tindak pidana kekerasan terhadap perempuan...

15
TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (Studi Etiologi Kriminal di Wilayah Hukum Polres Banyumas)* Ruby Hadiarti Johny Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto e-mail: [email protected] Abstract The violence against women is increasing in number. This article discusses the factors underlying the occurrence and other form of violence against women that occurred in the Police Banyumas region. Sociological juridical approach used in this research. Specification of research is descriptive. The data used are primary and secondary data. The dominant factors that cause criminal violence to women are dominated by economic factors about 70%, cultural factors about 15%, affair factors about 10 %, and lack of communication between family factors about 5 %. The types of criminal violence to women based on data from LSM Lentera Perempuan WCC Banyumas, Victims, and Poice Banyumas region most of the type criminal violence to women is domestic violence, as physic, psychological, sexual violence, and negligence of household. The problem solving is with the litigation process or non litigation process. The litigation process with criminal law process and the non litigation process with mediation. Keywords: Domestic violence, form of violence, cause of violence. Abstrak Tindak pidana kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat jumlahnya. Artikel ini membahas mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan terhadap perempuam dan bentuk- bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di wilayah hukum Polres Banyumas. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis sosiologis dengan spesifikasi penelitian deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Faktor yang dominan dalam terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah faktor ekonomi sebesar 70%, 15 % faktor budaya, 10% fakor perselingkuhan, dan 5 % faktor kurangnya komunikasi. Bentuk kekerasan terhadap perempuan baik berdasarkan data dari LSM Lentera Perempuan WCC Banyumas, korban, maupun Kepolisian Polres Banyumas, berada dalam lingkup tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Penyelesaian kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dilakukan dengan proses litigasi atau non litigasi. Proses litigasi sesuai dengan hukum pidana, proses non litigasi dengan mediasi. Kata kunci: Kekerasan dalam rumah tangga, bentuk kekerasan, sebab kekerasan. Pendahuluan Dewasa ini isu hak asasi manusia (HAM) sudah menjadi agenda yang makin penting, ter- utama paska berakhirnya Perang Dingin. Negara Barat semakin bersemangat mempromosikan advokasi HAM ke seluruh dunia, bahkan men- jadikannya sebagai indikator dan faktor penen- tu dalam menentukan kebijakan dan hubungan luar negeri mereka. Pada saat ini dalam pene- * Artikel ini merupakan artikel hasil penelitian dengan sumber dana dari FH UNSOED 2010 gakan HAM masih terjadi ketegangan dalam memahami dan mengimplementasikan HAM itu, antara negara-negara Barat dan negara-negara sedang berkembang, termasuk negara-negara Islam. 1 Dikatakan oleh Abdul Wahid dan Muham- mad Irfan bahwa potret Hak Asasi Manusia (HAM) adalah mosaik sejarah tentang penegak- 1 Abdul Wahid & Muhammad Irfan, 2009, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: Refika Aditama, hlm. vii.

Upload: nguyendung

Post on 06-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (Studi Etiologi Kriminal di Wilayah Hukum Polres Banyumas)*

Ruby Hadiarti Johny

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto e-mail: [email protected]

Abstract

The violence against women is increasing in number. This article discusses the factors underlying the occurrence and other form of violence against women that occurred in the Police Banyumas region. Sociological juridical approach used in this research. Specification of research is descriptive. The data used are primary and secondary data. The dominant factors that cause criminal violence to women are dominated by economic factors about 70%, cultural factors about 15%, affair factors about 10 %, and lack of communication between family factors about 5 %. The types of criminal violence to women based on data from LSM Lentera Perempuan WCC Banyumas, Victims, and Poice Banyumas region most of the type criminal violence to women is domestic violence, as physic, psychological, sexual violence, and negligence of household. The problem solving is with the litigation process or non litigation process. The litigation process with criminal law process and the non litigation process with mediation. Keywords: Domestic violence, form of violence, cause of violence.

Abstrak Tindak pidana kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat jumlahnya. Artikel ini membahas mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan terhadap perempuam dan bentuk- bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di wilayah hukum Polres Banyumas. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis sosiologis dengan spesifikasi penelitian deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Faktor yang dominan dalam terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah faktor ekonomi sebesar 70%, 15 % faktor budaya, 10% fakor perselingkuhan, dan 5 % faktor kurangnya komunikasi. Bentuk kekerasan terhadap perempuan baik berdasarkan data dari LSM Lentera Perempuan WCC Banyumas, korban, maupun Kepolisian Polres Banyumas, berada dalam lingkup tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Penyelesaian kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dilakukan dengan proses litigasi atau non litigasi. Proses litigasi sesuai dengan hukum pidana, proses non litigasi dengan mediasi. Kata kunci: Kekerasan dalam rumah tangga, bentuk kekerasan, sebab kekerasan.

Pendahuluan Dewasa ini isu hak asasi manusia (HAM)

sudah menjadi agenda yang makin penting, ter-utama paska berakhirnya Perang Dingin. Negara Barat semakin bersemangat mempromosikan advokasi HAM ke seluruh dunia, bahkan men-jadikannya sebagai indikator dan faktor penen-tu dalam menentukan kebijakan dan hubungan luar negeri mereka. Pada saat ini dalam pene- * Artikel ini merupakan artikel hasil penelitian dengan

sumber dana dari FH UNSOED 2010

gakan HAM masih terjadi ketegangan dalam memahami dan mengimplementasikan HAM itu, antara negara-negara Barat dan negara-negara sedang berkembang, termasuk negara-negara Islam.1

Dikatakan oleh Abdul Wahid dan Muham-mad Irfan bahwa potret Hak Asasi Manusia (HAM) adalah mosaik sejarah tentang penegak-

1 Abdul Wahid & Muhammad Irfan, 2009, Perlindungan

Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: Refika Aditama, hlm. vii.

Page 2: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

212 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011

an kemerdekaan, kebebasan, keadilan, persa-maan, perdamaian, persaudaraan, dan perlin-dungan. Mosaik yang mengalami pasang surut dalam cerminan kecermelangan dan keburaman jutaan wajah umat manusia. Hampir menjadi kenyataan, bahwa penindasan (Pelanggaran) terhadap HAM menempati fragmentasi historis dengan fenomena yang berulangkali, bahwa rekaman sejarah terhadap nasib hak-hak asasi juga senantiasa menyuarakan bagian-bagaian pembelaannya yang heroik atas musnahnya ke-merdekaan itu sendiri, sehingga problema HAM telah berkembang sedemikian krusial, sehingga menjadi dilemma global.2

Problema HAM juga terjadi di Indonesia, salah satu jenis problema HAM adalah kekeras-an terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan terjadi dilatar belakangi oleh ber-bagai faktor dan dalam berbagai bentuk seperti kekerasan terhadap fisik dan psikis.

Akhir-akhir ini di Indonesia marak sekali kasus kekerasan pada perempuan. Melalui me-dia baik media cetak ataupun elektronik dapat diketahui bahwa kekerasan terhadap perempu-an terjadi diberbagai kalangan baik kalangan selebirtis atau masyarakat pada umumnya. Sa-lah satu contoh kasus kekerasan terhadap pe-rempuan yang terjadi di kalangan selebritis adalah kekerasan yang terjadi terhadap bintang sinetron Novia Ardhana yang dilakukan oleh mantan suaminya yaitu Muhammad Bintang, ataupun kekerasan yang dilakukan Pasha “Un-gu” terhadap istrinya Okky Agustina yang pada akhirnya berujung pada perceraian dan kembali terulang setelah mereka resmi bercerai.

Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang akibatnya diatur oleh hukum, atau peris-tiwa hukum yang diberi akibat hukum. Jadi apabila terjadi ada tindakan kekerasan pasti ada akibat hukumnya.3 Terjadinya kekerasan

2 Ibid. 3 Trusto Subekti, “Sahnya Perkawinan Menurut UU No.

1/1974. Tentang Perkawinan Ditinjau dari Hukum Perjanjian”, Jurnal Dinamika Hukum FH Unsoed, Vol. 10 No. 3 September 2010. Lihat dan bandingkan dengan Wiratni Ahmadi, “Hak dan Kewajiban Wanita dalam Keluarga Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, Jurnal Hukum Pro Jusititia, Vol. 26 No. 4 Oktober 2008, hlm. 371-390

terhadap perempuan seperti contoh kasus ter-sebut tidak terlepas dari dianutnya budaya pa-trilinial oleh masyarakat Indonesia yang me-nempatkan perempuan sebagai manusia nomor dua sedangkan laki-laki adalah manusia nomor satu. Budaya ini terkonstruksi secara terus-me-nerus dalam waktu yang lama, sehingga mela-hirkan pola hubungan yang tidak seimbang an-tara perempuan dan laki-laki.

