tinjauan pustaka - ipb repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/bab ii... ·...
TRANSCRIPT
13
TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan
Berbicara tentang perubahan, kita membayangkan sesuatu yang terjadi
setelah jangka waktu tertentu; kita berurusan dengan perbedaan keadaan yang
diamati antara sebelum dan sesudah jangka waktu tertentu. Sehingga konsep-
konsep perubahan mencakup tiga gagasan yaitu tentang perbedaan, pada waktu
yang berbeda, dan diantara keadaan sistem sosial yang sama (Sztompka 1993).
Menurut Kasali (2005) bahwa perubahan bisa sebagai akibat dari anggota
masyarakat yang gagal melihat, gagal bergerak atau gagal menyelesaikan
masalah. Selanjutnya bahwa perubahan dapat dikategorikan dalam dua hal:
pertama, perubahan operasional yang merupakan perubahan-perubahan kecil yang
bersifat parsial dan umumnya tidak menimbulkan dampak yang luar biasa bagi
institusi (misalnya perubahan kemasan produk, perubahan penampilan institusi
seperti visi dan misi). Kedua, perubahan strategis (strategic change) yang
berdampak luas dan memerlukan koordinasi serta dukungan dari unit-unit terkait
atau bahkan seluruh komponen institusi. Perubahan tersebut antara lain
perubahan budaya, perubahan untuk meningkatkan efisiensi, perubahan
pemakaian sumber daya-sumber daya yang tersedia. Dari pengertian ini maka
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat dikatakan sebagai
perubahan sosial (Kasali 2005).
Menurut Macionis (1987) dalam Sztompka (1993) bahwa perubahan sosial
adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan
perilaku pada waktu tertentu. Sehingga jika struktur organisasinya berubah maka
unsur lain cenderung berubah pula. Perubahan sosial dapat dibedakan tergantung
pada sudut pengamatan dan ini membuktikan bahwa sistem sosial itu tidak
sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau
gabungan hasil dari keadaan berbagai komponen seperti: unsur-unsur pokok
(misalnya: jumlah dan jenis individu, serta tindakan mereka); hubungan antara
unsur (misalnya: ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan, hubungan antara
individu, integrasi); berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem (misalnya: peran
pekerjaan yang dimainkan oleh individu atau diperlukannya tindakan tertentu
untuk melestarikan ketertiban sosial); lingkungan (lingkungan alam). Sehingga
menurut Sztompka (1993) bahwa perubahan sosial itu merupakan perbedaan
keadaan dalam masyarakat tertentu dalam jangka waktu berbeda.
Perubahan sosial yang terjadi dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang
diantaranya perilaku manusia. Menurut Lewin (1943) dalam Notoatmodjo (2010)
bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-
kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining
forces). Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua
kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan
terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang yaitu: Pertama, kekuatan-
kekuatan pendorong meningkat. Ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang
mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan perilaku. Stimulus ini berupa
informasi-informasi yang berhubungan dengan perilaku yang bersangkutan;
Kedua, kekuatan penahan menurun, karena adanya stimulus-stimulus yang
14
memperlemah kekuatan penahan tersebut; dan ketiga, kekuatan pendorong
meningkat, kekuatan penahan menurun.
Menurut Kasali (2005) bahwa berdasarkan adanya driving forces dan
restrining forces maka dirumuskan langkah-langkah yang diambil untuk
mengelola perubahan sebelum dan setelah dilakukan perubahan yaitu: (a).
Unfreezing: yaitu suatu proses penyadaran tentang perlunya atau adanya
kebutuhan untuk berubah. (b). Changing: yaitu langkah berupa tindakan baik
memperkuat maupun yang menahan atau memperlemah. (c). Refreezing:
membawa kembali institusi atau individu kepada keseimbangan yang baru (a new
dynamic equilibrium).
Perubahan perilaku yang diharapkan dapat terjadi dengan menggunakan
beberapa strategi yang dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu: Pertama,
menggunakan kekuatan (enforcement). Dalam hal ini perubahan perilaku
dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga ia mau melakukan
(berperilaku) seperti yang diharapkan. Cara ini dapat ditempuh dengan
menggunakan cara-cara kekuatan baik fisik maupun psikis. Kedua, menggunakan
kekuatan peraturan atau hukum (regulation). Perubahan perilaku masyarakat
melalui peraturan, perundangan, atau peraturan-peraturan tertulis yang sering
disebut ”law enforcement” atau ”regulation”. Artinya masyarakat diharapkan
berperilaku, diatur melalui peraturan atau undang-undang secara tertulis. Ketiga,
pendidikan (education). Perubahan perilaku melalui cara pendidikan yang diawali
dengan cara pemberian informasi-informasi yang dibutuhkan. Dengan
memberikan informasi-informasi maka akan meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang apa yang ingin dicapai. Dengan pengetahuan itu akan
menimbulkan kesadaran dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku
sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hasil atau perubahan perilaku
dengan cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat
langgeng karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri atau bukan karena
paksaan (Notoadmojo 2010).
Konsep dan Pengukuran Perilaku Konsumsi Makanan
Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh manusia, baik yang dapat diamati
secara langsung atau tidak langsung ataupun yang tidak dapat diamati secara
langsung sebagai hasil interaksi antara seseorang atau indvidu dengan
lingkungannya (Thoha 1988). Selain itu menurut Notoatmodjo (2010) bahwa
perilaku merupakan totalitas pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan
hasil bersama antara faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan
faktor yang datang dari dalam diri sendiri sehingga dia mau berperilaku seperti
perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, sugesti dan lain-lain. Sedangkan
faktor eksternal dapat meliputi faktor lingkungan baik fisik dan non fisik dan yang
paling berperan dalam perilaku adalah faktor sosial dan budaya selain itu
termasuk faktor ekonomi, politik dan sebagainya.
Perilaku merupakan hal yang sangat kompleks dan mempunyai wilayah
bentangan yang sangat luas. Menurut Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010)
bahwa ada 3 tingkat ranah perilaku yang meliputi pengetahuan (knowledge), sikap
(attitude) dan praktik atau tindakan (practice). Selanjutnya dalam beradaptasi
dengan lingkungannya pengetahuan, sikap dan praktik yang dimiliki seseorang
diperoleh dari proses belajar (Koswana 2011).
15
Menyimak pengertian perilaku konsumsi makanan yang telah disampaikan
sebelumnya adalah merupakan suatu totalitas pengetahuan, sikap dan praktik atau
tindakan terhadap makanan, maka ini sama halnya dengan pernyataan Zeitlin
(1977) dalam Syarief et al. (1988) bahwa karakteristik penilaian perilaku
konsumsi makanan melalui pendidikan gizi bisa memakai model ”K-A-P”
(Knowledge, Attitude, Practices) dengan asumsi bahwa perubahan dalam
pengetahuan membawa perubahan dalam sikap dan selanjutnya mengakibatkan
perubahan dalam kebiasaan.
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, lidah,
kulit). Dengan sendirinya pada waktu penginderaan menghasilkan pengetahuan
tersebut yang dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.
Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran dan
indra penglihatan. Menurut Madanijah (2003) bahwa pengertian pengetahuan
yang lebih mudah adalah semua informasi yang disimpan dalam ingatan sebagai
hasil belajar dan telah terakumulasi dalam pikiran seseorang. Ini merupakan
bagian terpenting dalam proses pembelajaran, sehingga sebagai bukti apabila dia
dapat mengingat kembali apa yang telah dipelajari (Kuswana 2012).
Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai tingkat yang berbeda-
beda. Menurut Notoatmodjo (2010) bahwa secara garis besar pengetahuan dapat
dibagi dalam 6 tingkat yaitu: (a). Tahu (know). Tahu diartikan hanya sebagai
recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati
sesuatu. Untuk mengetahui seseorang tahu sesuatu dapat menggunakan
pertanyaan-pertanyaan. (b). Memahami (comprehension). Memahami suatu objek
bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan,
tetapi orang tersebut dapat mengintepretasikan secara benar tentang objek yang
diketahui tersebut. (c). Aplikasi (application). Aplikasi diartikan apabila orang
yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau
mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. (d).
Analisis (analysis). Analisis merupakan kemampuan seseorang untuk
menjabarkan dan memisahkan kemudian mencari hubungan antara komponen-
komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi
bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah
apabila orang tersebut telah dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan
terhadap pengetahuan atas objek tersebut. (e). Sintesis (synthesis). Sintesis ini
menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan
dalam suatu hubungan logis dari pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki. Dengan
kata lain bahwa sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang telah ada. (f). Evaluasi (evaluation). Evaluasi
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap
suatu objek tertentu. Penilaian dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria
yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
2. Sikap
Menurut Winardi (2009) sikap merupakan suatu keadaan mental menurut
pengalaman dan yang menyebabkan timbulnya pengaruh khusus atas reaksi
16
seseorang terhadap objek-objek. Ini memberikan pengertian bahwa sikap
memberikan landasan emosianal dari hubungan antara pribadi seseorang dengan
objek yang dimaksud.
Menurut Notoatmodjo (2010) bahwa sikap adalah respon tertutup seseorang
terhadap stimulus atau objek tertentu yang melibatkan faktor pendapat dan emosi
yang bersangkutan (Suka - tidak suka, senang- tidak senang, setuju-tidak setuju,
baik-tidak baik, dan sebagainya). Selanjutnya bahwa seperti halnya pengetahuan,
sikap juga mempunyai tingkatannya berdasarkan intensitasnya meliputi 4 yaitu:
(a). Menerima (receiving), diartikan bahwa orang atau subyek mau menerima
stimulus yang diberikan. (b). Menanggapi (responding), diartikan memberikan
jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau obyek yang dihadapi. Misalnya
ibu yang mengikuti penyuluhan tentang makanan ibu hamil, ketika diminta oleh
penyuluh untuk menanggapi, kemudian ia menjawab atau menanggapinya. (c).
Menghargai (valuing), dapat diartikan oleh seseorang memberikan nilai yang
positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahas dengan orang lain
bahkan mengajak atau mempengaruhi dan menganjurkan orang lain merespons.
(d). Bertanggung jawab (responsible), adalah sikap yang paling tinggi
tingkatannya terhadap apa yang diyakininya. Seseorang yang telah mengambil
sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil resiko bila
ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya resiko lain.
3. Praktik atau Tindakan
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa sikap adalah kecenderungan
untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab
untuk terwujudkannya tindakan perlu adanya fasilitas atau sarana dan prasarana
(Notoatmodjo 2010). Selanjutnya dikatakannya bahwa praktik dibedakan menjadi
3 tingkatan yakni: (a). Praktik terpimpin (guide response). Apabila seseorang
telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntutan atau menggunakan
panduan. Misalnya seorang ibu memeriksakan kehamilannya tetapi masih
menunggu diingatkan oleh bidan atau tetangganya. Demikian juga seperti seorang
anak kecil menggosok gigi namun masih selalu diingatkan oleh ibunya. Hal ini
disebut sebagai praktik atau tindakan yang terpimpin. (b). Praktik secara
mekanisme (mechanism). Jika seseorang atau subyek telah melakukan atau
mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan
mekanisme. Sebagai contoh misalnya seorang ibu selalu membawa anaknya ke
Posyandu untuk ditimbang, tanpa harus menunggu perintah dari kader atau
petugas kesehatan. Demikian juga contoh lainnya seorang anak secara otomatis
menggosok giginya setelah makan tanpa disuruh oleh ibunya. (c). Adopsi
(adoption). Adopsi merupakan suatu tindakan atau praktik yang sudah
berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekadar rutinitas atau mekanisme
saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang
berkualitas. Misalnya menggosok gigi, bukan sekedar gosok gigi, melainkan
dengan teknik-teknik yang benar. Seorang ibu memasak, memilih bahan masakan
bergizi tinggi meskipun bahan makanan tersebut mahal harganya.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumsi Makanan
Menurut Contento (2007) bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi perilaku
makan seseorang yaitu makanan (food), orang itu sendiri (person) dan lingkungan
17
(enviroment). Sebelumnya Krondl (1990) dalam Worobey (2006) mengatakan
bahwa banyak sekali faktor-faktor yang membuat seseorang itu memilih makanan
hal ini terangkum dalam tiga faktor yaitu who, where dan why. (a). Faktor ”who”
menggambarkan tentang karakteristik mengenai individu (seperti umur, jenis
kelamin), biologi (seperti kesehatan dan keturunan) atau keadaan seseorang
(depresi, tingkat aktivitas). (b). Faktor ”where” dihubungkan dengan lingkungan
fisik (seperti waktu dan tempat memilih makanan) dan sosial budaya yang
berpengaruh saat membuat keputusan memilih makanan. (c). Faktor ”why” yang
mengacu pada persepsi individu terhadap makanan seperti keyakinan dan sensori
dasar dalam memilih makanan. Selanjutnya menurut Pieniak et al. (2009) bahwa
berbagai motif orang dalam bersikap memilih makanan yaitu menyangkut tentang
berat badan, harga, kelayakan, kenyamanan, kealamian makanan, kesehatan,
sensorik daya tarik dan kefamilieran makanan itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku konsumsi makanan pada masyarakat dapat
dikelompokkan ke dalam faktor: Individu meliputi keluarga, peer group; faktor
makanan meliputi: keragaan makanan dan citra makanan; dan faktor lingkungan
meliputi: sekolah, iklan dan pasar.
