teman kami€¦ · cerpen dias novita wuri ah lihatlah, teman, kami sudah memenuhi...
TRANSCRIPT
Teman Kami
Cerpen Dias Novita Wuri
AH lihatlah, Teman, kami sudah memenuhi
permintaan-permintaanmu. Kami datang saat
kau panggil, dan kami sudah membantu
membuatmu kaya tanpa kau harus bekerja apa-
apa seumur hidupmu. Kau sudah punya sebuah mobil yang
nilainya hampir dua ratus juta mata uangmu, kau berhasil
menikahi perempuan cantik itu (tadinya ia benci padamu, tentu
saja, dan selalu mengerutkan alisnya tiap kali kau muncul di depan
pagar rumahnya, tapi kami punya cara untuk membujuknya,
mengisiki hatinya dengan tipu daya), dan kini kau punya dua
rumah—besar dan terletak di lokasi yang bagus, meskipun tidak
megah. Kau berkecukupan tanpa harus berusaha, karena
perempuanmu yang bekerja seumur hidupnya hingga kalian punya
semua itu. Ia cantik, serba-bisa, dan pintar, ia yang bekerja
membanting tulang di sebuah bank asing selama dua puluh lima
tahun sementara tugasmu hanya menjemputnya setiap sore di
kantornya. Itu pun kau selalu mengeluh. Kau marah-marah,
memukulkan kepalan tanganmu ke klakson mobil, memaki-maki
pengendara lain saat jalanan macet.
“N
“Jadi sekarang biarkan kami berbuat semau kami padamu.”
Saat usianya menginjak lima puluh lima, pelan-pelan kami
membuatnya gila. Kami membuat dunianya tampak tak lagi masuk
akal di matanya. Kami mengosongkan otaknya, mengacaukan
segala sistem di tubuhnya. Kami menjadikannya boneka kami.
Awalnya hanya serangan-serangan tak berarti yang para dokter
artikan sebagai “stroke ringan”: ia kehilangan kendali akan otot-
otot di kaki dan tangannya, menjatuhkan gelas saat sedang
memegangnya, lupa arah dan menerobos lampu-lampu merah saat
mengemudi. Pelan-pelan kami membuat semua itu memburuk. Ia
mulai berteriak-teriak karena hal-hal sepele. Kemudian ia juga
kehilangan kemampuannya bicara. Ia tidak lagi dapat memahami
dan dipahami.
Ini rahasia. Kalian tidak perlu tahu keberadaan kami. Namun,
jika kalian cukup mampu, kalian akan bisa melihat kami di sana,
mengelilinginy
a. Kami duduk
ketika ia
duduk, berdiri
ketika ia
berdiri,
berbaring
ketika ia
mengistirahatk
an tubuhnya
yang kian lama
kian kami buat
renta, tubuh yang dagingnya menyusut dari hari ke hari seberapa
pun banyaknya ia makan. Kami ada bersamanya ketika ia dikunci
dalam kegelapan kamarnya, di atas kasur kapuk yang telah
mengeras dengan seprai yang bercak-bercak air seni dan liur,
hanya ditemani sebuah televisi kecil yang menayangkan saluran
belanja-dari-rumah yang tak ada habis-habisnya, dua puluh empat
jam sehari.
Kami menyenangi rumahnya. Tempat itu dipadati berbagai
patung kayu dan lukisan: kesukaaan kami adalah sesosok dewi
berkepala dan sayap burung rajawali tapi bertubuh manusia.
Kadang kami akan berkerumun saja di sekitar dewi burung itu
untuk mengagumi sepasang payudara bulat montok pada dada
telanjangnya. Itu, dan lukisan gadis sedang memandangi lilin,
dinaungi bayangannya sendiri. Oh, bagaimana kami bisa tidak
senang. Ada alat-alat musik juga, segala yang berdenting dan
bergemerincing. Tempat itu bagaikan surga bagi kami.
Kalau kalian bisa melihat kami, temukan kami di sudut
tergelap dari sebuah ruangan yang gelap.
ETIAP pagi, sebelum semua orang bangun, kami akan
menyuruhnya buang air besar. Ia selalu menurut. Sama
sekali tidak pernah melawan. Kami memilihkan tempat
terbaik untuk melakukannya. “Dapur,” kami berkata. “Tahukah
kamu, di dapurmu itu kita bisa menemui seorang teman. Ia
kadang-kadang ada di sana. Ia jiwa yang penuh dendam, yang suka
mewujud menjadi seorang kakek tua berlumuran darah di mata
mereka yang mampu melihat. Dapur juga tempat istrimu
memasak berbagai makanan, menanak nasi, dan merebus air.
Sana, pergi dan kotori tempat itu.”
Setiap pagi ia ke sana dan memelorotkan celana kolornya, lalu
celana dalamnya, lalu berjalan berkeliling sambil melaksanakan
hajat. Ceprot-ceprot-ceprot. Tahinya yang encer berair pun
berjtuhan di mana-mana dan kami bersorak kegirangan. “Lagi.
Lebih banyak lagi! Ambil tahi itu dengan tanganmu, lalu usapkan
tanganmu ke bajumu.” Ia melakukannya. Lebih banyak lagi tahi
berjatuhan. Seperti bom, atau seperti buah masak yang jatuh ke
tanah dari tangkainya. Tak lupa ia bermain-main dengan tahinya
sendiri dan mengusapkan tangannya ke bajunya.
Lalu bau tajam akan menguar membangunkan istrinya. Ia
keluar dari kamarnya sendiri—bukan, tentunya bukan dari kamar
yang dulu ia bagi denganmu, Teman, sekarang istrimu telah
membangun sarangnya sendiri jauh darimu—mengenakan daster
S
dan melangkah tergopoh-gopoh dengan sisa-sisa mimpi masih
menyelubungi pikirannya (dan mimpinya kebetulan sebuah mimpi
aneh yang indah, nanti akan ia ceritakan ke anak perempuannya).
Namun ia selalu tahu itu ulah suaminya, karena ini merupakan
skenario sehari-hari. Kami mengamati wajahnya yang kini
berkeriput dan pucat, gelung rambutnya longgar menyentuh
tengkuk. Tiga puluh tahun yang lalu, ia merupakan kembang desa
di kampung halamannya di Pati. Ia membuat pria-pria tak
terhitung banyaknya bertekuk lutut di kakinya, kemudian
mematahkan hati mereka semua. Dua puluh lima tahun yang lalu
ia datang ke kota metropolitan ini untuk mencari pekerjaan. Dua
puluh tahun yang lalu ia bertemu dengan teman kami yang gila ini.
