tinjauan pustaka - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/46829/3/bab ii.pdf · koronaria besar dan...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jantung
2.1.1 Struktur Anatomi Jantung
Gambar 2.1 Anatomi Dalam Jantung
Jantung merupakan organ berotot yang memiliki empat ruang dan terletak
di rongga dada, sedikit ke sebelah kiri sternum. Keempat ruang tersebut adalah
atrium kiri dan kanan yang terletak di atas serta ventrikel kiri dan kanan yang
terletak di bawah. Atrium dan ventrikel dipisahkan oleh katup satu arah. Sisi kiri
dan kanan jantung dipisahkan oleh dinding jaringan yang disebut septum. Dalam
keadaan normal tidak terjadi pencampuran darah antara kedua atrium, kecuali
pada masa janin, dan tidak juga terjadi pencampuran darah di ventrikel pada
jantung yang sehat. Semua ruang dikelilingi oleh jaringan ikat (Corwin, 2009).
Pada jantung terdapat berbagai macam sirkulasi darah yaitu sirkulasi
sistemik, sirkulasi koroner, sirkulasi limfatik, dan sirkulasi pulmonar. Sirkulasi
sistemik dibagi menjadi lima, yaitu: arteria, arteriola, kapiler, venula, dan vena.
Sirkulasi koroner membawa oksigen dan nutrisi ke miokardium melalui cabang-
cabang intramiokardial. Sirkulasi ini terdiri dari: arteria koronaria kanan dan kiri ;
7
dan vena-vena jantung. Arteri koronaria kanan berjalan di antara trunkus
pulmonalis dan atrium kanan, menuju sulkus AV. Saat arteri menuruni tepi bawah
jantung, terbagi menjadi cabang desendens posterior dan cabang margin kanan.
Arteri koronaria kiri berjalan di belakang trunkus pulmonalis. Arteri ini terbagi
menjadi cabang sirkumfleksa, marginal kiri, dan desendens anterior. Vena
koronaria besar dan kecil terletak paralel pada koronaria kiri dan kanan, dan
berakhir di dalam sinus. Sirkulasi koroner mampu membentuk sistem tambahan
yang baik pada penyakit jantung iskemik apabila cabang tersumbat. Sebagian
besar ventrikel kiri disuplai oleh arteri koronaria kiri, oleh sebab itu apabila terjadi
sumbatan bisa sangat berbahaya (Aaronson dan Jeremy, 2007).
2.1.2 Fisiologi Jantung
2.1.2.1 Siklus Jantung
Peristiwa siklus jantung, sistol (kontraksi ventrikel) dan diastol (relaksasi
ventrikel). Saat ventrikel berkontraksi, katup AV terbuka dan darah mengalir dari
atrium ke ventrikel bertekanan rendah yang sedang mengalami relaksasi. Katup
aorta dan pulmonalis tertutup, karena tekanan di aorta dan arteri pulmonalis lebih
besar daripada tekanan di dalam ventrikel yang berelaksasi. Hal ini
memungkinkan darah berkumpul di dalam ventrikel. Maka peristiwa ini disebut
diastole. Lalu, volume darah dalam ventrikel sesaat sebelum kontraksi ventrikel
disebut peristiwa volume diastolik akhir. Pada saat ventrikel berkontraksi,
tekanannya menjadi besar daripada atrium dan katup AV menutup. Seiring
dengan tekanan yang besar di ventrikel, katup aorta dan pulmonalis terbuka.
Darah mengalir keluar ventrikel dengan kecepatan dan tekanan tinggi. Periode ini
disebut sistole.Pada akhir systole, ventrikel kembali relaksasi. Darah masuk ke
atrium dari vena kava dan vena pulmonalis menyebabkan tekanan di dalam atrium
kembali meningkat dan membuka katup AV. Siklus pengisian dan pengosongan
terulang kembali.
2.1.2.2 Curah Jantung
Curah jantung pada orang dewasa sekitar 4,5 dan 8 liter per menit. Curah
jantung dapat meningkat atau menurun akibat dari gaya gerak yang bekerja secara
8
intrinsik dan ekstrinsik jantung; yaitu, dengan atau tanpa faktor eksternal (Corwin,
2009).
Curah ventrikel kanan sedikit lebih rendah dibanding dengan curah pada
ventrikel kiri. Hal ini disebabkan 1-2% aliran darah sistemik tidak mencapai
atrium kanan, namun melewati ke sisi kiri jantung melalui sirkulasi bronkial dan
sebagian kecil aliran darah koroner mengalir ke vena thebesian (Aaronson dan
Ward, 2007).
2.1.2.3 Aliran Darah
Aliran darah didistribusikan berdasarkan kebutuhan metabolisme dan
fungsional jaringan dengan memasok oksigen, nutrisi, dan membuang hasil akhir.
2.2 Definisi Infark Miokard Akut
Aterosklerosis adalah kondisi arteri besar dan kecil yang ditandai
penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit, dan makrofag di
seluruh lapisan sel endotel dan lapisan otot polos. Kejadian ini terjadi pada arteri
koroner (Corwin, 2009). Seiring berjalannya waktu endapan atau plak bisa
mengeras atau pecah. Jika plak pecah, maka bekuan darah terbentuk di
permukaannya. Gumpalan darah sebagian besar bisa menghalangi aliran darah
melalui arteri koroner yang kaya akan oksigen dan nutrisi. Plak yang pecah
tersebut dapat mengeras dan menyempitkan arteri. Apabila pembuluh darah
menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan
membahayakan aliran darah miokardium (NHLBI, 2014)
9
Gambar 2.2 Perbedaan arteri koroner normal dengan arteri koroner yang
menyempit
Infark Miokard Akut (AMI) merupakan satu kesatuan dari sindrom
koroner akut (ACS) yang meliputi angina tidak stabil (UA) dan IMA ST-elevation
atau non ST-elevation (Boateng & Sanborn, 2013). Infark miokardium akut
(IMA) adalah nekrosis miokardium yang disebabkan oleh pasokan oksigen yang
tidak memadai yang terjadi selama 20 menit atau lebih akibat sumbatan akut pada
arteri koroner. Sumbatan sebagian besar akibat dari ruptur atau terlepasnya plak
ateroma pada arteri koroner kemudian diikuti trombosis, vasokonstriksi, reaksi
inflmasi, mikroembolisasi distal. Terkadang sumbatan bisa disebabkan oleh
spasme arteri koroner, emboli, atau vaskulitis. Infark miokardium biasa mengenai
ventrikel kiri (Muttaqin, 2009).
2.3 Epidemiologi Infark Miokard Akut
IMA merupakan penyebab utama kematian di Amerika Serikat, dilaporkan
sekitar 5 juta orang setiap tahun di Amerika Serikat mengalami sakit dada. Sekitar
500.000 – 700.000 kematian terkait CAD (Coronary Artery Disease) terjadi setiap
tahun sepertiga dari kematian pada usia ≥35 tahun. Terdapat > 800.000 orang
mengalami kasus Infark Miokard, dimana 27% pasien meninggal (sebelum masuk
10
rumah sakit). Telah diperkirakan, angka kematian IMA pada pria lebih tinggi kira-
kira tiga kali lipat daripada pada wanita (Boateng & Sanborn, 2013)
Kejadian infark miokard akut di Indonesia semakin meningkat. Penyakit
Jantung Koroner adalah penyebab nomor satu kematian di dunia. Berdasarkan
wawancara terdiagnosis dokter (D) sebesar 0,5%, dan berdasarkan tergiagnosis
dokter atau gejala (D/G) sebesar 1.5% di Indonesia. Prevalensi (PJK) meningkat
seiring bertambahnya usia tertinggi pada 65-74 tahun dan menurun sedikit di
tahun ≥75 tahun, dan tertinggi pada perempuan, masyarakat yang tidak
bersekolah, dan tidak bekerja. Berdasarkan penelitian di CVBC RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado, didapatkan jumlah keseluruhan pasien PJK sebanyak 376
kasus dan yang mengalami aritmia sebanyak 119 kasus(Kalangi et al., 2016).
2.4 Etiologi Infark Miokard Akut
Infark Miokard terjadi akibat terlepasnya plak dari salah satu arteri koroner,
kemudian tersangkut dan menumpuk di bagian arteri sehingga menyumbat aliran
darah ke seluruh miokardium. Penumpukan ini dapat melemahkan dinding arteri,
sehingga selubung fibrosa dapat retak atau robek (Kasron, 2012). Jika terjadi
ruptur plak, maka memungkinkan darah masuk ke dalam lesi dan menjadi besar
untuk menyumbat secara total aliran darah. Apabila hal ini terjadi, kebutuhan
oksigen meningkat dan suplai oksigen ke jantung berkurang (Corwin, 2009).
