tinjauan kriminologis terhadap kejahatan pencurian …
TRANSCRIPT
SKRIPSI
TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP
KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN
HASIL TAMBAK DI KABUPATEN BULUNGAN
Oleh
MOHAMMAD RAHMAN
B 111 07 298
BAGIAN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
i
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP
KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN
HASIL TAMBAK DI KABUPATEN BULUNGAN
Oleh
MOHAMMAD RAHMAN
B111 07 298
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana
Pada Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
Pada
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
MOHAMMAD RAHMAN (B111 07298), Tinjauan Kriminologis
Terhadap Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan Hasil Tambak di Kabupaten
Bulungan di bawah bimbingan MUHADAR dan AMIR ILYAS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di
Kabupaten Bulungan dalam kurung waktu delapan tahun terakhir, serta untuk
mengetahui upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir
terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di Kabupaten
Bulungan.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan membandingkan keadaan
nyata dan data yang ada tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di kabupaten Bulungan serta
upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Berdasarkan analisis terhadap data dan fakta tersebut, maka penulis
berkesimpulan antara lain: faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan
pencurian dengan kekerasan hasil tambak di kabupaten Bulungan, yakni faktor
geografis, faktor ekonomi, faktor rendahnya tingkat pendidikan, dan faktor
lingkungan.Upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum adalah upaya pre-
emtif, preventif dan upaya represif. Upaya pre-emtif dan preventif yang dilakukan
pihak Kepolisian adalah melakukan penyuluhan dan upaya preventif lainya seperti
patrol rutin, pengadaan/penambahan pos keamanan, dan upaya represif adalah
upaya pembinaan yang dilakukan oleh Rutan kelas II-B Tanjung Redep, Berau,
yang meliputi pembinaan kepribadian, pembinaan kesadaran hukum dan
pembinaan keterampilan.
Adapun saran yang dapat penulis rekomendasikan yakni: a) Faktor utama
penyebab terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di
kabupaten Bulungan adalah; faktor geografis, faktor ekonomi, faktor rendahnya
tingkat pendidikan, dan faktor lingkungan. Oleh karena itu, penulis berharap pihak
Rumah Tahanan Kelas II-B Tanjung Redep Kabupaten Berau meningkatkan
pembinaan dalam hal pedidikan dan keterampilan kerja agar ketika sudah keluar
dari Rumah Tahanan Negara mampu meminimalisir faktor-faktor terjadinya
kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di kabupaten Bulungan. b) Di
harapkan kepada pihak Kepolisian agar lebih mengutamakan tindakan yang
bersifat preventif dalam hal menanggulangi terjadinya kejahatan pencurian
dengan kekerasan agar dapat mengurangi jumlah kejahatan yang terjadi. c) Di
harapkan adanya Peraturan Daerah baik dari Kabupaten Bulungan maupun Kota
Tarakan yang mengatur tentang penjualan hasil tambak guna lebih mempersempit
ruang gerak dari pelaku kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak.
Kata kunci: pencurian,hasil tambak, kriminologis, penanggulangan.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim..
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karna
Rahmat dan Nikmat-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa penulis
panjatkan sholawat kepada junjungan umat Islam Baginda Rasululllah SAW yang
telah menjadi suri tauladan umat Islam. Terkhusus kepada kedua orang tua
penulis, ayahanda tercinta Sukarman (Kanco) dan ibunda tercinta Jumaria
(Indo Upa) yang telah memberikan dukungan, baik itu motivasi maupun doa.
Penulis menyadari tanpa doa dan dukungan dari kedua orang tua penulis tidak
akan mampu menjadi yang sekarang ini. Kepada kakak dan adik penulis, Rusli
(K’Asri/Bpk. Khusnul), Rusman (Bpk. Nawaf), Kasman (Bpk. Emi),
Suziman, Rosnah, Nur Aisyah dan Nur Laila. Juga kepada seluruh Keluarga
yang selalu memperhatikan penulis. Terima kasih semua atas doa dan
dukungannya.
Kepada para sahabat-sahabatku yang selalu memberi bantuan yang selalu
bersama dalam suka maupun duka dan menjadi motivasi dalam hidup penulis.
Hanya ungkapan terima kasih yang tak terhingga yang bisa penulis berikan,
semua kebaikan kalian tak akan pernah penulis lupakan dalam hidup penulis. Tak
ada kenangan yang lebih indah daripada kenangan tentang kalian.
vii
Hingga pada akhirnya skripsi yang merupakan tugas akhir dalam
menyelesaikan studi strata 1 dapat terselesaikan (Alhamdulillah..) dengan segala
keterbatasan dan kekurangan penulis.
Maka perkenankan penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi,Sp.B., Sp.Bo. selaku Rektor
Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H.,M.Si., DFM. Selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S. dan Amir Ilyas, S.H., M.H.
selaku Pembimbing penulis. Terima kasih atas bimbingannya selama ini,
tanpa bimbingan bapak penulis tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen dan seluruh Civitas akademik fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin. Terima kasih atas semua bantuannya.
5. AKP Risnanto dan AKP Belny Warlansyah. Terima kasih atas semua
bantuannya. Terima kasih atas segala bantuannya.
6. Kepala Rutan Klas II-B Tanjung Redep, Kabupaten Berau M. Iksan. S. E,
beserta jajarannya.
7. Bapak Wahyu. M. Sholeh. Bc.IP selaku pembimbing lapangan pada
lokasi penelitian Rutan Klas II-B Tanjung Redep, Kabupaten Berau.
Terima kasih atas bimbingan dan masukannya.
8. Kepada para sahabat-sahabat penulis. M. Fuad Nasir Maidin
(Pablo/Fuad), Andi Baso Amry (Abhy), Sirajuddin (Sira), Magfira
Suryani Bakrie (Fira), Candra Sentosa (Canse), Muhidin (Muhe),
viii
Haritsa (Haris), Andi Firdaus Samad (Daus), Akhwani (Wani),
Qasman, Amir, Muhammad Yamin Buan (K’Yamin), Iin dan Surya
Ningsih (SN). Terima kasih sobat atas bantuannya selama ini. Kalian telah
mewarnai hidup penulis dengan indahnya arti Cinta dan Persaudaraan
9. Kepada teman-teman seperjuangan di Asrama Putra Tarakan, Wahyudin
opu, Paharuddin pao, Khasmir chodet, Muhammad Rusdi cuddi,
Romi. H. Tom. Terima kasih telah berbagi susah, sedih dan bahagia
bersama selama ini.
10. Kepada teman-teman Asrama Permata Samarinda (Asrama Putera
Tarakan), M. Akbar, Asbar, Ew, dan teman-teman lainnya yang telah
membantu dan memfasilitasi penulis dalam pengurusan surat izin
penelitian. Terima kasih atas kebaikan hati teman-teman sekalian.
11. Kepada teman-teman UKM Sepakbola FH-UH. M. Reindra Parani, M.
Rudha Ilbaya, Abd. Rasyid, Andry. T, M. Hariono, Fidya Ramadhani,
M. Chaerul Ramadhan, Ajat Sudrajat, Afandi Aris Raharjo, Unirsal,
Andi Dede Suhendra Iskandar, Putra, Alif Arhanda Putra, dan teman-
teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Banyak hal-
hal positif yang penulis dapatkan dari kalian.
12. Kepada teman-teman UKM Sepakbola Universitas Hasanuddin. Agus
Satria, Pratomo, Yahya, Messi, Asrul, Iqbal, dan teman-teman lainnya
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
13. Kepada teman-teman BEM FH-UH, EKSTRADISI, JACK’D, HALTE
COMUNITY, HGC, LIMITED GAMES COMUNITY, dan terkhusus
ix
Kepada Kanda MUHAMMAD BASIT yang telah seri tauladan bagi
penulis dan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis yang tak
bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas semua kebaikan dan
bantuan kalian.
Dengan kesadaran penuh, skripsi yang tentunya terdapat begitu banyak
kekurangan, namun penulis sangat berharap skripsi ini mempunyai manfaat bagi
masyarat khusunya bagi penegakan hukum dalam hal pencurian dengan kekerasan
atau lebih dikenal dalam masyarakat dengan istilah perampokan terhadap hasil
tambak di Kabupaten Bulungan. Dengan kerendahan hati penulis mengharapkan
kritik, saran ataupun masukan yang sifatnya membangun dari berbagai pihak guna
penyempurnaan skripsi ini.
Demikian kata pengantar yang penulis paparkan, atas segala ucapan yang
tidak berkenan dalam skripsi ini penulis memohon maaf.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Makassar, November
2011
PENULIS
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................ i
PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. iii
PERSETUJUAN MEMPUH UJIAN SKRIPSI ............................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................ ……… v
KATA PENGANTAR ...................................................................... ……… vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kriminologi ..................................................... 6
B. Pengertian Tambak ............................................................ 10
C. Pengertian Kejahatan dan Pencurian dengan Kekerasan ... 11
D. Jenis-jenis Tindak Pidana Pencurian dalam KUHP ........... 16
E. Teori-teori Penyebab Kejahatan ......................................... 34
F. Teori Upaya Penaggulangan Kejahatan ............................. 43
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian .............................................................. 46
B. Populasi dan Sampel ......................................................... 46
C. Jenis dan Sumber Data ...................................................... 46
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 47
E. Analisis Data ..................................................................... 47
xi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................. 48
B. Data Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan Hasil
Tambak di Kabupaten Bulungan Tahun 2003-2010 ......... 50
C. Faktor Penyebab Kejahatan Pencurian dengan
Kekerasan Hasil Tambak di Kabupaten Bulungan ........... 59
D. Upaya Penanggulangan Kejahatan Pencurian dengan
Kekerasan Hasil Tambak di Kabupaten Bulungan ........... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 75
B. Saran ................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Data Kecematan Terluas Kabupaten Bulungan .......................... 53
Tabel 2 : Data Kecematan Terkecil Kabupaten Bulungan ......................... 53
Tabel 3 : Data Jumlah Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan Hasil
Tambak di Kabupaten Bulungan Tahun 2003-2010 Yang
Selesai ......................................................................................... 55
Tabel 4 : Data Jumlah Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan Hasil
Tambak di Kabupaten Bulungan Tahun 2003-2010 Yang
Tidak Selesai ............................................................................... 57
Tabel 5 : Data Penghuni Rutan Kelas II-B Tanjung Redep Kabupaten
Berau ........................................................................................... 59
Tabel 6 : Data Jenis Kejahatan/Pelanggaran Penghuni Rutan Kelas II-B
Tanjung Redep Kabupaten Berau ............................................... 60
Tabel 7 : Data Tingkat pendidikan Penghuni Rutan Kelas II-B Tanjung
Redep Kabupaten Berau ............................................................. 61
Tabel 8 : Data Pekerjaan Penghuni Rutan Kelas II-B Tanjung Redep
Kabupaten Berau ......................................................................... 62
Tabel 9 : Data Agama Penghuni Rutan Kelas II-B Tanjung Redep
Kabupaten Berau ......................................................................... 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung
terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab, yang
mana dapat dilihat dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat
serta tertib dan tegaknya hukum.
Hukum berfungsi untuk mengatur hubungan antara manusia yang
satu dengan manusia lainnya dan hubungan antara manusia dan negara agar
segala sesuatunya berjalan dengan tertib. Oleh karena itu, tujuan hukum
adalah untuk mencapai kedamaian dengan mewujudkan kepastian hukum
dan keadilan di dalam masyarakat. Kepastian hukum menghendaki adanya
perumusan kaedah-kaedah dalam peraturan perundang-undangan itu harus
dilaksanakan dengan tegas.
Dan di zaman yang modern ini dimana pertumbuhan kebutuhan
ekonomi masyarakat semakin bertambah, terutama menyangkut masalah
pemenuhan kebutuhan dan lapangan pekerjaan. Hal inilah yang
menimbulkan kerawanan di bidang keamanan masyarakat, yaitu seringnya
terjadi kejahatan.
Kejahatan merupakan gejala sosial yang selalu dihadapi oleh
masyarakat di zaman yang modern ini . manusia sering kali melakukan
beberapa tindakan untuk menghapus secara tuntas kejahatan yang terjadi di
2
muka bumi ini, namun sering kali menemukan kegagalan, sebab kejahatan
sesungguhnya merupakan hasil interaksi karena adanya interelasi antara
fenomena yang ada dan paling mempengaruhi di dalam kehidupan
masyarakat, maka kejahatan tetap akan ada untuk merespon fenomena yang
terjadi. Usaha yang dapat dilakukan yaitu hanya menekan atau mengurangi
laju terjadinya kejahatan.
Kejahatan nampaknya semakin hari semakin bertambah, baik dari
segi kualitas maupun dari segi kuantitas dengan modus operandi yang
digunakan semakin canggih. Sarana pendukung kejahatan juga semakin
bervariatif. Situasi dan kondisi tersebut, bila ditelusuri bukan berarti tidak
ada pencegahan dan penanggulangan terhadap kejahatan yang semakin
berkembang, melainkan peristiwa kejahatan selalu mendapat perhatian yang
baik oleh aparat yang berwenang maupun dukungan masyarakat, namun
secara operasionalnya yang belum berjalan efektif.
Salah satu bentuk kejahatan yang akhir-akhir ini sering terjadi dan
sangat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat ialah kejahatan
pencurian dengan kekerasan yang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
lebih mengenal dengan istilah perampokan. Dalam kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) buku II mulai dari pasal 362 sampai dengan pasal
367 KUHP mengatur tentang pencurian, dan khusus pada pencurian dengan
kekerasan di atur dalam pasal 365 KUHP.
Dari berbagai pemberitaan di media massa baik itu dari media
elektronik maupun media cetak, pemberitaan mengenai pencurian dengan
3
kekerasan atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah perampokan
sangat menarik perhatian, mengusik rasa aman dan mengundang tanda tanya
pada masyarakat apa yang telah terjadi di tengah masyarakat ini, seperti
halnya di Kabupaten Bulungan.
