tinjauan pustaka 2.1 pembangunan pertanian...pembangunan pertanian yang berpihak kepada petani....
TRANSCRIPT
31
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Pertanian
Paradigma pembangunan pertanian ke depan adalah pertanian
berkelanjutan yang berada dalam lingkup pembangunan manusia, yang bertumpu
pada peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia. Untuk
mewujudkan pertanian yang berkelanjutan harus memadukan tiga tujuan,
sebagaimana dikatakan oleh Gold dalam Mardikanto (2009), yaitu mengamankan
lingkungan, menguntungkan, dan meningkatkan kesejahteraan petani.Untuk
mencapai itu semua, pembangunan pertanian harus mengikutsertakan dan
menggerakkan masyarakat tani secara aktif dalam setiap proses pembangunan,
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil
pembangunan.
Todaro dan Smith (2011) mengatakan bahwa strategi pembangunan
ekonomi yang dilandaskan pada prioritas pertanian dan ketenagakerjaan paling
tidak memerlukan tiga unsur pelengkap dasar. Pertama, percepatan pertumbuhan
output melalui serangkaian penyesuaian teknologi, institutional, dan insentif harga
yang khusus dirancang untuk meningkatkan produktivitas para petani kecil.
Kedua, peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian yang
dihasilkan dari strategi pembangunan perkotaan yang berorientasikan pada upaya
pembinaan ketenagakerjaan. Ketiga, diversifikasi kegiatan pembangunan daerah
pedesaan yang bersifat padat karya (non pertanian), yang secara langsung dan
tidak langsung akan menunjang dan ditunjang oleh sektor pertanian.
32
Tujuan pembangunan pertanian yang dilakukan terutama pada Negara-
negara yang berpendapatan rendah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk (Mellor, 1974). Mosher (1968) telah menganalisis syarat-syarat
pembangunan pertanian di banyak Negara dan menggolongkannya menjadi syarat
mutlak dan syarat pelancar. Terdapat lima syarat yang harus ada dalam
pembangunan pertanian, apabila salah satu syarat tidak ada maka pembangunan
pertanian akan menjadi statis.
Adapun syarat-syarat mutlak tersebut adalah sebagai berikut : a) adanya
pasar untuk produk atau hasil pertanian, b) teknologi yang selalu berubah,
c) tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal, d) perangsang produksi
bagi petani, dan e) tersedianya sarana transportasi yang baik. Sedangkan syarat
pelancar adalah syarat yang dibutuhkan agar pembangunan pertanian dapat
berjalan dengan baik, yaitu : a) pendidikan pembangunan, b) kredit produksi,
c) kegiatan bersama, d) perbaikan dan perluasan lahan pertanian, dan
e) perencanaan nasional pembangunan pertanian.
Menurut Mosher (1968), pertanian adalah proses produksi yang memiliki
kekhasan dimana usahanya harus berhubungan dengan tanaman dan hewan.
Kegiatan-kegiatan produksi dalam pertanian merupakan bagian dari bisnis,
dimana biaya dan penerimaan merupakan hal yang utama. Proses produksi
pertanian merupakan proses yang mengkombinasikan faktor-faktor produksi
pertanian (input) untuk menghasilkan produksi pertanian (output). Menurut
Beattie dan Taylor (1985) produksi merupakan kombinasi dan koordinasi
beberapa material dan beberapa kekuatan (berupa input, faktor, sumber daya atau
33
jasa produksi) untuk menciptakan suatu barang atau jasa (output atau produk).
Sedangkan Debertin (1986) mendiskripsikan fungsi produksi sebagai hubungan
teknik yang menggambarkan perubahan dari input atau sumberdaya, menjadi
output atau komoditi.
Menurut Jatileksono (1993), secara garis besar input faktor produksi dapat
dikelompokkan meliputi lahan (A), tenaga kerja (L) dan modal (C). Produksi juga
dipengaruhi oleh lingkungan usahatani (E), teknologi (T) dan karakteristik sosial
petani (S). Apabila ditulis dalam sebuah fungsi matematika, maka produksi (Q)
merupakan fungsi (dipengaruhi oleh) faktor lahan, tenaga kerja, modal,
lingkungan, teknologi dan karakteristik sosial petani, atau bisa dituliskan sebagai
berikut.
Q = f (A, L, C, E, T, S)........................................... (2.1)
Tersedia atau tidaknya sarana dan teknologi bukan merupakan faktor
utama berhasil tidaknya pembangunan pertanian, tetapi yang paling penting
adalah kualitas sumber daya manusianya sebagai pelaku pembangunan itu sendiri.
Paradigma pembangunan pertanian harus fokus pada petani itu sendiri, yang
senantiasa mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan serta komponen-
komponen lain yang saling terkait. Proses pembangunan yang merupakan
serangkaian tahapan pertumbuhan ekonomi telah diketahui berdasarkan berbagai
mazhab, sebagaimana dikatakan pada teori pertumbuhan neoklasik (Sollo-Swan).
Menurut teori ini disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada
pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi dan tingkat kemajuan teknologi.
Teori tersebut juga menyatakan efisiensi tenaga kerja mencerminkan pengetahuan
34
masyarakat tentang metode-metode produksi, semakin maju teknologi semakin
efisien penggunaan tenaga kerja (Mankiw, 2007).
Pembangunan pertanian merupakan salah satu tulang punggung
pembangunan nasional dan implementasinya harus sinergi dengan pembangunan
sektor lainnya. Tujuan pembangunan pertanian menurut Departemen Pertanian
(2004) adalah : 1) Membangun sumber daya manusia aparatur profesional, petani
mandiri, dan kelembagaan pertanian yang kokoh; 2) Meningkatkan pemanfaatan
sumber daya petani secara berkelanjutan; 3) Memantapkan ketahanan dan
keamanan pangan; 4) Meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk
pertanian; 5) Menumbuh kembangkan usaha pertanian yang dapat memacu
aktivitas ekonomi pedesaan; dan 6) Membangun sistem ketatalaksanaan
pembangunan pertanian yang berpihak kepada petani.
Sementara itu, sasaran pembangunan pertanian yang harus tercapai
sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian
(2004) adalah : 1) Terwujudnya sistem pertanian industrial yang memiliki daya
saing; 2) Mantapnya ketahanan pangan secara mandiri; 3) Terciptanya
kesempatan kerja bagi masayarakat petani; 4) Terhapusnya kemiskinan di sektor
pertanian serta meningkatnya pendapatan petani. Untuk mencapai tujuan dan
sasaran pembangunan pertanian tersebut, pelaksanaannya tidak bisa lepas dari
ketatalaksanaan program/kegiatan dan koordinasi di antara pelaku pembangunana
pertanian (Iqbal, 2007).
Strategi kebijakan pembangunan pertanian yang selama ini dilakukan
sangat mempengaruhi bentuk dan peran kelembagaan petani saat ini. Pemahaman
35
sosial budaya dan kelembagaan membantu memilah faktor-faktor tertentu
kedalam suatu urutan kegiatan yang mendekati kondisi kultural petani yang
melakukan kegiatan usaha tani masing-masing. Pemahaman sosial budaya
meliputi penguasaan pranata sosial dan tatanan sosial setempat. Termasuk dalam
pranata dan tatanan sosial tersebut antara lain adalah peran kelembagaan petani
dalam kaitan dengan kegiatan usahatani dan pembangunan pertanian, peran
kepemimpinan lokal, dan pola komunikasi yang menggambarkan arah dan arus
informasi dalam suatu lembaga (Suradisastra, 2006).
Posisi, peran, dan fungsi kelembagaan petani seringkali disusun
sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan pembangunan wilayah sesuai
dengan kebijakan pembangunan setempat. Dalam kondisi demikian, kelembagaan
petani diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan dan bukan
untuk mensejahterakan petani. Pendekatan seperti ini secara langsung ataupun
tidak telah mengubah atau melumpuhkan kelembagaan tertentu. Namun disisi lain
tidak dapat disangkal bahwa kelembagaan petani yang dibentuk secara paksa juga
dapat meningkatkan efisiensi dan kinerja kelembagaan petani kearah yang lebih
baik.
Peran lain dari suatu kelembagaan petani adalah peran menggerakkan
tindak komunal. Suatu lembaga umumnya memiliki potensi kolektif yang berasal
dari anggotanya. Sikap kolektif sebagai suatu kesatuan kini merupakan tantangan
tersendiri bagi para pelaksana pembangunan pertanian. Memahami dan
memanfaatkan secara tepat sifat-sifat komunal dan modal sosial lain akan
memberikan dampak yang diharapkan. Pembangunan pertanian yang
36
dilaksanakan pada kelompok masyarakat tertentu perlu dikaji kesesuaiannya
berdasarkaan pada sistem nilai, sosial budaya, dan ideologi kelompok tersebut.
Nilai-nilai dan falsafah tersebut merupakan bagian dari modal sosial yang perlu
diperhatikan dalam pembangunan pertanian.
Namun, kelembagaan petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat
untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk
pemberdayaan yang lebih mendasar. Kedepan, agar dapat berperan sebagai aset
komunitas masyarakat desa yang partisipatif, maka pengembangan kelembagaan
harus dirancang sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat itu
sendiri sehingga menjadi mandiri (Syahyuti, 2007).
Masalah utama pengembangan kelembagaan petani adalah fakta bahwa
pemahaman terhadap konsep lembaga atau kelembagaan lebih terpaku pada
organisasi, baik organisasi formal maupun non formal. Tetapi saat ini,
kelembagaan gapoktan menjadi gateway institution yang menjadi penghubung
petani satu desa dengan lembaga-lembaga lain diluarnya. Gapoktan diharapkan
berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan
sarana produksi, pemasaran produk pertanian, dan termasuk menyediakan
berbagai informasi yang dibutuhkan petani (Syahyuti, 2007).
2.2 Sistem Pertanian Terintegrasi (SIMANTRI)
Simantri merupakan upaya pemerintah Provinsi Bali dalam pembangunan
pertanian dengan melakukan pengembangan model percontohan dalam percepatan
alih teknologi kepada masyarakat pedesaan. Simantri mengintegrasikan kegiatan
sektor pertanian dengan sektor pendukungnya baik secara vertikal maupun
37
horizontal sesuai potensi masing-masing wilayah dengan mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya lokal yang ada (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov.
Bali, 2010).
Simantri dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Bali sejak tahun 2009
sebagai salah satu program prioritas dalam mewujudkan visi BALI MANDARA,
Bali yang maju, aman, damai dan sejahtera. Simantri memadukan pengembangan
sektor pertanian dalam arti luas yang diarahkan menjadi pusat pembibitan ternak
sapi Bali yang merupakan plasma nuftah Bali dan merupakan salah satu ternak
unggulan nasional. Dengan adanya pusat pembibitan sapi yang tersebar di delapan
kabupaten dan satu kota di Provinsi Bali, diharapkan sapi Bali tetap dapat
dilestarikan dan dikembangkan.
Konsep Simantri di Provinsi Bali merupakan transformasi dari kegiatan
Prima Tani di Bali yang mengembangkan pola integrasi tanaman ternak pada
kelompok tani. Melalui arahan dan ide pemikiran Gubernur Bali kepada instansi
terkait di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali dan Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Bali, konsep Simantri dirancang dan ditindaklanjuti melalui
Nota Kesepakatan Bersama (MoU) antara Badan Litbang Pertanian dengan
Pemerintah Provinsi Bali, No : 075/12/KB/B.Pem/2009 dan No :
680/HM.240/I.10/09 pada tanggal 28 Oktober 2009, dalam kaitan pelaksanaan
program atau kegiatan pengembangan model usaha pertanian terintegrasi secara
berkelanjutan di Provinsi Bali.
Nota kesepakatan bersama antara Gubernur Bali dengan Kepala Badan
Litbang Pertanian, bertujuan untuk mengoptimalkan pelaksanaan program dan
38
dukungan inovasi teknologi pertanian untuk pengembangan usaha pertanian
terintegrasi yang dilaksanakan tersebar pada beberapa lokasi desa atau kelompok
sasaran di Provinsi Bali. Ruang lingkup kesepakatan meliputi koordinasi kegiatan
dan dukungan inovasi teknologi pertanian dalam rangka pengembangan integgrasi
tanaman-ternak, pengembangan kelembagaan dan dukungan pengembangan usaha
agibisnis lainnya.
Inovasi teknologi yang diintroduksikan berorientasi untuk menghasilkan
produk pertanian organik dengan pendekatan “pertanian tekno ekologis”.