“Papa!” ia berseru. Benaknya yang gusar bertanya-tanya
mengapa ia masih bisa merasa marah, teramat sangat marah,
padahal ia mengalami kejadian ini setiap hari. Suaminya hanya
berdiri menatapnya, seperti biasa dengan kedua bahu yang kini
telah bungkuk. Kami beri tahu kalian, bahu itu membungkuk
sedemikian rupa karena ia harus memanggul kami, bukan? Ya, ia
memanggul kami selama ini.
“Sana, Papa minggir dulu,” ujar si istri di antara gigi yang
terkatup beradu. Gigi itu berfungsi sebagai penahan
kemarahannya, yang sudah menggelak ingin menyembur keluar.
Tapi suaminya gila. Mana mungkin orang yang masih waras punya
hak untuk memarahi orang tak waras? Lagi pula tidak ada
gunanya. “Masuk kamar lalu pakai celana yang bersih. Tunggu,
tunggu. Langsung masuk kamar mandi, nanti aku mandikan
sehabis aku kelar membersihkan kotoranmu.” Tapi semua itu tidak
pernah dilakukan. “Lepaskan bajumu. Keluar ke halaman tanpa
baju,” kata kami. Itulah yang dilakukannya.
Kami gembira menyaksikan istrinya kalang-kabut, dikerjai,
merasakan hatinya yang tersayat perlahan. “Kalau besok begini
lagi, Pa,” ancamnya, “nanti Papa dikirim ke rumah sakit jiwa.
Mau?” Wah, itu sudah pernah terjadi, tapi tidak bertahan lama
Karena tahukah kalian berapa biaya rumah sakit jiwa per harinya?
Jadi kemudian istrinya pun harus menghadapi hal ini setiap hari
di rumah, tanpa kami berikan jeda. Kami gembira menyaksikan
kedua tangannya yang dulu indah kini pelan-pelan menguning dan
kering. Karena air pel, usia tua, dan tahi.
Setiap siang kami menurunkan sedikit tenaga teman kami itu.
Tiap kali ia diberi makan, kami akan melipatgandakan rasa
laparnya. Kami ikut makan, jadi ia tak pernah merasa kenyang.
Kami membuatnya berkeliling mencari wadah-wadah makanan
yang disembunyikan, lalu ia akan mengobok-obok makanan dalam
wadah-wadah itu dengan jari gilanya yang kotor. Kesukaan kami
adalah kembang sepatu mentah (istrinya punya persediaan
kembang sepatu untuk dimasak jadi kimlo), juga gula pasir, dan
sisa-sisa kopi bekas menyuguhi tamu, dan terutama makanan
dalam wadah-wadah yang disembunyikan.
ETELAH setengah tahun, pelan-pelan kami membuatnya
semakin sakit. Kali ini para dokter bisa dengan percaya diri
memberikan diagnosis yang bukan lagi hasil meraba-raba
seperti “stroke ringan” senjata pamungkas mereka yang dulu itu.
Kali ini “pecah pembuluh darah otak”, “level kolesterol mendekati
titik bahaya”, dan ia pun dilarikan ke Unit Gawa Darurat rumah
sakir anyar milik sebuah universitas. Hari itu sudah lewat tengah
malam, istri dan anak laki-lakinya tampak duduk menemani
teman kami di dalam mobil ambulan. Tentunya kami juga ikut
berada di sana, kami duduk dengan leluasa di antara orang-orang
yang saling berdesakan. Si anak perempuan ditinggal di rumah
untuk menjaga rumah. Di dalam ambulan, kami bersenang-senang
dengan ikut berguncang-guncang kapan pun roda mobil masuk ke
gerowong di aspal atau melewati gundukan polisi tidur. Si istri
mengenakan dasternya lagi. Si anak laki-laki tampak tegar dan
kokoh menyerupai laki-laki dewasa (tanpa disadarinya, sudah
lama ia menjadi kepala keluarga).
Malam itu teman kami mengalami koma, tapi ia kembali lagi.
Kami tahu ia belum akan mati. Semua ada waktunya. Malam demi
malam terlewati, keluarganya menunggui di rumah sakit itu
kecuali si anak perempuan teman kami yang membencinya. Ia tak
S
pernah memunculkan batang hidungnya, ia menetap di benteng
kamarnya di malam hari dan bekerja keras mengurus rumah di
pagi hari sampai suatu ketika ibunya memaksanya datang. “Kalau
Papa meninggal, nanti kamu menyesal.” Jadilah si anak
perempuan pun muncul hari itu dengan berat hati, ditemani
kawan laki-lakinya. “Mama pulang ya, ganti kamu jaga Papa di
sini,” kata ibunya, dan si anak perempuan tak berkomentar apa-
apa.
Malam itu kami menggoda si anak perempuan. Kami bisikkan
di telinga teman kami, “Bangun, mari kita berkeliling. Bangun, kau
harus buang air besar. Bangun, kau harus buang air kecil tapi tidak
melalui selang goblok itu. Kau cabut selang itu.” Anak
perempuannya sedang tidur meringkuk di lantai yang beralaskan
sajadah untuk sembahyang dan berselimut sehelai sarung, ketika
teman kami terbangun dan mulai mencabuti keteter air seni
hingga air kuning pesing berceceran di lantai. Noda tahi tertinggal
di seprai. Makanan rumah sakit di atas nampan berjatuhan. “Papa
mau ke mana?” seru si anak perempuan. “Jalan-jalan,” jawab
ayahnya dengan bahasa yang tak jelas. “Nggak boleh, Pa, lagian
mau jalan-jalan ke mana? Papa mesti di tempat tidur, nggak boleh
ke mana-mana!”
Tapi tentu saja ia tak mendengarkan. Anak perempuannya
menahannya, tapi kami sangat kuat. Kami buat dia menyambar
tangan kurus milik anak perempuannya, memuntir tangan itu,
menggigit tangan itu hingga berdarah-darah. Si anak perempuan
menjerit-jerit, perawat berdatangan ke dalam kamar itu. Kami
tertawa puas sekali, seluruh peristiwa ini lucu sekali. Lalu si anak
perempuan berdiri di sudut, menyaksikan para perawat dan kawan
lelakinya menangani ayahnya yang mengamuk, menangis sedikit
tapi segera meraih kain serbet yang dibawa dari rumah dan mulai
membersihkan kencing yang tercecer di lantai.
Kami ulangi kesenangan itu beberapa kali dalam minggu itu,
kami buat anak perempuannya hancur hingga kebencian di
hatinya berakar semakin kokoh, tidak tergoyahkan.
ETELAH setengah tahun lagi, kami tahu perjalanan teman
kami ini akan segera berakhir.