Ketidak perimbangan ini melahirkan dam-pak negatif dalam kehidupan masyarakat yang bermanivestasi dalam bentuk ketidakadilan ter-hadap perempuan seperti marginalisasi/pe-minggiran dalam mengakses kesempatan dari hasil kerja ekonomis subordinasi/penomerdua-an dalam mengambil keputusan streriotipe/ pelabelan negatif, violence/ kekerasan serta double burden (beban berlebihan). Ketidakadil-an terhadap perempuan menyebabkan lemah-nya posisi perempuan yang menyebabkan pe-rempuan rentan terhadap kekerasan.

Berdasarkan penelitian lembaga Legal Re-source Center, keadilan gender dan hak azasi manusia diperoleh hasil bahwa jumlah kekeras-an terhadap perempuan semakin tahun semakin besar jumlahnya. Korban kekerasan ini tidak hanya terbatas pada perempuan dewasa tetapi juga terjadi atas diri anak-anak.4

Kaitannya dengan HAM nampak dari ber-bagai pernyataan antara lain bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan rintangan ter-hadap pembangunan. Sebab kekerasan ini da-pat menimbulkan akibat kumulatif yang tidak sederhana, seperti mengurangi kepercayaan di-ri perempuan, menghambat kemampuan pe-rempuan untuk berpartisipasi penuh dalam ke-giatan sosial, mengganggu kesehatan, mengura-ngi otonomi perempuan baik dalam bidang eko-nomi, politik dan budaya. 5

Kasus-kasus kekerasan khususnya terha-dap perempuan tidak banyak yang dilaporkan dan diproses secara hukum karena banyak fak-tor, salah satu faktor yaitu dari hukum pidana

4 Dwi Habsari Retnaningrum, “Incest Sebagai Bentuk

Manifestasi Kekerasan Terhadap Perempuan”, Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum UNSOED, Purwo-kerto, Vol. 9, 2009, hlm. 24.

5 Ibid., hlm. 29

Page 3: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan … 213

sendiri. Proses peradilan pidana yang panjang itu ternyata hanya menitikberatkan pada pela-ku kejahatan saja, sedangkan korban berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.6

Jumlah kasus kekerasan terhadap perem-puan bagaikan fenomena gunung es, hal ini dikarenakan untuk mengetahui jumlah kekeras-an terhadap perempuan hanya berdasarkan da-ta laporan masyarakat, sedangkan kemungkinan lebih banyak lagi kasus yang tidak dilaporkan karena alasan ada hubungan khusus dengan kor-ban dan perasaan malu dari korban apabila ka-susnya diketahui orang.

Ada banyak cara dan tempat untuk men-dapatkan keadilan, peradilan pidana hanya sa-lah satu cara dan tempat yang dapat ditem-puh.7 Demikianlah gambaran sekilas yang me-latar belakangi terjadi kekerasan terhadap pe-rempuan di masyarakat dan ketika perempuan mempertanyakan nasibnya seringkali dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi kodratnya.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, ada dua permasalahan yang dibahas pada artikel ini. Pertama, berkaitan dengan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di wilayah hukum Polres Banyumas; dan kedua, mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan terhadap perempuam di wilayah hukum Polres Banyumas. Metode Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan ada-lah yuridis sosiologis. Dalam pendekatan ini hu-kum akan diartikan sebagai perilaku sosial yang dalam interaksinya tidak lepas dari pengaruh-pengaruh di luar bidang hukum atau meneliti bekerjanya hukum dalam masyarakat. Peneli-tian hukum sosiologis ini dimaksudkan sebagai usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan

6 Agus Raharjo, Sunaryo dan Nurul Hidayat, “Pendayagu-

naan Teknologi, Informasi dalam Pemberdayaan Masya-rakat untuk Mengawasi Bekerjanya Sistem Peradilan PIdana di Jawa Tengah”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 3 September 2010, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto.

7 Ibid.

kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Pada penelitian sosiologis, maka yang

akan diteliti pada awalnya adalah data sekun-der adalah sumber data yang terdiri dari bahan hukum primer yang berupa peraturan perun-dang- undangan, dokumen resmi, buku-buku li-teratur, artikel ilmiah, hasil penelitian para ahli yang berkaitan dengan materi yang diteliti, kemudian dilanjutkan dengan penelitian terha-dap data primer adalah data pertama yang diperoleh secara langsung dari para responden yaitu perempuan yang mengalami kekerasan, kepolisian Polres Banyumas, dan pengurus LSM Lentera Perempuan Women Crisis Center Ba-nyumas. Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu menggambarkan bentuk-bentuk kekerasan ter-hadap perempuan di wilayah hukum Polres Ba-nyumas dan faktor-faktor yang melatarbelaka-ngi terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

Pembahasan Kondisi Riil Kekerasan Terhadap Perempuan Di Banyumas Berdasarkan Perolehan Data Primer

LSM Lentera Perempuan Women Crisis Center Banyumas adalah sebuah lembaga swa-daya masyarakat yang menangani kasus perem-puan korban kekerasan guna memperjuangkan hak dan keadilan kaum perempuan di Indonesia khususnya di Kabupaten Banyumas. Berdasar-kan penjelasan yang diberikan oleh Ibu Eri Sing-gih Astuti, S.H selaku Koordinator Divisi Advo-kasi dan Pendampingan yang bertugas untuk membantu manangani kasus kekerasan terha-dap perempuan diperoleh data sebagai beri-kut.8

Pertama, ada banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke LSM ini, dalam kurun waktu 2004-2009 kurang lebih ada 400 kasus. Di antara sekian banyak kasus itu, faktor yang melatarbelakangi kekerasan terhadap perempuan adalah sebagai berikut:

8 Wawancara dilakukan pada Rabu, 14 Juli 2010. Lihat

dan bandingkan dengan tulisan C. Djisman Samosir, “Faktor-Faktor Yang Mengakibatkan Tidak Terungkap-nya Suatu Kejahatan”, Jurnal Hukum Pro Jusititia, Vol. 24 No. 3 Juli 2006, hlm. 246-270.

Page 4: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

214 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011

(a) faktor ekonomi (biasanya faktor ini melatar belakangi terjadinya kekerasan dalam lingkup rumah tangga); (b) faktor budaya (masyarakat Indonesia menganut budaya Patrilineal yang menempatkan perempuan sebagai makhluk yang harus tunduk kepada lelaki); (c) perseling-kuhan (faktor ini juga melatar belakangi terja-dinya kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga hal ini dikarenakan pasa-ngan memiliki pasangan selingkuh); (d) kurang-nya komunikasi antar keluarga (faktor ini paling sering melatar belakangi kekerasan terhadap anak perempuan, hal ini dikarenakan hubungan antara anak dengan orang tua tidak berjalan harmonis). Prosentase masing-masing-masing faktor tersebut adalah kurang lebih 70% keke-rasan terhadap perempuan dialatarbelakangi oleh faktor ekonomi, 15% faktor budaya, 10% faktor perselingkuhan, dan 5% faktor kurangnya komunikasi.

Kedua, bentuk kekerasan terhadap pe-rempuan yang dilaporkan ke LSM Lentera Pe-rempuan WCC Banyumas berupa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kekerasan Terha-dap Anak (KTA), kekerasan seksual misalnya pemerkosaan dan pencabulan, Kekerasan Da-lam Pacaran (KDP), Anak Bermasalah Dengan Hukum (ABH), Buruh Migran. Komposisi prosen-tase masing-masing bentuk kekerasan itu ada-lah KDRT sekitar 40%, Seksual 30%, KTA 14 %, Buruh Migran 8%, KDP 7%., ABH 1%.