Kegiatan integrasi yang dilaksanakan juga berorientasi pada usaha pertanian tanpa
limbah (zero waste) dan menghasilkan 4 F (food, feed, fertilizer, dan fuel).
Kegiatan utamanya adalah mengintegrasikan budidaya tanaman dan ternak,
dimana limbah tanaman diolah untuk pakan ternak dan cadangan pakan pada
musim kemarau, dan limbah ternak (faeces, urine) diolah menjadi biogas,
biourine, pupuk organik dan bio pestisida.
Kelancaran kegiatan agribisnis mulai dari tahap pembibitan, panen, pasca
panen hingga pengolahan hasil dari pemasaran ditentukan oleh kemampuan
individu dalam suatu manajemen usaha yang dilakukan. Pengetahuan manajemen
usaha untuk semua komoditas perlu mendapatkan perhatian khusus untuk
membuka peluang diversifikasi usaha, agar pengembangan program Simantri
dapat mencakup kawasan yang lebih luas.
Diversifikasi vertikal untuk masing-masing komoditas juga akan
memberikan nilai tambah ekonomis bagi petani. Pewilayahan usaha dan
kelancaran distribusi dan pemasaran akan membawa petani pada tingkat
39
kesejahteraan yang lebih baik. Kriteria lokasi kegiatan Simantri sesuai dengan
informasi Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov. Bali (2010) adalah sebagai
berikut : 1) desa yang memiliki potensi pertanian dan memiliki komoditi unggulan
sebagai titik ungkit, 2) terdapat gapoktan yang mau dan mampu melaksanakan
kegiatan terintegrasi, 3) dilaksanakan pada desa dengan rumah tangga miskin
yang memiliki SDM dan potensi untuk pengembangan agribisnis.
2.2.1 Paket Kegiatan Simantri
Paket kegiatan utama Simantri pada tahap awal menurut Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Prov. Bali (2010), meliputi : 1) Pengembangan komoditi
tanaman pangan, peternakan, perikanan dan instensifikasi perkebunan sesuai
potensi wilayah; 2) Pengembangan ternak sapi atau kambing dan kandang koloni
(20 ekor); 3) Bangunan instalasi bio gas sebanyak tiga unit, terdiri dari kapasitas
11 m3 sebanyak satu unit dan kapasitas 5 m3 masing-masing satu unit dilengkapi
dengan kompor gas khusus sebanyak lima unit; 4) Bangunan pengolah kompos
dan pengolah pakan masing-masing sebanyak satu unit; 5) Pengembangan
tanaman kehutanan sesuai kondisi dan potensi masing-masing wilayah.
Lebih lanjut informasi yang dipublikasikan oleh Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Prov. Bali (2011), bahwa pengembangan usahatani di gapoktan Simantri
disesuaikan dengan komoditas yang akan dikembangkan dan secara terintegrasi
akan memberikan nilai tambah dari diversifikasi usahatani yang akan
dilaksanakan. Pengembangan intregasi komoditas yang diterima akan mengikuti
pola integrasi sebagai berikut.
40
1) Pola Integrasi Ternak – Tanaman Pangan.
a. Tanaman Padi.
Pengembangan budidaya ternak dalam suatu kawasan persawahan dapat
dilakukan dengan usaha pemeliharaan ternak yang diketahui dapat
memanfaatkan secara optimal sumber daya lokal dan produk samping tanaman
padi. Dengan kata lain, pola ini dapat menghasilkan padi sebagai produk usaha
tanaman pangan dan daging dan/atau bibit sebagai produk usaha peternakan.
Dimana kotoran ternak bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik, dan jerami
padi dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi. Rataan jumlah jerami padi yang
dapat diperoleh untuk setiap hektar adalah 4 ton.
b. Tanaman Jagung.
Sama dengan tanaman padi, tanaman jagung dapat menyediakan bahan baku
untuk pakan pengganti hijauan. Beberapa bahan yang bisa digunakan sebagai
pakan, yaitu daun, batang jagung dan tongkol. Jumlah produk ikutan tanaman
jagung yang dapat diperoleh dari satuan luas tanaman jagung berkisar antara
2,5-3,4 ton bahan kering per hektar.
c. Tanaman Kacang-kacangan.
Tanaman kacang-kacangan sebagai produk utama di beberapa gapoktan
pelaksanan Simantri dapat diintegrasikan secara baik dengan peternakan sapi,
dimana produk limbah tanaman kacang-kacangan tersebut dijadikan sebagai
pakan ternak baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk pakan olahan
melalui fermentasi dalam bentuk silase. Limbah kacang-kacangan memiliki
kandungan gizi yang lebih baik dari rumput, khususnya dalam hal kandungan
41
protein yang mencapai 16-20 persen dibandingkan dengan rumput yang
kandungan proteinnya kurang dari 10 persen.
2) Pola Integrasi Ternak – Tanaman Holtikultura.
a. Tanaman Sayur-sayuran.
Ketergantungan ternak akan keberadaan produk ikutan tanaman holtikultura
sangat terbatas. Karena pada umumnya tanaman sayur adalah tanaman yang
total dijual, sehingga diperlukan upaya lain untuk selalu dapat menyediakan
bahan baku pakan sepanjang tahun. Di sisi lain, tanaman sayur sangat
memerlukan banyak pupuk organik untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Dengan kehadiran ternak, maka ketersediaan pupuk organik padat maupun cair
lebih terjamin.
b. Tanaman Buah-buahan.
Pola penggunaan kawasan untuk tanaman buah-buahan hampir sama dengan
pola penggunaan kawasan untuk tanaman sayur-sayuran. Pengembangan
ternak pada kawasan ini mengikuti pola pengembangan tiga strata, dimana
ternak dipelihara secara intensif dengan dikandangkan di tempat lain dan
rumput yang dibudidayakan, dipotong dan dibawa ke kandang. Pada areal yang
tidak ditanami dengan tanaman utama dapat digunakan untuk
membudidayakan tanaman hijauan pakan seperti rumput gajah, solaria, dan
rumput potong lainnya disesuaikan dengan kondisi setempat.
3) Pola Integrasi Ternak – Tanaman Perkebunan
a. Tanaman Coklat.
Ditinjau dari komposisi zat makanannya, kulit buah coklat dapat disetarakan
dengan rumput gajah, akan tetapi kulit buah coklat tidak dapat dimanfaatkan
42
sebagai pakan ternak secara langsung. Hal ini disebabkan limbah coklat
mengandung theobromine yang menyebabkan keracunan pada ternak.
b. Tanaman Kopi.
Usaha integrasi tanaman kopi dan ternak merupakan bentuk diversifikasi usaha
tani yang memiliki satu rantai ekosistem dalam memanfaatkan biomassa yang
dengan sentuhan teknologi akan dapat lebih meningkatkan pendapatan petani
secara nyata, baik yang berasal dari tanaman kopi maupun dari ternak.
c. Tanaman Kelapa.
Tanaman kelapa dipupuk dengan limbah kotoran ternak baik dalam bentuk
limbah segar maupun dalam bentuk olahan dari hasil fermentasi. Limbah cair
bisa langsung dialirkan ke perkebunan kelapa sebagai sumber nutrisi atau
untuk penyiraman. Bagian kelapa yang tidak dimanfaatkan dapat diberikan
ternak untuk pakan, seperti pelepah kelapa dan bungkil kelapa.
d. Tanaman Jambu Mete.
Bagian tanaman mete yang selama ini tidak berfungsi, khususnya bagian daun,
melalui sedikit pengolahan fermentasi bersama-sama dengan beberapa sisa
tumbuhan lain bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak.
2.2.2 Kriteria Keberhasilan Program Simantri
Beberapa indikator keberhasilan Simantri menurut Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Prov. Bali (2010) yang diharapkan dapat terwujud dalam jangka
pendek (4-5 tahun) antara lain.
1) Berkembangnya kelembagaan dan SDM, baik petugas pertanian maupun
petani;
43
Kelembagaan pada Simantri diarahkan untuk mendukung peningkatan
pengembangan pertanian/pangan organik dengan cara koordinasi antar
instansi baik pendamping atau penyuluh, mendorong berkembangnya
kelembagaaan sertifikasi dan pengawasan serta peningkatan kelembagaan
tingkat kelompok tani.
Pengembangan SDM dapat diarahkan dalam rangka peningkatan intensitas
dan kualitas serta pelayanan dalam pengembangan pertanian terintegrasi,
serta peningkatan kapasitas pelaku usaha pertanian terintegrasi, baik dalam
bidang budidaya, penanganan pasca panen, pengelolan hasil, pemasaran,
penelitian dan pengembangan usaha.
2) Terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha
pertanian dan industri rumah tangga;
Diversifikasi usaha agribisnis di gapoktan Simantri dapat dikembangkan
secara terintegrasi yaitu dengan pengembangan kegiatan pengolahan hasil
pertanian/perkebunan. Melalui penerapan diversifikasi akan dapat
memperluas kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan bagi kelompok
rumah tangga buruh dan petani berlahan sempit. Mereka merupakan
kelompok termiskin di pedesaan. Adanya kenaikan pendapatan yang
diperoleh dari kegiatan di luar usahatani setidaknya dapat membantu
meningkatkan pendapatan dan memperbaiki tingkat kesejahteraan rumah
tangga tani (Mubyarto, 1986).
3) Berkembangnya intensifikasi dan ekstensifikasi usaha tani;
Intensifikasi adalah pengolahan lahan pertanian yang ada dengan sebaik-
44
baiknya untuk meningkatkan hasil pertanian, sedangkan ekstensifikasi adalah
usaha meningkatkan hasil pertanian dengan cara memperluas lahan baru.
Dengan adanya intensifikasi dan ekstensifikasi diharapkan gapoktan Simantri
dapat meningkatkan pengolahan lahan dan memperluas lahan pertanian serta
penganekaragaman produk pertanian agar bisa meningkatkan hasil
pertaniannya.
4) Meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan
efisiensi usaha tani
Terjadinya integrasi kegiatan usaha antara pengembangan tanaman dan
ternak, serta kegiatan lainnya seperti meningkatnya produksi/produktivitas
usaha tani melalui efisiensi pengolahan pakan, pupuk organik, biogas,
pengolahan dan pemasaran hasil secara berkelompok sehingga meningkatnya
petani dalam berusaha tani baik pribadi maupun kelompok.
5) Tercipta dan berkembangnya pertanian organik menuju Green Economic;
Pengembangan pertanian organik yang merupakan sistem produksi pertanian
yang menghindarkan atau mengesampingkan penggunaan senyawa sintetik
baik pupuk maupun pestisida. Dengan adanya pertanian organik petani bisa
menghasilkan output yang terbaik dan hasilnya mereka bisa pasarkan dengan
harga yang relatif tinggi sehingga bisa terbentuk suatu usaha kecil baik di
kelompok maupun perorangan.
6) Berkembangnya lembaga usaha ekonomi pedesaan
Tumbuhnya kelompok usaha agribisnis yang maju, berdaya saing yang
mandiri sehingga mampu menjadi lembaga penggerak ekonomi di perdesaan.
45
Dengan adanya kelompok yang aktif, akan terbentuk UMKM, unit simpan
pinjam kecil di kelompok maupun koperasi dalam gapoktan.
7) Peningkatan pendapatan petani
Peningkatan pendapatan anggota kelompok tani pelaksana Simantri dapat
dihitung dari pendapatan rata-rata sebelum menerima paket program Simantri
dan setelah menerima sampai mengoperasikan bantuan penguatan modal
sampai periode lima tahun, dengan menghitung setiap tambahan penerimaan
setiap produksi budidaya (ternak, ikan, tanaman), siklus produksi pengolahan
limbah (biogas, biourine, dan pupuk), maupun siklus pemasaran dari produk
Simantri.
Program Simantri sebenarnya bukanlah program yang semata-mata
memprioritaskan kegiatan pada aspek teknis budidaya tanaman dan ternak, akan
tetapi lebih menitikberatkan pada sistem agibisnis secara utuh. Melalui program
Simantri, petani diharapkan dapat menjalankan kegiatan usahataninya secara
efisien dan efektif dengan melakukan diversifikasi usaha sehingga dapat
menambah kesempatan kerja. Melalui kegiatan tersebut, program Simantri
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani dengan menciptakan nilai
tambah dari aktivitas usaha taninya. Oleh karena terbatasnya waktu dan melihat
dari tujuan utama program Simantri dalam menciptakan peluang kerja bagi petani,
kinerja program Simantri dalam penelitian ini dianalisis dari kriteria keberhasilan
gapoktan Simantri dalam menciptakan lapangan kerja bagi petani dalam gapoktan
dengan menambah jam kerja petani melalui kegiatan pemeliharaan ternak serta
pengolahan kotoran ternak, meningkatkan partisipasi kelompok wanita tani dalam
46
setiap kegiatan Simantri, serta berkembangnya unit usaha baru dalam gapoktan
Simantri.
