tesis alih fungsi tanah pertanian kaitannya dengan
TRANSCRIPT
TESIS
ALIH FUNGSI TANAH PERTANIAN KAITANNYA DENGAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN GORONTALO
THE FUNCTIONAL SHIFT OF AGRICULTURAL LAND RELATED TO
FOOD DEFENSE IN GORONTALO REGENCY
BAYU RAZAK BIYA P3600214015
MAGISTER KENOTARIATAN SEKOLAH PASCASARJANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
i
HALAMAN JUDUL
ALIH FUNGSI TANAH PERTANIAN
KAITANNYA DENGAN KETAHANAN PANGAN
DI KABUPATEN GORONTALO
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Kenotariatan
Disusun dan Diajukan Oleh
BAYU RAZAK BIYA
P3600214015
MAGISTER KENOTARIATAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Rasa syukur yang dalam penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, Dzat yang Maha Kuasa, Pencipta ilmu dan Pengetahuan,
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Teriring shalawat dan salam
senantiasa penulis lantunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang
merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program
Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin Makassar.
Dalam melakukan penulisan tesis ini, penulis mendapat banyak
bantuan dari berbagai pihak, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Untuk
itu penulis dengan segala kerendahan hati menyampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A, selaku Rektor Universitas
Hasanuddin, beserta staf;
2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, beserta Wakil Dekan I Prof. Dr.
Ahmadi Miru, S.H., M.H., Wakil Dekan II Dr. Syamsuddin Muchtar,
S.H., M.H., Wakil Dekan III Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H;
3. Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., Msi., selaku Ketua program Studi
Magister Kenotariatan, beserta staf;
4. Prof Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H., selaku Ketua Komisi Penasihat
dan Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H., selaku Anggota Komisi
v
Penasihat, yang telah membimbing dan memberikan waktunya
kepada penulis;
5. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng,
S.H., M.H., Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum., selaku
Anggota Komisi Penguji, yang telah memberikan saran, masukan,
kritik dan waktunya kepada penulis;
6. Seluruh staf pengajar Program Magister Kenotariatan yang telah
mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat
kepada penulis;
7. Abdurrahman Assel, SST selaku Kepala Seksi Integrasi Pengolahan
dan Diseminasi Statistik, Rahman Kue, Amd selaku Koordinator
Kecamatan di Badan Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo yang telah
banyak memberikan data dalam melakukan penelitian;
8. Ir. Femmy Umar, Msc selaku Kepala Dinas Ketahanan Pangan
Kabupaten Gorontalo, Didik Adi Saputro, STP selaku Kasubag
Perencanaan di Dinas Pertanian dan Perkebunan yang telah banyak
membantu memberikan data dalam melakukan penelitian ini;
9. Ninda A. Putri, Selaku Kepala Seksi Pengaturan dan Penatagunaan
tanah di Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Gorontalo beserta
staf yang telah banyak memberikan data dalam melakukan penelitian;
10. Kepada para responden dan narasumber dari kalangan petani dan
masyarakat atas masukan dan data yang telah banyak membantu
penulis dalam penelitian ini;
vi
11. Saudara-saudara penulis dan keluarga, terkhusus Ibunda dan
ayahanda tercinta Femmy Umar dan Deter Biya, yang selalu
memberikan semangat, mendoakan, memberikan bantuan moril dan
materil hingga selesainya penulisan ini;
12. Istri dan anak tercinta, Iin Fajrin Lamohamad dan Arsyila Asma’
Sabiqah yang selalu mendoakan, memberikan semangat dan motivasi
kepada penulis;
13. Teman-teman penulis Magister Kenotariatan UNHAS 2014, yang telah
memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Tesis ini disusun dengan segala keterbatasan pada penulis, saran dan
kritik sangat membantu deni kesempurnaannya. Semoga kebaikan dari
semua yang telah membantu mendapat Rahmat dari Allah SWT.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu.
Makassar, 25 Mei 2017
Penulis,
Bayu Razak Biya
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN .. ................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN. .................................................................. iii
KATA PENGANTAR. ............................................................................ iv
ABSTRAK. ............................................................................................ vii
ABSTRACT ........................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
DAFTAR TABEL. .................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR. .............................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN. ........................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 12
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 12
D. Manfaat Penulisan .............................................................. 12
E. Originalitas Penelitian. ........................................................ 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 16
A. Landasan Teori ................................................................. 16
B. Tinjauan Tentang Tanah dan Tanah Pertanian. ................. 36
x
1. Pengertian Tanah. ........................................................ 36
2. Pengertian Tanah Pertanian. ........................................ 39
3. Tanah Mempunyai Fungsi Sosial .................................. 44
C. Tinjauan Tentang Alih Fungsi ............................................. 46
1. Pengertian Alih Fungsi .................................................. 46
2. Alih Fungsi Tanah Pertanian. ........................................ . 48
3. Peraturan Yang Melatarbelakangi Pelaksanaan Alih
Fungsi Tanah Pertanian. ............................................... 52
4. Permasalahan Terkait Perubahan Penggunaan Tanah
Pertanian Menjadi Non Pertanian...................................... 57
D. Tinjauan Tentang Ketahanan Pangan. .............................. 62
1. Definisi Ketahanan Pangan. .................................... 62
2. Sistem Ketahanan Pangan.. .................................... 64
3. Rawan Pangan. ....................................................... 66
E. Kerangka Pikir ................................................................... 71
F. Definisi Operasional .......................................................... 72
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................... 73
A. Jenis dan Tipe Penelitian ................................................... 73
B. Lokasi Penelitian .............................................................. 73
C. Populasi dan Sampel ......................................................... 74
D. Sumber dan Jenis Data ...................................................... 75
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 76
F. Analisis Data .................................................................... 78
xi
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ................................................... 79
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. ................................ 79
B. Kebijakan Pemerintah Terkait dengan Tanah Pertanian yang
Produktif. ........................................................................... 90
C. Implementasi Pemerintah Dalam Mencegah Alih Fungsi
Tanah Pertanian di Kabupaten Gorontalo ......................... 129
BAB V KESIMPULAN DANSARAN. ..................................................... 145
A. Kesimpulan. ...................................................................... 145
B. Saran. ............................................................................... 146
DAFTAR PUSTAKA. ............................................................................. 148
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seperti diketahui, tanah tidak dapat dipisahkan dengan manusia
karena tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan
manusia. Tanah merupakan tempat permukiman, tempat melakukan
kegiatan manusia, bahkan sesudah mati pun masih memerlukan tanah.1
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya: UUPA) memberi
wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan merencanakan
penggunaan, peruntukan dan pemeliharaan urusan pertanahan.
Wewenang inilah yang dimaksud dengan hak menguasai negara.
Berdasarkan wewenang tersebut, pemerintah wajib membuat suatu
rencana umum mengenai peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan
ruang udara serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya
sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) UUPA. Dalam pengertian
tersebut, dimungkinkan adanya alih fungsi penggunaan tanah termasuk
perubahan penggunaan tanah pertanian untuk kepentingan non
pertanian.2
Istilah “menguasai” bukan berarti memiliki, namun mempunyai arti
sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia, dimana Negara
diberikan wewenang untuk mengatur segala sesuatu yang berkenaan
dengan tanah. Pemerintah sebagai wakil negara dapat mengatur
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan
ruang angkasa termasuk di dalamnya juga mengenai tanah.3
1 A. Chulaemi, 1992, “Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Tertentu dalam Rangka Pembangunan, Majalah Masalah Hukum No. 1, Fakultas Hukum UNDIP. 2 Maria S.W. Sumardjono, 1993, “Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi Lahan Non Pertanian di Provinsi DIY tahun 1983-1987”, Mimbar Hukum, No. 17/IV/1994, hal. 3. 3 Sudargo Gautama & Soetijarto, “Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria” Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
2
Dalam perkembangannya, kebutuhan akan tanah dari hari ke hari
dirasakan semakin meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang
makin bertambah dan kualitas kehidupan yang semakin baik sejalan
dengan keberhasilan pembangunan, sedangkan pembangunan itu sendiri
memerlukan tanah sebagai dasarnya.4
Kebijaksanaan penggunaan tanah di Indonesia bersumber dari
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang intinya yakni negara
menguasai dan memelihara tanah untuk dipergunakan sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat Indonesia melalui: 1) pengaturan hubungan
hukum orang dengan tanah, 2) mengatur perbuatan hukum orang
terhadap tanah, 3) perencanaan persediaan peruntukkan dan penggunaan
tanah untuk kepentingan umum.5
Di dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan disebutkan bahwa Pemerintah
Kabupaten/Kota memiliki kewenangan di bidang pertanahan, antara lain
perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota. Dalam
pengertian ini pun dimungkinkan adanya perubahan penggunaan tanah
(Pasal 2 ayat (2)).
Di dalam ketetapan MPR/RI/1998 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN), menyatakan: “Penguasaan dan penataan
penggunaan tanah oleh Negara diarahkan pemanfaatannya untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penguasaan
4 Yanis Rinaldi, 1997, “Masalah Pertanahan dalam Pembangunan”, Kanun, No. 16 Th VII
April, hal 113. 5 A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar
Maju, 1998), hal. 66.
3
atas tanah oleh Negara sesuai dengan tujuan pemanfaatannya, perlu
memperhatikan kepentingan masyarakat luas dan tidak menimbulkan
sengketa tanah. Penataan penggunaan tanah dilaksanakan berdasarkan
rencana tata ruang wilayah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat
dengan memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial hak atas
tanah, batas maksimal kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian
termasuk berbagai upaya lain untuk mencegah pemusatan penguasaan
tanah dan penelantaran tanah.
Persoalan agraria ini pada intinya menyangkut kekuasaan atas
seluruh elemen yang terkandung di dalam kehidupan agraris oleh masing-
masing pihak yang terdapat di dalamnya. Pada tataran ini dapat dikatakan
bahwa masalah agraria adalah produk dari relasi dan intrerelasi antara
masyarakat, negara, dan lingkungan dengan menempatkan tanah dan
kekuasaan sebagai inti persoalan.6
Tanah bukan sekedar aset, tetapi juga merupakan basis bagi
teraihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik. Maka ketimpangan
dalam hal akses terhadap tanah ini akan sangat menentukan corak
masyarakat dan dinamika antar lapisan di dalam masyarakat tersebut.7
Indonesia merupakan negara agraris dan sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian. Sebenarnya
negara ini diuntungkan karena dikaruniai kondisi alam yang mendukung,
B
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Diterbitkan bersama oleh: Konsorsium Pembaruan Agraria (Jaksel), Sajogyo Institute (Bogor), AKATIGA (Bandung). Edisi Baru, 2009. 7 Gunawan Wiradi, Op.Cit., hal.56
4
hamparan lahan yang luas, keragaman hayati yang melimpah, serta
beriklim tropis dimana sinar matahari terjadi sepanjang tahun sehingga
bisa menanam sepanjang tahun. Realita sumberdaya alam seperti ini
sewajarnya mampu membangkitkan Indonesia menjadi negara yang
makmur, tercukupi kebutuhan pangan seluruh warganya. Meskipun belum
terpenuhi, pertanian menjadi salah satu sektor riil yang memiliki peran
sangat nyata dalam membantu penghasilan devisa negara.