Kejahatan pencurian dengan kekerasan perlu ditekan sedemikian
rupa supaya dapat menurunkan angka statistik yang senantiasa mengalami
kenaikan setiap tahunnya, untuk itu terlebih dahulu diupayakan untuk
dicari faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan pencurian
dengan kekerasan, kemudian dirumuskan pula langkah-langkah yang harus
ditempuh sebagai upaya penanggulangannya.
Pada hakekatnya banyak usaha dan kegiatan yang ditempuh
pemerintah dan aparat hukum dalam rangka mencegah terjadinya tindak
pidana pencurian dengan kekerasan, baik melalui penyuluhan hukum dan
peningkatan sistem keamanan, maupun dengan cara penghukuman
terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan, namun pada
kenyataannya masih saja ada laporan dari masyarakat tentang terjadinya
kejahatan pencurian dengan kekerasan.
Masalah kejahatan pencurian dengan kekerasan sangatlah
bertentangan dengan norma-norma hukum, kesusilaan, adat istiadat dan
agama pada bangsa Indonesia.
Mengacu dari hal-hal tersebut, haruslah ada usaha untuk
menanggulangi atau setidaknya mengurangi tindak pidana pencurian
4
dengan kekerasan sekecil mungkin. Agar dapat tercipatnya rasa aman pada
masyarakat, khususnya Kabupaten Bulungan.
Kejahatan pencurian dengan kekerasan yang dimaksud, akan diteliti
secara ilmiah menurut pandangan Kriminologi, kemudian dibahas dalam
satu karya ilmiah dalam bentuk proposal skripsi yang berjudul :
“TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN
PENCURIAN DENGAN KEKERASAN HASIL TAMBAK DI
KABUPATEN BULUNGAN”.
B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang pemikiran di atas, dan untuk menghindari
kajian yang terlalu luas dan menyimpang dari objek penulisan ini, maka
penulis memilih rumusan masalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana
pencurian dengan kekerasan hasil tambak di Kabupaten Bulungan ?
2. Upaya-upaya apakah yang dilakukan oleh kepolisisan untuk mencegah
tejadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di
Kabupaten Bulungan ?
5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di Kabupaten
Bulungan.
b. Untuk mengetahui Upaya yang dilakukan oleh kepolisisan untuk
mencegah tejadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil
tambak di Kabupaten Bulungan.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bagi
pemerintah dan aparat penegak hukum khususnya kepolisian
dalam menimalisir terjadinya kejahatan pencurian dengan
kekerasan hasil tambak di Kabupaten Bulungan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat
agar mereka lebih mengetahui faktor penyebab terjadinya
kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di Kabupaten
Bulungan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kriminologi
Kriminologi yaitu suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang penjahat dan kejahatan, serta mempelajari cara-cara penjahat
melakukan kejahatan, kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk
mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan dan berupaya
pula untuk mencari dan menemukan cara untuk dapat mencegah dan
menanggulangi terjadinya kejahatan.
Untuk lebih jelasnya, penulis mengutip pandangan dari beberapa
ahli kriminologi, antara lain :
Menurut Soejono Dirjosisworo (1985:4) mengemukakan bahwa:
“Dari segi etimologis istilah krminologis terdiri atas dua suku kata yakni
crimes yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan
jadi menurut pandangan etimologi maka istilah kriminologi berarti suatu
ilmu pengetahuan yang mempelajari segala sesuatu tentang kejahatan dan
kejahatan yang dilakukannya.”
Kriminologi sebagai ilmu pembantu dalam hukum pidana yang
memberikan pemahaman yang mendalam tentang fenomena kejahatan,
sebab dilakukannya kejahatan dan upaya yang dapat menanggulangi
kejahatan, yang bertujuan untuk menekan laju perkembangan kejahatan.
Seorang antropolog yang berasal dari Prancis, bernama Paul Topinard
(Topo Santoso, 2003:9), mengemukakan bahwa:
7
“Kriminologi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari soal-soal
kejahatan. Kata kriminologi itu sendiri berdasar etimologinya berasal
dari dua kata, crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu
pengetahuan.”
Kriminologi bukanlah senjata untuk berbuat kejahatan, akan tetapi
untuk menanggulangi terjadinya kejahatan. Untuk lebih memperjelas
pengertian kriminologi, beberapa sarjana memberikan batasannya sebagai
berikut:
Soedjono Dirjosisworo (1976:24) memberikan definisi
kriminologi adalah:
“Pengetahuan yang mempelajari sebab dan akibat, perbaikan maupun
pencegahan kejahatan sebagai gejala manusia dengan menghimpun
sumbangan-sumbangan berbagai ilmu pengetahuan secara lebih luas
lagi.”
Demikian pula menurut W.A. Bonger (Topo Santoso,2003:9),
mengemukakan bahwa “Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
bertujuan untuk menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya”
Lanjut menurut W.A.Bonger (Topo Santoso,2003:9) menentukan
suatu ilmu pengetahuan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Ilmu pengetahuan harus mempunyai metode tersendiri, artinya suatu
prosedur pemikiran untuk merealisasikan suatu tujuan atau sesuatu
cara yang sistematik yang dipergunakan untuk mencapai tujuan.
2. Ilmu pengetahuan mempunyai sistem, artinya suatu kebulatan dari
berbagai bentuk bagian yang saling berhubungan antara bagian yang
8
satu dengan segi lainnya, selanjutnya dengan peranan masing-masing
segi di dalam hubungan dan proses perkembangan keseluruhan.
3. Mempunyai obyektivitas, artinya mengejar persesuaian antara
pengetahuan dan diketahuinya, mengejar sesuai isinya dan objeknya
(hal yang diketahui).
Jadi menurut W.A. Bonger (Topo Santoso,2003:9) bahwa
“kriminologi yang memiliki syarat tersebut di atas dianggap sebagai suatu
ilmu yang mencakup seluruh gejala-gejala patologi social, seperti
pelacuran, kemiskinan, narkotik dan lain-lain.”
Selanjutnya W.A. Bonger (Topo Santoso,2003:9-10) membagi
kriminologi menjadi kriminologi murni yang mencakup:
1. Antropologi Kriminal; adalah ilmu pengetahuan tentang manusia yang
jahat (somatis).
2. Sosiologi Kriminal; adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan
sebagai suatu gejala masyarakat.
3. Psikologi Kriminal; adalah ilmu pengetahuan tentang penjahat dilihat
dari sudut jiwanya.
4. Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminal; adalah ilmu tentang
penjahat yang sakit jiwa.
5. Penologi; adalah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman
Paul Moedigdo Meoliono (Topo Santoso, 2003 : 11),
mengemukakan bahwa:
“Pelaku kejahatan mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan,
karena terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang ditentang
9
oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untuk
melakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat tersebut.”
Lanjut Paul Moedigdi Meoliono (Topo Santoso,2003:11)
memberikan defenisi kriminologi:
“Sebagai ilmu yang belum dapat berdiri sendiri, sedangkan masalah
manusia menunjukkan bahwa kejahatan merupakan gejala sosial. Kerena
kejahatan merupakan masalah manusia, maka kejahatan hanya dapat
dilakukan manusia. Agar makna kejahatan jelas, perlu memahami
eksistensi manusia.”
Wolffgang Savita dan Jhonston (Topo Santoso,2003:12)
memberikan definisi kriminologi sebagai berikut:
“Kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang
bertujuan untuk memperoleh oleh penjahat sedangkan pengertian
mengenai gejala kejahatan merupakan ilmu yang mempelajari dan
menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan dari kejahatan, pelaku
kejahatan, serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.”
Menurut Michael dan Adler (Topo Santoso,2003:12),
mengemukakan bahwa definisi kriminologi adalah:
“Keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para
penjahat, mulai dari lingkungan mereka sampai pada perlakuan secara
resmi oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggota
masyarakat”
Wood (Abd Salam,2007:5), merumuskan definisi kriminologi bahwa:
“Sebagai Ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela
yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam perilaku jahat dan
perbuatan tercela”
10
Berdasar rumusan para ahli di atas tentang kriminologi, nampaknya
mempunyai persamaan satu dengan lainnya, walaupun variasi bahasa
dalam mengungkapkan kriminologi berbeda, tetapi perbedaan itu tidak
mempengaruhi hakekat kriminologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang
berorientasi kepada kejahatan, mencari sebab orang melakukan kejahatan
dan mencari mengapa orang menjadi jahat, sekaligus mencari cara atau
upaya untuk menanggulangi kejahatan serta mendidik penjahat agar
kembali baik di mata masyarakat.
B. Pengertian Tambak
Tambak dalam perikanan adalah kolam buatan, biasanya di daerah
pantai, yang diisi air dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan
(akuakultur). Hewan yang dibudidayakan adalah hewan air, terutama ikan,
udang, serta kerang. Penyebutan “tambak” ini biasanya dihubungkan dengan
air payau atau air laut. Kolam yang berisi air tawar biasanya disebut kolam
saja atau empang. (dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/ Tambak.htm
pada hari Jumat, 29 Juli 2011 Pukul 15:35).
Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan
sebagai tempat untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di daerah
pesisir. Secara umum tambak biasanya dikaitkan langsung dengan
pemeliharaan udang windu, walaupun sebenamya masih banyak spesies
yand dapat dibudidayakan di tambak misalnya ikan bandeng, ikan nila, ikan
kerapu, kakap putih dan sebagainya. Tetapi tambak lebih dominan
11
digunakan untuk kegiatan budidaya udang windu. Udang windu (Penaeus
monodon) merupakan produk perikanan yang memiliki nilai ekonomis
tinggi berorientasi eksport.
C. Pengertian Kejahatan dan Pencurian dengan Kekerasan
1. Pengertian Kejahatan
Menurut A. S. Alam (2010: 16-17) ada dua sudut pandang untuk
mendefinisikan kejahatan, yaitu:
a) Sudut pandang hukum, kejahatan dari sudut pandang ini adalah
setiap tingkah laku yang melanggar hukum pidana. Bagaimanapun
jeleknya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak dilarang
diperundang-undangan pidana perbuatan itu tetap sebagai
perbuatan yang bukan kejahatan.
b) Sudut pandang masyarakat, kejahatan dari sudut pandang ini adalah
setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup
di dalam masyarakat.
Menurut M. A. Elliat ( Gumilang, 1993: 4) mengemukakan
bahwa:
“Kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat modern atau
tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat dijatuhi hukuman
penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan lain-lain.”
Menurut Bonger (Gumilang, 1993: 4) bahwa:
“Kejahatan merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar
mendapat reaksi dari Negara merupakan pemberian derita, dan
12
kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum mengenai
kejahatan.”
Selanjutnya Bonger (A. S. Alam, 2010: 21) membagi kejahatan
berdasar motif pelakunya sebagai berikut:
i. Kejahatan ekonomi (economic crime), misalnya penyelendupan
ii. Kejahatan Seksual (sexual crime), misalnya perbuatan zinah
iii. Kejahatan politik (political crime), misalnya pemberontakan
PKI
iv. Kejahatan lain-lain (miscelianeauos crime), misalnya
penganiayaan
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka kejahatan dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi yuridis dan dari segi sosiologis.
Secara yuridis, kejahatan merupakan segala tingkah laku atau perbuatan
manusia yang dapat dipidana sesuai dengan aturan hukum pidana.
Sedangkan secara sosiologis, kejahatan merupakan perbuatan anti sosial
yang sifatnya merugikan masyarakat
(1) Unsur-unsur Pokok Kejahatan
Menurut A. S. Alam (2010: 18-19) untuk menyebut sesuatu
perbuatan sebagai kejahatan ada tujuh unsur pokok yang saling
berkaitan yang harus dipenuhi. Ketujuh unsur tersebut adalah:
a) Ada perbuatan yang menimbulkan kerugian;
b) Kerugian tersebut telah diatur di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP);
13
c) Harus ada perbuatan;
d) Harus ada maksud jahat;
e) Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat;
f) Harus ada perbauran antara kerugian yang telah diatur di dalam
KUHP dengan perbuatan;
g) Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan tersebut.
(2) Klasifikasi Kejahatan
Kejahatan dapat digolongkan atas beberapa golongan
berdasarkan beberapa pertimbangan:
Menurut Bonger (A. S. Alam 2010: 21) membagi kejahatan
berdasarkan motif pelakunya sebagai berikut:
a) Kejahatan ekonomi (economic crime), misalnya penyelundupan.
b) Kejahatan seksual (sexual crime), misalnya perbuatan zinah.
c) Kejahatan politik (political crime), misalnya pemberontakan
PKI.
d) Kejahatan lain-lain (miscelianeaus crime), misalnya
penganiayaan.
Sedangkan menurut A. S. Alam (2010: 21-23) membagi
kejahatan berdasarkan berat atau ringan ancaman pidananya:
a) Kejahatan, yakni semua pasal-pasal yang disebut di dalam buku
ke-II (dua) KUHP. Seperti pembunuhan, pencurian,dll.
Golongan inilah dalam bahasa Inggris disebut felony. Ancaman
14
pidana pada golongan ini kadang-kadang pidana mati, penjara
seumur hidup, atau pidana penjara sementara.
b) Pelanggaran, yakni semua pasal-pasal yang disebut di dalam
buku ke-III (tiga) KUHP, seperti saksi di depan persidangan
memakai jimat pada waktu ia harus member keterangan dengan
bersumpah, dihukum dengan kurungan selama-lamanya 10 hari
atau denda. Pelanggaran di dalam bahasa Inggris disebut
misdemeanor. Ancaman hukumannya biasanya hukuman denda
saja.
2. Pengertian Pencurian dengan Kekerasan
Sebelum diuraikan mengenai pengertian tindak pidana pencurian
dengan kekerasan, terlebih dahulu diuraikan pengertian tentang pencurian
itu sendiri. Berbicara tentang pencurian berarti akan menimbulkan kesan
bahwa pencurian merupakan suatu hal yang sangat tidak disenangi bagi
setiap manusia normal.
Pengertian pencurian dalam Pasal 362 KUHPidana, yang
rumusannya sebagai berikut:
Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum diancam karena pencurian, dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Sembilan
ratus rupiah.
