tesis implementasi prinsip-prinsip good governance …
TRANSCRIPT
TESIS
IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE
PADA PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
(Implementation of Good Governance Principles on
Recruitment of Civil Servant Candidates)
SYARIFUDDIN BASRI
N I M : PO 900 209 611
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
TESIS
IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE
PADA PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
(Implementation of Good Governance Principles on
Recruitment of Civil Servant Candidates)
SYARIFUDDIN BASRI
N I M : PO 900 209 611
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
TESIS
IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE
PADA PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
SYARIFUDDIN BASRI
N I M : PO 900 209 611
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
TESIS
IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE
PADA PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
SYARIFUDDIN BASRI
N I M : PO 900 209 611
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE
PADA PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
(Implementation of Good Governance Principles on
Recruitment of Civil Servant Candidates)
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Ilmu Hukum
Disusun dan Diajukan Oleh :
SYARIFUDDIN BASRI
N I M : PO 900 209 611
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
TESIS
IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE
PADA PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
Disusun dan diajukan oleh
SYARIFUDDIN BASRI
Nomor Pokok : PO900209611
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
Pada tanggal 31 Juli 2012
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasehat,
Prof. Dr. Abdul Razak, S.H.,M.H. Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H.
K e t u a Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana
Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. Marthen Arie, S.H.,M.H. Prof. Dr. Ir. Mursalim
KATA PENGANTAR
Pertama-tama dipanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT,
atas berkah kesehatan, kekuatan dan kesempatan yang diberikan kepada
Penulis sehingga dapat merampungkan penulisan tesis yang berjudul;
Implementasi Prinsip-prinsip Good Governance Pada Penerimaan Calon
Pegawai Negeri Sipil.
Penyelesaian dan perampungan tesis ini, tidak terlepas dari arahan
dan bimbingan Bapak Prof. Dr. Abdul Razak, S.H., M.H beserta Bapak
Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H selaku ketua dan anggota komisi
pembimbing, sehingga pada kesempatan ini patutlah diucapkan terima
kasih dan penghargaan yang tak terhingga.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sama disampaikan
pula kepada :
1. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, beserta para
Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Prof. Dr. Marthen Arie, S.H.,M.H., Selaku Ketua Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin.
3. Prof.Dr.Achmad Ruslan,S.H.,M.H., Prof.Dr.Marwati Riza,S.H.M.Si dan
Dr. Ansori Ilyas, S.H.,M.H. Selaku Tim Penguji.
4. Bupati Bantaeng, beserta segenap jajarannya.
5. Ketua DPRD Bantaeng, beserta segenap jajarannya.
6. Para Guru Besar, Dosen dan Pengajar maupun petugas akademik
pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin.
7. Para responden dan rekan mahasiswa yang bersedia berdiskusi
diseputar pelaksanaan prinsip-prinsip good governance dalam rangka
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng.
8. Sahabat-sahabat terbaikku angkatan 2009 Program Reguler Sore :
Noerdiansyah, Anindya, Faisal Silenang, Nur Kholis, La Kanna,
Mabrur, Irham Halim, Irwan, Kemal Redindo, Yasser.S. Wahab.
9. Seluruh Keluarga yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dalam
tesis ini yang telah memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis
baik moril maupun meteril selama proses penyelesaian studi.
Kemudian diucapkan terima kasih dan penghargaan yang sama
atas iringan doa dan restu yang tiada henti-hentinya kepada ayahanda
terhormat Drs. M. Basri. L dan Ibunda tersayang Siajang Rannu,
semoga segala amalan kalian bernilai ibadah dan mendapat pahala dari
Allah Rabbul Alamin.
Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan
dan kemungkinan adanya kekurangan ataupun kekeliruan di dalamnya.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bilamana dimohonkan kepada semua
pihak untuk memberikan masukan dan perbaikan secukupnya agar tesis
ini mempunyai bobot ilmiah.
Sekian dan terima kasih.
Makassar, Juli
2012
SYARIFUDDIN
BASRI
ABSTRAK
SYARIFUDDIN BASRI. NIM : PO. 900 209 611; Implementasi
Prinsip-prinsip Good Governance Pada Penerimaan Calon Pegawai
Negeri Sipil; Dibimbing oleh (Abdul Razak dan Hamzah Halim).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi
pelaksanaan prinsip-prinsip good governance sebagaimana diatur dalam
UU. Nomor 28 Tahun 1999, terutama asas akuntabilitas, transparansi dan
kepastian hukum dalam penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng.
Lokasi penelitian terfokus pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Bantaeng, perolehan data empiris menggunakan metode
penelitian deskriptif melalui pendekatan normatif dan empiris. Populasi
tertuju pada warga masyarakat Kabupaten Bantaeng yang terkait
langsung dengan pelaksanaan penerimaan CPNS, baik sebagai pelamar,
anggota panitia, maupun aparat pemerintah Kabupaten Bantaeng,
Penarikan sampel random terdiri 35 responden, dengan harapan mewakili
seluruh kepentingan populasi yang lain. Metode yang digunakan dalam
melakukan penelitian; diadakan wawancara dengan responden dan aparat
penegak hukum yang terkait dengan objek yang diteliti. Kemudian
pembahasan menggunakan data primer dan sekunder dengan teknik
pengumpulan data studi kepustakaan dan lapangan. Dimaksudkan agar
terhimpun data kuantitatif dan kualitatif, guna dianalisis dari segi sosiologis
dengan menerapkan rumus distribusi frekuensi.
Hasil penelitian, menunjukkan bahwa pelaksanaan penerimaan
CPNS di Kabupaten Bantaeng telah menyalahi prinsip good governance
berupa transparansi, akuntabilitas dan kepastian hukum, karena calon
CPNS yang dianggap tidak lulus berkas dan atau bermasalah, ternyata
dari hasil pengumuman yang bersangkutan lulus ujian penerimaan
CPNS. Dari hasil pengumuman penerimaan CPNS menggambarkan
pelaksanaan penerimaan CPNS belum terlaksana sebagaimana
seharusnya, disebabkan adanya faktor berpengaruh, seperti : faktor
substansi hukum, penegakan hukum, budaya hukum, kesadaran hukum
dan kemampuan SDM. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
bahan komparatif guna lebih mengefektifkan pelaksanaan ketentuan
prinsip good governance.
ABSTRACT
SYARIFUDDIN BASRI, NIM : PO. 900 209 611: Implementation
of Good Governance Principles On Recruitment of Civil Servant
Candidate (CSC); Supervised by ( Abdul Razak and Hamzah Halim).
The objective of the research was to find out the implementation
good governance principles as regulated in the Acts Number 28 Year
1999, primarily the principles of accountability, transparency and rule of
law in the recruitment of CSC at Bantaeng Regency.
The research location was in the Office of Regional Officialdom
Board of Bantaeng Regency. Empirical data collection used a descriptive
method through normative and empirical approaches. Population was the
community members of Bantaeng Regency related directly to the
recruitment implementation of CSC, either as the applicants, committee
members or governmental apparatus of Bantaeng Regency. The samples
were taken by using a random sampling technique consisting of 35
respondents, with the expectation they represented all the other
population interest. The method used in research was an interview with
the respondents and legal enforcement apparatus related to the object
investigated. The data comprised primary and secondary data with the
data collection techniques of library and field researches. This meant to
combine the quantitative and qualitative data in order to analyse the data
in term of sociological aspect by applying frequency distribution formula.
The research result indicates that the recruitment implementation of
CSC at Bantaeng Regency has deviated from the good governance
principles in the forms of transparency, accountability, and legal certainly
because CSC regarded not to pass the document test or to have
problems, in fact they are announced to have passed the test of CSC
recruitmen. In other words, from the result of the announcement, the CSC
recruitment has not been implemented appropriately because the
influencing factors such as: factors of legal substance, law enforcement,
legal culture, legal awareness, and human resource capability. The
research result is expected to become the comparative material in order to
make use of the stipulation implementation of the good governance
principles.
DAFTAR ISI
SAMPUL ……………......…………………………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………..……….…. ii
KATA PENGANTAR …………………………………………….....….…… iii
ABSTRAK ………………………………………………………..….……… vi
ABSTRACT ……………………………………………………..….……..… vii
DAFTAR ISI ……………………………………………………...….……… viii
DAFTAR TABEL ………………………………………………...……...…. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………..…….………. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………....….….… 6
C. Tujuan Penelitian ……………………………….….......… 7
D. Kegunaan Penelitian …………………………….…....…. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Beberapa Pengertian …………………………………….…. 9
1. Pengertian Pegawai Negeri Sipil ……………………..... 9
2. Pengertian Good Governance ……………….…..…...... 15
3. Pengertian Pemerintah dan Pemerintah Daerah …...… 17
B. Teori Sosiologi Hukum dalam Penegakan Hukum ............. 22
C. Prinsip Good Governance Dalam Penegakan
Hukum Kepegawaian ......................................................... 27
D. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengadaan
Calon Pegawai Negeri Sipil …….…………….……..…..……. 35
E. Syarat-syarat, Tata Cara dan Prosedur Penerimaan
Calon Pegawai Negeri Sipil ………..………………………… 41
F. Kerangka Konseptual ……………………………………........ 48
G. Definisi Operasional ………………………………….......…... 52
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian …………………………………..……….… 55
B. Populasi dan Sampel ………………………..…….…...……. 55
C. Jenis dan Sumber Data ………………………..…….…….... 57
D. Teknik Pengumpulan Data ………………………..…….…… 58
E. Analisis Data ……………………………………..…….……… 58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Prinsip-Prinsip Good Governance Dalam
Penerimaan CPNS Di Kabupaten Bantaeng ...................... 60
1. Implementas Prinsip Akuntabilitas ................................ 61
2. Implementas Prinsip Transparansi ............................... 66
3. Implementasi Prinsip Kepastian Hukum ....................... 70
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Prinsip
Good Governance Dalam Penerimaan CPNS
Di Kabupaten Bantaeng………………………………...….… 73
1. Faktor Hukumnya Sendiri ............................................. 96
2. Faktor Penegakan Hukum ........................................... 100
3. Faktor Budaya Hukum ................................................. 103
4. Faktor Kesadaran Hukum ............................................ 107
5. Faktor Kemampuan SDM ............................................. 112
BAB V P E N U T U P
A. Kesimpulan ........................................................................ 117
B. S a r a n .............................................................................. 118
DAFTAR PUSTAKA …..………………………………………………….. 119
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Data Pengaruh Faktor Substansi Hukum …….…………..….. 99
2. Data Pengaruh Faktor Penegakan Hukum …………...…..…. 102
3. Data Pengaruh Faktor Budaya Hukum …………….………… 105
4. Data Pengaruh Faktor Kesadaran Hukum ………………….. 109
5. Data Pengaruh Faktor Kemampuan SDM ……………..…….. 115
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya hak setiap orang untuk mendapatkan
pekerjaan dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan,
merupakan salah satu instrumen dalam berupaya meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hal ini bersesuaian dengan
dasar filosofi negara yang terangkum dalam Pancasila, dimana kelima
sila dari Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh.
Bahkan telah terjabarkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (UUD) Tahun 1945, sekaligus sebagai landasan
konstitusional dalam berpemerintahan, berbangsa dan bernegara.
Di dalam rumusan Pasal 28 D ayat (3) dan ayat (4) UUD Tahun
1945 ditegaskan, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja. Kemudian lebih dipertegas lagi, bahwa setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Artinya tidak hanya orang-orang tertentu atas dasar nepotisme yang
dapat diterima sebagai pegawai negeri sipil, sementara yang lain
dicarikan cara atau jalan agar tidak berkesempatan menjadi pegawai
negeri sipil.
Selanjutnya dengan mengingat akan keberadaan Indonesia
sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945), maka
untuk mengatur pegawai negeri sipil haruslah dituangkan ke dalam
suatu undang-undang. Oleh karena itu, sehingga Pemerintah
mengundangkan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 55; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomo 3041). Kemudian dirubah dan disempurnakan melalui
UU. Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890).
Di dalam rumusan Pasal 16 UU. Nomor 8 Tahun 1974 juncto
UU. Nomor 43 Tahun 1999, diatur dengan jelas mengenai formasi,
pengadaan dan pengangkatan pegawai negeri sipil. Dimana setiap
pelamar yang diterima harus melalui masa percobaan dan selama
masa percobaan itu ia berstatus sebagai calon pegawai negeri sipil,
namun sudah diberikan gaji pokok dan penghasilan lain menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan merujuk pada norma hukum yang termuat dalam
regulasi di atas, menjadi semakin jelas bahwa Calon Pegawai Negeri
Sipil (CPNS) adalah status dan sama sekali bukan strata seseorang
yang masih berada pada masa percobaan untuk menjadi pegawai
negeri sipil. Sedang lamanya masa percobaan antara satu sampai dua
tahun, apabila yang bersangkutan dianggap cakap dan memenuhi
syarat dapat ditingkatkan statusnya menjadi pegawai negeri sipil.
Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96
Tahun 2000 juncto PP. Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang
Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
menjadi wewenang pemerintah pusat. Secara teknis administratif,
kewenangan dimaksud telah didelegasikan kepada Menteri Penertiban
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men-PAN RB).
Pengaplikasian dari kewenangan penetapan formasi dan
pengangkatan pegawai negeri sipil, dimana Menteri Penertiban
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dengan memperhatikan
pendapat Pimpinan Departemen/Lembaga yang bersangkutan, Menteri
Keuangan, dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara
(BAKN).
Regulasi kepegawaian di atas, masih bersifat sentralistik serta
bertentangan jiwa dan semangat otonomi daerah pasca reformasi
sesuai UU. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839). Di
dalam rumusan Pasal 76 UU. Nomor 22 Tahun 1999, ditegaskan
bahwa pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan
pengangkatan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Kemudian untuk lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga diundangkanlah UU.
Nomor 32 Tahun 2004 sekaligus mencabut UU. Nomor 22 Tahun
1999. Di dalam rumusan Pasal 21 huruf c UU. Nomor 32 Tahun 2004,
ditegaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi maka
daerah berhak mengelola aparatur daerah. Hal ini bersinergi dengan
norma hukum yang termuat di dalam Pasal 129 sampai dengan Pasal
135 UU. Nomor 32 Tahun 2004 telah dirubah dan disempurnakan
melalui UU. Nomor 8 Tahun 2005, kemudian dirubah dan
disempurnakan lagi menjadi UU. Nomor 12 Tahun 2008, memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan formasi
dan mengangkat pegawai negeri sipil daerah sesuai manajemen
pegawai negeri sipil secara nasional.
Aplikasi dan implementasi terhadap kewenangan pengangkatan
dan/atau penerimaan CPNS yang telah diberikan undang-undang
kepada Pemerintah Daerah Otonom, pelaksanaannya harus
memperhatikan prinsip-prinsip good governance sebagaimana diatur
dalam UU. Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851).
Di dalam rumusan Pasal 3 UU. Nomor 28 Tahun 1999, telah
secara tegas dan limitatif diatur prinsip-prinsip kepemerintahan yang
baik atau lebih dikenal dengan istilah good governance. Kesemua
prinsip-prinsip good governance harus menjadi pedoman bagi
pemerintah daerah menjalankan kewenangan penerimaan CPNS,
khususnya prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kepastian hukum.
Hal ini dimaksudkan, agar filosofi the right man on the right place tetap
menjadi dasar pertimbangan dalam rangka penerimaan CPNS. Namun
tidak menutup kemungkinan penerimaan CPNS di daerah-daerah,
dinilai sangat sarat dengan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng pada periode tahun
2009-2010, telah melanggar prinsip akuntabilitas, transparansi dan
kepastian hukum, ini disebabkan karena pada saat seleksi penerimaan
berkas terdapat peserta pendaftar CPNS yang dinyatakan tidak lulus
berkas, namun pada saat pengumuman yang bersangkutan dinyatakan
lulus sebagai CPNS. Begitu pula halnya pada saat pengumuman revisi
tentang kelulusan ujian CPNS, pada pengumuman pertama dinyatakan
lulus dan setelah pengumuman kedua justru dinyatakan tidak lulus,
dan hilangnya lima formasi CPNS tahun 2010-2011, tanpa ada
penjelasan lebih lanjut sebagai pertanggungjawaban moril dari
pemerintah Kabupaten Bantaeng. Tidak menutup kemungkinan
penerimaan CPNS di daerah-daerah, dinilai sangat syarat dengan
perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sehubungan dengan hal tersebut, menjadi salah satu motivasi
untuk mengadakan pendekatan ilmiah dan hasilnya akan dituangkan
dalam suatu karya ilmiah berbentuk tesis dengan judul Implementasi
Prinsip-prinsip Good Governance pada Penerimaan Calon Pegawai
Negeri Sipil.
B. Rumusan Masalah
Berkenaan dengan uraian dan penjelasan yang termuat di
dalam latar belakang masalah di atas, dipandang perlu untuk lebih
dipertajam objek yang akan diteliti dan selanjutnya dituangkan dalam
bentuk rumusan masalah, sebagai berikut :
1. Sejauh manakah aparat pemerintah daerah telah
mengimplementasi prinsip-prinsip good governance khususnya
prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kepastian hukum pada
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi aparat pemerintah
daerah dalam mengimplementasi prinsip-prinsip good governance
khususnya prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kepastian hukum
dalam penerimaan calon pegawai negeri sipil di Kabupaten
Bantaeng?
C. Tujuan Penelitian
Dengan merujuk pada rumusan masalah di atas. Selanjutnya
dapatlah ditetapkan tujuan penelitian, sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dengan jelas dan menganalisis tindakan aparat
pemerintah daerah dalam mengimplementasi dan mengaplikasikan
prinsip-prinsip good governance khususnya prinsip akuntabilitas,
transparansi, dan kepastian hukum pada penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng.
2. Untuk mengetahui dengan jelas dan menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi aparat pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan prinsip-prinsip good governance dalam
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoretis
a. Berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada
umumnya, dan ilmu hukum administrasi negara maupun hukum
kepegawaian pada khususnya.
b. Berguna bagi siapa saja yang membutuhkan informasi
berkenaan dengan penerapan prinsip-prinsip good governance
pada penerimaan CPNS.
2. Kegunaan praktis
a. Berguna untuk mempermudah menemukan solusi pemecahan
masalah berkenaan dengan penerapan prinsip-prinsip good
governance pada penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng.
b. Berguna bagi aparat pemerintah yang diberi tugas melakukan
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng, untuk
mempermudah menerapkan prinsip-prinsip good governance.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Beberapa Pengertian
1. Pengertian Pegawai Negeri Sipil
Sebelum dijelaskan pengertian pegawai negeri sipil, terlebih
dahulu perlu dipahami arti dan makna yang terkandung dari istilah
pegawai negeri itu sendiri. Hal ini penting dipermaklumkan, karena
erat kaitannya dengan regulasi yang mengatur masalah pegawai
negeri dan regulasi mana pernah berlaku sebagai hukum positif
yang harus ditaati, dipatuhi dan dilaksanakan di Indonesia.
Sementara yang dimaksud dengan hukum positif, yaitu hukum yang
berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu (Negara Republik
Indonesia).
Apabila dilakukan penelusuran dari aspek sejarah hukum
kepegawaian, dapat diketahui bahwa pemerintah kolonial Belanda
telah mewariskan prinsip-prinsip dasar tentang hukum
kepegawaian sebagaimana diatur di dalam Bezpldigingsregeling
Burgerlojke Landsdienaren (BBL) Tahun 1938. Di dalam regulasi
kepegawaian peninggalan kolonial Belanda tersebut, tidak
mengenal istilah pegawai negeri. Akan tetapi yang dikenal, adalah
istilah landsdienaar sebagai terjemahan dari pengabdi negara.
Sedang di dalam Betalingsregeling Ambtenaren en
Gepensioneerden (BAG) Tahun 1949 menggunakan istilah
amtenaar, sebagai terjemahan dari istilah pegawai negeri1.
Kemudian oleh J.H.A. Logemann2 dalam bukunya Over de
theorie van een stellig staatssrecht, berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan pegawai negeri (ambtenaar) adalah tiap pejabat
yang mempunyai hubungan dinas publik atau openbare
dienstbetrekking dengan negara. Hubungan dinas publik terjadi jika
seseorang mengikat dirinya untuk tunduk pada perintah dari
pemerintah untuk melakukan sesuatu, atau beberapa macam
jabatan tertentu dengan mendapatkan penghargaan berupa gaji
dan beberapa keuntungan lain.
Dengan demikian, pegawai negeri (ambtenaar) tidak sama
dengan pegawai swasta atau karyawan pada suatu perusahaan.
Untuk pegawai negeri digaji dan diberikan fasilitas oleh negara,
sedang pegawai swasta bisa saja mendapat fasilitas dari negara
tetapi tidak diberi gaji oleh negara.
Sehubungan dengan hal tersebut, sehingga di dalam UU.
