
BAB III Analisis terhadap tradisi latama kareyoo dalam pernikahan
adat masyarakat susku sumba, berisikan : analisis terhadap proses dan
Tradisis adat latama kareyoo di Desa Pero Konda, analisis terhadap
alasan perspektif hukum keluarga tentang tradisi latama kareyoo Desa
Pero Konda.
BAB IV. Bab ini merupakan penutup, yang berisikan kesimpulan
dan saran-saran yang berisikan kontribusi yang dapat diambil dari
skripsi ini.
3. Bagian Akhir mulai dari daftar pustaka sampai lampiran
36
BAB II
PAPARAN DATA DAN TEMUAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Sejarah Desa Pero Konda
Desa Pero Konda pada masa yang lalu, terdiri dari sebuah
perkampungan (dalam bahasa sumba dinamakan PARONA). Dan
Parona ini adalah sebuah kumpulan pemukiman masyarakat adat yang
batas-batasnya jelas, dan batas yang dimaksud pada masa itu terdiri dari
pagar batu. Kumpulan pemukiman masyarakt yang dimaksud pada masa
itu dinamai Pero. (Parona Pero). Kumpulan pemukiman masyarakat adat
ini di mulai dengan kedatangan nenek moyang mereka dari pulau Flores
(Ali Pua Story, Kae Hada, Juru Batu dan lain-lain ). Ketiga orang
tersebu merupakan orang Ende etnis Flores. Konon dan Ketiga orang
inilah yang pertama menempati kampung Pero.
Sepuluh sampai dua puluh tahun kemudian berdatanganlah
beberapa keluarga dari flores datang untuk mengunjungi keluarga yang
sudah menetap di Pero. Pada waktu itu jumlah kepala Keluarga ± 10
(KK). Dan Kedatangan masyarakat pendatang ini kemudian masuk
dalam perkampuangan Pero yang saat itu merupakan daerah swapraja
Kodi pada masa kerajaan Raja /RATO LOGHE selanjutnya disusul Raja
37
Ndero Wula dan terakhir oleh Raja Horo.36 Pada saat itu Kampung pero
dipimpin oleh seorang kepala kampung (dalam bahasa Kodi dinamakan
Kapala Parona), yang bernama Abdul Rahman Story. pada saat Abdul
Rahman story Meninggal, kepemimpinan selanjutnya diganti oleh
anaknya yang bernaman Tamo Bapa dan tidak lama kemudian setelah
tamo Bapa meninggal, kepemimpinan selanjuatnya diganti oleh daudara
dari Tamo Bapak yang bernama Muhamad Story dan setelah
kepemimpinannya berakhir pula, akhirnya dilanjutkan lagi oleh
Abdulah Story.
Pada masa kepemimpinan Abdullah Story terjadi konflik sosial
dimana Abdullah Story diturunkan dari kepemimpinan itu dan kemudian
diganti oleh Muda Samana, namun kepemimpinan Muda Samana
tersebut tidak langgeng sehingga baru berumur 3 (tiga) bulan dalam
kepemipinannya beliau mengundurkan diri dan mengembalikan
kepemimpinan itu ke Abdullah Story. Setelah Abdullah Story meninggal
wilayah perkampungan Pero berubah menjadi Dusun Pero dan kepala
dusun tersebut dijabat oleh Muhamad Haji. Dalam perkembangan
selanjutnya karena jumlah warga perkampungan Pero sudah mengalami
pertambahan maka dusun ini menjadi 2 (dua) dusun dimana dusun 1
(satu) dijabat oleh Muhammad Haji Hada dan dusun 2 (dua) di jabat
oleh Koda Sanggore. Dua dusun tersebut masuk dalam wilayah desa
Pero Batang kemudian sekitar tahun 2011 wacana pemekran desa mulai
36 Taufan, Wawancara, Desa Pero, tanggal, 15-05-2018.
38
muncul ke permukaan dan pada akhirnya kedua dusun (dusun 1 dan
dusun 2) mengajukan pemekaran desa dan pada tahun 2011 dua dusun
tersbut disepakati untuk memekarkan diri dengan nama Desa Pero
Konda dan yang menjabat sebagai pejabat kepala desa pada saat itu
bernama Muhammad Amin. 37Pero Konda sendiri merupakan bahasa
Ende yang terdiri dari dua suku kata yaitu: “Pero” yang artinya Burung
Nuri dan “Ana Konda” yang artinya Juragan Perahu. Jadi Pero Konda
berarti Seorang Nahkoda / Anakonda. Jadi Pero Konda mengandung
makna yaitu, seorang nahkoda Yang Datang Dari Tempat Yang Jauh
(Ende Flores). Sehingga tidak mengherankan apabila sampai dengan
sekarang hampir 90 % warga Desa Pero Konda mata pencaharian
sebagai petani nelayan.
Ketika terbentuk desa baru, maka pada saat itu Muhamad Amin
ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi Penjabat kepala desa Desa Pero
Konda hingga tahun 2013. Pada saat masa kepemimpinan Muhamad
Amin berakhir dimulailah pemilihan Kepala Desa Pero Konda untuk
yang pertama kali oleh masyarakat. Dan yang berhasil meraih
kemenangan untuk menjadi Kepala Desa Pero Konda adalah Bapak Ali
Pua Story, SH dengan masa jabatan periode 2013 sampai 2018.38
37 Ibid 38 Ibid
39
2. Keadaan Geografis Desa
a. Letak Wilayah
Desa Pero Konda memiliki luas wilayah yang tidak terlalu
besar, serta daerah administratif Desa Pero Konda jika menilik ke
Desa lainnya yang terdapat di Kecamatan Kodi adalah menjadi salah
satu desa yang memiliki wilayah administratif terkecil. Namun
demikian, dengan tidak terlalu besarnya wilayah yang harus
dikembangkan oleh Pemerintahan Desa Pero Konda maka hal itu
dirasa akan cukup memabantu dalam meningkatkan potensi yang
terdapat di Desa Pero Konda pada masa ke masa.
Desa Pero Konda merupakan 1 dari 19 wilayah desa dan
kelurahan yang berada di Kecamatan Kodi. Desa Pero Konda
merupakan desa pemekaran dari desa Pero Batang yang mulai
dimekarkan sejak tahun 2011 dan definitifnya pada tahun 2013. Luas
wilayah desa mencapai 4.36 Km2. Jarak dari Kota kecamatan 2 km.
