tinjauan maqashid al-syariah -...
TRANSCRIPT
i
TINJAUAN MAQASHID AL-SYARIAH
TENTANG TA’LIK TALAK DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUHAMMAD HILMAN TOHARI
NIM: 1110043100008
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
ABSTRAK
MUHAMMAD HILMAN TOHARI : 1110043100008. “TINJAUAN
MAQASHID AL-SYARI’AH TERHADAP TA’LIK TALAK DALAM
PERNIKAHAN DI INDONESIA.” Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqh,
Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016. 1 x 80
Halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengungkap beberapa hal, yaitu :a. Landasan
hukum ta’lik talak dalam hukum pernikahan di Indonesia,b. Posisi ta’lik dalam
hukum pernikahan islam dan hukum positif, dan c. Pandangan Maqashid al
Syariah terhadap ta’lik talak dalam hukum pernikahan di Indonesia.
Dalam penelitian ini digunakan dua sumber data yaitu : data primer dan data
sekunder, yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan dengan mempelajari peraturan perundang-undangan terkait ta’lik
talak, diantaranya UU No.1/1974, KHI, dan kitab-kitab fiqih munakahat.
Sedangkan sumber data sekundernya adalah dengan buku-buku yang membahas
tentang ta’lik talak, begitu juga tulisan yang dimuat dalam jurnal, internet, dan
hasil-hasil penelitian terdahulu.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa : a. Landasan hukum ta’lik talak dalam
hukum pernikahan di Indonesia diatur dalam Bab V, pasal 29 Undang-undang No.
1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu diatur juga dalam Kompilasi Hukum
Islam ( KHI ) Pasal 1 huruf e yang berbunyi perjanjian perkawinan adalah
perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada
suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang; b. posisi
ta’lik talak dalam hukum pernikahan Islam di Indonesia ditentukan oleh
Kementrian Agama yaitu termasuk Ta’lik Syarthi, yaitu ta’lik yang dimaksudkan
untuk menjatuhkan talak diwaktu terjadinya syarat. Adapun menurut hukum
positif di Indonesia, perjanjian ta’lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib
diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah
diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. Apabila syarat yang diucapkan pada
ta’lik talak sudah terjadi, maka tidak dengan sendirinya jatuh talak, jika istri ingin
sungguh-sungguh terjadinya talak maka istri harus mengajukan persoalannya ke
pengadilan agama;
c. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Maqashid al-Syari’ah memiliki peranan
penting dalam kajian hukum islam, beberapa metode hukum islam yang sejalan
dengan Maqashid al-Syariah diantaranya adalah Maslahah Mursalah, Khuliya al-
Khams, dan Saddu Dzari’ah. Pelaksanaan ta’lik talak khusus nya di Indonesia
mepunyai banyak kemaslahatan. Maka ditinjau menggunakan Maqashid al-
Syari’ah ta’lik talak ini harus dilaksanakan.
Kata Kunci: Ta’lik Talak, Tinjauan Maqashid Al-Syari’ah
Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, SH, M.Ag dan Dr. Alimin Mesra, M.Ag.
Daftar Pustaka : tahun 1956 s/d tahun 2011
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرمحن الرحيم
Alhamdulillah, tak ada kata yang pantas penulis ucapkan selain ungkapan
puja dan puji serta syukur atas karunia yang tak terhingga yang diberikan Allah
swt, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “TINJAUAN
MAQASHID AL-SYARI’AH TENTANG TA’LIK TALAK DI INDONESIA”.
Shalawat serta salam dicurahkan kepada Nabi akhir zaman, Nabi
Muhammad SAW, juga kepada keluarganya, sahabatnya, dan ummatnya yang
senantiasa istiqomah dalam menjalankan semua ajarannya sampai akhir zaman,
Aamin.
Setelah perjuangan yang berat dan melelahkan, akhirnya skripsi ini selesai
ditulis. Penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Maka dari itu penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., selaku Ketua Program
Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Ibu Hj. Siti Hanna, Lc.,
M.A., Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.
vii
3. Dr. Hj. Mesraini, SH, M.Ag dan Dr. Alimin Mesra, M.Ag. selaku
dosen pembimbing skripsi yang telah banyak membantu
memberikan arahan dalam penyusunan sampai pada akhir skripsi.
4. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan di lingkungan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan pengetahuan dan bantuannya kepada penulis.
5. Segenap Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dalam
pengumpulan bahan skripsi ini.
6. Keluarga penulis, kedua orang tua tersayang Bapak H.Ali Mahyudin
dan Ibu Uliyah yang sangat penulis hormati dan cintai, yang telah
memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan doa demi kelancaran
dan kesuksesan penulis. Kakak dan adik penulis, Nur Indah Fauziah,
Siti Luthfiya Holida, Nafilatul Musyarofah, yang selalu memberikan
semangat, motivasi, serta dorongan doa yang sangat luar biasa
kepada penulis.
7. Sahabat terbaikku, Nurcholis dan Abdul Rosyid. Terima kasih atas
semua persahabatan yang telah kita rajut selama ini. Terima kasih
atas canda tawa dan dorongan semangatnya, semoga persahabatan
kita tidak akan pernah putus oleh jarak dan waktu. Dan untuk semua
teman-teman penulis, Ida Handayani, Siti Raihanun, Ade Tri
Cahyani, Muhtadin, Aqid, Aziz, Anas, Arifin, Sya’ban, Abdul kahfi,
viii
serta teman-teman yang lain yang tidak penulis sebutkan satu
persatu, terima kasih atas kebersamaan kita selama ini.
Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril
maupun materi, penulis ucapkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah Swt
membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai amal
jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan
skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak. Amiin.
Jakarta, Dzulhijjah 1437 H
Oktober 2015 M
Penulis
ix
DAFTAR ISI
JUDUL ………………………………………………………………………….. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………… iii
ABSTRAK ……………………………………………………………………... iv
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………………. v
KATA PENGANTAR ...............................................................................…...... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Identifikasi masalah ................................................................. 7
C. Batasan Dan Perumusan masalah............................................. 7
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian................................................ 8
E. Studi Review Terdahulu........................................................... 9
F. Metode Peneltian.................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan…......................................................... 13
BAB II TA’LIK TALAK
A. Pengertian Dan Sejarah Ta’lik Talak..................................... 15
B. Talak Yang Dikaitkan Dengan Syarat Tertentu (Perjanjian)
Menurut Fuqaha .................................................................... 22
C. Ta’lik Talak dalam Peraturan Perkawinan di Indonesia......... 25
D. Pelaksanaan Ta’lik Talak Menurut Peraturan di
Indonesia................................................................................. 30
BAB III KONSEP MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM
ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Maqashid al-Syari’ah............. 39
B. Pembagian Maqashid al-Syari’ah.......................................... 45
C. Urgensi Maqashid al-Syari’ah Dalam Ijtihad dan Metode
Istimbath Hukum Yang Berkaitan Dengan Maqashid al-
Syari’ah .................................................................................54
BAB IV PANDANGAN MAQASHID AL-SYARIAH TERHADAP
TA’LIK TALAK DALAM PERNIKAHAN DI INDONESIA
A. Ta’lik Talak Dalam Pernikahan di Indonesia Ditinjau Dari
Hukum Islam …………………..…………........................... 64
x
B. Analisis Tentang Pandangan Maqashid al-Syari’ah terhadap
Ta’lik Talak Dalam Pernikahan di Indonesia……...……...... 67
BAB V Penutup
A. Kesimpulan ............................................................................ 74
B. Saran ...................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 78
LAMPIRAN……………………………………………………………………. 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sangat menganjurkan pernikahan dalam rangka mewujudkan
tatanan keluarga yang tenang, damai, tenteram, dan penuh kasih sayang.
Allah Swt. Berfirman:
/(٤٣:٥٢)الزوم
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum 30 : 21)
Disamping itu, pernikahan merupakan salah satu sarana untuk
melahirkan generasi yang baik (dzurriyyah tayyibah). Bahkan, Rasulullah
Saw menegaskan bahwa pernikahan merupakan salah satu sunnah yang
dianjurkan.1
Keluarga merupakan lembaga yang sangat penting dalam proses
pendidikan anak, dan sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian
serta kemampuan. Secara teoritis dapat dipastikan bahwa dalam keluarga
yang baik, anak memiliki dasar-dasar pertumbuhan dan perkembangan yang
cukup kuat untuk menjadi manusia dewasa.
1 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta :
eLSAS, 2008), h. 41.
2
Kehidupan keluarga yang diawali dengan proses pernikahan
mengandung makna spiritual yang suci dan agung, karena dengan
terlaksananya ijab qabul antara sepasang pengantin itu artinya apa yang
diharapkan oleh Allah Swt yaitu hubungan biologis menjadi halal bagi
keduanya dan sekaligus berfungsi sebagai ibadah dan amal shaleh. Oleh
karena itu pernikahan merupakan perbuatan yang bersifat suci/sakral yang
semestinya dijaga dan tidak dinodai dengan hal-hal yang dapat merusak
keutuhan suatu pernikahan.
Untuk mewujudkan kelanggengan suatu pernikahan diperlukan
beberapa syarat diantaranya: dari segi pendidikan, untuk mengarungi
kehidupan bahtera rumah tangga hendaknya mereka mempunyai atau
membekali diri mereka dengan pendidikan yang memadai. Karena tidak
jarang terjadi perselisihan dalam rumah tangga dikarenakan minimnya
pengetahuan mereka tentang pernikahan, khususnya pada pasangan yang
menikah dalam usia muda, sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan
persoalan dengan hati yang jernih, kebanyakan dari mereka lebih
mengedepankan emosi ketimbang akal.2
Allah menjadikan manusia itu sebagai mahluk hidup yang selalu
menjaga kehormatan dan kemuliaan martabatnya. Oleh karena itu agar
bentuk kehidupan bersama antara seorang pria dan wanita terjaga baik
kehormatan dan kemuliaanya, maka diaturlah dalam suatu ikatan perjanjian
yang suci dan kokoh untuk membentuk suatu keluarga bahagia dan kekal.
2 Anshari Thayib, Rumah tangga Muslim, Cet. III (Surabaya: PT. Risalah Gusti, 1994), h.
23-24.
3
Masyarakat lebih mengenal perjanjian tersebut dengan istilah pernikahan
yang mempunyai fungsi-fungsi sosial seperti reproduksi, ekonomi,
pendidikan dan sebagainya.3
Adapun pengertian pernikahan menurut ketentuan Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa :
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan
aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan
seremonial yang sakral.4
Suatu pernikahan mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan
manusia dikarenakan :
1. Dalam suatu pernikahan yang sah selanjutnya akan menghalalkan
hubungan atau pergaulan hidup manusia sebagai suami istri. Hal itu
adalah sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk yang
memiliki derajat dan kehormatan.
2. Adanya amanah dari Tuhan mengenai anak-anak yang dilahirkan.
Anak-anak yang telah dilahirkan hendaknya dijaga dan dirawat agar
sehat jasmani dan rohani demi kelangsungan hidup keluarga secara
baik-baik dan terus menerus.
3 Harun Nasution, Gagasan dan Pemikiran, Cet. V, (Bandung : Mizan, 1998), h. 434.
4 M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2009), h. 8.
4
3. Terbentuknya hubungan rumah tangga yang tentram dan damai.
Dalam suatu rumah tangga yang tentram, damai dan diliputi rasa kasih
sayang, selanjutnya akan menciptakan kehidupan masyarakat yang
tertib dan teratur.
4. Pernikahan merupakan suatu bentuk perbuatan ibadah. Pernikahan
merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk
segera melaksanakannya, karena dengan perkawinan dapat
mengurangi perbuatan maksiat dan memelihara diri dari perzinahan.
Pernikahan dalam Islam hanya dijalani dengan persetujuan bebas
(kerelaan) dari kedua belah pihak. Rasulullah SAW bersabda, “Janda dan
wanita yang telah dicerai tak boleh dikawinkan sampai dia mengizinkan
dirinya sendiri, sedangkan anak gadis sepatutnya tidak dikawinkan sampai
diperoleh persetujuannya.” (H.R. Bukhari).
Pada prinsipnya pernikahan mempunyai tujuan yang menurut undang-
undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, adalah membentuk keluarga
bahagia dan kekal, masing-masing suami istri saling membantu dan
melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.5
Di dalam proses akad pernikahan Islam di Indonesia, terdapat suatu
kebiasaan yang dikenal dengan sighat ta’lik talak. Sighat ta’lik adalah suatu
janji secara tertulis yang ditandatangani dan dibacakan oleh suami setelah
selesai prosesi akad nikah di depan penghulu, isteri, orang tua / wali, saksi-
5 A. Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2000),
h. 268.
5
saksi dan para hadirin yang menghadiri akad pernikahan tersebut. Sighat
ta'lik ini diucapkan jika proses akad nikah telah selesai dan sah secara
ketentuan hukum dan Agama Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 1 poin e disebutkan bahwa ta’lik talak adalah perjanjian yang
diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam
akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.6 Akan tetapi posisi
sighat ta’lik talak tersebut belum jelas dalam hukum pernikahan baik
hukum Islam maupun hukum positif Indonesia, serta bagaimana pandangan
hukum Islam mengenai sighat ta’lik talak dalam hukum perkawinan di
Indonesia.
Di dalam agama Islam, ada tujuan yang dikehendaki oleh hukum
Islam, terlebih lagi dalam masalah perkawinan. Tujuan hukum yang
diturunkan oleh Allah dengan kata lain disebut maqashid al-syari’ah.
Secara bahasa, maqashid al-syariah terdiri dari dua kata, yakni
maqashid dan al-syari’ah.7 Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan.
Sedangkan al-syari’ah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air. Jalan
menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber
pokok kehidupan. Dalam karyanya al-muwaafaqat, al-syaatibi
mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan dengan maqashid al-
syariah. Kata-kata itu adalah maqaashid al-syarii’ah, al-maqaashid al-
syar’iyyah fi al-syari’ah dan maqashid min syar’i al-hukm. Walaupun
6 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo,
1995), h. 113. 7 Asafri Jaya Bakti, Konsep Maqashid Syariah, (Jakarta : PT RajaGrafindo, 1996), h. 61.
6
mempergunakan beberapa kata-kata yang berbeda, namun mengandung
pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah Swt.8
Dapat dikatakan bahwa kandungan maqashid al-syari’ah atau tujuan hukum
adalah kemaslahatan manusia.
Penekanan maqashid al-syari’ah yang dilakukan oleh al-syatibi secara
umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat al-qur’an yang menunjukkan
bahwa hukum-hukum Tuhan mengandung kemaslahatan. Ayat-ayat tersebut
diantaranya adalah tentang pengutusan Rasul;
)٧٠١:١٧ /األنبياء)
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya: 107)
سل ر زيه ومنذريه لئلا يكون للنابس على بش م بعد ٱللاة سل حجا ٱلز
وكبن (٤: ٥٦١ /)النساء ٣٦١عزيزا حكيمب ٱللا“Mereka Kami utus selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. Dan adalah Allah maha perkasa
lagi maha bijaksana.” (Q.S. An-Nisa : 165)
Berdasarkan ayat-ayat di atas, al-syatibi mengatakan bahwa maqashid
al-syariah dalam arti kemaslahatan terdapat dalam aspek-aspek hukum
secara keseluruhan. Artinya, apabila terdapat permasalahan-permasalahan
hukum yang tidak ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya, dapat
8 Asafri Jaya Bakti, Konsep Maqashid Syariah, h. 64.
7
dianalisis melalui maqashid al-syariah yang dilihat dari ruh syariat dan
tujuan umum dari agama Islam yang hanif.9
Kajian terhadap permasalahan tersebut akan penulis kemas dalam
bentuk penelitian dengan judul TINJAUAN MAQASHID AL-SYARIAH
TERHADAP TA’LIK TALAK DALAM PERNIKAHAN DI
INDONESIA.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah dipaparkan
diatas diperoleh beberapa masalah sebagai berikut:
1. Sighat ta’lik talak hanya sebagai formalitas dalam proses pernikahan
dan tidak berdampak nyata dalam kehidupan rumah tangga.