Rencana pembangunan yang sedang ramai disusun oleh
pemerintah seringnya hanya menatap ke atas untuk menuju perindustrian
dengan laba besar, tetapi tidak menatap ke bawah lagi untuk melihat
kondisi masyarakat yang ada. Industrialisasi menjadi sistem yang
sekarang sedang ramai dibangun di negara-negara berkembang,
termasuk di Indonesia sebagai dasar peningkatan pembangunan dan
perekonomian negara. Tapi pembangunan yang hanya mengedepankan
perindustrian belum tentu sesuai dengan kondisi sosial di masyarakat.
Para pengusaha yang berdatangan dengan menawarkan investasi dan
keuntungan besar justru bisa membawa masyarakat pada krisis besar.
Sebagian besar penduduk Indonesia bermata pencaharian bertani
dan banyak lahan yang dapat dijadikan lahan pertanian, tetapi saat ini
Indonesia masih kekurangan. Salah satu penyebabnya adalah lahan
pertanian yang beralih fungsi dari pertanian ke non pertanian.
Pengembangan wilayah Provinsi Gorontalo sebagaimana mengacu
pada Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2011 tentang Rencana Tata
5
Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) terbagi dalam kawasan lindung dan
kawasan budidaya. Kawasan budidaya memiliki sumberdaya alam yang
cukup potensial untuk dikembangkan, terutama pertanian, perikanan,
kehutanan, perkebunan, pertambangan dan pariwisata. Potensi pertanian
dan perikanan merupakan sektor yang menjadi prioritas pengembangan
yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Apalagi
sebagian besar mata pencaharian penduduk bertumpu pada sektor
pertanian dan perikanan.
Terkait dengan lahan pertanian, lahan pertanian yang ada sebagian
besar diusahakan oleh masyarakat untuk menanam sejumlah komoditi
utama seperti padi dan jagung.
Dari luas wilayah Provinsi Gorontalo 12.215,44 Km2, dimana untuk
potensi lahan sawah yang ditanami padi seluas ± 29.720 ha yang terdiri
dari sawah irigasi ± 23.432 ha dan sawah non irigasi seluas 6.288 ha.
Juga terdapat potensi luasan lahan kering seluas 337.639 ha yang terdiri
dari ladang/huma 71.316 ha, tegal/kebun 157.685,
pekarangan/bangunan/halaman sekitarnya 36.978 ha, lahan kering yang
sementara tidak diusahakan 51.682 ha, dan lainnya seluas 19.978 ha.
Disamping itu pada lahan perkebunan kelapa dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan komoditi tanaman pangan seperti jagung, kacang-
kacangan dan umbi-umbian.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, Provinsi
Gorontalo memiliki sumber daya lahan yakni potensi luas areal sawah
6
sekitar 31.502 ha. Kabupaten Gorontalo merupakan wilayah yang terluas
areal penggunaannya yaitu 13.114 Ha (42%), kemudian Kabupaten
Gorontalo Utara 5.627 Ha (18%), Kabupaten Pohuwato 5.251 Ha (17%),
Kabupaten Boalemo 4.574 Ha (15%), Kabupaten Bone Bolango 2.020 Ha
(6%) dan Kota Gorontalo 916 Ha (3%).
Berdasarkan data analisa spasial Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Gorontalo tentang Perkembangan Penggunaan Tanah tahun
2009 sampai dengan tahun 2014 di Kabupaten Gorontalo, menunjukkan
bahwa penggunaan tanah untuk budidaya pertanian, telah mengalami
perubahan luas khususnya budidaya pertanian seperti, tanah perkebunan
yang sudah mengalami luas perubahan sekitar 353,05 ha dari luasnya
yang sebesar 14.200,02 ha pada tahun 2009, kemudian sawah 1x
padi/tahun dengan luas perubahan 4,37 ha dari luasnya sebesar 16,09 ha
pada tahun 2009, serta sawah 2x padi/tahun sebesar 2.542,63 ha dari
luasnya yang sebesar 25.199,84 pada tahun 2009. Dari data tersebut
dapat dilihat bahwa praktek alih fungsi tanah terjadi dari beberapa tahun
terakhir di Kabupaten Gorontalo, dan tanah pertanian yang paling banyak
mengalami alih fungsi terdiri dari tanah perkebunanan dan sawah.
Semakin berkembangnya alih fungsi tanah pertanian ke non
pertanian telah memberikan dampak bagi para petani atau para pemilik
lahan, dimana lahan pertanian mereka semakin berkurang dan diprediksi
lahan pertanian ini khususnya tanah pertanian sawah akan habis dimakan
7
oleh pembangunan, baik yang dicanangkan oleh Pemerintah, pihak
swasta maupun oleh pemilik lahan itu sendiri.
Berdasarkan penelitian awal, alih fungsi telah memberikan dampak
berupa berkurangnya lahan pertanian yang membuat turunnya produksi
pangan, khususnya untuk kesejahteraan para petani dan warga
sekitarnya. Dimana telah membuat mereka harus mencari cara untuk
mendapatkan lahan pertanian (lahan basah) di daerah lain. Namun hal itu
sulit direalisasikan, mengingat akses ke daerah lain terhitung jauh, yang
otomatis memerlukan biaya tambahan dan memakan proses yang cukup
lama untuk bisa diproduksi dan dikonsumsi. Berbeda halnya jika lahan
sawah tersebut berada di desa mereka sendiri, yang aksesnya mudah dan
cepat untuk diproduksi. Dampak berikut yang bisa ditimbulkan adalah,
sarana prasarana pertanian yang telah dibangun oleh Pemerintah seperti
misalnya jenis-jenis irigasi menjadi tidak terpakai, serta banyak buruh tani
kehilangan pekerjaan.
Jika dikaitkan dengan ketahanan pangan, maka sudah seharusnya
alih fungsi tanah pertanian ini diredam untuk lahan pertainan pangan yang
berkelanjutan, karena akan mempengaruhi ketahanan pangan nasional
sesuai dengan amanat dari Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Seperti
yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1), bahwa Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk
dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan
8
pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan
nasional.
Dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan, menjelaskan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Pasal ini
mensyaratkan agar ketersediaan pangan tercukupi sampai dengan
perseorangan. Disinilah tugas Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah,
untuk menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat.
Alih fungsi tanah pertanian begitu erat kaitannya dengan
persoalan pangan. Karena salah satu dampak yang bisa ditimbulkan dari
alih fungsi tanah pertanian adalah, terancamnya produksi pangan yang
dapat menimbulkan kegagalan produksi pangan. Hal ini sesuai dengan
yang tercantum dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun
2012 tentang Pangan.
Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, disebutkan bahwa
lahan pertanian pangan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan
berkelanjutan dapat berupa:
9
a. lahan beririgasi;
b. lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut (lebak);
dan/atau
c. lahan tidak beririgasi.
Selanjutnya dalam Pasal 6 disebutkan, perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan dilakukan terhadap lahan pertanian
pangan dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan yang berada
di dalam atau di luar kawasan pertanian pangan.
Berdasarkan observasi peneliti, di Kabupaten Gorontalo yang
merupakan basis sektor pertanian, belum ditemukan Peraturan lanjutan
terkait dengan perlindungan lahan pertanian pangan yang berkelanjutan,
yang mana dalam peraturan tersebut memuat kawasan-kawasan yang
masuk dalam kategori lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 7, lahan pertanian
pangan berkelanjutan pada kawasan pertanian pangan berkelanjutan atau
di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan berada pada kawasan
perdesaan dan/atau pada kawasan perkotaan di wilayah kabupaten/kota.
Jadi berdasarkan Pasal 7 di atas, Kecamatan Telaga, Telaga biru, Tibawa
dan Limboto, masuk dalam kategori peruntukan pertanian lahan basah
dan kawasan peruntukan pertanian lahan kering yang merupakan
kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan, sesuai yang tercantum
pada Pasal 30 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2013 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gorontalo. Dimana lahan
10
pertanian lahan basah dan lahan kering merupakan cikal bakal lahirnya
lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan melalui hasil
analisis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), menunjukkan
bahwa ada sembilan (9) kecamatan dalam kondisi rawan pangan. Kondisi
rawan pangan terutama disebabkan oleh aspek ketersediaan pangan
utama produksi lebih kecil dari kebutuhan konsumsi dan dari aspek akses
pangan. Berdasarkan indikator yang digunakan pada aspek ketersediaan
adalah rasio ketersediaan dari empat jenis pangan sumber karbohidrat,
yaitu padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Apabila rasio ketersediaan
dibawh 0,9 dinyatakan rawan pangan (merah). Hasil analisis menunjukkan
bahwa empat (4) kecamatan dalam kondisi rawan yaitu Batudaa dengan
rasio ketersediaan 0,64, Batudaa pantai 0,46, Biluhu 0,52 dan Tilango
0,14, sedangkan dua (2) kecamatan sudah dalam kondisi waspada, yaitu
kecamatan Telaga dengan rasio ketersediaan 11,11 dan Telaga jaya
dengan rasio ketersediaan 0,97. Pada aspek akses pangan menggunakan
indikator keluarga prasejahtera dan sejahtera I. Total keluarga
prasejahtera dan sejahtera I diatas 40% menunjukkan kondisi rawan
(merah). Hasil analisis menunjukkan bahwa sembilan (9) kecamatan
dalam kondisi waspada yang terdiri dari kecamatan Limboto barat dengan
presentase kepala keluarga kelompok I dan II mencapai 32 KK, Telaga
biru 27 KK, Batudaa 23 KK, Batudaa pantai 38 KK, Tibawa 34 KK,
Boliyohuto 30 KK, Tolangohula 33 KK, Tilango 23 KK dan Tabongo 33 KK.
11
Serta pada aspek ini telah ada enam (6) kecamatan dalam kondisi rawan,
yang terdiri dari kecamatan Bongomeme dengan 352 KK, Pulubala 42 KK,
Mootilango 48 KK, Biluhu 41 KK, Asparaga 44 KK dan Bilato 44 KK.
Jadi dari total delapan belas (18) Kecamatan yang ada,
berdasarkan indeks komposit atau gabungan dari aspek ketersediaan dan
aspek akses pangan, maka situasi pangan dan gizi Kabupaten Gorontalo
pada tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa sembilan (9) kecamatan dalam
kondisi rawan dan sembilan (9) kecamatan dalam kondisi aman.
Kecamatan yang masuk dalam kondisi rawan terdiri dari, kecamatan
Batudaa, Batudaa pantai, Tibawa, Boliyohuto, Tolangohula, Tabongo,
Biluhu, Asparaga dan Bilato, sedangkan yang dalam kondisi aman yaitu
terdiri dari kecamatan Limboto barat, Telaga, Telaga Biru, Limboto,
Bongomeme, Pulubala, Mootilango, Tilango dan Telaga Jaya.
Dari data tersebut, kecamatan Limboto memang masuk dalam
kategori aman, namun kecamatan-kecamatan yang ada disekitar Limboto
atau yang berbatasan dengan Limboto, seperti Telaga, Telaga biru dan
Limboto barat sudah masuk dalam kategori waspada. Hal ini yang
dikhawatirkan bahwa kedepannya Limboto akan ikut menjadi daerah
waspada bahkan rawan pangan.
