tinjauan pustaka autisme
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Autism
2.1.1 Definisi Autism
Autism pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943.
Kanner menyebutkan bahwa autism adalah suatu gangguan perkembangan
yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas
imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun
(Suryana, 2004). Menurut dr. Faisal Yatim (dalam Suryana, 2004), autism
bukanlah gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala)
dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan
berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autism hidup
dalam dunianya sendiri. Autism tidak termasuk ke dalam golongan suatu
penyakit tetapi suatu kumpulan gejala kelainan perilaku dan kemajuan
perkembangan. Dengan kata lain, pada anak Autism terjadi kelainan emosi,
intelektual dan kemauan atau yang disebut dengan gangguan pervasif
(Suryana, 2004).
Berdasarkan hal di atas, maka autism adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menggambarkan suatu jenis gangguan perkembangan
pervasif pada anak yang mengakibatkan gangguan atau keterlambatan
pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial
(Widyawati, 1997).
5
2.1.2 Etiologi Autism
Berikut ini beberapa dugaan penyebab autism dan diagnosis medisnya:
1. Gangguan Susunan Saraf Pusat
Eric Courchesne dari Departement of Neurososciences, School of
Medicine, University of California, SanDiego, melakukan MRI pada para
penyandang autism dan menemukan bahwa cerebellum pada sebagian
penyandang autism lebih kecil dari pada anak normal, yaitu terutama pada
lobus ke VI-VII. Penemuannya ini kemudian makin dikukuhkan oleh 17
penelitian lain yang dilakukan di sepuluh pusat penelitian, antara lain di
Kanada, Francis dan Jepang. Penelitian ini melibatkan 250 penyandang
autism, dimana pada kebanyakan dari mereka ditemukan pengecilan
cerebellum. Cerebellum ini ternyata bertanggung jawab atas berbagai
fungís penting dalam kehidupan yaitu proses sensoris, daya ingat, berpikir
dan juga proses atensi atau perhatian (Maulana, 2007).
Selain cerebellum juga terjadi gangguan sistem limbik pada anak
autism. Sistem limbik merupakan pusat emosi yang terletak dibagian
dalam otak. Penelitian Barman dan Kemper (S.M. Edelson, 1995)
menemukan adanya kelainan yang khas di daerah sistem limbik yang
disebut hippocampus dan amygdala. Dalam kedua organ tersebut sel-sel
neuron tumbuh dengan padat dan kecil-kecil, sehingga fungsinya menjadi
kurang baik. Kelainan itu diperkirakan terjadi semasa janin (Kuwanto &
Natalia, 2001).
6
2. Peradangan Dinding Usus
Sejumlah anak penderita gangguan autism umumnya memiliki
pencernaan buruk dan ditemukan adanya peradangan usus. Peradangan
tersebut diduga disebabkan oleh virus. Mungkin ini berasal dari virus
campak. Hal inilah yang mengakibatkan banyak orang tua menolak
imunisasi MMR (measles, mumps, rubella) karena diduga menjadi
penyebab autis pada anak. Penemuan ini diperkuat dengan sejumlah riset
ahli medis lainnya (Suryana, 2004).
3. Faktor Genetika
Gejala autis pada anak disebabkan oleh faktor turunan. Setidaknya
telah ditemukan dua puluh gen yang terkait dengan autism. Akan tetapi
gejala autism baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Autism
bisa saja tidak muncul meskipun anak membawa gen autism. Jadi, ini
memerlukan faktor pemicu lain (Suryana, 2004).
4. Keracunan Logam Berat
Belakangan ini banyak beredar makanan ringan dan aneka mainan
yang mengandung bahan logam berat. Kandungan logam berat ini diduga
sebagai penyebab kerusakan otak pada anak autis. Hal ini bisa saja terjadi
karena adanya sekresi logam berat dari tubuh terganggu secara genetis.
Beberapa logam berat seperti arsenik (As), antimon (Sb), kadmium (Cd),
air raksa (Hg), dan timbal (Pb) adalah racun otak yang sangat kuat.
Kemungkinan lain anak autis disebabkan karena keracunan merkuri.