Jarak dari Kota kabupaten 30 km;
Sebagai sebuah wilayah administrative pedesaan, desa Pero
Konda memiliki batas-batas wilayah definitive yakni:
40
Gambar 01 : Peta Desa Pero Konda
Sebelah barat berbatasan dengan Desa Pero Batang.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kali Bondo Kodi.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia.
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bondo Kodi
b. Luas Wilayah.
Jumlah luas tanah Desa Pero Konda seluruhnya mencapai
4.360 ha dan terdiri dari tanah Ladang, tanah pemukiman dan hutan
Mangruf :
a) Tanah Ladang : 2.439 Ha
b) Tanah Pemukiman : 1.862 Ha
c) Hutan Mangruf : 59 Ha
41
Gambar 02 : Diagram Luas Wilayah
c. Sumber daya alam
Pertanian
Perikanan
Perdagangan
Peternakan
Perkebunan
Lahan Tanah Kosong
d. Karakteristik Desa
Desa Pero Konda merupakan kawasan pedesaan yang
bersifat agraris, dengan mata pencaharian dari sebagian besar
penduduknya adalah Nelayan terutama sector perikanan.
Sedangkan pencaharian lainnya adalah sektor industri kecil yang
bergerak di bidang kerajian dan pemanfaatan hasil olahan
perikanan.
e. DemografiWilayah Administratif Desa
1) Keadaan Penduduk
42
Berdasarkan pemutahira data pada bulan Desember 2015
jumlah penduduk Desa Pero Konda terdiri dari 1.359 Jiwa degan
rincian sebagai berikut :39
a. Data Jumlah Dusun, RT, dan RW
Jumlah Dusun : 4 Wilayah
Jumlah RW : 8 Wilayah
Jumalah RT : 20 Wilayah
B. Praktek Latama Kareyoo dalam Pernikahan Adat Masyarakat Muslim
Suku Sumba di Desa Pero Konda Kecamatan Kodi Kabupaten Sumba
Barat Daya
1. Pengertian Latama Kareyo Masyarakat Muslim Suku Sumba
Melalui perkawinan seseorang akan mengalami perubahan status
yaitu dari status lajang menjadi berkeluarga, dengan demikian pasangan
tersebut diakui dan di perlukan sebagai anggota penuh dalam
masyarakat. Perbedaan adat suatu suku atau kebudayaan suata suku
adat di masyarakat setempat akan berberbeda.
Rangkaian penyelenggaraan proses perkawinan masyarakat kodi
terdiri dari beberapa tahap, mulai dari minang hingga pernikahan
berlangsung. Sebuah perkawinan yang normal biasanya didahului
dengan masa pertunangan/ikat janji antara pihak pria dan pihak wanita
yang lamanya sekitar satu tahun. Kemudian dilanjutkan dengan
pernikahan atau peresmian. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan
yang direstui oleh kedua orang tua ataupun keluarga masing-masing
39 Ibid
43
pihak, biasanya dilaksanakan menurut tatacara atau adat istiadat
perkawinan masyarakat kodi yang berlandasan kepada kaidah-kaidah
ajaran agama serta pengaruh tradisional. 40
Berdasarkan hasil wawacara penulis bahwa perspektif Latama
Kareyoo adalah sebagai berikut :
Nikah ndudolo diyo ala todanga humba, mengeka apa sah walli
ole al toyyo mengeka bandadika latama kareyoo ndungo adat, wunni
belis walli kabana, warcoyo pap ngindi ndungo paluhongu umma orang
tuyondung ngandi walli pihak kabni ndangu warcoyo ap
himbayo.41(Perkawinan dalam konteks tata bermasyarakat orang sumba,
baru dianggap sah oleh keluarga dan masyarakat apabila telah
dilaksanakan transaksi peminangan secara adat, pemberian belis dari
keluarga laki-laki, pengantin perempuan telah dibawa keluar dari rumah
orang tuanya dengan membawa serta mbola ngandi, dan kedua pihak
saling menerima).
Hal yang sama di paparkan bapak Haji).
Pap nikango ndidoyaka halahatu hal sakral ala mopir to humba,
ndungo pap walling indiyo wal nduyo toyyo ana toyo,mengeka wal
nduyo keluarga bokolo aldidoyaka wal mahsyarakat
madeta.42(Perkawinan merupakan salah satu peristiwa sakral dalam
kehidupan masyarakat Sumba, dan merupakan persekutuan bukan hanya
antara dua orang anak manusia, namun dua keluarga besar yang
bermakna sosial kemasyarakatan tinggi).
Taddu madeta loni a nila adat al pap anggap ndilolo, pap
tahanguyo ala budaya nda amupodica ne‟e lolo haspicoya aldaha loloya
toyo masharakat kodi, pegeniki bayo warcoyo tolmipiro lolo mere
ndungo kabana. Ndahaka kabana ndung warcoyo mere ek pap dabango
40 Ahmad, Wawancara, Desa Pero, Tanggal, 7-November-2017. 41 Wuddah, Wawancara, Desa pero, tanggal 04 januari 2019 42 Haji,Wawancara, Desa Pero, tanggal 03 januari 2019
44
mupir, mengeka era nei pap walli wungo al dolo mupir
wung.43(Menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang di anggap penting, patut
dipertahankan dan dibudayakan dalam kehidupan masyarakat dan harus
memilah sebaik mungkin. Masyarakat Kecamatan Kodi, memahami
bahwa perempuan sebagai makhluk yang penting, sama dengan
keberadaan laki-laki. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama
membutuhkan keselamatan, saling menghargai dan dihormati dalam
seluruh aspek hidupnya).
2. Pelaksanaan Latama Kareyoo
Dalam pelaksanaan latama kareyoo adalah terjadinya suatu poses
pihak keluarga laki-laki beserta tokoh adat melakukan musyawarah
dengan keluarga laki-laki untuk mengetahui siapa yang akan dilamar
oleh laki-laki tersebut. Setelah itu dilanjutkan dengan tokoh adat
memanggil jubir untuk membantu proses berjalannya lamaran tersebut.
Pelaksanaan upacara perkawinan yang direstui oleh kedua orang tua
ataupun keluarga masing-masing pihak, biasanya dilaksanakan menurut
tatacara atau adat istiadat.
3. Tahap-tahap Peaksanaan Latama Kareyoo
Dalam melaksanakan latama kareyoo masyarakat harus melalui
tahap-tahap tradisi adat, bahwasannya penulis uraikan hasil dari
wawancara sebagi berikut: pak muklin memaparkan.
