tetanus

57
BAB I PENDAHULUAN Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang ditunjukkan dengan gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan, dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin kuman spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani yang dapat berakibat fatal (kematian). 1,2 Tetanus merupakan salah satu penyakit yang umumnya jarang, namun berkontribusi cukup penting dalam hal penyebab kematian di dunia. Tingginya tingkat mortalitas pada penyakit ini dan sering terjadi pada negara berkembang. Diperkirakan sekitar 800.000 – 1.000.000 kematian tiap tahunnya akibat tetanus. Saat ini dengan penanganan intensive care mampu mencegah tingginya kematian akibat gagal napas, tetapi komplikasi kardiovaskular dan penyebab kematian lainnya masih problematik. 3 Pencegahan dapat

Upload: nadia-andriani-maizalius

Post on 27-Sep-2015

15 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Tetanus

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang ditunjukkan dengan gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan, dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin kuman spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani yang dapat berakibat fatal (kematian).1,2

Tetanus merupakan salah satu penyakit yang umumnya jarang, namun berkontribusi cukup penting dalam hal penyebab kematian di dunia. Tingginya tingkat mortalitas pada penyakit ini dan sering terjadi pada negara berkembang. Diperkirakan sekitar 800.000 1.000.000 kematian tiap tahunnya akibat tetanus. Saat ini dengan penanganan intensive care mampu mencegah tingginya kematian akibat gagal napas, tetapi komplikasi kardiovaskular dan penyebab kematian lainnya masih problematik.3 Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif tetanus toksoid, higenitas persalinan yang baik, dan manajemen perwatan luka yang adekuat, oleh karena pencegahan dan penatalaksanaan yang adekuat dapat menurunkan tingkat mortalitas pada pasien tetanus.1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tetanus

2.1.1 Definisi

Tetanus merupakan suatu gangguan neuromuskuler akut berupa peningkatan tonus otot dan spasme yang disebabkan oleh eksotoksin spesifik (tetanospasmin) dari kuman anaerob Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal. 1,2

2.1.2 Mikrobiologi

Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat dimana- mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang peliharaan dan manusia.1,2,3 Kuman ini mudah dikenal karena pembentukan spora yang khas, ujung sel menyerupai ujung tongkat pemukul gendering atau raket squash. Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak, dan merupakan bakteri anaerob obligat yang mengahsilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari, spora ini terdapat pada tanah debu serta tahan terhadap pemanasan 1000C, dan bahkan pada otoklaf 1200C selama 15-20 mnt, dari berbagai studi yang berbeda spora ini tidak jarang ditemukan pada feses manusia, fesef kuda, anjing, dan kucing toksin diproduksi dalam bentuk vegetatifnya.1,2,3 dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan untuk memblokade perlepasan neurotransmiter. Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua toksin tetanus secara parsial bersifat homolog. 3

Gambar 1. Clostridium Tetani4

Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi tetanolysin tidak diketahui dengan pasti. Tetanoospasmin adalah neurotoksin dan menyebabkan manifestasi klinis tetanus. Berdasarkan beratnya, tetanospasmin adalah salah satu toksin yang paling kuat dikenal. Perkiraan dosis mematikan manusia minimum adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan manusia.1,2

2.1.3 Epidemiologi

Tetanus terjadi di seluruh dunia tetapi yang paling sering ditemui di daerah-daerah padat penduduk, tempat yang panas, iklim lembab dengan tanah kaya akan bahan organik. Organisme ditemukan terutama di tanah dan usus saluran hewan dan manusia.5

Gambar 2. Penyebaran kasus tetanus di USA (2001-2008)5

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia.6

Transmisi terutama oleh luka yang terkontaminasi (dengan atau tanpa gejala), baik itu luka besar ataupun kecil. Data-data terbaru melaporkan bahwa proporsi yang lebih tinggi dari pasien memilikiluka ringan, mungkin karena luka berat lebihdikelola dengan baik. Tetanus bisa didapat oleh tindakan operasi, luka bakar, luka tusukan yang dalam, luka robek,otitis media (infeksi telinga), infeksi gigi, gigitan hewan,aborsi, dan kehamilan.3

Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian pada semua kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000 (85%). Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi.5,6,7

2.1.4 Patogenesis

Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. 1,2

Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom. 1,2,3,6

Tetanosapsmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Tokisn ini merupakan polipeptida rantai gnada dengan berat 150.000Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karbooksil dari rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmiter dari neuon yang dipengarugi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika otkisn yang dihasilkan banyak, ia dpat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal.1,2,3

Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal retroged lebih jauh terjadi dengan meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak jelas. 1,2,3

Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neuritransmiter. Sinaptobrevin merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neuritransmiter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegah perlepasan neurotrnasmiter. 1

Gambar 3. Mekanisme neurotoksin botulinum7

Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin menyebarangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan neurotransmiterinhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, myopati yang terjadi setelah pemulihan.1,3

Aliran efek yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat. 1,3

Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya kontrol otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan, Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Penulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama. Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urutan keterlibatan serabut sarafdi kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata. 1,3

Sistem pernapasan

Rigiditas otot dan spasme dari dinding dada, diafragma, dan abdomen dapat mengakibatkan defek restriktif. Spasme faring dan laring juga sebagai penyebab gagal napas. Penurunan mekanisme pertahanan tubuh berupa batuk oleh karena rigiditas, spasme dan efek sedasi memungkinkan terjadi atelektasis dan meningkatnya resiko pneumonia. Ketidakmampuan menelan dari adanya saliva berlebihan dan sekresi mukus brochial, adanya spasme laring, penigkatan tekanan intrabdominal, sering menyebabkan aspirasi. Dapat terjadi ketidakefektifan dari ventilasi sehingga konsekuensinya dapat terjadi hipoksia sedang hingga berat.3

Sistem kardiovaskular

Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena adanya kendala etik, perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi, serta pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropic mempersulit penilaian dari hasil penelitian.

Renal

Pada kondisi tetanus derajat berat dapat mengakibatkan penurunan dari laju filtrasi glomerulus dan menurunnya fungsi tubulus ginjal. Penyebab paling sering dari gagal ginjal dalam hal ini adalah adanya dehisrasi, sepsis, rhabdomiolisis, perubahan dari aliran darah ginjal oleh katekolamin. Dapat juga terjadi karena poliuri atau oliguria, oleh adanya instability autonomic. Dari gambaran histologi menunjukkan normal atau adanya nekrosis tubular akut.3

Gangguan Metabolik

Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin.

Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolism anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.

2.1.5 Manifestasi klinis

Tetanus biasanya berhubung dengan adanya fokal luka. Kontaminasi luka terhadap tanah, pupuk, besi berkarat dapat menimbulkan tetanus. Dapat juga berasal dari luka bakar, ulkus, ganggren, luka gigitan ular, otitis media, sepsis aborsi, proses kelahiran, injeksi intramuskular, dan pembedahan. Keadaan ini biasa terjadi pada luka ringan mencapai lebih dari 50% karena tidak cukup dalam hal penanganan luka tersebut.3

Masa inkubasi kuman tetanus berkisar antara tiga sampai dengan empat minggu, kadang berlangsung lama rata-rata delapan hari. Berat penyakit berhubungan erat dengan masa inkubasi. Tetanus dapat timbul sebagai tetanus local, terutama orang yang telah mendapat imunisasi gejalanya berupa kaku persisten pada kelompok otot didekat luka yang terkontaminasi basil tetanus. Kadang-kadang pada trauma kepala timbul tetanus lokal tipe sefalik. Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut saraf kepala yang terkena ( N III,IV,V,VI,VII,IX,X dan XII ) kita sebagai dokter harus memperhatikan apabila adanya kaku otot di sekitar luka mungkin merupakan gejala tetanus. Yang paling sering terjadi adalah tetanus umum gejala pertama yang dilihat dan terasa oleh pasien adalah kaku otot masseter yang menggakibatkan gangguan membuka mulut (trismus) selanjutnya timbul opistotonus yang disebabkan oleh kaku kuduk, kaku leher dan kaku punggung. Selain dinding perut mejadi seperti papan, tampak sirdus sardonikus karena kaku otot wajah dan keadaan kekakuan ektrmitas dan penderita terganggu dengan proses menelan. 1,2,8

Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar, dan berkeringat sering di jumpai pada umumnya ditemukan demam serta bertambahnya frekuensi napas, kejang otot yang merupakan kekakuan karena hipertonus dan tidak bersifat klonus dapat timbul karena rangsangan yang lemah, seperti bunyi-bunyian, dan cahaya selama sakit, sensorium tidak terganggu sehingga hal tersebut menimbulkan penderitaan terhadap pasien karena merasa nyeri akibat kaku otot, dan dapat pula timbul gangguan pernapasan yang menyebabkan anoxia dan kematian. Penyebab kematian pada penderita tetanus merupakan kombinasi berbagai keadaan seperti kelelahan otot napas dan infeksi sekunder di paru yang menyebabkan kegagalan pernapasan serta gangguan keseimbagan cairan dan elektrolit.1,2,8

Tetanus generalisata

Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari. 1,2

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan dan menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat berlangsung secara beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tibuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh. 1,2

Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik. Kontraksi otot ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur ata ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal napas. Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan obsktruki jalan napas akut yang mengancam nyawa.

Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot di seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijmpai. Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang. Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus lokal yang berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya, daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan mortalitasnya tinggi.

Badai autonomik terjadi dengan adanya instabilitas kardiovaskular yang tampak nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat, bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat perubahan resistensi vaskular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan kekuatan jantung. Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain mencakup salivasi profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare, dan gagal ginjal curah tunggi (high output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan otonomik. 1,2

Tetanus neonatorum

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan setelah potongan tali pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Diantara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.1,2

Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada tempat yang berhubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun demikian secara umum prognosismya baik. 1,2

Tetanus sefalik

Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi. 1,2

2.1.6 Perjalanan klinis

Masa inkubasi berkisar antara 3-21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada tetanus neonatorum, gejala biasanya muncul 4-14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari. Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekauan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu samapi 4 minggu. 1,2,3

2.1.7 Derajat Keparahan Tetatus

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan yang dilaporkan. Seperti skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Namun sistem yang paling sering dipakai adalah sistem yang dilaporkan oleh Ablett.1

Tabel 1. Skoring Tetanus berdasarkan Ablett1

I (ringan)

Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

II (sedang)

Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30 x/ menit, disfagia ringan.

III (berat)

Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme dan kejang spontan berkepajangan, yang berlangsung lama. Gangguan pernapasan dengan takipnea > 40 x/menit, kadang apnea, disfagia berat dan takikardia > 120x/menit. Terdapat peningkatan aktivitas saraf otonom yang moderat dan menetap.

IV (sangat berat)

Gambaran tingkat III disertai gangguan saraf otonom berat dimana dijumpai hipertensi berat dengan takikardi berselang dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

Tabel 2. Skoring Tetanus berdasarkan Dakar13

Prognostic Factor

Score 1

Score 0

Incubation Period

< 7 days

7 days or unknown

Period of onset

< 2 days

2 days

Entry site

Umbilicus, burn, uterine, open fracture, surgical wound, IM injection

All others plus unknown

Sapsms

Present

Absent

Fever

>38.40C

< 38.40C

Tachycardia

Adult > 120 beats/min

Neonate > 150 beats/min

Adult > 120 beats/min

Neonate > 150 beats/min

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut :

Skor 0 - 1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%:

Skor 2 - 3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas10 - 20%

Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20 - 40%

Skor 5 - 6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

Tabel 3. Sistem skoring tetanus berdasarkan Phillips13

Tabel 4. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia13

2.1.8 Diagnosis Tetanus

Diagnosis tetanus mutlak berdasarkan pada gejala klinis; tidak memerlukan konfirmasi dari hasil laboratorium. Definisi WHO untuk tetanus dewasa, membutuhkan setidaknya satu dari tanda-tanda berikut: trismus (ketidakmampuan untuk membukamulut) atau risus sardonicus (spasme berkelanjutan dari otot-otot wajah); atau kontraksi otot yang menyakitkan. Meskipun definisi ini membutuhkan riwayatcedera atau luka, tetanus juga dapat terjadi pada pasien yang tidak mampu mengingat lukaatau cedera yang spesifik.1,5

Tetanus tidaklah mungkin terjadi apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret luka baiknya dilakukan kultur, pada kasus yang dicurigai tetanus. Biakan anaerob dari jaringan luka yang terkontaminasi didapat organisme, tetapi kultur positif bukan merupakan bukti bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus.1,5

Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil normal. Elektromiogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non-spesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram, dan enzim otot (CPK) mungkin meningkat. Kadar antitoksi serum 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini tetanus tida mungkin terjadi, walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadar antitoksin yag protektif.1,5

2.1.9 Diagnosis Banding

Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sulit. Sekali dijumpai dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan serum aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap atau tidak lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.11

Meningitis bacterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.

Poliomyelitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.

Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan, kejang bersifat klonik.

Keracunan strychnine

Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.

Tetani

Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.

Retropharyngeal abses

Trismus selalu ada pada penyaikit ini, tetapi kejang umum tidak ada.

Tonsillitis berat

Pada penderita panas tinggi, kejang tidak ada tapi trismus ada.

Efek samping fenotiasin

Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ektrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot.

Kaku kuduk juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher dan spondilitis leher.

Tabel 5. Diagnosis Banding Tetanus11

2.1.10 Pencegahan

Imunisasi Aktif

Tetanus Toksoid

Tetanus toksoid mengandung formaldehyde-treated toxin. Terdapat dua tipe dari toksoid tetanus yang tersedia; absorbed toxoid (alumunium salt precipitated) dan fluid toxoid. Meskipun jumlah seroconversi hampir sama, absorbed toxoid lebih disukai karena respon antitoksin mencapai titer yang lebih tinggi dan memiliki waktu paruh yang lebih lama dari pada fluid toxoid.12

Tetanus toxoid tersedia dalam sediaan tunggal, dikombinasi dengan diphteria toxoid menjadi pediatric diphteria-tetanus toxoid (DT) atau adult tetanus-diphteria (Td) juga dikombinasi dengan vaksin pertusis aselular menjadi DtaP atau Tdap. Tetanus toksoid juga tersedia dalam kombinasi DtaP- HepB-IPV (Pediatrix) dan DtaP-IPV/Hib (Pentacel). Formulasi pediatri (DT dan DtaP) mengandung jumlah yang hampir sama dengan dengan toksoid untuk dewasa, tetapi mengandung 3 - 4 kali lebih banyak toksoid diphteria. Individu < 7 tahun sebaiknya mendapat DtaP atau DT pediatrik. sedangkan untuk individu >7 tahun hendaknya menerima Td untuk dewasa. meskipun mereka memiliki riwayat seri vaksin DtaP atau DT yang tidak lengkap. Pemberian tunggal tetanus toksoid tidak direkomendasikan. Toksoid tetanus lebih baik diberikan dalam bentuk kombinasi dengan toksoid diphteria, dimana dibutuhkan periode booster untuk kedua antigen tersebut. Dua produk dagang yang tersedia; Boostrix (individu 10-64 tahun) dan Adacel (individu 11-64 tahun). 12