Keracunan merkuri pada anak-anak autis masih dapat ditanggulangi
7
dengan melakukan terapi kelasi, yaitu dengan mengeluarkan merkuri dari
otak mereka (Suryana, 2004).
Sampel urine dari ratusan anak Prancis membuktikan adanya
hubungan antara autism dan paparan logam berat. Bila ini benar, maka
beberapa kasus autism dapat disembuhkan dengan kelasi. Sampel urine
anak-anak autism mengandung kadar porfirin yang sangat tinggi. Porfirin
adalah suatu jenis protein yang memegang peran penting dalam
memproduksi haem, yaitu komponon yang membawa oksigen dalam
hemoglobin. Logam berat menghalangi produksi haem dan menyebabkan
porfirin tertumpuk dalam urine. Konsentrasi dari molekul coproporphyrin
26 kali lebih tinggi dalam urine anak autism dibandingkan dengan anak
normal (Suryana, 2004).
Richard Lathe dari Pieta Research di Edinburgh, Inggris,
mengatakan bahwa kemungkinan besar autism terjadi karena logam-logam
berat tersebut. Menurut Lathe, metabolit porfirin mengikat reseptor di otak
dan dapat menimbulkan epilepsi dan autism. Para peneliti tersebut
mengembalikan kadar porfirin menjadi normal pada dua belas anak
dengan cara melakukan kelasi, yaitu membersihkan dan mengeluarkan
logam berat dari tubuh. Belum diketahui apakah gejala anak-anak tersebut
telah membaik. Akan tetapi menurut Lathe, ia mendapatkan laporan yang
positif (Maulana, 2007).
2.1.3 Tanda, Gejala dan Diagnosa Autism
Pada anak autism, tanda dan gejala dapat dilihat berdasarkan DSM-
IV dengan cara seksama mengamati perilaku anak dalam berkomunikasi,
8
bertingkah laku dan tingkat perkembangannya, yakni yang terdapat pada
penderita autism dengan membedakan usia anak. Tanda dan gejala tersebut
dapat terlihat sejak bayi dan harus diwaspadai.
Tabel 2.2 Pola Perilaku Pada Penderita AutismUSIA TANDA DAN GEJALA AWAL
0-6
bulan
Bayi tampak terlalu tenang (jarang menangis)
Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila
mandi
Tidak “babbling”
Tidak ditemukan senyum sosial di atas 10 minggu
Tidak ada kontak mata di atas umur 3 bulan
Perkembangan motor kasar/halus sering tampak
normal
6-12
bulan
Bayi tampak terlalu tenang (jarang menangis)
Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
Gerakan tangan dan kaki berlebihan
Sulit bila digendong
Menggigit tangan dan badan orang lain secara
berlebihan
Tidak ditemukan senyum sosial
Tidak ada kontak mata
Perkembangan motor kasar/halus sering tampak
normal
1-2
tahun
Kaku bila digendong
Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da
da)
Tidak mengeluarkan kata
Tidak tertarik pada boneka
Memperhatikan tangannya sendiri
Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor
9
kasar/halus
Mungkin tidak dapat menerima makanan cair
2-3
tahun
Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
Melihat orang sebagai “benda”
Kontak mata terbatas
Tertarik pada benda tertentu
Kaku bila digendong
4-5
tahun
Sering didapatkan ekolalia (membeo)
Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau
datar)
Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala) dan
temper tantrum
Sumber: DSM-IV, 2005
Kriteria Gangguan Autistik dalam DSM-IV, enam atau lebih dari
kriteria pada A, B, dan C di bawah ini, dengan minimal dua kriteria dari A
dan masing-masing satu dari B dan C:
A. Dalam interaksi sosial yang terwujud dalam minimal dua dari kriteria
berikut:
1. Tampak jelas dalam penggunaan perilaku nonverbal seperti kontak
mata, ekspresi wajah, bahasa tubuh.
2. Kelemahan dalam perkembangan hubungan dengan anak-anak
sebaya sesuai dengan tahap perkembangan.
3. Kurang melakukan hal-hal atau aktivitas bersama orang lain secara
spontan.