Hari itu berlangsung sebagaimana biasanya baginya
(karena setiap hari selalu berlangsung sebagaimana biasanya
baginya). Kami menghabiskan waktu-waktu terakhir itu dengan
berbaring bersamanya di ranjang, semua lampu dimatikan, televisi
menyala dengan suara keras, kasur berbau ompol, semua jendela
dan pintu ditutup. Keluarganya sedang tidak ada, hanya ada anak
laki-lakinya, tetapi ia sedang tidur pulas (istrinya pergi
mengunjungi salah satu sahabat karibnya yang sakit, anak
perempuannya sedang pergi ke bandara untuk mengantar
pacarnya kembali ke Jogjakarta). Hari itu ia tidak tampak betul-
betul sakit ataupun sepenuhnya gila. Hanya biasa-biasa saja.
Tetapi, ia akan mati.
Kami mendampinginya.
“Tahukah kau,” kata kami dengan mendayu-dayu, mendesikan
dongeng menjelang tidur abadi ke telinganya yang kisut, “tahukah
kau, di depan rumahmu ada sesosok jiwa. Ia berdiam di tiang
listrik, terkadang ia akan memanjat dan bertengger di puncak,
terkadang ia akan duduk saja di tanah. Ia juga jiwa yang penuh
dendam, yang suka mewujud menjadi gadis pucat berbokong tipis
di mata mereka-mereka yang mampu melihat. Ketika ia sangat
marah, ia akan mengaburkan penglihatan manusia-manusia yang
berkendara melewatinya hingga mereka terjatuh dan menabrak
tiang listrik tempatnya berdiam. Lalu manusia-manusia itu akan
terluka parah, kaki mereka patah, kepala mereka pecah. Belum ada
yang mati, tapi itu akan terjadi suatu saat nanti.
“Tahukah kau, kami datang dari kerajaan yang besar di dasar
samudera. Kami tertarik dengan panggilanmu dan dedaunan yang
kau bakar di atas tungku, dengan jampi-jampi yang kau lantunkan
dan garam kasar yang kau tebar, mantra-mantra yang kau simpan
di dalam dompetmu. Kami tertarik dengan busuk di dasar hatimu
dan bagian belakang kepalamu. Kami mencintai dirimu ketika
muda, dan karena itulah kami menyertaimu hingga tua.
S
“Kau tidak punya teman lain, tidak ada yang lain kecuali kami.
Tapi sekarang kami harus meninggalkanmu karena tugas kami
sudah usai.”
Ia memandangi kami dengan matanya yang kuyu dan merah
berurat-urat.
“Bagaimana perasaanmu, Teman?” tanya kami. “Seumur
hidupmu kau bukanlah siapa-siapa.”
Perlahan-lahan, satu per satu dari kami melepaskan diri
darinya. Kami terbang ke langit seraya memandanginya meregang
nyawa. Apakah kami merasa sedih? Ia memandangi kami, dan
kami merasa sedih karena ia tampak begitu bahagia telah lepas
dari kami, begitu lega karena ia akan mati.
Kemudian kami beterbangan untuk mencari petualangan baru
di tempat baru, dan terutama, teman yang baru.(*)
Dias Novita Wuri lahir di Jakarta, 11 November 1989.
Lulus dari Program Studi Rusia, Universitas Indonesia.
Ia tinggal di Jakarta.
(Dimuat di Koran Tempo, 28 Juli 2013)
(Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Penembak Jitu
Cerpen Liam O’Flaherty
(Diterjemahkan oleh An. Ismanto)
ETANG bulan Juni yang panjang telah pudar menjadi
malam. Selain redup sinar bulan, yang menerobos
bongkah-bongkah awan putih lembut dan menyiramkan
berkas-berkas pucat di jalanan dan perairan gelap di
sekitar Liffey, hanya kegelapan yang menyelimuti Dublin. Di
sekitar Four Courts yang terkepung, senjata berat meletup-letup.
Di seluruh penjuru kota itu, senapa mesin dan bedil mencabik-
cabik kesunyian malam tanpa henti seperti anjing yang menyalak-
nyalak di sebuah peternakan terpencil. Kaum pendukung Republik
dan Free State masih sengit bertempur.
Seorang penembak jitu Republik berjaga di atap sebuah
gedung dekat Jembatan O’Bridge. Senapan teronggok di sisinya
dan tali teropong terkulai di atas bahunya. Wajahnya adalah wajah
seorang mahasiswa yang tirus dan mirip pertapa, namun dengan
tatapan seorang fanatik yang berkilat-kilat di matanya. Mata itu
dalam dan bijak, mata seorang lelaki yang telah terbiasa menatap
kematian.
P
Ia tengah makan sandwich dengan lahap. Perutnya belum
kemasukan apa-apa sejak pagi. Ia terlalu gugup untuk makan. Ia
menandaskan sandwich, mengambil sebotol wiski dari sakunya,
dan meneguk sekali. Ia terdiam sejenak, menimbang-nimbang
apakah ia berani mengambil risiko dengan merokok. Sangat
berbahaya. Kerlip api dapat terlihat dalam kegelapan dan banyak
musuh sedang berjaga di luar sana. Ia memutuskan untuk
mengambil risiko itu.
Setelah menjepitkan sebatang rokok di antara bibirnya, ia
menyalakan sebatang korek api, menghisap asap cepat-cepat dan
mematikan korek. Hampir seketika itu juga, sebutir peluru
menghantam dinding pembatas atap. Si penembak jitu menghisap
rokok sekali lagi lalu mematikannya. Ia memaki dengan suara
pelan dan merayap ke kiri.
Dengan hati-hati, ia mendongak dan mengintip melalui
dinding kecil
pembatas atap.
Kerlipan api
terlihat lalu
sebutir peluru
mendesing di
atas kepalanya.
Cepat-cepat ia
tiarap. Ia telah
melihat kerlipan
api di seberang
jalan itu.
Ia berguling ke arah cerobong di bagian belakang atap lalu
pelan-pelan berlindung di balik cerobong hingga matanya sejajar
dengan bagian atas dinding kecil pembatas atap. Tak terlihat apa
pun—hanya garis tepi atap rumah seberang yang tampak kabur
berlatar langit biru. Musuhnya tersembunyi.
Sebentar kemudian, sebuah mobil lapis baja melintasi
jembatan dan melaju pelan di jalan. Mobil itu berhenti di
seberang, sekitar lima puluh yard dari si penembak jitu. Ia dapat
mendengar deru mesin mobil itu.