"wal adat al deha pero konda papnikah jandadi pawal melalui
proses aldeyo do'o lolo pap latama kareyoo mengeka engulu naka pah
pege pah benye inyika welodona pap tukuwana hakluarga wal kudu
warcoyo ndugo kabani didoyaka pap taki abelis wal warcoyoo pap
latama kareyoo mengeka apbayar abelis kaha wani natoyo na wal adat
marapu". (dalam adat di Desa Pero pernikahan tidak begitu saja di
laksanakan, namun melalui proses yang cukup lama dan kadang
memakan waktu berbulan bahkan bertahun untuk melaksanakan latama
43 Ibid hlm. 5
45
kareyoo. Proses tersebut akan didahulukan oleh perkenalan atau
pendekatan dari pihak laki-laki untuk menyatakan keinginan, penetapan
waktu untuk pertemuan pihak keluarga kedua belah pihak, penetapan
maskawin dan belis bagi perempuan yang di pinang aturan pelaksanaan
pembayaran belis hingga acara pernikahan).44
Hal yang sama di paparkan oleh bapak usman, Adapun proses yang
harus dilewati adalah sebagai berikut:
1. Lado (mencari tau wanita yang akan dipinang)
Pada ketuk pintu yang pertama keluarga laki-laki dan laki-laki
menyuruh satu orang wunang (jubir) untuk mencari tau wanita yang
akan dipinang oleh laki-laki dan keluarga laki-laki. Adapun yang
dimaksud dengan mencari tau bakal calon yaitu apakah perempuan
tersebut sudah ada yang melamar atau belum. Jika sudah maka
proses lamaran tidak dilaksaanakan sampai laki-laki tersebut
menemukan perempuan yang akan dilamarnya kembali, apabila
perempuan tersebut belum ada yang melamar maka akan dilanjut
dengan proses selanjutnya.
2. Katedehong mbinya (ketuk pintu)
Pada sesi pihak laki-laki mengutus dua orang wunang (jubir) untuk
menyampaikan isi hati dari pihak laki-laki. Keluarga laki-laki akan
mengutus dua orang wunang untuk menyampaikan isi hati laki-laki
yang mau melamarnya beserta siapa laki-laki yang melamarnya
tersebut.
3. Katedehong mbinya (ketuk pintu)
Pada ketuk pintu ke- 2 ini pihak laki-laki mengutus Keluarga laki-
laki yang terdiri dari tiga sampai lima orang datang menghadap,
diseratai oleh dua orang wunang (jubir), untuk pergi kerumah pihak
wanita, Mereka membawa hadiah yang disebut “kuda ketok pintu”.
Maka dimana proses intinya yaitu melamar perempuan tersebut
setelah poses sebelumnya sudah dilaksanakan, bahwa laki-laki
44 Muklin, Wawancara, tanggal 20 Oktober 2018
46
bersama keluarga dan juga wunang akan membawa seserahan yang
dimana menurut adat sumba disebut dengan “ kuda ketok pintu” dan
juga seserahan lainnya.
4. Lamatang waricoyo (melihat dari dekat bakal calon wanita)
Lamatang Waricoyo dapat diartikan melihat dari dekat bakal calon
dimana setelah pelamaran diterima laki-laki tersebut diperbolehkan
melihat perempuan yang akan dijadikannya calon istri begitupun
sebaliknya perempuan akan melihat bakal calon suaminya.
5. Pinangan
Pada sesi peminangan ini, dari pihak laki-laki datang bersama
keluarga besar ke rumah keluarga pihak perempuan. Dengan tujuan
meminang perempuan tersebut setelah calon kedua mempelai
bertatap muka sebelumnya, dimana kedua mempelai tersebut harus
menyampaikan bahwa keduanya saling suka setelah sebelumnya
dilaksanakan proses tatap muka. Setelah sudah saling sepakat akan
dipersatukan kedua mempelai tersebut maka dilanjutkan dengan
poses permintaan belis. 45
Pap nikongo anggapo dadi oro hakeluarga wal kabani mengeka
wunni ndingi pap nikango ato belis wali ndoka, braka, ndungo haranga
henggo dara ndungo karboyo, ndungo wali warcoyo wuniki bola ngandi
ala warcoyo, hengo hanggi paplawongo, lawo, hanggi muti lao.
(pernikahan dianggap sah oleh keluarga apabila pihak laki-laki telah
melalui semua proses tersebut dan juga telah memberikan belis yang
bersifat kepriaan seprti emas, perak, dan hewan seperti kuda dan kerbau,
dan sebaliknya pihak perempuan member balasan (bola ngandi) yang
bersifat kewanitaan, seperti kain, selimut, sarung, kain muti salak.46
4. Bentuk sanksi
45 Usman, Wawancara, Desa Pero, tanggal 02 januari 2019 46 Umbu, wawancara, Desa Pero, 31 Desember 2018
47
Sedangkan untuk bentuk sanksi (jika dilanggar) serta terkait
dengan alasan pembatalan di di ketahui bahwasannya menurut bapak
Abu Bakar sebagai tokoh adat mengatakan
Dandaka diwongoya al toyo danga wango an langgar tradihi
ndungo namutoya ngara kehe a patina pahlakuni oro adato tana rato
marapu jan bani. Eng patana ngandi ndara, haiha, ndungo hamamma,
manu, ndungo hanggi pap wolo kodi. 47 (Sanksi yang akan di peruntukan
kepada masyarakat yang melanggar tradisi adalah dengan cara
mengikuti semua upacara adat yang dilakukan oleh petua adat agar para
marapu (leluhur) tidak marah. Adapun persyaratanya yaitu dibawakan
kerbau 1 ekor, siri pinang, ayam, dan sarung khas sumba asli tenunan
keturunan maramba).
Yang memandu upacara adat dan yang memberikan sanksi kepada
seseorang yang membatalkan pernikahannya adalah petua adat, adapun
siapa yang akan menerima seserahan denda yang diberikan adalah petua
adat dan juga dengan perempuan yang tadi mau dilamarnya tapi
dibatalkan.