4. Kurangnya ketimbalbalikan sosial atau emosional.
10
B. Dalam komunikasi seperti terwujud dalam minimal satu dari kriteria
berikut:
1. Keterlambatan atau sangat kurangnya bahasa bicara tanpa upaya
untuk menggantinya dengan gerakan nonverbal.
2. Pada mereka yang cukup mampu berbicara, yang tampak jelas
dalam kemampuan untuk mengawali atau mempertahankan
percakapan dengan orang lain.
3. Bahasa yang diulang-ulang atau idiosinkratik
4. Kurang bermain sesuai tahap perkembangannya
C. Perilaku atau minat yang diulang-ulang atau stereotip, terwujud dalam
minimal satu dari kriteria berikut ini:
1. Preokupasi yang tidak normal pada obyek atau aktivitas tertentu
2. Keterikatan yang kaku pada ritual tertentu
3. Tingkah laku stereotip
4. Preokupasi yang tidak normal pada bagian tertentu dari suatu
obyek
Keterlambatan dalam minimal satu dari bidang berikut, berawal
sebelum usia 3 tahun: interaksi sosial, bahasa untuk berkomunikasi dengan
orang lain, atau permainan imajinatif (Maulana, 2007).
2.1.4 Penatalaksanaan Autism
Selama ini obat yang diberikan untuk mengatasi autism berupa
obat antipsikotik yang berefek sebagai pengatur kadar emosional. Padahal,
pemberian obat semacam antipsikotik hanya cenderung menjadikan anak
lebih pasif dan memungkinkan mengalami penurunan inteligensi. Sejauh
11
ini belum ada kejelasan bahwa obat-obatan tertentu dapat memberikan
kemajuan dalam mengatasi perilaku autistik. Begitu juga dengan suplemen
yang banyak digunakan untuk anak autism belum bisa dipastikan
efektivitasnya (Maulana, 2007).
Hakikatnya, anak autism memerlukan perawatan atau intervensi
terapi secara dini, terpadu, dan intensif. Dengan intervensi terapi yang
sesuai, penyandang autism dapat mengalami perbaikan dan dapat
mengatasi perilaku autistiknya sehingga mereka dapat bergaul secara
normal, tumbuh sebagai orang dewasa yang sehat dan dapat hidup mandiri
di masyarakat. Berbagai macam terapi yaitu :
1. Terapi Wicara
Suara, kata-kata, kalimat dapat diajarkan pada anak autism sesuai dengan
kemampuan anak. Terapi wicara diharapkan dapat membantu anak autis
yang mengalami gangguan bicara dan komunikasi. Dengan kemampuan
berkomunikasi antara lain anak autism akan terhindar dari tantrum dan
menumbuhkan keyakinan bahwa dia tidak sendiri dan ada orang-orang
yang menyayanginya. Komunikasi juga menyangkut pemahaman dan
pengertian mengenai apa yang disampaikan orang lain, termasuk
bagaimana meresponsnya sehingga terjadi interaksi.
2. Terapi Perilaku/Metode Lovaas
Merupakan terapi perilaku melalui pelatihan dan pendidikan yang
melibatkan keluarga dan orang terdekat. Program ini diajarkan secara
sistematik, terstruktur dan terukur dengan jadwal yang telah disusun.
Diharapkan anak dapat mempunyai perilaku yang baik dalam merespons,
12
berinteraksi dengan orang lain dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan
pribadinya.
3. Terapi okupasi
Membantu integrasi sensorik dan keterampilan motorik agar dapat
melakukan kegiatan lebih aktif, terarah, dan terpadu. Dengan aktif
bergerak, metabolisme tubuh menjadi lebih baik, demikian juga dengan
detak jantung dan pencernaan yang menjadi lebih baik. Terapi ini juga
dapat digunakan untuk pelatihan emosional anak. Tujuan terapi okupasi
adalah pengembangan aktivitas fisik, intelektual, sosial, emosi, maupun
kreativitas.
4. Terapi Integrasi Sensorik
Terapi ini dirancang untuk memberikan perangsangan vestibular
(keseimbangan), propioseptip (gerak, tekan & posisi sendi otot), taktil
(raba/sentuhan), auditori (pendengaran), dan visual (penglihatan). Anak
autism dilatih menghadapi sensitivitas indera. Terapi ini berbentuk
permainan, sehingga terapi integrasi sensorik dan aktivitas sosial yang
dijalani anak bersifat rekreasi. Terapi ini meliputi juga terapi sentuhan ;
setiap anak autism membutuhkan pelukan, sentuhan, rasa aman, dan kasih
sayang.
