tempat kerja kurare pada sediaan otot

Upload: esterokta

Post on 09-Oct-2015

54 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

practice, physiology

TRANSCRIPT

3. Tempat kerja kurare pada sediaan otot-saraf :a. Membuat 2 sediaan otot saraf (A dan B) dari seekor katak lain dan mengusahakan agar didapatkan saraf yang sepanjang-panjangnyab. Memasukkan otot sediaan A dan saraf sediaan B ke dalam gelas arloji yang berisis 0,5 cc larutan tubo-kurarin 1% (lihat gambar)c. Selama menunggu 20 menit, membasahi saraf sediaan A dan otot sediaan B dengan larutan ringerd. Memberi rangsangan dengan arus buka pada:i. saraf sediaan Aii. otot sediaan Biii. otot sediaan Aiv. saraf sediaan Be. Tentukan kekuatan rangsangan yang digunakan baik untuk sediaan yang memberikan jawaban maupun yang tidak memberikan jawabanPembahasan Praktikum saraf sediaan A: Larutan Tubo Kuranin (A1) otot sediaan B: Larutan Tubo Kuranin (B1) otot sediaan A: Larutan Ringer (A2) saraf sediaan B: Larutan Ringer (B2)Tanda Negatif (-) : Tidak ada reaksi yang ditimbulkanTanda Positif (+) : Ada reaksi yang ditimbulkan

