tinjauan hukum pidana terhadap prostitusi dan

32
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PARA PIHAK YANG TERLIBAT DALAM PROSTITUSI Arya Mahardhika Pradana Abstrak The focus of this study is about prostitution according to criminal law and so about the responsibilities to them who involved in prostitution. This study shows that prostitution has been a law issue, not just a social issue. Prostitution had approach the terminology of criminal law based on the regulation on Local regulation (Peraturan Daerah). Even though it does not written on the penal code (KUHP), part of activity in prostitution, which related to sexual activity, had been written on the penal code as a criminal act, with few conditions. With those reasons, so the people who involved in prostitution can be punished by the penal code. Keywords: prostitution, liability, criminal offenses Abstrak Fokus penelitian ini adalah tentang prostitusi menurut hukum pidana dan tentang tanggung jawab kepada mereka yang terlibat dalam prostitusi. Studi ini menunjukkan bahwa prostitusi telah menjadi isu hukum, bukan hanya masalah sosial. Prostitusi memiliki pendekatan terminologi hukum pidana berdasarkan peraturan peraturan lokal (Peraturan Daerah). Meskipun tidak tertulis di KUHP, bagian dari kegiatan prostitusi, yang berkaitan dengan aktivitas seksual, telah ditulis pada hukum pidana sebagai tindak pidana, dengan beberapa kondisi. Dengan alasan-alasan, sehingga orang-orang yang terlibat dalam prostitusi dapat dihukum oleh hukum pidana. Kata kunci: prostitusi, pertanggungjawaban, tindak pidana I. Pendahuluan Prostitusi merupakan permasalahan yang sangat kompleks karena menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan prostitusi menyangkut aspek sosial, gender, hukum, kesehatan, moral dan etika, agama,

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PARA PIHAK YANG

TERLIBAT DALAM PROSTITUSI

Arya Mahardhika Pradana

Abstrak

The focus of this study is about prostitution according to criminal law and so

about the responsibilities to them who involved in prostitution. This study

shows that prostitution has been a law issue, not just a social issue.

Prostitution had approach the terminology of criminal law based on the

regulation on Local regulation (Peraturan Daerah). Even though it does not

written on the penal code (KUHP), part of activity in prostitution, which

related to sexual activity, had been written on the penal code as a criminal act,

with few conditions. With those reasons, so the people who involved in

prostitution can be punished by the penal code.

Keywords: prostitution, liability, criminal offenses

Abstrak

Fokus penelitian ini adalah tentang prostitusi menurut hukum pidana dan

tentang tanggung jawab kepada mereka yang terlibat dalam prostitusi. Studi

ini menunjukkan bahwa prostitusi telah menjadi isu hukum, bukan hanya

masalah sosial. Prostitusi memiliki pendekatan terminologi hukum pidana

berdasarkan peraturan peraturan lokal (Peraturan Daerah). Meskipun tidak

tertulis di KUHP, bagian dari kegiatan prostitusi, yang berkaitan dengan

aktivitas seksual, telah ditulis pada hukum pidana sebagai tindak pidana,

dengan beberapa kondisi. Dengan alasan-alasan, sehingga orang-orang yang

terlibat dalam prostitusi dapat dihukum oleh hukum pidana.

Kata kunci: prostitusi, pertanggungjawaban, tindak pidana

I. Pendahuluan

Prostitusi merupakan permasalahan yang sangat kompleks karena

menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan prostitusi

menyangkut aspek sosial, gender, hukum, kesehatan, moral dan etika, agama,

Page 2: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 277

pendidikan, psikologis, ekonomi dan industrialisasi, dan juga masalah politik.1

Permasalahan yang diakibatkan oleh prostitusi, antara lain:2

1. Ditinjau dari segi pendidikan, prostitusi berarti demoralisasi;

2. Ditinjau dari segi sosial, prostitusi dianggap kanker masyarakat;

3. Ditinjau dari sudut agama, prostitusi adalah haram;

4. Ditinjau dari sudut kesehatan, prostitusi membahayakan keturunan;

Dari keempat hal tersebut dapat dilihat bagaimana prostitusi dapat

dikatakan sebagai perbuatan yang sewajarnya dijauhi oleh masyarakat. Dua hal

yang pertama mengatakan bahwa perbuatan prostitusi itu merupakan bentuk

demoralisasi dan kanker masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bagaimana

tercelanya perbuatan prostitusi itu di mata masyarakat.

Kemudian hal yang ketiga adalah mengenai pandangan prostitusi dari

sudut agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.

Sebagaimana diketahui secara umum bahwa prostitusi itu sangat dekat dengan

tindakan persetubuhan di luar nikah, yang mana dalam pandangan Islam

tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai zinah.3 Dalam Al-Quran sendiri

perbuatan zinah itu tergolong sebagai perbuatan yang haram. Disebutkan antara

lain dalam surah Al-Isra ayat 32:

Dan janganlah kamu sekali-sekali melakukan perzinahan,

sesungguhnya perzinahan itu merupakan suatu perbuatan yang

keji, tidak sopan dan jalan yang buruk.4

dan juga dalam surah An Nur ayat 2 yang menyatakan:

Perempuan dan laki-laki yang berzina, deralah kedua-duanya,

masing-masing seratus kali dera. Janganlah sayang kepada

keduanya dalam menjalankan hukum Agama ALLAH, kalau kamu

betul-betul beriman kepada ALLAH dan hari kemudian; dan

hendaklah hukuman bagi keduanya itu disaksikan oleh sekumpulan

orang-orang yang beriman.5

Permasalahan keempat dari prostitusi adalah mengenai kesehatan.

Prostitusi merupakan salah satu sumber penyebaran penyakit kelamin menular

1 Syafruddin, Prostitusi Sebagai Penyakit Sosial dan Problematika Penegakkan Hukum,

<http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=get

it&lid=196>, 1 Oktober 2007.

2 Soedjono D., Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum Dan Kenyataan Dalam Masyarakat

(Bandung: Karya Nusantara, 1997), hal. 109.

3 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 3.

4 H.B. Jassin, Al-Quran Bacaan Mulia (Jakarta: Djambatan, 1978), hal. 429.

5 Ibid., hal. 270.

Page 3: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

278 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

diantaranya gonorhoe atau kencing nanah, dan syphylis. Kedua jenis penyakit

tersebut secara mudah dapat diketahui sarangnya terdapat pada diri Pekerja

Seks Komersil (PSK).6

Ditinjau dari segi hukum sendiri, prostitusi dipandang sebagai perbuatan

yang bisa dikatakan bertentangan dengan kaidah hukum pidana.7 Tindak

pidana yang terkait dengan prostitusi termuat dalam Pasal 296 KUHP yang

mengancam dengan hukuman penjara kepada siapa saja yang pekerjaannya

atau kebiasaannya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan

cabul oleh orang lain dengan orang ketiga.8 Kemudian Pasal 506 KUHP yang

mengatur pidana terhadap mucikari yang mengambil keuntungan dari tindakan

prostitusi.9

Selain dari pasal-pasal tersebut, terdapat pula beberapa pasal lainnya

dalam KUHP yang berkaitan dengan prostitusi, yaitu Pasal 297 yang mengatur

tentang perdagangan perempuan dan anak laki-laki untuk dijadikan pekerja

seks; dan Pasal 295 yang mengatur ketentuan yang mirip dengan Pasal 296

namun berbeda pada obyeknya, yang mana pada Pasal 295 ini ditujukan

kepada anak yang belum dewasa.10

Telah dikatakan sebelumnya juga bahwa dari segi agama prostitusi itu

dianggap sebagai perbuatan yang haram, dengan dasar surat dalam Al-Quran

yang membicarakan mengenai zina. Jadi, jika prostitusi itu terkait dengan

perbuatan zina, yang diartikan sebagai perbuatan persetubuhan di luar ikatan

perkawinan, maka prostitusi itu juga bisa dianggap terkait dengan ketentuan

Pasal 284 KUHP, yang juga mengatur mengenai tindakan zina. Dalam

ketentuan pasal tersebut, perbuatan zina diartikan lebih sempit dibandingkan

pengertian zina yang telah disebutkan sebelumnya. Pengertian tentang zina di

dalam ketentuan Pasal 284 KUHP ini dipersempit dengan adanya ketentuan

bahwa persetubuhan yang dilakukan di luar ikatan perkawinan itu haruslah

dilakukan oleh seseorang yang telah kawin dengan orang lain yang belum

kawin.11

Prostitusi juga dianggap terkait dengan ketentuan Pasal 281 KUHP

tentang tindakan merusak kesopanan. Kesopanan dalam pasal ini diartikan

sebagai kesusilaan, perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu seksual

misalnya bersetubuh, meraba-raba kemaluan wanita atau pria, dan lain-lain.

Kemudian ditentukan juga bahwa perbuatan merusak kesopanan haruslah

memenuhi dua hal, yaitu pertama, perbuatan merusak kesopanan ini dilakukan

6 Soedjono D, op. cit., hal. 110.

7 Ibid., hal. 7.

8 Ibid., hal. 60.

9 Ibid., hal. 110.

10 Ibid., hal. 61-62.

11 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap

Pasal-demi Pasal (Bogor: Politeia, 1996), hal. 209.

Page 4: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 279

di tempat umum, artinya perbuatan itu sengaja dilakukan di tempat yang dapat

dilihat atau didatangi orang banyak, misalnya di pinggir jalan, gedung bioskop,

dan lain-lain. Kedua, perbuatan merusak kesopanan sengaja dilakukan di muka

orang lain yang hadir tidak dengan kemauannya sendiri, maksudnya tidak perlu

di muka umum (seorang sudah cukup), asal orang ini tidak menghendaki

perbuatan itu.12

Pengaturan mengenai prostitusi ini juga termuat dalam peraturan yang

dibuat oleh Pemerintah Daerah, diantaranya adalah Pemerintah Daerah Kota

Tangerang dan Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu. Adapun peraturan

Pemerintah Daerah (PERDA) tersebut dimuat dalam:

1. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Prostitusi yang

berlaku di wilayah Kota Tangerang;

2. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7 tahun

1999 Tentang Prostitusi.

Ketentuan yang terkait dengan prostitusi antara lain disebutkan dalam

Pasal 2 ayat 2 PERDA Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 dan Pasal 7 PERDA

Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999. Kedua pasal tersebut menyebutkan

bahwa:

Pasal 2 ayat 2 PERDA Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005

Siapapun di Daerah dilarang baik secara sendiri ataupun bersama-

sama untuk melakukan perbuatan pelacuran.

Pasal 7 PERDA Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999

Pelaku Prostitusi baik laki-laki maupun perempuannya dikenakan

sanksi dengan Pasal 9 Peraturan Daerah ini.

Melihat pada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan prostitusi di atas, dapat dilihat adanya perbedaan dalam cara

pengaturannya. Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan yang dikatakan terkait

dengan prostitusi, tidak ada satupun diantaranya yang menyebutkan kata

prostitusi, atau memberikan batasan tertentu tentang prostitusi. Sedangkan

dalam Peraturan Daerah, kata prostitusi itu dengan jelas disebutkan, bahkan

dalam judul peraturannya.

