the samurai tale by erik christian haugaard
DESCRIPTION
Baca bab 1 The Samurai Tale by Erik Christian Haugaard yuk...TRANSCRIPT
i
iiii
Kata Pengantar
Bagaimana aku harus memulai ceritaku? seorang pendongeng ibarat seorang pengembara di persimpangan
jalan, yang tidak tahu jalan mana yang harus diikuti. Namun,
ia sadar bahwa jika memilih jalan yang salah, ia tidak akan
pernah mencapai rumah. Cara sebuah cerita dipaparkan
sama pentingnya dengan kisah itu sendiri. Pemikiran ini
telah membuatku mencelupkan kuasku ke tinta.
Hari ini saat aku jalan-jalan, yang biasa kulakukan
di luar desaku, aku bertemu seorang petani yang sedang
membajak sawahnya. Lembu yang menyeret bajak itu besar.
Aku pun berhenti untuk mengagumi binatang itu. Putri
sang petani, seorang gadis kecil tidak lebih dari sepuluh
tahun, menuntun binatang itu. Si gadis terlalu ketakutan
pada lembu itu untuk memegang tali kekangnya. Sebagai
gantinya, ia memasang tongkat pada tali kekang itu, yang
dipegangnya dengan hati-hati. Ketika ia harus membantu
binatang raksasa itu berbelok di akhir alur sawah itu,
ketakutannya menjadi begitu jelas terlihat sehingga aku
tersenyum. Saat itulah pemikiran ini datang kepadaku, tidak
hanya bagaimana aku harus menceritakan kisahku, tetapi
iii
juga, bahwa mereka bertiga—anak itu, binatang itu, dan
manusia yang sedang membajak—adalah abadi, usia dan
kematian tidak bisa menyentuh mereka. Para penguasa besar
dengan tentara mereka, para kesatria, samurai dengan pedang
mereka adalah buih di atas ombak. Buih, busa, gelembung
yang berputar dan pecah serta menghilang.
Sekarang aku tahu jalan mana yang harus kuikuti.
Aku harus menceritakan kisahku secara sederhana sehingga
orang yang kulihat sedang membajak dan putri kecilnya
yang ketakutan itu akan memahaminya. Karena mereka
akan selalu bersama kita. Selama naga api terbang di
langit kita, para pria akan membajak sawah dan istri-istri
serta putri-putri mereka akan menanam beras yang akan
memberi makan semua orang, betapapun tinggi atau rendahnya
kedudukan mereka.
Aku tinggal pada zaman ketika kata perdamaian hampir
tidak berarti, ketika tuan-tuan besar Jepang memperebutkan
negara itu seperti anjing memperebutkan tulang. Suatu zaman
ketika darah mengalir seperti sungai. Pada saat matahari
terbit, tak seorang pun tahu apakah ia akan tetap hidup
ketika matahari terbenam. Sebuah dunia yang penuh dengan
pengkhianatan dan kebencian, disiksa oleh kesia-siaan
manusia yang ingin menguasai orang lain sebelum mereka
belajar untuk menguasai diri mereka sendiri.
Aku lahir di perbatasan antara provinsi Shinano dan
Echigo. Ayahku bertarung dengan dua pedang samurai. Ia
pengikut penguasa Echigo, Uesugi Kenshin. Ia bukan orang
kaya melainkan seorang samurai yang bila diperlukan akan
iv
membantu menggarap tanahnya sendiri. Ia meninggal ketika
aku berusia empat tahun, tewas saat membantu majikannya
dalam pertempuran melawan penguasa Kai yang perkasa,
Takeda Shingen.
Aku akan memulai ceritaku pada hari ketika aku tidak
hanya kehilangan ayahku, tetapi juga ibu dan dua kakakku.
Badai peperangan menyapu negeri kami. Ketika semuanya
berlalu, aku satu-satunya anggota keluarga yang selamat.
Pagi itu namaku adalah Murakami. Aku seorang bushi,
putra seorang kesatria yang akan digoda dan dimanja setiap
wanita di desa itu. Sebelum matahari terbenam aku diberi
nama “Taro”, nama seorang pelayan, dan aku tidak lebih
penting daripada yang tersirat pada nama itu.
* * *
11
1
Kita Semua Lahir Dalam Darah
“Berdirilah dengan tenang, anakku.” suara iBuku terdengar keras, mencoba menyembunyikan getaran
dalam suaranya. Ia mengganti pakaianku, padahal saat
itu tengah hari, bukan waktunya untuk tidur. “Pergilah,
Dayang, dan kenakanlah pakaianmu yang paling lama.