1. Keluarga
Pengertian keluarga berdasarkan UU No 52 tahun 2009 tentang perkem-
bangan kependudukan dan pembangunan keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah
dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut Megawangi (1994) dalam
Puspitawati (2012) menjelaskan bahwa keluarga dijabarkan sebagai suatu sistem
yang diartikan sebagai suatu unit sosial dengan keadaan yang menggambarkan
individu secara intim terlibat untuk saling berhubungan timbal balik dan saling
mempengaruhi satu dengan lainnya setiap saat dengan dibatasi oleh aturan-aturan
di dalam keluarga. Pengertian ini menunjukkan bahwa cukup banyak interaksi
yang terjadi dalam keluarga diantaranya tentang konsumsi makanan keluarga
setiap hari.
Menurut Hunt et al. (2011) bahwa dalam rumah tangga pembelian makanan
dan aktivitas konsumsi makanan bervariasi, dan dalam banyak kasus
bergantung pada anggota keluarganya. Ini juga erat kaitannya dengan
pendapatan dalam rumah tangga terhadap konsumsi makan mereka setiap hari.
Selanjutnya dikatakannya bahwa banyak dari perempuan muda memainkan peran
penting dalam pembelian dan persiapan makanan untuk anggota keluarga.
Makan bersama dengan orang lain dalam keluarga merupakan hal yang penting
karena banyak nilai-nilai yang terdapat dalam proses makan bersama tersebut
walaupun ada kendala yang signifikan untuk makan secara teratur dengan seluruh
keluarga inti. Hal ini mencerminkan begitu pentingnya dalam hidup ini makanan
yang dimasak di rumah.
Makin tinggi pendidikan ibu, akan meningkatkan wawasan ibu termasuk
tentang gizi/makanan, kesehatan dan pengasuhan (Madanijah 2003). Lebih lanjut
dikatakannya bahwa ibu dengan pendidikan tinggi maka pendidikan ayahnya juga
tinggi yang memungkinkan memperoleh pandapatan yang tinggi sehingga akan
lebih menunjang pengetahuan dan wawasan ibu karena tersedia sarana bacaan
atau visual lainnya yang mendukung. Ini dapat menunjukkan bahwa tingkat
18
pendidikan ibu dalam keluarga memang sangat berarti dan memungkinkan dalam
mentransformasi pengetahuannya tersebut pada anak yang setiap saat berinteraksi
dengannya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harker et al. (2010) menunjukkan
bahwa siswa yang tinggal di rumah keluarga, mengonsumsi lebih baik buah dan
sayuran setiap hari dibandingkan dengan orang dewasa muda yang hidup secara
mandiri. Juga menemukan antara lain adanya perbedaan yang nyata pada sikap
antara siswa yang beusia di bawah 21 tahun dan orang orang-orang di atas 21
tahun terhadap makanan yang sehat. Studi ini menunjukkan implikasi yang jelas
untuk sejumlah orang yang berkepentingan dalam mengembangkan keterampilan
pada pilihan makanan dan manajemen makanan termasuk tentang anggaran dalam
keluarga.
Hasil penelitian Laska (2010) menunjukkan bahwa orang dewasa muda
yang hidup dengan orang tua mereka atau di apartemen yang disewa/rumah sering
konsumsi makanannya kurang, asupan makanan sedikit dan kurang sehat
dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kampus sehingga dibutuhkan
strategi yang efektif dan sehat untuk orang dewasa tersebut. Namun menurut
Dammann et al. (2010) bahwa di keluarga, pemilihan makanan pada anak-anak
sering tidak sehat karena terbatasnya ketersediaan makanan terhadap anak
tersebut dan beberapa keadaan yang dilaporkan bahwa terjadi penurunan perilaku
makan.
Pola konsumsi makanan tradisional menjadi pelengkap makanan pokok
selain beras yang pada sisi lain dapat memberikan kemudahan ekonomis terhadap
kecukupan pangan dan dengan harga rendah sehingga pendapatan ril rumah
tangga bisa meningkat. Makanan Tradisional dapat berperan sebagai suatu
survival strategi untuk orang miskin dengan pendapatan terbatas sehingga mampu
membangun kapasitas membangkitkan kemandirian untuk menolong diri sendiri
dan keluarganya dalam memenuhi kebutuhan pokok yang termurah (Lestari et al.
2007)
Pranadji (1988) mengatakan bahwa pengetahuan, sikap dan keterampilan
gizi cenderung berhubungan dengan perilaku konsumsi makanan keluarga yang
dipengaruhi oleh jenis dan tingkat pendidikan formal, besar keluarga, tingkat
pendapatan keluarga, pengeluaran absolut untuk pangan, mobilitas dan nilai-nilai
tentang makanan yang dianut oleh masyarakat setempat. Selanjutnya menurut
Minarto (2010) bahwa kualitas konsumsi pangan dalam keluarga tersebut
dipengaruhi juga oleh ketersediaan bahan pangan dan daya beli sehingga penting
memanfaatkan bahan pangan lokal untuk kebutuhan sehari-hari.
2. Sekolah
Hasil penelitian Ritchie et al. (2010) tentang dampak pendidikan gizi di
California menyatakan bahwa pendidikan gizi yang terkoordinasi secara
signifikan dapat mempengaruhi konsumsi makanan ke arah yang lebih baik pada
pilihan makanan sehat. Sementara menurut Rovner et al. (2011) menemukan
bahwa sekolah berada dalam posisi yang kuat untuk mempengaruhi pola makan
siswa sehingga perhatian pada makanan yang dijual di sekolah perlu untuk
meningkatkan diet mereka. Selanjutnya Fredman dan Connors (2011)
menyatakan bahwa memberikan informasi gizi di toko atau kedai lokasi
pendidikan dapat mempromosikan pilihan makanan sehat.
19
Yeung (2010) menyatakan bahwa pendidikan gizi di sekolah di Hongkong
dirancang harus menarik untuk anak laki-laki maupun perempuan dan program
pelaksanaan pendidikan gizi yang efektif harus menanamkan kebiasaan makan
yang sehat dan keterampilan memasak yang sehat serta memenuhi kebutuhan
siswa yang mengacu pada perbedaan jenis kelamin. Pendekatan yang lebih
beragam dapat digunakan melalui kurikulum formal dan informal, memprioritas-
kan keterampilan memasak dan keragaan makanan di kurikulum. Pendidikan
dapat memperbaiki keadaan konsumsi makanan dengan merancang kurikulum
yang menarik dalam pendidikan formal dan memprioritaskan memasak.
Sungkowo (2009) menyatakan bahwa intervensi pengayaan pengetahuan pangan
dan gizi di Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Lampung Barat memberikan
dampak lebih baik dilihat dari kebiasaan, frekuensi dan tatacara makan.
Sebagai bukti positif bahwa pengaruh pendidikan orang dewasa tentang
gizi anak berdampak pada tinggi badan dan berat badan. Temuan ini mendukung
untuk memperluas fokus kebijakan program gizi dari pasangan ibu dan anak
terhadap konteks yang lebih luas dari keluarga dan masyarakat karena banyak ibu
di India dan Vietnam bekerja di luar rumah (Moestue et al. 2008). Selanjutnya
hasil penelitian Shim et al. (2011) menunjukkan keprihatinannya (tidak sesuai
anjuran) dalam penggunaan bahan pengawet, pewarna, dan pemanis
buatan dalam makanan dimana lebih dari dua pertiga contoh menyatakan bahwa
informasi mengenai bahan aditif cukup. Hal ini terkait dengan kurangnya
informasi sehingga subyek sulit memahami bahan tambahan makanan dan juga
pendidikan yang tidak cukup.
Devi (1996) melalui hasil penelitiannya menyatakan bahwa adanya
hubungan makanan jajanan tradisional dengan lingkungan keluarga terutama pada
tingkat pendidikan ibu dan frekuensi makanan di luar rumah. Adanya hubungan
perilaku konsumsi makanan jajanan tradisional murid terutama pada pengetahuan
gizi guru dan kegiatan makan bersama. Sementara itu hasil penelitian Napitu
(1994) bahwa rata-rata frekuensi siswa jajan di perkotaan lebih tinggi dibanding
di pinggiran kota karena sebagian besar tidak sarapan pagi di rumahnya masing-
masing. Siswa cenderung lebih banyak konsumsi jajanan tradisional dibandingkan
dengan makanan asing.
3. Peer Group
Peer group merupakan kelompok sosial informal yang terdiri dari orang-
orang sebaya, mempunyai status yang sama, minat serta terikat oleh premis
kesamaan, berusia sekitar sama, dan saling berinteraksi. Khusus untuk peer group
dalam remaja didorong oleh kebebasan dan jiwa individual yang tinggi yang
membutuhkan suport emosional dan sosial yang tinggi, juga belajar tentang
keterampilan sosial dalam kelompoknya tetapi mereka tidak belajar dari orang tua
atau gurunya (Muus, 1990 dalam Cobb 2001).
Escamilla et al. (2008) melakukan penelitian dengan tujuan untuk menilai
dampak pendidikan gizi pada kelompok sebaya dan mengidentifikasi kebutuhan
penelitian masa depan, diperoleh hasil bahwa pendidikan gizi pada kelompok
sebaya memiliki pengaruh positif terhadap hasil pengelolaan diabetes dan
menyusui, serta pada pengetahuan gizi umum dan perilaku asupan makanan.
Peer group dapat berpengaruh pada kesehatan seseorang. Hal ini ditunjukan
oleh hasil penelitian Salvy et al. (2011) yang melihat efek singkat dikucilkannya
20
motivasi untuk makan dan asupan makanan pada remaja yang kelebihan berat
badan diperoleh ada bukti yang berkembang bahwa pengalaman dikucilkan
seseorang dapat mengganggu kemampuan individu untuk mengatur diri, yang
pada gilirannya menyebabkan perilaku kesehatan negatif, seperti makan yang
tidak sehat meningkat. Hasil studi ini menunjukkan bahwa kelebihan berat badan
dan obesitas pada remaja mungkin beresiko sebagai pengisolasian secara sosial
dan dapat meningkatkan kesulitan untuk mempromosikan perubahan perilaku
jangka panjang dalam perilaku kesehatan remaja yang kelebihan berat badan. Hal
ini didukung oleh hasil penelitian Wouters et al. (2010) yang menyatakan bahwa
intervensi pada peer group mendukung penurunan tekanan psikologis, khususnya
gejala depresi, kecemasan dan kemarahan. Dengan demikian, penggunaan
intervensi dukungan kelompok sebaya harus dimasukkan ke dalam program
kesehatan sekolah.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pilihan makanan yang
dibuat oleh para pemimpin kelompok di suatu kafetaria sekolah memiliki
pengaruh dalam membuat pilihan makanan sehat di AS (Birnbaum et al. 2002
dalam Bevelander et al. 2011). Hal ini terjadi mungkin karena rekan-
rekannya memfasilitasi pembelian produk makanan yang tidak sehat dan temuan
ini mungkin menjadi nilai berarti bagi kebijakan pemerintah, kesehatan, dan
sekolah (misalnya dengan mengarahkan pendidikan kesehatan pada kelompok
di sekolah). Selanjutnya Bevelander et al. (2011) menyatakan bahwa konsumsi
makanan dan minuman ringan individu terkait dengan ketersediaan
kombinasi konsumsi makanan tertentu dari rekan-rekan mereka di sekolah, dan
karakteristik pribadi mereka.
4. Keragaan Makanan Tradisional
Pola kebiasaan konsumsi makanan dipengaruhi oleh bagaimana seseorang
memberi arti kepada makanan yang biasa dikonsumsi. Pada umumnya penerimaan
dan penolakan terhadap suatu jenis makanan merupakan kebiasaan yang sulit
untuk dirubah karena sifatnya sangat pribadi (Wulan 1997). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Johnson et al. (2011) dengan tujuan untuk memahami makanan
sehari-hari pada ibu menyatakan bahwa keragaan makanan tradisional
menggarisbawahi bagaimana pentingnya memahami identitas yang berkaitan
dengan makanan serta yang dapat mempengaruhi pilihan makanan.
Lewin (1943) dalam Suhardjo (1989) telah mempelajari apa yang dia
anggap sebagai nilai dasar yang menentukan pilihan makanan agar dapat
menentukan lebih baik apa yang orang makan dan lakukan yang meliputi rasa
(taste), nilai sosial, manfaat bagi kesehatan dan harga.
Menurut Kuhne et al. (2010) bahwa meskipun ada kontroversial dalam
konteks makanan tradisional, tetapi sangat penting untuk mengatasinya melalui
proses inovasi. Selanjutnya bahwa proses ini dapat diterima oleh konsumen
sepanjang melestarikan karakter makanan tradisional yang ditekankan sebagai
prasyarat dalam inovasi produk tersebut.
5. Citra Makanan Tradisional
Berbagai jenis makanan mempunyai citra tersendiri di mata masyarakat. Ini
menyebabkan masyarakat akan mengonsumsi makanan tertentu yang mempunyai
nilai sesuai dengan tingkat naluri pada makanan yang terdapat dalam masyarakat
21
(Suhardjo 1989). Nilai makanan yang terdapat dalam masyarakat tersebut selalu
tergambarkan dalam pikiran manusia sehingga dapat berakhir dengan keputusan
untuk mengonsumsi makanan tradisional tersebut.