0,1 x 100,1 x 200,1 x 300,1 x 400,1 x 50

A1- ----

B1-----

A2-----

B2-----

1 x 101 x 201 x 301 x 401 x 50

A1- ----

B1-----

A2-+---

B2-+---

10 x 1010 x 2010 x 3010 x 4010 x 50

A1- ---+

B1----+

A2---+ (sedikit)+

B2----+

Percobaan Ketiga Yang Mempunyai Respon Pada voltase 1 x 20 yang diberikan pada saraf yang berada di larutan ringer bergerak dan mempengaruhi otot dalam larutan ringer Pada voltase 10 x 40 yang diberikan pada otot yang berada di larutan ringer bergerak, seperti kecang tetapi tidak mempengarugi saraf atau otot yang lain disekitarnya Pada voltase 10 x 50 semua otot yang diberikan tegangan listrik bergerak seperti kejang tetapi otot tidak mempengaruhi saraf, tapi sebaliknya jika saraf diberikan tegangan listrik, saraf akan mempengaruhi kedua otot, dua otot dalam dua larutan bergerak saat saraf ringer diberikan tegangan. Tetapi saraf dalam larutan tube kuranin tidak mempengaruhi otot disekitarnya.Pembahasan percobaan ketigaKontraksi otot terjadi akibat adanya impuls. Impuls bersifat elektrik, impuls ini dihantarkan ke sel sel otot secara kimiawi dan hal ini dilakukan oleh sambungan otot-saraf (neuromuscular junction).1 Impuls sampai ke sambungan otot saraf yang mengandung gelembung-gelembung kecil dimana berisi zat neurotransmitter yaitu asetilkolin. Asetilkolin akan dilepas ke dalam ruang antara saraf dan otot (celah sinaps) dan ketika asetilkolin menempel pada sel otot, ia akan menyebabkan terjadinya depolarisasi dan aktivitas listrik akan menyebar ke seluruh sel otot, sehingga timbul kontraksi.1 Kontraksi inilah yang terlihat dari bergeraknya kaki katak dan keinginan meronta tubuh katak ketika dipegang. Perusakan otak dan sumsum tulang belakang pada katak, melalui foramen occipitale magnum, dimaksudkan untuk mematikan aliran impuls dari sistem saraf pusat sehingga kaki katak dapat dibedah dengan leluasa tanpa adanya pergerakkan dari kaki katak. Pada saat perusakan ini, reaksi yang ditimbulkan katak adalah merejang dikarenakan rasa sakit dan nalurinya untuk menghindari rasa sakit sehingga ingin melepaskan diri dari genggaman. Perusakan ini dapat dikatakan berakhir ketika tubuh katak menjadi lemas (tonus tonus otot akan berkurang kontraksinya) dan menghilangnya refleks refleks (tidak berkedipnya mata ketika kornea disinggung dan kaki tidak kembali ke posisi semula ketika dicubit). Walaupun sudah dirusak otak dan sumsum tulang belakangnya, namun terkadang katak masih dapat bergerak karena tidak sepenuhnya terusak, hal ini dikarenakan letaknya yang berada di bawah jaringan kulit sehingga tidak terlihat dengan jelas oleh mata, sehingga tidak diketahuinya dengan pasti apakah sudah terusak dengan menyeluruh atau belum. Saraf yang diambil pada katak adalah nervus ischiadicus, saraf ini diambil sepanjang panjangnya agar memudahkan ketika diberi perlakuan dalam larutan tubo-kurarin dan ringer. Otot yang digunakan diambil dari kedua tungkai katak. Relaksasi otot adalah obat yang mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot atau sambungan saraf otot misalnya, kurare dan suksinilkolin. Di antara relaksan non-depolarisasi otot, kurare (d-tubokurarin) sudah digunakan sejak berabad-abad oleh bangsa-bangsa Amerika Selatan untuk racun yang diulaskan pada kepala anak panahnya. Kurare diperkenalkan pertama kali secara klinik pada tahun 1942.2 Kurare merupakan agen jangka panjang, setelah dosis klinik 0,3 0,5 mg per kg, lama kerjanya 30 40 menit. Efek tidak menguntungkan lain dari kurare adalah risiko pengeluaran histamin dan aksi penghambatan ganglion. Kurare berasal dari beberapa tumbuhan, yaitu, Strychnnos dan Chondrodendron, terutama C. Tomentosum. Ternyata bahan aktifnya terdiri dari beberapa alkaloid diantaranya, d tubokuarin (d Tc). Pada tahun 1857,2 Claude Bernad mengadakan percobaan untuk mengetahui cara kerja Kurare, dapat disimpulkan bahwa tempat kerja Kurare adalah terletak pada sambungan saraf-otot, bukan di sentral, bukan pada serabut saraf dan bukan pula pada otot rangka sendiri. DTubokurarin adalah zataktifyangdiisolasidariKurare. Sedangkan dimetil-d-tubokurarin (metokurin)disintesis kemudian, aktifitasnya 2-3 kali d-tubokurarin. Kurare menyebabkan kelumpuhan dengan urutan tertentu. Pertama adalah otot rangka yang kecil dan bergerak cepat seperti otot ekstrinsik mata, jari kaki dan tangan. Kemudian disusul oleh otot yang lebih besar seperti otot tungkai, leher dan badan. Selanjutnya otot interkostal dan yang terakhir lumpuh adalah diafragma.Kurare seperti telah dijelaskan di atas, merupakan salah satu zat kimia yang mengganggu hantaran neuromuskulus dengan menghambat efek Ach yang dikeluarkan. Kurare akan berikatan secara reversibel dengan reseptor Ach di motor end plate. Maka permeabilitas membrane tidak diubah/diinaktifkan oleh Ach E. Jika semua reseptor Ach ditempati oleh kurare, maka Ach tidak dapat bergabung dengan tempat reseptor itu untuk membuka saluran yang memungkinkan pergerakan ion-ion dan menimbulkan EPP. Dengan demikian, potensial aksi otot tidak dapat terjadi sebagai respons impuls saraf terhadap otot, maka terjadilah paralysis. Dalam percobaan, otot baru akan berkontraksi ketika sarafnya yang berada di larutan kurare menerima rangsang listrik yang besar, hal ini semakin mendukung pernyataan yang menyatakan bahwa kurare bersifat menghambat, karena seharusnya otot dapat berkontraksi dengan rangsang listrik yang kecil.3Ringer dapat dengan mudah menjadi perantara yang baik, karena kandungan pada ringer ini mirip dengan cairan tubuh katak sehingga otot dan saraf yang sudah dibedah, dikeluarkan dari tubuh katak, tetap dapat beraktivitas dengan normal.4 Rangsangan yang diberikan langsung pada otot, dapat berakibat kepada kontraksi otot secara langsung tanpa memedulikan larutan yang berada di sekitarnya dan juga impuls dari sarafnya. Hal ini terjadi karena impuls yang seharusnya berasal dari saraf sudah digantikan langsung oleh rangsang listrik yang bekerja langsung pada otot tanpa perlu perantara zat apapun lagi. Sedangkan rangsangan yang diberikan pada saraf, sangat tergantung pada larutan yang ada di sekitarnya, karena larutan larutan tertentu seperti kurare dapat menghambat jalannya impuls. Saraf yang diletakkan di larutan ringer dapat lebih mudah menyebabkan otot berkontraksi karena kandungan larutan ringer mirip dengan yang ada di dalam tubuh katak sehingga impuls dapat berjalan dengan normal. Lalu saraf yang diletakkan di kurare, lebih lama menyebabkan otot berkontraksi dikarenakan sifatnya yang menghambat dan juga saraf yang kami miliki terlihat sudah hampir putus sehingga hal ini tentu sangat menggangu penghantaran impuls untuk otot berkontraksi. Jadi, tempat kerja larutan kurare adalah pada sambungan otot-saraf karena pada bagian inilah terjadi pelepasan neurotransmitter yaitu asetilkolin yang menjadi penghubung antara impuls dengan gerak otot kontraksi.

Daftar Isi1. Fried GH, Hademenos GJ. Schaums Tss Biologi Ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku Erlangga; 2005. Bab 22. h.256 2. Boulton TB, Blogg CE. Anestesiologi. Ed.10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994. h.94.3. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.4. Schwartz, Shires, Spenser. Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah. Ed.6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000. h.105.