2.5 Patofisiologi Infark Miokard Akut
Kejadian IMA bisa terjadi akibat aktivasi sistem saraf simpatik oleh stress
atau olahraga. Sistem saraf simpatik melepaskan renin dari ginjal dan membentuk
angiotensin II dan sekresi aldosteron, yang mana dapat meningkatkan retensi air
dan natrium sehingga menyebabkan tekanan darah meningkat. Hal ini juga terjadi
pada reseptor beta adrenergik yang mengikat epinefrin dan norepinefrin. Ketika
mengikat, terjadi peningkatan kontraktilitas dan tekanan darah (Klabunde, 2016).
Tahap awal adalah pembentukan lapisan lemak atau akumulasi lipid
subendotial dan monosit terisi lipid (makrofag). Low-density lipoproteins (LDL)
yang merupakan lipid utama pembentuk aterosklerosis mengalami oksidasi in situ,
11
yang menjadikannya sulit untuk dipindahkan. Makrofag bermigrasi ke ruang
subendotial dan memakan lipid, terbentuklah sel sabun (foam cells). Pembentukan
plak terjadi, sel-sel otot polos juga bermigrasi ke dalam lesi ini dan menyebabkan
fungsi endotel menjadi abnormal dan kemampuannya untuk membatasi
lipoprotein ke dalam dinding pembuluh darah terganggu. Apabila plak sudah
stabil, terbentuk selubung fibrosa, dan lumen pembuluh darah menyempit.
Meskipun plak aterosklerosis dapat tetap stabil atau berubah secara
bertahap, beberapa diantaranya mengalami ruptur, yang dapat menyebabkan
agregasi trombosit. Proses tersebut menyebabkan pembuluh darah menyempit
atau terjadi trombosis dan mengakibatkan terjadinya keadaan iskemik.
Tersumbatnya pembuluh darah dapat parsial atau komplit (menimbulkan gejala
angina tidak stabil atau infark miokard) (Tierney et al, 2002).
Penyempitan pembuluh darah menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat
sehingga pemompaan darah diselesaikan dengan ketersediaan dan oksigen yang
sedikit. Kemudian terjadilah metabolisme anaerob (Muttaqin, 2009). Tanpa ATP,
pompa natrium dan kalium terhenti, sel akan terisi dengan ion natrium dan air
sehingga sel pecah (lisis). Lisis tersebut melepaskan simpanan kalium intrasel,
enzim intrasel, serta penimbunan asam laktat yang kemudian mencederai sel
sekitarnya. Akibat kematian sel, terjadilah reaksi inflamasi dimana terjadi
penimbunan trombosit, dan pemompaan jantung kurang terkoordinasi sehingga
kontraktilitasnya menurun dan volume sekuncup menurun. Volume sekuncup
menurun menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik (Syamsudin, 2011).
Penurunan tekanan darah merangsang pengaktifan sistem saraf simpatik,
sistem renin angiotensin, dan pelepasan hormon antidiuretik. Pada peningkatan
keluaran simpatik menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung,
kenaikan tekanan darah. Pelepasan renin mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II dimana merangsang aldosteron yang menyebabkan peningkatan
reabsorpsi natrium ginjal dan peningkatan volume darah, yang berdampak pada
peningkatan tekanan darah (Hardman dan Limbird, 2008).
12
Gambar 2.3 Patofisiologi Infark Miokard Akut
2.6 Faktor Risiko Infark Miokard Akut
Terdapat banyak faktor risiko yang dapat mengakibatkan kerentanan
terhadap aterosklerosis koroner dan MI pada setiap individu. Faktor risiko
tersebut ada yang tidak dapat dicegah (faktor biologis) dan masih bisa dicegah
atau diubah dengan memperlambat proses aterogenik.
2.6.1 Faktor Biologis
2.6.1.1 Usia
Risiko penyakit jantung koroner (CHD) pada pria meningkat di usia
sekitar 45 tahun dan pada wanita meningkat di usia sekitar 55 tahun (setelah
menopause). Kebanyakan orang memiliki penumpukan plak di arteri jantung pada
Faktor yang dapat
dicegah
Usia Jenis kelamin
Riwayat keluarga
Obesitas stress
hiperlipidemia
hipertensi konsumsi alkohol
diabetes melitus
aterosklerosis
Ruptur plak
Trombosis koroner
Penurunan aliran darah,
gangguan suplai oksigen
Angina pectoris Kontraktilitas ventrikel
kiri ↓, curah jantung ↓
Kematian sel otot
Iskemi miokardium
STEMI,
NSTEMI
Infark Miokard
Akut
Metabolisme anaerob pH
sel↑ Produksi asam laktat ↑
Faktor yang tidak
dapat dicegah
Ketidakseimbangan kebutuhan oksigen.
Pelepasan renin ↑,
angiotensin II ↑
Renin Angiotensin
Aldosteron system (RAAS)
13
saat usia 70-an. Namun, hanya sekitar 25% orang tersebut yang mengalami nyeri
dada, serangan jantung, atau tanda-tanda PJK lainnya (NHLBI, 2016).
2.6.1.2 Jenis Kelamin
Kejadian aterosklerosis dan MI lebih tinggi terjadi pada pria daripada
wanita pada semua kelompok usia (Bolooki & Askari, 2010). Hal ini dikarenakan
hormone estrogen yang bersifat protektif pada wanita. Kemudian, pada masa
menopause angka insiden meningkat (Kasron, 2012).
2.6.1.3 Riwayat Keluarga
Kebanyakan orang dengan riwayat penyakit jantung keluarga yang kuat
memiliki satu atau lebih faktor risiko lainnya dan mencakup elemen lain seperti,
komponen genetik (Bolooki & Askari, 2010).
2.6.2 Faktor Lain
2.6.2.1 Merokok
Merokok dalam jangka panjang merupakan faktor risiko IMA. Merokok
dapat merusak dinding pembuluh darah yang dapat memicu pembentukan dan
perkembangan plak, dan juga meningkatkan pembentukan trombus trombosit
(Bolooki & Askari, 2010). Merokok juga dapat memicu aritmia jantung,
peningkatan tekanan darah, dan penurunan dalam mengangkut oksigen (Kasron,
2012).
2.6.2.2 Kolestrol darah tinggi
Klondisi dimana darah mengandung terlalu banyak zat lilin dan lemak.
Kolestrol bergerak dalam darah melalui kemasan kecil yang disebut lipoprotein.
Ada dua jenis utama lipoprotein yang membawa kolestrol keseluruh tubuh: Low-
density lipoprotein (LDL) membawa kolestrol ke jaringan, termasuk ke jantung.
Pada wanita yang menopause, kadar LDL cenderung meningkat. Tingkat LDL
yang tinggi dapat meningkatkan risiko penyakit. Sedangkan, High-density
lipoprotein (HDL) membantu menghilangkan kolestrol pada arteri. Pada wanita
14
yang menopause, kadar HDL cenderung turun. Sehingga, kadar HDL yang rendah
dapat meningkatkan risiko penyakit.
Trigliserida merupakan lemak di dalam tubuh. Beberapa penelitian
menunjukkan kadar trigliserida yang tinggi dapat meningkatkan risiko penyakit,
terutama pada wanita (NHLBI, 2016).
2.6.2.3 Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah
dari ventrikel kiri yang berakibat beban kerja jantung kemudian, menyebabkan
otot jantung menebal dan menjadi kaku. Kekakuan otot jantung yang tidak normal
dapat menyebabkan jantung tidak bekerja dengan baik dan memperparah
aterosklerosis koroner. Ini juga meningkatkan risiko stroke, infark miokard,
serangan jantung, gagal ginjal dan gagal jantung kongestif (AHA,2015). Tekanan
dikatakan tinggi jika mencapai lebih dari 140/90 mmHg. Jika menderita diabetes
atau gagal ginjal kronis, tekanan darah tinggi mencapai 130/80 mmHg atau di
atasnya (NHLBI, 2016).
2.6.2.4 Obesitas
Orang dewasa yang mempunyai kelebihan berat badan. Obesitas
cenderung memiliki komplikasi sindrom metabolik, tekanan darah tinggi,
aterosklerosis, penyakit jantung, diabetes, dan kolestrol darah tinggi (NHLBI,
2014).
2.6.2.5 Diabetes Mellitus
Diabetes dapat meningkatkan risiko penyakit aterosklerosis vaskular lebih
besar di jantung dan di vaskular lainnya (Bolooki & Askari, 2010). Hal ini
disebabkan oleh abnormalitas metabolisme lipip, hipertensi sistemik, peningkatan
trombogenesis (peningkatan adhesi platelet) (Kasron, 2012).
