teori kebudayaan tentang feminisme

18
TEORI KEBUDAYAAN FEMINISME OLEH Anggota kelompok 4: Fatma Khairun Nisa : 1210753001 Fitrina Dewi : 1210753005 SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA

Upload: fitrina-dewi

Post on 15-Nov-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

feminisme

TRANSCRIPT

MAKALAH TEORI SASTRA

TEORI KEBUDAYAANFEMINISME

OLEH

Anggota kelompok 4:

Fatma Khairun Nisa

: 1210753001

Fitrina Dewi

: 1210753005

SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS ANDALAS

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulillah, dengan mengucap rasa syukur ke hadirat Allah SWT. Penulis telah dapat menyelesaikan tugas tentang Feminisme. Sholawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sastra.

Selesainya malakah ini tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak selaku dosen mata kuliah Teori Sastra.2. Rekan-rekan jurusan Sastra Jepang.3. Semua pihak yang telah ikut membantu dalam terselesainya makalah ini.Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, oleh karena itu penulis sadar dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan. Dengan kerendahan hati, penulis bersedia menerima kritik dan saran.

Namun demikian, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca semuanya.

Padang, Oktober 2013

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah-masalah tentang emansipasi perempuan terus berkembang dan tidak henti-hentinya dibicarakan dalam karya sastra. Mulai dari novel-novel di zaman pujangga baru sampai sekarang. Bisa dikatakan emansipasi perempuan adalah pelepasan diri perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju.

Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan drajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta drajat laki-laki .Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan inin mencangkup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki (Djajanegara, 2000:4).

Oleh karena itu, penulis akan membahas bagaimana kesejajaran derajat perempuan dan laki-laki yang dimaksud dalam teori feminisme dalam makalah ini.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Apa konsep teori feminisme?

1.2.2. Bagaimana sejarah dan tokoh teori feminisme?

1.2.3. Apa aplikasi teori feminisme terhadap karya sastra?

1.3. Tujuan

1.3.1. Menjelaskan konsep teori feminisme

1.3.2. Mengidentifikasi sejarah dan tokoh teori feminisme

1.3.3. Mengidentifikasi aplikasi teori feminisme terhadap karya sastra

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Konsep Teori Feminisme

Feminisme berasal dari kata Feminism (Inggris) yang berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Pengertian feminisme juga dikemukakan oleh Kutha Ratna, feminisme secara etimologis berasal dari kata famme (woman), yang berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial.

Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang lebih luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.

Feminisme merupakan suatu gerakan yang dilakuakan oleh kaum perempuan untuk menuntut persamaan derajat dengan kaum laki-laki. Gerakan semacam ini berawal ketika Amerika Serikat memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1776, menurut Djajanegara deglarasi kemerdekaan ini mencantumkan bahwa all men are created equal (semua laki-laki diciptakan sama), tanpa menyebut-nyebut perempuan (2003:1). Deglarasi ini menjadikan kaum feminis merasa kepentingan mereka dikesampingkan, namun ada juga pendapat lain yang beranggapan bahwa kegerakan feminisme ini berawal dari persoalan agama. Pada tahun 1960-an gerakan feminisme ini berdampak sangat luas, gerakan ini membuat masyarakat sadar bahwa kedudukan perempuan sangat penting, berkat perjuangan kaum feminis ini, wanita di Amerika Serikat (khususnya) banyak mengalami perbaikan dan peningkatkan diberbagai bidang. Terutma pada bidang pendidikan, banyak para kaum feminis yang terpelajar yang berada di perguruan tinggi, mereka melihat adanya kesejajaran hak-hak pada masyarakat dan pada kajian ilmu pengetahuan. Pada bidang ilmu pengetahuan, kaum feminis beranggapan bahwa berbagai disiplin ilmu sedikit sekali yang menjadikan wanita sebagai bahan kajiannya. Para kaum feminis terpelajar bahkan menyatakan bahwa dunia ilmu pengetahuan sangat didominasi oleh kaum laki-laki. Contohnya saja dalam ilmu sejarah, peranan dan kegiatan wanita nyaris tidak pernah disinggung, para kaum feminis beranggapan bahwa ahli-ahli sejarah hanya memusatkan perhatian mereka pada perang, politik dan hukum, sedangkan sejarah wanita sama sekali tidak disinggung (Djajanegara, 2003:16). Hal ini menjadi landasan bagi kaum feminis untuk mengakaji perempuan, atau dapat dikatakan ilmu pengetahuan yang menjadikan wanita sebagai objek kajiannya.