Jantungnya berdetak lebih keras. Itu mobil musuh. Ia ingin
menembak, namun ia tahu akan sia-sia saja. Pelurunya tak akan
pernah sanggup mengoyak lempengan baja yang melapisi monster
abu-abu itu.
Lalu, dari sudut sebuah gang, muncul seorang wanita tua
berkerudung selendang compang-camping. Ia berbicara kepada
tentara yang bersiap di menara senjata mobil itu. Ia menunjuk-
nunjuk atap tempat si penembak jitu tiarap. Seorang informan.
Menara senjata terbuka. Kepala dan bahu seorang lelaki
tampak dan menatap ke arah si penembak jitu. Si penembak jitu
membidik dan menembak. Kepala itu tersentak ke dinding menara
senjata. Si wanita tua lari tergopoh-gopoh ke seberang jalan. Si
penembak jitu kembali menembak. Wanita tua itu terhuyung
sebentar lalu roboh seraya mengerang di selokan.
Tiba-tiba dari atas gedung seberang jalan sebuah letusan
terdengar dan si penembak jitu melemparkan senapannya seraya
menyumpah-nyumpah. Senapannya terlempar dengan suara
berisik di atap. Si penembak jitu berpikir bunyi gaduh itu bisa
membangkitkan orang mati. Ia berkisar untuk meraih senapan itu
tetapi ia tak mampu mengangkatnya. Lengannya tak terasa. “Aku
tertembak,” gumamnya.
Tiarap di atap, ia merangkak kembali ke dinding kecil
pembatas atap. Dengan tangan kirinya, ia meraba lengan
kanannya yang terluka. Darah mengucur membasahi lengan
bajunya. Tak ada rasa sakit—hanya sensasi tanpa rasa, seolah-olah
lengan itu telah terpotong.
Cepat-cepat ia menghunus belati dari saku, membukanya di
dinding pembatas atap, lalu mengoyak lengan bajunya. Sebuah
lubang menganga di tempat peluru itu masuk. Di sisi lainnya tidak
ada lubang. Peluru itu bersarang dalam tulang.
Tulangnya pasti sudah hancur. Ia menekuk siku di bawah luka
itu. Sikunya terkulai begitu saja. Ia mengertapkan gigi untuk
mengatasi rasa sakit.
Lalu, setelah mengeluarkan perban, ia menyobek bungkusan
itu dengan belati. Ia membuka leher botol yodium dan menuang
cairan dingin itu pada lukanya. Rasa perih yang hebat meluapi
sekujur tubuhnya. Ia meletakkan kapas di atas lukanya. Rasa perih
yang hebat meluapi sekujur tubuhnya. Ia meletakkan kapas di atas
luka dan melilitkan perban di atasnya. Ia menyimpulkan perban
itu dengan giginya.
Lalu ia tiarap tanpa bergerak di samping dinding kecil
pembatas atap dan, setelah memejamkan mata, ia menghimpun
tekad untuk mengatasi rasa sakit.
Di bawah sana, jalan sepi sekali. Mobil lapis baja telah
mundur dengan sigap ke jembatan, dengan kepala penembak
senapan mesin terkulai tanpa nyawa di menara senjata. Mayat
wanita tua itu masih teronggok di selokan.
Selama beberapa saat, si penembak jitu tetap bertiarap untuk
merawat lengannya yang terluka dan menyusun rencana untuk
meloloskan diri. Dia tidak boleh tetap di atap dalam keadaan
terluka saat pagi tiba. Musuh di atap gedung seberang pasti
menutup setiap jalan keluar. Ia harus membunuh musuh itu,
namun ia tak bisa menggunakan senapannya. Ia hanya dapat
menggunakan revolver. Lalu sebuh rencana terbersit di
pikirannya.
Ia melepaskan topi lalu meletakkannya di moncong senapan.
Lalu ia mendorong senapan itu perlahan-lahan ke atas dinding
kecil pembatas atap sehingga topi dapat terlihat dari gedung di
seberang jalan. Hampir seketika itu juga terdengar letusan, dan
sebutir peluru mengoyak topi itu. Si penembak jitu memiringkan
senapannya ke depan. Topi terjatuh ke jalan. Lalu, sambil
memegang bagian tengah senapan, si penembak jitu menjatuhkan
tangan kirinya di atap dan membiarkannya menggelantung tanpa
bergerak. Sejenak kemudian, ia melepaskan senapannya ke jalan.
Lalu ia merayap mundur di atas atap seraya menarik tangannya.
Seraya berdiri dengan cepat, ia mengintip dari sudut atap.
Siasatnya berhasil. Penembak jitu musuh itu, karena melihat topi
dan senapan yang jatuh, mengira ia telah berhasil membunuh
sasarannya. Sekarang ia berdiri di depan barisan cerobong,
menatap ke arah seberang, dengan kepala yang membentuk siluet
terlihat dengan jelas berlatar langit barat.
Penembak jitu Republik itu tersenyum dan mengangkat
revolvernya ke tepi dinding kecil pembatas atap. Jaraknya sekitar
lima puluh yard—tembakan yang sulit dalam cahaya remang dan
lengan kanannya sakit bukan kepalang. Ia membidik. Tangannya
gemetar karena gembira. Seraya mengatupkan bibir, ia menghela
napas melalui hidung dan menembak. Ia hampir tuli oleh bunyi
letupan itu dan lengannya bergetar oleh rekoil.
Lalu, saat asap menyisih, ia mengintip dan berseru gembira.
Musuhnya tertembak. Lelaki itu terhuyung-huyung sekarat di
dinding kecil pembatas atap. Ia berjuang untuk berdiri, namun
dengan pelan ia terhuyung ke depan seperti dalam mimpi.
Senapan terlepas dari tangannya, membentur dinding kecil
pembatas atap, terpelanting membentur tiang sebuah kios tukang
cukur di bawah dan kemudian berderak di trotoar.
Si penembak jitu melihat musuhnya terjatuh dan ia menggigil.
Gairah pertempuran dalam dirinya telah padam. Ia tercekam
penyesalan. Butir-butir keringat mengucuri keningnya. Lemah
karena luka dan puasa yang panjang di hari musim panas dan
berjaga di atap, ia mengalihkan pandangan dari jasad remuk
musuhnya yang telah mati itu. Giginya gemeretak, ia mulai
meracau, mengutuk perang, mengutuk dirinya sendiri, mengutuk
semua orang.
Ia menatap revolver yang masih berasap di tangannya, lalu
seraya memaki ia melemparkan revolver itu ke atap. Suara letupan
menyusul jatuhnya revolver itu dan peluru mendesing di samping
kepala si penembak jitu. Terkejut, ia kembali merasakan
ketakutan. Syarafnya kembali tenang. Kabut ketakutan
berhamburan dari pikirannya dan ia tertawa.