Amanat UUD 1945 pasal 27 ayat 2 menunjukkan bahwa pemerintah
Indonesia wajib untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat karena
berhubungan dengan usaha masyarakat untuk mendapat penghasilan, sebagaimana
disampaikan juga oleh Syaukani et. al. (2002) bahwa yang paling utama harus
dilakukan pemerintah adalah penciptaan lapangan kerja. Penciptaan lapangan
kerja yang tinggi akan berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat
sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat akan meningkat
(Sulistyaningsih, 1997). Minimnya informasi mengenai peluang kerja yang ada,
disertai dengan peningkatan jumlah penduduk yang signifikan dari tahun ke tahun
namun tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah lapangan kerja untuk
menampung mereka menjadi faktor penyebab permasalahan penyerapan tenaga
kerja.
Elizabeth (2007a) menyatakan bahwa kesempatan kerja dalam sektor
pertanian dapat dianalisis dengan melihat tingkat partisipasi kerja rumah tangga di
berbagai jenis pekerjaan yang dihubungkan dengan tingkat pendidikan serta
curahan kerjanya pada usahatani maupun berburuh tani. Masih rendahnya kualitas
pendidikan tenaga kerja di pedesaan sangat berpengaruh terhadap kreaktivitas
dalam menciptakan kesempatan kerja baru. Tenaga kerja di pedesaan lebih
cenderung dianggap sebagai beban ketimbang suatu potensi yang bisa
dimanfaatkan.
47
Lebih lanjut disampaikan Elizabeth (2007a), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi peluang untuk mengisi kesempatan kerja pada usahatani antara
lain: a) perubahan teknologi yang mempengaruhi perubahan intensitas tanam,
perubahan pranata sosial dan kelembagaan yang ada di pedesaan; b) kondisi
agroekosistem yang dapat memberikan perbedaan penyerapan tenaga kerja dan
produktivitas tenaga kerja maupun pengalihan tenaga ke sektor lain di luar
pertanian; c) peranan ekonomi wilayah, yang terkait dengan aksesbilitas wilayah,
yang pada gilirannya mendorong penduduk untuk melakukan migrasi ke luar desa
untuk mengisi kesempatan kerja yang ada; d) pemilikan modal, terutama aset
lahan yang mampu menyerap tenaga sampai batas maksimal antara besarnya luas
lahan dan tekanan jumlah penduduk; dan e) tingkat ketrampilan dan kemampuan
yang berkaitan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh penduduk desa, dan
pada gilirannya peranan tersebut mempunyai pengaruh terhadap besarnya curahan
tenaga kerja
Akibat penerapan paket teknologi pada kegiatan usahatani, mengakibatkan
pekerjaan sebagai buruh tani menjadi kian terbatas, peluang dan kesempatan kerja
di sektor pertanian menjadi berkurang, bahkan menghilang (Suradisastra, 2006).
Berkurangnya kesempatan kerja akibat adanya investasi modal dalam teknologi
dijelaskan pula dalam model ekonomi neo-klasik, dimana laju teknologi (dalam
hal ini capital) dan laju pertumbuhan penduduk (dalam hal ini tenaga kerja)
cenderung berkorelasi negatif. Dalam arti, untuk meraih keuntungan maksimal,
penambahan penggunaan capital akan menekan penggunaan tenaga kerja,
akibatnya melemahkan bargaining position tenaga kerja (Todaro, 2006).
48
Salah satu tujuan pembangunan adalah menciptakan kesempatan kerja
sebanyak- banyaknya agar angkatan kerja dapat terserap dalam pembangunan
untuk menekan angka pengangguran. Kesempatan kerja dimaknai sebagai
lapangan pekerjaan atau kesempatan yang tersedia untuk bekerja akibat dari suatu
kegiatan ekonomi atau produksi. Dengan demikian pengertian kesempatan kerja
nyata mencakup lapangan pekerjaan yang masih lowong. Kesempatan kerja nyata
bisa juga dilihat dari jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia, yang tercermin
dari jumlah penduduk usia kerja (15 tahun) ke atas yang bekerja.
Kesempatan kerja merupakan partisipasi seseorang dalam pembangunan
baik dalam arti memikul beban pembangunan maupun dalam menerima kembali
hasil pembangunan. Angkatan kerja dalam berbagai pembangunan ekonomi
berimplikasi luas terhadap aktivitas perekonomian secara keseluruhan. Semakin
banyak angkatan kerja yang bekerja berpengaruh pada meningkatnya daya beli
masyarakat kemudian mendorong perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan
produksi dan melakukan ekspansi usaha baru sesuai kebutuhan masyarakat.
Penambahan produksi dan penambahan usaha baru identik dengan perluasan
kesempatan kerja (Esmara, 1986, Swasono dan Sulistyaningsih, 1993).
2.3 Peran Pemerintah
Peranan pemerintah sangat besar dalam pembangunan, untuk mengatur,
memperbaiki atau mengarahkan aktivitas individu-individu dalam suatu Negara
supaya tidak terjadi benturan-benturan kepentingan antar individu yang dapat
menghambat pembangunan itu sendiri. Adam Smith menyatakan bahwa lingkup
peranan pemerintah meliputi tiga fungsi (Mangkusubroto, 2001), yaitu :
49
1) Memelihara keamanan dan pertahanan; 2) Menyelenggarakan peradilan; dan
3) Menyediakan barang-barang yang tidak disediakan pihak swasta.
Mengenai peranan pemerintah, Kartasasmita (1996) mengatakan dalam era
otonomi daerah dan keterbukaan seperti saat ini, peran pemerintah dalam
pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat berfungsi sebagai
regulator, modernisator, katalisator/fasilitator, dinamisator, stabilisator dan
pelopor/stimulator, yang menekankan pada upaya kemandirian dalam
pemberdayaan masyarakat. Sebagai regulator, pemerintah memberikan acuan
dasar yang selanjutnya diterjemahkan oleh masyarakat sebagai instrumen untuk
mengatur kehidupan bermasyarakat dalam koridor persatuan Indonesia. Sebagai
modernisator pemerintah berkewajiban membawa perubahan-perubahan ke arah
pembaharuan masyarakat. Sebagai katalisator/fasilitator, pemerintah berusaha
menciptakan atau memfasilitasi suasana yang tertib, nyaman dan aman, termasuk
menfasilitasi tersedianya sarana dan prasarana pembangunan. Sebagai pelopor
atau stimulator, pemerintah harus mampu menunjukkan contoh-contoh nyata dan
mendorong masyarakat untuk mengikuti contoh tersebut melalui tindakan nyata
jika memang contoh tersebut bermanfaat.
Lebih lanjut Mangkusubroto (2001) mengatakan ada tiga golongan besar
peranan pemerintah dalam perekonomian suatu bangsa, antara lain.
1) Peranan alokasi, yaitu peranan pemerintah untuk mengusahakan agar alokasi
sumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efisien. Hal ini dikarenakan
tidak semua barang dan jasa dapat disediakan oleh sektor swasta yang
diakibatkan oleh biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan barang dan jasa
50
tersebut lebih besar dari manfaatnya. Disitulah pemerintah mulai ikut
berperan dalam perekonomian, karena sistem pasar gagal dalam menyediakan
barang/jasa tersebut.
2) Peranan distribusi, yaitu peran pemerintah sebagai alat distribusi
pendapatan/kekayaan. Peran pemerintah disini adalah untuk menciptakan
keadilan dari pembangunan yang terjadi. Pemerintah dapat merubah distribusi
pendapatan melalui kebijakan-kebijakan yang memihak kelompok yang
dirugikan dari pembangunan tersebut.
3) Peranan stabilitas, yaitu peran pemerintah untuk menjaga stabilitas
perekonomian. Perekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada sektor
swasta akan sangat fokus terhadap goncangan ekonomi yang akan
menimbulkan munculnya pengangguran dan inflasi. Inflasi dan pengangguran
dapat mengganggu stabilitas ekonomi, yang harus diselesaikan pemerintah
melalui kebijakan moneternya.
Ketiga peran tersebut merupakan respon pemerintah terhadap
permasalahan atau kebutuhan kongkrit yang berkembang di masyarakat dalam
bentuk kebijakan publik, Sebagaimana dikatakan oleh Dye (1981) serta Young
dan Quinn (2002), bahwa kebijakan publik merupakan tindakan yang dibuat dan
diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum,
politis, serta finansial terhadap kebutuhan dan masalah yang dihadapi masyarakat.
Berkaitan dengan pembangunan pertanian, sejalan dengan penerapan
sistem desentralisasi dan otonomi daerah, konsep pelaksanaan pembangunan
sebagaimana disampaikan Departemen Pertanian (2002) diarahkan pada perluasan
51
peran pemerintah daerah dan segenap pemangku kepentingan. Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan pertanian adalah :
1) Penerapan berbagai pola pemberdayaan masyarakat sebagai pelaku
pembangunan agribisnis, terutama pertanian; 2) Fasilitasi terciptanya iklim yang
kondusif bagi perkembangan kreativitas dan kegiatan ekonomi masyarakat;
3) Penyediaan prasarana dan sarana fisik dengan fokus pemenuhan kebutuhan
publik yang mendukung sektor pertanian serta lingkungan bisnis secara luas;
4) Akselerasi pembangunan wilayah dan stimulasi tumbuhnya investasi
masyarakat serta dunia usaha.
Dalam menunjang keberhasilan suatu program/kegiatan, diperlukan
partisipasi dari segenap pemangku kepentingan (stakeholder). Alasan perlunya
partisipasi pemangku kepentingan dalam menunjang keberhasilan suatu program,
sebagaimana dijelaskan oleh Krishna dan Lovell (1985) adalah : 1) Untuk
meningkatkan rencana mengembangkan program/kegiatan secara umum dan
kegiatan prioritas secara khusus; 2) Agar implementasi kegiatan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat; 3) Untuk menjamin kelangsungan program/kegiatan;
4) Dapat meningkatkan kesetaraan dalam implementasi program.
Upaya penyempurnaan kelembagaan pembangunan pertanian selama ini
lebih menekankan penyempurnaan struktur daripada penyempurnaan strategi dan
kinerja. Dengan asumsi bahwa setiap peraturan perundang-undangan terkait
pembangunan sektor pertanian memiliki tujuan mulia, tidak salah bila kinerja
kelembagaan pelaksana juga ditingkatkan kualitasnya dan diukur
produktivitasnya. Reformasi kelembagaan pembangunan pertanian tidak hanya
52
berupa perampingan atau pengembangan struktur kelembagaan saja, namun juga
pemberdayaan kelembagaan masyarakat petani sebagai pemangku kepentingan
utama pembangunan sektor pertanian (Suradisastra, 2006)
Campur tangan pemerintah dalam bentuk kebijakan pertanian
(agricultural policy) diperlukan untuk mempengaruhi keputusan para
stakeholders agar terlaksana pembangunan pertanian sesuai dengan yang
direncanakan. Campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk memutus rantai
lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal, yang merupakan karakteristik
Negara berkembang dengan ciri sumber daya yang belum dikelola sebagai
mestinya, mata pencaharian penduduk yang mayoritas sebagai petani yang kurang
produktif, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan kualitas sumber
daya manusianya masih rendah (Hanafie, 2010). Peran tersebut sejalan dengan
pendapat Hayek (1945) bahwa kebijakan itu fungsinya adalah untuk mengarahkan
dan mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki pemerintah dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah.
Hernanto (1993) menyatakan bahwa petani saja tidak mempunyai
kemampuan untuk mengubah keadaan usahataninya sendiri. Karena itu bantuan
dari luar diperlukan baik secara langsung dalam bentuk bimbingan dan pembinaan
usaha maupun tidak langsung dalam bentuk insentif yang dapat mendorong petani
menerima hal-hal baru, dan mengadakan tindakan perubahan. Insentif itu bisa
berupa jaminan tersedianya sarana produksi yang diperlukan petani dalam jumlah
yang cukup, harga terjangkau, dan selalu dapat diperoleh secara berkelanjutan.