2. Apabila tidak adanya sighat ta’lik talak akan terjadi sikap
kesewenang-wenangan suami terhadap istri
3. Terdapat banyak kasus perceraian terjadi yang diakibatkan
pelanggaran sighat ta’lik talak.
4. Sampai saat ini, belum terlihat dampak maqashid al-syari’ah yang
signifikan dari sighat ta’lik talak.
5. Belum jelasnya dasar hukum sighat ta’lik talak dalam hukum
pernikahan di Indonesia.
6. Belum ada kepastian dari kedudukan sighat ta’lik talak dalam proses
pernikahan di Indonesia.
9 Asafri Jaya Bakti, Konsep Maqashid Syariah, h. 68.
8
C. Batasan Dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan luasnya identifikasi masalah di atas, maka penulis akan
membatasi masalah hanya pada permasalahan, yaitu landasan hukum dan
kedudukan ta’lik talak dalam hukum pernikahan di Indonesia dalam
tinjauan hukum positif dan hukum Islam, serta pandangan maqashid al-
syari’ah terhadap ta’lik talak dalam hukum pernikahan di Indonesia.
2. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan permasalahan di atas dan untuk memudahkan
dalam penulisan ini, maka rumusan masalah yang diajukan adalah sebagai
berikut:
a. Apa landasan hukum ta’lik talak dalam hukum pernikahan di
Indonesia?
b. Bagaimana posisi ta’lik talak dalam hukum pernikahan Islam dan
hukum positif?
c. Bagaimana pandangan maqashid al-syariah terhadap ta’lik talak
dalam hukum pernikahan di Indonesia?
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian ini antara lain :
a. Untuk mengetahui landasan hukum sighat ta’lik talak dalam
hukum pernikahan di Indonesia.
9
b. Untuk mengkaji posisi sighat ta’lik talak dalam hukum
pernikahan Islam dan hukum positif.
c. Untuk mengetahui pandangan maqashid al-syariah terhadap
sighat ta’lik talak dalam hukum pernikahan di Indonesia.
2. Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain diharapkan memberikan sumbangan
pengetahuan terhadap aspek-aspek hukum Islam tentang pernikahan
khususnya yang dikaji dalam penelitian ini.
E. Studi Review Terdahulu
Sejauh penelusuran penulis belum ada skripsi yang membahas tentang
tinjauan maqashid al-syariah terhadap sighat ta’lik talak. Adapun skripsi
yang berkaitan dengan judul tersebut, diantaranya sebagai berikut :
“Pelanggaran Ta’lik Talak Perspektif Fiqih dan KHI (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No 881/PDT.G/2008/PA
DPK)” oleh Ahmad Syahrus, Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah tahun 2008. Dalam penelitian ini, digunakan
metodologi penelitian hukum normatif dengan jalan studi kepustakaan dan
studi kasus putusan pengadilan. Hasil temuan dari penelitian ini yaitu
menjelaskan tentang pemikiran ulama fiqih dan undang-undang KHI dalam
menentukan hukum cerai gugat melalui jalan khulu yang merupakan jalan
keluar terhadap suami yang melanggar ta’lik talak.
10
“Khuluk Sebagai Penyelesaian Sengketa Perkawinan Akibat
Pelanggaran Sighat Ta’lik Talak (Studi Kasus di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan)” oleh Khoirul Umam Konsentrasi Peradilan Agama
Program Studi Ahwal Al- Syakhsiyah tahun 2006. Dalam penelitian ini,
digunakan metodologi penelitian hukum normatif dengan jalan studi
kepustakaan dan penelitian hukum empiris. Hasil temuan dalam penelitian
ini adalah apabila salah satu isi dari sighat ta’lik yang di bacakan suami
ketika akad nikah tidak dilaksanakan maka istri dapat mengajukan gugatan
cerai ke Pengadilan Agama dengan cara khulu. Pengadilan Agama dapat
menyelesaikannya dengan cara khulu dan menceraikannya jika pelanggaran
sighat ta’lik talak terbukti dengan putusan talak satu khul’i.
“Pengaruh Ta’lik Talak Terhadap Keutuhan Rumah Tangga (Studi
Pada Warga Kelurahan Pisangan Ciputat)” oleh Ronika Putra Konsentrasi
Peradilan Agama Program Studi Ahwal Al- Syakhsiyah tahun 2008. Dalam
penelitian ini, digunakan metodologi penelitian deskriptif dengan cara
melakukan penelitian di lapangan. Dalam penelitian ini dijelaskan tujuan
dilembagakannya ta’lik talak untuk menyadari tugas dan tanggung
jawabnya suami serta pengaruh ta’lik talak terhadap keutuhan rumah
tangga.
Dari beberapa penelitian yang meneliti tentang sighat ta’lik talak di
atas, tidak ada yang membahas tentang tinjauan dari segi maqashid al-
syariah-nya. Maka dari itu, penulis lebih memfokuskan menganalisis
11
tinjauan maqashid al-syariah tentang hukum sighat ta’lik talak dalam
hukum pernikahan di Indonesia.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena penelitian ini
dianggap mampu menganalisa realitas sosial secara mendetail. Metode
kualitatif dapat digunakan untuk mengkaji, membuka, menggambarkan atau
menguraikan sesuatu dengan apa adanya. Baik yang berbentuk kata-kata,
maupun bahasa serta bertujuan untuk memahami fenomena dan temuan-
temuan yang ditemukan ataupun yang terjadi di lapangan berdasarkan bukti-
bukti atau fakta-fakta sosial yang ada, misalnya persepsi, perilaku, motivasi
dan lain-lain. Seperti dalam buku Metode Penelitian Kualitatif oleh Bagdan
dan Taylor. Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari pelaku yang
diamati.10
Adapun alasan peneliti menggunakan metode kualitatif ini karena ada
banyak pertimbangan. Pertama metode kualitatif lebih mudah apabila
berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua metode ini menyajikan secara
langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Dan yang ketiga
metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak
10
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : PT Remaja Rosda Karya,
1989), h. 3.
12
penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Di
samping itu juga alasan memilih metode kualitatif ini adalah karena data
yang ditemukan tidak bersifat angka-angka, penelitian ini bersifat
pernyataan-pernyataan yang perlu dianalisa kembali, agar mendapatkan
hasil yang di maksud.
2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
a. Sumber Data Primer
Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung
dari sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat
berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil
observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan
hasil pengujian.
Untuk mengumpulkan sumber data primer, penulis melakukan
dengan cara: Studi Kepustakaan dengan mempelajari peraturan
perundang-undangan terkait Ta’lik Talak, diantaranya UU No.1/1974,
KHI, dan kitab-kitab fiqih munakahat.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh
peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan
dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan
atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data
dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan.
13
Untuk mengumpulkan Sumber Data Sekunder, penulis
melakukan dengan cara : buku-buku yang membahas tentang Sighat
Ta’lik Talak, begitu juga tulisan yang dimuat dalam jurnal, internet,
hasil-hasil penelitian terdahulu, dsb.
3. Teknik Analisis Data
Setelah semua data terkumpul, maka langkah yang ditempuh
selanjutnya yaitu menganalisa data-data yang ditemukan di lapangan.
Adapun dalam menganalisis data yaitu dengan menggunakan metode yang
sudah ditentukan sebelumnya yaitu metode deskriptif kualitatif. Sehingga
diharapkan mendapatkan hasil yang akurat, teratur, dan tersusun rapi dalam
bentuk tulisan sebagai mana yang telah diharapkan oleh penulis.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran tentang skripsi ini maka akan disusun
atas lima bab, tiap-tiap bab mengandung beberapa sub bab meliputi:
BAB I : Pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, pembatasan dan
perumusan masalah, identifikasi masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, studi review terdahulu, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II : Membahas tinjauan umum tentang ta’lik talak dalam pernikahan
di Indonesia yang terdiri dari pengertian dan sejarah ta’lik talak,
talak yang dikaitkan dengan syarat tertentu (perjanjian) menurut
14
fuqaha, ta’lik talak dalam peraturan perkawinan di Indonesia
dan pelaksanaan ta’lik talak menurut peraturan di Indonesia.
BAB III : Membahas konsep maqashid al-syariah dalam hukum Islam
yang berisi tentang pengertian dan dasar hukum maqashid al-
syariah, pembagian maqashid al-syariah. Urgensi maqhasid al-
syariah dalam ijtihad dan metode istimbath hukum yang
berkaitan dengan maqhasid al-syariah
BAB IV : Menjelaskan pandangan maqashid al-syariah terhadap ta’lik
talak dalam pernikahan di Indonesia yang meliputi ta’lik talak
dalam pernikahan di Indonesia ditinjau dari hukum islam dan
analisis tentang pandangan maqhasid al-syariah terhadap ta’lik
talak dalam pernikahan di Indonesia.
BAB V : Merupakan tahap akhir dari penulisan skripsi yang berisi
kesimpulan-kesimpulan penelitian dari awal sampai akhir dalam
skripsi ini, juga terdiri dari saran-saran penulis tentang persoalan
yang diangkat dalam penelitian skripsi ini.
15
BAB II
TA’LIK TALAK
A. Pengertian dan Sejarah Ta’lik Talak
1. Pengertian ta’lik talak
Kalimat ta’lik talak secara etimologis berasal dari dua suku kata,
yaitu kata ta’lik dan kata talak. Kata ta’lik adalah bentuk mashdar dari
kata yang bermakna menggantungkan sesuatu dengan suatu علك يعلك تعليما
atau menjadikannya tergantung dengan sesuatu.1 Para ulama memberikan
definisi dengan :
ربظ حصىل مضمىن جملت بحصىل مضمىن جملت أخري وتكىن الجملت الول
الجزاء والثاويت جملت الشرط جملت 2
Artinya : “Menggantungkan hasil kandungan jumlah yang dinamakan
jaza’ (akibat) dengan kandungan jumlah yang lain yang dinamakan
syarat”.
Sedangkan kata Talak berasal dari kata يطلك -طلك طاللا- yang
berarti meninggalkan, memisahkan, melepaskan ikatan.3 Para ulama
memberikan definisi Talak secara bahasa adalah :
ر مه ليدي ووحىي تحر
Artinya : “Melepaskan dari ikatan dan semisalnya”.4
Jadi Talak artinya “melepaskan atau meninggalkan, seperti
melepaskan sesuatu dari ikatannya”. Sedangkan menurut istilah syara’
ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafal talak atau
1 Louis Ma’luf, Al-Munjid, (Beirut, Darul Masyriq), h.549.
2 Mahmud Syalthut dan Ali Al-Sayis, Muqaranah al-Madzahib fil Fiqhi, Terjemahan Zakiy
al-Kaaf, (Bandung, Pustaka Setia, 2000), h. 210. 3 Louis Ma’luf, Al-Munjid, h. 488.
4 Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Washit, jilid 2, (Mesir, Darul Ma’arif, 1976), h. 567.
16
yang searti dengan itu.”5
Ta’lik talak artinya ucapan yang diikrarkan oleh suami kepada
istrinya yang dikaitkan dengan sesuatu sebagai syaratnya. Supaya sah
penggunaan lafal atau ucapan yang ditaklikan itu maka harus dipenuhi dua
syarat :
a. Sesuatu yang dijadikan syarat pada waktu diikrarkan ta’lik talak itu
yang belum mungkin terjadi kemudian.
b. Perempuan yang akan di ta’klikan talaknya adalah sebagai istri sah bagi
laki-laki yang bersangkutan.6
Dalam pasal (1) sub (e) Kompilasi Hukum Islam No. 1 tahun 1991,
disebutkan yaitu :
“Ta’lik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria
setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta buku nikah berupa janji
talak yang digantungkan kepada sesuatu keadaan tertentu yang
memungkinkan terjadi yang akan datang.”7
2. Sejarah Ta’lik Talak
Menurut sejarah, perkembangan ta’lik talak di Indonesia di mulai
pada masa Kerajaan Islam Mataram, tepatnya pada masa Sultan Agung
Hanyakrukusuma (1630 M). Pada saat itu sultan mengeluarkan sebuah
titah atau perintah berupa keharusan untuk melakukan ta’lik talak kepada
5 Peunoh Dally, Disertasi Provendus Doktor, (Jakarta, IAIN, Jakarta, 1983),h. 688.
6Peunoh Dally, Disertasi Provendus Doktor , h. 713.
7 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Ditbinbapera Depag RI,2000), h. 179.
17
setiap mempelai pria yang melangsungkan pernikahan.8
Ta’lik talak itu dikenal dengan “ta’lik janji dalem” atau “ta’lik janji
ning ratu”, yang berarti ta’lik talak dalam kaitan dengan tugas Negara.9
Perintah ta’lik talak itu bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi
seorang wanita (istri) untuk dapat melepaskan ikatan perkawinan dari
suami yang telah meninggalkan pergi dalam jangka waktu tertentu, artinya
hak istri diperteguh, dan sekaligus memberikan kemudahan bagi sang
hakim dalam menjatuhkan talak yang digantungkan. Selain itu
pelembagaan ta’lik talak waktu itu dimaksudkan untuk memberikan
jaminan bagi seorang suami apabila kepergiannya dalam menjalankan
tugas Negara, artinya suami dilindungi dan kepergiannya menjadi udzur
syar’i.
Adapun bunyi ta’lik talaknya adalah sebagai berikut :
“Mas penganten, pakenira tompo ta’lik janji dalem, samongso
pakenira nambang (ninggal) rabi pakenira. . . lawase pitung saso
lakon daratan, hutawa nyabrang sagara rong tahun, saliyane
ngelakoni hayahan dalem, tan taimane rabi pakenira nganti darbe
hatur rapak (sawan) hing pengadilan hukum, sawuse terang
papriksane runtuh talak paprikane sawiji”.10
(Wahai pengantin pria, engkau menerima ta’lik janji dalem,
sewaktu-waktu engkau menambang (meninggalkan pergi) istrimu bernama
…. Tujuh bulan perjalanan darat, atau menyebrang lautan selama dua
tahun, kecuali dalam tugas Negara, dan istrimu tidak rela sehingga
8 Zaini Ahmad Noeh, Pembacaan Sighat Ta’lik Talak Sesudah Akad Nikah, Mimbar
Hukum, (Jakarta, Ditbinbapera no. 30 Th. VII, 1997), h. 64. 9 Peunoh Dally, Talak, Rujuk, Hadhonah dan Nafkah Kerabat Dalam Naskah Mir’at al-
Thullab: Suatu Studi Perbandingan Hukum Isteri Menurut Ahlussunnah, Desertasi Provendus
Doctor, (Jakarta, Perpustakaan Syari’ah UIN Syahid, 1983), h. 85. 10
Moh. Adnan Dan Mardi Kintoko, Buku Tata cara Islam, (Surakarta, 1974), h. 70.
18
mengajukan rapak (menghadap) ke pengadilan hukum, setelah
pemeriksaannya maka jatuhlah talak satu untukmu.)
Pada waktu itu sighat ta’lik talak diucapkan oleh penghulu naib,
bukan oleh mempelai pria. Mempelai pria hanya cukup menjawab dengan
jawaban “hinggi sandika”, (ya, ya saya bersedia). Bentuk ta’lik talak
semacam ini, pada waktu itu berlaku di daerah Surakarta dan berjalan
sangat lama hingga menjelang kemerdekaan.
