teknik relaksasi nafas dalam pada pasien pasca operasi ... · pdf filemengharapkan masukan,...
TRANSCRIPT
i
Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien Pasca Operasi
Fraktur Cruris di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta
SKRIPSI
“Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna mencapai gelar sarjana keperawatan”
Oleh :
Yunuzul Demo Satriya
NIM S10.047
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
SIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
ii
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Yunuzul Demo Satriya
NIM : S10.047
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1) Skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar akademik (sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada Surakarta
maupun di perguruan tinggi lain.
2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan
Tim Penguji.
3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang
telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma
yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Surakarta, 24 Juni 2014
Yang membuat pernyataan,
(Yunuzul Demo Satriya)
S10.047
iv
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan proposal skripsi
dengan judul “Teknik Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien Pasca Operasi Fraktur
Cruris di RSUD Dr. Moewardi Surakarta”. Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti
banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu
pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada :
1. Ibu Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta.
2. Ibu Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep, selaku Kepala Program Studi S-1
Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan penguji yang telah
memberikan pengarahan.
3. Bapak Prof. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd, selaku Pembimbing I yang
telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan skripsi.
4. Ibu bc. Yeti Nurhayati, M.Kes , selaku pembimbing II yang juga telah
memberikan masukan dan arahan selama penyusunan skripsi.
5. Bapak Ns. Oktavianus, S.Kep, yang telah memberikan masukan dan
arahan dalam penyusunan skripsi.
6. Seluruh dosen dan staf akademik Program Studi S-1 Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta.
7. Direktur dan staf DIKLIT RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah
memberikan ijin tempat peneliti melakukan penelitian.
v
8. Perawat Bangsal Mawar II yang telah membantu peneliti dalam
penyusunan skripsi ini.
9. Seluruh informan yang telah berpartisipasi dan memberikan informasi
pada penelitian ini.
10. Orang tua tercinta, yaitu Bapak Jumali, Ibu Sulami, dan adik tersayang
Bima Yunalu Jauhari yang selalu memberikan dukungan, motivasi, doa
dan kasih sayangnya sepanjang waktu.
11. Teman-teman angkatan 2010 tersayang, yang selalu mendukung dan
membantu dalam proses pembuatan skripsi ini.
Semoga segala bantuan dan kebaikan, menjadi amal sholeh yang akan mendapat
balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Selanjutnya peneliti sangat
mengharapkan masukan, saran dan kritik demi perbaikan skripsi ini sehingga
dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan pelayanan keperawatan.
Surakarta, 24 Juni 2014
Peneliti
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. ii
SURAT PERNYATAAN................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x
ABSTRAK ..................................................................................................... xi
ABSTRACT ................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................ 7
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 7
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 8
1.5 Keaslian Penelitian .......................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 11
2.1 Konsep Fraktur .............................................................................. 11
2.2 Konsep Nyeri ................................................................................. 21
2.3 Relaksasi Nafas Dalam .................................................................. 31
2.4 Kerangka berfikir ........................................................................... 35
vii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN....................................................... 36
3.1 Tempat penelitian .......................................................................... 36
3.2 Waktu penelitian ............................................................................ 36
3.3 Bentuk dan strategi penelitian ....................................................... 36
3.4 Sumber data ................................................................................... 37
3.5 Teknik pengumpulan data ............................................................. 38
3.6 Teknik sampling ............................................................................ 40
3.7 Validasi data .................................................................................. 41
3.8 Analisis data .................................................................................. 43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 45
4.1 Deskripsi wilayah penelitian ......................................................... 45
4.2 Sajian data....................................................................................... 48
4.3 Temuan penelitian ......................................................................... 59
4.4 Pembahasan .................................................................................. 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 80
5.1 Kesimpulan ................................................................................... 80
5.2 Implikasi teori ............................................................................... 82
5.3 Implikasi praktik ............................................................................ 83
5.4 Saran .............................................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Tabel Halaman
1.1 Keaslian Penelitian 9
4.1 Karakteristik Pasien 47
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Judul Gambar Halaman
2.1 Fraktur cruris 1/3 Distal dan 1/3 Proximal 12
2.2 Klasifikasi Fraktur 15
2.3 Gambar Penatalaksanaa Fraktur 20
2.4 Skala analog visual 29
2.5 Numerical rating scale 29
2.6 Skala intensitas nyeri deskriptif 30
2.7 Kerangka Berfikir Penelitian 35
3.1 Model Analisis Interaktif 44
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Lampiran
Keterangan
1 Usul topik penelitian
2 Pengajuan Judul
3 Pengajuan ijin study pendahuluan
4 Pengajuan ijin penelitian
5 Jadwal Penelitian
6 Penjelasan Penelitian
7 Surat Pernyataan Bersedia Berpartisipasi Sebagai Responden
Penelitian
8 Pedoman Wawancara Pasien
9 Pedoman Wawancara Perawat
10 Data Demografi Partisipan
11 Catatan Lapangan
12 Lembar Pengkajian Nyeri
13 Lembar Observasi
14 Transkrip Wawancara Mendalam
15 Surat Permohonan Studi Pendahuluan
16 Surat Ijin Studi Pendahuluan
17 Surat Permohonan Ijin Penelitian
18 Surat Pengantar Penelitian
19 Surat Kelayakan Etik
20 SOP Teknik Relaksasi Nafas Dalam
21 Lembar Konsultasi Pembimbing
xi
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2014
Yunuzul Demo Satriya
Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Cruris di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Abstrak
Insiden fraktur di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga
menyebabkan pasien merasakan nyeri. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui teknik relaksasi nafas dalam untuk menurunkan intensitas nyeri pada
pasien pasca operasi fraktur cruris.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain case study.
Responden penelitian ini terdiri dari 4 responden pasien pasca operasi fraktur di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian berlangsung dari tangal 1 April- 15
Mei 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini ialah
wawancara mendalam dan observasi. Analisis data yang digunakan ialah analisis
interaktif.
Temuan hasil penelitian ini antara lain respon nyeri pasien pasca operasi
fraktur berbeda-beda mulai dari skala, kualitas dan durasi. Respon pasien terhadap
pemberian teknik relakasasi nafas dalam dapat menurunkan skala nyeri pasien
dari skala sedang menjadi ringan. Kendala pasien dalam melakukan teknik
relaksasi nafas dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi dan keadaan lingkungan
sekitar pasien. Simpulan dari penelitian ialah bahwa teknik relaksasi nafas dalam
dapat menurunkan skala nyeri yang dirasakan oleh pasien pasca operasi fraktur,
namun hanya sebagai terapi pendamping medis.
Kata Kunci : Teknik Relaksasi Nafas Dalam, Nyeri, Pasien Pasca Operasi Fraktur.
Daftar pustaka : 25 (2001-2013)
xii
BACHELOR DEGREE PROGRAM IN NURSING SCIENCE
KUSUMA HUSADA SCHOOL OF HEALTH OF SURAKARTA
2014
Yunuzul Demo Satriya
DEEP BREATHING RELAXATION TECHNIQUE OF THE
POSTOPERATIVE CLIENTS WITH FRACTURE OF THE LOWER LEG
AT DR. MOEWARDI LOCAL GENERAL HOSPITAL OF SURAKARTA
ABSTRACT
The incidence of fracture in Indonesia increases every year so that the
clients feel painful. The objective of this research is to investigate the deep
breathing relaxation technique to relief the pain intensity of the postoperative
clients with facture of the lower leg (fractura cruris).
This research used the qualitative method with the case study design. It
was conducted from April 1st to May 15
th 2014. The respondents of the research
consisted of four postoperative clients with fracture of the lower leg at Dr.
Moewardi Local General Hospital of Surakarta. The data of the research were
gathered through in-depth interview and observation. They were analyzed by
using the interactive model of analysis.
The findings of the research are as follows. The pain responses of the
postoperative clients with fracture of the lower leg are different in terms of scale,
quality, and duration. The clients’ response to the extension of deep breathing
relaxation technique can decrease the scales of their pain from moderate to light
ones. The constraints encountered by the clients to conduct the deep breathing
relaxation technique are influenced by their concentration level and their
surrounding condition. Thus, a conclusion is drawn that the deep breathing
relaxation technique can decrease the scales of pain felt by the postoperative
clients with fracture of the leg, but it only functions as complimentary therapy to
medical one.
Keywords: Deep breathing relaxation technique, pain, postoperative clients
with fracture of the lower leg.
References: 25 (2001-2013)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kecelakaan lalu lintas menewaskan hampir 1,3 juta jiwa di seluruh
dunia atau 3000 kematian setiap hari dan menyebabkan cedera sekitar 6 juta
orang setiap tahunnya (Depkes 2007 & WHO 2011). World Health
Organitation (WHO) mencatat pada tahun 2005 terdapat lebih dari tujuh juta
orang meninggal karena kecelakaan dan sekitar dua juta mengalami kecacatan
fisik. Kecelakaan di Indonesia berdasarkan laporan kepolisian menunjukan
peningkatan 6,72% dari 57.726 kejadian di tahun 2009 menjadi 61.606 insiden
di tahun 2010 atau berkisar 168 insiden setiap hari dan 10.349 meninggal
dunia atau 43,15% (WHO 2011).
Insiden kecelakaan merupakan salah satu dari masalah kesehatan dasar
selain gizi dan konsumsi, sanitasi lingkungan, penyakit, gigi dan mulut, serta
aspek moralitas dan perilaku di Indonesia (Depkes 2007). Kejadian fraktur di
Indonesia yang dilaporkan Depkes RI (2007) menunjukkan bahwa sekitar
delapan juta orang mengalami fraktur dengan jenis yang berbeda. Insiden
fraktur di Indonesia 5,5% dengan rentang setiap provinsi antara 2,2% sampai
9% (Depkes 2007). Fraktur ekstremitas bawah memiliki prevalensi sekitar
46,2% dari insiden kecelakaan. Hasil tim survey Depkes (2007) didapatkan
25% penderita mengalami kematian, 45% mengalami kecacatan fisik, 15%
2
mengalami stres psikologis dan bahkan depresi, serta 10% mengalami
kesembuhan dengan baik.
Hasil pra penelitian yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta pada tanggal 30 November 2013 didapatkan data bahwa
pada tahun 2011 penderita fraktur ekstremitas bawah terbanyak ialah fraktur
tibia fibula sebesar 53 kasus, sementara hasil pada bulan Oktober sampai
November 2013 terdapat peningkatan kejadian fraktur fibula tibia sebanyak
310 kasus.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan
yang disebabkan oleh cedera, trauma yang dapat menyebabkan fraktur dapat
berupa trauma langsung dan tidak langsung (Sjamsuhudajat dan Jong 2005).
Penanganan fraktur pada ekstremitas bawah dapat dilakukan secara
konservatif dan operasi sesuai tingkat keparahan fraktur (Smeltzer & Bare
2002). Operasi merupakan tindakan pengobatan infasif dengan membuka
bagian tubuh yang akan ditangani (Sjamsuhidajat dan Jong 2005). Prosedur
pembedahan yang dilakukan pada fraktur meliputi reduksi terbuka dengan
fiksasi interna (Open Reduction and Internal fixation/ ORIF) sasaran
pembedahan digunakan untuk memperbaiki fungsi dengan mengembalikan
gerakan, stabilitas, mengurangi nyeri dan disabilitas (Smeltzer & Bare 2002).
Ada banyak hal seorang individu dapat merasakan nyeri, salah satunya
ialah dengan dilakukannya suatu tindakan operasi, sehingga menimbulkan
adanya luka yang disengaja untuk menyembuhkan suatu penyakit yang
3
diderita oleh individu. Luka inilah yang nantinya akan menyebabkan individu
dapat merasakan nyeri (Tamsuri 2012).
Pembedahan dan anestesi dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi
pasien. Pembedahan dapat menyebabkan trauma bagi penderitanya, sedangkan
anestesi dapat menyebabkan kelainan yang dapat menimbulkan berbagai
keluhan gejala. Keluhan harus didiagnosis agar dasar patologinya dapat
diobati. Keluhan dan gejala yang sering dikemukakan adalah nyeri
(Sjamsuhidayat & Jong 2005).
Nyeri pasca operasi mungkin sekali disebabkan oleh luka operasi, tetapi
kemungkinan sebab lain harus dipertimbangkan. Pencegahan nyeri sebelum
operasi sebaiknya direncanakan agar penderita tidak terganggu oleh nyeri
setelah pembedahan. Cara pencegahannya tergantung pada penyebab dan
letak nyeri dan keadaan penderitannya (Sjamsuhidayat & Jong 2005).
Proses keperawatan selama periode pasca operatif diarahkan untuk
menstabilkan kembali keadaan fisiologi pasien, menghilangkan rasa nyeri dan
pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera
membantu pasien kembali pada fungsi yang optimal dengan cepat, aman, dan
senyaman mungkin. Nyeri setelah pembedahan normalnya dapat diramalkan
hanya terjadi dalam durasi yang terbatas, lebih singkat dari waktu yang
diperlukan untuk perbaikan alamiah jaringan-jaringan yang rusak (Smeltzer &
Bare 2002).
Perawat menghabiskan lebih banyak waktunya bersama pasien yang
mengalami nyeri dibandingkan tenaga profesional perawatan lainnya dan
4
perawat mempunyai kesempatan untuk membantu menghilangkan nyeri dan
efeknya yang membahayakan. Tanpa melihat sifat pola atau penyebab nyeri,
nyeri yang tidak diatasi secara adekuat akan menyebabkan ketidaknyamanan.
Selain meraakan ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri yang tidak reda
dapat mempengaruhi sistem pulmonari, kardiovaskular, gastrointestinal,
endokrin dan imunologi (Smeltze & Bare 2002).
Individu yang merasakan nyeri merasa tertekan atau menderita dan
mencari upaya untuk menghilangkan nyeri. Perawat menggunakan berbagai
intervensi untuk menghilangkan nyeri atau mengembalikan kenyamanan.
Perawat tidak dapat melihat atau merasakan nyeri yang klien rasakan
(Smeltzer & Bare 2002).
Tindakan untuk mengatasi nyeri dapat dibedakan dalam dua kelompok
utama, yaitu tindakan pengobatan (farmakologi) dan tindakan non
faramakologi (tanpa Pengobatan). Nyeri berdasarkan stimulasi yang diberikan
dapat dikelompokkan dalam stimulasi tingkat tinggi (pada otak) dan stimulasi
tingkat rendah (pada spinotalamikus). Stimulasi pada otak adalah tindakan
yang memungkinkan otak bekerja untuk mengurangi nyeri, sedangkan
stimulasi tingkat spinotalamikus adalah pemberian sejumlah rangsangan pada
tubuh untuk memengaruhi sensasi nyeri sebelum sampai di otak. Tindakan
rangsangan pada tingkat spinotalamikus sesuai dengan teori gerbang kendali
nyeri (Tamsuri 2012).
