teknologi produksi ubikayu di lahan pasang...
TRANSCRIPT
TEKNOLOGI PRODUKSI UBIKAYU DI LAHAN PASANG SURUT KALIMANTAN SELATAN
Seminar Bulanan Puslitbangtan, 10 Agustus 2017
Oleh
Sudaryono
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN PANGAN
BALAI PENELITIAN TANAMAN ANEKA KACANG DAN UMBI
2017
TEKNOLOGI PRODUKSI UBIKAYU DI LAHAN PASANG SURUT KALIMANTAN SELATAN 1)
Oleh : Sudaryono2)
ABSTRAK
Ubikayu memiliki peranan yang sangat penting dan sangat strategis di masa depan.
Ubikayu merupakan salah satu komoditas pangan yang memiliki potensi tinggi sebagai
penghasil karbohidrat, penyangga ketahanan dan kemanan pangan, diversifikasi pangan,
bahan baku industri yang penting untuk menghasilkan produk turunan yang sangat banyak,
mulai dari industri pangan (kue/biskuit, kripik, snack, es krim, softdrink, permen, dll), industri
non pangan (farmasi, kosmetik, deterjen, plastik, kertas, tekstil, lem, dll), dan industri energi
( bahan bakar nabati (biodiesel), bioethanol, dll). Mencermati 8 kebijakan pengembangan
komoditas Kementerian Pertanian, ubikayu tersurat pada fokus kebijakan ke 2, yaitu bahan
pangan pokok lokal, ke 4, yaitu bahan baku industri (konvensional), ke 6, yaitu produk
industri pertanian (aneka tepung), dan ke 7, yaitu produk energi pertanian (biodiesel,
bioethanol). Hal ini menunjukkan ubikayu memiliki peran penting. Keterbatasan areal tanam
subur dan tingginya persaingan komoditas bernilai ekonomi tinggi, menyebabkan
pengembangan ubikayu harus bergeser ke lahan sub optimal, khususnya pada lahan
pasang surut. Kendala yang dihadapi antara lain, fisiko-kimia lahan berupa genangan air,
kondisi fisik lahan, tingginya kemasaman tanah, kahat hara, adanya zat beracun (Al, Fe dan
H2S), intrusi air garam dan rendahnya kesuburan tanah. Lahan pasang surut Kalimantan
Selatan yang banyak diusahakan untuk usaha tani adalah tipe C dan D. Kebanyakan petani
menanam ubikayu di lahan pasang surut dengan sistim surjan dengan ukuran yang sangat
beragam. Tanaman ubikayu memiliki kemampuan yang besar untuk tumbuh dan
beradaptasi untuk menghadapi perubahan iklim global, degradasi kesuburan lahan, dan
perubahan-perubahan lingkungan yang lain. Keunggulan agronomis ubikayu adalah (1)
potensi hasil tinggi, (2) kadar pati tinggi, (3) toleran terhadap keasaman tanah dan
kekeringan, (4) umur panen fleksibel, dan (5) fleksibel dalam usahatani. Kesimpulan yang
dapat dirumuskan untuk pengembangan ubikayu ke depan adalah : (1) Ubikayu memliki
peluang dan peran yang besar dan strategis untuk mendukung ketahanan pangan nasional
di masa depan, (2). Pengembangan sistem produksi ubikayu terbuka sangat luas baik dari
aspek luas lahan maupun pasar, (3). Ketersediaan varietas unggul ubikayu cukup banyak,
(4). Teknologi pendukung pengembangan ubikayu tersedia cukup, dan (5). Pengembangan
agribisnis ubikayu akan menciptakan multiplier effect lini-lini agribisnis yang sinergis dan
berkelanjutan.
Kata Kunci : Teknologi, produksi, ubikayu, lahan, pasang surut
1). Makalah disampaikan pada Seminar bulanan di Puslitbangtan Bogor, tanggal 10 Agustus 2017.
2). Peneliti Utama pada Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Jl. Raya Kendalpayak
Km 8 Kotak Pos 66. Malang 65101. Tilp. (0341)801468 Fax : (0341) 801496; Malang. HP :
081347575023; Email : [email protected]; [email protected]
ABSTRACT
Technology production of cassava at tidal swamp South Kalimantan
Cassava has a very important and strategic role in the future. Cassava is one of the food
commodities that have high potential as producer of carbohydrate, buffer of food security
and endurance, food diversification, industrial raw material essential to produce many
derivative products, ranging from food industry (cake / biscuit, chips, snack, ice Cream, soft
drink, candy, etc.), non-food industries (pharmaceuticals, cosmetics, detergents, plastics,
paper, textiles, glue, etc.), and energy industries (bio-fuels, bio-ethanol, etc.). Considering
the 8 policies of commodity development Ministry of Agriculture, cassava is written on the
focus of the second policy, namely the local staple food, the fourth, the raw materials
industry (conventional), the sixth, the agricultural industry (various flour), and to seventh,
Agricultural energy products (bio-diesel, bio-ethanol). This shows that cassava has an
important role. The limitations of fertile planting areas and the high competition of high
economic value commodities, cause the development of cassava must shift to sub optimal
land, especially on tidal land. Constraints encountered include physicochemical land,
waterlogging, soil physical condition, high soil acidity, nutrient deficiency, toxic substances
(Al, Fe and H2S), salt water intrusion and low soil fertility. Tidal land of South Kalimantan is
much cultivated for farming is type C and D. Most farmers grow cassava in tidal land with
surjan system with a very diverse size. Cassava plants have a great ability to grow and
adapt to face global climate change, land degradation, and other environmental changes.
The advantages of agronomic cassava are (1) high yield potential, (2) high starch content,
(3) tolerance to soil acidity and drought, (4) flexible harvesting age, and (5) flexible in
farming. The conclusions that can be formulated for the development of cassava in the
future are: (1) cassava possesses big and strategic opportunity and role to support national
food security in the future, (2). Development of open cassava production system is very wide
both from the land and market area, (3). High yielding varieties of cassava are availabie, (4).
Technology supporting the development of cassava is sufficient, and (5). The development
of cassava agribusiness will create a multiplier effect of synergistic and sustainable
agribusiness lines.
Key Words : Technology, production, Cassava, land, tidal swamp
I. PENDAHULUAN
Ubikayu memiliki peran yang sangat penting dan strategis di masa depan. Sebagai
sumber karbohidrat dan kalori, ubikayu berfungsi sebagai penyangga ketahanan dan
keamanan pangan, diversifikasi pangan, bahan baku industri yang penting untuk
menghasilkan produk turunan yang sangat banyak, mulai dari industri pangan (kue/biskuit,
kripik, snack, es krim, softdrink, permen, dll), industri non pangan (farmasi, kosmetik,
deterjen, plastik, kertas, tekstil, lem, dll), dan industri energi ( bahan bakar nabati
(biodiesel), bioethanol, dll).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi impor ubi kayu/singkong setiap tahun ke
Indonesia. Impor singkong ini ditengarai sebagai produk tepung tapioka untuk kebutuhan
industri. Berdasarkan hitung-hitungan Masyarakat Singkong Indonesia (MSI), kebutuhan
tepung tapioka dalam negeri mencapai 5 juta ton per tahun. Selain bahan pangan, tapioka
juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri seperti kertas, batik dan plywood.
Menurut Suharyo (Ketua MSI), kebutuhan tepung tapioka untuk pabrik kertas mencapai
400.000 ton setiap tahunnya. Sementara untuk kebutuhan industri batik dan pabrik plywood
mencapai 100.000 ton per tahun. "Utamanya impor tepung tapioka digunakan untuk
industri," kata Suharyo. Terjadi hal yang ironis di Indonesia, dari satu sisi Indonesia memiliki
sumberdaya lahan pertanian melimpah dan sumberdaya petani produsen yang cukup untuk
melakukan sistem produksi singkong, sementara kebutuhan impor tepung tapioka
meningkat terus setiap tahun (Anonim, 2016a-d ; BPS, 2016; Maipah, 2015,).