Dalam suasana Hindia Belanda, sejak Deandles mengeluarkan
instruksi bagi bupati (1808), maka timbul gagasan para penghulu dan
ulama dengan persetujuan untuk melembagakan ta’lik talak sebagai sarana
pendidikan bagi suami agar lebih mengerti kewajibannya terhadap istri,
yaitu dengan tambahan rumusan sighat tentang kewajiban pemberian
nafkah dan tentang penganiayaan jasmani. Sesuai dengan pengertian talak,
maka ta’lik talak tidak lagi diucapkan oleh pegawai pencatat nikah, akan
tetapi dibaca sendiri oleh suami sesudah akad nikah.
Melihat bahwa format ta’lik talak di Jawa itu bermanfaat dalam
menyelesaikan perselisihan antara suami istri, maka banyak penguasa dari
luar jawa dan Madura memberlakukannya di daerahnya masing-masing.
Ini menjadi lebih merata dengan berlakunya Ordonansi pencatatan nikah
untuk luar jawa dan Madura, yakni melalui Stbl 1932 No. 482. Ini terbukti
dengan berlakunya ta’lik talak di daerah Minangkabau (1925) bahkan di
Muara Tembusi (1910), begitu pula di daerah Sumatra Selatan,
19
Kalimantan Barat dan Selatan, serta Sulawesi Selatan.11
Para ulama kemudian menyarankan agar dalam sighat ta’lik talak
ditambahkan ketentuan tentang pemberian iwadh (uang pengganti). Ini
dimaksudkan untuk menjamin agar jatuhnya talak karena pelanggaran
ta’lik talak menjadi talak ba’in atau talak khul’i sehingga seorang suami
yang mempunyai niat buruk tidak dapat serta merta merujuk kembali
terhadap bekas istrinya yang selama itu telah menderita akibat perbuatan
suami.
Adapun usulan penambahan redaksi dalam format ta’lik talak
dengan ketentuan memberi iwadh dipelopori oleh ulama dari daerah
Banten dan menjadi pembahasan yang ramai di kalangan ulama Sumatra
Selatan pada tahun 1970-an.12
Format ta’lik talak yang mengandung unsur-unsur: (1) meninggalkan
pergi, (2) tidak memberi nafkah, (3) penganiayaan jasmani, dan (4) istri
membayar uang iwadh berkembang menjadi pola umum yang berlaku di
seluruh daerah sekalipun rumusannya berbeda-beda sesuai dengan bahasa
daerah masing-masing.
Dalam suasana kemerdekaan, dengan berlakunya Undang-Undang
No. 22 Tahun 1946, jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1952, maka
ketentuan tentang sighat ta’lik talak diberlakukan seragam di seluruh
Indonesia, dengan pola diambil dari saran sidang khusus Biro Peradilan
11
Moh. Adnan Dan Mardi Kintoko, Buku Tata cara Islam ,h. 66 12
Zaini Ahmad Noeh, Pembacaan Sighat Ta’lik Talak Sesudah Akad Nikah, Mimbar
Hukum, h. 66.
20
Agama pada Konferensi Kementrian Agama di Tretes malang (1956),13
dan terakhir setelah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dengan sighat ta’lik talak yang telah ditetapkan dalam
peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1990.
B. Talak Yang Dikaitkan Dengan Syarat Tertentu (Perjanjian) Menurut
Fuqaha
Menurut Az-Zaqra, perjanjian (akad) dalam terminologi fikih adalah
ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang
sama-sama berkeinginan untuk mengikat diri.14
Ali Al-Sayis memberikan komentar lebih lanjut bahwa perjanjian dalam
Islam itu bukan hanya perjanjian yang bersifat partai, tetapi juga
termasuk perjanjian sepihak, bahkan juga termasuk janji kepada Tuhan.
Berkaitan dengan ruang l lingkup perjanjian ini Ibn Araby mengemukakan
pendapatnya, ada 5 (lima) hal yang termasuk dalam kategori perjanjian, yakni;
1. Perjanjian secara umum.
2. Sumpah.
3. Kewajiban yang telah dibebankan Allah kepada hambanya.
4. Akad Nikah, perkongsian (syirkah), jual beli, sumpah dan janji kepada
Allah.
5. Perikatan atas dasar saling mempercayai.15
13
Buku Laporan Kementrian Agama, 1956, h,322. 14
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid I, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve, 2000), h. 63. 15
Abu Zakariya Muhammad ibn Abdullah Ibn Araby, tt, Ahkam al-Qur’an, Juz II,
(Dar al- Ma’rifah, Beriut), h. 524-525.
21
Ada beberapa syarat yang dibuat dalam akad nikah. Yaitu :
1. Syarat yang sifatnya bertentangan dengan yang dikehendaki oleh akad
nikah
Bagian ini terdapat dua macam bentuk.
a. Tidak merusak tujuan pokok akad pernikahan. Misalnya, suami berkata
dalam sighat kabul-nya sebagai berikut : “aku terima nikahnya dengan
syarat tanpa maskawin atau tanpa nafkah”.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa syarat-
syarat seperti tersebut batal hukumnya. Sedangkan akad nikah tersebut
hukumnya tetap sah dengan alasan bahwa akad nikah itu sendiri telah
menetapkan kewajiban suami memberi nafkah dan kewajiban suami
membayar maskawin menurut jumlah yang telah ditentukan jika
disebutkan jumlahnya di dalam akad nikah, atau berupa mahar misil
(setelah dukhul) jika tidak disebutkan di dalam akad. Sedangkan
membuat syarat untuk menggugurkan kewajiban tersebut di dalam
suatu akad berarti menetapkan tidak wajibnya hal-hal tersebut. Hal itu
bertentangan dengan sifat akad pernikahan itu sendiri. Jadi
menyebutkan syarat-syarat seperti itu hukumnya sia-sia saja, sama
dengan tiada.16
b. Merusak tujuan pokok akad nikah. Umpamanya : pihak istri membat
syarat agar ia tidak disetubuhi.
Hukum membuat syarat seperti ini adalah serupa dengan apa yang
16
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Masalah Penikahan, (Jakarta, Pustaka
Firdaus,2003), h. 267
22
telah dijelaskan di atas (angka 1). Akan tetapi, Mazhab Syafi’í
memandang bahwa akad nikah tersebut hukumnya batal karena akad
nikah itu sendiri telah memberikan hak kepada suami untuk
menyeubuhi istrinya. Berlainan halnya jika syarat tersebut datang dari
pihak suami sendiri, dengan arti kata ia tidak mau menjalankan
haknya. Menurut qaul mu’tamad dalam mazhab Syafi’i, akad nikah
tersebut hukumnya sah tetapi syarat tersebut itulah yang batal
sebagaimana halnya pada angka 1 di atas.
2. Syarat yang tidak bertentangan dengan kehendak akad nikah
Bagian ini terdapat dua macam bentuk, yaitu :
a. Merupakan pihak ketiga secara langsung. Umpamanya : calon isteri
mensyaratkan kepada calon suami (yang mempunyai isteri) supaya
menjatuhkan talak isterinya. Syarat seperti ini tidak dapat dianggap,
dengan arti kata, hukumnya tidak sah, yakni adanya sama dengan tiada
karena terdapat larangan agama sebagaimana diketahui dari riwayat
Abu Hurairah ra. Yang berbunyi sebagai berikut :
( علي متفك) اختها ق طال المرأة ط تشتر ان . )ص. الىبي وه )
“Rasulullah melarang wanita membuat syarat (agar calon suami
menjatuhkan) talak saudaranya (isteri calon suami) tersebut.
b. Kemanfa’atannya kembali kepada wanita. Umpamanya : pihak calon
isteri mensyaratkan agar ia tidak dimadukan.17
Mengenai syarat seperti ini, terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama atas dua golongan :
17
Ibrahim hosen, Fiqih Perbandingan Masalah Penikahan, h. 267-269.
23
1. Golongan pertama memandang bahwa syarat seperti tersebut hukumnya
batal. Sedangkan hukum akad pernikahannya tetap sah. Demikian menurut
Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, Lais bin Sa’ad, as-Sauri dan Ibnu
Munzir (dengan catatan Imam Malik memandang bahwa meskipun syarat
itu batal, memenuhi syarat seperti tersebut hukumnya sunat).
Dalil yang dipegang oleh golongan ini adalah sebagai berikut :
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh at-Tirmizi yang berbunyi :
ماوحراهاأحلاشرطاإلاطهنشروعلىالوسلوىى حاللحرا
“Kaum muslimin itu terikat dengan syarat-syarat (janji-janji) yang
mereka buat kecuali syarat yang menghalalkan hal-hal yang haram atau
mengharamkan yang halal”. 18
Hadis ini jelas menunjukan bahwa kaum muslimin wajib
memenuhi syarat-syarat yang mereka buat yang tidak bertentangan
dengan agama. Manakala syarat tersebut bertentangan dengan agama,
syarat itu menjadi batal.
2. Memandang bahwa syarat seperti tersebut hukumnya sah dan wajib
dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, pihak wanita berhak mem-fasakh-kan akad
nikahnya. Demikian menurut Imam Ahmad, Auza’i, dan Abu Ishak.
Dalil yang dipegang oleh golongan ini adalah sebagai berikut :
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim :
رطأحقاىاإ الفروجبهاستحللتنهابهافىاتىأىالش
“Sesungguhnya syarat yang paling utama dipenuhi ialah sesuatu yang
dengannya kamu pandang halal hubungan kelamin”.
Hadis ini jelas menunjukan bahwa syarat-syarat yang dibuat dalam akad
18
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Masalah Penikahan, h. 269-270.
24
nikah hendaklah lebih utama dipenuhi.
3. Syarat yang sejalan dengan akad pernikahan
Umpamanya, pihak wanita membuat syarat “agar ia diberi nafkah”. Syarat
seperti ini dianggap untuk memperkuat fungsi akad nikah, karena
kewajiban suami memberi nafkah isterinya adalah suatu hal yang dituntut
oleh akad nikah itu sendiri tanpa perlu pada pembuatan syarat secara
khusus.19
Adapun Sayid Sabiq berpendapat sahnya ta’lik talak ada tiga :
1. Perkaranya belum ada, tetapi mungkin terjadi kemudian jika perkaranya
telah ada/nyata sungguh-sungguh ketika diucapkan kata-kata talak seperti:
jika matahari terbit maka engkau tertalak. Sedang kenyataannya matahari
sudah nyata terbit, maka ucapan seperti ini digolongkan tanjiz (seketika
berlaku), sekalipun diucapkan dalam bentuk ta’lik. Jika ta’liknya kepada
perkara yang mustahil, maka dianggap main-main, umpamanya : jika ada
unta masuk lubang jarum maka engkau tertalaq.
2. Hendaknya isteri ketika lahirnya aqad (thalaq) dapat dijatuhi thalaq,
umpamanya karena isteri di dalam pemeliharaannya.
3. Ketika terjadinya perkara yang dita’likkan isteri berada dalam
pemeliharaan suami.
Sayid Sabiq menguraikan dalam Fikih Sunnah bahwa perjanjian
perkawinan yang disebut sebagai ta’lik talak ada dua macam bentuk :
1. Ta’lik yang dimaksud sebagai janji, karena mengandung pengertian
19
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Masalah Penikahan, h. 270-273.
25
melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan
suatu kabar. Dan ta’lik talak seperti ini disebut dengan ta’liq qasami.
2. Ta’lik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak bila telah terpenuhi
syarat ta’liq. Ta’liq seperti ini disebut dengan ta’liq syarti.20
Dari kedua bentuk ta’lik talak di atas dapat dibedakan dengan kata-kata
yang diucapkan oleh suami. Pada ta’liq qasamy, suami bersumpah untuk
dirinya sendiri. Sedangkan pada ta’lik talak suami mengajukan syarat
dengan maksud jika syarat tersebut ada maka jatuhlah talak suami pada
isterinya.
Berkaitan dengan waktu yang akan datang atau waktu tertentu, maksudnya
talak itu akan jatuh apabila syaratnya telah dilanggar. Imam madzhab sendiri
mempunyai pendapat yang berlainan. Abu Hanifah dan Malik berpendapat
bahwa perempuan terthalaq seketika itu juga, tetapi Dyafi’I dan Ahmad
mengatakan belum berlaku sebelum waktu itu tiba, adapun Ibnu Hazm, baik
sekarang atau akan datang talaq semacam itu tidak jatuh.21
C. Ta’lik Talak dalam Pertaturan Perkawinan di Indonesia
Dalam KHI, ta’lik talak dimasukan dalam bentuk-bentuk perjanjian
perkawinan (KHI pasal 45 dan KHI pasal 46). Perjanjian yang mengikat pada
lazimnya mencakup semua yang mengikat dan ta’lik talak merupakan bentuk
perjanjian. Jadi dalam hal ini ta’lik talak adalah sebuah perjanjian yang
mengikat di antara para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
Dalam Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam dinyatakan
20
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, لدلمجا al Fath Lil A’lam Al-Arobi, 1410 H/1990 M., h.362 الثاو 21
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, h.364
26
perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai
pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji
talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi
di masa yang akan datang.
Perjanjian Perkawinan dalam KHI terdapat dalam BAB VII yang di
dalamnya mengatur ta’lik talak sebagaimana yang terdapat dalam pasal 45 dan
pasal 46 yang berbunyi: “Kedua calon mempelai dapat mengadakan
perjanjian perkawinan dalam bentuk: (1) Ta’lik Talak. (2) Perjanjian lain
yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Adapun mengenai
penjelasannya adalah kata perjanjian berasal dari kata janji yang berarti
perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Janji
juga dapat diartikan persetujuan antara dua pihak (masing-masing menyatakan
kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu). Dan perjanjian bisa
juga diartikan sebagai persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh
dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji menaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu. Perjanjian ta’lik talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh
suami setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa talak
yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di
masa yang akan datang.
Sedangkan dalam pasal 46 KHI berbunyi:
1. Isi ta’lik talak tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam.
2. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam ta’lik talak betul-betul
terjadi di kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak
27
sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke
pengadilan agama. Hal ini bisa juga dikatakan sebagai talak yang
dijatuhkan oleh Hakim.
3. Perjanjian ta’lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan
pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan
tidak dapat dicabut kembali.
Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka dapat dikatakan bahwa:
1. Isi ta’lik talak sudah ditentukan oleh Menteri Agama dan diterbitkan
oleh Departemen Agama, karena yang melakukan perjanjian ta’lik
talak ini adalah orang Islam saja, maka isi perjanjian ta’lik talak tersebut
tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam.
2. Apabila suami melanggar perjanjian ta’lik talak tersebut, maka istri
harus mengajukannnya ke pengadilan agama. Karena perceraian di
Indonesia terjadi apabila dilakukan dihadapan para hakim dalam sidang di
pengadilan agama. Hal ini bisa juga dikatakan sebagai talak yang
dijatuhkan oleh Hakim.22
3. Ta’lik talak tidak wajib hukumnya, akan tetapi sekali ta’lik talak
diucapkan maka tidak dapat dicabut kembali, dalam hal ini ta’lik talak
sangat mengikat bagi yang mengadakan perjanjian ta’lik talak ini.
Dari ketentuan perjanjian perkawinan yang termuat dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 45 ayat (2) bahwa perjanjian lain yang tidak bertentangan
dengan Hukum Islam terdapat kaitannya dengan perjanjian yang ada dalam
Pasal 1320 KUH Perdata mengemukakan bahwa Undang-undang telah
22
Muhammad Jawad Mughniyah, al-fiqh ala al-Madzahib al-khamsah , diterjemahkan
Masykur A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff, Fiqih Lima Mazhab, h. 489.