Namun pengaturan yang ada juga ternyata belum mampu untuk dapat

langsung dikenakan kepada pelaku prostitusi. Sebagai contoh adalah kasus

yang terjadi di wilayah Bogor, di mana terdapat sebanyak 73 Pekerja Seks

Komersial (PSK) terjaring di kota maupun Kabupaten Bogor. Sasaran operasi

saat itu adalah warung remang-remang, sejumlah tempat hiburan, dan pinggir

jalanan yang diduga menjadi tempat transaksi seksual. Semua PSK tersebut

langsung dikenai sanksi hukum tindak pidana ringan (Tipiring), kemudian

dikirim ke Panti Sosial Wanita Karya di Cibadak, Sukabumi. Tindakan tegas

12 Ibid., hal. 205.

Page 5: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

280 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

ini dilakukan menyusul tuntutan masyarakat agar tempat-tempat yang diduga

menjadi sarang prostitusi di kawasan Puncak dibersihkan.13

Berdasarkan keterangan dari pihak Pengadilan Negeri Bogor dan

Pemerintah Kotamadya (PEMKOT) Bogor, diketahui bahwa tipiring yang

dikenakan kepada sejumlah PSK yang terjaring dalam penertiban dikarenakan

mayoritas dari mereka tidak membawa identitas dan dianggap melakukan

pelanggaran terhadap Pasal 505 KUHP, yaitu disamakan sebagai gelandangan.

Pada akhirnya pun mereka diminta untuk membayarkan sejumlah uang rata-

rata Rp 300.000,00 untuk kemudian dikirim ke panti-panti sosial, sementara

sebagian dipulangkan ke keluarga masing-masing.

Pengenaan Pasal 505 KUHP itu tentunya tidaklah tepat mengingat pasal

tersebut hanya dapat dikenakan kepada seseorang yang tidak memiliki mata

pencarian yang kemudian melakukan pengembaraan bagaikan gelandangan

(bukan pengemis).14 Sedangkan seorang PSK dapat dikatakan memiliki mata

pencarian.15 karena dari apa yang dilakukannya seorang PSK pasti akan

mendapatkan sejumlah bayaran sebagai imbalan, dengan kata lain bahwa

perbuatannya itu menjadi pencariannya.

Contoh tersebut dapat dijadikan sebuah gambaran bahwa pada akhirnya

upaya pemberantasan prostitusi tidak menuju kepada sebuah kepastian hukum

dan bahkan keadilan. Karena apa yang terjadi di Bogor itu justru membawa

kepada tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Polisi seperti

mencari-cari kesalahan yang bisa dikenakan kepada para PSK yang terjaring.

Itupun dilakukan karena adanya tuntutan dari masyarakat.

Apabila prostitusi memang merupakan perbuatan yang tercela dan

keinginan masyarakat begitu besar untuk memberantasnya (seperti yang ada di

Bogor), terlebih Soedjono menyebut prostitusi sebagai sebuah tindak pidana,

namun mengapa KUHP tidak dapat diimplementasikan dalam pemberantasan

prostitusi sehingga pemerintah daerah juga harus membuat peraturan

tersendiri? Mengapa sampai harus terjadi kasus seperti yang ada di Bogor,

dimana polisi sampai kebingungan dalam menentukan aturan hukum yang

tepat guna memidana PSK?

II. Permasalahan

Melihat adanya permasalahan tersebut, penulis tertarik melakukan

penelitian hukum terkait dengan tinjauan hukum pidana guna mencari tahu

bagaimanakah prostitusi itu dapat dipandang sebagai sebuah tindak pidana dan

siapa sesungguhnya pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas seksual ini.

Mengenai bagaimana seharusnya pertanggungjawaban pidana dapat

13 Terjaring, 73 PSK di Bogor, <http://wwwkompas.com/kompascetak/0204/25/metro/terj18 htm

>, 2 Januari 2007.

14 R. Soesilo, op.cit., hal. 327.

15 Seseorang sudah dapat dikatakan melakukan perbuatan sebagai pencarian jika dari

perbuatannya itu ia mendapatkan bayaran. Lihat Ibid., hal. 217 dan 327.

Page 6: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 281

dilimpahkan kepada seluruh pihak yang terlibat pun akan menjadi kajian utama

dalam penelitian ini. Ada 3 hal yang akan di kaji dan di cari jawabannya dalam

penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana prostitusi ditinjau menurut hukum pidana?

2. Siapa saja pihak yang terlibat dalam prostitusi?

3. Bagaimana pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam prostitusi?

III. Metode Penelitian

Ditinjau dari jenisnya, penelitian ini merupakan penelitian yuridis-

normatif. Penelitian terhadap pengertian pokok hukum dengan melihat pada

sebuah peristiwa hukum yaitu kegiatan prostitusi, dan bagaimana peristiwa itu

terkait dengan aturan hukum tertulis yang berlaku.

Penelitian ini menggunakan pengolahan data secara kualitatif. Dengan

demikian ditinjau dari sifat penelitiannya, maka penelitian ini bersifat

deskriptif analisis yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang tepat

tentang suatu aktivitas prostitusi. Untuk kemudian menganalisa hal tersebut

dalam pandangan hukum pidana.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi dokumen dan

pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara dan pengamatan

langsung tidak terlibat. Studi dokumen dilakukan dengan penelusuran berbagai

bahan hukum primer(KUHP), bahan hukum sekunder (buku-buku tentang

aturan-aturan mengenai prostitusi) dan bahan hukum tertier (kamus,

ensiklopedia, data internet).

Wawancara dan pengamatan langsung tidak terlibat sebagai data pendukung

dilakukan di salah satu lokasi prostitusi, yang terletak di wilayah Puncak, Bogor, yang

dalam skripsi ini disebut sebagai lokasi ‖X‖. Pengamatan dan wawancara dilakukan

pada bulan Juli sampai bulan September 2007. Wawancara dilakukan terhadap para

pihak yang terlibat dalam aktivitas prostitusi yang terjadi di wilayah tersebut.

IV. Hasil Penelitian

1. Kasus Posisi

Pada Tanggal 27 November 1974, Hwa Yin alias Indrawaty

(terdakwa I) dan Komala Kamaludin (terdakwa II) menyerahkan seorang

perempuan yang belum dewasa (umur tidak disebutkan di dalam putusan)

yang bernama Cucu Sulastri binti Sadeli (saksi I) kepada seorang laki-

laki bernama Herman untuk disetubuhi. Sebelumnya Hwa Yin alias

Indrawaty telah mengadakan perjanjian dengan Herman melalui telepon,

untuk menyanggupi menyediakan seorang perempuan untuk disetubuhi.

Page 7: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

282 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

Kemudian Hwa Yin alias Indrawaty meminta bantuan Komala

Kamaludin untuk mencarikan perempuan untuk yang dimaksudkan untuk

disetubuhi oleh Herman. Kemudian dengan bantuan Heriyati alias Kutut

(saksi II), yang ‗menemukan‘ Cucu Sulastri binti Sadeli yang sedang

mencari ‗pekerjaan‘.

Kemudian sesuai permintaan, Heriyati menyerahkan Cucu Sulastri

kepada Komala Kamaludin. Komala Kamaludin mempertemukan Cucu

Sulastri binti Sadeli dengan Hwa Yin alias Indrawaty.

Kemudian sesuai dengan perjanjian, Hwa Yin alias Indrawaty dan

Komala Kamaludin membawa Cucu Sulastri binti Sadeli untuk bertemu

dengan Herman di HAI-LAY. Kemudian Hwa Yin alias Indrawaty, Cucu

Sulastri binti Sadeli, serta Herman pergi ke sebuah Motel bernama Copa

Cobana di daerah Bina-Ria Tanjung Priok.

Sebagai uang muka, Herman membayar sejumlah Rp 50.000,00

kepada Hwa Yin alias Indrawaty. Di tempat itu dan di waktu itu juga

kemudian Herman menyetubuhi Cucu Sulastri binti Sadeli pada hari itu

juga. Kemudian selesai menyetubuhi, Herman membayarkan sejumlah

uang Rp 250.000,00 kepada Hwa Yin alias Indrawaty. Jadi total uang

yang dibayarkan oleh Herman kepada Hwa Yin alias Indrawaty sebesar

Rp 300.000,00.

Kemudian Hwa Yin alias Indrawaty membagikan uang itu, Ia

memberikan Rp 50.000,00 kepada Cucu Sulastri binti Sadeli dan juga

sebesar Rp 50.000,00 kepada Komala Kamaludin. Sisanya yang Rp

200.000,00 dipegang oleh Hwa Yin alias Indrawaty. Dari uang sebesar

Rp 200.000,00 itu digunkan sebesar Rp 50.000,00 oleh anak Hwa Yin

alias Indrawaty untuk belanja barang-barang seperti baju dan barang-

barang lainnya yang menjadi kebutuhan Cucu Sulastri binti Sadeli.

Perbuatan prostitusi yang terjadi dalam kasus tersebut terlihat dari adanya

hubungan seksual yang dilakukan oleh Cucu Sulastri dengan Herman,

yang kemudian Herman membayarkan sejumlah uang atas jasa yang

telah diberikan oleh Cucu kepadanya. Dengan demikian sudah jelas

bahwa kedudukan Cucu Sulastri adalah sebagai PSK dan Herman

berperan sebagai pelanggan.

Dari kasus tersebut juga terlihat adanya keterlibatan pihak-pihak lain

yang menunjang terjadinya aktivitas prostitusi yang dilakukan oleh Cucu

dan Herman. Mereka adalah Hwa Yin, Komala Kamaludin, dan Heriyati.

Hwa Yin dan Komala Kamaludin dalam kasus ini saling berkoordinasi

dalam mencarikan wanita (PSK) untuk Herman. Peran seperti ini

merupakan peran dari pihak calo dalam prostitusi. Peran yang dijalankan

oleh Heriyati, yaitu mencarikan wanita untuk diprostitusikan, senada

dengan peran dari pihak pedagang atau penjual wanita.

Selanjutnya, berhubungan dengan masalah pertanggungjawaban

pidana yang dapat dikenakan kepada para pihak ini, dari hasil

pemeriksaan di persidangan, ditetapkan sebagai pihak yang dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Hwa Yin dan Komala

Page 8: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 283

Kamaludin. Pihak-pihak lainnya tidak dianggap harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Cucu Sulastri dan Heriyati dianggap oleh hakim sebagai pihak yang

tidak mampu bertanggungjawab. Alasan bagi keduanya adalah karena

keduanya masih belum dewasa. Sebenarnya alasan seperti itu tidak dapat

diterima. Jika memang keduanya dapat dianggap melanggar hukum, bagi

mereka berlaku Pasal 45 KUHP, yang mensyaratkan adanya keringanan

hukuman bagi pelaku tindak pidana anak, yaitu hukuman pokok

dikurangi sepertiganya.16

Hakim juga menganggap bahwa kehendak bukan datang dari diri

Cucu Sulastri. Melihat pada sifat Cucu yang dianggap masih kekanak-

kanakan, Cucu dianggap tidak mungkin berkehendak untuk mau

melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Jadi dalam perkara ini

Hakim berpendapat bahwa persetubuhan yang dilakukan oleh Cucu

merupakan kehendak dari para terdakwa.