Nomor 8 Tahun 1974 juncto UU. Nomor 43 Tahun 1999, khususnya
pada Pasal 16 ayat (3) dan ayat (4) disebut istilah CPNS. Namun
tidak diberikan definisi tentang apa yang sesungguhnya dimaksud
1 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985, hal.
145. 2 Sudibyo Triatmodjo, Hukum Kepegawaian, mengenai Kedudukan Hak dan
Kewajiban Pegawai Negeri Sipil, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003 hal. 27.
dengan istilah CPNS, walaupun di dalam penjelasan Pasal 16 ayat
(3) dan ayat (4) UU. Nomor 8 Tahun 1974 juncto UU. Nomor 43
Tahun 1999 ditegaskan, bahwa :
Ayat (3), berbunyi :
Setiap pelamar yang diterima harus melalui masa percobaan dan selama masa percobaan ia berstatus sebagai calon pegawai negeri sipil. Selama dalam masa percobaan, kepada calon pegawai negeri sipil yang bersangkutan diberikan gaji pokok dan penghasilan lain menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (4), berbunyi :
Lamanya masa percobaan adalah sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan selama-lamanya 2 (dua) tahun. Apabila dalam masa percobaan itu ia dipandang tidak cakap, maka ia dikeluarkan dan apabila cakap diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Calon pegawai negeri sipil yang dalam waktu 1 (satu) tahun telah memenuhi syarat-syarat yang diperlukan, dengan segera diangkat menjadi pegawai negeri sipil.
Bertolak dari penjelasan Pasal 16 ayat (3) dan ayat (4) UU.
Nomor 8 Tahun 1974 juncto UU. Nomor 43 Tahun 1999, menjadi
cukup jelas bahwa yang dimaksud dengan CPNS adalah status
kepegawaian seseorang yang masih dalam masa percobaan untuk
menjadi pegawai negeri sipil. Sedang interval waktu lamanya masa
percobaan, ditetapkan sekurang-kurangnya untuk selama 1 (satu)
tahun dan paling lama untuk 2 (dua) tahun.
Selanjutnya pengertian normatif dari istilah pegawai negeri
termuat dalam Pasal 1 huruf a UU. Nomor 8 Tahun 1974 telah
dirubah melalui UU. Nomor 43 Tahun 1999, rumusannya sebagai
berikut :
Pegawai negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya
yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berkenaan dengan rumusan definisi normatif dari istilah
pegawai negeri tersebut, menjadi semakin jelas bahwa untuk dapat
dikatakan sebagai pegawai negeri harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut :
a. Memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
b. Diangkat oleh pejabat yang berwenang.
c. Diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau tugas negara
lainnya.
d. Digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku3.
Dengan demikian, maka untuk dapat dikatakan sebagai
pegawai negeri harus memenuhi keempat syarat. Salah satu atau
lebih syarat tidak terpenuhi, maka tidak dapat dikatakan sebagai
pegawai negeri sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf a UU.
3 Sudibyo Triatmodjo, I b I d, 2003, hal. 28; dan Sastra Djatmika, Hukum
Kepegawaian di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1985, hal. 8.
Nomor 8 Tahun 1974 telah dirubah melalui UU. Nomor 43 Tahun
1999.
Keberadaan pegawai negeri dimaksud, lebih diperjelas
dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UU. Nomor 8 Tahun 1974 telah
dirubah melalui UU. Nomor 43 Tahun 1999, bahwa pegawai negeri
terdiri dari :
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS).
b. Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI),
sekarang disebut TNI-Polri.
Kemudian di dalam rumusan Pasal 2 ayat (2) dan
Penjelasan UU. Nomor 8 Tahun 1974 telah dirubah melalui UU.
Nomor 43 Tahun 1999, lebih lanjut diklasifikasi pegawai negeri sipil
terdiri dari :
a. Pegawai Negeri Sipil Pusat, yaitu :
1) Pegawai Negeri Sipil Pusat yang gajinya dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara, Instansi Vertikal di Daerah-daerah, dan
Kepaniteraan Pengadilan.
2) Pegawai Negeri Sipil Pusat yang bekerja pada Perusahaan
Jawatan.
3) Pegawai Negeri Sipil Pusat yang diperbantukan atau
dipekerjakan pada Daerah Otonom.
4) Pegawai Negeri Sipil Pusat yang berdasarkan sesuatu
peraturan perundang-undangan diperbantukan atau
dipekerjakan pada badan lain, seperti Perusahaan Umum,
Yayasan, dan lain-lain.
5) Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menyelenggarakan tugas
negara lainnya, seperti Hakim pada Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi, dan lain-lain.
b. Pegawai Negeri Sipil Daerah; yaitu pegawai negeri sipil Daerah
Otonom.
c. Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
Sehubungan dengan klasifikasi pegawai negeri sipil tersebut,
menjadi semakin jelas bahwa yang dimaksudkan pegawai negeri
sipil, yaitu pegawai negeri sipil menurut norma atau kaidah hukum
yang diatur di dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan Pasal 2
ayat (2) huruf a point 1) UU. Nomor 8 Tahun 1974 dan
Penjelasannya sebagaimana telah dirubah melalui UU. Nomor 43
Tahun 1999. Pegawai negeri sipil dimaksud, baik yang
dipekerjakan maupun yang diperbantukan, baik yang ada di pusat
maupun yang ada di daerah.
2. Pengertian Good Governance
Secara etimologi istilah good governance terdiri dari dua
suku kata, yakni good artinya kebaikan atau kebajikan dan
governance berarti kepemerintahan 4 . UNDP (United Nations
Development Programme) mendefinisikan governance sebagai
Penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna
mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata
pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses, dan
lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok masyarakat
mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum,
memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di
antara mereka.
Dari definisi tersebut governance meliputi 3 (tiga) domain
yaitu negara (pemerintah), dunia usaha (swasta) dan masyarakat
yang saling berinteraksi. Arti good dalam good governance
mengandung pengertian nilai yang menjunjung tinggi keinginan
rakyat, kemandirian, aspek fungsional dan pemerintahan yang
efektif dan efisien.
Sedang governanve menurut Bank Dunia, adalah the
manner in which power is exercised in management of a country’s
social and economic resources for development. Oleh karena itu,
4 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (An English-
Indonesian Dictionary), Gramedia, Jakarta, 1997, hal. 275 dan 277.
sehingga penggunaan istilah good governance dalam berbagai
literatur diasumsikan sebagai tata pemerintahan yang baik.
Sehubungan dengan hal tersebut, sehingga Bank Dunia
mengartikan good governance sebagai pelayanan publik yang
efisien, sistem pengadilan yang dapat diandalkan, pemerintahan
yang bertanggung jawab pada publik5. Sementara Muin Fahmal6
memahami good governance sebagai tata pemerintahan yang baik
yang mencerminkan kesinergian antara pemerintah, swasta, dan
masyarakat.
Merujuk pada sejarah hukum, good governance sebagai
suatu konsep pemerintahan tidak dikenal dalam hukum
administrasi, hukum tata negara maupun ilmu politik. Konsep ini
dilahirkan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu
Organisation for the Economic Coorperation and Development
(OECD). Jadi konsep ini mulai dikenal pada akhir perang dingin,
kolapsnya Sovyet Union sebagai simbol negara totaliter dan sistem
ekonomi yang terencana secara sentralistik7.
Kemudian konsep tersebut berkembang, dan sekarang
sudah menjadi tren bagi penyelenggaraan pemerintahan. Oleh
karena itu, maka secara terminologi istilah good governance
5 Sadjijono, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance,
LaksBang, Yogyakarta, 2005, hal. 185. 6 H.A. Muin Fahmal, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, UI-Press, Yogyakarta, 2006, hal. 61. 7 Philipus M. Hadjon, Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, Meritokrasi VoI.I, No. I, Tahun 2002, hal. 9.
diartikan sebagai proses penyelenggaraan kekuasaan negara
dalam melaksanakan penyediaan barang dan jasa publik (public
goods and service). Agar good governance dapat menjadi
kenyataan dan berjalan dengan baik, dibutuhkan komitmen dan
keterlibatan semua pihak yaitu pemerintah swasta dan rakyat8.
Berkenaan dengan itulah, maka secara konseptual
penggunaan istilah good governance mengandung dua
pemahaman, yakni9 :
a. Nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan
nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam
pencapaian tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan
berkelanjutan, dan keadilan sosial.
b. Aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam
pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan.
3. Pengertian Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pada bagian ini akan dijelaskan arti dan makna dari istilah
pemerintah, sebagai suatu institusi yang oleh undang-undang diberi
wewenang untuk menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan.
Sedang tugas-tugas pemerintahan dimaksud, lebih berorientasi
kepada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kemudian apabila
8 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka
Otonomi Daerah; Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien Melalui Restrukturisasi dan Pemberdayaan, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 2.
9 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik), Mandar Maju,
Bandung, 2004, hal. 3.
dilakukan penelusuran melalui kamus hukum, maka dapatlah
diketahui bahwa kata pemerintah mengandung dua arti yakni
pemerintah dalam arti luas dan pemerintah dalam arti sempit10.
Pemerintah dalam arti luas oleh A.M. Donner, diistilahkan
sebagai pemerintah dalam arti tertinggi yaitu semua lembaga
negara yang terdiri dari lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Pemerintah yang demikian ini telah diungkapkan lebih
jauh oleh Baron de Montesqiue dalam konsep Trias Politica11, yang
membagi tiga kekuasaan sebagai berikut :
a. Kekuasaan membuat undang-undang (legislative power atau la
puissance legislative).
b. Kekuasaan menjalankan undang-undang termasuk berbagai
ketentuan perundang-undangan (executive power atau la
puissance executive).
c. Kekuasaan mengadili (judicatieve power atau la puissance de
juger).
Di antara ketiga kategori/klasifikasi pemerintah dalam arti
luas di atas, maka khusus untuk penelitian ini lebih ditekankan
pada pemerintah dalam arti pemegang kekuasaan untuk
menjalankan undang-undang ataupun peraturan perundang-
10
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum; Edisi Lengkap Bahasa Belanda-Indonesia-Inggris,Aneka Semarang-Indonesia, Jakarta, 1979, 668.
11 Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1985, hal.
2-3.; Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara-Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Sinar Bakti, Jakarta, 1983,hal. 181.
undangan (executive power atau la puissance executive). Wujud
dari klasifikasi pemerintah inilah, oleh hukum diberikan
kewenangan membuat dan menjalankan regulasi berkenaan
dengan pengadaan dan/atau penerimaan CPNS (Pasal 16 UU.
Nomor 8 Tahun 1974 juncto UU. Nomor 43 Tahun 1999).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka di dalam
pengadaan dan/atau CPNS harus disinerjikan antara teori
pemerintahan dengan teori hukum. Pensinergian dimaksud,
terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang
dikenal sebagai negara hukum dan berpemerintahan hukum.
Sedang pemerintahan hukum menurut Immanuel Kant, yakni
penyelenggaraan negara harus bersesuaian dengan tujuan
hukum12. Kemudian tujuan hukum menurut W. Friedmann13, yakni;
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Lagi pula harus
sesuai dengan sistem hukum yang komponennya terdiri atas
struktur, substansi, dan budaya hukum.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam
mempersoalkan teori pemerintahan berarti orientasi pemikiran
harus tertuju pada sistem pemerintahan. Setiap sistem
12 Mac Iver, Negara Moderen, Diterjemahkan oleh Moertono, Aksara Baru,
Jakarta, 1984, hal. 236. 13
Lawrence M. Friedman, The Lagal System, Asocial Science Perpractive., Russel Sage Foundation, New York, 1975, hal. 5-7 dan 14.
pemerintahan senantiasa terdiri dari komponen-komponen dinamik,
antara lain :.
a. yang diperintah sebagai pemegang hak dengan pemerintah
sebagai pengemban kewajiban.
b. yang diperintah memberi kewenangan kepada pemerintah
sebagai pengemban tanggung jawab kepada yang diperintah14.
Selanjutnya ada negara-negara demokratis yang mengenal
sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan
presidential, Indonesia sendiri menganut sistem pemerintahan
presidential. Kemudian dalam membicarakan sistem pemerintahan,
berarti mempersoalkan bagaimana pembagian kekuasaan serta
hubungan yang terjalin di antara lembaga-lembaga negara dalam
menyelenggarakan kepentingan rakyat Indonesia.
Kemudian apabila sistem pemerintahan ditinjau dari segi
ajaran pembagian kekuasaan (bukan pemisahan kekuasaan
menurut Montesque) secara horizontal yang didasarkan atas sifat
tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda antara satu dengan
yang lainnya, konsekuensi juridisnya akan menimbulkan berbagai
macam kelembagaan dalam suatu negara. Sedang apabila ditelaah
lebih lanjut dari segi vertikal, maka secara ex officio akan
14
Taliziduhu Ndraha, Kibernology (ilmu pemerintahan Baru) 1, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 345.
melahirkan garis hubungan antara pemerintah (pusat dan daerah)
dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi15.
Dengan demikian, maka sistem pemerintahan dari segi
pembagian kekuasaan secara vertikal mengakui dan menghormati
keberadaan Pemerintahan Daerah, sebagaimana dianut Pasal 18,
18-A dan 18-B UUD Tahun 1945, telah diaktualisasikan melalui UU.
Nomor 32 Tahun 2004 juncto UU. Nomor 8 Tahun 2005 juncto UU.
Nomor 12 Tahun 2008. Seharusnya pengakuan dan penghormatan
bersifat holistik, terutama mengenai pengadaan calon pegawai
negeri sipil.
Sebagaimana diketahui, bahwa pemerintahan merupakan
sebuah sistem multi proses yang bertujuan memenuhi dan
melindungi kebutuhan dan tuntutan yang diperintah akan jasa
publik dan layanan sipil. Sedang dimaksud dengan pemerintah
yakni organ yang berwenang memproses pelayanan publik dan
berkewajiban memproses pelayanan sipil bagi setiap orang melalui
hubungan pemerintahan16.
Sehubungan dengan hal tersebut, menjadi semakin jelas
bahwa eksistensi pemerintah daerah disini sebagai pelaksana
fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang diaplikasikan melalui
lembaga pemerintahan daerah yang terdiri dari Pemerintah Daerah
15
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op Cit, 1983, hal. 171-181. 16
Taliziduhu Ndraha, Op Cit, 2003, hal. 5-6.
(Gubernur, Bupati atau Walikota dan Perangkat Daerah) serta
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota).
Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam definisi kerja
disini, yakni Pemerintah Daerah Kabupaten yang terdiri dari Bupati
dan Perangkat Daerah. Kedua komponen inilah yang dijadikan
sasaran dan obyek pengawasan oleh aparat pengawas intern
Pemerintah dari Inspektorat sesuai PP. Nomor 79 Tahun 2005.
B. Teori Sosiologi Hukum Dalam Penegakan Hukum
Sebelum dikemukakan eksistensi teori-teori sosiologi hukum
dalam kaitannya dengan penegakan hukum, dipandang perlu untuk
terlebih dahulu dijelaskan makna yang terkandung dari kata teori itu
sendiri. Thomas S. Kuhn17 dianggap sebagai nilai-nilai ilmiah yang
melahirkan paradigma (cara pandang) orang yang berteori (bersifat
subjektif) tetapi dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang objektif. Oleh
karena itu, setiap ilmu pengetahuan senantiasa diawali dengan
pengetahuan-pengetahuan teoretik di dalam suatu kerangka dasar.
Mengingat eksistensi teori berada pada ranah ilmiah (ilmu
pengetahuan), sehingga dahulu dikatakan bahwa sebuah teori selalu
dapat dibuktikan benar ataukah salah. Namun bagi ilmuan masa kini,
17
Karhi Nisjar dan Winardi, Teori Sistem dan Pendekatan Sistem dan Bidang Manajemen, Mandar Maju, Bandung, 1997 : 1-5.
mengatakan bahwa teori ilmiah tidak dapat dibuktikan konklusif benar
atau salah18 .
Selanjutnya dengan merujuk pada eksistensi teori dalam
perspektif ilmu pengetahuan, dipandang perlu dikemukakan hakikat
dari teori hukum yang dikemukakan oleh J.J.H. Bruggink 19 sebagai
suatu keseluruhan dari pernyataan yang saling berkaitan berkenaan
dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan keputusan-
keputusan hukum, yang untuk suatu bagian penting sistem tersebut
memperoleh bentuk dalam hukum positif. Dan setiap teori hukum
seyogyanya dapat diuji (dites) dalam hal keajekan dan kemantapan
internalnya20 .
Berkenaan dengan itulah, maka dalam dunia ilmu suatu teori
senantiasa menempati kedudukan yang penting karena memberikan
sarana untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang
dibicarakan secara lebih baik. Demikian pula halnya dengan teori
sosiologi hukum, senantiasa berupaya mengungkapkan keberadaan
hukum dalam kenyataan di tengah-tengah masyarakat.
Menurut teori sosiologi hukum, bahwa penegakan hukum itu
penting sebagai upaya pengaplikasian agar dapat terlaksana tujuan
hukum dalam masyarakat berupa perwujudan nilai-nilai keadilan,
18 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 30. 19 Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Hal. 4. 20
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 6.
kesebandingan, kepastian hukum, perlindungan hak, ketertiban,
kebahagiaan masyarakat21.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa setiap aparat penegak hukum
sebaiknya mempunyai keterampilan, ketelitian dan harus lebih selektif
mengantisifasi faktor-faktor yang berpengaruh. Antisipasi berbagai
kemungkinan adanya faktor-faktor berpengaruh, agar tujuan
penegakan hukum dapat diwujudkan sebagaimana seharusnya.
Setidak-tidaknya aparat penegak hukum, dapat mempertimbangkan
hal-hal, sebagai berikut :
1. Pemberian teladan kepatuhan hukum oleh aparat penegak hukum.
2. Sikap yang lugas dari para penegak hukum.
3. Penyesuaian peraturan yang berlaku dengan perkembangan
teknologi mutakhir.
4. Penerangan dan penyuluhan mengenai peraturan yang berlaku
terhadap masyarakat.
5. Memberi waktu yang cukup bagi masyarakat untuk memahami
peraturan yang baru dibuat22.
Di samping itu, patut pula memperhatikan faktor lain yang sering
mempengaruhi para aparat penegakan hukum dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya, sebagai berikut :
21
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1988, hal. 2.
22 Soerjono Soekanto, I b I d, 1988, hal. 4.
1. Faktor hukumnya sendiri.
2. Faktor penegak hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan.
5. Faktor kebudayaan23.
Dengan merujuk pada kemungkinan adanya beberapa faktor
yang berpengaruh dalam rangka penegakan hukum, lalu muncul
pertanyaan menarik; faktor mana yang terkuat?, mana yang berperan
bila terjadi konflik?. Tidak satu-pun literatur memberikan jawaban yang
memuaskan, kemungkinan tidak akan ada satu jawaban umum, karena
sebagian besar bergantung pada subjek individual dan perilaku khusus
tertentu24.
Berkaitan dengan sistem hukum, Lawrence M. Friedman
mengemukakan teorinya bahwa dalam sebuah sistem hukum terdapat
tiga komponen penting yang saling mempengaruhi, yaitu : struktur
(structure), substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture).
Struktur menyangkut aparat penegak hukum, kemudian substansi
meliputi perangkat perundang-undangan, dan budaya hukum
merupakan hukum yang hidup yang dianut dalam suatu masyarakat.
23
I b I d, 1988, hal. 5. 24
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System A Social Science Perspective),Diterjemahkan M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2009, hal. 156-161.
Struktur dari sistem hukum terdiri dari unsur berikut ini : jumlah
dan ukuran pengadilan, yuridiksinya (termasuk kompetensi mengadili),
dan tata cara untuk naik banding dari pengadilan satu ke pengadilan
lainnya (berbicara mengenai hirarki pengadilan di Indonesia). Struktur
juga menyangkut bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh Presiden, prosedur apa yang diikuti
oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. Jadi struktur
hukum (legal structure) terdiri dari lembaga hukum yang ada
dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada.
Substansi adalah aturan, norma dan pola prilaku nyata manusia
yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan
yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum
sehingga menghasilkan suatu produk, mencakup keputusan yang
mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
Analisis lain terhadap kemungkinan adanya faktor berpengaruh
dalam rangka penegakan hukum, oleh Robert B. Seidman 25
mendalilkan; The Law of Nontransferability of Law (Hukum mengenai
tidak dapat dialihkannya hukum). Hasil penemuan Robert B. Seidman,
bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada
bangsa lain.
25
Bambang Santoso, Relevansi Pemikiran Teori Robert B. Seidman Tentang “The Law of non Transferability of the Law” dengan Upaya Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Majalah Yustitia Edisi Nomor 70 Januari-April, 2007, hal. 1-7.
Teori-teori sosiologi hukum di atas, patut mendapatkan
perhatian karena Indonesia adalah bekas jajahan Negara Belanda
yang secara ex officio pernah memberlakukan secara positif hukum
negaranya di Indonesia. Terlebih lagi bilamana dipertautkan dengan
fungsi hukum sebagai a tool of social engineering dan a tool of social
control. Oleh karena itu, hukum kepegawaian negara lain tidak relevan
untuk secara serta merta diberlakukan sebagai hukum positif di
Indonesia, dengan alasan demi terwujudnya prinsip good governance.