Sesuai dengan peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan
Daeah Nomor 4 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, telah
diatur bahwa Kecamatan Telaga, Telaga Biru, Pulubala dan Limboto,
masuk dalam kawasan peruntukkan pertanian lahan basah, yang sesuai
12
instruksi dari Bupati bahwa di lahan basah (sawah) tidak boleh ada
pembangunan. Namun pada kenyataannya, berdasarkan observasi awal,
alih fungsi sudah terjadi dari beberapa tahun yang lalu, yang cukup
banyak dilakukan di lahan basah. Dikhawatirkan, kedepannya akan makin
banyak daerah yang akan masuk kategori daerah rawan pangan.
Untuk dapat dicapai kondisi ketahanan pangan yang stabil
diperlukan adanya jaminan ketersediaan tanah pertanian dan regulasi
yang representatif dari Pemerintah. Oleh karena itu perlu kiranya
dilakukan penelitian tentang alih fungsi tanah pertanian yang berkaitan
dengan ketahanan pangan di Limboto Kabupaten Gorontalo.
B. Rumusan Masalah
1. Sejauh mana kebijakan Pemerintah Daerah terkait dengan tanah
pertanian yang produktif di Kabupaten Gorontalo?
2. Bagaimana implementasi dari Pemerintah daerah dalam mencegah
alih fungsi tanah pertanian di Kabupaten Gorontalo?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan Pemerintah Daerah
terkait dengan tanah pertanian yang produktif di Kabupaten
Gorontalo.
2. Untuk mengetahui implementasi dari Pemerintah Kabupaten
Gorontalo dalam mencegah alih fungsi tanah pertanian.
D. Manfaat Penulisan
1. Hasil dari penulisan ini dapat dijadikan bahan penelitian dan
pembelajaran sebagai bahan referensi pada perpustakaan dan
13
bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan
terkhusus bagi hukum agraria.
2. Hasil penulisan ini kiranya dapat bermanfaat bagi masyarakat dan
Pemerintah Kabupaten Gorontalo dalam menjaga
keberlangsungan tanah pertanian demi terpenuhinya pangan bagi
kebutuhan hidup, yang harus disesuaikan dengan tata guna tanah
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gorontalo.
E. Originalitas Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang
terkait dengan “Alih Fungsi Tanah Pertanian Kaitannya Dengan
Ketahanan Pangan Di Limboto Kabupaten Gorontalo”, tidak ditemukan
Tesis maupun Karya tulis lainnya dengan judul yang sama, namun dapat
dibandingkan dengan tiga (3) penelitian yang menyangkut permasalahan
alih fungsi tanah pertanian, yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu Anitasari pada tahun 2008 dari
Program Kenotariatan Universitas Diponegoro, dengan judul
“Pelaksanaan Alih Fungsi Tanah Pertanian Untuk Pembangunan
Perumahan Di Kota Semarang” dengan rumusan masalah:
a. Bagaimana pelaksanaan alih fungsi tanah pertanian untuk
pembangunan perumahan Grand Tembalang Regency oleh PT.
Tembalang Bale Agung di Kota Semarang?
b. Apakah kebijakan alih fungsi tanah pertanian untuk
pembangunan perumahan tersebut telah sesuai dengan
14
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang?
Hal yang berbeda dari tesis ini dengan rencana penulisan tesis
saya yaitu: Tesis ini lebih menekankan pada bagaimana pelaksanaan alih
fungsi tanah pertanian unntuk pembangunan perumahan oleh PT.
Tembalang Bale Agung dan persoalan kebijakan alih fungsi tanah
pertanian tersebut apakah sudah sesuai dengan RTRW diwilayahnya atau
tidak. Jadi inti perbedaan dengan rencana penulisan tesis saya adalah
tesis ini lebih spesifik membahas alih fungsi tanah pertanian untuk
pembangunan perumahan oleh suatu perusahaan, yang mana dalam
rencana penulisan saya, alih fungsi tanah pertanian yang terjadi tidak
hanya menekankan pada pembangunan perumahan.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Deliana Yusuf pada tahun 2013 dari
Program studi Sosiologi Universitas Negeri Gorontalo, dengan judul
“Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian (Suatu Penelitian di Kelurahan
Oluhuta Kecamatan Kabila)”.
Hal yang berbeda dari tesis ini dengan rencana penulisan tesis
saya yaitu; Tesis ini bermaksud mendapatkan informasi yang akurat
tentang proses alih fungsi lahan pertanian menjadi kanal, keadaan petani
sebelum dan sesudah alih fungsi lahan pertanian menjadi kanal dan
dampak alih fungsi lahan pertanian menjadi kanal. Inti perbedaan dengan
rencana penulisan tesis saya yaitu Skripsi ini menitikberatkan dampak alih
fungsi lahan pertanian menjadi kanal, sedangkan pada rencana penulisan
tesis saya, alih fungsi tanah pertanian yang terjadi tidak ada yang berubah
15
menjadi kanal.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Christian Hadinata dan Sugiyantoro
pada tahun 2013 dari Program Studi Magister Perencanaan Wilayah
dan Kota Institut Teknologi Bandung, dengan judul ”Kebijakan
Perlindungan Lahan Pertanian dan Alih Fungsi Lahan Pertanian di
Kabupaten Bandung”. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu banyaknya
alih fungsi yang terjadi dari kurun waktu 2004-2011 sebesar 1.898,34
Ha. Dengan belum ditetapkannya perlindungan lahan pertanian
berkelanjutan, maka alih fungsi lahan pertanian masih berlangsung.
Menurut hasil analisis, kecenderungan alih fungsi terjadi di lahan
produktif yang didukung jaringan irigasi dan terjadi pada jarak yang
relatif dekat dengan pusat pemerintahan. Letak perbedaan dengan
rencana penulisan tesis saya yaitu pada tesis saya membahas isu
terkait ketahanan pangan akibat adanya alih fungsi tanah pertanian.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. LANDASAN TEORI
1. Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State)
Menurut Esping Andersen, negara kesejahteraan dibangun atas
dasar nilai-nilai sosial, seperti kewarganegaraan sosial, demokrasi penuh,
sistem hubungan industrial modern, serta hak atas pendidikan dan
perluasan pendidikan massal yang modern. Produksi dan penyediaan
kesejahtereaan warga negara tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada
pasar.
Dalam salah satu studinya, Andersen mengungkapkan bahwa
welfare state merupakan institusi negara dimana kekuasaan yang
dimilikinya (dalam hal kebijakan ekonomi dan politik) ditujukan untuk:
Memastikan setiap warga negara beserta keluarganya memperoleh
pendapatan minimum sesuai dengan standar kelayakan.
Memberikan layanan sosial bagi setiap permasalahan yang dialami
warga negara (baik dikarenakan sakit, tua, atau menganggur), serta
kondisi lain semisal krisis ekonomi.
Memastikan setiap warga negara mendapatkan hak-haknya tanpa
memandang perbedaan status, kelas ekonomi, dan perbedaan
lain.8
8 Andersen J.G, Welfare States and Welfare State Theory, Centre for Comparative
Welfare Studies, Working Paper, 2012.
17
Briggs (2000:18), mengemukakan bahwa “A state in which
organized power is deliberately used (through politics and administration)
in an effort to modify the play of market forces in at least three directions:
1. By guaranteeing individuals and families a minimum income
irrespective of the market value of their work of their property.
2. By narrowing the extent of insecurity by enabling individuals and
families to meet certain social contingencies (for example: sickness,
old age, and unemployment) which lead otherwise to individual and
family crises.
3. By ensuring that all citizens without distinction of status or class are
offered the best standards available in relation to a certain agreed
range of social services.
Tujuan ketiga melampaui cakupan dari negara pelayanan sosial
karena memfokuskan dan memasukkan gagasan pelayanan sosial yang
‘optimum’ yang dapat diterima masyarakat (dari minimum menjadi
optimum).
Untuk dapat memperjelas apakah suatu negara dapat tergolong
sebagai Welfare State atau bukan, dapat diamati melalui beberapa
karakter umum tertentu. Pertama, lebih dari setengah pengeluaran negara
tersebut ditujukan untuk kebijakan sosial atau tanggung jawab untuk
penyediaan kesejahteraan yang komprehensif dan universal bagi
warganya. Kedua, ada komitmen jangka panjang yang dibuat dimana
memiliki seperangkat program pemerintah yang bertujuan untuk menjamin
18
kesejahteraan untuk menghadapi kemungkinan yang akan dihadapi dalam
modernitas, individualisasi, dan masyarakat yang terindustrialisasi. Ketiga,
negara menjadi negara yang tanpa kehilangan posisi pemegang tanggung
jawab utamanya, mampu mengkombinasikan tenaga dari berbagai pihak
(organisasi sosial, pihak independen, voluntary, dll) untuk menyediakan
perlindungan kesejahteraan bagi masyarakat.9
Negara yang dapat disebut Welfare state menurut Bismarck
dicirikan dengan adanya asosiasi penyedia perlindungan sosial yang
saling membantu, jumlah Asuransi sosial, yang meliputi biaya kesehatan
dan beberapa perawatan sosial, juga adanya prinsip Subsidiaritas.
Menurut Asa Briggs, karakteristik utama welfare State adalah adanya
jaminan standar minimum termasuk perihal pendapatan minimum, juga
adanya perlindungan sosial dalam hal ketidakamanan, penyedia layanan
dengan level kualitas yang tinggi. Perlindungan sosial di Perancis
didasarkan pada prinsip solidaritas: komitmen dinyatakan dalam artikel
pertama French Code of Social Security. Sedangkan Welfare State model
Titmuss dari Swedia menghadirkan model Institusional Redistributif yang
menggabungkan prinsip penyediaan sosial yang komprehensif dengan
egalitarianism, mengedepankan kesetaraan yang berbeda dengan sistem
Perancis dan Jerman yang menawarkan perlindungan diferensial sesuai
posisi seseorang dalam pasar tenaga kerja, serta memanfaatkan
organisasi independen seperti OECD.
9 Diskusi perkuliahan MBP Eropa, 2011
19
Setelah melihat opini para ahli, dan juga beberapa karakteristik
yang dikemukakan dari beberapa negara yang berbeda, dapat kita lihat
bahwa pengadopsian welfare state tidak selalu sama, namun setiap
negara berhak memiliki kebijakan khas dalam aplikasi konsep welfare
state ini. Hantaris dalam tulisannya “Welfare Policy” mengelompokkan
konsep Welfare State menjadi empat,10 yaitu: Pertama, The Continental
State, yang bercirikan dengan adanya kebijakan negara untuk membayar
sejumlah layanan sosial bagi warga negaranya. Contoh negara yang
menerapkan bentuk ini adalah Belgia, Perancis, Jerman, Luksemburg, dan
Belanda; kedua, adalah tipe The Skandinavian Welfare, yang dicirikan
dengan adanya penerapan model Swedia yang berkomitmen menjamin
hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan, dan negara juga
bertanggungjawab membiayai dan mengatur layanan sosial yang ada,
contohnya adalah negara Swedia, Denmark dan Finlandia; ketiga, The
Anglo-Saxon Welfare, yang menekankan adanya perlindungan pada
setiap pekerjaan warga negaranya, seperti di Inggris dan Irlandia; terakhir,
adalah tipe Mediterranean Welfare, yang menekankan polarisasi layanan
sosial kepada berbagai pihak yang akibatnya menurunkan otoritas
pemerintah, misalkan di Itali, Spanyol, dan Yunani.