2. Pertanggungjawaban Pidana yang Dapat Dikenakan Terhadap

Hwa Yin, Komala Kamaludin, dan Calo Lokasi “X” Sebagai

Pihak Calo Prostitusi

Dari hasil pemeriksaan di pengadilan tersebut, Hwa Yin dan Komala

Kamaludin dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang melanggar

ketentuan Pasal 297 KUHP. Perbuatan keduanya menyerahkan Cucu

kepada Herman untuk diprostitusikan dianggap sebagai perbuatan

memperniagakan yang dimaksud dalam pasal tersebut. Sebagai obyek

yang diperniagakan adalah perempuan, yaitu Cucu Sulastri.

Jika ditinjau kembali, dalam ketentuan Pasal 297 KUHP, obyek yang

diperdagangkan atau diperniagakan dikatakan sebagai korban.17 Definisi

korban itu sendiri, seperti tercantum dalam Undang-Undang No. 13 tahun

2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah seseorang yang

mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Selain itu pengertian korban juga

terdapat dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu

seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual,

ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan

orang.

Berdasarkan keterangan yang tertulis dalam surat putusan, tidak

nampak adanya penderitaan fisik, mental, ataupun ekonomi yang dialami

oleh Cucu. Meskipun dianggap ia tidak berkehendak melakukan

persetubuhan dengan Herman, namun dari kasus posisi dan keterangan

tertulis dalam surat putusan, tidak terlihat adanya tanda-tanda penderitaan

fisik ataupun mental dari Cucu.

16 R Soesilo, op cit, hal. 62.

17 Adami Chazawi, (b), op.cit., hal. 119.

Page 9: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

284 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

Bahkan secara ekonomi justru Cucu Sulastri mendapatkan

keuntungan, dengan mendapatkan bayaran Rp 50.000,00 ditambah lagi

dengan Rp 50.000,00 yang dibelanjakan untuk kebutuhan Cucu. Dengan

demikian jelas bahwa Cucu tidaklah berkedudukan sebagai korban suatu

tindak pidana, untuk itu dapat dikatakan bahwa penerapan Pasal 297

KUHP terhadap para terdakwa adalah salah.

Melihat dari kasus posisi, yang mana niat dari perbutan cabul datang

dari Herman, kemudian para terdakwa memperlancar terjadinya hal

tersebut dengan mencarikan wanita bagi Herman, maka ketentuan yang

lebih tepat diterapkan kepada para terdakwa adalah Pasal 295 ayat (1)

butir 2e jo ayat (2) KUHP, yaitu perbuatan memudahkan terjadinya

perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang yang

belum dewasa yang diketahuinya atau patut diketahuinya, belum dewasa.

Unsur-unsur dalam ketentuan pasal tersebut jika diuraikan adalah sebagai

berikut:

1. Barang siapa;

Ketentuan mengenai subyek tindak pidana yang dapat dikenakan menurut

pasal ini adalah umum, dan mencakup juga para terdakwa

2. Dengan sengaja;

Kesengajaan yang dilakukan oleh para terdakwa ditunjukkan dengan sikap

mereka yang memang dapat menginsyafi perbuatan yang mereka lakukan.

Kesengajaan dalam kasus ini merupakan bentuk kesengajaan sebagai

maksud, yaitu bermaksud untuk terjadinya perbuatan cabul antara Cucu

dengan Herman

3. Menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul;

Dalam hal ini perbuatan para terdakwa mencarikan wanita untuk disetubuhi

oleh Herman sehingga memperlancar terjadinya perbuatan tersebut

merupakan perbuatan yang memudahkan terjadinya perbuatan cabul.

4. Oleh orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut diketahuinya,

belum dewasa dengan orang lain;

Dalam kasus, orang yang dianggap atau patut dianggap belum dewasa

adalah Cucu Sulastri, dengan melihat keadaan badaniyahnya Cucu patut

dianggap belum dewasa, karena terlihat masih kekanak-kanakan

5. Perbuatnnya dilakukan sebagai pencarian.

Hal tersebut terlihat jelas dari adanya pembayaran yang diterima oleh para

terdakwa dari hasil perbuatan yang dilakukannya.

Unsur-unsur Pasal 295 ayat (1) butir 2e jo ayat (2) KUHP terpenuhi

dengan jelas dan meyakinkan, maka para terdakwa dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana berdasarkan pasal tersebut.

Pertanggungjawaban yang dapat dikenakan kepada para terdakwa adalah

masing-masing diancam dengan hukuman penjara paling lama lima tahun

empat bulan.

Pertanggungjawaban atas perbuatan serupa juga dapat dikenakan

kepada calo lokasi ―X‖. Perbedaannya hanya terletak pada obyek yang

dimudahkannya melakukan perbuatan cabul. Di lokasi ―X‖, pihak yang

dimudahkan untuk berbuat cabul adalah pihak pelanggan, dan pelanggan

Page 10: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 285

di lokasi ini semuanya telah dewasa18. Ketentuan yang pantas bagi calo

lokasi ‖X‖ adalah Pasal 296 KUHP.

Perbuatan para calo ini bisa dikategorikan sebagai pemenuhan unsur

‗memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain‘, sebab

banyak diantara calon pelanggan yang untuk memperlancar niatnya

bersetubuh, datang ke lokasi ‖X‖ dengan menjadi pelanggan dalam

prostitusi. Kemudian dengan tindakannya mencarikan PSK untuk

disetubuhi sesuai permintaan pelanggan, para calo tersebut dapat

dikatakan telah mempermudah terjadinya perbuatan cabul antara

pelanggannya dengan PSK. Selanjutnya dari hasil pembayaran yang

dilakukan kepada PSK oleh pelanggan, seorang calo mendapatkan

imbalan sebesar Rp 20.000,00 yang dapat dikatakan bahwa hal ini

memenuhi unsur ‗sebagai pencarian‘, bahkan juga ‗sebagai kebiasaan‘,

karena perbuatannya dilakukan lebih dari satu kali.

Unsur-unsur Pasal 296 KUHP terpenuhi oleh calo yang ada di lokasi

‖X‖ dengan jelas. Dengan demikian, calo lokasi ―X‖ dapat dikenakan

ancaman pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Jika calo prostitusi ini, baik para terdakwa maupun calo di lokasi

‖X‖, melakukan tindakannya di wilayah Tangerang, perbuatan mereka

dianggap melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) PERDA Kota Tangerang

Nomor 8 Tahun 2005, yang unsur-unsurnya adalah:

1. Setiap orang di Daerah;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal

ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga para

terdakwa kasus Cucu Sulastri dan calo prostitusi yang ada di lokasi ‖X‖.

Subyek tersebut kemudian dikhususkan dengan menyebutkan kata ‗di

Daerah‘, yang dalam PERDA ini dimaksudkan sebagai wilayah Kota

Tangerang.

2. Baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama;

Dalam kasus, para terdakwa melakukannya secara bersama-sama,

sedangkan calo di lokasi ―X‖ untuk karyawan villa dikatakan melakukan

perannya sendiri-sendiri, tetapi dalam keadaan tertentu, yaitu ketika ada

koordinasi antara karyawan villa dan SU dapat dikatakan bahwa calo di

lokasi ―X‖ bekerja bersama-sama. Jadi, baik para terdakwa maupun calo

lokasi ―X‖ memenuhi unsur ini.

3. Mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau

orang untuk melakukan prostitusi;

Baik yang terjadi dalam kasus maupun praktik di lokasi ‖X‖ adalah

mengusahakan atau menyediakan orang untuk melakukan persetubuhan

dengan adanya pembayaran, yang kemudian disebut sebagai perbuatan

prostitusi. Dalam kasus, para terdakwa mengusahakan seorang wanita

untuk disetubuhi oleh Herman, kemudian Herman membayar jasa dari

persetubuhan tersebut. Begitu juga dengan calo yang ada di lokasi ‖X.

18 Pengertian dewasa di sini dapat dilihat dengan memperlawankannya dengan ketentuan usia

anak dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak, yaitu antara 8-18

tahun, yang berarti usia di atas 18 tahun dapat dikatakan telah dewasa.

Page 11: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

286 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

Mereka mengusahakan untuk mencarikan wanita dengan bantuan mucikari

untuk diprostitusikan.

Dengan demikian para terdakwa dan juga para calo yang ada di

lokasi ‖X‖ memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1) PERDA ini. Dengan

terpenuhinya unsur pasal ini, maka para terdakwa kasus Cucu Sulastri

serta para calo di lokasi‖X‖ dapat dipertanggungjawabkan secara pidana

dengan ancaman pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda

setinggi-tingginya Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah),

berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) PERDA ini.

Jika para terdakwa dalam kasus atau pihak calo lokasi ‖X‖

melakukan aktivitasnya di wilayah Kabupaten Indramayu, dianggap

melanggar Pasal 3 Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 7

tahun 1999, yang menyebutkan

Siapapun dilarang baik secara sendiri maupun kelompok, melakukan,

menghubungkan, mengusahakan atau menyediakan orang untuk melakukan

Perbuatan Prostitusi.

Dengan unsur-unsur perbuatan yang serupa dengan ketentuan Pasal 2

ayat (1) PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005. Perbuatan yang

dimaksud adalah perbuatan menghubungkan, mengusahakan atau

menyediakan orang untuk melakukan Perbuatan Prostitusi.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa perbuatan Hwa

Yin dan Komala Kamaludin serta para calo lokasi ‖X‖, dapat memenuhi

unsur sebagai perbuatan mengusahakan atau menyediakan orang untuk

melakukan prostitusi. Hwa Yin dan Komala Kamaludin menyediakan

Cucu Sulastri untuk disetubuhi Herman, serta calo di lokasi ‖X‖

mengusahakan seorang PSK untuk disetubuhi pelanggannya.

Dapat diketahui juga bahwa dengan adanya peran dari para terdakwa,

pertemuan antara Cucu Sulastri dan Herman dapat terjadi. Begitu juga

dengan adanya peran dari calo di lokasi ‖X‖, PSK yang ada juga bisa

bertemu dengan pelanggannya. Perbuatan yang sebagaimana dapat

dikatakan sebagai menghubungkan orang untuk melakukan aktivitas

prostitusi.

