tetanus- jessi - blok 12

Upload: cincinthia

Post on 07-Jan-2016

248 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

.

TRANSCRIPT

Anamnesis

Anamnesis adalah seuatu pemeriksaan yang dilakukan melalui suatu percakapan antara seorang dokter dan pasien secara langsung atau melalui perantara orang lain yang menfetahui kondisi pasien dengan tujuan untuk mendapatkan data pasien berserta permasalahan medisnya. Apabila anamnesis dilakukan dengan cermat maka informasi yang didapatkan sangat berharga untuk menegakan suatu diagnosis. Berdasarkan anamnesis yang baik dokter akan menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut.

1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan diagnosis)

2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan pasien (diagnosis banding)

3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor predisposisi dan faktor risiko)

4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)

5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor prognostik, termasuk upaya pengobatan)

6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan diagnosisnya

Gejala klinisMasa inkubasi (masa antara terjadinya perlukaan sampai timbulnya gejala klinis pertama) 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa minggu). Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )

2. Cephalic Tetanus ( Tetanus Sefalik)3. Generalized tetanus (Tctanus umum) 4. Neonatal tetanus.Tetanus memiliki beberapa karakteristik yaitu: Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.

Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya

Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.

Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot masetter.

Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )

Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .

Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan

Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.

Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit sedang, tekanan darah 130/80 mmHg, denyut nadi 88x/menit, frekuensi nafas 28x/menit, suhu 38,8o C, trismus, terdapat kekakuan pada wajah, leher dan anggota gerak. Perut kaku seperti papan dan telapak kaki kanan bengkak dan kulit tegang kemerahan. Pada telapak kaki kanan juga ditemukan luka tusuk yang dalam dan bernanah.Definisi

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang berasal dari Clostridium tetaniDiagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi

Working Diagnose

Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Namun demikian, C. Tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus sering tidak dapat ditemukan dari luka pasien tetanus, kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus. Lekosit mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil yang normal. Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non spesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram. Enzim otot mungkin meningkat. Kadar antitoksi serum 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadar antitoksin yang protektif.

Different Diagnose

Diagnosis diferensialnya mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabkan trismus, seperti abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik (misalnya terhadap fenotiasin dan metoklorpramid) tetanus hipokalsemik, dan perubahan-perubahan metabolik dan neurologis pada neonatal. Kondisi-kondisi lain yang dikacaukan dengan tetanus meliputi meningitis/ ensefalitis, rabies dan proses intraabdominal akut (karena kekakuan abdomen). Meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah, leher dada, punggung dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme generalisata dan tidak terlibatnya tangan dan kaki secara kuat menyokong diagnosa tetanus.

Patogenesis

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus, seperti luka laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka bakar, luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan, dan sebagainya. Pada 60% dari pasien tetanus porte dentre (jalan masuknya kuman) tertdapat di daerah kaki, terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus juga dapat terjadi melalui uterus sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir, Clostridium tetani dapat masuk melalui umbilicus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis antisepsis. Otitis media atau gigi yang berlubang dapat dianggap sebagi porte dentre bila pasien tetanus tersebut tidak ditemukan luka yang diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman tetanus.

Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetative bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemmudian mengeluarkan eksotoksin. Kuman tetanus ini akan tetap tinggal didaerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin

Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah, tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung, melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri atas protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin ini mungkin mencangkup lebih dari 5 % dari berat organism. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Terdiri dari dua rantai ganda yaitu rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) yang dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecahkan oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfide yang mienghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari rantai berat terikat pada membrane saraf dan ujung amino yang memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari neutron yang dipengaruhi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan dibawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membrane ujung saraf local. Jika toksin yang dihasilkan banyak , ia dapat memasuki akiran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar dan di transportasikan dalam axon dan secara retrogred ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal.

Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, kemudian ke saraf sensorik dan saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan mempengaruhi ken euro didekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal retrogred lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang otak dan otak tengah.

Setelah internalisasi ke dalam neouron inhibitori, ikatan sulfide yang menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin yang dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein membrane yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neurotransmitter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegah pelepasan neurotransmitter.

Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin ini menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade pelepasan neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh dari pada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler.

Aliaran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik oada korda dan batang otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Reflex inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara stimulan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat faktur atau rupture tendon. Otot rahang, wajah dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek.