28
menentukan 4 (empat) persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu perikatan
atau perjanjian dianggap sah yaitu :
1. Kesepakatan mereka yang mengikat diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Dengan demikian, perjanjian perkawinan yang diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam, walau dengan teks yang berbeda mempunyai unsur-
unsur yang sama dengan perjanjian dalam KUH Perdata. Namun demikian,
dalam perjanjian ta’lik talak mempunyai perbedaan dengan perjanjian pada
umumnya dalam hal tertutupnya kemungkinan kedua belah pihak untuk
membubarkan kesepakatan tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal
46 ayat (3) KHI yang menyatakan bahwa perjanjian ta’lik talak bukan
suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi
sekali ta’lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Untuk mengukur apakah ta’lik talak sebuah perjanjian atau bukan, kita
harus melihat Pasal 1320 KUH Perdata yang memuat syarat sahnya
perjanjian yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) Cakap
mereka yang mengikatkan diri, (3) suatu hal tertentu, dan (4) suatu sebab atau
kausa yang halal. Syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana tersebut di
atas dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu kategori syarat subjektif dan
kategori syarat objektif. Syarat subjektif, yaitu syarat sepakat mereka
yang mengikatkan diri dan syarat kecakapan untuk membuat perjanjian.
Apabila syarat subjektif tidak dapat dipenuhi maka perjanjian dapat
dibatalkan. Syarat objektif, yaitu syarat suatu hal tertentu dan syarat
29
suatu sebab yang halal. Apabila dalam perjanjian syarat objektif tidak
dipenuhi, maka perjanjian adalah batal demi hukum.23
Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri adalah
adanya kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu
perjanjian yang sah. Di dalam ta’lik talak, suami istri telah sepakat tanpa
paksaan untuk menandatangani persetujuan bersama yang tertuang dalam
konsep ta’lik talak itu, karena ta’lik taklak bukan sebuah keharusan bagi
berlangsungnya sebuah perkawinan.
Cakap maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut
hukum untuk bertindak sendiri. Di dalam hukum perkawinan, seseorang
boleh dapat melangsungkan perkawinan apabila berumur 19 tahun laki-
laki dan 16 tahun bagi perempuan, yang diatur dalam pasal 7 dalam undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, artinya suami istri tersebut
sudah dewasa dan cakap hukum untuk melakukan perbuatan hukum.
Suatu hal tertentu maksudnya yang diperjanjikan dalam suatu
perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu.
Di dalam ta’lik talak ini, yang diperjanjikan sudah jelas yang tertuang dari isi
ta’lik talak tersebut.
Suatu sebab atau kausa yang halal artinya perjanjian itu tidak
dilarang atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Karena keberadaan ta’lik talak untuk melindungi si istri dari perbuatan
suami, maka keberadaan ta’lik talak tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, ta’lik
talak adalah sebuah perjanjian.
23
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1999), h. 65.
30
D. Pelaksanaan Sighat Ta’lik Talak Menurut Peraturan di Indonesia
Yang dimaksud dengan ta’lik talak menurut peraturan di Indonesia
adalah ta’lik talak yang terdapat dalam buku nikah yang diterbitkan oleh
Departemen Agama.
Dalam kitab fiqh ta’lik talak dibagi menjadi dua yaitu ta’lik
qasami dan ta’lik syarthi. Ta’lik qasami adalah sumpah untuk mendorong
berbuat sesuatu atau kebalikannya (mencegah berbuat sesuatu), atau untuk
memperkuat berita. Sedangkan yang dimaksud dengan ta’lik syarthi adalah
ta’lik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak diwaktu terjadinya
syarat.24
Sedangkan di Indonesia tidak terdapat pembagian ta’lik talak, karena
hanya satu macam ta’lik talak yaitu ta’lik talak yang ditentukan oleh
Departemen Agama dan ini termasuk ta’lik syarthi menurut fiqh.
Adapun ta’lik talak yang berlaku di Indonesia telah diatur sedemikian
rupa dan untuk memudahkan pelaksanaannya telah disediakan teksnya
yang berisikan syarat-syarat tertulis dan PPN hanya menawarkan kepada
mempelai apakah dibacakan ta’lik talak atau tidak. Bila dibacakan maka di
buku nikah akan dibubuhi tanda tangan suami sebagai bukti bahwa suami
telah mengucapkan janji dihadapan istri. Bila suami tidak bersedia
membaca ta’lik talak, maka teks ta’lik talak yang tersedia dicoret
petugas sebagai tanda suami tidak membaca ta’lik talak. Karena
pembacaan ta’lik talak ini hanya anjuran, maka suami pun berhak untuk
tidak membacakannya di hadapan mempelai istri.
Pasal 1 huruf e Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
24
Mahmud Syaltut, Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqih, diterjemahkan
Ismuha (Jakarta: Bulan Bintang, 2000 ), h. 211.
31
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan ta’lik talak adalah perjanjian
yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan
dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan dalam suatu keadaan
tertentu yang datang. Oleh karena itu dalam buku I KHI tentang perkawinan
telah menempatkan ta’lik talak sebagai perjanjian dapat mengadakan
perjanjian perkawinan dalam bentuk ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Adapun sighat taklik yang diucapkan
suami setelah aqad nikah kepada istri yang dipraktekkan di Indonesia adalah :
Bismillah al-rahman al-rahim
Sesudah akad nikah, saya ....... bin .... berjanji dengan sesungguh
hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami,
dan akan saya pergauli istri saya bernama ... binti ....dengan baik
(mu‘âsyarah bil-ma’rûf) menurut ajaran syari’at Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’lik atas istri saya itu
sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya :
1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan
lamanya.
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan
lamanya.
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada
pengadilan agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh
pengadilan tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp.
10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebagai ’iwadh (pengganti) kepada saya,
maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kemudian pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima
uang ’iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Badan
Kesejahteraan Masjid (BKM) pusat untuk keperluan ibadah sosial.25
Dalam proses pernikahan biasanya mempelai wanita ditanya apakah
mohon mempelai laki-laki mengucapkan ta’lik talak atau tidak, demikian
halnya dengan mempelai laki-laki. Dan hampir dapat dipastikan keduanya
25
Depag RI, buku akte nikah, (Jakarta, 23 Feruari, 2010).
32
setuju agar ta’lik talak dibacakan dan mempelai laki-laki membacakan sendiri
ta’lik talak di hadapan istri.
Isi dalam sighat tersebut adalah perjanjian perkawinan antara suami dan
isteri. Dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa ta’lik talak pada
prinsipnya sama dengan perjanjian perkawinan. Artinya, ta’lik talak
merupakan bagian dari perjanjian perkawinan. Dengan ungkapan lain,
perjanjian perkawinan dapat dalam bentuk ta’lik talak dan dapat pula dalam
bentuk lain di luar ta’lik talak. Sejalan dengan isi sighat ta’lik tersebut, maka
ta’lik talak dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia pun masuk pada
pasal perjanjian perkawinan, yang tercantum pada Bab V, pasal 29 Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang isinya sebagai berikut :
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Demikian juga perjanjian perkawinan dicantumkan dalam Kompilasi
Hukum Islam Indonesia (KHI), yang diatur dalam Bab VII: Perjanjian
Perkawinan (pasal 45 s/d 52).
33
Suatu perkawinan menurut hukum positif di Indonesia yang juga
diilhami dari hukum Islam pada dasarnya bertujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hendaknya kita sadar bahwa perkawinan bukan bertujuan hanya untuk sesaat
saja. Di dalam sebuah perkawinan terkandung hak dan kewajiban masing-
masing, baik itu suami maupun istri. Suami sebagai kepala keluarga
mempunyai kewajiban yang tidak ringan, diantara nya ia harus menyayangi
istri dan mampu memberikan nafkah lahir maupun batin. Jadi, ikrar ta’lik talak
pada dasarnya memberi jaminan atas terpenuhinya kewajiban suami ini,
terutama ini untuk melindungi wanita.26
Dalam hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, ta’lik talak
bukanlah merupakan kewajiban. Ini ditegaskan dalam Pasal 46 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam, "Perjanjian ta’lik talak bukan suatu perjanjian yang
wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah
diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali." Dari bunyi Pasal tersebut jelas
pihak mempelai pria sebenarnya mempunyai hak menolak membaca ta’lik
talak. Ta’lik talak dibaca setelah ijab qabul.
Di sini yang harus kita cermati, bahwa setelah ijab qabul selesai dan
para saksi menyatakan sah, mulai saat itu juga keduanya telah resmi menjadi
suami istri dan kewajiban petugas KUA ialah mencatatnya. Ini berarti semua
26
http://click-gtg.blogspot.com/2009/05/taklik-talak-dalam-perkawinan.html. di akses pada
tanggal 12 April 2013
34
proses perkawinan sudah selesai dan sah menurut hukum.27
Para ahli hukum
berbeda dalam membahas mengenai ta’lik talak. Bagi ahli hukum Islam yang
membolehkan, perbedaan di antara mereka pun muncul, yang pada dasarnya
terletak pada rumusan shigat ta’lik talak yang bersangkutan yang sampai
sekarang masih mewarnai perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Dalam kaitan ini, Ibnu Hazm berpendapat bahwa dari dua macam
bentuk ta’lik talak (Qasamy dan Syarthi), keduanya tidak mempunyai akibat
apa-apa. Alasannya ialah bahwa Allah telah mengatur secara jelas mengenai
talak. Sedangkan ta’lik talak tidak ada tuntunannya dalam Alquran maupun
sunnah.28
Hal senada dikemukakan pula oleh Ibnu Taimiyah bahwa Taklik
Qasamy yang mengandung maksud, tidak mempunyai akibat jatuhnya talak.
Sementara itu, Jumhur ulama Mazhab berpendapat bahwa bila seseorang
telah menta’likkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi
syarat-syaratnya sesuai kehendak mereka masing-masing, maka ta’lik itu
dianggap sah untuk semua bentuk ta’lik, baik itu mengandung sumpah
(qasamy) ataupun mengandung syarat biasa, karena orang yang menta’likkan
talak itu tidak menjatuhkan talaknya pada saat orang itu mengucapkannya,
akan tetapi talak itu tergantung pada terpenuhinya syarat yang dikandung
dalam ucapan ta’lik itu.29
Menurut penulis, pendapat Jumhur inilah nampaknya yang menjadi
panutan pada pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Dan pada masa
kemerdekaan oleh Menteri Agama merumuskannya sedemikian rupa dengan
27
http://click-gtg.blogspot.com/2009/05/taklik-talak-dalam-perkawinan.html. di akses pada
tanggal 12 April 2013. 28
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II,(Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 123. 29
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 237.
35
maksud agar bentuk sighat ta’lik jadi tidak secara bebas diucapkan oleh suami
juga bertujuan agar terdapat keseimbangan antara hak talak yang diberikan
secara mutlak kepada suami dengan perlindungan terhadap isteri dari
perbuatan kesewenangan suami. Bila dicermati rumusan ta’lik talak,
nampaknya telah mengalami banyak kemajuan, perubahan mana dimaksud
tidak terletak pada unsur-unsur pokoknya, tetapi mengenai kualitasnya yaitu
syarat ta’lik yang bersangkutan serta mengenai besarnya iwadh.
Perubahan mengenai kualitas syarat ta’lik di Indonesia, baik sebelum
kemerdekaan (1940) maupun pasca kemerdekaan (1947, 1950, 1956 dan
1975) yang ditentukan Departemen Agama semakin menunjukkan kualitas
yang lebih sesuai dengan asas syar’iy yakni mempersukar terjadinya
perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari kesewenangan suami.
Perubahan rumusan tersebut dapat dikemukakan misalnya pada rumusan
ayat (3) sighat ta’lik, pada rumusan tahun 1950 disebutkan “menyakiti isteri
dengan memukul”, sehingga semua pengertian dibatasi pada memukul saja,
sedangkan sighat rumusan tahun 1956 tidak lagi sebatas memukul, sehingga
perbuatan yang dapat dikategorikan menyakiti badan dan jasmani seperti:
menendang, mendorong sampai jatuh dan sebagainya dapat dijadikan alasan
perceraian, karena terpenuhi syarat ta’lik dari segi perlindungan pada isteri.
Demikian halnya perubahan kualitas kepada yang lebih baik (mempersukar
terjadinya perceraian) dapat dilihat pada rumusan ayat (4) sighat ta’lik tentang
membiarkan isteri. Pada rumusan tahun 1950 disebutkan selama 3 bulan,
sedang rumusan tahun 1956 menjadi 6 bulan lamanya. Demikian pula tentang
pergi meninggalkan isteri dalam ayat (1) sighat ta’lik, dalam rumusan tahun
36
1950, 1956 dan 1969 sampai sekarang dirumuskan menjadi 2 tahun berturut-
turut.30
Oleh karena itu, menurut penulis sighat ta’lik yang ditetapkan dalam
PMA No. 2 Tahun 1990 junto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam pasal
46 ayat (2) KHI dianggap telah memadai dan relevan dengan ayat-ayat
tersebut. Dengan kata lain, semua bentuk ta’lik talak di luar yang ditetapkan
oleh Departemen Agama seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ketika apa yang
disyaratkan dalam ta’lik talak itu benar-benar terjadi tidak serta merta talak
suami jatuh kepada istri. Talak baru jatuh kepada istri apabila istri tidak ridha
dan mengajukan halnya ke Pengadilan Agama dan mendapat putusan dari
pengadilan tersebut setelah melalui beberapa proses yang telah ditentukan.
Proses yang dimaksud adalah perihal gugatan, pemeriksaan, pembuktian,
persidangan dan putusan hakim. Dasar hukum bahwa berhak mengabulkan
perceraian melalui gugatan istri karena suami melanggar ta’lik talak, ini
adalah pasal 116 KHI huruf (g), yang isi nya sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
30
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Dalam Lingkungan Peradilan Agama,
Cet. I, (Jakarta: Al-Hikmah, 2000), h.11
37
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
g. Suami melanggar ta’lik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
Namun kemudian masalah mengucapkan shigat ta’lik talak selepas akad
nikah dipersoalkan oleh Majlis Ulama Indonesia lewat keputusan MUI pada
tanggal 23 Rabiul Akhir 1417 H., bertepatan dengan 7 September 1996,
mengucapkan sighat ta’lik talak tidak diperlukan lagi. Adapun alasan
keputusan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Bahwa materi sighat ta’lik talak pada dasarnya telah dipenuhi dan
tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), perjajian ta’lik talak bukan
merupakan keharusan dalam setiap perkawinan (KHI pasal 46 ayat 3).
3. Bahwa konteks mengucapkan sighat ta’lik talak menurut sejarahnya
adalah untuk melindungi hak-hak wanita, dimana waktu itu ta’lik talak
38
belum ada dalam peraturan perundang-undangan perkawinan.
Oleh karena itu, setelah adanya aturan tentang itu dalam peraturan
perundang-undangan perkawinan, maka mengucapkan sighatnya tidak
diperlukan lagi.31
31
Tim Penyunting MUI, Himpunan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia, (Jakarta: MUI.,
1997), h.119.
39
BAB III
KONSEP MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Maqashid Al-Syari’ah
1. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Secara bahasa, maqashid syari‟ah terdiri dari dua kata yakni,
maqashid dan syari‟ah. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqashid
yang berarti kesengajaan atau tujuan, syari‟ah berarti jalan menuju sumber
air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah
sumber pokok kehidupan.1 Menurut asy-Syatibi, maqashid syari‟ah
merupakan tujuan syari‟ah yang lebih memperhatikan kepentingan
umum.2
Sebagaimana yang ada di dalam kamus dan penjelasannya bahwa
syariat adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang
urusan agama, atau, hukum yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah
baik berupa ibadah (puasa, shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan)
atau muamalah yang menggerakkan kehidupan manusia (jual, beli, nikah,
dan lain-lain). Allah SWT berfirman:
علىشري عةمنالمركجعلنثم “Kemudian kami jadikan kamu berada di atas sebuah syariat, peraturan
dari urusan agama itu” (QS. al- Jatsiyah :18)3
Sebagai sumber utama ajaran Islam, ada ulama yang membagi
kandungan al-Qur‟an dalam tiga kelompok besar: aqidah, khuluqiyyah,
1 Totok, Kamus Ushul Fiqih, (Jakarta: Dana Bakti Wakaf, 2005), h. 97.
2 Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 1994), h. 22.