Hal ini ditengarahi karena “komunikasi antara kementerian perindustrian dan
kementerian pertanian tidak sinkron," kata Benny kepada detik Finance, Selasa (9/6/2015)..
Menurut Benny seharusnya dua kementerian berkoordinasi untuk memastikan pasokan dan
permintaan tepung tapioka di dalam negeri. Yang terjadi saat ini justru, singkong yang
diproduksi petani berlimpah tapi produk turunannya yaitu tepung tapioka tak banyak
dihasilkan di dalam negeri. Di samping kedua kementerian tersebut semestinya kementerian
perdagangan juga memiliki peran yang penting untuk merumuskan kebijakan pasokan dan
permintaan (supply-demand) ubikayu. Pakar Pangan yang juga Guru Besar Ilmu Ekonomi
Pertanian Universitas Negeri Lampung, Bustanul Arifin pernah mengatakan produksi
singkong Indonesia terhitung paling besar yaitu 28 juta ton/tahun, sedikit di atas China yang
bisa memproduksi hingga 26,6 juta ton/tahun. Menurut data Kementan, harga singkong di
tingkat grosir dari tahun ke tahun memang mengalami peningkatan tapi terbilang cukup
rendah. Di tahun 2013 harga singkong Rp 1.466/kg, tahun 2012 Rp 1.319/kg, tahun 2011
Rp 1.306/kg, tahun 2010 Rp 695/kg, dan di tahun 2009 Rp 499/kg. Sementara dilihat dari
jumlah produksi singkong, tahun 2013 dengan total luas lahan sebesar 1,061 juta ha
produksinya mencapai 23,8 juta ton. Sementara di tahun 2012 dengan luas lahan 1,13 juta
ha produksinya mencapai 24,1 juta ton, tahun 2011 luas lahan 1,1 juta ha produksinya 24
juta ton, dan di tahun 2010 luas lahan 1,1 juta ha produksinya 23,9 juta ton.(Suhendra,
2015).
Suharyo melaporkan bahwa, rendahnya produksi tapioka dalam negeri dikarenakan
beberapa faktor. Di antaranya: harga jual tapioka yang terlalu rendah. Saat ini, harga jual
tepung tapioka di pasaran hanya Rp 4.000 per kilogram (kg). Produsen tapioka menilai
harga itu terlalu murah sehingga untung yang didapat petani singkong terlalu mepet.
Idealnya, harga tapioka di kisaran Rp 5.000 per kg. Data MSI menyebutkan, luas lahan
singkong Indonesia mencapai 1,2 juta hektare (ha). Produksi rata-rata lahan pertanian dapat
mencapai 30 ton singkong per ha/tahun. Artinya, total produksi singkong mencapai 30 juta
ton setiap tahunnya. Beberapa sentra produksi singkong dalam negeri antara lain Lampung,
Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Bahkan, kini ada pengembangan lahan
perkebunan singkong di wilayah timur, seperti di Sulawesi. Dengan demikian, menjadikan
propinsi Sulawesi Tenggara untuk menjadi salah satu sentra produksi ubikayu dinilai sangat
tepat (Anonim, 21016a-d).
Berdasarkan realita di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan pasok ubikayu di
dalam negeri memiliki peluang untuk ditingkatkan guna memenuhi permintaan baik sebagai
pangan maupun untuk keperluan industri. Pengembangan ubikayu berhadapan dengan
pengembangan komoditas yang memiliki nilai kompetitif ekonomi yang lebih tinggi. Oleh
karena itu, agroekosistem yang berpeluang untuk dipilih adalah pada lahan suboptimal,
antara lain lahan pasang surut. Tanah Ultisol, Inceptisol dan Alfisol mendominasi pusat-
pusat produksi ubikayu di Indonesia. Lahan yang sementara belum dimanfaatkan (lahan
tidur) berupa padang alang-alang atau belukar termasuk lahan pasang surut dari jenis tanah
tersebut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur masing-
masing seluas 3,1 juta ha, 6,2 juta ha, 0,8 juta ha, dan 1,2 juta ha (BPS 2005; Survey
Pertanian, 2005).
KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGEMBANGAN UBIKAYU DI INDONESIA
Kebijakan pembangunan pertanian Kementerian Pertanian kurun waktu 2015 ‐2019
meliputi : (1). Kebijakan peningkatan ketahanan pangan (padi, jagung, kedelai, tebu, sapi,
cabai dan bawang merah) yang berdampak bagi perekonomian, (2). Kebijakan
pengembangan komoditas ekspor dan substitusi impor serta komoditas penyedia bahan
baku bio‐ energi, (3). Kebijakan peningkatan daya saing produk pertanian melalui
standarisasi produk dan proses, peningkatan rantai pasok, mutu dan keamanan pangan,
(4). Kebijakan pengembangan infrastruktur (lahan, air, sarana dan prasarana) dan agro ‐
industri di perdesaan, sebagai dasar/landasan pengembangan bio‐industri berkelanjutan,
(5). Kebijakan re‐orientasi memproduksi dari satu Jenis produk menjadi multi produk (produk
utama, bioenergi, produk sampingan, produk dari limbah, zero waste dan lainnya), (6).
Kebijakan pengembangan klaster/kawasan, Yaitu pada kawasan tertentu yang mengungkit
Pencapaian target nasional, (7). Kebijakan sistem perbenihan/pembibitan, perlindungan
petani, kelembagaan petani, inovasi dan diseminasi teknologi, penyuluhan, dan kebijakan
sistem perkarantinaan pertanian, (8). Kebijakan mendukung program tematik: MP3EI,
MP3KI, PUG, KSS, ketenagakerjaan, percepatan daerah tertinggal, kawasan khusus dan
wilayah perbatasan, (9). Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta penanganan pasca
bencana alam, (10). Kebijakan subsidi: (a) subsidi pupuk tetap diperlukan dengan cara
mengurangi pupuk tunggal, menaikan subsidi pupuk majemuk, (b) pupuk organik tetap
dikembangkan bukan dengan dukungan subsidi, tetapi dialihkan menjadi kegiatan
pengembangan pupuk organik, (c) subsidi benih ditiadakan dan dialihkan menjadi kegiatan
penguatan penangkar benih/bibit, (11). Kebijakan kredit: (a) kredit ketahanan pangan akan
terus dilanjutkan untuk mendorong dn meningkatkan produksi dan produktivitas pangan
guna mendukung etahanan pangan, (b) untuk lebih menjamin teralokasinya kredit untuk
pangan, maka plafon kredit dialokasikan menurut subsektor, (c) untuk memecahkan
kelangkaan tenaga kerja & menjamin pengelolaan pangan skala luas, maka Kredit
Mekanisasi pertaniaan sangat diperlukan, (d) kegiatan sertifikasi tanah diperlukan sehingga
layak kredit.
Dalam rangka pengembangan komoditas maka kebijakan Kementerian Pertanian
difokuskan pada 8 hal berikut ini : (1). Bahan Makanan Pokok Nasional: Beras, Jagung,
Kedelai, Gula, Daging Unggas, Daging Sapi ‐ Kerbau, (2). Bahan Makanan Pokok Lokal:
Sagu, Jagung (NTT‐ Madura), Umbi ‐ Umbian (ubi kayu, ubi jalar), (3) Produk Pertanian
Penting Pengendali Inflasi: Cabai, Bawang Merah, Bawang Putih, CPO/Minyak Goreng, (4).