Tiga kunci utama dalam memahami negara kesejahteraan:11
1. Intervensi yang dilakukan oleh negara (dalam hal ini pemerintah)
dalam menjamin kesejahteraan warganya;
10
Hantaris, Linda. 2007. “Welfare Policy”, dalam Hay, Colin dan Menond, Anand. 11
Heru Susetyo, Materi Negara Kesejahteraan dalam Slide, Perundang-Undangan Sosial FHUI
20
2. Kesejahteraan harus dikembangkan berdasarkan ‘kebutuhan dasar’
masyarakat.
3. Kesejahteraan adalah hak dari setiap warga negara.
Pencetus teori welfare state, Prof. Mr. R. Kranenburg, menyatakan
bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak
adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan
seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat.
Maka akan sangat ceroboh jika pembangnan ekonomi dinafikan,
kemudian pertumbuhan ekonomi hanya dipandang dan dikonsentrasikan
pada angka persentase belaka. Kesejahteraan rakyat adalah indikator
yang sesungguhnya.
Teori Welfare State ini memiliki keterkaitan dengan aliran utilitarian
yang menitikberatkan pada kemanfaatan. Jika mesin diukur dari
manfaatnya (utlity), maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun
harus diukur dari manfaatnya. Karena itu, unsur manfaat sebagai kriteria
bagi manusia dalam mematuhi hukum.12 Teori manfaat yang paling
terkenal dikemukakan dari Jeremy Bentham dalam karyanya yang
berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation”.13
Asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana
tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu
atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu
12
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92. 13
Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia yang bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakart dan Fredom Institusi, 2006), hal. 13.
21
sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan akan
tercapai.14
Teori utilitiarisme berpandangan bahwa kualitas etis suatu
perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan kesejahteraan bersama.
Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak
bermanfaat, maka tidak pantas disebut baik.15 Pengambilan keputusan
berdasarkan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak
pihak sebagai hasil akhirnya yang dikenal dengan istilah the greatest good
for the greatest number. Semakin bermanfaat akan semakin banyak orang
dan perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan adalah
manfaat terbesar sehingga sering disebut dengan aliran
konsekuensialisme karena sangat berorientasi pada hasil perbuatan.16
Teori utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi
perbuatan dalam menilai baik atau buruk. Baik buruknya kualitas moral
suatu perbuatan bergantung pada konsekuensi atau akibat yang
dibawakan oleh mereka sebagai untuk mempertanyakannya hanya
berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya, dengan dorongan
sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang.
Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian
daripada manfaatnya, maka perbuatan itu dinilai buruk. Konsekuensi
perbuatan di sini menentukan seluruh kualitas moral.17
14
Ibid, hal. 14. 15
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), hal. 67. 16
Erni R. Ernawan, Business Ethics: Etika Bisnis, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), hal. 93. 17
K. Bertens, Loc. cit.
22
Prinsip utilitarian menganggap suatu tindakan menjadi benar jika
jumlah total manfaat yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar
dari jumlah manfaat total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang
dilakukan. Penelantaran para penyandang cacat, eksploitasi kaum
minoritas yang rentan, ketidakotentikan, dan hilangnya otonomi adalah
bahaya-bahaya yang ditentang utilitarianisme ini.18
Mudah dipahami bahwa utilitarisme sebagai teori etika sesuai
dengan pemikiran ekonomis. Misalnya, teori ini cukup dekat dengan
analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) yang banyak dipakai dalam
konteks ekonomi. Manfaat yang dimaksudkan utilitarisme seperti
menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis.19
Ukuran utilitarisme menambahkan kuantitas keuntungan yang dihasilkan
oleh suatu tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari
tindakan, selanjutnya menentukan tindakan mana yang menghasilkan
keuntungan paling besar atau biaya yang paling kecil. Teori utilitarisme
tentang hukum moral berbanding terbalik atau suatu bentuk penolakan
keras terhadap tindakan aji mumpung (moral hazard) dari pengemban
amanah.
Jeremy Bentham sangat percaya bahwa hukum harus dibuat
secara utiltarianisme, melihat gunanya dengan patokan-patokan yang
didasarkan pada kegunaan, kesenangan dan kepuasan manusia. Dalam
hukum tidak ada masalah kebaikan atau keburukan, atau hukum yang
18
Ian Saphiro, Op.cit., hal. 24. Lihat juga: W. Stark, (ed), Jeremy Bentham’s Economic Writings, (London: George Allen & Unwin, 1954), hal. 113. 19
K. Bertens, Op. cit, hal. 66-67.
23
tertinggi atau yang tertinggi dalam ukuran nilai. Bentham berpandangan
bahwa tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan
kebahagiaan kepada individu-individu. Bentham mengusulkan suatu
klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan
yang terakhir ini diukur berdasarkan kesusahan atau pederitaan yang
diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat. Suatu pelanggaran
yang merugikan orang lain, menurut Bentham sebaiknya tidak dianggap
sebagai tindakan kriminal. Pemindahan, menurut Bentham, hanya bisa
diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan lebih
besar.
Prinsip-prinsip dasar ajaran Jeremy Bentham adalah sebagai
berikut :
1. Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan
kebahagiaan kepada individu-individu baru orang banyak. Prinsip
utiliti Bentham berbunyi ”the greatest heppines of the greatest
number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-
banyaknya orang.
2. Prinsip itu harus diterapkan secara Kualitatif, karena kualitas
kesenangan selalu sama.
3. Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat, maka
perundang-undangan harus mencapai empat tujuan:
a) To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).
24
b) To Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan
berlimpah).
c) To provide security (untuk memberikan perlindungan).
d) To attain equity (untuk mencapai persamaan)..
2. Teori Kewenangan
Menurut Philipus Hadjon20, wewenang (bevoegdheid)
dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam
konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.
F.P.C.L.Tonner dalam Ridwan HR21 berpendapat
“Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het vermogen
om positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen
burgers onderling en tussen overhead en te scheppen" (kewenangan
pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk
melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan
hubungan hukum antara pemerintahan dengan waga negara).
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah
wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan
dengan istilah “bevoegheid" dalam istilah hukum Belanda. Menurut
Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah
kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak
pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid’ digunakan dalam konsep
hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita
20
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang”, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, Nomor 5 dan 6 Tahun XII, 1997, hal. 1 21
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2006, hal. 100
25
istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep
hukum publik.22
Kata kewenangan berasal dari kata dasar wenang yang diartikan
sebagai hal berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk
melakukan sesuatu.23 Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan
formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh
undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan
yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah kekuasaan
terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu
bidang pemerintahan.24
Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan
dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan peraturan atau
mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang
diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu
atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi
(UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan
wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak
terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi,
yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam
pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain
untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).
22
Philipus M. Hadjon, Op. Cit, hal. 20. 23
Tim Bahasa Pustaka, 1996, hal. 1128. 24
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara. Jakarta:Ghalia Indonesia, hal 78.
26
Bagir Manan mengemukakan bahwa wewenang dalam bahasa
hukum tidak sama dengan kekuasaan (match). Kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Di dalam hukum,
wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichen). Di
dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian
kekuasaan untuk mengatur sendiri, sedangkan kewajiban secara
horisontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan
sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan
pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintahan negara secara
keseluruhan.25
Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan
delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi
tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas,
kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, tetapi
hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan
mengenai kemungkinan delegasi tersebut.26
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada
(konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang
sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan
didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa
sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi)
pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenagan
25
Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah. Hal1-2. 26
Philipus M. Hadjon, Op. Cit, hal. 5
27
organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan
oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa
kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang
benar.27
Mengenai sifat kewenangan pemerintahan yaitu yang bersifat
terikat, fakultatif, dan bebas, terutama dalam kaitannya dalam
kewenangan kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-
keputusan (besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikkingan) oleh
organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan yang bersifat terikat
dan bebas.
Philipus mandiri Hadjon mengutip pendapat N. M. Spelt dan Ten
Berge, membagi kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu kebebasan
kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian
(beoordelingsverijheid) yang selanjutnya disimpulkan bahwa ada dua jenis
kekuasaan bebas yaitu: pertama, kewenangan untuk memutuskan
mandiri; kedua, kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar
(verge norm).28
3. Teori Penegakan Hukum
Pakar Hukum yang sangat terkenal dengan teori Penegakan hukum
adalah Freidmann. Menurut Freidmann, berhasil atau tidaknya Penegakan
27
F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2006), hal 219. 28
Philipus M. Hadjon, Op. Cit, hal. 112
28
hukum bergantung pada: (1) Substansi Hukum, (2) Struktur
Hukum/Pranata Hukum dan (3) Budaya Hukum.
1) Subtansi Hukum; adalah keseluruhan asas-hukum, norma hukum
dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,
termasuk putusan pengadilan.
2) Struktur Hukum; adalah keseluruhan institusi penegakan hukum,
beserta aparatnya. Jadi mencakupi: kepolisian dengan para
polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, kantor-kantor
pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan
para hakimnya.
3) Budaya Hukum; adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara
berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun
dari warga masyarakat. Substansi dan Aparatur saja tidak cukup
untuk berjalannya sistem hukum. Oleh karenanya, Lawrence M
Friedmann menekankan kepada pentingnya Budaya Hukum (Legal
Culture).
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-
ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi
kenyataan. Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses
perwujudan ide-ide. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
29
Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide
dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan.
Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak
hal.29
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-
kaidah atau pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam
praktik sebagaimana seharusnya patut dipatuhi. Oleh karena itu,
memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in
concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil
dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum
formal.30
Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum pada hakikatnya
merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan,
kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi Penegakan hukum
merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tadi menjadi
kenyataan. Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau
kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum
29
Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1988, hal. 32
30 Ibid, hal. 33
30
bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal
secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun
demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang
bertanggung jawab.
Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:31
1. Ditinjau dari sudut subyeknya
Dalam arti luas, proses penegakan hukum melibatkan semua
subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum
yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Dalam arti sempit, penegakan hukum hanya diartikan sebagai
upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana
seharusnya.
2. Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya
Dalam arti luas, penegakan hukum yang mencakup pada nilai-nilai
keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-
nilai keadilan yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti sempit,
penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang
formal dan tertulis.
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-
31
Ibid hlm 34
31
ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi
kenyataan. Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses
perwujudan ide-ide. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide
dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan.
Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak
hal.32
Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi
3 bagian yaitu:33
1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana
sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif
(subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini
tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi
secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup
aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu mungkin
terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-
batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat
penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup
32
Ibid hal. 37 33
Ibid hal. 39
32
yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.
2. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana
yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam
penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan
hukum secara maksimal.
3. Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini
dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-
keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi,
dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan
keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut
dengan actual enforcement.
Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan
hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana
(criminal law application) yang melibatkan berbagai sub sistem struktural
berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan.
Termasuk didalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum. Dalam hal
ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:
1. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative
system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang
menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung oleh sanksi
pidana.
