tindak tegas kelompok intolerangelora45.com/news/sp_20170103_02.pdf · pancasila tersebut akan sema...

1
Utama 2 Suara Pembaruan Selasa, 3 Januari 2017 [JAKARTA] Keberadaan kelompok-kelompok intoleran telah membonsai kekuasaan negara. Pemerintah, khusus- nya aparat penegak hukum, harus bisa bersikap tegas terhadap kelompok-kelompok intoleran. Demi menjaga keutuhan Pancasila dan NKRI, pemerintah dan negara jangan kalah oleh kelompok yang kerap menggunakan kekeras- an untuk memaksakan kehen- dak itu. Sikap lunak terhadap kelompok intoleran menjadi bumerang di kemudian hari lantaran mereka akan sema- kin sulit untuk dibendung. Kunci utama dalam mengha- dapi kelompok intoleran adalah penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Demikian rangkuman pendapat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Said Aqil Siroj, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai, Plt Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi, dan Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti yang dihimpun SP di Jakarta, Selasa (3/1). Said Aqil Siroj mengata- kan, pihaknya mengingatkan pemerintah, khususnya apa- rat penegak hukum untuk tegas terhadap kelompok- kelompok intoleran. Jika kelompok seperti dibiarkan, dikhawatirkan pemerintah dan negara kalah oleh orang- orang yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Said Aqil mengakui, gangguan terhadap kebebas- an menjalankan ajaran agama dan keyakinan masih kerap terjadi di Tanah Air. Aksi-aksi seperti itu kerap dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran. “Ini merupakan bentuk radikalisme yang dalam bahasa paling seder- hana adalah tindakan keke- rasan, eksklusif, rigid, sempat, dan memonopoli kebenaran,” tuturnya. Sementara, Ray Rangkuti menilai, selama ini ada kesan pemerintah melakukan pem- biaran terhadap aksi-aksi yang dilakukan kelompok intoleran. Meski demikian, diakui bahwa mengatasi masalah yang didasarkan pada perbedaan memang tidak mudah. Persoalan ini tidak bisa dise- lesaikan dalam semalam, meski sudah ada Undang- Undang (UU) Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang telah direvisi. Ray mengatakan, kelom- pok intoleran hanya bisa diatasi jika pemerintah bera- ni melakukan tindakan tegas. Jika dibiarkan, kelompok yang bertindak sangat jauh dari pengamalan nilai-nilai Pancasila tersebut akan sema- kin membuat perpecahan pada bangsa ini. Langkah tegas yang dimaksudkan adalah dari sisi penegakan hukum. Dalam artian, kelompok mana pun atau siapa pun yang melaku- kan aksi intoleransi dan bertentangan dengan Pancasila harus ditindaktegas oleh aparat penegak hukum. Kekuasaan Negara Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai berpandangan, keber- adaan kelompok-kelompok intoleran telah membonsai kekuasaan negara. Sikap pemerintah yang cenderung lunak terhadap kelompok itu lambat laun akan menjadi bumerang, sehingga mereka akan semakin sulit untuk dibendung. Seharusnya, kata dia, sejak dulu pemerintah harus bisa membedakan kelompok yang menjunjung tinggi perbedaan dan tidak. “Penetrasi kelom- pok (intoleran) juga secara factual telah membonsai kekuasaan negara. Pemerintah lebih cenderung lunak meng- hadapi kelompok intoleran ini,” katanya. Bahkan, ujarnya, peme- rintah kerap memfasilitasi segala keinginan kelompok tersebut. Beberapa peraturan bahkan dibuat hanya untuk memfasilitasi doktrin-doktrin gerakan antikeberagaman itu. “Kita juga melihat di bebe- rapa daerah, pemerintah terkesan berkoalisi dengan kelompok intoleran untuk membuat dan menetapkan peraturan yang mengandung sikap intoleran dan antiplu- ralisme,” kata Pigai. Hal yang sama terjadi pula dalam skala nasional. Saat ini, bangsa Indonesia harus mewaspadai adanya sikap diskriminasi secara serius berdasarkan atas rasa kebencian terhadap suku, agama, ras, dan golongan. Aktivis HAM yang