15
2.6.2.6 Stress
Beberapa ilmuan mengatakan, respon individu terhadap stress mungkin
merupakan sebagian dari faktor penyebab terjadinya penyakit jantung koroner.
Faktor ini mempengaruhi faktor risiko yang ada. Misalnya, pada saat orang stress
memakan makanan berlebih dan merokok yang lebih dari biasanya (AHA, 2015).
2.6.2.7 Alkohol
Konsumsi alkohol terlalu banyak dapat meningkatkan tekanan darah,
kardiomiopati, stroke, obesitas, serta penyakit lainnya. Sehingga menyebabkan
kadar trigliserida meningkat dan menghasilkan detak jantung yang tak beraturan
(AHA, 2015).
2.7 Klasifikasi Infark Miokard Akut
Klasifikasi IMA berdasarkan perubahan pada EKG. Diklasifikasikan
menjadi STEMI dan NSTEMI (Waly, 2014).
Gambar 2.4 Perbedaan STEMI dan NSTEMI
2.7.1 ST-segment Elevation Myocardial Infarct (STEMI)
Merupakan oklusi total pada arteri koroner dan sudah ada sebelumnya,
sehingga menyebabkan area infark lebih luas meliputi ketebalan miokardium.
Kejadian ini menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang
berlangsung >1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural. STEMI bisa
16
disebabkan oleh emboli koroner, spasme koroner dan inflamasi sistemik
(DEPKESRI, 2006). Hal ini ditandai dengan elevasi segmen ST minimal 1mm
dalam dua atau lebih petunjuk standar atau 2mm dalam dua atau lebih prekordial
bersebelahan. Karena, elevasi segmen ST menggambarkan daerah miokardium
berisiko mengalami kerusakan ireversibel menuju kematian sel (dapat diukur
dengan peningkatan kadar troponin) (Myrtha, 2011).
2.7.2 Non ST-segment Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI)
Dimana hanya terdapat sebagian oklusi trombus akut pada arteri koroner
tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium dan menimbulkan oklusi terus-
menerus, berlangsung hingga 1 jam. Trombosis akut pada arteri koroner diawali
dengan ruptur plak yang tidak stabil. Hal ini tidak ditandai adanya elevasi ST pada
EKG (Thygesen et al., 2012). Tipe NSTEMI terjadi oklusi koroner secara parsial,
biasanya penyumbatan paling parah (>70% diameter stenosis) pada satu atau lebih
arteri dengan trombus koroner intraluminal (Ambrose & Singh, 2015).
17
Gambar 2.5 Perbedaan STEMI dan NSTEMI beserta terapinya
Sumber : Color Atlas of Pharmacology (Luellman,2005)
Selain kategori ini, IMA tergolong dalam beberapa tipe, yaitu (Thygesen
et al., 2012):
2.7.3 Infark Miokard Spontan (MI Tipe 1)
Kejadian ini berhubungan dengan adanya rupture plak, ulserasi, erosi,
fissuring yang dihasilkan oleh trombus pada satu atau lebih arteri koroner.
Kejadian ini dapat menurunkan aliran darah miokard. Mungkin terjadi CAD,
tetapi tidak mengganggu.
2.7.4 Infark Miokard Sekunder Akibat Ketidakseimbangan Iskemik (MI
Tipe 2)
Kejadian cidera miokard dengan nekrosis, dimana kondisi selain CAD
terdapat ketidakseimbangan suplai oksigen miokard dan/ atau permintaan.
18
Kondisi ini ditunjukan dengan disfungsi endotel koroner, kejang arteri koroner,
hipotensi, dan hipertensi.
2.7.5 Kematian Jantung Akibat Infark Miokard (MI Tipe 3)
Kematian jantung dengan gejala iskemi miokard dan diduga adanya
perubahan EKG iskemik baru. Kejadian ini terjadi sebelum diperoleh sampel
darah dan sebelum bioamarker jantung naik.
2.7.6 Infark Miokard berhubungan dengan Prosedur Revaskularisasi (MI
Tipe 4 dan 5)
Cedera atau infark terjadi pada saat prosedur revaskularisasi berlangsung.
Upaya dalam membatasi terjadinya cidera mungkin bisa bermanfaat bagi pasien,
namun bisa berakibat buruk pada pasien terkait pada peningkatan asimtomatik
nilai biomarker jantung. MI Tipe 4 terdiri dari dua yaitu, tipe 4a infark miokard
terkait akibat PCI dan 4b infark miokard yang berkaitan dengan trombosis stent.
Sedangkan, tipe 5 berkaitan dengan coronary artery bypass grafting (CABG)
(White et al., 2016).
2.8 Gejala dan Tanda Infark Miokard Akut
2.8.1 Gejala
2.8.1.1 Angina
Angina adalah nyeri dada atau ketidaknyamanan yang terjadi jika area otot
jantung tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Rasanya seperti tekanan atau
meremas di dada, bahu, lengan, leher, rahang, dagu atau punggung. Nyerinya
bahkan terasa seperti gangguan pencernaan. Rasa sakit bisa terjadi akibat aktivitas
dan menghilang jika beristirahat (NHLBI, 2014).
19
Tabel 2.1 Tipe-tipe Angina
Tipe Angina
Pektoris
Karakteristik
Angina stabil kronis Dapat diatasi, konsisten, terjadi saat aktivitas dan hilang
dengan istirahat.
Angina Nokturnal Nyeri terjadi saat malam hari, biasanya saat tidur; dapat
dikurangi dengan duduk tegak. Biasanya akibat gagal
ventrikal kiri.
Angina Dekubitus Angina terjadi saat berbaring.
Angina Refrakter
atau intraktabel
Angina yang sangat berat sampai tidak tertahan.
Angina Prinzmetal Nyeri agina yang bersifat spontan disertai elevasi segmen
ST pad EKG. Diduga disebabkan oleh spasme arteri
koroner.
Iskemia tersamar Terdapat bukti objektif iskemia (seperti tes pada stress)
tetapi pasien tidak menunjukkan gejala.
(Kasron, 2012)
2.8.1.2 Gejala lain
Pasien biasanya mengalami keringat dingin, merasa gelisah mencari posisi
nyaman, dan merasa lemas. Kepala terasa ringan, mengalami pingsan, dyspnea,
batuk, mual dan muntah, atau perut kembung yang bisa muncul sendiri atau
bersamaan (Tierney et al, 2002).
2.8.1.3 Infark Tanpa Nyeri
Pada sebagian kasus, tidak timbul rasa nyeri atau sedikit nyeri. Sehingga
kebanyakan pasien tidak segera berobat. Sebanyak 25% pasien yang rutin
melakukan EKG, tidak pernah mengalami serangan akut (Tierney et al, 2002).
2.8.1.4 Nyeri Infark
Sebagian besar pasien infark terjadi saat beristirahat dan tidak seperti
angina, dan lebih sering dialami pada saat dini hari. Lokasi dan penjalaran nyeri
serupa dengan nyeri angina tetapi lebih dan bertambah berat dengan cepat dalam
hitungan menit hingga jam (Tierney et al, 2002).
20
2.8.2 Tanda-tanda
2.8.2.1 Umum
Pasien biasa tampak cemas dan berkeringat. Frekuensi jantung bervariasi
dari bradikardi hingga takikardi yang disebabkan oleh aktivitas sistem saraf
simpatik, curah jantung yang rendah, atau aritmia. Tekanan darah tinggi pada
pasien yang hipertensi sebelumnya, atau rendah pada pasien dengan shock
(Tierney et al, 2002).
2.8.2.2 Jantung
Pada saat pemeriksaan jantung bisa terdapat kelainan atau abnormal. Suara
jantung yang lemah bisa terjadi karena disfungsi ventrikel kiri (Tierney et al,
2002).
2.9 Pemeriksaan dan Diagnosis Infark Miokard Akut
Pada kelompok terdahulu, penilaian faktor risiko harus dilakukan agar
membimbing diagnosis karena modifikasi dari beberapa faktor risiko bisa
mengurangi kejadian kardiovaskular atau kematian. Semua pasien harus dirujuk
ke kardiologi untuk mengklarifikasi diagnosis, mengoptimalkan pengobatan, dan
menilai kebutuhan dan keseuaian untuk revaskularisasi (memperbaiki gejala dan
prognosis) (Grech, 2003).
2.9.1 Eletrokardiografi (EKG)
EKG adalah tes sederhana dengan mendeteksi dan mencatat aktivitas
listrik jantung (elektrokardiogram). EKG juga mencatat kekuatan dan waktu
sinyal listrik saat melewati jantung (NHLBI, 2014). EKG juga sangat berguna
dalam membedakan miokard NSTEMI dan STEMI. Tes ini dilakukan pada waktu
5 – 10 menit setelah kedatangan ke gawat darurat (Boateng & Sanborn, 2013).