Adapula orang yang mengonsumsi makanan didasari oleh gengsi sosialnya
yang mengikuti perkembangan zaman sehingga akan dianggap mempunyai gaya
hidup yang beda dan bahkan lebih modern jika tidak mengonsumsi makanan
tradisional. Hasil penelitian yang dilakukan Yulianis (2009) ditemukan bahwa
faktor gengsi sosial dan gaya hidup yang mengarah ke nilai-nilai modernisasi
yang menganggap segala sesuatu yang berbau tradisional atau lokal adalah
dianggap tidak mengikuti perkembangan zaman.
Citra makanan tradisional berhubungan dengan berbagai bahan makanan
yang menyusunnya. Ada orang senang mengonsumsi makanan tersebut, tetapi
dapat menjadi pengalaman yang dilematis: mereka butuh untuk mencari beragam
makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi, tetapi di sisi lain dapat berpotensi
berbahaya (Rozin 1988 dalam Contento 2007). Sebagai contoh adalah bahan
makanan dari hewani seperti daging yang dapat memenuhi kebutuhan protein
namun dapat pula berpotensi menyebabkan tubuh tidak sehat.
Kemungkinan oleh karena kelangkaan ketersediaan makanan tradisional
maka terjadi berbagai keadaan yang dapat mempengaruhi citra dari makanan
tersebut. Menurut Almli et al. (2011) bahwa makanan tradisional relatif mahal
dan memakan waktu dalam menyiapkannya untuk selera tertentu, kualitas,
penampilan, nilai gizi, kesehatan dan keamanan makanan tersebut.
6. Iklan
Iklan sangat mempengaruhi perilaku konsumsi makanan seseorang sehingga
dapat berubah dari makanan tradisional ke makanan fasf food. Iklan ini dapat
melalui media elektronik (radio, televisi, dll) juga dari media cetak (Koran,
majalah, bulletin, dll). Menurut Bowen dan Devine (2011) bahwa model
multimedia termasuk karakteristik masyarakat dan budaya dapat mempengaruhi
akulturasi makanan di tingkat keluarga dan rumah tangga serta pilihan makanan
pada kalangan remaja wanita.
Goris et al. (2009) menyatakan bahwa kontribusi iklan terhadap terjadinya
obesitas di Amerika Serikat berkisar antara 16%-40%, di Australia 10%-28%, di
Italia dan Inggris berkisar antara 4%-18%, sehingga kontribusi iklan televisi
tentang makanan dan minuman untuk prevalensi obesitas jelas berbeda antara
negara dan mungkin signifikan di beberapa negara. Selanjutnya dalam penelitian
Andreyeva et al. (2011) dengan tujuan menganalisis pengaruh iklan dihubungkan
dengan konsumsi makanan siap saji, minuman ringan dan obesitas, ternyata iklan
televisi dapat meningkatkan penggunaan gula pemanis, soft drink berkarbonasi
pada anak. Akibatnya iklan dikatakan dapat meningkatkan konsumsi keseluruhan
kategori makanan yang tidak sehat.
Anschutz et al. (2011) melakukan penelitian tentang efek langsung dari
menonton iklan di televisi terhadap asupan makanan ringan pada dewasa muda,
dimana hasilnya menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda
terpengaruh oleh iklan makanan. Asupan makanan pada perempuan lebih tinggi
dibandingkan dengan pria ketika mereka melihat iklan makanan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan untuk makan
makanan ringan bila terkena iklan makanan.
22
Menurut Wadolowska et al. (2008) bahwa iklan telah menyangkal secara
umum dan merupakan faktor yang penting dalam pemilihan makanan. Perhatian
pada iklan meningkat jika informasi tentang makanan yang diberikan terkait
dengan kesehatan. Motif pemilihan makanan lebih besar tegantung pada jenis
kelamin dan umur, keterjangkauan informasi pada suatu daerah, kondisi ekonomi
dan pendidikan. Ibu-ibu dan remaja wanita dalam memilih makanan lebih sering
ditunjukkan oleh karena perilaku dukungan kesehatan, motif mengonsumsi,
kesukaan dan jumlah makanan yang dikonsumsi. 7. Pasar
Pasar adalah tempat untuk memperoleh makanan yang diproduksi maupun
yang diinginkan oleh setiap individu. Turrell et al. (2007) menguji hubungan
antara social economic status (SES) dan perilaku pembelian makanan dengan
metode survei yang ditunjukkan dengan proporsi rumah tangga pada masing-
masing penghasilan rendah. Penelitian ini diukur melalui pendidikan, pekerjaan
dan pendapatan rumah tangga maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa perilaku
pembelian makanan dapat dibedakan berdasarkan ketersediaan makanan,
kemudahan mengaksesnya, dan keterjangkauannya yang membuat tipe pada
beberapa pembelian makanan lebih sulit dalam daerah tertentu.
Berbeda dengan makanan cepat saji yang saat ini sedang menjamur hampir
di semua negara yang dengan mudah mengusai pemasaran makanan yang ada.
Menurut Dunn et al. (2011) yang melakukan penelitian dengan variabel yang
mempengaruhi konsumsi makanan cepat saji dalam contoh di Australia
menunjukkan bahwa konsumsi makanan cepat saji dipengaruhi oleh kelompok
rujukan tertentu serta permintaan umum untuk makanan yang lezat,
memuaskan, dan nyaman. Selanjutnya Michaelidou dan Hassan (2010) melakukan
penelitian tentang sikap konsumen dan niat membeli produk organik yang
menunjukkan bahwa sikap konsumen dijelaskan oleh karena keprihatinannya pada
keamanan pangan, gaya hidup, etika dan harga.
Meskipun pemahaman gizi tampaknya berada pada tingkat yang baik,
namun pengetahuan itu tidak cukup untuk menghalangi individu dari membeli
dan makan makanan cepat saji. Faktor-faktor yang menghambat konsumsi
makanan cepat saji adalah perasaan yang lahir dari diri sendiri dan kepedulian
tentang isu-isu sosial seperti keluarga kehilangan waktu makan makanan
tradisional, anak-anak tidak belajar tentang makanan dan persiapan makanan,
kebiasaan konsumsi membentuk sifat sering, dan terkait dengan gaya hidup
(Dunn et al. 2011). Oleh karena itu menurut Pieniak et al. (2009) bahwa
dibutuhkan pasar untuk makanan tradisional tersebut.
Makanan Tradisional
Makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia 2002). Menurut Kittler dan Soucher (2008) makanan didefinisikan
sebagai zat yang menyediakan kebutuhan gizi untuk pemeliharaan dan
pertumbuhan tubuh ketika dimakan. Sementara Menurut Almatsier (2003) bahwa
makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau unsur-
unsur kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh yang berguna bila
23
dimasukan dalam tubuh.
Makanan mempunyai berbagai fungsi di dalam tubuh baik untuk mencegah
terjadinya berbagai penyakit, memelihara tubuh agar tetap sehat dan juga dapat
menyembuhkan berbagai penyakit. Menurut Hipocrates (460-359 SM) bahwa
biarkan makanan menjadi obat-mu dan obat menjadi makanan-mu (Let food be
thy medicine and medicine be thy food) yang dapat difahami bahwa makanan itu
sendiri mempunyai berbagai fungsi yang dapat melawan berbagai penyakit
sehingga dapat memberikan kesehatan pada tubuh atau meningkatkan kekebalan
tubuh sehingga tubuh tetap sehat (Lucock 2004).
Konsep dan Definisi Makanan Tradisional
Menurut Achir dan Wirosuhardjo (1995) bahwa makanan tradisional adalah
bagian dari budaya. Kata budaya tersebut berasal dari bahasa sangsekerta yaitu
buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal. Ada juga
yang mengelompokkan kata budaya menjadi budi-daya yang dapat berarti daya
dari budi berupa cipta, karsa dan rasa. Menurut Jordana (2000) bahwa agar produk
makanan dikatakan tradisional maka harus terkait dengan daerah, menjadi bagian
dari tradisi daerah tersebut serta telah dilakukan dalam waktu yang lama.
Menurut Montanari (2006) bahwa budaya itu telah mengambil tempat
dimana antara tradisi (misalnya konsumsi makanan yang merupakan kebiasaan
turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat) dan inovasi yang saling
berhubungan. Lebih lanjut dikatakan bahwa tradisi konsumsi makanan ini
terdiri dari pengetahuan, teknik, nilai, yang secara turun temurun diturunkan
kepada kita, sehingga pada keadaan selanjutnya terdapat pula inovasi yang
sedemikian rupa (pengetahuan, teknik, nilai-nilai) dan memodifikasinya dalam
konteks lingkungan yang membuat manusia mengalami realitas baru.
Menurut Soerjodibroto (1995) bahwa makanan tradisional itu terbentuk
sebagai akibat dari adanya hasil suatu evolusi pengalaman yang sudah turun
temurun selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad yang tersusun dalam
hidangan sehari-hari. Kesanggupan menyusun hidangan ini tidaklah diturunkan
dalam pengertian herediter, tetapi merupakan kepandaian yang diajarkan dari
leluhur melalui orang tua, terus ke generasi yang lebih muda (Suhardjo 1989).
Kemungkinan hal ini yang menyebabkan bahwa karena berdasarkan pengalaman
yang cukup panjang sehingga makanan yang dimasak oleh orang yang tua seperti
nenek-nenek saat ini terasa lebih enak dibandingkan dengan makanan yang
dimasak oleh kita sendiri. Dari pengertian yang ada ini maka dapatlah dikatakan
bahwa makanan tradisional adalah makanan yang dibuat dengan menggunakan
resep khas hasil ciptaan masyarakat daerah tertentu dan sudah ada dari generasi
sebelumnya.
Makanan tradisional mempunyai fungsi yang majemuk yaitu bukan saja
biologis, tetapi juga mempunyai fungsi sosial, budaya dan agama (Winarno 2004).
Menurut Muhilal (1995) bahwa ada empat kelompok makanan Indonesia beserta
fungsinya yaitu pertama, makanan pokok sebagai sumber karbohidrat atau sumber
energi berupa beras, jagung, ubi, sagu, yang fungsinya membuat rasa kenyang dan
diangap baik untuk kesehatan. Kedua, lauk sebagai sumber protein dan lemak
berupa daging, ikan, telur, tempe dan tahu yang membuat hidangan terasa lebih
enak. Dilihat dari kombinasi asam amino, nilai biologi protein hewani lebih baik
dari protein nabati. Namun kombinasi antara beras yang rendah akan lisin, tetapi
24
tinggi asam amino yang mengandung sulfur, dengan kedelei yang rendah asam
amino yang mengandung sulfur, tetapi tinggi lisin, maka kombinasi keduanya
akan menjadikan susunan asam aminonya saling melengkapi. Ketiga, sayur yang
fungsinya dalam menu memperlancar pengunyahan dan makanan lebih mudah
ditelan. Sayuran merupakan sumber vitamin dan mineral, karena sebagian besar
wilayah Indonesia umumnya sayuran dimasak lebih dahulu sebelum dimakan
maka vitamin C sebagian besar menjadi rusak. Keempat, buah yang fungsinya
untuk menetralkan rasa dari berbagai hidangan dan sering disebut pula pencuci
mulut. Buah merupakan sumber vitamin dan mineral. Karena buah dimakan
mentah maka vitamin yang dikandungnya terutama vitamin C tidak mengalami
kerusakan.
Proses pemasakan makanan tradisional umumnya dilakukan dengan
menggunakan alat-alat tradisional yang banyak terbuat dari tanah, kayu, bambu,
tempurung, dan lain-lain. Pemasakan umumnya menggunakan tungku dengan
bahan bakar kayu, tempurung atau arang seperti merebus, menggoreng, menumis,
mengukus dan memasak dengan cara ditim. Ada proses pemasakan langsung di
atas bara api seperti membakar, ada juga yang dimasak dalam oven yang disebut
dipanggang, ada juga yang dimasak dalam abu tungku yang panas yang biasanya
dimasak adalah jenis umbi-umbian dan ada juga di masak dengan panas batu yang
sebelumnya telah dibakar (bakar batu) seperti di Papua. Seiring terjadinya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka sekarang pemasakan
makanan sebagian besar sudah dilakukan pada kompor yang terbuat dari baja
dengan bahan bakar minyak tanah, gas atau dengan tenaga listrik (Suhardjo 1989).
Konsumsi makanan tradisional juga dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan
ritual diantaranya dihubungkan dengan kekuatan magis, pada haul orang yang
meninggal; hari-hari besar keagamaan seperti puasa; lebaran, maulid Nabi
Muhammad; selamatan 7 bulan umur kehamilan, kelahiran anak atau pada ibu
menyusui, sunatan atau pada prosesi pernikahan, mau membangun rumah,
menempati rumah baru, upacara penyambutan pemimpin suku dan lain-lain. Pada
upacara-upacara ini makanan tradisionalnya dari kuantitasnya disesuaikan dengan
keadaan sosial ekonomi pembuat hajatan (Suhardjo 1989).
Menurut Muhillal (1995) bahwa sudah terjadi pergeseran makanan pokok
dari yang non beras menjadi beras. Bila dilihat dari pola menu berbagai daerah
tersebut maka sudah terpenuhi adanya 4 kelompok bahan makanan. Namun data-
data survei mengungkapkan bahwa asupan gizi sebagian masyarakat terutama
yang berpenghasilan rendah adalah lebih rendah dari kecukupan gizi yang
dianjurkan. Untuk menuntun masyarakat agar mengonsumsi kombinasi makanan
dan jumlah yang benar membutuhkan pedoman melalui proses pembelajaran yang
disesuaikan dengan daerahnya masing-masing sehingga terjadi keseimbangan
antara jumlah asupan zat gizi dengan aktivitas yang dilakukan.