15
Dari ketentuan tersebut, maka Pasal 362 KUHPidana merupakan
pokok tindak pidana pencurian. Sebab semua unsur dari delik pencurian
dirumuskan secara tegas dan jelas, sedangkan pada Pasal-pasal
KUHPidana lainnya, tidak disebutkan lagi unsur tindak pidana atau delik
pencurian, akan tetapi cukup disebutkan nama kejahatan pencurian
tersebut disertai dengan unsur pemberatan atau unsur peringanan.
Adapun unsur-unsur tindak pidana Pasal 362 KUHPidana
sebagaimana tercantum pada Pasal tersebut, adalah sebagai berikut :
a. Perbuatan mengambil;
b. Barang;
c. Barang itu seluruhnya atau sebagian milik orang lain;
d. Secara melawan hukum dengan maksud untuk memiliki.
Selanjutnya dikemukakan tentang pencurian dengan kekerasan
sebagaimana diatur dalam Pasal 365 KUHPidana, yang rumusannya
sebagai berikut:
(1) Diancam dengan pidana penjara maksimum Sembilan tahun,
pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal
tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri
peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
a) Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah
rumah atau perkarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan
umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
b) Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;
16
c) Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak
atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah
palsu, atau pakai jabatan palsu;
d) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika
perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan
oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh
salah satu hal yang diterangkan dalam No. 1 dan 3.
Mengacu pada rumusan di atas, maka dapat dikategorikan dalam
pencurian dengan kekerasan apabila memenuhi unsur-unsur Pasal 365
KUHPidana.
Adapun yang dimaksud dengan kekerasan atau tindakan
kekerasan, menurut Moch. Anwar (1994: 2.5) Yang diartikan dengan
kekerasan adalah setiap perbuatan yang mempergunakan tenaga badan
yang tidak ringan.
D. Jenis-jenis Tindak Pidana Pencurian dalam KUHP
Menurut R. Soesilo (1996:.250) Jenis tindak pidana pencurian
merupakan jenis tindak pidana yang terjadi hampir dalam setiap daerah di
Indonesia. Oleh karenanya menjadi sangat logis apabila jenis tindak pidana
ini menempati urutan teratas di antara tindak pidana terhadap harta
kekayaan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya terdakwa/tertuduh
dalam tindak pidana pencurian yang diajukan ke sidang pengadilan. Berikut
17
akan dikaji secara mendalam tindak pidana pencurian beserta unsur-
unsurnya yang diatur dalam KUHP.
1. Pencurian Biasa (Pasal 362 KUHP)
Pencurian biasa ini perumusannya diatur dalam pasal 362 KUHP
yang menyatakan :
“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian
termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu
dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman
penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp
900,- (sembilan ratus rupiah)”
Berdasarkan rumusan pasal 362 KUHP diatas, maka unsur-unsur
tindak pidana pencurian (biasa) adalah sebagai berikut:
a) Unsur obyektif, yang meliputi unsur-unsur:
1. mengambil
2. suatu barang
3. yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain
b) Unsur subyektifnya, yang meliputi unsur-unsur:
1. dengan maksud
2. untuk memiliki barang/ benda tersebut untuk dirinya sendiri.
3. secara melawan hukum.
Tindak pidana ini oleh pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai:
mengambil barang, seluruhnya atau sebagian milik orang lain dengan
tujuan memiliknya secara melanggar hukum. Sehingga patutlah kiranya
18
dikemukakan, bahwa cirri-ciri khas tindak pidana pencurian adalah
mengambil barang orang lain untuk memilikinya.
2. Pencurian Dengan Pemberatan
Istilah “pencurian dengan pemberatan” biasanya secara doctrinal
disebut sebagai “pencurian yang dikualifikasikan”. Pencurian yang
dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan
dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat
lebih berat dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula
dari pencurian biasa.
Pencurian dengan pemberatan atau pencurian yang dikualifikasikan
diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHP. Oleh karena pencurian yang
dikualifikasikan tersebut merupakan pencurian yang dilakukan dengan
cara-cara tertentu dan dalam keadaan tertentu yang bersifat memberatkan,
maka pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan
pemberatan harus diawali dengan membuktikan pencurian dalam bentuk
pokoknya.
Unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan dapat
dilihat dalam paparan di bawah ini.
1. Pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363 KUHP.
Pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dirumuskan sebagai
berikut:
a. Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1) pencurian ternak;
19
2) pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa
bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal
terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan
atau bahaya perang;
3) pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh
orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki
oleh yang berhak;
4) pencurian yang dialkukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama;
5) pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan,
atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan
dengan membongkar, merusak atau memanjat atau dengan
memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan
(seragam) palsu.
b. Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah
satu tersebut ke-4 dan ke-5, maka dikenakan pidana paling lama
sembilan tahun. Selanjutnya di bawah ini akan dipaparkan unsur-
unsur dalam Pasal 363 KUHP. Untuk melihat unsur-unsur dalam
Pasal 363 KUHP, langkah pertama yang diambil adalah melihat
unsur-unsur dalam Pasal 362 KUHP. Jadi untuk adanya pencurian
dengan pemberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 363 KUHP,
harus terlebih dahulu dilihat dan dibuktikan unsur-unsur Pasal 362
20
KUHP. Baru setelah itu, dibuktikan unsur-unsur yang memperberat
pencurian tersebut. Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka
unsur-unsur dalam Pasal 363 KUHP meliputi :
1) Pencurian Ternak (Pasal 363 ayat (1) ke-I KUHP).
2) Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa
bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal
terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan
atau bahaya perang (Pasal 363 ayat (1) ke-2 KUHP).
3) Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh
orang yang adanya di situ tidak diketahui atau dikehendaki oleh
yang berhak (Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP).
Apabila diperinci maka unsur-unsur dalam Pasal 363 ayat (1)
ke-3 KUHP, selain unsur-unsur dalam Pasal 362 KUHP,
meliputi unsur-unsur:
a) Unsur “malam”;
b) Unsur “dalam sebuah rumah”;
c) Istilah “rumah” atau tempat kediaman diartikan sebagai
“setiap bangunan yang dipergunakan sebagai tempat
kediaman”;
d) “pekarangan tertutup yang ada rumahnya”.
21
4) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu.
Beberapa unsur-unsur tersebut telah dijelaskan di muka. Oleh
karena pengertian unsur-unsur tersebut juga sama, maka tidak
akan dibahasa kembali. Beberapa unsur yang masih memerlukan
penjelasan berkaitan dengan penerapan ketentuan Pasal 363 ayat
(1) ke-5 adalah:
a) Unsur “membongkar”;
b) Unsur “merusak”;
c) Unsur “memanjat”;
d) Unsur “anak kunci palsu”;
e) Unsur “perintah palsu”;
f) Unsur “pakaian jabatan (seragam) palsu”.
Setelah dibahas mengenai pencurian dengan pemberatan yang
diatur dalam Pasal 363 ayat (1) KUHP, berikut ini akan dibahas
pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363 (2) KUHP.
Di dalam ketentuan Pasal 363 ayat (2) KUHP dinyatakan: jika
pencurian yang diterangkan dalam Pasal 363 ayat (1) KUHP, maka
dikenakan pidana paling lama sembilan tahun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 363 ayat (2) KUHP di atas, maka
pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumahnya dan dilakukan oleh dua orang atau lebih
secara bersama-sama ataupun yang untuk masuk ke tempat melakukan
22
kejahatan atau untuk sampai pada barang yangh diambilnya, dilakukan
dengan membongkar, merusak atau memanjat atau dengan
menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan
(seragam) palsu, diancam dengan pidana yang lebih berat yaitu
sembilan tahun.
Apabila perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 363 ayat (2) KUHP
diperinci jenis perbuatannya adalah sebagai berikut:
a. pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya yang dilakukan
oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama.
b. pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya dimana pelaku
untuk sampai pada tempat melakukan kejahatan atau untuk
sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan
membongkar, merusak atau memanjat atau menggunakan anak
kunci palsu, perintah palsu atau seragam palsu.
2. Pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 365 KUHP.
Pencurian dengan pemberatan kedua adalah pencurian yang
diatur dalam Pasal 365 KUHP. Jenis pencurian ini lazim disebut
dengan istilah “pencurian dengan kekerasan” atau popular dengan
istilah “pencurian dengan kekerasan”. Ketentuan Pasal 365 KUHP
selengkapnya adalah sebagai berikut :
23
a. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun,
pencurian yang didahului dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan
atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan,
untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya,
atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.
b. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1) Ke-1 jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah
rumah atau pekarangan tretutup yang ada rumahnya, di jalan
umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
2) Ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama.
3) Ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan
membongkar, merusak, atau memanjat atau memakai anak
kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
4) Ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
c. Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
d. Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan
mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang
atau lebih secara bersama-sama dengan disertai oleh salah satu hal
yang diterangkan dalam ayat (2) ke-1 dan ke-3.
24
Selanjutnya di bawah ini akan dibahas unsur-unsur yang ada dalam
ketentuan Pasal 365 KHUP sebagai berikut:
a. Pencurian, yang:
b. Didahului atau disertai atau diikuti
c. Kekerasan atau ancaman kekerasan
d. Terhadap orang
e. Dilakukan dengan maksud untuk:
1) mempersiapkan atau,
2) memudahkan atau,
3) dalam hal tertangkap tangan,
4) untuk memungkinkan melarikan diri bagi dirinya atau peserta
lain,
5) untuk menjamin tetap dikuasainya barang yang dicuri.
Unsur “didahului” atau “disertai” atau “diikuti” kekerasan atau
ancaman kekerasan haruslah terkait erat dengan upaya untuk
mempersiapkan atau mempermudah atau dalam hal tertangkap tangan
untuk memungkinkan untuk melarikan diri bagi diri sendiri atau peserta
lain atau untuk menjamin tetap dikuasainya barang yang dicuri.
Lantas apa yang dimaksud dengan kekerasan? Penjelasan atas
pengertian “kekerasan” dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 89 KUHP,
yang menyatakan:
25
Bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan
dengan menggunakan kekerasan.
Apabila unsur kekerasan atau ancaman kekerasan di atas
dihubungkan dengan unsur lain dalam Pasal 365 KUHP, yaitu unsur “luka
berat atau mati”, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan
dengan “kekerasan atau ancaman kekerasan” dalam Pasal 365 KUHP
adalah “kekerasan dalam arti fisik”. Termasuk dalam pengertian
kekerasan adalah mengikat orang yang punya rumah, menutup di dalam
kamar dan sebagainya. Berkaitan dengan unsur “kekrasan atau ancman
kekersan” ini perlu kiranya dikemukakan, bahwa kekerasan atau ancaman
kekerasan tersebut haruslah ditujukan kepada orang, bukan kepada
barang. Dengan demikian, apbila kekerasan atau ancaman kekerasan
tersebut ditujukan terhadap benda, misalnya si pencuri mengancam akan
manghancurkan barang atau benda hasil curian yang sudah berada dalam
kekkuasaannya apabila ia tidak dibiarkan untuk meninggalkan tempat
dengan aman, maka perbuatan ini tidak termasuk di dalam pencurian
menurut Pasal 365 KUHP.
Berkaitan dengan penerapan Pasal 365 KUHP, unsur yang masih
memerlukan penjelasan adalah unsur “tertangkap tangan”. Pengertian
unsur ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir ke-19 KUHAP, yang
menyatakan, “tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada
waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah
beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan
26
oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila
sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan
bahwa ia adalah pelakunya atau turut serta melakukan atau membantu
melakukan tindak pidana itu.
Sekarang kita akan melihat unsur-unsur dalam Pasal 365 ayat (2)
KUHP.
a. Unsur-Unsur Dalam Pasal 365 Ayat (2) :
1. waktu malam
2. dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya.
3. di jalan umum.
4. dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
Apabila dilihat, maka sebagian besar unsur-unsur dalam Pasal 365
ayat (2) ke-1 sudah dibahas pada bagian sebelumnya. Dua unsur yang
kiranya masih membutuhkan penjelasan adalah unsur “dijalan umum”
dan unsur “dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan”.
Yang dimaksud dengan jalan (umum) adalah setiap jalan yang
terbuka untuk lalu lintas umum berikut jembatan-jembatan dan jalan-
jalan air yang terdapat di jalan tersebut, termasuk di dalamnya jalan
untuk pejalan kaki, jalan hijau, tepi-tepi jalan, selokan-selokan dan
tanggul-tanggul yang merupakan bagian dari jalan tersebut.
27
b. Unsur-unsur Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP.
Unsur yang terdapat dalam pasal tersebut adalah unsur-unsur yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama”. Terhadap
unsur ini sudah dijelasakan di muka, sehingga tidak memerlukan
penjelasan lagi.
c. Unsur-unsur Pasal 365 ayat (2) ke-3 KUHP.
Sebagaimana unsur-unsur dalam pasal sebelumnya, unsur-unsur
dalam Pasal 365 ayat (2) ke-3 juga sudah secara panjang lebar
dijelaskan di muka. Dalam ketentuan Pasal 365 ayat (2) ke-3 ini diatur
pencurian yang didahului, disertai atau diikuti kekerasan atau ancaman
kekerasan dengan maksud untuk mempersiapkan dan sebagainya
dimana masuknya ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai
pada barang yang diambilnya dilakukan dengan jalan membongkar,
merusak atau memanjat atau dengan memakai anaka kunci palsu,
perintah palsu atau seragam palsu.
d. Unsur-unsur Pasal 365 ayat (2) ke-4 KUHP.
Unsur pasal 365 ayat (2) ke-4 KUHP adalah unsur
“mengakibatkan luka berat”. Tentang pengertian luka berat ini sudah
diatur dalam ketentuan Pasal 90 KUHP. Menurut ketentuan Pasal 90
KUHP ynag dimaksud “luka berat” adalah :
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau menimbulkan bahaya maut;
28
2) Tidak mampu secara terus-menerus untuk menjalankan tugas,
jabatan atau pekerjaan pencahariannya;
3) Kehilangan salah satu panca indera;
4) Mendapat cacat berat;
5) Menderita sakit lumpuh;
6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; dan
7) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.
e. Unsur-unsur Pasal 365 ayat (3) KUHP.
Unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 365 ayat ke (3)
KUHP kiranya sudah cukup jelas adanya. Pencurian yang didahului,
disertai atau diikuti oleh kekerasan atau ancaman kekerasan dan
sebagainya apbila mengkibatkan kematian, maka terhadap pelakunya
diancam dengan pidana yang lebih berat, yaitu berupa pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
f. Unsur-unsur Pasal 365 ayat (4) KUHP.
Unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 365 ayat (4)
KUHP ini juga sudah dibahas dalam bagian sebelumnya, sehingga
tidak perlu lagi dibahas kembali. Dalam ketentuan ini ditegaskan,
bahwa apabila pencurian yang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat
(2) KUHP mengakibatkan luka atau mati dan dilakukan oleh dua orang
atau lebih secara bersama-sama juga disertai salah satu hal yang
dimaksud dalam ketentuan No. 1 dan 3, ancaman pidananya berupa
pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana selama waktu
29
tertentu paling lama dua puluh tahun. Jenis tindak pidana pencurian ini
merupakan tindak pidana yang paling berat di antara berbagai jenis
tindak pidana pencurian yang lain.
3. Pencurian Ringan (Pasal 364 KUHP)
Pencurian ringan adalah pencurian yang memiliki unsur-unsur dari
pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan
unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya menjadi
diperingan. Pencurian ringan di dalam KUHP diatur dalam ketentuan Pasal
364. termasuk dalam pengertian pencurian ringan ini adalah pencurian
dalam keluarga.
Rasio dimasukkannya pencurian keluarga kedalam pencurian
ringan adalah karena oleh karena jenis pencurian dalam keluarga ini
merupakan delik aduan, dimana terhadap pelakunya hanya dapat dituntut
apabila ada pengaduan. Dengan demikian, berbeda dengan jenis pencurian
pada umumnya yang tidak membutuhkan adanya pengaduan untuk
penuntutannya. Disinilah tampak bahwa seolah-olah hukum memberikan
“toleransi” atau “keringanan” terhadap pencurian dalam keluarga.
Pencurian dalam keluarga diatur dalam Pasal 367 KUHP. Dengan
demikian terdapat dua bentuk pencurian yang diatur dalam Pasal 364 dan
367 KUHP:
30
a. Pencurian Ringan
Jenis pencurian ini diatur dalam ketentuan Pasal 364 KUHP yang
menyatakan:
“Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan 363 KUHP ke-4,
begitu juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 365 ke-5,
apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumahnya, jika haraga barang yang dicuri tidak
lebih dari dua puluh lima rupiah (cetak miring dari penulis),dikenai,
karena pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau
denda paling banyak enam puluh rupiah”.
Berdasarkan rumusan Pasal 364 KUHP diatas, maka unsur-unsur
dalam pencurian ringan adalah:
1. Pencurian dalam bentuknya yang pokok (Pasal 362 KUHP);
2. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KHUP);
3. Pencurian yang dilakukan dengan membongkar, merusak atau
memanjat, dengan anak kunci, perintah palsu atau seragam palsu;
4. Tidak dilakukan dalam sebuah rumah;
5. Tidak dilakukan dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya;
dan apabila harga barang yang dicurinya itu tidak lebih dari dua
puluh lima rupiah.
Pengertian dan penafsiran berbagai unsur tersebut sudah dibahas
dalam bagaian sebelumnya, sehingga tidak perlu dibahas kembali.
Berkaitan dengan penerapan unsur-unsur tindak pidana pencurian
ringan ini, ada unsur yang terasa janggal, yaitu unsur sebagaimana
31
tersebut dalam poin 3. Mengikuti rumusan Psal 364 KUHP di atas,
apabila seseorang mencuri dengan cara membongkar, merusak atau
memanjat atau menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau
seragam palsu tetapi nilai barang yang dicuri itu tidak lebih dari dua
puluh lima rupiah, maka pelaku didakwa melakukan tindak pidana
ringan. Pertanyaannya adalah, bagaimana apabila nilai kerusakan
akibat pembongkaran dan sebagainya itu lebih besar dari harag barang
yang dicurinya? Haruskah pencuri dijerat dengan tindak pidana
ringan? Disinilah agaknya kemampuan hakim dalam
mengaktualisasikan perasaan keadilan masyarakat dituntu lebih
bijaksana dan adil. Rasanya tidak adil apabila dalam kasus tersebut
pelakunya hanya dijerat dengan tindak pidana ringan.
b. Pencurian dalam keluarga
Pencurian dalam keluarga diatur dalam ketentuan Pasal 367
KUHP yang menyatakan:
a. Jika pembuat atau pembantu salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam bab ini ada suami (isteri) orang yang kena
kejahatan itu, yang tidak bercerai meja makan dan tempat tidur
atau bercerai harta benda, maka pembuat atau pembantu itu
tidak dapat dituntut hukuman.
b. Jika ia suaminya (isterinya) yang sudah diceraikan meja makan,
tempat tidur, atau harta benda, atau sanak atau keluarga orang
itu karena kawin, baik dalam keturunan yang lurus, maupun
keturunan yang menyimpang dalam derajat yang kedua, maka
bagi ia sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada
pengaduan dri orang yang dikenakan kejahatan itu.
32
c. Jika menurut adat istiadat keturunan ibu, kekuasaan bapak
dilakuakn oleh orang lain dari bapak kandung, maka ketentuan
dalam ayat kedua berlaku juga bagi orang itu.
Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP
ini merupakan pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku
maupun korbannya masih dalam satu keluarga. Pencurian dalam Pasal
367 KUHP akan terjadi, apabila seorang suami atau isteri melakukan
(sendiri) atau membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda
istri atau suaminya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 367 ayat (1) KUHP apabila suami-
istri tersebut masih dalam ikatan perkwinan yang utuh, tidak terpisah
meja atau tempat tidur juga tidak terpisah harta kekayaannya, maka
pencurian atau membantu pencurian yang dilakukan oleh mereka
mutlak tidak dapat dilakukan penuntutan.
Jadi, apabila suami, misalnya, melakukan pencurian atau
membantu (orang lain) melakukan pencurian terhadap harta benda
istrinya, sepanjang keduanya masih terikat harta kekayaannya, maka
terhadap suami itu mutlak tidak dapat dilakukan pennuntutan.
Demikian berlaku sebaliknya.
Tetapi apabila dalam pencurian yang dilakukan oleh suami atau
isteri terhadap harta benda isteri atau suami ada orang lain (bukan
sebagai keluarga) baik sebagai pelaku maupun sebagai pembantu
33
maka terhadap orang ini tetap dapat dilakukan penuntutan, sekalipun
tidak ada pengaduan.
Pertimbangan terhadap tidak dapat dituntutnya suami atas
pencurian terhadap isteri dan sebaliknya berdasarkan Pasal 367 KUHP
ayat (1) KUHP adalah didasarkan atas alasan tata susila. Sebab, naluri
kemanusiaan kita akan mengatakan betapa tidak pantasnya seorang
suami-isteri yang masih terikat dalam perkawinan yang utuh, harus
saling brhadapan di pengadilan. Rasanya perilaku tersebut tidak sesuai
dengan etika moral yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Selain
itu, dengan tidak adanya pemisahan harta kekayaan antara suami-
isteri, akan menjadi sulit menentukan mana harta suami dan harta
isteri yang telah menjadi objek pencurian tersebut.
Bagaimana apabila di antara suami-isteri tersebut telah terpisah
meja dan ranjang atau harta kekayaan?
Dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ayat (2) KUHP secara tegas
dinyatakan, bahwa apabila antara suami dan isteri itu sudah terpisah
meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka apbila terjadi
pencurian di antara mereka dapat dilakukan penuntutan, sekalipun
penuntutan terhadap mereka itu baru dapat dilakukan apabila ada
pengaduan dari yang dirugikan (suami atau isteri).
Demikian juga apabila yang melakukan pencurian atau yang
membantu melakukan pencurian itu adalah keluarga sedarah baik
dalam garis lurus (ke atas atau ke bawah) atau ke samping atau
34
keluarga semenda sampai derajat kedua, penuntutan dapat dilakukan
apabila ada pengaduan. Sekarang marilah kita lihat ketentuan Pasal
367 ayat (3) KUHP. Aturan ini sebenarnya penting untuk suatu daerah
yang menganut garis keturunan ibu (matrilineal). Dalam hal “peran”
suami berdasarkan (hukum) adapt setempat dilakukan oleh orang lain,
maka ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) Pasal 367 KUHP juga
berlaku baginya.
E. Teori-teori Penyebab Kejahatan
Masalah sebab-sebab kejahatan selalu merupakan permasalahan
yang sangat menarik. Berbagai teori yang menyangkut sebab kejahatan telah
diajukan oleh para ahli dari berbagai disiplin dan bidang ilmu pengetahuan.
Namun, sampai dewasa ini masih belum juga ada satu jawaban penyelesaian
yang memuaskan.
Meneliti suatu kejahatan harus memahami tingkah laku manusia baik
dengan pendekatan deskriptif maupun dengan pendekatan kausal,
sebenarnya dewasa ini tidak lagi dilakukan penyelidikan sebab terjadinya
kejahatan, karena sampai saat ini belum dapat ditentukan faktor penyebab
pembawa resiko yang lebih besar atau lebih kecil dalam menyebabkan orang
tertentu melakukan kejahatan, dengan melihat betapa kompleksnya perilaku
manusia baik individu maupun secara berkelompok.
Sebagaimana telah dikemukakan, kejahatan merupakan problem bagi
manusia meski telah ditetapkan sanksi yang berat bagi penjahat, namun
35
tetap saja terjadi kejahatan. Hal ini merupakan permasalahan yang belum
dapat dipecahkan sampai sekarang.
Dalam perkembangan, terdapat beberapa faktor berusaha
menjelaskan sebab-sebab kejahatan. Dari pemikiran itu, berkembanglah
aliran atau teori-teori kriminologi. Teori-teori tersebut pada hakekatnya
berusaha untuk mengkaji dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
penjahat dengan kejahatan, namun dalam menjelaskan hal tersebut terdapat
perbedaan antara satu teori dengan teori lainnya.
Made Darma Weda (1996:15-20) mengemukakan teori-teori
kriminologi tentang kejahatan, sebagai berikut:
1. Teori Klasik
Teori ini mulai muncul di Inggris pada pertengahan abad ke-19 dan
tersebar di Eropa dan Amerika. Teori ini berdasarkan psikologi hedonistik.
Menurut psikologi hedonistik setiap perbuatan manusia berdasarkan
pertimbangan rasa senang dan rasa tidak senang (sakit). Setiap manusia
berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk, perbuatan mana
yang mendatangkan kesenangan dan mana yang tidak.
Menurut Beccaria (Made Darma Weda, 1996:15) bahwa:
“Setiap orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan
dan rasa sakit yang diperoleh dari perbuatan tersebut. That the act which I
do is the act which I think will give me most pleasure.”
36
Lebih lanjut Beccaria (Purnianti dkk., 1994:21) menyatakan bahwa:
“Semua orang melanggar undang-undang tertentu harus menerima
hukuman yang sama, tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya
miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadaan lainnya. Hukuman yang
dijatuhkan harus sedemikian beratnya, sehingga melebihi suka yang
diperoleh dari pelanggaran undang-undang tersebut.”
Berdasar pendapat Beccaria tersebut setiap hukuman yang
dijatuhkan sekalipun pidana yang berat sudah diperhitungkan sebagai
kesenangan yang diperolehnya, sehingga maksud pendapat Beccaria
adalah untuk mengurangi kesewenangan dan kekuasaan hukuman.
Pendapat ekstirm tersebut (Purniati dkk., 1994:12) dipermak
menjadi dua hal:
(1) Anak-anak dan orang-orang gila mendapat pengecualian atas dasar
pertimbangan bahwa mereka tidak mampu untuk memperhitungkan
secara intelegen suka dan duka.
(2) Hukuman ditetapkan dalam batas-batas tertentu, tidak lagi secara
absolut, untuk memungkinkan sedikit kebijaksanaan.
Konsep keadilan menurut teori ini adalah suatu hukuman yang pasti
untuk perbuatan-perbuatan yang sama tanpa memperhatikan sifat dari sifat
si pembuat dan tanpa memperhatikan pula kemungkinan adanya peristiwa-
peristiwa tertentu yang memaksa terjadinya perbuatan tersebut.
37
2. Teori Neo Klasik
Menurut Made Darwa Weda (1996:15) bahwa:
“Teori neo klasik ini sebenarnya merupakan revisi atau
pembaharuan teori klasik, dengan demikian teori neo klasik ini tidak
menyimpang dari konsepsi-konsepsi umum tentang sifat-sifat manusia
yang berlaku pada waktu itu. Doktrin dasarnya tetap yaitu bahwa
manusia adalah makhluk yang mempunyai rasio yang berkehendak bebas
dan karenanya bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatannya dan
dapat dikontrol oleh rasa ketakutannya terhadap hukum.”
Ciri khas teori neo klasik (Made Darma Weda,1996:15) adalah
sebagai berikut:
a. Adanya perlunakan/perubahan pada doktrin kehendak bebas.
Kebebasan kehendak untuk memilih dapat dipengaruhi oleh:
1) Patologi, ketidakmampuan untuk bertindak, sakit jiwa, atau lain-
lain keadaan yang mencegah seseorang untuk memperlakukan
kehendak bebasnya.
2) Premeditasi niat, yang dijadikan ukuran kebebasan kehendak, tetapi
hal ini menyangkut terhadap hal-hal yang aneh, sebab jika benar,
maka pelaku pidana untuk pertama kali harus dianggap lebih bebas
untuk memilih daripada residivis yang terkait dengan kebiasaan-
kebiasaannya, dan oleh karenanya harus dihukum dengan berat.
b. Pengakuan daripada sahnya keadaan yang berubah ini dapat berupa
fisik (cuaca, mekanis, dan sebagainya) keadaan-keadaan
lingkungannya atau keadaan mental dari individu.
