ta’ȂruĐ dalam al-qur’an -...
TRANSCRIPT
TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN
Analisis Atas Ayat-ayat Yang Diduga Bertentangan
SKRIPSI
AHMAD ZAIM
NIM: 1111034000108
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
i
ABSTRAK
Ta’âruđ adalah perselisihan antar dalil dalam memberikan hukum. Ada
beberapa ulama yang mengartikan kata ta’âruđ dengan pertentangan. Sehingga
sangat wajar jika pada kesimpulan yang akhir mereka berpendapat tidak ada
ta’âruđ dalam al-Qur’an. Di sisi lain, ada juga ulama yang mengartikannya
dengan perselisihan. Sehingga pada kesimpulan akhir sangat memungkinkan
adanya ta’âruđ dalam al-Qur’an.
Ta’âruđ dalam pengertian tersebut dapat dikompromikan atau dicarikan
jalan keluarnya dengan cara al-jam’u wa at-taufȋq, naskh dan tarjȋḥ. Ketiga
metode itu juga digunakan dalam penentuan hadis-hadis yang dianggap ikhtilaf
atau berselisih pendapat.
Ayat yang dibahas menggunakan metode ini adalah ayat yang berbicara
tentang hidayah yaitu bisa atau tidaknya manusia memberikannya. Kemudian ayat
yang membahas boleh dan tidaknya orang Islam meninggalkan puasa karena
sedang sakit atau dalam perjalanan jauh. Pembahasan selanjutnya mengenai ayat
yang membahas ‘iddah seorang wanita yang ditinggal mati suaminya sedang ia
dalam keadaan mengandung.
Dari ketiga contoh pembahasan ayat di atas dan diselesaikan
menggunakan metode yang sudah disebutkan, maka dapat dikatakan bahwa
ta’âruđ dalam al-Qur’an memang benar-benar ada dengan makna perselisihan,
bukan pertentangan. Karena biar bagaimanapun, al-Qur’an merupakan kitab suci
umat Islam yang berasal dari Tuhan sehingga tidak mungkin terdapat kontradiktif
antar ayat di dalamnya.
ii
KATA PENGANTAR
بسم ميحرلا نمحرلا هللا
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan hidayah
serta inayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi sebagai tugas
akhir masa studi yang berjudul “TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN: Analisa
Atas Ayat-ayat Yang Diduga Bertentangan” dengan lancar.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi agung
Muhammad SAW, keluarga dan shahabat-shabatnya. Karena berkat beliau-lah
kita dapat mengenal Islam dan keluar dari zaman jahiliyyah menuju zaman yang
terang benderang dengan dasar akhlak al-karimah yang kuat.
Tidak lupa juga kepada semua umat muslim dimanapun, semoga selalu
mendapatkan petunjuk-Nya. Terkhusus kepada pihak-pihak yang sudah
membantu saya baik materi maupun non materi hingga skripsi ini mampu selesai
dan berada di tangan pembaca.
Selain karena sebagai tugas akhir, sebenarnya penulis sudah menyoroti
tentang dalil-dalil yang terlihat bertentangan semasa mengikuti perkuliahan. Saat
itu penulis ingin sekali meneliti tentang hadis yang diduga bertentangan sebagai
tugas akhir. Namun, karena adanya beberapa faktor, sehingga penelitian harus
dialihkan ke al-Qur’an.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-
pihak terkait, yang sudah memberikan bantuan baik dari segi riil maupun materil.
Di antaranya adalah kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. Selaku rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A. Selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta beserta jajaran
dekanatnya.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A. Selaku kepala program studi Ilmu
al-Qur’an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd sebagai
sekretaris jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
iii
4. Bapak Abd. Moqsith selaku dosen pembimbing akademik.
5. Rifqi Muchtar selaku pembimbing skripsi yang senantiasa sabar
memberikan bimbingan dan arahan yang membangun untuk skripsi ini.
6. Kepada Bapak Akhsin Sakho yang telah meluangkan waktunya untuk
konsultasi mengenai skripsi ini.
7. Kepada semua dosen di Fakultas Ushuluddin yang tidak bisa saya
sebutan satu persatu.
8. Kepada ayah dan ibu saya yang selalu sabar dan memberikan motivasi
untuk selesainya skripsi ini.
9. Tidak lupa kepada teman-teman jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang
telah memberikan semua bantuan dan dukungan kepada sayayang tidak
bisa saya sebutkan satu persatu.
10. Terima kasih kepada keluarga besar alumni pesantren Raudlatul Ulum
Guyangan, terkhusus yang berada di Jakarta dan hidup di sekitar saya,
terima kasih atas dukungannya selama ini sehingga skripsi ini bisa
selesai.
Penulis sadar skripsi sangat jauh dari kata sempurna. Dari berbagai segi
pasti tulisan yang berada di depan anda ini mempunyai banyak kekurangan.
Karena itulah dengan kerendahan hati penulis meminta saran dan masukan untuk
perbaikan sehingga nantinya dapat dibaca oleh berbagai kalangan dan semoga
mendapatkan pengetahuan di dalamnya.
Akhir kata semoga kita termasuk hamba-hamba yang saling membantu
dalam kebenaran, berpacu dalam beramal dan mendapatkan ridha dari apa yang
sudah kita lakukan. Semua kita tetap berada di jalan-Nya hingga maut menjemput
dan dikumpulkan bersama orang-orang yang shalih. Amȋn yâ rabbal ‘âlamȋn.
Ciputat, Juli 2018
Ahmad Zaim
iv
Pedoman Transliterasi
Arab Indonesia Arab Indonesia
ţ ط a ا
’t ظ b ب
‘ ع t ت
ġ غ Ś ث
f ف j ج
q ق ḥ ح
k ك kh خ
l ل d د
m م ż ذ
n ن r ر
w و z ز
h ه s س
, ء sy ش
Y ي ş ص
h ة đ ض
Vokal Panjang
Arab Latin
 ا
ȋ إى
ȗ أو
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………...............………....i
KATA PENGANTAR……………………………….……… ...………………….ii
PEDOMAN TRANSLITERASI………………… ...…………………………….iv
DAFTAR ISI…………………………………...........................................……....v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Permasalahan .............................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 9
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 10
E. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 10
F. Metodologi Penelitian ............................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 12
BAB II LANDASAN TEORI ......................................................................... 14
A. Pengertian Ta‟âruđ ................................................................... 14
B. Macam-macam Ta‟âruđ ........................................................... 17
C. Syarat-syarat Ta‟âruđ ............................................................... 19
D. Cara Menyelesaikan Ta‟âruđ Dalam Al-Qur‟an ...................... 20
BAB III ANALISIS ATAS AYAT-AYAT YANG DIDUGA
BERTENTANGAN ........................................................................... 28
Analisa atas ayat yang diduga bertentangan tentang hidayah dalam
=surat al-Syura ayat 52 dengan surat al-Qaşşaş ayat 56. ................... 31
Analisa atas ayat yang diduga bertentangan tentang puasa dalam surat
al-Baqarah ayat 184 dengan ayat 185 ................................................ 38
Analisa atas ayat yang diduga bertentangan tentang „iddah dalam surat
al-Baqarah ayat 234 dengan surat at-Ţalaq ayat 4 ............................. 46
BAB IV PENUTUP .......................................................................................... 54
A. KESIMPULAN ......................................................................... 54
B. SARAN ..................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 56
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an adalah kitab yang diturunkan Allah kepada seluruh umat manusia
melalui perantara Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya menyimpan berbagai
macam petunjuk untuk manusia agar berjalan atas ridha Ilahi. Tiada keraguan
dalam kitab ini seperti yang termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 2 “Inilah kitab
(al-Qur‟ân) tiada keraguan di dalamnya.”1
Sejak turunnya al-Qur‟an sampai sekarang, kesuciannya masih tetap terjaga
karena Allah sendiri yang menjaganya. “Sesungguhnya kami (Allah bersama
Jibril yang diperintah-Nya) menurunkan al-Qur‟an dan kami (yakni Allah dengan
keterlibatan manusia) yang menjaganya.”2 Untuk memperkuat bahwa al-Qur‟an
bukan berasal dari manusia, Allah berfirman “Katakanlah, Seandainya manusia
dan jin berkumpul untuk menyusun semacam al-Qur‟an ini, mereka tidak akan
berhasil menyusun semacamnya, walaupun mereka bekerja sama.”3
Muhammad Abduh mengatakan bahwa al-Qur‟an adalah satu-satunya kitab
yang memuat berbagai masalah alam, secara empiris maupun sosial. Zaman telah
berlalu, keadaan ilmu pengetahuan dan aktivitas manusia pun telah berubah,
namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut. Oleh karena itu,
benar kiranya jika keselamatannya dari kesalahan ini dijadikan sebagai salah satu
aspek kemukjizatannya bagi manusia.4
Suatu kebenaran akan benar-benar dipercayai ketika mampu membuktikan
daya tahannya terhadap kritikan dan mampu menjawab setiap persoalan. Inilah
yang terjadi dalam al-Qur‟an, banyak yang tidak percaya akan kebenarannya
hingga mencari tahu sisi kelemahannya. Namun sampai sekarang ketahanan al-
1QS. al-Baqarah ayat 2.
2Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2007), h. 7.
3Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, h. 5.
4Abdul Majid Abdussalam Al-Muhtasib, Visi Dan Paradigma Tafsir Al-Qur‟an
Kontemporer (Jatim: Al-Izzah, 1997), h. 132.
2
Qur‟an masih tetap terjaga karena mampu menjawab semua anggapan maupun
kritikan tersebut.
Al-Qur‟an seolah menantang dirinya untuk dibedah. Tetapi, semakin
dibedah, rupanya semakin banyak saja yang tidak diketahui. Semakin ditelaah,
nampaknya semakin kaya pula makna yang terkuak darinya. Barangsiapa yang
mengaku tahu banyak tentang al-Qur‟an, justru semakin tahulah kita bahwa dia
tahu sedikit saja.5
Sejarah mengatakan sudah banyak yang ingin membuat yang serupa dengan
al-Qur‟an dan sampai saat ini belum ada satupun yang mampu menandinginya
baik dari segi keindahan makna maupun arti yang dikandungnya.
Bisa saja ada yang mengatakan “Sebenarnya ada yang sudah membuat
serupa dengan al-Qur‟an tapi tidak diketahui orangnya.” Ucapan semacam ini
jelas tidak ada dasarnya sama sekali. Ada beberapa alasan yang mendasarinya.
Pertama, amat sulit disembunyikan suatu berita penting menyangkut suatu
persoalan yang menjadi perhatian masyarakat umum. Bagaimana mungkin
keberhasilan menandingi al-Qur‟an dapat disembunyikan, sedangkan al-Qur‟an
sendiri mengajak seluruh manusia bahkan secara bersama-sama untuk
menandinginya?
Kedua, sejarah membuktikan adanya orang-orang yang berusaha
menandingi al-Qur‟an. Sejarah juga meriwayatkan ucapan-ucapan mereka, namun
pada akhirnya usaha mereka berakhir dengan kegagalan, bahkan mereka sendiri
mengakui akan kegagalan mereka.
Ketiga, pakar-pakar bahasa arab –non muslim sekalipun- hingga kini
mengakui keindahan al-Qur‟an dan kemukjizatannya. Prof. Isa J. Boullata, guru
besar Universitas McGill di Kanada dan beragama Kristen adalah salah seorang
yang mengajarkan al-Qur‟an dari segi keindahan bahasanya.
Keempat, sejarah menginformasikan adanya upaya-upaya menandingi al-
Qur‟an dari beberapa gelintir manusia, tetapi yang mereka upayakan dinilai oleh
kritikus susastra sebagai hal yang amat sederhana. Seperti contoh berikut ini:
ها سوة تسع تيي شساشفيي وحش الن تس كيف فعل زتك تالحثل اخسج ه
5 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur‟an , (Jakarta: Permadani, 2008), h. 3.
3
Penyusunan kalimat-kalimat di atas ingin menggambarkan betapa
kekuasaan Allah dan anugerah-Nya terhadap seorang wanita hamil. Tuhan
mengelurakan dari perutnya suatu makhluk hidup yang dapat bergerak antara
tulang rusuk dari (sisi) perutnya.
Digunakannya kalimat alam tara kaifa fa‟ala rabbuka untuk menandingi
surah al-fil yang juga dimulai dengan kalimat yang sama, tetapi penyusunnya
tidak sadar bahwa kata fa‟ala apabila pelakunya Allah maka uraian berikutnya
merupakan siksa atau ancaman siksa. Seperti dalam QS. Hud [11]: 107, Al-Buruj
[85]: 16, dan lain-lain.
Konon Musailamah al-Kadzdzab, seorang Arab dari Yaman mengaku
mendapatkan wahyu. Dia meyampaikan wahyu-wahyu itu, antara lain;
ا تليل الفيل هاالفيل وها ادزىك هاالفيل له خسطىم طىيل وذة اثيل وها ذاك هي خلق زت
Artinya: Gajah, apakah gajah, tahukah engkau apa gajah, dia mempunyai belalai
yang panjang, dan ekor yang mantap. Itu bkanlah bagian dari ciptaan Tuhan kita
yang kecil.
Kita bisa melihat makna dan pesan yang dikandung kalimat-kalimat tersebut
sangat sederhana, tetapi juga kata-kata yang digunakan bukan pada tempatnya.
Bahasa Arab tidak menggunakan kata wa mâ adrâka kecuali dalam hal-hal yang
amat agung lagi sulit dijangkau hakikatnya. Karena itu al-Qur‟an tidak
menggunakan kalimat itu, kecuali untuk hari kiamat, surga, neraka, bintang
tertentu yang gemerlapannya menembus cakrawala, dan perjuangan mendaki
menuju hadirat Ilahi. Bukannya semacam apa yang diungkapkan di sini, tentang
gajah, belalai dan ekornya.
Demikian terlihat bahwa berita tentang adanya yang berupaya menantang
al-Qur‟an cukup tersebar, hanya saja tidak dihiraukan karena mutunya sangat
rendah.6
Selain penantang al-Qur‟an, ada juga orang yang menyerang al-Qur‟an
dengan mengatakan bahwa kitab umat Islam itu tidak konsisten karena terdapat
ayat-ayat yang saling bertentangan. Padahal al-Qur‟an sendiri mengatakan bahwa
6 Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur‟an ,(Bandung: Mizan, 1997), h. 269-271.
4
ayat-ayatnya tidak ada yang kontradiktif, saling menjawab dan terkait satu sama
lain.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur‟an? Kalau kiranya al-
Qur‟an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.” (An-nisa‟ : 82). Maksudnya adalah ketika al-Qur‟an itu
dari sisi Allah, maka tidak akan ada perselisihan di dalamnya sama sekali. Semua
yang ada dalam al-Qur‟an saling sesuai dan saling membenarkan, sebagiannya
tidaklah membatalkan sebagian yang lainnya. Dengan demikian diketahuilah
kesempurnaan al-Qur‟an dan bahwasanya ia adalah dari Dzat yang ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu.7
Walaupun demikian, diakui maupun tidak, ada beberapa ayat yang memang
redaksinya terlihat bertentangan. Sehingga para ulama menyinggung tentang
ta‟âruđ dalam al-Qur‟an yang secara bahasa berarti bertolak belakang, kontradiksi
atau bertentangan.8 Seperti halnya banyak pembahasan tentang ta‟âruđ dalam
kitab-kitab ushul fiqh dan ulum al-hadis tak terkecuali juga kitab ulum al-Qur‟an,
al-itqan karya imam Jalaluddin Al-Suyuthi juga menyinggung soal ini.
Di antara ayat-ayat yang terlihat saling bertentangan adalah ayat yang
membahas tentang „iddah. Yaitu ayat 234 surat al-Baqarah dengan ayat 3 surat at-
thalaq. Ayat pertama menghendaki bahwa „iddah bagi seorang wanita adalah tiga
kali suci. Sedangkan ayat kedua menghendaki bahwa „iddah sorang wanita adalah
setelah melahirkan.