Semakin banyak tambalan semakin baik,” perintah Ibu
kepada pembantu kecilnya, Yone, yang kelihatan pucat dan
ketakutan seolah-olah melihat hantu.
“Aku tidak mau memakai itu!” protesku sambil meng-
ulurkan tangan dengan cara yang mempersulit ibuku untuk
membantuku mengenakan pakaian kasar yang dipegangnya.
Aku tahu pakaian siapa itu. Itu pakaian anak tukang kuda
ayahku. “Baju ini bau dan terlalu besar bagiku,” rengekku.
Ibuku, yang berlutut di depanku, membiarkan baju itu
jatuh ke lantai. Pada waktu itulah kulihat ia menangis. Aku
2
mencoba menghiburnya, akan tetapi, hampir dengan marah,
ia mendorongku menjauh.
“Kau harus memakainya,” katanya, mengangkat pakaian
itu lagi. Kali ini aku membiarkan ibu memasangkan pakaian
itu padaku. Setelah aku dewasa, aku sering mencoba
menebak untuk siapakah air matanya itu. Saat itu kusangka
Ibu menangisiku, namun dunia anak-anak sangatlah kecil
sehingga mudah baginya untuk menganggap dirinyalah pusat
dunia. Kenyataannya, Ibu baru saja mengetahui kematian
suaminya—seorang teman bergegas ke desa dengan berkuda
untuk menyebarkan berita kekalahan Uesugi Kenshin dan
nasib ayahku. Apakah air mata itu demi Ayah, atau demi
ibuku sendiri? Sebelum melarikan diri lebih jauh, penunggang
kuda itu juga mengatakan bahwa sebagian besar tentara
Lord Takeda sedang menuju kemari dan akan segera tiba
di desa kami. Ibu pasti tahu nasib apa yang menantinya,
karena Takeda Shingen sangat kejam terhadap orang-orang
yang dianggapnya musuh. Kakak tertuaku berumur delapan
tahun dan ia lahir ketika Ibu berusia enam belas tahun.
Ibuku masih sangat muda untuk menghadapi kematian.
“Selesai!” Ibu mendorongku dengan lembut untuk
mengamatiku. “Kau masih anak kecil yang tampan,”
katanya sambil tersenyum dan menarikku ke dekatnya
lagi. Tepat pada saat itu Yone kembali. Ibu memberinya
isyarat agar mendekat dan berdiri di sampingku. Kemudian,
sambil berdiri, ia mengamati kami berdua dengan teliti dan
menggelengkan kepalanya.
3
“Aku akan menyembunyikan kalian di dalam Kura,”
katanya, “dan kalian tetaplah di sana dan jangan takut.”
Kura adalah gudang yang terletak di belakang rumah
kami, tempat Ayah menyimpan beras dan barang-barang
berharga lainnya. Tempat itu biasanya dikunci dan aku
tidak diizinkan bermain di sana.
“Jika mereka menemukan kalian, katakan bahwa dia
adalah adikmu.” Dengan garang ibuku menatap Yone, yang
menganggukkan kepalanya dengan patuh.
“Tapi aku bukan adiknya!” Aku menyatakan keberatanku,
tidak menyukai apa pun yang terjadi padaku. “Kita hanya
berpura-pura.” Ibu melirik kepadaku sejenak, lalu mengalihkan
perhatiannya kepada gadis itu. “Tetaplah di sana sampai
pagi. Kemudian, jika para tentara sudah pergi, pergilah ke
Arai.” Saat menyebutkan tempat kelahirannya, sebutir air
mata yang besar membasahi pipi Ibu. Ia mengusap air mata
itu dengan marah seakan air mata itu telah mengkhianatinya.
“Ayo!” Ia memerintah dan mendahului kami menuju gudang.
Jika aku memikirkannya sekarang, aku yakin rencananya
itu pasti datang dari keputusasaan, karena sesungguhnya
gudang itu adalah tempat persembunyian yang buruk.
Tempat itu tidak akan ditinggalkan tanpa tersentuh. Ibu juga
tidak memilih pendamping yang sangat bijaksana bagiku,
karena Yone adalah gadis bodoh yang tidak akan pernah
menemukan jalan ke Arai yang jauh.
“Kalian tetaplah di dalam peti ini. Jangan keluar apa
pun yang terjadi.” Ibu membuka penutup peti kayu besar
yang berisi semua harta bendanya ketika ayahku menikahi
4
dan membawanya dari rumah orangtuanya di Arai. Penutup
peti itu retak di beberapa tempat dan peti itu sudah dianggap
tidak cukup baik untuk menyimpan barang-barang di
rumah. “Ayo.” Ibu mengangkatku. Sejenak ia memeluk dan
membelaiku untuk terakhir kalinya, kemudian menurunkanku
ke dalam peti itu. “Jaga dia!” kata Ibu mengingatkan Yone
sembari menutup peti itu.