Setelah mengambil botol wiski dari sakunya, ia mengosongkan
botol itu dengan sekali teguk. Ia merasa nekat karena pengaruh
minuman keras itu. Ia memutuskan untuk meninggalkan atap
sekarang dan melapor kepada komandan kompinya. Sepi ada di
mana-mana. Tidak berbahaya jika menyeberang jalan. Ia meraih
revolver dan menyarungkannya lagi. Lalu ia merangkak menuruni
jendela loteng rumah di bawahnya.
Saat mencapai gang yang sejajar dengan jalan, tiba-tiba si
penembak jitu merasa ingin tahu identitas penembak jitu musuh
yang baru saja dibunuhnya. Ia menganggap musuhnya itu cukup
jitu, siapa pun dia. Ia bertanya-tanya apakah ia mengenal
musuhnya itu. Mungkin mereka pernah satu kompi sebelum
pemisahan Angkatan Darat. Ia memutuskan untuk mengambil
risiko dengan memeriksa musuhnya itu. Ia mengintip dari sudut
Jalan O’Connell. Ada tembak-menembak sengit di hulu jalan,
namun di sekitar sini hanya ada kesunyian.
Si penembak jitu melesat menyeberangi jalan. Sebuah
senapan mesin menghamburkan peluru yang mencabik-cabik
tanah di sekitarnya namun ia berhasil lolos. Cepat-cepat ia
bertiarap di samping mayat itu. Senapan mesin telah sepi.
Lalu si penembak jitu membalikkan mayat itu dan melihat
wajah kakak laki-lakinya sendiri.(*)
Liam O’Flaherty (1896-1984) adalah penulis novel dan cerita
pendek Irlandia. Ia pernah bertempur di pihak Republik dalam
Perang Saudara Irlandia yang berlangsung sebelas bulan, tak lama
setelah Irish Free State didirikan pada 6 Desember 1922. Irish Free
State mencakup seluruh Irlandia, termasuk daerah yang kini
dikenal sebagai Republik Irlandia Utara. Irish Free State resmi
dibubarkan pada 29 Desember 1937. Cerita pendek di atas
diterjemahkan oleh An. Ismanto.
(Dimuat di Koran Tempo, 21 Juli 2013)
(Gambar oleh Yuyun Nurrachman)
Sangkar di Atas Leher
Cerpen Adi Zamzam
KAN kuceritakan kepadamu tentang keanehan yang
kualami sejak empat hari kemarin, yang terus saja
menyiksaku hingga detik ini. Adalah kicauan seekor
burung terdengar seperti permintaan tolong dan kadang
terdengar pula seperti ratapan. Kicauan itu terus bergema dalam
kepalaku. Tak henti-henti. Ya, di dalam kepalaku!
Saat kicauan itu berdenging di telinga kiriku, segera saja
kusumpal lubang telinga kiriku. Pun ketika kicauan itu meriuhi
telinga kananku, segera saja kusumpal lubang telinga kananku.
Tapi semua itu sia-sia belaka. Kicauan itu justru kemudian
meloncat ke atas.
Lalu, setelah kugetok-getok ubun-ubunku, kicauan itu pun
menghindar ke bawah.
Seperti ada seekor burung dalam kepalaku. Dan ia tengah riuh
mencari pintu keluar. Kicaunya membuatku serasa memiliki
sangkat di atas leher. Sekarang kau tentu dapat mengukur kadar
siksaan yang tengah menderaku.
Aku telah mencoba berbagai cara untuk mengusir burung
yang terkurung dalam kepalaku itu. Pernah kedua telinga
A
kusumpal dengan headset telepon genggam. Kicau itu memang
segera tersingkir. Namun itu hanya sementara karena aku takut
jika gendang telingaku rusak karenanya.
Aku juga pernah hampir seharian hanya tidur dan tidur. Dua
kali aku melakukannya. Suara kicau itu hanya hilang saat aku
terlelap. Tapi begitu aku bangun, burung itu ikut bangun juga.
Cara ini akhirnya kuakhiri karena hanya membuang-buang waktu.
Hanya akan
membuatku semakin
tertekan saja.
AH,
saran
apa?
Apa kau sudah
menceritakannya
kepada Toto?” ujar
Rani ketika
kuceritakan perihal
kicau burung dalam
kepala yang amat
menyiksa itu.
“Belum. Aku
dikurungnya di
rumah, dan dia begitu
terobsesi dengan
pekerjaan. Sedikit
sekali waktu yang disisakannya untukku.” Kuhela napas berat
sambil memandang foto si kecil Nia yang terpajang manis di dalam
bulet di ruang tamu. Terasa ada yang menyumpal dalam dadaku.
“Jika kau butuh teman, datang saja ke rumah Mami,” Rani
menatapku erat. Mungkin dia coba memahami keadaanku.
“Kau pasti berpikir bahwa aku sedang tertekan,” aku balas
menatapnya lekat. Mencoba melawan prasangkanya.
“W
“Tidaklah. Aku hanya ingin memberi tahu, sekarang di sana
sudah banyak perubahan. Tidak seperti dulu lagi. Siapa tahu itu
bisa memberi hawa segar buatmu. Siapa tahu jika ketemu dengan
kawan-kawan lama itu bisa mengendapkan masalahmu.”
Aku coba mendengar bujukan Rani.
“Ayolah, Mami masih sering menanyakanmu. Kau dulu murid
kesayangannya. Kaulah yang paling berbakat di antara kami,”
cerocos Rani lagi, yang seperti sepoi angin saja di telingaku.
Aku tertegun sejenak. Kesadaranku tersedot ke sebuah
imajinasi masa depan. Andai aku kembali ke tempat Mami lagi.
Menari. Setiap hari menari. Merentangkan sayap. Kembali
menikmati kebebasan. Kembali merasai gairah ketika
mendapatkan tepuk tangan dari penonton. Tapi sepertinya itu
amat mustahil. Aku bukan Rani. Suamiku juga tak seperti suami
Rani.
Ingatanku tiba-tiba kembali ke sebuah peristiwa ganjil suatu
pagi. Sebuah kejadian tak disengaja, namun membuatku terganggu
hingga kini. Membangunkan sesuatu yang telah cukup lama
tertidur dalam dada.
Itu terjadi ketika aku pulang dari toko perlengkapan bayi.
Langkahku terhenti di sebuah kerumunan yang riuh. Semuanya
lelaki. Dan kemudian aku tahu, pusat dari kerumunan itu adalah
seekor burung mungil yang dilelang oleh pemiliknya. Aku tidak
tahu itu burung apa. Mungil. Terlihat begitu cantik. Warnanya
adalah perpaduan kuning, hijau tua, dan sedikit merah. Membuat
burung itu tampak tiada duanya. Baru kali ini aku tersihir oleh
seekor burung. Juga oleh kicauannya.