Tidak kalah pentingnya adalah adanya peraturan-peraturan yang melindungi hak-
53
hak petani dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang memberikan keleluasaan petani
bertindak dalam pengembangan usahataninya.
Implementasi program atau kegiatan pembangunan pertanian baik melalui
pemberian bimbingan maupun insentif kepada petani cenderung menjadi ranah
pemangku kepentingan utama (pemerintah) yang secara signifikan berpengaruh
atas keberlangsungan kegiatan. Pemerintah bertindak sebagai penyandang dana,
pelaksana kegiatan, organisasi pengawas dan advokasi. Sementara pemangku
kepentingan yang lain yang terkena dampak, termasuk pihak swasta dan
akademisi, relatif kurang dilibatkan (Iqbal, 2007).
Masalah pertanian berhubungan dengan masalah produksi dan konsumsi
dari komoditas, sebagai hasil dari sebuah usaha tani atau usaha peternakan. Untuk
merubah perilaku produsen dan konsumen tersebut diperlukan intervensi
pemerintah dalam bentuk kebijakan. Segala kebijakan pemerintah dalam
pembangunan pertanian harus diarahkan pada konsep pemberdayaan, dengan
harapan petani itu akan menjadi lebih mandiri dan dapat meningkatkan
kesejahteraannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Wrihatnolo dan Dwidjowijoto
(2007), bahwa penerapan pemberdayaan paling banyak digunakan dalam upaya
penanggulangan kemiskinan, karena mampu menciptakan kemandirian
masyarakat.
Makmun (2003) mengemukakan pendapatnya mengenai pemberdayaan
masyarakat, bahwa upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi.
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling). Pemberdayaan adalah upaya membangun
54
daya itu sendiri dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran
akan potensi yang dimilikinya serta mengembangkannya. Kedua, memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini
diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain hanya menciptakan suasana dan
iklim yang kondusif. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan
menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses
berbagai peluang yang akan membuat masyarakat lebih berdaya lagi. Upaya
pemberdayaan ini meliputi peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, akses
informasi, teknologi, pembangunan sarana prasarana fisik, pelatihan, dan
sebagainya. Ketiga, memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam
proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi semakin lemah. Oleh
karena itu, perlindungan dan pemihakan terhadap yang lemah amat mendasar
dalam konsep pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran
dan partisipasi penuh dari para pihak untuk meningkatkan kapasitas dan
kapabilitas masyarakat sebagai sumber daya pembangunan sehingga mampu
mengetahui permasalahan yang dihadapi dan mengembangkan dan menolong diri
sendiri menuju ke kehidupan yang lebih baik, mampu menggali dan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk kepentingan diri dan
kelompoknya, serta mampu mengeksistensikan diri dan mendapat manfaat dari
sumber daya tersebut. Sebagai suatu proses, pemberdayaan mempunyai tiga
tahapan, yaitu tahap penyadaran, pengapasitasan, dan pendayaan (Wrihatnolo dan
Dwidjowijoto, 2007).
55
Pada tahap penyadaran, petani diberikan pemahaman bahwa mereka
mempunyai hak untuk menjadi sejahtera. Pada tahap ini, petani dibuat mengerti
bahwa proses pemberdayaan itu berasal dari mereka sendiri dengan memberikan
informasi yang cukup kepada komunitas. Tahap selanjutnya, pengapasitasan,
bertujuan untuk membuat petani memiliki keterampilan untuk mengelola
usahataninya, dengan cara memberikan bimbingan dan penyuluhan, pelatihan-
pelatihan, lokakarya, dan kegiatan sejenis. Tahapan terakhir yaitu pendayaan,
petani diberikan kesempatan yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki
melalui partisipasi aktif dan berkelanjutan dengan memberikan peran yang lebih
besar secara bertahap, diakomodasi aspirasinya, serta dituntun untuk melakukan
self evaluation terhadap pilihan dan hasil pelaksanaan atas pilihannya.
Dimensi pemberdayaan berkaitan dengan pemberdayaan kerja menurut
Kanter (1977) serta Laschinger dan Finegan (2005) meliputi akses terhadap
informasi, menerima dukungan, memiliki akses pada sumber daya yang
dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan, serta memiliki peluang untuk belajar dan
berkembang. Ditambahkan oleh Nawawi (2009), pemberdayaan dapat dilakukan
melalui tiga dimensi. Pertama, dimensi mikro yaitu pemberdayaan yang dilakukan
terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management,
dan crisis intervention. Tujuannya adalah untuk membimbing atau melatih klien
dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Kedua, dimensi mezzo, pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan
kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, serta dinamika
kelompok biasanya dijadikan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran,
56
pengetahuan, keterampilan, dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan
memecahkan permasalahan yang dihadapi. Pendidikan menjadi hal yang sangat
penting dalam memberdayakan masyarakat untuk mencapai pembangunan
nasional, sebagaimana menurut Harbinson (1973), suatu negara yang tak mampu
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki bangsanya serta
mencurahkannya secara efektif dalam pembangunan tak akan mampu membangun
bidang lain.
Ketiga, dimensi makro dimana pemberdayaan diarahkan pada sistem
lingkungan yang lebih luas, misalnya perumusan kebijakan, perencanaan sosial,
kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, dan manajemen
konflik. Strategi ini memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi
untuk memahami situasi-situasi diri sendiri dan untuk memilih serta menentukan
strategi yang tepat untuk bertindak.
Penerapan teknologi di lapangan sangat ditentukan oleh pengetahuan dan
keterampilan petani. Kebiasaan petani dalam tata laksana atau manajemen
usahatani yang dilakukan secara turun menurun menyebabkan lambatnya
penerapan teknologi baru yang dianjurkan. Setiap kali akan diterapkan teknologi
dengan strategi yang dilembagakan, menyebabkan semakin banyak petani atau
pekerja tani yang kehilangan kesempatan kerja karena tuntutan keterampilan dan
penguasaan teknis yang dibutuhkan untuk mengoperasikan teknologi tersebut
(Suradisastra, 2006).
Ditinjau dari sifat-sifat inovasi, ada lima macam sifat inovasi yang
mempengaruhi kecepatan adopsi suatu inovasi : 1) Keuntungan relatif, adalah
57
tingkatan yang menunjukkan suatu ide baru dianggap lebih baik dari ide-ide
sebelumnya. Tingkat keuntungan relatif seringkali dinyatakan dengan atau dalam
bentuk keuntungan ekonomis; 2) Kompabilitas (keterhubungan inovasi dengan
situasi klien), adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-
nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima. Ide yang tidak
kompatibel dengan ciri-ciri sistem yang menonjol akan tidak diadopsi secepat ide
yang kompatibel; 3) Kompleksitas (kerumitan inovasi), adalah tingkat di mana
suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan; 4) Triabilitas
(dapat dicobanya suatu inovasi), adalah suatu tingkat di mana suatu inovasi dapat
dicoba dengan skala kecil; 5) Observabilitas (dapat diamatinya suatu inovasi),
adalah tingkat di mana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain
(Rogers, 2003).
Peranan pemerintah sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi
dan kesejahteraan petani, karena tujuan utama program yang dicanangkan
pemerintah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan
produktivitas petani (Rusli, 2010). Lebih lanjut dinyatakan oleh Ahearn et.al
(2002) bahwa ada hubungan yang posistif dan siginifikan antara kebijakan
pemerintah yang meliputi penelitian di bidang pertanian, ekstensifikasi,
infrastruktur, program komoditas, dengan peningkatan produksi petani sehingga
berpengaruh terhadap kesejahteraan petani. Hal yang sama disampaikan pula oleh
Fuglie dan Rada (2013) bahwa untuk meningkatkan produktivitas pertanian
sangat tergantung dengan reformasi kebijakan di sektor pertanian yang mampu
meningkatkan insentif yang diterima petani melalui penelitian, adopsi teknologi,
58
pendidikan, pembangunan insfrastruktur pedesaan, dan mengamankan status
kepemilikan lahan, sehingga kesejahteraan petani dapat ditingkatkan.
Untuk mewujudkan kesejahteraan petani, Pemerintah dapat berperan
dalam hal inovasi sosial, subsidi, dan kredit yang dapat memperluas dan
menumbuhkan kerjasama antar petani sehinggga meningkatkan peluang kerja bagi
petani (Yusdja, et.al., 2004). Inovasi tersebut harus didampingi dengan pemberian
penyuluhan yang efektif, dukungan peralatan, pelatihan serta peningkatan
keterampilan dan pengetahuan petani, sehinggga adopsi teknologi akan mampu
mencapai sasarannya (Mathis dan Jackson, 2001; Nuryanti dan Swatika, 2011).
Jika tidak dilakukan pendampingan dan penyuluhan yang efektif, penerapan
teknologi baru akan mengakibatkan semakin banyak petani yang kehilangan
kesempatan kerja, karena tuntutan akan keterampilan dan pengetahuan teknis
yang tidak bisa mereka penuhi (Suradisastra, 2006).
Peningkatan keterampilan dan pengetahuan sangat penting dilakukan,
karena tingkat produktivitas faktor-faktor produksi yang sama tidak selalu setara,
tergantung dari investasi pengembangan yang dilakukan sehingga dapat
mempengaruhi peluang yang lebih besar memperoleh pekerjaan (Miller dan
Meiners, 1994). Penerapan teknologi baru dan mengintensifkan pengolahan lahan
dalam rangka meningkatkan produktivitas dapat membuka kesempatan pekerjaan
baru di sektor pertanian dan semakin banyaknya jam kerja yang dapat diserap
dalam usaha tani sehingga mampu memacu pendapatan petani (Damayanti, 2013).
Teknologi mampu mendorong perubahan tatanan kelembagaan di pedesaan yang
akan berdampak pada struktur tenaga kerja dan pendapatan masyarakat pedesaan.
59
Peningkatan keterampilan dan pengetahuan petani yang dilakukan oleh
pemerintah dapat dilakukan melalui penyuluhan maupun bimbingan teknis,
sebagaimana dikatakan oleh Suparta (2001) bahwa sasaran dilakukannya
penyuluhan/bimbingan teknis adalah untuk meningkatkan kemampuan petani
secara dinamis sehingga setiap permasalahan yang dihadapinya dapat diatasi
melalui kreatifitas, inovasi, berani dan bebas mengambil keputusan dalam
meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani.
2.4 Sumber Daya Petani
Sumber daya petani merupakan input faktor produksi yang sangat
mempengaruhi produksi meliputi lahan, tenaga kerja, dan modal. Produksi juga
dipengaruhi oleh lingkungan usahatani, teknologi, dan karakteristik sosial petani.
Simatupang dan Nizwar (2002), membagi sumber daya petani menjadi dua
bagian, yaitu sumber daya alam dan sumber daya sosial ekonomi. Harlow (1972)
mengelompokkan sumber daya alam menjadi tiga kelompok besar antara lain; 1)
sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui yaitu sumber daya alam yang
jumlahnya tetap dan tidak bisa diperbahurui keberadaannya, 2) sumber daya alam
yang bisa diperbaharui yaitu sumber daya yang sifatnya terus menerus ada dan
dapat diperbaharui, dan 3) sumber daya alam yang memiliki sifat gabungan yaitu
sumber daya biologis (pertanian, perikanan, hutan, padang rumput). Sumber daya
sosial dan ekonomi yang dibagi lagi menjadi dua yaitu faktor sosial ekonomi yang
dimiliki petani dan keluarganya (sumber daya internal), serta faktor sosial
ekonomi eksternal (faktor lingkungan). Kesemua sumber daya tersebut secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pengelolaan usahatani.
60
Faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap petani dalam bekerja
dan melakukan inovasi (Mardikanto, 1996). Status sosial ekonomi dalam
masyarakat dapat dilihat dari apa yang dimiliki oleh masing-masing individu
ataupun melalui kemampuan kepala keluarga untuk memanfaatkannya, misal
dengan kekuasaan ataupun kewenangan yang dimiliki. Status ekonomi
masyarakat dapat dilihat dari status sosial keluarga yang diukur melalui tingkat
pendidikan kepala keluarga, perbaikan lapangan pekerjaan dan tingkat
penghasilan keluarga (Sajogyo dan Pujawati, 2002).
Indikator status sosial ekonomi menurut Rogers (1985) adalah kasta,
umur, pendidikan, status perkawinan, aspirasi pendidikan, partisipasi sosial,
hubungan organisasional pembangunan, pemilikan lahan, pemilikan sarana
pertanian serta penghasilan sebelumnya. Pendapat yang sama disampaikan oleh
Melly G. Tan (Koentjaraningrat, 1989), status sosial ekonomi seseorang itu bisa
diukur dari jenis pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan. Dari dua pandangan
tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa status sosial ekonomi masyarakat itu
mencakup tingkat pendidikan, faktor pekerjaan, dan penghasilan.