3 Yusuf Al-Qaraddhawi, Fiqih Maqashid Syariah, (Jakarta: Pustaka Al Kaustar, 2007),
h.12.
40
dan amaliyah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan.
Khuluqiyyah berkaitan dengan etika atau akhlak. Sedangkan amaliyah
berkaitan dengan aspek-aspek hukum yang timbul dari ungkapan-
ungkapan (aqwảl) dan perbuatan- perbuatan (af‟al) manusia. Kelompok
ketiga ini, dalam sistematika hukum Islam dibagi dalam dua bagian besar,
yaitu (1) ibadah, yang di dalamnya diatur pola hubungan manusia dengan
Tuhan, dan (2) muamalah yang di dalamnya diatur pola hubungan antara
sesama manusia.4
Al-Qur‟an selaku sumber ajaran, tidak memuat aturan-aturan yang
terperinci tentang ibadah dan muamalah. Buktinya, hanya terdapat 368
ayat yang berkaitan dengan aspek-aspek hukum.5 Hal ini berarti, bahwa
sebagian masalah-masalah hukum dalam Islam, oleh Tuhan hanya
diberikan dasar-dasar atau prinsip-prinsipnya saja dalam al-Qur‟an. Dasar-
dasar atau prinsip-prinsip ini, dijelaskan lebih lanjut oleh Nabi saw melalui
hadis-hadisnya.
Bertolak dari dua sumber inilah kemudian, aspek-aspek hukum
terutama bidang muamalah dikembangkan dengan mengaitkannya dengan
maqashid al-syari‟ah.
Oleh Mahmud Syaltut, syari‟ah diartikan sebagai “aturan-aturan
yang diciptakan oleh Allah untuk dipedomani manusia dalam mengatur
hubungan dengan Tuhan, dengan manusia baik sesama muslim atau non
4 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usủl al-Fiqh, (Bayrut: Dar al-Fikr), h. 32.
5 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press,
1984), h. 7.
41
muslim, alam dan seluruh kehidupan.6 Sedangkan, Asafri Jaya Bakri
mengatakan, bahwa syari‟ah adalah “seperangkat hukum-hukum Tuhan
yang diberikan kepada manusia untuk mendapatkan kebahagiaan hidup
baik di dunia maupun di akhirat.7 Kandungan pengertian syari‟ah yang
demikian itu, secara tak langsung memuat kandungan maqashid al-
syari‟ah.
Menurut Satria Effendi M. Zein, maqashid al-syari‟ah adalah tujuan
Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu
dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis sebagai alasan logis
bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan
manusia.8 Al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap
ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis, bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah
untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di
akhirat.9
Dalam karyanya al-Muwafaqat, al-Syatibi mempergunakan kata
yang berbeda-beda berkaitan dengan maqashid al-syari‟ah. Kata-kata itu
ialah maqashid al-syari‟ah,10
al-maqashid al-syar‟iyyah fi al-syari‟ah,11
dan maqashid min syar‟i al-hukm.12
6 Mahmud Syaltut, Islam: „Aqidah wa Syari‟ah, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), h. 12.
7 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut al-Syatibi, h. 63.
8 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2005), h. 233.
9 Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari‟ah, Jilid I ,Cet. III; (Beirut: Dar
Kutub al-„Ilmiyyah, 1424 H/2003 M), h. 195. 10
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003),
h. 21. 11
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, h. 23. 12
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, h. 374.
42
Menurut al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya sendiri:
نيالدفمالصماميفعارالشمداصقمقيقحتلتعض...وةعي رالشمهذه 13اعامين الد و
“Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya
(mewujudkan) kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.”
Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh al-Syatibi:
14لحالنماساصملةيمعورشمامكحلا“Hukum-hukum disyari‟atkan untuk kemaslahatan hamba."
Ada yang menganggap maqashid ialah maslahah itu sendiri, sama
dengan menarik maslahah atau menolak mafsadah. Ibn al-Qayyim
menegaskan bahwa syariah itu berasaskan kepada hikmah-hikmah dan
maslahah-maslahah untuk manusia di dunia atau di akhirat. Perubahan
hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah
untuk menjamin syari‟ah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada
manusia.15
Ada juga yang memahami maqashid sebagai lima prinsip Islam yang
asas yaitu menjaga agama, jiwa, akal , keturunan dan harta. Di satu sudut
yang lain, ada juga ulama klasik yang menganggap maqashid itu sebagai
logika pensyariatan sesuatu hukum.16
Kesimpulannya maqashid syariah ialah "maslahat-maslahat yang
ingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat manusia". Para ulama
13
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, h. 6. 14
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, h. 54. 15
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, jilid III, (Beirut, Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1996M), h. 37. 16
Nuruddin Mukhtar, al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi, (Qatar, 1998M), h. 50.
43
telah menulis tentang maksud-maksud syara‟, beberapa maslahah dan
sebab-sebab yang menjadi dasar syari‟ah telah menentukan bahwa
maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
a. Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta‟abbud yang
berhubungan langsung antara manusia dan khaliqnya, yang satu
persatu nya telah dijelaskan oleh syara‟.
b. Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-
maslahah dunia, atau seperti yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis
Salam sebagai berikut:
“Segala macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali
kepada maslahah di dalam dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah
tidak memerlukan ibadah kita itu. Tidak memberi manfaat kepada
Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak memberi mudarat
kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.
Akal dapat mengetahui maksud syara‟ terhadap segala hukum
muamalah, yaitu berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat
bagi manusia dan menolak mafsadat dari mereka. Segala manfaat ialah
mubah dan segala hal mafsadat ialah haram. Namun ada beberapa ulama,
diantaranya, Daud Azh-Zhahiri tidak membedakan antara ibadah dengan
muamalah.17
2. Dasar Hukum Maqashid al-Syari’ah
Penekanan maqashid al-syariah yang dilakukan olah al-Syatibi
secara umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat al-qur‟an yang
menunjukkan bahwa hukum-hukum Tuhan mengandung kemaslahatan.
17
Khairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung: Pustaka Setia, 2001),
h. 125-126.
44
Beberapa ayat al-Qur‟an yang menunjukan maqashid al-syariah adalah
sebagai berikut.18
Ayat-ayat tersebut diantaranya adalah tentang pengutusan Rasul;
هميهومب زحمتنهع كإلا (١٧)األوبيبء/١أزصهى “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya : 107)
Penekanan maqashid al-syari‟ah dalam ayat ini adalah tujuan dari
pengutusan rasul yaitu menjadi rahmat bagi semesta alam.
صل يكىننهىابسعهىز سيهومىرزيهنئلا بش م بعدٱللات صم حجا وكبنٱنس
(٧)انىضبء/ عزيزاحكيمبٱللا“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. An-Nisa : 165)
Penekanan maqashid al-syari‟ah ini adalah pengutusan rasul
sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan agar tidak ada lagi alasan
bagi manusia untuk membantah perintah Allah.
Berkaitan dengan jihad;
أذن تهىنبأواهمظهمىا (٢٧)انحج/نهاريهيق
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
Sesungguhnya mereka telah dianiaya….” (Q.S. Al-Hajj : 39)
Penekana maqashid al-syari‟ah dalam ayat ini adalah agar tidak
ada lagi kaum muslimin yang dianiaya tanpa adanya perlawanan.
Berkaitan dengan qishas;
ةي أونيٱنقصبصفيونكم بحيى (١٢٧ة/)انبقس١٢نعهاكمتتاقىنٱألنب
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai
18
Abdul Mughist, Ushul Fiqh Bagi Pemula, (Jakarta : CV. Artha Rivera, 2008), h. 116.
45
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Q.S. Al-baqarah :
179)
Penekanan maqashid al-syari‟ah dalam ayat ini adalah adanya
hukum qishaash menjadi jaminan kelangsungan hidup manusia.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, al-syatibi mengatakan bahwa
maqashid al-syariah dalam arti kemaslahatan terdapat dalam aspek-aspek
hukum secara keseluruhan. Artinya, apabila terdapat permasalahan-
permasalahan hukum yang tidak ditemukan secara jelas dimensi
kemaslahatannya, dapat dianalisis melalui maqashid al-syariah yang
dilihat dari ruh syariat dan tujuan umum dari agama islam yang hanif.19
B. Pembagian Maqashid al-Syari’ah
Bila diteliti semua perintah dan larangan Allah, baik dalam al-Qur‟an
maupun hadis yang dirumuskan dalam fiqh (hukum Islam), akan terlihat
bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia.
Semuanya mengandung hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi
umat manusia, sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Anbiya (21): 107
(١٧)األوبيبء/ لميسلن كإالمرحةللعومآأر„Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi seluruh alam.‟20
Ungkapan „rahmat bagi seluruh alam‟ dalam ayat di atas diartikan
dengan kemasalahatan umat. Dalam kaitan ini para ulama sepakat, bahwa
19
Asafri Jaya Bakti, Konsep Maqashid Syariah, h. 68. 20
Departemen Agama R.I, al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV Naladana, 2004), h.
461.
46
memang hukum syara‟ itu mengandung kemaslahatan untuk umat manusia.21
Kemaslahatan dalam taklif Tuhan dapat berwujud dalam dua bentuk: (1)
bentuk hakiki, yaitu manfaat langsung dalam arti kualitas, dan (2) dalam
bentuk majazi, yaitu bentuk yang merupakan sebab yang membawa kepada
ke-maslahatan22
Kemaslahatan itu oleh al-Syatibi dilihat pula dari dua sudut pandangan,
yaitu (1) maqashid al-syari‟ (tujuan Tuhan), dan (2) maqashid al-mukallaf
(tujuan mukallaf). Maqashid al-syari‟ah dalam arti maqashid al-Syari‟,
mengandung empat aspek, yaitu:
1. Tujuan awal dari syariat yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat.
2. Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3. Syariat sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan, dan
4. Tujuan syariat adalah membawa manusia ke bawah naungan hukum.23
Aspek pertama berkaitan dengan muatan dan hakikat maqashid al-
syari‟ah, sedangkan aspek kedua berkaitan dengan dimensi bahasa, agar
syariat dapat dipahami sehingga dicapai kemaslahatan yang dikandungnya.
Aspek ketiga berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan syariat dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan. Ini juga berkaitan dengan kemampuan
manusia untuk melaksanakannya. Aspek yang keempat berkaitan dengan
21
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2,Cet. I, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999),
h. 206. 22
Husein Hamid Hasan, Nazariyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, (Mesir, Dar al-
Nahdah al-„Arabiyyah, 1971), h. 5. 23
Abu Ishak al-Syaitibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari‟ah, jilid II, Cet. III, (Bayrut: Dar
Kutub al-Ilmiyyah, 1424 H /2003 M), h. 5.
47
kepatuhan manusia sebagai mukallaf di bawah dan terhadap hukum-hukum
Allah (aspek tujuan syariat berupaya membebaskan manusia dari kekangan
hawa nafsu).
Aspek kedua, ketiga dan keempat pada dasarnya lebih sebagai
penunjang aspek pertama sebagai aspek inti, namun memiliki keterkaitan dan
menjadi rincian dari aspek pertama. Aspek pertama sebagai inti dapat
terwujud melalui pelaksanaan taklif (pembebanan hukum kepada para hamba)
sebagai aspek ketiga. Taklif tidak dapat dilakukan tanpa memiliki pemahaman,
baik dimensi lafal maupun maknawi sebagaimana aspek kedua.
Pemahaman dan pelaksanaan taklif dapat membawa manusia berada di
bawah lindungan hukum Tuhan, lepas dari kekangan hawa nafsu, sebagai
aspek keempat. Dalam keterkaitan itulah tujuan diciptakannya syariat, yaitu
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, sebagai aspek inti, dapat
diwujudkan.24
Dalam rangka pembagian maqashid al-syari‟ah, aspek pertama sebagai
aspek inti menjadi sentral analisis, sebab aspek pertama berkaitan dengan
hakikat pemberlakuan syariat oleh Tuhan, yaitu untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu dapat diwujudkan jika lima unsur
pokok (usul al-khamsah) dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur
pokok itu menurut al-Syatibi, adalah din (agama), nafs (jiwa), nasl
(keturunan), mal (harta), dan aql (akal).25
Para ulama telah menyatakan, bahwa kelima prinsip ini telah diterima
24
Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usủl al-Syarỉ‟ah, h. 5. 25
Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usủl al-Syarỉ‟ah, h. 10.
48
secara universal. Dalam menganalisis tujuan-tujuan kewajiban syariat
ditemukan bahwa syariat juga memandang kelima hal tersebut sebagai sesuatu
yang mesti dilakukan. Kewajiban-kewajiban syariat bisa dibagi dari sudut
pandang cara-cara perlindungan yang positif dan preventif menjadi dua
kelompok. Termasuk dalam kelompok cara yang positif adalah ibadah, adat
kebiasaan dan muamalah. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok
preventif adalah jinayat (hukum pidana).
Ibadah bertujuan melindungi agama. Misalnya keimanan dan ucapan
kalimat syahadat, salat, zakat, puasa dan haji. Adat bertujuan melindungi jiwa
dan akal. Mencari makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal adalah
contoh adat. Muamalah juga melindungi jiwa dan akal, tetapi dengan melalui
adat. Jinayat sebagai benteng terpeliharanya kelima maslahah di atas, seperti
qishas dan diyat untuk melindung jiwa, hudud untuk melindungi keturunan
dan akal.26
Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu dibagi kepada tiga tingkatan
kebutuhan, yaitu dharuriyat (kebutuhan primer, mesti), hajiyat (kebutuhan
sekunder, dibutuhkan), tahsiniyat (kebutuhan tersier).27
Dari ketiga jenis tersebut, saling berkaitan antara satu dengan lainnya.
Terdapat keterkaitan makna yang tidak dapat dipisahkan. Adapun beberapa
penjelasannya antara lain:
1. Al Maqashid Adh Dharuriyaat
Adh dharuriyaat dalam ilmu maqashid adalah menjaga lima perkara
26
Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usủl al-Syarỉ‟ah, h. 8-10. 27
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, h. 208.
49
pokok dalam agama. Hifdzu Ad diin, hifdzu nafs, hifdzu al maal, hifdzu
nasl, dan hifdzu „aql. Adapun Al Maqashid Adh Dharuriyaat adalah
tingkatan ilmu maqashid yang pertama. Karena perkara yang berkaitan
dengan dunia dan akhirat terbangun di atas perkara pokok tersebut.
Sebagaimana firman Allah:
ا ت لقون اولياء عدومكم و عدوي ت تمخذوا ال امن وا الذين ي ها بالمودمةيا ليهم(٠٦:١)املمتحنة/
“Wahai orang orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu
dan musuhmu sebagai teman teman setia sehingga kamu sampaikan
kepada mereka( berita berita Muhammad) karena kasih saying. (Q.S Al
Mumtahanah: 1)
Dalam ayat tersebut meliputi beberapa Adh Dharuriyaat Al Khomsah
karena tidak adanya kesyirikan kepada Allah menunjukkan bahwa
terjaganya Ad diin, mencegah terjadinya pencurian menunjukkan adanya
penjagaan terhadap harta, mencegah laki laki dan perempuan berzina maka
hal ini menunjukkan penjagaan terhadap nasab, pencegahan pembunuhan
menunjukkan penjagaan terhadap jiwa, begitu juga dengan pelarangan
khamr menunjukkan adanya penjagaan terhadap akal manusia.28
Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah
diuraikan adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa,
akal, kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi
masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin realisasinya dan
pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi
manusia kebutuhan primernya.