Ketiga, langkah yang dilakukan oleh LSM Lentera Perempuan WCC Banyumas atas adanya laporan kekerasan adalah sesuai dengan Stan-dart Operasional Prosedur (SOP). Langkah per-tama yang diambil untuk menangani kasus ke-kerasan terhadap perempuan adalah melakukan penggalian dan pengembangan informasi (lapo-ran yang masuk) kepada pihak-pihak terkait, apabila laporan tersebut bukanlah kasus maka dilakukan pembekalan sumber daya manusia, akan tetapi apabila laporan tersebut benar me-rupakan kasus maka diberikan bantuan yang berupa pelayanan advokasi, pendampingan di proses hukum misalnya pada tahap penyidikan, atau pendampingan melalui proses non litigasi misalnya pendampingan medis dan psikologis,

bantuan- bantuan tersebut bertujuan untuk pe-mulihan pemberdayaan korban.

Berdasarkan pada data tersebut maka da-pat diketahui bahwa kekerasan terhadap pe-rempuan yang dilaporkan kepada LSM Lentera Perempuan WCC Banyumas semuanya telah di-atur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalkan dalam hal kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tanggga (KDRT), diatur dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah tangga dan Deklarasi Beijing. Apabila dikaitkan dengan hasil wawancara maka dapat diketahui bahwa KDRT yang terjadi paling banyak kekerasan fisik yang diatur pada Pasal 6 UU No 23 Tahun 2004, psikis diatur dalam Pasal 7 UU No.23 Tahun 2004, penelantaran rumah tangga diatur dalam Pasal 9 UU NO.23 Tahun 2004, dan kekerasan seksual diatur dalam pasal 8 UU No.23 Tahun 2004.

Apabila KDRT yang dilaporkan kepada LSM Lentera Perempuan WCC Banyumas dikaitkan dengan Deklarasi Beijing Tahun 1995, maka ke-rusakan yang ditimbulkan berupa penderitaan fisik, psikologis. Hal ini diatur dalam Pasal 113 yaitu:

Kekerasan terhadap perempuan berarti segala bentuk kekerasan gender yang aki-batnya berupa atau dapat berupa keru-sakan atau penderitaan fisik, seksual, psi-kologis pada perempuan-perempuan ter-masuk disini ancaman-ancaman dari per-buatan- perbuatan semacam itu, seperti paksaan atau perampasan semena - mena atas kemerdekaan, baik yang terjadi di tempat umum atau dalam kehidupan pribadi seseorang.

Kekerasan seksual diatur dalam KUHP Bab XIV tentang Kejahatan terhadap kesusilaan dalam Pasal 284 mengenai perzinahan, dan Pa-sal 285 meneganai pemerkosaan. Kekerasan Terhadap anak, misalnya kekerasan seksual yai-tu pencabulan diatur Pasal 290 dan Pasal 292 KUHP, sedangkan Untuk kasus kekerasan dalam pacaran diatur dalam Bab XX tentang penga-niayaan dalam Pasal 351 dan Pasal 352 KUHP. Kekerasan terhadap buruh migran sampai saat

Page 5: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan … 215

ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang khusus mengatur hal tersebut, tetapi da-pat diproses hukum berdasarkan KUHP.

LSM Lentera Perempuan WCC Banyumas dalam menangani permasalahan tersebut meng-gunakan proses non litigasi dan litigasi. Proses non litigasi melalui mediasi anatar para pihak yang terlibat, hal ini dilakukan untuk memper-oleh perdamaian dan menjamin hak-hak kor-ban. Proses litigasi melalui proses hukum pada umumnya dimulai dengan tahap penyelidikan hingga proses persidangan. Akan tetapi seba-gaian besar kasus kekerasan terhadap perempu-an ditangani melalui proses non litigasi dengan mediasi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari 4 (empat) perempuan yang mengalami kasus kekerasan atau yang menjadi korban, dan dari hasil wawancara dengan beberapa responden, dapat dijelaskan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan karena kesulitan ekonomi para suami responden yang tidak mampu me-menuhi kebutuhan hidup maksimal, ini pun ka-rena faktor pendidikan dan pekerjaan. Pelaku mempunyai hubungan dekat (suami) dengan responden dan para responden tidak melakukan upaya apapun atas perbuatan kekerasan yang dilakukan dengan alasan malu apabila aibnya diketahui orang dan masih mencintai pelaku (suami).

Data yang diperoleh dari Polres Banyu-mas, yang dikemukakan oleh Iptu Icuk Sukiya, S.H., menunjukkan beberapa hal. Pertama, bahwa terdapat banyak kasus kekerasan terha-dap perempuan yang dilaporkan antara tahun 2004–2009 kurang lebih 150 kasus dan faktor-faktor yang melatar belakangi adalah faktor ekonomi yang paling dominan, temasuk suami yang tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga tidak mampu memberi nafkah maksimal. Sela-in itu faktor peselingkuhan yang menyebabkan kecemburuan dan berakhir dengan pertengkar-an yang diikuti dnegan pemukulan dan sebagai-nya.

Kedua, faktor yang paling dominan yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan terha-dap perempuan, Kurang lebih 70 % KDRT dila-

tarbelakangi oleh faktor ekonomi, 30% faktor perselingkuhan. Ketiga, ada beberapa bentuk atau jenis-jenis KDRT yang ditangani oleh Pol-res Banyumas, yaitu: (a) kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, ja-tuh sakit, atau luka berat, seperti pemukulan, penendangan; (b) kekerasan psikis, yaitu per-buatan yang mengakibatkan ketakutan, hilang-nya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, merasa terhina atau dilecehkan; (c) kekerasan seksual, seperti pemaksaan melakukan hubungan intim, atau dipaksa melakukan hubungan intim guna kepentingan komersial; dan (d) Penelantaran rumah tangga, pihak suami pergi dalam waktu yang lama tanpa pemberitahuan dan tidak ber-tanggung jawab terhadap kelangsungan rumah tangga. Prosentase bentuk kekerasan tersebut adalah kekerasan fisik sekitar 55%, penelanta-ran rumah tangga 20 %, kekerasan psikis 15 %, kekerasan seksual 10 %.

Keempat, cara penyelesaian KDRT yang di lakukan oleh Polres Banyumas disesuaikan de-ngan tujuan Undang-undang Penghapusan Keke-rasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 yaitu mengharmonisasikan kehidupan be-rumah tangga, maka apabila terjadi kekerasan dalam lingkup rumah tangga langkah awal ada-lah melakukan proses mediasi antara pelaku, korban, dan polisi sebagai mediator. Apabila dalam tahap mediasi telah tercapai kesepakat-an perdamaian maka proses hukum dihentikan, akan tetapi apabila dalam tahap mediasi tidak ditemukan kesepakatan maka kasus akan dipro-ses lebih lanjut melalui proses hukum. Sebagian besar peneyelesaian kasus Kekerasan Terhadap Rumah Tangga (KDRT) melalui mediasi.

Hukum mempunyai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan dalam masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan kese-imbangan.9 Apabila berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) kekerasan terha-dap perempuan pengaturannya tersebar dalam

9 Hibnu Nugroho, “Perlindungan Hukum Bagi Korban

“Bank Gelap”, Jurnal Dinamika Hukum Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, Vol. 9 2009,, hlm. 19.

Page 6: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

216 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011

beberapa Bab dan pasal. Kekerasan terhadap perempuan berupa kesusilaan daiatur dalam Bab XIV tentang Kejahatan terhadap kesusilaan Pasal 284 tentang perzinahan dan Pasal 285 mengenai perkosaan, Bab IX tentang kejahatan terhadap nyawa diatur dalam Pasal 338 tentang pembunuhan dan Pasal 340 tentang pembunuh-an berencana. Penganiayaan diatur dalam Bab XX Pasal 351, Pasal 352, Pasal 353, Pasal 354, Pasal 355, Pasal 356 jo. Undang- undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan yang menye-babkan mati atau luka-luka karena kealpaannya diatur Bab XXI dalam Pasal 359, Pasal 360, Pasal 361.