38
c. Perubahan doktrin tanggungjawab sempurna untuk memungkinkan
perubahan hukuman menjadi tanggungjawab sebagian saja, sebab-
ssebab utama untuk mempertanggungjawabkan seseorang untuk
sebagian saja adalah kegilaan, kedunguan, usian dan lain-lain yang
dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu
melakukan kejahatan.
d. Dimasukkan persaksian/keterangan ahli di dalam acara pengadilan
untuk menentukan besarnya tanggungjawab, untuk menentukan apakah
si terdakwa mampu memilih antara yang benar dan salah.
3. Teori Kartografi/Geografi
Teori kartografi yang berkembang di prancis, inggris, dan jerman.
Teori ini berkembang pada tahun 1830 - 1880 M. Teori ini sering pula
disebut sebagai ajaran ekologis. Yang dipentingkan oleh ajaran ini adalah
distribusi kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara geografis
maupun secara sosial.
Menurut Made Darma Weda (1996:16) bahwa:
“Teori ini kejahatan merupakan perwujudan kondisi-kondisi sosial yang
ada. Dengan kata lain bahwa kejahatan itu muncul disebabkan karena
faktor dari luar manusia itu sendiri.”
4. Teori Sosialis
Teori sosialis mulai berkembang pada tahun 1850 M. Para tokoh
aliran ini banyak dipengaruhi oleh tulisan Marx dan Engels, yang lebih
menekankan pada determinasi ekonomi.
39
Menurut para tokoh ajaran ini (Made Darwa Weda 1996: 16)
bahwa “kejahatan timbul disebabkan oleh adanya tekanan ekonomi yang
tidak seimbang dalam masyarakat”.
Berdasar pendapat tersebut diatas, maka untuk melawan kejahatan
itu haruslah diadakan peningkatan di bidang ekonomi. Dengan kata lain
kemakmuran, keseimbangan, dan keadilan sosial akan mengurangi
terjadinya kejahatan.
5. Teori Tipologis
Di dalam kriminologi telah berkembang empat teori yang disebut
dengan teori tipologis atau bio-tipologis. Kempat aliran tersebut
mempunyai kesamaan pemikiran dan metodologi. Mereka mempunyai
asumsi bahwa terdapat perbedaan antara orang jahat dengan orang yang
tidak jahat. Keempat teori tipologis tersebut adalah sebagai berikut:
a. Teori Lombroso/Mazhab Antropologis
Teori ini dipelopori oleh Cesare Lombroso. Menurut
Lombroso (Made Darma Weda 1996: 16-17) bahwa:
“Kejahatan merupakan bakat manusia yang dibawa
sejak lahir (criminal is born). Selanjutnya ia mengatakan
bahwa ciri khas seorang penjahat dapat dilihat dari keadaan
fisiknya yang mana sangat berbeda dengan manusia lainnya.”
Aliran Lombroso ini bertujuan untuk membantah aliran klasik
dalam persoalan determinasi melawan kebebasan kemauan dan
kemudian membatah teori Tarde tentang Theory of imitation.
40
Teori ini dibantah oleh Goring dengan mengadakan penelitian.
Goring (Made Darma Weda 1996: 18) berkesimpulan bahwa
“Tidak ada tanda-tanda jasmaniah untuk disebut sebagai tipe
penjahat, demikian pula tidak ada tanda-tanda rohaniah untuk
menyatakan penjahat itu memiliki suatu tipe.”
Menurut Goring (Made Darma Weda 1996: 18) bahwa
“Kuasa kejahatan itu timbul karena setiap manusia mempunyai
kelemahan/cacat yang dibawa sejak lahir, kelemahan/cacat inilah
yang menyebabkan orang tersebut melakukan kejahatan.”
Dengan demikian menurut Goring kejahatan timbul karna
faktor Psikologis sedangkan faktor lingkungan sangat kecil
pengaruhnya terhadap seseorang.
b. Teori Mental Tester
Teori ini muncul setelah runtuhnya teori Lombroso. Teori ini
dalam metodologinya menggunakan tes mental untuk membedakan
penjahat dan bukan penjahat.
Menurut Goddard (Made Darma Weda 1996: 18) bahwa:
“Setiap penjahat adalah orang yang otaknya lemah, karena
orang yang otaknya lemah tidak dapat menilai perbuatannya,
dan dengan demikian tidak dapat pula menilai akibat dari
perbuatannya tersebut atau menangkap serta menilai arti
hukum.”
41
Berdasar pendapat tersebut, teori ini memandang kelemahan
otak merupakan pembawaan sejak lahir dan merupakan penyebab
orang melakukan kejahatan.
c. Teori Psikiatrik
Teori psikiatrik merupakan lanjutan teori-teori Lombroso
dengan melihat tanpa adanya perubahan pada ciri-ciri morfologi
(Made Darma Weda 1996: 19) bahwa:
“Teori ini lebih menekankan pada unsur pada unsur psikologis,
epilepsy dan moral insanity sebagai sebab-sebab kejahatan.
Teori ini, memberikan arti penting kepada kekacauan-
kekacauan ekonomi, yang dianggap timbul dalam interaksi
sosial dan bukan karena pewarisan. Pokok teori ini adalah
organisasi tertentu daripada kepribadian orang, yang
berkembang jauh terpisah dari pengaruh jahat, tetapi tetap akan
menghasilkan kelakuan jahat tanpa mengingat situasi-situasi
sosial.”
d. Teori sosiologis
Teori sosiologis merupakan aliran yang sangat bervariasi.
Analisis sebab-sebab kejahatan secara sosiologis banyak
dipengaruhi oleh teori kartografik dan sosialis.
42
Teori ini menafisrkan kejahatan (Made Darma Weda 1996:
19) sebagai:
"Fungsi lingkungan sosial. Pokok pangkal ajaran ini
adalah, bahwa kelakuan jahat dihasilkan oleh proses-proses
yang sama seperti kelakuang sosial. Dengan demikian proses
terjadinya terjadinya tingkah laku jahat tidak berbeda dengan
tingkah laku lainnya termasuk tingkah laku yang baik. Orang
melakukan kejahatan karena meniru keadaan sekelilingnya.”
6. Teori Lingkungan
Teori ini juga disebut sebagai mazhab Prancis. Manurut Tarde
(Made Darma Weda 1996: 20):
“Teori ini seseorang melakukan kejahatan karena
dipengaruhi oleh faktor disekitarnya/lingkungannya, baik
lingkungan keluarga, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
keamanan termasuk dengan pertahanan dengan dunia luar, serta
penemuan tekhnologi.”
Masuknya barang-barang dari luar negeri seperti televisi, buku-
buku serta film dengan macam reklame sebagai promosinya ikut pula
menentukan tinggi rendahnya kejahatan.
Berdasar pendapat Tarde , seseorang melakukan kejahatan karena
orang tersebut meniru keadaan sekelilingnya, Sama seperti teori sosiologis
menurut Made Darma Weda.
43
7. Teori Biososiologi
Aliran biososiologi ini sebenarnya merupakan perpaduan dari aliran
antropologi dan aliran sosiologis, oleh karena ajarannya didasarkan bahwa
tiap-tiap kejahatan itu timbul karena faktor individu seperti keadaan psikis
dan fisik dari penjahat dan juga karena faktor lingkungan.
Menurut Made Darma Weda (1996: 20) bahwa:
“Faktor individu itu dapat meliputi sifat individu yang
diperoleh sebagai warisan dari orang tuanya, keadaan badaniah,
kelamin, umur, intelek, temperamen, kesehatan, dan minuman
keras. Keadaan lingkungan yang mendorong seseorang
melakukan kejahatan itu meliputi keadaan alam, keadaan
ekonomi, tingkat peradaban dan keadaan politik suatu Negara”.
F. Teori Upaya Penanggulangan Kejahatan
Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan
waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama
kejahatan di ibu kota dan kota-kota besar lainnya semakin meningkat
bahkan dibeberapa daerah dan sampai kekota-kota kecil.
Kejahatan adalah masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat di
seluruh negara semenjak dahulu dan pada hakikatnya merupakan produk
dari masyarakat sendiri. Kejahatan dalam arti luas, menyangkut pelanggaran
dari norma-norma yang dikenal masyarakat, seperti norma-norma agama,
norma moral hukum. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam
undang-undang yang dipertanggungjawabkan aparat pemerintah untuk
menegakkan dan meminimalisir kejahatan, terutama kepolisian, kejaksaan
44
dan pengadilan. Namun, karena kejahatan langsung mengganggu keamanan
dan ketertiban masyarakat, maka wajarlah bila semua pihak pemerintah
maupun warga masyarakat juga ikut terlibat, karena setiap orang
mendambakan kehidupan bermasyarakat yang tenang dan damai.
Menyadari tingginya tingkat kejahatan, maka secara langsung atau
tidak langsung mendorong pula perkembangan dari pemberian reaksi
terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan pada hakikatnya berkaitan dengan
maksud dan tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan tersebut.
Upaya penanggulangan kejahatan telah dilakukan oleh semua pihak,
baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Berbagai program
serta kegiatan yang telah dilakukan sambil mencari cara yang paling tepat
dan efektif dalam mengatasi masalah tersebut.
Seperti yang dikemukakan A. S. Alam (2010: 79-80)
penanggulangan kejahatan empirik terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu:
1. Pre-Emtif
Yang dimaksud dengan upaya Pre-emtif disini adalah upaya-upaya
awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya
tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan
kejahatan secara pre-entif adalah menanamkan nilai-nilai/norma-norma
yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri
seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan hal tersebut maka
tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha pre-emtif faktor niat
menjadi hilang meskipun ada kesempatan. Cara pencegahan ini berasal
45
dari teori NKK, yaitu niat + kesempatan terjadi kejahatan. Contohnya,
ditengah malam pada saat lampu merah lalu lintas menyala maka
pengemudi itu akan berhenti dan mematuhi aturan lalu lintas tersebut
meskipun pada waktu itu tidak ada polisi yang berjaga. Hal ini selalu
terjadi di banyak Negara seperti di singapura, Sidney, dan kota besar
lainnya di dunia. Jadi dalam upaya pre-emtif faktor niat tidak terjadi.
2. Preventif
Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari
upaya pre-entif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya
kejahatan. Dalam upaya preventif yang ditekankan adalah menghilangkan
kesempatan untuk dilakukan kejahatan. Contoh ada orang ingin mencuri
motor tetapi kesempatan itu dihilangkan karena motor-motor yang ada
ditempatkan di penitipan motor, dengan demikian kesempata menjadi
hilang dan tidak terjadi kejahatan. Jadi dalam upaya preventif kesempatan
ditutup.
3. Represif
Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan
yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcemenet) dengan
menjatuhkan hukuman.
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bulungan, yaitu tepatnya
pada Kantor Polres Bulungan dan Rumah Tahanan Tanjung Redep, Berau.
Dipilihnya lokasi di Kabupaten Bulungan dengan pertimbangan bahwa,
pada daerah tersebut sering terjadi tindak pidana pencurian dengan
pemberatan dalam hal ini pencurian dengan kekerasan tambak, dan menjadi
perhatian masyarakat Kabupaten Bulungan.
B. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat di Kabupaten
Bulungan, Provinsi Kalimantan Timur yang ditentukan sebanyak 8 pemilik
Lahan Tambak sebagai sampel.
C. Jenis dan Sumber Data
Data yang dikembangkan dalam penulisan ini, diperoleh dari dua
sumber data sebagai berikut:
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari aparat Polres, dan pejabat
Rumah Tahanan Negara Tanjung Redep, Berau, pemilik lahan tambak
serta para warga binaan (Napi) tindak pidana pencurian dengan
kekerasan.
2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi atau lembaga
tempat penelitian penulis yang telah tersedia.
47
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penyusunan skripsi ini, teknik pengumpulan data yang
dilakukan terbagi atas dua, antara lain:
1. Penelitian Lapangan (Field Research)
Di dalam melakukan penelitian lapangan (field research)
penulis menempuh 2 cara yaitu:
a. Observasi
Penulis juga melakukan observasi atau pengamatan secara
langsung pada objek-objek yang menjadi sasaran penelitian selama
di lokasi penelitian.
b. Wawancara
Penelitian lapangan dilakukan dengan wawancara langsung kepada
narasumber dalam bentuk tanya jawab yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas, yaitu dilakukan dengan mengadakan tanya
jawab secara langsung kepada aparat Polres Bulungan, pejabat
Rumah Tahanan Negara serta para warga binaan (Napi) tindak
pidana pencurian dengan kekerasan
2. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan melalui teknik pengumpulan data
penelitian kepustakaan (Library Research) dilakukan dengan
mengumpulkan berbagai data dari literatur yang relevan.
E. Analisis Data
Data-data yang telah diperoleh, baik berupa data primer maupun
sekunder kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menghasilkan simpulan.
Hasilnya akan disajikan secara deskriptif untuk memberikan pemahaman
yang yang jelas, logis, dan terarah dari hasil penelitian nantinya.
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Letak Geografis
Kabupaten Bulungan merupakan salah satu kabupaten di Propinsi
Kalimantan Timur, dengan posisi geografis pada 116°20'45"-118°00'00"
bujur timur dan 2°06'05"-3°45'10" lintang utara, Kondisi Geografis Wilayah
Kabupaten Bulungan memiliki 7 aliran sungai induk, 15 gunung dan 201
pulau besar dan kecil. Pulau terbesar adalah pulau Mandul di
Kecamatan Bunyu (38.737,413 ha). Secara administratif, Kabupaten
Bulungan ini berbatasan Sebelah utara Kabupaten Nunukan (Kec. Lumbis
dan Sembakung), Sebelah timur Kota Tarakan dan Laut Sulawesi, Sebelah
selatan, Kabupaten Berau, Sebelah barat Kabupaten Malinau.