Aku duduk setenang mungkin, dengan bau beras
yang pengap di sekelilingku. Aku tidak takut. Aku bisa
mendengar napas Yone, namun ada suara lain juga; ia
menangis. Perempuan mudah menangis, aku membatin,
bahkan setelah mereka sebesar Yone. Aku hampir tidak
pernah menangis, hanya jika aku jatuh dan terluka parah,
namun Yone tidak jatuh.
Lama setelah Ibu pergi, menurutku, aku mendengar
suara kuda. Lalu terdengar teriakan banyak orang yang
disusul hiruk pikuk, dan dalam keheningan sesaat, tiba-tiba
terdengar jeritan seorang wanita. Yone, yang sulit duduk tegak
di dalam peti itu, beringsut mendekatiku. Aku bisa mencium
aroma tubuhnya. Aku lebih menyukai aroma perempuan
daripada laki-laki. Di antara bau semua perempuan, aku
paling menyukai aroma ibuku ketika ia baru saja mandi
dan memakai parfum. Lalu, aku memanjat sedekat mungkin
dengannya. Kadang-kadang perbuatanku ini mengesalkan
Ibu, dan ia memanggil salah seorang dayangnya untuk
membawaku pergi. Seseorang menggedor pintu kura, namun
pintu gudang itu kokoh. Yone berpindah begitu dekat
denganku sehingga ia dapat merangkul dan memelukku.
5
Tubuhnya gemetar dan itu mengejutkanku karena udara
sama sekali tidak dingin.
Orang-orang yang menggedor pintu kura itu pergi,
dan kembali lagi. Kali ini mereka merusak kuncinya. Saat
itu, untuk pertama kalinya, aku merasa sangat ketakutan.
Sebelumnya aku menganggap semua itu hanya permainan
antara Ibu dan aku. Namun, entah kenapa suara palu yang
memukul-mukul kunci kura itu membuatku menyadari bahwa
yang terjadi saat itu sangat, sangat serius.
“Mereka akan membunuh kita,” bisik Yone di telingaku
sambil tersedu untuk mencoba mengendalikan air matanya.
Namun ketika mendengar kunci kura itu patah dan pintu
terayun terbuka, semua harapan untuk membendung air
matanya itu lenyap. Ia pun meratap, seolah-olah sudah
merasakan sebilah pisau menempel di lehernya, “Aku tidak
ingin mati!”
“Apa yang kita temukan di sini?” Terdengar suara parau
bertanya ketika tutup peti itu terbuka. “Keluar!” perintah
suara itu. Pada saat yang sama dua tangan menyambar
telinga kami dan menyeret kami ke luar. Prajurit itu
memandang kami sejenak, seolah-olah berdebat dengan
dirinya sendiri apakah ia harus membunuh kami. Begitu
banyak orang meninggal hari itu sehingga seorang anak
dan seorang gadis pelayan tidak akan berarti. Mungkin
ia telah lelah membunuh—bahkan membunuh bisa juga
melelahkan—karena ia tidak menghunus pedangnya. Ia
memberi isyarat dengan gerakan kepalanya bahwa kami
harus mengikutinya.
6
Pekarangan di belakang rumah penuh dengan tentara.
Beberapa berbaring beristirahat, yang lainnya sedang diobati
luka-lukanya. Aku tidak harus didorong untuk berlari ke
rumah, berharap akan menemukan ibuku. Ibu memang ada di
sana, tergeletak dalam kubangan darah, mati! Pertama-tama
aku mengenali kimononya meskipun pakaian itu jarang ia
kenakan. Kimono itu satu-satunya sutra yang ia miliki. Ia
pasti mengenakannya setelah menyembunyikan Yone dan aku.
Di samping Ibu, terbaring tubuh kedua kakakku yang sudah
tak bernyawa. Di dekat pintu masuk ke kamar, tergeletak
mayat dua wanita pelayan ibuku. Aku tahu yang terjadi
kemudian mungkin tampak tidak alamiah, yaitu bahwa
aku tidak berteriak atau menangis melihat pemandangan
semacam itu. Aku memang tidak melakukannya dan hal
itu mungkin menyelamatkan nyawaku. “Siapa mereka?”
Aku berbalik ke arah asal suara itu. Seorang pria
yang kelihatan kekar, kuat, serta mengenakan baju besi,
topi bajanya tergeletak di sampingnya, sedang minum teh
bersama perwira lain, yang berpakaian biru dan mengenakan
selendang putih.