Penulis juga melihat bahwa perempuan yang mengalami kekerasan tidak berani mela-porkan kekerasan tersebut ke pihak yang ber-wajib atau ke proses hukum. Hal ini dikarena-kan korban biasanya memiliki hubungan yang dekat dengan pelaku, apabila korbannya adalah istri, maka alasannya istri masih mencintai suaminya (pelaku) atau karena alasan malu aib-nya diketahui banyak orang apabila kekerasan tersebut dilaporkan. Penyelesaian perkara pi-dana melalui jalur non litigation, merupakan jalur alternative di samping jalur utama yaitu litigasi.10

Bagi para perempuan yang menjadi kor-ban tindak pidana kekerasan baik yang dilaku-kan di dalam rumah maupun di luar rumah membuat trauma dalam kehidupannya. Secara psikologis perempuan korban trafficking biasa-nya akan memiliki trauma yang dalam, karena rentetan peristiwa yang mereka alami.11

10 Agus Raharjo, “Mediasi sebagai Basis dalam Penyelesai-

an Perkara Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Volume 20, 2008, hlm. 93.

11 Siti Muflichah dan Rahadi Wasi Bintoro, “Traffiking: Suatu Studi Tentang Perdagangan Perempuan dari As-pek Sosial, Budaya dan Ekonomi di Wilayah Kab. Banyu-mas”, Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Un-soed, Purwokerto, 2009, hlm. 164. Lihat dan banding-kan dengan tulisan Fahmi, “Penegakan Hukum Tindak Pidana Trafficking in Person di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau”, Jurnal Hukum Respublica, Vol. 7 No. 1 Tahun 2007, hlm. 17-26; dan Maidin Gulton dan Tau-fik Siregar, “Penegakan Hukum Atas Tindak Pidana Per-dagangan (Trafficking) Anak”, Jurnal Hukum Pro Jusiti-ta, Tahun XXIII No. 2 April 2005, hlm. 3-13.

Peraturan-Peraturan yang Berkaitan dengan Kekerasan Terhadap Perempuan

Peraturan-peraturan yang berkaitan de-ngan kekerasan terhadap perempuan terdapat pada KUHP, UU No. 23 Tahun 2004, dan Dek-larasi Beijing Tahun 1995. Beberapa pasal da-lam KUHP yang dapat digunakan atau dikatego-rikan berkaitan dengan kekerasan terhadap pe-rempuan adalah: (a) Bab XIV tentang Kejahatan terhadap kesusilaan diatur dalam Pasal 284, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pa-sal 290, 292. Dari pasal- pasal tersebut yang paling sering digunakan untuk mendakwa pela-ku kekerasan terhadap perempuan adalah Pasal 284 dan Pasal 285; (b) Bab IX tentang kejahatan terhadap nyawa diatur dalam Pasal 338, Pasal 339, dan Pasal 340; (c) Bab XX tentang penga-niayaan yang diatur dalam Pasal 351, Pasal 352, Pasal 353, Pasal 354, Pasal 355, Pasal 356; dan (d) Bab XXI tentang menyebabkan mati atau luka- luka karena kealpaannya diatur dalam Pasal 359, Pasal 360, Pasal 361. Sebagian besar kasus- kasus yang masuk ke kepolisian biasanya dituntut dengan pasal-pasal tersebut di atas.

Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 (Pasal 1 angka 1) adalah setiap perbuatan terhadap se-seorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan seca-ra fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelan-taran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau peram-pasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.12

Bentuk atau jenis kekerasan yang dila-rang dilakukan dalam lingkup rumah tangga di-atur dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004, yang meliputi kekerasan fisik; ke-kerasan psikis; kekerasan seksual; atau pene-lantaran rumah tangga. Pengertian dari bentuk-bentuk atau jenis-jenis kekerasan yang dilarang

12 Lihat uraian dan analisis mengenai KDRT dalam A. Reni

Widyaastuti, “Hukum dan Kekerasan dalam Rumah Tangga”, Jurnal Hukum Pro Jusitita, Vol. 25 No. 3 Juli 2007, hlm. 257-269; Rena Yulia, Implementasi UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dalam Proses Penegakan”, Jurnal Hukum Pro Jusitita, Vol. 24 No. 3 Juli 2006, hlm. 292-300.

Page 7: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan … 217

dalam lingkup rumah tangga diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 9.

Pasal 6 Kekerasan fisik sebagaimana yang dimak-sud dalam Pasal 5 huruf a adalah per-buatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Pasal 7 Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilang-nya rasa percaya diri, hilangnya kemam-puan untuk bertindak, rasa tidak berda-ya, dan/atau penderitaan psikis berat pa-da seseorang. Pasal 8 Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang di-

lakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; atau

b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tu-juan komersial dan/atau tujuan ter-tentu.

Pasal 9 (1) Setiap orang dilarang menelantarkan

orang dalam lingkup rumah tangga-nya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena perse-tujuan atau perjanjian ia wajib mem-berikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

(2) Penelantaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergan-tungan ekonomi dengan cara memba-tasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar ru-mah sehingga korban berada di ba-wah kendali orang tersebut.

Ancaman sanksi pidana terhadap masing-

masing bentuk KDRT berbeda, untuk kekerasan fisik daitur dalam Pasal 44 UU No 23 Tahun 2004, yaitu:

Pasal 44 (1) Setiap orang yang melakukan perbu-

atan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 huruf a dipidana de-ngan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling ba-nyak Rp 15.000.000,00 (lima belas ju-ta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana di-maksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) ta-hun atau denda paling banyak Rp 30. 000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana di-maksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pi-dana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling ba-nyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana di-maksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pe-kerjaan jabatan atau mata pencaha-rian atau kegiatan sehari-hari, di-pidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda pa-ling banyak Rp 5.000.000,00 (lima ju-ta rupiah).

Anacaman pidana terhadap kekerasan

psikis daitur dalam Pasal 45 UU No. 23 Tahun 2004, yaitu:

Pasal 45 (1) Setiap orang yang melakukan perbu-

atan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana de-ngan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling ba-nyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana di-maksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pe-kerjaan jabatan atau mata pencaha-rian atau kegiatan sehari-hari, dipi-dana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda pa-ling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga ju-ta rupiah).

Page 8: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

218 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011

Ancaman hukuman terhadap kekerasan seksual diatur dalam Pasal 46 dan Pasal 47 UU No.23 Tahun 2004. Pasal 46 mengatur untuk kekerasan seksual yang dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah, sedangkan Pasal 47 mengatur ancaman pidana untuk kekerasan seksual yang dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dengan ancaman mak-simal penjara 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp.12.000.000, 00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp.300.000. 000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dalam hal KDRT berupa penelantaran rumah tangga ancaman pidana diatur dalam Pasal 49 UU No. 23 Tahun 2004, yaitu:

Pasal 49 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang : a. menelantarkan orang lain dalam ling-

kup rumah tangganya sebagaimana di-maksud dalam Pasal 9 ayat (1);

b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Pengertian Kejahatan Kekerasan Menurut Kri-minologi

Dikatakan oleh Herman Mannheim bah-wa kejahatan adalah

“By tradition…. are required first to define their subject, but if they follow this tradition, they are citizied ignoring the fact that meaningful definition can not be produced without the knowledge wich the textbook expected to supply”.

Berdasarkan pendapat Herman Mannheim ter-sebut, jelas bahwa pemberian suatu batasan sangat memerlukan berbagai pengetahuan yang berbobot yang dapat menunjang pokok masalah yang akan dibahas. Namun walaupun demikian, hal itu tidaklah berarti bahwa kita tidak boleh memberikan batasan (walau sifatnya semen-tara). Oleh karena sesuatu batasan dianggap dapat dijadikan landasan/tolak pangkal bagi pembahasan-pembahasan selanjutnya. Herman

Mannheim berpendapat pula bahwa “Crime is first of all, a legal conception, human behavior punishable under the criminal law” akan tetapi selajutnya dikatakan bahwa “It is, however, much more than only a legal phenomenon”. 13

Berbagai pendapat telah diketengahkan tentang batasan kejahatan, pendapat-pendapat mana ada yang luas dan ada yang sempit. Per-bedaan luas-sempitnya batasan yang diberikan tergantung dari sudut mana kejahatan tersebut dipandang. Lazimnya ada sementara anggapan di kalangan para ahli bahwa pandangan keja-hatan dari segi yuridis menghendaki batasan dalam arti sempit yakni: kejahatan sebagai-mana telah diatur dalam undang-undang. Pan-dangan kejahatan dalam arti luas menghendaki tidak hanya batasan dalam pengertian undang-undang, melainkan juga meliputi pengertian kejahatan dalam arti sosiologis atau psikologis.