C. Prinsip Good Governance Dalam Penegakan Hukum Kepegawaian
Pada hakikatnya sejarah timbulnya prinsip good governance
(asas-asas umum pemerintahan yang baik), bermula dari adanya rasa
ketakutan sebagian masyarakat terhadap kebebasan bertindak (fries
ermessen) dari administrasi negara dalam melaksanakan tugasnya
untuk mewujudkan welfare state atau social rechtsstaat.
Sementara yang dimaksud dengan administrasi negara, adalah
para penjabat atau ambtsdragers26. Pejabat tertuju pada orang yang
ada di belakang suatu jabatan, dia adalah subjek hukum yang padanya
melekat hak dan kewajiban termasuk kewajiban bertindak atas nama
jabatan. Tindakan dari pejabat (pemerintah pusat dan pemerintah
26
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, hal. 8.
daerah) dapat berupa keputusan-keputusan, ketetapan-ketetapan
yang bersifat umum, serta tindakan hukum lain yang nyata.
Kemudian oleh Philipus M. Hadjon 27 , menyatakan bahwa
konsep pemerintahan yang bersih bukanlah suatu konsep yang
normatif. Oleh karena itu, tidak ada ukuran normatif tentang patokan
dan standarisasi pemerintahan yang bersih. Pernyataan ini cukup
menyesatkan sehingga harus ditolak, dengan alasan penolakan
karena bertentangan dengan muatan yang terkandung dalam UU.
Nomor 28 Tahun 1999. Padahal menurut teori hukum, bahwa setiap
undang-undang adalah normatif. Jika demikian, maka UU. Nomor 28
Tahun 1999 adalah normatif.
Selanjutnya perlu dikemukakan, bahwa setidak-tidaknya ada
tiga alasan sosiologis yang menjadi latar belakang dan dasar
pertimbangan dari pemerintah untuk kemudian mengundangkan UU.
Nomor 28 Tahun 1999, sebagai berikut :
1. Penyelenggara negara mempunyai peranan yang sangat
menentukan dalam rangka penyelenggaraan negara untuk
mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur.
2. Perlu meletakkan asas-asas penyelenggaraan negara untuk
mewujudkan penyelenggara negara yang mampu menjalankan
27
Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Airlangga University Press, Surabaya, 1994, hal. 7.
fungsi dan tugas secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung
jawab.
3. Diperlukan landasan hukum untuk mencegah praktik korupsi, kolusi
dan nepotisme yang tidak hanya dilakukan antar penyelenggara
negara, melainkan juga antara penyelenggara negara dengan
pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan
eksistensi negara.
Apabila muatan yang tercantum di dalam UU. Nomor 28 Tahun
1999, dianalisis secara seksama dapat diketahui bahwa pembuat
undang-undang menghendaki agar prinsip good governance dapat
diaplikasi dan diimplementasikan pada setiap jenjang pemerintahan,
mulai dari pemerintah pusat sampai pada pemerintah yang ada di
daerah-daerah terutama dalam rangka penerimaan CPNS.
Pada semua tingkat pemerintahan (pusat dan daerah),
hendaknya mampu mengaktualisasikan prinsip-prinsip good
governance sebagaimana terkandung dalam Pasal 3 UU. Nomor 28
Tahun 1999 , meliputi :
1. Asas kepastian hukum; asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara
negara.
2. Asas tertib penyelenggaraan negara; asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara.
3. Asas kepentingan umum; asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas keterbukaan; asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara.
5. Asas proporsionalitas; asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
6. Asas profesionalitas; asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
7. Asas akuntabilitas; asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Prinsip-prinsip good governance yang diatur dalam UU. Nomor
28 Tahun 1999, tetap menjadi dasar pertimbangan diundangkannya
PP. Nomor 96 Tahun 2000 yang kemudian dicabut dengan
PP. Nomor 9 Tahun 2003. Dan terhadap pemerintah daerah yang
akan melakukan penerimaan CPNS, tetap harus memperhatikan
prinsip-prinsip good governance yang termuat dalam Pasal 20 ayat (1)
UU. Nomor 32 Tahun 2004 juncto UU. Nomor 8 Tahun 2005 juncto
UU.Nomor 12 Tahun 2008 terdiri dari :
1. Asas kepastian hukum;
2. Asas tertib penyelenggaraan negara;
3. Asas kepentingan umum;
4. Asas keterbukaan;
5. Asas proporsionalitas;
6. Asas profesionalitas;
7. Asas akuntabilitas;
8. Asas efisiensi; dan
9. Asas efektivitas.
Asas-asas pemerintahan yang baik tersebut, tidak sekedar
dijadikan sebagai hiasan bibir belaka tetapi harus ditegakkan sesuai
ketentuan hukum yang berlaku. Penegakan hukum (law enforcement),
hendaknya dipahami sebagai aplikasi dan implementasi nyata dari
setiap regulasi. Sementara suatu regulasi selalu berorientasi pada
persoalan mengatur (ius contitutum, das sollen), pelaksanaan (ius
contituendum, das sein) terutama dalam rangka program pengadaan
dan atau penerimaan CPNS.
Agar ius contituendum atau das sein dapat diwujudkan dalam
kenyataan (empiris), maka secara ex officio diperlukan adanya
tindakan, aktivitas maupun tindakan dari segenap aparat penegak
hukum yang berorientasi pada penegakan hukum (law enforcement).
Hal ini penting dimaklumi karena menurut ilmu hukum bahwa hakikat
penegakan hukum itu merupakan ujung tombak terciptanya tatanan
hukum yang baik di dalam masyarakat, serta harus sesuai dengan
prinsip-prinsip good governance.
Penegakan hukum disini hendaknya dijadikan sebagai salah
satu upaya pengaplikasian agar dapat terlaksana tujuan hukum di
tengah-tengah masyarakat. Sedang tujuan hukum itu sendiri berupa
perwujudan nilai-nilai keadilan, kesebandingan, kepastian hukum,
perlindungan hak, ketertiban, dan kebahagiaan masyarakat.
Dengan demikian, maka dapatlah dikatakan bahwa penegakan
hukum substansinya adalah pelaksanaan hukum 28 . Sedang hukum
yang harus dilaksanakan adalah hukum positif 29 . Kemudian yang
dimaksud dengan hukum positif, yakni hukum yang sementara berlaku
atau diberlakukan dalam suatu negara. Hukum tersebut, adalah hukum
tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan (law in books).
28 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 1988, hal. 134. 29
Bismar Siregar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Rajawali Press, Jakarta, 1988, hal. 86.
Oleh karena itu, maka peraturan perundang-undangan haruslah
diterapkan, dilaksanakan dan ditegakkan sebagaimana seharusnya.
Pelaksanaan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik,
apabila didukung oleh kekuasaan yang diwujudkan dalam bentuk
kewenangan hukum (autority). Untuk mewujudkan penegakan hukum
harus didukung dengan kekuasaan atau wewenang hukum, karena
hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sedang kekuasaan
tanpa hukum adalah kezaliman.
Kemudian apabila dianalisis dari pendekatan teori sistem,
dapatlah dikatakan bahwa hakikat penegakan hukum merupakan
suatu sistem yang bertalian dengan berbagai sub sistem, dan setiap
subsistem saling berkaitan dengan subsistem yang ada, antara lain :
1. Kelembagaan penegakan hukum;
2. Sumber daya penegak hukum;
3. Tata cara (mekanisme) penegakan hukum;
4. Prasarana dan sarana penegakan hukum30.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk terwujudnya prinsip-
prinsip good governance dalam rangka penerimaan CPNS, seperti
halnya penerimaan CPNS di kabupaten Bantaeng, maka prinsip good
governance mencakup akuntabilitas, transparansi dan kepastian
hukum. Dengan adanya ketiga prinsip-prinsip dimaksud, maka
30
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 16.
penerimaan CPNS akan berjalan atau terlaksana sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku, sehingga dapat menghilangkan akan
terjadi kolusi, korupsi dan nepotisme. Dari ketiga prinsip; akuntabilitas,
transparansi dan kepastian hukum dimaksud, penulis akan
memberikan uraian pada bab IV Pembahasan.
Pelaksanaan good governance dalam mewujudkan tujuan
hukum tidak ada alasan untuk tidak menegakkan asas-asas umum
pemerintahan yang bersih sebagaimana termuat dalam UU. Nomor 28
Tahun 1999. Kemudian di dalam penjelasan umum UU. Nomor 28
Tahun 1999, antara lain ditegaskan bahwa undang-undang ini memuat
ketentuan hukum yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan
masalah penegakan hukum. Sedang penegakan hukum itu sendiri,
merupakan salah satu ciri dan karakter dari suatu negara hukum.
Dengan demikian, maka penegakan hukum terhadap asas-asas
umum pemerintahan yang bersih (good governance), tidak hanya
diperuntukkan bagi pemerintah pusat semata. Akan tetapi juga
diperuntukkan bagi pemerintah daerah berdasarkan doktrin otonomi
daerah terutama dalam penerimaan CPNS, sebagaimana diatur dalam
UU. Nomor 32 Tahun 2004 juncto UU. Nomor 8 Tahun 2005 juncto
UU. Nomor 12 Tahun 2008.
D. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penerimaan Calon
Pegawai Negeri Sipil
Sebelum lebih lanjut dijelaskan kewenangan Pemerintah
Daerah dalam rangka penerimaan CPNS, dipandang perlu untuk
terlebih dahulu diberikan pemahaman tentang teori kewenangan. Hal
ini penting, karena tidak jarang ditemukan adanya kekeliruan dalam
pemaknaan dari istilah kekuasaan, kewenangan dan wewenang.
Fakta empiris membuktikan, bahwa kekuasaan sering begitu
saja disamakan dengan kewenangan dan kekuasaan sering
dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya.
Bahkan kewenangan sering disamakan dengan wewenang, kekuasaan
biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang
memerintah dan pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled)31.
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, yaitu
kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan
wewenang adalah bagian tertentu dari kewenangan.
Apabila merujuk pengertian di atas, berpotensi terjadinya
kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum yang oleh Henc van
Maarrseven disebut blote matcht32. Sedang kekuasaan yang berkaitan
dengan hukum oleh Max Weber disebut wewenang rasional atau legal,
yakni wewenang berdasarkan suatu sistem hukum dan dipahami
31
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, 1998, hal. 35-36.
32 Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hal. 52.
sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh
masyarakat dan bahkan diperkuat oleh negara33.
Kemudian di dalam hukum publik, wewenang senantiasa
berkaitan dengan kekuasaan34. Sementara kekuasaan memiliki makna
yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki
Eksekutif, Legislatif, dan Judikatif adalah kekuasaan formal. Lagi pula
kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu negara dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu :
1. Hukum
2. Kewenangan (wewenang)
3. Keadilan
4. Kejujuran
5. Kebijakbestarian
6. Kebijakan35
Sehubungan dengan hal tersebut, menjadi semakin jelas bahwa
kekuasaan merupakan inti dari pada penyelenggaraan negara dalam
keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara itu dapat
berkiprah, bekerja, berkapisitas, berprestasi dan berkinerja melayani
warganya. Oleh karena itu, negara harus diberi kekuasaan. Sedang
kekuasaan itu sendiri merupakan kemampuan seseorang atau
sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku
34 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang; Makalah, Universitas Airlangga,
Surabaya, Tanpa tahun penerbitan, hal. 1. 35
Rusadi Kantraprawira, Hukum dan Kekuasaan; Makalah, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998, hal. 37-38.
seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah
laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan orang atau negara36.
Kemudian agar kekuasaan dapat dijalankan, maka dibutuhkan
penguasa atau organ sehingga Negara dikonsepkan sebagai
himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) dimana jabatan itu
diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban
tertentu berdasarkan konstruksi subjek kewajiban 37 . Sedang yang
dimaksud hak menurut hukum merupakan suatu wewenang untuk
berbuat atau tidak berbuat, dan kewajiban merupakan tugas yang
dibebankan38
.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka kekuasaan mempunyai
dua aspek yakni aspek politik dan aspek hukum. Sedang kewenangan
hanya mempunyai satu aspek, yakni aspek hukum saja. Artinya;
kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber
dari luar konstitusi (inkonstitutional). Misalnya; melalui kudeta atau
perang, sedang kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.
Bertolak dari teori kewenangan di atas, maka kewenangan
penerimaan CPNS yang ada pada pemerintah jelas bersumber dari
konstitusi (Pasal 15 dan 16 UU. Nomor 8 Tahun 1974 juncto UU.
Nomor 43 Tahun 1999). Pada tingkat pusat menjadi wewenang
Presiden, telah didistribusikan kepada Badan Kepegawaian Negara
36
Miriam Budiardjo, Op cit, 1998, hal. 35. 37
Rusadi Kantraprawira, Op cit, 1998, hal. 39. 38
Soerjono Soekanto, Tata Cara Penulisan Karya Tulis Ilmiah; Bidang Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 7-8.
dan Menteri Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
setelah mempertimbangkan kemampuan keuangan negara dari
Menteri Keuangan. Dan pada tingkat daerah menjadi wewenang
kepala daerah (Gubernur/ Bupati/Walikota), wewenang mana telah
didistribusikan kepada Badan Kepegawaian Daerah39.
Apabila ditinjau dari ajaran kewenangan, dimana istilah
wewenang disebut juga delegasi yang berorientasi pada pelimpahan
wewenang (pendelegasian wewenang). Pendelegasian wewenang
perundang-undangan justru menimbulkan spanning antara norma dan
kenyataan, sebagai suatu penyimpangan praktik dari apa yang
seharusnya menurut ketentuan-ketentuan (norma-norma) hukum40.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa pendelegasian wewenang itu
dapat dibedakan antara totaled a partielle Delegation dan spetielle
Delegation. Yang dimaksud totale Delegation yakni jenis
pendelegasian yang meliputi keseluruhan kompetensi tertentu dari
pihak yang mendelegasikan, sedang partielle Delegation hanya
meliputi sebagian kompetensi khusus tersebut. Apabila negara
menyerahkan kompetensi sepenuhnya kepada sesuatu subjek lain,
misalnya kepada provinsi-provinsinya, maka berartilah negara
mengakhiri wujudnya (bestaan) sendiri. Juga pendelegasian sesuatu
39
Sri Hartini, Setiajeng Kadarsih dan Tedi Sudrajat, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 92-93.
40 Mustamin Dg. Matutu, Abdul Latief dan Hikmawati Mustamin, Mandat,
Delegasi, Attribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII-Press, Yogyakarta, 2004, hal. 60.
kompetensi khusus (tersendiri), hampir selalu mengenai sebagian
saja41.
Bertolak dari ajaran pendelegasian wewenang tersebut,
kemudian dipertautkan dengan norma hukum yang termuat di dalam
rumusan Pasal 129 ayat (1) dan ayat (2) UU. Nomor 8 Tahun 1974
juncto UU. Nomor 43 Tahun 1999. Hasil pertautan antara teori hukum
tentang pendelegasian wewenang dengan norma hukum yang termuat
di dalam berbagai regulasi, menjadi semakin jelas bahwa dalam hal
penerimaan CPNS di daerah-daerah dapat dikategorikan sebagai
partielle Delegation. Artinya hanya sebagian khusus saja dari
kompetensi pemerintah pusat yang didelegasikan menjadi wewenang
pemerintah daerah, yakni khusus dalam hal kepegawaian saja.
Di dalam rumusan Pasal 129 ayat (1) dan ayat (2) UU. Nomor 8
Tahun 1974 juncto UU. Nomor 43 Tahun 1999, secara tegas
menyatakan bahwa pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen
pegawai negeri sipil daerah dalam suatu kesatuan penyelenggaraan
manajemen pegawai negeri sipil secara nasional. Meliputi; penetapan
formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban,
kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian
jumlah.
41
Mustamin Dg. Matutu, Abdul Latief dan Hikmawati Mustamin, Op Cit, 2004, hal. 72-73.
Kemudian tujuan manajemen pegawai negeri sipil menurut
rumusan Pasal 12 UU. Nomor 8 Tahun 1974 juncto UU. Nomor 43
Tahun 1999, diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan
berhasilguna. Oleh karena itu, sehingga wajar dan patut apabila
penerimaan CPNS diorientasikan pada profesional, bertanggung
jawab, jujur, adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan
sistem prestasi kerja dan sistem karir yang dititik beratkan pada sistem
prestasi kerja.
Dengan merujuk pada rumusan Pasal 12 dan Pasal 129 ayat (1)
dan ayat (2) UU. Nomor 8 Tahun 1974 juncto UU. Nomor 43 Tahun
1999, maka dalam hal penerimaan CPNS daerah provinsi menjadi
wewenang Gubernur dibantu oleh Badan Kepawaian Daerah provinsi.
Sedang untuk daerah kabupaten/kota menjadi wewenang
Bupati/Walikota dibantu oleh Badan Kepagawaian Daerah
kabupaten/kota, tetapi masih harus terlebih dahulu dikoordinasikan
kepada Gubernur. Pelaksanaan koordinasi dimaksud, harus sesuai
dengan prinsip-prinsip good governance.
E. Syarat-syarat, Tata Cara dan Prosedur Penerimaan Calon Pegawai
Negeri Sipil
1. Syarat-syarat Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil
Syarat-syarat untuk menjadi CPNS termuat di dalam
rumusan Pasal 16 ayat (2) UU. Nomor 8 Tahun 1974 juncto UU.
Nomor 43 Tahun 1999, bahwa setiap warga negara Republik
Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar
menjadi Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan. Kemudian diperjelas dalam penjelasan pasal tersebut,
bahwa harus didasarkan atas syarat-syarat objektif yang telah
ditentukan, dan tidak boleh didasarkan atas jenis kelamin, suku,
ras, agama, golongan, atau daerah.
Syarat-syarat normatif untuk menjadi CPNS di atas,
tampaknya merujuk pada norma hukum yang diatur dalam Pasal 28
D ayat (3) dan ayat (4) UUD Tahun 1945 ditegaskan, bahwa setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Kemudian lebih
dipertegas lagi, bahwa setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Walaupun demikian, harus diakui bahwa syarat-syarat
objektif dimaksud tidak disebutkan secara limitatif di dalam
rumusan Pasal 16 ayat (2) UU. Nomor 8 Tahun 1974 juncto UU.
Nomor 43 Tahun 1999. Oleh karena itu, sehingga syarat-syarat
untuk menjadi CPNS ditetapkan dalam Pasal 6 PP. Nomor 11
Tahun 2002, antara lain :
a. Warga negara Indonesia;
b. Berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan
setinggi-tingginya 35 (tiga puluh lima) tahun;
c. Tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, karena melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan.
d. Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai
pegawai swasta;
e. Tidak berkedudukan sebagai calon/Pegawai Negeri;
f. Mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan keterampilan
yang diperlukan;
g. Berkelakuan baik;
h. Sehat jasmani dan rohani;
i. Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh
pemerintah; dan
j. Syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan42.
42
Nur Alam dan Harmon Harun, Himpunan Undang-undang Kepegawaian 2002-2003 , Reformasi Administrasi Publik, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 117.
Syarat-syarat untuk menjadi CPNS di atas, memperbaiki
dan menyempurnakan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 2
PP. Nomor 6 Tahun 1976 juncto Surat Edaran Kepala BAKN Nomor
05/SE/1976. Khususnya mengenai syarat batas usia maksimal dari
40 (empat puluh) tahun menjadi 35 (tiga puluh lima) tahun. Selain itu
masih ada syarat-syarat khusus, yakni syarat-syarat yang ditetapkan
oleh instansi pemerintah yang membutuhkan pegawai negeri sipil43.
2. Tata Cara dan Prosedur Penerimaan Calon Pegawai Negeri
Sipil
Pada prinsipnya penerimaan CPNS harus melalui tata cara
dan prosedur perekrutan yang telah ditetapkan di dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, karena kegiatan ini senantiasa
terkait dengan masalah kemampuan keuangan Negara untuk
membiayai anggaran belanja rutin pegawai negeri sipil. Oleh
karena itu, wajar dan patut apabila penerimaan CPNS harus
direncanakan sedemikian rupa dan dengan mempertimbangkan
masukan tentang ketersediaan anggaran dari Menteri Keuangan.
Pelaksanaan perekrutan CPNS merupakan kegiatan untuk
melakukan analisis jabatan atau analisis pekerjaan yang berisikan
uraian pekerjaan. Sedang uraian pekerjaan menjelaskan tentang
rincian tugas serta tanggung jawab, juga kondisi perekrutan
pekerjaan. Adapun indikator yang dipergunakan untuk menjelaskan
43 Sudibyo Triatmodjo, Op Cit, hal, hal. 51-52.
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap calon
peserta, terkait dengan persyaratan untuk memangku suatu
jabatan44.