2. Luas Wilayah
Luas Wilayah kabupaten Bulungan seluas 13.181,92 km2,
secara topografi terdiri dari daratan yang berbukit-bukit serta gunung-
gunung terjal, sungai yang terpanjang adalah Sungai Kayan dengan
panjang sungai 576 km termasuk yang berada di
wilayah Kabupaten Malinau dan Kabupaten Tana Tidung,
sedangkan gunung yang tertinggi adalah Gunung Kundas yang berada di
49
Kecamatan Peso dengan ketinggian 1.670 m dan melingkupi tiga belas
Kecamatan, Seratus tiga puluh Desa dan enam Kelurahan.
Peta Kabupaten Bulungan
Tabel 1.
Data Kecematan Terluas Kabupaten Bulungan
No. Kecamatan Luas Persentase
(%)
1 Peso 3.142,79 17,45%
2 Tana Lia 2.198,18 12,20%
3 Sekatak 1.993,98 11,07%
Sumber : Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bulungan, 12 September 2011
Tabel 2.
Data Kecematan Terkecil Kabupaten Bulungan
No.
Kecamatan Luas (Km) Persentase (%)
1 Bunyu 198,32 1,10%
2 Tanjung Palas Tengah 642,95 3,47%
3 Tajung Palas Tumur 677,77 2,76%
Sumber : Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bulungan, 12 September 2011
50
3. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Bulungan berdasarkan data BPS tahun
2010 berjumlah 113.045 jiwa, yang terdiri dari 60.422 laki-laki dan 52.623
perempuan, meliputi 24.572 KK, dengan sex ratio penduduk sebesar 114,82
(BPS Kabupaten Bulungan, 2010). Dari jumlah penduduk diatas, dihitung
bahwa kepadatan rata-rata penduduk di tiga belas Kecamatan di tahun 2010
sebanyak 8,58 jiwa/km2.
Kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kecamatan Peso
Hilir, dengan jumlah penduduk 3.527 jiwa/km2 (tahun 2010), dan
kecematan Tanjung Selor dengan jumlah penduduk terbesar 39.428
jiwa/km2, dan Kecamatan Tanjung Palas dengan jumlah penduduk terbesar
kedua 14.015 jiwa/km2.
B. Data Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan Hasil Tambak di
Kabupaten Bulungan Tahun 2003-2010
1. Data Kepolisian Polres Bulungan
Sebelum membahas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di
Kabupaten Bulungan, ada baiknya terlebih dahulu kita mengetahui
perkembangan kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di
Kabupaten Bulungan yang terjadi dalam rentang waktu dari tahun 2003
hingga tahun 2010.
51
Untuk mengetahui perkembangan kejahatan pencurian dengan
kekerasan hasil tambak di Kabupaten Bulungan dalam rentang waktu
delapan tahun terakhir, yaitu mulai tahun 2003 hingga 2010, Maka
penulis melakukan penelitian di instansi-instansi penegak hukum untuk
mendapatkan data sekunder tentang kejahatan pencurian dengan
kekerasan hasil tambak di Kabupaten Bulungan.
Berdasarkan data Kepolisian Polres Bulungan dapat di kemukakan
bahwa, jumlah kasus pencurian dengan kekerasan hasil tambak di
Kabupaten Bulungan dari tahun 2003 - 2010 yang masuk dalam laporan
di Polres Bulungan sebanyak 304 laporan. Berikut data terkait kejahatan
hasil tambak di Kabupaten Bulungan.
Tabel 3.
Data Jumlah Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan Hasil Tambak
di Kabupaten Bulungan Tahun 2003 – 2010 Yang Selesai.
No. Tahun Jumlah
laporan
Jumlah Tindak Pidana Yang
diselesaikan
Presentase
(%)
1 2003 20 4 20%
2 2004 23 4 17,39%
3 2005 39 7 17,94%
4 2006 58 12 20,68%
5 2007 40 13 32,5%
6 2008 54 22 40,74%
7 2009 35 15 42,85%
8 2010 35 4 11,42%
Jumlah 304 81 26,65% Sumber Data Sekunder: Kantor Kepolisian Resort Bulungan, 19 September 2011
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pada tahun 2009 tingkat
keberhasilan tertinggi pihak kepolisian menyelesaikan laporan yang
masuk, dari 35 laporan yang masuk tingkat keberhasilan pihak kepolisian
52
mencapai 15 kasus atau 11,88%, sedangkan pada tahun 2010 dengan
jumlah laporan yang masuk sebanyak 35 laporan dan hanya mampu
terselesaikan sebanyak 4 kasus atau 11,42% dan merupakan tingkat
terendah dari tahun-tahun lainnya, Dan pada tahun 2006 dapat dilihat
bahwa laporan yang masuk sebanyak 58 kasus yang merupakan jumlah
laporan terbanyak dalam rentang waktu delapan tahun terakhir, dan jumlah
tindak pidana yang selesai hanya 12 atau 20,68% dari total laporan yang
dapat diselesaikan ole h pihak kepolisian sepanjang tahun 2006, dan pada
tahun 2003 tercatat hanya 20 laporan yang masuk, laporan ini merupakan
laporan terkecil dalam rentang waktu delapan tahun terakhir dan hanya
mampu diselesaikan 4 kasus atau 20% oleh pihak kepolisian. Dan dari
jumlah laporan yang masuk dalam rentang waktu delapan tahun terakhir
sebanyak 304 laporan hanya 81 atau 26,65% kasus yang dapat
diselesaikan.
Tabel 4.
Data Jumlah Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan Hasil Tambak di
Kabupaten Bulungan Tahun 2003 – 2010 Yang Tidak Selesai.
No Tahun Jumlah laporan
Jumlah tindak
Pidana Yang Tidak
Selesai
Presentase
(%)
1 2003 20 16 80%
2 2004 23 19 82,60%
3 2005 39 32 82,02%
4 2006 58 46 79,31%
5 2007 40 27 67,5%
6 2008 54 32 57,14%
7 2009 35 20 57,14%
8 2010 35 31 88,57%
Jumlah 304 223 73,35% Sumber Data Sekunder: Kantor Kepolisian Resort Bulungan, 19 September 2011
53
Data di atas menunjukkan bahwa laporan yang tahun 2006
merupakan laporan terbanyak dalam kurun waktu delapan tahun terakhir,
dari 58 laporan yang masuk tidak semua dapat diselesaikan oleh pihak
Kepolisian, tercatat 46 atau 79,31% kasus tidak dapat terselesaikan oleh
pihak kepolisian. Dan pada tahun 2003 jumlah laporan terkecil sebanyak
20 laporan 16 atau 80% kasus tidak terselesaikan. Dari keseluruhan
laporan yang masuk tingkat ketidak berhasilan pihak kepolisian tercatat
sebanyak 31 atau 88,57% kasus. Dari data yang ada, dari 304 laporan yang
masuk tercatat 223 atau 73,35% kasus yang tidak terselesaikan.
Dalam kurung waktu delapan tahun terakhir yakni tahun 2003
hingga tahun 2010 terdapat 304 laporan yang masuk ke pihak Kepolisian,
namun dari laporan tersebut hanya 81 atau 26,65% diantaranya yang dapat
diselesaikan oleh pihak Kepolisian. Menurut AKP Belny Warlansyah dan
AKP Risnanto (wawancara 25 September 2011) ada beberapa kendala
yang membuat beberapa laporan tidak dapat terselesaikan, yakni:
1) Tersangka tidak diketahui keberadaannya
2) Barang bukti tidak mencukupi
3) Perkara tersebut belum dapat dibuktikan oleh penyidik
4) Perkara tahun sebelumnya masih berjalan dan belum selesai
5) Tidak adanya saksi
6) Luasnya wilayah pertambakan
7) Kurangnya sarana dan prasarana
54
8) Kurang cepatnya informasi kejadian karena korban melapor pada
Polres Tarakan dengan alasan domisili
Dilihat dari tabel-tabel diatas dapat disimpulkan bahwa Kepolisian
belum maksimal dalam menyelesaikan laporan masyarakat yang masuk.
Ini dilihat dari rendahnya presentase keberhasilan polisi dalam
menyelesaikan laporan yang masuk. Pada tahun 2006 sebanyak 58 laporan
yang masuk hanya 12 yang selesai, jika dipresentasekan hanya 20,68%
dari total laporan yang masuk yang merupakan jumlah laporan terbanyak
dalam kurun waktu delapan tahun terakhir.
Namun pada prakteknya di lapangan pihak kepolisain sudah cukup
maksimal dalam mengantisipasi dan mengungkap terhadap kejahatan
pencurian dengan kekerasan hasil tambak, terbukti dengan telah
beroperasinya tiga pos keamanan pada tiga muara besar di wilayah
pertambakan Kabupaten Bulungan di sertai patroli rutin tiap bulannya.
2. Data Rumah Tahanan Negara Kelas II-B Tanjung Redep
Kabupaten Berau
Berdasarkan penelitian penulis terhadap pelaku Kejahatan
Pencurian dengan kekerasan Hasil Tambak di Kabupaten Bulungan
di Rumah Tahanan Negara Kelas II-B Tanjung Redep Kabupaten
Berau, ada 18 pelaku kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil
tambak di Kabupaten Bulungan yang menghuni Rumah Tahanan
Negara Kelas II-B Tanjung Redep Kabupaten Berau.
55
Tabel 5.
Data Penghuni Rutan Kelas II-B Tanjung Redep Kabupaten Berau
No. Pelaku Jumlah Presentase
(%)
1.
2.
3.
4.
Dewasa Laki-laki
Dewasa Wanita
Anak Laki-laki
Anak Wanita
364
9
21
1
92,15%
2,27%
5,33%
0,25%
Jumlah 395 100% Sumber data: Rutan Kelas II-B Tanjung Redep Kabupaten Berau, 26 Sept 11
Pada tabel di atas menunjukkan bahwa penghuni Rumah Tahanan
Negara Kelas II-B Tanjung Redep, Berau sebanyak 395 dengan rincian
dewasa laki-laki sebanyak 364 atau 92,15%, dewasa wanita sebanyak 9
atau 2,27%, anak laki-laki sebanyak 21 atau 5,33% dan anak wanita
sebanyak 1 atau 0,25%. Sedangkan penghuni Rumah Tahanan Negara
Kelas II-B Tanjung Redep, Berau di lihat dari Jenis
Kejahatan/Pelanggarannya, sebagai berikut:
Tabel 6.
Data Jenis Kejahatan/Pelanggaran Penghuni Rutan Kelas II-B
Tanjung Redep Kabupaten Berau
No Jenis
Kejahatan/Pelanggaran Jumlah
Presentase
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Pembunuhan
Pencurian
Asusila
Narkoba
Judi
Pencurian dengan kekerasan
Korupsi
Ilegal Loging
Penganiayaan
Lain-lain
10
43
80
97
20
18
10
35
16
66
2,56%
11,02%
20,51%
24,87%
5,12%
4,61%
2,56%
8,97%
4,14%
15,64%
Jumlah 395 100% Sumber data Sekunder: Rutan Kelas II-B Tanjung Redep Kabupaten Berau, 26
September 2011
56
Pada tabel di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2010 pelaku Kejahatan
pencurian dengan kekerasan yang menghuni Rumah Tahanan Negara
Kelas II-B Tanjung Redep, Berau sebanyak 18 atau 4,61% dari jumlah
seluruhnya sebanyak 395 dengan rincian, pembunuhan sebanyak 10 atau
2,56%, pencurian sebanya 43 atau 11,02%, Asusila sebanyak 80 atau
20,51%, Narkoba sebanyak 97 atau 24,87%, Judi sebanyak 20 atau 5,12%,
pencurian dengan kekerasan sebanyak 18 atau 4,61%, korupsi sebanyak 10
atau 2,56%, illegal loging sebanyak 35 atau 8,97%, penganiayaan
sebanyak 16 atau 4,14% dan lain-lain sebanyak 66 atau sebanyak 15,64%.
Sedangkan penghuni Rumah Tahanan Negara Kelas II-B Tanjung
Redep, Berau di lihat dari tingkat pendidikannya, sebagai berikut:
Tabel 7.
Data Tingkat Pendidikan Penghuni Rutan Kelas II-B Tanjung Redep
Kabupaten Berau
No. TINGKAT
PENDIDIKAN JUMLAH
PRESENTASE
(%)
1. BH (Buta Huruf) 13 3,29%
2. SD 106 26,85%
3. SMP 63 15,96%
4. SMA 81 20,5%
5. D3 2 0,5%
6. S1 11 2,78%
7. S2 2 0,5%
8. TTMSD 117 29,62%
Jumlah 395 100% Sumber data Sekunder: Rutan Kelas II-B Tanjung Redep Kabupaten Berau, 26
September 2011
Jadi tabel menunjukkan bahwa Penghuni Rumah Tahanan Negara
Kelas II-B Tanjung Redep, Berau kebanyakan adalah yang tidak selesai
57
sekolah dasar (TTMSD) dan lulusan SD, dengan rincian, untuk penghuni
Rumah Tahanan Negara Kelas II-B Tanjung Redep, Berau yang BH (Buta
Huruf) sebanyak 13 orang atau 3,29% dari total penghuni Rutan, penghuni
yang pendidikan terakhirnya Sekolah Dasar/lulusan Sekolah Dasar
sebanyak 106 atau 26,85% dari total penghuni Rutan, penghuni yang
pendidikan terkahirnya Sekolah Menengah Pertama sebanyak 63 atau
15,96% dari total penghuni Rutan, penghuni yang pendidikan terakhirnya
Sekolah Menengah Atas sebanyak 81 atau 20,5% dari total penghuni
Rutan, sedangkan untuk penghuni yang pendidikan terakhir Diploma 3
sebanyak 2 atau 0,5% dari total penghuni Rutan, penghuni yang
pendidikan terakhirnya Strata 1 sebanyak 11 atau 2,78% dari total
penghuni Rutan, dan untuk pendidikan Strata 2 sebanyak 2 atau 0,5% dari
total penghuni Rutan, dan penghuni yang pendidikan terakhirnya Sekolah
Dasar namun tidak lulus (TTMSD) sebanyak 117 atau 29,62%. Jadi dapat
disimpulkan bahwa kebanyakan penghuni Rumah Tahanan Negara Kelas
II-B Tanjung Redep, Berau adalah berpendidikan rendah yaitu tidak tamat
Sekolah dasar sebanyak 117 atau 29,62% dan lulusan Sekolah dasar
sebanyak 106 atau 26,85%. Sedangkan penghuni Rumah Tahanan Negara
Kelas II-B Tanjung Redep, Berau di lihat dari pekerjaannya adalah sebagai
berikut:
58
Tabel 8.