Kejahatan dan penjahat bisa dipelajari, tentunya apabila melihat rumah penjara di ruang terjadi prisonisasi. Pengalaman dengan penjahat dimaksudkan pula bahwa terdapat proses saling belajar antara napi dalam dunia kejahatan, dapat dijelaskan dengan teori dari Edwin Sutherland tentang Differentual Associa-tion. Teori ini berdasarkan pada proses belajar yaitu bahwa perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari.14

Sudarto berpendapat bahwa perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat itu merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana (dalam arti luas) dan harus di-bedakan, yaitu perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat di pandang secara konkrit sebagai-mana terwujud dalam masyarakat (sociaal ver-schijnsel, erscheinung, poena), ialah perbuatan manusia yang memeperkosa/ menyalahi norma-norma dasar dari masyarakat dalam konkreto ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti krimonologis (criminologisch misdaadsbe-grip); dan perbuatan jahat dalam arti hukum

13 Romli Atmasasmita, 1983, Capita Selecta Kriminologi,

Bandung: Armico, hlm. 12. 14 Angkasa, Over Capacity Narapidana Pemasyarakatan di

Lembaga Pemasyarakatan, Faktor Penyebab, Implikasi Negatif, serta Solusi dalam Upaya Optimalisasi Pembinaan Narapidana, Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, 2010, hlm. 216.

Page 9: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan … 219

pidana (strafrechtelijk misdaadsbegrip), ialah sebagaimana terwujud dalam in abstracto da-lam peraturan-peraturan pidana. 15

Dari anggapan sementara dimaksud, tam-pak bahwa dikehendaki adanya perbedaan se-cara tegas dan nyata antara batasan kejahatan dalam arti undang- undang dan dalam arti so-siologis kriminologis ataupun psikologis. Ang-gapan sementara yang disebut terdahulu se-sungguhnya tidaklah seluruhnya benar, oleh ka-rena perkembangan Ilmu Hukum (Pidana) dan Kriminologi pada dewasa ini sudah sedemikian pesatnya, sehingga sangatlah sukar ditemukan suatau batasan tentang kejahatan yang tegas.

Dapat dikemukakan bahwa, baik kejahat-an dalam arti undang-undang maupun dalam arti sosiologis adalah relatif adanya. Di lapa-ngan kriminologi diketahui bahwa satu-satunya kriminolog yang menghendaki batasan kejahat-an dalam arti tersendiri dan luas, adalah Thor-sten Sellin. Selain telah berusaha mengete-ngahkan suatu pengertian atau istilah yang sama sekali lain baik dipandang dari sudut Hukum Pidana maupun Kriminologi, ia telah mengetengahkan pengertian istilah “conduct norms”, dan baginya kriminologi adalah mem-pelajari conduct-norms dan ia mengemukakan sebagai berikut:

“These facts lead to the inescapable con-clusion that study of conduct norms wo-uld afford a sounder basis for the deve-lopment of scientific categories than a study of crime as defined in the criminal law. ….Such study involve the isolation and classification of norma into universal ca-tegories, transcending political, and ot-her boundaries, a necessity imposed by the logic of science”.16

M.A.Elliot berpendapat bahwa kejahatan

adalah suatu problem dalam masyarakat mo-dern atau suatu tingkah laku yang gagal, yang melangar hukum dan dapat dijatuhi hukuman penjara, mati, denda, dan lain-lain.17 Selain itu definisi kejahatan dapat dipandang secara so-

15 Sudarto, 1990, Hukum Pidana Jilid 1 A-B, Purwokerto:

Fak. Hukum-UNSOED, hlm. 23. 16 Romly, op.cit, hlm. 14. 17 Hari Saherodji, 1980, Pokok-Pokok Kriminologi, Jakarta:

Aksara Baru, hlm. 14.

siologis memiliki dua unsur/elemen, yaitu: (a) Kejahatan itu adalah yang merugikan secara ekonomis dan, (b) merugikan secara psycho-logis/dan melukai perasaan susila dari suatu kelompok manusia dimana orang-orang itu oleh karenanya berhak melahirkan celaan. Penger-tian secara sosiologis ini lebih luas dari pada pengertian secara yuridis, sebab tidak hanya menekankan pada pelanggaran hukum, melain-kan juga segi-segi di luar hukum, misalnya: sua-tu perbuatan yang tidak melanggar hukum te-tapi sudah patut mendapat celaan dari masya-rakat (buang air kecil disembarang tempat).18

Jadi, pengertian kejahatan secara sosio-logi lebih luas daripada pengertian secara yu-ridis yang hanya menekankan pada pelanggaran hukum, pengertian yuridis ini lebih dikenal de-ngan istilah tindak pidana. Menurut penulis, tindak pidana kekerasan terhadap perempuan lebih banyak merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana, misalnya: kekerasan yang me-nimbukan kematian, kekerasan yang menimbul-kan luka berat, yang semuanya diatur dalam KUHP, namun apabila kita mencari faktor–fak-tor terjadinya kejahatan melihat dari segi etio-logi kriminal.

Stephen Schafer dalam suatu studinya mengenai kejahatan-kejahatan kekerasan di Florida mendasarkan rumusannya pada batasan Kelompok Internasional Para Ahli PBB yang ber-anggapan bahwa kejahatan-kejahatan kekeras-an yang utama adalah pembunuhan, pengania-yaan berat, serta perampokan dan pencurian berat, sedangkan pelakunya adalah mereka yang melakukan kejahatan yang berakibat ke-matian maupun luka bagi sesama manusia.19 Mengenai pola-pola kekerasan, Martin R. Has-kell dan Lewis Yablonsky mengemukakan ada-nya empat kategori yang mencakup hampir semua pola- pola kekerasan.20

Pertama, kekerasan legal yaitu kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum, misalnya: tentara yang melakukan tu-

18 Ibid, hlm. 15. 19 Mulyana W Kusuma, 1981 Analisa Kriminologi tentang

Kejahatan-Kejahatan Kekerasan, Jakarta: Ghalia Indo-nesia, hlm. 24.

20 Ibid, hlm. 25-26.

Page 10: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

220 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011

gas dalam peperangan, maupun kekerasan yang dibenarkan secara legal, misalnya: sport- sport agresif tertentu serta tindakan-tindakan terten-tu untuk mepertahankan diri. Kedua, kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi yaitu suatu faktor penting dalam menganalisis keke-rasan adalah tingkat dukungan atau sanksi so-sial terhadapnya. Misalnya: tindakan kekerasan seorang suami atas pezina akan memperoleh dukungan sosial.

Ketiga, kekerasan rasional, yaitu bebera-pa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tak ada sanksi sosialnya adalah kejahat-an yang dipandang rasional dalam konteks ke-jahatan. Misalnya: pembunuhan dalam kerang-ka suatu kejahatan terorganisasi, tentang jenis kejahatan ini dikatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam pekerjaannya pada kejaha-tan terorganisasi yaitu dalam kegiatan- kegiat-an seperti perjudian, pelacuran, serta lalu-lin-tas narkotika secara tradisional menggunakan kekerasan untuk mencapai hasil lebih dari pada orang-orang yang ada di lingkungan tersebut. Keempat, kekerasan yang tidak berperasaan yaitu kekerasan ini disebut juga “irrational vio-lence”, yang terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa memperlihatkan motiva-si tertentu dan pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. Dapat digolongkan ke dalamnya adalah apa yang dinamakan “raw vio-lence” yang merupakan ekspresi langsung dari gangguan psikis seseorang dalam saat tertentu kehidupannya.