2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif
(administrative system) yang mencakup interaksi antara pelbagai
33
aparatur penegak hukum yang merupakan sub sistem peradilan
diatas.
3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system),
dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula
diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam
lapisan masyarakat.
Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut
Soerjono Soekanto adalah:34
1. Faktor Hukum
Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan
oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak,
sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah
ditentukan secara normatif.
Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya
berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang
kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada
hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law
enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan
hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah
dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
2. Faktor Penegakan Hukum
34
Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 2004, Cetakan Kelima. Jakarta:Raja Grafindo Persada, hal. 42
34
Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak
hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi
kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu
kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau
kepribadian penegak hukum.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak
dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah
pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung
pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi
mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah
pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus
yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut
karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum
siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi
begitu luas dan banyak.
4. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau
kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan
yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang
tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat
terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum
35
yang bersangkutan.
5. Faktor Kebudayaan
Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering
membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono
Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana
seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah
suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan
mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
B. TINJAUAN TENTANG TANAH DAN TANAH PERTANIAN
1. Pengertian Tanah
Tanah merupakan suatu tempat dimana manusia hidup, dan
ditanah itulah manusia menggunakannya sebagai tempat untuk
mempertahankan dan mengembangkan hidupnya.
Tanah merupakan tempat berbagai macam kegiatan, memetik hasil
dari tanaman yang di tanam dan juga mengambil kekayaan yang
dikandung dalam tanah. Tanah merupakan permukaan bumi atau lapisan
bumi yang di atas sekali. Istilah tanah memiliki berbagai definisi, antara
lain sebagai berikut:35
a. Keadaan bumi di suatu tempat;
b. Permukaan bumi yang diberi batas;
35
http://kangmoes.com/artikel-tips-trik-ide-menarik-kreatif.definisi/pengertian-tanah.html
36
c. Daratan;
d. Permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang
diperintah suatu Negara atau menjadi daerah bagi suatu bangsa;
e. Bahan-bahan dari bumi.
Menurut Kamus Umum tanah adalah lapisan permukaan bumi yang
gembur. Sedangkan menurut Ensiklopedia Indonesia tanah adalah
campuran bagian-bagian dengan material serta bahan organik yang
merupakan sisa kehidupan yang timbul pada permukaan bumi akibat erosi
dan pelapukan karena proses waktu.36
Pengertian tanah dapat dilihat juga dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, yang dimaksud dengan tanah adalah:
1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang ada di atas;
2. Keadaan bumi di suatu tempat;
3. Permukaan bumi yang diberi batas;
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas,
napas dan sebagainya)
Manusia hidup dalam masyarakat dan dalam masyarakat tersebut
dilakukan berbagai macam usaha dan kegiatan yang pada dasarnya tidak
terlepas dari masalah pertanahan. Tanah mempunyai ciri khusus yang
bersegi dua, yakni sebagai benda dan sebagai sumber daya alam.
Disebut sebagai sumber daya alam karena tidak dapat diciptakan oleh
manusia. Kemudian disebut benda bila telah diusahakan oleh manusia,
36
http:leonheart94.blogspot.com/2011/05/pengertian-tanah.html
37
misalnya menjadi tanah pertanian. Ciri lain dari tanah adalah sifatnya yang
tetap dan jumlahnya yang terbatas.37
Istilah tanah memiliki arti yang sangat luas dan menimbulkan
beberapa pendapat, untuk itu diperlukan batasan-batasannya. Dalam
hukum agraria istilah tanah dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu
pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok
Agraria yang selanjutnya disebut dengan UUPA. Menurut Pasal 4 ayat (1),
batasan mengenai tanah adalah sebagai berikut:38
“Atas dasar menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-
macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan
hukum”.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) di atas, maka yang dimaksud dengan
tanah adalah permukaan bumi. Kemudian Pasal 1 ayat (4) UUPA
menyebutkan:
“Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula
tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.”
Pengertian bumi meliputi permukaan bumi yang disebut tanah,
tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Dengan
37 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008, hal. 220 38
Rahayu Fery Anitasari, Pelaksanaan Alih Fungsi Lahan Pertanian Untuk Pembangunan Perumahan Di Kota Semarang, Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, hal. 11
38
demikian pengertian tanah meliputi permukaan bumi yang ada di daratan
dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.39
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dimaksud bidang tanah
adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang berbatas.
2. Pengertian Tanah Pertanian
Dalam Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah dengan Menteri Agraria 5 Januari 1961 No. Sekra 9/1/12 tentang
Pengertian Tanah Pertanian, diberikan penjelasan sebagai berikut:40
“Yang dimaksud dengan tanah pertanian ialah juga semua tanah
perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah tempat penggembalaan
ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata
pencaharian bagi yang berhak. Pada umumnya tanah pertanian adalah
semua tanah yang menjadi hak orang, selain tanah untuk perumahan dan
perusahaan. Bila atas sebidang tanah berdiri rumah tempat tinggal
seseorang, maka pendapat setempat itulah yang menentukan, berapa
luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa yang merupakan
tanah pertanian”.
Tanah pertanian biasanya digunakan untuk usaha bidang pertanian
dalam arti mencakup persawahan, hutan, perikanan, perkebunan, tegalan,
39
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2008, hal. 6 40 Ibid, hal. 372
39
padang, penggembalaan dan semua jenis penggunaan lain yang lazim
dikatakan sebagai usaha pertanian.
Lahan Sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan
dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan
air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang darimana
diperoleh status lahan tersebut. Lahan tersebut termasuk lahan yang
terdaftar di Pajak Bumi Bangunan, Iuran Pembangunan Daerah, lahan
bengkok, lahan serobotan, lahan rawa yang ditanami padi dan lahan
bekas tanaman tahunan yang telah dijadikan sawah, baik yang ditanami
padi maupun palawija. Lahan sawah terdiri dari:
a) Lahan sawah irigasi; adalah lahan sawah yang sumber air
utamanya berasal dari air irigasi. Lahan sawah irigasi terdiri: teknis,
setengah teknis, irigasi sederhana, irigasi desa, termasuk juga
sawah sistem surjan yaitu sawah yang sumber air utamanya
berasal dari air irigasi atau air reklamasi rawa pasang surut (bukan
lebak) dengan sistem tanam pada tabukan dan gundulan.
b) Lahan sawah tadah hujan; adalah lahan sawah yang sumber air
utamanya berasal dari curah hujan.
c) Lahan sawah rawa pasang surut; adalah lahan sawah yang
pengairannya tergantung pada air sungai yang dipengaruhi oleh
pasang surutnya air laut, termasuk juga disini polder yaitu lahan
sawah yang terdapat di delta sungai.
40
d) Lahan sawah rawa lebak; adalah lahan sawah yang mempunyai
genangan hampir sepanjang tahun, minimal selama tiga bulan
dengan ketinggian genangan minimal 50 cm.
Lahan pertanian bukan sawah adalah semua lahan pertanian selain
sawah, yang terdiri dari:
a) Tegal/kebun; adalah lahan bukan sawah (lahan kering) yang
ditanami tanaman semusim atau tahunan dan terpisah dengan
halaman sekitar rumah serta penggunaannya tidak berpindah-
pindah.
b) Ladang; adalah lahan bukan sawah (lahan kering) yang biasanya
ditanami tanaman musiman dan penggunaannya hanya semusim
atau dua musim, kemudian akan ditinggalkan bila sudah tidak subur
lagi (berpindah-pindah). Kemungkinan lahan ini beberapa tahun
kemudian akan dikerjakan kembali jika sudah subur.
c) Perkebunan; adalah lahan yang ditanami tanaman
perkebunan/industri seperti: karet, kelapa, kopi, teh dan
sebagainya, baik yang diusahakan oleh rakyat/rumah tangga
ataupun perusahaan perkebunan yang berada dalam wilayah
kecamatan.
d) Lahan yang ditanami pohon/hutan rakyat; lahan ini meliputi lahan
yang ditumbuhi kayu-kayuan/hutan rakyat termasuk bambu,sengon
dan angsana, baik yang tumbuh sendiri maupun yang sengaja
ditanami misalnya semak-semak dan pohon-pohon yang hasil
41
utamanya kayu. Kemungkinan lahan ini juga ditanami tanaman
bahan makanan seperti padi atau palawija, tetapi tanaman
utamanya adalah bambu/kayu-kayuan.
e) Padang rumput; adalah lahan yang khusus digunakan untuk
penggembalaan ternak. Lahan yang sementara tidak diusahakan
(dibiarkan kosong lebih dari satu tahun dan kurang dari dua tahun)
tidak dianggap sebagai lahan penggembalaan/padang rumput
meskipun ada hewan yang digembalakan disana.
f) Lahan yang sementara tidak diusahakan; adalah lahan pertanian
bukan sawah yang tidak ditanami apapun lebih dari satu tahun
tetapi < 2 tahun. Lahan sawah yang tidak ditanami apapun > 2
tahun digolongkan menjadi lahan pertanian bukan sawah yang
sementara tidak diusahakan.
g) Lahan bukan sawah lainnya; adalah lahan bukan sawah selain
tegal/kebun dan lahan yang sementara tidak diusahakan. Misalnya
lahan sekitar rumah (pekarangan) yang diusahakan untuk
pertanian.
Lahan bukan pertanian terdiri dari: rumah, bangunan dan halaman
sekitarnya, hutan negara, rawa-rawa (yang tidak ditanami), lahan bukan
pertanian lainnya (jalan, sungai, danau, lahan tandus dan lain-lain),
termasuk lahan pertanian bukan sawah yang tidak ditanami apapun
selama lebih dari 2 tahun.
42
Lahan untuk rumah, bangunan dan halaman sekitarnya merupakan
lahan yang dipakai untuk rumah/bangunan termasuk halaman sekitar
rumah (pekarangan) yang tidak diusahakan untuk pertanian. Bila lahan
sekitar rumah tersebut tidak jelas batas-batasnya dengan tegal/kebun
maka dimasukkan ke dalam lahan tegal/kebun. Lahan bukan pertanian
lainnya adalah lahan lainnya yang belum termasuk pada perincian di atas,
misalnya: jalan, saluran, lapangan olahraga, lahan yang tidak dapat
ditanami seperti lahan tandus, berpasir, terjal, termasuk lahan pertanian
bukan sawah yang tidak diusahakan > 2 tahun.
Beberapa pengertian tanah pertanian, antara lain menurut:
a. Effendi Perangin;41
Tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang
selain tanah untuk perumahan dan untuk perusahaan.
b. Hasan Warga kusumah;42
Tanah pertanian adalah semua tanah perkebunan, tambak
untuk perikanan, tanah tempat penggembalaan ternak, tanah
belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata
pencaharian bagi yang berhak.
c. Instruksi Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/107/1985 tanggal
25 Maret 1985 tentang Pencegahan Perubahan Tanah
Pertanian ke Non Pertanian yang Tidak Tekendalikan;
41
Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986, hal, 125 42
Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I, Gramedia, Jakarta, 1992, hal. 155
43
Tanah pertanian adalah tanah yang digunakan untuk usaha
pertanian dalam arti mencakup persawahan, perkebunan hutan,
perikanan, tegalan, padang penggembalaan dan semua
pengguanaan lainnya yang layak dikatakan sebagai usaha
pertanian.