Bahan Baku Industri (Konvensional): CPO, Karet, Kakao, Kopi, Susu,Ubi kayu, (5). Bahan
Baku Industri: Sorgum, Gandum, Tanaman Obat, Minyak Atsiri, (6). Produk Industri
Pertanian (Prospektif): Aneka Tepung dan Jamu, (7). Produk Energi Pertanian (prospektif):
Biodiesel, Bioetanol, Biogas, (8). Produk Pertanian Berorientasi Ekspor (prospektif): Buah
buahan (Nanas, Manggis Salak Mangga). Kambing Domba Babi Florikultura.
Kebijakan pembangunan dan pengembangan pertanian tanaman pangan kurang
memberikan porsi yang seimbang terhadap pengembangan komoditas umbi-umbian,
terutama komoditas ubikayu. Hal demikian perlu mendapat perhatian yang lebih serius untuk
memperhatikan pengembangan komoditas umbi-umbian, khususnya ubikayu.
Tanaman ubikayu memiliki kemampuan yang besar untuk tumbuh dan beradaptasi untuk
menghadapi perubahan iklim global, degradasi kesuburan lahan, dan perubahan-perubahan
lingkungan yang lain. Ubikayu menjadi sumber pangan yang sangat besar dan sumber
bahan baku industri pangan, industri produk-produk turunannya, dan industri pakan ternak.
Pengembangan ubikayu masih banyak menghadapi kendala diantaranya ada anggapan
bahwa ubikayu menguras hara, merupakan usaha sampingan, belum mendapat dukungan
penuh dari pemerintah. Keterbatasan areal tanam yang subur dan tingginya persaingan
komoditas bernilai ekonomi tinggi menyebabkan pergeseran usahatani ubikayu ke lahan
sub optimal. Juga ke kawasan hutan dan perkebunan sebagai tanaman tumpangsari. Sifat
agronomis ubikayu yang tahan kering, tahan masam, toleran naungan dan dapat tumbuh di
lahan marginal harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Peningkatan permintaan ubikayu sebagai bahan baku pangan, pakan dan agroindustri
berkisar antara 30-35%/th. Hal ini harus ditangkap sebagai peluang pasar dan pemicu untuk
pengembangan sistem produksi ubikayu untuk memenuhi permintaan pasar atau kebutuhan
ubikayu di Indonesia. Th 2015, Indonesia menjadi pengimport tepung singkong > 1 juta ton.
Bagaimana peluang peningkatan pasokan domestik?. Produktivitas rata2 + 19 t/ha; Hasil
penelitian bisa mencapai lebih dari 60 t/ha. Cukup banyak petani yang berorientasi bisnis
sudah mampu pula menghasilkan singkong lebih dari 60 t/ha.
Sebagai bahan renungan atau warning perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1)
membangun sistem produksi ubikayu dalam suatu wilayah mungkin tidak sulit, (2)
membangun pasar atau sistem pasar ubikayu yang kondusif universal boleh jadi tidak
mudah, (3) membangun kepuasan produsen, pedagang perantara atau pelaku pasar,
pengubah nilai tambah produk (added value) boleh jadi tidak mudah, (4) membangun
kebijakan untuk sistem pembagian keuntungan (profit sharing) yang kondusif stabil dan
kondusif secara berkelanjutan mulai pelaku di tinggkat hulu hingga hilir boleh jafi tidak
mudah.
AGROEKOSISTEM UNTUK PENGEMBANGAN UBIKAYU
Pengembangan komoditas tentu mengacu kepada prasyarat tumbuh dari komoditas
yang akan dikembangkan. Dengan demikian akan dapat diselaraskan antara tuntutan
tanaman, kondisi sumberdaya lahan atau agroekologi, iklim, biaya, dan menejemen yang
diperlukan untuk memperoleh sukses output berupa produksinya.
SYARAT TUMBUH UBIKAYU. Sebetulnya tanaman ubi kayu dapat ditanam di mana
saja, namun akan lebih baik jika ditanam pada daerah yang sesuai dengan habitatnya atau
keinginannya untuk tumbuh baik. Secara umum syarat tumbuh tanaman ubi kayu yang
optimal adalah sebagai berikut : (a) Curah hujan, tanaman ubi kayu dapat tumbuh dengan
baik apabila curah hujan cukup, tetapi tanaman ini juga dapat tumbuh pada curah hujan
rendah (< 500 mm), ataupun tinggi (5000 mm). Curah hujan optimum untuk ubi kayu
berkisar antara 760-1015 mm per tahun. Curah hujan terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya
serangan jamur dan bakteri pada batang, daun dan umbi apabila drainase kurang baik (b)
Suhu udara, tanaman ubi kayu menghendaki suhu antara 18o-35o. Pada suhu di bawah 10o
C pertumbuhan tanaman ubi kayu akan terhambat. (c) Kelembaban udara optimal untuk
tanaman ubi kayu antara 60-65%. (d) Sinar matahari yang dibutuhkan bagi tanaman ubi
kayu sekitar 10 jam/hari, terutama untuk kesuburan daun dan perkembangan umbinya. (e)
Ketinggian tempat yang baik dan ideal adalah 10 – 700 m dpl, sedangkan toleransinya
antara 10 – 1.500 m dpl. (f) Tanah, Ubi kayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah. Pada
daerah di mana jagung dan padi tumbuh kurang baik, ubi kayu masih dapat tumbuh dengan
baik dan mampu berproduksi tinggi apabila ditanam dan dipupuk tepat pada waktunya.
Sebagian besar pertanaman ubi kayu terdapat di daerah dengan jenis tanah Aluvial,
Latosol, Podsolik dan sebagian kecil terdapat di daerah dengan jenis tanah Mediteran,
Grumusol dan Andosol. Tanaman ubi kayu memerlukan struktur tanah yang gembur untuk
pembentukan dan perkembangan umbi. Pada tanah yang berat, perlu ditambahkan pupuk
organik (g) Derajat keasaman (pH) tanah yang sesuai berkisar antara 4,5-8,0 dengan pH
ideal 5,8. Pada umumnya tanah di Indonesia ber-pH rendah (asam), yaitu berkisar 4,0-5,5,
sehingga seringkali dikatakan cukup netral bagi pertumbuhan tanaman ketela pohon
(Anonim, 2012).
Keunggulan agronomis ubikayu yang merupakan kekuatan internal dan dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan agribisnis ubikayu adalah (1) potensi hasil tinggi, (2)
kadar pati tinggi, (3) toleran terhadap keasaman tanah dan kekeringan, (4) umur panen
fleksibel, dan (5) fleksibel dalam usahatani (Wargiono et al., 2006, dalam Suyamto dan
Wargiono, 2009). Ubikayu dapat dikembangkan baik pada lahan yang memiliki kesuburan
tinggi (lahan optimal) maupun lahan yang memiliki berbagai keterbatasan (sub-optimal).
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa lahan optimal diutamakan untuk pengembangan
tanaman pangan terutama padi dan jagung. Dengan berbagai keunggulan sifat tanaman
ubikayu dapat dikembangkan pada lahan supotimal. Lahan suboptimal meliputi : : (1). Lahan
sawah tadah hujan, (2). Lahan kering iklim kering, (3). Lahan kering masam, (4). Lahan rawa
– pasang Surut, (5) Lahan perkebunan, dan (6). Lahan hutan sebagai tanaman
tumpangsari. Sistem tanam ubikayu dapat menerapkan sistem tanaman tunggal
(monocroping) atau sistem tanam tumpangsari (inter atau multiplecroping).