Dari penjelasan di atas, berikut faktor-faktor sumber daya petani yang
akan dianalisis dalam upaya menerapkan inovasi teknologi dalam program
Simantri di Provinsi Bali, sebagai berikut.
a. Umur
Lionberger dan Gwin (1982), serta Mardikanto (1993) mengatakan
semakin tua umur seseorang, semakin lambat mengadopsi inovasi dan cenderung
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat
61
setempat. Namun, ada sejumlah kualitas positif yang dimiliki oleh pekerja yang
lebih tua seperti pengalaman, pertimbangan, etika kerja, dan komitmen terhadap
mutu, walaupun pekerja tua dianggap lebih sering menolak teknologi baru,
sebagaimana disampaikan oleh Robbins dan Timothy (2008). Hal yang berbeda
disampaikan oleh Soekartawi (1988), bahwa petani muda akan lebih mudah
menerapkan inovasi, karena mereka memiliki semangat untuk ingin tahu tentang
apa yang mereka belum ketahui dalam mengubah usahataninya.
Penelitian yang dilakukan Ours dan Stoelddraijer (2010) menemukan
bahwa umur pekerja mempengaruhi kualitas pelaksanaan pekerjaan, sehingga
berpengaruh terhadap kesempatan kerja. Produktivitas tertinggi dimiliki oleh
pekerja berusia 30-45 tahun, sedangkan pekerja dengan umur lebih muda dan
lebih tua memiliki produktivitas yang lebih rendah, sehingga peluang kerja paling
besar dimiliki oleh pekerja yang berumur antara 30-45 tahun. Pengalaman adalah
segala sesuatu yang muncul dari riwayat hidup seseorang. Seiring dengan
bertambahnya umur, maka pengalaman seseorang akan semakin bertambah
(Robbins dan Timothy, 2008).
Namun perlu diingat, ada suatu keyakinan bahwa produktivitas akan
menurun seiring dengan bertambahnya umur. Sering diandaikan keterampilan
seorang individu terutama kecepatan, kecekatan, kekuatan, dan koordinasi
menurun dengan berjalannya waktu, dan bahwa kebosanan pekerjaan yang
berlarut-larut dan kurangnya rangsangan intelektual semuanya memberikan
kontribusi terhadap menurunnya produktivitas sehingga peluang untuk
memperoleh pekerjaan semakin berkurang (Mardikanto, 1993; Wahjono, 2010).
62
b. Pendidikan Formal
Berkaitan dengan pendidikan, Soekartawi (1988) mengatakan mereka
yang berpendidikan lebih tinggi akan relatif lebih cepat menerapkan inovasi,
begitu pula sebaliknya. Lebih lanjut, Chavas et.al. (2005) memasukkan variabel
pendidikan dalam menganalisis karakteristik rumah tangga dan usahatani. Makin
tinggi tingkat pendidikan, makin mudah anggota mengadopsi teknologi, sehingga
dapat meningkatkan produksi secara rasional untuk mencapai keuntungan yang
maksimum.
c. Jenis pekerjaan diluar gapoktan Simantri
Jenis pekerjaan diluar gapoktan Simantri yang dimiliki petani berpengaruh
terhadap kinerja petani dalam melaksanakan kegiatan Simantri karena berkaitan
dengan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman di bidang pertanian. Sutrisna
dan Nuraini (1987) menyatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang suatu
inovasi serta sikapnya terhadap inovasi tersebut menentukan kesiapannya untuk
melaksanakan inovasi tersebut, serta dengan sikap yang positif lebih bisa
diharapkan dari seseorang untuk menerapkan suatu inovasi. Lebih lanjut
Supriyanto (1978) menyebutkan bahwa pengetahuan petani juga sangat
menunjang kelancaran petani dalam mengadopsi suatu inovasi maupun
kelanggengan usahataninya.
Samsudin (1987) mengatakan bahwa petani dikatakan mempunyai
kemampuan jika mempunyai keterampilan yang meliputi kecakapan atau terampil
dalam melaksanakan pekerjaan badaniah dan kecakapan berpikir untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan sehari-hari. Keterampilan seseorang terhadap
63
suatu pekerjaan erat kaitannya dengan pengalamannya dalam bidang tersebut.
Manulang (1984) mendefinisikan keterampilan sebagai hasil dari proses
pengalaman kerja seseorang tentang metode suatu pekerjaan karena keterlibatan
karyawan tersebut dalam pelaksanaan tugas pekerjaan. Keterampilan petani-
peternak Simantri dalam melakukan usaha peternakan sapi, usaha tanaman pangan
dan usaha pengolahan limbah ternak sapi sangat dipengaruhi oleh pengetahuan
dan berapa lama pengalamannya melakukan hal tersebut. Semakin lama
pengalamannya dalam bidang tersebut maka akan semakin banyak trial and error
yang terjadi, dimana hal ini akan semakin meningkatkan pengetahuan dan
keterampilannya. Keinginan yang besar dari seorang petani-peternak untuk
mampu menguasai dan terampil mengerjakan pola-pola pertanian modern yang
berbasiskan teknologi akan membuat petani-peternak tersebut semakin efisien dan
sukses.
Sunuharyo (1997) mengatakan bahwa pengalaman adalah banyaknya jenis
pekerjaan atau jabatan yang pernah diemban oleh seseorang, serta lamanya
mereka bekerja pada masing-masing pekerjaan. Semakin banyak pengalaman
kerja seseorang maka akan semakin banyak manfaat yang berdampak pada
luasnya wawasan pengetahuan di bidang pekerjaannya serta semakin
meningkatkan keterampilan orang tersebut. Pengalaman kerja akan
mempengaruhi keterampilan seseorang dalam melaksanakan tugas dan juga
membuat kerja lebih efisien (Cahyono, 1995). Foster (2001) menyebutkan bahwa
pengalaman kerja adalah sebagai suatu ukuran tentang lama waktu atau masa
64
kerjanya yang telah ditempuh seseorang dalam memahami tugas-tugas suatu
pekerjaan dan telah melaksanakannya dengan baik.
d. Jarak
Jarak rumah petani dengan lahan garapannya akan sangat mempengaruhi
produktivitas lahan serta ternak yang dipelihara, dan juga akan mempengaruhi
kinerja dari petani itu sendiri. Mahananto et.al. (2009) mengatakan bahwa jarak
lahan garapan dengan rumah petani menunjukkan hubungan yang negatif yang
berarti semakin jauh jarak lahan garapan dengan rumah petani akan
mengakibatkan penurunan produksi. Ruswendi (2011) mengatakan bahwa
aksessibilitas lokasi yang cukup dekat bisa menekan pengeluaran biaya
pengangkutan input maupun output, sehingga dapat meningkatkan efisiensi biaya.
2.5 Modal Sosial
Modal sosial dibutuhkan untuk menciptakan jenis komunitas moral yang
tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akuisisi
modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah
komunitas masyarakat dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-
kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan dependability (Fukuyama,1995).
Modal sosial pertama kali dikemukakan oleh Bourdieu, yang sering
digunakan acuan oleh tokoh-tokoh lain dalam mendefinisikan modal sosial.
Menurut Bourdieu (Yustika, 2012), modal sosial adalah jumlah sumber daya-
sumber daya aktual atau tersirat yang berkembang pada seorang individu atau
sekelompok individu karena kemampuan untuk memiliki suatu jaringan yang
dapat bertahan lama sehingga menginstitusionalisasikan hubungan yang saling
65
menguntungkan. Schiff mengartikan modal sosial sebagai seperangkat elemen
dari struktur sosial yang mempengaruhi relasi antar manusia dan sekaligus sebagai
input bagi fungsi produksi dan/atau manfaat. Demikian pula menurut Uphoff,
bahwa modal sosial merupakan akumulasi dari beragam tipe aspek sosial,
psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang
mempengaruhi perilaku kerja sama (Dhesi, 2000). Selain itu, tokoh lain yang
mendefinisikan modal sosial adalah Putnam (1996) yang menyatakan bahwa
modal sosial itu adalah corak-corak kehidupan sosial jaringan-jaringan, norma-
norma dan kepercayaan yang membuat para partisipan untuk bertindak bersama
lebih efektif dalam mencapai tujuan bersama.
Berdasarkan definisi tersebut, inti telaah modal sosial terletak pada
bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk
bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama.
Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang timbal balik dan
saling menguntungkan dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh
norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan
maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan di atas
prinsip – prinsip yang telah disebutkan.
Coleman (1998) menyebutkan, setidaknya ada tiga bentuk dari modal
sosial. Pertama, struktur kewajiban (obligations), ekspetasi (expectations),dan
kepercayaan (trustworthiness). Dalam konteks tersebut, bentuk dari modal sosial
sangat tergantung dari dua elemen kunci yaitu (Yustika, 2012) : kepercayaan dari
66
lingkungan sosial, dan perluasan aktual dari kewajiban yang sudah dipenuhi
(obligation held).
Lina dan Von Bern (Chegini, et.al., 2012) mengatakan bahwa modal sosial
memiliki sumbangan positif dalam kaitannya dengan komitmen pekerja,
fleksibilitas organisasi, pengelolaan tindakan bersama yang lebih baik, dan
pengembangan modal pengetahuan (conceptual capital). Ditambahkan oleh
Lesser (2000), modal sosial sangat penting bagi komunitas karena : 1)
memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas, 2)
menjadi media pembagian kekuasaan dalam komunitas, 3) mengembangkan
solidaritas, 4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas, 5)
memungkinkan pencapaian bersama, dan 6) membentuk perilaku kebersamaan
dan berorganisasi komunitas.
Pendekatan terhadap modal sosial secara umum bisa dilakukan melalui
dua perspektif, sebagaimana disampaikan Rosyadi (Yustika, 2012). Pertama,
mengkaji modal sosial dari persfpektif pelaku (actor’s perspective) yang
diformulasikan oleh Bourdieu, yang melihat modal sosial berisi sumber daya-
sumber daya di mana pelaku individu dapat menggunakannya karena
kepemilikannya terhadap jaringan secara eksklusif (exclusive networks). Kedua,
mencermati modal sosial dan perspektif masyarakat (society’s perspective) yang
dikonseptualisasikan oleh Putnam, yang melihat modal sebagai barang publik
yang diatur oleh organisasi dan jaringan horizontal yang eksis dalam masyarakat
Untuk menjamin terwujudnya pembangunan pertanian berkelanjutan,
sangat tergantung dengan modal sosial terutama kemampuan masyarakat
67
pedesaan untuk mengelola dan mengatasi tekanan ekonomi, sosial dan
lingkungannya (Mathijs, 2003; Munasib dan Jordan, 2011). Masyarakat pedesaan
yang diberkahi dengan kekayaan modal sosial, meliputi jaringan sosial, norma dan
nilai-nilai yang berhubungan dengan hubungan sosial, berada pada posisi yang
menguntungkan dalam menyelesaikan sengketa, berbagi informasi, dan berhasil
melaksanakan program pembangunan. Namun keberhasilan pelaksanaan program
tidak bisa disamakan antara satu komunitas dengan komunitas yang lain,
walaupun dengan ketersediaan faktor produksi yang sama, karena memiliki modal
sosial yang berbeda (Trigilia, 2001; Woodhouse, 2006; Nardone et.al, 2010).
Satu konsep yang dekat dengan modal sosial yaitu kualitas masyarakat,
sebagaimana dikatakan oleh Dahlan (Rajoki, 2009), kualitas masyarakat perlu
untuk mewujudkan kemampuan dan prestasi bersama. Hal ini mencakup ciri-ciri
yang berhubungan dengan kelangsungan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu
peranan pendidikan baik dalam keluarga maupun sekolah sangat penting dalam
membentuk modal sosial, selain itu juga bisa dilakukan melalui berbagai pelatihan
kelompok untuk membangun visi misi bersama, serta menumbuhkan rasa saling
percaya (Ancok, 2003).