Jadi perbuatan dari para terdakwa dan calo lokasi ‖X‖ memenuhi

ketentuan perbuatan menghubungkan, mengusahakan atau menyediakan

orang lain untuk melakukan prostitusi, yang merupakan unsur Pasal 3

Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 7 tahun 1999. Dengan

demikian para pelaku ini dapat dipertanggungjawabkan secara pidana

dengan mengenakan ancaman hukuman berdasarkan Pasal 9 ayat (1)

PERDA tersebut, yaitu hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan

atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Penjelasan di atas menunjukkan bagaimana pertanggungjawaban

secara pidana yang dapat dikenakan kepada pihak calo dalam prostitusi.

Peran calo yang dalam kasus diperankan oleh Hwa Yin dan Komala

Kamaludin, serta calo di lokasi ―X‖, masing-masing dapat dikenakan

pertanggungjawaban berdasarkan KUHP dan dua PERDA, yaitu PERDA

Page 12: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 287

Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 dan PERDA Kabupaten

Indramayu Nomor 7 tahun 1999.

3. Pertanggungjawaban Pidana yang Dapat Dikenakan Terhadap

Cucu Sulastri, Herman, PSK dan Pelanggan di Lokasi “X”

Sebagai Pihak PSK dan Pelanggan dalam Prostitusi

Telah diketahui dari penjelasan sebelumnya, yang dapat dilihat juga dari

tabel 2.1 dan tabel 2.2, bahwa bagi pihak PSK dan pelanggan, menurut KUHP

diatur menurut Pasal 281 dan Pasal 284 KUHP. Jika melihat pada kasus dan

praktik di lokasi ―X‖, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan para pihak ini

tidak lah dilakukan di muka umum ataupun di muka orang lain, dan bahkan

tidak diketahui sama sekali apakah salah satu pihak dari PSK atau pelanggan

telah kawin. Jadi perbuatan pihak-pihak ini tidak dikenakan pidana menurut

KUHP. Jadi benar jika kemudian menjadikan Cucu sebagai saksi, dan Herman

tidak diperiksa sama sekali, karena berdasarkan KUHP, yang dijadikan acuan

dalam memidana terdakwa dalam kasus ini, Cucu (sebagai PSK) dan Herman

(sebagai pelanggan) tidak dapat dikenakan pidana.

Akan tetapi, jika perbuatan mereka dilakukan di wilayah kota Tangerang

dan Kabupaten Indramayu, kedua PERDA yang ada mengatur secara jelas

ketentuan larangan dan pemidanaan bagi mereka. Ketentuan-ketentuan tersebut

adalah:

1. Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005

Pasal 2 ayat (2)

Siapapun di Daerah dilarang baik secara sendiri ataupun bersama-sama

untuk melakukan perbuatan prostitusi

Pasal 9 ayat (1)

Barangsiapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan

Daerah ini, diancam kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-

tingginya Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)

2. Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999

Pasal 7

Pelaku Prostitusi baik laki-laki maupun perempuannya dikenakan sanksi

dengan Pasal 9 Peraturan Daerah ini

Pasal 9 ayat (1)

Barang siapa yang melanggar Pasal 2, 3, 4, 5, 6 dan 8 ayat (1) Peraturan

Daerah ini diancam dengan Hukuman Kurungan selama-lamanya 6 (enam)

bulan atau Denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Dalam pembahasan mengenai pertanggungjawaban ini juga, status

Cucu Sulastri sebagai orang yang belum dewasa, tidak mengikuti

ketentuan dalam Pasal 45 KUHP. Dalam kurun waktu berlakunya kedua

PERDA yang dapat mempertanggungjawabkan pihak PSK, keberlakuan

Page 13: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

288 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

Pasal 45 tersebut telah dicabut dengan adanya Undang-Undang No. 3

Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Pengaturannya antara lain:

Pasal 26

(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama

½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang

dewasa.

(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2

huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati

atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat

dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.

(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2

huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan

tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan

tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.

(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2

huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan

tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam

pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut

dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

24.

Pasal 27

Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari

maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.

Pasal 28

(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling

banyak ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi

orang dewasa.

(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan

kerja.

(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama

90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari

4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.

Perbuatan Herman menyetubuhi Cucu Sulastri dan kemudian

melakukan pembayaran atas ‗jasa‘ yang diberikan oleh Cucu Sulastri,

tergolong sebagai perbuatan prostitusi. Hal tersebut sesuai dengan

ketentuan mengenai perbuatan prostitusi yang ada dalam PERDA seperti

telah disebutkan sebelumnya, yaitu yang diatur dalam Pasal 1 butir 4

PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 dan Pasal 1 butir e

PERDA Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999.

Page 14: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 289

Jika perbuatannya dilakukan di wilayah Tangerang, berdasarkan

PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, perbuatan mereka berdua

dianggap melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (2), yang unsur-unsurnya

1. Siapapun di Daerah;

Unsur ini menyatakan yang dapat menjadi subyek tindak pidana ini adalah

sipapun yang berada di wilayah kota Tangerang

2. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk melakukan

perbuatan prostitusi;

Perbuatan Herman dan Cucu untuk melakukan perbuatan prostitusi sudah

jelas ada karena perbuatan prostitusinya telah terjadi.

Perbuatan Herman dan Cucu Sulastri secara jelas memenuhi unsur

pasal 2 ayat (2) PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005. Atas

perbuatannya itu mereka diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 9

ayat (1) PERDA ini.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERDA Kota Tangerang Nomor 8

Tahun 2005, Herman dapat diancam dengan pidana kurungan paling

lama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 15.000.000,00 (lima

belas juta rupiah).

Bagi Cucu Sulastri, berdasarkan Pasal 27 Undang-undang No. 3

Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pidana kurungan yang dapat

diancam kepadanya menurut Pasal 9 ayat (1) PERDA Kota Tangerang

Nomor 8 Tahun 2005, adalah dikurangi setengahnya, menjadi paling

lama satu bulan lima belas hari. Kemudian berdasarkan Pasal 28 ayat (1)

Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pidana

denda yang dapat diancamkan kepada Cucu Sulastri berdasarkan Pasal 9

ayat (1) PERDA tersebut, dikurangi setengahnya menjadi setinggi-

tingginya Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah).

Jika perbuatan mereka dilakukan di wilayah Kabupaten Indramayu,

maka perbuatan mereka dianggap melanggar ketentuan Pasal 7 PERDA

Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa

pelaku prostitusi, baik laki-lakinya maupun perempuannya dikenakan

sanksi menurut Pasal 9 PERDA tersebut. Dapat diketahui bahwa dari

aktivitas prostitusi yang dilakukan, Cucu Sulastri berperan sebagai

‗perempuannya‘ dan Herman berperan sebagai ‗laki-lakinya‘.

Jelas bagaimana keduanya memenuhi ketentuan Pasal 7 PERDA

Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999. Dengan demikian, berdasarkan

ketentuan pasal tersebut juga, Cucu Sulastri dan Herman dapat diancam

sanksi menurut Pasal 9, yaitu bagi Herman adalah hukuman kurungan

selama-lamanya enam bulan atau denda setinggi-tingginya Rp

5.000.000,00 (lima juta rupiah). Sedangkan bagi Cucu Sulastri yang

statusnya belum dewasa dikenakan potongan menurut ketentuan Pasal 27

dan 28 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan

Anak ancaman sanksi yang dikenakan kepadanya menjadi, kurungan

selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 2.500.000

(dua juta lima ratus ribu rupiah).

Page 15: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

290 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

Penjelasan di atas menunjukkan bagaimana kedua PERDA yang ada

dapat mempertanggungjawabkan secara pidana para pihak PSK dan

pelanggan. Kedua PERDA tersebut juga dengan jelas dapat menunjukkan

bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Cucu Sulastri dengan Herman

adalah prostitusi.

5. Pertanggungjawaban Pidana yang Dapat Dikenakan Terhadap

Heriyati Sebagai Pihak Pedagang Atau Penjual Wanita

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa peran yang dilakukan oleh

Heriyati adalah sebagai pihak pedagang atau penjual wanita. Sebagai

pihak yang ikut terlibat dalam terjadinya kasus di atas, dan memiliki

peran yang cukup penting, Heriyati juga perlu dipertanggungjawabkan

atas perbuatan yang dilakukannya. Perbuatannya itu bisa dikatakan

sebagai perbuatan yang mempermudah terjadinya perbuatan cabul antara

Cucu dengan Herman.

Dengan demikian, perbuatan Heriyati ini melanggar ketentuan Pasal

295 ayat (1) butir 2e KUHP, yaitu perbuatan memudahkan terjadinya

perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang yang

belum dewasa yang diketahuinya atau patut diketahuinya, belum dewasa.

Unsur-unsur dalam ketentuan pasal tersebut jika diuraikan adalah sebagai

berikut:

1. Barang siapa;

Ketentuan mengenai subyek tindak pidana yang dapat dikenakan menurut

pasal ini adalah umum, dan mencakup juga para terdakwa

2. Dengan sengaja;

Kesengajaan yang dilakukan oleh Heriyati ditunjukkan dengan sikap

mereka yang memang dapat menginsyafi perbuatan yang mereka lakukan.

Kesengajaan dalam kasus ini merupakan bentuk kesengajaan sebagai

maksud, yaitu bermaksud untuk mencarikan seseorang untuk diserahkan

kepada Komala Kamaludin, yang Heriyati sendiri dalam keterangannya di

persidangan telah mengetahui bahwa Komala Kamaludin memang

‗pekerjaannya‘ mencari wanita untuk diprostitusikan.

3. Menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul;

Dalam hal ini perbuatan Heriyati mencarikan wanita untuk Komala

Kamaludin yang Heriyati sendiri telah mengetahui bahwa Komala

Kamaludin memang ‗pekerjaannya‘ mencari wanita untuk diprostitusikan,

dan kemudian wanita yang diserahkan olehnya, yaitu Cucu melakukan

perbuatan cabul dengan Herman, maka perbuatan Heriyati merupakan

perbuatan yang memudahkan untuk terjadinya persetubuhan antara Herman

dengan Cucu.

4. Oleh orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut diketahuinya,

belum dewasa dengan orang lain.

Dalam kasus, orang yang dianggap atau patut dianggap belum dewasa

adalah Cucu Sulastri, dengan melihat keadaan badaniyahnya Cucu patut

dianggap belum dewasa, karena terlihat masih kekanak-kanakan

Page 16: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 291

Unsur-unsur Pasal 295 ayat (1) butir 2e KUHP terbukti dengan jelas

dan meyakinkan, maka Heriyati dapat dipertanggungjawabkan secara

pidana berdasarkan pasal tersebut. Pertanggungjawaban yang dapat

dikenakan kepada Heriyati juga mengacu pada Pasal 45 KUHP. Dengan

demikian ia diancam dengan hukuman penjara paling lama dua tahun

delapan bulan.