Zat gizi yang terdapat di dalam makanan secara garis besarnya dapat dibagi
menjadi dua jenis yaitu zat gizi makro dan mikro. Zat gizi makro terdiri dari
karbohidrat, protein, dan lemak. Sementara zat gizi mikro terdiri dari vitamin dan
mineral. Vitamin secara gari besar terdiri dari vitamin yang larut air dan vitamin
larut lemak. Selanjutnya untuk mineral terbagi dalam mineral makro dan mineral
mikro. Menurut Almatsier (2003) bahwa sekarang sudah diketahui sekitar empat
puluh lima zat gizi yang harus tersedia di dalam makanan sehari-hari dan masih
diteliti kemungkinan mikromineral dan unsur-unsur vitamin baru. Adapapun
25
jenis-jenis zat gizi seperti pada Tabel 1.
Konsumsi makanan yang baik mempunyai proporsinya masing-masing.
Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004) bahwa secara umum pola makan yang
baik adalah bila perbandingan komposisi energi dari karbohidrat, protein dan
lemak adalah 50-65%; 10-20%; dan 20-30%. Selanjutnya, bahwa komposisi ini
tentunya dapat bervariasi tergantung umur, ukuran tubuh, keadaan fisiologis, dan
mutu asupan protein.
Tabel 1 Penggolongan zat gizi
Gizi Makro Gizi Mikro
Vitamin Mineral Karbohidrat
Protein Lemak
Ada juga yang menggolongkan
bahwa air termasuk zat gizi.
Larut lemak: A, D, E, K.
Larut air: B dan C
Makro : Natrium (Na), Klor (Cr), Kalium (K),
Kalsium (Ca), Fosfor (P), Magnesium (Mg), Sulfur (S).
Mikro : Besi (Fe), Seng (Zn), Iodium (I),
Tembaga (Cu), Mangan (Mn), Krom (Cr), Selenium (Se), Molibden (Mo), Fluor (F),
Kobal (Co), dan mineral mikro lainnya yang
kebutuhannya belum ditetapkan.
Sumber : Almatsier (2003)
Aneka Ragam Bahan Makanan Tradisional
Tidak ada satu jenis bahan makanan di dunia ini yang dapat memenuhi
kebutuhan gizi seseorang, kecuali hanya Air Susu Ibu (ASI) yang lengkap zat-zat
gizinya untuk bayi yang berumur 0-6 bulan (Anonim 2007). Akibatnya, untuk
memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas hidup, setiap orang
membutuhkan 5 kelompok zat gizi yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
mineral dalam jumlah yang cukup, tidak berlebihan, dan tidak juga kekurangan
(Soekirman et al. 2003). Selain itu manusia memerlukan air dan serat untuk
memperlancar berbagai proses faali dalam tubuh.
Secara alami, komposisi zat gizi setiap jenis makanan memiliki keunggulan
dan kelemahan tertentu. Beberapa makanan mengandung tinggi karbohidrat tetapi
kurang vitamin dan mineral, sementara bahan makanan yang lain kaya vitamin C
tetapi kurang vitamin A. Apabila konsumsi makanan sehari-hari kurang beraneka
ragam, maka akan timbul ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat
gizi yang diperlukan untuk hidup sehat dan produktif. Dengan mengonsumsi
makanan yang beraneka ragam setiap hari, maka kekurangan zat gizi pada jenis
makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi makanan
lain sehingga diperoleh masukan zat gizi yang seimbang. Menurut Soekirman et
al. (2010) bahwa gizi seimbang itu merupakan susunan makanan sehari-hari yang
mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh
dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi makanan, aktivitas
fisik, kebersihan dan berat badan ideal.
Jadi keanekaragaman bahan makanan dapat menjamin masukan zat gizi
yang seimbang yang tidak hanya dapat dipenuhi oleh satu jenis bahan makanan
saja. Di sini terlihat adanya saling ketergantungan selain bahan itu sendiri, juga
ketergantungan antara zat gizi. Misalnya penyerapan yang optimum dari masukan
vitamin A memerlukan kehadiran lemak sebagai pelarut dan mengangkut vitamin
A ke seluruh bagian tubuh. Selain itu apabila cadangan mangan (Mn) di dalam
tubuh kurang, maka vitamin A juga tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara
26
optimal. Contoh lainnya, diperlukan vitamin C yang cukup dalam makanan untuk
meningkatkan penyerapan zat besi (Fe) (Soekirman et al. 2003).
Keanekaragaman makanan terdapat pada makanan tradisional di seluruh
Indonesia. Sebagai contoh gado-gado dari Jawa yang merupakan jenis makanan
tradisional yang menggunakan beraneka ragam bahan makanan mengandung
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang memadai. Sama halnya
dengan tinutuan (bubur Manado) dari Minahasa yang menggunakan beraneka
ragam bahan makanan yang hampir sama dengan gado-gado tetapi yang berbeda
adalah penambahan beberapa bahan makanan lainnya, cara pengolahan dan
penyajiannya (Weichart 2004). Contoh lainnya seperti di Gorontalo binthe
biluhuta yang juga terdiri dari beragam bahan makanan dengan bahan dasarnya
jagung sumber karbohidrat, ikan sumber protein, kelapa sumber lemak, sayur
sebagai sumber vitamin dan mineral serta sumber serat (Napu et al. 2008) yang
tidak dapat diserap dan tidak mempunyai nilai gizi, tetapi mempunyai dampak
positif terhadap peningkatan derajat kesehatan diantaranya mencegah terjadinya
berbagai penyakit degeneratif.
Konsumsi makanan tradisional mendukung penggunaan bahan makanan
yang beraneka ragam sebagai salah satu upaya mengatasi ketergantungan
penduduk pada bahan pokok beras. Salah satu ciri khas makanan tradisional
adalah penggunaan bahan makanan lokal yang beragam seperti penggunaan umbi-
umbian, jagung, pisang, dan sagu, termasuk jenis sayur-sayuran dan buah-buahan
yang beragam. Penggunaan bahan yang sederhana dan alami pada makanan
tradisional mendukung ketersedian bahan makanan di tingkat rumah tangga. Ini
mendukung terciptanya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang
dibutuhkan perhatian terutama pada kelompok miskin (Atmarita 2005).
Tabel 2 Klasifikasi kebutuhan dan contoh kebutuhan atas aneka ragam makanan
Klasifikasi kebutuhan Contoh kebutuhan atas aneka ragam makanan
Self actualization Kebutuhan pengetahuan gizi; untuk mengambil keputusan tentang pangan dan gizi yang baik.
Kebutuhan pengetahuan makanan; untuk menyesuaikannya dengan gaya hidup dan
kepuasannya
Esteem Kebutuhan atas makanan dan tatacara makan untuk citra yang diidamkan
Kebutuhan atas makanan dan tata cara makan yang dapat memberikan gengsi,
reputasi, dan status sosial dirinya
Belonging and love Kebutuhan atas kenikmatan makanan
Kebutuhan atas makanan untuk menggambarkan keterterimaannya dalam suatu
kelompok tertentu.
Safety and convenience Kebutuhan makanan yang memberikan perlindungan tubuh
Kebutuhan makanan yang tidak akan membahayakan tubuh
Kebutuhan kemudahan mempersiapkan dan menyajikan makanan.
Physiological Kebutuhan makanan sebagai sumber kalori
Kebutuhan makanan untuk mempertahankan kondisi tubuh
Kebutuhan makanan untuk memerangi kelaparan.
Sumber: modifikasi dari Earle, 1997 dalam Dewanti et al. 2003
Menurut Dewanti et al. (2003) bahwa kebijakan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) bahan makanan pokok bersama dengan kebijakan makro lainnya
pada masa lalu telah menyebabkan terjadinya perubahan dan pergeseran
kebiasaan makan (food habit) sebagian besar penduduk Indonesia yang cenderung
tergantung pada beras. Hal ini telah menyebabkan memudarnya atau bahkan
hilangnya pluralisme dalam food habit dan pluralisme dalam diversifikasi pangan
pokok. Sebagai akibat lanjutannya; produksi, mutu dan prestise makanan lokal
27
non beras secara bertahap terus menurun. Suatu saat, kondisi yang demikian ini
bukannya tidak mungkin akan menyebabkan hilangnya budaya makan dan
makanan tradisional daerah.
Kebutuhan makanan setiap individu berbeda-beda, hal ini dapat ditinjau
berdasarkan stratifikasi konsumen dan kebutuhan aneka ragam makanan
berdasarkan Teori Maslow (modifikasi dari Earle, 1997 dalam Dewanti et al.
2003) seperti pada Tabel 2.
Muatan Lokal Ilmu Gizi Berbasis Makanan Tradisional dalam Kurikulum
Pelestarian Makanan Tradisional
Upaya pelestarian makanan tradisional di Indonesia sudah saatnya harus
dilakukan secara berkesinambungan. Kegiatan tersebut dapat melalui penelusuran
kandungan spesifik yang terdapat dalam makanan tradisional, juga manfaat atau
fungsi dari makanan itu sendiri. Selain itu makanan tradisional mempunyai nilai-
nilai tertentu yang biasanya ditampilkan pada upacara-upacara adat daerah dan
keagamaan di Indonesia. Menurut Weichart (2004) bahwa makanan merupakan
bagian ranah pribadi dan kehidupan sosial, yang dengan demikian memiliki arti
sosial, ekonomis dan politis.
Gagasan untuk kembali ke makanan tradisional Indonesia baru mendapat
perhatian yang serius sejak peringatan hari pangan sedunia ke XIII pada tanggal
12 oktober 1993 yang mana telah diadakan seminar pengembangan makanan
tradisional yang diikuti dengan suatu gerakan masyarakat yang dicanangkan oleh
Ibu Tien Soeharto melalui penanda tanganan prasasti ”Aku Cinta Makanan
Indonesia” (ACMI) tanggal 16 Oktober 1993. Makna ACMI tersebut bukan hanya
sekedar mau membeli dan mengonsumsi makanan tradisional, hendaknya pula
dapat memberikan pola dan kesadaran untuk menumbuhkan rasa menilai,
mencintai dan bangga terhadap kebudayaan sendiri (Departemen P dan K 1999).
Kemudian pada tahun 1996 di tingkat perguruan tinggi telah didirikan Pusat
Kajian Makanan Tradisional (PKMT) bertempat di Institut Pertanian Bogor di
Bogor, Universitas Brawijaya di Malang, dan Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 1998 didirikan pula PKMT di enam
perguruan tinggi lainnya yaitu di Institut Teknologi Bandung di Bandung,
Universitas Udayana di Bali, Universitas Airlangga di Surabaya, Universitas
Tanjung Pura di Pontianak, Universitas Hasanudin di Ujung Pandang dan
Universitas Sriwijaya di Palembang. Tujuan PKMT ini adalah untuk menggali
budaya yang terperinci dalam makanan tradisional di suatu daerah untuk
menguraikan khasiat dan makna spritualnya dan pengembangan dari segi
teknologi sehingga memiliki daya simpan dan memiliki nilai tambah yang cukup
tinggi; Ini telah dibuktikan dengan adanya inventarisasi makanan tradisional
Indonesia dengan rincian kandungan gizi yang terhimpun dalam buku Kumpulan
Makanan Tradisional (Departemen P dan K 1999). Tetapi kegiatan PKMT berupa
pelestarian dan pengembangan ini sudah tidak terdengar lagi dan bahkan ada
lembaga yang terbentuk sudah tidak berjalan dengan baik.
Pertanyaan sederhana yang dapat disampaikan adalah bagaimana makanan
tradisional ini menjadi lestari dan dikembangkan? Hal ini selain bermanfaat untuk
individu juga membuat makanan tersebut dapat bersaing di tingkat internasional,
28
berkembang di restoran-restoran nasional dan internasional, dan memberikan
kesempatan pada investor untuk mengembangkannya. Agar masyarakat Indonesia
merasa memiliki makanan tradisional tersebut maka dibutuhkan upaya-upaya
dalam pelestarian dan pengembangannya, dan akan menjadi kebiasaan yang baik
dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu menurut Wijaya dan Astawan (2001)
bahwa tidak melupakan pula upaya pengembangan dari sisi sosialnya yaitu
menumbuhkan rasa percaya dan cinta masyarakat kita karena ini merupakan
keberhasilan dari pencapaian akhir.
Dalam pelestarian dan pengembangan makanan tradisional dapat ditempuh
dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal sesuai dengan kondisi
agroekosistem masing-masing wilayah, meningkatkan produksi bahan makanan
lokal dan pengembangan konsumsi makanan yang mengarah pada bahan makanan
lokal non beras (Suryana 2001). Secara garis besarnya upaya pengembangan
makanan tradisional dapat dilakukan dengan melaksanakan beberapa kegiatan
yang bersifat strategis diantaranya melakukan inventarisasi, identifikasi dan
pemetaan potensi; sosialisasi promosi dan publikasi tentang pelestarian makanan
tradisional serta pengembangannya; meningkatkan peran Pemerintah Daerah
(Pemda) dalam mempromosikan produk makanan tradisional guna menarik
investor; pendidikan dan penyuluhan bagi tenaga yang berkecimpung dalam
bidang makanan tradisional untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan
dalam berbagai segi pengembangannya. Hal penting lainnya adalah tentang
keberlanjutan ketersediaan pangan yang saat ini sedang dihadapkan pada beberapa
masalah dan tantangan salah satunya adalah kapasitas produksi pangan yang
semakin terbatas karena adanya peningkatan jumlah penduduk beserta aktivitas
ekonominya (Tanziha 2010).