Penatalaksanaan non farmakologis terdiri dari berbagai tindakan
penanganan nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun perilaku kognitif.
5
Intervensi kognitif meliputi tindakan distraksi, teknik relaksasi, imajinasi
terbimbing, umpan balik biologis, hypnosis, dan sentuhan terapeutik, selain itu
stimulasi kulit dapat memberikan efek penurunan nyeri yang efektif. Tindakan
ini mengalihkan perhatian klien sehingga klien berfokus pada stimulasi taktil
dan mengabaikan sensasi nyeri, yang pada akhirnya dapat menurunkan
persepsi nyeri (Tamsuri 2012).
Penanganan yang sering digunakan untuk menurunkan nyeri post
operasi fraktur berupa penanganan farmakologi, biasanya untuk
menghilangkan nyeri digunakan analgesik yang tergolong menjadi dua
golongan yaitu analgesik non narkotik dan analgesik narkotik (Potter & Perry
2006).
Pengendalian nyeri secara farmakologi efektif untuk nyeri sedang dan
berat. Pemberian farmakologi ini tidak bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan klien sendiri untuk mengontrol nyerinya, maka di butuhkan
kombinasi farmakologi untuk mengontrl nyeri dengan non farmakologi agar
sensasi nyeri dapat berkurang serta masa pemulihan memanjang. Metode non
farmakologi tersebut bukan merupakan pengganti untuk obat-obatan, tindakan
tersebut diperlukan untuk mempersingkat frekuensi nyeri yang berlangsung
hanya berapa detik atau menit, terutama saat nyeri hebat yang berlangsung
selama berjam-jam atau berhari-hari. Mengkombinasikan metode non
farmakologi dengan obat-obatan mungkin cara yang paling efektif untuk
mengontrol nyeri. Pengendalian nyeri non farmakologi menjadi lebih murah,
sederhana, efektif dan tanpa efek yang merugikan (Potter & Perry 2006).
6
Penelitian yang dilakukan oleh Nurdin dkk (2013) menyebutkan bahwa
ada pengaruh teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien
pasca operasi fraktur yang ditandai dengan sebelum diberikan tindakan terapi
relaksasi yaitu nyeri ringan 1 orang, nyeri sedang 8 orang dan nyeri hebat
terkontrol 11 orang, sementara tingat nyeri pasca operasi setelah diberikan
teknik relaksasi menurun menjadi tidak nyeri 1 orang, nyeri ringan 9 orang
dan nyeri sedang 10 orang.
Serupa dengan penelitian di atas Carney (1983) menjelaskan bahwa
pelatihan relaksasi dapat dilakukan untuk jangka waktu yang terbatas dan
biasanya tidak memiliki efek samping. Carney mencatat penelitian yang
menunjukan bahwa 60%-70% pada klien dengan nyeri kepala yang disertai
ketegangan dapat mengurangi aktivitas nyeri sampai 50% dengan melakukan
relaksasi (Potter & Perry 2006).
Penelitian di atas didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Dewi
dkk (2009) yang menyebutkan bahwa pengukuran rata-rata tingkat nyeri
sebelum diberikan teknik relaksasi nafas dalam setelah di klasifikasi dari 10
responden, 4 orang (40%) mengalami nyeri ringan, dan 6 orang (60%) nyeri
sedang. Hasil pengukuran tingkat nyeri rata-rata setelah pemberian teknik
relaksasi nafas dalam dari 10 responden 5 orang (50%) mengalami nyeri
ringan, dan 5 orang lagi masih mengalami nyeri sedang. Bila dilihat dari
sskala nyeri masing-masing responden, semua responden (100%) mengalami
penurunan persepsi nyeri. Ada perbedaan hasil pengukuran skala nyeri
7
sebelum dan sesudah pemberian teknik relaksasi nafas dalam pada lansia
dengan arthritis rheumatoid.
Uraian di atas melandasi peneliti untuk melakukan penelitian tentang
teknik relaksasi nafas dalam pada pasien pasca operasi fraktur cruris.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana respons nyeri pasien yang mengalami pasca operasi fraktur
cruris?
2. Bagaimana respons pasien terhadap proses pemberian teknik relaksasi
nafas dalam?
3. Bagaimana kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam
untuk mengurangi intensitas nyeri?
4. Bagaimana kendala perawat dalam pemberian teknik relaksasi nafas
dalam?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui teknik relaksasi nafas
dalam untuk menurunkan intensitas nyeri pada pasien pasca operasi fraktur
cruris.
8
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengidentifikasi respon nyeri pasien yang mengalami pasca
operasi fraktur cruris.
2. Untuk menganalisis respons pasien yang telah mendapatkan teknik
relaksasi nafas dalam.
3. Untuk menganalisis kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi
nafas dalam untuk mengurangi intensitas nyeri.
4. Untuk menganalisis kendala perawat dalam pemberian teknik relaksasi
nafas dalam.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan (sumber informasi)
serta dasar pengetahuan bagi para mahasiswa keperawatan dan dapat
dijadikan sebagai suatu materi dalam menangani pasien dengan nyeri
pasca operasi.
1.4.2 Manfaat Bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bukti nyata akan efek
penggunaan terapi teknik relaksasi nafas dalam terhadap nyeri sehingga
dapat dijadikan sebagai suatu intervensi keperawatan untuk menurunkan
nyeri pada pasien pasca operasi
9
1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya
dan untuk menambah refrensi tentang penggunaan terapi teknik relaksasi
nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri.
1.5 Keaslian Penelitian
Berikut beberapa penelitian terkait dengan penelitian yang peneliti lakukan
yaitu :
Tabel 1.1 Keaslian penelitian
Nama
Peneliti
Judul Penelitian Metode yang
digunakan
Hasil penelitian
Petasik
CK,
Tangka, J,
Rottie, J
2013
Efektifitas teknik
relaksasi nafas
dalam dan guided
imagery terhadap
penurunan nyeri
pada pasien post
operasi section
caesaria di irina d
bulu RSUO Prof.
Dr. R. D. Kandou
Manado
Metode
penelitian yang
digunakan ialah
kuantitatif,
dengan metode
analitik quasi
eksperimental,
desain penelitian
menggunakan
pre-post test
tanpa kelompok
kontrol.
Hasil dari penelitian
ini menjelaskan
bahwa teknik
relaksasi nafas dalam
dan guided imagery
terbukti efektif dalam
menurunkan
intensitas nyeri pada
pasien post operasi
sectio caesare.
Dewi, D,
Setyoadi,
Widastra,
MI 2009
Pengaruh teknik
relaksasi nafas
dalam terhadap
penurunan persepsi
nyeri pada lansia
dengan arthritis
rheumatoid
Penelitian ini
menggunakan
metodologi jenis
Kuantitatif,
quasi
exsperiment
dengan
rancangan
rangkaian waktu
(time series
design)
Hasil dari penelitian
ini menjelaskan
bahwa teknik
relaksasi nafas dalam
dapat menurunkan
skala nyeri pada
lansia yang menderita
arthritis rheumatoid.
10
Wirya I
dan Sari
MD 2013
Pengaruh
pemberian masase
punggung dan
teknik relaksasi
nafas dalam
terhadap
penurunan
intensitas nyeri
pada pasien post
appendiktomi di
zaal C RS HKBP
Balige tahun 2011.
Penelitian ini
menggunakan
metode
kuantitatif
dengan jenis
Quasi
eksperimen
dengan desain
pre-pos tes.
Hasil penelitian ini
adalah bahwa masase
punggung dan teknik
relaksasi nafas dalam
dapat menurunkan
intensitas skala nyeri
pada pasien post
appendiktomi secara
signifikan.
11
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep fraktur
2.1.1 Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai sterness yang lebih
besar dari yang dapat diabsorbsinya. Stres dapat berupa pukulan langsung,
gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot
ekstrem (smeltzer & Bare 2002). Helmi (2011) menjelaskan bahwa fraktur
merupakan istilah dari hilangnya kontiunitas tulang, tulang rawan, baik
bersifat total maupun sebagian.
Fraktur ekstemitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan fraktur
dapat berupa trauma langsung, misalnya yang sering terjadi benturan pada
ekstremitas bawah yang menyebabkan fraktur pada tibia (Sjamsuhidayat &
Jong 2005).
Sedangkan cruris adalah tungkai bawah yang terdiri dari dua tulang
panjang yaitu tulang tibia dan fibula. Lalu 1/3 distal adalah letak suatu
patahan terjadi pada 1/3 bawah dari tungkai dan 1/3 proximal adalah letak
suatu patahan terjadi pada 1/3 atas dari tungkai. Jadi pengertian dari fraktur
cruris adalah patah tulang yang terjadi pada tulang tibia dan fibula
(Sjamsuhidayat & Jong 2005).
12
(a) (b)
Gambar 2.1 (a) Fraktur cruris 1/3 distal, (b) Fraktur cruris 1/3
proximal
Sumber : Sjamjuhidajat, R & Jong, DW 2005, Buku ajar ilmu bedah, Edisi 2,
EGC, Jakarta
2.1.2 Etiologi
Fraktur dapat disebabkan oleh kekuatan langsung atau tidak
langsung. Kekuatan langsung (direct force), diantaranya disebabkan oleh
trauma baik kecelakaan lalu lintas ataupun terjatuh dari tempat ketinggian,
serta kekuatan tidak langsung (indirect force) contohnya adalah penyakit
metabolik seperti osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur patologis
dan adanya keletihan (fatique) pada tulang akibat aktivitas yang berlebihan
(Waher, Salmond & Pellino 2002).
Sedangkan menurut Smeltze & Bare (2002), fraktur dapat disebabkan oleh
beberapa hal yaitu:
13
1) Infeksi
2) Pukulan langsung
3) Gerakan punter mendadak
4) Kontraksi otot ekstrem
5) Gaya meremuk
2.1.3 Manifestasi Klinis
Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan, manifestasi klinis fraktur
adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas,
krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan secara
rinci sebagai berikut:
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran
fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung
pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
14
3) Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5
cm (1 sampai 2 inci).
4) Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
2.1.4 Jenis Fraktur
Berdasarkan hubungan dengan dunia luar
1. Fraktur Tertutup (simple/close fracture)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit,
tetapi terjadi pergeseran tulang didalamnya (Smeltzer & Bare 2002)
2. Fraktur Terbuka (complicated/open fracture)
Fraktur terbuka merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau
membran mukosa sampai ke patahan tulang. Klasifikasi fraktur terbuka
menurut Smeltzer & Barre (2002) adalah :
(1) Grade I : dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya,
kerusakan jaringan lunak minimal, biasanya tipe fraktur simpel
transverse dan fraktur obliq pendek.
15
(2) Grade II : luka lebih dari 1 cm panjangnya, tanpa kerusakan
jaringan lunak yang ekstensif, fraktur komunitif sedang dan ada
kontaminasi.
(3) Grade III : yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan
jaringan lunak yang ekstensif, kerusakan meliputi otot, kulit dan
struktur neurovascular.
(4) Grade III ini dibagi lagi kedalam : III A : fraktur grade III, tapi
tidak membutuhkan kulit untuk penutup lukanya. III B : fraktur
grade III, hilangnya jaringan lunak, sehingga tampak jaringan
tulang, dan membutuhkan kulit untuk penutup (skin graft). III C :
fraktur grade III, dengan kerusakan arteri yang harus diperbaiki,
dan beresiko untuk dilakukannya amputasi.
Gambar 2.2 Klasifikasi fraktur
Sumber : Helmi, ZN 2012, Buku saku kedaruratan dibidang bedah
ortopedi, Salemba Medika, Jakarta
16
2.1.5 Proses Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur bervariasi sesuai dengan ukuran tulang
dan umur pasien. Faktor lainnya adalah tingkat kesehatan pasien secara
keseluruhan, atau kebutuhan nutrisi yang cukup. Tahapan penyembuhan
tulang antara lain: inflamasi, proliferasi sel, kalsifikasi, osifikasi, dan
remodeling menjadi tulang dewasa (Smeltzer & Bare 2002).
1) Fase Inflamasi, yaitu terjadi respons tubuh terhadap cedera yang
ditandai oleh adanya perdarahan dan pembentukan hematoma pada
tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami divitalisasi
karena terputusnya aliran darah, lalu terjadi pembengkakan dan nyeri,
tahap inflamasi berlangsung beberapa hari.
2) Fase Proliferasi, pada fase ini hematoma akan mengalami organisasi
dengan membentuk benang-benang fibrin, membentuk revaskularisasi
dan invasi fibroblast dan osteoblast. Kemudian menghasilkan kolagen
dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang,
terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid) berlangsung
setelah hari ke lima.
3) Fase Pembentukan Kalus, Pertumbuhan jaringan berlanjut dan
lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah
terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan
fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Waktu yang dibutuhkan
agar fragmen tulang tergabung adalah 3-4 minggu.
17
4) Fase penulangan kalus/Ossifikasi, adalah pembentukan kalus mulai
mengalami penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang melalui proses
penulangan endokondral. Mineral terus menerus ditimbun sampai
tulang benar-benar bersatu. Pada patah tulang panjang orang dewasa
normal,penulangan tersebut memerlukan waktu 3-4 bulan.
5) Fase Remodeling/konsolidasi, merupakan tahap akhir perbaikan patah
tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru
ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu
berbulan bulan sampai bertahun-tahun.
2.1.6 Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur
Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan bahwa banyak faktor yang
dapat mempengaruhi penyembuhan fraktur atau penghambat dalam proses
penyembuhan fraktur, yaitu :
1) Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur, yaitu reduksi fragmen
tulang, agar benar – benar akurat dan dipertahankan dengan sempurna
agar penyembuhan benar – benar terjadi. Aliran darah memadai, nutrisi
yang baik, latihan pembebanan berat untuk tulang panjang, hormon-
hormon pertumbuhan : tiroid kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.
2) Faktor yang menghambat penyembuhan fraktur, yaitu kehilangan
tulang, imobilisasi tidak memadai, adanya rongga atau jaringan diantara
fragmen tulang, infeksi, keganasan lokal, penyakit metabolik, nekrosis
avaskuler, fraktur intraartikuler, usia (lansia sembuh lebih lama), dan
pengobatan kortikosteroid menghambat kecepatan perbaikan.
18
2.1.7 Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur dibagi menjadi komplikasi awal dan komplikasi
lanjut. Komplikasi lanjut biasanya terjadi pada pasien yang telah dilakukan
pembedahan (Smeltzer & Bare 2002).