2.2. Sejarah dan Tokoh Feminisme

Gerakan feminisme yang pertama kali muncul di Eropa dari abad ke-17 pada awalnya merupakan bentuk protes dari kaum perempuan terhadap gereja. Pada masa itu, gereja merupakan institusi tertinggi yang menguasai hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada dasarnya kekuasaan gereja yang terlalu besar dan aturan-aturannya yang bersifat mutlak memang dianggap sewenang-wenang dan menyusahkan masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, kaumperempuan sebagai kelompok minoritas bahkan menerima perlakuan yang lebih tidakmenyenangkan lagi karena mereka dianggap sebagai makhluk golongan kedua setelah lelaki.Salah satu tokoh feminis yang paling awal adalah seorang wanita bangsawan Perancis bernamaSimone de Beauvoir yang menyuarakan aspirasinya melalui karya sastra.

Para peneliti dan penulis dalam kajian feminism memiliki versi masing-masing dalam halpembagian gerakan feminism dalam gelombang-gelombang yang runut. Dalam makalah ini,setelah sedikit perkenalan mengenai kemunculan awal feminism di atas, penulis akan langsung membahas mengenai gerakan feminism modern yang dimulai pada tahun 1960 dan dipelopori oleh kaum perempuan intelektual di Amerika Serikat. Pada gerakan feminism modern tersebut kaum perempuan memperjuangkan hak-hak sipil perempuan dalam masyarakat, pendidikan danjuga politik. Tokoh-tokoh yang paling popular pada saat itu diantaranya Virginia Woolf, dalam bukunya yang berjudul A Room of Ones Own (1929) dan Charlotte Perkins.

Menurut Salden (1986: 130-131), ada lima masalah yang biasa muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu a) masalah biologis, b) pengalaman, c) wacana, d) ketaksadaran, dan e) masalah sosioekonomi. Perdebatan terpentinag dalam teori feminis timbul sebagai akibat masalah wacana sebab perempuan sesungguhnya termarginalisasikan melalui wacana yang dikuasai oleh laki-laki. Pada dasarnya teori feminis dibawa ke Indonesia oleh A. Teeuw. Kenyataan ini pun sekaligus membuktikan bahwa teori-teori Barat dapat dimanfaatkan untuk menganalisis sastra Indonesia, dengan catatan bahwa teori adalah alat, bukan tujuan.

Beberapa Penulis-penulis perempuan yang tidak asing lagi dalam dunia sastra Indonesia, seperti Ayu Utami, Fira Basuki, dan Dewi Lestari (Dee). Mereka merupakan penulis-penulis perempuan yang selalu mengangkat persoalan perempuan ke dalam karya sastra. Pada hakikatnya kaum feminisme ini hanya ingin mengubah asumsi bahwa kaum perempuan itu selalu lemah dan di bawah kaum laki-laki, ternyata hanya bohongan atau ocehan dahulu saja. Mereka berjuang mengubah kedudukan kaum perempuan atau berbagai pemikiran tentang kaum perempuan. Dalam hal ini, kita tahu sejak berabad-abad lalu posisi perempuan ditempatkan di bawah gender laki-laki, dianggap sebagai second sex (jenis kelamin kedua). 2.3. Aplikasi Teori Feminisme terhadap Karya Sastra

Kajian sastra feminisme secara sederhana dapat di artikan sebagai kajian yang memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya,sastra,dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang mengarang (Sugihastuti,2005:5 ).