Upaya pelestarian dan pengembangan makanan tradisional dapat dilihat
pula di negeri Jepang yang merupakan salah satu negara yang mampu
mengantisipasi kemajuan zaman tanpa harus kehilangan nilai-nilai tradisionalnya.
Hal ini nampak pada pengembangan produk-produk makanannya. Strategi
pengembangan makanan tradisional yang terpadu secara erat baik oleh pihak
produsen, pemerintah, ilmuan dan masyarakat telah melahirkan keterandalannya
sekaligus produk-produk yang mampu bersaing di tengah maraknya produk-
produk yang datang dari negara lain (Wijaya dan Astawan 2001). Sejak tahun
2005 telah diberlakukan Undang-undang Shokuiku (food and nutrition
education), yang merupakan pendidikan gizi dan makanan kepada masyarakatnya
yang sesungguhnya konsep Shokuiku tersebut telah ada sejak zaman Meiji (1868-
1912) yang mengolah makanan-makanan tradisional Jepang (Anonim 2006).
Menurut Watanabe (2006) bahwa Shokuiku menjadi dasar dalam kehidupan untuk
pendidikan intelektual (chiiku), moral (tokuiku) dan fisik (taiiku). Shokuiku dapat
melatih kebiasaan makan yang sehat pada anak-anak, memberikan pengetahuan
yang berkaitan dengan makanan, kemampuan untuk memilih makanan melalui
berbagai pengalaman. Akibatnya di Jepang Shokuiku ini dianggap penting bagi
semua generasi. Sebagai ilustrasi sederhana bahwa Shokuiku pada anak-anak
memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan mental dan fisik, dan juga pada
pembentukan karakter mereka yang membentuk pembinaan kesehatan mental dan
fisik, serta kemanusiaan sepanjang hidupnya. Pada saat anak-anak tersebut
menjadi dewasa diharapkan akan merefleksikan kebiasaan diet pada keluarga dan
masyarakat. Sehingga dengan peningkatan yang pesat populasi lansia di Jepang
29
diharapkan pula yang akan memimpin dan memberi semangat tentang hidup sehat
termasuk praktik kebiasaan diet yang sehat pada generasi dibawahnya. Berbagai
dampak yang dapat dilihat dari Shokuiku terjadi di Jepang termasuk pada perilaku
konsumsi makanan tradisional yang dibandingkan dengan cepat saji (fast food).
Penelitian yang dilakukan oleh Goto et al. (2009) untuk mengetahui persfektif
wanita Jepang tentang makanan cepat saji dan Shokuiku. Makanan cepat saji
dengan rentetan proses pengolahan dianggap sebagai makanan tidak sehat,
sementara beberapa makanan tradisional cepat saji seperti soba (mie soba)
dianggap relatif sehat. Selanjutnya sebagian besar contoh menyatakan bahwa
Shokuiku diperlukan mulai dari tingkat rumah tangga dan pada pelestarian
makanan tradisional atau makanan lokal yang dinyatakan lebih bergizi.
Konsep Muatan Lokal
Konsep muatan lokal didasarkan pada surat keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan No. 0412/U/1987 yang menyatakan bahwa muatan lokal adalah
program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan
lingkungan alam, sosial, budaya serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari di
daerah itu. Ini merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi
yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan
daerah. Oleh karena materi muatan lokal terlalu banyak sehingga harus menjadi
mata pelajaran tersendiri. Selanjutnya substansi pembelajaran muatan lokal
ditentukan oleh satuan pendidikan yang tidak terbatas pada mata pelajaran
keterampilan saja. Materi muatan lokal terdiri atas 3 rumpun yaitu rumpun
budaya, rumpun keterampilan dan rumpun pendidikan lingkungan (BSNP 2006).
Muatan lokal merupakan mata pelajaran, sehingga satuan pendidikan harus
mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada mata pelajaran
muatan lokal tersebut. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan satu mata
pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa dalam satu tahun satuan
pendidikan dapat menyelenggaran dua kali mata pelajaran muatan lokal (BSNP
2006)
Keberadaan mata pelajaran muatan lokal merupakan bentuk
penyelenggaraan yang tidak terpusat. Ini sebagai upaya agar penyelenggaraan
pendidikan di masing-masing daerah lebih meningkat relevansinya dengan
keadaan dan kebutuhan daerah. Menurut Arikunto (1997) bahwa secara umum
tujuan pembelajaran muatan lokal adalah mempersiapkan peserta didik agar
memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungannya dalam bentuk sikap dan
perilaku, serta bersedia melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam,
kualitas sosial dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional maupun
pembangunan daerah setempat. Sementara tujuan khususnya adalah:
1). Mengenalkan dan mengakrabkan peserta didik dengan lingkungan alam, sosial
dan budayanya; 2). Membekali peserta didik dengan kemampuan dan
keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya
maupun lingkungan masyarakat pada umumnya; 3). Melestarikan nilai-nilai luhur
budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan nasional; 4). Menyadari
lingkungan dan masalah-masalah yang ada di masyarakat serta membantu
mencari pemecahannya.
Selanjutnya bahwa proses pelaksanaan pembelajaran diatur dalam
kurikulum. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 tahun 2005 tentang
30
Standar Nasional Pendidikan bahwa yang dimaksud dengan kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Penyusunan kurikulum
ini disesuaikan dengan tingkat satuan pendidikan sekolah dasar (SD), sekolah
menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) atau bentuk lain
yang sederajat yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
Oleh karena itu lebih lanjut dalam PP tersebut dikatakan bahwa kerangka dasar
dan struktur kurikulum memuat tentang kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dilaksanakan diantaranya melalui muatan lokal
yang relevan.
Kebijakan dan Implementasi Muatan Lokal
Pendidikan formal, nonformal maupun informal selain dapat menjadi wadah
untuk melakukan pelestarian dan pengembangan makanan tradisional juga untuk
menumbuhkan sikap mencintai terhadap bangsanya sendiri. Pendidikan non
formal dapat dilakukan melalui penyuluhan tatap muka yang komunikatif dengan
berbagai unsur. Menurut Achir dan Wirosuhardjo (1995) bahwa perlu melakukan
langkah studi awal tentang pengetahuan, sikap dan praktik mengenai makanan
tradisional yang dilihat dari gizi dan kesehatan sebelum melakukan penyuluhan
tersebut. Dari data yang diperoleh maka menjadi dasar penyusunan bahan
penyuluhan tentang makanan tradisional dan gizi guna meningkatkan
pengetahuan, sikap dan praktik keluarga pada makanan tradisional tersebut.
Upaya non formal ini dibutuhkan peran lintas sektor dan lintas program termasuk
peran dari pers dalam pembentukan opini. Secara formal dapat dilakukan melalui
pendidikan formal di sekolah yang dapat berdampak pada aspek ekonomi, gizi
dan kesehatan (Achir dan Wirosuhardjo 1995).
Memang pendidikan merupakan upaya mendasar dalam meningkatkan
pengetahuan masyarakat khususnya dalam pelestarian dan pengembangan
makanan tradisional sebagai budaya bangsa. Selain itu juga melalui pendidikan
tersebut memberikan kesadaran terjadinya perilaku gizi yang diharapkan. Sebagai
contoh konsumsi sayuran yang sekalipun sudah disediakan di dalam keluarga,
tetapi karena tidak mempunyai pengetahuan tentang pentingnya konsumsi sayuran
tersebut maka tetap saja tidak dikonsumsinya. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Dweba dan Mearns (2011) yaitu bahwa meskipun sayuran tradisional
tersedia, tetap saja terjadi penurunan dalam penggunaan sayuran karena hilangnya
pengetahuan lokal yang terkait dengan sayuran tradisional tersebut.
Di Gorontalo kebijakan pelestarian dan pengembangan makanan tradisional
lebih dititikberatkan pada pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan
dalam bentuk mata pelajaran muatan lokal (Dinkes Prov. Gorontalo 2007). Mata
pelajaran muatan lokal ini bernama Ilmu Gizi Berbasis MTG yang diterapkan di
pendidikan dasar (SD dan SMP atau sederajat) dan menengah (SMA/SMK atau
sederajat) sejak tahun 2008. Wilayah pembelajarannya mencakup seluruh
kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Gorontalo dan ini merupakan jenis
muatan lokal yang pertama di Indonesia.
Berbagai keadaan yang mendasari dilaksanakannya mulok ilmu gizi
berbasis MTG diantaranya adalah hasil evaluasi pasien yang dirujuk untuk
31
konsultasi gizi, pengamatan yang disimak melalui pemberitaan media cetak dan
elektronik tentang banyaknya masalah kesehatan yang sesungguhnya dimulai dari
masalah konsumsi makanan yang dianggap sepele tetapi telah meluas menjadi
masalah kesehatan (Napu 2007). Adapun keadaan yang dimaksud diantaranya:
faham masyarakat tentang makanan yang baik, bergizi, dan sehat sangat terbatas;
meningkatnya kejadian penyakit degeneratif (diabetes mellitus, hiperkoles-
trolemia, hipertensi) pada usia muda (di bawah 40 tahun); meningkatnya penderita
gizi lebih (obesitas) baik pada anak-anak, remaja dan dewasa yang berpotensi
dideritanya penyakit degeneratif; tingginya kasus gizi kurang dan gizi buruk di
seluruh Indonesia; tingginya anemia gizi baik pada remaja, ibu hamil dan ibu
menyusui yang dapat menyebabkan kualitas dan produktivitas SDM rendah;
tingginya masalah pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif karena pemahaman
yang rendah dan juga terbuai oleh iklan atau persuasif produk tertentu; masih
terdapatnya kasus Kurang vitamin A yang menyebabkan gangguan penglihatan;
adanya masalah gangguan akibat kekurangan iodium yang menyebabkan retardasi
mental dan kelainan fungsi tubuh lainnya; adanya ketergantungan masyarakat
pada beras sementara daerah kita mempunyai beragam bahan makanan lokal baik
dari umbi-umbian, jagung, sagu, dan bahan makanan lainnya; besarnya potensi
perairan Indonesia sebagai sumber bahan makanan berprotein yang sangat baik
dan aman; beragamnya ritual agama atau adat istiadat yang disertai dengan
beragam makanan tradisional; menurunnya nilai gengsi makanan tradisional
dibandingkan dengan makanan produk luar negeri sehingga sudah mulai
ditinggalkan; keberagaman bahan makanan tradisional yang digunakan untuk
pemeliharaan kesehatan tubuh atau untuk pengobatan; menjamurnya produk-
produk makanan yang rendah kualitasnya dan bahkan merugikan kesehatan;
menjamurnya produk-produk luar negeri yang beredar di Indonesia yang terkesan
baik sementara melalui berbagai penelitian telah dinyatakan kurang baik untuk
kesehatan; tidak terkontrolnya iklan-iklan tentang makanan dan minuman di
media yang membuat masyarakat salah memilih makanan dan minuman yang baik
dikonsumsi; rendahnya perlindungan terhadap konsumen dalam mengonsumsi
produk-produk makanan dan sering terabaikan misalnya pada kasus keracunan
makanan secara masal; dan lain-lain.
Tujuan pelaksanaan Mulok Ilmu Gizi Berbasis MTG adalah: pertama,
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang MTG, gizi, dan kesehatan;
kedua, upaya memutus mata rantai permasalahan gizi dan kesehatan; ketiga,
upaya pelestarian dan pengembangan budaya daerah yaitu MTG (Dinkes Prov.
Gorontalo 2007). Dalam pembelajarannya, materi muatan lokal mencakup ilmu
gizi dan kesehatan, dan MTG secara teori dan juga praktik memasak. Sebelum
mulok diajarkan, para guru dilatih oleh Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga Provinsi Gorontalo dengan materi tentang kesehatan dan
gizi serta tentang kurikulum dan unsur perangkat pembelajaran. Saat ini telah ada
2 guru yang tersertifikasi dengan mata pelajaran mulok tersebut. (Dinas
Kesehatan Provinsi Gorontalo 2008).
Penelitian Terkait dengan Muatan Lokal
Menyadari tentang pendidikan gizi yang telah dilakukan melalui berbagai
penelitian yang berkaitan dengan pendidikan gizi dan muatan lokal, tetapi
penelitian yang memfokuskan pada muatan lokal ilmu gizi berbasis makanan
32
tradisional sampai saat ini belum ada. Selanjutnya telaahan tentang penelitian
tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 yang menunjukkan beberapa hasil penelitian
tentang pendidikan gizi dan muatan lokal.
Syarief et al. (1988) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengumpulkan data dasar dalam merancang model pendidikan gizi bagi murid
SD dan juga untuk mengetahui pengetahuan gizi murid SD, kebiasaan makan
murid dan keluarga serta mengetahui pelaksanaan pendidikan gizi SD.