Jika ditinjau dalam PERDA, perbuatan Heriyati ini bisa

dipertanggungjawabkan. Seperti halnya Cucu Sulastri, dalam membahas

pertanggungjawaban terhadap Heriyati, ketentuan mengenai

pertanggungjawaban orang yang belum dewasa mengacu pada Undang-

Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Ketentuan Pasal

45 KUHP menjadi tidak berlaku, mengingat bahwa kurun waktu

keberlakuan PERDA adalah pada waktu dimana Undang-Undang No. 3

Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak berlaku.

Berdasarkan PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, jika

perbuatannya dilakukan di Kota Tangerang, perbuatan Heriyati

melanggar Pasal 2 ayat (1), yang unsur-unsurnya:

1. Setiap orang di Daerah;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal

ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga Heriyati.

Subyek tersebut kemudian dikhususkan dengan menyebutkan kata ‗di

Daerah‘, yang dalam PERDA ini dimaksudkan sebagai wilayah Kota

Tangerang.

2. Baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama;

Unsur ini ditujukan kepada pelaku, yaitu bahwa pasal ini dapat dikenakan,

baik untuk pelaku tunggal ataupun jamak. Dalam kasus, perbuatannya

dilakukan oleh Heriyati seorang diri.

3. Mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau

orang untuk melakukan prostitusi.

Perbuatan yang Heriyati lakukan adalah mengusahakan seseorang untuk

diprostitusikan oleh para terdakwa. Orang itu adalah Cucu Sulastri.

Unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) PERDA tersebut terpenuhi dengan jelas

dan meyakinkan. Dengan demikian Heiyati dapat dikenakan ancaman

hukuman berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERDA ini, yang juga mengacu

pada Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak. Ancaman pidana yang dapat dikenakan

kepadanya menjadi kurungan paling lama satu bulan lima belas hari atau

denda setinggi-tingginya Rp 7.500.000,00.

Jika seandainya perbuatan Heriyati dilakukan di Kabupaten

Indramayu, maka berdasarkan PERDA Kabupaten Indramayu Nomor 7

tahun 1999, perbuatan Heriyati melanggar ketentuan Pasal 3, yang unsur-

unsurnya:

1. Siapapun;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal

ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga Heriyati.

2. Baik sendiri-sendiri maupun kelompok;

Page 17: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

292 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

Unsur ini ditujukan kepada pelaku, yaitu bahwa pasal ini dapat dikenakan,

baik untuk pelaku tunggal ataupun jamak. Dalam kasus, perbuatannya

dilakukan oleh Heriyati seorang diri.

3. Melakukan, menghubungkan, mengusahakan atau menyediakan orang

untuk melakukan Perbuatan Prostitusi.

Perbuatan yang Heriyati lakukan adalah mengusahakan seseorang untuk

diprostitusikan oleh para terdakwa. Orang itu adalah Cucu Sulastri.

Unsur-unsur Pasal 3 PERDA tersebut terpenuhi dengan jelas dan

meyakinkan. Dengan demikian Heriyati dapat dikenakan ancaman

hukuman berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERDA ini, yang juga mengacu

pada Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak. Ancaman pidana yang dapat dikenakan

kepadanya menjadi kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-

tingginya Rp 2.500.000,00.

Pihak lain yang juga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,

namun tidak ada dalam kasus, melainkan terdapat di lokasi ‖X‖. Pihak-

pihak tersebut adalah Mucikari, pihak keamanan, dan pemilik lokasi.

6. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Mucikari di Lokasi “X”

Pertanggungjawaban terhadap mucikari diatur dalam Pasal 506

KUHP. Unsur pertama dari pasal tersebut adalah ‗barangsiapa menjadi

mucikari‘, yang jelas menyebutkan bahwa subyek tindak pidana menurut

pasal ini adalah siapapun yang merupakan mucikari.

Unsur selanjutnya adalah ‗mengambil keuntungan dari perbuatan

cabul seorang wanita dan menjadikannya pencarian‘. Perbuatan dari

seorang mucikari di lokasi ―X‖ adalah menarik keuntungan dari

perbuatan cabul yang dilakukan oleh PSK-nya (yang seluruhnya wanita)

dengan pelanggan. Pengambilan keuntungan itu nampak dari jatah

Rp.80.000,00 yang didapat seorang mucikari dari hasil Rp 150.000,00

yang dibayarkan oleh pelanggan kepada PSK-nya atas jasa seksual yang

diberikan PSK-nya kepada pelanggan. Dengan mendapatkan bayaran

tersebut juga dapat dikatakan bahwa mucikari ini menjadikan

perbuatannya sebagai pencarian.

Unsur-unsur Pasal 506 KUHP terpenuhi dengan jelas dan

meyakinkan. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 506 KUHP, mucikari

di lokasi ―X‖ tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana

dengan ancaman hukuman kurungan paling lama satu tahun.

Perbuatan sebagai mucikari ini juga dapat dikenakan Pasal 296

KUHP, yang unsur-unsurnya:

1. Barang siapa

Ketentuan mengenai subyek tindak pidana yang dapat dikenakan menurut

pasal ini adalah umum, dan mencakup juga pihak mucikari di lokasi ―X‖.

2. Dengan sengaja

Kesengajaan yang dilakukan oleh pihak mucikari ditunjukkan dengan sikap

mereka yang memang dapat menginsyafi perbuatan yang mereka lakukan.

Page 18: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 293

Kesengajaannya merupakan bentuk kesengajaan sebagai maksud, yaitu

bermaksud untuk memudahkan dilakukannya perbuatan cabul dengan

menyediakan PSK-PSK.

3. Memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain

Perbuatannya menyediakan PSK-PSK, merupakan perbuatan yang dapat

mempermudah terjadinya perbuatan cabul. Orang-orang yang memiliki niat

untuk berbuat cabul dapat mewujudkan niatnya itu dengan lebih mudah

dengan menggunakan jasa PSK yang telah disediakan oleh mucikari.

4. Perbuatannya dilakukan sebagai pencarian atau kebiasaan

Sebagaimana telah diketahui sebelumnya bahwa mucikari di lokasi ―X‖ ini

mendapatkan jatah bayaran sebesar Rp 80.000,00 dari hasil satu kali

transaksi seksual. Perbuatan mucikari ini juga dilakukan lebih dari dua kali

yang menjadikannya sebagai kebiasaan.

Dapat dilihat bahwa unsur Pasal 296 KUHP terpenuhi dengan jelas

dan meyakinkan. Dengan demikian mucikari di lokasi ―X‖ ini dapat

dikenakan pertanggungjawaban dengan ancaman pidana penjara paling

lama satu tahun empat bulan.

Pertanggungjawaban pidana yang dapat dikenakan kepada mucikari

ini, jika seandainya perbuatan mucikari dilakukan di wilayah kota

Tangerang adalah berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 9 ayat

(1) PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005. Perbuatan yang

dilarang menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) PERDA ini jika diuraikan

unsur-unsurnya dalah sebagai berikut:

1. Setiap orang di Daerah;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal

ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga para

mucikari lokasi‖X‖. Subyek tersebut kemudian dikhususkan dengan

menyebutkan kata ‗di Daerah‘, yang dalam PERDA ini dimaksudkan

sebagai wilayah Kota Tangerang.

2. Baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama;

Unsur ini ditujukan kepada pelaku, yaitu bahwa pasal ini dapat dikenakan,

baik untuk pelaku tunggal ataupun jamak. Di lokasi ―X‖ sendiri perbuatan

mucikari dilakukan secara sendiri-sendiri meskipun terkoordinir, namun

tetap masing-masing mucikari bekerja sendiri tidak saling bekerja sama.

3. Mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau

orang untuk melakukan prostitusi.

Yang terjadi di lokasi‖X‖ mucikari mengusahakan atau menyediakan orang

(PSK) untuk melakukan persetubuhan dengan adanya pembayaran, yang

kemudian disebut sebagai perbuatan prostitusi.

Terpenuhinya unsur pasal tersebut menyebabkan mucikari lokasi ―X‖

dapat dikenakan pelanggaran atas Pasal 2 ayat (1) PERDA tersebut, dan

diancam dengan hukuman yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) PERDA

tersebut. Ancaman hukuman yang dapat dikenakan kepada mucikari

adalah pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-

tingginya Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Jika seandainya perbuatan mucikari ini dilakukan di Kabupaten

Indramayu, maka menurut ketentuan PERDA Kabupaten Indramayu No.

Page 19: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

294 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

7 Tahun 1999, mengenai perbuatan mucikari diatur dalam Pasal 3, yang

unsur-unsur pasalnya serupa dengan Pasal 2 ayat (1) PERDA kota

Tangerang. Perbuatan yang dilarang unsur-unsurnya adalah sebagai

berikut:

1. Siapapun;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal

ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga para

mucikari lokasi‖X‖.

2. Baik sendiri-sendiri maupun kelompok;

Unsur ini ditujukan kepada pelaku, yaitu bahwa pasal ini dapat dikenakan,

baik untuk pelaku tunggal ataupun jamak. Di lokasi ―X‖ sendiri perbuatan

mucikari dilakukan secara sendiri-sendiri meskipun terkoordinir, namun

tetap masing-masing mucikari bekerja sendiri tidak saling bekerja sama.

3. Melakukan, menghubungkan, mengusahakan atau menyediakan orang

untuk melakukan Perbuatan Prostitusi.

Yang terjadi di lokasi‖X‖ mucikari mengusahakan atau menyediakan orang

(PSK) untuk melakukan persetubuhan dengan adanya pembayaran, yang

kemudian disebut sebagai perbuatan prostitusi.

Dengan demikian perbuatan mucikari tersebut jika dilakukan di

wilayah Kabupaten Indramayu, dapat dikenakan ancaman pidana

berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERDA Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun

1999, yaitu hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda

sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

7. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pihak Keamanan di

Lokasi “X”

Dari keterangan tabel 2.1 dan tabel 2.2 dapat dilihat bahwa ketentuan

dalam Undang-Undang yang dapat dikenakan kepada pihak keamanan ini

hanyalah ketentuan dalam KUHP. Perbuatannya mengamankan lokasi

prostitusi dapat dikatakan sebagai perbuatan yang memperlancar atau

memudahkan jalannya aktivitas prostitusi. Perbuatannya memudahkan

terjadinya prostitusi tersebut merupakan pelanggaran Pasal 295 KUHP

atau Pasal 296 KUHP. Mengingat orang-orang yang berada dilokasi ―X‖

yang melakukan perbuatan cabul keseluruhannya adalah orang dewasa,

maka pihak keamanan ini melanggar ketentuan Pasal 296 KUHP, yang

unsur-unsurnya:

Barangsiapa;

Ketentuan mengenai subyek tindak pidana yang dapat dikenakan

menurut pasal ini adalah umum, dan mencakup juga pihak keamanan.

Dengan sengaja;

Kesengajaan yang dilakukan oleh pihak keamanan ditunjukkan

dengan sikap mereka yang memang dapat menginsyafi perbuatan yang

mereka lakukan. Kesengajaannya merupakan bentuk kesengajaan sebagai

maksud, yaitu bermaksud untuk mengamankan sehingga dapat

Page 20: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 295

memudahkan dilakukannya perbuatan cabul antara PSK dengan

pelanggan.

Memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain;

Perbuatannya mengamankan lokasi ―X‖ dapat mempermudah

terjadinya perbuatan cabul yang dilakukan oleh PSK dengan

pelanggannya.

Perbuatannya dilakukan sebagai pencarian atau kebiasaan.

Dari keterangan salah seorang pihak keamanan di lokasi ―X‖ ini,

mereka mendapatkan bayaran tiap bulannya sebagai imbalan dari

pengamanan yang dilakukannya. Selain itu perbuatan yang mereka

lakukan dilakukan lebih dari dua kali yang menjadikannya kebiasaan.

Dapat dilihat bahwa unsur Pasal 296 KUHP terpenuhi dengan jelas

dan meyakinkan. Dengan demikian pihak keamanan lokasi ―X‖ ini dapat

dikenakan pertanggungjawaban dengan ancaman pidana penjara paling

lama satu tahun empat bulan.

X. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pemilik Lokasi “X”

Pihak ini dapat dikenakan pertanggungjawaban atas perbuatan

menyediakan tempat bagi prostitusi, yang mana diatur dalam Pasal 296 KUHP

jika diuraikan adalah sebagai berikut:

1. Barang siapa;

Ketentuan mengenai subyek tindak pidana yang dapat dikenakan menurut

pasal ini adalah umum, dan mencakup juga para terdakwa

2. Dengan sengaja;

Kesengajaan yang dilakukan oleh pemilik lokasi ditunjukkan dengan sikap

mereka yang memang dapat menginsyafi perbuatan yang mereka lakukan.

Kesengajaannya merupakan bentuk kesengajaan sebagai maksud, yaitu

bermaksud untuk menyediakan tempat guna dilakukannya perbuatan cabul

antara PSK dengan pelanggan.

3. Memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain;

Unsur ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merupakan perbuatan

menyediakan atau menyewakan kamar untuk memberikan kesempatan

kepada orang lain melakukan perbuatan cabul dengan orang ketiga. Hal

tersebut juga ditunjukkan dengan apa yang menjadi perbuatan dari pemilik

lokasi ‖X‖, yaitu menyediakan tempat untuk dilakukannya perbuatan cabul

antara PSK dengan pelanggannya.

4. Perbuatannya dilakukan sebagai pencarian atau kebiasaan.

Hal tersebut terlihat jelas dari adanya pembayaran yang diterima oleh

pemilik lokasi dari hasil penyewaan tempat guna dilakukannya prostitusi.

Dapat dilihat bahwa unsur Pasal 296 KUHP terpenuhi dengan jelas dan

meyakinkan. Dengan demikian pemilik lokasi ini dapat dikenakan

pertanggungjawaban dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun

empat bulan.

Page 21: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

296 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

Perbuatan pemilik lokasi ―X‖ tersebut jika seandainya dilakukan di kota

Tangerang, maka dapat dianggap melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) PERDA

Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, jika diuraikan unsur-unsurnya dalah

sebagai berikut:

1. Setiap orang di Daerah;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal

ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga pemilik

lokasi ‖X‖. Subyek tersebut kemudian dikhususkan dengan menyebutkan

kata ‗di Daerah‘, yang dalam PERDA ini dimaksudkan sebagai wilayah

Kota Tangerang.

2. Baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama;

Unsur ini ditujukan kepada pelaku, yaitu bahwa pasal ini dapat dikenakan,

baik untuk pelaku tunggal ataupun jamak. Di lokasi ―X‖ sendiri

kepemilikan ini dilakukan bersama-sama.

3. Mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau

orang untuk melakukan prostitusi.

Jelas terlihat bahwa pemilik lokasi‖X‖ mendirikan dan menyediakan

tempat untuk melakukan prostitusi.

Terpenuhinya unsur pasal tersebut menyebabkan pemilik lokasi ―X‖

dapat dikenakan pelanggaran atas Pasal 2 ayat (1) PERDA tersebut, dan

diancam dengan hukuman yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) PERDA tersebut.

Ancaman hukuman yang dapat dikenakan kepada mucikari adalah pidana

kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp

15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Kemudian jika perbuatan pemilik lokasi ―X‖ ini dilakukan di Kabupaten

Indramayu, maka perbuatannya dapat dikenakan Pasal 2 PERDA Kabupaten

Indramayu Nomor 7 tahun 1999, yang unsur-unsurnya:

1. Siapapun;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal

ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga pemilik

lokasi‖X‖.

2. Dilarang mendirikan dan atau mengusahakan serta menyediakan tempat

untuk melakukan Prostitusi.

Jelas terlihat bahwa pemilik lokasi ‖X‖ mendirikan dan menyediakan

tempat untuk melakukan prostitusi.

Dengan memenuhi unsur tersebut, pemilik lokasi ―X‖ dapat dikenakan

ancaman hukuman berdasarkan Pasal 9 PERDA tersebut, yaitu hukuman

kurungan selama-lamanya enam bulan atau dendan sebanyak-banyaknya Rp

5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Penjelasan di atas menunjukkan pihak-pihak yang terlibat dalam

prostitusi, baik menurut kasus maupun praktik di lokasi ―X‖, yang dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana, yaitu:

1. Calo, yaitu calo lokasi ―X‖ dan calo yang perannya dijalankan oleh Hwa

Yin dan Komala Kamaludin;

2. PSK dan pelanggan, yaitu PSK dan pelanggan di lokasi ―X‖ serta Cucu

Sulastri (PSK) dan Herman (pelanggan);

Page 22: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 297

3. Pedagang atau penjual wanita yang dalam kasus perannya dijalankan oleh

Heriyati;

4. Mucikari, yaitu mucikari yang ada di lokasi ―X‖;

5. Pihak keamananan di lokasi ―X‖; dan

6. Pemilik lokasi, yaitu pemilik lokasi ―X‖.

XI. Pembahasan

1. Pertanggungjawaban Pidana Para Pihak yang Terlibat dalam

Prostitusi Dilihat Secara Umum

Penjelasan sebelumnya telah mengutarakan bagaimana kedudukan

prostitusi sebagai sebuah tindak pidana, yaitu tidak jelas. Dari ketidak

jelasan itu kemudian timbul pertanyaan apakah setiap pelaku prostitusi

dan pihak-pihak lainnya yang terlibat pantas dipertanggungjawabkan

secara pidana?

Pertanggungjawaban pidana itu sendiri dimaksudkan guna

menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa tindak pidana

dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya atau

tidak.19 Bahwa seseorang itu dapat dipidana atau tidak bukanlah

bergantung kepada perbuatan, melainkan apakah pada dirinya melekat

unsur kesalahan atau tidak. Dapat dikatakan bahwa seseorang tidak

mungkin dijatuhi hukuman pidana kalau tidak melakukan tindak pidana.

Tetapi meskipun ia melakukan tindak pidana, tidaklah selalu ia dapat

dipidana. Karena dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas

legalitas, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat tindak pidana

adalah asas ―tiada pidana tanpa kesalahan‖.20

Kesalahan itu sendiri pada dasarnya hanyalah suatu hal yang melekat

pada diri seseorang jika ia melakukan suatu tindakan yang dicela oleh

masyarakat, dan ia sepantasnya dapat melakukan perbuatan lain jika

memang ia tidak ingin berbuat demikian.21 Telah dijelaskan juga bahwa

unsur-unsur dalam kesalahan itu antara lain:22

a. Kemampuan bertanggungjawab (toerekenings-Vatbaarheid);

b. Hubungan kejiwaan (Psichologische betrekking) antara pelaku,

tindakannya dan akibat yang ditimbulkan (termasuk pula tindakan yang

tidak bertentangan dengan hukum dalam kehidupannya sehari-hari);

c. Dolus dan culpa.

Unsur kemampuan bertanggungjawab dan hubungan kejiwaan antara

pelaku, tindakan dan akibatnya, keduanya terkait satu sama lain.

19 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 250.

20 Roeslan Saleh, op.cit., hal. 76.

21 Ibid., hal. 77.

22 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 162.

Page 23: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

298 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

Hubungan pelaku dengan tindakannya serta akibat yang ditimbulkan

ditentukan oleh kemampuannya bertanggungjawab. Pelaku dapat

mengetahui ketercelaan dari tindakannya dan dapat menentukan apakah

tindakannya itu akan dilakukannya atau tidak. Dapat dikatakan bahwa

untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab itu ada dua

faktor, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal, yaitu dapat

membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan

yang tidak dibolehkan.23

Kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan

keinsyafan atas mana diperbolehkan dan mana yang tidak. Mengenai

kehendak ini juga POMPE mengatakan bahwa dalam hal hubungan

pelaku dengan tindakannya yang ditinjau dari sudut kehendak, kesalahan

yang melekat pada diri pelaku merupakan bagian dalam dari kehendak

tersebut, dan sifat melawan hukum merupakan bagian luar dari kehendak

itu sendiri24.

Berhubungan dengan hal ini, para pihak yang terlibat dalam

prostitusi dapat dikatakan melakukan aktivitasnya dengan akal yang

sehat, dan dapat membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak

boleh. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan yang disampaikan oleh

koordinator mucikari dan salah seorang PSK yang ada di lokasi ‖X‖,

yang keduanya sama-sama mengatakan bahwa perbuatan mereka adalah

perbuatan yang salah dan tidak patut diikuti oleh orang lain. Mereka

mengetahui bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah perbuatan

yang menurut mereka tidak boleh dilakukan.

Mengenai kehendak yang ada dari para pihak yang terlibat dalam

prostitusi ini dapat dilihat dari alasan ekonomi yang secara umum

merupakan alasan mereka mau terjun dalam bisnis prostitusi. Dalam bab

sebelumnya telah dijelaskan bahwa pendapatan yang bisa didapat dalam

bisnis prostitusi ini dijadikan alasan seseorang untuk terjun ke dalam

bisnis prostitusi. Ditambah lagi, yaitu salah satu unsur dari prostitusi

adalah dilakukannya pembayaran, yang semakin menjelaskan adanya

kehendak seseorang terlibat dalam aktivitas prostitusi.

Selain itu juga disyaratkan adanya beberapa hal untuk dapat

mengatakan bahwa seseorang mampu untuk bertanggungjawab, yaitu:25

a. Keadaan jiwanya:

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara;

2. Tidak cacat dalam pertumbuhan, misalnya bisu, idiot, dan

sebagainya; dan

3. Tidak terganggu karena terkejut, hipnotis, amarah yang meluap,

pengaruh bawah sadar, mengigau, dan lain sebagainya. Dengan kata

lain dalam keadaan tidak sadar.

23 Roeslan Saleh, op.cit., hal. 80.

24 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 251.

25 Ibid., hal. 249.

Page 24: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 299

b. Kemampuan jiwanya:

1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;

2. Dapat menentukan kehendak atas tindakannya;

3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakannya tersebut.