juga Ketua Setara Institute Hendardi menambahkan, contoh dan bukti nyata per- gerakan kelompok-kelompok intoleran ada pada desakan proses hukum terhadap Ahok. Kasus itu, katanya, cukup menggambarkan bagaimana kerumunan massa dan su- premasi paham keagamaan kelompok tertentu telah dijadikan sebagai sumber kebenaran. Pada saat yang sama, kasus tersebut menggambar- kan lumpuhnya paham sup- remasi hukum Indonesia. Aparat penegak hukum pun tampak larut dalam desakan -desakan kelompok intoleran. “Kasus intoleransi akan semakin merajalela jika pemerintah tidak segera mengambil sikap fundamen- tal dalam mengatasi akar intoleransi, yakni pembiaran diskriminasi, tidak menegak- kan hukum pada setiap tin- dakan intoleransi, tidak mengatasi kerentanan masya- rakat, dan membiarkan produk hukum diskriminatif sebagai landasan tata kelola toleran- si Indonesia,” kata Hendardi. Plt Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi mengatakan, guru adalah komponen pen- ting dan strategis untuk menjaga toleransi dan kebu- tuhan NKRI. Sebagai orga- nisasi, katanya, PGRI telah mengeluarkan pernyataan bahwa guru harus menanam nilai toleransi dan kebangsa- an kepada para siswa. “Saya telah menyampai- kan sebuah sikap organisasi tentang fenomena ini. Menurut saya, sangat penting disam- paikan pada momentum seperti itu agar para guru selalu mawas diri sehingga sejak awal mereka selalu memiliki cara untuk mendidik siswa untuk mencintai per- bedaan,” katanya. Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti juga sepakat agar penanaman sikap dan budaya toleransi perlu dila- kukan sejak dini. Penanaman tersebut dapat dilakukan melalui pemberian penga- laman dan pembiasaan dalam interaksi sosial di dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah. Anak-anak perlu diper- kenalkan dengan nilai-nilai toleransi dan keteladanan dari orangtua. Dalam kaitan anta- ra pendidikan dan budaya toleransi, pembiasaan dan keteladanan akan lebih ber- pengaruh dibandingkan dengan teori dan pemahaman teoritik. [FAT/Y-7/N-8] Tindak Tegas Kelompok Intoleran P olitik dan uang berja- lan bergandengan. Politik tanpa uang (modal) maka tujuan poli- tik, yakni kekuasaan, tidak bisa tercapai. Karena itu, siapa pun yang ingin maju bertarung dalam pemilihan umum baik, untuk menjadi anggota legislatif maupun eksekutif, seperti kepala daerah, harus mempunyai modal uang dengan jumlah yang cukup. Hal itu juga terjadi dalam persaingan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Ada pasangan calon yang persiapan modalnya sung- guh memadai, ada yang pas-pasan dengan meminta koleksi dari warga, dan ada yang kurang sekali. Pasangan calon yang dana- nya memadai untuk memba- yar “sana-sini” bahkan memobi- lisasi warga ke arah-arah isu-isu negatif, termasuk melakukan peng- hadangan calon tertentu yang menjadi pesaing mereka. Menurut informasi yang diterima SP, ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang kekurangan dana. Karena itu, seorang pemimpin salah satu partai politik (parpol) pengusung pasang- an itu memaksa semua ang- gota legislatif par- tai itu untuk menyetorkan uang. Jumlahnya tak tang- gung-tanggung, yakni sebe- sar Rp 500 juta.orang untuk kemenangan salah satu pasangan. “Pemimpin par- tai memaksa kami menye- tor uang Rp 500 juta per orang untuk kemenangan paslon yang diusung partai. Namun, saya dan beberapa teman menolak, karena yang kami pikirkan bukan hanya Pilgub DKI Jakrata,” kata sumber SP di Jakarta, Senin (2/1). Dikatakan, karena ada yang menolak nilai sebesar Rp 500 juta itu, maka pemimpin partai mewajib- kan mereka menyetor mini- mal Rp 200 juta per orang. “Akhirnya, jumlahnya ditu- runkan. Kami menerima dengan keberatan. Sampai saat ini ada yang baru menyetor Rp 50 juta, ada yang Rp 100 juta, dan Rp 150 juta,” kata dia. [E-8] Kader Partai Dipaksa Sumbang Cagub?