Pengumpulan data melalui wawancara dengan guru, orang tua murid dan melalui
pengamatan langsung. Sementara pengujian secara tertulis pada siswa. Hasilnya
adalah bahwa pengetahuan gizi murid SD tentang aspek kegunaan makanan,
aspek cara memilih dan mengolah makanan relatif lebih rendah dibanding aspek
pengetahuan tentang makanan sehat, aspek pengertian tentang gizi dan
kegunaannya.
Tabel 3 Penelitian tentang pendidikan gizi dan muatan lokal
Referensi Metodologi Cara evaluasi Kesimpulan Syarief et al. (1988)
Rancangan Model Pendidikan Gizi Untuk
Sekolah Dasar.
Laboratorium Gizi Masyrakat Pusat Antar
Universitas (PAU) Pangan
dan Gizi IPB. Pebruari
Data yang dikumpulkan
meliputi keadaan umum sekolah, data keluarga murid
dan pengetahuan gizi yang
berlokasi di 6 SD di Jawa Barat dan 6 SD di Sumatera
Barat.
Melalui wawancara
dengan guru, orang tua murid dan melalui
pengamatan langsung.
Pengujian secara tertulis pada siswa.
Pengetahuan gizi murid SD
tentang aspek kegunaan makanan dan aspek cara
memilih dan mengolah
makanan relatif lebih rendah dibanding aspek pengetahuan
tentang makanan sehat, aspek
pengertian tentang gizi dan kegunaannya
Sutardi (1997).
Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal SLTP di
Provinsi Lampung.
Data yang dikumpulkan
adalah tentang informasi pelaksanaan kurikulum
muatan lokal SLTP
Lampung.
Pengumpulan data dengan
menyebarkan kuesioner kepada perwakilan
pemerintahan Tingkat I,
Kakanwil Dikbud Tingkat I, kabid Pendidikan
Menengah Umum, Kasi
Kurikulum dan Pengawas SLPT, Kanwil Dikbud
Tingkat II Bandar
Lampung dan Metro, kepada 17 orang guru,
dan siswa kelas I, II, II
kedua daerah berjumlah 66 orang.
Ada guru mulok yang belum
mendapatkan penataran. Sebagian besar siswa
menyenangi pelajaran mulok,
sementara sarana dan prasarana yang mendukung
pelaksanaan kurikulum masih
kurang memadai.
Merdhana. (2000)
Kurikulum Muatan Lokal pada Sekolah Menengah
Kejuruan Standar di Bali.
Data yang dikumpulkan
kegiatan para guru mulok berdasarkan keahliannya,
data pelaksanaan
pembelajaran, data pengembangan mulok
menghadapi dunia kerja.
Pengumpulan data
menggunakan kuesioner pada guru-guru dan
kepala sekolah di 3 SMK
standar di Bali.
Pentingnya pengembangan
kurikulum nasional dengan kurikulum mulok melalui
kerjasama antara pihak
Kanwil, sekolah dan dunia usaha/industri.
Kurniati dan Utami
(2005). Evaluasi Pelaksanaan Pembelajaran
Bahasa Jawa SMA sebagai
Muatan Lokal di Jawa Tengah.
Data yang dikumpulkan
meliputi kekuatan, kelemahan, dampak dan
sarana pelaksanaan
pembelajaran bahasa Jawa SMA yang bersumber dari
siswa, guru, kepala sekolah,
kepala dinas di Jawa tengah.
Pengambilan data
menggunakan teknik dokumentasi, angket dan
wawancara
Agar siswa tidak
menyepelekan mata pelajaran bahasa Jawa, posisi mata
pelajaran tersebut disamakan
dengan mata pelajaran lain dan dicantumkan dalam
ijazah
Yufiarti (2009).
Pelaksanaan Program
Pendidikan Muatan Lokal
Berorientasi Keterampilan
di SMP Lampung.
Data yang dikumpulkan
meliputi jenis keterampilan,
ketersediaan guru mulok,
minat peserta didik
mengikuti program mulok,
dan sarana prasarana
Pengumpulan data
menggunakan angket
yang tersebar di 36
sekolah pelaksana Block
Grant
Pelaksanaan muatan lokal
yang berorientasi pada
keterampilan tersebar merata
di beberapa kabupaten di
Provinsi Lampung. Sebagian
besar peserta didik berminat mengikuti kegiatan mata
pelajaran muatan lokal
keterampilan.
33
Lanjutan Tabel 3 Referensi Metodologi Cara evaluasi Kesimpulan
Sungkowo (2009).
Intervensi Pengayaan Pengetahuan Pangan dan
Gizi pada Muatan Lokal
untuk Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten
Lampung Barat.
Studi ini menganalisis
tentang pengaruh intervensi pengayaan pengetahuan
pangan dan gizi melalui
Mulok Pertanian terhadap pengetahuan pangan dan gii
serta perilaku makan siswa
Data yang dikumpulkan meliputi pengetahuan
pangan dan gizi, pola
konsumsi, perilaku makan, sikap siswa terhadap proses
belajar mengajar, dukungan
orang tua, dan status gizi
Pengumpulan data
menggunakan kuesioner pre test dan post test pada
77 orang siswa (38 siswa
kelas kontrol dan 39 siswa kelas perlakuan)
Terdapat perbedaan
signifikan rata-rata skor pangan dan gizi siswa
sesudah pengayaan antara
kelas kontrol dan perlakuan. Terdapat
perbedaan signifikan
perilaku makan siswa sesudah pengayaan antara
kelas kontrol dan
perlakuan. Terdapat perbedaan yang signifikan
pada aspek cara mengolah
dan menyajikan antara kelas kontrol dan
perlakuan.
Pieniak et al. (2009). Association between
traditional food
consumtion and motives for food choice six
European Contries.
Studi ini meneliti hubungan antara konsumsi makanan
tradisional dan motif
memilih makanan di enam negara Eropa. Belgia,
Prancis, Italia, Norwegia,
Polandia dan Spanyol. Motif ini meliputi berat badan,
harga, kelayakan,
kenyamanan, kealamian makanan, kesehatan,
sensorik
daya tarik, dan kefamilieran.
Penelitian ini adalah Cross-sectional, data
dikumpulkan melalui
survei konsumen (n = 4828) dengan perwakilan
contoh untuk usia 20-70
tahun dan setiap negara diwakili oleh 800 contoh.
Pentingnya faktor kefamilieran dan
kealamian makanan
tradisional menjadi pendorong dalam motif
mengonsumsi makanan
tradisional. Sementara faktor kenyamanam dan
kesehatan sebagai
hambatan langsung dalam konsumsi makanan
tradisional, dan faktor
pengendalian berat badan juga sebagai penghalang
langsung dalam
menurunkan sikap secara umum terhadap makanan
tradisional.
Kühne et al. (2010)
Innovation in traditional food products in Europe:
Do sector innovation activities match
consumers’ acceptance?
Untuk memverifikasi sejauh
mana inovasi sesuai penerimaan konsumen
Data kuantitatif dikumpulkan
dari 270 orang yang terdiri
dari 90 produsen, 90 pemasok bahan dan 90
pelanggan dari di tiga
negara Eropa, Belgia, Hungaria dan Italia. Tingkat
penerimaan dengan 2429
contoh dari tiga negara
tersebut.
melalui survei dan
wawancara langsung dengan produsen
makanan tradisional, pemasok makanan
tradisional dan pelanggan
serta dari konsumen.
konsumen menerima
inovasi sepanjang melestarikan karakter
makanan tradisional meliputi kemasan yang
menjaga kualitas sensorik
dan yang meningkatkan umur simpan makanan
tradisional, mengutamakan
kesehatan dan keamanan produk, pemilihan bahan
baku yang lebih baik.
Fokus penelitian tentang muatan lokal lebih berorientasi pada evaluasi
mulok, ada juga yang berorientasi pada mata pelajaran pendidikan yang lebih
bersifat keterampilan apakah dalam bahasa, atau keterampilan dalam membuat
sesuatu. Sutardi (1997) meneliti tentang pelaksanaan kurikulum muatan lokal
SLTP di Provinsi Lampung; Merdhana (2000) meneliti tentang kurikulum muatan
lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan Standar di Bali. Khusus untuk
keterampilan bahasa banyak yang berorientasi pada bahasa daerah seperti Kurniati
dan Utami (2005) tentang evaluasi pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa SMA
sebagai muatan lokal di Jawa Tengah. Yufiarti (2009) tentang pelaksanaan
program pendidikan muatan lokal berorientasi keterampilan di SMP Lampung.
Selain itu untuk pendidikan gizi yang berorientasi pada muatan lokal baru
sebatas pengayaaan pengetahuan pangan dan gizi. Ini seperti yang dilakukan oleh
Sungkowo (2009) yaitu tentang intervensi pengayaan pengetahuan pangan dan
34
gizi pada muatan lokal untuk Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Lampung
Barat. Hasil penelitian ini diantaranya menyatakan bahwa terdapat perbedaan
signifikan rata-rata skor pangan dan gizi siswa sesudah pengayaan antara kelas
kontrol dan perlakuan. Selanjutnya terdapat pula perbedaan signifikan perilaku
makan siswa sesudah pengayaan antara kelas kontrol dan perlakuan. Dan juga
terdapat perbedaan yang signifikan pada aspek cara mengolah dan menyajikan
makanan antara kelas kontrol dan perlakuan.
Selanjutnya penelitian tentang makanan tradisional seperti yang dilakukan
oleh Pieniak et al. (2009) bertujuan untuk meneliti hubungan antara konsumsi
makanan tradisional dan motif memilih makanan di enam negara Eropa.
Ditemukan bahwa faktor kefamilieran dan kealamian makanan tradisional
menjadi pendorong dalam motif mengonsumsi makanan tradisional. Sementara
faktor kenyamanam dan kesehatan sebagai hambatan langsung dalam konsumsi
makanan tradisional (terkesan kurang higienis), dan faktor pengendalian berat
badan juga sebagai penghalang langsung sikap terhadap makanan tradisional
(karena tinggi lemak).
Kühne et al. (2010) melakukan penelitian dengan tujuan untuk
memverifikasi sejauh mana inovasi sesuai penerimaan konsumen melalui survei
dan wawancara langsung dengan produsen makanan tradisional, pemasok
makanan tradisional dan pelanggan serta dari konsumen. Lebih lanjut ditemukan
bahwa konsumen menerima inovasi sepanjang tetap melestarikan karakter
makanan tradisional yang meliputi kemasan yang menjaga kualitas sensorik dan
yang meningkatkan masa simpan makanan tradisional, mengutamakan kesehatan
dan keamanan produk, serta pemilihan bahan baku yang lebih baik.
Analisis Kebijakan
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan
dasar pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang
pemerintah, organisasi) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002); Menurut
Djogo, et al. (2003) bahwa kebijakan adalah intervensi, cara dan pendekatan
pemerintah untuk mencari solusi atas masalah pembangunan atau untuk mencapai
tujuan pembangunan dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan
maupun implementasinya di lapangan menggunakan instrumen tertentu;
Sebelumnya Carl I. Fredrick (1963) dalam Dwijowijoto (2003) mendefinisikan
bahwa kebijakan sebagai rangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok
atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang
yang ada, di mana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk
memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka
mencapai tujuan tertentu; Sehingga menurut Dwijowijoto (2003) bahwa kebijakan
adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah.
Dijelaskannya bahwa pertanyaan pertama kenapa berkenaan dengan ”segala
sesuatu”? Karena kebijakan berkenaan dengan setiap aturan main dalam
kehidupan bersama, baik yang berkenaan dengan hubungan antara warga, maupun
antara warga dengan pemerintah. Kedua, kenapa istilah yang dipakai
”dikerjakan”? Oleh karena ”kerja” sudah merangkum proses ”pra dan pasca” yaitu
bagaimana pekerjaan tersebut dirumuskan, diterapkan dan dinilai hasilnya.
35
Ketiga, kenapa ”dikerjakan” dan ”tidak dikerjakan”? Karena ”dikerjakan” dan
”tidak dikerjakan” sama-sama merupakan keputusan; Selanjutnya menurut Hasim
(2011) bahwa kebijakan dikondisikan dan dibentuk oleh dimensi politik, sosial,
ekonomi serta faktor sejarah, sehingga kebijakan merupakan suatu sistem yang
berorientasi pada tujuan untuk menyelesaikan masalah. Dari pengertian yang ada
ini, maka dalam proses berlangsungnya kebijakan dibutuhkan analisis yang
mengkaji sejauh mana kebijakan tersebut bermanfaat.
Menurut Dunn (2003) bahwa analisis kebijakan merupakan aktivitas
intelektual yang ditujukan untuk menciptakan, menilai secara kritis dan
mengkomunikasikan tentang pengetahuan dalam proses kebijakan. Metode
analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai
dalam pemecahan masalah manusia yaitu: definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi
dan evaluasi. (1) definisi: menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang
menimbulkan masalah kebijakan; (2). prediksi: menyediakan informasi mengenai
konsekuensi di masa datang dari penerapan alternatif kebijakan termasuk jika
tidak melakukan sesuatu; (3). preskripsi: menyediakan informasi mengenai nilai
konsekuensi alternatif kebijakan di masa mendatang; (4). deskripsi: menghasilkan
informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya
alternatif kebijakan; (5). evaluasi: kegunaan alternatif kebijakan dalam
memecahkan masalah
Dalam pembuatan analisis kebijakan terdapat tahap-tahapnya yang menurut
Dunn (2003) ada lima fase yang dilakukan yaitu: (1). fase penyusunan agenda;
disini para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah kebijakan
pada agenda publik; (2). fase formulasi kebijakan; para pejabat merumuskan
alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah; (3). adopsi kebijakan: alternatif
kebijakan dipilih dan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas dan atau
konsensus kelembagaan; (4). implementasi kebijakan; kebijakan yang telah
diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi dengan memobilisir sumber daya
yang dimilikinya, terutama finansial dan manusia; (5). penilaian kebijakan:
dimana unit-unit pemeriksaan dan akuntasi menilai apakah lembaga pembuat
kebijakan dan pelaksana kebijakan telah memenuhi persyaratan pembuatan
kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang telah ditentukan.