Keterampilan dapat diamati dan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan
serta keyakinan seseorang terhadap suatu objek (Robbins, 2002), karena secara
kognitif kepercayaan terhadap suatu objek bisa mempengaruhi sikap seseorang
dalam melaksanakan tugasnya (Katz dan Stotland, 1959; Breckler, 1984; Azwar,
2011). Petani yang berumur lebih tua lebih mampu mempertahankan modal sosial
yang sudah ada sejak masa sebelumnya di bidang pertanian (Sawitri dan Ishma,
68
2014). Limón et al. (2014) juga menemukan hubungan yang positif antara umur
dan akumulasi dari modal sosial.
Rauch dan Casella (2001) menambahkan jaringan sosial dapat
mempengaruhi keberlanjutan ekonomi petani dengan mempengaruhi praktek
pertanian dan kecenderungan mereka untuk mengadopsi teknologi baru melalui
penyediaan informasi melalui jaringan tersebut. Petani kemudian dapat
mempelajari teknik-teknik baru dan memperoleh pengetahuan, mendapatkan
pelatihan informal dari orang lain yang telah mengadopsi praktek-praktek tersebut
dan bahkan mendapatkan bantuan resmi untuk menerapkan berbagai praktik
teknologi pertanian. Selain itu, peran jaringan dalam memberikan informasi
tentang pekerjaan dan peluang pasar telah banyak dibuktikan. Dalam hal ini,
modal sosial juga secara tidak langsung berdampak terhadap produktivitas
pertanian dan keberlanjutan ekonomi, serta keberlanjutan sosial daerah (regional
social sustainability), karena mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang tersedia
baik melalui kedekatan dan kekerabatan atau hubungan sosial sehingga
berpengaruh terhadap kesempatan kerja dan pendapatan petani.
Olawuyi dan Oladele (2012) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa
modal sosial dan dimensinya berpengaruh positif terhadap tingkat keanggotaan,
tingkat kehadiran dalam pertemuan, dan kontribusi tenaga kerja yang secara
statistik berpengaruh pula terhadap kesempatan kerja, sedangkan tingkat
heterogenitas dan kontribusi modal keuangan berpengaruh negatif terhadap
kesempatan kerja. Peran jaringan dalam memberikan informasi tentang pekerjaan
dan peluang pasar telah banyak dibuktikan. Dalam hal ini, modal sosial juga
69
secara tidak langsung berdampak terhadap jumlah tenaga kerja yang tersedia
untuk mendapatkan pekerjaan, baik melalui kedekatan dan kekerabatan atau
hubungan sosial (Rauch dan Casella, 2001).
Informasi tentang pekerjaan dan peluang pasar sangat penting, karena
dapat mengurangi migrasi tenaga kerja dari desa ke kota melalui peningkatan
jumlah tenaga kerja di sektor pertanian di pedesaan, hal ini menunjukkan
kesempatan kerja yang tinggi di pedesaan (Limon et.al., 2014). Modal sosial
dalam kelompok dapat mempengaruhi kestabilan kehidupan keluarga dan
kemandirian masyarakat sehingga mampu membuka kesempatan kerja bagi petani
yang berujung pada peningkatan produktivitas dan pendapatan petani (Winter,
2000; Droussiotis, 2004; Kleinhenz dan Smith, 2011).
Penelitian pengaruh modal sosial terhadap kesejahteraan rumah tangga
pedesaan di lakukan oleh Grootaert et.al (2002) di Burkina Faso dengan
melakukan analisis terhadap tolok ukur kesejahteraan rumah tangga pedesaan
dengan bentuk multidimensi dari modal sosial. Hasil analisisnya menunjukkan
bahwa tingkatan modal sosial berpengaruh positif terhadap pengeluaran per kapita
dan akses yang mudah terhadap pinjaman. Rumah tangga miskin yang memiliki
lahan yang sempit memperoleh manfaat yang lebih dari modal sosial
dibandingkan dengan rumah tangga yang lain.
Omonona et.al (2014) mengatakan bahwa dimensi modal sosial seperti
tingkat homogenitas, tingkat kehadiran dalam pertemuan, orientasi kelompok,
kontribusi keuangan, kontribusi tenaga kerja merupakan karakteristik dari
tingkatan kelembagaan yang sangat berkaitan dengan pengeluaran per kapita yang
70
tentu saja berpengaruh terhadap kesejahteraan. Namun indikator tingkat
heterogenitas dan kontribusi modal keuangan berpengaruh negatif terhadap
kinerja petani dalam melaksanakan suatu program/kegiatan kelompok dan tingkat
kesejahteraan petani (Olawuyi dan Oladele, 2012).
Pengaruh negatif modal sosial terhadap kinerja dalam melaksanakan
kegiatan kelompok diperoleh juga oleh Anggita (2013) dalam penelitiannya
terhadap kolektivitas usaha tani di Kabupaten Karawang dan Subang, dikatakan
bahwa kondisi modal sosial kalangan masyarakat petani tidak dapat mendukung
produktivitas kinerja karena adanya trauma finansial yang berpengaruh terhadap
kapasitas, kualitas dan kontinuitas produksi, sehingga biaya produksi menjadi
tidak efisien yang mengakibatkan pendapatan petani sangat rendah.
2.5.1 Dimensi Modal Sosial
Untuk memahami bagaimana bentuk modal sosial di kalangan petani,
harus dibuat suatu model yang koheren tentang bagaimana terbentuknya.
Penelitian ini mengadopsi pendekatan multidimensional yang digunakan oleh
Putnam (1995) dan mengintegrasikannya dengan berbagai aspek yang
menentukan modal sosial dalam tiga dimensi yang berbeda, yaitu struktural,
kognitif dan relasional sebagaimana yang disampaikan oleh Nahaphiet dan
Ghoshal (1998), Uphoff dan Wijayaratna (2000), serta Limon et.al. (2014).
Perbedaan utama ketiga dimensi tersebut adalah sebagai berikut.
1) Dimensi Struktural Modal Sosial (Structural Dimension of Social Capital)
merujuk pada interaksi sosial itu sendiri, melalui pembentukan hubungan
antara individu atau kelompok dengan melaksanakan kerjasama sehingga dapat
71
menggurangi biaya transaksi, dan menumbuhkan pembelajaran sosial di
masyarakat. Dimensi ini menjelaskan bagaimana individu dapat memperoleh
keuntungan tertentu dengan memanfaatkan kedekatan hubungan personal
dalam interaksi struktur sosial, meliputi hubungan dalam jaringan,
kofigurasi/bentuk jaringan, dan bentuk organisasi yang memberikan
keuntungan untuk anggotanya (Nahaphiet dan Ghoshal, 1998). Artinya, orang
dapat menggunakan hubungan personal mereka untuk mendapatkan pekerjaan,
memperoleh informasi, atau akses terhadap sumber daya tertentu. Beberapa
literatur telah membuat pemisahan terhadap dimensi struktural, yaitu modal
sosial sebagai ikatan (bonding) dan jembatan/mediasi (bridging) (Narayan,
1999; Putnam, 2000). Bonding modal sosial mengacu pada modal sosial yang
dihasilkan melalui interaksi antara anggota kelompok yang relatif homogen
(keluarga atau teman dekat), sedangkan modal sosial yang menjembatani
(bridging) mengacu pada modal sosial yang dihasilkan dan dibagi melalui
hubungan satu sama lain antara kelompok yang heterogen (tetangga atau
kenalan lainnya). Komponen lain dari dimensi struktural adalah
menghubungkan (linking), yang menggambarkan ikatan yang menghubungkan
antar individu atau kelompok masyarakat tertentu kepada orang-orang atau
kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan politik maupun finansial.
Ditambahkan oleh Evans (1996), melalui ikatan hubungan tersebut
memungkinkan kelompok untuk mengakses sumber daya, ide-ide dan
informasi dari lembaga-lembaga yang berwenang, serta meningkatkan modal
sosial dan tindakan sosial dari sudut pandang politik maupun ekonomi secara
72
efektif. Terakhir, dimensi struktural juga berbentuk badan usaha (corporate)
yang dibentuk oleh kelompok profesional (serikat petani atau koperasi
pertanian) yang memberikan keuntungan untuk anggotanya (Sabatini, 2009a).
2) Dimensi Kognitif Modal Sosial (Cognitif Dimension of Social Capital),
termasuk didalamnya atribut seperti kesepakatan bersama atau paradigma
bersama yang memfasilitasi pemahaman bersama dari tujuan dilakukannya
kesepakatan, dan cara yang tepat bagaimana bertindak dalam suatu sistem
sosial (Ostrom, 2000), walaupun tidak adanya ikatan dan hubungan khusus
(keluarga atau kekerabatan) antara individu anggota kelompok, modal sosial
mampu mempengaruhi orang untuk bekerja sama (Uphoff, 1999). Dimensi
kognitif mengacu pada penyesuaian antara nilai-nilai individu dengan nilai-
nilai masyarakat, melalui rasionalisasi perilaku bersama dan membuatnya
menjadi hal yang penting (Nahaphiet dan Ghoshal, 1998). Kondisi tersebut
akan memunculkan kohesivitas masyarakat, yaitu suatu keadaan dimana
kelompok saling menyukai dan mempercayai, memiliki komitmen untuk
mencapai tujuan kelompok, dan berbagi kebanggaan sebagai sebuah kelompok,
karena kekompakan dalam kelompok sangat diperlukan dalam mewujudkan
pembangunan pertanian berkelanjutan. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat
Coleman (1990), dimana nilai-nilai kebersamaan yang dimiliki oleh individu
dapat menjadi suatu modal sosial yang menguntungkan masyarakat secara
keseluruhan.
3) Dimensi Relasional Modal Sosial (Relational Dimension of Social Capital),
digambarkan sebagai suatu jenis hubungan kedekatan antar masyarakat (tidak
73
selalu berlangsung lama) yang telah membangun sejumlah interaksi diantara
mereka untuk mencapai tujuan bersama yang diharapkan (Granovetter, 1992).
Dimensi ini mencakup keyakinan dan kepercayaan (Fukuyama, 1995; Putnam,
1993), norma dan sanksi sosial (Coleman, 1990; Putnam, 1995) dan timbal
balik (reciprocity) (Coleman, 1990; Jones dan Woolcock, 2007). Kepercayaan
dapat menjadi kontrol bagaimana mekanisme suatu hubungan menjadi kuat,
karena dapat mendorong upaya bersama, apabila tidak ada rasa saling percaya
akan berdampak negatif pada perkembangan ekonomi. Demikian juga,
seseorang yang dipercaya memungkinkan bagi dia untuk mendapatkan
dukungan dari pihak-pihak lain untuk mencapai tujuan yang dinginkan yang
tidak akan mungkin tercapai dalam situasi di mana kepercayaan tidak ada.
Untuk tujuan analisis, dan berdasarkan pendapat Sabatini (2009b), berbagai
tingkat kepercayaan telah diidentifikasi dalam penelitian ini sebagai berikut :
(1) kepercayaan berdasarkan pengetahuan (knowledge – based trust) seperti
yang ditunjukkan oleh kepercayaan pada orang sudah dikenal/dekat; (2)
kepercayaan terhadap lingkungan sosial (generalized social trust) merupakan
kepercayaan terhadap orang-orang yang tidak dikenal; dan (3) kepercayaan
kepada pelayanan publik (trust in public services) kepercayaan yang muncul
karena telah memanfaatkan dan memiliki akses kepada pelayanan publik.
Penelitian ini menganalisis atribut kepercayaan dalam pelayanan publik karena
berfokus pada pentingnya modal sosial individu untuk pembangunan daerah
melalui program pemerintah. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kumlin dan
Rothstein (2005) bahwa ada hubungan korelasi yang positif dan signifikan
74
antara kepercayaan terhadap pelayanan publik, kepercayaan sosial dan
pembangunan. Analisis juga dilakukan pada bagaimana persepsi masyarakat
setempat bahwa dengan berkelompok merupakan tempat yang aman untuk
hidup (subjective safety) sebagaimana disampaikan dalam penelitian Limon
et.al. (2014).
Norma dan sanksi sosial sangat efektif dalam memberikan harapan yang
mengikat interaksi dalam kelompok (Kramer dan Goldman, 1995). Norma
akan muncul ketika ada kesepakatan dalam sistem sosial masyarakat, dan
menjadi bentuk yang paling penting dari modal sosial karena dapat
memberikan individu suatu kepercayaan untuk berinvestasi dalam kegiatan
kolektif atau kelompok, dengan menganggap bahwa orang lain akan
melakukan hal yang sama (reciprocity) dalam interaksi sosial (Coleman, 1990).