Tata cara dan prosedur penerimaan CPNS, mempunyai sifat
kekhususan tersendiri. Kekhususan dimaksud, karena harus
melalui proses perencanaan yang mantap.
a. Proses perencanaan
Mengenai tahapan proses perencanaan pengadaan
dan/atau penerimaan CPNS, dapat diklasifikasi atas :
1) Penyusunan jadwal kegiatan, meliputi :
a) Inventarisasi lowongan jabatan sesuai formasi serta
syarat jabatan.
b) Pengumuman akan dilaksanakannya pengadaan CPNS.
c) Penyiapan materi ujian.
d) Penyiapan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
e) Pengajuan lamaran.
f) Pelaksanaan penyaringan.
g) Pengumuman kelulusan.
h) Pengangkatan menjadi CPNS.
2) Perhitungan biaya, berorientasi pada perencanaan
pengadaan dan/atau penerimaan CPNS harus
44 Harsono dan Nur Hayati, Perencanaan Kepegawaian (Perencanaan
Kepegawaian, Analisa Jabatan, Formasi Pegawai Negeri Sipil, Rekrutmen/Pengadaan Pegawai, Perencanaan Pendidikan dan Pelatihan PNS), Fokus Media, Bandung, 2010, hal. 42.
memperhitungkan penyediaan gaji dan biaya
penyelenggaraan pengadaan dan/atau penerimaan CPNS.
Selanjutnya mengenai perencanaan pengadaan
dan/atau penerimaan CPNS, harus sesuai dengan ketentuan
hukum yang termuat dalam rumusan Pasal 4 PP. Nomor 11
Tahun 2002. Perencanaan pengadaan dan/atau penerimaan
CPNS, dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai batas
formasi yang telah ditetapkan, dengan memprioritaskan :
1) Pegawai pelimpahan atau penarikan dari
Departemen/Lembaga Pemerintah Non
Departemen/Pemerintah Daerah yang memiliki kelebihan
pegawai.
2) Siswa atau mahasiswa ikatan dinas, setelah lulus dari
pendidikannya.
3) Tenaga medis dan para medis yang telah selesai
melaksanakan masa bakti sebagai pegawai tidak tetap.
4) Dokter kontrak dan bidan kontrak.
5) Guru tidak tetap, guru bantu dan guru kontrak.
6) Pegawai penyuluh lapangan pertanian dan keluarga
berencana.
b. Pengumuman
1) Untuk mengisi formasi yang lowong harus diumumkan
seluas-luasnya melalui media elektronik, media massa,
internet, dan papan pengumuman.
2) Pengumuman Badan Kepegawaian Daerah yang tersedia
dan/atau bentuk lainnya yang mungkin digunakan, sehingga
pengadaan CPNS diketahui oleh halayak umum.
3) Pengumuman dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari
sebelum tanggal penerimaan lamaran.
4) Pengumuman dengan mencantumkan :
- Jumlah dan jenis jabatan yang lowong.
- Kualitas pendidikan yang dibutuhkian.
- Alamat dan tempat lamaran ditujukan.
- Batas waktu pengajuan surat lamaran.
- Waktu dan tempat seleksi.
- Materi-materi pelajaran yang akan diujikan.
- Syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pelamar.
- Dan lain-lain yang dianggap perlu.
c. Pelamaran
1) Setiap pelamar harus mengajukan surat lamaran yang ditulis
dengan tulisan tangan sendiri ditujukan kepada Pejabat
Pembina Kepegawaian instansi yang bersangkutan.
2) Di dalam surat lamaran, harus dilampirkan fotocopy
STTB/ijazah, kartu tanda pencari kerja, dan pas photo sesuai
jumlah dan ukuran yang ditentukan.
d. Penyaringan
1) Pemeriksaan administrasi.
2) Panitia ujian.
3) Materi ujian.
4) Pemanggilan pelamar.
5) Pelaksanaan ujian (test).
e. Penentuan kelulusan
1) Pejabat Pembina Kepegawaian setelah menerima daftar
nama dan nomor serta nilai peserta dari Panitia Ujian,
menetapkan pelamar yang dinyatakan diterima berdasarkan
urutan nilai tertinggi sesuai jumlah lowongan dan kualitas
pendidikan yang tersedia.
2) Mengumumkan nomor peserta ujian yang ditetapkan
diterima melalui media massa dan/atau dalam bentuk
lainnya.
3) Pelamar yang ditetapkan diterima, kepadanya disampaikan
pemberitahuan secara tertulis melalui surat tercatat.
4) Pelamar yang diterima harus melaporkan diri pada pejabat
yang berwenang.
5) Batas waktu melaporkan diri sekurang-kurangnya 14 (empat
belas) hari terhitung mulai tanggal dikirimkan surat
pemberitahuan.
f. Pengangkatan CPNS
1) Pelamar yang ditetapkan diterima, wajib melengkapi dan
menyerahkan kelengkapan administrasi kepada Pejabat
Permbina Kepegawaian.
2) Tidak terpenuhinya salah satu kelengkapan administrasi,
tidak dapat diangkat menjadi CPNS.
3) Pemberian nomor identitas pegawai negeri sipil, dan surat
keputusan pengangkatan sebagai CPNS.
F. Kerangka Konseptual
Pada hakikatnya UUD Tahun 1945 telah menetapkan, bahwa
pemerintah (pusat dan daerah) berkewajiban mengusahakan lapangan
kerja bagi warga masyarakat, termasuk memberikan kesempatan
kepada setiap penduduk yang memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan untuk
melamar menjadi CPNS.
Pelaksanaan kewajiban pemerintah (pusat dan daerah)
dimaksud, tidak boleh didasarkan atas kesewenang-wenangan karena
bertentangan dengan jiwa dan semangat negara hukum (rechtstaat)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945.
Akan tetapi pelaksanaannya harus mengindahkan norma hukum yang
termuat dalam UU. Nomor 8 Tahun 1974 juncto UU. Nomor 43 Tahun
1999, berikut berbagai peraturan pelaksanaannya. Hal ini
dimaksudkan, agar pelaksanaan penerimaan CPNS tetap
mencerminkan prinsip-prinsip good governance dan nilai-nilai yang
terkandung di dalam suatu rechtsstaat.
Di samping itu, pemerintah (pusat dan daerah) dalam rangka
penerimaan CPNS harus senantiasa berusaha untuk menerapkan
prinsip-prinsip good governance sebagaimana diatur dalam UU. Nomor
28 Tahun 1999, terutama terhadap asas akuntabilitas, transparansi
dan penegakan hukum. Penerapan ketiga prinsip ini dalam rangka
penerimaan CPNS, dimaksudkan agar seluruh warga masyarakat
mempunyai kesempatan dan hak yang sama (equity before of the law)
untuk mengajukan lamaran menjadi CPNS. Apabila penerimaan CPNS
didasarkan atas hubungan kekeluargaan, kekerabatan, atau KKN,
berarti menyalahi ketentuan hukum yang berlaku.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penerapan prinsip
equity before of the law dalam rangka penerimaan CPNS berarti
terbuka kesempatan yang luas untuk mendapatkan CPNS yang
berkualitas dan sesuai disiplin ilmu pengetahuan yang dimiliki para
CPNS dalam mengisi formasi yang tersedia di Kabupaten Bantaeng.
Setidak-tidaknya melalui seleksi yang ketat dan proporsional,
diharapkan agar CPNS yang dinyatakan lulus dalam seleksi tidak
didasarkan atas pertimbangan loby-loby, ketebalan amplop suap, atau
karena pertemanan, maupun karena adanya hubungan kekeluargaan
yang bernuansa pada terciptanya KKN.
Walaupun berbagai regulasi telah mengatur syarat-syarat, tata
cara dan prosedur penerimaan CPNS, namun tidak dapat disangkal
kemungkinan adanya berbagai faktor berpengaruh yang secara faktual
akan mempengaruhi penerapan prinsip akuntabilitas, transparansi dan
kepastian hukum di Kabupaten Bantaeng. Untuk maksud tersebut, di
bawah ini digambarkan diagram konseptual yang menjadi dasar dan
kerangka pemikiran dalam penelitian ini.
Diagram Kerangka Konseptual
DASAR HUKUM
UUD 1945
UU. No. 8/1974
UU. No. 43/1999
UU. No. 32/2004
UU. No. 8/ 2005
UU. No. 28/1999.
Tercapainya Penerimaan
CPNS yang Sesuai Prinsip
Good Governance
Implementasi Prinsip Good Governance
dalam Penerimaan CPNS
1. Implementasi Prinsip Transparansi
2. Implementasi Prinsip Akuntabilitas
3. Implementasi Prinsip Kepastian Hukum
Faktor Berpengaruh
Terhadap Implementasi
Prinsip Good Governance
dalam Penerimaan CPNS
1. Substansi Hukum 2. Penegak Hukum 3. Budaya Hukum 4. Kesadaran Hukum
5. Kemampuan SDM
IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE
PADA PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
G. Definisi Operasional
1. Hukum adalah seperangkat norma atau kaidah yang berisi perintah,
larangan dan anjuran yang harus ditaati, dipatuhi dan dilaksanakan
demi tegaknya hukum.
2. Penegakan hukum adalah upaya yang dilakukan pejabat
pemerintah daerah dalam rangka mengaktualisasikan norma atau
kaidah hukum kepegawaian yang tersebar didalam berbagai
peraturan perundang-undangan.
3. Good governance adalah tata pemerintahan yang baik.
4. Pegawai negeri sipil adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya
yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Calon pegawai negeri sipil adalah status kepegawaian seseorang
yang masih dalam masa percobaan. Sedang interval waktu
lamanya sama percobaan, ditetapkan sekurang-kurangnya untuk
selama 1 (satu) tahun dan paling lama untuk 2 (dua) tahun.
6. Akuntabilitas adalah suatu perwujudan kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan
pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban yang
dilaksanakan secara periodik.
7. Transparansi atau keterbukaan adalah asas yang membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaran negara
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi, pribadi,
golongan, dan rahasia Negara.
8. Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaran
negara.
9. Substansi hukum adalah keseluruhan norma hukum yang tersebar
dalam berbagai peraturan perundang-undangan sepanjang norma
hukum itu mengatur pelaksanaan penerimaan CPNS.
10. Penegak hukum adalah orang yang melaksanakan hukum terutama
aparat penegak hukum, dalam hal ini tertuju pada pejabat
pemerintah daerah yang diserahi tugas dan tanggung jawab oleh
peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan seleksi
penerimaan CPNS.
11. Budaya hukum adalah kebiasaan-kebiasaan yang berlaku atau
diberlakukan menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul dari
kegiatan pemerintah daerah dalam rangka penerimaan CPNS.
12. Kesadaran hukum adalah kepatuhan dan ketaatan seseorang
untuk mengaktualisasikan norma atau kaidah hukum dalam rangka
penerimaan CPNS.
13. Kemampuan SDM adalah keadaan pribadi dari pejabat pemerintah
daerah yang diserahi tugas penerimaan CPNS dan masyarakat
yang mengajukan lamaran untuk menjadi CPNS
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlangsung di Kabupaten Bantaeng, sebagai
salah satu pemerintahan daerah di Provinsi Sulawesi Selatan yang
sampai sekarang penerimaan CPNS masih bermasalah. Penelitian
difokuskan pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Bantaeng, khususnya bagi pejabat yang diserahi tugas dan tanggung
jawab melaksanakan kegiatan penerimaan CPNS.
Di samping itu, untuk memperoleh data sehubungan dengan
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng, maka penelitian ini juga
dilaksanakan pada Kantor Bupati Bantaeng, Kantor Sekretariat Daerah
Kabupaten Bantaeng, Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Bantaeng, sekaligus mendatangi para pemerhati hukum
dan praktisi hukum yang ada di Kabupaten Bantaeng, serta tempat
kediaman beberapa warga masyarakat yang pernah mengajukan
lamaran untuk menjadi CPNS di Kabupaten Bantaeng.
B. Populasi dan Sampel
Dimaksudkan dengan populasi yakni keseluruhan atau
himpunan dengan ciri yang sama, dapat berupa himpunan orang
(subyek hukum) pemangku hak dan kewajiban. Dengan merujuk pada
pengertian di atas, berarti jumlah narasumber terlalu banyak, karena
menyangkut semua CPNS dan semua aparat instansi yang terlibat
dalam penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng, mengingat
jumlahnya terlalu besar dan nyata tidak akan efektif dan tidak efisien
diteliti, maka cukup beralasan apabila dilakukan penarikan sampel
secara acak (random samping). Dimana hasil penarikan sampel
tersebut, dapat mewakili responden lain untuk kepentingan CPNS dan
aparat instansi yang terlibat dalam penerimaan, pelaksanan dan
pengumuman CPNS yang ada di Kabupaten Bantaeng.
Penelitian ini terlebih dahulu menetapkan sampel sebanyak 35
orang, keseluruhannya akan dijadikan responden, sebagai berikut :
1. Aparat pemerintah daerah Kabupaten Bantaeng, sebanyak 5
responden, yakni :
a. Kepala Badan Kepegawaian.
b. Beberapa orang staf pada Kantor BKD Kabupaten Bantaeng.
2. Anggota DPRD Bantaeng, sebanyak 5 responden.
3. Aparat Badan Kepegawaian Daerah Bantaeng, sebanyak 5
responden.
4. Pelamar dan calon pegawai negeri sipil sebanyak 10 responden.
5. Praktisi dari unsur pengacara serta pemerhati hukum dari unsur
LSM sebanyak 10 responden.
C. Jenis dan Sumber Data
Wujud penelitian ini bersifat normatif dan sosiologis dengan
harapan dapat mempermudah perolehan dua jenis data dari sumber
data yang berlainan, sebagai berikut :
1. Data primer, bersifat sosiologis dan empiris karena diperoleh dan
bersumber secara langsung dari responden melalui teknik
wawancara dan pengedaran daftar pertanyaan (kuesioner). Melalui
data primer ini, akan ditemukan fakta juridis berkenaan dengan
berbagai aspek dari penerapan prinsip-prinsip good governance
dalam penerimaan calon pegawai negeri sipil di Kabupaten
Bantaeng.
2. Data sekunder, bersifat normatif sekaligus sebagai data pendukung
yang sumbernya dapat dipercaya. Data sekunder ini diperoleh dan
bersumber dari penelitian kepustakaan, meliputi :
a. Peraturan perundang-undangan yang di dalamnya mengatur
asas, norma dan kaidah hukum yang berorientasi pada
penerapan prinsip-prinsip good governance dalam penerimaan
calon pegawai negeri sipil di Kabupaten Bantaeng.
b. Buku literatur yang di dalamnya memberikan petunjuk dan
penjelasan yang akan dijadikan acuan dalam rangka
memberdayakan prinsip-prinsip good governance dalam
penerimaan calon pegawai negeri sipil di Kabupaten Bantaeng.
D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data primer dan data sekunder,
dipergunakan teknik pengumpulan data, sebagai berikut :
1. Penelitian lapangan, bertujuan untuk memperoleh fakta berkenaan
dengan penerapan prinsip-prinsip good governance dengan cara
melihat dan terlibat langsung pada saat penerimaan CPNS, guna
mengetahui secara seksama upaya yang dilakukan oleh aparat
pemerintah yang diberi tugas melakukan penerimaan calon
pegawai negeri sipil di Kabupaten Bantaeng.
2. Penelitian kepustakaan, bertujuan untuk memperoleh data yang
akurat dan ilmiah yang dapat memberikan dukungan terhadap
penerapan prinsip-prinsip good governance bagi aparat pemerintah
dalam penerimaan calon pegawai negeri sipil di Kabupaten
Bantaeng.
E. Analisis Data
Pada prinsipnya semua data primer dan data sekunder yang
berhasil dihimpun selama berlangsungnya penelitian, selanjutnya akan
disusun secara sistematis menurut jenis dan sumber data. Upaya ini
dimaksudkan, agar dapat lebih mempermudah untuk menganalisis
data yang tersedia.
Analisis data dilakukan untuk menseleksi validitas dan
keabsahan dari suatu data yang diperoleh dari hasil penelitian,
sehingga diperoleh data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Hasil analisis data, kemudian dituangkan dengan
menggunakan metode pembahasan secara deskriptif.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Prinsip Good Governance Dalam Penerimaan CPNS
di Kabupaten Bantaeng.
Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa dengan
bergulirnya semangat reformasi telah mewarnai pendayagunaan
aparatur negara yang mampu mendukung kelancaran dan
keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan
pemerintah negara dan pembangunan dengan mempraktekkan
prinsip-prinsip good governance.
Di samping itu, masyarakat menuntut agar pemerintah
memberikan perhatian khusus terhadap penanggulangan kolusi,
korupsi dan nepotisme, sehingga tercipta pemerintahan yang bersih
dan mampu menyediakan public goods and services sebagaimana
diharapkan oleh masyarakat.
Prinsip good governance sebagaimana termuat pada UU No.
28 tahun 1999, merupakan komponen atau prinsip yang melandasi
tata pemerintahan yang baik. Namun dalam rangka penerimaan CPNS
di Kabupaten Bantaeng, paling tidak ada sejumlah prinsip yang dapat
dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good
governance, yakni :
1. Akuntabilitas;
2. Transparansi dan
3. Kepastian Hukum;
Ketiga prinsip utama diatas, tidaklah dapat berjalan sendiri-
sendiri, harus ada hubungan yang sangat erat dan saling
mempengaruhi dalam mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih.
Dari ketiga prinsip dimaksud akan diuraikan sebagai berikut :
1. Implementasi Prinsip Akuntabilitas
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu,
bahwa penyelenggaraan pelaksanaan penerimaan CPNS
merupakan kompetensi absolut dari pemerintah (eksekutif). Oleh
karena itu, secara normatif dan sosiologis menghendaki agar
aparat pemerintah yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk menyelenggarakan dan melaksanakan penerimaan CPNS
haruslah patuh dan taat terhadap prinsip akuntabilitas. Hal ini
penting diaplikasikan dalam praktik pemerintahan, karena asas
akuntabilitas merupakan salah satu prinsip good governance
sebagaimana dimaksud dalam UU. Nomor 28 Tahun 1999 (das
sollen).
Pada hakikatnya penerapan prinsip akuntabilitas dalam
rangka penyelenggaraan penerimaan CPNS di Kabupaten
Bantaeng, lebih berorientasi kepada penentuan setiap aktivitas
atau kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan
penerimaan CPNS sedapat mungkin harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai sesuai norma hukum yang termuat
di dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (hukum positif). Namun secara faktual, ternyata prinsip
akuntabilitas dalam rangka penyelenggaraan CPNS belum
terlaksana sebagaimana seharusnya di Kabupaten Bantaeng (das
sein).
Di samping itu, penerapan prinsip akuntabilitas dalam
rangka penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng sudah teruji. Hal
ini terlihat dari ditolaknya gugatan para penggugat (Elly Sulpiana,
dkk) dalam sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud
dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Nomor
24/G/2009/PTUN.Mks. Penolakan gugatan penggugat tersebut,
secara mutatis mutandis ternyata pihak tergugat yang dalam hal ini
Bupati Bantaeng adalah pihak yang memenangkan perkara tata
usaha negara yang bersangkutan, karena mampu
mempertanggungjawabkan kedua putusan yang telah diterbitkan
(objek sengketa) berkenaan dengan penerimaan CPNS tahun 2008
di Kabupaten Bantaeng.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka tergugat (Bupati
Bantaeng) dengan telah dimenangkannya perkara tata usaha
negara sesuai putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar
Nomor 24/G/2009/PTUN.Mks telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht) berarti pejabat tata usaha negara sudah dapat
menerbitkan surat keputusan pengangkatan CPNS tahun 2008
Kabupaten Bantaeng, sebagaimana telah diumumkan dan
dinyatakan lulus ujian seleksi CPNS berdasarkan :
a. Surat Keputusan Nomor 800/1267/BKD/2008, tanggal 27
Desember 2008 tentang Daftar Calon Pegawai Negeri Sipil yang
dinyatakan Lulus Formasi Tahun 2008, Type A (Div-S1), Type B
(D.II – D.III);
b. Surat Keputusan Nomor 800/22/BKD/2009, tanggal 11 Januari
2009 tentang Daftar Nama-nama Pelamar Calon Pegawai
Negeri Sipil Daerah yang dinyatakan Lulus Seleksi Calon
Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten Bantaeng Formasi
Tahun 2008/Revisi.