Dengan kata lain kemampuan bertanggungjawab seseorang

sebenarnya lebih didasarkan kepada keadaan dan kemampuan jiwanya,

yang kemudian mempengaruhi kepada dua faktor sebelumnya, yaitu akal

dan kehendak.

Adanya akal dan kehendak tersebut juga yang kemudian bisa

menentukan bahwa suatu tindakan itu tergolong kepada tindakan

kesengajaan atau kealpaan. Dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk

kesengajaan ketika seseorang berkehendak dan dapat menginsyafi

perbuatan beserta akibat yang dapat ditimbulkan.26 Mengenai kealpaan

itu sendiri berhubungan dengan keadaan akal. Dimana seseorang yang

melakukan kealpaan bukanlah seseorang yang kurang sehat akalnya,

melainkan orang yang berakal sehat namun ada kesalahan dalam

menggunakannya.27

Hal tersebut juga nampak dari perilaku para pihak yang terlibat

dalam prostitusi. Jika dikaitkan dengan permasalahan kesengajaan atau

kealpaan, maka tindakan para pihak dalam prostitusi itu tergolong pada

tindakan kesengajaan. Mereka dengan jelas mempunyai kehendak

melakukan hal tersebut dengan adanya tujuan yang dapat diinsyafi,

dengan kata lain mereka itu melakukan bentuk kesengajaan sebagai

maksud28.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebagai pihak yang terlibat dalam

prostitusi ini, mereka dianggap mampu bertanggungjawab dan ada

hubungan antara keadaan jiwa mereka dengan apa yang mereka lakukan.

Apa yang mereka lakukan juga termasuk dalam lingkup kesengajaan atau

kealpaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada diri mereka

melekat adanya kesalahan, yang kemudian berarti bahwa mereka dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang mereka lakukan.

Tetapi tidaklah berguna juga mempertanggungjawabkan seseorang

atas tindakan yang dilakukan apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah

bersifat melawan hukum. Justru karena seseorang melakukan suatu

tindakan yang bersifat melawan hukum dan ia dapat mengetahui (atau

setidak-tidaknya dapat menduga) ketercelaan dari tindakannya, maka

dapat diketahui sejauh mana pertanggungjawaban pidananya.29 Lebih

lanjut dapat dikatakan bahwa seharusnya terlebih dahulu harus ada

kepastian tentang adanya tindak pidana, dan kemudian semua unsur

26 Ibid., hal. 167.

27 Ibid., hal. 192.

28 Lihat Ibid., hal 172. 29 Ibid., hal. 251.

Page 25: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

300 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

kesalahan yang ada pada pelaku dihubungkan dengan unsur-unsur tindak

pidana yang dilakukan.30

Pembahasan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban para pihak

yang terlibat dalam prostitusi, akan dilakukan melalui analisa kasus

(Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No.13a.b./75/UT/WNT/Sumir

tanggal 5 Maret 1975) dan juga mengaitkannya dengan hasil penelitian

lapangan penulis di lokasi ―X‖. Kasus yang akan dianalisa ini terjadi di

wilayah Jakarta Utara pada tahun 1975, yang melibatkan dua orang

terdakwa, Hwa Yin dan Komala Kamaludin, yang keduanya didakwa

atas perbuatan memperniagakan perempuan berdasarkan Pasal 297

KUHP. Penjabaran kasus selengkapnya akan diuraikan dalam kasus

posisi di bawah ini.

2. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Para Pihak yang

Terlibat dalam Prostitusi Menurut Ajaran Penyertaan dalam

Tindak Pidana

Penjelasan sebelumnya telah menyebutkan bagaimana suatu aktivitas

prostitusi itu juga dapat berhubungan dengan ajaran penyertaan dalam

tindak pidana. Contoh yang telah disebutkan adalah dalam hubungan

kerjasama yang dilakukan oleh calo dan mucikari. Berhubungan dengan

hal tersebut, maka di sini juga akan dibahas bagaimana

pertanggungjawaban pidana bagi pihak-pihak dalam prostitusi yang ada

dalam kasus serta yang ada di lokasi ―X‖, berdasarkan ajaran penyertaan

dalam tindak pidana.

Sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana dalam penyertaan

menurut doktrin hukum pidana dibagi ke dalam dua sistem, yaitu:

1. Pertama, yang mengatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama ke

dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan secara sama

dengan orang yang sendirian (dader) melakukan tindak pidana, tanpa

dibedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun apa yang ada

dalam sikap badannya.31

2. Kedua, yang mengatakan bahwa masing-masing orang yang bersama-sama

terlibat ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan

berbeda-beda, yang berat ringannya sesuai dengan bentuk dan luasnya wujud

perbuatan masing-masing orang dalam mewujudkan tindak pidana.32

Hasil analisa di atas menunjukkan bagaimana para pihak yang

terlibat dalam kasus dan praktik di lokasi ―X‖ masing-masing memenuhi

unsur-unsur dalam ketentuan tindak pidana. Namun kemudian, dalam

mewujudkan tindakan yang dilakukan, para pihak ini tidak

melakukannya secara sendiri-sendiri. Seperti dalam kasus, agar

terjadinya persetubuhan yang diinginkan oleh Herman, atau dengan kata

30 Roeslan Saleh, op.cit., hal. 79.

31 Adami Chazawi (d), op.cit., hal. 78.

32 Ibid.

Page 26: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 301

lain agar terjadinya perbuatan cabul antara Herman dengan Cucu, ada

kerjasama antara Hwa Yin, Komala Kamaludin, dan Heriyati.

Kerjasama yang terjadi antara mereka itu jika dikaitkan dengan

ajaran penyertaan dalam tindak pidana, maka mereka itu tergolong

sebagai ‗mereka yang melakukan (pleger)‘ dalam Pasal 55 KUHP.

Seperti yang telah dijelaskan bahwa pleger itu setiap petindaknya dapat

memenuhi unsur-unsur dalam ketentuan suatu tindak pidana. Seperti

yang dikatakan oleh Hazewinkel-Suringga juga, bahwa pleger itu jika

terlepas dari bentuk penyertaan, juga dapat dipidana karena telah

memenuhi unsur tindak pidana.

Begitu juga dengan pihak-pihak yang ada di lokasi ―X‖, yaitu

mucikari, calo, pemilik lokasi, dan keamanan, yang dalam analisa di atas

pihak-pihak tersebut bahkan dapat dikenakan ketentuan pasal yang sama,

yaitu Pasal 296 KUHP, dan mereka masing-masing memenuhi unsur-

unsur Pasal 296 KUHP. Perbuatan yang mereka lakukan adalah bentuk

kerjasama dalam mewujudkan hubungan yang terjadi antara PSK dengan

pelanggan, yaitu mucikari yang siap menyediakan PSK, dan dengan calo

yang siap menunggu pelanggan dan menjadi perantara. Pihak pemilik

lokasi yang menyediakan tempat, dan keamanan yang mengamankan

jalannya aktivitas PSK dan pelanggan. Jadi, dapat dilihat bahwa mereka

merupakan pleger, dengan adanya kerjasama dan masing-masing dari

mereka memenuhi unsur tindak pidana dalam memenuhi perannya.

Bentuk penyertaan mutlak perlu ini jika dikaitkan dengan prostitusi,

baik menurut kasus maupun praktik di lokasi ―X‖, dapat dilihat dalam

hubungan antara Cucu Sulastri dan Herman dengan Hwa Yin dan

Komala Kamaludin, juga hubungan antara Cucu Sulastri dan Herman

dengan Heriyati. Di lokasi ―X‖ penyertaan mutlak perlu ini nampak dari

hubungan antara mucikari dengan PSK dan/atau pelanggan, hubungan

antara calo dengan PSK dan/atau pelanggan, hubungan antara pemilik

lokasi dengan PSK dan/atau pelanggan, serta hubungan antara pihak

keamanan dengan PSK dan/atau pelanggan.

Dapat dilihat bahwa semua hubungan itu terkait dengan ketentuan

yang ada dalam Undang-Undang, yang dalam hal ini antara lain Pasal

295 KUHP, Pasal 296 KUHP, Pasal 506 KUHP, Pasal 2 ayat 1 PERDA

Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, serta Pasal 3 PERDA Kabupaten

Indramayu No. 7 Tahun 1999. Masing-masing ketentuan tersebut

menujukkan keterkaitan antara pihak-pihak yang disebutkan di atas.

Pasal 295, khususnya ayat 1 butir 2e menyebutkan:

Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, barangsiapa yang

dengan sengaja, diluar hal-hal yang tersebut pada 1e, menyebabkan atau

memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang

belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia belum

dewasa.

Dalam penjelasan sebelumnya telah disebutkan bahwa pelaku

perbuatan yang melanggar pasal tersebut adalah Hwa Yin dan Komala

Page 27: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

302 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

Kamaludin, serta Heriyati. Orang yang belum dewasa dan orang lain

yang dimaksud dalam pasal tersebut dalam kasus adalah Cucu Sulastri

dan Herman.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat dilihat bahwa keberadaan

Cucu Sulastri dan Herman sangat mempengaruhi terpenuhi atau tidaknya

unsur-unsur pasal tersebut atas perbuatan yang dilakukan oleh Hwa Yin

dan Komala Kamaludin maupun Heriyati. Meskipun demikian Cucu dan

Herman tidak serta merta dianggap sebagai pelaku yang membantu

terjadinya tindak pidana tersebut. Keberadaan mereka hanya merupakan

bagian dari unsur pasal tersebut, yang menjadikan keikutsertaan mereka

merupakan bentuk penyertaan mutlak perlu.

Kemudian juga ketentuan dalam Pasal 296 yang menyebutkan

“Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan

perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan

menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan

pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana

denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”

Kata-kata ―...orang lain dengan orang lain...‖ dalam Pasal 296 KUHP

tersebut tertuju pada PSK dan pelanggan di lokasi ―X‖ yang perbuatan

cabul keduanya dimudahkan oleh pihak-pihak yang dalam penjelasan

sebelumnya dikenakan pertanggungjawaban atas pasal ini, yaitu mucikari

lokasi ―X‖, calo lokasi ―X‖, pemilik lokasi ―X‖, dan pihak keamanan

lokasi ―X‖.

Dapat dilihat dari ketentuan tersebut, pihak-pihak seperti mucikari

lokasi ―X‖, calo lokasi ―X‖, pemilik lokasi ―X‖, dan pihak keamanan

lokasi ―X‖ tidak dapat mewujudkan tindakan sebagaimana yang

dimaksud pada Pasal 296 KUHP tanpa adanya keikutsertaan PSK dan

pelanggan. Keberadaan PSK dan pelanggan ini merupakan bagian dari

unsur pasal tersebut, yang menjadikan keikutsertaan mereka merupakan

bentuk penyertaan mutlak perlu.

Demikian halnya juga dengan hubungan antar mucikari dengan PSK

menurut Pasal 506 KUHP. PSK di sini hanya berkedudukan sebagai

peserta mutlak, yang merupakan bagian dari unsur pasal tersebut, yang

disebutkan dengan kata ―wanita‖.