Selanjutnya, alasan apa sajakah yang menyebabkan batalnya lamaran
sebagai berikut:
a. Memenuhi aturan usia
b. Persetujuan kedua belah pihak
c. Karena faktor ekonomi
d. Para pemberi perempuan terlalu meminta harga banyak
e. Lewatnya waktu yang disepakati dalam pembayaran belis
Jika dari kelima persyaratan ini wajib di penuhi dengan tujuan
menciptakan hubungan yang harmonis. Perkawinan beresiko untuk di
tunda bahkan dibatalkan jika salah satu persyaratan adat tersebut tidak
terpenuhi
47 Abu bakar, Wawancara, Desa Pero, tanggal 10-Desember-2018.
48
Sebagaimana diketahui bahwasannya tradisi latama kareyoo masih
dipertahankan sampai sekarang, hal tersebut sesuai dengan pernyataan
bapak Andi selaku tokoh adat
Sampe hinenne a patana wapnik untuk humba al Desa Pero Konda
Kecamatan kodi, tanna orna a patana walli ambu nuhi todanga tohumba
karna a patana tanna palli wango al pihak warcoyo tana akabani nap
walliwani warcoyo tan bowwani ana ndungo wirit wekabutta. 48 (Sampai
sakarang ini tradisi masih dipertahankan di suku sumba khususnya di
Desa Pero Konda Kecamatan Kodi, karena tradisi tersebut adalah turun
temurun nenek moyang dan marapu (leluhur) pada masyarakat Sumba
karena tradisi atau adat di Sumba sangat menghargai perempuan sebagai
calon ibu, dan alasannya adalah agar para laki-laki atau calon mempelai
laki-laki menghargai perempuan yang akan memberinya keturunan
dengan susah paya).
5. Jenis-jenis Barang Bawaan yang Wajib
Berdasarkan dengan jenis barang yang diwajibkan dalam
pelamaran, bahwasannya menurut bapak Rosadi sebagai berikut:
a) Kuda (dewasa) 1 ekor yang melambangkan kejantanan seorang laki-
laki karena berani melamar perempuan yang telah dipilih sebagai
pasanganya.
b) Emas (2grm) bermakna sebagai bukti bahwa perempuan tersebut
sudah memiliki ikatan dengan laki-laki yang sedang melamarnya.
c) Siri pinang, yang menandakan bahwasannya untuk diberikan kepada
perempuan yang belum mempunyai pasangan agar didekatkan
dengan jodohnya.
d) Sarung atau kain Sumba bermakna sebagai tanda mata kepada orang
tua dari perempuan, agar melepas tanggung jawab dan menyerahkan
48 Andi, Wawancara, Desa Pero, 02 januari 2019
49
tanggung jawab tersebut kepada laki-laki yang akan menjadi calon
suaminya.49
Selanjutnya pendapat bapak Midis (tokoh adat) menyatakan bahwa
"pap nikahmu adat wal maharakat kodi didoyak paptakki dungo
adato aldaha lolo engo didoyaka ommopreha masyarakato dika pap
icha nenne heka mengelana wal papnikah adato masyarakato kodi
endika mengeni abelisa al dango lolo ahraga karboyo, ndara, ndugo
hapi ayi pap nikah hanenne masyarakato Sumba hahdaha pap tereni ala
agama Suku dango lapa hekong".50 (Pernikahan adat masyarakat Kodi
pada umumnya merupakan salah satu proses adat yang sangat unik yang
tertata rapi, hal ini terliat pada kehidupan masyarakat. Jika dilihat dari
materi, sangatla boros karena perkawinan adat masyarakat Kodi
membutuhkan belis yang sangatlah banyak seperti hewan kerbau, kuda,
dan sapi. Tradisi perkawinan dalam masyarakat Sumba amat bervariasi
tergantung pada agama, suku dan lain-lain).
Berdasarkan kritikan-kritikan diatas, akhirnya banyak masyarakat
yang menunda pernikahannya karena tradisi adat yang mewajibkan para
kaum laki-laki untuk memberikan banyak persyaratan dan juga belis
kepada pihak perempuan. Dan laki-laki sebagai pihak yang paling
banyak mengeluarkan mengeluh akan kewajiban tersebut, karena
keadaan perekonomian yang tidak memadai sehingga para kaum laki-
laki tidak melakukan kewajiban dalam tradisi adat.
Masyarakat setempat menghadap kepada tokoh adat dan tokoh
agama agar bisa dimusyawarahkan lagi tentang kewajiban banyaknya
persyaratan seserahan pada saat peminangan dan juga belis yang dituntut
49 Anwar,Wawancara, Desa Pero, 02 januari 2019 50 Midis, Wawancara, Desa Pero, 31 Desember 2018
50
oleh tradisi adat kepada masyarakat atau lebih khusus kepada laki-laki di
Desa Pero.51
C. Pendapat Tokoh Adat, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, dan pelaku
Yang Melakukan Adat Latama Kareyoo
Dalam kaitanya dengan tradisi latama kareyoo maka dalam hal ini
ditulis beberapa pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat dari tokoh adat
Seperti menurut bapak abdillah selaku tokoh adat..
“Diyo ngindika haranga (dara) otto ladu keya mbinya, wani etu
tana penge wallinika mbana omini lapa hekongo an dara wowadini
doka etu doyaka pap ngarango mamoli kabani (ndoka) didoyaka
papngarongo mamoli warcoyo. Mamoli etu pawalanaki hala wara cayyo
mengeka taalluni ndubuyo: laha wuyo pahallawani aptanana warcoyo
ndungo hakluarga hal nduyo hal wanik aptanna ala ambuna ndungo
marapu. Mengeka mba jangoka mamuli mbisak paheruni ndungo ndoka.
52 (Mereka membawa hadiah yang disebut “kuda ketok pintu”.
Pemberian itu menerangkan tujuan kedatangan mereka. Selain kuda, di
serahkan juga yakni perhiasan emas. Ada yang di sebut mamuli laki-
laki, dan ada yang disebut mamuli perempuan. Mamuli itu
merepresentasikan perempuan dan harus dua: yang satu untuk
melepaskan ikatan perempuan dengan keluarganya, yang kedua untuk
melepas ikatan perempuan dan nenek moyang dan marapunya).53 Dan
bila Mamuli tidak ada maka bisa diganti dengan emas (putih).