Upload: lamduong

Post on 08-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Utama2 Sua ra Pem ba ru an Selasa, 3 Januari 2017

[JAKARTA] Keberadaan kelompok-kelompok intoleran telah membonsai kekuasaan negara. Pemerintah, khusus-nya aparat penegak hukum, harus bisa bersikap tegas terhadap kelompok-kelompok intoleran. Demi menjaga keutuhan Pancasila dan NKRI, pemerintah dan negara jangan kalah oleh kelompok yang kerap menggunakan kekeras-an untuk memaksakan kehen-dak itu.

Sikap lunak terhadap kelompok intoleran menjadi bumerang di kemudian hari lantaran mereka akan sema-kin sulit untuk dibendung. Kunci utama dalam mengha-dapi kelompok intoleran adalah penegakan hukum yang tanpa pandang bulu.

Demikian rangkuman pendapat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Said Aqil Siroj, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti , Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai, Plt Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi, dan Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti yang dihimpun SP di Jakarta, Selasa (3/1).

Said Aqil Siroj mengata-kan, pihaknya mengingatkan pemerintah, khususnya apa-rat penegak hukum untuk tegas terhadap kelompok- kelompok intoleran. Jika kelompok seperti dibiarkan, dikhawatirkan pemerintah dan negara kalah oleh orang- orang yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka.

Said Aqil mengakui, gangguan terhadap kebebas-an menjalankan ajaran agama dan keyakinan masih kerap terjadi di Tanah Air. Aksi-aksi seperti itu kerap dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran. “Ini merupakan

bentuk radikalisme yang dalam bahasa paling seder-hana adalah tindakan keke-rasan, eksklusif, rigid, sempat, dan memonopoli kebenaran,” tuturnya.

Sementara, Ray Rangkuti menilai, selama ini ada kesan pemerintah melakukan pem-biaran terhadap aksi-aksi yang dilakukan kelompok intoleran. Meski demikian, diakui bahwa mengatasi masalah yang didasarkan pada perbedaan memang tidak mudah. Persoalan ini tidak bisa dise-lesaikan dalam semalam, meski sudah ada Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang telah direvisi.

Ray mengatakan, kelom-pok intoleran hanya bisa diatasi jika pemerintah bera-ni melakukan tindakan tegas. Jika dibiarkan, kelompok yang bertindak sangat jauh dari pengamalan nilai-nilai Pancasila tersebut akan sema-kin membuat perpecahan pada bangsa ini.

Langkah tegas yang dimaksudkan adalah dari sisi penegakan hukum. Dalam artian, kelompok mana pun atau siapa pun yang melaku-kan aksi intoleransi dan bertentangan dengan Pancasila harus ditindaktegas oleh aparat penegak hukum.

Kekuasaan NegaraKomisioner Komisi

Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai berpandangan, keber-adaan kelompok-kelompok intoleran telah membonsai kekuasaan negara. Sikap pemerintah yang cenderung lunak terhadap kelompok itu lambat laun akan menjadi bumerang, sehingga mereka akan semakin sulit untuk dibendung.

Seharusnya, kata dia, sejak dulu pemerintah harus bisa membedakan kelompok yang menjunjung tinggi perbedaan

dan tidak. “Penetrasi kelom-pok (intoleran) juga secara factual telah membonsai kekuasaan negara. Pemerintah lebih cenderung lunak meng-hadapi kelompok intoleran ini,” katanya.

Bahkan, ujarnya, peme-rintah kerap memfasilitasi segala keinginan kelompok tersebut. Beberapa peraturan bahkan dibuat hanya untuk memfasilitasi doktrin-doktrin gerakan antikeberagaman itu. “Kita juga melihat di bebe-rapa daerah, pemerintah terkesan berkoalisi dengan kelompok intoleran untuk membuat dan menetapkan peraturan yang mengandung sikap intoleran dan antiplu-ralisme,” kata Pigai.

Hal yang sama terjadi pula dalam skala nasional. Saat ini, bangsa Indonesia harus mewaspadai adanya sikap diskriminasi secara serius berdasarkan atas rasa kebencian terhadap suku, agama, ras, dan golongan.