Selain itu Galtung mendefinisikan keke-rasan dalam pengertian yang lebih luas sebagai “any avoidable impediment to self-realization” yang berarti segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan po-tensi dirinya secara wajar.21 Menurut Muladi masalah kekerasan terhadap perempuan saat ini tidak hanya merupakan masalah individual atau masalah nasional, tetapi sudah merupakan

21 Mohammad Azzam Manan, “Kekerasan dalam Rumah

Tangga dalam Perspektif Sosiologis”, Jurnal Legislasi Indonesia, Dirjen Kum Dan RI, Jakarta, Vol. 5, 2008, hlm. 13

masalah global. Dalam hal-hal tertentu bahkan dikatakan sebagai masalah transnasional.22

Ada beberapa tahap perkembangan da-lam mempelajari kejahatan dalam kriminologi. Pertama, mempelajari kejahatan secara seder-hana (belum secara ilmiah). Dalam periode/ masa ini diketahui dan dikenal pelbagai pen-dapat dari para cendikiawan terutama dari para Filosof mengenai kejahatan. Beberapa penda-pat terkenal pada periode/masa ini adalah berasal dari Filosof Yunani, yakni Aristoteles (384-322 SM) yang dalam bukunya “Politiek”, menyatakan kemiskinan menimbulkan kejahat-an dan pemberontakan. Kejahatan besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk kemewahan.23 Selain Aristoteles, Plato (427-347 SM) dalam bukunya “Republiek” juga menyatakan, “emas, manusia adalah merupakan sumber dari banyak kejahat-an”. Jadi makin tinggi kekayaan dalam pan-dangan manusia, makin merosot penghargaan terhadap kesusilaan. Adalah jelas, bahwa da-lam setiap negara di mana terdapat banyak orang miskin, dengan diam-diam terdapat ba-jingan-bajingan, tukang copet, pemerkosaan agama dan penjahat dari bermacam- macam corak.24

Kedua, mempelajari kejahatan secara il-miah. Pendapat atau hasil penyelidikan baru dapat dikatakan merupakan suatu ilmu penge-tahuan (science), apabila pendapat atau hasil penyelidikan dimaksud merupakan “a system of knowledge” yang mengenai sesuatu subyek atau beberapa subyek pembahasan.

Periode masa mempelajari kejahatan se-cara ilmiah diawali dengan lahirnya Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari dan menyelidiki kejahatan pada tahun 1836. Tokoh-tokoh yang terkenal mempelajari keja-hatan secara sistematis, yaitu Cesare Lombroso (1835-1905). Lombroso dikenal dalam sejarah kriminologi sebagai penemu dan pendasar aja-ran atau teori atavisme dan manusia penjahat (criminal man). Karya terkenal Lombroso yaitu

22 Ibid, hlm. 28. 23 Romli Atmasasmita, op.cit, hlm. 16 24 Ibid.

Page 11: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan … 221

“L’uomo delinquent” dalam bukunya tersebut dikatakan bahwa, penjahat memiliki perbedaan ciri-ciri physic yang sangat menonjol dibanding-kan dengan bukan penjahat. Ia mengetengah-kan pendapatnya bahwa, penjahat adalah atavistis yakni secara genetik penjahat berasal dari salah satu jenis manusia sendiri, yaitu “ho-me delinquens”. Sehingga dengan demikian ia berpendapat bahwa manusia penjahat adalah bersifat degenerasi, dan tipe penjahat dapat diketahui dari ciri-ciri phsikis tertentu (Stig-mata), seperti; mata yang cekung, dahi yang lebar, muka yang tidak simetris, ukuran tangan yang panjang, dan ciri lainnya yang khas.25 Dari ajaran Lombroso di atas, jelaslah bahwa ia sangat banyak dipengaruhi oleh aliran posi-tivisme, dan dalam banyak ajaran tentang ma-nusia penjahat ini digunakan metode pendekat-an secara anthropo-biologi.26

Enrico Ferri (1856-1928) merupakan mu-rid dari Lombroso yang berusaha menyebar luaskan ajaran Lombroso, tetapi ia mengakui pula pentingnya faktor-faktor lingkungan di samping faktor biologi dalam timbulnya keja-hatan.27 Hal ini secara tegas dinyatakan dalam bukunya yang berjudul “Sociologie Criminelle” yaitu, tiap-tiap kejahatan adalah resultante da-ri keadaan individu, psikis, dan sosial. Pada suatu waktu unsur yang satu lebih berpengaruh, kemudian yang lain tapi unsur individulah tetap yang paling penting. Keadaan sosial memberi bentuk pada kejahatan, tetapi ini berasal dari bakatnya yang anti-sosial.28

Pendapat dari mazhab lingkungan me-mandang beberapa faktor lingkungan sebagai kejahatan, seperti lingkungan yang memberi kesempatan akan timbulnya kejahatan; ling-kungan pergaulan yang memberi contoh/ taula-dan; lingkungan ekonomi (kemelaratan/ kemis-kinan); dan lingkungan pergaualan yang ber-beda-beda (Differential Association).29

Perkem-bangan mutakhir dari penyelidi-kan sebab akibat kejahatan diawali oleh hasil-

25 Ibid, hlm. 18. 26 Ibid, hlm. 19. 27 Ibid. 28 Ibid. 29 Hari Saherohji, op.cit., hlm. 51.

hasil penyelidikan yang gemilang yang telah di-lakukan oleh William Healy dan Cyril Burt, ha-sil-hasil mana kemudian dapat menunjang teo-rinya yang dikenal dengan “multiple factors theory atau teori faktor jamak”. Mempelajari kejahatan juga tentunya mempelajari pelaku dan kita tidak boleh melupakan peranan korban terhadap terjadinya kejahatan, namun yang terakhir ini tidak pernah mendapat perhatian bahkan ketika di minta kesaksiannya. Faktor-Faktor yang Dapat Menimbulkan Keja-hatan

Sebab-musabab timbulnya kejahatan sa-ngat kompleks dikarenakan banyak sekali fak-tor-faktor yang melatar belakanginya dimana faktor yang satu dengan faktor yang lainnya saling mempengaruhi. E.H Sutherland menga-takan bahwa, kejahatan adalah hasil dari fak-tor-faktor yang beraneka ragam dan bermacam- macam dan faktor- faktor itu dewasa ini dan untuk selanjutnya tidak bisa disusun menurut suatu ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian atau dengan perkataan lain untuk menerangkan kelakuan kriminil tidak ada teori ilmiah.30

Secara umum dapat diketahui bahwa fak-tor-faktor yang menimbulkan kejahatan dibagi dalam dua bagian. Pertama, faktor intern ten-tang sifat-sifat umum dari individu seperti: umur (dari sejak kecil hingga dewasa manusia mengalami perubahan jasmani dan rohani dan dalam tiap masa perubahan manusia dapat me-lakukan kejahatan); sex (hal ini berhubungan dengan keadaan psikis); kedudukan individu dalam masyarakat; pendidikan individu, hal ini mempengaruhi keadaan jiwa dan tingkah laku; masalah rekreasi/ hiburan individu; dan agama individu merupakan unsur pokok dalam kehi-dupan manusia yang merupakan kebutuhan spi-ritual.31

Tentang sifat-sifat khusus dari individu Maksudnya adalah keadaan kejiwaan dari indi-vidu. Peninjauan ini lebih dititk beratkan pada segi phisikologis. Pada masalah kepribadian

30 Ibid, hlm. 35. 31 Ibid, hal. 36.

Page 12: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

222 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011

sering timbul perilaku yang menyimpang, pe-nyimpangan ini mungkin terhadap sistem sosial dan pola-pola kebudayaan. Perilaku yang me-nyimpang tersebut meliputi kelakuan yang me-nyimpang akibat mental desease atau rendah-nya mental (bukan sakit jiwa); dan kelakuan yang menyimpang karena daya emosioniil.32

Kedua, faktor ekstern (faktor-faktor yang berada di luar individu). Faktor-faktor ekstern meliputi waktu kejahatan (untuk mengetahui pada saat mana kejahatan itu banyak dilaku-kan); tempat kejahatan (untuk mengetahui tempat-tempat seperti apa yang dijadikan tem-pat dilakukannya kejahatan); dan keadaan ke-luarga dalam hubungannya dengan kejahatan (merupakan satuan terkecil masyarakat yang di dalamnya terjadinya proses pembentukan ke-pribadian anak yang nantinya berpengaruh di masa ia dewasa.