Pada pasien dengan infark akut biasanya mengalami perubahan EKG-nya
dan jarang dengan hasil yang normal. Abnormalitas EKG menunjukkan perkiraan
terhadap beratnya infark. Perubahan dari gelombang T lancip (hiperakut) menjadi
elevasi segmen ST, menjadi pembentukan gelombang Q, atau pembalikan
21
gelombang T. Hal ini terjadi selama beberapa jam sampai hari. Biasanya,
gelombang Q tidak terjadi (30-50%) pada pasien infark akut (Tierney et al, 2002).
2.9.2 Imaging/ Ekokardiogram
Ekokardiogram dilakukan untuk membedakan daerah ventrikel kiri yang
berkontraksi normal atau tidak. Salah satu perlindungan awal apabila aliran darah
terbatas adalah dengan mematikan kontraksi yang membutuhkan energi
Ekokardiogram berguna untuk mendeteksi bagian yang terkena MI dan arteri
koroner yang sedang tersumbat. Adanya kelainan gerak dinding pada
ekokardiogram bisa disebabkan oleh MI akut atau MI sebelumnya (Bolooki &
Askari, 2010).
2.9.3 Tes Laboratorium
Tes dilakukan untuk MI akut meliputi: (Zafari, 2017)
1. Biomarker / Enzim jantung. The American College of
Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) and the European
Society of Cardiology (ESC) merekomendasikan bahwa biomarker
jantung diukur pada saat presentasi pasien yang dicurigai MI dan yang
direkomendasikan ialah troponin jantung karena sensivitas dan
ketepatannya yang baik (Zafari, 2017). Biomarker serum nekrosis meliputi
troponin T dan I, isoform MB keratin (CK-MB), kreatin kinase (CK), dan
mioglobin. Troponin T dan I sangat spesifik untuk cidera miokard dan
untuk diagnosis IMA. Mereka sedikit meningkat pada keadaan takikardia,
gagal jantung, dan kondisi inflamasi seperti miokarditis. Meningkat pada
4-6 jam setelah onset gejala dan mencapai puncak 18-24 jam setelah
timbul gejala dan tetap meningkat sampai 7-10 hari setelah STEMI.
Tingkat CK-MB kurang spesifik dibandingkan troponin, tetapi jauh lebih
spesifik dibandingkan CK (Boateng & Sanborn, 2013).
22
Gambar 2.6 Waktu pelepasan marker serum jantung setelah IMA
Sumber : IMA (Boersma et al., 2003)
2. Menghitung sel darah lengkap,
3. Profil lipid dalam darah
Klasifikasi
a) Klasifikasi EAS (European Atheroselerosis Society)
Tabel 2.2 Klasifikasi blood test berdasarkan European Atheroselerosis Society
Peningkatan
Lipoprotein Lipid Plasma
Hyperkolesterolemia LDL Kolesterol >200 mg/dl
Disiplidemia campuran
(Kombinasi)
LDL
+
VLDL
Trigliserida >200 mg/dl
+
Kolesterol >240 mg/dl
Hipertrigliseridemia VLDL Trigliserida >200 mg/dl
23
b) Klasifikasi NCEP (National Cholestrol Education Program)
Tabel 2..3 Klasifikasi blood test berdasarkan National Cholestrol Education
Program
Kolesterol Total LDL
“Ideal” >200 mg/dl < 200 mg/dl
Batas Tinggi 200-239 mg/dl 130-159 mg/dl
Tinggi <240 mg/dl >160 mg/dl
Anwar, 2004
2.10 Komplikasi Infark Miokard Akut
a) Tromboembolus
Tromboembolus atau bekuan darah pada jantung diakibatkan oleh bekuan
darah yang pecah mengalir ke aliran darah arteri yang kemudian tersangkut
sehingga menyebabkan penyumbatan (Kasron, 2012; Corwin, 2009).
b) Gagal Jantung Kongestif
Peristiwa ini terjadi ketika jantung tidak mampu memompa keluar semua
darah dan hal ini terjadi setelah infark awal dengan ukuran yang sangat luas atau
setelah pengaktifan reflek baroreseptor. Aktivasi baroreseptor dapat meningkatkan
darah yang kembali ke jantung yang telah rusak. Akibatnya, darah berkumpul di
jantung dan menyebabkan peregangan terhadap sel-sel otot jantung sehingga
kontraktilitas jantung berkurang (Corwin 2009).
c) Disritmia
Perubahan pada keseimbangan elektrolit dan penurunan pH akan
menyebabkan disritmia. Kemudian, jantung yang mudah teriritasi akan
melepaskan potensial aksi yang mengakibatkan terjadinya disritmia (Corwin,
2009).
24
d) Syok Kardiogenik
Syok dapat terjadi pada awal masuk atau selama perawatan. Hal ini terjadi
ketika curah jantung berkurang dalam waktu yang lama. Apabila terjadi pada saat
infark akan berakibat fatal, dan menyebabkan kematian atau lemah beberapa hari
atau minggu akibat gagal paru atau ginjal. Syok kardiogenik terjadi kerusakan
sebanyak 40% massa otot jantung (Corwin, 2009; Farissa, 2012)
2.11 Penatalaksanaan Infark Miokard Akut
2.11.1 Modifikasi Faktor Risiko
Menghentikan dan mengurangi proses aterosklerosis dengan cara
mengendalikan faktor risiko, seperti (NHLBI, 2014):
a) Berhenti merokok
b) Latihan fisik sesuai dengan kemampuan jantung (melakukan aktivitas
sedang 30-40 menit per-minggu) dengan bersepeda, berenang, aerobik dan
treadmill.
c) Diet mencapai profil lemak yang baik dan berat badan yang ideal dengan
mengonsumsi makanan rendah lemak (susu rendah lemak, ikan tinggi asam
lemak omega-3, minyak zaitun, oatmeal, dan beras merah).
d) Konsumsi sayur dan buah (alpukat, kacang-kacangan, jagung, brokoli).
e) Mengendalikan dan mengontrol tekanan darah tinggi dan DM.
f) Mengontrol stress (meditasi dan terapi relaksasi).
2.11.2 Terapi Infark Miokard Akut
2.11.2.1 Terapi Non Farmakologi Infark Miokard Akut
Tujuan perawatan untuk penyakit arteri koroner adalah guna menurunkan
angka kematian dan morbiditas, meningkatkan kualitas gidup, dan mengurangi
faktor risiko dalam upaya memperlambat dan menghentikan atau
mengembalikkan penumpukan plak. Pilihan perawatan jantung meliputi
25
perubahan gaya hidup sehat, terapi medis (MT), revaskularisasi arteri koroner
(CABG), dan percutaneous transluminal coronary Angioplasty (PTCA).
2.11.2.1.1 Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)
CABG adalah pencangkokan pada satu atau lebih arteria mammaria
interna (biasa pada arteri descenden arterior kiri atau cabang-cabangnya) yang
memberikan hasil jangka panjang terbaik dalam hal patensi aliran daranya.
Terkadang juga dilakukan penempatan segmen-segmen vena saphena (atau vena
lainnya) atau arteri radialis, di antara aorta dan arteri koroner di sebelah distal.
Setelah pembedahan berhasil, gejala-gejala biasanya mereda.
Prosedur ini memiliki angka mortalitas cukup rendah (1-3%) pada pasien
dengan fungsi jantung masih baik, tetapi mortalitas dapat meningkat (4-8%) pada
pasien dengan usia lebih tua (>70 tahun), fungsi ventrikel kiri yang jelek, dan
yang pernah menjalani CABG sebelumnya.Terapi antiplatelet dan aspirin,
berhenti merokok, abnormalitas lipid darah diobati, kadar kolestrol LDL <100
mg/dL, HDL >45mg/dL dapat memperbaiki angka patensi pencangkokan
(Muttaqin, 2009).
2.11.2.1.2 Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA)
Angioplasti Koroner Transluminal Perkutaneus adalah usaha guna
memperbaiki aliran darah arteri koroner dengan cara menghancurkan plak atau
atheroma yang tertimbun dan menghambat aliran darah ke jantung. Prosedurnya
adalah dengan memasukkan kateter berupa balon ke arteri koroner dan diletakkan
di antara daerah aterosklerotik. Balon kemudian dikembangkan dan dikempiskan
dengan cepat agar plak hancur. PTCA dilakukan pada pasien yang mempunyai
lesi yang menyumbat minimal 70% lumen internal arteri koroner besar yang dapat
berisiko mengalami iskemi (Muttaqin, 2009).