Data Pekerjaan Penghuni Rutan Kelas II-B Tanjung Redep
Kabupaten Berau
No Pekerjaan Jumlah Presentase
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Nelayan
Buruh
Tani
Dagang
Swasta
PNS
Polri
Lain-lain
Tidak Bekerja
15
52
62
15
140
12
1
70
28
3,79%
13,16%
15,69%
3,79%
35,44%
3,05%
0,25%
17,74%
7,08%
Jumlah 395 100% Sumber data Sekunder: Rutan Kelas II-B Tanjung Redep Kabupaten Berau, 26
September 2011
Pada tabel di atas menunjukkan bahwa penghuni Rumah Tahanan
Negara Kelas II-B Tanjung Redep, Berau sebanyak 395 dengan rincian
pekerjaan nelayan sebanyak 15 atau 3,79%, buruh sebanyak 52 atau
13,16%, tani sebanyak 62 atau 15 69%, dagang sebanyak 15 atau 3,79%,
swasta sebanyak 140 atau 35,44%, PNS sebanyak 12 atau 3,05%, Polri
sebanyak 1 atau 0,25%, lain-lain sebanyak 28 atau 7,08% dan yang tidak
bekerja sebanyak 28 atau 7,08%. Dimana penghuni terbanyak bekerja pada
bidang swasta sebanyak 140 atau 35,44%. Sedangkan penghuni Rumah
Tahanan Negara Kelas II-B Tanjung Redep, Berau di lihat dari
Agama/kepercayaannya, sebagai berikut:
59
Tabel 9.
Data Agama Penghuni Rutan Kelas II-B Tanjung Redep Kabupaten
Berau
No Agama Jumlah Presentase
(%)
1.
2..
3.
4.
Islam
Kristen
Katolik
Hindu
346
32
16
1
87,59%
8,1%
4,06%
0,25%
Jumlah 395 100% Sumber data Sekunder: Rutan Kelas II-B Tanjung Redep Kabupaten Berau, 26
September 2011
Pada tabel di atas menunjukkan bahwa penghuni Rumah Tahanan
Negara Kelas II-B Tanjung Redep, Berau sebanyak 395 dengan rincian
pemuluk agama sebagai berikut: islam sebanyak 346 atau 87,59%, kristen
sebanyak 32 atau 8,1%, katolik sebanyak 16 atau 4,06%, dan hindu
sebanyak 1 atau 0,25%. Dimana penghuni terbanyak beragama islam
sebanyak 346 atau 87,59%.
C. Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan
Hasil Tambak di Kabupaten Bulungan
Berdasarkan hasil penelitian penulis tentang kejahatan Pencurian
dengan kekerasan Hasil Tambak di Kabupaten Bulungan dalam kurung waktu
delapan tahun terakhir, yakni melalui wawancara aparat penegak hukum dan
para pelaku kejahatan maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi Faktor
penyebab terjadinya kejahatan Pencurian dengan kekerasan Hasil Tambak di
Kabupaten Bulungan adalah sebagai berikut:
60
1. Faktor Geografis
Luas Wilayah kabupaten Bulungan seluas 13.181,92 km2,
secara topografi terdiri dari daratan yang berbukit-bukit serta
gunung-gunung terjal, sungai yang
terpanjang adalah Sungai Kayan dengan panjang sungai 576 km
termasuk yang berada di wilayah Kabupaten Malinau dan Kabupaten
Tana Tidung,
Dalam satu penekanan dari teori kartografi/Geografi yang
berkembang di prancis, inggris, dan jerman. Teori ini berkembang
pada tahun 1830 - 1880 M. Teori ini sering pula disebut sebagai
ajaran ekologis. Yang dipentingkan oleh ajaran ini adalah distribusi
kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara geografis
maupun secara sosial. Pada teori ini kejahatan merupakan
perwujudan kondisi-kondisi sosial yang ada, dengan kata lain bahwa
kejahatan itu muncul disebabkan karena faktor dari luar manusia itu
sendiri.
Memperhatikan uraian diatas, dapat dipahami bahwa besarnya
jumlah pelaku kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di
Kabupaten Bulungan lebih dikarenakan wilayah pertambakan
Kabupaten Bulungan sangat luas dimana wilayah-wilayah tertentu
sangat sulit untuk di jangkau, kejahatan seperti ini juga di golongkan
dalam Occupational crime adalah kejahatan karena adanya
kesempatan, dengan cakupan wilayah yang sangat luas sehingga
61
sangat menyulitkan bagi pihak kepolisian dalam upaya
penanggulangan kejahatan terhadap pencurian hasil tambak dan lebih
memungkinkan bagi pelaku kejahatan untuk melaksanakan aksinya
Jadi menurut penulis faktor geografi merupakan faktor utama
terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak.
Dengan wilayah pertambakan yang sangat luas dan dengan hanya 3
pos keamanan yang telah tersedia tidaklah efektif dalam
penanggulangan terhadap kejahatan pencurian dengan kekerasan
hasil tambak di Kabupaten Bulungan, Dari hasil penelitian yang
didapat penulis maka dapat disimpulkan bahwa pelaku melakukan
kejahatan pencurian dengan kekerasan karna kurangnya pengamanan
terhadap wilayah pertambakan di Kabupaten Bulungan.
2. Faktor Ekonomi
Dalam satu penekanan dari teori sosiologik yaitu, aspek
ketiadaan norma dalam sistem sosial dari masyarakat bersangkutan,
yang disebabkan kerena adanya jurang perbedaan yang lebar antara
aspirasi dalam bidang ekonomi yang telah melembaga dalam
masyarakat dengan kesempatan-kesempatan yang diberikan sistem
sosial bersangkutan kepada warga-warga masyarakatnya untuk
mencari aspirasi tersebut. Jadi yang penting bukan semata-mata
perbedaan antara miskin dan kaya, tetapi ketidakmampuan si miskin
mengikuti sistem nilai dan norma masyarakat dalam usaha mencapai
aspirasinya di bidang ekonomi.
62
Begitu pula dengan persoalan kriminalitas sama sekali bukan
persoalan sederhana, terutama dalam masyarakat yang tengah
mengalami perubahan-perubahan sosial ekonomi seperti Indonesia,
termasuk di Kabupaten Bulungan. Masalah ini senantiasa harus
ditanggapi dengan mengacu pada konteks sosial yang lebih luas,
tidak terbatas pada lingkungan sosial ekonomi, tapi perlu
mempertimbangkan pula kenyataan pelaksanaan fungsi-fungsi
aparat.
Memperhatikan uraian diatas, dapat dipahami bahwa besarnya
jumlah pelaku kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di
Kabupaten Bulungan di lakukan oleh orang yang berstatus sosial
ekonomi rendah di bandingkan oleh orang yang berstatus sosial
menengah dan tinggi, kurangnya lapangan pekerjaan yang memadai
yang tentu saja tidak lepas dari perubahan-perubahan kondisi
perekonomian yang melanda Kabupaten Bulungan dan sekitarnya
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, memang sering di
kemukakan oleh para ahli kriminolog bahwa salah satu penyebab
terjadinya atau timbulnya kejahatan adalah faktor kondisi ekonomi.
Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa sepanjang masalah kondisi
ekonomi tidak dapat terselesaikan, maka sepanjang itu pula masalah
kejahatan juga tidak dapat terelesaikan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan AKP Risnanto
(wawancara 22 September 2011) bahwa pelaku kejahatan pencurian
63
dengan kekerasan hasil tambak di Kabupaten Bulungan lebih
dominan warga Tarakan, dimana pola hidup warga Tarakan
cenderung lebih konsumtif, mengingat harga barang dan kebutuhan
hidup yang mahal dan tersedianya pusat perbelanjaan dan hiburan
masyarakat, AKP Risnanto selanjutnya menjelaskan bahwa pemilik
lahan tambak lebih dominan warga Tarakan serta hasil kejahatan di
jual ke Tarakan sehingga sangat sulit mengusut tuntas kejahatan
tersebut.
Namun demikian, apakah hal tersebut juga dapat dijelaskan
dalam kaitannya dengan penyebab terjadinya kejahatan pencurian
dengan kekerasan hasil tambak di Kabupaten Bulungan. Hemat
penulis, pencurian dengan kekerasan adalah kejahatan dengan jenis
apapun yang pada sasaran utamanya adalah harta benda, jadi jelas
bahwa faktor ekonomi juga turut berpengaruh.
Jadi disini faktor ekonomi mempunyai hubungan erat dengan
status pekerjaan. Dengan pekerjaan yang tak menentu tentunya akan
susah untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, apalagi bagi mereka
yang telah berkeluarga dan mempunyai anak yang banyak,
kemungkinan timbulnya tekanan akan selalu ada. Hal inilah yang
terkadang memaksa mereka (pelaku) mencari kebutuhan sehari-hari
dengan melakukan kejahatan pencurian.
64
Dari hasil penelitian yang didapat penulis maka dapat
disimpulkan bahwa pelaku melakukan kejahatan pencurian dengan
kekerasan karna terdesak dengan kebutuhan ekonomi.
3. Faktor Rendahnya Tingkat Pendidikan
Ketika membicarakan masalah pendidikan, maka lambat laun
akan sampai pada tujuan pendidikan yang telah disebutkan di dalam
UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam proses pendidikan sendiri, sebenarnya berlangsung
tidak hanya proses belajar saja, tapi secara tidak langsung juga selalu
disertai proses pengambilan suri teladan untuk membangan akhlak
yang baik, untuk memperlancar proses transformasi nilai-nilai dan
norma kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya.
Rendahnya tingkat pendidikan formal dalam diri seseorang
dapat menimbulkan dampak terhadap masyarakat yang bersangkutan
untuk mudah terpengaruh untuk melakukan tindak kejahatan tanpa
memikirkan akibat yang ditimbulkan.
65
Jadi selain faktor ekonomi yang menjadi penyebab terjadinya
kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di kabupaten
Bulungan, faktor tingkat pendidikanpun juga ikut mempengaruhi
terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di
kabupaten Bulungan. Dari segi pembinaan bangsa, lembaga
pendidikan baik itu sekolah maupun universitas merupakan wadah
untuk memupuk manusia-manusia yang kelak akan berguna bagi
pembangunan dan kesejahteraan suatu bangsa.
Suatu hal yang perlu penulis kemukakan disini bahwa tingkat
pendidikan yang tinggi bukanlah merupakan suatu jaminan bagi
seseorang untuk tidak melakukan tindak kejahatan atau tindak
kriminal khususnya pencurian dengan kekerasan hasil tambak. Akan
tetapi, dalam kenyataan bahwa seseorang yang mempunyai tingkat
pendidikan rendah lebih condong untuk melakukan kejahatan karna
tidak terlalu memikirkan apa yang terjadi kedepannya.
4. Faktor Lingkungan
Suatu hal yang tak dapat dipungkiri bahwa lingkungan
sangatlah besar peranannya dalam membentuk watak manusia
menjadi jahat atau baik. Misalnya saja; ada dua individu, satu tinggal
di tempat yang memungkinkan ia berbuat jahat, sebut saja di
lingkungan kumuh dan dan terpencil dan satunya tinggal di tempat
yang tidak memungkinkan ia berbuat jahat, sebut saja di pesantren.
Maka akan ada kemungkinan individu yang tinggal dalam
66
lingkungan jahat akan menjadi penjahat, sebaliknya individu yang
tinggal pada lingkungan yang tidak memberinya kesempatan berbuat
jahat akan menjadi individu yang baik. Menurut bapak Wahyu. M.
Sholeh. BCIP salah seorang pegawai Rutan Kelas II-B Tanjung
Redep Kabupaten Bulungan, (27 September 2011) bahwa, faktor
yang mempengaruhi terjadinya kejahatan adalah lingkungan, faktor
lingkungan sangatlah berpengaruh dalam pembentukan karakter
manusia, lingkungan yang tetangga atau orang yang tinggal
disekitarnya mempunyai kecenderungan berbuat jahat maka orang-
orang yang tinggal di lingkungan tersebut kemungkinan besar akan
menjadi jahat pula begitu juga sebaliknya, jika berada di lingkungan
yang baik maka kemungkinan besar ia akan menjadi baik. Dengan
kata lain orang berbuat kejahatan dipengaruhi dari pergaulan di
sekitar.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku kejahatan
pencurian dengan kekerasan hasil tambak Efendy (ED), usia 23
tahun, satus kawin, pendidikan terakhir SMP: pelaku ikut serta
dalam aksi pencurian dengan kekerasan hasil tambak karena di ajak
oleh sepupunya/keluarganya dan uang hasil kejahatan di gunakan
untuk heppy-heppy atau senang-senang.
Jadi faktor lingkungan sangatlah mempengaruhi dalam
terjadinya suatu kejahatan, baik itu kejahatan pencurian dengan
kekerasan hasil tambak maupun kejahatan lain. Ini sejalan dengan
67
pendapat kriminolog bahwa seseorang melakukan kejahatan karena
orang tersebut meniru keadaan sekelilingnya.
D. Upaya Penanggulangan Kejahatan Pencurian dengan kekerasan Hasil
Tambak di Kabupaten Bulungan
Pencurian dengan kekerasan merupakan suatu kejahatan yang sangat
meresahkan masyarakat. Banyak yang menjadi sebab-sebab terjadinya
kejahatan pencurian dengan kekerasan, khususnya di kota Makassar. Oleh
karena itu, cara penanggulangannyapun bervariasi dan disesuaikan pula
dengan situasi dan kondisi dalam suatu lingkungan masyarakat bersangkutan.