Berikut adalah masalah-masalah keluarga yang dapat menjadi faktor pendorong ke arah kejahatan, yaitu; (a) Keluarga yang besar, di dalam kenyataan bahwa keluarga yang besar pada umumnya adalah keluarga yang kurang mampu berhubungan dengan keadaan tersebut maka tekanan ekonomi yang dirasakan juga be-rat dan perhatian kepada tiap-tiap anak men-jadi berkurang karena jumlah anak yang harus diperhatikan sangat banyak; (b) Keluarga kecil, kaitannya dengan kejahatan apabila pada ke-luarga kecil terletak pada kedudukannya dalam keluarga antara anak sulung, bungsu, tunggal. Bagi anak tunggal yang biasanya dimanjakan maka apabila di dalam kehidupannya bermasya-rakat akan mengalami kesulitan menyesuaikan diri, sehingga apabila ada permintaannya yang tidak dipenuhi maka ia bisa berbuat jahat;33 (c) Masalah perekonomian (faktor sosial ekonomi). Keadaan ekonomi sangat berpengaruh terhadap jiwa manusia, keadaan ekonomi merupakan faktor yang secara langsung maupun tidak lang-sung akan mempengaruhi pola-pola kehidupan masyarakat, contohnya orang miskin akan ren-dah diri, sehingga mencari jalan untuk meme-nuhi kebutuhannya dan salah satu jalannya

32 Ibid. 33 Ibid, hlm. 41-42.

adalah timbulnya hasrat melakukan kejahatan. Begitupun dengan pengangguran yang memba-wa dampak negatif karena dapat meningkatkan tingkat terjadinya kejahatan terutama di kota besar yang merupakan tujuan urbanisasi.34

Berdasarkan penelitian (wawancara), di-peroleh data primer sebagai berikut. Pertama, Pengurus LSM Lentera Perempuan WCC Banyu-mas mengemukanan faktor-faktor yang melatar belakangi kekerasan terhadap perempuan di Wilayah Hukum Polres Banyumas, yaitu: (a) Faktor ekonomi, biasanya faktor ini melatar be-lakangi terjadinya kekerasan dalam lingkup ru-mah tangga, misalnya: suami tidak memberikan nafkah, tidak memiliki mata pencaharian yang pasti, hal-hal tersebut yang memicu suami me-lakukan kekerasan terhadap perempuan khusus-nya adalah isterinya. Dalam faktor ekonomi juga termasuk kemiskinan juga menimbulkan kejahatan menurut Aristoteles dalam bukunya “Politiek” ; (b) Faktor budaya, masyarakat In-donesia menganut budaya patrilineal yang me-nempatkan perempuan sebagai makhluk yang harus tunduk kepada lelaki, akibatnya perem-puan memiliki pola berpikir bahwa ia adalah makhluk yang lemah karena bergantung kepada kaum lelaki, sehingga perempuan tidak berani untuk membela hak-haknya; (c) Perselingkuh-an, faktor ini juga melatar belakangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga hal ini dikarenakan pasangan memiliki pasangan selingkuh, misalkan pihak suami memilki simpanan perempuan lain atau pihak istri memiliki pria lain, sehingga memicu kecemburuan diantara pasangan yang dapat berujung terjadinya kekerasan. Dalam hal ini faktor lingkungan lebih banyak berpengaruh menurut E. Ferri di samping faktor biologis; dan (d) Kurangnya komunikasi antar keluarga, fak-tor ini paling sering melatar belakangi kekeras-an terhadap anak perempuan, hal ini dikarena-kan hubungan antara anak dengan orang tua tidak berjalan harmonis, sehingga sangat di-mungkinkan apabila anak mengalami kekerasan yang biasanya dilakukan oleh kerabat dekat, orang tua tidak mengetahuinya, atau orang tua

34 Ibid, hlm. 45 dan 48.

Page 13: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan … 223

tidak dapat menempatkan diri sebagaimana mestinya, sehingga tidak jarang orang tua anak tersebutlah yang melakukan kekerasan.

Kedua, perempuan yang mengalami keke-rasan atau korban kekerasan dapat diketahui faktor- faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan, yaitu faktor kesulitan ekonomi dan faktor perselingkuhan. Ketiga, dari Kepolisian Polres Banyumas dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang melatar belakangi kekerasan terha-dap perempuan di Wilayah Hukum Polres Ba-nyumas, yaitu: faktor ekonomi, berupa rendah-nya pemasukan, dikarenakan pasangan suami - istri tidak memiliki pekerjaan yang tetap, atau karena suami yang tidak dapat menafkahi istri, sehingga memicu pertengkaran yang berujung pada terjadi kekerasan; dan perselingkuhan yang memicu kecemburuan salah satu pasang-an, sehingga dapat berujung pada terjadinya kekerasan.

Sudarto berpendapat bahwa perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat di pandang secara konkrit sebagaimana terwujud dalam masyarakat (sociaal verschijnsel, erscheinung, poena), ialah perbuatan manusia yang memper-kosa/menyalahi norma-norma dasar dari ma-syarakat dalam konkreto ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti krimonologis (criminologisch misdaadsbegrip).35 Definisi ke-jahatan dapat dipandang secara sosiologis me-miliki dua unsur/elemen, yaitu kejahatan itu adalah yang merugikan secara ekonomis; dan merugikan secara psychologis/dan melukai pe-rasaan susila dari suatu kelompok manusia di mana orang-orang itu oleh karenanya berhak melahirkan celaan.

Pengertian secara sosiologis ini lebih luas dari pada pengertian secara yuridis, sebab ti-dak hanya menekankan pada pelanggaran hu-kum, melainkan juga segi-segi di luar hukum, misalnya: suatu perbuatan yang tidak melang-gar hukum tetapi sudah patut mendapat celaan dari masyarakat (buang air kecil disembarang tempat).36 Apabila dikaitkan dengan data pri-mer yang diperoleh maka kasus-kasus keke-

35 Sudarto, Op.cit, hlm. 23. 36 Ibid, hlm. 15.

rasan terhadap perempuan merupakan kejahat-an yang berupa reaksi anti sosial, yang dapat membawa kerugian bagi perempuan berupa kesengsaraan baik fisik maupun psikis dan dari kasus–kasus tersebut termasuk kekerasan rasio-nal.

Kekerasan terhadap perempuan termasuk kedalam kejahatan rasional menurut Martin R. Haskell dan Lewis Yablonsky, dikatakan sebagai kejahatan rasional karena kejahatan kekerasan terhadap perempuan merupakan kejahatan yang tidak legal akan tetapi tidak ada sanksi sosialnya, melainkan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Mengenai faktor-faktor terjadinya kejahatan dalam hal ini adalah kekerasan terdapat ber-bagai pendapat dikalangan kriminolog.

Lombroso berpendapat bahwa manusia penjahat adalah bersifat degenerasi, dan tipe penjahat dapat diketahui dari ciri- ciri psikis tertentu (stigmata), seperti; mata yang cekung, dahi yang lebar, muka yang tidak simetris, uku-ran tangan yang panjang, dan ciri lainnya yang khas.37 E. Ferri berpendapat bahwa, tiap-tiap kejahatan adalah resultante dari keadaan indi-vidu, physikis dan sosial. Pada suatu waktu un-sur yang satu lebih berpengaruh, kemudian yang lain tapi unsur individulah tetap yang pa-ling penting. Keadaan sosial memberi bentuk pada kejahatan, tetapi ini berasal dari bakat-nya yang anti-sosial.38

Faktor sosial yang dimaksud tidak terle-pas dari lingkungan yang ada di sekitar individu tersebut, sedangkan faktor individu yang di-maksud adalah faktor intern. Faktor–faktor in-tern meliputi sifat–sifat umum dari individu seperti umur (dari sejak kecil hingga dewasa manusia mengalami perubahan jasmani dan rohani dan dalam tiap masa perubahan manusia dapat melakukan kejahatan); sex (hal ini ber-hubungan dengan keadaan psikis); kedudukan individu dalam masyarakat; pendidikan indivi-du, hal ini mempengaruhi keadaan jiwa dan tingkah laku; dan masalah rekreasi/hiburan in-dividu; agama individu merupakan unsur pokok

37 Ibid., hlm. 18. 38 Ibid.

Page 14: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

224 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011

dalam kehidupan manusia yang merupakan kebutuhan spiritual.39 Tentang sifat-sifat khusus dari individu seperti kelakuan yang menyim-pang akibat mental desease atau rendahnya mental (bukan sakit jiwa); dan kelakuan yang menyimpang karena daya emosioniil.40