Menurut Dwidjowijoto (2007) bahwa kelima tahap pembuatan kebijakan ini
dinilai paralel dengan tahapan analisis kebijakan yang dapat digambarkan seperti
Tabel 4.
Tabel 4 Analisis kebijakan dan pembuatan kebijakan
Analisis Kebijakan Pembuatan Kebijakan
Perumusan masalah Penyusunan agenda
Peramalan Formulasi kebijakan
Rekomendasi Adopsi kebijakan
Pemantauan Implementasi kebijakan
Penilaian Penilaian kebijakan Sumber: Dunn (2003).
Selanjutnya menurut Dwidjowijoto (2007) bahwa analisis kebijakan diambil dari
berbagai macam disiplin ilmu dengan tujuan memberikan informasi yang bersifat
deskriptif, evaluatif, dan atau preskriptif. Analisis kebijakan dapat menjawab tiga
macam pertanyaan yaitu: Pertama nilai, yang pencapaiannya merupakan tolok
36
ukur utama untuk menilai apakah suatu masalah sudah teratasi; Kedua fakta,
yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai;
Ketiga tindakan, yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.
Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disebutkan maka
analisis kebijakan dapat menggunakan salah satu atau kombinasi dari ketiga
pendekatan analisis yang meliputi empiris, valuatif dan normatif. ketiga
pendekatan tersebut sebagaimana pada Tabel 5.
Tabel 5 Pendekatan, pernyataan utama dan tipe informasi
Pendekatan Pernyataan utama Tipe informasi
Empiris Adakah atau akankah ada fakta? Deskriptif dan prespektif
Valuatif Apa manfaatnya (nilai)? Evaluatif
Normatif Apakah yang harus diperbuat (aksi)? Prespektif Sumber: Dunn (2003).
Proses Analisis Kebijakan
Proses analisis kebijakan merupakan aksi yang dilaksanakan dalam analisis
kebijakan yang meliputi 5 yaitu merumuskan masalah, peramalan masa depan
kebijakan, merekomendasikan, pemantauan dan evaluasi kebijakan (Dunn 2003).
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan Masalah
Masalah kebijakan adalah nilai, kebutuhan atau kesempatan yang belum
terpenuhi yang dapat diidentifikasikan untuk kemudian diperbaiki atau dicapai
melalui tindakan publik. Masalah kebijakan mempunyai ciri-ciri yaitu (a). Saling
ketergantungan antar masalah kebijakan. Masalah-masalah kebijakan di dalam
satu bidang kadang-kadang mempengaruhi masalah-masalah kebijakan di dalam
bidang lainnya misalnya dalam pelayanan kesehatan dan masalah pengangguran.
Dalam kenyataan masalah-masalah kebijakan bukan merupakan kesatuan yang
berdiri sendiri. Sistem masalah yang saling tergantung mengharuskan suatu
pendekatan holistik yaitu suatu pendekatan yang memandang bagian-bagian
sebagai tak terpisahkan dari keseluruhan sistem yang mengikatnya.
(b). Mempunyai subyektivitas masalah kebijakan. Kondisi eksternal yang
menimbulkan suatu permasalahan didefinisikan, diklasifikasikan, dijelaskan, dan
dievaluasi secara selektif, meskipun ada suatu pemikiran bahwa masalah
merupakan suatu hal yang obyektif. Masalah tersebut merupakan elemen dari
suatu situasi masalah yang diabstrasikan dari situasi tersebut oleh analis. Dengan
begitu apa yang dialami sesungguhnya merupakan suatu situasi masalah, bukan
masalah itu sendiri. Dalam analisis kebijakan merupakan hal yang sangat penting
untuk tidak mengacaukan antara situasi masalah dengan masalah kebijakan,
karena masalah adalah barang abstrak yang timbul dengan mentransformasikan
pengalaman ke dalam penilaian manusia. (c). Buatan manusia dan produk
penilaian subyektif dari manusia. Masalah-masalah kebijakan hanya mungkin
ketika manusia membuat penilaian mengenai keinginan untuk mengubah beberapa
situasi masalah. Masalah tidak berada di luar individu dan kelompok-kelompok
yang mendefinisikannya, yang berarti bahwa tidak ada keadaan masyarakat yang
alamiah di mana apa yang ada dalam masyarakat tersebut dengan sendirinya
merupakan masalah kebijakan. (d). Bersifat dinamis. Terdapat banyak solusi
untuk suatu masalah sebagaimana yang terdapat banyak definisi terhadap masalah
37
tersebut. Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang konstan;
dan karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan malahan solusi terhadap
masalah dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum
usang.
2. Peramalan Masa Depan Kebijakan
Peramalan atau forecasting adalah prosedur untuk membuat informasi
aktual tentang situasi sosial di masa depan atas dasar informasi aktual tentang
situasi sosial di masa depan dan atas dasar informasi yang telah ada tentang
masalah kebijakan. Peramalan mengambil tiga bentuk yaitu peramalan proyeksi,
prediksi dan perkiraan. (a). Peramalan proyeksi, yaitu ramalan yang didasarkan
atas ekstrapolasi hari ini ke masa depan, dan produknya disebut proyeksi. Teknik
yang digunakan antara lain analisis antar waktu, estimasi tren linier, dan
transpormasi data. Peramalan ini menggunakan pernyataan yang tegas
berdasarkan argumen dan kasus dimana asumsi mengenai validitas metode
tertentu (misalnya analisis antar waktu) atau kemiripan kasus (misalnya kebijakan
masa lalu dan masa depan) yang digunakan untuk memperkuat suatu pernyataan.
Proyeksi dapat diperkuat dengan argumen dari pemegang otoritas seperti para
pakar dan logika kausal yang menyangkut tentang teori yang digunakan.
(b). Peramalan merupakan sebuah prediksi ádalah ramalan yang didasarkan pada
asumsi teoritik yang tegas. Asumsi ini dapat berbentuk hukum teoritis, proporsi
teoritis (misalnya pecahnya masyarakat sipil diakibatkan kesenjangan antara
harapan dan kemampuan), atau analogi (misalnya analogi antara pertumbuhan
organisasi pemerintah dengan pertumbuhan organisme biologis). Sifat terpenting
dari prediksi adalah bahwa prediksi menspesifikan kekuatan penyebab dan
konsekuensi akibat, atau proses suatu hubungan yang paralel (analog) yang
diyakini mendasari suatu hubungan. Prediksi dapat dilengkapi dengan argumen
dari mereka yang berwenang (misalnya penilaian yang informatif) dan metode.
(c). Suatu perkiraan (conjecture) adalah ramalan yang didasarkan pada penilaian
yang informatif atau penilaian pakar tentang situasi masyarakat masa depan.
Penilaian ini dapat berbentuk penilaian yang intuitif, dimana diasumsikan adanya
kekuatan batin dan kreatifitas dari para intelektual atau pengetahuan terpendam
dari para pelaku kebijakan. Perkiraan dapat diperkuat dengan argumen, metode
dan kausalitas dari pakar.
3. Merekomendasikan Kebijakan
Tugas membuat rekomendasi kebijakan mengharuskan analisis kebijakan
menentukan alternatif yang terbaik. Oleh karena itu prosedur analisis kebijakan
berkaitan dengan masalah etika dan moral. Rekomendasi pada dasarnya adalah
pernyataan advokasi dan advokasi tersebut mempunyai empat pertanyaan yang
harus dijawab yaitu: (a). Apakah pernyataan advokasi dapat ditindaklanjuti
(actionable)? Pernyataan advokasi memusatkan pada tindakan yang dapat diambil
untuk menyelesaikan masalah kebijakan. Meskipun pernyataan advokasi
mensyaratkan informasi sebelumnya mengenai apa yang akan terjadi dan apa
yang benilai, pernyataan seperti ini berada di luar pernyataan-pernyataan fakta
dan nilai serta mengandung argumen mengenai tindakan tertentu yang dapat
memuaskan kebutuhan, nilai-nilai dan kesempatan untuk perbaikan. (b). Apakah
pernyataan advokasi bersifat prosfektif? Pernyataan ini dibuat sebelum
38
dilakukannya tindakan (ex ante). Jika prosedur analisis kebijakan pemantauan dan
evaluasi bersifat retrosfektif, karena pernyataan ini dibuat setelah tindakan
diambil (ex post), maka peramalan dan rekomendasi keduanya diterapkan secara
prospektif (ex ante dan ex post). (c). Apakah pernyataan advokasi bermuatan nilai
selain fakta? Pernyataan advokatif tergantung pada fakta dan juga pada nilai.
Untuk menyatakan bahwa alternatif kebijakan tertentu harus diadopsi memerlukan
tidak hanya bahwa tindakan yang direkomendasikan akan mempunyai
konsekuensi-konsekuensi yang terprediksi, tetapi juga bahwa konsekuensi-
konsekuensi yang terprediksi tersebut dinilai oleh individu-individu, kelompok-
kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. (d). Apakah pernyataan advokasi
bersifat etik? Nilai-nilai yang mendasari pernyataan advokatif secara etika
kompleks. Nilai tertentu (seperti kesehatan) dapat difahami sebagai nilai intrinsik
maupun ekstrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang dilihat sebagai tujuan di dalam
dirinya sendiri, sedangkan nilai ekstrinsik adalah nilai yang bernilai karena akan
menghasilkan nilai-nilai lain. Kesehatan dapat dilihat sebagai tujuan akhir di
dalam dirinya dan sebagai kondisi yang diperlukan bagi pencapaian nilai-nilai
lain, termasuk keamanan kebebasan, dan aktualisasi diri.
Analisis kebijakan ini memunculkan isu berupa advokasi-multiple, yaitu
banyaknya kepentingan yang harus dipertimbangkan dalam memilih alternatif
kebijakan. Untuk ini dalam memutuskan alternatif kebijakan, salah satu
pendekatan yang paling banyak digunakan adalah rasionalitas, juga berarti
multirasionalitas, yang berarti terdapat dasar-dasar rasionalitas ganda yang
mendasari sebagian besar pilihan-pilihan kebijakan yaitu: (a). Rasionalitas teknis,
berkenaan dengan pilihan efektif. Rasionalitas teknis merupakan karakteristik
pilihan yang meliputi perbandingan berbagai alternatif atas dasar kemampuan
masing-masing memecahkan masalah-masalah publik secara efektif. (b).
Rasionalitas ekonomis, berkenaan dengan efisiensi. Rasionalitas ini merupakan
karakteristik pilihan yang bernalar yang membandingkan berbagai alternatif atas
dasar kemampunannya untuk menemukan pemecahan masalah publik yang
efisien. (c). Rasionalitas legal, berkenaan dengan legalitas. Rasionalis legal
merupakan karakteristik pilihan yang bernalar meliputi perbandingan alternatif
menurut kesesuaian hukumnya terhadap peraturan-peraturan dan kasus-kasus
penyelesaian perkara sebelumnya. (d). Rasionalitas sosial, berkenaan dengan
akseptabilitas. Rasionalitas sosial merupakan karakteristik pilihan yang bernalar
menyangkut perbandingan alternatif menurut kemampuannya dalam memper-
tahankan atau meningkatkan institusi-institusi sosial yang bernilai, yaitu untuk
menyelenggarakan kelembagaan. (e). Rasionalitas substantif, merupakan
karakteristik pilihan yang bernalar menyangkut perbandingan berbagai bentuk
rasionalitas teknis, ekonomis, legal, sosial dengan maksud agar dapat dibuat
pilihan yang paling layak di bawah kondisi yang ada. Akhirnya untuk
rekomendasi kebijakan beberapa tipe pilihan rasionalitas dapat diletakkan sebagai
kriteria keputusan yang digunakan untuk menyarankan pemecahan masalah
kebijakan.
Kriteria keputusan terdiri dari enam tipe utama yaitu efektivitas, efisiensi,
kecukupan, perataan, responsivitas, dan kelayakan. 1). Efektivitas (effectiveness)
berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang
diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efektivitas, yang
secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit
39
produk atau layanannya. Sebagai contoh adalah kebijakan kesehatan yang efektif
adalah kebijakan penyediaan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, dengan
asumsi bahwa kualitas pelayanan kesehatan adalah hasil yang bernilai (tujuan). 2).
Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk
menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari
rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha,
yang terakhir umumnya diukur biaya totalitas. 3). Kecukupan (adequacy)
berkenaan dengan seberapa jauh tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai
atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan
menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang
diharapkan. Kriteria kecukupan dapat dibagi dalam empat tipe masalah seperti
pada Tabel 6.