Tapi inilah yang kemudian terjadi dalam pandanganku. Ia
hanya burung kecil yang malang. Di telingaku, kicaunya yang riuh
justru terdengar seperti minta tolong.
Orang-orang riuh menawar harganya. Sementara aku sibuk
menyandarkan diri sendiri. Sepanjang perjalanan pulang, suara
kicau burung itu tak mau pergi dari dalam kepalaku. Seolah
kepalaku telah menjadi sangkarnya. Bahkan hingga detik ini,
ketika semuanya aku ceritakan kepada Rani, juga kepadamu.
“Baiklah. Kapan-kapan aku akan kembali ke sana. Titip salam
buat Mami ya,” ujarku, meski tak yakin. Wajah Toto membayang
ganjil.
Rani menepuk pundakku.
AK semudah yang kubayangkan. Bahkan hanya untuk
sekadar menengok rumah Mami demi mengobati rindu.
Tujuh tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk
membuat kaku semua persendianku. Meski ternyata kurang lama
untuk mengikis rindu kepada suara musik yang menghentak-
hentak. Tubuhku bahkan masih panas-dingin tiap kali
menyaksikan para penari bermunculan. Mereka tampak selalu
muda, segar, dan lincah sekali. Mereka terlihat begitu menikmati
kebebasannya. Dan siksaan ringan semacam itu kini bertambah
dengan adanya burung malang yang meratap dalam kepalaku.
“Burung kecil? Yang mana? Lihat, di sini banyak sekali burung
kecil,” ujar lelaki yang kulihat pernah melelang burung kecil itu
tempo hari. Melihat puluhan burung yang terkurung dalam
sangkar, aku semakin tersiksa saja. Membuatku ingin bergegas ke
tempat Mami. Melemaskan seluruh persendian tubuh.
Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Lalu membebaskan
semua burung itu.
“Yang memiliki warna perpaduan kuning, hijau tua, dan
sedikit merah. Yang kemarin kau lelang di depan banyak orang.”
“Oh, yang itu,” katanya sambil menyemprot seekor burung
dalam salah satu sangkar dengan semprotan kecil. Kicaunya yang
begitu riuh, serta loncatannya yang tak terkendali, menjadi seperti
siksaan di mataku. Meski lelaki itu terlihat senang.
“Sudah dibeli orang, Mbak.”
“Boleh saya tahu siapa orangnya?”
“Memang ada apa, Mbak?” Keningnya berlipat oleh rasa
heran.
“Apa kau punya alamatnya?”
“Mbak mau membelinya?” Ia menatap tak percaya.
“Aku serius.”
T
Lelaki itu malah tertawa. “Sungguh, baru kali ini saya
mendapati penggemar burung yang seorang perempuan,”
suaranya terdengar nakal. “Burung satu itu memang raja di
berbagai lomba. Tapi lihat-lihatlah dulu, di sini juga masih banyak
yang kicaunya bisa dipertandingkan.”
“Beri aku alamatnya.” Tak kupedulikan ocehannya yang tak
penting itu.
“Baiklah, catatlah alamatnya baik-baik. Tapi dengarkanlah
saranku. Sebaiknya jangan kau perlihatkan hasratmu di depannya.
Itu akan dipakainya untuk menaikkan harga semau-maunya.”
Itu nasihat yang sama sekali tak berguna bagiku.
ANG terpenting bagiku adalah ketika akhirnya mendapati
burung malang itu. Suaranya terdengar semakin menyayat-
nyayat dada. Semakin membuat kepalaku berdenyut hebat.
Aku pun langsung menawarkan harga di atas harga
keuntungannya.
“Baru saja beberapa hari yang lalu saya memilikinya. Saya
belum berniat menjualnya. Maaf,” ujarnya ringan.
Kepalaku bertambah pening. Pandangan mataku mengabur.
Kutatap tajam wajah lelaki itu. Aku melihat Toto di sana.
“Apa kau tak lihat? Dia rindu kebebasan. Apa kau ingin dia
merelakan seluruh hidupnya untukmu. Sampai kapan kau akan
mengurungnya?” kusemburkan semua yang menyumpal dalam
dada ke wajah Toto itu.
“Maksud anda?” Dahinya mengernyit. Pura-pura tak
mengerti.
“Kau ingin menghargainya berapa?”
“Sudah saya bilang saya belum berniat menjualnya. Saya baru
beberapa hari memilikinya.”
Kedua tanganku gemetar. Aku tahu ini ilusi. Aku tak tahu apa
yang membuat mataku jadi seperti ini. Aku melihat burung itu
menjelma seorang perempuan mungil dalam sangkar. Ia
melompat ke sana-ke mari demi mencari pintu keluar. Riuh
kicaunya berubah seperti riuh suara kesedihanku sendiri!
Y
“Jika kau tak membebaskannya, perlahan-lahan dia akan mati
dalam sangkar,” rahangku mengeras.
Raut lelaki itu mulai menunjukkan rasa khawatir.
“Bebaskanlah. Berikan padaku. Berapa pun harganya,” ujarku
mendesak.
AAF, Mbak. Buat apa Mbak membawa sangkar
burung ke mall ini?” tanya seorang satpam.
“Pintu atap? Buat apa Mbak membawa
sangkar burung itu ke atap gedung?” tanya seorang pramuniaga.
Dari tempatku berdiri sekarang, angin begitu suka-suka
mempermainkan rambut dan pakaianku. Udara kehilangan bau
apa pun—bau bensin, makanan, manusia, bahkan debu. Dunia
terlihat begitu datar, lapang, seolah tak bertepi. Menggoda
hasratku untuk segera membebaskan diri.
Hawa kebebasan telah berembus kuat dalam kepala. Suara
kicau burung yang beberapa hari lalu menyesaki kepala kini telah
sirna entah ke mana. Saat pintu sangkar di tangan kananku
kubuka lebar-lebar, pintu dalam kepalaku juga ikut terbuka lebar.
Membuat penghuninya terbang keluar entah ke mana. Dan kini
aku hanya menyisakan kekosongan yang paling kosong.
“Terbanglah. Ayo, bebaskan dirimu!” kuangkat tinggi-tinggi
sangkar di tangan kananku. Berharap si burung kecil segera
membebaskan diri. Terbang sesuka hati ke mana pun ia mau.
Ya, lelaki itu akhirnya memang bersedia melepasnya, meski
aku harus menebusnya dengan harga lima kali lipat.