Perlakuan timbal balik (reciprocity), dipahami sebagai kombinasi antara
altruism jangka pendek dan kepentingan jangka panjang. Seseorang akan
berbuat baik kepada orang lain atau mau melakukan sesuatu untuk orang lain
dengan harapan ada balasan dari kebaikan yang telah dilakukan ketika mereka
memerlukan bantuan (Limon et.al., 2014). Dalam sebuah komunitas yang
memiliki tingkat reciprocity yang kuat, masyarakat akan peduli terhadap
kepentingan orang lain.
2.5.2 Modal Sosial dan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pentingnya kelompok seperti koperasi (lembaga usaha) maupun kelompok
tani dalam pembangunan pertanian telah banyak dipelajari dalam ilmu ekonomi
pertanian dan ilmu sosiologi, karena kelompok paling mencerminkan modal sosial
75
dalam sektor pertanian (Moyano, 1995). Jaringan sosial dapat mempengaruhi
keberlanjutan ekonomi petani dengan mempengaruhi praktek pertanian dan
kecenderungan mereka untuk mengadopsi teknologi baru melalui penyediaan
informasi melalui jaringan tersebut. Petani kemudian dapat mempelajari teknik-
teknik baru dan memperoleh pengetahuan, mendapatkan pelatihan informal dari
orang lain yang telah mengadopsi praktek-praktek tersebut dan bahkan
mendapatkan bantuan resmi untuk menerapkan berbagai praktik teknologi
pertanian. Selain itu, peran jaringan dalam memberikan informasi tentang
pekerjaan dan peluang pasar telah banyak dibuktikan.
Modal sosial juga secara tidak langsung berdampak terhadap produktivitas
pertanian dan keberlanjutan ekonomi, serta keberlanjutan sosial daerah (regional
social sustainability), karena mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang tersedia
baik melalui kedekatan dan kekerabatan atau hubungan sosial (Rauch dan Casella,
2001). Hal tersebut sangat penting, karena dapat mengurangi migrasi tenaga kerja
dari desa ke kota melalui peningkatan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian di
pedesaan (Limon et.al., 2014).
Keberlanjutan sosial daerah dapat juga dicapai dengan meningkatkan
peran petani dalam jaringan kelompok di pedesaan yang bergerak di sektor non-
pertanian. Kelompok seperti itu dapat memainkan peran penting dalam struktur
sosial wilayah dan selanjutnya berkontribusi dalam mempertahankan warisan
budaya dan alam, social cohesion, dan pembangunan identitas sosial (budaya,
sipil, agama, perkembangan, perempuan dan organisasi kepemudaan, kelompok
lingkungan), seperti yang telah ditemukan oleh Jordan et al. (2010).
76
Karena dibangun melalui keterlibatan masyarakat, modal sosial di
kalangan petani dapat meningkatkan tanggung jawab sosial dengan
mempromosikan pelaksanaan praktek pertanian yang berkelanjutan dan akhirnya
memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan yang berbasis pada
penyelamatan lingkungan. Hal tersebut didukung oleh penelitian Mathijs (2003)
serta Munasib dan Jordan (2011), bahwa modal sosial memiliki efek positif pada
kesadaran petani terhadap lingkungan, sehingga praktek pertanian yang ramah
lingkungan dapat terlaksana.
Beberapa penulis telah menyoroti pentingnya kelompok dalam kebijakan
pembangunan pedesaan, terutama dari perspektif modal sosial, karena kelompok
muncul sebagai akibat dari kepercayaan antara individu dan merupakan dasar
untuk kepercayaan yang lebih besar dan upaya tindakan kolektif baru untuk
melakukan proyek-proyek yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat (Putnam,
1993). Peran kelompok sebagai perantara dalam pelaksanaan kebijakan publik
sangat dihargai. Modal sosial sangat terkait dengan kualitas lingkungan asosiatif
yang ada di tingkat lokal dan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
dinamika pembangunan di daerah pedesaan dan akhirnya berpengaruh pada
kelangsungan hidup masyarakat pedesaan dan kohesi sosial mereka, di mana
petani adalah pemain kuncinya (Limons et. al, 2014).
Dalam konteks kebijakan publik, modal sosial pada intinya menunjuk pada
political will dan penciptaan jaringan-jaringan, kepercayaan, nilai-nilai bersama,
norma-norma, dan kebersamaan yang timbul dari adanya interaksi manusia di
dalam sebuah masyarakat. Modal sosial bukan merupakan produk dari inisiatif
77
dan kebijakan pemerintah, namun demikian, modal sosial dapat ditingkatkan atau
dihancurkan oleh Negara melalui kebijakan publik (Cox, 1995; Suharto, 2007).
Pemerintah dapat mempengaruhi secara positif kepercayaan, kohesifitas,
alturisme, gotong royong, partisipasi, jaringan, kolaborasi sosial dalam sebuah
komunitas (Suharto, 2007). Di tingkat lokal, modal sosial dapat menjembatani
hubungan pemerintah daerah dan masyarakat dalam menyebarkan informasi dan
mengimplementasikan program-program pembangunan (Inayah, 2012). Akibat
positif yang dihasilkan adalah pemerintah akan memiliki akuntabilitas yang lebih
kuat sehingga mendorong efektifitas pemerintahan (Hasbullah, 2006). Disamping
itu, Negara melalui sistem pemerintahan yang baik dapat mendorong menguatnya
modal sosial yang mendukung berkembangnya kepercayaan, nilai-nilai, dan
norma yang baik dengan menciptakan situasi yang kondusif dalam mempererat
jaring-jaring sosial di dalam masyarakat dan merangsang tumbuhnya sikap
proaktif masyarakat dalam pembangunan (Inayah, 2012).
2.5.3 Modal Sosial dalam Kelembagaan Lokal Tradisional
Kekeliruan utama dalam pembangunan pertanian adalah masih
termajinalkannya konsep kelembagaan lokal, sebagaimana disampaikan oleh
Fatah (2006) bahwa kurang dilibatkannya organisasi yang sudah ada di tengah
masyarakat pertanian atau pedesaan itu sendiri mengakibatkan pembangunan
pertanian tidak dapat berjalan dengan maksimal. Hal yang sama dinyatakan oleh
Elizabeth dan Iwan (2009) bahwa pembangunan pertanian yang dilaksanakan
selama ini kurang menekankan pada local institution endowment (berbasis pada
kelembagaan lokal) yang telah ada. Kelembagaan petani lebih dianggap sebagai
78
alat untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya
memberdayakan dan menguatkan modal sosial masyarakat (Syahyuti, 2007).
Kurang dilibatkannya kelembagaan tradisional lokal karena tidak memiliki
jiwa ekonomi yang memadai (Syahyuti, 2007). Kekeliruan pandangan tersebut
harus dihilangkan dan bahkan sebaliknya segala bentuk ketradisionalan (tradisi,
adat-budaya) desa dan masyarakat harus diberdayakan guna mencapai tujuan
pembangunan pertanian dan pedesaan (Elizabeth, 2007b). Sebagaimana dikatakan
oleh Syahyuti (2007), suatu lembaga umumnya memiliki potensi kolektif yang
berasal dari anggotanya sebagai suatu kesatuan. Ini merupakan tantangan
tersendiri bagi para pelaksana pembangunan pertanian. memahami dan
memanfaatkan secara tepat sifat-sifat komunal dan modal sosial lain akan
memberikan dampak yang diharapkan. Namun selama ini, kelembagaan petani
cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek
belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar. Kedepan,
agar dapat berperan sebagai aset komunitas masyarakat desa yang partisipatif,
maka pengembangan kelembagaan harus dirancang sebagai upaya untuk
meningkatkan kapasitas masyarakat itu sendiri sehingga menjadi mandiri
(Syahyuti, 2007).
Kelembagaan lokal tradisional terkooptasi oleh program pemerintah atau
lenyap karena tidak mampu menahan arus perubahan nilai dan makna sosial baru
sehingga menimbulkan kerusakan pada struktur sosial kemasyarakatan. Dalam
proses alih teknologi patut disediakan suatu ruang penyesuaian bagi teknologi
untuk beradaptasi dengan ekologi kuktural masyarakat setempat. Bila petani
79
menolak atau tidak mampu mengadopsi teknologi karena tidak sesuai dengan
kebutuhan mereka sehingga menimbulkan kegagalan penetrasi teknologi yang
dilakukan pemerintah dalam nilai komunitas lokal, maka dilakukan kooptasi
kelembagaan (Suradisastra, 2006). Karena selain sebagai suatu pedoman hidup,
sistem nilai budaya juga digunakan sebagai pendorong kelakuan manusia dalam
hidup, bahkan menjadi suatu sistem tata kelakuan yang lebih tinggi dari yang lain,
seperti hukum, adat, aturan sopan santun dan sebagainya. Pada individu yang
sejak kecil diresapi dengan nilai-nilai budaya yang telah berakar, sangat susah
untuk diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu singkat (Sajogyo
dan Pudjiwati, 2002).
Berkaitan dengan hubungan budaya terhadap modal sosial, selain sebagai
suatu pedoman hidup, sistem nilai budaya juga digunakan sebagai pendorong
kelakuan manusia dalam hidup, bahkan menjadi suatu sistem tata kelakuan yang
lebih tinggi dari yang lain, seperti hukum, adat, aturan sopan santun dan
sebagainya. Pada individu yang sejak kecil diresapi dengan nilai-nilai budaya
yang telah berakar, sangat susah untuk diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain
dalam waktu singkat (Sajogyo dan Pudjiwati, 2002).
2.6 Kesejahteraan
Peningkatan pendapatan petani merupakan kunci utama dalam
meningkatkan kesejahteraan petani dengan jalan meningkatkan produktivitas
usaha tani melalui intensitas tanam disertai dengan akses petani ke pasar input dan
output yang efisien (Zakaria, 2009). Setiap orang memiliki keinginan untuk
80
sejahtera, yaitu suatu keadaan yang serba baik atau suatu kondisi di mana orang-
orang dalam keadaan makmur, sehat, dan damai.
Smith (1776) menyatakan bahwa kesejahteraan itu merupakan
kemampuan individu untuk menikmati dan memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan penghasilan yang diperolehnya. Ditambahkan oleh pendapat Mueller
(2014), bahwa penghasilan yang diperoleh harus digunakan untuk konsumsi yang
penting, sehingga mampu memberi manfaat bagi hidupnya. Secara mikro,
kesejahteraan rumah tangga dapat diamati dengan hukum Engel, yang
menyatakan pangsa pengeluaran makanan terhadap pengeluaran rumah tangga
akan semakin berkurang dengan pendapatan yang meningkat. Dalam keadaan
harga barang dan selera masyarakat tetap maka peningkatan pendapatan
menunjukkan peningkatan kesejahteraan (Nicholson, 2002).
Mankiw (2007) menjelaskan kesejahteraan sebagai suatu keadaan dimana
telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia sesuai dengan standar kualitas hidup
manusia seperti sandang kesehatan, rumah, pendidikan, pendapatan, manfaat
sosial atau spiritual. Lebih lanjut Stiglitz, et.al. (2011), membagi kesejahteraan
dalam beberapa dimensi yang meliputi standar hidup material (pendapatan,
konsumsi dan kekayaan), kesehatan, pendidikan, aktivitas individu termasuk
bekerja, suara politik dan tata pemerintahan, hubungan dan kekerabatan sosial,
lingkungan hidup (kondisi masa kini dan masa depan), ketidakamanan baik yang
bersifat ekonomi maupun fisik. Semua dimensi ini menunjukkan kualitas hidup
masyarakat dan mengukurnya diperlukan data obyektif dan subyektif.
81
Peningkatan kualitas hidup manusia menunjukkan peningkatan kesejahteraan
(Bronsteen et al., 2009)
Terkait dengan pengukuran tingkat kesejahteraan, Meyer dan Sullivan
(2002) serta Grimes dan Hyland (2015) menyatakan bahwa secara konseptual dan
ekonomi, data konsumsi lebih tepat digunakan mengukur kesejahteraan
dibandingkan dengan data pendapatan, karena konsumsi merupakan pengukuran
yang lebih langsung dari kesejahteraan. Hal yang sama dinyatakan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS), indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat
kesejahteraan adalah kriteria yang didasarkan pada pengeluaran konsumsi rumah
tangga, baik pangan maupun non pangan (pendekatan kemiskinan).