Contoh lainnya adalah dalam surat an-nisa‟ ayat 48:
ا و ث ي إ س ت اف د ف الل ت ك س ش ي ي ه و اء ش ي ي و ل ك ل ذ ى و ا د ه س ف غ ي و ه ت ك س ش ي ى أ س ف غ ي ل للا ى إ
او ي ظ ع
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barang siapa yang mempersekutukan Allah, sesungguhnya ia telah berbuat dosa
yang besar.”
Di ayat lain, Allah juga berfirman :
7Abdurrahman bin Nashir Al-Sa‟di, Tafsir As-Sa‟di, (jakarta : Darul Haq, 2007), h. 143.
8Az-Zarkasyi, Bahrul Muẖîţ fî Ushûl al-fiqh, (Beirut: Dârul Kitâb Ilmiah, 1971), h. 407.
5
ل ىا ع ف س س أ ي ي ر ال اد ث ا ع ي ل ق ا ع ي و ج ب ى الر س ف غ ي للا ى ا للا ة و ح ز ي ىا ه ط ت ل ن ه س ف أ
ن ي ح الس ىز ف غال ى ه ه إ
“Katakanlah: Hai hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Zumar: 53).
Ayat pertama berbicara tentang dosa yang tidak diampuni oleh Allah yaitu
syirik. Sedangkan ayat kedua mengatakan bahwa semua dosa yang dilakukan oleh
hamba-hamba-Nya pasti diampuni oleh Allah. Maka Dia melarang untuk berputus
asa dari rahmat-Nya. Keumuman pembahasan ayat kedua ini memunculkan
pemahaman bahwa semua dosa termasuk syirik akan diampuni oleh Allah. Dari
sini kemudian dapat diketahui bahwa kedua ayat di atas terlihat bertentangan.
Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, kedua ayat di atas tidaklah bertentangan
melainkan menafsirkan satu sama lain, walaupun tidak berurutan dan berada
dalam surat yang sama.
Seperti halnya yang disinggung dalam bukunya Dr. Umar Shihab,
penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an dalam kajian ulum al-Qur‟an dikenal
dengan dua macam metode tafsir. Pertama, tafsir muttashil, yakni menafsirkan
suatu ayat dengan ayat berikutnya secara berkaitan atau berhubungan. Kedua,
tafsir munfashil, yakni menafsirkan ayat dengan ayat lain yang berbeda tempat.9
Sehingga sangat wajar jika ayat satu menafsirkan ayat lain walaupun berbeda
surat.
Permasalahan seperti ini sering di salah artikan oleh banyak kalangan,
termasuk di Indonesia sendiri. Banyak yang beranggapan bahwa semua dosa
dapat diampuni oleh Allah kecuali dosa syirik. Padahal tidak, justru ayat yang
terkesan bertentangan menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan semua dosa
bisa diampuni oleh Allah SWT.
Bermula dari permasalahan tersebut, penulis merasa penting untuk
membahas dan menganalisa lebih lanjut ayat-ayat yang terlihat bertentangan agar
9 Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur‟an , h. 11.
6
tidak terjadi kerancuan makna dalam menafsirkan al-Qur‟an serta membantah
sebagian orang yang mengatakan bahwa dalam al-Qur‟an terdapat ayat yang
saling bertentangan satu dengan yang lainnya sehingga bisa disebut sebagai kitab
yang tidak konsisten.
Sebenarnya pertentangan ini sangat dipengaruhi oleh pembaca al-Qur‟an.
Bisa jadi orang tersebut memang membenci Islam dan menyerang melalui al-
Qur‟an bahwa kitab tersebut bukan berasal dari Tuhan, dengan bukti ada
pertentangan di dalamnya. Kedua pertentangan tersebut berasal dari seseorang
yang memahami al-Qur‟an hanya sebatas dzahirnya saja sesuai kadar
keilmuannya. Sehingga menganggap dalam al-Qur‟an terdapat ayat yang
bertentangan.
Al-Qur‟an sendiri sudah menjelaskan tidak ada yang bertentangan antar satu
ayat dengan yang lainnya. Karena hal itulah penulis ingin lebih memfokuskan
pembahasan mengenai ayat-ayat yang terlihat bertentangan dengan mengambil
judul “Ta’âruđ Dalam Al-Qur’an. Analisis Atas Ayat-ayat Yang Diduga
Bertentangan” agar pembahasan lebih mendalam dan hasil yang didapat lebih
terperinci.
Alasan pengambilan judul ini juga dilatar belakangi oleh salah satu
pembahasan dari disiplin ilmu lain yakni ushul fiqih dan ulumul hadis.
Pembahasan tersebut yaitu mengenai ta‟âruđ, yang sering dikenal dengan
pertentangan dua dalil.
Dalam hukum fiqih, mungkin ta‟âruđ sangat terbuka lebar adanya
mengingat hukum fiqih juga berasal dari istinbath para ulama dan para para ulama
sangat memungkinkan dalam berbeda pendapat. Sehingga sangat wajar ketika
terdapat hukum yang seperti bertolak belakang dan mempunyai dasar masig-
masing.
Hal ini juga mungkin terjadi dalam ruang lingkup ilmu hadis. Mengingat
ilmu mukhtalif hadis, mengindikasikan ada hadis-hadis yang bermasalah
terkhusus seperti terlihat bertentangan. Permasalahan utamanya justru dalam dasar
hukum utama umat Islam, yaitu al-Qur‟an. Salah satu ayatnya menjelaskan tidak
7
ada yang bertentangan, namun ternyata ada yang bertentangan walaupun dari segi
dzahirnya saja karena belum dikaji secara mendalam.
Lebih lanjut, terdapat kitab yang khusus membahas tentang ta‟âruđ dan
dalam isinya mengambil contoh ayat al-Qur‟an. Hal ini juga menjadi indikator
tersendiri bahwa dalam al-Qur‟an memang terdapat ta‟âruđ.
Inilah yang kemudian penulis ingin mengangkat tema analisa ayat-ayat
diduga bertentangan namun juga masih dianggap sebagai ta‟âruđ. Karena
pembahasan ini nantinya lebih kompleks dari sekedar pembahasan ayat yang
terlihat bertentangan namun tidak masuk dalam kategori ta‟âruđ.
Alasannya jelas, ta‟âruđ mempunyai syarat sendiri yang terbilang susah
dipercaya jika al-Qur‟an ternyata juga masuk dalam kajian pembahasan ini.
Mengingat yang dikenal secara umum ta‟âruđ merupakan pertentangan dua dalil
sedangkan ayat al-Qur‟an tidak ada yang bertentangan. Jelas dan pasti karena
kitab ini sendiri yang mengatakannya dalam salah satu ayatnya.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
a. Makna ta‟âruđ dalam al-Qur‟an.
b. Adakah ayat-ayat yang bertentangan (ta‟âruđ) dalam al-Qur‟an?
c. Cara menyelesaikan ayat-ayat yang terlihat bertentangan.
d. Analisa ta‟âruđ dalam al-Qur‟an yang berbicara tentang hidayah.
e. Analisa ta‟âruđ dalam al-Qur‟an yang berbicara tentang puasa.
f. Analisa ta‟âruđ dalam al-Qur‟an yang berbicara tentang „iddah.
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
a. Pembatasan masalah
Agar pembahasan karya tulis ini lebih terarah, penulis membatasi masalah
yang akan dibahas hanya seputar analisa ayat-ayat yang terlihat bertentangan dan
merupakan ta‟âruđ. Ayat-ayat yang kemudian dijadikan contoh adalah ayat yang
berbicara mengenai hidayah, puasa dan „iddah. Lebih jelas, berikut adalah ayat-
nya yang merupakan ta‟âruđ dan terlihat bertentangan:
8
a. Surat al-Syura ayat 52 dengan surat al-Qaşşâş ayat 56 tentang
hidayah.
b. Surat al-Baqarah ayat 184 dengan 185 tentang puasa.
c. Surat al-Baqarah ayat 234 dengan surat at-Ţalaq ayat 4 tentang „iddah.