Hal yang sama yang di paparkan bapak lepu
51 Abdillah, wawancara, tanggal 10 Desember2018. 52 Tokoh adat : bapak Murni, tanggal 07, Mei, 2018
53 Dr. Jan Boersema, Peremuan Injil dan Budaya dalam kawin mawin, (Jakarta, yayasan komunikasi Bina Kasih, 2015). hlm. 101
51
“Mengeka pabenga latama kareyoo ato latobkoya akabani
engindika ngandi haranga ndungo katopo humba mengek inlatama
kareyoo ahimbayoka kareyoo endika walini hengbala hanggi ndungo
ndoka mengek ndonga kabani altundayo beng nikah ndung adato
papanuto pangandi na omu pangbeng latama kareyoo. Mengek latap
tanaya meng aptrohini nikah meng aptanayo ndungo ndoka ndungo
ihya dara kabani mengek dadi apkena wani tatuk wani hakluarga
kabani tanteki wani omil ana ihi ate meng aptakina alodona wal
padukluarga meng aptek pijaya papnikah wango ndungo belis wawonna
warcoyo meng apbayar ni belis meng apnikago. 54 (Tata cara pertalian
adat seperti biasanya melalui suatu pelamaran dan pertunangan dan
kemudian dilanjutkan dengan pernikahan, pertunangan ditandai dengan
diberikannya emas dan seekor kuda jantan”. Proses tersebut akan
didahului oleh perkenalan atau pendekatan dari pihak keluarga laki-laki
untuk menyatakan keinginananya,penetapan waktu untuk pertemuan
keluarga kedua belah pihak, penetapan mas kawin dan belis bagi wanita
yang di pinang aturan pelaksanaan pembayaran maskawin dan belis
hingga acara pernikahannya).
2. Tokoh Agama
Setiap upacara perkawinan itu penting baik bagi yang
bersangkutan maupun anggota kekerabatan kedua belah pihak
pengantin, dalam pelaksanan upacara perkawinan yang direstui oleh
kedua orang tua ataupun keluarga masing-masing pihak, biasanya
dilaksanakan menurut tatacara atau adat istiadat perkawinan masyarakat
Kodi yang berlandasan kepada kaidah-kaidah ajaran agama serta
pengaruh tradisional. Sehingga proses pelaksanaannya harus
memperhatikan serangkaian aturan atau tata cara biasanya sudah
ditentukan secara adat yang berdasarkan kepada hukum-hukum agama.55
3. Pelaku adat latama kareyoo:
54 Bapak lepu‟, Wawancara, Desa Pero, tanggal 12-05-2018 55 Bapak Ahmad, Wawancara, Desa Pero, tanggal 09-05-2018
52
Praktek adat latama kareyoo yang dilakukan di Desa Pero apabila
seseorang ingin menikah harus melalui proses adat mulai dari
peminangan sampai selesai dan dilanjutkan dengan akad.
Beberapa orang-orang yang mengeluh dengan adat tradisi Latama
kareyoo diantaranya.
No Nama Pasangan Alamat Tanggal perniknikahan
1 Imbran dan Endang Pero Konda 15-11-2010
2 Umbu dan irma Pero Konda 15-12-2015
3 Kadir dan Fitri Pero Konda 24-11-2016
4 Amasitti dan laila Pero Konda 20-12-2016
5 Iwan dan Santi Pero Konda 28-10-2016
Berdasarkan data yang penulis dapat disimpulkan bahwa banyak
orang yang mengeluh dengan tradisi latama kareoo yang mewajibkan
calon mempelai laki-laki pada saat melamar harus membawa
persyaratan sebagai berikut:
a. Membawa seserahan pada saat lamaran
Diwajibkan membawa kuda (dewasa) 1 ekor, emas, siri pinang,
sarung dan kain sumba, pada saat seseorang laki-laki bersama
keluarga pergi ke rumah perempuan yang dilamarnya, maka laki-laki
harus membawa semua persyaran tersebut. Alasan para tokoh adat
member persyaratan tersebut kepada semua masyarakat khususnya
53
laki-laki karena semua persyaratan sudah jadi turun temurun dari
marapu (leluhur). Sebagaimana wawancara dengan bapak Kadir.
Neyyo kaloro adat mengeka wala tam kareyo ato lakharani
meng wunni hatoyo kabana latam kareyoo ngandini harango henggo
dara ndungo katopo humba, ndungo ewalbani pap ngandi pap
lohongo hek ndango lolo wunni ah toyyo ala kabana ala benggo nika
meng pangadani malonni meng apa siapwunni ngarkehe alnganna
tandadi wango ap nikani.56 (Tata cara pertalian adat seperti pada
waktu peminangan atau pas waktu perkenalan yang menuntut atau
mengharuskan seseorang laki-laki peminang membawa hewan
seperti kuda dan parang (kris) asli sumba, dan juga masih ada lagi
seperti pembelisan yang juga pengeluwarannya lebih banyak lagi
sehingga membuat seseorang laki-laki yang ingin menikah harus
berpikir panjang atau mepersiapkan semua dengan benar-benar
untuk melanjutkan pernikahannya).
Hal ini senada dengan pemaparan bapak Iwan:
Adato alaku al masyarakat kodi heka panghilona pap Tanana
kabana apa latama kareyoo enge bayar niki walini belis mengeka
akabani engekahani ahraga akabani pap takina bengoka nikah jang
hambatn wali ndung pap ngindi wali haronga en ndik engharto na
nikah wango.57 (Adat yang berlaku di masyarakat kodi sangat kuat
sehingga mengikat para laki-laki yang ingin melamar harus member
seserahan dan membayar belis seperti diwajibkannya seseorang laki-
laki membawa hewan dan itu dan itu membuat para laki-laki yang
ingin cepat menikah, akhhir menunda dan memperlambat
pernikahannya karena kewajiban membawa seserahan seperti hewan
pada saat lamaran yang lainnya).
Hal senada juga dipaparkan oleh bapak Amasitti:
56 Kadir,Wawancara, Desa Pero, tangal 02-Mei-2018 57 Iwan,Wawancara Desa Pero, tanggal 24 April 2018
54
Ladango maharakat wal khusus na kabana apa nikah la
mengelu tradihi adato la mengikat alwajib la kabana al kodi
persyaratan la turun temurun.58 (Banyaknya masyarakat khususnya
laki-laki yang mau menikah banyak mengeluh dikarenakan oleh
tradisi adat yang mewajibkan setiap pemuda apabila mau melamar
diwajibkan membawa semua persyaran yang telah adat atau tradisi
turun temurun dilakukan).