2.11.2.2 Terapi Farmakologi Infark Miokard Akut
Penatalaksanaan pada pasien dengan masalah arteri koroner adalah
penanggulangan rasa nyeri yang dilakukan sedini mungkin untuk mencegah
aktivasi saraf simpatis, yang menyebabkan takikardi, vasokonstriksi, dan
peningkatan tekanan darah yang dapat berlanjut memperluas kerusakan
26
miokardium (Muttaqin, 2009). Maka pemberian analgesik opioid paling sering
digunakan (misalnya morfin dengan dosis 4-8 mg dengan dosis tambahan 2 mg
pada interval 5-15 menit hingga rasa sakit berkurang). Nitrat oral sublingual atau
intravena (nitrogliserin) direkomendasikan untuk penghilang rasa sakit.
Pemberian antiinflamasi non-steroid (NSAID) tidak boleh digunakan untuk
penghilang rasa sakit karena berisiko terjadinya protrombotik. Catatan hati-hati
juga terdapat pada pemberian morfin di NSTEMI (Werf et al., 2008).
Tabel 2.4 Terapi Farmakologi STEMI dan NSTEMI
No. STEMI NSTEMI
1. Oksigen Oksigen
2 Morfin Morfin
3 Antiplatelet Antiplatelet
4 Fibrinolitik Antikoagulan
5 Antikoagulan B-blocker
6 B-blocker Calcium Chanel Blocker
7 Calcium Chanel Blocker ACE- Inhibitors
8 ACE- Inhibitors Statin
9 Statin
(Dipiro et al, 2015)
2.11.2.2.1 Terapi Farmakologi STEMI
2.11.2.1.1.1 Oksigen
Pemberian terapi oksigen binasal kanul diberikan pada keadaan saturasi
oksigen arteri pasien <90%, tekanan parsial oksigen <60 mmHg dan diberikan
selama 6 jam pertama. Sebanyak 6 liter per menit dengan rentang waktu 5 sampai
9 menit memberikan pengaruh cepat dalam menurunkan rasa nyeri dada dan
diikuti naiknya saturasi oksigen 5-10%. Meningkatkan volume oksigen mampu
27
meningkatkan FiO2 dimana dapat mencegah terjadinya hipoksia jaringan ke
kondisi normal dan meningkatkan PO2 dimana tinggi hemoglobin yang dapat
membawa oksigen lebih banyak keseluruh tubuh (Widiyanto dan Yamin, 2014).
2.11.2.1.1.2 Morfin
Morfin merupakan analgetik narkotik dan anxiolitik poten yang memiliki
efek hemodinamik. Obat ini ditujukan untuk pasien dengan penyakit angina yang
berkaitan dengan infark miokardium akut. Morfin dapat menghilangkan sakit,
memperlebar pembuluh vena, dan mengurangi beban jantung (Muttaqin, 2009).
Morfin cocok diberikan pada pasien infark miokard karenan manifestasinya yang
dapat menyebabkan nyeri dada hebat. Efek samping seperti menekan pernapasan
dan batuk, bronkokonstriksi. Antagonis narkotik naloxone digunakan sebagai
antidotum, diberikan ketika terjadi overdosis terhadap morfin dengan depresi
pernafasan atau sirkulasi (Tjay dan Rahardja, 2007). Pasien diberikan morfin 2-4
mg IV setiap 5-15 menit sesuai kebutuhan nyeri (Boateng, 2013).
2.11.2.1.1.3 Nitrat
Nitrat efektif dalam pengobatan iskemia, gagal jantung, dan hipertensi
partial dalam IMA. Pada pedoman ACC/AHA merekomendasikan pemberian
intravena awal untuk pasien IMA. Efek samping dari obat yang utama adalah
hipotensi dan sakit kepala. Hipotensi bisa terjadi dalam beberapa menit setelah
pemberian sublingual atau 1-2 jam pemberian oral (Chandrasekar. & Willbert,
2011). Nitrat diberikan untuk mengatasi rasa sakit atau nyeri. Nitrat sublingual
atau intravena harus diberikan jika tekanan darah sistolik ≥120 mmHg. Jika
tekanan darah sitolik ≥100 mmHg tapi kurang dari 120 mmHg, nitrat harus
diberikan hati-hati (Daga et al., 2011).
Terdapat dua macam nitrat berdasarkan lama aksinya, yaitu nitrat aksi
pendek dan nitrat aksi panjang. Nitrat aksi pendek (Nitroglycerin) biasa
digunakan untuk serangan angina akut, dapat berupa sublingual tablet atau
semprot. Nitrat aksi panjang (isosorbid mononitrat dan dinitrat) tidak hanya
28
menghilangkan nyeri angina akut tetapi juga bermanfaat dalam serangan angina
yang kambuh, yang mana berupa tablet oral (Chandrasekar. dan Willbert, 2011).
Tabel 2.5 Jenis dan Dosis Nitrat
Obat Dosis
Nitrogliserin SL : 0,4 mg, Dosis bervariasi 0,3 mg –
0,6 mg ; Dosis IV : 5 μg/menit
Nitrotransderm Patch : 2,5 – 15 mg setiap 12 jam
Isosorbid dinitrat PO : 5-40 mg ; SL : 2,5 – 10 mg;
Tablet kunyah :5 – 10 mg
(Muttaqin, 2009)
2.11.2.1.1.4 Antiplatelet
Antiplatet dapat menghambat agregasi trombosit, menurunkan
pembentukan atau kerja sinyal kimiawi yang dapat merangsang agregasi
trombosit. Rasio antara manfaat dan risiko yang menguntungkan, dan biaya
rendah, aspirin dosis rendah menjadi pilihan dalam kebanyakan kasus dan
clopidogrel dapat dipertimbangan pada beberapa pasien. Penggunaan antiplatelet
dapat dikaitkan dengan risiko perdarahan (Harvey dan Champe, 2016).
2.11.2.1.1.4.1 Aspirin
Aspirin bertindak dalam menghambat irreversible dari platelet
siklooksigenase-1 (COX-1) dan produksi tromboksan. Efek sampingnya adalah
gastrointestinal dan dapat meningkat jika dalam dosis tinggi (Montalescot et al.,
2013).
Aspirin dapat menurunkan angka kematian atau MI sebesar 50%. Dosis
aspirin 160 mg - 325 mg harus cepat diberikan kepada pasien dengan MI akut.
Pada tablet non-enteric coated aspirin harus ditelan dan dikunyah setelah timbul
gejala agar mempercepat penyerapan. Pasien PCI yang sebelumnya tidak
menggunakan aspirin sebaiknya menerima 325 mg tablet non-enteric coated.
Dosis perawatan harian aspirin 75 mg – 162 mg dianjurnkan setelahnya dan terus
menerus (Dipiro et al., 2015).
29
2.11.2.1.1.4.2 Ticlopidine dan Clopidogrel
Obat ini menghambat pengikatan ADP dengan reseptornya pada trombosit
secara ireversibel sehingga menghambat pengaktifan reseptor GP IIb/IIIa yang
diperlukan trombosit untuk berikatan dengan fibrinogen satu sama lain.
Ticlodipine berfungsi untuk mencegah serangan iskemik sementara dan stroke
pada pasien dengan kejadian trombotik sebelumnya. Namun, obat ini memiliki
efek samping hemtologis yang tinggi. Clopidogrel dapat mencegah aterosklerotik
pasca-infark miokardium baru, stroke, atau penyakit arteri perifer. Selain itu,
clopidogrel digunakan untuk mencegah kejadian trombotik akibat intervensi
koroner perkutan (Harvey dan Champe, 2016).
Loading dose oral sebanyak 300 mg diikuti dosis oral 75 mg/hari pada
pasien yang menerima terapi fibrinolitik atau yang tidak menerima terapi perfusi,
dan menghindari pemberian loading dose pada pasien dengan usia ≥75 tahun
(Dipiro et al., 2015). Ticlodipin dan clopidogrel merupakan alternatif aspirin bila
obat tidak dapat ditoleransi, meskipun ticlodipin dan clopidogrel memiliki
toksisitas tersendiri (Chandrasekar. dan Willbert, 2011).
2.11.2.1.1.4.3 Penghambat Glikoprotein (GP)IIb/IIIa
Penghambat reseptor GP IIb/IIIa dapat memblokir jalur akhir agregasi
platelet, yaitu cross-linking platelet oleh jembatan fibrinogen antar GP IIb dengan
IIIa pada permukaan platelet. Penghambat reseptor GP IIb/IIIa tidak dapat
digunakan pada pasien dengan STEMI yang tidak mendapatkan terapi PCI.
Penggunaan rutin obat ini juga tidak dianjurkan pada mereka yang menerima
terapi fibrinolitik atau bivalirudin karena dapat mengalami risiko perdarahan
(Dipiro et al., 2015).
Abciximab : 0,25 mg/kg IV bolus diberikan 10-60 menit sebelum dimulai
PCI, diikuti 0,125 mcg/kg/menit (maksimum 10 mcg/kg/menit) selama 12
jam.