1) Komplikasi awal atau komplikasi dini
Komplikasi awal terjadi segera setelah kejadian fraktur antara lain :
syok hipovolemik, kompartemen sindrom, emboli lemak yang dapat
mengakibatkan kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak
ditangani segera.
2) Komplikasi lanjut
Komplikasi lanjut terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah
kejadian fraktur dapat berupa :
(1) Komplikasi pada sendi : kekakuan sendi yang menetap, penyakit
degenerative sendi pasca trauma.
(2) Komplikasi pada tulang : penyembuhan fraktur yang tidak normal
(delayed union, mal union, non union), osteomielitis,
osteoporosis,refraktur.
(3) komplikasi pada otot : atrofi otot, ruptur tendon lanjut.
(4) komplikasi pada syaraf : tardy nerve palsy yaitu saraf menebal
karena adanya fibrosis intraneural.
19
2.1.8 Penatalaksanaan Fraktur
2.1.8.1 Pembedahan
Penanganan fraktur pada ekstremitas bawah dapat dilakukan secara
konservatif dan operasi sesuai dengan tingkat keparahan fraktur dan sikap
mental pasien (Smeltzer & Bare 2002). Operasi adalah tindakan
pengobatan yang menggunakan cara invasive dengan membuka atau
menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani (Sjamsuhidayat & Jong
2005). Smeltzer & bare (2002) menjelaskan prosedur pembedahan yang
sering dilakukan pada pasien fraktur ekstremitas bawah meliputi :
1) Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (open reduction and internal
fixation/ORIF). Fiksasi internal dengan pembedahan terbuka akan
mengimmobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan untuk
memasukkan paku, sekrup atau pin kedalam tempat fraktur untuk
memfiksasi bagian tulang yang fraktur secara bersamaan.
2) Fiksasi eksterna, digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan
kerusakan jaringan lunak. Alat ini dapat memberikan dukungan yang
stabil untuk fraktur comminuted (hancur & remuk) sementara jaringan
lunak yang hancur dapat ditangani dengan aktif.
3) Graft Tulang yaitu penggantian jaringan tulang untuk stabilitas sendi,
mengisi defek atau perangsangan untuk penyembuhan. Tipe graft
yang digunakan tergantung pada lokasi fraktur, kondisi tulang dan
jumlah tulang yang hilang karena injuri. Graft tulang mungkin dari
20
tulang pasien sendiri (autograft) atau tulang dari tissue bank
(allograft).
(a) (b) (c)
Gambar 2.3 (a) fiksasi internal, (b) fiksasi eksternal, (c) graft tulang
Sumber : Smeltzer, SC & Barre, BG 2002, Buku ajar keperawatan medikal bedah
bruner & suddart, Edisi 2, Vol 3, EGC, Jakarta.
2.1.8.2 Perawatan Pasien Pasca Operasi Fraktur dengan ORIF
Asuhan keperawatan pasien paska operasi fraktur ekstremitas
bawah dengan ORIF mencakup beberapa observasi dan intervensi
meliputi: monitor neurovascular setiap 1-2 jam, monitor tanda vital selama
4 jam, kemudian setiap 4 jam sekali selama 1-3 hari dan seterusnya.
Monitor hematokrit dan hemoglobin. Observasi karakteristik dan cairan
yang keluar, laporkan pengeluaran cairan dari 100-150 mL/hr setelah 4
jam pertama. Rubah posisi klien setiap 2 jam dan sediakan trapeze gantung
yang dapat digunakan pasien untuk melakukan perubahan posisi. Letakkan
21
bantal kecil di antara kaki klien untuk memelihara kesejajaran tulang.
Anjurkan dan bantu pasien melakukan teknik nafas dalam. Memberikan
pengobatan seperti analgesik obat relaksasi otot, antikoagulan dan
antibiotic. Anjurkan weight bearing yang sesuai dengan kondisi pasien dan
melakukan mobilisasi dini (Reeves et al 2001).
2.2 Konsep Nyeri
2.2.1 Definisi Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. Nyeri
adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan
(Smeltzer & Bare 2002). Tamsuri (2012) menjelaskan nyeri sebagai suatu
keadaan yang memengaruhi seseorang, dan eksistensinya diketahui bila
seseorang pernah mengalaminya.
2.2.2 Fisiologi Nyeri
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi dan perilaku. Proses
fisiologi terkait nyeri dapat disebut nosisepsi. Potter & Perry (2006)
menjelaskan proses tersebut sebagai berikut :
1. Resepsi
Semua kerusakan seluler yang disebabkan oleh stimulus termal,
mekanik, kimiawi atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan
substansi yang menghasilkan nyeri. Stimulus tersebut kemudian
memicu pelepasan mediator biokimia (misalnya prostaglandin,
22
bradikinin, histamin, substansi P) yang mensensitisasi nosiseptor.
Nosiseptor berfungsi untuk memulai transmisi neural yang dikaitkan
dengan nyeri.
2. Transmisi
Fase transmisi nyeri terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama nyeri
merambat dari bagian serabut saraf perifer ke medulla spinalis. Bagian
kedua adalah transmisi nyeri dari medulla spinalis menuju batang otak
dan thalamus melalui jaras spinotalamikus. Bagian ketiga, sinyal
tersebut diteruskan ke korteks sensori somatik tempat nyeri
dipersepsikan. Impuls yang ditransmisikan tersebut mengaktifkan
respon otonomi.
3. Persepsi
Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Persepsi
akan menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga
individu dapat bereaksi.
4. Reaksi
Fase ini dapat disebut juga “sistem desenden”. Reaksi terhadap nyeri
merupakan respon fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah
mempersepsikan nyeri. apabila nyeri berlangsung terus menerus, berat
atau dalam dan secara taktil melibatkan organ fiseral, sistem saraf
parasimpatis menghasilkan suatu aksi. Respon fisiologis terhadap nyeri
dapat sangat membahayakan individu, pada kasus traumatik berat, yang
menyebabkan individu mengalami syok.
23
2.2.3 Klasifikasi Nyeri
2.2.3.1 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Awitan
Tamsuri (2012) menjelaskna bahwa nyeri berdasarkan waktu
kejadian dapat dikelompokan sebagai nyeri akut dan kronis.
1. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu atau durasi 1
detik sampai dengan kurang dari 6 bulan. Nyeri akut biasanya
menghilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah
kerusakan jaringan menyembuh.
2. Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari 6
bulan. Nyeri kronis umumnya timbul tidak teratur, intermitten, atau
bahkan persisten. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan
fisik bagi penderitanya.
2.2.3.2 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi
Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam
jenis, yaitu nyeri superfisial, nyeri somatik dalam, nyeri viseral, nyeri alih,
nyeri sebar, dan nyeri bayangan (fantom) (Tamsuri 2012).
1. Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi
pada otot tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri
bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya perenggangan dan
iskemia.
24
2. Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ
interna.
3. Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari sensasi
asal ke jaringan sekitar.
4. Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan klien yang
mengalami amputasi.
5. Nyeri alih (reffered pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya
nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri
pada beberapa tempat dan lokasi.
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Tamsuri (2012) menyebutkan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi persepsi tentang nyeri pada seorang individu meliputi:
1. Usia
Usia merupakan variable yang penting yang mempengaruhi
nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan
perkembangan yang ditemmukan diantara kelompok usia ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri.
2. Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna
dalam berespon terhadap nyeri. Toleransi nyeri sejak lama menjadi
subjek penelitian yang melibatkan pria dan wanita. Akan tetapi,
toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan
25
merupakan hal yang unik pada setiap individu, tanpa memperhatikan
jenis kelamin.
3. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi gaya individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa
yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana
bereaksi terhadap nyeri. Misalnya, apabila seorang perawat yakin
bahwa menangis dan merintih mengindikasikan suatu ketidak
mampuan untuk mentolerasnsi nyeri, akibatnya pemberian terapi
mungkin tidak cocok untuk klien berkebangsaan meksiko/amerika.
Seorang klien berkebangsaan meksiko/amerika yang menangis keras
tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang
berat dan mengharapkan perawat melakukan intervensi.
4. Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. hal
ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu
tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang
berbeda-beda, apabila nyeri tersebut member kesan ancaman, suatu
kehilangan, hukuman dan tantangan.
5. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi persepsi nyeri. perhatian yang meningkat
26
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeriyang
menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep yang perawat
tetapkan diberbagai terapi untuk menghilangkan nyeri seperti
relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imagery), dan masase.
Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus
yang lain, maka perawat bisa menempatkan nyeri pada kesadaran
yang perifer.
6. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks.
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Klien yang mengalami
cidera atau mengalami penyakit kritis, seringkali mengalami kesulitan
mengontrol lingkungan dan perawatan diri dapat menimbulkan tingkat
ansietas yang tinggi.
7. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan
menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap
individu yang menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila
keletihan disertai dengan kesulitan tidur, maka persepsi nyeri bahakan
dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri sering kali lebih berkurang setelah
27
individu mengalami suatu periode tidur yang lelap dibandingkan pada
akhir hari yang melelahkan.
8. Pengalaman sebelumnya
Setiapa individu belajar dari pengalaman nyeri. pengelaman
nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan
menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan
datang.apabila individu sejak lama akan mengalami serangkaian
episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat,
maka ansietas atau rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila
individu mengalami nyeri, dengan jenis sama yang berulang ulang,
tetapi kemudian nyeri tersebut dengan berhasil dihilangkan, akan lebih
mudah bagi individu tersebut untuk mengiterpretasikan sensasi nyeri.
akibatnya, klien akan lebih siap. Untuk melakukan tindakan-tidakan
yang diperlukan untuk mengilangkan nyeri.
9. Gaya koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang
membuat anda merasa kesepian. Apabila klien mengalami nyeri di
keadaan keperawatan kesehatan, seperti dirumah sakit, klien merasa
tidak berdaya dengan rasa sepi itu. Hal yang sering terjadi adalah klien
merasa kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau kehilangan
control terhadap hasil akhir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dengan demikian, gaya koping mempengaruhi kemampuan individu
tersebut untuk mengatasi nyeri.
28
10. Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakana mempengaruhi respon nyeri ialah
kehadiaran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka
terhadap klien. Individu dari kelompok sosiobudaya yang berbeda
memiliki harapan yang berbeda tentang cara mereka menumpahkan
keluhan mengenai nyeri. individu yang mengalami nyeri seringkali
bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk
memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri
tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai klien akan
meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga
atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin
tertekan.
2.2.5 Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang
dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual, dan kemungingkanan nyeri dalam intensitas yang sama
dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri
dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan
respon fisiologi tubuh terhadap nyeri itu sendiri namun, pengukuran
dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang
nyeri itu sendiri (Tamsuri 2012).
29
Pengkajian karakteristik umum nyeri membantu perawat mengetahui pola
nyeri dan tipe terapi yang digunakan untuk menangani nyeri. Karakteristik
nyeri meliputi awitan dan durasi, lokasi nyeri, intensitas nyeri, kualitas dan
tindakan yang memperberat atau memperingan nyeri (Potter and Perry
2006). Smletzer dan Barre (2002) menjelaskan bahwa ada banyak
instrument pengukuran nyeri diantaranya yang dikemukakan oleh Agency
for Health Care Policy and Research (AHCPR) : (1) skala analog visual,
(2) skala numerical rating scale dan, (3) skala intensitas deskriptif, dapat
dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2.4
Skala analog visual
Gambar 2.5
Numerical rating scale
30
Gambar 2.6
Skala intensitas nyeri deskriptif
Sumber: Smeltzer, SC & Barre, BG 2002, Buku ajar keperawatan medikal
bedah bruner & suddart, Edisi 2, Vol 1, Hal 218, EGC, Jakarta.
2.2.6 Nyeri Pasca Operasi
Tindakan pembedahan adalah suatu tindakan yang dapat
mengancam integritas seseoramg, baik bio-psiko-sosial maupun spiritual,
yang bersifat potensial ataupun aktual. Setiap tindakan pembedahan dapat
menimbulkan respon ketidaknyamanan berupa rasa nyeri. Nyeri adalah
suatu keadaaan subjektif dimana seseorang memperlihatkan
ketidaknyamann secara verbal maupun non verbal (Engram dalam Solehati
2008).
Nyeri pasca operasi akan meningkatkan stres pasca operasi dan
memiliki pengaruh negative pada penyembuhan nyeri. Kontrol nyeri
sangat penting sesudah pembedahan, nyeri yang dibebaskan dapat
mengurangi kecemasan, bernafas lebih mudah dan dalam, dapat
mentoleransi mobilisasi yang cepat. Pengkajian nyeri dan kesesuaian
analgesik harus digunakan untuk memastikan bahwa nyeri pasien pasca
operasi dapat dibebaskan (Torrance dan Serginson dalam Farida 2010).
31
2.3 Relaksasi
2.3.1 Pengertian Relaksasi
Relaksasi adalah teknik untuk mengurangi ketegangan nyeri dengan
merelaksasikan otot. Beberapa penelitin menyatakan bahwa teknik relaksasi
efektif dalam menurunkan skala nyeri pasca operasi (Tamsuri 2012).
Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan
dan stress (Potter & Perry 2006).
2.3.2 Jenis Relaksasi
Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan beberapa jenis relaksasi, antara lain
yaitu :
1. Relaksasi nafas dalam
2. Gambaran dalam fikiran (Imagery)
3. Regangan
4. Senaman
5. Progressive muscular relaxation
6. Bertafakur
7. Yoga
2.3.3 Relaksasi Nafas Dalam
2.3.3.1 Pengertian Relaksasi Nafas Dalam
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien atau
pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan
inspirasi secara maksimal) (Smeltzer & Bare 2002).
32
2.3.3.2 Tujuan Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan relaksasi
pernafasan adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara
pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk,
mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan
intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.
2.3.3.3 Prosedur Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Tambunan (2009) dan Potter & Perry (2006) menjelaskan langkah
teknik relaksasi nafas dalam yaitu :
1) Atur pasien pada posisi yang nyaman
2) Minta pasien untuk menempatkan tangannya ke bagian dada dan perut
3) Minta pasien untuk menarik nafas melalui hidung secara pelan, dalam
dan merasakan kembang-kempisnya perut
4) Minta pasien untuk menahan nafas selama beberapa detik kemudian
keluarkan nafas secara perlahan melalui mulut
5) Beritahukan pasien bahwa pada saat mengeluarkan nafas, mulut pada
posisi mecucu (pulsed lip)
6) Minta pasien untuk mengeluarkan nafas sampai perut mengempis
7) Lakukan latihan nafas dalam hingga 2-4 kali.