28
Mahmud Muhammad ath Thantawi, Ushul Fiqh Islami, (Kairo: Maktabah Wahbah), h.
456.
50
a. Memelihara Agama (ديه)
Menjaga dan memelihara agama berdasarkan tingkat
kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1) Memelihara agama dalam peringkat “dharuriyat”, yaitu
memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang
termasuk peringkat primer, seperti: melaksanakan shalat fardhu
(lima waktu). Apabila kewajiban shalat diabaikan, maka eksistensi
agama akan terancam.
2) Memelihara agama dalam peringkat “hajiyat”, yaitu melaksanakan
ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti:
melakukan shalat jama‟ dan qashar ketika bepergian (musafir).
Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, tidak akan mengancam
eksistensi agama, namun dapat mempersulit pelaksanaannya.
3) Memelihara agama dalam peringkat “tahsiniyat”, yaitu mengikuti
petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia,
sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan,
seperti: menutup aurat baik dilakukan pada waktu shalat ataupun
diluar shalat dan juga membersihkan badan, pakaian, dan tempat.
Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlak terpuji.
b. Memelihara Jiwa (وفش)
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
1) Memelihara jiwa pada peringkat “dharuriyat” adalah memenuhi
51
kebutuhan pokok berupa makanan, minuman untuk
mempertahankan keberlangsungan hidup. Kalau kebutuhan pokok
tersebut diabaikan akan mengancam eksistensi jiwa manusia.
2) Memelihara jiwa pada peringkat “hajiyat” adalah dianjurkan untuk
berusaha guna memperoleh makanan yang halal dan lezat. Kalau
kegiatana ini diabaikan tidak akan mengancam eksistensi
kehidupan manusia, melainkan hanya dapat mempersulit hidupnya.
3) Memelihara jiwa pada peringkat “tahsiniyat” seperti ditetapkannya
tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan
dengan kesopanan dan etika. Sama sekali tidak akan mengancam
eksistensi jiwa manusia atau mempersulitnya.
c. Memelihara Akal (عقم)
Memelihara akal, dilihat dari tingkat kepentingannya dapat dibagi
menjadi tiga peringkat:
1) Memelihara akal pada peringkat “dharuriyat”, seperti diharamkan
mengkonsumsi minuman keras dan sejenisnya. Apabila ketentuan
ini diabaikan akan mengancam eksistensi akal manusia.
2) Memelihara akal pada peringkat “hajiyat”, seperti dianjurkan
untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya ketentuan itu
diabaikan tidak akan merusak eksistensi akal, akan tetapi dapat
mempersulit seseorang terkait dengan pengembangan ilmu
pengetahuan dan akhirnya berimbas pada kesulitan dalam
hidupnya.
3) Memelihara akal pada peringkat “tahsiniyat”, menghindarkan diri
52
dari kegiatan menghayal dan mendengarkan atau melihat sesuatu
yang tidak ada faedahnya. Kegiatan itu semua tidak secara
langsung mengancam eksistensi akal manusia.
d. Memelihara Keturunan (وضم)
Memelihara “keturunan / harga diri, ditinjau dari peringkat
kebutuhannya dapat dibagi menjadi tiga:
1) Memelihara keturunan pada peringkat “dharuriyat”, seperti
anjuran untuk melakukan pernikahan dan larangan perzinaan.
Apabila hal ini diabaikan akan mengancam eksistensi keturunan
dan harga diri manusia.
2) Memelihara keturunan pada peringkat “hajiyat”, seperti ditetapkan
talak sebagai penyelesaian ikatan suami istri. Apabila talak tidak
boleh dilakukan maka akan mempersulit rumah tangga yang tidak
bias dipertahankan lagi.
3) Memelihara keturunan pada peringkat "tahsiniyat”, seperti:
disyariatkannya khitbah (peminangan) dan walimah (resepsi) dalam
pernikahan. Hal ini dilakukan untuk melengkapi acara siremoni
pernikahan. Apabila tidak dilakukan tidak mengancam eksistensi
keturunan atau harga diri manusia dan tidak pula mempersulit
kehidupannya.
e. Memelihara Harta (مبل)
Memelihara harta, ditinjau dari peringkat kepentingannya dapat
dibagi menjadi tiga peringkat:
53
1) Memelihara harta pada peringkat “dharuriyat”, seperti:
disyariatkan oleh agama untuk mendapatkan kepemilikan melalui
transaksi jual beli dan dilarang mengambil harta orang lain dengan
cara tidak benar seperti mencuri, merampok dsb. Apabila aturan
tersebut dilanggar akan mengancam eksistensi harta.
2) Memelihara harta pada peringkat “hajiyat”, seperti dibolehkan
transaksi jual-beli saham, istishna‟ (jual beli order) dsb. Apabila
ketentuan tersebut diabaikan tidak akan mengancam eksistensi
harta, namun akan menimbulkan kesulitan bagi pemiliknya untuk
melakukan pengembangannya.
3) Memelihara harta pada peringkat “tahsiniyat”, seperti perintah
menghindarkan diri dari penipuan dan spekulatif. Hal tersebut
hanya berupa etika bermuamalah dan sama sekali tidak mengancam
kepemilikan harta apabila diabaikan.29
2. Al Maqashid Al Hajiyaat
Al hajiyaat dalam ilmu maqashid memiliki makna mengangkat
kesulitan hamba dalam beribadah, meringankan beban taklif, serta suatu
maslahat yang mendatangkan manfaat. Adapun beberapa contoh dalam
aplikasi Al-Hajiyaat dalam ibadah adalah diperbolehkannya berbuka bagi
musafir, mengqashar shalat yang berjumlah empat rakaat menjadi dua
rakaat ketika bersafar, serta diperbolehkannya shalat sambil duduk ketika
tidak mampu shalat dengan berdiri.
Adapun contoh aplikasi Al-Hajiyaat dalam bidang mu‟amalah
29
Ahmad Hamdani, Teori Maqashid Al-Syari‟ah Imam Al- Syathibi, (Kudus: STAIN
Kudus, 2011), h. 42-51.
54
adalah disyari‟atkannya jual beli dengan salam. Maksudnya, menjual
sesuatu yang tidak ada ketika terjadinya akad jual beli, akan tetapi dibayar
dengan harga tertentu ketika akad tersebut berlangsung. Hal ini
diperbolehkan karena kebutuhan manusia yang semakin maju terhadap hal
yang berkaitan dengan mu‟amalat.30
3. Al Maqashid At Tahsiniyaat
At Tahsiniyaat dalam ilmu maqashid adalah kumpulan maslahat
yang berkaitan dengan perkara perbaikan akhlak, adat yang bagus, atau
segala hal yang dapat membantu manusia memilih cara dan manhaj yang
baik dalam pelaksanaan syari‟at. Contoh aplikasi At-Tahsiniyaat dalam
ibadah adalah mensucikan diri dari najis baik jasmani maupun rohani serta
kesucian tempat shalat, menutup aurat, dan memakai pakaian yang bagus
ketika hendak shalat.31
C. Urgensi Maqashid Al-Syari’ah Dalam Ijtihad dan Metode Istimbath
Hukum Yang Berkaitan Dengan Maqashid Al-Syariah
1. Maqashid Al-Syari’ah Dalam Ijtihad
Penggunaan ijtihad dalam pengertian umum, relevan dengan
interpretasi al-Qur‟an dan as-Sunnah. Ketika suatu aturan syari‟ah
didasarkan pada implikasi yang luas dari sebuah teks al-Qur‟an dan as-
Sunnah, yang itu berbeda dengan aturan langsung dari teks yang jelas dan
terinci, maka teks dan aturan syari‟ah itu harus dihubungkan melalui
penalaran hukum. Menurut Abdullah Ahmad an-Na‟im, bahwa
30
Mahmud Muhammad ath Thantawi, Ushul Fiqh Islami, h. 463. 31
Mahmud Muhammad ath Thantawi, Ushul Fiqh Islami, h. 466.
55
bagaimanapun juga sulit dibayangkan suatu teks-teks al-Qur‟an atau as-
Sunnah, betapun jelas dan rincinya, tidak memerlukan ijtihad untuk
interpretasi dan penerapannya dalam situasi yang konkrit.32
Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim dan selain keduanya mengatakan : “Jika seorang hakim
memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian benar maka ia
mendapat dua pahala, dan jika memutuskan hukum dengan berijtihad dan
kemudian salah maka ia mendapat satu pahala.” Hadis ini ternyata belum
cukup untuk membuka pintu ijtihad dan menetapkan kebolehannya.
Padahal hadis ini sangat menekankan pentingnya ijtihad. Ini adalah
jaminan bahwa seorang mujtahid berhak untuk salah, dan kesalahan ini
tidak membuatnya mendapat siksa dan hukuman. Disamping itu, ini adalah
bukti akan kuatnya dorongan untuk berfikir, meneliti, dan memajukan
ilmu pengetahuan.33
Fatwa merupakan hasil ijtihad para ahli yang dapat saja dilahirkan
dalam bentuk tulisan maupun lisan. Bentuk tulisan dan lisan para ulama
itulah yang dikenal dengan fatwa keagamaan untuk kepentingan manusia.
Kita tahu bahwa hukum Islam berlandaskan al-Qur‟an dan al-Hadis
sebagian besar bentuknya ditentukan berdasarkan hasil ijtihad para
mujtahid yang dituangkan dalam bentuk mujtahid maka posisi fatwa
sangat memperkuat tindakan ijtihad. Sebab fatwa dihasilkan dari ijtihad
32
Abdullah Ahmad an-Na‟im, Dekonstruksi Syari‟ah Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta, 1997), h. 54. 33
Ahmad Al-Raysuni, Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara teks, realitas, dan
kemaslahatan social,(Jakarta: Erlangga, 2002), h. 1.
56
para ulama, sehingga apabila tidak berijtihad kemungkinan besar tidak
akan muncul atau lahir fatwa keagamaan.
Ijtihad juga kadang-kadang mengalami perubahan-perubahan yang
mendasar, hal ini disebabkan beberapa hal antara lain :34
a. Adanya perubahan kepentingan masyarakat
b. Adanya pengaruh adat kebiasaan dan urf (kebudayaan)
c. Faktor lingkungan, ruang dan waktu
d. Faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi(iptek).
Faktor-faktor tersebut memberikan pertanda bahawa ijtihad itu
bersifat kondisional artinya situasi dan kondisi masyarakat sangat
mempengaruhi pola piker para mujtahid itu sendiri.
Para ahli ushul fikih sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku
dalam kasus yang tidak terlepas dalam nash atau yang terdapat dalam teks
al-Qur‟an dan as-Sunnah yang masuk kategori zhanni al-dalalah.35
Oleh
karena itu juga hasil ijtihad bersifat zhanni, artinya bukan satu-satunya
kebenaran (tidak qat‟i) tetapi mengandung kemungkinan lain.
Sedangkan nash yang masuk kategori dalil sharih yang qath‟iyu al-
wurud (pasti kedatangannya dari syar‟i) dan qath‟iyu al-dalalah (pasti
penunjukannya kepada makna tertentu), maka tidak ada jalan untuk
diijtihadkan. Meskipun dalam pandangan an-Na‟im, hal itu sulit
34
Rohadi Abd. Fata, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam, (Jakarta : Bumi
Aksara, 1991), h. 43-44. 35
Fathurahhman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih, (Jakarta: Logos, 1995), h. 16.
57
dibayangkan.36
Dalam melihat metode ijtihad apa yang harus dikembangkan dan
kemungkinan peranan maqashid al-syari‟at yang lebih besar dalam
metode tersebut, penelaahan harus bertitik tolak dari objek itu sendiri.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa objek (lapangan) ijtihad adalah
segala sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam nash serta masalah-
masalah yang tidak mempunyai landasan nash (ma la nash fiih). Oleh
karenanya bertitik tolak dari itu, maka ada dua corak penalaran yang di
dalamnya terdapat metode-metode ijtihad yang perlu dikembangkan dalam
upaya penerapan-penerapan maqhashid al-syari‟at. Kedua corak itu ialah
penalaran ta‟lili dan istislahi.
Corak penalaran ta‟lili adalah upaya penggalian hukum yang
bertumpu pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu
nash. Dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, corak penalaran ta‟lili
ini mengambil bentuk qiyas dan istihsan. Adapun corak penalaran istislahi
adalah upaya pengambilan hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip
kemaslahatan. Corak penalaran ini tampak pada metode al-masalihu al-
mursalah dan saddu az-zari‟ah.
Menurut al-Syatibi, antara ijtihad dengan maqasyid al-syari‟at tidak
dapat dipisahkan. Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum
syara‟ secara optimal. Upaya penggalian hukum syara‟ itu berhasil apabila
36
Mukhyar Yahya dan Fachurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
(Bandung:al-Ma‟arif, 1986), h. 373.
58
seorang mujtahid dapat memahami maqasyid al-syari‟at.37
Oleh karenanya
pengetahuan tentang maqasyid al-syari‟at adalah salah satu syarat yang
dimiliki oleh seorang mujtahid.
Mengenai kedudukan ijtihad, apakah merupakan sumber hukum
Islam ataukah sebagai metode penetapan hukum Islam, maka ada dua
pandangan mengenai hal tersebut. Ada kelompok yang berpandangan
bahwa ijtihad adalah sumber hukum Islam berdasar atas hadits dari Muaz
bin Jabal. Hadits ini dipahami oleh kelompok lain yang berpandangan
bahwa ijtihad adalah metode penetapan hukum Islam, sebab hadits
tersebut mengisyaratkan bahwa sumber utama fiqih adalah al-Qur‟an dan
as-Sunnah. Jika tidak terdapat dalam kedua sumber tersebut, baru
digunakan ijtihad dengan tetap merujuk kepada kedua sumber dimaksud.
Ijtihad adalah merupakan kegiatan yang tidak mudah, karena memerlukan
analisis yang tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di dalamnya
dengan memperhatikan aspek kaedah kebahasaan dan tujuan umum
disyariatkannya hukum Islam (maqasyid al-syari‟at).
2. Metode Istinbath Hukum Yang Berkaitan Dengan Maqashid Al-
Syari’ah
Pengetahuan tentang Maqashid Syari‟ah, seperti ditegaskan oleh
Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan
alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur‟an dan Sunnah, menyelesaikan
dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk
37
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah menurut al- Syatibi, (Jakarta: P.T. Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 71.
59
menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur‟an
dan Sunnah secara kajian kebahasaan.38
Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah
adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas
Maqashid Syari‟ah. Qiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana
dapat ditemukan Maqashid Syari‟ah-nya yang merupakan alasan logis
(„illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya
minuman khamar (QS. al-Maidah: 90).
آمنوا المذين أي ها منيا رجس والزالم والنصاب والميسر المر ا إنم (٢٧ءدة/)انمبعملالشميطانفاجتنبوهلعلمكمت فلحون
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,adalah
Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maidah: 90).
Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa Maqashid Syari‟ah
dari diharamkannya minuman khamar ialah sifat memabukkannya yang
merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis („iilat)
dari keharaman khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar
itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa
setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian,
„iilat hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya
dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan
bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat
38
Satria Effendi, M. Zein. Ushul fiqh, (Jakarta : Gramedia, 2004), h. 237.
60
meng-qiyas-kannya yang dikenal dengan al mawis „alaih (tempat meng-
qiyas-kan).