PERMASALAHAN DI LAHAN PASANG SURUT
Lahan pasang surut merupakan daerah yang potensial untuk pengembangan
ubikayu. Meskipun demikian masih menghadapi beberapa faktor penghambat berupa fisiko-
kimia lahan. Menurut Sarwani et.al (1994) dan Adimiharja et.al (1998) bahwa hambatan
tersebut berupa genangan air (tata air), kondisi fisik lahan, tingginya kemasaman tanah,
kahat hara, adanya zat beracun (Al, Fe dan H2S), lapisan pirit, intrusi air garam dan
rendahnya kesuburan tanah. Hambatan biologis utamanya adalah gulma. Di Kalimantan
Selatan, lahan pasang surut yang banyak diusahakan untuk usahatani adalah tipe C dan D.
Notahadiprawiro dan Maas (2006) menguraikan dengan rinci tentang kendala dan prospek
pengembangan lahan pasang surut di Indonesia sebagai sentra produksi pangan. Lebih
lanjut Notohadiprawiro dan Maas (2006) menjelaskan bahwa ubikayu maupun ubijalar yang
produktivitasnya di lahan pasang surut masih rendah, berpeluang untuk ditingkatkan dengan
pengelolaan secara fisik maupun kimiawi.
Luas lahan rawa di Indonesia oleh Nugroho et al. (1992) diperkirakan mencapai 33,4
juta hektar, yang terdiri dari 20,12 juta hektar lahan pasang surut dan 13,28 juta hektar
lahan lebak. Dari luasan tersebut, lahan pasang surut terdiri dari 2,07 juta hektar lahan
potensial, 6,72 juta hektar lahan sulfat masam, 10,89 juta hektar lahan gambut dan 0,44 juta
hektar lahan salin, sedangkan lahan lebak terdiri dari 4,167 juta ha lebak dangkal, 6,075 juta
ha lebak tengahan, dan 3,038 juta ha lebak dalam. Rincian luas lahan rawa menurut
wilayah disajikan pada Tabel 3 yang menunjukkan bahwa potensi terluas ada di pulau
Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Lahan pasang surut yang berpotensi untuk dijadikan
areal pertanian sekitar 9,53 juta hektar, tetapi yang sudah direklamasi sampai tahun 2002
sekitar 4,186 juta hektar, sedangkan lahan lebak yang dusahakan baru seluas 729.900
hektar. Dengan demikian masih tersedia areal lahan cukup luas yang dapat dikembangkan
sebagai areal pertanian khususnya tanaman pangan. Berdasarkan sifat fisiko-kimia
lahannya dan stabilitas hasilnya, maka lahan pasang surut yang berpotensi untuk dijadikan
areal tanaman kedelai adalah lahan potensial, bergambut dan sulfat masam dengan tipe
luapan B, C, dan D, sedangkan untuk lahan lebak adalah lebak dangkal dan sebagian lebak
tengahan.
Tabel 3. Luas lahan rawa menurut wilayah dan statusnya di Indonesia
Wilayah Luas lahan pasang surut (ha) Luas lahan lebak (ha)
Total 1) Potensial Direklamasi 2) Total 1) Ditanami 2)
Sumatera 7.147.200 3.927.000 2.784.100 6.079.000 413.000
Jawa & Madura 68.000 - - - -
Kalimantan 5.938.700 2.795.000 1.402.000 6.437.000 316.900
Sulawesi 371.300 - - - -
Maluku & Nustra 236.500 - - - -
Irian Jaya 6.415.400 2.808.000 - - -
Jumlah 20.192.100 9.530.000 4.186.100 1 3.283.000 729.900
- Tidak ada data
1) Sumber : Nugroho et al. (1992)
2) Sumber : Dir. Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (1995)
Lahan tipe luapan C dan D adalah kawasan lahan rawa pasang surut, namun tidak
dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut, kawasan ini dapat juga disebut sebagai lahan
kering di kawasan lahan rawa pasang surut. Keadaan hidrologinya lebih dominan
dipengaruhi oleh curah hujan. Pada lahan tipe luapan C kedalaman air tanah berada sekitar
< 50 cm dibawah permukaan tanah, sedangkan tipe luapan D permukaan air tanah pada
kedalaman > 50 cm dibawah permukaan tanah. Untuk pengembangan ubikayu diperlukan
pengelolaan air yang sesuai dengan tipe luapannya agar tidak menimbulkan kebusukan
pada umbi.
Luas lahan rawa pasang surut di pulau Kalimantan (Kalimantan Selatan, Tengah dan
Barat) terdiri dari tipe luapan B berkisar 445.782 ha, tipe luapan C seluas 46.294 ha dan
tipe luapan D seluas 116 ha (Syahbuddin et al. 2012), sedangkan di Pulau Sumatera pada 4
provinsi utama meliputi Riau,Jambi, Lampung dan Sumatera Selatan terdapat tipe luapan C,
D dan B berkisar 3.703.306,4 hektar yang terdiri dari tipe C dan D seluas 2.570.318,8 ha
dan tipe luapan B seluas 1.132.987,6 hektar (Cahyana et al. 2013). Sesuai dengan
ketersediaan lahan rawa pasang surut dengan tipe luapan C dan D di Kalimantan Selatan
dan Sumatera diperkirakan luasnya mencapai 2.616.728,8 ha. Lahan ini potensial untuk
pengembangan ubikayu.
DUKUNGAN TEKNOLOGI UNTUK PENGEMBANGAN UBIKAYU
Seperti diketahui bahwa hasil ubikayu (H) merupakan resultante antara faktor genetik
(G) dengan lingkungan tumbuh (L) dan menejemen (M); dan dalam bentuk persamaan
diformulasikan sebagai H= G x L x M. Dalam rangka pengembangan sistem produksi
ubikayu, Prof. Dr. Ristono, MS mengemukakan model fungsi produksi ubikayu sebagai : P =
f(S, M, T, I, U). Adapun P adalah produksi, f adalah fungsi, S adalah sumberdaya alam, M
adalah sumberdaya manusia, T adalah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), I adalah
Iman dan Taqwa, dan U adalah keuangan (Ristono dan Rastana, 2015).
Secara teknis, teknologi budidaya ubikayu dapat dirinci ada 7 (tujuh) komponen
teknologi berikut (1). Penyiapan lahan, (2). Pemilihan Varietas, (3). Penentuan jarak tanam,
(4). Pemupukan, (5). Pengendalian OPT, (6). Pengairan, dan (7). Panen. Penyiapan lahan
sangat ditentukan oleh jenis tanah, fisiko tanah (tekstur, struktur, daya simpan air, jeluk
mempan (effective depth)), sifat kimiawi tanah (pH, status hara, kadar bahan organik,
senyawa beracun), dan kesuburan hayati tanah. Penyiapan lahan dapat dilakukan dalam
bentuk bedengan (lebar 2-4 m) ataupun guludan (lebarxtinggi : 60-100cm)x(30-50 cm).
Pemilihan varietas, Indonesia memiliki cukup banyak pilihan varietas atau klon ubikayu yang
memiliki produktivitas cukup tinggi (varietas unggul), baik bersifat formal (memiliki SK
Menteri sebagai pelepasan varietas seperti dicontohkan Tabel 2 maupun varietas unggul
yang bersifat lokal yang belum memiliki SK Menteri pelepasan varietas seperti Faroka,
Sembung, Manggu, Pandemir, Cecekijo, Gajah, dll.
Tabel 2. .Varietas unggul ubi kayu yang dilepas di Indonesia sejak tahun 1978.