Setelah semua acara telah selesai dan kedua pengantin tersebut
telah sah jadi suami istri maka pihak keluarga kedua pengantin akan
memberikan sehelai kain Sumba kepada setiap wunang (jubir) dan
itu bertanda ucapan terimah kasih dari pihak.
b. Apakah mengalami perubahan
Dengan banyaknya masyarakat yang mengeluh tentang
kewajiban adat yang menuntutnya sedangkan keadaan
perekonomian masyarakat setempat tidak memadai dalam
membantunya untuk menyelesaikannya maka dari itu para tokoh
adat, tokoh agama dan sebagian tokoh masyarakat dengan
bermusyawarah untuk mencoba secara sedikitt demi sedikit
merubahnya sesuai dengan apa yang dikeluhkan oleh masyarakat
setempat.
58 Amasiti, Wawancara, Desa Pero, tanggal 15 April 2018
55
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian di bab paparan data dan temuan tentang
tradisis latama kareyoo di desa Pero Konda, maka selanjutnya peneliti akan
membahas dan menganalisis data tertsebut dalam bab pembahasan ini.
Sebagaimana yang dijelaskan paa BAB II bahwa masyarakat Desa Pero Konda
merupakan masyarakat yang masih terikat dengan tradisi peninggalan leluhur
zaman dahulu, yang dimana keterkaitan antara mayoritas adat dan mayoritas
Islam disini saling bertolak belakang, maka masyarakat memiliki keterkaitan
terhadap adat, budaya dan agama.
A. Analisis Tradisi Latama Kareyoo dalam Pernikahan Adat pada
Masyarakat Muslim Suku Sumba
Pelaksanaan tradisi latama kareyoo pada saat proses perkawinan di
Desa Pero Konda merupakan bentuk dari kearifan lokal yang dari
masyarakat di Desa Pero Konda. Pelaksanaan tradisi ini bertujuan untuk
menyambung silaturahmi antara keluarga dengan cara yang baik dan ramah
dalam mempersatukan anak mereka dengan sebuah pernikahan.
Desa Pero Konda merupakan salah satu Dusun yang berada di Desa
Pero Konda yang memiliki mayoritas penduduk muslim, dengan budaya dan
tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di Dusun Pero Konda sangat erat
kaitannya dengan ajaran tradisi adat marapu (leluhur) yang fanatik dan juga
ajaran islam yang berbaur di dalamnya.
56
Perkawinan Adat Sumba yang melalui proses sangat panjang dengan
peraturan nilai-nilai dan etika sosial, sejak awal hingga rampungnya proses
perkawinan. Dalam membina rumah tangga, masyarakat Sumba harus
melalui proses atau perjalanan yang cukup panjang sampai akhirnya seluruh
rangkaian upacara adat perkawinan berakhir. Salah satu acara inti dan akhir
dari rangkaian upacara adat dalam proses perkawinan adat Sumba adalah
lado, setelah acara lado berakhir baru diadakan katedehong mbinya. pada
saat proses katedehong mbinya berlangsung pada saat itu pula tradisi
latama kareyoo itu dilakukan, menurut tokoh adat Desa Pero tersebut
diwajibkan membawa berbagai macam persyaratan seperti Jenis-jenis
barang bawaan dalam tradisi Latama Kareyoo diwajibkan membawa Kuda
(dewasa) 1 ekor: yang bermakna kejantanan seorang laki-laki karena sudah
berani melamar perempuan yang ingin dinikahi, emas (2gm): sebagai
lambang bahwa perempuan tersebut sudah memiliki ikatan, kain maknanya
untuk tanda mata kepada orang tua dari perempuan untuk melepas anaknya
dan memberikan hak kepada laki-laki atau calon suaminya, siri pinang yang
bermakna untuk diberikan kepada para perempuan yang belum menikah
secepatnya memiliki calon.dan dilanjutkan dengan proses keagamaan
Kemudian menurut tokoh adat lain, praktek latama kareyoo sudah
menjadi tradisi marapu (leluhur) pada zaman dahulu, bahwasannya
diwajibkan membawa seserahan berupa persyaratan pada saat latama
kareyoo (peminangan).
57
Dari pendapat kedua tokoh di atas maka dapat diambil kesimpulan,
bahwa tradisi adat latama kareyoo tersebut dilakukan semata-mata untuk
menghargai tradisi leluhur (marapu) dan juga untuk lebih menghargai atau
mengangkat derajat seorang perempuan yang akan memberinya keturunan,
dengan memberinya semua persyaratan yang telah ditentukan dalam
kesepakatan bersama oleh para petua adat atau sesepu di Desa Pero Konda.
Tradisi yang berlaku di masyarakat dengan persyaratan yang wajib di
penuhi oleh laki-laki atau calon mempelai, membuat masyarakat atau lebih
khususnya laki-laki yang ingin menikah ingin menunda lamaran di
karenakan beratnya persyaratan yang harus dibawah dan juga harus
memerlukan waktu yang cukup lama. Sehingga para pelaku banyak yang
mengeluh akan beratanya persyaratan dan waktu yang harus d tempu dalam
mengikuti tradisi tersebut.
Kemudian hasil yang didapatkan dari wawancara kepada tiga orang
pasangan suami istri di Desa Pero bahwa, ketiga pasangan tersebut sama-
sama berpendapat bahwa adat atau tradisi latama kareyoo tersebut sudah
menjadi suatu adat kebiasaan yang dilakukan pada saat proses adat dan
menjadi tradisi yang turun temurun dilakukan oleh generasi berukutnya.
Dikarenakan adat atau tradisi tersebut sudah menjadi suatu kebiasaan yang
berulang-ulang dilakukan dan telah mendarah daging pada setiap grnerasi
atau keturunan. Namun karena tradisi tersebut sudah turun temurun
sehingga mewajibkan masyarakat khususnya laki-laki (calaon suami)
dengan banyak membawa barang yang pada saat latama kareyoo dan syarat
58
tersebut diwajibkan untuk di bawah, jadi banyak para pasangan suami istri
khususnya suami keberatan dengan diwajibkannya membawa semua barang
atau persyaratan tersebut.
Apabila lamaran tersebut putus maka akan diberikan sanksi kepada
laki-laki yang melamar sebelumnya. Adapun bentuk sanksi adat yang harus
dilakukan oleh laki-laki tersebut maka diberikan sanksi seperti harus
membuat upacara adat dengan persyaratan membawa siri pinang, kain
Sumba dan hewan seperti kerbau, ayam dan lainnya.