A. Konstruksi Gender Dalam Sastra

Sejak dulu karya sastra telah menjadi culture regime dan memiliki daya pikat kuat terhadap persoalan gender. Paham tentang wanita sebagai orang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas, aktif, dan sejenisnya. Citra wanita dan pria tersebut seakan-akan telah mengakar di benak penulis sastra.

Menurut Darmanto Jatman dalam sambel bawang dan terasi, jelas sekali menggambarkan ngaisah isah isah sebagai figur dapur. Pramoedya ananta Toer dalam yang sudah hilang, melukiskan tiga wanita ( Ny.Kin, Bunda, dan Babu ) tetap pada nasib-nasib domestik wanita. Tak ketinggalan WS.Rendra yang melukiskan Maria Zaitun dalam puisi Nyanyian Angsa, adalah potret nasib wanita yang harus menjadi pelacur dan terkena penyakit rajasinga.

Menegaskan bahwa perempuan di mata laki-laki dan juga di mata sastrawan pria sekedar obyek. Konsep ini telah membelenggu, hingga mendorong perempuan ke sudut keterpurukan nasib. Perempuan yang gemar cerewet, ternyata telah menjadi objek. Ceroboh laki-laki yang semakin mengkambing hitamkan mereka lagi, sastrawan dan laki-laki umumnya sering memanjakan wanita.

B. Fokus Kajian Feminisme

Peneliti sastra feminis masih sering berkelamin tunggal . Bisa terkurangi sedikit demi sedikit. Maksudnya, sering peneliti tertentu masih memandang perempuan dari wacana laki-laki. Jarang diantara peneliti Gender yang mampu melihat perempuan dengan kacamata perempuan. Akibatnya sering terjadi penelitian feminisme yang bias Gender. Peneliti pun kadang-kadang masih bersikap pilih kasih . Terhadap karya-karya tertentu, sehingga hasilnya mengecewakan semua pihak.

Jika ada penelitian kritis terhadap feminisme, ternyata lebih banyak memberikan sorotan yang memuja-muja. Hal ini, dimungkinkan untuk mengambil hati sastrawan perempuan, agar mereka tidak putus asa berkarya. Buktinya, sorotan kritis terhadap novel Saman karya Ayu Utami dan Supernova karya Dewi Lestari telah menjadikan karya tersebut hebat. Hal ini memang harus disadari, karena sejak awalnya para pengkaji sastra lebih banyak dilakukan oleh pria. Wanita seakan-akan tenggelam dalam kegiatan non sastra. Itulah sebabnya, hampir semua sastra disemua negara selalu didominasi oleh penelitian pria yang memandang sebelah mata kepada kaum Hawa.

Aspek psikoanalisa feminis yaitu mengapa wanita, baik tokoh maupun pengarang, lebih suka pada hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang, dan sebagainya. Peneliti dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis kelamin banyak berhubungan dengan masalah keyakinan, ideologi, dan wawasan hidup. Kesadaran khusus peneliti untuk memahami karya sastra sangat diperlukan. Perbedaan jenis kelamin, akan mempengaruhi pemaknaan cipta sastra.

Sejalan dengan kodratnya, teks sastra yang dilahirkan pengarang laki-laki dan wanita memang sering berbeda. Keduanya sering sama dalam hal-hal perjuangan terhadap nasib masing-masing. Itulah sebabnya, kondisi ini telah memunculkan paham penelitian sastra yang orientasinya kearah perjuangan hak. Lebih jauh lagi, kajian sastra serupa juga telah melebar kearah perbedaan-perbedaan hak laki-laki dan perempuan.

Upaya penelitian demikian lalu memunculkan teori pengkajian feminisme sastra. Dalam pengkajian sastra feminis terdapat dua sasaran yaitu :

1. Bagimana pandangan laki-laki terhadap wanita.

2. Bagaimana sikap wanita dalam membatasi dirinya.

Jabaran dua sasaran itu, menurut Selden ( Pradopo, 1991 : 137 ) dapat digolongkan menjadi 5 fokus :

1. Biologi

: yang sering menempatkan perempuan , lembut, lemah, dan

rendah

2. Pengalaman

: seringkali wanita dipandang hanya memiliki pengalaman terbatas,

melahirkan, menyusui dan seterusnya.