No Varietas Potensi Hasil (t/ha) Rasa Kadar HCN (ppm) Kadar Pati (%)
1 Adira 1 22,0 b) Tidak pahit 27,5 -
2 Adira 2 22,0 b) Agak pahit 124,5 -
3 Adira 4 35,0 b) Agak pahit 68,0 18-22
4 Malang 1 48,7 c) Tidak pahit < 40,0 -
5 Malang 2 42,0 c) Tidak pahit < 40,0 -
6 D.Hidayah 102,1 c) Tidak pahit < 40,0 25-31
7 Uji-3 35,0 c) Pahit - 20-27
8 Uji-5 38,0 c) Pahit - 19-30
9 Malang-4 39,7 b) Pahit >100 25-32
10 Malang-6 36,4 b) Pahit >100 25-32
11 Litbang UK-2 60,40 Tidak pahit < 40,0 17–31
12 Agritan 41,84 Tidak pahit 2,01%bk 19,92
Sumber: Balitkabi (2016); Mejaya dkk (2015); Hermanto dkk (2009); Suhartina (2005).
Keterangan: a) Hasil dalam bentuk umbi segar, b) Hasil rata-rata dari uji multilokasi.
c) Hasil tertinggi pada uji multilokasi.
Jarak tanam yang dipilih tergantung pada sifat genetik ubikayu (tipe tumbuh langsing
atau gemuk atau rimbun). Ubikayu yang rimbun tentu menghendaki jarak tanam yang lebih
lebar. Jarak tanam berkisar antar baris xdalam baris antara 60-125 cm) x (60-125 cm).
Pemupukan ditentukan oleh tingkat kesuburan tanah, daya hasil ubikayu, target produksi
dan biaya yang tersedia. Pemupukan dapat digunakan pupuk organik, antara lain pupuk
kandang kotoran ternak dan pupuk kompos. Pupuk anorganik dapat berupa pupuk tunggal
seperti urea, ZA, SP36, KCl atau penggunaan pupuk lengkap seperti Phonska (NPK).
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan, pengairan, pengendalian hama dan penyakit,
pemangkasan atau pruning, dsb. Budidaya ubikayu dapat dilakukan secara konvensional,
setengah mekanisasi maupun mekanisasi penuh. Cara mekanisasi penuh umumnya
dilakukan pada skala perusahaan. Pengendalian organisme pengganggu tanaman meliputi
gulma, hama dan penyakit. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara mekanis (disiang),
maupun dengan menggunakan herbisida. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan
pestisida kimia amupun bio-pestisida. Pengairan disesuaikan dengan tipe lahan dan iklim.
Panen ditentukan oleh umur varietas dan kebutuhan ekonomi produsennya, ubikayu
berumur genjah dapat di[panen umur 6 bulan dan yang normal antara umur 8-12 bulan.
Di lapangan tersedia varietas unggul lokal yang belum bernomor pelepasan tetapi
memiliki potensi hasil yang tinggi antara lain : Faroka, Sembung, Manggu, Kaspro, Cecek
ijo, Gajah, dll. Sebagai kekayaan intelektual seharusnya sumberdaya genetik ini segera
diproses untuk memberikan perlindungan atas hal-hal yang tidak diinginkan. Percobaan
pemupukan beberapa varietas unggul ubikayu pada tanah Alfisol Malang Selatan dapat
mencapai hasil 60-120 t/ha umbi segar (Tabel 3).
Tabel 3 . Hasil umbi segar beberapa klon ubikayu di Alfisol Malang Selatan
Klon Ubikayu Jumlah umbi Berat umbi Hasil umbi Kadar Pati
Besar Kecil (kg/tan) (t/ha) (%)
Cecek ijo 12 5 12,0 87,0 22,5
Uji-5 9 9 9,0 65,0 21,4
Adira-4 9 6 9,0 64,0 18,5
Sembung 10 5 9,0 87,0 23,2
Malang-6 9 8 11,0 80,0 18,9
Malang-6 *) 13 0 20 116 20
Sembung*) 11 6 19 120 21
Catatan *) Pengelolaan petani dengan input tinggi
Percobaan pemupukan ubikayu dengan menggunakan varietas unggul pada tanah
Ultisol di Lampung dapat mencapai produktivitas 40-60 t/ha. Tanah Ultisol di Lampung
umumnya adalah tanah masam dengan pH antara 4,5 -5,5, kisaran hasil ubikayu yang
dicapai 45-59 t/ha (Tabel 4). Teknologi budidaya ubikayu bersifat dinamis. Ragam teknologi
budidaya ubikayu dapat disusun menurut ragam agroekologi, ragam varietas atau klon, dan
ragam pengelolaan (menejemen) budidaya ubikayu. Paket teknologi budidaya ubikayu terdiri
atas komponen-komponen teknologi, mulai dari penyiapan lahan, pemilihan varietas,
pengaturan jarak tanam, pemupukan, pemeliharaan, pengairan, pengendalian organisme
pengganggu tanaman (OPT), dan panen. Masing-masing komponen teknologi dapat
bervariasi sesuai dengan kondisi abiotik dan biotik lokasi di mana ubikayu akan
dikembangkan. Penyiapan lahan meliputi pengolahan tanah dan pengguludan atau
pembuatan bedengan dengan ukuran yang beragam.
Tabel 4: Hasil ubikayu di Natar Lampung Selatan dan Sulusuban Lampung Tengah
Kloon Ubikayu Jumlah Berat umbi Hasil umbi Kadar Pati (%)
Besar Kecil (kg/tan) (t/ha)
Natar, Lampung
OMM 9908-4 6.0 5,0 7,40 51,03 20,0
Malang-6 10,0 1,0 5,60 55,03 21,0
UJ-5 11,0 3,0 4,20 46,60 22,7
Sulusuban
Adira-4 9,0 3,0 4,34 59,4 23,0
Kaspro 7,8 2,4 4,80 56,6 22,0
UJ-5 7,0 3,5 4,60 49,8 23,2
Berdasarkan referensi baik dari hasil penelitian maupun testimoni lapangan maka
dapat diinventarisasi ragam teknologi budidaya ubikayu yang dapat digunakan sebagai
bahan acuan untuk praktek pengembangan sistem produksi ubikayu sesuai dengan ciri
spesifik agroekologinya dapat dicontohkan pada Tabel 5.
Tabel 5 . Ragam teknologi budidaya ubikayu di lapangan dan Balitkabi
Komponen input
Teknologi budidaya ubikayu
Tradisional Adaptif PT Medco Lampung
Referensi Yanto (2013)
Balitkabi (standard)
Balitkabi (inovatif)
Penyiapan lahan
Olah tanah (2x bajak)
Olah tanah (2x bajak)
Olah tanah (2x bajak)
Olah tanah (2x bajak)
Olah tanah (2x bajak)
Olah tanah (2x bajak)
Jarak Gulud 80-125 80-125 80-125 80-125 80-125 80-125
Ukuran Gulud (lxt)
(50-80)x(40-60)
(50-80)x(40-60)
(50-80)x(40-60)
(50-80)x(40-60)
(50-80)x(40-60)
(50-80)x(40-60)
Jarak tanam (cm)
125x100 125x100 100 x 80 (80-100) x(70-80)
(80-120) x (80x100)
Varietas MLG-6, Sembung
Ml-4, Sembung, Adira-4, Cecek Ijo
Kaspro, Cecek Ijo, Faroka, OMM 9908-4, UJ-5, Adira4, Mlng-4, Malang-6
Lokal-Unggul
VUB VUB : Malang 4, Malang 6, UJ 5, Litbang UK2,
Waktu tanam Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober
Amelioran *) - - - - v v
Urea (kg/ha 0-600 300 500 100-150 200 300
SP36(kg/ha) 0-200 0-100 100 100 100 150
KCl (kg/ha) 0-100 0-100 100-150 100 150-250
Phonska(kg/ha) 200 300 300 200-400
P.kandang(t/ha) 10 10 5 5-10 5-10
PPC-ZPT v v v v
Herbisida (l/ha) 4 2-5 2-5
Penyiangan 2x 2x 2x 2x 2x 2x
Pembumbunan 2x 2x 1x 2x 2x 2x
Hasil (t/ha) 80-100 20-40 40-60 15-20 30-40 60-90
Catatan *) Amelioran (dolomit, kaptan) lebih baik diberikan pada lahan2 masam dengan takaran
300-500 kg/ha; Rekomendasi nasional N,P,K : 200 Urea +100 SP35 +100 KCl kg/ha; inovasi :
inovasi kg NPK/ha = 300 Urea + 200 SP36 + 300 KCl + PPC +500 kg Dolomit (input tinggi) );
v= Perendaman stek bibit menggunakan hormone auksin (pemacu akar), sitokinin (pemacu
tunas baru) dan giberilin (pembesaran) juga sangat bagus dilakukan sebelum stek ditanam.