Gambar 4. Rekomendasi Pemberian Tetanus Toxoid12

Setelah pemberian seri vaksin pertama (3 dosis tetanus pada individu >7 tahun dan 4 dosis pada individu 10 tahun, maka seseorang memiliki level protektif yang minimal untuk tidak terinfeksi tetanus. Oleh karena itu direkomendasikan dilakukan booster toksoid setiap 10 tahunnya.12

Pada beberapa individu, kadar antitioksin dalam tubuh dapat menurun dalam kurun kurang dari 10 tahun. Untuk meyakinkan bahwa seseorang memiliki level protektif yang adekuat, individu yang mengalami luka baik yang bersih atau luka kecil baiknya mendapat booster toksoid jika dosis terakhir yang didapat individu tersebut >5 tahun.12

Penatalakasanaan Luka

Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya: 1) Imunisasi pasif dengan TIG dan 2) Imunisasi aktif dengan vaksin, terutama Td untuk individu >7 tahun. Dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu dengan luka derajat sedag adalah 250 unit IM yang menghasilkan kadar antibodi serum protektif paling sedikit 4-6 minggu; dosis yang tepat untuk TAT, suatu produk yang berasal dari kuda adalah 3000-6000 unit. Vaksin dan TAT hendaknya diberikan pada tempat yang terpisah dengan spuit injeksi yang berbeda. 1,5

Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.

Tabel 6. Klasifikasi luka menurut American College

of Surgeon Committee on Trauma (ACSCT) 13

Prinsip dasar penatalaksanaan luka14

1. Jangan menutup luka yang terinfeksi. Lakukanlah wound toilet and surgical debridement. Hal yang sama pada luka yang terkontaminasi dan luka bersih yang lebih dari 6 jam.

2. Pencegahan luka terhadap infeksi meliputi maintenance Airway, breathing and circulation setelah injury, dapat diberi tinggi nutrisi dan penghilang nyeri, hindari penggunaan torniket, lakukan wound toilet and surgical debridement secepat mungkin (jika memungkinkan kurang dari 8 jam), pemberian profilaksis ( atas indikasi), pemberian topikal antibiotik dan pencucian luka dengan larutan antibiotik tidak direkomendasikan pada luka terinfeksi dengan adanya pus dan luka terkontaminasi berisi benda asing atau material terinfeksi.

Tetanus Neonatorum

Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus neonatorum mencakup vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan; upaya untuk meningkatka proporsin kelahiran yang dilakukan di RS dan pelatihan penolong kelahiran nonmedis. 1

Jadwal Vaksinasi dan Penggunaannya

DtaP (difteri dan tetanus toxoid dan vaksin tetanus) adalah vaksin untuk anak usia 6 minggu hingga 6 tahun. Biasanya jadwalnya pada usia 2,4,6 dan 5-18 bulan. Dosis DtaP pertama, kedua dan ketigadiberikan dengan jarak minimal 4 minggu. DTaP keempat tidak kurang 6 minggu setelah dosis ketiga. Dan tidak diberikan sebelum usia 12 bulan.12

Jika anak kontraindikasi vaksin pertusis, maka dapat diberikan vaksin DT sebagai pelengkap. Jika anak kurang dari 12 bulan ketika dosis pertama diberikan maka anak harus mendapatkan 4 dosis primer tadi. Jika anak berusia lebih dari 12 bulan pada saat pemberian maka bisa hanya 3 dosis primer.12

Jika dosis keempat DTaP, DTP, atau DT diberikan sebelum usia 4 tahun maka vaksin booster nya direkomendasikan pada usia 4 -6 tahun.12

Jika anak terlambat dalam pemberian vaksin DTP, saat usia 7 tahun belum diberikan vaksin maka diberikan dengan 3 kali pemberian. Pemberian pertama dan kedua berjarak minimal 4 minggu dan pemberian ketiga berjarak 6-12 bulan setelah pemberian kedua. Dan vaksin bosster dapat diberikan tiap 10 tahun.12

Gambar 5. DPT booster 12

Gambar 6. Jadwal Vaksin usia >7 tahun12

Reaksi vaksinasi12

Beberapa reaksi yang didapat akibat vaksinasi DTP :

1. Reaksi lokal ( eritema, indurasi, nyeri pada daerah penyuntikan), reaksi ini biasanya terjadi dan tidak memerlukan terapi. Dapat timbul nodule pada tempat penyuntikan, dapat bertahan hingga beberapa minggu dan beberapa dapat terjadi abses.