5. Intervensi Biomedis
Tujuan dari intervensi biomedis adalah memperbaiki metabolisme tubuh
dengan obat, vitamin, suplemen, makanan dan terapi diet, juga
mengeluarkan logam berat (kelasi).
6. Terapi Diet
13
Mengatur pola makan, mencakup jenis makanan, porsi, dan cara
pengkonsumsian. Orang tua/keluarga seharusnya mengenal betul jenis
makanan apa saja yang dapat menyebabkan efek negatif seperti alergi,
intoleransi terhadap makanan, hiperaktif, dan lain-lain sehingga tidak
sampai salah dalam menyuguhkan makanan. Terapi diet sangat penting
sebab jenis makanan yang dikonsumsi sangat berpengaruh terhadap anak
autism. Apabila diet dilanggar dapat memperparah perilaku autistiknya.
7. Terapi floor time
Yaitu dengan pendekatan interaktif antara anak dengan orang tua atau
keluarga.
8. Terapi musik
Musik ternyata mampu memengaruhi perkembangan intelektual dan
membuat anak autism pintar bersosialisasi. Terapi musik merupakan
penggunaan dari suara dan musik dalam proses membina hubungan antara
anak dengan terapis, yang ditujukan untuk mendukung dan meningkatkan
kemampuan fisik, mental, sosial dan emosional anak (Maulana, 2007).
2.2 Konsep Dasar Emosi
2.2.1 Definisi Emosi
Kata "emosi" diturunkan dari kata bahasa Perancis, émotion, dari
émouvoir, 'kegembiraan' dari bahasa Latin emovere, dari e 'luar' dan
movere 'bergerak'. Emosi adalah sebagai sesuatu suasana yang kompleks
dan getaran jiwa yang menyertai atau munculnya sebelum dan sesudah
terjadinya perilaku (Syamsudin, 2005). Emosi sebagai suatu peristiwa
psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut :
14
- Lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti
pengamatan dan berpikir.
- Bersifat fluktuatif ( tidak tetap ).
- Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera
(Syamsudin, 2005).
Mengenai ciri – ciri emosi ini dapat dibedakan antara emosi anak
dan emosi pada orang dewasa sebagai berikut :
Emosi pada Anak Emosi pada Orang Dewasa
1.
2.
3.
4.
5.
Berlangsung singkat danberakhir tiba-tiba
Terlihat lebih hebat dan kuat
Bersifat sementara/dangkal
Lebih sering terjadi
Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya
1.
2.
3.
4.
5.
Berlangsung lebih lama dan berakhir dengan lambat
Tidak terlihat hebat/kuat
Tidak bersifat sementara
Jarang terjadi
Sulit diketahui karena lebih pandai menyembunyikannya
2.2.2 Teori Emosi
Teori emosi Walgito, 1997 (dalam DR. Nyayu Khodijah),
mengemukakan tiga teori emosi, yaitu :
1. Teori Sentral. Menurut teori ini, gejala kejasmanian merupakan akibat
dari emosi yang dialami oleh individu, jadi individu mengalami emosi
terlebih dahulu baru kemudian mengalami perubahan-perubahan
dalam kejasmaniannya. Contohnya orang menangis karena merasa
sedih
2. Teori Periferal. Teori ini dikemukakan oleh seorang ahli berasal dari
Amerika Serikat bernama William James (1842-1910). Menurut teori
15
ini justru sebaliknya, gejala-gejala kejasmanian bukanlah merupakan
akibat dari emosi yang dialami oleh individu, tetapi malahan emosi
yang dialami oleh individu merupakan akibat dari gejala-gejala
kejasmanian. Menurut teori ini, orang tidak menangis karena susah,
tetapi sebaliknya ia susah karena menangis.