Tabel 6. Alternatif teknologi budidaya ubikayu lahan pasang surut
No Uraian Teknologi budidaya
T 1
(Cek)
T2
(Rekomtek
Nas)
T 3
(Sedang)
T4
(Tinggi)
1 Persiapan lahan
Olah Tanah 1) OT OT OT OT
Gulud 2) lxt :50
cmx(30-40) cm
G G G G
2 Dolomit (kg/ha) 0 - 500 750
3 Pupuk NPK 3)
(kg/ha)
200-100-
100
250-200-240 300-200-300
4 Jarak tanam (m) 1 x (60-
80 cm)
1 x 1 1 x 1 1 x 1
5 Penyiangan -
Pendangiran 2 x 4)
v
v v v
6 Pengendalian OPT x v v v
7 PPC-ZPT - - v v
8 Panen 5) konv konv konv konv
Catatan :
1). OT = olah tanah; 2). G = gulud; 3). NPK = N - P2O5 - K2O = 15-15-15; 4) penyiangan
dua kali pada umur 2 dan 4 bulan setelah tanam; 5) konv = cara panen konvensional
Percobaan uji teknologi budidaya dilakukan di daerah pasang surut kecamatan
Wanaraya kabupaten Barito Kuala disajikan pada Tabel 7-9. Perbedaan varietas
menunjukkan perbedaan tingkat produktivitas hasil umbi. Sedangkan perbedaan perlakuan
tingkat pemberian pupuk tidak terlihat memberikan pengaruh peningkatan produktivitas hasil
umbi. Hal ini disebabkan serapan pupuk yang diberikan belum terjadi secara optimal atau
bahkan tidak maksimal. Kondisi demikian diakibatkan oleh masa tanam ubikayu sudah
terlambat, yaitru pada akhir bulan Februari 2015, masa tanam optimal adalah pada awal
musim hujan (bulan oktober-Nopember 2014). Oleh karena itu kehil;angan masa efektif
untuk pertumbuhan vegetatif sekitar 4 bulan. Sebagai koinsekuensi teknis maka pupuk yang
diberikan tidak bisa larut sempurna, terbukti pada saat panen masih cukup banyak pupuk
yang belum larut. Sesuai dengan kondisi iklim pada tahun 2015, curah hujan sudah mulai
berkurang setelah melampaui bulann Mei 2015. Dalam pada itu, kondisi kelengasan tanah
tidak kondusif untuk melarutkan pupuk hingga sempurna pada periode bulan Mei–Oktober
2015. Varietas yang dikenalkan (CMM 2048-6, Ketan Jabung) untuk daerah pasang surut
memiliki produktivitas yang lebih tinggi dari varietas unggul lokal (Kristal). Namun demikian
petani kurang menyukainya rasanya.
Tabel 7. Hasil umbi percobaan uji teknologi budidaya ubikayu di Simpangjaya dan Sidomulyo kecamata Wanaraya, Kabupaten Barito Koala MT 2015
Perlkn Hasil ubi t/ha Hasil ubi t/ha
Simpangjaya Sidomulyo
Varietas T1 T2 T3 Rata2 T1 T2 T3 Rata2
CMM 2048-6 35,42 37,50 37,08 36,67 a 30,39 30,50 32,18 31,03ab
Ketan (Jabung) 30,83 33,75 32,67 32,42 b 33,70 33,11 33,48 33,43 a
Kristal (lokal) 26,46 35,00 33,75 31,74 b 24,04 27,78 23,29 25,04 b
Rata2 30,90 35,42 34,50 29,38 30,46 29,65
Keterangan : (P1) rekomendasi setempat (90 kg N/ha), (P2) rekomendasi nasional (200 – 100 – 100
= Urea-SP36-KCl), dan (P3) inovasi (112,5 kg N + 108 kg P2O5 + 120 kg K2O) + PPC-
ZPT + 300 kg/ha dolomit
Gambaran mengenai kadar pati umbi dapat dilihat secara rinci pada Tabel 8.
Berdasarkan hasil penetapan kadar pati dari tiga varietas yang dicoba CMM 2048-6, Ketan
Jabung dan Kristal berturut-turut adalah 18,10%; 17,94%; 18,75% untuk lokasi Simpang
Jaya, dan 18,54%; 18,48%; 19,47% untuk lokasi Sidomulyo. Secara umum varietas unggul
lokal Kristal memiliki kadar pati lebih tinggi dibandingkan CMM 2048-6 dan Ketan Jabung.
Perlakuan peningkatan pemberian pupuk tidak menunjukkan peningkatan kadar pati pada
umbi, baik pada varietas CMM 20148-6, Ketan Jabung maupun Kristal.
Tabel 8. Kadar pati umbi percobaan uji teknologi budidaya ubikayu di Simpangjaya dan Sidomulyo kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Koala MT 2015
Perlkn Kadar pati (%) Kadar pati (%)
Simpang Jaya Sidomulyo
Varietas T1 T2 T3 Rata2 T1 T2 T3 Rata2
CMM 2048-6 17,47 17,26 19.56 18,10 19,07 18,39 18,15 18,54 b
Ketan (Jabung) 17,01 17,96 18,85 17,94 18,17 18,62 18,65 18,48 b
Kristal (lokal) 18,16 19,07 18,62 18,75 20,48 20,51 19,52 20,17 a
Rata2 17,55 18,20 19,01 19,24 19,17 18,77
Keterangan : (T1) rekomendasi setempat (90 kg N/ha), (T2) rekomendasi nasional (200 kg Urea+100
kg SP 36+100 kg KCl/ha), dan (T3) inovasi (112,5 kg N + 108 kg P2O5 + 120 kg K2O) +
PPC-ZPT + 300 kg/ha dolomit
Ubikayu varietas Gajah dan Mentega yang dibawa dari Jawa memiliki daya adaptasi
cukup baik pada lahan pasang surut tipe D di Desa Kolam Makmur dan Sidomulyo,
kecamatan Wanaraya, Barito Kuala Kalimantan Selatan. Varietas Gajah dan Mentega
memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas unggul lokal Kristal.
Produktivitas rata-rata ubikayu Gajah pada dua lokasi tersebut dapat mencapai 33,84 –
38,28 t/ha, sedang varietas Mentega dapat mencapai 30,17 - 35,16 t/ha, serta varietas
Kristal mencapai 24,74 – 27,93 t/ha. Produktivitas ubikayu varietas Gajah, Mentega berturut-
turut 36,95% dan 24,04% lebih tinggi dibandingkan varietas unggul lokal Kristal. Ubikayu
sebenarnya termasuk tanaman yang tanggap terhadap pemupukan. Hasil percobaan pada
dua lokasi menunjukkan bahwa peningkatan pemberian pupuk lebih dari 200 + 100 + 100 kg
NPK/ha sudah tidak meningkatkan hasil secara nyata. Peningkatan pemberian pupuk
disertai dengan penambahan dolomit juga tidak meningkatkan hasil secara nyata (Tabel 9
dan 10). Peningkatan pemberian pupuk pada takaran 250+200+240 kg NPK +300 kg
dolomit/ha pada lokasi Sidomulyo masih memberikan peningkatan hasil ubikayu sebesar
29,17% (Tabel 10).