Memang masih banyak ayat-ayat lain yang terlihat bertentangan selain
empat ayat yang terlihat kontradiktif di atas. Seperti halnya yang disinggung oleh
Amir Syarifuddin dalam kitab ushul fiqih karyanya. Disana beliau menuliskan
bahwa Al-Sayuthi dalam al-itqân menurut yang dinukilkan Al-Khudhari
menyebutkan bahwa perbenturan ayat-ayat dalam al-Qur‟an itu ditemukan pada
20 tempat.10
Kesemua ayat tersebut belum tentu merupakan ta‟âruđ. Sehingga lebih
mudahnya penulis mengambil contoh ayat yang dijadikan contoh pembahasan
ta‟âruđ dalam salah satu kitab ushul fiqih, yaitu kitab al-Ushûl min Ilmi al-Ushûl
karya Muhammad Shalih Al-„Usyaimin.
Dalam kitab tersebut terdapat beberapa contoh ayat untuk membahas bab
tentang ta‟âruđ ini. Tidak ada pembahasan secara rinci tentang contoh ayat
tersebut. Dalam kitab tersebut hanya dijelaskan tentang contoh ta‟âruđ kemudian
penyelesaiannya. Tidak disertakan bagaimana proses penyelesaian contoh-contoh
ayat yang terlihat bertentangan tersebut. Karena itulah penulis ingin mencoba
menganalisa lebih lanjut mengenai ayat-ayat tersebut.
Mulai dari alasan kenapa ayat tersebut dianggap sebagai ayat yang
bertentangan hingga metode yang digunakan mufassir dalam menafsirkan ayat
tersebut sehingga mendapatkan suatu kesimpulan. Tentu hal ini juga bertujuan
agar nantinya tidak ada kerancuan makna yang mengakibatkan pembelajar al-
Qur‟an menganggap bahwa kitab suci umat Islam ini tidak konsisten dalam
menentukan suatu hukum atau menyelesaikan suatu masalah.
Selain itu pembatasan masalah ini juga dikarenakan metode penyelesaian
yang digunakan. Terdapat tiga metode penyelesaian dalam menghadapi ayat yang
terlihat bertentangan. Karena itulah kemudian penulis membatasi pembahasan
10
Amir Syarifuddin, Ushul fiqih, (jakarta: Kencana, 2011), h. 260
9
masalah hanya seputar tiga ayat tersebut karena memang masing-masing ayat
tersebut merupakan contoh dari metode yang digunakan.
b. Perumusan masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini meliputi pembahasan tentang ta‟âruđ
apakah terdapat dalam al-Qur‟an atau tidak. Pembahasan kemudian mengambil
contoh surat asy-Syura ayat 52 dengan surat al-Qaşşaş ayat 56. Apakah kedua
ayat ini memang bertentangan. Metode yang digunakan dalam menganalisa ayat
ini adalah dengan metode analisis.
Dalam menghadapi ayat-ayat yang terlihat bertentangan, dikenal dengan
metode al-jam‟u wa at-tafiq, naskh dan tarjih. Metode inilah yang akan
digunakan untuk menyelesaikan ayat-ayat yang terlihat bertentangan dalam
hidayah, puasa dan „iddah. Ayat yang dimaksud adalah ayat yang terdapat dalam
surat al-Baqarah yaitu ayat 184 dengan ayat 185 dan surat al-Baqarah ayat 234
dengan surat ath-thalaq ayat 4.
Dari latar belakang inilah kemudian penulis merumuskan masalah
bagaimana penyelesaian ayat-ayat tentang hidayah, puasa, dan iddah yang
bertentangan ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya
pertentangan ayat dalam al-Qur‟ân. Bagitu banyaknya ayat-ayat yang terlihat
bertentangan dalam al-Qur‟an menjadikannya menjadi sasaran empuk bagi
pembenci Islam untuk menyerang melalui dasar utamanya yaitu al-Qur‟an itu
sendiri. Biarpun begitu, tetap saja kitab suci ini mampu menghadapi tuduhan-
tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Penulisan ini juga bertujuan untuk menggali dan menganalisa lebih dalam
jawaban-jawaban yang disampaikan para ulama terhadap tuduhan-tuduhan tentang
adanya ayat-ayat yang bertentangan. Dengan kata lain, penulisan ini
menghadirkan ayat-ayat yang terlihat bertentangan kemudian menyelesaikannya
dengan kaidah-kaidah keilmuan yang ada.
10
Kemudian, penelitian ini dilakukan juga untuk menggali dan menganalisa
lebih dalam ayat yang terlihat bertentangan dalam akidah, muamalat dan hukum
menurut pendapat ulama kontemporer. Sehingga penelitian ini mampu
menghadirkan salah satunya adalah proses dalam pengambilan dan penentuan
suatu hukum.
D. Manfaat Penelitian
Berawal dari tujuannya, penelitian ini mempunyai manfaat yang cukup
besar yaitu bisa menjadi jawaban tuduhan kaum pembenci Islam yang
mengatakan bahwa al-Qur‟an terdapat beberapa ayat yang bertentangan.
Penelitian ini diharapkan mampu menjawab tuduhan itu dengan menghadirkan
contoh ayat-ayat yang terlihat bertentangan kemudian menganalisanya hingga
mendapatkan titik temunya.
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah informasi dan
pemahaman tentang ayat-ayat yang terlihat bertentangan dalam al-Qur‟an serta
cara yang tepat untuk menyikapinya. Sehingga hasilnya nanti diharapkan mampu
memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan dan pembaruan dalam
diskursus ilmu al-Qur‟an.
E. Tinjauan Pustaka
Penulis mengamati sudah ada Skripsi dan jurnal yang menyinggung tema
ini, yaitu skripsi yang ditulis Ali Muazis, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta lulus tahun 2015 dengan judul “Kajian Metodologis Pengkompromian
ayat-ayat yang tampak kontradiktif perspektif al-syinqithi.”11
Dia menjelaskan
tentang metode yang digunakan Al-Syinqithi dalam menafsirkan ayat-ayat yang
terlihat bertentangan. Sebelumnya dia juga menjelaskan syarat-syarat ayat yang
bisa dikatakan sebagai ta‟âruđ atau yang terlihat bertentangan.
Karya lain yaitu sebuah jurnal karya Kaizal Bay yang diterbitkan pada tahun
2011 juga membahas tentang ta‟âruđ namun hanya dalam lingkup hadis dan
11
Ali Muazis, “Kajian Metodologis Pengkompromian Ayat-ayat yang Tampak Kontradiktif Perspektif Al-Syinqithi”, (Skripsi S1 fakultas Ushuluddin,Universitas Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2015).
11
metodenya. Jurnal tersebut berjudul “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif
Menurut al-Syafi‟i.”
Mengenai hadis, penulis juga melakukan kajian dalam jurnal-jurnal yang
hampir sama, yaitu membahas hadis yang terlihat bertentangan. Di antaranya
adalah jurnal yang berjudul Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif, Mukhtalif al-
Hadith (Pertentangan Hadis dan Metodologi Penyelesaiannya) dan Metode
Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi‟i. Selain itu, juga ada jurnal
yang membahas tentang al-Qur‟an yang berjudul Klarifikasi al-Darwaish atas
Pandangan Orientalis tentang Kontradiksi Ayat al-Qur‟an dengan Kaidah Nahwu.
Pembahasan tentang ta‟âruđ juga pernah dibahas oleh Syamsul Anwar
dalam suatu jurnal yang diterbitkan pada tahun 2013 dengan judul “Ta‟âruđ al-
„adillah dan Tanâwu‟ Dalam Ibadah: Tinjauan Tentang Bacaan Basmalah Dalam
Shalat.” Dia hanya menjelaskan spesifik tentang pertentangan bacaan basmalah
dalam shalat.