3. Teori Kepribadian Menurut teori ini, emosi ini merupakan suatu
aktifitas pribadi, dimana pribadi ini tidak dapat dipisah-pisahkan
dalam jasmani dan psikis sebagai dua substansi yang terpisah. Karena
itu, maka emosi meliputi pula perubahan-perubahan kejasmanian.
2.2.3 Neurofisiologi Emosi
Emosi merupakan ekspresi dari mekanisma dasar oleh regulasi
hidup yang terbentuk saat berevolusi dan merupakan suatu yang penting
dalam kelansungan hidup (Fairuz, 2010).
Emosi yang utama adalah marah, takut, dan sedih. Emosi negatif
seperti marah dan takut bisa membentuk perilaku menghindar dan
mempertahankan diri sedangkan emosi positif yang berupa kesenangan
bisa membantu dalam memfasilitasi ingestif, eksplorasi dan perilaku
seksial. Oleh sebab itu, emosi dan perasaan bisa membantu dalam
mencapai homeostasis atau memfasilitasi perilaku adaptif (Syamsudin,
2005).
Menurut teori James-Lange, emosi dirasakan apabila organisma
sedar akan perubahan visera dan somatic yang diinduksi oleh sesuatu
peristiwa. Beberapa kombinasi spesifik antara perubahan visera akan
memproduksi emosi (Syamsudin, 2005).
16
Menurut teori thalamic oleh Cannon-Bard pula, peristiwa di
kortikal yang terjadi berbarengan dengan batang otak akan menghasilkan
emosi. Secara normalnya, korteks akan menghambat talamus. Emosi
memproduksi peristiwa yang akan menghilangkan hambatan ini. Impuls
yang dirilis ke sistem saraf otonom menghasilkan perilaku emosional
(Syamsudin, 2005).
Teori Schachter dan Singer mengusulkan bahwa emosi dan
perilaku emosional terjadi sebagai hasil dari informasi dari dua sistem:
keadaan internal yang diatur oleh hipotalamus dan sistem limbik dan
lingkungan eksternal atau konteks di mana keadaan internal terjadi
(Syamsudin, 2005).
2.2.3.1 Sistem limbik
Sistem limbik merupakan suatu struktur yang kompleks yang
terdapat dikedua bagian thalamus bahagian bawah dari serebrum. Ia terdiri
dari hypothalamus, hippocampus, amygdala dan beberapa bagian yang
17
Gambar 2.1 Sistem Limbik (Tessa, 2007)
berdekatan dengannya. Didapati sistem ini terlibat secara primer terhadap
emosi dan bertanggungjawab dalam pembentukan ingatan (Fairuz, 2010).
Sistem limbik digunakan untuk memodulasi kualiti emosi dari
stimulus dan mendukung mekanisma efektor otonomik yang berkaitan
dengan keadaan emosi. Struktur kunci dari sistem limbic yang memiliki
peran penting dalam ekspresi emosi adalah amygdala. Amigdala memiliki
peran penting dalam mengevaluasi valens emosi dari stimulus. Pendapat
ini telah didukung oleh pelbagai penelitian terhadap lesi yang terjadi pada
amigdala. Kecederaan pada bagian lain dari sistem limbic juga bisa
menyebabkan terjadinya perubahan pada perilaku emosi (Gionani, 2003)
2.2.3.4 Amigdala
Amigdala merupakan dua massa neuron yang berbentuk seperti
kacang almond yang terdapat dikedua bagian thalamus dibagian ujung
bawah dari hippocampus. Stimulasi elektris amigdala akan menimbulkan
perasaan takut dan cemas, dan turut meningkat aktivitas otonom (Fairuz,
2010).
Amigdala memiliki peranan penting dalam kondisi atau
mempelajari takut. Juga diketahui bahwa amigdala bukan saja terlibat
18
Gambar 2.2: Amygdala (Sunarti, 2001)
dalam evaluasi kognitif dari stimuli emosi, bahkan turut terlibat dalam
assosiasi proses belajar dari stimuli yang memprediksi peristiwa
permusuhan. Amigdala juga mungkin terlibat dalam “memori emosi”.kita
lebih bisa mengingat kembali peristiwa yang memberikan pengalaman
emosi yang kuat dan negatif berbanding peristiwa yang tidak memberikan
kita sebarang pengalaman. Teradapat studi kasus yang mengilustrasikan
kepentingan amigdala dalam mengenali stimuli emosi. Amigdala manusia
juga terlibat dalam memproses ekspresi wajah bagi emosi terutama yang
berkaitan dengan ketakutan. Kerusakan pada amigdala akan menyebabkan
kusukaran dalam menghubungkan representasi visual dari ekspresi wajah
dengan perasaan takut (Syamsudin, 2005)
2.2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Emosi
Pertumbuhan dan perkembangan emosi seperti juga pada tingkah
laku lainnya, ditentukan oleh proses pematangan dan proses belajar.