Aliran impouls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya control otonomik dengan aktifitas berkebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan.

Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.

Pada teanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal.

Manifestasi KlinisManifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.

Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:

a. Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.

b. Tetanus sefal

Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.

c. Tetanus umum

Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupaberupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada danperut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakitdan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi denganrangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yangtetap baik.

d. Tetanus neonatorum

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidakmendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalahketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuandan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggungmenyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayimempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekapdada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawahhiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolapssirkulasi dan kegagalan jantung paru.

Derajat keparahan

Terdapat beberapa tingkat keparahan (Phillips, Dakar,Udwadia). Sistem yang paling sering dipakai yaitu sistem dari Ablett. Klasifikasi beratnya tetanus oleh Abllet:

1. Derajat I (ringan)

Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, tidak ada atau sedikit disfagia atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.

2. Derajat II (sedang)

Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi pernapasan lebih dari 30, disfagia ringan.

3. Derajat III (berat)

Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, frekuensi pernapasan lebih dari 40, disfagia berat, takikardia lebih dari 120 dan peningkatan aktivitas sistem otonomi

4. Derajat IV (sangat berat)

Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.

Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.Etiologi

Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Habitat alam dari Clostridium tetani yaitu di tanah tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang piliharan dan manusia. Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak, dan merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahati dan bersifat resisten terhadap beberapa desinfektan dan pendidihan slema 20 menit. Spora bakteri ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidhkan, tetapi dapat dieliminasi dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120oC selama 15 menit. Sel yang terinfeksibakteri ini dengan mudah dapat diinaktifkan dan bersifat sensitive terhadap beberapa antibotik (metronidazol, penicillin dan lainnnya). Clostridium tetani menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin yang dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi dibawah kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua toksin yang paling kuat yaitu batulinum dan toksin tetanus secara parsial bersifat homolog. Peranan toksin di dalam tubuh organisme belum jelas diketahui. DNA toksin ini mengandung dalam plasmid. Adanya bakteri yang belum tentu mengindikasikan infeksi, karena tidak semua strain mempunyai plasmid.

Gambar 1.1 Clostridium tetani

Terapi dan PenatalaksanaanA. Umum

Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :

1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:

-membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam

hal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.

2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan

membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.

3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita

4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.

5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolitB. Farmakologi Obat-Obatan yang Biasa Dipakai pada Tetanus

1. Diazepamin. Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bentukan limbik dan retikular, mungkin dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmiter inhibitori utama.a. Dosis dewasa

Spasme ringan: 5-10 mg oral tiap 4-6jam apabila perlu

Spasme sedang: 5-10 mg intravena apabila perlu

Spasme berat: 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg per jam

b. Dosis pediatrik

Spasme ringan: 0,1-0,8 mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiga kali atau empat kali sehari

Spasme sedang-berat: 0,1-0,3 mg/kg/hari intravena tiap 4-8 jam

c. Kontraindikasi: hipersensitivitas, glaukoma sudut sempit.

d. Interaksi

Toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat meningkat apabila dipergunakan bersamaan dengan alkohol, fenothiazin, barbiturat, dan MAOI; cisapride dapat meningkatkan kadar daizepam secraa bermakna.

e. Kehamilan: kriteria D tidak aman pada kehamilan.

f. Perhatian: hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan sistem saraf pusat yang lain, pasien dengan kadar albumin yang rendah atau gagal hati karena toksisitas diazepam dapat meningkat

2. Fenobarbital. Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi pernafasan. Jika pada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan.

a. Dosis dewasa: 1 mg/kg intramuskuler tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari.

b. Dosis pediatrik: 5 mg/kg intravena/intramuskuler dosis terbagi 3 atau 4 hari.

c. Kontraindikasi: hipersensitifitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru berat, dan pasien nefritis.

d. Interaksi: dapat menurunkan efek kloranfenikol, digitoksin,kortikosteroid, karbamazepin, teofilin, verapamil, metronidazol, dan antikoagulan (pasien yang telah mendapatkan antikoagulan harus ada penyesuaiandosis; pemberian bersamaan dengan alkohol dapat menyebabkan efek aditif ke sistem saraf pusat dan kematian; kloramfenikol, asam valproat dan MAOI dapat menyebabkan meningkatnya toksisitas fenobarbital; rifampisin dapat menurunkan efek fenobarbital; induksi enzim mikrosomal dapat menurunkan efek kontrasepsi oral pada wanita)

e. Kehamilan: kriteria-D tidak aman pada kehamilan.

f. Perhatian: pada terapi jangka panjang, monitor fungsi hati, ginjal dan sistem hematopoitik; hati-hati pada demam, diabetes melitus, anemia berat, karena efek samping dapat terjadi; hati-hati pada miastenia gravis dan miksedema.