F. Metodologi Penelitian
a. Jenis penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
kepustakaan atau yang biasa disebut dengan metode kualitatif. Yaitu metode yang
yang dalam pengertiannya adalah metode pengumpulan data yang hanya
menggunakan buku-buku referensi atau studi pustaka.
Penelitian ini tidak mengharuskan studi lapangan atau dalam penelitian dan
penyusunannya menggunakan metode kualitatif. Yaitu perhitungan data-data yang
sudah diperoleh dari survey lapangan kemudian disimpulkan menggunakan
perhitungan data untuk mendapatkan hasil yang akurat. Sehingga cukup hanya
menggunakan buku referensi untuk menyusunnya.
b. Sumber data
1. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah tafsir al-Qur‟an karya
Quraish Shihab yaitu tafsir al-Misbah. Kemudian didukung dengan
tafsir-tafsir lain yang juga memuat keterangan tentang ta‟âruđ.
12
2. Sebagai sumber pendukung, penulis juga akan mencantumkan
beberapa pendapat ulama tafsir klasik maupun kontemporer lainnya
yang membahas tentang ayat-ayat yang terlihat bertentangan. Di
antara tafsir klasik yang dimaksud adalah tafsir Ibnu Katsir. Selain
menggunakan tafsir, penulis juga mengambil rujukan dari beberapa
dokumen, tulisan-tulisan yang sudah dipublikasikan dalam bentuk
buku, jurnal ataupun artikel yang menguraikan pembahasan berkaitan
dengan tema yang diteliti.
c. Metode pengumpulan data
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah dengan mengumpulkan tafsir-tafsir yang menyinggung
tentang ta‟âruđ. Selain itu penulis juga mengumpulkan buku-buku yang
sudah diterbitkan dan jurnal-jurnal yang membahas tentang tema ini.
Termasuk jurnal yang membahas tentang ayat dalam al-Qur‟an yang
dijadikan sebagai contoh ta‟âruđ.
Lebih lanjut penulis akan meneliti ayat tersebut dengan mengambil
pendapat-pendapat para ulama dalam memaknai ayat yang dimaksud.
Setelah terkumpul menjadi satu, penulis akan meneliti dan menarik
kesimpulan dari penelitian itu. Tidak lupa juga penulis mengambil marâji‟
dari karya-karya lain untuk mendukung kesimpulan tersebut.
d. Metode penulisan
Dalam teknik penulisan, penulis mengacu kepada Pedoman Penulisan
Skripsi Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah. Dan
menggunakan pedoman translitrasi Romanisasi Standar Bahasa Arab Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan.
G. Sistematika Penulisan
Demi terciptanya karya yang sistematis dan memudahkan pembaca
memahaminya, penulis membagi karya ini menjadi empat bab pokok dan
beberapa sub bab untuk menjelaskan antar bab pokoknya. Keempat bab pokok
13
yang dimaksud adalah pendahuluan, pengertian dan pengetahuan umum tentang
ta‟âruđ, analisis dan penutup.
Bab pertama, merupakan pendahuluan dari kajian ini yang berisi dasar
pemikiran yang melatarbelakangi terpilihnya kajian ini. Kemudian identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, berisi tentang pengetahuan umum tema yang dikaji, yaitu
ta‟âruđ. Bab ini membahas secara detail tentang ta‟âruđ. Mulai dari pengertian
umum, macam-macam ta‟âruđ, syarat-syarat ta‟âruđ, hingga cara yang benar
dalam menyelesaikan ta‟âruđ. Semua pembahasan dalam bab ini masih bersifat
umum/global.
Bab ketiga, membahas tentang tema utama penulisan ini, yaitu menganalisa
secara detail ayat-ayat yang terlihat bertentangan dan masuk dalam kategori
ta‟âruđ. Ayat yang dibahas meliputi ayat yang berbicara mengenai hidayah yaitu
surat asy-syura ayat 52 dengan surat al-qaşşaş ayat 56. Kemudian penulis akan
menganalisa ayat yang membahas tentang „iddah wanita dalam surat al-Baqarah
ayat 234 dengan surat at-thalaq ayat 4. Yang terakhir menganalisa surat al-
Baqarah ayat 184 dengan ayat 185 tentang puasa.
Bab keempat, merupakan penutup yang berisi kesimpulan secara
keseluruhan yang dilakukan oleh penulis berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dan saran untuk melakukan riset lanjutan dari penulis kepada pembaca
untuk sesuatu yang kurang/belum dibahas dalam tema penelitian ini.
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Ta’âruđ
Kata ta‟âruđ berasal dari bahasa arab „arađa yang berarti berlawanan,
bentrokan.1 Bertambahnya huruf (ta‟) dan (alif) di fa‟ fi‟il dan „ain fi‟il,
menjadikan maknanya saling berhadapan atau saling bertentangan. Dalam kaidah
ilmu sharaf, kata ta‟âruđ mengikuti wazan tafâ‟ala yang mempunyai faidah
musyârakah baina al-itsnaȋn yaitu saling bergantungan satu sama lain. Tidak akan
terjadi satunya tanpa adanya lainnya.2
Sudah menjadi hal biasa antar pakar keilmuan, meskipun substansi
maknanya sama akan tetapi terdapat beragam perbedaan redaksi dalam
mendefinisikan sebuah kata atau istilah. Begitu juga ushȗliyyîn dalam
mendefinisikan arti kata ta‟âruđ. Menurut Abdul Wahbah Khallaf ta‟âruđ adalah
kontradiksi di antara dua nash.3 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin mendefinisikan
kata ini dengan saling berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu di antara
dua dalil itu menafikan hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya.4 Sedangkan
menurut Muhammad bin Sholeh al-„Utsaimin ta‟âruđ adalah saling
berhadapannya dua dalil dari sisi salah satunya menyelisihi yang lain.5 Dalam
kitabnya, beliau juga mengutip dari pendapat ushȗliyyîn bahwa ta‟âruđ adalah
tuntutan salah satu dari dua dalil terhadap hukum dalam keadaaan tuntutan
tersebut bertentangan dengan tuntutan dalil lain.6
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ta‟âruđ adalah dalil
yang menghendaki suatu hukum yang dalil tersebut berbeda dengan dalil lain
1 Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia al-Munawir, Edisi kedua,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 917. 2 Abdul Lathif Abdullah Aziz Al-Barzanji, al-Ta‟âruđ wa al-Tarjîẖ Baina al-Adillah al-
Syar‟iyyah, (Beirut: Darul Kutub al-Alamiah, 1993), h. 15. 3 Abdul Wahbah Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), h. 369. 4 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pernada Media Grup, 2008),h. 241.
5 Muhammad bin Sholeh Al-„Utsaimin, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Abu
Shilah dan Ummu Shilah, (Tholib 2007), h. 116. Muhammad bin Sholeh al-„Utsaimin Al-Uşûl min Ilmi al-Wuşûl, Dar al-Hadi al-Muhammadi, h. 59.
6 Muhammad bin Sholeh al-„Utsaimin, al-Uşûl min „ilmi al-Wuşûl, h. 243.
15
dalam menghukumi sesuatu yang sama. Walaupun asal kata mempunyai arti
bertentangan, namun dalam praktiknya belum tentu demikian. Asumsinya, bisa
dikatakan sebagai dalil yang bertolak belakang, kontradiktif, berlawanan jika dalil
tersebut benar-benar tidak bisa dikompromikan lagi. Seperti perkataan seseorang
dalam satu waktu yang mengatakan fulan pergi dan fulan tinggal. Karena tidak
mungkin dalam satu waktu fulan tinggal dan pergi. Dua kata tersebut kelihatan
dan memang kontradiktif satu dengan yang lain.
Berbeda dengan ta‟âruđ yang mana masih memungkinkan untuk
dikompromikan atau dicarikan titik temunya. Memang terdapat perbedaan antar
ulama dalam mengartikannya. Pendapat yang mengatakan bahwa ta‟âruđ adalah
kontradiksi antara dalil satu dengan lain, juga akan berpendapat bahwa tidak akan
terjadi dalam al-Qur‟an dan hadis shahih. Sedangkan yang mengatakan bahwa
ta‟âruđ adalah perbedan dalil dalam menghendaki suatu hukum akan
berkesimpulan bahwa ta‟âruđ juga terdapat dalam al-Qur‟an dan hadis.