Sedangkan yang membedakan daerah Sumba proses perkawinannya
lebih memengutamakan adat budaya dan juga mengkedepankan upacara
adat dan proses adat yang harus di ikuti secara saksama sampai selesai baru
dilanjutkan dengan proses keagamaan. Dengan itu peneliti akan
menganalisis secara satu persatu dari proses adat masyarakat muslim di
Sumba dengan mengutamakan budaya atau adat kebiasaanya sebagai poin
utama dalam suatu perkawinan.
Sering dijumpai pada setiap kebudayaan dipengaruhi oleh logika
berpikir masyarakat yang membuat kebudayaan tersebut, dan logika berpikir
manusia dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan yang telah ada dari
zaman dadulu dan masih sangat dominan pada masyarakat sampai saat ini.
Peneliti melihat adanya budaya yang menonjol di masyarakat tersebut
sehingga membuat masyarakat mau tidak mau harus melaluinya dengan cara
mengimbangi dengan syari‟at Islam, dan secara kebudayaan yang lebih
menonjol sehingga masyarakat tersebut harus menjalankan tradisi yang
59
harus dilaksanakan dengan sebenar-benarnya adat yang telah ada turun
temurun, sehingga tidak ada kesenjangan karena di Desa Pero Konda di
Kecamatan Kodi sangatlah terikat dengan adat yang telah turun temurun
dari dahulu, hingga sekarangpun masih dijalankan tetapi para tokoh adat dan
tokoh agama masih melakukan musyawarah agar adanya keseimbangan
antara adat dan syari‟at Islam, itupun masih ada sebagian masyarakat yang
sangat fanatik dengan adat tersebut. Desa Pero Konda. Berdasarkan
perenungan dan pemikiran yang mendalam terhadap fakta-fakta kebudayaan
yang ditemukan oleh peneliti di dalam masyarakat selama melakukan
penelitian dilapangan, maka dibawah ini peneliti akan mencoba berargumen.
Dalam hal ini peneliti memaparkan dari hasil yang ditemukan di atas
bahwa masyarakat Sumba khususnya Desa Pero Konda, dengan tradisi yang
di jalani masih di pertahankan dan juga para tokoh adat, tokoh agama, dan
tokoh masyarakat mencoba untuk mempertimbangkan dengan diadakannya
musyawarah untuk memberikan keringanan terhadap para pemuda yang
ingin menikah. Dan juga untuk lebih mengimbangi dengan syari‟at Islam.
B. Analisis Pandangan Hukum Keluarga Terhadap Tradisi latama kareyoo
pada Masyarakat Suku Sumba
Hukum adalah peraturan yang diatur penguasa (manusia atau
pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang dalam masyarakat,
bisa berupa undang-uandang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur
60
pergaulan hidup masyarakat sebagai patokan.59 Keluarga adalah sanak
saudara, kaum kerabat, kaum saudara atau satuan kekerabatan yang sangat
mendasar dalam masyarakat. sementara keluarga adalah perihal yang
bersifat atau berciri keluarga/ hal yang berkaitan dengan keluarga atau
hubungan dalam suatu anggota satu keluarga.60
Dari defenisi di atas, tentang hukum keluarga maka peneliti
menyimpulkan bahwa hukum keluarga Islam adalah keseluruhan kaidah-
kaidah hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan
hukum mengenai perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan,
kekuasaan orang tua, pengampuan dan perwalian dalam hubungan hukum
suatu keluarga muslim.
Pengertian peminangan menurut KHI diatur dalam pasal 1 (a) dengan
rumus; peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dan seorang perempuan.61
Dalam masa pertunangan ini biasanya adalah pemberian barang-
barang sebagai hadiah dari pihak calon suami kepada calon istrinya.
Pemberian ini dalam adat jawa disebut peningset atau tanda ikatan cinta.
Pemberian dan hadiah yang telah diberikan hukumnya sama dengan hibah.62
Permintaan dari pihak laki-laki dan diserahkannya uang atau cincin
untuk pihak perempuan merupakan upacara simbolik tentang akan
59 Asep saepudin dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis “Kajian Perundang-
Undangan Indinesia, Fikih dan Hukum Internasional” (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 9. 60 Ibid, hlm. 10. 61 Ibid. hlm 58 62 Abd shomad, Hukum Islam: penormaan prinsip syari‟ah dalam hukum Indonesia,
(Jakarta, Kencana, 2012), hlm. 278
61
bersatunya dua calon suami istri yang hendak membangun keluarga bahagia
dan abadi. Biasanya sebelum dilakukan pertunangan, kedua calon mempelai
sudah lama saaling mengenal, tetapi tidak menutup kemungkinan apabila
orang tuanya menjodohkan anak-anaknya.63
Dalam KHI pasal 31 dikatakan: “penentuan mahar berdasarkan asas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.” Pasal ini
yang memberikan penjelasan bahwa jumlah yang dianjurkan dari mahar
adalah ukuran kesederhanaan, sedangkan kesederhanaan sifatnya relatif,
bergantung kepada batas kemampuan dan kesanggupan calon mempelai
laki-laki.64
Maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa dalam Islam pemberian
suatu barang diperbolehkan, apabila tidak dipenuhi tidak menjadi persoalan
dikarenakan tidak wajib. Tetapi di dalam adat masyarakat sumba,
bahwasannya diwajibkan untuk membawa persyaratan yang sudah di
tentukan oleh tradisi yang ada dalam masyarakat sumba khususnya Desa
Pero, apabila syarat dari tradisi tersebut tidak di penuhi akan dikenakan
sanksi berupa hewan, siri pinang, kain sumba dan bisa juga berupa uang
yang akan digunakan untuk memenuhi perlengkapan atau bahan-bahan
pada proses upacara adat. Tradisi tersebut justru bertolak belakang dari
firman Allah dalam surat An-Nisa : 4
Islam sejatinya, tidak pernah membebankan umatnya dalam proses
peminangan (lamaran) menjelang pernikahan. Terkait dengan tradisi latama
63 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2011). hlm.70.
64 Ibid. hlm 145
62
kareyoo sangat bertolak belakang dengan prinsip-prinsip hukum keluarga
(islam).