Dan burung kecil itu akhirnya terbanglah. Menuju awan.
Menuju kebebasan. Aku pun bisa merasakannya. Ada sayap yang
tumbuh di punggungku. Lalu tubuhku tiba-tiba saja menjadi
ringan, begitu ringan.
Semenit, dua menit, tiga menit...
Kubiarkan angin meniup keras-keras semua yang berkecamuk
dalam dadaku. Alangkah lega rasanya. Semua yang menyesak
dalam dada langsung menguap. Rani yang membujuk aku untuk
kembali kepada Mami, Toto yang membuang semua kostum
“M
penariku, Toto yang membuat rumah jadi sangkar dengan sepatah
kalimat “demi si kecil Nia”—semuanya berlesatan satu per satu.
Dan aku semakin ke tepi. Merentangkan sayap.
“Lia, ini aku, Lia. Lihat aku, Lia,” sebuah suara yang amat
kukenal tiba-tiba menyeruak ke telinga. Membuatku menoleh.
Toto! Sementara di sampingnya, beberapa pasang mata
menatapku dengan cemas.
Adakah makhluk yang bernama Lia di sini? Adakah burung
yang dipanggil Lia di sini? Tapi tak ada burung lain selain aku.
“Ke sini lah, Lia. Ayo pulang. Demi Nia,” ujar lelaki itu lagi.
Siapa Lia? Siapa Nia? Lelaki itu pasti sudah gila. Aku tak kenal
mereka. Aku seekor burung sekarang. Aku ingin bebas!(*)
Adi Zamzam tinggal di Desa Banyuputih di kawasan Jepara,
Jawa Tengah.
(Dimuat di Koran Tempo, 14 Juli 2013)
(Gambar oleh Yudha AF)
Pintu
Cerpen Yudhi Herwibowo
INTU itu ada di ujung halaman belakang. Mengusam
karena waktu. Tersembunyi di antara pohon-pohon
besar yang tak henti membayanginya, seakan sengaja
menyatukan kegelapan. Tanaman rambat yang entah
berakar di mana kemudian membuatnya semakin sempurna tak
terlihat.
Tak mengherankan bila mata gadis kecil itu mendapatinya, ia
akan selalu merasa takut. Pintu itu seperti mampu menarik
dirinya. Padahal sejak dulu, ia selalu teringat teriakan ayah dan
ibunya bila ia muai bermain bersama teman-temannya, “Jangan
sampai melewati pintu itu!” Dan ia selalu menurut.
Pintu itu memang seakan menakutkannya. Menatapnya saja
membuat bulu kuduknya berdiri. Bahkan bayang-bayang yang
terbentuk dari pohon-pohon di sekitarnya, seperti bisa
menghentikan jantungnya untuk beberapa saat.
P
Namun entah kenapa, perlahan-lahan gadis kecil itu semakin
merasa tertarik pada pintu itu. Mungkin karena hanya di dekatnya
ia bisa merasakan rasa ingin tahu yang tak biasa. Terlebih
semenjak pohon besar di dekat pintu itu rubuh terkena petir, pintu
itu semakin mudah tertangkap oleh matanya.
Sejak itulah muncul berulangkali pertanyaan di kepalanya:
apa yang ada di balik pintu itu?
Ini memang terasa berlebihan. Saat teman-temannya datang,
ia memang akan melupakan sejenak pertanyaan itu. Ketika teman-
temannya itu pulang, ia akan kembali lagi mengalihkan
pandangannya ke arah pintu itu.
Pernah suatu kali, gadis kecil itu bertanya pada Bi Ijah,
pembantu di
keluarganya yang
asli orang desa. Bi
Ijah hanya
mengangkat bahu
dengan enggan,
“Kata orang-orang,
di situ rumah para
lelembut. Ada peri-
peri jahat yang
suka menculik
anak-anak!”
Gadis itu
terkesiap. Peri-
peri? Entah kenapa
begitu saja
terbayang olehnya
makhluk-makhluk kecil bersayap rapuh yang kerap dilihatnya di
film-film. Sosok-sosok yang beterbangan dengan jejak cahaya.
Tapi tentu saja ia tak puas dengan jawaban itu. Ia pikir para
peri tak akan membuatnya ketakutan. Maka ia kemudian
menanyakan pada ayah salah satu temannya, yang kebetulan
rumahnya bersebelahan dengan rumahnya.
Konon, puluhan tahun lalu, tepat di belakang rumah ini
adalah sebuah kuburan tua. Itulah yang membuat pemilik rumah
sebelumnya membangun tembok tinggi untuk menghalangi
pandangan para penghuninya ke arah situ.
Ini jawaban yang lebih masuk akal bagi otaknya yang masih
terlalu belia. Ketakutannya selama ini pada pintu itu pun jadi
beralasan.
Maka ia tak lagi bertanya-tanya soal pintu itu dan apa yang
ada di baliknya. Ia akan bermain saja di teras belakang. Bila
teman-teman belum datang, ia akan bermain sendiri tanpa
memperhatikan pintu itu.
Seperti hari ini. Gadis kecil itu masih menunggu teman-
temannya datang sambil memainkan bola bekelnya sendiri. Ia
memantulkan, meraup, menangkap, memantulkan lagi, meraup
lagi, menangkap bola itu lagi. Tapi hari ini ada sekali ia luput
menangkap bola bekel itu.
Bola itu memantul jauh.
Gadis kecil itu mencoba mengejarnya. Namun bola bekel itu
terus memantul dengan sempurna di batu-batu di halaman
belakang rumah ini. Arahnya menjadi tak menentu. Semakin jauh,
dan begitu saja mengarah pada pintu itu.
Lalu bola bekel itu hilang ke salah satu celah pintu itu!
Gadis itu terkesiap. Tiba-tiba saja ia mendapati dirinya sudah
berdiri di depan pintu itu sedemikian dekat. Ia menelan ludah. Ia
pastilah sempat berpikir kalau ia harus pergi saja. Ayah dan ibunya
tentu bisa membelikannya bola bekel yang baru. Tapi entah
mengapa, ia seperti tak rela kehilangan miliknya.
Maka dengan tangan gemetar ia meraih gagang pintu itu.
KU lebih baik mati di sini!
Kebosanan telah sampai pada puncaknya. Tak ada
artinya lagi hidup di sini. Kesepian telah merasuk ke dalam
diriku dari tahun ke tahun.
Telah ratusan tahun aku hidup di sini. Telah sepanjang hidup,
aku menemani tubuh-tubuh yang dikuburkan di sini.