3. Baklofen. Baklofen intratekal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infus diazepam. Baklofen intratekal 600 kali lebih poten daripada baklofen per opsi. Injeksi intratekal berulang bermanfaat untuk mengurangi durasi ventilasi buatan dan mencegah intubasi. Mungkin berperan dengan menginduksi hiperpolarisasi dari ujung aferen dan menghambat refleks monosinaptik dan polisinaptik pada tingkat spinal. Keseluruhan dosis baklofen diberikan sebagai bolus injeksi. Dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali terjadi. Pemberian baklofen secara terus-menerus telah dilaporkan pada sejumlah kecil pasien tetanus.

a. Dosis dewasa: 55th: 800 mcg IT

b. Dosis pediatrik: 16th: seperti dosis dewasa

c. Kontraindikasi: hipersensitifitas

d. Interaksi: analgesik opiat, benzodiazepin, alkohol, TCAs, Guanabens, MAOI, klindamisin, dan obat antihipertensi dapat meningkatkan efek baklofen.

e. Kehamilan: C-keamanan penggunaanya pada wanita hamil belum diketahui.

f. Perhatian: hati-hati pada pasien dengan disrefleksia otonomik.

4. Dantrolen. Dantrolen menstimulasi relaksasi otot dengan memodulasi kontraksi otot pada darah setelah hubungan myoneural dan dengan aksi langsungnya pada otot. Belum disetujui oleh FDA untuk dipergunakan pada tetanus tetapi telah dilaporkan pada sejumlah kecil kasus.

a. Dosis dewasa: 1 mg/kg/ intravena selama 3jam, diulang tiap 4-6 jam apabila perlu.

b. Dosis pediatrik: 0,5 mg/kg intravena dua kali sehari pada permulaan, dapat ditingkatkan sampai 0,5 mg/kg intravena 2 atau 4 kali sehari dengan tidak melebihi 100 mg 4 kali sehari.

c. Kontraindikasi: hipersensitifitas,penyakit hati aktif (hepatitis, sirosis).

d. Interaksi: toksisitas meningkat apabila diberikan bersamaan dengan klofibrat dan warfarin; pemberian berasama dengan estrogen dapat meningkatkan hepatotoksisitas pada wanita di atas 35 tahun.

e. Kehamilan: kriteria C-kemanasan penggunaanya pada wanita hamil belum diketahui.

f. Perhatian: dapat menyebabkan hepatotoksisitas; hati-hati pada gangguan fungsi paru dan insufisiensi kardiak berat, dapat menyebabkan fotosensitifitas terhadap paparan matahari.

5. Penisilin G. Berperan dengan menggangu pembentukan polipeptida dinding otot selama multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikroorganisme yang rentan. Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar penisilin intravena dapat menyebabkan anemia hemolitik, dan neurotoksisitas. Henti jantung telah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan dosis masif penisilin G.

a. Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari intravena terbagi dalam 4 dosis.

b. Dosis pediatrik: 100.000-250.000 U/kg/hari intravena/intramuskuler dosisterbagi 4 kali/hari.

c. Kontraindikasi: hipersensitivitas.

d. Kehamilan: kriteria B-biasanya aman, ettapi dipergunakan apabila manfaatnya melebihi resiko yang mungkin terjadi.

e. Perhatian: hati-hati pada gangguan fungsi ginjal.

6. Metronidazol. Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat diabsorpsi ke dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan metronidazol sebagai antibiotika pada terapi tetanus karena penisilin G juga merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat efek toksin.

a. Dosis dewasa: 500 mg peroral tiap 6 jam atau 1 g intravena tiap 12 jam, tidak lebih dari 4 g/hari.

b. Dosis pediatrik: 15-30 mg/kgBB/hari intravena terbagi tiap 8-12 jam tidak lebih dari 2 g/hari.

c. Kontraindikasi: hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan.

d. Kehamilan: kriteria B-biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya melebihi resiko yang mungkin terjadi.

e. Perhatian: penyesuaian dosis pada penyakit hati, pemantauan kejang dan neuropati perifer.