Jika tidak ada ayat atau hadis secara khusus yang akan dijadikan al-
maqis „alaih, tetapi termasuk dalam tujuan syariat secara umum seperti
untuk memelihara sekurangnya salah satu dari kebutuhan-kebutuhan di
atas tadi, dalam hal ini dilakukan metode maslahah mursalah. Dalam
kajian Ushul Fiqh, apa yang dianggap maslahat bila sejalan atau tidak
dengan petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat diakui sebagai landasan
hukum yang dikenal maslahat mursalah.
Jika yang akan diketahui hukumnya itu telah ditetapkan hukumnya
dalam nash atau melalui qiyas, kemudian karena dalam satu kondisi bila
ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan ketentuan atau
kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak menurut syara‟ untuk
dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan, khusus dalam
kondisi tersebut. Ijtihad seperti ini dikenal dengan istihsan.
Metode penetapan hukum melalui maqashid syari‟ah dalam praktik-
praktik istinbat tersebut, yaitu praktik qiyas, istihsan, dan istislah
(malsahah mursalah), dan lainnya seperti istishab, sad al-zari‟ah. dan „urf
(adat kebiasaan), di samping dissebut sebagai metode penetapan hukum
melalui maqashid syari‟ah, juga oleh sebagian besar ulama ushul fiqh
disebut sebagai dalil-dalil pendukung, seperti telah diuraikan secara
singkat pada pembahasan dalil-dalil hukum di atas. Di bawah ini akan
dijelaskan tentang metode-metode yang berdasarkan atas maqashid
syari‟ah.
61
a. Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan,
yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.
Menurut al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa juz I : 137, “istihsan
adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut
akalnya”.39
Fuqaha Hanafiyah membagi istihsan menjadi dua macam yaitu :
1) Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata).
Seorang pewakaf apabila mewakafkan sebidang tanah
pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak perairan (irigasi),
hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf tanpa harus
menyebutkannya berdasarkan istihsan.
2) Pengecualian kasuistis (juz‟iyyah) dari suatu hukum kulli (umum)
dengan adanya suatu dalil.
Apabila penjual dan pembeli bersengketa mengenai jumlah
harga sebelum serah terima yang dijual, kemudian penjual
mengaku bahwa harganya adalah seratus juneh, dan pembeli
mengaku harganya sembilan puluh juneh, maka mereka berdua
bersumpah berdasarkan istihsan.40
b. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak
mempunyai dalil, tetapi tidak ada juga pembatalnya. Jika terdapat
39
Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih,(Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 111. 40
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,(Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h.
110.
62
suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari‟at dan tidak ada „illat
yang keluar dari syara‟ yang menentukan kejelasan hukum kejadian
tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum
syara‟, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan
kemadharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian
tersebut dinamakan maslahah mursalah. Tujuan utama maslahah
mursalah adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari kemadharatan
dan menjaga kemanfaatannya.41
c. Sad al-Zari‟ah
Dari segi etimologi, Dzari‟ah berarti wasilah (perantaraan).
Sedang Dzari‟ah menurut istilah ahli hukum islam, ialah sesuatu yang
menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan.
Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzari‟ah selalu
mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang
menjadi sasarannya. jelasnya, perbuatan yang membawa ke arah
mubah adalah mubah, perbuatan yang membawa ke arah haram adalah
haram dan perbuatan yang menjadi perantara atas terlaksanaya
perbuatan wajib adalah wajib.
Misalnya, Zina adalah haram. Maka, melihat aurat wanita yang
menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina adalah haram juga.
Shalat juma‟at adalah fardhu (wajib). Maka, meninggalkan jual beli
guna memenuhi kewajiban menjalankan ibadah shalat jum‟at adalah
wajib, karena hal itu merupakan dzaria‟ah. Menunaikan ibadah Haji
adalah fardhu (wajib). Maka, pergi menuju ke Baitullah untuk
41
Juhaya S.Praja, Ilmu Ushul Fiqih, h. 117.
63
menunaikan ibadah haji adalah wajib juga tatkala memang mampu
melakukannya.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan disini bahwa sumber
ketetapan hukum terbagi atas dua bagian :
1) Maqashid (tujuan/sasaran), yakni perkara-perkara yang
mengandung maslahat atau mafsadat.
2) Wasail (perantaraan), yaitu jalan/perantaraan yang membawa
kepada maqashid, di mana hukumnya mengikuti hukum dari
perbuatan yang menjadi sasarannya (maqashid), baik berupa halal
atau haram.42
42
Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), h. 438-439.
64
BAB IV
PANDANGAN MAQASHID AL-SYARI’AH TERHADAP
TA’LIK TALAK DALAM PERNIKAHAN DI INDONESIA
A. Ta’lik Talak Dalam Pernikahan di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam
Perjanjian ta’lik talak adalah perjanjian yang diucapkan oleh suami
setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa talak yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa
yang akan datang. Sebagaimana disebut dalam pasal 45 dan 46 KHI dapat
dipahami bahwa Isi ta’lik talak sudah ditentukan oleh Menteri Agama dan
diterbitkan oleh Departemen Agama, karena yang melakukan perjanjian ta’lik
talak ini adalah orang Islam saja, maka isi perjanjian ta’lik talak tersebut tidak
boleh bertentangan dengan Hukum Islam.
Apabila suami melanggar perjanjian ta’lik talak tersebut, maka istri harus
mengajukannnya ke pengadilan agama. Karena perceraian di Indonesia terjadi
apabila dilakukan dihadapan para hakim dalam sidang di pengadilan agama.
Hal ini bisa juga dikatakan sebagai talak yang dijatuhkan oleh Hakim.
Ta’lik talak tidak wajib hukumnya, akan tetapi sekali ta’lik talak
diucapkan maka tidak dapat dicabut kembali, dalam hal ini ta’lik talak sangat
mengikat bagi yang mengadakan perjanjian ta’lik talak ini.
para ahli hukum islam berbeda dalam membahas mengenai ta’lik talak.
Bagi ahli hukum Islam yang membolehkan, perbedaan di antara merekapun
muncul, yang pada dasarnya terletak pada rumusan ta’lik talak yang
65
bersangkutan yang sampai sekarang masih mewarnai perkembangan hukum
Islam.
Dalam hukum islam ta’lik ada dua macam: Pertama, ta’lik yang
dimaksudkan seperti janji, karena mengandung pengertian melakukan
pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu khabar.
Ta’lik seperti ini disebut ta’lik dengan sumpah (ta‟lik qasami), seperti seorang
suami berkata kepada isterinya. “Jika aku keluar rumah maka engkau
tertalak”. Maksudnya suami melarang isteri keluar ketika dia keluar, bukan
dimaksud untuk menjatuhkan talak.
Kedua, ta’lik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak, bila telah
terpenuhinya syarat. Ta’lik ini disebut ta’lik bersyarat. Umpamanya suami
berkata kepada isterinya: jika engkau membebaskan aku dari membayar sisa
maharmu, maka engkau tertalak.1
Dalam kaitan ini, Ibnu Hazm berpendapat bahwa dari dua macam bentuk
ta’lik talak (Qasamy dan Syarthi), keduanya tidak mempunyai akibat apa-apa.
Alasannya ialah bahwa Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak.
Sedangkan ta’lik talak tidak ada tuntunannya dalam Alquran maupun sunnah.2
Hal senada dikemukakan pula oleh Ibnu Taimiyah bahwa ta‟lik qasamy yang
mengandung maksud, tidak mempunyai akibat jatuhnya talak.
Sementara itu, jumhur ulama Mazhab berpendapat bahwa bila seseorang
telah menta’likkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi
1 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, (Bandung : Alma’arif, 1990), h. 11.
2 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 123.
66
syarat-syaratnya sesuai kehendak mereka masing-masing, maka ta’lik itu
dianggap sah untuk semua bentuk ta’lik, baik itu mengandung sumpah
(qasamy) ataupun mengandung syarat biasa, karena orang yang menta’likkan
talak itu tidak menjatuhkan talaknya pada saat orang itu mengucapkannya,
akan tetapi talak itu tergantung pada terpenuhinya syarat yang dikandung
dalam ucapan ta’lik itu.3
Pendapat jumhur inilah nampaknya yang menjadi panutan pemerintah
Indonesia dalam pengaturan adanya ta’lik talak dalam perkawinan. Dan pada
masa kemerdekaan oleh Menteri Agama merumuskannya sedemikian rupa
dengan maksud agar bentuk sighat ta’lik jadi tidak secara bebas diucapkan
oleh suami juga bertujuan agar terdapat keseimbangan antara hak talak yang
diberikan secara mutlak kepada suami dengan perlindungan terhadap isteri
dari perbuatan kesewenangan suami. Bila dicermati rumusan ta’lik talak,
nampaknya telah mengalami banyak kemajuan, perubahan mana dimaksud
tidak terletak pada unsur-unsur pokoknya,
Dalam KHI Pasal 1 huruf e, menyebutkan bahwa ta’lik talak ialah
perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada
suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.4
Didalam kitab-kitab fiqih pada umumnya difahamkan bahwa ta’lik talak
merupakan senjata bagi suami dalam memberikan peringatan dan pelajaran
3 Mahmoud Syalthout, Perbandingan Mazhab dan Masalah Fiqh, dialih bahasakan oleh
Ismuha. (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), h. 237. 4 UU RI No.1, Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. (Bandung : Citra
Umbara, 1974), h. 227.
67
kepada isterinya yang nusyuz, seperti suami menyatakan kepada isterinya
yang sering berkhalwat dengan pemuda A :” apabila kamu masih menemui
pemuda A, maka disaat kamu bertemu itu jatuhlah talak saya satu kali
atasmu”.
Dalam undang-undang Indonesia ta’lik talak merupakan semacam ikrar
suami terhadap istri yang dinyatakan setelah terjadinya akad nikah. Pernyataan
ikrar dari suami dalam melakukan kehidupan suami istri nanti, bukan sebagai
peringatan atau pengajaran dari suami terhadap istrinya yang nusyuz. Ta’lik
talak menurut kitab-kitab fikih diucapkan oleh suami apabila ia
menghendakinya, sedang menurut undang-undang Indonesia diucapkan oleh
suami berdasarkan kehendak dari istri atau anjuran dari P3NTR atau Pegawai
Pencatat Nikah. Disamping itu ta’lik talak menurut hukum Indonesia
disyaratkan adanya „iwadh, sedang ta’lik talak yang terdapat dalam kitab-kitab
fikih tidak disyaratkan adanya „iwadh yang harus dibayar oleh pihak isteri
kepada Pengadilan Agama.5
B. Analisis Tentang Pandangan Maqashid al-Syari’ah Terhadap Ta’lik
Talak dalam Pernikahan di Indonesia
Dalam hal ta’lik talak ini sifatnya suka rela, artinya boleh dilaksanakan
dan boleh juga tidak. Akan tetapi banyak sekali manfaat yang dihasilkan
apabila ta’lik talak ini dilakukan, salah satunya yaitu hak istri akan terpenuhi
dan suami tidak akan semena-mena terhadap istrinya, karena isi dari ta’lik
talak itu sendiri adalah menjaga hak-hak isteri. Maka jika suami telah berjanji
5 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1993), h. 227.
68
atau mengucapkan ta’lik talak suami wajib melakukan janji tersebut atau
melaksanakannya. Seperti Firman Allah
د فا بٱلؼ أ د كاى هس (٣:)األسزاء/ ل إى ٱلؼ
Artinya : “dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungan jawabnya”. (Q.S. Bani Israil :34)
Tujuan ta’lik talak juga adalah untuk kemaslahatan kedua belah pihak
dalam membina kerukunan berumah tangga. Terutama kaum wanita jangan
sampai hak-haknya terabaikan oleh suami. Hal ini sebagaimana Firman Allah
ػاشزي بٱلوؼزف (٩)اساء/
Artinya : “Dan bergaullah dengan mereka itu (isteri-isteri) dengan
baik/ma’ruf”. (Q.S. an-Nisa:19)
Sudah jelas bahwa tujuan ta’lik talak sifatnya kebaikan, tidak ada
didalamnya unsur-unsur kemudharatan atau keburukan bagi suami maupun
isteri. Oleh karena itu ta’lik talak ini masuk kedalam maslahah mursalah,
karena tujuan awal dari syari’at yakni kemaslahatan manusia di dunia dan
diakhirat, karena maslahat ini juga hak isteri terjamin oleh suami dan suami
pun bisa melakukan kewajibannya terhadap isteri agar menjadi keluarga
sakinah mawaddah warahmah. Ta’lik talak bisa dikatagorikan sebagai
maslahah mursalah karna banyak manfaatnya. Seperti yang dikatakan oleh
Imam Ar-Razi
ارع الذكين لؼباد فؼت التي قصد ا الش ا ػبارة ػي الو ن با س ف ن في دفظ دي
ن ال اه ن سل ن ل ػق
Artinya : “Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah
diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang
69
pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunanya, dan harta
bendanya.”6
Dan Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut :
ي ػبارة في ال االوصلذت ف ة اه دفغ هرز فؼت ا لص ػي اا ه
Artinya : “Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak
madarat.”7
Oleh karena dalam kenyataannya ta’lik talak lebih banyak mendatangkan
kebaikan daripada kerusakan dalam hidup bermasyarakat, maka melaksanakan
ta’lik talak adalah suatu keharusan bagi mereka yang beragama Islam. Sejalan
dengan pemikiran tersebut, di dalam pembagian maslahat; dharuriyyat,
hajiyyat, tahsiniyyat, apabila dilihat dari segi pentingnya hak-hak istri dalam
pernikahan, yang apabila ta’lik talak tidak dilaksanakan maka akan berdampak
luas terhadap hak-hak yang lainnya, misalnya tidak ada jaminan hak istri
terpenuhi, suami akan semena-mena, maka pelaksanaan ta’lik talak di
Indonesia dapat dikategorikan sebagai maslahat dharuriyyat.
Kebutuhan dharuriyat ialah tingkatan kebutuhan yang harus ada
sehingga disebut kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi,
akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Untuk memelihara kelima unsur pokok (memelihara agama, jiwa, keturunan,
harta dan akal) inilah syariat Islam diturunkan. Semua perintah dan larangan
syariat bermuara kepada pemeliharaan lima unsur pokok ini.8
Melihat pertimbangan ini, maka al-Ushul al-Khamsah (lima jenis
6 (Lihat : Al-Mahsul oleh Ar-Razi, juz II, h. 434.) Chaerul Umam,dkk, Ushul Fiqih 1,
(Bandung, Pustaka Setia, 1998), h.136 7 (Lihat : Al-Mustafa oleh Imam Ghazali, juz I, h.39). Chaerul Umam,dkk, Ushul Fiqih 1,
h. 136. 8 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2005), h. 235
70
dharuriyat) harus diposisikan pada tingkatan al-Qiyam al-Akhlaqiyah al-„Ulya
(nilai-nilai moral yang tertinggi).
Tampak yang menjadi tolak ukur maslahah adalah tujuan syara‟ atau
berdasarkan syar’i. Inti dari kemaslahatan yang ditetapkan syar’i adalah
pemeliharaan lima hal pokok (Khuliyat al-Khams). Seperti yang dikatakan
Abu Zahrah.
الوصا لخ الوزسلت أالستصالح ي : الوصا لخ الوالءهت لوقا لصد الشارع اإلسالهي
بشدلا ألص خاص باإلػتبار أاللغاءل
Artinya : “Maslahah Mursalah adalah kemaslahatan yang sejalan dengan
maksud syar’i tetapi tidak ada nash secara khusus yang memerintahkan dan
melarang nya.”9
Dan Firman Allah SWT :
در شفاء لوا في ٱلص بكن ي ر ػظت ه ا ٱلاس قد ااءتكن ه أي دي
ردوت للوؤهيي (:٣)يس/
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada
dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S. Yunus :
57)10
Didalam pemeliharaan kelima unsur pokok terdapat Al-Muhafazhah „ala
al-Nasli (menjaga / memelihara keselamatan keturunan ), ialah jaminan
kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang baik budi
pekerti serta agamanya.