Di sisi lain Islam juga mengenal konsep „urf‟ yaitu, suatu yang sudah
diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan atau perbuatan yang sudah
berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan diterima oleh akal
mereka.65 Adapun macam-macam adat latama kareyo termasuk di dalam
segi materi,„Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan
kata-kata atau ucapan, sedangkan menurut segi ruang lingkupnya, Adat atau
„Urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat
tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku disemua tempat dan
disembarang tempat. Dan juga menurut penilaian baik dan buruk, Adat yang
fasid, yaitu adat yang berlaku disuatu tempat meskipun erata
pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara
dan sopan santun.66 Sehingga tidak semua tradisi dapat dijadikan hujjah.
Perkawinan berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 yang termuat dalam
pasal 1, yang menyatakan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.67
Pengertian tersebut lebih dipertegas oleh KHI Pasal 2 bahwa
perkawinan menurut hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau
65 Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟ (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 167. 66 H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh (Jakarta, Kencana, 2008), hlm. 413. 67 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat ( Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 15.
63
mitsaqan ghalidzan, untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal, berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila
kita amati tujuan perkawinan menurut konsepsi UUP tersebut, ternyata
bahwa konsepsi UUP Nasional tidak ada yang bertantangan dengan tujuan
perkawinan menurut konsepsi hukum Islam, bahkan dapat dikatakan
bahwasannya ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang No.1 1974
dapat menunjang terlaksananya tujuan perkawinan menurut hukum islam.
Dari urain diatas, maka dapat dikatakan bahwa di dalam hukum
keluarga Islam tidak menyebutkan jumlah pemberian saat lamaran, karena
menurut hukum keluarga Islam peminangan tidak diwajibkan jadi di
lakukan atau tidak, tidak ada masalah tapi alangkah baiknya dilakukan untuk
menghargai keluarga perempuan juga perempuan itu sendiri. Sedangkan di
dalam adat Sumba perempuan harus dilamar dan juga diharuskan membawa
seserahan yang sudah disetujui pada saat mencari tau perempuan tersebut
jika tidak maka peminangan tersebut batal. Maka dari itu Peneliti dapat
memaparkan bahwasannya hukum yang paling dominan di masyarakat
Sumba adalah tradisi adat dan syari‟at Islam dilakukan setelah semua acara
adat telah selesai atau dipenuhi, islam secara tegas menolak berbagai bentuk
upaya-upaya atau kegiatan-kegiatan (tradisi) yang mempersulit bahkan
memberatkan para calon mempelai, untuk menyegerakan pernikahannya.
64
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan mengenai
praktek latama kareyoo dalam pernikahan adat masyarakat suku Sumba
dapat disimpulkan bahwa:
1. Praktik Tradisi Latama Kareyoo dalam pernikahan adat masyarakat
muslim suku sumba. Tradisi tersebut merupakan turun temurun dari adat
marapu dimana adat ini memberikan persyaratan kepada semua orang
khususnya laki-laki yang ingin menikah diwajibkan membawa seserahan
dan belis seserahan berupa, Kuda, Emas, Sirih dan Kain dan sarung.
Tujuan membawa seserahan tersebut adalah untuk menghargai
seorang perempuan karena di adat sumba lebih menghargai derajat
perempuan yang menjadi calon ibu dan yang memberinya keturunan.
Jika dilihat dari materi, sangatlah boros karena perkawinan adat
masyarakat Kodi selain seserahan juga membutuhkan belis yang sangat
banyak seperti hewan (kerbau,kuda dan sapi). Tradisi perkawinan dalam
masyarakat Sumba amat bervariasi tergantung pada agama dan
kepercayaan suku dan lain-lain.
2. Perspektif Hukum keluarga Islam terhadap tradisi Latama Kareyoo,
adalah tidak dibolehkan karena mengandung unsure pemberatan bagi
calon mempelai laki-laki sementara dalam hukum keluarga Islam jumlah
seserahan tidak ditentukan.
65
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti dapat menyajikan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Khususnya untuk keluarga perempuan agar memberikan keringanan
terhadap keluarga laki-laki dalam hal pemberian seserahan dan belis.
2. Kepada tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk
bermusyawarah agar nilai seserahan dan juga belis diseimbangkan
dengan penghasilan para laki-laki yang ingin menikah. sehingga laki-
laki yang ingin menikah tidak tertunda karena beratnya pemberian
seserahan dan juga belis.
3. Adapun pihak perempuan orang yang paling membutuhkan adalah adat
yang tidak bisa diruba sehingga masih tetap berlaku dan himbauawan
saya pada pihak keluarga laki-laki untuk mengerti karena itu adalah adat
yang berlaku.
66
DAFTAR PUSTAKA
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2013
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2017.
Lexi Moleong. Prosedur Penelitia Jakarta : Rineka Cipta, 1998.
Sylvi A. Anggaraeini, Perempuan Sumba dan Belis, (Sumba Timur, Lembaga PRO MILLENIO CENTER, 2003).
Baso Mufti Alwi, SH, M.Ag. Perkawinan Dalam Islam, (Manado, STAIN MANADO PRESS. 2014).
H. Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005)
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta, KENCANA, 2006).
Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012).
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat ( Bandung: Pustaka Setia, 2009).
Dr. Jan Boersema, Peremuan Injil dan Budaya dalam kawin mawin, (Jakarta, yayasan komunikasi Bina Kasih, 2015).
Sutrisno Hadi, Metode Research (Jakarta: Andi Offsel, 1986).
Hilalul Hairi,Tki Tujuan Malaysia dan dampaknya terhadap angka perceraian,
(SkripsiIAINMataram,2008).
Sugiono. Metodelogi penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D, Bandung ALFABETA, 2016
http://dartowisnuwardhanamalangsumbaindah.blogspotperkawinan-kodi-sumba-barat-dayayahtm?m=1
http://www.academia.edu/15479382/Metodologi-studi-islam-01buku-abuddin-nata,
A. Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat (Jakarta: Prenadamedia Group,2014),
UlberSilalahi, Metode Penelitian Sosial,(Bandung :PT Refika Aditama, 2010),
67
Khoiriyah, Memahami Metodelogi Studi Islam, (Yogyakarta, PENERBIT TERAS, 2013).
H. Afifuddin, Beni Ahmad Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Pustaka Setia, 2012).
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟ (Jakarta: Amzah, 2011),
Taufiqurrohman Syahuri. Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2013)
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2014)
Samusir. Hukum Adat Indonesia, (Bandung Nuansa Aulia, 2013)
Mardanni. Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2016)
68
LAMPIRAN – LAMPIRAN
69
PARA TOKOH ADAT, AGAMA, DAN TOKOH MASYARAKAT
70
SESERAHAN LATAMA KAREO
71
1