Supaya relaksasi dapat dilakukan dengan efektif, maka diperlukan
partisipasi individu dan kerja sama. Teknik relaksasi diajarkan hanya saat
klien sedang tidak merasakan rasa tidak nyaman yang akut hal ini
33
dikarenakan ketidakmampuan berkonsentrasi membuat latihan menjadi
tidak efektif (Potter & Perry 2006).
2.3.3.4 Manfaat Relaksasi Nafas Dalam
Teknik relaksasi nafas dalam dapat memberikan berbagai manfaat.
Menurut Potter & Perry (2006) menjelaskan efek relaksasi nafas dalam
antara lain terjadinya penurunan nadi, penurunan ketegangan otot,
penurunan kecepatan metabolisme, peningkatan kesadaran global,
perasaan damai dan sejahtera dan periode kewaspadaan yang santai.
Keuntungan teknik relaksasi nafas dalam antara lain dapat
dilakukan setiap saat, kapan saja dan dimana saja, caranya sangat mudah
dan dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien tanpa suatu media serta
merileksasikan otot-otot yang tegang. Sedangkan kerugian relaksasi nafas
dalam antara lain tidak dapat dilakukan pada pasien yang menderita
penyakit jantung dan pernafasan (Smeltzer & Barre 2002).
2.3.3.5 Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Intensitas
Nyeri.
Teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan
intensitas nyeri melalui tiga mekanisme yaitu :
1. Dengan meralaksasikan otot skelet yang mengalami spasme yang
disebabkan insisi (trauma) jaringan saat pembedahan.
2. Relaksasi otot skelet akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang
mengalami trauma sehingga mempercepat proses penyembuhan dan
menurunkan (menghilangkan) sensasi nyeri karena nyeri post bedah
34
merupakan nyeri yang disebabkan karena trauma jaringan oleh karena
itu jika trauma (insisi) sembuh maka nyeri juga akan hilang.
3. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh
untuk melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin
(Smeltzer & Barre 2002).
35
2.4 Kerangka Berfikir
Gambar 2.4 Kerangka Berfikir Penelitian
Rumah sakit
Dr. Moewardi
Pemberian
teknik relaksasi
nafas dalam
Pasien farktur
cruris
Pasca operasi
Farktur cruris
Nyeri Perubahan
intensitas nyeri
Instrument
pengukuran
nyeri:
numerical
rating scale
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta,
Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta dikarenakan rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan daerah
Surakarta.
3.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Provinsi
Jawa Tengah dari bulan November 2013 sampai dengan Juni 2014.
3.3 Bentuk dan Strategi Penelitian
Peneliti ini menggunakan penelitian kualitatif dengan strategi atau
desain “Case Study”. Case study merupakan strategi penelitian di mana di
dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa,
aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu
dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan
menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang
telah ditentukan (Creswell 2010). Responden pada penelitian ini pasien pasca
operasi fraktur cruris yang akan diberikan intervensi teknik relaksasi nafas
dalam diharapkan dengan teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan
intensitas nyeri pada informan yaitu pasien pasca operasi fraktur cruris. Tahap
37
awal yang peneliti lakuakan ialah mengidentifikasi kriteria informan sesuai
keinginan peneliti. Setelah itu peneliti memulai menjalin hubungan saling
percaya dengan calon informan dan keluarga informan serta menjelaskan
maksud dan tujuan proses penelitian yang akan dilakukan. Apabila calon
informan merasa setuju maka peneliti akan memberikan lembar persetujuan
(informed consent). Selanjutnya, setelah informan setuju secara sukarela untuk
mengikuti penelitian ini barulah peneliti memulai tahap awal membina
hubungan dengan informan, maka langkah selanjutnya peneliti memulai
wawancara dengan informan.
3.4 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari:
1) Informan
Sumber data yang berasal dari narasumber atau informan pada
penelitian kualitatif memiliki peranan yang sangat penting sebagai sumber
informasi. Informan yang digunakan pada penelitian ini ialah pasien
fraktur cruris yang sudah menjalani operasi, perawat yang memberikan
terapi relaksasi nafas dalam dan perawat yang bertugas di rumah sakit.
2) Tempat dan peristiwa
Penelitian ini dilakukan di ruang Mawar II RSUD Dr. Moerwardi
Surakarta dengan mengobservasi perubahan tingkat nyeri pasien fraktur
cruris yang diberikan terapi relaksasi nafas dalam. Teknik observasi yang
digunakan pada penelitian ini ialah untuk melihat respon nyeri pasien
38
pasca operasi cruris, respon pasien terhadap pemberian teknik relaksasi
nafas dalam, kendala pasien dalam melakukan teknik relaksasi nafas
dalam dan kendala perawat dalam memberikan teknik relaksasi nafas
dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris .
3) Dokumen
Sumber data berupa dokumen atau arsip biasanya merupakan bahan
tertulis yang berhubungan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu.
Sumber yang telah disebutkan kebanyakan merupakan rekaman tertulis,
namun juga bisa berupa gambar atau benda peninggalan (Sutopo 2006).
Sesuai dengan penjelasan diatas, penelitian ini menggunakan dokumen
yang berupa buku, jurnal penelitian dan rekam medis dari rumah sakit.
3.5 Teknik pengumpulan data
1. Wawancara mendalam
Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah
berupa manusia yang dalam posisi sebagai narasumber atau informan.
Untuk mengumpulkan informasi dari sumber data ini diperlukan teknik
wawancara, yang dalam penelitian kualitatif khususnya dilakukan dalam
bentuk yang disebut wawancara mendalam (in-depth interviewing).
Wawancara akan dihentikan ketika semua jawaban dari partisipan jenuh
(Sutopo 2006).
39
Selama penelitian peneliti melakukan wawancara kepada pasien
pasca operasi fraktur cruris dan perawat yang memberikan teknik relaksasi
nafas dalam.
a) Pasien pasca operasi fraktur cruris
Pengumpulan informasi menggunakan teknik wawancara mendalam
(in-depth interviewing) dengan pernyataan yang bersifat terbuka.
Peneliti menggali informasi tentang kualitas nyeri, skala nyeri,
durasi nyeri, intensitas nyeri setelah diberikan teknik relaksasi,
kendala pasien dalam melakukan teknik relaksasi.
b) Perawat
Pengumpulam informasi menggunakan teknik wawancara mendalam
(in-depth interviewing) dengan petanyaan yang bersifat terbuka.
Peneliti menggali informasi tentang cara perawat melakukan teknik
relaksasi, kendala perawat dalam memberikan teknik relaksasi nafas
dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris.
2. Observasi
Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data
yang berupa perisiwa, aktivitas, perilaku, tempat atau lokasi, dan benda,
serta rekaman gambar. Observasi dapat dilakukan secara langsung ataupun
tidak langsung (Sutopo 2006). Alasan peneliti melakukan observasi adalah
untuk menyajikan gambaran realistic perilaku atau kejadian, untuk
menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia dan
untuk evaluasi melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu serta
40
melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut (Sumantri 2011).
Observasi pada penelitian ini dilakukan langsung untuk mengamati hasil
perlakuan teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien fraktur cruris yang
telah menjalani operasi. Hal yang perlu di amati ialah ekspresi wajah
pasien sebelum dan setelah diberikan teknik relaksasi nafas dalam dan cara
pasien melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Observasi dilakukan setiap
hari.
3. Analisis Dokumen
Studi dokumen adalah teknik pengumpulan data dengan
mempelajari catatan mengenai suatu data (Fathoni 2006). Dokumen
tertulis merupakan sumber data yang memiliki posisi penting dalam
penelitian kualitatif (Sutopo 2006). Sumber data dan dokumen pada
penelitian ini diperoleh dari buku dan jurnal yang membahas mengenai
skala nyeri fraktur cruris setelah diberikan relaksasi nafas dalam. Data dari
sumber tersebut kemudian dianalisis sehingga dapat memperkuat hasil
penelitian peneliti.
3.6 Teknik Sampling
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, sampel yang
digunakan pada penelitian ini ialah 5 sampel. Yaitu 4 pasien fraktur cruris
yang sudah menjalani operasi dan 1 orang perawat yang memberikan teknik
relaksasi nafas dalam kepada pasien pasca operasi fraktur cruris. Kriteria
sampling yang peneliti tentukan antara lain :
1) Pasien usia dewasa ( 20 – 44 tahun)
41
2) Pasien fraktur cruris yang sudah menjalani operasi
3.7 Validasi Data
Data yang telah berhasil digali di lapangan studi, dikumpulkan dan
dicatat dalam kegiatan penelitian, bukan hanya untuk kedalaman dan
kemantapannya tetapi juga kemantapan dan kebenarannya. Dikarenakan hal
tersebut maka peneliti harus bisa memilih dan menentukan cara yang tepat
untuk mengembangkan validitas data yang diperolehnya. Validitas data ini
merupakan jaminan bagi kematangan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil
penelitian (Sutopo 2006).
Penelitian kualitatif memiliki beberapa cara yang dapat digunakan untuk
mengembangkan validitas data penelitian. Cara tersebut antara lain berupa
beberapa macam teknik triangulasi (triangulation) yaitu :
1. Triangulasi data
Teknik triangulasi data yang peneliti gunakan pada penelitian ini
ialah pasien pasca operasi fraktur cruris dan seorang perawat yang
memberikan teknik relaksasi nafas dalam. Teknik ini mengarahkan peneliti
agar di dalam mengumpulkan data wajib menggunakan beragam sumber
data yang berbeda dari yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis,
akan lebih mantap kebenarannya bila diganti dari beberapa sumber data
yang berbeda. Dengan demikian apa yang diperoleh dari sumber yang satu,
bisa lebih teruji kebenarannya bila dibandingkan dengan data sejenis yang
42
diperoleh dari sumber yang berbeda, baik kelompok sumber sejenis atau
sumber yang berbeda jenisnya (Sutopo 2006).
2. Triangulasi Metode
Teknik ini lebih menekankan pada penggunaan metode
pengumpulan data yang berbeda, peneliti menggunakan metode
wawancara untuk mendapatkan informasi secara jelas dan rinci dan
peneliti juga menggunakan metode observasi untuk memperkuat hasil dari
wawancara yang peneliti lakukan. Memantapkan validitas data mengenai
suatu keterampilan seseorang dalam bidang tertentu, kemudian dilakukan
wawancara mendalam pada informan yang sama, dan hasilnya diuji
dengan pengumpulan data sejenis menggunakan teknik observasi pada saat
orang tersebut melakukan kegiatan atau perilakunya (Sutopo 2006).
3. Triangulasi penelitian
Triangulasi penelitian adalah hasil penelitian baik data ataupun
simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji
validitasnya dari beberapa peneliti yang lain. Pandangan dan tafsir yang
dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap semua informasi yang berhasil
digali dan dikumpulkan yang berupa catatan, dan bahkan sampai dengan
simpulan sementara, diharapkan bisa terjadi pertemuan pendapat yang
pada akhirnya bisa lebih memantapkan hasil akhir penelitian (Sutopo
2006).
43
4. Triangulasi Teori
Triangulasi jenis ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan
perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji.
Beberapa perspektif teori tersebut akan diperoleh pandangan yang lebih
lengkap dan mendalam, tidak hanya sepihak, sehingga bisa dianalisis dan
ditarik simpulan yang lebih utuh dan menyeluruh (Sutopo 2006).
3.8 Analisis Data
Proses analisa data yang digunakan pada penelitian kualitatif ialah
bersifat induktif, dalam hal ini dijelaskan bahwa analisis sama sekali tidak
dimaksudkan untuk membuktikan suatu prediksi atau hipotesis penelitian,
tetapi semua simpulan yang dibuat sampai dengan teori yang mungkin
dikembangkan, dibentuk dari semua data yang telah berhasil ditemukan dan
dikumpulkan di lapangan (Sutopo 2006).
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat
pengumpulan data berlangsung, dan setelah seselsai pengumpulan data dalam
periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis
terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai
setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan
pernyataan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel
(Sugiyono 2013).
Sifat analisis induktif ini sangat berkaitan dengan kelenturan dan
keterbukaan penelitian seperti telah dinyatakan sejalan dengan karakteristik
44
metodologi penelitian kualitatif. Sifat analisis indukif sangat menekankan
pentingnya apa yang sebenarnya terjadi dan ditemukan di lapangan yang pada
dasarnya bersifat khusus berdasarkan karakteristik konteksnya dalam kondisi
alamiahnya. Dalam penelitian ini analisis induktif yang digunakan adalah
teknik analisis interaktif, yaitu setiap data yang diperoleh dari lapangan selalu
diinteraksikan atau dibandingkan dengan unit data yang lain (Sutopo 2006).
Adapun model analisis interaktif ini digambarkan dalam bagan sebagai
berikut:
Gambar 3.1 Model Analisis Interaktif
Sumber: Sutopo, HB 2006, Metodologi dasar teori dan terapannya dalam
penelitian,
Edisi 2, Hal 120, Universitas sebelas maret, Surakarta
Pengumpulan
data
Penarikan
kesimpulan/verifikasi
Reduksi
data
Sajian
data
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian
4.1.1 Lokasi Penelitian
RSUD Dr. Moewardi merupakan salah satu rumah sakit tipe A
terbesar negeri yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang
berada di daerah Surakarta. RSUD Dr.Moewardi terletak di jalan Kolonel
Sutarto No 132 Surakarta. RSUD Dr. Moewardi terdiri dari banyak SMF/
bagian, mulai dari SMF kesehatan anak sampai dengan SMF jiwa.
SMF/ bagian yang peneliti gunakan pada penlitian ini ialah SMF/
bagian bedah. Ruang perawatan bedah tersebut terletak di lantai II, ruang
Mawar II. Jenis pelayananan yang disediakan di ruang Mawar II ialah
pelayanan pasien kelas III yang terdiri dari pasien askes, umum,
jamkesmas, jamkesda dan PKMS. Kapasitas ruang Mawar II terdiri dari 8
kamar yang memiliki 63 tempat tidur.
Peneliti memilih RSUD Dr. Moewardi karena di RSUD DR.
Moewardi merupakan rumah sakit rujukan daerah, khususnya di
karisidenan Surakarta. Peneliti disini menggunakan bangsal Mawar II yang
merupakan bangsal bedah.
46
4.1.2 Karakteristik Pasien
Pasien pada penelitian ini ialah pasien yang menderita fraktur
cruris yang terdiri dari 4 orang, yaitu 4 orang laki-laki. Rentang usia
partisipan pada penelitian ini ialah mulai dari 20-44 tahun. Jenis fraktur
yang diderita pasien pada penelitian ini ialah 4 orang partisipan menderita
post ORIF fraktur cruris. Sebagian besar tingkat pendidikan partisipan
pada penelitian ini adalah SD-SMP. Jenis pekerjaan pada partisipan
bervariasi mulai dari buruh tani, buruh bangunan, buruh pabrik sampai
dengan wiraswasta.