“Saya menemukan mereka bersembunyi di sebuah peti,”
ungkap prajurit yang berdiri tepat di belakang kami.
“Anak ini adikku,” kata Yone meratap.
“Kau berbohong,” kata pria kekar itu tanpa basa-basi.
Yone dengan patuh menganggukkan kepalanya. “Siapa
anak ini?”
“Anak termuda majikan kami,” jawab seorang wanita
tua, yang telah melayani ayahku sejak ia masih kecil, dengan
7
suara sedih. Pelayan itulah yang menyiapkan teh yang sedang
diminum kedua pria itu.
“Tiga anak laki-laki! Dia pria beruntung,” kata perwira
berbadan kekar itu.
“Sampai hari ini.” Orang berpakaian biru itu tersenyum
lalu menoleh kepada prajurit tadi. Ia bertanya, “Berapa
banyak beras yang ada di gudang?”
“Lebih dari yang dapat dibawa lima puluh ekor kuda.”
Berita ini tampaknya membuat kedua laki-laki itu
senang, karena mereka tersenyum. Dalam kura ayahku
tersimpan tidak hanya berasnya sendiri, tetapi juga beras
yang dikumpulkannya sebagai pajak bagi tuannya, sang
penguasa Echigo, Uesugi Kenshin.
Salah satu dari kedua orang itu memberi isyarat ke
arahku sembari memandang prajurit itu dengan penuh arti.
Meskipun usiaku belum genap lima tahun, aku memahami
arti perintah tak terucap itu. Aku melompat ke sudut
ruangan tempat aku menyimpan pedang bambu pemberian
Ayah. Setelah aku menggenggam pedang itu, aku berbalik
ke arah prajurit itu dengan memasang kuda-kuda untuk
membela diri.
Perbuatanku ini membuat kedua perwira itu tertawa.
Perwira yang kekar itu tertawa begitu keras sehingga badannya
berguncang-guncang. Karena tidak tahu apa yang harus
dilakukan selanjutnya, prajurit itu berdiri dengan ragu-ragu,
menunggu perintah lebih lanjut.
“Ia benar-benar putra seorang samurai,” seru perwira
yang berpakaian biru.
8
“Akiyama!” Perwira yang kekar itu menggerakkan
kepalanya ke arahku. “Tangkap anak ini dan aku akan
memberikannya kepadamu sebagai hadiah.”
Perwira bernama Akiyama berdiri. Sambil memandangku
dengan tatapan orang yang terbiasa perintahnya dipatuhi,
ia berkata, “Kemarilah, Bocah!”
Untuk sesaat aku ragu, namun kemudian memutuskan
bahwa ia tidak membahayakan bagiku. Sambil meletakkan
pedang bambuku, aku berjalan ke arahnya, tatapanku tetap
pada wajahnya.
“Siapa namamu?” tanyanya.
“Murakami,” jawabku, menggunakan nama keluargaku.
“Kau bisa memilikinya, namun bukan sebagai Murakami,”
sela perwira yang kekar itu. Sambil berpaling kepadaku
ia berkata, “Jika kau ingin tetap memakai nama itu, kau
tidak boleh memiliki kepalamu.” Ia memandang pedangnya
seolah-olah menimbang-nimbang untuk menghunusnya.
“Aku akan memanggilnya ‘Taro’.” Samurai yang bernama
Akiyama itu menyeringai. “Ia bisa mengurus kudaku setelah
ia dewasa.” Sejenak Akiyama menarikku ke dekatnya.
Kurasa ia menduga aku akan bersikeras menggunakan nama
keluargaku karena aku memilih kebanggaan daripada akal
sehat meskipun itu bisa berarti kehilangan kepala.
“Pergilah, Dayang, dan bawa anak itu denganmu. Tunggu
aku di luar,” perintahnya kepada Yone, yang hampir pingsan
karena ketakutan. Akiyama menyuruh pergi prajuritnya
saat itu juga.
9
“Itu Takeda Shingen, penguasa terbesar dan terkuat di
seluruh Jepang,” kata prajurit itu dengan kekaguman dalam
suaranya. Pada saat yang sama, ia mempertimbangkan
perilakunya sendiri dengan hati-hati dan bertanya-tanya
apakah memang sudah pas.
“Dan siapa yang satu lagi?” tanyaku sambil duduk di
tangga kayu yang menuju rumah orangtuaku.
“Seorang kapten yang hebat, penguasa Akiyama.
Namanya Nobutomo. Kau anak yang beruntung karena
menjadi pelayannya.”