Karenanya kemudian muncul metode yang digunakan dalam menyikapinya,
diantaranya adalah ilmu naskh kemudian, tarjȋh, dan lain sebagainya.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang
mungkin berbenturan. Pendapat terbanyak di antara para ulama mengatakan
bahwa antara dua dalil yang qath‟i tidak mungkin terjadi perbenturan. Alasannya
karena setiap dalil yang qath‟i mengharuskan adanya madlȗl yang di antara
sesamanya saling berbenturan. Dengan demikian, akan terjadi dua hal yang saling
meniadakan pihak lain. Hal ini tidak mungkin terjadi, seperti adanya dalil yang
menunjukkan bahwa alam ini baru, dan dalam waktu yang sama ada dalil yang
menunjukkan bahwa alam ini qadim (terdahulu). Kedua dalil itu menunjukkan
baru dan qadimnya alam ini dalam waktu yang sama.
Hal ini tidak mungkin terjadi karena al-Qur‟an sendiri mengatakan bahwa
ayat-ayatnya tidak ada yang bertentangan, saling menjawab dan terkait satu sama
lain. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur‟an? Kalau kiranya al-
Qur‟an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.” (an-Nisa‟ : 82). Maksudnya adalah ketika al-Qur‟an itu dari
sisi Allah, maka tidak akan ada perselisihan di dalamnya sama sekali. Semua yang
16
ada dalam al-Qur‟an saling sesuai dan saling membenarkan, sebagiannya tidaklah
membatalkan sebagian yang lainnya. Dengan demikian diketahuilah
kesempurnaan al-Qur‟an dan bahwasanya ia adalah dari Dzat yang ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu.7
Allah berfirman dalam kitab-Nya, “Allah menurunkan kitab al-Qur‟an
dengan penuh kebenaran dan kesimbangan,” QS. asy-Syura ayat 17. Sebagai
contoh, kata “hayât” terulang sebanyak antonimnya yaitu maut masing-masing
sebanyak 145 kali. Akhirat terulang sebanyak 115 kali sama dengan dunia.
Malaikat terulang sebanyak 88 kali sama dengan setan. Ṭuma‟ninah (ketenangan)
terulang 13 kali sebanyak kata dhijg (kecemasan). Panas terulang 4 kali sebanyak
kata dingin.
Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk kepada dampaknya yaitu
ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali. Kikir sama dengan akibatnya yaitu
penyesalan masing-masing 12 kali. Zakat sama dengan berkat yakni kebajikan
melimpah masing-masing 32 kali. Masih amat banyak keseimbangan lainnya
seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak 365 sejumlah dengan hari-hari dalam
setahun. Kata syahr (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam
setahun.8
Sejatinya, tidak terdapat kontradiksi yang sebenarnya antara dua ayat, dua
hadis shahih, atau antara ayat dengan hadis shahih. Apabila tampak ada
kontradiksi antara dua nash di antara nash-nash itu maka itu hanyalah kontradiksi
lahir saja sesuai dengan yang tampak kepada akal kita. Bukan kontradiksi yang
sebenarnya. Karena menurut syar‟i yang Esa dan Maha Bijaksana itu tidak
mungkin jika keluar dari Dia dalil yang menghendaki hukum suatu peristiwa dan
keluar dari Dia juga dalil lain yang menghendaki dalam peristiwa itu, hukum yang
bertentangan dengan hukum pertama dalam satu waktu.9
7 Abdurrahman bin Nashir Al-Sa‟di, Tafsir As-Sa‟di, (jakarta : Darul Haq, 2007), h. 143.
8 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Mauđû‟i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1996), h. 4. 9 As‟ad Abdul Ghani Al-Kafrawi dan Ahmad Mukhtar Mahmud, Muẖâđarât fi Uşûl al-
Fiqh, (Jami‟ah al-Azhar, Kulliyah al-Dirâsat al-Islâmiyah wa al-„Arâbiyah, 1422 H/2002 M), h.
183.
17
Maka jika didapati dua nash yang lahirnya kontradiksi, wajib berijtihad
untuk memalingkan dua nash itu dari lahirnya, dan memperhatikan hakikat
pengertian keduanya. Ini untuk memahasucikan Syâri‟ yang Maha Mengetahui
dan Bijaksana dari kontradiksi dalam pembentukan syari‟at-Nya. Jika mungkin
menghilangkan kontradiksi yang bersifat lahir antara dua nash itu dengan
menghimpun dan mengkompromikan keduanya maka dipadukanlah keduanya itu
dengan dilaksanakan keduanya. Karena sebenarnya tidak ada kontradiksi antara
kedua nash itu.10
Berbeda dengan pendapat di atas, ada juga sebagian ulama yang
berpendapat memungkinkan bertemunya dua dalil qath‟i yang saling meniadakan;
masing-masing dalil itu dipegang oleh ulama (mujtahid) tertentu yang
memandangnya sebagai dalil qath‟i.11 Namun, kedua golongan yang berbeda
pendapat itu semuanya sepakat bahwa terjadinya perbenturan dalil tersebut hanya
dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil-dalil itu sendiri tidak
ada perbenturan.12
B. Macam-macam Ta’âruđ
Secara umum ta‟âruđ dibagi menjadi tiga:
a. Ta‟âruđ antara dalil qath‟i dengan dzanni.
Yaitu pertentangan antara dalil-dalil syara‟ yang bersifat pasti (seperti
al-Qur‟an dan hadis mutawatir) dengan dalil yang bersifat praduga (seperti
hadis ahad). Banyak dari uşȗliyyîn mengatakan bahwa ta‟âruđ antara dalil
qath‟i dengan dalil dzanni itu tidak ada. Alasannya dalil qath‟i lebih kuat
dibanding dalil dzanni. Sehingga sudah sewajarnya jika dalil qath‟i harus
didahulukan dibanding dengan dalil dzanni. 13
b. Ta‟âruđ antara dalil qath‟i dengan qath‟i.
10
Abdul Wahbah Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002),h. 371. 11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, h. 242. 12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, h. 243. 13
Muhammad Wafa, Ta‟âruđ al-Adillah al-Syar‟iyyah minal Kitâb wa al-Sunnah wa al-
Tarjîẖ Bainaha, (Al-Matani: 1992), h. 31.
18
Yang dimaksud dalil qath‟i di sini adalah dalil-dalil syara‟ yang
bersifat pasti, yaitu al-Qur‟an dan hadis-hadis mutawatir. Ta‟âruđ ini
menghendaki pertentangan antara ayat al-Qur‟an dengan ayat al-Quran, ayat
al-Qur‟an dengan hadis mutawatir dan antar hadis mutawatir.
Banyak ulama-ulama fiqih dan uşuliyyîn diantaranya Baidlawi,
Syairazi, ibnu Subki, ibnu hajib dan lainnya mengatakan bahwa
sesungguhnya tidak ada pertentangan antara dua dalil qath‟i. Begitu juga
antara dalil-dalil yang bersifat naqli maupun „aqli.14
Imam Abu Ishak Asy-Syatibi (w. 1388) mengatakan dalam bukunya
muwâfaqât bahwa “Tidak ada, atau jarang sekali ditemukan, sesuatu yang
bersifat qath‟i dalam dalil-dalil syara‟, jika pandangan hanya ditujukan
kepada teks secara berdiri sendiri. Ini karena untuk menarik kesimpulan
yang pasti dibutuhkan premis-premis (muqaddimât) yang tentunya harus
bersifat pasti pula, sedangkan hal yang demikian tidak mudah ditemukan,
kalau enggan berkata “tidak ada.”
Kenyataan menunjukkan bahwa muqaddimât itu kesemuanya, atau
sebagian besar darinya, tidak bersifat pasti, sedang sesuatu yang bersandar
pada yang tidak pasti, tentulah tidak pasti pula. Muqaddimât yang dimaksud
oleh Asy-Syatibi adalah apa yang dikenal dengan al-ihtimâlât al-„asyrah
(kesepuluh kemungkinan), yaitu yang berkaitan dengan:
- Riwayat-riwayat kebahasaan.