1. Pasien 1 (P1)
Pasien 1 adalah seorang pria yang berusia 20 tahun. pasien 1 beragama
islam dan bekerja sebagai buruh pabrik. Tingkat pendidikan pasien
ialah SMP. Responden menderita post ORIF fraktur cruris.
2. Pasien 2 (P2)
Pasien 2 adalah seorang pria yang berusia 42 tahun. pasien 2 beragama
islam dan bekerja sebagai buruh tani didesanya. Tingkat pendidikan
pasien ialah SD. Responden menderita post ORIF fraktur cruris.
3. Pasien 3 (P3)
Pasien 3 adalah seorang pria yang berusia 21 tahun. pasien 3 beragama
islam dan bekerja sebagai buruh pabrik. Tingkat pendidikan pasien
ialah SMP. Responden menderita post ORIF fraktur cruris.
47
4. Pasien 4 (P4)
Pasien 4 adalah seorang pria yang berusia 44 tahun. Pasien 4 beragama
katolik dan bekerja sebagai seorang wiraswasta. Tingkat pendidikan
pasien ialah SMP. Responden menderita post ORIF fraktur cruris.
Adapun karakteristik pasien agar dapat dilihat dengan jelas pada tabel
berikut ini :
Tabel 4.1 Karakteristik pasien
Pasien Usia Jenis
Kelamin
Pekerjaan Status
Pendidikan
P1 20 tahun L Buruh SMP
P2 42 tahun L Buruh SD
P3 21 tahun L Buruh SMP
P4 44 tahun L Wiraswasta SMP
48
4.2 Sajian Data
Pemberian teknik relaksasi nafas dalam pada pasien pasca operasi
fraktur cruris di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dilakukan kepada 4 pasien.
Pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara dilakukan
kepada 4 orang pasien dan perawat. Wawancara ini dilakukan untuk
memperoleh data tentang teknik relaksasi nafas dalam pada pasien pasca
operasi fraktur cruris meliputi : (1) respon nyeri pasien yang mengalami
pasca operasi fraktur cruris, (2) respon pasien terhadap pemberian teknik
relaksasi nafas dalam, (3) kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi
nafas dalam untuk mengurangi intensitas nyeri pasca operasi fraktur cruris,
(4) kendala parawat dalam pemberian teknik relaksasi nafas dalam kepada
pasien pasca operasi fraktur cruris.
4.2.1 Respon nyeri pasien yang mengalami pasca operasi fraktur cruris
Pada penelitian ini peneliti menggunakan pengkajian nyeri
Provocate, Quality, Regio, Scale, Time (PQRST). Provocate adalah
pengkajian untuk mengetahui penyebab nyeri, quality adalah pengkajian
untuk mengetahui kualitas nyeri, regio adalah pengkajian untuk
mengetahui daerah atau tempat yang nyeri, scale adalah pengkajian untuk
mengetahui skala nyeri pasien dan time adalah pengkajian mengenai durasi
nyeri yang dirasakan. Selain menggunakan pengkajian PQRST data juga
didapatkan dari hasil observasi peneliti. Pada pengkajian PQRST didapat
hasil nyeri secara subjektif di antaranya penyebab nyeri, kualitas nyeri,
lokasi nyeri, skala nyeri dan durasi lamanya nyeri. Hasil observasi nyeri
49
yang dapat diketahui melalui ekspresi wajah pasien. Berdasarkan
pengalaman pasien dan pengamatan peneliti dapat ditunjukkan skala nyeri
rata-rata skala 5 hingga 7. Skala nyeri 0 atau tidak nyeri terlihat dari
ekspresi wajah, meliputi wajah tenang, pasien terlihat rileks, dan dapat
melakukan aktivitas seperti biasa. Pada skala 1-3 yang termasuk dalam
kategori nyeri ringan pasien menunjukan ekspresi wajah tampak merintih
kesakitan, mengusap daerah nyeri atau melokalisir nyeri, dan pasien masih
bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Sementara pada skala 4-6 yang
termasuk kategori nyeri sedang, dapat ditunjukan dengan karakteristik
wajah pasien mengerutkan dahi, wajah tampak tegang, mengaduh,
“nggeget untu”, gerakan melindungi bagian nyeri, nyeri terasa cenut-cenut,
merintih kesakitan dan berkeringat. Skala nyeri 7-9 yang termasuk
kategori nyeri berat ditunjukkan dengan karakteristik pasien terlihat
emosional, sesak nafas menggigit bibir, imobilisasi, menghindari
percakapan, nyeri terasa seperti ditusuk dan pasien terlihat gelisah. Pada
skala 10 yang termasuk kategori nyeri tidak terkontrol terlihat dengan
ekspresi wajah pasien menangis kesakitan, gelisah, pucat, focus untuk
menurunkan nyeri, berkeringat, berteriak dan melakukan gerakan yang
tidak terkontrol.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi didapatkan data bahwa
kualitas nyeri yang dirasakan oleh pasien operasi fraktur ialah rasa cenut-
cenut dan rasa seperti di tusuk. Hasil wawancara didapatkan bahwa 2
pasien yaitu P1 dan P3 mengatakan rasa nyeri yang dirasakan ialah rasa
50
cenut-cenut, sementara 2 pasien yang lain mengatakan bahwa kualitas
nyeri yang dirasakannya seperti ditusuk-tusuk.
Berikut adalah pernyataan pasien saat diwawancarai :
Pasien 1 : “Nyerinya muncul setelah operasi mas, rasanya ya cenut-
cenut gitu mas”
Pasien 2 : “Ya nyerinya abis operasi mas, rasanya kaya ditusuk
apalagi kalau malem”
Hasil observasi yang didapatkan peneliti bahwa 4 pasien terlihat
merintih kesakitan, pasien terlihat mengerenyutkan dahi saat nyeri yang
dirasakan muncul, melindungi daerah nyeri, imobilisasi dan menghindari
percakapan.
Intensitas skala nyeri yang dirasakan pasien didapatkan hasil dari
observasi bahwa sebelum mengkaji nyeri pasien peneliti memberikan
penjelasan terhadap skala nyeri, sehingga pasien dapat menjelaskan nyeri
yang dirasakan. Peneliti menggunakan alat pengukuran skala nyeri
deskriptif. Pada penelitian ini intensitas skala nyeri yang dirasakan pasien
ialah pada skala 5 dan skala 7. Tiga orang pasien mengatakan bahwa nyeri
yang dirasakannya berada pada angka 5 yaitu P1, P2 dan P3, sementara
satu pasien yaitu P4 mengatakan bahwa nyeri yang dirasakannya berada
pada skala 7.
Berikut ini pernyataan pasien mengenai skala nyeri yang dirasakan :
Pasien 1 : “kalo disuruh memilih angka ya kira-kira nyerinya di
angka 5 mas”
Pasien 4 : ”kalau disuruh milih angka 0-10 ya saya rasa angka 7
untuk nyeri saya”
51
Hasil observasi yang peneliti lakukan didapatkan data bahwa pasien
yang menunjukankan skala 5 terlihat wajah pasien
mengerutkan dahi, mengaduh, “nggeget untu”, nyeri terasa
cenut-cenut dan merintih kesakitan, sedangkan pada pasien
yang menunjukan skala 7 tampak gelisah, menghidari
percakapan dengan peneliti dan terfokus pada nyerinya,
pasien juga terlihat seperti menahan nafas.
Skala nyeri yang dirasakan oleh pasien setelah operasi fraktur
termasuk dalam kategori nyeri sedang dan nyeri berat. Perbedaan skala ini
dikarenakan respon pasien terhadap nyeri berbeda sehingga toleransi
terhadap nyeri yang dirasakan berbeda.
Tindakan pasien yang digunakan untuk mengurangi nyeri berbeda-
beda, pasien mengatakan bahwa jika nyeri akan mengipas-ngipas dan
mengelus-elus bagian yang sakit. Dari hasil wawancara didapatkan data
bahwa 3 pasien mengatakan jika merasakan nyeri, tindakan yang
dilakukan ialah dielus-elus yaitu pasien P1, P2 dan P4 sedangkan satu
pasien mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
nyeri ialah dengan dikipas-kipas yaitu P3. Berikut ini adalah hasil
wawancara mengenai tindakan pasien untuk mengurangi nyeri yang
dialami :
Pasien 1: “hmmm yo paling dielus-elus mas biar gak sakit”
Pasien 3: Paling dikipas-kipas aja sih mas biar gak terasa sakit”
Hasil observasi menunjukan bahwa pasien terlihat sesekali
mengipas bagian yang sakit, pasien terlihat hanya berbaring ditempat tidur.
Pasien terlihat merintih kesakitan sambil mengelus-elus balutan pada kaki
yang mengalami fraktur, dan sesekali pasien terlihat mengaduh saat nyeri
yang dirasakan muncul.
52
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa respon nyeri
pasien pasca operasi fraktur cruris diperoleh hasil bahwa kualitas nyeri
pasien pasca operasi fraktur cruris adalah rasa cenut-cenut dan rasa seperti
ditusuk-tusuk. Intensitas nyeri pasien pasca operasi fraktur cruris termasuk
dalam kategori nyeri sedang dengan skala 5, ditandai dengan pasien
terlihat merintih kesakitan, pasien terlihat mengerenyutkan dahi saat nyeri
yang dirasakan muncul dan melindungi daerah nyeri. pada nyeri berat
dengan skala 7, ditandai dengan pasien terlihat imobilisasi dan
menghindari percakapan. Tindakan yang biasa digunakan pasien untuk
mengurangi nyeri ialah dengan cara mengipas dan mengelus bagian yang
nyeri.
4.2.2 Respon pasien terhadap pemberian teknik relaksasi nafas dalam
Proses teknik relaksasi nafas dalam diberikan kepada pasien pasca
operasi fraktur cruris hari kedua. Peneliti menggunakan pasien pasca
operasi fraktur cruris hari kedua dikarenakan untuk menghilangkan efek
anastesi pada pasien. Pemberian teknik relaksasi nafas dalam dilakukan
sebelum pasien diberikan obat analgesik oleh perawat. Pasien pasca
operasi fraktur cruris pada penelitian ini mendapatkan obat analgesik dan
waktu pemberian yang sama, yaitu per 12 jam. Sebelum diberikan teknik
relaksasi nafas dalam, perawat terlebih dahulu memberikan contoh kepada
pasien tentang prosedur teknik relaksasi nafas dalam setelah itu perawat
menganjurkan pasien untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam secara
mandiri kemudian perawat mengevaluasi pemberian teknik relaksasi dan
53
memotivasi pasien untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam saat
merasakan nyeri. Teknik relaksasi nafas dalam dievaluasi setiap dua kali
sehari.
Pemberian teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan skala
nyeri pasien pada hari ke 3 dan 4, namun satu pasien yaitu responden 4
tidak menunjukkan adanya penurunan skala nyeri.
Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh peneliti mengenai
respon pasien terhadap pemberian teknik relaksasi nafas dalam didapatkan
penurunan skala nyeri pada 3 dari 4 pasien. Pernyataan tersebut dapat
diketahui dari hasil wawancara berikut ini :
Pasien 1 : “relaksasi itu bisa mengurangi nyeri tapi cuma sedikit, kalo
pas nyeri banget ya gak mempan mas. Sekarang sih nyerinya
jadi 4 mas kurang lebih”
Pasien 3 : “Ya kira-kira nyerinya sekarang jadi 3an mas”
Pasien 4 : “Tapi relaksasinya itu kurang mempan mas, saya udah bolak-
balik pake kayak yang dibilangin mbaknya kemarin itu tapi
sama aja tu, nyerinya gak berkurang mas. Ya kurang lebih
masih sama mas 7an”
Berdasarkan penurunan skala nyeri diatas didapatkan bahwa skala
5 turun menjadi skala 3 yang dialami oleh 1 pasien dan penurunan skala
5 menjadi skala 4 diungkapkan oleh 2 pasien, sementara 1 pasien tidak
mengalami penurunan skala nyeri dan tetap berada di skala 7.
Hasil observasi menunjukkan bahwa penuruan skala nyeri 5
menjadi skala 3 dapat dilihat dari perubahan ekspresi pasien yang semula
mengerutkan dahi, mengaduh dan “nggeget untu”, setelah diberikan
54
relaksasi kini menjadi merintih kesakitan dan mulai dapat melakukan
aktivitas. Sementara pada pasien dengan skala nyeri 5 yang turun
menjadi 4 tidak terlihat adanya perubahan ekspresi wajah seperti tetap
mengerutkan dahi, mengaduh dan melindingi daerah nyeri, begitu juga
dengan pasien yang mengalami skala nyeri 7 yaitu responden 4 yang
terlihat menahan nafas, pasien terlihat lebih fokus pada nyeri yang
dirasakan, pasien juga terlihat gelisah dan berkeringat. Hal ini
menunjukan bahwa teknik relaksasi nafas dalam hanya dapat menurukan
intensitas nyeri pada kategori nyeri sedang.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa setelah melakukan
teknik relaksasi nafas dalam, nyeri yang dirasakan oleh pasien mulai
berkurang pada hari ke 4 dan ke 3 sedangkan pada pasien 4 tidak
menunjukan adanya penurunan skala nyeri karena pada pasien 4 karena
pasien terlihat kurang konsentrasi dan lebih focus pada nyeri yang
dirasakannya. Hal tersebut dapat terjadi karena relaksasi nafas dalam dapat
meningkatkan konsentrasi, sehingga responden akan menjadi rileks dan
mengendurkan otot yang tegang sehingga nyeri yang dirasakan akan
berkurang. Namun hal berbeda tidak terjadi pada satu pasien yaitu pasien
P4 yang skala nyerinya termasuk dalam kategori nyeri berat tidak terjadi
penurunan dikarenakan pasien memiliki teloransi nyeri yang lemah dan
pasien tidak dapat berkonsentrasi saat melakukan teknik relaksasi nafas
dalam sehingga nyeri yang dirasakan tidak dapat berkurang dengan teknik
relaksasi nafas dalam.