Suatu hal yang tidak mudah untuk mencari upaya yang terbaik untuk
mencegah terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan. Menurut David
Bayley (A.Rahmat Wirawan, 2010: 59-60), ada empat unsur strategi
pencegahan kejahatan yang wajib dilakukan oleh polisi, yaitu:
1. Consultation dapat diartikan memperdalam hubungan dan penemuan
secara teratur dengan kelompok-kelompok yang ada. Wujud dari
Consultation ini dapat berupa membentuk pos polisi lingkungan
(korban) di Jepang atau kepolisian Seattle yang membentuk panel
penasehat kepolisian dan juga dewan masyarakat di setiap Polsek.
Komite konsultasi masyarakat ini memiliki empat fungsi: (1) mereka
memberitahu polisi tentang masalah-masalah dan kebutuhan
setempat, (2) pertemuan ini digunakan sebagai sarana untuk menjalin
kerjasama dan membentuk mitra dalam mewujudkan keamanan
68
masyarakat, (3) pertemuan ini memungkinkan masyarakat
melontarkan keluhan-keluhan tentang polisi tanpa dihalangi oleh
birokrasi (4) Pertemuan masyarakat memberi informasi kepada polisi
tentang keberhasilan usaha mereka.
2. Adaptation merupakan suatu upaya memahami karakteristik suatu
wilayah dengan sehaka isinya baik kejahatan, struktur masyarakat
atau sumber daya yang ada. Dalam adaptasi ini suatu Polsek
hendaknya mempunyai keleluasaan dan berinisiatif untuk menyusun
rencana dan menyesuaikan sumber daya dengan kebutuhan setempat.
3. Mobilitation ini berangkat dari asumsi bahwa pencegahan kejahatan
tidak mungkin hanya dilakukan oleh polisi. Sedangkan misi pokok
dari mobilisasi adalah untuk memberikan kepemimpinan dan
dukungan profesional untuk mendorong dan memperbaiki usaha
masyarakat guna mengembangkan suatu program masyarakat guna
mengembangkan suatu program masyarakat polisi yang kooperatif
dan seimbang guna menghadapi tingkah laku menyimpang dan
melanggar hukum. Bentuk dari mobilisasi ini dapat berupa
Neighborhood Watch, Operation ID dan penelitian keamanan di
Amerika.
4. Problem Solving (Solusi Permasalahan). Sebagai reaksi terhadap
kejahatan dan keadaan darurat lain setelah hal tersebut terjadi, polisi
mulai mempelajari kondisi-kondisi yang menimbulkan munculnya
panggilan layanan pengaduan, menyusun rencana untuk
69
membetulkan kondisi ini, dan memelopori dalam mengevaluasi dan
melaksanakan tindakan-tindakan perbaikan. Dengan kata lain polisi
belajar untuk memandang kejahatan dan kekacauan sebagai masalah
yang harus dihadapi daripada sebagai kejadian terpisah yang
mengharuskan penegakan hukum dan layanan darurat. Pemecahan
masalah menekankan pada kebutuhan untuk menganalisa dan
menilai cakupan kegiatan yang mungkin dilakukan polisi atau
masyarakat untuk mencegah kejahatan. Hal ini lebih membutuhkan
program khusus dan terpusat untuk pencegahan kejahatan dari pada
program yang umum dan tersebar.
Selain strategi-strategi tersebut di atas aparat hukum selaku penegak
hukum juga dapat bekerja sama dengan masyarakat mengambil langkah-
langkah yang cukup memadai di dalam mengupayakan atau mencegah
terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan. Upaya tersebut dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu upaya yang bersifat preventif dan upaya
yang bersifat refresif.
1. Pre-Emtif
Yang dimaksud dengan upaya Pre-emtif disini adalah upaya-
upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah
terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam
penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan
nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut
terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan
70
untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi
dalam usaha pre-emtif faktor niat menjadi hilang meskipun ada
kesempatan. Cara pencegahan ini berasal dari teori NKK, yaitu niat
+ kesempatan terjadi kejahatan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan AKP Belny Warlansyah
dan AKP Risnanto (wawancara 22 September 2011) bahwa upaya
penanggulangan secara Pre-Emtif yang dilakukan oleh anggota
Polrestabes Bulungan, antara lain sebagai berikut:
“Mengadakan penyuluhan kepada masyarakat Kabupaten
Bulungan dan Kota Tarakan tentang pasal 365 KUHP guna
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta pastisipasi
masyarakat dalam upaya membantu polisi dalam penanggulangan
kejahatan”.
2. Upaya Preventif
Upaya preventif merupakan upaya yang dilakukan secara
sistematis, berencana, terpadu dan terarah kepada tujuan untuk
mencegah terjadinya kejahatan. Upaya pencegahan ini juga
dilakukan untuk mempersempit ruang gerak atau mengurangi dan
memperkecil kemungkinan terjadinya kejahatan. Oleh karenanya
dibutuhkan kerjasama oleh semua pihak, baik itu aparatur Negara
dalam hal ini aparat penegak hukum maupun masyarakat.
Aparat hukum yang dimaksud disini adalah aparat kepolisian,
karena aparat kepolisian adalah aparat yang berhubungan langsung
71
ke masyarakat, baik itu menyangkut kepentingan umum maupun
urusan tindak kriminal seperti pencurian dengan kekerasan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan AKP Belny Warlansyah
dan AKP Risnanto (wawancara 22 September 2011) bahwa upaya
penanggulangan secara Preventif yang dilakukan oleh anggota
Polrestabes Bulungan, antara lain sebagai berikut:
a. Melaksanakan kegiatan patroli rutin
b. Pengadaan/penambahan Pos Keamanan
c. Peningkatan Koordinasi antara Polres Bulungan, Polres
Tarakan dan Lanal Bulungan.
d. Penyuluhan lebih di intensifkan
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang
narasumber yang berkediaman di Samanar Lama, Tanjung Selor
Kabupaten Bulungan yang memiliki lahan tambak pada daerah
kecematan Tanjung Palas Tengah, Desa Tias Kabupaten Bulungan
yang bernama Sudirman. S. Ag (wawancara 18 September 2011)
bahwa upaya penanggulangan secara Preventif yang harus dilakukan
oleh anggota Polrestabes Bulungan, antara lain sebagai berikut:
Perlunya Penambahan pos-pos keamanan pada daerah-daerah rawan
kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak serta patrol rutin
dilaksanakan dua kali dalam satu bulan mengingat dalam satu bulan
dua kali air besar.
72
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang
narasumber yang berkediaman di Perumnas, Kecematan Tarakan
Tengah, Kota Tarakan yang memiliki lahan tambak pada daerah
Tanjung Haus, Kecematan Tanjung Palas Timur bernama Hj. Jalima
(wawancara 3 Oktober 2011) bahwa upaya penanggulangan secara
Preventif yang harus dilakukan oleh anggota Polrestabes Bulungan,
antara lain sebagai berikut: mengusut tuntas semua pelaku kejahatan
pencurian dengan kekerasan hasil tambak hingga pada jaringan
tertinggi sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi para pelaku
serta disediakannya posko-posko untuk pengaduan cepat yang
tersebar pada daerah-daerah rawan kejahatan.
3. Upaya Represif
Upaya represif adalah upaya penanggulangan kejahatan secara
konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan.
Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk
menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta
memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang
mereka lakukan adalah perbuatan yang melanggar hukum dan
merugikan masyarakat, sehingga tidak lagi mengulanginya.
Menurut data yang penulis dapatkan di Rumah Tahanan
Negara Kelas II-B Tanjung Redep Kabupaten Berau, ada tiga proses
dalam pembinaan para warga binaan (Napi) di Rutan Kelas II-B
73
Tanjung Redep Kabupaten Berau yakni, Proses Pemasyarakatan,
proses lanjutan, dan proses akhir. Dengan rincian :
a. Proses Pemasyarakatan
i. Admisi dan Orientasi yakni, masa pengamatan, pengenalan,
dan penelitian lingkungan paling lama satu bulan
ii. Pembinaan Kepribadian yakni, pembinaan kesadaran
beragama, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara,
pembinaan kemampuan intelektual, dan pembinaan
kesadaran hukum.
b. Proses Lanjutan
i. Pembinaan kepribadian lanjutan yakni, program pembinaan
lanjutan dari pembinaan kepribadian tahap awal
ii. Pembinaan Kemandirian yakni, keterampilan untuk
mendukung usaha-usaha mandiri, keterampilan yang
dikembangkan sesuai dengan bakat masing-masing, dan
keterampilan mengembangkan usaha-usaha kecil.
c. Proses Akhir
i. Asimilasi yakni tahap akhir yang meliputi; baksos, olahraga,
cuti mengunjungi keluarga, kerja pada pihak luar yang
dilakukan dalam lapas terbuka.
ii. Bebas, berakhirnya masa tahanan.
74
Dari pembinaan–pembinaan yang dilakukan oleh Rumah
Tahanan Negara Kelas II-B Tanjung Redep Kabupaten Berau di atas
mempunyai tujuan, yakni:
a. Agar warga binaan yang telah keluar tidak lagi melanggar
hukum
b. Agar warga binaan yang telah keluar dapat berpartisipasi aktif
dan positif dalam pembangunan
c. Membangun manusia mandiri
d. Agar warga binaan dapat hidup bahagia dunia dan akhirat
Jadi jelas bahwa upaya-upaya tersebut di atas adalah suatu faktor
penghambat terjadinya kejahatan pada umumnya dan kejahatan
pencurian dengan kekerasan hasil tambak pada khususnya. Upaya-
upaya pencegahan merupakan penghambat kejahatan dan untuk
menguatkan penghambat kejahatan ini, maka yang perlu diperhatikan
adalah penegakan hukum itu sendiri, serta perbaikan undang-undang
dan peningkatan kinerja aparat hukum.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan pencurian dengan
kekerasan hasil tambak di Kabupaten Bulungan, yaitu faktor
geografis, faktor ekonomi, faktor rendahnya tingkat pendidikan, dan
faktor lingkungan
2. Adapun upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam
rangka mencegah terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan
hasil tambak di Kabupaten Bulungan, dilakukan tiga upaya yaitu
upaya pre-emtif, upaya preventif dan upaya represif.
a. Upaya pre-emtif:
i. Penyuluhan hukum tentang pasal 365 di daerah Kabupaten
Bulungan dan Kota Tarakan.
ii. Menyediakan pos-pos pengaduan cepat apabila menjadi
korban kejahatan pencurian dengan kekerasan
b. Upaya preventif :
i. Melaksanakan kegiatan patroli rutin
ii. Pengadaan Pos Keamanan
76
iii. Peningkatan Garis Koordinasi antara Polres Bulungan,
Polres Tarakan dan Lanal Bulungan.
iv. Penyuluhan lebih intensif
c. Upaya represif:
i. Pembinaan kepribadian
ii. Pembinaan keterampilan
iii. Pembinaan kesadaran hukum
B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas maka penulis memberikan
rekomendasi sebagai berikut:
1. Faktor utama penyebab terjadinya kejahatan pencurian dengan
kekerasan hasil tambak di Kabupaten Bulungan adalah; faktor
geografis, faktor ekonomi, faktor rendahnya tingkat pendidikan, dan
faktor lingkungan. Oleh karena itu, penulis berharap pihak Rumah
Tahanan Kelas II-B Tanjung Redep Berau meningkatkan pembinaan
dalam hal pedidikan dan keterampilan kerja agar ketika sudah keluar
dari Rumah Tahanan Negara mampu meminimalisir faktor-faktor
terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak di
Kabupaten Bulungan.
2. Diharapkan kepada pihak Kepolisian agar lebih mengutamakan
tindakan yang bersifat Pre-Emtif dan Preventif dalam hal
77
menanggulangi terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil
tambak agar dapat mengurangi jumlah kejahatan yang terjadi.
3. Di harapkan adanya Peraturan Daerah baik dari pemerintah Kabupaten
Bulungan maupun pemerintah Kota Tarakan yang mengatur tentang
penjualan hasil tambak guna lebih mempersempit ruang gerak dari
pelaku kejahatan pencurian dengan kekerasan hasil tambak.
78
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Alam, A. S. 2010. Pengantar Kriminologi. Pustaka Refleksi: Makassar
Anwar, Moch. 1994. Hukum Pidana Bagian Khusus. Jilid II. Cipta Aditya:
Bandung.
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. RajaGrafindo
Persada: Jakarta.
Dirdjosisworo, Soedjono. 1985. Kriminologi (Pencegahan tentang Sebab-sebab
Kejahatan). Politeia: Bogor.
Gumilang, A. 1993. Kriminalistik (Pengetahuan tentang Teknik dan Taktik
Penyidikan). Bandung: Angkasa.
Dirdjosisworo, Soedjono. 1976. Penanggulangan Kejahatan. Alumni: Bandung.
Halim, Ridwan. 1987. Hukum Pidana dalam Tanya Jawab. Ghalia Indonesia:
Jakarta.
Kanter, E. Y. dan S.R. Sianturi. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Storia Grafika: Jakarta
Lamintang, P.A.F. 1990, Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Penerbit Sinar
Baru.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. PT Refika
Aditama: Bandung.
Santoso, Topo dan Eva Achajani Ulfa. 2003. Kriminologi. Cetakan Ketiga. PT
Grafindo Persada: Jakarta
Salam, Abd. 2007. Kriminologi. Restu Agung: Jakarta.
Soeryono Soekanto dan Sri Mamu dji, 1990, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta : Rajawali.
Waluyo, Bambang. 1991. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Sinar Grafika:
Jakarta.
Weda, Made Darma. 1996. Kriminologi. PT Raja Grafindo: Jakarta.
79
Sumber-Sumber Lain:
Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/Pencurian dengan kekerasan, di akses pada hari
Minggu, Tanggal 19 Juni 2011, Pukul 16:40 wita
http://id.wikipedia.org/wiki/Tambak, di akses pada hari Jumat, 29 Juli 2011 Pukul
15:35)
80
81
82