Pengaruh kebudayaan besar sekali terhadap perkembangan emosi, karena
dalam tiap-tiap kebudayaan diajarkan cara menyatakan emosi yang
konvensional dan khas dalam kebudayaan yang bersangkutan, sehingga
ekspresi emosi tersebut dapat dimengerti oleh orang-orang lain dalam
kebudayaan yang sama (Denny, 2008). Ada beberapa contoh pengaruh
emosi terhadap perilaku individu diantaranya :
Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas
hasil yang telah dicapai.
19
Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan
dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa
(frustasi).
Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang
mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup
(nervous ) dan gagap dalam berbicara.
Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri
hati.
Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa
kecilnya akan mempengaruhi sikapnya dikemudian hari, baik terhadap
dirinya sendiri maupun terhadap orang lain (Denny, 2008).
2.2.4 Gangguan Pada Emosi
Secara fisiologis, simtem limbik yang terdapat di dalam susunan
syaraf manusia sering dikaitkan dengan emosi ini (Kotter, et.al., 1997)
sehingga gangguan pada sistem limbik dapat mengakibatkan kesulitan
mengendalikan emosi. Reaksi mudah mengamuk, marah, agresif,
menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa tanpa
stimulus yang jelas sebagai akibat dari adanya gangguan pada sistem
limbik. Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas
dengan alasan tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar,
atau menarik rambut adalah contoh reaksi emosi yang berujud perilaku
sebagai akibat gangguan sistem limbik (Azwandi, 2005) .
Bidang fungsional dari syaraf pusat yang juga berpengaruh adalah
pemrosesan sensorik. Individu yang mengalami gangguan pemrosesan
20
sensorik tidak dapat mengintegrasikan data emosional yang masuk dan
menafsirkannya dari berbagai sudut pandang. Pemrosesan emosional dapat
dikacaukan oleh mereka yang terlampau reaktif atau kurang reaktif.
Reaktifitas sensorik atau gangguan pemrosesan dapat menyebabkan
kesalahan dalam menafsirkan informasi emosional yang diperoleh dari
sekelilingnya sehingga mengakibatkan reaksi emosional yang tidak tepat
(Denny, 2008).
2.2.4 Emosi Pada Autism
Dalam kasus-kasus tertentu permasalahan emosi pada anak autism
sangat beragam bentuknya. Temuan-temuan sebelumnya memperlihatkan
adanya indikasi kelemahan penyandang autism untuk mengenali emosi.
Seperti yang ditulis Bahon-Cohen et al (Castelli, 2005) yang menemukan
kelemahan yang spesifik pada pengenalan emosi penyandang autis
terhadap ekspresi terkejut (belief-based expression) dibanding emosi
senang dan sedih (reality-based expression). Namun Castelli dalam
penelitiannya yang berjudul Understanding Emotions from Standardized
Facial Expression in Autism and Normal Development, tahun 2005
menemukan bahwa anak penyandang autis dapat mengenali emosi dasar
(Happines, Anger, Sadness, Surprise, Fear, Disgust) melalui ekspresi
wajah. Tidak hanya pada saat mencocokkan gambar ekspresi wajah, tetapi
juga saat menamai masing-masing ekspresi tersebut. Beberapa penelitian
terdahulu ditemukan bahwa anak autis mengalami ketidakmampuan untuk
melakukan kontak afeksi dengan orang lain dan sulit membaca ekspresi
21
orang lain, mengalami kesulitan mengenali emosi tertentu dan kesulitan
mengekspresikan emosinya (Castelli, 2005).