Pengertian tanah pertanian di atas, dapat dijadikan sebagai tolok
ukur suatu tanah yang bersangkutan dapat dikategorikan sebagai tanah
pertanian atau tanah non pertanian yang masing-masing kategori tanah
tersebut memiliki peruntukan yang berbeda-beda.
3. Tanah Mempunyai Fungsi Sosial
Kecenderungan untuk memandang tanah lebih pada nilai
ekonomisnya semata, yakni tanah sebagai barang dagangan yang
tentunya lebih mudah dikuasai oleh mereka yang mempunyai kelebihan
modal dan mengakibatkan ketimpangan distribusi penguasaan tanah
karena perbedaan akses, jelas tidak sesuai dengan jiwa UUPA. Tanah itu
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 UUPA). Dengan
demikian selain memiliki nilai fisik, tanah juga mempunyai nilai kerohanian.
Sebagai titipan Tuhan, perolehan dan pemanfaatannya harus sedemikian
rupa sehingga dirasakan adil bagi semua pihak.43
Tanah merupakan unsur penting dalam setiap kegiatan
pembangunan. Semua kebutuhan manusia juga dapat terpenuhi dengan
43 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi Edisi Revisi, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2005), hal. 42
44
adanya tanah, dengan kata lain bahwa tanah merupakan faktor pokok
dalam kelangsungan hidup manusia.
Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan
bahwa: “Bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Pasal 33 Ayat (3) merupakan landasan adanya hubungan hukum
antara tanah dan subyek tanah, dimana Negara bertindak sebagai subyek
yang mempunyai kewenangan tertinggi terhadap segala kepentingan atas
tanah yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat.
Lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2) UUPA yang
menyatakan bahwa:
“Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang
Dasar dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, Air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Hak menguasai dari Negara memberikan wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
45
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
Ditegaskan pula di dalam Pasal 6 UUPA mengenai fungsi sosial
dari tanah, yaitu:
“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi tanah”.
Tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial. Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya
dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan
dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi
masyarakat dan Negara. Namun demikian tidak berarti kepentingan
perseorangan dikalahkan dengan kepentingan masyarakat. Kepentingan
masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling seimbang,
hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok yaitu kemakmuran,
keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.
C. TINJAUAN TENTANG ALIH FUNGSI TANAH
1. Pengertian Alih Fungsi
Alih fungsi tanah merupakan kegiatan perubahan penggunaan
tanah dari suatu kegiatan yang menjadi kegiatan lainnya. Alih fungsi tanah
muncul sebagai akibat pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk.
46
Pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan tanah untuk kegiatan
pembangunan telah merubah strukur pemilikan dan penggunaan tanah
secara terus-menerus. Perkembangan struktur industri yang cukup pesat
berakibat terkonversinya tanah pertanian secara besar-besaran. Selain
untuk memenuhi kebutuhan industri, alih fungsi tanah pertanian juga
terjadi secara cepat untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang
jumlahnya jauh lebih besar. 44
Lestari (2009)45 mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya
disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau
seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan)
menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap
lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat
diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh
faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya
tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Alih fungsi tanah pertanian merupakan fenomena yang tidak dapat
dihindarkan dari pembangunan. Upaya yang mungkin dilakukan adalah
dengan memperlambat dan mengendalikan kegiatan alih fungsi tanah
pertanian menjadi tanah non pertanian.
44 Adi Sasono dan Ali Sofyan Husein, Ekonomi Politik Penguasaan Tanah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 13 45
Lestari, T., Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi taraf Hidup Petani. Makalah kolokium dept sains komunikasi dan pengembangan masyarakat tgl 21 April 2009. ipb
47
Dalam rangka dilakukannya alih fungsi tanah pertanian menjadi
tanah non pertanian para pihak yang bersangkutan harus mengajukan
permohonannya melalui mekanisme perijinan. Mekanisme tersebut terbagi
dalam dua jalur yaitu dapat melalui ijin lokasi atau ijin perubahan
penggunaan tanah pertanian ke non pertanian.
Perbedaan dari dua mekanisme tersebut adalah terletak pada
luasnya tanah yang dimohon, apabila luas tanah pertanian yang
dimohonkan perubahan penggunaannya ke tanah non pertanian kurang
dari 10.000 m3 maka ijin yang diperlukan adalah ijin perubahan
penggunaan tanah pertanian ke non pertanian, sedangkan apabila lebih
dari 10.000 m3 maka ijin yang diperlukan adalah ijin lokasi.
2. Alih Fungsi Tanah Pertanian
Isu dalam alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian tidak
sekedar wacana apakah negara ingin mempertahankan tanah pertanian
atau tidak, akan tetapi lebih kepada menentukan dan
mengimplementasikan program-program yang efekif dalam
mempertahankan tanah pertanian.46 Beberapa negara lain telah lama
memulai kebijakan-kebijakan untuk mempertahankan bidang-bidang tanah
pertanian mereka.
Sejak tahun 1970, negara-negara bagian di Amerika serikat telah
menerapkan beberapa program untuk melindungi bidang-bidang tanah
pertanian mereka. Program-program tersebut antara lain:
46
Anonim, 1980, “Agriculture Land Preservation: Washington’s Approach”, Gonzaga Law Review, Vol.15:765.
48
1) Zoning Tanah Pertanian
Ditujukan untuk mencegah meluasnya alih fungsi tanah pertanian
menjadi non pertanian. Sebagaimana yang tertulis dalam artikel alih
fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian di Gonzaga Law
Review: “agriculture zoning seeks to restrict the landowner’s ability
to use his land for other than agriculture purpose by providing an
incentive to farm the land”47. Lebih lanjut dikatakan bahwa: “zoning,
as a regulatory tool, is not without utility in a comprehensive policy
of preservation on agriculture land With reforms, careful drafting,
and a system of check and balances, zoning can help protect rural
land, particularv in the short term if innovatively used in conjunction
with other available technique”48. Secara garis besar, zoning dinilai
cukup efektif mencegah alih fungsi tanah pertanian menjadi
nonpertanian untuk jangka pendek walaupun di satu sisi zoning
juga harus dikonibinasikan dengan program yang lain.
2) Program Pajak Insentif (tax incentive plan)
Sebagai bentuk implementasi fungsi mengatur (regstlerend), tujuan
diberlakukannya tax incentive plan adalah memberikan keringanan
pembayaran pajak dengan cara perhitungan pajak tertentu atas
tanah pertanian yang dengan program ini petani akan terdorong
atau termotivasi untuk tetap mempertahankan bidang tanah
sebagai bentuk implementasi fungsi mengatur (regulerend), tujuan
47 Ibid. hal. 774. 48 Ibid. hal. 780.
49
diberlakukannya tax incentive plan adalah memberikan keringanan
pembayaran pajak dengan cara perhitungan pajak tertentu atas
tanah pertanian yang dengan program ini petani akan terdorong
atau termotivasi untuk tetap mempertahankan bidang tanah
pertanian mereka.
Sihaloho (2004)49 membagi konversi tanah kedalam tujuh pola atau
tipologi, antara lain:
a. Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor
utama yaitu tanah yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan
ekonomi pelaku konversi.
b. Konversi sistematik berpola ‘enclave’, dikarenakan tanah kurang
produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk
meninngkatkan nilai tambah.
c. Konversi tanah sebagai respon atas pertumbuhan penduduk
(population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut
konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya
pertumbuhan penduduk, tanah terkonversi untuk memenuhi
kebutuhan tempat tinggal.
d. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem
diver land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni
keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.
49
Sihaloho Martua, Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. (Tesis) Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 2004
50
e. Konversi tanpa beban, dipengaruhi dua faktor keinginan untuk
mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin
keluar dari kampung.
f. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan
ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan
tujuan meningkatkan hasil pertanian.
g. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi
oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukkan untuk
perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem
waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.
Alih fungsi tanah pertanian itu sendiri tidak harus dilakukan dengan
menjualnya kepada pihak lain lebih dulu, tetapi juga dapat dilakukan oleh
pemilik tanah pertanian itu sendiri. Misalnya di Jawa Barat, sawah dengan
sistem irigasi tehnis dikeringkan lebih dulu agar terkesan tidak produktif
untuk pertanian (seperti tegalan), baru kemudian difungsikan untuk tanah
non pertanian50.
Dalam konteks otonomi daerah dimana kewenangan pertanahan
termasuk tentang penatagunaan tanah juga menjadi kewenangan masing-
masing daerah yang seharusnya kebijakan mengenai penatagunaan
tanah akan benar-benar dapat meliputi kepentingan daerah secara tepat
dan menjadi lebih terkontrol, ternyata banyak pula yang kemudian
50
Modus operandi ini disimpulkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor, di kawasan Pantai Utara Jawa. Lihat, Entang Sastraatmadja, Disebutkan pula bahwa cara ini adalah untuk menyiasati peraturan yang ada yang melarang pengalihfungsian tanah pertanian produktif menjadi tanah non pertanian.
51
menambah jumlah konversi tanah pertanian. Apalagi jika pemerintah
daerah lebih berorientasi pembangunan ekonomi yang menitikberatkan
pada usaha-usaha non pertanian51.
Sehingga komitmen pemerintah dan pemerintah daerah memang
sangat penting dalam hal ini. Bukan hanya membuat peraturan yang
melarang pengalihfungsian tanah pertanian menjadi non pertanian, tetapi
kebijakan antisipatif yang berpihak pada pertanian, dan segala kebijakan
yang terkait dengan pertanian, harus mendapat perhatian utama. Contoh,
subsidi atau minimal perbaikan manajemen dan distribusi pupuk dan
sarana pertanian lainnya, pengendalian harga dan stok beras nasional,
pembangunan infrastruktur pertanian yang tepat, dan kebijakan lainnya.
Akan halnya dengan tanah pertanian abadi yang direncanakan oleh
Pemerintah, haruslah dengan perencanaan dan pengelolaan yang tepat.
Jika dikelola oleh Negara (pemerintah), swasta atau pun diredistribusikan
kepada rakyat, maka pengawasan terhadap pemanfaatan tanah pertanian
tersebut harus benar-benar dilakukan secara jelas dan tegas. Sehingga
tidak dimungkinkan perubahan fungsi menjadi tanah non pertanian.
3. Peraturan Yang Melatarbelakangi Pelaksanaan Alih Fungsi
Tanah Pertanian Menjadi Non pertanian
Pasal 14 ayat (1) UUPA menyebutkan, Pemerintah harus membuat
perencanaan umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan
51
Pertanian Indonesia Diambang Krisis, Op. Cit.
52
bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya untuk keperluan :
1. Negara;
2. Peribadatan dan keperluan suci lainnya sesuai dasar Ketuhanan
Yang Maha Esa;
3. Pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain
kesejahteraan;
4. Memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, perikanan
serta sejalan dengan itu;
5. Keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan.
Wewenang pemerintah untuk membuat suatu rencana umum
mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk keperluan-
keperluan yang bersifat:52
a. Politis adalah untuk keperluan bangunan-bangunan Pemerintah
termasuk bangunan pertahanan.
b. Ekonomis antara lain untuk keperluan perkembangan produksi
pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, industri,
pertambangan, transmigrasi dan lain-lain.