Karena adanya ta’lik talak selain hak isteri terpenuhi hak anak juga akan
terlindungi karna dari menjaga isteri pasti akan menjaga keturunan-
keturunannya juga, karna hakikatnya suami adalah menjaga keluarga dan
9 Said Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-Maslahah fi al-Syari‟ah al-Islamiyah, cet, ke III,
(Beirut, Mussah ar-Risalah, 1997), h. 2. 10
Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2011), h. 424
71
keturunannya atau memberikan hak-hak isteri dan melindungi anak-anaknya
seperti Firman Allah SWT :
ليكن ارا أ ا أفسكن ا ٱلذيي ءاها ق أي (:)التذزين/ ي
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka”. (Q.S.at-Tahrim :66)
Didalam konsep Maqhasid al-Syari‟ah terdapat Saddu Dzari‟ah yaitu
menyumbat segala sesuatu yang menjadi jalan menuju kerusakan. Kaitannya
Saddu Dzari‟ah dengan ta’lik talak adalah apabila ta’lik talak ini di ucapkan
banyak sekali kebaikan-kebaikan yang ditimbulkan. Diantaranya menjaga hak
isteri, menafkahi isteri, suami tidak semena-mena terhadap isteri, dan dari segi
keturunan. Anak-anak nya akan terjaga kebutuhannya. Tapi sebaliknya jika
ta’lik talak itu tidak diucapkan dikhawatirkan akan terjadi kemudharatan.
Dengan adanya konsep Saddu Dzari‟ah ini bisa menjadi dasar untuk
melakukan ta’lik talak karena jika melakukannya bisa menghilangkan
kemudharatan atau keburukan, dan jika tidak melakukannya dikhawatirkan
akan terjadi kerusakan dan ke mudharatan.
Karena pengertian dari Saddu Dzari‟ah itu sendiri adalah :
لص سد الطزيق التي ت سا ئ الفساد دفؼال ا ة الوزأ ال الفساد دسن هاد
Artinya : “mencegah/menyambut sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau
menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan”.11
Imam Al-Qarafi menyatakan :
ا يجب فتذا ريؼت كوا يجب سد سيلت اى الذ ي ال ريؼت يباح فاى الذ د ي يكز
الذج اابت كالسؼي للجوؼت ااب سيلت ال فكوا اى ال
11
Chaerul Umam,dkk, Ushul Fiqih 1, h. 188
72
Artinya : “sesungguhnya dzari‟ah ini, sebagaimana wajib kita menyumbatnya,
wajib pula kita membukanya. Karena dzari’ah dimakruhkan, disunahkan, dan
dimudahkan. Dzariah adalah wasilah, sebagaimana dzari‟ah yang haram
diharamkan dan wasilah kepada yang wajib diwajibkan, seperti berjalan
menunaikan shalat jum’at dan berjalan menunaikan ibadah haji”.12
Peninjauan terhadap akibat suatu perbuatan, bukannya memperhitungkan
kepada niat si pelaku, akan tetapi yang diperhitungkan adalah akibat dan buah
dari perbuatannya. Jadi suatu perbuatan dipuji atau dicela tergantung pada
akibatnya. Ini dapat dimengerti mengapa Allah SWT melarang mencacimaki
berhala, padahal hal itu merupakan sikap penolakan terhadap sesuatu yang
batil. Allah SWT Berfirman :
ل يدػى هي دى ٱلذيي تسبا ا ٱلل فيسب ٱلل ا بغيز ػلن ػد
(:١)األؼام/
Artinya : “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan”. (Q.S.al-An’am :108).
Pengambilan dalil dzara‟i beserta ketentuan hukumnya ditetapkan
berdasarkan al-Qur’an, yaitu nash yang telah dituturkan di atas yang melarang
menista berhala, karena ada Firman Allah SWT :
ا أي قلا ٱلذيي ي ػا ٱظزاءاها ل تقلا ر (:)البقزة/ ٱسوؼا
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): "Raa´ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah".
(Q.S. al-Baqarah :104).
Oleh karena itu, apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan
terjadinya kerusakan maka hendaklah perbuatan yang baik itu
dicegah/disumbat agar tidak terjadi kerusakan. Misalnya : pengucapan ta’lik
12
Chaerul Umam,dkk, Ushul Fiqih 1, h. 191.
73
talak itu tidak dianjurkan akan tetapi dikhawatirkan hak-hak isteri tidak
terpenuhi dan suami akan semena-mena, dan agar itu semua tidak terjadi maka
perbuatan seperti itu harus dicegah agar tidak menimbulkan kerusakan. Oleh
karena itu ta’lik talak harus dilaksanakan untuk menyumbat dari hal-hal
keburukan.
Berdasaran beberapa uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa
ta’lik talak harus dilaksanakan karena suatu usaha dan daya upaya melindungi
isteri dari tindakan sewenang-wenang suaminya, dan ta’lik talak juga sangat
menguntungkan bagi pihak wanita, karena akan membekali wanita dengan
hujjah syar‟i yang sah untuk melepaskan diri dari penderitaan akibat
perbuatan yang dijanjikan suaminya, itu pun jika isteri tidak rela atas
perbuatan suaminya itu.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ketentuan ta’lik talak dalam peraturan pernikahan di Indonesia diatur
dalam Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam yang dinyatakan
bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang diucapkan
calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam
Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu
keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Selanjutnya ketentuan ta’lik talak yang diatur dalam kompilasi hukum
islam pasal 45 dan pasal 46 yang berbunyi: “Kedua calon mempelai
dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: (1) Ta’lik
Talak. (2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Dan pasal 46 :”(1) Isi ta’lik talak tidak boleh bertentangan
dengan Hukum Islam.(2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam
ta’lik talak betul-betul terjadi di kemudian, tidak dengan
sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri
harus mengajukan persoalannya ke pengadilan agama. Hal ini bisa
juga dikatakan sebagai talak yang dijatuhkan oleh Hakim. (3)
Perjanjian ta’lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib
diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak
sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
75
2. Posisi ta’lik talak dalam hukum pernikahan islam di Indonesia tidak
terdapat pembagiannya, karena hanya satu macam ta’lik talak, yaitu
ta’lik talak yang ditentukan oleh Departemen Agama dan ini termasuk
Ta’lik Syarthi. Ta’lik Syarthi adalah ta’lik yang dimaksudkan untuk
menjatuhkan talak diwaktu terjadinya syarat. Dalam hukum positif,
ta’lik talak dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia masuk
pada pasal perjanjian perkawinan. yang tercantum pada Bab V, pasal
29 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Berdasarkan analisis penulis ta’lik talak walaupun tidak diwajibkan
tapi dilihat dari segi maslahatnya ta’lik talak sangat bermanfaat karena
tujuannya yaitu kebaikan. Ditinjau dari segi Maslahah Mursalah
karena mengandung manfaat dan dikategorikan sebagai Maslahat
Dharuriyat, karena tingkatan Dharuriyat ialah tingkatan yang harus
ada. Inti dari kemaslahatan yang di tetapkan syar’i adalah
pemeliharaan lima hal pokok yang lebih populer dengan sebutan
Maqashid al-Syari’ah atau (Khuliyat al-Khams). Di dalam lima hal
pokok tersebut terdapat al-Muhafazah ‘ala al-Nasli
(menjaga/memelihara keselamatan keturunan), karena dengan
terjaganya hak isteri maka terjaga juga keturunan-keturunannya.
Selain itu di kenal juga konsep Saddu Dzari’ah yaitu menyumbat
segala sesuatu yang menjadi jalan menuju kerusakan. Jika ta’lik talak
ini tidak diucapkan akan berdampak suami akan semena-mena dan
hak istri tidak terpenuhi yang akan menimbulkan Kemudharatan,
76
maka dengan tinjauan Maqashid al-Syari’ah, ta’lik talak harus
dilaksanakan karena menghasilkan kebaikan dari segi suami, isteri dan
keturunannya.
B. Saran-saran
1. Pada saat ini ta’lik talak tidak diwajibkan, akan tetapi banyak sekali
manfaat yang ditimbulkan jika ta’lik talak ini dilaksanakan, seperti
suami akan menjaga isteri sepenuh hati, hak isteri akan terpenuhi,
suami tidak akan semena-mena terhadap isteri dan kebutuhan anak-
anaknya juga akan terpenuhi. Akan tetapi jika ta’lik talak ini tidak
dilaksanakan, hak isteri terjamin terpenuhi dan suami akan semena-
mena terhadap isteri. Maka alangkah baiknya jika ta’lik talak ini
dilaksanakan, karena banyak sekali mengandung kebaikan.
2. Dengan adanya KHI pasal 45 dan KHI pasal 46 bisa menjadi landasan
hukum untuk melakukan ta’lik talak, karena isi dari KHI pasal 45 dan
46 menjelaskan tentang peraturan ta’lik talak dari segi pelaksanaan
dan ketentuannya. Dan berkaitan dengan pasal 29 Undang-undang No.
1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai hukum positif untuk
melaksanakan perjanjian perkawinan, Dalam hal ini yaitu ta’lik talak.
Dan adanya landasan hukum diatas bisa menjadi dasar hukum untuk
melakukan ta’lik talak
3. Diharapkan pada semua masyarakat di Indonesia khususnya yang
ingin melakukan pernikahan agar melakukan ta’lik talak ini. Karena
sudah dipaparkan dan dijelaskan manfaat dan kemaslahatannya jika
77
melakukan ta’lik talak. Dengan melakukan ta’lik talak keutuhan
rumah tangga akan lebih terjamin dan terjaga agar menjadi keluarga
sakinah mawaddah warahmah.
78
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Akademika
Pressindo. 1995.
Adnan, Moh. dan Kintoko, Mardi. Buku Tata Cara Islam. Surakarta : 1974.
Al-Buthi, Said Ramadhan. Dhawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah al-Islamiyah.
Cet. ke-III. Beirut : Mussah ar-Risalah, 1997.
al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I'lam al-Muwaqqi'in. Jilid III. Beirut : Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1996M.
Al-Khadimi, Nuruddin Mukhtar. al-Ijtihad al-Maqasidi. Qatar, 1998M.
Al-Munjid, Louis Ma’ruf. Beirut : Darul Masyriq.
Al-Qardhawi, Yusuf. Fiqih Maqashid Syariah. Jakarta : Pustaka Al Kaustar,
2007.
Al-Raysuni, Ahmad Muhammad Jamal Barut. Ijtihad Antara Teks, Realitas, dan
Kemaslahatan Sosial. Jakarta : Erlangga, 2002.
Al-Syaitibi, Abu Ishak. Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah. Jilid II. Cet. III. Beirut
: Daar Kutub al-Ilmiyyah, 1424 H /2003 M.
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2003.
Anis, Ibrahim. Al-Mu’jam al-Washit. Jilid 2. Mesir : Darul Ma’arif, 1976.
An-Na’im, Abdullah Ahmad. Dekonstruksi Syari’ah Wacana Kebebasan Sipil,
Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam. Yogyakarta
: 1997.
Ath-Thantawi, Mahmud Muhammad. Ushul Fiqh Islami. Kairo : Maktabah
Wahbah.
Bakti, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi. Jakarta : P.T.
Raja Grafindo Persada, 1996.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid I. Jakarta : PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, 2000.
Dally, Peunoh. Disertasi Provendus Doktor. Jakarta : IAIN, 1983.
______________ . Talak, Rujuk, Hadhonah dan Nafkah Kerabat Dalam Naskah
Mir’at al-Thullab: Suatu Studi Perbandingan Hukum Isteri Menurut
Ahlussunnah, Desertasi Provendus Doctor. Jakarta : Perpustakaan
Syari’ah UIN Syahid, 1983.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta : CV. Naladana,
2004.
______________ . Buku Akte Nikah. Jakarta. 2010.
79
Djamil, Fathurahhman. Metode Ijtihad Majlis Tarjih. Jakarta : Logos, 1995.
Fata, Rohadi Abd. Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam. Jakarta : Bumi
Aksara, 1991.
Hamdani, Ahmad. Teori Maqashid Al-Syari’ah Imam Al- Syathibi. Kudus :
STAIN Kudus, 2011.
Hasan, Husein Hamid. Nazariyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami. Mesir : Dar
al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971.
Hosen, Ibrahim. Fiqih Perbandingan Masalah Penikahan. Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2003.
Ibn Araby, Abu Zakariya Muhammad ibn Abdullah. Ahkam al-Qur’an. Juz II.
Dar al - Ma’rifah, Beriut. t.t.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Dina Utama Semarang,
1994.
______________ . Ilmu Usủl al-Fiqh. Beirut : Dar al-Fikr, t.t.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Ditbinbapera Depag RI, 2000.
Mahfudh, Sahal. Nuansa Fikih Sosial. Yogyakarta : LKIS, 1994.
Manan, Abdul. “Masalah Ta’lik Talak Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia“
dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI. Jakarta : Al-Hikmah, 1995.
______________. Penerapan Hukum Acara Perdata Dalam Lingkungan
Peradilan Agama. Cet. I. Jakarta : Al-Hikmah, 2000.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda
Karya, 1989.
Mughist, Abdul. Ushul Fiqh Bagi Pemula. Jakarta : CV. Artha Rivera, 2008.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Al-fiqh ‘ala al-Madzahib al-khamsah, Terj.
Masykur A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff, Fiqih Lima Mazhab.
Nasution, Harun. Gagasan dan Pemikiran. Cet. ke-5. Bandung : Mizan, 1998.
______________. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. Jakarta : UI
Press, 1984.
Noeh, Zaini Ahmad. Pembacaan Sighat Ta’lik Talak Sesudah Akad Nikah,
Mimbar Hukum. Jakarta : Ditbinbapera no. 30 Th. VII, 1997.
Patrik, Purwahid. Dasar-Dasar Hukum Perikatan. Bandung : Mandar Maju, 1999.
Praja, Juhaya S. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia, 2007.
Rofik, A. Hukum Islam di Indonesia. Cet. Ke-4. Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2000.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Jilid II. Beirut : Dar al-Fikr, 1980.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta
: eLSAS, 2008.
80
Syalthut, Mahmud dan Al-Sayis, Ali. Muqaranah al-Madzahib fil Fiqhi. Terj.
Zakiy al-Kaaf. Bandung : Pustaka Setia, 2000.
Syaltut, Mahmud. Islam : ‘Aqidah wa Syari’ah. Kairo : Dar al-Qalam, 1966.
______________. Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqih. Terj. Ismuha.
Jakarta ; Bulan Bintang, 2000.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jilid 2. Cet. I. Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu,
1999.
Thayib, Anshari. Rumah Tangga Muslim. Cet. Ke-3, Surabaya : PT. Risalah
Gusti, 1994.
Tihami, M. A. dan Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat. Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 2009.
Tim Penyunting MUI. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta : MUI,
1997.
Totok. Kamus Ushul Fiqih. Jakarta : Dana Bakti Wakaf, 2005.
Umam, Chaerul dkk. Ushul Fiqih 1. Bandung : Pustaka Setia, 1998.
Umam, Khairul dan Aminudin, Ahyar. Ushul Fiqih II. Bandung : Pustaka Setia,
2001.
Yahya, Mukhyar dan Fachurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islam. Bandung : al-Ma’arif, 1986.
Zahrah, Muhamad Abu. Ushul Fiqih. Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 2011.
Zein, Satria Effendi M. Ushul Fiqh. Cet. I ; Jakarta : Kencana, 2005.
http://click-gtg.blogspot.com/2009/05/taklik-talak-dalam-perkawinan.html.
diakses pada tanggal 12 April 2013
http://click-gtg.blogspot.com/2009/05/taklik-talak-dalam-perkawinan.html.
diakses pada tanggal 12 April 2013.