Tabel 6 Empat tipe masalah
Efektivitas Biaya
Tetap Berubah
Tetap Tipe IV (biaya – sama –
efektivitas – sama) Tipe II (efektivitas-sama)
Berubah Tipe I (biaya- sama) Tipe III ( biaya berubah-
efektivitas berubah) Sumber: Dunn (2003)
(a). Masalah tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi biaya tetap dan
efektivitas yang berubah. Jika pengeluaran biaya maksimum yang dapat diterima
menghasilkan biaya tetap, tujuannya adalah memaksimalkan efektivitas pada
batas sumberdaya yang tersedia. Masalah tipe I ini disebut analisis biaya – sama
(equal-cost analysis), karena analisis membandingkan alternatif efektivitas yang
berubah tetapi biaya tetap. Di sini kebijakan yang paling memadai adalah yang
dapat memaksimalkan pencapaian tujuan dengan biaya tetap yang sama. (b).
Masalah tipe II. Masalah tipe ini menyangkut efektivitas yang sama dan biaya
yang berubah. Jika tingkat hasil yang dihargai sama, tujuannya adalah
meminimalkan biaya. Masalah tipe II disebut analisis efektivitas-sama (equal-
effectiveness analysis), karena analisis membandingkan beberapa alternatif
dengan biaya yang berubah tetapi efektivitasnya tetap. Di sini kebijakan yang
paling memadai adalah yang dapat meminimalkan biaya dalam mencapai tingkat
efektivitas yang tetap. (c). Masalah tipe III. Masalah tipe ini menyangkut biaya
yang berubah dan efektivitas yang berubah. Masalah ini disebut analisis biaya-
berubah-efektivitas berubah (variable-cost- variable- effectiveness analysis),
karena biaya dan efektivitas dapat berbeda. Di sini kebijakan yang paling
memadai adalah yang dapat memaksimalkan rasio efektivitas terhadap biaya. (d).
Masalah tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya sama dan juga
efektivitas tetap. Masalah tipe IV, yang menuntut analisis biaya-sama-efektivitas-
sama, sulit dipecahkan. Analisis tidak hanya dibatasi oleh persyaratan agar biaya
tidak melebihi tingkat tertentu tetapi juga dibatasi oleh kendala bahwa alternatif
harus mencapai tingkat efektivitas tertentu. Misalnya jika fasilitas kesehatan
publik harus melayani minimal 100 000 orang per tahun, sementara biaya telah
dibatasi pada tingkat yang tidak realistis, maka setiap alternatif kebijakan haruslah
memuaskan kedua kendala tersebut atau menolaknya. Dalam hal ini, satu-satunya
alternatif yang tersedia barangkali adalah tidak melakukan sesuatu pun. 4).
40
Kesamaan (equity) erat hubungannya dengan rasionalitas legal dan sosial dan
menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang
berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada pemerataan adalah
kebijakan yang akibatnya (misalnya unit pelayanan) atau usaha (misalnya biaya)
didistribusikan secara adil. Jadi kebijakan tersebut berkenaan dengan pemerataan
distribusi manfaat kebijakan. Satu program tertentu mungkin dapat efektif,
efisien, dan mencukupi tetapi mungkin ditolak karena menghasilkan distribusi
biaya dan manfaat yang tidak merata. 5). Responsivitas (responsiveness)
berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan,
preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Kriteria
responsivitas penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria
lainnya seperti efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan masih gagal jika belum
menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari
adanya suatu kebijakan. Kriteria ini menanyakan pertanyaan praktis: Apakah
kriteria efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan secara nyata
mencerminkan kebutuhan, preferensi dan nilai-nilai dari kelompok-kelompok
tertentu? 6). Ketepatan atau kelayakan (appropriateness). Kriteria ketepatan
secara dekat berhubungan dengan rasionalitas substantif, karena pertanyaan
tentang ketepatan kebijakan tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi
dua atau lebih kriteria secara bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai atau
harga dari tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-
tujuan tersebut. Kriteria ketepatan mempertanyakan apakah tujuan yang ingin
dicapai tepat sasaran untuk suatu masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut dibutuhkan pertimbangan semua kriteria bersama-sama yaitu kriteria
yang merefleksikan hubungan antara berbagai bentuk rasionalitas dan menerapkan
kriteria memiliki tingkat abstrak lebih tinggi (metakriteria) yang logis sebelum
efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan dan responsivitas.
4. Pemantauan Hasil Kebijakan dan Evaluasi.
Pemantauan atau monitoring merupakan prosedur analisis kebijakan yang
digunakan untuk memberikan informasi tentang sebab dan akibat kebijakan
publik. Pemantauan setidaknya memainkan empat fungsi dalam analisis
kebijakan, yaitu eksplanasi, akuntansi, pemeriksaan dan kepatuhan (compliance).
Hasil kebijakan dibedakan antara keluaran (outputs), yaitu produk layanan yang
diterima kelompok sasaran kebijakan dan impak (impacts), yaitu perubahan
perilaku yang nyata pada kelompok sasaran kebijakan.
Tabel 7 Tipe kriteria dan pertanyaan dalam evaluasi kebijakan
Tipe Kriteria Pertanyaan
Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?
Efisiensi Berapa banyak dipergunakan sumber daya?
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan telah memecahkan masalah?
Perataan (equity) Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok
target yang berbeda?
Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai
kelompok-kelompok tertentu?
Ketepatan Apakah hasil yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai? Sumber: Dunn (2003).
41
Jika pemantauan menekankan pada pembentukan premis-premis faktual
mengenai kebijakan publik, maka evaluasi menekankan pada penciptaan premis-
premis nilai dengan kebutuhan untuk menjawab pertanyaan: ” Apakah perbedaan
yang dibuat? Kriteria untuk evaluasi diterapkan secara retrospektif (ex post),
sementara kriteria untuk rekomendasi diterapkan secara prospektif (ex ante).
Kriteria evaluasi kebijakan sama dengan kriteria rekomendasi kebijakan yang
dijabarkan pada Tabel 7.
Analisis SWOT
Menurut Rangkuti (2009) analisis SWOT (strengths, opportunities,
weaknesses, threats) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan suatu strategi organisasi. Analisis ini didasarkan pada logika yang
dapat memaksimalkan lingkungan internal kekuatan (strengths) dan kelemahan
(weaknesses) serta lingkungan eksternal peluang (opportunities) dan ancaman
(threats).
Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Hamel
dan Prahalad (1995) dalam Rangkuti (2009) bahwa strategi merupakan tindakan
yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus dan
dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para
konsumen di masa yang akan datang. Dengan demikian perencaaan strategi
hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi, bukan dimulai dari apa yang
terjadi. Menurut David (2009) bahwa strategi didefinisikan sebagai seni dan
pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi
keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi lebih mudah mencapai
obyeknya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses strategi dan evaluasi terdiri dari
tiga tahap perumusan strategi yang meliputi pengembangan misi institusi,
mengenali internal dan eksternal institusi.
1. Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal
Organisasi atau institusi sangat dipengaruhi oleh lingkungan internal dan
eksternal (David 2009). Selanjutnya faktor lingkungan ini akan mempengaruhi
kemajuan suatu organisasi dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Untuk
menganalisis kedua lingkungan tersebut pada organisasi atau institusi dapat
digunakan teknik IFE (internal factor evaluation) dan EFE (eksternal factor
evaluation) yang merupakan tahap input (the input stage) perumusan suatu
strategi. Analisis faktor internal dan eksternal dilakukan dengan mengolah data
dan informasi yang diperoleh dengan menggunakan matriks IFE dan EFE. Untuk
mengevaluasi faktor internal organisasi menggunakan matriks IFE yaitu
lingkungan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Untuk mengevaluasi faktor
eksternal menggunakan matriks EFE yaitu lingkungan yang berkaitan dengan
peluang dan ancaman.
2. Perumusan Alternatif Strategi
Menurut David (2009) bahwa setelah melakukan input kemudian
melakukan tahap lanjutan dari perumusan strategi yaitu tahap pencocokan (the
matching stage). Pada tahap ini ada beberapa alat analisis yang dapat digunakan
diantaranya adalah SWOT (strengths, opportunities, weaknesses, threats).
42
Analisis SWOT merupakan alat pencocokan yang penting untuk membantu
seseorang pimpinan mengembangkan tipe strategi yang meliputi S-O, W-O, S-T,
dan W-T (David 2009). Alat analisa ini lebih fleksibel dalam penggunaan faktor
internal dan eksternal. Tujuan dari alat pencocokan adalah menghasilkan strategi
alternatif yang layak, bukan untuk memilih atau menetapkan strategi mana yang
terbaik. Oleh karena itu tidak semua strategi dapat dikembangkan dalam matriks
SWOT tergantung dari implementasinya.
Strategi S-O atau strategi kekuatan-peluang menggunakan kekuatan internal
organisasi untuk memanfaatkan peluang eksternal. Organisasi pada umumnya
menjalankan W-O, S-T, dan W-T untuk menerapkan S-O. Organisasi yang
mempunyai kelemahan utama akan berusaha keras untuk mengatasinya dan
membuatnya menjadi kekuatan. Tatkala organisasi menghadapi ancaman besar
maka berusaha menghindarinya agar dapat memusatkan perhatian pada peluang.
Strategi W-O atau strategi kelemahan-peluang yang bertujuan untuk
memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang eksternal. Ada banyak
organisasi mempunyai kelemahan internal untuk memanfaatkan peluang, sehingga
strategi W-O perlu diterapkan.
Strategi S-T atau strategi kekuatan-ancaman yang menggunakan kekuatan
internal organisasi untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman
eksternal. Organisasi yang kuat pada umumnya sering menghadapi ancaman yang
besar dalam lingkungan eksternalnya.
Strategi W-T atau strategi kelemahan-ancaman merupakan taktik bertahan
yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman
lingkungan eksternal. Organisasi yang memiliki ancaman eksternal dan
kelemahan internal akan berada pada posisi yang penuh resiko sehingga harus
berjuang untuk tetap dapat bertahan.
Proses Hierarki Analitik
Setelah matching stage, tahap selanjutnya adalah the decision stage (tahap
keputusan). Untuk melakukan analisis guna membuat keputusan berdasarkan
prioritas strategi, alat analisis yang dapat digunakan diantaranya AHP (analitical
hierarchy process atau proses hierarki analitik). Proses hierarki analitik adalah
untuk mengorganisasikan informasi dan pendapat (judgment) dalam memilih
alternatif yang paling disukai (Saaty, 1991). Selanjutnya bahwa dalam
memecahkan persoalan ada tiga prinsip yang dibuat yaitu prinsip menyusun
hierarki, prinsip menetapkan prioritas dan prinsip konsistensi. Dengan
menggunakan AHP, suatu persoalan akan dipecahkan dalam suatu kerangka
berpikir yang terorganisir sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk
mengambil keputusan yang sesuai atas persoalan tersebut. Jadi proses AHP untuk
menyederhanakan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan
dinamik menjadi bagian-bagiannya serta tertata dalam suatu hierarki. Metode ini
memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis. Proses tersebut
tergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk menyusun hierarki
suatu masalah pada logika, intuisi, dan pengalaman untuk memberikan
pertimbangan (Marimin 2004).
Menurut Saaty (1991) bahwa terdapat beberapa prinsip yang perlu dipahami
untuk memecahkan masalah dengan AHP, diantaranya: (a). Decomposition yaitu
memecahkan masalah yang utuh menjadi unsur-unsurnya sampai dengan tidak
43
mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut.(b). Comparative Judgement yaitu
proses pemberian penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu
tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Penyajian ini dalam
bentuk matriks pairwise comparison. (c). Synthesis of priority, dari matriks
pairwise comparison kemudian dicari egen vectornya untuk mendapatkan lokal
priority. Kemudian dilakukan sintesis diantara lokal priority untuk mendapatkan
global priority. (d). Logical Consistency, konsistensi logis dengan dua makna.
Pertama adalah obyek-obyek yang serupa dikelompokkan sesuai dengan
keseragaman dan relevansinya. Kedua, menyangkut tingkat hubungan antara
obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
Tabel 8 Skala dasar penilaian tingkat kepentingan
Skala Definisi Penjelasan 1. Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen penyumbang sama kuat pada sifatnya
3. Elemen yang satu sedikit lebih penting ketimbang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit lebih menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya
5. Elemen yang satu sangat penting atau esensial
ketimbang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat
menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya
7. satu elemen jelas lebih penting dari elemen
lainnya
Satu elemen dengan kuat disokong dan
dominasinya telah terlihat dalam praktik.
9. Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang elemen lainnya
Bukti yang menyokong elemen yang satu memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin
menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai diantara 2 (dua) pertimbangan Kompromi diperlukan diantara 2 (dua) perimbangan Kebalikan Jika untuk aktivitas i (baris) mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j (kolom), maka j
(kolom) mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan (baris)
Sumber, Saaty (1991)
Pada dasarnya metode AHP merupakan suatu teori umum tentang
pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio dari perbandingan
pasangan yang diskrit maupun kontinyu. Perbandingan-perbandingan dapat
diambil dari ukuran aktual atau skala dasar yang mencerminkan kekuatan
perasaan dan preferensi relatif, menggunakan intuisi sebagai input utamanya yang
harus datang dari pengambil keputusan yang cukup informatif dan memahami
masalah keputusan yang dihadapi (melalui pakar). Menurut Saaty (1991) dalam
penyusunan skala kepentingan digunakan acuan seperti pada Tabel 8.