52
Juniarso Ridwan, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung, 2008, hal. 20
53
c. Sosial meiputi keperluan untuk beribadah, makam, pusat-pusat
pemukiman, keperluan sosial, kesehatan, pendidikan, rekreasi,
hiburan dan lain-lain.
Berdasarkan rencana umum itu, Pemerintah daerah wajib mengatur
juga persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang
angkasa, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.53
Negara Indonesia terdiri dari wilayah nasional sebagai suatu
kesatuan wilayah propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota yang masing-
masing merupakan sub-sistem ruang menurut batasan administrasi.
Kegiatan pembangunan meliputi pembangunan sektor perumahan,
industri, transportasi, perdagangan dan lain-lain tersebut tentu saja
memerlukan tanah dan ruang sebagai tempat untuk menampung kegiatan
yang dimaksud. Penggunaan tanah oleh setiap aktivitas pembangunan
sedikitnya akan mengubah lingkungan awal menjadi lingkungan baru,
yang jika tidak dilakukan dengan cermat dan bijaksana akan
mengakibatkan kemerosotan kualitas lingkungan, merusak atau bahkan
memusnahkan.54
Mengingat hal tersebut, pembangunan diharuskan memiliki suatu
perencanaan atau konsep tata ruang dimana konsep tersebut sebagai
arahan dan pedoman dalam melaksanakan pembangunan sehingga
masalah-masalah yang akan timbul akibat pembangunan dapat
diminimalisir. Selain keterbatasan tanah, permasalahan tata ruang juga
53
Muchsin, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakrta, 2008, hal. 45 54 Ibid, hal. 53
54
semakin rumit. Pengelolaan tata ruang menjadi bertambah penting
manakala tekanan terhadap penggunaan ruang semakin besar karena
kondisi perekonommian yang berkembang dan pertumbuhan penduduk.
Permasalahan tersebut menjadi permasalahan hukum yang mendasar
karena dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menghendaki untuk
menggunakan dan memanfaatkan bumi, air dan kekayaan alam yang
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.55
Maksud diadakannya perencanaan tata ruang adalah untuk
menyerasikan berbagai kegiatan sektor pembangunan sehingga dalam
memanfaatkan tanah dan ruang dapat dilakukan secara optimal, efisien
dan serasi. Sedangkan tujuan diadakannya suatu perencanaan tata ruang
adalah untuk mengarahkan struktur dan lokasi serta hubungan fungsional
yang serasi dan seimbang sehingga tercapai pembangunan yang optimal
bagi peningkatan kualitas hidup manusia dan kualitas lingkungan hidup
secara berkelanjutan.56
Penataan ruang sebagai suatu proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan
suatu sistem yang tidak terpisahkan. Untuk mencapai suatu penataan
ruang yang serasi diperlukan peraturan perundang-undangan yang serasi
pula antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih
rendah sehingga terjadi suatu koordinasi.57 Kekayaan alam yang ada
memiliki nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya harus diatur dan
55
Ibid, hal. 21 56 Ibid, hal. 28 57 Ibid, hal. 26
55
dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi sehingga tidak
akan ada perusakan terhadap lingkungan hidup.58
Dikarenakan tanah mempunyai fungsi sosial dan pemanfaatannya
harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, untuk itu perlu terus
dikembangkan rencana tata ruang dan tata guna tanah sehingga
pemanfaatan tanah dapat terkoordinasi antara berbagai jenis penggunaan
dengan tetap memelihara kelestarian alam dan lingkungan serta
mencegah penggunaan tanah yang merugikan kepentingan masyarakat
dan kepentingan pembangunan.59
Beberapa upaya regulasi yang telah dilakukan oleh pemerintah
dalam rangka pengendalian alih fungsi tanah dari pertanian ke non
pertanian antara lain diterbitkannya (berdasarkan tahun terbit):
(1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi
Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang
Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum;
(2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian
Tanah untuk Keperluan Perusahaan;
(3) Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan
Industri;
58 Ibid, hal. 28 59 Ibid, hal. 53
56
(4) Peraturan Kepala BPN Nomor 18 Tahun 1989 Kawasan
Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah untuk Perusahaan
Kawasan Industri;
(5) Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan
Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri;
(6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman;
(7) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
(8) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun
1994 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
(9) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional;
(10) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun
1999 tentang Izin Lokasi dan sebagainya, yang kesemuanya baik
tersurat maupun tersirat dimaksudkan untuk mengendalikan
perubahan peruntukan penggunaan tanah-tanah pertanian untuk
penggunaan lain.60
4. Permasalahan-Permasalahan yang Terkait dengan Perubahan
Penggunaan Tanah Pertanian Menjadi Non Pertanian
Otonomi daerah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32
60 Sutaryono, Dualisme Pengendalian Alih Fungsi Tanah Dan Perkembangan Wilayah,
pernah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 7 Maret 2007
57
tahun 2004 menimbulkan dampak negatif dan positif. Salah satu dampak
positifnya yaitu dapat mendorong upaya pemberdayaan masyarakat
dalam pembangunan serta memperkuat kedudukan dan kemampuan
daerah. Manfaat lain adalah daerah diberikan wewenang untuk menyusun
rencana tata ruang daerahnya sendiri, sesuai dengan kemampuan dan
karakteristik masing-masing daerah. Namun masih dijumpai masalah-
masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah
misalnya timbulnya penafsiran yang keliru di tingkat lokal dimana
sebagian daerah mengartikan otonomi sebagai automoney. Hal ini
mengakibatkan kebijaksanaan Pemerintah Daerah ke arah peningkatan
Pendapatan Ash Daerah (PAD) melalui eksploitasi sumber daya daerah
secara tidak bijaksana. Bentuk pemahaman seperti ini menimbulkan
berbagai implikasi, diantaranya berdampak pada pemanfaatan tanah.
Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang menyebabkan alokasi ruang menjadi dilematis demi
meningkatkan PAD melalui pemanfaatan aktivitas ekonomi diluar sektor
pertanian. Alih fungsi lahan yang cenderung diiringi dengan perubahan-
perubahan orientasi ekonomi, sosial budaya dan bidang-bidang lain akan
mempercepat penurunan mutu lingkungan hidup serta menghambat
keberlanjutan pembangunan berbasis pertanian. Implikasi lebih lanjut
adalah beberapa daerah yang sebelumnya merupakan wilayah berbasis
pertanian, namun demi memaksimumkan PAD, cenderung terjadi
perubahan arah kebijakan pembangunan, dengan harapan dapat
58
memberikan kontribusi besar dalam pemasukan PAD.61
Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
diatur bahwa pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Asas ekonomi dan tugas pembantuan maksudnya
bahwa pelaksanaan urusan pemerintah daerah dapat diselenggarakan
secara langsung oleh pemerintah daerah itu sendiri dan dapat pula
penguasaan oleh pemerintah Provinsi ke pemerintah Kabupaten/Kota dan
desa atau penguasaan dari Kabupaten/Kota ke desa.
Dalam Pasal 3 ayat (5) Angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 25
tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai daerah otonom, disebutkan tentang kewenangan daerah otonom
dalam bidang penataan ruang, yaitu penetapan tata ruang provinsi
berdasarkan kesepakatan antar Provinsi dan Kabupaten/Kota serta
pengawasan atas pelaksanaan tata ruang.
Lebih lanjut, dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 disebutkan beberapa kewenangan daerah otonom yang
antara lain meliputi:
1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3) Pengendalian lingkungan hidup; dan
4) Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten.
61 Benny Rahman, “Studi Mengenai Desentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Pertanian”, http://www.psedepta.go.id
59
Terkait dengan kewenangan daerah, pemerintah melalui Keputusan
Presiden Nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang
Pertanahan menyebutkan beberapa kewenangan pemerintah dibidang
pertanahan yang dilaksanakan oleh daerah, di antaranya:
1) Pemberian izin lokasi; dan
2) Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan.
Izin lokasi adalah izin yang dimiliki perusahaan untuk memperoleh
tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal, yang berlaku
juga sebagai izin pemindahan hak dan untuk menggunakan tanah tersebut
guna keperluan usaha penanaman modal. Izin lokasi bertujuan untuk
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan-perusahaan dalam
memperoleh tanah/lokasi penanaman modal. Disamping itu dalam
pemberian izin lokasi diperhatikan juga kepentingan masyarakat banyak
dan pemanfaatan serta penggunaannya harus sesuai dengan rencana
tata ruang yang berlaku serta kemampuan fisik tanah yang
bersangkutan.62 Akan tetapi, kenyataan yang berkembang banyak izin
lokasi yang dimohonkan atas tanah pertanian/sawah yang beririgasi
teknis, yang mana hal ini melanggar ketentuan Pasal 1 Keppres Nomor 33
tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan
Industri. Dalam Pasal 1 dan 2 Keppres ini disebutkan bahwa pemberian
izin lokasi bagi perusahaan tidak boleh mengurangi areal tanah pertanian
62
Sarjita, 2004, Pemberian Izin Lokasi dalam Kerangka Otonomi Daerah diBidang Pertanahan, STPN, hal. 12
60
dan tidak dapat dilakukan di kawasan pertanian. Pada dasarnya, tanah
yang dapat ditunjuk dengan izin lokasi adalah tanah yang menurut
rencana tata ruang yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang
sesuai dengan rencana penanaman modal.
Meningkatnya intensitas pembangunan diantaranya pertumbuhan
dan perkembangan sarana dan prasarana daerah terutama semenjak
adanya otonomi daerah, ternyata dihadapkan pada persoalan-persoalan,
seperti yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah:63
a. Terbatasnya tanah yang tersedia dengan berbagai fungsi
peruntukan,
b. pemanfaatan dan pengelolaan tanah serta pola tata ruang yang
belum sepenuhnya dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh,
c. penggunaan tanah seringkali terjadi penyimpangan dari
peruntukkannya.
d. persaingan mendapatkan lokasi tanah yang telah didukung atau
berdekatan dengan berbagai fasilitas perkotaan akibat
pertumbuhan dan perkembangan kota,
e. masih rendanhnya kesadaran hukum masyarakat terhadap
kepatutan atas kewajiban sebagai warga negara.
Masalah alih fungsi tanah pertanian erat kaitannya dengan isu
ketahanan pangan. Dalam Program Pembangunan Nasional lima tahunan
(Propenas) 2000-2004, dalam hal pembangunan bidang ekonomi disebut
63 Ibid, hal. 34
61
sebagai berikut: ”mengembangkan sistem ketahanan pangan yang
berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan
budidaya dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam
jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau
dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani/nelayan serta
peningkatan produksi yang diatur dengan Undang-undang”.
Esensi dari pernyataan tersebut adalah mengembangkan dan
menetapkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada potensi
produksi dan keragaman sumber daya wilayah, serta menjamin
ketersediaannya pangan untuk seluruh penduduk dalam jumlah yang
cukup, mutu gizi dan kemampuan pangan yang layak serta harga yang
terjangkau.64
D. KETAHANAN PANGAN
1. Defenisi Ketahanan Pangan
Ada beberapa defenisi ketahanan pangan, antara lain :
1. Dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan,
pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan
bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup,
baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan
ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai
pemenuhan kondisi kondisi: (1) Terpenuhinya pangan dengan
64
Achmad Suryana, 2004, Kapita Selekta Ketahanan Pangan, Fakultas Ekonomi UGM, hal. 96
62
kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan
pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari
tanaman, ternak dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas
karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan, yang bermanfaat
bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. (2) Terpenuhinya
pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman
untuk kaidah agama. (3) Terpenuhinya pangan dengan kondisi
yang merata, diartikan bahwa distribusi pangan harus mendukung
tersedianya pangan pada setiap saat dan merata di seluruh tanah
air. (4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan
bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang
terjangkau.