55
4.2.3 Kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam
untuk mengurangi intensitas nyeri pasca operasi fraktur cruris
Pasien pada penelitian ini dapat melakukan teknik relaksasi nafas
dalam sesuai dengan yang diajarkan perawat. Selama melakukan teknik
relaksasi nafas dalam peneliti tidak menemukan adanya kendala yang
dialami oleh pasien, tetapi satu pasien terlihat tidak dapat berkonsentrasi
saat melakukan teknik relaksasi nafas dalam sehingga nyeri yang dialami
tidak menurun. Kondisi lingkungan juga mempengaruhi pasien terhadap
pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam. Lingkungan yang ramai seperti
pada penelitian ini yaitu ruang Mawar II RSUD Dr. Moewardi Surakarta
yang merupakan ruang kelas 3. Satu kamar pada bangsal ini terdapat 11
tempat tidur pasien, sehingga kondisi ruangan terlihat sangat ramai dan
kondisi ini mempengaruhi pasien dalam berkonsentrasi saat melakukan
teknik relaksasi nafas dalamnya.
Pada hasil wawancara yang dilakukan kepada pasien mengenai
kendala pasien dalam melakukan teknik relaksasi nafas hdalam untuk
mengurangi nyeri pasca operasi fraktur cruris didapatkan bahwa ketiga
pasien tidak mengalami kendala saat melaksanakan teknik relaksasi nafas
dalam. Berikut pernyataan yang disampaikan salah satu pasien tersebut:
pasien 3 :“Gak ada kendalanya mas itu gampang kok, tinggal
tangannya ditaruh diatas dan diperut trus tarik nafas
lewat hidung keluarin mulut sambil badannya
dirilekskan”
Kecuali pada responden 4 yang menyatakan bahwa teknik relaksasi
nafas dalam tidak dapat menurunkan nyeri yang dirasakan. Berikut
56
pernyataan responden 4 yang menunjukkan bahwa teknik relaksasi nafas
dalam tidak dapat menurunkan nyeri yang dirasakannya :
Pasien 4 :“Gak ada mas, tapi relaksasinya itu kurang mempan
mas, saya udah bolak-balik pake kayak yang dibilangin
mbaknya kemarin itu tapi sama aja tu, nyerinya gak
berkurang mas. Ya kurang lebih masih sama mas 7an”
Kendala dalam prosedur pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam
tidak terlihat pada pasien 4, namun pasien 4 mengalami kesulitan untuk
berkonsentrasi karena terfokus pada nyeri yang dirasakan sehingga dalam
melakukan teknik relaksai nafas dalam tidak menunjukkan penurunan
skala nyeri pasien. Hasil observasi menunjukan bahwa pasien yang tidak
mengalami kendala pasien tampak rileks, pasien tampak melakukan teknik
relaksasi nafas dalam sesuai dengan urutan yang telah diajarkan perawat.
Sedangkan pada responden 4 dapat melakukan teknik relaksasi nafas
dalam sesuai dengan prosedur, namun pasien tampak kurang kooperatif
dan terfokus pada nyeri yang dirasakannya, pasien juga terlihat menghidari
percakapan dan tampak menggigit bibir yang menandakan kesakitan.
Kondisi kamar pasien yang ramai dan berisik juga berperan pada tidak
turunnya intensitas nyeri pasien. Kendala pasien saat melakukan teknik
relaksasi nafas dalam dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi seseorang dan
lingkungan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara prosedur semua
pasien tidak mengalami kendala saat melakukan teknik relaksasi nafas
dalam. Kendala ditemukan pada pasien 4 dikarenakan pasien 4 tidak dapat
57
berkonsentrasi, masih terfokus pada nyeri yang dirasakan dan dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan tidak nyaman sehingga nyeri yang dirasakan
pasien 4 tidak turun.
4.2.4 Kendala perawat dalam pemberian teknik relaksasi nafas dalam
kepada pasien pasca operasi fraktur cruris
Pada hasil wawancara dengan perawat mengenai kendala perawat
saat memberikan teknik relaksasi nafas dalam kepada pasien pasca operasi
fraktur cruris didapatkan data bahwa perawat tidak menemukan kendala
dalam melakukan prosedur teknik relaksasi nafas dalam. Akan tetapi
kendala perawat ditemukan pada pasien yang tidak kooperatif saat
diajarkan teknik relaksasi nafas dalam. Berikut pernyataan perawat yang
menunjukkan bahwa perawat tidak menemukan kendala dalam prosedur
pemberian teknik relaksasi nafas dalam :
Perawat :“Gak ada kendalanya mas untuk prosedur teknik relaksasi
nafas dalam, perawat memberikan teknik relaksai nafas
dalam kepada pasien ya sesuai prosedur, yang membuat
kendala ya biasanya pasien itu sendiri karena pasien
kadang tidak kooperatif untuk diajarkan teknik relaksasi”
Untuk mengatasi kendala pada pasien yang tidak kooperatif dalam
melakukan teknik relaksasi, perawat memberikan motivasi kepada pasien
dan keluarga pasien. Berikut pernyataan perawat mengenai cara mengatasi
kendala :
Perawat :“emmm, ya caranya kita motivasi ke pasien sama
keluarga untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam
secara mandiri”
58
Hasil observasi yang peneliti lakukan untuk kendala perawat dalam
melakukan pemberian teknik relaksasi nafas dalam ialah tidak ada kendala
yang ditemui saat mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam kepada
responden, perawat terlihat mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam
sesuai prosedur, perawat terlihat memotivasi pasien agar melakukan teknik
relaksasi nafas dalam secara mandiri untuk mengurangi nyeri
Hasil analis dari wawancara dengan perawat dapat ditemukan
kesimpulan bahwa perawat tidak menemui kendala dalam memberikan
teknik relaksasi nafas dalam, perawat memberikan teknik relaksasi nafas
dalam sesuai prosedur yang sudah ditetapkan. Tetapi kendala akan muncul
apabila pasien tidak kooperatif untuk diajarkan teknik relaksasi nafas
dalam.
Dari uraian diatas dapat disimpilkan bahwa perawat tidak
mengalami kendala dalam memberikan relaksasi nafas dalam, namun
kendala tersebut akan dirasakan apabila perawat memberikan relaksasi
nafas dalam kepada pasien yang tidak koopratif. Untuk mengatasi kendala
tersebut perawat akan memotivasi pasien dan keluarga untuk melakukan
teknik relaksasi nafas dalam secara mandiri jika nyeri yang dirasakan
timbul.
59
4.3 Temuan penelitian
4.3.1 Respon nyeri pasien yang mengalami pasca operasi fraktur cruris di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan pasien pasca
operasi fraktur cruris diperoleh hasil bahwa kualitas nyeri pasien pasca
operasi fraktur cruris adalah rasa cenut-cenut dan rasa seperti ditusuk-
tusuk. Intensitas nyeri pasien pasca operasi fraktur cruris termasuk dalam
kategori nyeri sedang dengan skala 5, ditandai dengan pasien terlihat
merintih kesakitan, pasien terlihat mengerenyutkan dahi saat nyeri yang
dirasakan muncul dan melindungi daerah nyeri. pada nyeri berat dengan
skala 7, ditandai dengan pasien terlihat imobilisasi dan menghindari
percakapan. Tindakan yang biasa digunakan pasien untuk mengurangi
nyeri ialah dengan cara mengipas dan mengelus bagian yang nyeri.
4.3.2 Respon pasien pasca operasi fraktur cruris terhadap pemberian
teknik relaksasi nafas dalam
Respon pasien pasca operasi fraktur cruris terhadap pemberian teknik
relaksai nafas dalam didapatkan data bahwa setelah melakukan teknik
relaksasi nafas dalam, nyeri yang dirasakan oleh pasien mulai berkurang
pada hari ketiga dan keempat sedangkan pada pasien 4 tidak menunjukan
adanya penurunan skala nyeri karena pasien terlihat kurang konsentrasi
dan lebih fokus pada nyeri yang dirasakannya.
60
4.3.3 Kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam
untuk mengurangi intensitas nyeri pasca operasi fraktur cruris
Kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksai nafas dalam
diperoleh bahwa secara prosedur dalam teknik relaksasi nafas dalam
semua pasien tidak mengalami kendala. Kendala ditemukan pasda pasien 4
dikarenakan pasien 4 tidak dapat berkonsentrasi dan masih terfokus pada
nyerinya, sehingga nyeri yang dirasakan pasien 4 tidak mengalami
penurunan.
4.3.4 Kendala perawat dalam pemberian teknik relaksasi nafas dalam
kepada pasien pasca operasi fraktur cruris
Kendala perawat dalam memberikan teknik relaksasi nafas dalam
kepada pasien pasca operasi fraktur cruris didapatkan hasil bahwa secara
prosedur perawat tidak mengalami kendala tapi kendala tersebut dapat
muncul kepada pasien yang kurang kooperatif. Perawat mengatasi kendala
tersebut dengan cara memotivasi pasien dan keluarga untuk melakukan
relaksasi nafas dalam jika nyeri yang dirasakan pasien muncul.
61
4.4 Pembahasan
4.4.1 Respon nyeri pasien yang mengalami pasca operasi fraktur cruris
Respon nyeri pasien pasca operasi fraktur berdasarkan kualitas
nyeri ialah cenut-cenut dan rasa seperti tertusuk, intensitas nyeri termasuk
dalam kategori nyeri sedang dengan skala 5, ditandai dengan responden
terlihat merintih kesakitan, responden terlihat mengerenyutkan dahi saat
nyeri yang dirasakan muncul dan melindungi daerah nyeri. pada nyeri
berat dengan skala 7, ditandai dengan responden terlihat imobilisasi dan
menghindari percakapan. Tindakan pasien untuk menurunkan nyeri yang
dirasakan ialah dengan cara mengipas dan mengelus bagian yang nyeri.
Tindakan pembedahan adalah suatu tindakan yang dapat
mengancam integritas seseoramg, baik bio-psiko-sosial maupun spiritual,
yang bersifat potensial ataupun aktual. Setiap tindakan pembedahan dapat
menimbulkan respon ketidaknyamanan berupa rasa nyeri. Nyeri adalah
suatu keadaaan subjektif dimana seseorang memperlihatkan
ketidaknyamann secara verbal maupun non verbal (Engram dalam Solehati
2008).
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual atau potensial.
Nyeri adalah alasan utama seseorang unuk mencari bantuan perawatan
kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau pengobatan.
Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang
dibandingakan suatu penyakit apapun (Smeltze & Bare 2002).
62
Secara fisiologi nyeri, saat merasakan nyeri serabut nyeri akan
memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute
saraf dan akhirnya sampai didalam massa berwarna abu-abu di medulla
spinalis. Terdapat pesan nyeri yang dapat berinteraksi dengan sel-sel
inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau
ditransmisikan tanpa hambatan ke korteks serebri. Sekali stimulus nyeri
mencapai korteks serebral, maka otak akan menginterpretasikan kualitas
nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang
lalu terhadap nyeri. Selain itu, pada saat individu menjadi sadar akan nyeri
yang dirasakan maka akan terjadi reaksi komplek. Faktor-faktor psikologis
dan kognitif akan berinteraksi dengan faktor neurofisiologi dalam
mempersepsikan nyeri sehingga dapat membantu seseorang untuk
menginterpretasikan intensitas dan kualitas nyeri ( Potter & Perry 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Ardinata (2007), menjelaskan
bahwa kualitas nyeri yang dirasakan berkaitan dengan bagaimana nyeri itu
sebenarnya dirasakan individu. Kualitas nyeri sering kali digambarkan
dengan berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar, dan gatal.
Tamsuri (2012), menjelaskan bahwa faktor yang dapat
meningkatkan dan menurunkan nyeri dapat dilihat dari berbagai perilaku
yang dilakukan oleh pasien dalam mengubah intensitas nyeri (misal
dengan aktivitas, istirahat, pengarahan tenaga, mengatur posisi tubuh,
penggunaan obat-obatan, dan lainnya), dan apa yang diyakini klien dapat
63
membantu dirinya. Perilaku ini sering didasarkan pada upaya try and
error.
Walaupun merupakan salah satu dari gejala yang paling sering
terjadi dibidang medis, nyeri merupakan salah satu yang paling sedikit
dipahami. Individu yang merasakan nyeri akan merasa tertekan atau
menderita dan mencari upaya untuk menghilangkan nyeri. Nyeri bersifat
subjektif, tidak ada dua individu yang megalami nyeri yang sama dan
menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada seseorang individu
(Potter & Perry 2006).
Tidak semua orang yang terpajan stimulus yang sama (appendicitis,
sebagai contoh) mengalami intensitas nyeri yang sama. Sensasi yang
sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang lain.
Lebih jauh lagi, suatu stimulus dapat mengakibatkan nyeri pada suatu
waktu tetapi tidak pada waktu lain (Smeltzer & Bare 2002).
Selain cara yang digunakan untuk mengurangi nyeri, perawat
menggunakan proses pengkajian nyeri untuk mengetahui intensitas nyeri
yang dirasakan oleh setiap pasien, sehingga didapatkan dua kategori nyeri
yaitu nyeri ringan dan sedang. Dalam mengkaji skala nyeri, peneliti
menggunaka skala intensitas nyeri deskriptif yang kemudian ditanyakan
langsung kepada pasien. Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan bahwa
dalam mengkaji intensitas nyeri responden, harus membiarkan responden
mendeskripsikan secara verbal nyeri yang dirasakannya, karena individu
merupakan penilai yang terbaik dari penilaian nyeri yang dirasakannya.
64
Dalam kasus ini pasien ditanya : “pada skala dari nol sampai dengan
sepuluh, nol tidak ada nyeri dan sepuluh nyeri paling buruk yang dapat
terjadi, seberapa berat nyeri yang anda rasakan saat ini ?” Pasien biasanya
dapat berespon tanpa kesulitan. Jika mungkin, perawat dapat menunjukkan
kepada pasien bagaimana skala nyeri bekerja sebelum nyeri terjadi.
Potter & Perry (2006) menjelaskan bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi pengalaman nyeri individu. Perawat mempertimbangkan
faktor yang memepengaruhi klien yang merasa nyeri. Hal ini sangat
penting dalam upaya untuk memeastikan bahwaperawat menggunakan
pendekatan yang holistic dalam pengkajian dan perawatan klien yang
mengalami nyeri. Berikut faktor yang mempengaruhi nyeri :
11. Usia
Usia merupakan variabel yang penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang
ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi
bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri.
12. Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam
berespon terhadap nyeri. Toleransi nyeri sejak lama menjadi subjek
penelitian yang melibatkan pria dan wanita. Akan tetapi, toleransi
terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan
hal yang unik pada setiap individu, tanpa memperhatikan jenis
kelamin.
65
13. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi gaya individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa
yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana
bereaksi terhadap nyeri. Misalnya, apabila seorang perawat yakin
bahwa menangis dan merintih mengindikasikan suatu ketidak
mampuan untuk mentoleransi nyeri, akibatnya pemberian terapi
mungkin tidak cocok untuk klien berkebangsaan Meksiko/Amerika.