Selanjutnya Harian Fajar 45 , memberitakan, bahwa
Inspektorat temukan 8 (delapan) kecurangan BKD Bantaeng dalam
perekrutan CPNS formasi tahun 2009 di Bantaeng, sebagai berikut:
a. Menyimpang dari surat Men.Pan, BKN dan rapat koordinasi
antara Sekkab dan BKDD.
b. Meluluskan dua orang peserta yang masih tersangkut proses
PTUN, terkait proses CPNS tahun 2008 masing-masing Rudi
Basri, SPd Nomor peserta 121001145 formasi guru penjaskes,
45
Harian Fajar, Inspektorat Temukan 8 Kecurangan, 21 Januari 2010.
dan Afrianti Dewi Sari, Spd Nomor peserta 12101474 formasi
guru bahasa Indonesia.
c. Meluluskan peserta yang sebelumnya dinyatakan tidak lulus
berkas yakni : Rahmat, ST Nomor peserta 12100475 formasi
pengawasan keselamatan pelayaran (kelulusannya sudah
dianulir), Misnawati Nomor peserta 12101114 formasi guru TK,
dan Darmawati Nomor peserta 12101112 formasi guru TK
(menggunakan ijazah PGTKI yang tidak diakomodir).
d. Meluluskan dua orang peserta yang terindikasi penggunakan
ijazah Akta IV palsu, Sulkifli Nomor peserta 12101152 formasi
guru penjaskes, dan Nur Iftita Nomor peserta 1210860 formasi
guru budi daya pertanian.
e. Mengakomodir peserta yang berijazah LP3I, yang oleh Dirjen
Pendidikan Tinggi Depdiknas tidak diakui, yakni Helmianah
Nomor peserta 12200448 formasi Verifikator keuangan.
f. Peserta bernama Titik Muliyati Muchtar dengan Nomor peserta
12200597 pada formasi guru kelas dinyatakan lulus pada hal
ferifikasi menggunakan transkrip nilai palsu.
g. Peserta bernama Israk, A dengan nomor peserta 1200515 pada
formasi guru kelas pada hal ijazah DII Instruktur Baca Tulis dan
Terjemahan Al Qur’an.
h. Peserta bernama Rosma dengan Nomor peserta 12200568
pada formasi guru kelas dinyatakan lulus pada hal ijazah DII
program studi PGSDI/MI yang tidak sesuai kualifikasi.
Menurut hemat Penulis, bahwa terhadap kasus palsu-
memalsu dalam proses penerimaan CPNS tampak sudah sudah
menjadi budaya hukum di Indonesia. Hal ini terungkap di
Kabupaten Jeneponto, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri
Jeneponto perkara pidana Nomor 33/Pid.B/2011/PN.Jo, oleh
majelis hakim dalam dictum putum putusannya menyatakan
terdakwa I; Iskandar bin H. Nasir, terdakwa II; Irfan Djaja bin
Basineng Djaja, terdakwa III; Dodi Nurdiarto bin Widiyarto,
terdakwa IV; Ramlah K binti Kuma, dan terdakwa V; Asmirah Dewi
binti Muhtar telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “secara bersama-sama memakai surat
palsu”. Oleh karena itu, para terdakwa dipidana dengan pidana
penjara masing-masing selama 5 (lima) bulan.
Demikian pula halnya dengan putusan Pengadilan Negeri
Takalar dalam perkara pidana Nomor 69/Pid.B/2009/PN.Tk dalam
amar putusannya menyatakan terdakwa Muhammad Qadar bin
Parinringi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “menggunakan surat palsu atau yang
dipalsukan” berupa ijazah dan transkrip nilai dalam penerimaan
CPNS. Oleh karena itu, sehingga terdakwa dipidana dengan pidana
penjara selama 2 (dua) bulan.
Kemudian seorang PNS atas nama Rini Dg. Sigi
berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Takalar dalam perkara
pidana Nomor 87/Pid.B/2010/PN.Tk, menyatakan bahwa terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
“pemalsuan surat”, berupa SK CPNS Nomor
813.3.U/190/BKD/VI/2009 tanggal 8 Juni 2008 dengan nomor
penetapan Kepala BAKN Makassar Nomor EG.27305000217. Oleh
karena itu, sehingga terdakwa dipidana dengan pidana penjara
selama 9 (Sembilan) bulan.
2. Implementasi Prinsip Transparansi
Pada prinsipnya, penerimaan CPNS diselenggarakan
dengan tetap mematuhi dan mentaati prinsip transparansi.
Sementara yang dimaksud dengan transparansi disini, berorientasi
pada pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh
warga masyarakat Kabupaten Bantaeng yang memenuhi syarat-
syarat yang ditetapkan dalam rangka penerimaan CPNS.
Menurut hemat Penulis, bahwa sebenarnya penerapan
prinsip keterbukaan dimaksud, bukanlah keterbukaan yang tidak
tak terbatas. Akan tetapi keterbukaan yang dibatasi oleh ketentuan
perundang-undangan, artinya keterbukaan yang tetap harus
menjaga rahasia negara. Hal ini penting dimaklumi, karena
membuka rahasia negara merupakan salah satu bentuk tindak
pidana yang diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 9
(sembilan) bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah,
sebagaimana diatur dalam Pasal 322 dan Pasal; 323 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Berdasarkan pengalaman dan sejarah hukum
pemerintahan, diketahui bahwa akibat dari sistem pemusatan
(sentralisasi) kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab
penyelenggaraan penerimaan CPNS pada priode-priode
sebelumnya menjadi salah satu penyebab pemerintah tidak
transparan menyelenggarakan tugas dan fungsinya secara optimal
dalam penerimaan CPNS. Konsep pengadaan CPNS di Kabupaten
Bantaeng, di era Orde Baru merupakan salah satu ciri
penyelenggaraan penerimaan CPNS yang tidak transparan dan
pada akhirnya akan merugikan masyarakat.
Praktik penyelenggaraan penerimaan CPNS yang tidak
transparan tanpa disertai itikad baik mendistribusikan kekuasaan
dan kewenangan kepada pemerintah daerah, serta tidak
didasarkan atas suatu kerjasama yang baik di antara orang yang
memerintah dengan pihak yang diperintah, mustahil penerimaan
CPNS dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Bahkan praktik penyelenggaraan penerimaan CPNS yang
tidak transparan, berpotensi tumbuh dan berkembangnya kasus-
kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mengapa demikian ?,
karena praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demikian itu
hanya dapat memberikan keuntungan bagi segelintir golongan
tertentu untuk diterima keluarga dan kerabatnya menjadi CPNS.
Praktik yang demikian, merupakan kerugian bagi sebagian besar
masyarakat yang tidak punya koneksi dan rupiah untuk dipakai
menyogok demi agar dapat dinyatakan lulus dalam ujian
penerimaan CPNS di Kabupaten Bataeng.
Bertolak dari postulat-postulat tersebut, sehingga kaum
reformis beranggapan bahwa praktik penyelenggaraan
pemerintahan in casu penerimaan CPNS yang tidak transparan
bernuansa korupsi, kolusi dan nepotisme hanya akan merusak
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang pada akhirnya akan membahayakan eksistensi negara dan
pemerintah karena akan dikelola oleh orang-orang yang sangat
diragukan kredibilitasnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pasal
3 UU. Nomor 28 Tahun 1999 telah menetapkan beberapa prinsip
good governance, salah satu di antaranya adalah asas transparansi
dalam penerimaan CPNS.
Implementasi asas transparansi sebagai bagian integral
dari prinsip good governance dalam rangka penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng, tidak dapat diwujudkan sebagaimana
seharusnya bilamana dalam kepanitiaan penerimaan CPNS tidak
mengikut sertakan rakyat melalui wakil-wakilnya yang ada di DPRD
Kabupaten Bantaeng. Oleh karena itu, adalah suatu kewajaran
apabila lebih diberdayakan fungsi pengawasan yang dimiliki DPRD
Kabupaten Bantaeng, telah pro aktif menggunakan haknya
memanggil ke dalam hearing mempertanyakan kasus-kasus
penerimaan CPNS kepada Kepala BKD Kabupaten Bantaeng.
Selanjutnya masih soal formasi CPNS yang hilang
diberitakan bahwa Inspektur Provinsi Sulawesi Selatan mendesak
Bupati harus transparan pada rakyat Bantaeng, menjelaskan
secara jujur dan transparan kepada rakyatnya kenapa harus ada
korban CPNS yang dinyatakan lulus seleksi tetapi formasinya
hilang46.
Berkenaan dengan hilangnya lima formasi CPNS
Kabupaten Bantaeng, tahun 2010-2011, lebih lanjut Inspektur
Provinsi Sulawesi Selatan mengemukakan, bahwa seharusnya
Bupati Bantaeng secara kesatria mengemukakan hal itu kepada
publik secara langsung, bukan melalui stafnya yang juga
memberikan penjelasan secara tertutup kepada Kepala BKD
Sulsel. Bahkan lebih disesalkan lagi, karena pada sekitar awal
46
Harian Cakrawala, Bupati Harus Transparan Pada Rakyat Bantaeng, Jum’at, 10 Februari 2012.
bulan Januari 2012 tidak memberikan penjelasan tentang hilangnya
lima formasi CPNS Bantaeng. Padahal masyarakat menganggap,
bahwa momen itu cukup penting. Bupati Bantaeng baru
memberikan penjelasan pada saat penyerahan Surat Keputusan
pengangkatan CPNS sebanyak 215 orang dari 230 orang yang
dinyatakan lulus yang diumumkan Sekretaris Daerah Kabupaten
Bantaeng, sesuai suratnya Nomor 800/825/BKD/2010.
Sehubungan dengan beberapa fenomena sosial yang
bertalian dengan penerimaan CPNS di atas, sehingga Penulis
beranggapan bahwa aparat Pemerintah Daerah Kabupaten
Bantaeng belum transparan dalam rangka penyelenggaraan
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng. Hal ini memberikan
gambaran, bahwa aparat yang diberikan amanah
menyelenggarakan penerimaan CPNS belum taat dan patuh
terhadap prinsip transparansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 UU. Nomor 28 Tahun 1999.
3. Implementasi Prinsip Kepastian Hukum
Pada prinsipnya kepastian hukum merupakan salah satu
tujuan hukum, sedang tujuan hukum dapat diwujudkan melalui
pelaksanaan penegakan hukum. Namun faktanya penegakan
terhadap beberapa oknum yang diduga terlibat dalam kasus
pencaloan penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng,
kelihatannya masih tebang pilih dan menyalahi asas equality before
of the law.
Dikatakan tidak mematuhi asas equality before of the law,
karena hanya rakyat kecil yang ditetapkan sebagai tersangka.
Sedang seorang perwira menengah Polda Sulselbar yang diduga
keras terlibat dalam kasus pencaloan penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng, sampai sekarang belum ditetapkan sebagai
tersangka. Bahkan sengaja diedarkan issu bahwa Kompol RR yang
diduga terlibat kasus pencaloan penerimaan CPNS Kabupaten
Bantaeng, sekarang ini ditetapkan ke dalam Daftar Pencarian
Orang (DPO) oleh Polda Sulselbar.
Lalu bagaimana perkembangan selanjutnya?, beberapa
responden yang ditemui tidak ada yang berani memberikan
keterangan. Mengapa kasus pencaloan penerimaan CPNS
Kabupaten Bantaeng, seolah-olah ada usaha untuk menutup-
nutupi?. Bukankah sekarang ini, sudah berada pada priodesasi
transparansi birokrasi?, atau masih dalam belenggu doktrin rezim
Orde Baru?. Kesemua ini perlu ditelusuri lebih lanjut, sehingga
tercipta suatu kepastian hukum bagi masyarakat Bantaeng.
Pelaksanaan penegakan hukum tidak dapat dilepaskan
dari peran manusia selaku aparat penegak hukum. Bahkan
terkesan bahwa oknum CPNS itu sendiri yang tidak taat dan patuh
terhadap semua ketentuan hukum yang berlaku berkenaan dengan
pelaksanaan penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng.
Selanjutnya mengenai kepastian hukum dimaksud dalam
kaitannya dengan penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng, lebih
ditekankan pada masalah keadilan dalam setiap pengambilan
kebijakan. Oleh karena itu, seharusnya panitia (aparat penegak
hukum) taat dan patuh terhadap norma hukum yang tersebar di
dalam berbagai regulasi, terutama terhadap regulasi yang
mengatur penyelenggaraan penerimaan CPNS di Kabupaten
Bantaeng.
Kasus gugatan scoring nilai kelulusan pada Pengadilan
Tata Usaha Negara Makassar, dalam perkara Nomor
24/G/2009/PTUN.Mks dan hilangnya lima formasi CPNS
Kabupaten Bantaeng tahun 2010-2011 menurut hemat Penulis
merupakan salah satu bukti kuat untuk dikatakan bahwa prinsip
kepastian hukum belum terlaksana sebagaimana seharusnya pada
penyelenggaraan penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng.
Belum terlaksana sebagaimana seharusnya ketiga pilar
utama dari prinsip good governance (akuntabilitas, transparansi
dan kepastian hukum) yang diatur dalam Pasal 3 UU. Nomor 28
Tahun 1999, tidak dapat dilepaskan dari adanya beberapa faktor
berpengaruh dan mempengaruhi, baik pelamar CPNS maupun
terhadap segenap panitia dan aparat Pemerintah Daerah
Kabupaten Bantaeng.
B. Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Prinsip Good
Governance Dalam Penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng.
Pada uraian terdahulu telah dikemukakan, bahwa penerimaan
CPNS di daerah-daerah belum didasarkan atas prinsip-prinsip good
governance terutama dalam hal akuntabilitas, transparansi, dan
kepastian hukum. Pada hal prinsip-prinsip good governance dalam
penerimaan CPNS merupakan media komunikasi yang akan
mempertautkan kepentingan hukum pemerintah dengan rakyatnya.
Media komunikasi dimaksud, tidak dapat dilepaskan dari upaya
pengejawentahan budaya bangsa Indonesia yang dijabarkan ke dalam
sila-sila Pancasila.
Aplikasi dan implementasi dari sila-sila Pancasila (filosofi
bangsa Indonesia) dalam mempertautkan kepentingan pemerintah dan
rakyat yang diperintah, senantiasa mendapat pengaruh dari berbagai
faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh tersebut, bersifat ada yang
bersifat independen dan ada pula yang bersifat dependen.
Pentingnya mengantisipasi berbagai kemungkinan berkenaan
dengan adanya faktor-faktor berpengaruh dalam penerimaan CPNS,
agar tujuan yang hendak dicapai dapat diwujudkan sebagaimana
seharusnya. Atau setidak-tidaknya pejabat yang diberikan wewenang
untuk melakukan seleksi penerimaan CPNS, dapat
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemberian teladan kepatuhan hukum oleh aparat penegak hukum.
2. Sikap yang lugas dari aparat penegak hukum.
3. Penyesuaian peraturan yang berlaku dengan perkembangan
teknologi mutakhir.
4. Penerangan dan penyuluhan mengenai peraturan yang berlaku
terhadap masyarakat.
5. Memberikan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk memahami
peraturan yang baru dibuat47.
Di samping itu patut pula memperhatikan faktor-faktor lain
yang secara faktual sering mempengaruhi aparat penegak hukum
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, sebagai berikut :
1. Faktor hukumnya sendiri.
2. Faktor penegak hukum.
3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan.
5. Faktor kebudayaan48.
Bekerjanya faktor-faktor yang berpengaruh dalam penerimaan
CPNS tersebut, ternyata ada yang bersifat mendukung (positif) dan
47
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1982, hal. 4.
48 Soerjono Soekanto, Op Cit, 1988, hal. 5.
ada pula yang menghambat (negatif) terlaksananya prinsip-prinsip
good governance. Seberapa besar pengaruh dari masing-masing
faktor dimaksud, terutama dalam rangka penerimaan CPNS tergantung
pada isi faktor yang bersangkutan.
Adapun faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi dalam
rangka penerimaan CPNS di daerah-daerah, sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, yakni keseluruhan peraturan perundang-
undangan yang mengatur pelaksanaan penerimaan CPNS.
Sementara yang dimaksud hukum di sini, adalah hukum positif dan
diidentikkan sebagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai pandangan Hans Kelsen; Law is a coercive order of human
behavior, ... it is the primary norm which stipulates the sanction49.
Di dalam peraturan perundang-undangan ada yang berisi
perintah dan larangan, serta anjuran. Apabila perintah, larangan
dan anjuran dilanggar, maka pihak yang melakukan pelanggaran
akan dikenakan sanksi (penghukuman). Sedang sanksi yang
diberikan, harus pula sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
2. Faktor penegak hukum, yakni orang yang melaksanakan hukum
terutama aparat penegak hukum, dalam hal ini tertuju pada pejabat
pemerintah daerah yang diserahi tugas dan tanggung jawab oleh
49
L.B. Curson, Jurisprudensi, M & E Handbooks, 1979, hal. 27.
peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan seleksi
penerimaan CPNS.
Penegak hukum sifatnya abstrak, karena mempunyai
cakupan yang relatif cukup luas. Namun dibatasi pada pelaku dan
pelaksana hukum yang terlibat langsung dalam rangka penerimaan
CPNS, Misalnya; Kepala daerah beserta pembantu-pembantunya,
terutama bagi mereka yang bekerja pada Badan Kepegawaian
Daerah.
Keberadaan aparat penegak hukum di sini sangat penting,
karena mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role) sebagai
pemegang peranan (role occupant) dilengkapi hak dan kewajiban.
Hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat,
sedang kewajiban adalah beban atau tugas50.
3. Faktor budaya hukum, yakni kebiasaan-kebiasaan yang berlaku
atau diberlakukan menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul
dari kegiatan pemerintah daerah dalam rangka penerimaan CPNS.
Dimaksudkan dengan budaya hukum di sini, berupa
kebiasaan-kebiasaan positif yang tidak secara limitatif diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Akan tetapi berlaku dan
diberlakukan oleh pejabat pemerintah daerah, dalam rangka
penerimaan CPNS. Berkenaan dengan itulah, sehingga budaya
50
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1988, hal. 19-20.
hukum diidentikkan dengan permintaan dan tuntutan masyarakat
untuk menyelesaikan permasalahan hukum melalui institusi
hukum51.
4. Faktor kesadaran hukum, yakni kepatuhan dan ketaatan seseorang
untuk mengaktualisasikan norma atau kaidah hukum dalam rangka
penerimaan CPNS.
Kesadaran hukum disini sebagai salah satu faktor
berpengaruh, lebih difokuskan pada norma hukum yang tersebar di
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu,
maka yang dimaksud dengan faktor kesadaran hukum yakni
kesadaran tentang apa yang seyogyanya dilakukan atau diperbuat,
ataupun kesedaran tentang apa yang seyogyanya tidak dilakukan
atau diperbuat terhadap orang lain.
Dengan demikian, maka wajar dan patut apabila faktor
kesadaran hukum diasumsikan sebagai kesadaran akan nilai-nilai
yang terdapat di dalam diri setiap ummat manusia (pejabat
pemerintah daerah dan pelamar CPNS) tentang hukum yang ada
atau tentang hukum yang diharapkan akan ada52.
5. Faktor kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM), yakni keadaan
pribadi dari pejabat pemerintah daerah yang diserahi tugas
51
Lawrence M. Friedmann, Op Cit, 1975, hal. 6-7. 52
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone, Jakarta, 1998, hal. 28 dan 192.
penerimaan CPNS dan masyarakat yang mengajukan lamaran
untuk menjadi CPNS.
Faktor kemampuan SDM seseorang senantiasa terkait
dengan tingkat pendidikan, keterampilan, pengalaman, dan perilaku
hukum yang ditampakkan pada saat berlangsungnya proses
kegiatan penerimaan CPNS di daerah-daerah. Terutama dalam
memahami dan mengimplementasikan norma hukum yang tersebar
dalam berbagai regulasi, baik regulasi yang bersifat nasional
maupun regional (lokal).
Selanjutnya Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng, sebagai
pelaksana fungsi-fungsi pemerintahan daerah diaplikasikan melalui
lembaga pemerintahan daerah terdiri dari Pemerintah Daerah (Bupati
dan Perangkat Daerah) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Kabupaten Bantaeng.
Kedua unsur pemerintah daerah inilah yang bertanggung
jawab atas terlaksananya tugas-tugas pemerintahan daerah, baik yang
bersifat wajib maupun yang bersifat pilihan (Pasal 14 ayat (1) UU.
Nomor 32 Tahun 2004 juncto UU. Nomor 8 Tahun 2005 juncto UU.
Nomor 12 Tahun 2008). Sementara aparat pemerintah daerah yang
diharapkan akan melaksanakan tugas pekerjaan dimaksud, umumnya
berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Oleh karena itu, dipandang
perlu menetapkan rencana rekruitmen CPNS untuk mengisi formasi
yang tersedia.
Kemudian di dalam rumusan Pasal 129 sampai dengan Pasal
135 UU. Nomor 32 Tahun 2004 juncto UU. Nomor 8 Tahun 2005 juncto
UU. Nomor 12 Tahun 2008, memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten
Bantaeng untuk menetapkan formasi dan mengangkat pegawai negeri
sipil daerah sesuai manajemen pegawai negeri sipil secara nasional.
Penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng, dilaksanakan
dengan tetap mengacu pada filosofi the right man on the right place
dan prinsip-prinsip good governance sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 UU. Nomor 28 Tahun 1999. Oleh karena itu, maka
pelaksanaan penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng harus
terjamin kepastian hukumnya, penyelenggaraannya dilakukan secara
tertib, tidak untuk kepentingan perseorangan melainkan untuk
kepentingan umum, dilaksanakan secara terbuka, proporsionalitas
dan professional, sehingga out put yang diperoleh benar-benar dapat
dijamin akuntabilitasnya53.
Menurut hemat Penulis, bahwa segala apa yang dikemukakan
responden di atas sesuai aturan normatif dari regulasi yang mengatur
tata cara dan prosedur penerimaan CPNS. Namun fakta empirisnya
53
Wawancara, H. Muhammad Yasin, Sekretaris Daerah Kabupaten Bantaeng, Senin, 30 Januari 2012.
sangat berbeda dengan harapan perundang-undangan, karena adanya
berbagai masalah hukum yang sangat memprihatinkan sebagian besar
peserta pelamar ujian CPNS, antara lain:
1. Adanya pengumuman revisi tentang kelulusan ujian CPNS 2008,
pada pengumuman pertama dinyatakan lulus dan setelah
pengumuman kedua justru dinyatakan tidak lulus.
2. Hilangnya sebanyak lima formasi CPNS tahun 2010-2011, tanpa
ada penjelasan lebih lanjut sebagai pertanggungjawaban moril dari
Pemerintah Kabupaten Bantaeng, hal ini melanggar prinsip
akuntabilitas.
3. Semaraknya isu pencaloan dalam proses penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng, sampai sekarang belum ada yang dihukum.
Hal ini tidak sejalan dengan program pemerintah dalam
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pelaksanaan
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng tidak dilakukan secara
serta merta dan sekehendak oknum-oknum tertentu yang
diamanahkan untuk menyelenggarakan penerimaan CPNS. Akan
tetapi harus sesuai tata cara dan prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan, untuk lebih jelasnya digambarkan
skema penerimaan CPNS di bawah ini.
Skema Mekanisme Penerimaan CPNS Kabupaten Bantaeng
Sumber : Kantor BKD Bantaeng
REGULASI
PENGUMUMAN
SELEKSI ADM
PELAMARAN PENGADAAN
PENYARINGAN
PENETAPAN
KELULUSAN
PERENCANAAN
Menurut keterangan Andi Novrita A. Langgara54, selaku Ketua
DPRD Kabupaten Bantaeng, bahwa selama ini telah banyak
diterbitkan peraturan daerah. Apabila dicermati muatan dan substansi
hukum yang diatur di dalamnya, maka Pemerintah Daerah Kabupaten
Bantaeng selalu mempertimbangkan kemungkinan memberdayakan
sumber daya manusia untuk dijadikan pegawai negeri sipil di
Kabupaten Bantaeng.
Keterangan responden di atas, memang ada benarnya karena
di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bantaeng Nomor 1 Tahun 2009
yang telah dirubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bantaeng
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, di dalamnya terurai dengan jelas alokasi dana yang
dianggarkan untuk mendukung pelaksanaan penerimaan CPNS.
Bersesuaian pula dengan Keputusan Bupati Bantaeng Nomor
800/499/XI/2009 tentang Pembentukan Panitia Pengadaan Calon
Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) Pelamar Umum Kabupaten
Bantaeng Formasi Tahun 2009. Adapun dasar pertimbangan
sosiologis diterbitkannya keputusan dimaksud, untuk memperlancar
pelaksanaan penerimaan CPNSD di Kabupaten Bantaeng. Untuk
maksud tersebut, disusunlah kepanitiaan penerimaan CPNS dimana
Bupati dan Wakil Bupati Bantaeng selaku penanggung jawab sekaligus
sebagai pengarah. Sekretaris Daerah Kabupaten Bantaeng ditunjuk
54
Wawancara, Andi Novrita A. Langgara, Ketua DPRD Kabupaten Bantaeng, Kamis, 2 Februari 2012.
sebagai ketua, sedang Kepala BKD Kabupaten Bantaeng didudukkan
selaku sekretaris panitia, dilengkapi dengan beberapa personil
anggota panitia, baik karena jabatan maupun secara perorangan yang
kesehariannya menangani administrasi kepegawaian di Kabupaten
Bantaeng.
Adapun tugas pokok dari Panitia Pengadaan Calon Pegawai
Negeri Sipil Daerah (CPNSD) Kabupaten Bantaeng, yakni
mempersiapkan pengaturan pelaksanaan pelamaran, seleksi
administrasi sampai pelaporan hasil penyelenggaraan kegiatan
pengadaan CPNSD Pelamar Umum untuk formasi tahun 2009. Dan
segala biaya yang timbul karena kepanitiaan dimaksud, dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bantaeng
Tahun Anggaran 2009 melalui kegiatan seleksi penerimaan CPNS.
Walaupun berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan oleh
kepanitiaan tersebut, namun secara faktual (kecurangan, kolusi dan
nepotisne) masih ditemukan adanya perbedaan atau ketidaksesuaian
antara ius contituendum (das sollen) dengan ius contitutum (das sein).
Fenomena hukum yang demikian, menjadi salah satu penyebab
timbulnya kekecewaan atau ketidakpuasan dan ketidakpercayaan
sebagian peserta seleksi CPNS Kabupaten Bantaeng. Sehingga
mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara
Makassar, tercatat dalam register perkara Nomor
24/G/2009/PTUN.Mks.
Penggugat di dalam perkara tata usaha Negara tersebut, terdiri
dari 7 (tujuh) orang yang telah dinyatakan lulus, kemudian dianulir
menjadi tidak lulus55. Ketujuh orang penggugat, masing-masing :
A. Elly Supriana;
B. Ratnawati, R., S.Pd.;
C. Husran, T.H.;
D. Ahmad Bakhtiar Arma;
E. Sitti Masyitah Anwar;
F. Yahya Satriawan; dan
G. Muhammad Jabal Arafah.
Sementara yang didudukkan sebagai tergugat adalah Bupati
Bantaeng, karena telah menerbitkan surat keputusan (objek sengkleta)
yang merugikan penggugat, masing-masing :
1. Surat Keputusan Nomor 800/1267/BKD/2008, tanggal 27
Desember 2008 tentang Daftar Calon Pegawai Negeri Sipil yang
dinyatakan Lulus Formasi Tahun 2008, Type A (Div-S1), Type B
(D.II – D.III);
2. Surat Keputusan Nomor 800/22/BKD/2009, tanggal 11 Januari
2009 tentang Daftar Nama-nama Pelamar Calon Pegawai Negeri
Sipil Daerah yang dinyatakan Lulus Seleksi Calon Pegawai Negeri
Sipil Daerah Kabupaten Bantaeng Formasi Tahun 2008/Revisi.
55
Wawancara, Sudarni, SH. Anggota Tim Kuasa Hukum Tergugat, Kamis, 2 Februari 2012.
Setelah proses jawab-menjawab dan pengajuan alat-alat bukti
serta saksi-saksi dari kedua belah pihak yang berperkara, maka
majelis hakim yang memeriksa, menyidangkan dan memutuskan
perkara aquo menyatakan menolak gugatan penggugat untuk
seluruhnya dan menghukum para penggugat untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp. 63.000,- (enam puluh tiga ribu rtupiah), dengan
pertimbangan hukum antara lain :
a. Menimbang, bahwa dari keseluruhan pertimbangan hukum
terhadap dalil-dalil gugatan, jawaban, replik maupun duplik para
pihak yang bersengketa seperti telah dipertimbangkan di atas,
menurut Majelis hakim telah cukup dibuktikan oleh Pihak Tergugat
bahwasanya permasalahan hukum menyangkut pengadaan
pegawai negeri seperti tersebut secara kasuistis in casu bukan
merupakan kewenangan dari Badan Peradilan Tata Usaha Negara
untuk mengadilinya dan tata cara penerbitannya telah memenuhi
ketentuan hukum yang berlaku menurut undang-undang.
b. Menimbang, bahwa terhadap permohonan mana yang diajukan
oleh Para Penggugat melalui dalil gugatan seperti terurai dalam
pertimbangan dimaksud, pula telah ditindak lanjuti oleh Para
Penggugat dengan melayangkan surat kepada Kepala Badan
Kepegawaian Negara (BKN) Pusat di Jakarta (vide Bukti P-14)
yang pada pokoknya meminta agar Kepala BKN Pusat
“menangguhkan/ menunda” penerbitan Nomor Induk Pegawai/NIP
berkenaan dengan Surat Keputusan dengan alasan sedang dalam
proses gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar
adalah sah-sah saja sepanjang menjadi kehendak Para Penggugat
dan menurut aturan untuk itu.
c. Menimbang, bahwa namun perlu untuk dipertimbangkan disini
bahwasanya sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1) berbunyi;
“Gugatan tidak menunda atau menghalangi pelaksanaan dari
adanya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta
tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat”,
kecuali diterbitkan “penetapan” penangguhan oleh Ketua
Pengadilan dan/atau oleh Majelis hakim yang mengadili
sengketanya.
d. Menimbang, bahwa pada kenyataannya kecermatan dan ketelitian
Majelis hakim in casu dapatlah dibuktikan perihal tidak adanya
kewenangan bagi Badan Peradilan Tata Usaha Negara in casu
Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar a quo menyangkut
scoring, sedangkan gugatan terhadap objek sengketa tidaklah
dapat dibuktikan perihal adanya pelanggaran sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 53 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004 perihal Revisi Terhadap Undang-
undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan dengan
demikian pula maka menjadi tidak beralasan hukum terhadap
permohonan penangguhan terhadap objek sengketa untuk
dikabulkan dimana pada kenyataannya pula hingga
dipertimbangkannya pertimbangan hukum ini, Pengadilan Tata
Usaha Negara Makassar dalam perkara a quo tidak dan belum
pernah menerbitkan dan/atau mengeluarkan penetapan tentang
penangguhan terhadap objek sengketa in casu.
e. Menimbang, bahwa jika ternyata sebagaimana bukti bertanda P-14
dimaksud menjadi wacana perihal adanya penangguhan terhadap
berlakunya objek sengketa, olehnya seperti telah dipertimbangkan
di atas, maka surat bukti P-14 a quo menurut hemat Majelis hakim
semata-mata adalah merupakan surat pribadi dari pada Para
Penggugat yang kadar kekuatan hukumnya adalah menurut tujuan
dan penerima surat dimaksud untuk dikabulkan atau tidaknya serta
tidak ada relevansinya dengan ketentuan hukum yang berkaitan
dengan “perintah” dan/atau “sanksi” terhadap tindakan tidak
dilaksanakan/ditaatinya “penangguhan” dimaksud sebagaimana
dimaksud Surat Edaran Menteri Negara Republik Indonesia.
f. Menimbang, bahwa terhadap alat-alat bukti selebihnya, baik yang
diajukan oleh Pihak Penggugat maupun yang diajukan oleh Pihak
Tergugat, utamanya yang berkenaan dengan dalil maupun dalih
mengenai adanya aspek perbuatan pidana sebab penyimpangan
dan/atau kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu
yang berkewenangan untuk itu, keadaan mana belumlah dapat
dijadikan alat bukti yang melengkapi dalil ataupun dalih dimaksud,
jika belum ada putusan Pengadilan yang berwenang mengadili
perkaranya yang berkekuatan hukum tetap dan dapat
dilaksanakan.
g. Menimbang, bahwa pertimbangan hukum sebagaimana
dipertimbangkan di atas, menurut hemat Majelis hakim maka tidak
dan/atau belum dapat dipertimbangkan alat bukti yang mendasari
dalil maupun dalih perihal adanya indikasi perbuatan pidana yang
telah dilakukan oleh “seseorang” yang kemudian menjadi
“tersangka” maupun “terdakwa” melalui pertimbangan hukum untuk
itu; alat bukti mana demi hukum menyangkut azas praduga tak
bersalah, belumlah dapat dipertimbangkan menurut Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, kecuali telah ada dan dijadikan bukti
tertulis terhadap putusan dari padanya, pula telah berkekuatan
hukum tetap dapat dilaksanakan menyangkut pembuktian atas
dakwaan yang berhubungan langsung dengan permasalahan
sengketa tata usaha negara in casu.
h. Menimbang, bahwa tidaklah berlebihan kiranya jika
dipertimbangkan disini perihal permasalahan hukum menyangkut
sengketa tata usaha negara in casu secara kasuistis seperti telah
dipertimbangkan sebagaimana pertimbangan hukum di atas, maka
melalui gugatannya; Para Penggugat telah mendalilkan
bahwasanya dalam Tergugat menerbitkan Kedua Keputusan yang
kemudian menjadi objek sengketa a quo kiranya dilakukan dengan
menyimpangi “scoring” nilai ujian bagi pelamar kerja yang diuji dan
ditetapkan oleh Universitas Hasanuddin di Makassar selaku mitra
kerja dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng dalam rangka
penerimaan calon pegawai negeri sipil pada Pemerintah Daerah
dimaksud.
i. Menimbang, bahwa melalui persidangan yang telah dilaksanakan
sebagaimana pada penetapan sidangnya, baik Pihak Penggugat
maupun Pihak Tergugat telah mengajukan bukti-bukti tertulis
menyangkut dalil dan dalih gugatan dan replik serta jawaban dan
duplik masing-masing, dan untuk tersebut setelah Majelis hakim
mengkonstatir alat-alat bukti tertulis dimaksud, olehnya diketahui
bahwasanya antara bukti yang mengkait scoring dari Pihak
Penggugat ternyata berbeda dengan bukti yang ada pada Pihak
Tergugat.
j. Menimbang, bahwa alat bukti tersebut yang berada pada dan
diajukan sebagai bukti bagi Pihak Penggugat, merupakan Hasil
Uian CPNS Tahun 2008 Tingkat Pendidikan Sarjana Kabupaten
Bantaeng yang bercap Dinas Badan Kepegawaian Daerah
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan diparaf tanpa nama
pemaraf serta dilegalisasi resmi sesuai salinan oleh Badan yang
bersangkutan bertanda bukti P-3 yang telah dilegalisir sesuai
salinan; hasil ujian mana sebagaimana kolom keterangan isi, pula
mencantumkan uraian “nilai”, termasuk “total” nilainya.
k. Menimbang, bahwa akan tetapi Pihak Tergugat pula mengajukan
bukti tertulis bertanda T-3 yang sesuai dengan asli dengan asli
berupa Daftar Urutan Hasil Ujian Seleksi CPNS 2008 Kabupaten
Bantaeng Tingkat Pendidikan D-IV dan S.1 serta D.II dan D.III yang
dibuat dan ditandatangani pada tanggal 23 Desember 2008 oleh
Ketua Pemeriksa LJK CPNS Sulsel., Kepala BKD Propinsi Sulsel.,
Bawasda Kabupaten Bantaeng serta Kepala BKD Kabupaten
Bantaeng; hasil ujian mana sebagaimana kolom keterangan isi,
tidak ada mencantumkan uraian “nilai” ataupun “total” nilainya.
l. Menimbang, bahwa namun demikian mengkait, mengkait fakta
perihal adanya perbedaan hasil ujian dimaksud sebagaimana alat
bukti tersebut yang telah diajukan oleh masing-masing pihak di
persidangan ternyata tidak ada statement lain melalui dalil
pembuktian untuk itu selain dari pada dalil dan dalih jawab-
menjawab pihak-pihak yang dapat membantah perihal adanya
kewajiban bagi Tergugat untuk menetapi hasil scoring
sebagaimana bukti T-3 berupa Daftar Urutan Hasil Ujian Seleksi
CPNS 2008 Kabupaten BantaengTingkat Pendidikan D-IV dan S.1
serta D.II dan D.III yang dibuat dan ditandatangani pada tanggal 23
Desember 2008 oleh Ketua Panitia Pemeriksa LJK CPNS Sulsel.,
Kepala BKD Propinsi Sulsel., Bawasda Kabupaten Bantaeng serta
Kepala BKD Kabupaten Bantaeng yang tidak ada mencantumkan
uraian “nilai” ataupun “total” nilainya dan bukan untuk menetapi
Hasil Ujian CPNS Tahun 2008 Tingkat Pendidikan Sarjana
Kabuopaten Bantaeng yang tanda bukti P-3 yang mencantumkan
uraian “nilai”, termasuk “total” nilainya; oleh karena mana menurut
hemat Majelis hakim telah tidak terdapat korelasi langsung maupun
tidak langsung antara bukti P-3 dengan bukti T-3 terhadap
kepentingan Pihak Tergugat dalam rangka menerbitkan keputusan
a quo objektum litis yakni Surat Keputusan Nomor
800/1267/BKD/2008., Tanggal 27 Desember 2008 tentang Daftar
Calon Pegawai Negeri Sipil yang DINYATAKAN LULUS FORMASI
tahun 2008., Type A (DIV-S1)., Type B (D.II-D.III) (Vide bukti P-1
identik bukti T-1) dan Surat Keputusan Nomor 800/22/BKD/2008.,
Tanggal 11 Januari 2009 tentang Daftar Nama-nama Pelamar
Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah yang Dinyatakan Lulus Seleksi
Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten Bantaeng, Formasi
Tahun 2008/Revisi (Vide Bukti P-2 identik Bukti T-2).
m. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum seperti telah
dipertimbangkan menurut hukum di atas selanjutnya maka
terhadap Gugatan Para Penggugat a quo, oleh Majelis hakim untuk
selanjutnya dinyatakan ditolak untuk seluruhnya.
n. Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Para Penggugat telah
ditolak menurut pembuktian yang berdasarkan alat bukti
sebagaimana cukup dipertimbangkan di atas, oleh karenanya
terhadap alat-alat bukti selebihnya yang belum dan tidak
dipertimbangkan melalui pertimbangan hukum ini oleh sebab
relevansi untuk pertimbangan hukum yang menurut hukum
dikaitkan dengan objek sengketa aquo menyangkut scoring,
kiranya merupakan bagian yang tidak dipisahkan dan menjadi
bagian dari pertimbangan hukum putusan aquo.
o. Menimbang, bahwa oleh karena Gugatan Para Penggugat
sebagaimana telah dipertimbangkan di atas oleh Majelis hakim dan
dinyatakan ditolak untuk seluruhnya maka segala biaya yang timbul
dalam perkara ini dibebankan pada Para Penggugat yang besarnya
akan ditetapkan dalam amar putusan ini.
Dengan menyimak pertimbangan-pertimbangan hukum majelis
hakim di atas, tampak dengan jelas bahwa pengumuman scoring nilai
kelulusan hasil ujian CPNS yang diterbitkan oleh Tergugat dipandang
oleh majelis hakim tidak dapat dibuktikan oleh Penggugat tentang
objek yang dijadikan sengketa, sebagaimana diatur dalam Pasal 53
ayat (2) huruf a dan huruf b UU. Nomor 9 Tahun 2004.
Di samping itu, mengenai pembuktian scoring nilai kelulusan
ujian CPNS Kabupaten Bantaeng tahun 2008. Ternyata terdapat
perbedaan isi (materi substansi) dari yang termuat di dalam bukti P-3
dengan bukti T-3, namun majelis hakim lebih meyakini kebenaran bukti
T-3 dari pada bukti P-3. Oleh karena itu, sehingga majelis hakim
menyatakan gugatan penggugat ditolak.
Kemudian mengenai permohonan penggugat untuk
penangguhan penerbitan surat keputusan pengangkatan CPNS yang
dinyatakan telah lulus ujian CPNS, karena masih dalam proses
persengketaan di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Oleh
majelis hakim menilai bahwa hal itu merupakan sah-sah saja. Namun
demikian, majelis hakim tetap berpegang teguh pada Pasal 67 ayat (1)
UU. Nomor 9 Tahun 2004.
Berkenaan dengan ditolaknya gugatan penggugat, maka
secara ex offisio penggugat seharusnya dihukum membayar biaya
perkara. Penghukuman atas diri penggugat disini, tidaklah
dimaksudkan “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Akan tetapi,
penghukuman pembayaran biaya bagi pihak yang dikalahkan,
merupakan konsekuensi juridis yang harus ditanggulangi oleh pihak
yang dikalahkan56.
Walaupun demikian, menurut hemat Penulis bahwa dengan
adanya gugatan (sengketa) berkenaan dengan pelaksanaan
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng memberikan petunjuk,
bahwa masyarakat khususnya peserta ujian CPNS masih meragukan
akuntabilitas, transparansi dan kepastian hukum pelaksanaan
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng. Terhadap asumsi
masyarakat tersebut, dipandang perlu dianalisis secara normatif
56
Wawancara, M. Harivai, Panitera Penggati PTUN Makassar, Senin, 6 Februari 2012.
dipertautkan dengan fakta hukum yang ada dalam pelaksanaan
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng.