2. Demam

3. Gejala sistemik berat dapat terjadi seperti urtikaria general, anafilaksis, atau komplikasi neurologik. Beberapa kasus dapat terjadi neuropati perifer dan GBS

Penyimpanan dan perawatan Vaksin

Semua vaksin tetanus harus disimpan dalam suhu 350 460 (20-80C). vaksin yang membeku dapat menghambat dari potensi komponen vaksin dan tidak dapat diberikan.12

2.1.11 Tatalaksana

Penatalaksanaan umum kepada pasien jika mungkin ditempatkan di bangsal/lokasi yang terpisah,tenang, seperti di ICU. Dimana observasi dan pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus-menerus, sedagkan stimulasi diminimalisasi. Luka hendaknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan debridement secara menyeluruh. 1,5

Imunoterapi memiliki efek untuk menetralisasi dari toksin yang bebas. Antitoksin menurunkan mortalitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, jika tersedia, mengelola manusia TIG 500 unitdengan injeksi intramuscular atau intravena (tergantung pada persiapan yang tersedia) sesegera mungkin.Paling baik memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka. Dosis tambahan tidak diperlukan karena masa paruh antitoksin yang panjang. Antibodi tidak dapat menembus sawar darah otak. Antitoksin tetanus kuda belum ada di Amerika Serikat, tetapi masih digunakan di tempat lain. harganya lebih murah tetapi waktu paruhnya lebih pendek. Dan pada pemberiannya sering kali menimbulkan reaksi hipersensitifitas dan serum sickness syndrome. Di samping itu, dapat diberikan vaksin TT tambahan sesuai dengan usia, vaksin, 0,5ccdengan injeksi intramuskular ditempat yang terpisah (penyakit Tetanus tidak menyebabkan kekebalan; pasien tanpa riwayat vaksinasi TT utama harus menerimadosis kedua1-2 bulan sesudah dosis pertama dan dosis ketiga6-12 bulan kemudian.1,5

Antibiotik diberikan sebagai terapi untuk menyingkirkan sumber infeksi. Jika ada luka yang jelas maka lakukanlah debridement secara bedah. Walaupun manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi sel-sel vegetatif, sebagai sumber toksin. Penggunaan Metronidazolelebih disukai karena tidak menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA. Diberikan 500 mg setiap enam jam iv atau secara oral; PenisilinG (100.000-200.000 IU/kg/hari intravena, diberikan dalam 2-4dosis terbagi). Penisilin sudah digunakan selama bertahun-tahun tetapi merupakan antagonis GABA dan berkaitan dengan konvulsi. Tetrasiklin, makrolida, klindamisin, sefalosporindankloramfenikoljuga efektif. 1,5

Untuk pengendalian rigiditas dan spasme, pilihan utama untuk sedasi adalah benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endogen pada reseptor GABA. Untuk orang dewasa, diazepam intravena dapat diberikan secara bertahap dari 5 mg, atau lorazepam dalam kenaikan 2 mg, titrasi untuk mencapai kontrol kejang tanpa sedasi berlebihan dan hipoventilasi (untuk anak, mulai dengan dosis 0.1-0.2mg/kg setiap 2-6 jam, titrasi atas sesuai kebutuhan). Jumlah besar rmungkin diperlukan ( sampai 600 mg/hari).5