Seorang klien berkebangsaan Meksiko/Amerika yang menangis keras
tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang
berat dan mengharapkan perawat melakukan intervensi.
14. Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal
ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu
tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang
berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu
kehilangan, hukuman dan tantangan.
15. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi)
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini
66
merupakan salah satu konsep yang perawat tetapkan diberbagai terapi
untuk menghilangkan nyeri seperti relaksasi, teknik imajinasi
terbimbing (guided imagery), dan masase. Dengan memfokuskan
perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain, maka perawat
bisa menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer.
16. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas
seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas. Klien yang mengalami cidera
atau mengalami penyakit kritis, seringkali mengalami kesulitan
mengontrol lingkungan dan perawatan diri dapat menimbulkan tingkat
ansietas yang tinggi.
17. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping.
Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang
menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila keletihan disertai
dengan kesulitan tidur, maka persepsi nyeri bahakan dapat terasa lebih
berat lagi. Nyeri sering kali lebih berkurang setelah individu
mengalami suatu periode tidur yang lelap dibandingkan pada akhir
hari yang melelahkan.
67
18. Pengalaman sebelumnya
Setiapa individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengelaman nyeri
sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan
menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.
Apabila individu sejak lama akan mengalami serangkaian episode
nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka
ansietas atau rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu
mengalami nyeri, dengan jenis sama yang berulang ulang, tetapi
kemudian nyeri tersebut dengan berhasil dihilangkan, akan lebih
mudah bagi individu tersebut untuk mengiterpretasikan sensasi nyeri.
Akibatnya, klien akan lebih siap. Untuk melakukan tindakan-tidakan
yang diperlukan untuk mengilangkan nyeri.
19. Gaya koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat
anda merasa kesepian. Apabila klien mengalami nyeri di keadaan
keperawatan kesehatan, seperti dirumah sakit, klien merasa tidak
berdaya dengan rasa sepi itu. Hal yang sering terjadi adalah klien
merasa kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau kehilangan
kontrol terhadap hasil akhir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dengan demikian, gaya koping mempengaruhi kemampuan individu
tersebut untuk mengatasi nyeri.
68
20. Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri ialah
kehadiaran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka
terhadap klien. Individu dari kelompok sosiobudaya yang berbeda
memiliki harapan yang berbeda tentang cara mereka menumpahkan
keluhan mengenai nyeri. Individu yang mengalami nyeri seringkali
bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk
memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri
tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai klien akan
meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga
atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin
tertekan.
Dari konsep diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri merupakan
suatu pengalaman persepsi dan emosional dari individu yang bersifat
subjektif dan kurang menyenangkan. Untuk mengetahui intensitas skala
dan kualitas nyeri perawat harus melakukan pengkajian dengan
menanyakan intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien. Respon individu
terhadap nyeri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain usia, jenis
kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, ansietas, keletihan,
pengalaman sebelumnya, gaya koping dan dukungan keluarga dan sosial.
69
4.4.2 Respon pasien terhadap pemberian teknik relaksasi nafas dalam
Respon pasien pasca operasi fraktur cruris setelah melakukan
teknik relaksasi nafas dalam ialah nyeri yang dirasakan oleh pasien mulai
berkurang pada hari ke 4 sedangkan pada pasien 4 tidak menunjukan
adanya penurunan skala nyeri karena pasien terlihat kurang konsentrasi
dan lebih focus pada nyeri yang dirasakannya.
Nyeri pasca operasi akan meningkatkan stres pasca operasi dan
memiliki pengaruh negative pada penyembuhan nyeri. Kontrol nyeri
sangat penting sesudah pembedahan, nyeri yang dibebaskan dapat
mengurangi kecemasan, bernafas lebih mudah dan dalam, dapat
mentoleransi mobilisasi yang cepat. Pengkajian nyeri dan kesesuaian
analgesik harus digunakan untuk memastikan bahwa nyeri pasien pasca
operasi dapat dibebaskan (Torrance dan Serginson dalam Farida 2010).
Relaksasi adalah teknik untuk mengurangi ketegangan nyeri
dengan merelaksasikan otot. Beberapa penelitin menyatakan bahwa teknik
relaksasi efektif dalam menurunkan skala nyeri pasca operasi (Tamsuri
2012).
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien atau
pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan
inspirasi secara maksimal) (Smeltzer & Bare 2002).
Relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
cara merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri.
70
beberapa penelitian menunjukan bahwa relaksasi efektif dalam
menurunkan nyeri pasca operasi. Tindakan relaksasi dapat dipandang
sebagai upaya pembebasan mental dan fisik dari tekanan dan stres. Dengan
relaksasi, klien dapat mengubah persepsi terhdap nyeri. kemampuannya
dalam melakukan relaksasi fisik dapat menyebabkan relaksasi mental.
Relaksasi memberikan efek secara langsung terhadap fungsi tubuh seperti
penurunan tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernafasan, penurunan
konsumsi oksigen oleh tubuh serta penurunan tegangan otot (Smeltzer &
Bare 2002).
Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan relaksasi
pernafasan adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara
pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk,
mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan
intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.
Relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan dan mengembalikan
emosi yang akan membuat tubuh menjadi rileks. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa proses tersebut dapat dijelaskan dengan
teori gate control. Adanya stimulasi nyeri pada area luka bedah
menyebabkan keluarnya mediator nyeri yang akan menstimulasi transmisi
impuls disepanjang serabut saraf aferen nosiseptor ke substansia
gelatinosa (pintu gerbang) di medula spinalis untuk selajutnya melewati
thalamus kemudian disampaikan ke kortek serebri dan diinterpretasikan
sebagai nyeri. Perlakuan relaksasi nafas dalam akan menghasilkan impuls
71
yang dikirim melalui serabut saraf aferen nonnosiseptor. Serabut saraf
nonnosiseptor mengakibatkan “pintu gerbang” tertutup sehingga stimulus
nyeri terhambat dan berkurang. Teori two gate control menyatakan bahwa
terdapat satu “pintu gerbang” lagi di thalamus yang mengatur impuls nyeri
dari nervus trigeminus. Dengan adanya relaksasi, maka impuls nyeri dari
nervus trigeminus akan dihambat dan mengakibatkan tertutupnya “pintu
gerbang” di thalamus. Tertutupnya “pintu gerbang” di thalamus
mengakibatkan stimulasi yang menuju korteks serebri terhambat sehingga
intensitas nyeri berkurang untuk kedua kalinya (Potter & Perry 2006).
Smeltzer & Barre (2002) menjelaskan bahwa teknik relaksasi
nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui tiga
mekanisme yaitu :
4. Dengan meralaksasikan otot skelet yang mengalami spasme yang
disebabkan insisi (trauma) jaringan saat pembedahan.
5. Relaksasi otot skelet akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang
mengalami trauma sehingga mempercepat proses penyembuhan dan
menurunkan (menghilangkan) sensasi nyeri karena nyeri post bedah
merupakan nyeri yang disebabkan karena trauma jaringan oleh karena
itu jika trauma (insisi) sembuh maka nyeri juga akan hilang.
6. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh
untuk melepaskan opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin.
Penelitian yang dilakukan oleh Ernawati, Hartiti Tri, dan Hadi Idris
(2010) menjelaskan bahwa dari 50 sampel yang menglami nyeri saat
72
disminore, sebelum diberikan relaksasi nafas dalam terdapat nyeri sedang
sebanyak 31 orang (62,0%) dan sesudah dilakukan teknik relaksasi
sebagian besar kategori nyeri ringan sebanyak 35 orang (70,0%). Dapat
disimpilkan bahwa teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan skala
intensitas nyeri pada mahasiswi yang mengalami disminore di Universitas
Muhamadiyah Semarang.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Patasik CK, Tangka Jon, dan
Rottie Julia (2013) menyatakan bahwa tingkat nyeri pada pasien post
operasi section caesarea sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam
dan guided imagery di Irina D BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado sebagian besar mengalami nyeri hebat sampai sangat hebat,
tingkat nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea sesudah dilakukan
teknik relaksasi nafas dalam dan guided imagery di Irina D BLU RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado sebagian besar mengalami penurunan ke
kategori nyeri ringan selebihnya ke kategori nyeri sedang, dan teknik
relaksasi nafas dalam dan guided imagery efektif terhadap penurunan nyeri
pada pasien post operasi sectio caesarea.
Penelitian yang dilakukan oleh Pinandita Iin, Purwanti E dan Utoyo
B (2012) mengatakan bahwa pengendalian nyeri secara farmakologi lebih
sering digunakan untuk mengurangi intensitas skala nyeri dibandingakan
dengan terapi nonfarmakologi. Namun demikian, terapi farmakologi tidak
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien dalam mengontrol nyeri,
sehingga dibutuhkan kolaborasi dengan terapi nonfarmakologi agar sensari
73
nyeri dapat berkurang serta masa pemulihan tidak memanjang.
Pengendalian nyeri nonfarmakologis menjadi lebih murah, simple, efektif,
dan tanpa efek yang merugikan.
Potter & Perry (2006) menjelaskan hal yang berbeda bahwa supaya
relaksasi dapat dilakukan dengan efektif, maka diperlukan partisipasi
individu dan kerjasama. Teknik relaksasi diajarkan hanya saat klien sedang
tidak merasakan rasa tidak nyaman yang tidak akut hal ini dikarenakan
ketidakmampuan berkonsentrasi membuat latihan menjadi tidak efektif .
Penelitian yang dilakukan oleh Ernawati, Hartiti Tri dan Hadi Idris
(2010) menjelaskan bahwa pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam dapat
berhasil apabila dilakukan sesuai dengan tahapan relaksasi nafas dalam
dan didukung dengan lingkungan yang tenang akan memberikan efek
penurunan intensitas nyeri secara nyata.
Teknik relaksasi nafas dalam yang diberikan oleh perawat pada
penelitian ini hanya digunakan sebagai terapi pendukung dan bukan
sebagai pengganti obat-obatan. Smletzer & Bare (2006) menjelaskan
bahwa banyak pasien dan tenaga kesehatan cenderung memandang obat
sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Namun begitu,
banyak aktivitas keperawatan nonfarmkologis yang dapat membantu
menghilangkan nyeri. Metode pereda nyeri nonfarmakologis biasanya
mempunyai resiko yang sangat rendah. Meskipun tindakan tersebut bukan
merupakan pengganti untuk obat-obatan, tindakan tersebut mungkin
diperlukan atau sesuai untuk mempersingkat episode nyeri yang
74
berlangsung hanya beberapa detik atau menit. Dalam hal ini, terutama saat
nyeri hebat yang berlangsung selama berjam-jam atau berhari-hari,
mengkombinasikan teknik nonfarmakologis dengan obat-obatan mungkin
cara yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri.
Dari teori diatas dapat disimpulkan bahwa teknik relaksasi nafas
dalam dapat menurunkan intensitas skala nyeri dikarenakan dengan
relaksasi nafas dalam dapat merelaksasikan ketegangan otot yang
mendukung rasa nyeri, sehingga nyeri yang dirasakan oleh responden
dapat berkurang. Selain itu faktor yang mendukung keberhasilan teknik
relaksasi nafas dalam guna untuk menurunkan intensitas nyeri adalah
tahapan relaksasi nafas dalam, yang baik dan benar, tingkat konsentrasi
individu dan lingkungan yang nyaman. Teknik relaksasi nafas dalam yang
termasuk dalam terapi nonfarmakologis hanya digunakan sebagai
pendamping dari pengobatan utama atau medis.
4.4.3 Kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam
untuk mengurangi intensitas nyeri pasca operasi fraktur cruris
Kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam
untuk mengurangi intensitas nyeri pasca operasi fraktur cruris ialah tidak
ada kendala dalam melakukan teknik relaksasi nafas dalam, kerena teknik
relaksasi nafas dalam merupakan cara yang paling mudah untuk
mengurangi nyeri. Selain mudah dilakukan, teknik ini tidak membutuhkan
75
banyak biaya dan menggunakan gerakan yang umum serta biasa dilakukan
oleh semua orang.
Metode non-farmakologi yang dimaksud ialah bukan dengan
pemberian obat-obatan, tindakan yang dilakukan hanyalah untuk
mengurangi nyeri yang berlangsung beberapa menit saja. Dalam hal ini,
mengkombinasikan terapi non-farmakologi dalam menurunkan intensitas
nyeri merupakan cara yang optimal. Pengendalian nyeri dengan terapi non-
farmakologi yang berupa teknik relaksasi nafas dalam dapat digunakan
kapan saja, efisien, murah dan tidak terdapat efek samping pada
penggunanya (Potter & Perry 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi D, Setyoadi, dan Widastra
NM (2009) menyatakan bahwa relaksasi nafas dalam dapat menurunkan
skala nyeri sedang pada lansia yang menderita arthritis rheumatoid
menjadi skala nyeri ringan. Sehingga teknik relaksasi dianggap efektif
dalam menurunkan intensitas nyeri pasien dan teknik ini dapat digunakan
sewaktu-waktu secara mandiri dikarenakan gerakannya yang sederhana.
Tambunan (2009) dan Potter & Perry (2006) menjelaskan langkah
teknik relaksasi nafas dalam yaitu :
8) Atur pasien pada posisi yang nyaman
9) Minta pasien untuk menempatkan tangannya ke bagian dada dan perut
10) Minta pasien untuk menarik nafas melalui hidung secara pelan, dalam
dan merasakan kembang-kempisnya perut
76
11) Minta pasien untuk menahan nafas selama beberapa detik kemudian
keluarkan nafas secara perlahan melalui mulut
12) Beritahukan pasien bahwa pada saat mengeluarkan nafas, mulut pada
posisi mecucu (pulsed lip)
13) Minta pasien untuk mengeluarkan nafas sampai perut mengempis
14) Lakukan latihan nafas dalam hingga 2-4 kali.
Supaya relaksasi dapat dilakukan dengan efektif, maka diperlukan
partisipasi individu dan kerja sama. Teknik relaksasi diajarkan hanya saat
klien sedang tidak merasakan rasa tidak nyaman yang akut hal ini
dikarenakan ketidakmampuan berkonsentrasi membuat latihan menjadi
tidak efektif (Potter & Perry 2006).
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan
frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan
bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat
dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap
inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dan ekshalasi (hembuskan, dua, tiga). Teknik
relaksasi juga tindakan pereda nyeri noninvasive lainnya, mungkin
memerlukan latihan sebelum pasien menjadi terampil menggunakannya
(Smeltzer & Bare 2002).