Pada hakikatnya setiap orang yang melibatkan diri atau
dilibatkan dalam kegiatan penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng,
mempunyai harapan agar kinerja dan hasil kerjanya dapat lebih
akuntabilitas, transparan dan dijamin kepastian hukumnya. Hal ini
dimaksudkan, agar di dalam melakoni setiap tahapan kegiatan dalam
rangka penerimaan CPNS senantiasa sesuai dengan norma atau
kaidah hukum yang tersebar dalam berbagai regulasi, baik regulasi
yang bersifat nasional maupun regulasi yang bersifat regional.
Fenomena ini penting dimaklumi, karena di dalam berbagai
regulasi dimaksud terkandung prinsip-prinsip dasar tentang perlunya
asas akuntabilitas, transparansi dan kepastian hukum yang diatur
dalam Pasal 3 UU. Nomor 28 Tahun 1999, berlaku sebagai hukum
positif yang harus ditaati dan dipatuhi oleh semua pihak dalam rangka
penerimaan CPNS. Oleh karena itu, seyogyanyalah apabila prinsip-
prinsip dasar dimaksud, menjadi perhatian utama dari setiap pelamar
CPNS, panitia dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng.
Dengan ditaati dan dilaksanakannya keseluruhan prinsip-
prinsip dasar good governance yang termuat di dalam berbagai
regulasi tersebut, sehingga masing-masing pihak akan merasakan
suasana penyelenggaraan penerimaan CPNS dianggap cukup teratur,
aman, damai dan tenteram. Sedang untuk merealisasikan ketiga pilar
utama dari prinsip good governance sebagaimana seharusnya dalam
penerimaan CPNS, tentu diperlukan adanya dukungan normatif
berupa norma atau kaidah hukum yang dapat dijadikan sebagai
patokan bertindak dan berperilaku dalam penyelenggaraan
penerimaan CPNS.
Norma atau kaidah hukum ketiga pilar utama good
governance dimaksud, tersebar dalam berbagai regulasi baik yang
diciptakan oleh Pemerintah Pusat maupun produk dari Pemerintah
Daerah Kabupaten Bantaeng. Keseluruhan regulasi tersebut,
memberikan petunjuk dan arahan tentang bagaimana cara bertindak
agar pelaksanaan penerimaan CPNS sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat Bantaeng. Namun faktanya seolah-olah ada pembiaran,
agar yang dinyatakan lulus ujian penerimaan CPN adalah mereka
yang mempunyai koneksi (KKN) atau sejumlah uang sogokan. Jika
benar hal ini terjadi, jelas akan merugikan warga masyarakat,
khususnya peserta ujian yang tidak diragukan kredibilitasnya.
Berdasarkan data empiris yang berhasil dihimpun selama
berlangsungnya penelitian, diketahui bahwa panitia dan aparat
Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng, tidak menerapkan asas
akuntabilitas, transparansi dan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan penerimaan CPNS. Tidak dilaksanakannya ketiga
pilar utama prinsip good governance tersebut, diduga karena adanya
beberapa faktor berpengaruh. Terhadap faktor-faktor yang dominan
berpengaruh tersebut, akan disajikan secara deskriptif secara
berurutan di bawah ini.
1. Faktor Hukumnya Sendiri
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu,
bahwa faktor substansi hukum (hukumnya sendiri) merupakan
salah satu indikator yang mempengaruhi aparat Pemerintah
(Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng), khususnya Panitia
Pengadaan CPNS yang dibentuk oleh Bupati Bantaeng guna
melaksanakan asas akuntabilitas, asas transparansi, dan asas
kepastian hukum sebagai bagian integral dari prinsip-prinsip good
governance dalam penyelenggaraan penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng.
Sementara orientasi dari faktor hukumnya sendiri sebagai
suatu fenomena berpengaruh dalam rangka penerimaan CPNS
dimaksud, akan dianalisis dari segi sosiologis dengan menerapkan
teori-teori ilmu hukum. Hal ini dimaksudkan, agar dapat diketahui
seberapa pengaruh faktor substansi hukum (judge made law) yang
secara faktual lebih berorientasi pada norma atau kaidah hukum
berkenaan dengan penyelenggaraan penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng.
Akan tetapi harus diingat, bahwa selengkap bagaimanapun
suatu peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis
produk manusia (legilatif dan eksekutif) tidak akan pernah
sempurna dan selalu ada celah yang dapat dimanfaatkan oknum-
oknum tertentu untuk mengambil keuntungan dari pelaksanaan
program pengadaan CPNS di Kabupaten Bantaeng. Fenomena ini
akan dipertanyakan kepada para responden, mengenai persoalan-
persoalan judge made law atau law in book ?. Terhadap pertayaan
tersebut, dapat diberikan jawaban bahwa hukum tertulis lebih
transparan dan lebih memberikan jaminan kepastian hukum
daripada hukum tidak tertulis, sehingga out put yang dilahirkan
dapat dipertahankan akuntabilitasnya.
Eksistensi substansi hukum sebagai wujud dari suatu
peraturan hukum materil yang bersifat normatif (dogmatik),
sehingga para ahli hukum beranggapan bahwa idealnya faktor
substansi hukum bersifat pasti, bisa diprediksi dan bebas dari hal-
hal yang bersifat subjektif. Faktor substansi hukum dalam bentuk
norma atau kaidah hukum yang dijadikan objek analisa, secara
mutatis mutandis akan melahirkan hak dan kewajiban hukum yang
dapat dipaksakan pelaksanaannya.
Apabila ada hak dan kewajiban yang lahir dari regulasi
yang secara tersebut, dapat dikatakan bahwa faktor substansi
hukum merupakan salah satu instrumen dan anasir yang harus
dipatuhi, ditaati, dan dilaksanakan sebagaimana seharusnya.
Sedang pelaksanaan hak dan kewajiban dimaksud, merupakan
salah satu ciri dan karakteristik dari konsep penegakan hukum (law
enforcement) di Indonesia.
Menurut hemat Penulis, bahwa pranata penegakan hukum
merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar untuk
mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat).
Sementara di dalam suatu negara hukum, penegakan hukum tidak
dapat dianak tirikan. Akan tetapi harus dikedepankan, guna
terciptanya keadilan dan kepastian hukum di Indonesia.
Persoalannya sekarang terfokus pada efektif atau tidak
efektifnya faktor substansi hukum mempengaruhi penyelenggaraan
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng?, untuk maksud
tersebut, secara ex officio tentu diperlukan adanya dukungan data
empiris yang dapat dipertanggungjawabkan validitas dan
keterandalannya dengan cara mempertanyakan kepada
responden.
Prosentase hasil penilaian responden terhadap pengaruh
faktor substansi hukum, tergambar dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Data Pengaruh Faktor Substansi Hukum
No. U r a i a n Banyaknya Prosentase
1.
2.
3.
Sangat berpengaruh
Kurang berpengaruh
Tidak berpengaruh
29 orang
4 orang
2 orang
82,86 %
11,43 %
5,71 %
Jumlah 35 orang 100,00 %
Sumber data : Hasil analisa kuesioner, Tahun 2012
Berdasarkan data empiris yang tergambar pada tabel 1
tersebut, dapat dimaklumi bahwa sebagian besar responden secara
tertutup dan rahasia telah memberikan keterangan (pendapat)
bahwa faktor substansi hukum sangat efektif mempengaruhi proses
penyelenggaraan penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng. Data
empiris di atas, menunjukkan skoring 29 (82,86 %) yang
menyatakan sangat berpengaruh sekaligus sebagai pilihan
jawaban tertinggi dari responden, sebanyak 4 (11,43 %) responden
menyatakan kurang berpengaruh, dan sisanya 2 (5,71 %)
responden menyatakan tidak berpengaruh sekaligus sebagai
pilihan jawaban terendah.
Menurut hemat Penulis, bahwa tingginya skoring penilaian
responden terhadap pengaruh substansi hukum dalam rangka
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng. Karena di dalam
substansi hukum terkandung norma atau kaidah hukum berupa
perintah, anjuran dan larangan. Norma atau kaidah hukum inilah
yang akan menuntun setiap orang (pelamar, panitia penerimaan
CPNS, dan aparat Pemerintah Daerah), agar tidak ada yang
melakukan kecurangan atau pelanggaran hukum karena akan
diberikan sanksi sesuai tingkat kesalahannya.
Berkenaan dengan keterangan dari responden apabila
dipertautkan dengan data kuantitatif yang tersaji dalam tabel 1 di
atas, merupakan suatu kewajaran apabila ternyata sebagian besar
responden (74,29 %) menilai sangat efektif berpengaruh faktor
substansi hukum dalam rangka penerimaan CPNS di Kabupaten
Bantaeng.
2. Faktor Penegakan Hukum
Faktor penegakan hukum merupakan salah satu instrumen
hukum yang diharapkan dapat memperlihatkan adanya itikad baik
seseorang untuk melaksanakan norma atau kaidah hukum yang
berkenaan dengan pengadaan CPNS di Kabupaten Bantaeng.
Norma dan kaidah hukum yang mengatur tata cara dan prosedur
penerimaan CPNS dimaksud, tersebar di dalam berbagai regulasi,
baik regulasi produk Pemerintah Pusat maupun regulasi yang
dibuat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng.
Menurut hemat Penulis, bahwa segala apa yang terurai di
dalam suatu regulasi hendaknya tidak sekedar dipandang sebagai
pajangan, tidak pula sekedar diketahui, dan tidak hanya dijadikan
sebagai bahan bacaan semata. Akan tetapi yang lebih penting,
adalah pelaksanaannya baik bagi peserta pelamar CPNS, panitia
penerimaan CPNS, maupun terhadap aparat Pemerintah Daerah
Kabupaten Bantaeng. Secara rasional suatu regulasi dibuat,
dengan maksud untuk mengatur suatu tatanan agar dapat
berlangsung sesuai dengan yang dikehendaki. Norma hukum yang
termuat di dalam setiap regulasi, benar-benar harus ditegakkan dan
penegakannya harus sesuai tata cara dan prosedur hukum yang
berlaku.
Demikian halnya dengan regulasi yang secara khusus
mengatur tata cara dan prosedur penerimaan CPNS di Kabupaten
Bantaeng, seyogyanya ditaati dan dipatuhi. Namun ditemukan
beberapa fakta empiris, bahwa norma dan kaidah hukum yang
terkandung di dalam suatu regulasi ternyata tidak dilaksanakan
sebagaimana seharusnya sehingga menimbulkan berbagai
permasalahan hukum yang harus pula diselesaikan menurut
ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan merujuk pada postulat-postulat di atas,
memberikan gambaran tentang perlunya penegakan hukum dalam
rangka penyelenggaraan penerimaan CPNS di Kabupaten
Bantaeng. Sedang penegakan hukum dimaksud, berorientasi pada
penerapan prinsip akuntabilitas, transparansi dan kepastian hukum
ditetapkan sebagai salah satu faktor berpengaruh. Oleh karena itu,
cukup beralasan hukum apabila persoalan penegakan hukum
dalam rangka penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng, dijadikan
sebagai salah satu objek penilaian dari responden.
Prosentase hasil penilaian responden terhadap pengaruh
faktor penegakan hukum, tergambar dalam tabel berikut ini.
Tabel 2. Data Pengaruh Faktor Penegakan Hukum
No. U r a i a n Banyaknya Prosentase
1.
2.
3.
Sangat berpengaruh
Kurang berpengaruh
Tidak berpengaruh
3 orang
31 orang
1 orang
8,57 %
88,57 %
2,86 %
Jumlah 35 orang 100,00 %
Sumber data : Hasil analisa kuesioner, Tahun 2012.
Berdasarkan data empiris yang tergambar pada tabel 2
tersebut, terlihat dengan jelas sebanyak 31 responden (88,57 %)
menilai kurang efektif pengaruhnya faktor penegakan hukum dalam
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng, sekaligus sebagai
pilihan jawaban tertinggi dari responden. Kemudian sebanyak 3
responden (8,57 %) menilai sangat berpengaruh faktor penegakan
hukum, dan sisanya ada 1 responden (2,86 %) menilai tidak
berpengaruh faktor penegakan hukum sekaligus sebagai angka
terendah.
Tingginya minat responden menilai kurang berpengaruh
faktor penegakan hukum dalam rangka penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng, karena ada oknum-oknum tertentu yang
sengaja mempermainkan aturan main dalam penerimaan CPNS.
Betapa tidak karena ada beberapa peserta pelamar yang sudah
dinyatakan tidak lulus seleksi administrasi, ternyata masih
berkesempatan mengikuti ujian dan dinyatakan lulus dan bersyarat
untuk diangkat sebagai CPNS.
3. Faktor Budaya Hukum
Eksistensi faktor budaya hukum ditetapkan sebagai salah
satu instrumen berpengaruh terhadap penyelenggaraan
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng, karena keberadaan
instrumen budaya hukum senantiasa dipahami sebagai elemen
sikap dan nilai sosial yang merupakan pilihan hukum berupa
permintaan dan tuntutan masyarakat, termasuk aparat Pemerintah
Daerah Kabupaten Bantaeng, menyelesaikan setiap permasalahan
yang timbul dari penyelenggaraan penerimaan CPNS di Kabupaten
Bantaeng.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka budaya hukum
sebagai faktor berpengaruh senantiasa mengacu pada bagian
(KKN) yang ada pada budaya hukum itu sendiri guna dapat
diterapkan asas akuntabilitas, transparansi dan kepastian hukum
yang merupakan salah satu kandungan dari prinsip good
governance. Betapa besar pengaruh ketiga pilar utama dari prinsip
good governance (akuntabilitas, transparansi dan kepastian hukum)
tersebut, sangat terkait dengan prinsip equality before of the law,
seperti adat kebiasaan, opini masyarakat setempat, cara bertindak
dan berpikir yang mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju
atau menjauh dari hukum dan dengan cara-cara tertentu yang
biasanya ditempuh dengan jalan melanggar ketentuan hukum yang
berlaku.
Prinsip akuntabilitas, transparansi dan kepastian hukum,
menurut teori hukum konsep hukum kepegawaian di Indonesia,
bertujuan untuk mendapatkan CPNS yang berkualitas dan sesuai
formasi yang tersedia dengan jalan melalui prosedur dan tata cara
seleksi penerimaan CPNS yang diatur di dalam berbagai regulasi.
Oleh karena itu, cukup beralasan hukum apabila faktor budaya
hukum ditetapkan pula sebagai indikator berpengaruh dalam
rangka penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng.
Pentingnya penilaian pengaruh faktor budaya hukum,
karena budaya hukum senantiasa berada di sekitar pelamar CPNS
maupun pada panitia yang berwenang melakukan kegiatan
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng. Penulis berharap agar
melalui penelitian ini, diperoleh masukan yang memberikan
gambaran tentang seberapa besar pengaruh faktor budaya hukum
dalam penerimaan CPNS.
Eksistensi pengaruh faktor budaya hukum dalam
kaitannya dengan penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng,
menjadi salah satu objek penilaian responden baik melalui
pemberdayaan kuesioner maupun dengan teknik wawancara. Hal
ini senantiasa dipertautkan dengan penerapan prinsip akuntabilitas,
transparansi dan kepastian dalam rangka penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng.
Prosentase hasil penilaian responden terhadap pengaruh
faktor budaya hukum, tergambar dalam tabel berikut ini.
Tabel 3. Data Pengaruh Faktor Budaya Hukum
No. U r a i a n Banyaknya Prosentase
1.
2.
3.
Sangat berpengaruh
Kurang berpengaruh
Tidak berpengaruh
23 orang
5 orang
7 orang
63,72 %
14,28 %
22,00 %
Jumlah 35 orang 100,00 %
Sumber data : Hasil pengolahan kuesioner, Tahun 2012.
Berdasarkan data empiris pada tabel 3 tersebut,
menunjukkan besaran pengaruh faktor budaya hukum sebagai
salah satu instrumen hukum dalam penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng. Hal ini terlihat dengan jelas pada angka-
angka kuantitatif hasil penilaian responden yang tersaji pada table 3
tersebut. Dimana tercatat sebanyak 23 responden (63,72 %) yang
menyatakan sangat efektif berpengaruh sekaligus sebagai angka
tertinggi, sementara sebanyak 5 responden (14,28 %) menyatakan
kurang efektif berpengaruh sekaligus sebagai angka terendah,
sisanya sebanyak 7 responden (22,00 %) menyatakan tidak efektif
berpengaruh.
Hasil penilaian responden di atas, dapat dimaklumi karena
aparat Pemerintah Daerah, panitia dan peserta yang mendaftarkan
diri sebagai CPNS dapat dengan mudah menyelesaikan setiap
permasalahan yang timbul dengan cara–cara dan sesuai prosedur
hukum, pemberdayaan media massa dan jika perlu dengan cara
pemaksaan ataupun demonstrasi dengan mengusung mosi tidak
percaya.
Penulis prihatin terhadap demonstrasi yang mengusung
mosi tidak percaya, karena pelaksanaannya sudah terlalu arogan
dan merusak beberapa fasilitas perkantoran yang ada pada Kantor
BKD Kabupaten Bantaeng. Pemberitaan melalui berbagai media
massa tentang adanya berbagai kecurangan dalam penerimaan
CPNS di Kabupaten Bantaeng, merupakan langkah maju bagi
warga masyarakat pedesaan yang ada di daerah-daerah.
Akan tetapi lebih baik lagi, apabila setiap permasalahan
hukum yang bertalian dengan penerimaan CPNS di Kabupaten
Bantaeng diupayakan agar dapat diselesaikan sesuai prosedur
hukum yang berlaku, seperti upaya hukum yang ditempuh oleh
ketujuh pelamar CPNS mengajukan gugatan pada Pengadilan Tata
Usaha Negara Makassar. Pemberdayaan upaya hukum yang
tersedia, dapat terlaksana sebagaimana seharusnya bilamana
masing-masing pihak mempunyai kesadaran hukum.
4. Faktor Kesadaran Hukum
Pada hakikatnya faktor kesadaran hukum, merupakan
salah satu variabel penentu yang dapat dimanfaatkan untuk
mengetahui efektif atau tidak efektifnya mempengaruhi proses
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng. Terutama dalam hal
penegakan hukum yang bertalian dengan berbagai aktivitas yang
dilakukan oleh panitia penerimaan CPNS, kesadaran hukum disini
sedapat mungkin diaktualisasikan dalam bentuk ketaatan dan
kepatuhan seseorang terhadap norma hukum yang tersebar di
dalam berbagai regulasi.
Sebenarnya banyak pihak yang terkait dengan persoalan
upaya-upaya penghapusan terhadap segala bentuk kecurangan
dan manipulasi data berkenaan dengan pengelolaan administrasi
pendaftaran CPNS. Adapun pihak-pihak yang terkait dengan
masalah pengelolaan administrasi pendaftaran CPNS dimaksud,
panitia penerimaan CPNS yang dibentuk oleh Bupati, aparat pada
Kantor BKD Kabupaten Bantaeng, dan para pelamar CPNS itu
sendiri.
Kesemua elemen itulah diharapkan mempunyai tingkat
kesadaran hukum yang ideal, agar pelaksanaan penerimaan CPNS
di Kabupaten Bantaeng dapat berlangsung sebagaimana
seharusnya. Oleh karena itu, maka eksistensi faktor kesadaran
hukum disini lebih diorientasikan pada nilai-nilai hukum yang
terdapat dalam diri setiap warga masyarakat pada umumnya dan
para aparat penegak hukum, khususnya anggota panitia
penerimaan CPNS hasil bentukan Bupati Bantaeng.
Penulis merujuk ajaran madzhab sosiologi hukum, bahwa
eksistensi masyarakat terdiri dari individu-individu atau orang atau
manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban, baik sebagai
aparat penegak hukum maupun sebagai peserta pelamar CPNS.
Dengan demikian, maka kesadaran hukum yang akan
dinilai oleh responden lebih ditekankan pada ketaatan dan
kepatuhan seseorang terhadap norma atau kaidah hukum yang
berlaku berkenaan dengan penerimaan CPNS di Kabupaten
Bantaeng. Khususnya terhadap fenomena-fenomena sosial yang
seyogyanya dilakukan dan diperbuat, atau terhadap segala apa
yang seyogyanya tidak dilakukan dan tidak diperbuat dalam proses
penerimaan CPNS guna mewujudkan tujuan hukum, yakni
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Berkenaan faktor kesadaran hukum dalam kaitannya
dengan penegakan norma hukum dalam rangka penerimaan
CPNS, apabila seseorang berada pada tingkatan mengetahui
hukum berarti tingkat kesadaran hukum masih rendah. Lain halnya
bilamana seseorang sudah berperilaku sesuai norma hukum yang
termuat dalam berbagai regulasi, dengan sendirinya kesadaran
hukum relatif tinggi.
Prosentase hasil penilaian responden terhadap pengaruh
faktor kesadaran hukum, tergambar dalam tabel berikut ini.
Tabel 4. Data Pengaruh Faktor Kesadaran Hukum
No. U r a i a n Banyaknya Prosentase
1.
2.
3.