30
Eptifibatide : 180 mcg/kg IV bolus, diulang dalam 10 menit, dilanjutkan
dengan infus 2 mcg/kg/menit pada 18-24 jam setelah PCI.
Tirofiban : 25 mcg/kg IV bolus, lalu 0,15 mcg/kg/menit pada 18-24 jam
setelah PCI.
2.11.2.1.1.5 Antikoagulan
Antikoagulan digunakan untuk menghambat pembentukan bekuan darah.
Obat ini tidak melarutkan bekuan yang sudah ada, tetapi bekerja sebagai
pencegahan pembentukan bekuan baru (Muttaqin, 2009).
Antikoagulan direkomendasikan untuk semua pasien yang mencakup
UFH, LMWH, fondaparinux, dan bivalirudin. Pilihan antikoagulan bergantung
pada risiko kejadian iskemik dan perdarahan, dan pilihan manajemen awal
(invasif mendesak, invasif dini atau konservatif) (Daga et al., 2011). Pada pasien
STEMI, pemberian antikoagulan tidak perlu penuh.
UFH : Dosis awal untuk PCI primer 50-70 unit/kg IV bolus jika
penghambat GP IIb/IIIa direncanakan, jika tidak direncanakan 70-100
U/kg IV bolus. UFH dengan fibrinolitik dosis awal adalah 60 U/kg IV
bolus (maksimum 4000 U), diikuti infus konstan 12 U/kg/jam (maksimum
1000 U/jam).
Bivalirudin : dosis awal untu PCI STEMI 0,75 mg/kg IV bolus, diikuti
infus 1,75 mg/kg/jam. Hentikan pada akhir PCI atau lanjutkan pada 0,25
mg/kg/jam jika dilakukan perpanjangan antikoagulan.
Fondaparinux : 2,5 mg IV bolus, diikuti 2,5 mg SC sekali sehari dimulai
dari masuk rumah sakit hari kedua (Dipiro et al., 2015).
2.11.2.1.1.6 Fibrinolitik
Agen ini diberikan pada pasien STEMI yang telah terjadi selama 12 jam
setelah onset ketidaknyamanan dada dan tidak dapat menjalankan PCI primer
dalam waktu 120 menit kontak medis. Batas penggunaan fibrinolitik antara 12-24
31
jam setelah onset gejala pasien dengan iskemi yang sedang berlangsung (Dipiro et
al., 2015).
Alteplase : 15 mg IV bolus, diikuti dengan infus 0,75 mg/kg (maksimum
50 mg) 30 menit, diikuti dengan 0,5 mg/kg infus (maksimal 35 mg) selama
60 menit (dosis maksimal 100 mg).
Reteplase : 10 unit IV selama 2 menit, diikuti 30 menit kemudian dengan
yang lain 10 unit IV selama 2 menit.
Streptokinase : 1.5 juta unit dalam dalam 50 mL larutan garam normal
atau 5% dekstrosa dalam air IV lebih dari 60 menit.
2.11.2.1.1.7 ß-Bloker Adrenergik
ß-Bloker Adrenergik memiliki efek konotropik dan inotropik dimana dapat
menurunkan tekanan darah, menurunkan curah jantung, mengurangi kebutuhan
oksigen miokard, aliran koroner meningkat karena masa diastole yang
memanjang, kontraktilitas, dan resistansi vaskular perifer. ß-Bloker dibagi
menjadi beta tidak selektif (penghambat ß1 di jantung dan ß2 di bronchia) dan
selektif (penghambat ß1 di jantung). ß-Bloker yang selektif diantaranya adalah
metoprolol, bisoprolol, atenolol (Montalescot et al., 2013). Metoprolol dan
propanolol sangat lipofilik sehingga dapat menembus sawar otak. Atenolol dan
nadolol bersifat hidrofilik. ß-Bloker kontraindikasi terhadap pasien dengan
bradikardi signifikan dan pasien dengan riwayat bronkospasma (C. dan W.S.,
2011).
Metoprolol : 5 mg IV bolus dengan pemberian lambat (lebih dari 1-2
menit), diulang setiap 5 menit untuk total dosil awal 15 mg.
Atenolol : 5 mg IV, diikuti 5 menit kemudian dengan dosis 5 mg IV
kedua, lalu 50-100 mg per oral sekali sehari 1-2 jam setelah dosis IV.
Propanolol : 0,5-1 mg IV bolus dengan pemberian lambat, diikuti dalam 1-
2 jam dengan dosis oral 40-80 mg setiap 6-8 jam.
32
Tabel 2.6 Dosis ß-Bloker yang dipakai sebagai terapi
Penyekat ß Selektifitas Dosis (mg/hari) Frekuensi
pemakaian
Metoprolol ß1 100-450 Sekali sehari – dua
kali sehari
Atenolol ß1 25-100 Sekali sehari
Bisoprolol ß1 10 Sekali sehari
Propanolol nonselektif 10 Sekali – empat kali
sehari
(Syamsudin, 2011)
2.11.2.1.1.8 Calcium Channel Blocker (CCB)
Obat ini tidak seperti ß-Bloker, efeknya tidak dapat diprediksi, dan belum
terbukti dapat mengurangi kematian dan reinfark pada pasien post-MI.
Penghambat kalsium memberikan efek dengan mencegah masuknya ion kalsium
melalui saluran kalsium sel otot polos jantung dan pembuluh darah. Karena
menghambat masuknya kalsium, kontraktilitas miokard menurun, dilatasi
pembuluh darah, dan fungsi konduksi atrioventrikular ditekan. Sehingga,
kebutuhan oksigen miokard menurun dengan penurunan afterload dan preload,
dan menurunnya kontraktilitas miokard (Chandrasekar. dan Willbert, 2011)
Antagonis kalsium mempunyai efek vasodilatasi dan menekan kerja
jantung dengan berkurangnya daya dan frekuensi detak jantung. CCB adalah
kelompok obat yang diklasifikasikan ke dalam DHP dan non-DHP, yang mana
sebagai hambatan selektif pembukaan L-channel pada otot polos pembuluh darah
dan miokardium. Nifedipin merupakan DHP pertama yang tersedia untuk
pengobatan angina, namun generasi sekarang tersedia nisoldipin, nicardipin, dan
amlodipin(Montalescot et al., 2013). Adapun sedikit manfaat klinis, jadi hindari
peggunaan CCB dalam penganan akut pada sindrom koroner akut kecuali ada
kebutuhan simtomatik jelas atau kontraindikasi terhadap beta bloker. Nifedipin
merupakan vasodilator kuat dengan sedikit efek samping yang serius, karena
menyebabkan aktivasi refleks simpatik, takikardia, dan memperburuk iskemi
miokardium (Dipiro et al., 2015). Verapamil merupakan non-DHP yang memiliki
banyak indikasi yang disetujui, termasuk varietas angina, takikardi
33
supraventriukular, dan hipertensi. ß-Bloker dikombinasi verapamil tidak
disarankan (dapat memblok jantung, tetapi dapat diganti DHP dengan ß-Bloker
(Montalescot et al., 2013).
Tabel 2.7 Jenis dan Dosis Calcium Channel Blocker (CCB)
Obat Dosis (mg/hari) Frekuensi
Diltiazem 120-360 Sustained release, sekali sehari
Verapamil 180-480 Sustained release, sekali sehari
Amlodipin 5-10 Oral, sekali sehari
(Dipiro et al., 2015).
2.11.2.1.1.9 ACE Inhibitors
Pada penelitian pasien dengan risiko tinggi post-infark, penambahan ACE-
inhibitor menunjukkan kurang dari 40% penurunan angka kematian
kardiovaskular dan gagal jantung kongestif. Penghambat ACE juga dapat
mengurangi perkembangan aterosklerosis dan remodeling jantung pasca-MI.
Terapi ini tidak boleh diberikan sampai tekanan sistolik paling sedikit 100 mmHg
(Boateng dan Stanborn, 2013).
Inhibitor ACE direkomendasikan pada pasien STEMI, dimulai pada 24
jam pertama dengan bukti gagal jantung, disfungsi sistolik LV (ventrikel kiri),
infark anterior (Ibanez et al., 2018).
Tabel 2.8 Jenis Inhibitor ACE dan Dosis
Obat Dosis Awal Dosis Target
Kaptopril 6,25 - 12,5 mg 50 mg, dua atau tiga kali
sehari
Enalapril 2,5 - 5 mg 10 mg dua kali sehari
Lisinopril 2,5 - 5 mg 10 – 20 mg sekali sehari
Ramipril 1,25 – 2,5 mg 5 mg dua kali sehari
(Dipiro et al., 2015)
34
2.11.2.1.1.10 Statin
Obat golongan ini dikenal juga dengan obat penghambat HMGCoA
reduktase, yang mana merupakan enzim yang dapat mengontrol biosintesis
kolestrol dengan menghambat sintesis kolestrol di hati dan hal ini dapat
menurunkan kadar LDL (<70mg/dL) dan kolestrol total serta meningkatkan HDL
plasma (DEPKESRI, 2006).