Menurut Stiglitz, et.al. (2011), dalam mengukur kesejahteraan yang harus
diperhitungkan adalah standar hidup materiil (pendapatan, konsumsi, dan
kekayaan); tingkat kesehatan; tingkat pendidikan; aktivitas termasuk bekerja; hak
politik dan keadilan serta kebebasan; hubungan sosial; lingkungan hidup; dan
ketidakamanan baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Lebih lanjut Stiglitz, et
al. (2011), mengatakan bahwa kesejahteraan subyektif mencakup berbagai aspek
berbeda (atas hidupnya, kebahagiannya, kepuasannya, emosi positif).
Pengukuran kuantitatif atas aspek-aspek subyektif berpeluang
menghasilkan bukan hanya ukuran kualitas hidup yang baik, melainkan juga
pemahaman yang lebih baik atas determinan-determinannya jauh melampaui
persoalan pendapatan masyarakat dan kondisi materialnya. Semua dimensi
tersebut menunjukkan kualitas hidup manusia dan untuk mengukurnya diperlukan
82
data obyektif sebagai indikator kesejahteraan seperti Indeks Pembangunan
Manusia (IPM).
Indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur tingkat
kesejahteraan mengacu pada kriteria yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik
(BPS), yaitu tingkat pendapatan, tingkat kesehatan, dan tingkat pendidikan
sehingga mampu meningkatkan IPM masyarakat. Hubungan ketiga dimensi ini
saling mempengaruhi yaitu dengan peningkatan pendapatan dapat meningkatkan
tingkat pendidikan keluarga dan meningkatkan tingkat kesehatan keluarga. IPM
telah menjadi sebuah indikator yang diadopsi oleh negara-negara di dunia sebagai
salah satu pencapaian pembangunan manusia (BPS Bali, 2011).
Berkaitan dengan tingkat kesejahteraan petani, Sudana et.al (2007) serta
Sadikin dan Subagyono (2008) menganalisis dengan lima kriteria indikator, yaitu
perkembangan struktur pendapatan (on farm, off farm, non farm), struktur
pengeluaran/konsumsi, tingkat ketahanan pangan keluarga, daya beli rumah
tangga, dan perkembangan nilai tukar petani. Berdasarkan berbagai kriteria untuk
mengukur tingkat kesejahteraan di atas, maka dalam penelitian ini pengukuran
terhadap kesejahteraan masyarakat digunakan indikator kesejahteraan berdasarkan
indikator Badan Pusat Statistik yaitu tingkat pendapatan, tingkat kesehatan,
tingkat pendidikan, dan hubungan sosial, dengan mengadopsi kriteria yang
dikemukakan oleh Stiglitz, et.al. (2011), Sudana et.al. (2007), serta Sadikin dan
Subagyono (2008).
Sukirno (1999) mengatakan bahwa dalam meningkatkan produktivitas dan
menambah tingkat kesejahteraan petani, sebagaimana tujuan dari program yang
83
dicanangkan pemerintah, dipengaruhi oleh: 1) kemajuan teknologi; 2) kepandaian
dan ketrampilan; serta 3) perbaikan dalam organisasi dan masyarakat. Bartelsman
dan Doms (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa penggunaan teknologi,
keterampilan pekerja, dan teknik manajemen berkorelasi tinggi dan berpengaruh
terhadap peningkatan kinerja yang berujung pada peningkatan pendapatan tenaga
kerja dan kesejahteraannya.
Khan dan Luintel (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa faktor
utama yang mempengaruhi produktivitas dalam meningkatkan kesejahteraan
adalah pengetahuan dan modal manusia. Olawuyi dan Oladele (2012) mengatakan
bahwa karakteristik sosio ekonomi seperti umur dan jumlah anggota rumah tangga
berpengaruh signifikan terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani.
Selain dipengaruhi oleh lingkungan dan suasana kerja (Fisk, 2000),
peningkatan produktivitas kerja dan kesejahteraan tenaga kerja dipengaruhi pula
oleh teknologi informasi (Jorgenson et.al, 2007). Miller dan Meiners (1994)
mengatakan bahwa produktivitas yang berujung pada diperolehnya lebih banyak
kesempatan kerja, serta peningkatan pendapatan dan kesejahteraan tenaga kerja
sangat tergantung dari pendidikan dan pelatihan yang lebih intensif, pengalaman,
dan kemauan dalam mencurahkan lebih banyak waktu dan energi untuk mengasah
keahlian dan pengetahuannya di bidang kerjanya.
Adepoju dan Oni (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa umur,
jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, dan jumlah anggota rumah tangga
berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan. Mahananto et.al. (2009)
menunjukkan bahwa, secara simultan faktor-faktor luas lahan garapan, jumlah
84
tenaga kerja efektif, jumlah pupuk, jumlah pestisida, pengalaman petani dalam
berusahatani, jarak rumah petani dengan lahan garapan, dan sistem irigasi
berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan produksi padi sawah sehingga
berpengaruh terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani. Jarak lahan garapan
dengan rumah petani menunjukkan hubungan yang negatif, semakin jauh jarak
lahan garapan dengan rumah petani mengakibatkan terjadinya penurunan
produksi. Ruswendi (2011) mengatakan bahwa aksesibilitas lokasi usaha ternak
ke jalan raya dengan jarak ± 1 km dengan keragaman masih kurang dari 6 km
dianggap masih cukup kondusif, sehingga memudahkan pengangkutan input dan
output hasil usaha tani/usaha ternak. Aksesibilitas lokasi yang cukup dekat ini bisa
menekan pengeluaran biaya pengangkutan sehingga akan dapat meningkatkan
efisiensi biaya dan meningkatkan pendapatan.
Kerjasama dalam usaha tani dengan membentuk kelompok tani dapat
meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja bagi petani sehingga mampu
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Yusdja, et.al., 2004).
Kesempatan kerja mempengaruhi pendapatan dikuatkan oleh penelitian yang
dilakukan Mahananto et.al. (2009) bahwa jumlah tenaga kerja, pengalaman petani
dalam berusahatani berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan produksi padi
sawah sehingga berpengaruh terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani.
Dengan pengalaman dan pengetahuan yang lebih maka memudahkan untuk
memperoleh kesempatan bekerja.
Syaukani et.al. (2002) menyatakan bahwa penciptaan lapangan kerja yang
tinggi akan berdampak pada peningkatan pendapatan sehingga daya beli
85
masyarakat semakin meningkat. Tambahan pekerjaan pada kegiatan off-farm atau
non-farm sangat signifikan menambah pendapatan petani. Petani tidak hanya
melaksanakan usaha tani saja, ketika menunggu hasil panen dapat melakukan
kegiatan off-farm untuk menambah penghasilannya (Mbaye dan Moustier, 2000;
Potutan et.al., 2000; Jette-Nantel et.al., 2011).
Terkait dengan faktor budaya, Soetomo (2008) yang mengatakan bahwa
dilihat pada saat proses perubahan menuju kondisi yang lebih baik dan lebih
sejahtera, maka masalah sosial dapat berposisi sebagai hambatan yang dialami
dalam proses tersebut. Petani juga cenderung memiliki pola pikir yang telah
menjadi budaya dalam bertani yaitu petani berusaha menghindari kegagalan, dan
bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan cara berani mengambil
resiko. Dalam memilih jenis bibit dan cara-cara bertanam mereka lebih suka
meminimumkan kemungkinan terjadinya suatu bencana daripada
memaksimumkan penghasilan rata-ratanya (Damsar, 2002).
2.7 Penelitian Terdahulu
Pengalaman BPTP Bali dalam pendampingan model pertanian terintegrasi
khususnya dalam Prima Tani, mampu memberikan dampak ekonomi secara
signifikan. Di Desa Sepang Buleleng yang menjadi inspirasi lahirnya program
Simantri, dengan pola integrasi kopi-kambing, pendapatan awal petani
Rp 5.721.700 tahun 2005, meningkat menjadi Rp 14.189.200 tahun 2008 atau
meningkat 148 persen (Guntoro et al., 2009). Demikian juga pada kawasan lahan
marjinal di Desa Sanggalangit Buleleng, dengan pola integrasi
jagung/hortikultura-sapi yang didukung irigasi embung, dapat meningkatkan
86
pendapatan dari Rp 4.094.000 tahun 2005 menjadi Rp 9.696.300 tahun 2008,
meningkat 136,84 persen (Adijaya et al., 2009). Hasil studi serupa dilaporkan
oleh Tim Anjak Badan Libang Pertanian tahun 2005 di Bali, bahwa usahatani
padi-sapi yang dikelola secara parsial memberi keuntungan total Rp 3.492.000
sedangkan yang dikelola secara terpadu (integrasi) sebesar Rp 4.430.000 per
musim, sehingga ada peningkatan pendapatan 29,29 persen.
Penelitian yang dilakukan oleh Sanjaya (2013) terhadap efektivitas
penerapan Simantri dan pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan petani di
Provinsi Bali menemukan bahwa efektivitas penerapan Simantri berpengaruh
positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani. Selain itu, faktor
kualitas SDM petani juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerapan
program Simantri. Variabel yang paling berpengaruh terhadap peningkatan
pendapatan petani adalah penerapan usaha pengolahan limbah ternak sapi.
Hasil Penelitian Wibawa dan Yasa (2013) terhadap program Simantri di
Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan menunjukkan bahwa
hasil analisis terhadap program Simantri berdampak positif dan signifikan
terhadap pendapatan dan kesempatan kerja rumah tangga petani. Pendapatan
sebelum ada program Simantri rata-rata Rp 0,606 juta per bulan dan sesudah ada
program Simantri menjadi Rp 1,542 juta per bulan. Hasil analisis terhadap
kesempatan kerja menunjukkan bahwa program Simantri juga berdampak positif
dan signifikan terhadap kesempatan kerja rumah tangga petani dilihat dari jam
kerja pada saat sebelum dan sesudah adanya program Simantri, dari 5,222 jam per
hari menjadi 9,827 jam per hari.
87
Anugerah et.al (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
pelaksanaan pola integrasi tanaman ternak di lokasi Simantri telah memberikan
dampak pada tumbuhnya kegiatan usaha kelompok, lapangan kerja, pemenuhan
kebutuhan pangan, pakan, pupuk dan pestisida organik serta biogas ditingkat
kelompok maupun untuk tujuan komersial melalui dukungan kebijakan setempat.
Hal yang hampir sama ditemukan oleh Arnawa et.al (2015) dalam penelitiannya
terhadap program Simantri di kabupaten Bangli, pelaksanaanya sudah efektif
ditunjukkan dengan dukungan sosial dan ekonomi terhadap usaha pengembangan
Simantri yang sangat kuat. Adapun faktor utama yang mempengaruhi efektivitas
penyelenggaraan program Simantri adalah umur, jumlah anggota keluarga, dan
tingkat pendidikan petani.
Dari segi kebijakan, peran pimpinan daerah dalam hal ini Gubernur,
sebagai pengambil keputusan dalam proses perencanaan sampai ditetapkannya
kebijakan pembangunan sektor pertanian daerah (Simantri) melalui proses
komunikasi politik dan proses pengambilan keputusan program, menjadi kunci
bagaimana akselerasi dan implementasi program pembangunan pertanian di
daerah dijalankan dan berkelanjutan (Anugrah, 2015). Penelitian yang dilakukan
Sudita (2016) terhadap evaluasi pemberian ransum dan pemenuhan nutrien untuk
sapi yang mempengaruhi tingkat keberhasilan program Simantri dengan
melakukan perbandingan terhadap ketinggian lokasi Simantri menemukan bahwa
tidak terdapat perbedaan keragaman hijauan dalam ransum yang diberikan untuk
sapi Bali Induk pada kelompok program Simantri pada tingkat ketinggian
berbeda.
88
Penelitian yang dilakukan oleh Suardi (2015) mengenai strategi
komunikasi dalam program Simantri dalam meningkatkan capaian keberhasilan
program Simantri terhadap 100 kelompok yang menerima program Simantri tahun
2012, menyimpulkan bahwa proses komunikasi program Simantri masih belum
berjalan dengan baik, sehingga capaian keberhasilan program Simantri belum
sesuai dengan yang ditargetkan. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan terkait
dengan pertanian integrasi dan Simantri, lebih banyak dilakukan terhadap aspek
teknis pada pelaksanaan di tingkat petani, kelompok tani dan gapoktan. Penelitian
yang terkait dengan peran pemerintah daerah dan segi kelembagaan terutama
modal sosial sampai saat ini belum dilakukan secara spesifik. Oleh karena itu,
penelitian ini akan melakukan analisis terhadap peran pemerintah dan modal
sosial petani anggota gapoktan Simantri, bagaimana pengaruhnya terhadap
keberhasilan Simantri dalam meningkatkan pendapatan petani.