Sangat berpengaruh
Kurang berpengaruh
Tidak berpengaruh
29 orang
1 orang
5 orang
82,86 %
2,86 %
14,28 %
Jumlah 35 orang 100,00 %
Sumber data : Hasil Pengolahan Kuesioner, Tahun 2012.
Berdasarkan data empirik pada tabel 4 tersebut, dapatlah
diketahui hasil penilaian responden terhadap pengaruh faktor
kesadaran hukum dari para pihak yang terlibat langsung dalam
proses penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng. Ternyata
sebagian besar atau sebanyak 29 responden (82,86 %) menilai
faktor kesadaran hukum dinilai sangat berpengaruh sekaligus
sebagai angka tertinggi. Kemudian tercatat sebanyak 5 responden
(14,28 %) menyatakan tidak efektif pengaruhnya, sisanya tercatat
sebanyak 1 responden (2,86 %) menyatakan kurang efektif
berpengaruh sekaligus sebagai angka terendah.
Tingginya minat responden menyatakan tingkat
kesadaran hukum seseorang efektif mempengaruhi pelaksanaan
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng, karena umumnya
responden mempunyai pemahaman sosilogis terhadap nilai-nilai
sosial berupa norma atau kaidah hukum penerimaan CPNS yang
tersebar di dalam berbagai regulasi.
Norma atau kaidah hukum dimaksud, sebagai suatu
fenomena keharusan dan dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh
aparat pemerintah yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan
berbagai aktivitas berkenaan dengan penerimaan CPNS. Terlebih
lagi, karena pada umumnya responden yang memberikan penilaian
positif berasal dari kalangan praktisi dan aparat penegak hukum.
Oleh karena itu, wajar dan patut apabila responden cukup respek
terhadap persoalan kesadaran hukum sebagai faktor berpengaruh
dalam kaitannya dengan upaya penegakan hukum kepegawaian
(law enforcement) di Indonesia, termasuk yang dilakukan oleh
panitia penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng.
Penilaian secara kuantitatif terhadap pengaruh faktor
kesadaran hukum lebih diperjelas oleh Muhammad Djumain 57 ,
bahwa hakikat kesadaran hukum sebagai bagian integral dari
upaya penegakan hukum memang mempunyai keterkaitan yang
tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan berbagai kegiatan yang
berhubungan dengan penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng.
Kegiatan-kegiatan tersebut, harus dilaksanakan sesuai ketentuan
hukum yang berlaku agar tidak dikatakan melanggar aturan hukum.
Sementara itu oleh Hj. Sitti Maryam58, menjelaskan bahwa
sebenarnya penegakan hukum merupakan sesuatu yang bersifat
mutlak bagi masyarakat Indonesia, karena Indonesia adalah
negara hukum (rechtsstaat) dan sama sekali bukan negara
kekuasaan (machtsstaat). Oleh karena itu, penegakan hukum
merupakan pra-syarat yang harus ada dalam suatu negara hukum
seperti Indonesia.
Selanjutnya oleh H. Baharuddin 59 , mengemukakan,
bahwa penegakan hukum itu mutlak dilakukan dalam penerimaan
CPNS. Kalau setengah hati melakukan penegakan hukum, berarti
57
Wawancara, Muhammad Djumain, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantaeng, Rabu, 1 Februari 2012.
58 Wawancara, Hj. Sitti Maryam, Pengacara/advokat, Sabtu, 18 Februari 2012.
59 Wawancara, H. Baharuddin, Pengurus LSM Pemerhati Hukum Kabupaten
Bantaeng, Senin, 20 Februari 2012.
kesadaran hukumnya masih relatif sangat rendah dan akan
menimbulkan permasalahan di tengah-tengah masyarakat. Adanya
berbagai kasus dalam rangka penerimaan CPNS, merupakan bukti
nyata bahwa penegakan hukum belum dilaksanakan sebagaimana
seharusnya di Kabupaten Bantaeng.
Sehubungan dengan penilaian dihubungkan dengan
beberapa pandangan yang dikemukakan oleh responden
berkenaan dengan pengaruh tingkat kesadaran hukum dalam
rangka penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng. Sehingga
cukup beralasan, apabila tercatat sebanyak 29 responden (82,86%)
yang menilai bahwa faktor kesadaran hukum sangat mempengaruhi
penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng. Walaupun demikian,
Penulis tetap beranggapan bahwa adanya pengaruh kesadaran
hukum tidak terlepas dari kemampuan SDM panita dan pelamar
CPNS di Kabupaten Bantaeng.
5. Faktor Kemampuan SDM
Pertama-tama perlu diketahui bahwa faktor kemampuan
sumber daya manusia (SDM), berorientasi pada orang atau
manusia selaku subjek hukum yang masing-masing pribadi
berkedudukan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Sedang hak
menurut hukum merupakan suatu wewenang untuk berbuat atau
tidak berbuat, sementara yang dimaksud dengan kewajiban yakni
tugas yang dibebankan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka secara ex officio
hak senantiasa berhadapan dengan kewajiban. Artinya segala apa
yang menjadi hak seseorang secara mutatis-mutandis menjadi
kewajiban bagi orang lain. Dalam kaitan hak dan kewajiban
dimaksud, dapatlah dipahami bahwa setiap anggota panita berhak
memeriksa kelengkapan berkas dari setiap pelamar CPNS. Hasil
pemeriksaan kelengkapan berkas dimaksud, dapat menjadi salah
satu pertimbangan untuk menyatakan seseorang pelamar lulus
berkas atau tidak lulus berkas.
Di samping itu, setiap peserta pelamar, anggota panitia,
dan aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng berkewajiban
untuk mentaati, mematuhi, dan menjalankan semua norma hukum
yang bertalian dengan pelaksanaan penerimaan CPNS yang
tersebar dalam berbagai regulasi. Hal ini dimaksudkan, agar dalam
pelaksanaan penerimaan CPNS tidak ada komplen dari pihak lain
karena dapat menghambat pelaksanaan penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng.
Mengenai kemampuan SDM sebagai salah satu faktor
berpengaruh, sebenarnya tidak hanya tertuju pada setiap peserta
pelamar, anggota panitia, dan aparat Pemerintah Daerah
Kabupaten Bantaeng. Akan tetapi juga terhadap pihak-pihak lain
yang terkait dalam penerimaan CPNS, seperti; keluarga, teman,
dan pengacara. Hal ini dimaksudkan, agar dapat memperlancar
pelaksanaan penerimaan CPNS.
Secara umum anggota panitia yang sering ditugaskan
melakukan penerimaan CPNS, sudah mempunyai kemampuan
rata-rata sebagai kontribusi pengalaman dalam pelaksanaan tugas
dan tanggung jawabnya. Namun ada beberapa orang anggota
panitia yang baru saja dilibatkan dalam kepanitiaan ternyata
mempunyai kelebihan dari yang lain, karena adanya dukungan dari
tingkat pendidikan, pelatihan dan kursus-kursus mengenai
administrasi kepegawaian yang diperoleh pada berbagai
kesempatan.
Pentingnya upaya peningkatan SDM bagi setiap aparat
pemerintah yang dilibatkan dalam kegiatan penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng, karena eksistensi kemampuan SDM
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh. Seberapa jauh
pengaruh faktor SDM dimaksud, telah diberikan penilaian oleh
responden.
Prosentase hasil penilaian responden terhadap pengaruh
faktor kemampuan SDM, tergambar dalam tabel berikut ini.
Tabel 5. Data Pengaruh Faktor Kemampuan SDM
No. U r a i a n Banyaknya Persentase
1.
2.
3.
Sangat berpengaruh
Kurang berpengaruh
Tidak berpengaruh
30 orang
2 orang
3 orang
85,71 %
5,71 %
8,58 %
Jumlah 35 orang 100,00 %
Sumber data : Hasil Pengolahan Kuesioner, Tahun 2012.
Berdasarkan data empirik pada tabel 5 tersebut, ternyata
sebagian besar nara sumber yakni tercatat sebanyak 30 responden
(85,71%) menyatakan bahwa faktor kemampuan SDM sangat
efektif mempengaruhi pelaksanaan kegiatan penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng, sekaligus sebagai jawaban tertinggi dari
responden. Sedang yang menyatakan kurang berpengaruh tercatat
sebanyak 2 responden (5,71%) sekaligus sebagai angka terendah,
dan sisanya sebanyak 3 responden (8,58%) menyatakan tidak
efektif pengaruhnya.
Berkenaan data empirik yang tergambar dalam tabel di
atas, oleh Darwis, St. Ruhaeny, dan Hasmawati 60 , ketiganya
mengemukakan, bahwa memang benar kemampuan pribadi dari
60
Wawancara, Darwis, St. Ruhaeny, dan Hasmawati, Belum lulus CPNS, Selasa, 28 Februari 2012.
masing-masing anggota panitia penerimaan CPNS di Kabupaten
Bantaeng, dalam mengaplikasikan norma hukum yang tersebar
dalam berbagai peraturan perundang-undangan perlu didukung
dengan lebih meningkatkan kemampuan SDM.
Selanjutnya responden 61 menjelaskan, bahwa masalah
kemampuan SDM dari pelamar CPNS dapat terlihat dari skoring
nilai hasil kelulusan ujian CPNS, juga dari IP komulatif yang
diterbitkan perguruan tinggi asal ijazah yang dipergunakan pada
saat pelamaran. Sedang bagi kemampuan SDM anggota panitia
penerimaan CPNS, dapat terlihat dari cara kerja dan kinerjanya.
Dengan demikian, maka walaupun latar belakang
pendidikan formal, informal dan non formal anggota panitia cukup
bervariasi. Namun mereka tetap tekun melaksanakan kewajibannya
melakukan penyeleksian kelengkapan administrasi yang
disyaratkan 62 . Hal ini patut dimaklumi, karena ada dukungan
kemampuan SDM dari masing-masing anggota panitia dalam
melaksanan tugas dan fungsinya dalam penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng.
61 Wawancara, Roswati dan Kiki Reski Amanda, Sudah lulus tapi belum
menerima SK CPNS Formasi 2009, Rabu, 29 Februari 2012. 62
Wawancara, Syamsinar dan Sri Chastuti Ningsih, Telah lulus CPNS, Rabu, 29 Februari 2012.
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian, pembahasan dan analisis pada bab dan
sub bab terdahulu, maka pada bagian ini akan ditarik beberapa
kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah dan hipotesis,
sebagai berikut :
1. Prinsip akuntabilitas, transparansi dan kepastian hukum sebagai
bagian integral dari good governance yang diatur dalam UU. Nomor
28 Tahun 1999 dalam proses penerimaan CPNS masih terindikasi
KKN, akibatnya banyak bermunculan permasalahan hukum baru
yang bertalian dengan penerimaan CPNS.
2. Belum terlaksananya penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng,
secara akuntabilitas, transparansi dan kepastian hukum sebagai
bagian integral dari prinsip good governance, disebabkan adanya
faktor-faktor yang berpengaruh, antara lain; faktor substansi hukum,
faktor penegakan hukum, faktor budaya hukum, faktor kesadaran
hukum, dan faktor kemampuan SDM.
B. S a r a n
Sehubungan dengan beberapa kesimpulan di atas, dapatlah
diajukan rekomendasi dalam bentuk saran sebagai berikut:
1. Pendistribusian kewenangan penerimaan CPNS kepada daerah-
daerah, perlu tetap diawasi secara berkala dan berjenjang agar
dalam pelaksanaan penerimaan CPNS di Kabupaten Bantaeng
tidak menyalahi prinsip good governance sebagaimana diatur
dalam UU. Nomor 28 Tahun 1999, terutama terhadap asas
akuntabilitas, transparansi dan kepastian hukum.
2. Menindak tegas terhadap siapa saja yang sengaja dan/atau karena
kelalaiannya sehingga pelaksanaan penerimaan CPNS di
Kabupaten Bantaeng, mengabaikan pelaksanaan asas
akuntabilitas, transparansi dan, kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, 1990. Mengembara di Belantara Hukum. Ujung Pandang, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
-----------, 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta, Chandra Pratama.
-----------, 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta, Yasrif Watampone.
-----------, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence). Jakarta, Kencana.
Anonim, 2012. Kabupaten Bantaeng Dalam Angka (Bantaeng in Figures) 2011. Bantaeng, Kerjasama Bappeda dan BPS Kabupaten Bantaeng.
Arief Sidharta, 1994. Refleksi Tentang Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Bintoro Tjokroamidjojo, 1998. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jakarta, Yayasan Penerbit Administrasi bekerjasama LAN.RI.
Bismar Siregar, 1988. Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional. Jakarta, Rajawali Press.
Curson, L.B., 1979. Jurisprudence. M & E Handbooks.
Djati Julitriarsa, 1988. Pengantar Administrasi Negara; Bidang Pengawasan. Bandung Alumni.
Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, 1989. Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara. Bandung, Alumni.
Gunawan Setiarja, 1990. Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta, Kanisius.
Harsono dan Nurhayati, 2010. Perencanaan Kepegawaian (Perencanaan Kepegawaian, Analisa Jabatan, Formasi PNS, Rekrutmen/Pengadaan Pegawai, Perencanaan Pendidikan dan Pelatihan PNS). Bandung, Fokus Media.
Ismail Suny, 1985. Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta, Aksara Baru.
Karhi Nisjar dan Winardi, 1997. Teori Sistem dan Pendekatan Sistem dan Bidang Manajemen, Bandung, Mandar Maju.
Lawrence M. Friedman, 1975. The Legal System A Social Science Prespective. New York, Russel Sage Foundation.
Mac Iver, 1984. Negara Moderen. Diterjemahkan oleh Moertono, Jakarta, Aksara Baru.
Miriam Budiarjo, 1998. Dasar-dasar Ilmu Politik. Yogyakarta, Gramedia
Pustaka Utama.
Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara-Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Sinar Bakti.
Muchsan, 1992. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta, Liberty.
Muin Fahmal, H.A., 2006. Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta, UI-Press.
Muladi, H., Editor, 2009. Hak Asasi Manusia; Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perpektif Hukum dan Masyarakat. Bandung, Refika Aditama.
Mustamin Dg. Matutu, Abdul Latief dan Hikmawati Mustamin, 2004. Mandat, Delegasi, Attribusi dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta, UII-Press.
Nainggolan, H., 1997. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Jakarta, Tanpa Penerbit
Nur Alam dan Harmon Harun, 2003. Himpunan Undang-undang Kepegawaian 2002-2003, Reformasi Administrasi Publik. Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2005. Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Bandung, Refika Aditama.
Philipus M. Hadjon, 1994. Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih. Surabaya, Airlangga University Pres.
-----------, 2002. Good Governance dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Meritokrasi, Vol. I, No. I.
Sadjijono, 2005. Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance. Yogyakarta, LaksBang.
Satjipto Rahardjo, 1986. Ilmu Hukum. Bandung, Alumni.
-----------, 1997. Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung, Sinar Baru.
Sedarmayanti, 2003. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah; Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien Melalui Restrujturisasi dan Pemberdayaan. Bandung, Mandar Maju.
-----------, 2004. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik). Bandung, Mandar Maju.
Soerjono Soekanto, 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta, Rajawali Press.
-----------, 1983. Tata Cara Penulisan Karya Tulis Ilmiah; Bidang Hukum. Jakarta, Ghalia Indonesia.
-----------, 1988. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta, Rajawali Press.
-----------, 1989. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti.
Sri Hartini, Setiajeng dan Tedi Sudrajat, 2010. Hukum Kepegawaian di Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika.
Sudibyo Triatmodjo, 2003. Hukum Kepegawaian;Mengenai Kedudukan Hak dan Kewajiban Pegawai Negeri Sipil. Jakarta, Ghalia Indonesia.
Sudikno Mertokusumo, 1981. Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat. Yogyakarta, Liberty.
Sumadi Suryabrata, 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Taliziduhu Ndraha, 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 1. Jakarta, Rineka Cipta.
Utrecht, E., 1985. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung, Alumni.
Yan Pramadya Puspa, 1979. Kamus Hukum; Edisi Lengkap Bahasan Belanda-Indonesia-Inggris. Jakarta, Aneka Semarang-Indonesia.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 (Hasil Amandamen)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 perubahan pertama tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 perubahan kedua tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 97 tahun 2000 tentang Formasi PNS
Peraturan Pemerintah Nomor 98 tahun 2000 tentang Pengadaan PNS
Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2000 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS
Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2002 tentang Pengadaan PNS
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS
Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2003 tentang Formasi PNS
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, 1990. Mengembara di Belantara Hukum. Ujung Pandang, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
-----------, 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta, Chandra Pratama.
-----------, 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta, Yasrif Watampone.
-----------, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence). Jakarta, Kencana.
Anonim, 2012. Kabupaten Bantaeng Dalam Angka (Bantaeng in Figures) 2011. Bantaeng, Kerjasama Bappeda dan BPS Kabupaten Bantaeng.
Arief Sidharta, 1994. Refleksi Tentang Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Bintoro Tjokroamidjojo, 1998. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jakarta, Yayasan Penerbit Administrasi bekerjasama LAN.RI.
Bismar Siregar, 1988. Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional. Jakarta, Rajawali Press.
Curson, L.B., 1979. Jurisprudence. M & E Handbooks.
Djati Julitriarsa, 1988. Pengantar Administrasi Negara; Bidang Pengawasan. Bandung Alumni.
Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, 1989. Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara. Bandung, Alumni.
Gunawan Setiarja, 1990. Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta, Kanisius.
Harsono dan Nurhayati, 2010. Perencanaan Kepegawaian (Perencanaan Kepegawaian, Analisa Jabatan, Formasi PNS, Rekrutmen/Pengadaan Pegawai, Perencanaan Pendidikan dan Pelatihan PNS). Bandung, Fokus Media.
Ismail Suny, 1985. Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta, Aksara Baru.
Karhi Nisjar dan Winardi, 1997. Teori Sistem dan Pendekatan Sistem dan Bidang Manajemen, Bandung, Mandar Maju.
Lawrence M. Friedman, 1975. The Legal System A Social Science Prespective. New York, Russel Sage Foundation.
Mac Iver, 1984. Negara Moderen. Diterjemahkan oleh Moertono, Jakarta, Aksara Baru.
Miriam Budiarjo, 1998. Dasar-dasar Ilmu Politik. Yogyakarta, Gramedia
Pustaka Utama.
Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara-Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Sinar Bakti.
Muchsan, 1992. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta, Liberty.
Muin Fahmal, H.A., 2006. Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta, UI-Press.
Muladi, H., Editor, 2009. Hak Asasi Manusia; Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perpektif Hukum dan Masyarakat. Bandung, Refika Aditama.
Mustamin Dg. Matutu, Abdul Latief dan Hikmawati Mustamin, 2004. Mandat, Delegasi, Attribusi dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta, UII-Press.
Nainggolan, H., 1997. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Jakarta, Tanpa Penerbit
Nur Alam dan Harmon Harun, 2003. Himpunan Undang-undang Kepegawaian 2002-2003, Reformasi Administrasi Publik. Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2005. Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Bandung, Refika Aditama.
Philipus M. Hadjon, 1994. Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih. Surabaya, Airlangga University Pres.
-----------, 2002. Good Governance dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Meritokrasi, Vol. I, No. I.
Sadjijono, 2005. Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance. Yogyakarta, LaksBang.
Satjipto Rahardjo, 1986. Ilmu Hukum. Bandung, Alumni.
-----------, 1997. Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung, Sinar Baru.
Sedarmayanti, 2003. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah; Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien Melalui Restrujturisasi dan Pemberdayaan. Bandung, Mandar Maju.
-----------, 2004. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik). Bandung, Mandar Maju.
Soerjono Soekanto, 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta, Rajawali Press.
-----------, 1983. Tata Cara Penulisan Karya Tulis Ilmiah; Bidang Hukum. Jakarta, Ghalia Indonesia.
-----------, 1988. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta, Rajawali Press.
-----------, 1989. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti.
Sri Hartini, Setiajeng dan Tedi Sudrajat, 2010. Hukum Kepegawaian di Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika.
Sudibyo Triatmodjo, 2003. Hukum Kepegawaian;Mengenai Kedudukan Hak dan Kewajiban Pegawai Negeri Sipil. Jakarta, Ghalia Indonesia.
Sudikno Mertokusumo, 1981. Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat. Yogyakarta, Liberty.
Sumadi Suryabrata, 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Taliziduhu Ndraha, 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 1. Jakarta, Rineka Cipta.
Utrecht, E., 1985. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung, Alumni.
Yan Pramadya Puspa, 1979. Kamus Hukum; Edisi Lengkap Bahasan Belanda-Indonesia-Inggris. Jakarta, Aneka Semarang-Indonesia.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 (Hasil Amandamen)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 perubahan pertama tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 perubahan kedua tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 97 tahun 2000 tentang Formasi PNS
Peraturan Pemerintah Nomor 98 tahun 2000 tentang Pengadaan PNS
Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2000 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS
Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2002 tentang Pengadaan PNS
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS
Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2003 tentang Formasi PNS