Pemberian statin dengan intensitas tinggi, baik atorvastatin 80 mg atau
rosuvastatin 40 mg untuk pasien sebelum PCI (Percutaneous Coronary
Intervention) (terlepas dari terapi penurun lipid sebelumnya) untuk mengurangi
frekuensi periprosedur MI setelah PCI (Dipiro et al., 2015).
2.11.2.2.2 Terapi Farmakologi NSTEMI
2.11.2.2.2.1 Antiplatelet
2.11.2.2.2.1.1 Aspirin
Aspirin terbukti dapat mengurangi 50% kejadian dibandingkan dengan
tanpa antiplatelet. Berdasarkan pedoman AHA merekomendasikan dosis awal
160-325 mg formulasi non-enterik, diikuti dosis 75-325 mg/hari (Van Horn dan
Maniu, 2007)
2.11.2.2.2.1.2 Platelet P2Y12
Clopidogrel, pasugrel ticagrelor memblokir subtype reseptor ADP
(reseptor P2Y12) pada trombosit, kemudian mencegah pengikatan ADP ke
reseptor dan ekspresi selanjutnya dari reseptor platelet GP IIb/IIIa, dan
mengurangi agregasi trombosit. Durasi inhibitor P2Y12 direkomenasikan untuk
pasien yang menjalani PCI (STEMI atau NSTEMI) paling sedikit 12 bulan. Ada
dua pilihan awal dalam terapi kombinasi antiplatelet tergantung pada pilihan
inhibitor P2Y12: (Dipiro et al., 2015)
Aspirin ditambah penggunaan awal clopidogrel atau ticragelor (di gawat
darurat.
35
Aspirin ditambah dosis ganda bolus eptifibatide plus infus eptifibatide
atau dosis tinggi bolus tirofiban plus infus diberikan pada saat PCI.
2.11.2.2.2.1.3 Inhibitor GP IIb/IIIa
Pemberian inhibitor glikoprotein (GP)IIb/IIIa intravena dapat menghambat
80% agregasi platelet ke berbagai agonis dan mengurangi masalah jantung pada
pasien yang berisiko tinggi menjalani PCI. Agen ini dapat mencegah terjadinya
agregasi trombosit. Abciximbab, tirofiban telah disetujui untuk pengobatan
NSTEMI. Pada NSTEMI, pemberian inhibitor (GP)IIb/III dapat berkurang ketika
inhibitor platelet P2Y12 digunakan sebelumnya (Dipiro et al., 2015).
2.11.2.2.2.2 Antikoagulan
Beberapa penelitian membuktikan pemberian antikoagulan sebagai terapi
tambahan terhadap aspirin dalam mengobati kejadian NSTEMI. Pada pedoman
AHA menyatakan pada NSTEMI harus diobati dengan heparin kecuali ada
kontraindikasi (Horn dan Maniu, 2007) . Dimana diantaranya yang termasuk
dalam golongan ini adalah UFH, LMWH, Fondaparinux,, dan bivalirudin.
Rekomendasi dosis yang aman pada fondaparinux adalah 2,5 mg setiap hari.
Tambahan UFH dalam dosis 50-100 U/kg bolus diperlukan selama PCI karena
tingginya insiden trombosis kateter (Daga et al., 2011).
2.11.2.2.2.3 Beta Blocker
Beta bloker merupakan pilihan dalam NSTEMI karena dapat menurunkan
kerja jantung dan mengurangi kebutuhan oksigen. Jika tidak terdapat
kontraindikasi, beta bloker dapat diberikan pada pasien NSTEMI dalam waktu 24
jam setelah masuk rumah sakit (Dipiro et al., 2015).
2.11.2.2.2.4 Calcium Channel Blocker (CCB)
Penghambat kalsium dapat mengurangi kalsium dalam sel sehingga dapat
mengurangi kontraksi otot miokard dan vaskular. Verapamil dan diltiazem telah
dipelajari dalam mengobati pasien NSTEMI (Horn dan Maniu, 2007).
36
Tetapi dijelaskan pada sebelumnya bahwa pemakaian CCB tidak boleh ditangani
untuk pasien sindrom koroner akut (Dipiro et al., 2015).
2.11.2.2.2.5 Statin
Statin telah menunjukkan manfaat pada NSTEMI, terutama pada kadar
lipid serum. Obat ini diberikan dalam terapi hipolipidemia, mengurangi kejadian
kardiovaskular, karena relative efektif dengan efek samping sedikit serta
merupakan obat pilihan pertama (DEPKESRI, 2006). Statin direkomendasikan
pada pasien NSTEMI, terlepas dari kadar kolestrol, dimulai dari awal setelah
masuk rumah sakit agar mencapai kadar LDL <70mg/dL. Atorvastatin merupakan
agen yang dipilih dengan dosis 80 mg per hari (Daga et al., 2011).
2.12 Tinjauan Pustaka Obat
2.12.1 Struktur Bisoprolol
Gambar 2.7 Struktur Bisoprolol (C18H31NO4, BM 325,44 g/mol) (Color Atlas
3rd
Edition, )
Semua ß-bloker mempunyai struktur kimia yang mirip dengan
isoproterenol. Isoproterenol adalah obat adrenergik/agonis yang dapat menduduki
semua reseptor-ß, disebut adrenergik karena efek yang ditimbulkan mirip
perangsangan saraf adrenergik atau mirip efek neurotransmitter norepinefrin dan
epinefrin. Bisoprolol merupakan senyawa antagonis selektif-ß1 mempunyai
karakteristik utama yaitu substituen terletak pada posisi para. Substitusi isopropil
pada gugus amin sekunder diperlukan untuk berinteraksi dengan adrenoreseptor-
ß. Subtitusi pada cincin aromatik menentukan kardioselektivitasnya, sedangkan
gugus hidroksi alifatik diperlukan untuk aktivitasnya (Setiawati dan Gan, 2009).
37
2.12.2 Indikasi
Bisoprolol digunakan dalam pengobatan pasien dengan penyakit arteri
koroner (CAD), terutama bila mereka memiliki infark miokard. Beta bloker
sendiri dipakai pada hipertensi ringan atau sedang, atau dalam kombinasi dengan
obat lain. Beta bloker dipakai untuk mengobati keluhan, seperti (Charoo et al.,
2014):
a) Aritmia
b) Angina pektoris
c) Neurosis ansietas
d) Migrain
2.12.3 Farmakodinamik
Gambar 2.8 Mekanisme agen beta blocker (NE : Norepinefrin; Gs: G-protein
stimulasi; AC: adenylyl cyclase; PK-A cAMP: protein kinase; SR: retikulum
sarkoplasma) (Klabunde, 2016).
Bisoprolol adalah antagonis β1-adrenoseptor kardioselektif yang
kompetitif. Aktivasi reseptor ß1 (terletak di jantung) oleh epinefrin dapat
meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, sehingga jantung mengkonsumsi
lebih banyak oksigen (Drugbank, 2018). Bisoprolol mengikat reseptor beta
38
sehingga menghalangi pengikatan norepinefrin dan epinefrin yang beredar di
darah dan jantung, dan dilepas oleh saraf simpatik adrenergik. Hal tersebut
menurunkan denyut jantung dan tekanan darah, dan dapat mengurangi
kontraktilitas miokard, sehingga mengurangi kebutuhan oksigen (Klabunde,
2016). Selain itu efek dari bloker ß1-adrenergik selektif dapat menghambat
pelepasan hormon renin yang menyebabkan turunnya kadar angiotensin II dan
sekresi aldosteron. Hal ini dapat mengurangi retensi air dan natrium sehingga
menurunkan tekanan darah (Syamsudin, 2011). Bisoprolol memiliki durasi
panjang. Efek obat ini menetap selama 24 jam pada dosis ≥ 5 mg. Pada efek
metabolisme lemak, bisoprolol dapat memperbaiki profil lipid pada pasien
dyslipidemia, dengan menurunkan kadar trigliserid dan kadar LDL. Berbeda
dengan β-bloker lainnya yang tidak memiliki sifat kardioselektif (Setiawati dan
Gan, 2009).
2.12.4 Farmakokinetik
Bisoprolol sangat mudah larut dalam air. Hal ini dapat terserap baik
setelah pemberian oral dengan bioavaibilitas >90% dan memiliki ikatan protein
plasma yang rendah sebanyak 30%. Bisoprolol dimetabolisme di hati dalam
metabolit tidak aktif (50%) dan dieleminasi (50%) (de Groote et al., 2007) .