Tabel 9. Data agronomis uji teknologi budidaya ubikayu di lokasi Kolam Makmur, Wanaraya,
Barito Kuala, 20 Oktober 2016
Perlakuan Hasil (t/ha) Kadar Pati (%)
Berat Trubus (t/ha)
Tinggi tan saat panen (cm)
Var. Gajah 33,84 a 15,09 a 3,59 x7600 263,10 a
Var. Mentega 35,16 a 15,87 a 2,11 243,48 a
Var. Kristal 24,74 b 15,73 a 2,11 244,40 a
T1 = Kontrol 24,55 b 17,36 a 2,34 224,58 a
T2 31,24 a 13,82 a 2,27 243,42 a
T3 33,67 a 14,37 a 2,41 268,87 a
T4 35,51 a 16,71 a 3,39 264,44 a
Keterangan : T1= kontrol (0 kg/ha); T2 NPK kg/ha = 200-100-100; T3 NPK+Dolomit kg/ha=250-200-240 +300; T4 NPK+Dolomit kg/ha = 300-200-300+500.
Sumber : Sudaryono dkk. 2016
Tabel 10 . Data agronomis uji teknologi budidaya ubikayu di lokasi Sidomulyo, Wanaraya,
Barito Kuala,, 20 Oktober 2016
Perlakuan Hasil (t/ha) Kadar Pati (%) Berat Tinggi tan saat panen
Trubus (t/ha)
(cm)
Var. Gajah 38,28 a 16,67 b 15,54 a 299,10 a
Var. Mentega 30,17 b 18,87 a 7,45 c 193,17 c
Var. Kristal 27,93 b 17,13 b 9,50 b 224,55 b
T1 = Kontrol 19,73 c 17,26 a 5,61 c 196,33 c
T2 29,85 b 18,66 a 9,06 b 230,11 b
T3 38,56 a 17,28 a 13,3 a 259,87 a
T4 40,38 a 17,04 a 15,26 a 269,44 a
Keterangan : T1= kontrol (0 kg/ha); T2 NPK kg/ha = 200-100-100; T3 NPK+Dolomit kg/ha=250-200-240 +300; T4 NPK+Dolomit kg/ha = 300-200-300+500.
Sumber : Sudaryono dkk. 2016
Dalam rangka mencapai hasil maksimal telah dilakukan penelitian penggunaan pupuk cair
(PPC) dan zat perangsang tumbuh (ZPT). Pemberian ZPT Auxin + Cytokinin dapat
meningkatkan hasil 31,11% di Kolan Makmur dan 4,37% di Sidomulyo dibandingkan
dengan tanpa pemberian ZPT (Tabel 11).
Tabel 11 . Data pengamatan saat panen ubikayu di lokasi Kolam Makmur dan Sidomulyo,
Wanaraya, Barito Kuala, 21 Oktober 2016
Perlakuan
Lokasi percobaan
Pupuk Kolam Makmur, Wanaraya, Kalsel Sidomulyo, Wanaraya, Kalsel
Hasil (t/ha)
Pati (%)
Trubus (t/ha)
Tt panen (cm)
Hasil (t/ha)
Pati (%)
Trubus (t/ha)
Tt panen (cm)
a. b. c.
25,98a 27,83a 22,68a
11,82a 14,89a 14,93a
11,42a 12,41a 11,05a
238,82a 255,73a 242,82a
25,40b 27,49ab 30,66a
15,74a 16,63a 17,59a
8,18b 9,24b 11,45a
231,33a 238,50a 249,83a
Hormon: 1.Tanpa 2.Gibrelin 3.Auxin +
Cytokinin 4.Auxin +
Cytokinin +Gibrelin
23,08a 23,24a 30,26a 25,40a
14.30a 15,23a 12,10a 13,88a
8,90b 10,35b 14,79a 12,46ab
224,18a 234,98a 273,33a 259,67a
27,94a 27,34a 29,16a 26,92a
16,65a 18,00a 15,51a 16,45a
9,97a 9,07a 10,32a 9,14a
235,78a 235,78a 248,67a 239,33a
Keterangan : Pupuk: (kg N + kg P2O5 + kg K2O/ha) : a. 90 + 54 + 90; b.112,5 + 72 + 120 + 300
Dolomit; c.135 + 108 + 150 + 300 Dolomit; Hormon: 1.Tanpa hormone; 2.Gibrelin;
3.Auxin + Cytokinin; 4.Auxin +Cytokinin +Gibrelin. Sumber : Sudaryono dkk. 2016
Aspek Sosek Usahatani ubikayu di Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan
Karakteristik Umum Petani ubikayu Desa Sidomulyo dan Desa Kolam Makmur,
Wanaraya, Barito Koala. Petani yang berusahatani ubikayu di Desa Sidomulyo dan Desa
Simpangjaya, masih tergolong umur produktif. Artinya petani yang masih produktif umurnya,
dalam melaksanakan kegiatan usahataninya dapat ditentukan kualitasnya. Rata-rata umur
petani di Desa Sidomulyo dan Desa Kolam Makmur, masing-masing 45 thn dan 43 tahun.
Tingkat pendidikan petani juga merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan
merupakan salah satu indikator dalam pengambilan keputusan dan kualitas kerjanya,
khususnya dalam mengadopsi inovasi teknologi pertanian dan tehnik budidaya
usahataninya. Dan yang pasti akan berpengaruh pada pola pikir petani. Rata-rata
pendidikan formal yang dicapai selama 8 tahun, atau antara Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Pertama. Petani Desa Sidomulyo lebih berpengalaman dalam berusahatani
ubikayu daripada Desa Kolam Makmur, masing-masing berkisar antara 11 thn dan 12,6 thn.
Dengan rata-rata luas garapan seluas 0,5 ha. Untuk melihat kisaran dan rata- rata umur,
pendidikan, pengalaman dan luas garapan ubikayu responden ubikayu di Desa Sidomulyo
dan Desa Kolam Makmur dapat terlihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Keragaan karakteristik petani ubikayu Desa Sidomulyo dan Simpangjaya, Barito Koala, 2015
No Uraian Lokasi
Desa Sidomulyo Desa Simpangjaya
Kisaran Rataan Kisaran Rataan
n = 30 n = 30
1 Umur petani (thn) 25 - 65 45 25 - 63 43
2 Pendidikan formal (thn) 6 - 12 7,8 6 - 12 7,7
3 Pengalaman (thn) 5 - 25 11 2 -21 12,6
4 Luas garapan ubikayu (ha) 0,25- 1.0 0,5 0,03 – 1 0,5
Analisis Usahatani ubikayu
Pada umumnya petani di Desa Sidomulyo dan Desa Simpangjaya memproduksi bibit
ubikayu sendiri dan membeli ke sesama petani, varietas yang banyak dipergunakan adalah
varietas Kristal. Menurut petani, varietas tersebut merupaka varietas lokal, yang produksinya
cukup tinggi, dengan daging umbi berwarna putih dan rasa enak.