Hal yang sama juga berlaku pada hubungan antara Hwa Yin dan

Komala Kamaludin dengan Cucu, antara Heriyati dengan Cucu, antara

mucikari dengan PSK, dan antara calo dengan PSK, berdasarkan Pasal 2

ayat 1 PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, serta Pasal 3

PERDA Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999. Kata ―...orang...‖ yang

disebutkan dalam kedua pasal tersebut ditujukan kepada Cucu Sulastri

dan PSK di lokasi ―X‖. Kedudukan mereka di sini juga hanya sebagai

pelaku peserta mutlak yang merupakan bagian dari unsur pasal.

Jadi, masalah pertanggungjawaban pidana terhadap para pihak yang

terlibat dalam prostitusi jika ditinjau melalui pandangan ajaran

Page 28: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 303

penyertaan dalam tindak pidana, memenuhi dua ketentuan mengenai

penyertaan ini, yaitu:

1) mereka yang melakukan (pleger), yang merupakan perbuatan dari

Hwa Yin Komala Kamaludin, dan Heriyati serta perbuatan dari calo,

mucikari, pemilik lokasi, dan keamanan di lokasi ―X‖; dan

2) penyertaan mutlak perlu, yang dapat dilihat dari hubungan antara

mucikari dengan PSK dan/atau pelanggan, hubungan antara calo

dengan PSK dan/atau pelanggan, hubungan antara pemilik lokasi

dengan PSK dan pelanggan, serta hubungan antara pihak keamanan

dengan PSK dan/atau pelanggan, yang diatur dalam Pasal 295 KUHP,

Pasal 296 KUHP, Pasal 506 KUHP, Pasal 2 ayat 1 PERDA Kota

Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran yang

Berlaku di Wilayah Kota Tangerang, serta Pasal 3 PERDA Kabupaten

Indramayu No. 7 Tahun 1999 Tentang Prostitusi.

XII. Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan

Dari pengertian prostitusi dapat dilihat bahwa pihak-pihak yang

merupakan pelaku dari prostitusi yaitu PSK dan pelanggan. Dalam

kenyataannya, PSK dan pelanggan ini tidak selalu dapat berinteraksi

secara langsung tanpa adanya keterlibatan pihak-pihak lain. Dapat

dikatakan bahwa pihak-pihak lain ini bukan menjadi pihak utama dari

prostitusi. Mereka hanyalah pihak pendukung dalam terjadinya suatu

aktivitas prostitusi yang keberadaannya sangat mempengaruhi kelancaran

dari suatu aktivitas prostitusi.

Dalam kaitannya dengan tindak pidana, prostitusi dapat dikatakan

sebagai tindak pidana. Hal tersebut dapat dilihat dengan mengaitkan

antara perbuatan prostitusi dengan pengertian tindak pidana yang dipakai

sebagai acuan dalam skripasi ini. Yaitu perbuatan yang pelakunya dapat

dipidana. Memang jika melihat pada unsur-unsur tindak pidana yang

terkait dengan perbuatan, unsur-unsur perbuatan yang diatur dalam

paraturan perundang-undangan yang memenuhi keseluruhan unsur-unsur

dari perbuatan prostitusi hanya terdapat di PERDA, tidak dalam KUHP.

Akan tetapi salah satu unsur dari prostitusinya, yaitu hubungan seksual

diatur sebagai tindak pidana menurut KUHP, meskipun bukan secara

khusus mengatur pada perbuatan prostitusinya, namun dengan ketentuan

yang mengatur mengenai hubungan seksual yang dilarang dalam KUHP,

dapat memidana para pelaku prostitusi. Jadi, dengan adanya pemidanaan

terhadap para pelaku prostitusi, maka dapat dikatakan bahwa prostitusi

itu merupakan tindak pidana

Pengaturan mengenai prostitusi yang diatur dalam dua peraturan

perundang-undangan yang secara hierarki memiliki kedudukan yang

berbeda, mempengaruhi bentuk pertanggungjawaban yang dapat

dikenakan kepada para pihak yang terlibat dalam prostitusi. Dengan

Page 29: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

304 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

adanya ketentuan dalam PERDA yang mengatur ketentuan yang lebih

khusus dibandingkan dengan KUHP, maka jika suatu aktivitas prostitusi

terjadi di salah satu wilayah tempat keberlakuan PERDA (yang dalam

skripsi ini adalah wilayah kota Tangerang dan Kabupaten Indramayu),

ketentuan yang dipakai adalah PERDA bukan KUHP, mengingat asas lex

specialis derogat legi generali.

2. Saran

Ketentuan yang ada mengenai prostitusi dalam peraturan perundang-

undangan diharapkan untuk lebih dipertegas lagi. Bagi para aparat

penegak hukum juga seharusnya dapat lebih bisa menerapkan suatu

ketentuan peraturan perundang-undangan. Jangan sampai terjadi seperti

kasus yang ada di Bogor. Polisi yang menagkap 73 PSK, tidak dapat

menerapkan aturan hukum yang sesuai, dan pada akhirnya adalah

tindakan kesewenang-wenangan.

Hukum itu sendiri sudah seharusnya menjadi sarana dalam menjaga

ketertiban, keamanan, dan kenyamanan masyarakat. Jadi jika prostitusi

itu telah menjadi suatu perbuatan yang meresahkan, merusak ketertiban

masayarakat, sudah sebaiknya dicari solusi yang tepat untuk

menaganinya, salah satunya adalah melalui jalur hukum, khususnya

hukum pidana. Dengan memasukkan prostitusi ke dalam terminologi

hukum. Memang hal itu sudah terlihat dengan memasukkan prostitusi ke

dalam PERDA yang memuat suatu ketentuan pidana.

Sebagai sebuah penelitian ilmiah, diharapkan skripsi ini dapat

membantu dalam kemajuan ilmu hukum yang ada di Indonesia. Bagi

penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan, diharapkan untuk dapat

memberikan jawaban-jawaban yang lebih memuaskan mengenai

permasalahan prostitusi, khususnya jika ditinjau dari segi hukum, dan

lebih khusus lagi dari segi hukum pidana.

Page 30: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 305

Daftar Pustaka

Buku

Abadinsky, Howard. Organized Crime, Chicago: Nelson-Hall, 1990.

Abby, fat‘hul achmadi. ―Penanggulangan Masalah Pelacuran dengan

Menggunakan Sarana Penal.‖ Tesis Program Pascasarjana Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.

Abidin, A. Zaenal. Hukum Pidana, Jakarta-Makasar: Prapantja dan Taufieq,

1982.

Bemmelen, J.M. van. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Materil Bagian Umum,

Bandung: Binacipta, 1987.

BRM., Hanindyopoetro dan Naroyono Artodibyo. Hukum Pidana II Bagian

Penyertaan, Malang: FPHM Universitas Brawijaya, 1975.

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 Stelsel Pidana, Tindak

Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Belakunya Hukum Pidana,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

D. Soedjono. Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum Dan Kenyataan Dalam

Masyarakat, Bandung: Karya Nusantara, 1997.

Harimurti, Agustinus. ―Prostitusi Dalam Pandangan Kriminologi dan

Pengaturannya di Indonesia‖, Skripsi Program Sarjana Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Depok, 1999.

Jassin, H.B. Al-Quran Bacaan Mulia, Jakarta: Djambatan, 1978.

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka, 1989.

Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982.

Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana, tanpa kota: Balai Lektur Mahasiswa,

tanpa tahun.

Kartono, Kartini. Patologi Sosial Jilid I, Jakarta: CV. Radjawali, 1983.

Lamintang, P.A.F. Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1985.

Loqman, Loebby. Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana.

Jakarta: Universitas Tarumanagara UPT Penerbitan, 1996.

Marpaung, Leden. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Permasalahan

Prevensinya, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta:

Liberty, 2002.

Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab dalam Hukum Pidana,

Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, 1955.

Page 31: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

306 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2015

Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Murray, Alison J. Pedagang Jalanan dan Pelacur Jakarta, Jakarta: LP3ES,

1994.

Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta-

Bandung: P.T. Eresco, 1967.

Reksodiputro, Mardjono. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta:

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,

1997.

Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta:

Centra, 1968.

Schravendijk, H.J. Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta-

Groningen: J.B. Wolters, 1955.

Simons, D. Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek van Het Nederlandse

Strafrecht), diterjemahkan oleh P.A.F. Lamintang. Bandung: Pioner Jaya,

1992.

Soeperapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan

Pembentukannya, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998.

Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana SertaKomentar-

Komentarnya Lengkap Pasal-demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996.

Tirtaamidjaja, M.H. Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955.

Tresna, R. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara, 1959.

Urbanski, Christopher. A. ―Peningkatan dan Penurunan Persekutuan Antara

Penjualan Teh Poci dan Pelacuran di Kawasan Simpang Lima

Semarang‖, Tesis Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Muhammadiyah, Malang, 2006.

Utrecht,E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta

Mas, 1986.

____. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

1997.

____. Delik-Delik Khusus Tindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar Norma-

Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, Bandung: CV Mandar

Maju, 1990.

____. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2 Penafsiran Hukum Pidana, Dasar

Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan

dan Ajaran Kausalitas, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

____. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2002.

____. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Surabaya: Pustaka Tinta Mas,

1986.

Page 32: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban, Pradana 307

____. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakara: PT Raja Grafindo

Persada, 2005.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan.

Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan

Prostitusi yang berlaku di wilayah Kota Tangerang

Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7 tahun

1999 Tentang Prostitusi.

Publikasi Elektronik

S.J., Hary Susanto. ‖Wisata Seks:Tinjauan Moral”, Center for Tourism Studies

Gadjah Mada University, 2003. <http://www.pusparugm.org/Pdln2003/

FullText/hary.htm>, diakses tangggal 1 November 2007.

Spillane, James J. ‖Etika Bisnis dan Industri Seks Sebagai Kegagalan Pasar

Bebas”, Center for Tourism Studies Gadjah Mada University. 2003

<http://www.pusparugm.org/Pdln2003/FullText/James%20J%20 Spillanehtm>,

diakses tangggal 28 Juli 2007.

Surtees, Rebecca. ‖Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia”, United

States Agency for International Development.

<www.medianet.or.id/ontrackfiles/manual/Perdagangan%20Perempuan%20D

an%20Anak%20 di%20Indonesia.pdf>, diakses tangggal 28 Juli 2007.

Syafruddin. ‖Prostitusi Sebagai Penyakit Sosial dan Problematika Penegakkan

Hukum”, <http://library.usu.ac.id/modules.php?op=

modload&name=Downloads&file =index&req=get it&lid=196>, diakses

tangggal 1 Oktober 2007.

_____. ‖Terjaring, 73 PSK di Bogor”, <http://wwwkompas.com/

kompascetak/0204/25/metro/ terj18.htm>, diakses tanggal 2 Januari

2007.