Bisoprolol mempunyai waktu paruh panjang selama 10-12 jam dan diekskresi
lewat ginjal. Pemberian satu hari sekali lebih efektif karena waktu paruhnya yang
lama (Depkes, 2006).
Farmakokinetik bisoprolol sedikit berubah pada pasien dengan gangguan
hati atau dengan klirens kreatinin 10 dan 30 mL/menit. Pada pasien dengan
gangguan ginjal berat (klirens kreatinin <10 mL/menit), waktu paruh eleminasi
meningkat menjadi 24 jam (de Groote et al., 2007).
2.12.5 Penggunaan Bisoprolol pada Terapi Jantung Koroner dan Mekanisme
Kerja
β1- adrenoreseptor ditemukan terdapat pada jaringan jantung, ginjal, dan
jaringan adiposa, sedangkan β2- adrenoreseptor terdapat pada sistem pernapasan,
pembuluh darah perifer, hati, dan pankreas. β1- adrenoreseptor yang mana
39
kehadiran mereka dapat meningkatkan detak jantung, kekuatan kontraksi dan
meningkatkan laju relaksasi (Lin et al., 2013).
Hal umum yang ditemukan pada pasien CAD adalah peningkatan tekanan
darah, angina pektoris, dan MI. Beta blocker sangat disarankan pada pasca-MI
dan pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. Bisoprolol secara selektif dan
kompetitif menghambat katekolamin (adrenalin) reseptor adrenergik beta-1 yang
terutama pada hipertensi dan dapat mengurangi efek samping yang mungkin
terjadi pada penghambat beta nonspesifik dalam menyumbat adrenoreseptor
lainnya (ß2, ß3, α1, α2). Kemampuan dari bisoprolol dapat meningkatkan suplai
dan permintaan oksigen yang dapat mengurangi iskemi miokard dan remodeling
jantung (Lin et al., 2013). Pada dosis tinggi (>20mg) bisoprolol dapat secara
kompetitif memblokir reseptor ß2-adrenergik pada otot polos bronkial dan
vaskular yang menyebabkan bronkospasme dan vasodilatasi (Drugbank, 2018).
2.12.6 Dosis dan Rute Pemberian
Konsentrasi terapeutik yang dapat dicapai pada tablet bisoprolol 10 mg
berkisar 10-50 ng/mL. Dalam rentang konsentrasi ini, detak jantung menurun
secara linear dengan konsentrasi plasma. Dosis 5 mg, efektif dalam menurunkan
tekanan darah dan denyut jantung pada pasien angina pectoris dengan riwayat
jantung yang lama. Dosis lebih tinggi (>30mg) dapat menyebabkan gangguan
fungsi bronchomotor (Charoo et al., 2014)
2.12.7 Efek Samping
Seperti beta blocker lainnya, efek samping bisoprolol yang umum diamati
adalah tekanan darah rendah, muntah, diare, kelelahan, lemah, sakit kepala, dan
sesak nafas. Secara umum, beta blocker aman dan dapat ditoleransi dengan baik
dengan indeks terapeutik yang luas. Toleransi bisoprolol antara 5-10 mg/hari dan
telah diselidiki dengan baik dalam studi klinis multisenter terbuka yang
melibatkan pasien hipertensi pada tahun 2012 (Charoo et al., 2014).
40
Tabel 2.9 Efek Samping Bisoprolol
Organ Gejala
Kardiovaskular Bradikardia, cold extremities, nyeri
dada, hipotensi, gagal jantung
Sistem saraf otonom Mulut kering
Sistem saraf pusat Pusing, sakit kepala, vertigo, penurunan
ansietas, lemas, konsentrasi berkurang
Gastrointestinal Gastritis, nyeri perut, mual/muntah,
dyspepsia, diare, konstipasi
Psikiatrik Insomnia, depresi
Muskuloskeletal Sakit leher, sakit/kram otot, tremor
Kulit Jerawat, ruam, eksim, iritasi, gatal-
gatal, kulit kemerahan, berkeringat,
alopesia, dermatitis
Metabolik Penyakit gour, hiperkalemia,
hipoglikemi
Pernafasan Asma, bronkospasme, batuk, dispnea,
faringitis, rinitis, sinusitis
Hematologi Purpura
Genitourinaria Menurunnya libido/impotensi, sistitis,
kolik ginjal, meningkatkan kadar
kreatinin dan BUN
Khusus Sakit mata, gangguan visual, sakit
telinga, peningkatan serum asam urat,
kalium dan fosfor
Lain-lain Kelemahan, letih, nyeri dada
(Tatro, 2003)
41
2.12.8 Nama Dagang Indonesia
Ada berbagai nama dagang bisoprolol yang beredar di Indonesia seperti
yang terdaftar dalam ISO 2013 dan MIMS 2010. Nama dagang, kandungan, dan
bentuk sediaan yang terdapat di Indonesia dapat dilihat pada tabel.
Tabel 2.10 Nama dagang, bentuk sediaan, dan kandungan bisoprolol di Indonesia
No. Merk/Pabrik Dosis Bentuk
Sediaan
1. B-BETA
Ferron
Bisoprolol fummarate 5 mg
Dosis awal : 5 mg 1 x/hr, dapat
ditingkatkan menjadi 10-20 mg 1 x/hr.
Pasien dengan bronkospastik,
bersihkan kreatinin <40 ml/menit.
Awal 2,5 mg 1 x/hr.
Tablet salut
selaput 5 mg
2. BETA-ONE
Hexpharm
Dosis : 5-10 mg 1 x/hr
Pasien dengan penyakit ginjal, hepar,
dan paru : 2,5 mg/hr.
Tab 2,5 mg, 5
mg
3. BISCOR
Dexa Medica
Bisoprolol fummarate 5 mg
Dosis awal : 5 mg 1 x/hr, dapat
ditingkatkan menjadi 10-20 mg 1 x/hr.
Pasien dengan bronkospastik, penyakit
hati (hepatitis atau sirosis), dan
gangguan fungsi ginjal ( bersihkan
kreatinin <40 ml/menit) Awal 2,5 mg
1 x/hr
Tab salut
selaput 5 mg
4. BISOPROLOL
Hexapharm
Awal : 5 mg 1 x/hr, dapat ditingkatkan
s/d 10-20 mg 1 x/hr.
Tab 5 mg
5. BISOPROLOL
OGB DEXA
Dexa Medica
awal : 5 mg 1 x/hr, dapat ditingkatkan
menjadi 10-20 mg 1 x/hr.
Tab salut
selaput 5 mg
42
6. BISOVELL
Novell Pharma
Gagal jantung kronik
Awal 1,25 1 x/hr selama 1 minggu
dapat dinaikkan menjadi 2,5 1//hr
untuk minggu selanjutnya, lalu 5 mg 1
x/hr selama 4 minggu, lalu 10 mg 1
x/hr untuk dosis pemeliharaan.
Hipertensi dan angina pektoris 5 mg 1
x/hr.
Tab salut
selaput 5 mg
7. CONCOR
Merck
1 tab (5 mg)/hr pagi hari. Dosis rata-
rata : 5-10 mg/hr; beberapa pasien
ditingkatkan sampai 20 mg/hr. Gagal
jantung kronik stabil awal 1,25 mg 1
x/hr pada minggu pertama dan dosis
ditritasi meningkat secara bertahap.
Pemeliharaan : 10 mg 1 x/hr.
Tab 2,5 mg, 5
mg
8. HAPSEN
Pharos
Hipertensi 1 tab 1 x/hr, ditingkatkan
s/d 4 tab (20 mg)/hr. Gagal jantung
kronik stabil
Awal 1,25 mg/hr pada minggu
pertama, dosis ditritasi sebesar 2.5
mg-3,75 mg-5 mg/hr tiap minggu.
Titrasi dosis dilanjutkan sebesar 7,5-
10 mg/hr tiap bulan. Besarnya dosis
pemeliharaan didasarkan pada
toleransi pasien.
Tab salut
selaput 5 mg
9. MAINTATE
Tanabe
Indonesia
1 tab (5 mg)/hr pada pagi hari. Dosis
rata-rata : 5-10 mg/hr; Awal 1,25 mg 1
x/hr pada minggu pertama dan
ditingkatkan dosis menjadi 2,5 mg/hr
selama 1 minggu.
Pemeliharaan : 5 mg/hr selama 4
minggu, kemudian 7,5 mg/hr selama 4
minggu, kemudian 7,5 mg/hari selama
4 minggu, kemudian 10 mg 1 x/hr
tergantung toleribilitas pasien.
Tab salut
selaput 2,5 mg
5 mg