“Kenapa ia tidak membiarkan aku memakai namaku
sendiri?” tanyaku.
“Oh, jika ia melakukannya, kau mungkin akan menuntut
hakmu atas tempat ini suatu hari nanti.” Tentara itu melihat
sekeliling, seolah-olah bertanya-tanya siapa samurai yang
telah membantu Lord Takeda atas kemenangan itu, yang
akan dihadiahi rumah ayahku.
“Selalu menjadi tindakan yang terbaik untuk membunuh
seluruh keluarga musuh dan tidak menyisakan satu pun.”
Tentara itu mengangguk dengan bijaksana.
“Mengapa mereka membunuh dua perempuan yang
melayani Nyonya?” Suara Yone masih bergetar, namun ia
sudah tidak menangis.
“Untuk menghormati ibu bocah ini, mungkin.” Tentara
itu telah kehilangan minat pada kami. Saat melihat seorang
teman, ia pergi, setelah mengingatkan kami untuk tetap
berada di tempat kami duduk sekarang.
10
Di sana kami duduk, dayang Yone dan kacung Taro,
sampai matahari terbenam. Kami diberi bubur gandum berair
untuk dimakan dan dibawa ke suatu tempat di gudang
di mana kami bisa tidur malam itu. Malam sebelumnya,
ibuku mengganti pakaianku dan aku tidur di sampingnya
di bawah selimut lembut yang sama. Malam itu, tempat
peristirahatanku lebih pas digunakan sebagai kandang untuk
seekor anjing.
* * *
1111
2
Perjalanan ke Kofuchu
di dinding kasar gudang itu, dua ekor lalat meramBat naik dan turun seolah-olah ada tujuan atas pengem-
baraan mereka. Aku mengamati mereka, bertanya-tanya
mengapa mereka tidak jatuh. Aku mengkhayal bahwa salah
satu dari mereka adalah aku dan yang satunya Yone. Saat
itu masih pagi sekali. Meskipun matahari sudah terbit, aku
menduga sekarang masih sekitar pukul 3–5 pagi. Aku sudah
lama bangun, mendengarkan suara-suara dari luar. Beberapa
prajurit sudah pergi. Aku mendengar suara kaki kuda-kuda
mereka saat para penunggangnya menyuruh binatang-binatang
itu berlari-lari kecil. Sekarang lalat-lalat itu berada di udara,
berputar-putar di atas kepalaku. Betapa enaknya jika bisa
terbang! Jika demikian, ibuku dan aku bisa terbang jauh
kemarin dan ia pasti masih hidup.
Berbaring sedekat mungkin denganku, Yone mendengkur,
mulutnya sedikit terbuka. Aku membayangkan betapa jauh
lebih cantiknya ibuku ketika tidur. Salah seekor lalat mendarat
12
di hidung Yone dan mulai membersihkan sayapnya dengan
kaki-kakinya. Yone mendengus dengan kesal. Lalat itu
menghentikan rias-paginya dan terbang menjauh. Tiba-tiba
terdengar suara dari luar dan gadis itu terbangun sambil
menjerit lirih. Ketika ia duduk dan melihatku, ia menutupi
mulutnya dengan tangan.
“Aku lapar!” kataku, permintaan yang selalu membuat
makanan dibawa kepadaku. Yone menatap dengan ketakutan
ke arah pintu yang menyembunyikan dan melindungi kami
dari bahaya di luar. Aku mengulangi perintahku karena
aku masih putra bushi dan Yone adalah pelayan kecilku.
Yone menarik terbuka pintu itu dan melihat ke luar.
Aku juga ingin melihat, namun ia mendorongku ke belakang.
“Kau tinggal di sini dan jangan membuat suara,” kata Yone
mengingatkan. Aku tercengang karena ia berbicara kepadaku
seolah-olah aku memang adiknya. Lalu, sebelum aku sempat
memprotes, ia sudah menyelinap keluar dan menutup pintu
di belakangnya. Begitu gadis itu pergi, aku berharap aku
tidak meminta makanan dan menyuruhnya pergi. Begitu
ditinggalkan sendirian, aku menjadi ketakutan. Semua yang
telah terjadi kemarin kembali menjadi nyata.
Ada dua papan di dinding yang tidak cocok jika
dipasang bersebelahan dan meninggalkan celah di tempat
aku bisa mengintip. Halaman di belakang rumah kami masih
dipenuhi prajurit. Mereka adalah petani miskin yang harus
mengikuti samurai yang menjadi tuan mereka. Tidak ada
yang kulihat membawa pedang samurai. Hal ini membuat