7. Doksisiklin. Menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri dengan pengikatan pada sub unit 30s atau 50s ribosomal dari bakteri yang rentan. Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari.

a. Dosis dewasa: 100 mg per oral/intravena tiap 12 jam.

b. Dosis pediatrik: 10 tahun: seperti dosis dewasa.

c. Kontraindikasi: hipersensitifitas, miastenia gravis dan sindroma yang berkaitan.

d. Interaksi: apabila vekuronium dipergunakan bersama dengan anestesi inhalasi, blokade neuromuskuler diperkuat, gagal hati dan gagal ginjal serta penggunaan steroid secara bersamaan dapat menyebabkan blokade berkepanjangan walaupun obat telah distop.

e. Kehamilan: kriteria C-keamanan penggunaan pada kehamilan belum diketahui.

f. Perhatian: pada miastenia gravis atau sindroma miastenik, dosis kecil vekuronium mungkin akan memberikan efek yang kuat.

PrognosisFaktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi periode awal pengobatan imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai, beratnya penyakit, dan penyulit yang timbul. Masa inkubasi dan periode onset merupakan faktor yang menentukan prognosis dalam klasifikasi Cole dan Spooner.

Tabel.1.1 Klasifikasi prognostik menurut Cole-Spooner

Kelompok prognostikPeriode awalMasa inkubasi

I< 36 jam< 6 hari

II>36 jam> 6 hari

IIITidak diketahuiTidak diketahui

Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I mempunyai angka kematian lebih tinggi daripada kelomp[ok II dan III. Perawatan intensif menurunkan angka kematian akibat kegagalan napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup ternyata juga menurunkan angka kematian. Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun, angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia>50 tahun angka kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus umum.

Sistem SkoringSkor 1Skor 0

Masa inkubasi>7 hari

Awitan penyakit>48 jam

Tempat masukTali pusat, uterus, fraktur terbuka, postoperatif, bekas suntikan IMSelain tempat tersebut

Spasme(+)(-)

Panas badan (per rektal)> 38,40C (> 400C) 150 x/menit

Dikutip dari Habermann, 1978, Bleck, 1991

Tabel klasifikasi untuk prognosis TetanusTingkatSkorPrognosis

Ringan0-1

Sedang2-310 20

Berat420 40

Sangat berat5-6> 50

Catatan : Tetanus sefalik selalu dinilai berat atau sangat berat

Tetanus neonatorum selalu dinilai sangat beratEpidemiologiTetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal mempertahankan imunitas seecara adekuat dengan vaksin ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani seluruh dunia terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang, sering terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan negara-negara lain di benua Asia. Penyakit ini umum terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat, selama musim panas. Pada negara-negara tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonates dan anak-anak.Pencegahan

Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh dikarenakan toksin yang masuk kedalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).

Ada beberapa kejadian dimana dijumpai natural imunitas. Hal ini diketahui sejak Clostridium tetani dapat diisolasi dari tinja manusia. Mungkin organisme yang berada didalam lumen usus melepaskan imunogenic quantity dari toksin. Ini diketahui dari toksin dijumpai anti toksin pada serum seseorang dalam riwayatnya belum pernah di imunisasi, dan dijumpai/adanya peninggian titer antibodi dalam serum yang karakteristik merupakan reaksi secondary imune response pada beberapa orang yang diberikan imunisasi dengan tetanus toksoid untuk pertama kali.

Dengan dijumpai natural imunitas ini, hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi, seperti yang semestinya terjadi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi tidak lengkap/ tidak terlaksana dengan baik.

Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan

satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT )Daftar pustaka

1. Sudoyo W.Aru, et al. Buku Ajar IPD. Edisi ke-5. Jakarta: Departemen IPD FK UI; 2006.h. 2911-23

2. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;2005.h.21-4.

3. Gillespie S, Bamford K. At a Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi. Edisi ke-3. Jakarta: Erlangga.4. Gunawan S. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapi FK UI;2007.

5. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS,Bandung, 2005 ; 209-213.

6. Arnon SS. Tetanus dalam Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) Nelson Textbook of pediatrics, 17 ed. Philadelphia, Saunders, 2004.p.951.7. Brook I, tetanus dalam Long SS, Pickering LK, Preber CG. Churchill livingstone, New York, 2nded, 2003.p.981.