Sistem limbik salah satu bagian otak yang mengalami kelainan
pada anak autis memiliki peranan yang penting dalam proses emosi pada
anak autis. Gangguan pada sistem limbik yang merupakan pusat emosi
mengakibatkan anak autis kesulitan mengendalikan emosi, mudah
mengamuk, marah, agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan
mendadak tertawa. Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak
beraktivitas dengan alasan tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit,
mencakar, atau menarik rambut (Azwandi, 2005).
Beberapa stimulus yang mengundang respon bagi anak-anak
autistik dapat berupa benda maupun peristiwa. Namun, adanya gangguan
pemrosesan pada anak autism dapat mengakibatkan reaksi emosional yang
tidak tepat atau ekstrim sehingga menyebabkan kebingungan dan
ketakutan. Dalam beberapa penelitian mengenai emosi pada anak autis
didapatkan beberapa stimulus yang menimbulkan respon emosi adalah
benda-benda yang ada di dalam kehidupan mereka sehari-hari (Wieder,
2006).
2.3 Terapi Musik
2.3.1 Definisi Terapi Musik
Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik atau elemen
musik oleh seorang terapis untuk meningkatkan, mempertahankan dan
mengembalikan kesehatan mental, fisik, emosional dan spritual. Dalam
kedokteran, terapi musik disebut sebagai terapi pelengkap
22
(Complementary Medicine). Potter (2001), mendefinisikan terapi musik
sebagai teknik yang digunakan untuk penyembuhan suatu penyakit dengan
menggunakan bunyi atau irama tertentu (Natalie, 2000).
2.3.2 Manfaat Terapi Musik
Manfaat terapi musik untuk kesehatan dan fungsi kerja otak telah
diketahui sejak zaman. Para dokter di masa Yunani dan Romawi Kuno
menganjurkan metode penyembuhan dengan mendengarkan permainan
alat musik seperti harpa atau flute. Peneliti dari Skotlandia, Maxwell, juga
sukses melakukan terapi penyembuhan epilepsi, lumpuh, depresi, bahkan
beberapa jenis demam dengan permainan musik. Secara psikologis,
pengaruh penyembuhan musik pada tubuh adalah pada kemampuan saraf
menangkap efek akustik. Kemudian dilanjutkan dengan respon tubuh
terhadap gelombang musik yaitu dengan meneruskan gelombang tersebut
ke seluruh sistem kerja tubuh (Natalie, 2000).
Jenis musik yang digunakan dalam terapi musik dapat disesuai
dengan keinginan, seperti musik klasik, intrumentalia, slow music,
orkestra, dan musik modern lainnya (Potter, 2005). Tapi tak semua jenis
musik memberi efek terapi penyembuhan. Beberapa penelitian menyebut
musik klasik dan musik tradisional memberi pengaruh paling baik. Pop
musik dan musik berirama dinamis justru disebut tak memiliki efek
positif. Sedangkan musik keras seperti rock atau hip hop justru merusak
karena mempengaruhi emosi (Natalie, 2000).
23
2.3.3 Terapi Musik pada Autism
Musik mampu mempengaruhi perkembangan intelektual dan
membuat anak autism pintar bersosialisasi. Hal ini sesuai dengan adanya
beberapa penelitian yang dilakukan pakar musik maupun pendidik anak di
dunia tentang efek positif yang dikeluarkan oleh suara musik.
Menurut psikolog anak Hermin R. Seviana, Psi, terapi musik
memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan pengalaman
emosi, integrasi dan kemampuan mengendalikan diri seorang anak autism.
Terapi musik merupakan penggunaan dari suara dan musik dalam proses
membina hubungan antara anak dengan terapis, yang ditujukan untuk
mendukung dan meningkatkan kemampuan fisik, mental, sosial dan
emosional anak. Hal ini merupakan cara yang efisien dan tepat dalam
mengembangkan kapasitas emosional, empati, kerja sama, belajar dan
interaksi sosial serta komunikasi pada anak autism (Denny, 2008).