Tamsuri (2012) menjelaskan bahwa teknik relaksasi nafas dalam
merupakan cara yang paling mudah dilakukan dalam mengontrol ataupun
mengurangi nyeri. Selain mudah dilakukan, teknik ini tidak membutuhkan
banyak biaya dan konsentrasi yang tinggi, seperti halnya teknik relaksasi
77
lainnya, dan dengan menggunakan pengukuran skala wajah, pasien
mampu mengekspresikan nyeri yang dialaminya dengan mudah.
Dari konsep diatas dapat disimpulkan bahwa teknik relaksasi nafas
dalam merupakan teknik yang sederhana dan dapat digunakan secara
mandiri, sehingga tidak ditemukkannya kendala pada saat melakukan
relaksasi nafas dalam. Hal tersebut dikarenakan gerakan yang digunakan
pada relaksasi nafas dalam merupakan gerakan yang sederhana dan umum
digunakan oleh pasien.
4.4.4 Kendala perawat dalam pemberian teknik relaksasi nafas dalam
kepada pasien pasca operasi fraktur cruris
Kendala perawat dalam memberikan teknik relaksasi nafas dalam
kepada pasien pasca operasi fraktur cruris didapatkan hasil bahwa secara
prosedur perawat tidak mengalami kendala tapi kendala tersebut dapat
muncul kepada pasien yang kurang kooperatif. Perawat mengatasi kendala
tersebut dengan cara memberikan motivasi kepada pasien dan keluarga
untuk melakukan relaksasi nafas dalam jika nyeri yang dirasakan pasien
muncul.
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien atau
pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan
inspirasi secara maksimal) (Smeltzer & Bare 2002).
78
Perawat menghabiskan lebih banyak waktunya bersama pasien
yang mengalami nyeri dibandingkan tenaga professional perawatan
lainnya, dan perawat mempunyai kesempatan untuk membantu
menghilangkan nyeri dan efeknya yang membahayakan. Peran pemberi
perawatan primer adalah untuk mengidentifikasi dan mengobati penyebab
nyeri dan merasakan obat-obatan untuk menghilangkan nyeri. Perawat
tidak hanya berkolaborasi dengan tenaga professional lainnya tetapi juga
memberikan intervensi pereda nyeri, mengevalusi evektifitas intervensi,
dan bertindak sebagai advokat pasien saat intervensi tidak efektif. Selain
itu, perawat berperan sebagai pendidik untuk pasien dan keluarga,
mengajarkan untuk mengatasi penggunaan analgesic atau regimen pereda
nyeri oleh mereka sendiri ketika memungkinkan (Smeltzer & Bare 2002).
Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan kepada klien
diberbagai keadaan dan situasi, yang memberikan intervensi untuk
meningkatan kenyamanan. Perawat bertanggung jawab secara etis untuk
mengontrol nyeri dan menghilangkan penderitaan nyeri klien. Penting bagi
perawat untuk memahami makna nyeri bagi setiap individu.
Penatalaksanaan nyeri lebih dari sekedar pemberian analgesic. Dengan
memahami nyeri lebih holistic, maka perawat dapat mengembangkan
strategi yang lebih baik pada penanganan nyeri yang berhasil (Potter &
Perry 2006).
Apabila klien merasa terganggu atau menjadi tidak nyaman, maka
perawat akan menghentikan latihan tersebut. Apabila klien tampak
79
mengalami kesulitan dan mengalami relaksasi hanya pada sebagian tubuh,
maka perawat memperlambat kemajuan latihan dan berkonsentrasi pada
bagian tubuh yang tegang. Klien juga harus mengetahui sejak awal bahwa
latihan ini dapat dihentikan setiap waktu. Dengan melakukan latihan, klien
dapat dengan segera melakukan latihan relaksasi dengan mandiri (Tamsuri
2012).
Dari konsep diatas dapat disimpulkan bahwa dengan banyaknya
jumlah waktu yang dimiliki perawat dalam melakukan asuhan
keperawatan, perawat dapat melakukan intervensi secara mandiri untuk
membantu pasien dalam mengurangi rasa nyeri yang dimiliki sehingga
pada pelaksanaan pemberian teknik relaksasi tidak ditemukannya kendala
pada perawat.
80
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Penelitian yang berjudul “Teknik Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien
Pasca Operasi Fraktur Cruris di RSUD Dr. Moewardi Surakarta” ini dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
5.1.1 Respon nyeri pasien yang mengalami pasca operasi fraktur cruris di
RSUD Dr. Moewardi surakarta
Nyeri merupakan suatu pengalaman persepsi dan emosional dari
individu yang bersifat subjektif dan kurang menyenangkan. Untuk
mengetahui intensitas skala dan kualitas nyeri perawat harus melakukan
pengkajian dengan menanyakan intensitas nyeri yang dirasakan oleh
pasien. Respon individu terhadap nyeri dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain usia, jenis kelamin, kebudayaan makna nyeri, perhatian,
ansietas, keletihan, pengalaman sebelumnya, gaya koping dan dukungan
keluarga dan sosial.
5.1.2 Respon pasien pasca operasi fraktur cruris terhadap pemberian
teknik relaksasi nafas dalam
Teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan intensitas skala
nyeri dikarenakan dengan relaksasi nafas dalam dapat merelaksasikan
ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri, sehingga nyeri yang
81
dirasakan oleh responden dapat berkurang. Selain itu faktor yang
mendukung keberhasilan teknik relaksasi nafas dalam guna untuk
menurunkan intensitas nyeri adalah tahapan relaksasi nafas dalam, yang
baik dan benar, tingkat konsentrasi individu dan lingkungan yang nyaman.
Teknik relaksasi nafas dalam yang termasuk dalam terapi nonfarmakologis
hanya digunakan sebagai pendamping dari pengobatan utama atau medis.
5.1.3 Kendala pasien dalam pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam
untuk mengurangi intensitas nyeri pasca operasi fraktur cruris
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan teknik yang sederhana
dan dapat digunakan secara mandiri, sehingga tidak ditemukkannya
kendala secara prosedur pada saat melakukan relaksasi nafas dalam. Hal
tersebut dikarenakan gerakan yang digunakan pada relaksasi nafas dalam
merupakan gerakan yang sederhana dan umum digunakan oleh semua
orang.
5.1.4 Kendala perawat dalam pemberian teknik relaksasi nafas dalam
kepada pasien pasca operasi fraktur cruris
Banyaknya jumlah waktu yang dimiliki perawat dalam melakukan
asuhan keperawatan, sehingga memudahkan perawat untuk melakukan
intervensi secara mandiri untuk membantu pasien dalam mengurangi rasa
nyeri yang dimiliki sehingga pada pelaksanaan pemberian teknik relaksasi
tidak ditemukannya kendala pada perawat.
82
5.2. Implikasi Teori
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial.
Nyeri adalah alasan utama seseorang unuk mencari bantuan perawatan
kesehatan. Nyeri merupakan salah satu yang paling sedikit dipahami,
individu yang merasakan nyeri akan merasa tertekan atau menderita dan
mencari upaya untuk menghilangkan nyeri. Nyeri bersifat subjektif, tidak
ada dua individu yang megalami nyeri yang sama dan menghasilkan
respon atau perasaan yang identik pada seseorang individu.
Saat merasakan nyeri, seseorang secara alami akan mencari cara
untuk mengurangi nyeri yang dirasakan, begitu juga pada responden pada
penelitian ini. Responden menggunakan beragam cara untuk mengurangi
nyeri yang dirasakan. Adapun faktor yang mempengaruhi respon terhadap
nyeri diantaranya ialah faktor usia, jenis kelamin, budaya, dan ansietas.
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien atau
pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan
inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara
perlahan, selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relalsasi nafas
dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan
oksigenasi darah. Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai upaya
pembebasan mental dan fisik dari tekanan dan stres. Dengan relaksasi,
klien dapat mengubah persepsi terhdap nyeri. Kemampuannya dalam
83
melakukan relaksasi fisik dapat menyebabkan relaksai mental. Relaksasi
memberikan efek secara langsung terhadap fungsi tubuh seperti penurunan
tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernafasan, penurunan konsumsi
oksigen oleh tubuh serta penurunan tegangan otot.
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan
frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanyandan
bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat
dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap
inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dan ekshalasi (hembuskan, dua, tiga). Teknik
relaksasi juga tindakan pereda nyeri noninvasive lainnya, mungkin
memerlukan latihan sebelum pasien menjadi terampil menggunakannya.
5.3. Implikasi praktik
Pemberian teknik relaksasi nafas dalam pada pasien pasca operasi
fraktur cruris sangat efektif untuk menurunkan intensitas nyeri yang
dialami pasien, dikarenakan teknik relaksasi nafas dalam sangatlah mudah
untuk dilakukan oleh siapapun tanpa harus mengeluarkan biaya. Teknik
relaksasi nafas dalam juga merupakan intervensi mandiri seorang perawat
untuk memandirikan pasien agar dapat mengontrol nyeri yang dirasakan.
Selain itu teknik relaksasi nafas dalam yang termasuk dalam terapi
nonfarmakologis hanya digunakan sebagai pendamping dari pengobatan
utama atau medis
84
5.4. Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian di atas dapat diajukan
beberapa saran sebagai berikut :
1. Kepada Institusi Pendidikan Keperawatan
Sudah banyak literatur dan referensi dibidang keperawatan yang
membahas mengenai relaksasi nafas dalam untuk menurunkan skala nyeri,
namun masih minimnya penerapan secara langsung pada pasien pasca
operasi. Sehingga, peneliti menyarankan agar penelitian ini dapat dijadikan
referensi sebagai terapi non farmakologi untuk menurunkan skala nyeri
pasien pasca operasi.
2. Kepada Peneliti Lain
Penelitian ini dapat dilanjutkan oleh peneliti lain dengan mengubah
beberapa metode penelitian. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih
banyak kekurangan sehingga peneliti menyarankan pada peneliti lain agar
dapat memperjelas dalam mambuat lembar observasi yang akan diamati
sehubungan dengan teknik relaksasi nafas dalam dan memperpanjang
waktu penelitian sehingga peneliti lain mendapatkan hasil yang optimal.
3. Kepada Pelayanan Kesehatan
Peneliti menyarankan agar teknik relaksasi nafas dalam dapat
diberikan oleh perawat sebagai tindakan non farmakalogi yang lain.
85
Perawat dapat memandirikan pasien yang mengalami nyeri dengan
diberikan teknik relaksasi, sehingga pasien tidak bergantung kepada
pengobatan medik saja.
DAFTAR PUSTAKA
Ardinata, 2007,’Multidimensional nyeri’, Jurnal keperawatan rufaidah Sumatera
Utara, Vol. 2, No. 2.
Creswell, JW 2010, Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed,
Edisi 3, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Departemen Kesehatan RI 2007, Riset kesehatan dasar, diakses 3 November
2013, <http://www.depkes.co.id >.
Dewi, D, Setyoadi, dan Widastra, NM 2009, ‘pengaruh teknik relaksasi nafas
dalam terhadap penurunan persepsi nyeri pada lansia dengan arthritis
rheumatoid’, jurnal keperawatan soedirman, Vol. 4, No.2, Hal 46.
Farida, A 2010, ‘efektifitas terapi musik terhadap penurunan nyeri post operasi
pada anak usiaa sekolah di RSUP Haji Adam Malik Medan’, skripsi,
Universitas Sumatra utara, Sumatra utara.
Fathoni, A 2006, Metodologi penelitian dan teknik penyusunan skripsi, Asdi
Mahasatya, Jakarta.
Helmi, ZN 2011, Buku ajar gangguan muskuloskeletal, Salemba Medika, Jakarta.
Helmi, ZN 2012, Buku saku kedaruratan dibidang bedah ortopedi, Salemba
Medika, Jakarta
Nurdin, S, Kiling, M dan Rottie, J 2013, ‘Pengaruh teknik relaksasi nafas dalam
terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur di ruang irina a
blu RSUP Prof. DR. R.D kandou Manado’, ejurnal keperawatan (e-kp),
Vol 1, No. 1, Hal 1.
Patasik CK, Tongka J dan Rottie J, 2013’Efektifitas teknik relaksasi nafas dalam
dan guided imagery terhadap penurunan nyeri pada pasien post operasi
section caesarea di Irina D BLU RSUP Prof. Dr. R D Kandou Manado’,
ejurnal keperawatan (e-Kp), Vol. 1, No. 1.
Pinandita I, Purwanti E dan Utoyo B, 2012’ Pengaruh teknik relaksasi genggam
jari terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi
laparatomi’, jurnal ilmiah kesehatan keperawatan, Vol. 8, No. 1.
Potter, PA & Parry, AG 2005, Buku ajar fundamenta keperawatan konsep, proses,
praktik, Edisi 4, EGC, Jakarta.
Reeves, CJ, Roux, G and lockhart, R 2001, Keperawatan medical bedah, Edisi 1,
Salemba Medika, Jakarta.
Sjamjuhidajat, R & Jong, DW 2005, Buku ajar ilmu bedah, Edisi 2, EGC, Jakarta
Smeltzer, SC & Barre, BG 2002, Buku ajar keperawatan medikal bedah bruner &
suddart, Edisi 2, Vol 1, EGC, Jakarta.
Smeltzer, SC & Barre, BG 2002, Buku ajar keperawatan medikal bedah bruner &
suddart, Edisi 2, Vol 3, EGC, Jakarta.
Solehati, T 2008, ‘Pengaruh latihan teknik benso relaksasi terhadap intensitas
nyeri dan kecemasan klien post operasi section caesare di RS Cibabat
Cimahi dan RS San tika Asih Bandung’, Tesis, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Sugiyono, 2013, Memahami penelitian kualitatif, Cetakan kedelapan, Alfabeta,
Bandung.
Sumantri, A 2013, Metodologi penelitian kesehatan, Edisi 1, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
Sutopo, HB 2006, Metodologi penelitian kualitatif dasar teori dan terapannya
dalam penelitian, Edisi 2, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Tambunan, E 2009, Panduan praktik kebutuhan dasar manusia I berbasis
kompetensi, Salemba Medika, Jakarta.
Tamsuri, A 2012, Konsep & penatalaksanaan nyeri, EGC, Jakarta.
Waher, A, Salmond, S and Pellino, T 2002, Orthopaedic nursing, Edisi 3, PA. WB
Saunders Co, Philadelphia.
Wirya I dan Sari MD 2013, ‘Pengaruh pemberian masase punggung dan teknik
relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post
appendiktomi di zaal C RS HKBP Balige tahun 2011’, Jurnal
Keperawatan HKBP Balige, Vol. 1, No. 1
WHO 2011, ‘Decade of action or road safety: Indonesia’, diakses 6 November
2013, <www.who.searo/int>.