2. Internasional Confrence in Nutrition, (FAO/WHO, 1992)
mendefenisikan ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah
tangga atau individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu
untuk keperluan hidup sehat.
3. World Food Summit 1996 memeperluas defenisi diatas dengan
persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai dan budaya
setempat.
4. World Bank 1996: Ketahanan Pangan adalah: akses oleh semua
orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan
63
yang sehat dan aktif.
5. Oxfam 2001: Ketahanan Pangan adalah kondisi ketika: “setiap
orang dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah
pangan yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang aktif
dan sehat. Dua kandungan makna tercantum di sini yakni:
ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan akses (hak
atas pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).
6. FIVIMS (Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping
Systems, 2005 ): Ketahanan Pangan adalah: kondisi ketika semua
orang pada segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki
akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk
pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary needs) dan pilihan
pangan (foodpreferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional tahun 1996
mendefenisikan ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam
sesuai dengan budaya setempat dari waktu kewaktu agar dapat hidup
sehat. Ketahanan pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan
suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan
dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang
didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman
sumber daya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan
pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap
64
impor.
2. Sistem Ketahanan Pangan
Secara umum, ketahanan pangan mencakup 4 aspek, yaitu:
Kecukupan (sufficiency), akses (access), keterjaminan (security), dan
waktu (time) (Baliwaty, 2004).65 Dengan adanya aspek tersebut maka
ketahanan pangan dipandang menjadi suatu sistem, yang merupakan
rangkaian dari tiga komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas
pangan (food availability dan stability), kemudahan memperoleh pangan
(food accessibility) dan pemanfaatan pangan.
Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu
sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu
subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan
kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan menyangkut
masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang harus dikelola sedemikian
rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagaian bersifat musiman,
terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga
harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu kewaktu.
Sementara itu subsistem distribusi mencakup upaya memperlancar
proses peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas
harga pangan. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan daya akses
masyarakat terhadap pangan yang cukup. Surplus pangan tingkat wilayah,
belum menjamin kecukupan pangan bagi individu/masyarakatnya,
65
Baliwaty, Y.F, Pengantar Pangan dn Gizi, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Swadaya, 2004, hal. 89
65
Sedangkan subsistem konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat agar
mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat
mengelola konsumsi individu secara optimal sesuai dengan tingkat
kebutuhannya. Konsumsi pangan tanpa memperhatikan asupan zat gizi
yang cukup dan berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia yang
sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas dan produktif (Thaha, dkk,
2000).66
Apabila ketiga subsistem diatas tidak tercapai, maka ketahanan
pangan tidak mungkin terbangun dan akibatnya menimbulkan kerawanan
pangan (Suryana, 2004).67
3. Rawan pangan
Rawan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk
memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan
berakvitas dengan baik. Rawan pangan dapat dibedakan 2 jenis yaitu: (a)
rawan pangan kronis, yaitu ketidak cukupan pangan secara menetap
akibat ketidakmampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang
dibutuhkan melalui pembelian di pasar atau melalui produksi sendiri.
Kondisi ini berakar pada kemiskinan dan (b) rawan pangan transien/
transistori, yaitu penurunan akses terhadap pangan yang dibutuhkan
rumah tangga secara kontemporer. Hal ini disebabkan adanya bencana
alam, kerusuhan, musim yang menyimpang dan keadaan lain yang
66
Thaha, Abdul Razak, Veni Hadju, Satoso, Hardiansyah, Pangan dan Gizi di Era Desentralisasi: Masalah dan Strategi Pemecahannya. DPP Pergizi Pangan Indonesia bekerjasama dengan Pusat Pangan, Gizi dan Kesehatan UNHAS, 2002. 67
Suryana Achmad, Kapita Selekta Ketahanan Pangan, Fakultas Ekonomi UGM, 2004.
66
bersifat mendadak, sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga pangan,
produksi, atau pendapatan (Baliwati, 2004).68
Menurut Food An Agriculture Organization Of The United Nations
(FAO) dan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, maka
kondisi rawan pangan dapat diartikan bahwa individu atau rumah tangga
masyarakat yang tidak memiliki akses ekonomi (penghasilannya tidak
memadai atau harga pangan tidak terjangkau), tidak memiliki akses
secara fisik, untuk memperoleh pangan yang cukup kehidupan yang
normal, sehat dan produktif, baik kualitas maupaun kuantitasnya.
Rawan pangan dapat mengakibatkan kelaparan, kurang gizi dan
gangguan kesehatan, termasuk didalamnya busung lapar. Bahkan dalam
keadaan yang paling fatal dan menyebabkan kematian. Kejadian krisis
pangan dan gizi dapat diantisipasi apabila gejala-gejala kekurangan
pangan dan gizi serta masalahnya dapat secara dini diidentifikasi dan
kemudian dilakukan tindakan secara tepat dan cepat sesuai dengan
kondisi yang ada.69
68
Baliwaty, Y.F, Op.Cit 69
Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sumatera Utara, 2005
67
F. KERANGKA PIKIR
Kerangka pikir merupakan alur pikir penulis yang dijadikan sebagai
skema pemikiran atau dasar-dasar pemikiran untuk memperkuat indikator
yang melatarbelakangi penelitian ini. Dalam kerangka pemikiran ini penulis
menjelaskan apa yang menjadi masalah pokok penelitian. Penjelasan
yang disusun akan menggabungkan antara teori dengan masalah yang
diangkat dalam penelitian ini. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
mengenai “Alih Fungsi Tanah Pertanian Kaitannya dengan Ketahanan
Pangan di Kabupaten Gorontalo”.
Pada penelitian ini, rumusan masalah penulis adalah sejauh mana
kebijakan Pemerintah terkait dengan lahan pertanian yang produktif
dengan indikatornya yang terdiri dari, Rencana Tata Ruang Wilayah,
Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan serta Peraturan Daerah Kabupaten
Gorontalo tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Selanjutnya
rumusan masalah kedua yang diteliti oleh penulis adalah implementasi
dari Pemerintah dalam mencegah alih fungsi tanah pertanian, yang
indikatornya terdiri dari Sosialisasi, Pendataan dan Izin.
Pada rumusan masalah pertama, yaitu kebijakan Pemerintah terkait
dengan lahan pertanian yang produktif, dapat ditelaah dari Rencana Tata
Ruang Wilayah karena dalam Rencana Tata Ruang Wilayah terdapat
peraturan zonasi yang pada zonasi pola ruang terdapat kawasan
peruntukan pertanian yang menjadi acuan untuk melihat apakah kebijakan
68
Pemerintah Kabupaten Gorontalo terkait dengan lahan pertanian yang
produktif telah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Gorontalo. Indikator yang kedua adalah Undang-undang Nomor 41 tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yaitu
untuk melihat dan sebagai pedoman apakah kebijakan Pemerintah telah
pro dengan aturan ini, untuk melindungi lahan pertanian yang produktif
yang kedepannya merupakan cikal bakal untuk dijadikan lahan pertanian
pangan berkelanjutan. Indikator ketiga adalah Peraturan Kabupaten
Gorontalo tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, sebagai
payung hukum di Daerah, untuk melaksanakan perlindungan pada lahan
pertanian pangan berkelanjutan sesuai amanat dari Undang-undang
Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
Rumusan masalah kedua yaitu implementasi dari Pemerintah
Kabupatean Gorontalo dalam mencegah alih fungsi tanah pertanian, yang
indikatornya yaitu terdiri dari sosialisasi, pendataan dan izin. Sosialisasi
ini menjadi indikator dari rumusan masalah kedua, karena salah satu
implementasi dari Pemerintah Kabupaten dalam mencegah alih fungsi
tanah pertanian dapat dilakukan dengan cara sosialisasi kepada para
petani atau para pemilik lahan dan kepada masyarakat luas. Jadi
keberhasilan dari sosialisasi ini dapat diukur dari banyaknya masyarakat
dan para petani yang paham dan sepakat tentang perlindungan lahan
pertanian, khususnya lahan pertanian yang produktif.
69
Indikator kedua yaitu pendataan tentang lahan-lahan yang
termasuk dalam kategori lahan pertanian yang produktif dan yang masuk
dalam kategori lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pendataan ini
mengacu pada zonasi-zonasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Gorontalo. Indikator ketiga yaitu terkait dengan izin yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Gorontalo apakah seseorang
atau badan hukum dapat mendirikan suatu bangunan atau izin yang tekait
dengan perubahan penggunaan tanah. Jadi Pemerintah Daerah
Kabupaten Gorontalo harus memperketat izin khususnya izin yang terkait
dengan perubahan penggunaan tanah dari tanah pertanian yang produktif
menjadi tanah nonpertanian. Izin dalam hal ini bisa berupa izin
pengeringan, izin perubahan penggunaan tanah, izin peruntukan
penggunaan lahan dan izin lokasi, serta izin mendirikan bangunan.
70
ALIH FUNGSI TANAH PERTANIAN
KAITANNYA DENGAN KETAHANAN PANGAN
DI KABUPATEN GORONTALO
Sejauhmana kebijakan
Pemerintah terkait dengan
lahan pertanian yang produktif
- RTRW - UU No. 41 tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
- PERDA tentang Lahan pertanian pangan berkelanjutan
Implementasi dari
Pemerintah dalam mencegah
alih fungsi tanah pertanian
- Sosialisasi
- Pendataan tanah
pertanian berkelanjutan
- Perizinan
PERLINDUNGAN TANAH-TANAH PERTANIAN YANG SESUAI DENGAN
RTRW DEMI KEBERLANGSUNGAN PANGAN DAERAH
71
G. DEFINISI OPERASIONAL
a) Alih fungsi tanah pertanian yang dimaksud disini adalah alih fungsi
tanah pertanian menjadi tanah non pertanian, seperti yang awalnya
lahan sawah beralih menjadi perumahan, tempat usaha dan lain
sebagainya.
b) Lahan yang produktif adalah lahan yang subur yang bisa ditanamai
seehingga bisa dijadikan lahan sawah atau ladang.
c) Kebijakan Pemerintah yang dimaksud adalah terkait dengan lahan
pertanian yang produktif, yaitu sampai dimana aturan Pemerintah
Daerah Kabupaten Gorontalo yang khusus menetapkan lahan-
lahan yang produktif yang akan menjadi lahan-lahan pertanian
pangan berkelanjutan.
d) Implementasi dari Pemerintah yang dimaksud adalah implementasi
Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo dalam mencegah alih
fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian dengan cara
melakukan sosialisasi terkait dengan lahan yang produktif dan
lahan pertanian pangan berkelanjutan, pendataan tentang lahan
pertanian pangan berkelanjutan yang mengacu kepada zonasi,
serta memperketat mekanisme perizinan.