Terapi musik memiliki efek terapi dan motivasi dimana musik
digunakan untuk mempengaruhi emosi dan memberikan stimulus serta
komunikasi emosional kepada anak. Di samping itu terapi musik ini juga
dapat diberikan kepada semua penderita autis dari berbagai umur yang
memiliki gangguan dengan emosi, kognitif, fisik dan gangguan
sensorinya. Musik dapat mempengaruhi dan mendukung anak untuk
terlibat secara spontan dalam interaksi dengan orang lain. Dengan
mendengarkan musik, anak autis cenderung bisa mendapatkan perasaan
aman dan bebas dari lingkungannya. Adapun tujuan utama dari terapi
musik adalah untuk menciptakan pengalaman anak dalam berinteraksi,
24
mengembangkan ekspresi self-other melalui keterlibatan emosional, dan
meningkatkan komunikasi anak (Denny, 2008).
Terapi musik memberikan dasar mengenai apa yang harus
dilakukan manusia dalam berinteraksi dengan orang lain, selain itu juga
menawarkan konteks di mana motivasi dari diri dapat dikembangkan.
Emosi dapat dialami, diekspresikan dan dibawa dalam komunikasi.
Dengan demikian, musik dapat memiliki pengaruh dalam perkembangan
mental anak yang mengalami gangguan autism (Nathalie, 2000).
2.3.4 Terapi Musik pada Emosi Anak Autism
Musik yang bagus akan menghasilkan ‘mood’ dan emosi yang
bagus. Karena dia dapat dianalisa secara matematis, dan logis, maka
manusia dapat mengembangkan musik itu lebih baik atau creativity
(Rahmintama, 2009). Musik dapat memberikan rangsangan-rangsangan
yang kaya untuk segala aspek perkembangan secara kognitif dan
kecerdasan emosional (EQ) (Denny, 2008).
Musik menghasilkan gelombang Alfa yang menenangkan yang
dapat merangsang sistem limbik jaringan neuron otak. Hasil penelitian
Herry Chunagi (1996) dan Siegel (1999), yang didasarkan atas teori
neuron (sel kondiktor pada sistem saraf), menjelaskan bahwa neuron akan
menjadi sirkuit jika ada rangsangan musik, rangsangan yang berupa
gerakan, elusan, suara mengakibatkan neuron yang terpisah bertautan dan
mengintegrasikan diri dalam sirkuit otak. Semakin banyak rangsangan
musik diberikan akan semakin kompleks jalinan antar neuron itu. Itulah
sebenarnya dasar adanya kemampuan matematika, logika, bahasa, musik,
25
dan emosi pada anak. Selanjutnya, Gordon Shaw (1996) dalam newsweek
(1996) mengatakan kecakapan dalam bidang yakni matematika, logika,
bahasa, musik dan emosi bisa dilatih sejak kanak-kanak melalui musik.
(Nathalie, 2000).
Jenis musik yang digunakan beraneka ragam dari musik klasik,
musik gamelan, hingga lagu anak-anak. Musik klasik adalah musik
instrument yang memiliki nilai seni dan ilmiahnya tinggi, berkadar
keindahan dan tak luntur sepanjang masa, yaitu gubahan dari aransemen
karya Wolfgang Amadus Mozart (1756-1791) yang terdapat pada kaset
The Mozart Effect (Music For Children). Vol. 1 yang berisi Rondo
(K.525), Allergo Mederato (K.211), Variations (K.2976), Andente No. 17
(K.129).
Musik gamelan yang digunakan biasanya berisi lagu jawa seperti
Bengawan Solo. Dengan menggunakan lagu anak-anak, anak autism juga
akan ikut berpatisipasi dalam menyanyikan lagu tersebut. Penelitian
Blackstock (1978) menunjukkan bahwa anak-anak dengan autism mampu
mengeskpresikan emosi dengan musik melalui gerakan ekspesif serta
meningkatkan kemampuan anak-anak autis untuk pemahaman emosi.
Lagu Topi saya bundar digunakan para terapis untuk membantu
proses pengajaran tentang bentuk bangun dari lingkaran pada anak autism.
Lagu Pelangi digunakan untuk membantu proses pengajaran tentang warna
yang ada di lingkungan sekitar (Suryadi, 2009). Sedangkan untuk
pengenalan ekspresi emosi menggunakan lagu disini senang, disana
senang (Simanjuntak, 2007).
26