Selain faktor intern yang merupakan fak-tor yang mendorong orang melakukan kejahat-an dalam hal ini adalah kekerasan adalah faktor ekstern, yaitu waktu kejahatan (untuk menge-tahui pada saat mana kejahatan itu banyak di-lakukan); tempat kejahatan, untuk mengetahui tempat-tempat seperti apa yang dijadikan tem-pat dilakukannya kejahatan; keadaan keluarga dalam hubungannya dengan kejahatan (meru-pakan satuan terkecil masyarakat yang di da-lamnya terjadinya proses pembentukan kepri-badian anak yang nantinya berpengaruh di ma-sa ia dewasa); dan masalah perekonomian/fak-tor sosial ekonomi (keadaan ekonomi sangat berpengaruh terhadap jiwa manusia, keadaan ekonomi merupakan faktor yang secara lang-sung maupun tidak langsung akan mempengaru-hi pola-pola kehidupan masyarakat, contohnya orang miskin akan rendah diri, sehingga men-cari jalan untuk memenuhi kebutuhannya dan salah satu jalannya adalah timbulnya hasrat melakukan kejahatan. Begitupun dengan pe-ngangguran yang membawa dampak negatif ka-rena dapat meningkatkan tingkat terjadinya ke-jahatan terutama di kota besar yang merupa-kan tujuan urbanisasi).41

Berdasarkan teori-teori tersebut dan di-kaitkan dengan data primer yang diperoleh ma-ka dapat diketahui bahwa faktor yang menye-babkan seseorang melakukan kekerasan terha-dap perempuan merupakan faktor jamak atau mutiple factors theory. Ada tiga hal yang dapat dikategorikan sebagai mutiple factors theory. Pertama, faktor intern, yang meliputi sifat-si-fat umum dari individu seperti umur (pelaku tindak pidana kekerasan terhadap perempuan rata-rata merupakan usia produktif yaitu antara 30- 50 tahun); sex (pelaku dari tindak pidana

39 Ibid., hlm. 36. 40 Ibid. 41 Ibid, hlm. 45.&48.

kekerasan terhadap perempuan adalah berjenis kelamin laki–laki); kedudukan individu dalam masyarakat (rata-rata pelaku kekerasan terha-dap perempuan memiliki kedudukan biasa da-lam masyarakat, tetapi juga ada yang pejabat); pendidikan individu (pelaku rata-rata berpendi-dikan di bawah Strata satu (S1)); masalah re-kreasi/hiburan individu (pelaku rata-rata ber-asal dari kalangan ekonomi sulit, sehingga ja-rang mendapatkan kesempatan untuk berekrea-si karena keterbatasan biaya); dan agama (hampir seluruh pelaku tindak pidana kekerasan terhadap perempuan tidak patuh dalam menja-lankan aturan agamanya, sebab apabila ia pa-tuh terhadap agamanya maka tidak mungkin ia melakukan kekerasan apalagi terhadap istrinya sendiri).

Seringkali persoalan dan sangat remeh dapat menimbulkan tindak kekerasan yang me-lampaui batas dan sama sekali tidak terukur. Pembunuhan dan penyiksaan sadis yang dialami korban hanya karena persoalan salah ucap dan kurangnya pelayanan seperti sering kita dengar dari laporan media adalah bukti dari ketidak-seimbangan antara tingkat penyebab dan aki-bat.42

Tentang sifat-sifat khusus dari individu, maka berdasarkan pada data primer yang be-rupa hasil wawancara, maka mengenai faktor sifat-sifat khusus dari individu yang paling ba-nyak adalah faktor kelakukan yang menyimpang karena daya emosionil. Terjadinya kekerasan terhadap perempuan sebagian besar terjadi dalam lingkup rumah tangga yang dipicu per-tengkaran, sehingga pada saat emosi memun-cak maka terjadilah kekerasan terhadap perem-puan.

Kedua, faktor ekstern yang meliputi wak-tu kejahatan (biasanya kekerasan terhadap pe-rempuan terjadi mulai pertengkaran dan me-muncak dengan terjadinya kekerasan); tempat kejahatan (biasanya dilakukan di rumah atau di hotel apabila korban kejahatan adalah pasang-an selingkuh dari pelaku); keadaan keluarga (biasanya kekerasan terhadap perempuan ter-jadi pada keluarga besar yang memiliki anak

42 Ibid. hlm. 121.

Page 15: TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol112011... · The violence against women is increasing in number. This article

Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan … 225

dalam jumlah yang banyak, sehingga menga-lami kesulitan ekonomi yang merupakan pemicu dominan terjadinya kekerasan terhadap perem-puan); masalah perekonomian (seperti yang te-lah dikatakan bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang paling dominan dalam terjadinya tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga, hal ini dikarena-kan apabila pihak suami tidak dapat menafkahi kehidupan rumah tangga, maka akan memicu pertengkaran yang menyebabkan terjadinya ke-kerasan). Jadi menurut pendapat Aristoteles dalam hal ini faktor kemiskinan menjadi faktor terjadinya kekuasaan.

Ketiga, faktor lingkungan dalam hal ini adalah faktor budaya yang dianut sistem patri-lineal. Sistem patrilineal merupakan sistem bu-daya yang menempatkan kaum lelaki sebagai kepala rumah tangga, makhluk yang dominan dari pada perempuan, sehingga sangat dimung-kinkan kaum lelaki merasa dirinya lebih kuat, lebih pandai jadi memandang kaum perempuan sebagai kaum yang lemah, sehingga dapat di-perlakukan seenaknya.

Ironisnya, negara ini mempunyai tugas memberikan perlindungan dan jaminan bagi se-luruh masyarakat sering kali menerapkan stan-dar gender dalam menyikapi masalah perempu-an. Hal tersebut tercermin dalam kebijakan-kebijakan negara secara implicit maupun eks-plisit melestarikan peran gender perempuan. Beberapa kebijakan pemerintah melalui produk hukum juga membakukan peran gender perem-puan misalnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawainan, di sini dise-butkan perempuan sebagai ibu rumah tangga dan suami sebagai kepala rumah tangga. Jadi, faktor–faktor penyebab seorang melakukan ke-kerasan terhadap perempuan yaitu karena fak-tor individu dari faktor intern dan ekstern, yang apabila dilihat secara teori disini terdapat fak-tor jamak atau multiple factor.

Penutup Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini.

Pertama, bentuk-bentuk tindak pidana kekeras-an terhadap perempuan yang terjadi di wilayah hukum Polres Banyumas, yaitu: (a) Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); (b) Kekerasan Terhadap Anak (KTA); (c) Kekerasan seksual mi-salnya pemerkosaan dan pencabulan; (d) Keke-rasan Dalam Pacaran (KDP); (e) Anak Berma-salah Dengan Hukum (ABH); dan (f) Buruh Mig-ran. Bentuk kekerasan yang paling sering ter-jadi adalah KDRT yang berupa kekerasan fisik, penelantaran rumah tangga, psikis, dan keke-rasan seksual sekitar 40%, Seksual 30, KTA 14%, Buruh Migran 9%, KDP 7%.

Kedua, faktor-faktor yang melatar bela-kangi terjadinya tindak pidana kekerasan ter-hadap perempuan di wilayah hukum Polres Ba-nyumas, meliputi: (a) faktor ekonomi; (b) fak-tor kebudayaan patrilineal, c. faktor perseling-kuhan, d. faktor kurangnya komunikasi dalam keluarga. Faktor ekonomi adalah faktor yang paling dominan yaitu sebesar 70%, 15% faktor budaya, 10% fakor perselingkuhan, dan 5% faktor kurangnya komunikasi.

Ketiga, perempuan yang mengalami keke-rasan tidak berani melaporkan kekerasan ter-sebut ke pihak yang berwajib atau ke proses hukum. Hal ini dikarenakan korban biasanya memiliki hubungan yang dekat dengan pelaku, apabila korbannya adalah istri, maka alasannya istri masih mencintai suaminya (pelaku) atau karena alasan malu aibnya diketahui banyak orang apabila kekerasan tersebut dilaporkan. Saran

Bagi perempuan–perempuan Indonesia, agar lebih bersikap berani dan tegas dalam menghadapi kekerasan yang menimpa dirinya, misalkan dengan melaporkan pelaku kepada aparat penegak hukum khususnya kepolisian agar kasusnya dapat diproses secara hukum. Hal ini supaya mengetahui hak-haknya perem-puan sebagai warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh hukum.dan agar pelaku menjadi jera.