Petani Desa Sidomulyo, pada umumnya mengusahakan ubikayu dengan cara yang
sederhana, dilakukan tanpa pemupukan. Biaya yang diperlukan hanya untuk penyediaan
tenaga kerja dengan toal biaya produksi sebesar Rp5.260.000/ha (Tabel 13). Namun
demikian, petani masih bisa menerima keuntungan sebesar Rp 6.990.000/ha. Sedangkan
petani Kolam Makmurmenggunakan 400 kg/ha Phonska dan Dolomit 400 kg/ha, total biaya
input dengan pembelian biibit ubikayu sebesar Rp2.120.000/ha. petani masih bisa menerima
keuntungan sebesar Rp 19.780.000/ha (Tabel 14).
Tabel 13 . Analisis usahatani ubikayu di tingkat petani Desa Sidomulyo, Wanaraya, Barito
Koala Uraian satuan Jumlah Harga Nilai
Satuan (Rp/ha)
Input :
Bibit stek 18,000 50 900,000
Herbisida liter 4 65,000 260,000
Total biaya input Rp/ha 1,160,000
Tenaga kerja :
Olah tanah 40 50,000 2,000,000
Buat guludan 20 50,000 1,000,000
Tanam 12 50,000 600,000
Penyiangan 10 50,000 500,000
Total biaya tenaga kerja Rp/ha 4,100,000
Total biaya Rp/ha 5,260,000
Hasil :
Total hasil kg 7,000
Harga rp/kg 1,750
Penerimaan rp/ha 12,250,000
Keuntungan rp/ha 6,990,000
Tabel 14. Analisis usahatani ubikayu di tingkat petani Desa Kolam Makmur, Wanaraya, Barito Koala Uraian satuan Jumlah Harga Nilai
Satuan (Rp/ha)
Input :
Bibit stek 16,000 50 800,000
Pupuk :
Phonska kg 400 2,500 1,000,000
Dolomit kg 400 800 320,000
Total biaya input Rp/ha 2,120,000
Tenaga kerja :
Olah tanah 40 50,000 2,000,000
Buat guludan 20 50,000 1,000,000
Tanam 12 50,000 600,000
Penyiangan 10 50,000 500,000
Total biaya tenaga kerja Rp/ha 4,100,000
Total biaya Rp/ha 6,220,000
Hasil :
Total hasil kg 13,000
Harga rp/kg 2,000
Penerimaan rp/ha 26,000,000
Keuntungan rp/ha 19,780,000
KESIMPULAN
Berdasarkan gambaran tersebut di atas dan potensi pertanian yang tersedia di
Indonesia maka dapat dirumuskan beberapa butir kesimpulan sebagai berikut :
1. Ubikayu memliki peluang dan peran yang besar dan strategis untuk mendukung
ketahanan pangan nasional di masa depan.
2. Pengembangan sistem produksi ubikayu terbuka sangat luas baik dari aspek luas
lahan maupun pasar.
3. Ketersediaan varietas unggul ubikayu cukup banyak.
4. Teknologi pendukung pengembangan ubikayu tersedia cukup.
5. Pengembangan agribisnis ubikayu akan menciptakan multiplier effect lini-lini
agribisnis yang sinergis dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Budidaya Ubikayu. Sumber: http://www.facebook.com/groups/asosiasipepayaindonesia/doc/240916099311393/.
Anonim 2013. Impor tepung singkong diproyeksi capai 1 juta ton; http://industri.kontan.co.id/news/impor-tepung-singkong-diproyeksi-capai-1-juta-ton
Anonim. 2016a. Strategi Budidaya Singkong Gajah Memaksimalkan Panenan Singkong Gajah Hingga 137 Ton Per Ha. http://www.kompasiana.com/tunasgaharu/strategi-budidaya-singkong-gajah-memaksimalkan-panenan-singkong-gajah-hingga-137-ton-per-ha_5529ae01f17e614d17d623be
Anonim. 2016b. Cara Jitu Budidaya Singkong Gajah. http://ayselalver.blogspot.co.id/2016/01/cara-jitu-budidaya-singkong-gajah.html
Anonim. 2016c . Singkong Gajah yang Kini Menjanjikan.
http://radarmadura.jawapos.com/read/2016/05/04/1234/singkong-gajah-yang-kini-
menjanjikan. Rabu, 04 Mei 2016 23:18.
Anonim. 2016d. LPER Panen Raya Singkong Gajah dengan UMKM Wonogiri.
http://batam.tribunnews.com/2015/09/22/lper-panen-raya-singkong-gajah-dengan-
umkm-wonogiri.
Balitkabi. 2016. Deskripsi Varietas Unggul aneka kacang dan umbi. Cetakan ke 8. Balai
Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Jl. Raya Kendalpayak Malang 65101.
Cahyana, D., Mawardi dan I. Khairullah. 2013. Pemetaan lahan rawa dengan metode digital
soil mapping. Laporan Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2013. Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
BPS. 1993-2005. Luas panen, produktivitas, dan produksi ubikayu di Indonesia. BPS
Jakarta.
Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. 1995. Luas penggunaan lahan
rawa pasang surut, lebak, polder dan rawa lainnya di tujuh propinsi. Dirjen Tanaman
Pangan dan Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta.
Maipah. 2015. Luar Biasa, Keuntungan Singkong Gajah Capai Rp 40 Juta Lebih.
http://kaltim.tribunnews.com/2015/03/12/luar-biasa-keuntungan-singkong-gajah-capai-
rp-40-juta-lebih. TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA.
Mejaya MJ, R.H Praptana, NA Subekti, M Agil, A.Mussadad, dan F Z Putri. 2015. Diskripsi
Varietas Unggul Tanaman Pangan. Puslitbangtan Bogor. 149 h.
Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahidin, Abdulrachman, H. Suharjo, dan IPG Widjaja
Adhi. 1992. Peta areal potensial untuk pengembangan pertanian lahan pasang surut,
rawa dan pantai. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor, Indonesia.
Hermanto, D. Sadikin W, dan E. Hikmat. 2009. Deskripsi Varietas Unggul Palawija.
Puslitbangtan Bogor330 h.
Ristono dan Erwien Rastana. 2015. Singkong Gajah Berjuang. Cetakan ke 3. 127 hal.
Februari 2015.
Sudaryono, Sutrisno, dan Nila Prasetyaswati. 2015. Perakitan teknologi PTT ubikayu lahan
pasang surut dan lahan kering Kalimantan Selatan. Laporan Teknis Penelitian TA
2015. Balitkabi
Sudaryono, Sutrisno, Sri Wahyuningsih, dan Nila Prasetyaswati. 2016. Teknologi produksi
ubikayu di lahan pasang surut Kalimantan Selatan. Laporan Teknis Penelitian TA
2016. Balitkabi
Suhendra . 2015. Ini yang Bikin RI Rajin Impor Singkong Tiap Tahun;
http://finance.detik.com/read/2015/06/09/143424/2937423/4/ini-yang-bikin-ri-rajin-
impor-singkong-tiap-tahun detikfinance
Suyamto dan Wargiono. 2009. Kebijakan pengembangan agribisnis ubikayu. Hal : 3-42.
Dalam : Wargiono dkk (Penyunting). Ubikayu. Inovasi Teknologi dan Kebijakan
Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Puslitbangtan.
Syahbuddin,H. et al. 2012. Kalender tanam rawa. Sistem Informasi Kalender Tanam terpadu
(Peta) Menurut Informasi Waktu Tanam Padi Terbaik (Pulau kalimantan). Laporan
Hasil Penelitian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Wargiono, J., Solihin, T Sundari, dan Kartika. 2009. Fisiologi dan Sejarah Penyebaran. Hal :
45-67. Dalam : Wargiono dkk (Penyunting). Ubikayu. Inovasi Teknologi dan Kebijakan
Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Puslitbangtan.
Yanto, Heriyanto. 2013. Budidaya Ubikayu. http://heryantos.blogspot.co.id/
2013/04/makalah-budidaya-ubi-kayu-manihot.html