3. Wacana

: biasanya wanita lebih rendah penguasaan bahasa, sedangkan

laki-laki memiliki Tuntutan Kuat . Akibat dari semua ini akan

menimbulkan prasangka negatif pada diri wanita.

4. Proses ketidaksadaran, secara diam-diam penulis feminis telah meruntuhkan otoritas laki-laki. Seksualitas wanita bersifat revolusioner (cenderung menghendaki perubahan secara menyeluruh dan mendasar ) , subversif ( merujuk kepada salah satu upaya pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara ), beragam, dan terbuka. Namun hal ini masih kurang disadari oleh laki-laki.

5. Pengarang feminis biasanya sering menghadirkan tuntutan sosial dan ekonomi yang berbeda dengan laki-laki. Dari berbagai fokus tersebut peneliti sastra feminis dapat berpusat pada beberapa pilihan agar lebih mendalam.

C. Teori Analisis Feminisme

Analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap aspek-aspek ketertindasan wanita atas diri pria. Mengapa wanita secara politis terkena dampak patriarkhi ( laki-laki mempunyai kedudukan paling tinggi dibanding wanita ), sehingga meletakkan wanita pada posisi inferior ( perasaan tidak sempurna ). Prasangka bahwa wanita hanyalah pendamping laki-laki, akan menjadi tumpuan kajian feminisme. Dengan adanya perilaku politis tersebut, apakah wanita menerima secara sadar ataukah justru marah menghadapi ketidakadilan Gender. Jika dianggap perlu, analisis peneliti harus sampai pada radikalisme ( mencapai apa yang diinginkan ) perempuan dalam memperjuangkan persamaan hak.

Dominasi laki-laki terhadap wanita, telah mempengaruhi kondisi satra, antara lain :

1. Nilai dan konvensi sastra sering didominasi oleh kekuasaan laki-laki, sehingga wanita selalu berada pada posisi berjuang terus menerus kearah kesetaraan Gender.

2. Penulis laki-laki sering berat sebelah, sehingga menganggap wanita adalah objek fantastis yang menarik. Maksudnya wanita selalu dijadikan objek kesenangan sepintas oleh laki-laki. Karya-karya demikian selalu memihak, bahwa wanita sekedar orang yang berguna untuk melampiaskan nafsu semata.

3. Wanita adalah fitur yang terjadi bunga-bunga sastra, sehingga sering terjadi tindak asusila laki-laki, pemerkosaan, dan sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita pada posisi lemah ( tak berdaya ).

Dengan kata lain, memang ada perbedaan visi penulis laki-laki dan wanita. Kedua kubu tersebut sering memiliki daya kontra satu sama lain yang tak ada ujung pangkalnya. Bahkan kedua belah pihak sering mengungkapkan adanya sikap saling menyalahkan akibat perbedaan Gender. Itulah sebabnya, analisis feminisme setidaknya mengikuti pandangan Barat ( Pradopo, 1991 :142 ) yaitu :

1. Peneliti hendaknya mampu membedakan material sastra yang digarap penulis laki-laki dan wanita, keinginan laki-laki dan wanita, dan hal-hal apa saja yang menarik laki-laki dan wanita

2. Ideologi sering mempengaruhi hasil karya penulis. Maksudnya ideologi dan keinginan laki-laki dengan wanita tentu saja ada perbedaan prinsip

3. Seberapa jauh kodrat fiksional teks-teks sastra yang dihasilkan pengarang mampu melukiskan keadaan budaya mereka. Maksudnya perbedaan gender sering mempengaruhi adat dan budaya yang terungkap. Tradisi laki-laki dan perempuan dengan sendirinya memiliki perbedaan yang harus di jelaskan dalam analisis Gender.

Secara rinci, menurut Showalter ( 1988 ) ada tiga fase tradisi penulisan sastra oleh wanita, yaitu :

1. Para penulis wanita, seperti George Eliot sering meniru dan menghayati standar estetika pria yang dominan, yang menghendaki bahwa wanita tetap memiliki posisi terhormat. Maksudnya latar utama karya mereka adalah lingkungan rumah tangga dan kemasyarakatan.