- Riwayat yang berkaitan dengan tata bahasa yaitu nahwu dan sharaf.
- Lafazh yang digunakan apakah ambigu atau tidak.
- Hakikat dan majaz.
- Kata tersebut mengandung peralihan makna atau tidak.
- Dalam susunannya ada sisipan atau tidak.
- Adakah taqdîm atau ta‟khîr.
- Adakah naskh atau tidak ada.
- „Adam al-mu‟tarîđ al-„aqly (adakah penolakan logis atau tidak).
14
Muhammad Wafa, Ta‟âruđ al-Adillah al-Syar‟iyyah minal Kitâb wa al-Sunnah wa al-
Tarjîẖ Bainaha, h. 36.
19
Karena itu, Imam Syatibi menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
qath‟iy/pasti oleh ulama ushul fiqih adalah satu teks yang disertai dengan
aneka argumentasi pendukung yang menjadikannya memiliki kekuatan dan
mengantar kepada kepastian. Ia serupa dengan lidi, yang bila berdiri sendiri
mudah dipatahkan, tetapi bila menyatu dengan lidi-lidi yang lain, ia menjadi
kuat, sehingga dapat “dipastikan” bahwa ia tidak dapat dipatahkan.15
Hal ini semakin mempertegas bahwa al-Qur‟an adalah kitab yang
tiada cela karena memang berasal dari Tuhan. Tiada pertentangan di
dalamnya. Semua ulama juga bersepakat bahwa jika terjadi perbenturan
dalil yang terlihat kontradiktif, sebenarnya itu hanya pemikiran dari
mujtahid saja.
c. Ta‟âruđ antara dalil dzanni dengan dzanni
Imam Asnawi mengatakan mungkin saja terjadi ta‟âruđ antara dalil
dzanni dengan dzanni. Ibnu Subki juga mengatakan dalam Ibhaj
sesungguhnya ta‟âruđ antara dua dalil dzanni memang ada. Lebih jelas,
Jalal al-Mahalli berpendapat bahwa ta‟âruđ antara dua dalil dzanni pasti
adanya.16
Mengingat bahwa hadis ahad merupakan dalil dzanni, dan banyak
sekali hadis-hadis ahad yang bermasalah, bahkan dalam tingkatan shahih
sekalipin, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ta‟âruđ dalam artian
pertentangan sesungguhnya memang ada di antara dalil dzanni. Bahkan
sampai muncul disiplin ilmu baru yaitu, ilmu mukhtalif hadis. Yaitu suatu
ilmu yang khusus membahas hadis-hadis yang terlihat bertentangan.
C. Syarat-syarat Ta’âruđ
Menurut Dr. Muhammad Wafa ada beberapa syarat untuk terjadinya ta‟âruđ
antar dua dalil, yaitu:
15
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 157-158. 16
Muhammad Wafa, Ta‟âruđ al-Adillah al-Syar‟iyyah minal Kitâb wa al-Sunnah wa al-
Tarjîẖ Bainaha, h. 39.
20
1. Hukum yang ditetapkan dua dalil tersebut saling bertentangan. Karena
jika tidak bertentangan maka tidak bisa dikatakan sebagai ta‟âruđ.
2. Tempat terjadinya pertentangan dua dalil tersebut masih dalam obyek
yang sama. Jika membahas sesuatu yang berbeda maka tidak bisa
disebut sebagai ta‟âruđ.
3. Sasaran waktu dua dalil yang saling bertentangan tersebut sama. Jika
tidak dalam waktu yang sama maka tidak bisa dikatakan sebagai
ta‟âruđ. Seperti halnya dalil yang mengatakan bahwa khamr
dibolehkan pada masa permulaan Islam namun seiring berjalannya
waktu kemudian diharamkan. Jika memang terjadi pertentangan dalil
namun tidak dalam masa yang sama, maka pembahasannya sudah
masuk dalam ruang lingkup naskh.17
4. Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama. Karena
mungkin saja hukum tersebut sama dalam obyek dan masa namun
hubungannya berbeda.
5. Tingkatan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama baik
dari segi asal dalilnya maupun ketetapan dari dalil tersebut. Sehingga
tidak ada ta‟âruđ antara qur‟an dan hadis ahad karena qur‟an dari
asalnya adalah dalil qath‟i sedangkan hadis ahad merupakan dalil
dzanni.18
D. Cara Menyelesaikan Ta’âruđ Dalam Al-Qur’an
Dalam al-Qur‟an sebenarnya banyak sekali ayat-ayat yang terlihat
bertentangan. Namun pertentangan tersebut terjadi sebagai akibat dari kekurang-
jelian memahami ayat secara utuh. Sebab jika masing-masing ayat dipahami
sesuai konteks pembicaraannya, anggapan seperti itu tidak akan terjadi.
Ayat-ayat al-Qur‟an yang secara lahir dapat menimbulkan anggapan saling
bertentangan di antaranya adalah:
17
Abdul Lathif Abdullah Aziz Al-Barzanji, al-Ta‟âruđ wa al-Tarjîẖ Baina al-Adillah al-
Syar‟iyyah, h. 131. 18
Muhammad Wafa, Ta‟âruđ al-Adillah al-Syar‟iyyah minal Kitâb wa al-Sunnah wa al-
Tarjîẖ Bainaha, h. 61-62.
21
a. Ayat yang membahas tentang keadaan orang kafir di hari kiamat
Di dalam beberapa ayat disebutkan bahwa orang-orang kafir tidak
akan berbicara pada hari kiamat, sedangkan pada ayat yang lain disebutkan
bahwa mereka akan berbicara, membantah dan mengemukakan alasan-
alasan kekafiran mereka.
Konteks ayat yang menyebutkan mereka nanti berbicara sebenarnya
terjadi dalam proses awal pengadilan akhirat. Ketika itu mereka melakukan
protes dan mengingkari perbuatan mereka di dunia dengan cara bersumpah.
Tetapi setelah mulut mereka ditutup dan anggota badannya bersaksi,
akhirnya mereka tidak bisa berbicara lagi karena tidak mampu dan tidak ada
gunanya lagi berbohong untuk menghindari siksa yang akan mereka terima.
Sebagai perbandingan, pada ayat tertentu dosa jin dan manusia tidak
ditanyakan tetapi pada ayat yang lain disebutkan mereka akan ditanya: “Dan
(ingatlah) pada suatu hari (kiamat) ketika Allah menyeru mereka, seraya
berkata: „Apakah jawaban kamu kepada para rasul?‟ (QS. Al-Qaşşaş: 65)19
b. Tentang sifat-sifat Allah
Beberapa ayat al-Qur‟an menyebutkan bahwa Allah Maha Tinggi,
berada di atas hamba-hamba-Nya, serta berada di „Arsy. Sedangkan di ayat
yang lain disebutkan Allah bersama hamba-hamba-Nya dimana saja mereka
berada, serta bersama orang yang sabar, benar, berbuat baik, dan
sebagainya.
Kesan pertentangannya ada pada ayat yang mengatakan bahwa Allah
berada di atas „Arsy yang jauh di atas hamba-Nya. Sementara dalam ayat
lain mengatakan bahwa Allah memiliki sifat “rendah” yang hanya pantas
dimiliki makhluk-Nya, karena Dia bersama mereka kapan dan dimanapun
mereka berada.
Sebenarnya ayat-ayat tersebut ketika dikumpulkan tidak saling
bertentangan. Al-Qur‟an sendiri menegaskan ”Tidak ada sesuatu yang
menyerupai-Nya.”
19
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur‟an, Cetakan I, (Bandung:
Mizan, 1997), h. 30-31.
22
Lebih lanjut dapat ditegaskan kebersamaan-Nya dengan makhluk
dikhususkan kepada mereka yang berlaku baik, sabar dan sebagainya.