Sediaan oral dapat digunakan, tetapi harus disertai denganpemantauanketat untuk menghindari depresi pernafasan atau cardiac arrest. Magnesium sulfat dapat digunakan secara tunggal atau dalam kombinasi dengan benzodiazepin untuk mengendalikan kejang dan disfungsi otonom: 5gram (atau 75mg/kg) diberikan secara loading dose intravena, kemudian 2-3 gram per jam sampai kejang terkontrol. Untuk menghindari overdosis, pantau refleks patella, dimana arefleksia (tidak adanya refleks patella) terjadi pada kisaran terapeutik mencapai (4 mmol /L). Jika arefleksia terjadi, dosis harus dikurangi. Agen lain yang digunakan untuk mengendalikan kejang termasuk baclofen, dan trolene (1-2 mg/kg intra vena atau secara oral setiap 4jam), barbiturat, sebaiknya short- acting (100-150 mg setiap1-4 m jam pada orang dewasa, 6-10mg/kg pada anak- anak, pada rute apapun), dan klorpromazin (50-150 mgdengan injeksi intramuskular setiap4-8 jam pada dewasa; 4-12 mg dengan injeksi intramuskular setiap 4-8 jam pada anak-anak).5

Pengendalian Disfungsi Otonomik dapat diberikan magnesium sulfat seperti di atas. Magnesium sulfat memblokade pelepasan neuromuskular pre-sinaptik, sehingga memblokade pelepasan katekolamin dari saraf dan medulla adrenal, mengurangi responsitivitas reseptor terhadap katekolamin yang terlepas, dan merupakan antikonvulsan sekaligus vasodilator. Morfin terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskular dapat terjadi tanpa gangguan jantung. Dosis bervariasi antara 20-180 mg per hari. Mekanisme yag dipertimbangkan adalah penggantian opioid endogen, pengurangan aktifitas refleks simpatis, dan pelepasan histamin. Catatan: -blocker seperti propanolol digunakan di masa lalu, tetapi dapat menyebabkan hipotensi dan kematian mendadak; hanya esmalol saat ini dianjurkan.5

Obat yang digunakan untuk mengontrol kejang dan memberikan sedasi dapat menyebabkan depresi pernapasan. Jika ventilasi mekanik tersedia, maka tidak menjadi masalah besar; jika tidak, pasien harus dipantau dengan cermat dan dosis obat yang diberikanharus disesuaikan untuk mencegah kejang dan menghindari kegagalan pernapasan. Jika kejang, termasuk spasme laring, yang menghambat atau mengancam ventilasi, ventilasi mekanis direkomendasikan bila fasilitas memadai.5 Intubasi atau trakeostomi juga digunakan untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan kemapuan menelan atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus diantisipasi dan diterapkan secara elektif dan secara dini. 1

Cairan dan nutrisi yang cukup harus disediakan, seperti kejang tetanus mengakibatkan tuntutan metabolik yang tinggi dan keadaan katabolik akibat aktivitas muskular. Dukungan nutrisi akan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. Penurunan nutrisi juga ditingkatkan oleh keluhan sulit menelan da peningkatan metabolisme akibat pireksia ataupun keadaan kronis berkepanjangan. Hidrasi perlu dipantau untuk mengetahui dan mengontrol kehilangan cairan yag nampak dan kehilangan cairan yag lain, yag mungkin signifikan.1,5

Penatalaksanaan lain meliputi fisioterapi untuk mencegah kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan yag lan untuk mencegah emboli paru. Fungsi ginjal, kandung kemih, da saluran cerna harus dimonitor. Perdarahan gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi. 1

2.1.12 Komplikasi

Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme, atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada koma, aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan ventilator.1

Tabel 7. Komplikasi-komplikasi Tetanus1

2.1.13 Prognosis

Angka fatalitas kasus dan penyebab kematian bervariasi secara dramatis tergantung pada fasilitas yang tersedia. Tingkat mortalitas