2. Penulis wanita yang telah bersikap radikal. Maksudnya wanita berhak memilih cara mana yang tepat untuk berekspresi.

3. Hasil tulisan wanita di samping mengikuti pola terdahulu, juga semakin sadar diri, bahwa dirinya bukanlah Bidadari Rumah melainkan adanya emansipasi.

Perbedaan bahasa penulis pria dan wanita, akan mempengaruhi oleh konteks budaya yang ditakdirkan berbeda. Apakah wanita lebih banya menggunakan bahasa estetis yang penuh rasa, penuh daya mistik, berbau kuno, dan seterusnya. Sebaliknya, laki-laki terbuka dalam menyoroti hal-hal seks. Laki-laki cenderung ingin mempertahankan budaya yang memojokkan wanita dan sebaliknya wanita bersikap pasrah, adalah gambaran yang sangat berarti dalam analisis feminisme.

Karya sastra bernuansa feminis, dengan sendirinya akan bergerak pada sebuah emansiapsi. Kegiatan akhir dari sebuah perjuangan feminis adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukkan wanita tak sebagai obyek. Itulah sebabnya kajian feminisme sastra tetap memperhatikan masalah Gender yaitu, tidak saja terus-menerus membicarakan citra wanita, tetapi juga seberapa kemampuan pria dalam menghadapi serangan Gender tersebut.

Dengan adanya gerakan feminisme dalam karya sastra, juga menjadikan dunia sastra khususnya dalam ilmu sastra mengalami perkembangan. Hadirnya karya sastra yang memuat tentang persoalan-persoalan perempuan menjadikan karya dapat dianalisa berdasarkan gerakan feminis. Kritik sastra feminis merupakan ilmu yang menganalisa karya sastra berdasarkan kaca mata feminisme.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sebagai gerakan modern, feminisme yang mulai berkembang pesat sekitar tahun 1960 di Amerika berdampak luas. Gerakan ini membuat masyarakat sadar akan kedudukan perempuan yang inferior. Dampak dari gerakan ini juga dapat dirasakan dalam bidang sastra. Perempuan mulai menyadari bahwa dalam karya sastra pun terdapat ketimpangan mengenai pandangan tentang manusia dalam tokoh-tokohnya. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan apa yang dinamakan kritik sastra feminis.

Perbedaan bahasa penulis pria dan wanita, akan mempengaruhi oleh konteks budaya yang ditakdirkan berbeda. Apakah wanita lebih banya menggunakan bahasa estetis yang penuh rasa, penuh daya mistik, berbau kuno, dan seterusnya. Sebaliknya, laki-laki terbuka dalam menyoroti hal-hal seks. Laki-laki cenderung ingin mempertahankan budaya yang memojokkan wanita dan sebaliknya wanita bersikap pasrah, adalah gambaran yang sangat berarti dalam analisis feminisme.

Karya sastra bernuansa feminis, dengan sendirinya akan bergerak pada sebuah emansiapsi. Kegiatan akhir dari sebuah perjuangan feminis adalah persamaan derajat, yang hendak mendudukkan wanita tak sebagai obyek. Itulah sebabnya kajian feminisme sastra tetap memperhatikan masalah Gender yaitu, tidak saja terus-menerus membicarakan citra wanita, tetapi juga seberapa kemampuan pria dalam menghadapi serangan Gender tersebut.

3.2 Kritik dan Saran

Dengan memahami makalah ini, penulis mengharapkan para pembaca dapat memahami teori feminisme dengan baik. Makalah ini dibuat pastilah memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat memerlukan kritik dan saran dari pembaca karena makalah yang kami buat jauh dari kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKADjajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminisme. Jakarta : Gramedia.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:

MedPress.

Teori Feminisme Dalam Penelitian Sastra. 2013. http://bahasa.kompasiana.com.

Kajian Feminisme Sastra. 2013. http://pebruariku.wordpress.com.Feminisme Dalam Karya Sastra. 2012. http://tulisansenyo.blogspot.com.