Aktivis HAM yang juga Ketua Setara Institute Hendardi menambahkan, contoh dan bukti nyata per-gerakan kelompok-kelompok intoleran ada pada desakan proses hukum terhadap Ahok. Kasus itu, katanya, cukup menggambarkan bagaimana kerumunan massa dan su- premasi paham keagamaan kelompok tertentu telah dijadikan sebagai sumber kebenaran.

Pada saat yang sama, kasus tersebut menggambar-kan lumpuhnya paham sup-remasi hukum Indonesia. Aparat penegak hukum pun tampak larut dalam desakan-desakan kelompok intoleran.

“Kasus intoleransi akan semakin merajalela jika pemerintah tidak segera mengambil sikap fundamen-tal dalam mengatasi akar intoleransi, yakni pembiaran diskriminasi, tidak menegak-kan hukum pada setiap tin-dakan intoleransi, tidak

mengatasi kerentanan masya-rakat, dan membiarkan produk hukum diskriminatif sebagai landasan tata kelola toleran-si Indonesia,” kata Hendardi.

Plt Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi mengatakan, guru adalah komponen pen-ting dan strategis untuk menjaga toleransi dan kebu-tuhan NKRI. Sebagai orga-nisasi, katanya, PGRI telah mengeluarkan pernyataan bahwa guru harus menanam nilai toleransi dan kebangsa-an kepada para siswa.

“Saya telah menyampai-kan sebuah sikap organisasi tentang fenomena ini. Menurut saya, sangat penting disam-paikan pada momentum seperti itu agar para guru selalu mawas diri sehingga sejak awal mereka selalu memiliki cara untuk mendidik siswa untuk mencintai per-bedaan,” katanya.

Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti juga sepakat agar penanaman sikap dan budaya toleransi perlu dila-kukan sejak dini. Penanaman

tersebut dapat dilakukan melalui pemberian penga-laman dan pembiasaan dalam interaksi sosial di dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah.

Anak-anak perlu diper-kenalkan dengan nilai-nilai toleransi dan keteladanan dari orangtua. Dalam kaitan anta-ra pendidikan dan budaya toleransi, pembiasaan dan keteladanan akan lebih ber-pengaruh dibandingkan dengan teori dan pemahaman teoritik. [FAT/Y-7/N-8]

Tindak Tegas Kelompok Intoleran

Politik dan uang berja-lan bergandengan. Politik tanpa uang

(modal) maka tujuan poli-tik, yakni kekuasaan, tidak bisa tercapai. Karena itu, siapa pun yang ingin maju bertarung dalam pemilihan umum baik, untuk menjadi anggota legislatif maupun eksekutif, seperti kepala daerah, harus mempunyai modal uang dengan jumlah yang cukup.

Hal itu juga terjadi dalam persaingan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Ada pasangan calon yang

persiapan modalnya sung-guh memadai, ada yang pas-pasan dengan meminta koleksi dari warga, dan ada yang kurang sekali. Pasangan calon yang dana-nya memadai untuk memba-yar “sana-sini” bahkan memobi-lisasi warga ke arah-arah isu-isu negatif, termasuk melakukan peng-hadangan calon tertentu yang menjadi pesaing mereka.

Menurut informasi yang diterima SP, ada pasangan calon gubernur dan wakil

gubernur DKI Jakarta yang kekurangan dana. Karena itu, seorang pemimpin salah satu partai politik (parpol) pengusung pasang-an itu memaksa semua ang-

gota legislatif par-tai itu untuk menyetorkan uang.

Jumlahnya tak tang-gung-tanggung, yakni sebe-sar Rp 500 juta.orang untuk kemenangan salah satu pasangan. “Pemimpin par-tai memaksa kami menye-tor uang Rp 500 juta per orang untuk kemenangan paslon yang diusung partai.

Namun, saya dan beberapa teman menolak, karena yang kami pikirkan bukan hanya Pilgub DKI Jakrata,” kata sumber SP di Jakarta, Senin (2/1).

Dikatakan, karena ada yang menolak nilai sebesar Rp 500 juta itu, maka pemimpin partai mewajib-kan mereka menyetor mini-mal Rp 200 juta per orang. “Akhirnya, jumlahnya ditu-runkan. Kami menerima dengan keberatan. Sampai saat ini ada yang baru menyetor Rp 50 juta, ada yang Rp 100 juta, dan Rp 150 juta,” kata dia. [E-8]

Kader Partai Dipaksa Sumbang Cagub?