A
Ya, tanah ini awalnya memang penuh dengan tubuh-tubuh
yang pergi dengan doa dan tangisan. Namun itu dulu. Dulu sekali.
Sebelum tanah ini ditinggalkan. Sekian lama kurasakan
kesendirian, tak terusik selama puluhan tahun. Kesendirian yang
mengundang burung-burung untuk bersarang di pucuk-pucuk
ranting, juga ular-ular berbisa di liang-liang akar.
Kupikir aku akan mati dalam suasana seperti itu. Tua dan
terlupakan. Namun ternyata beberapa tahun lalu, semuanya
berubah. Ini diawali dengan datangnya beberapa orang yang
membuat sebuah lubang besar di sini. Mereka bekerja hampir
sehari penuh, seperti mengusir burung-burung dan ular-ular itu.
Kau tahu, sebuah lubang biasanya berarti awal kehidupan.
Aku ingat ketika orang-orang menanam pohon-pohon di sini.
Mereka mengawalinya dengan membuat lubang-lubang di
hamparan tanah ini. Aku pun menebak bahwa lubang itu pun
sebuah awal kehidupan. Tentu aku tak berpikir bahwa mereka
akan menanam sebuah pohon raksasa. Tidak. Yang kubayangkan,
mereka akan membuat sebuah kolam besar yang nantinya penuh
dengan ikan-ikan beraneka rupa.
Tapi dugaanku salah! Beberapa hari kemudian, segerombolan
orang kembali datang dalam dua truk besar. Satu kelompok yang
berseragam dan memegang senjata, tampak memerintah
kelompok lainnya yang terikat tangannya. Mereka dijejerkan di
pinggir lubang. Lalu tanpa banyak bicara, seseorang yang
tampaknya pemimpin kelompok berseragam itu menembaki
mereka satu demi satu.
Tubuh-tubuh itu langsung jatung ke dalam lubang.
Sejak itulah, suasana di sini menjadi berbeda. Entahlah, telah
puluhan tahun aku berakar di sini, di atas tubuh-tubuh manusia
yang mati, namun baru kali ini aku mendengar suara-suara dari
dalam tanah. Raungan menyayat. Teriakan minta tolong. Ratapan
berkepanjangan. Sepanjang hari. Sepanjang bulan. Sepanjang
tahun. Tempat ini benar-benar tumbuh menjadi lebih mengerikan
daripada sebelumnya.
Namun itu belum selesai.
Beberapa tahun kemudian, ada sekelompok laki-laki menarik
seorang gadis kecil ke sini. Mereka orang-orang tak bertuhan,
sehingga mereka mengabaikan keberatan kami. Deru angin yang
mengencang, guguran daun yang menerpa wajah mereka, desis
ular dari dalam tanah, semuanya mereka sepelekan.
Mereka menyumpal mulut gadis kecil itu dan melucuti
bajunya dan bergiliran mengerjainya. Lalu, setelah semuanya
selesai, salah satu dari mereka mencekik leher gadis itu hingga ajal
menjemputnya. Jenazah gadis kecil itu mereka tinggalkan begitu
saja.
Gadis kecil itu menangis di sampingku. Memandangi
tubuhnya yang tergeletak tak lagi bergerak. Mula-mula air
matanya hanyalah air mata biasa.
Namun, sewaktu ia melihat tubuhnya semakin membusuk dan
hancur, air matanya pun bercampur dengan tetesan darah.
Aku mencoba menghiburnya. Mengatakan padanya bahwa
banyak sekali musibah terjadi tiba-tiba tanpa terelakkan. Ia tak
mau mendengar ucapanku. Untunglah, waktu selalu bisa
menyembuhkan luka. Beberapa tahun kemudian, aku mulai
mendengar suara senandungnya. Aku tahu, sebenarnya ia gadis
periang. Awalnya ia hanya menyanyikan lagu-lagu sedih. Namun,
setelah ia tahu kami semua mendengarkannya di sini, ia mulai
menyanyikan lagu-lagu riang.
Aku suka suaranya. Dan ternyata, tak hanya aku yang
menyukainya. Rusa, ular, kera, dan beberapa binatang lainnya
mulai berdatangan padanya. Ini membuatnya semakin gembira. Ia
kini tak hanya sekadar menyanyi, ia juga menari. Tampaknya ia
telah dapat melupakan apa yang terjadi padanya.
Namun itu tak berlangsung lama. Sewaktu orang-orang dari
desa menemukan tubuhnya dan membacakan doa untuknya,
sosoknya lenyap dari sisiku, menyatu dengan udara.
Sungguh, aku terus berharap ia muncul kembali. Ia telah
membuat suasana hutan belukar ini menjadi lebih gembira. Tapi
inilah yang kemudian terjadi: sebuah rumah besar dibangun di
tanah yang terbentang di depan kami. Sebuah tembok bata yang
sisi luarnya tak disemen didirikan menutupi wilayah kami.
Sejak itu aku tak lagi bisa melihat ke depan. Hanya sebuah
pintu berwarna kusam di dinding itu yang selalu memunculkan
harapan bagiku. Namun itu pun ternyata harapan yang sia-sia.
Sampai bertahun-tahun, pintu itu tak pernah terbuka.
Aku sungguh tak habis pikir, bagaimana mungkin sebuah
pintu dibuat tanpa pernah dibuka?
Hingga akhirnya aku benar-benar merasa lelah. Kesendirian
ini membuatku ingin mati saja. Namun di puncak keinginan inilah
tiba-tiba saja dari sebuah celah pintu itu sesuatu memantul ke
arah kami. Sebuah bola karet kecil.
Kulihat gagang pintu mulai bergerak pelan.
Napasku seakan berhenti. Angin menepi. Daun-daun berhenti
bergerak. Kicau burung dan desis ular lenyap. Suara-suara
teriakan itu pun tak terdengar. Semua mendadak senyap.
Lalu seorang gadis kecil kulihat muncul dari balik pintu.
Sungguh, ia begitu mirip dengan gadis kecil yang dulu pernah
datang ke mari. Wajahnya cantik, dengan mata berbinar dan
rambut panjang yang terkuncir dua.
Aku tahu wajahnya penuh ketakutan saat memandangi kami
semua. Tapi bola karet kecil yang tak berhenti memantul itu
seakan membuat ketakutannya lenyap.
Ah, gadis kecil, kemarilah! Jangan takut!
Sungguh, aku dan semua yang ada di sini telah siap
menyambutmu di langkah pertamamu di tanah kami.(*)
Yudhi Herwibowo giat di buletin sastra Pawon, Solo.
(Dimuat di Koran Tempo, 7 Juli 2013)
(Gambar oleh Yuyun Nurrachman)