Kebersamaan di sana lebih dari sekadar bersifat umum. Sebab dalam kata
kebersamaan itu terkandung makna bahwa Dia menyayangi, menunjuki, dan
menolong mereka yang memiliki sifat-sifat terpuji.
c. Tentang larangan bergaul dengan orang kafir
Banyak ayat al-Qur‟an yang melarang kita menjalin hubungan dengan
orang-orang kafir. Tetapi di dalam ayat yang lain, kita diperintahkan untuk
berlaku baik kepada orang-orang kafir serta bergaul dengan mereka.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap mereka yang tidak memerangimu karena persoalan agama, dan
tidak pula mengusir kamu dari wilayah-wilayahmu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. Allah hanya melarangmu
menjadikan mereka sebagai kawan yang memerangi kamu karena
persoalan agama, dan yang mengusir kamu dari wilayahmu atau yang
menjadikan mereka sebagai kawan, maka itulah orang-orang yang dzalim.”
(QS Al-Mumtahanah : 8-9).
Dengan demikian jelaslah bahwa bentuk pergaulan yang dilarang
dengan orang kafir adalah hubungan persahabatan dan kasih sayang karena
agama, sedangkan pergaulan yang disebabkan oleh ikatan kekeluargaan,
bertetangga, atau karena kemanusiaan diperbolehkan.20
Ta‟âruđ atau pertentangan dua dalil ini sebenarnya sangat lazim ditemukan
dalam hadis. Namun bukan berarti kasus seperti ini tidak terjadi dalam al-Qur‟an
walaupun pada akhirnya para ulama sepakat bahwa jika terjadi pertentangan
dalam ayat, maka itu hanya sebatas kepada mufasirnya, bukan dari ayatnya.
Terbukti sampai sejauh ini, ayat yang terlihat bertentangan dengan ayat lain
secara dzahiri, masih bisa dikompromikan dengan bantuan dari disiplin ilmu yang
lain. Asbâb al-nuzȗl, naskh, kedalaman ilmu adalah beberapa diantarnya yang
dapat mempengaruhi penafsiran seorang mufassir.
20
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur‟an, Cetakan I, h. 34-35.
23
Dalam hadis, para ulama menggunakan beberapa langkah dalam
menyelesaikanya. Namun tidak semua langkah ini dapat diaplikasikan dan
digunakan untuk menyelesaikan ayat yang terlihat bertentangan. Sehingga
langkah-langkah yang akan dikemukakan di bawah adalah gambaran umum
pembagian langkah-langkah yang dilakukan oleh para ulama dalam menghadapi
dalil yang terlihat bertentangan.
a. Al-jam‟u wa at-taufȋq
Metode ini juga biasanya disebut sebagai talfiq. Yaitu cara
menyelesaikan dua dalil yang terlihat bertentangan dengan mengumpulkan
dua dalil tersebut menjadi satu kemudian mengkompromikannya. Dalam
artian mencari jalan tengah atau menggunakan kedua dalilnya daripada
meniadakan keduanya.
Tidak dibenarkan hanya diamalkan salah satu dari keduanya, sedang
yang lain ditinggalkan.21
Lebih jelas Imam al-Nawawi mengatakan jika
pertentangannya memungkinkan untuk dikompromikan, maka harus
dilakukan pengkompromian. Jika sudah jelas maksud dari dua hadis tersebut
dan digabungkan maka hukumnya wajib unuk diamalkan.22
Dalam hadis sendiri, cara menjama‟ atau men-talfiq bisa dengan men-
takhsish yang umum, men-taqyid hadis yang mutlak, adakalanya juga
dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak jalan
datangnya.
Sebagai contoh dua buah hadis shahih yang maknanya berlawanan
menurut lahirnya, tetapi dapat dikumpulkan, ialah seperti hadis Abu
Hurairah yang mengabarkan:
ل و س ر ن ا هللاملسو هيلع هللا ىلصقال:ل ـالحديثـة ام ه ل و ة ر ي ط ل ىو و د
“Bahwa Rasulullah SAW bersabda: „Tidak ada penularan, ramalan jelek,
penyusupan (inkarnasi) roh orang yang telah meninggal ke burung hantu ...
dan seterusnya.” (Bukhari-Muslim)
21
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: PT Al-ma‟arif, 1974), h. 336. 22
Imam Al-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu Hadis, penerjemah Syarif Hade Masyah, cet.
Kedua, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), h. 122.
24
Hâmmah di sini adalah burung hantu. Adapun yang dimaksud dalam
hadis tersebut ada dua macam pentakwilan.
a. Menurut sahabat Anas bin Malik bahwa sudah menjadi
kepercayaan umum bagi masyarakat Arab pada waktu itu
apabila ada burung hantu yang hinggap pada rumah seseorang
adalah suatu isyarat jelek bahwa pemilik rumah atau
keluarganya akan tertimpa malapetaka (kematian).
b. Menurut kebanyakan muhadditsin ialah bahwa orang-orang arab
percaya bahwa tulang-tulang atau roh orang yang meninggal
dunia menyusup kepada burung hantu yang beterbangan kesana
kemari.23
Jumhur ulama mengatakan ketika menghadapi dalil yang terlihat
bertentangan sebisa mungkin tetap menggunakan kedua dalil tersebut.
Karena biar bagaimanapun jika dalilnya sama-sama kuat dan shahih, maka
tidak mungkin salah satunya salah karena baik al-Qur‟an maupun hadis
sejatinya berasal dari Allah. Sehingga ketika terdapat dalil yang terlihat
bertentangan, kemungkinan berasal dari pemahaman mujtahidnya.
Selain hadis, metode mengumpulkan dua dalil yang bertentangan
kemudian mengkompromikannya juga bisa digunakan untuk memahami
ayat al-qur‟an yang terlihat bertentangan seperti yang akan dibahas di bab
selanjutnya.
Contoh ayat yang telihat bertentangan namun kenyataannya
mempunyai titik temu tersendiri adalah keadaan tentang orang kafir di hari
kiamat nanti. Di dalam beberapa ayat disebutkan bahwa orang-orang kafir
tidak akan berbicara pada hari kiamat, sedangkan pada ayat yang lain
disebutkan bahwa mereka akan berbicara, membantah dan mengemukakan
alasan-alasan kekafiran mereka.
Konteks ayat yang menyebutkan mereka nanti berbicara sebenarnya
terjadi dalam proses awal pengadilan akhirat. Ketika itu mereka melakukan
protes dan mengingkari perbuatan mereka di dunia dengan cara bersumpah.
23
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, h. 336.
25
Tetapi setelah mulut mereka ditutup dan anggota badannya bersaksi,
akhirnya mereka tidak bisa berbicara lagi karena tidak mampu dan tidak ada
gunanya lagi berbohong untuk menghindari siksa yang akan mereka terima.
Sebagai perbandingan, pada ayat tertentu dosa jin dan manusia tidak
ditanyakan tetapi pada ayat yang lain disebutkan mereka akan ditanya: “Dan
(ingatlah) pada suatu hari (kiamat) ketika Allah menyeru mereka, seraya
berkata: „Apakah jawaban kamu kepada para rasul?‟ 24
b. Tarjîẖ
Yaitu cara menyelesaikan dalil-dalil yang terlihat bertentangan dengan
membandingkan di antara keduanya mana yang paling kuat. Cara ini tidak
bisa digunakan untuk menyelesaikan ayat al-Qur‟an yang terlihat
bertentangan karena semua ayat dalam al-qur‟an mempunyai derajat tingkat
yang sama untuk pengambilan suatu hukum.
Biasanya metode ini digunakan dalam hadis dengan cara men-takhrîj,
kritik sanad maupun matan untuk mencari hadis yang lebih shahih sehingga
dalam ber-istinbaţ menentukan hukum mempunyai landasan yang kuat.
Menurut para ulama, tarjȋḥ adalah membandingkan dalil-dalil yang
tampak bertentangan untuk dapat mengetahui manakah di antaranya yang
kebih kuat dibandingkan dengan lainnya.25
c. Naskh
Perkataan naskh menurut bahasa mengandung beberapa pengertian,
seperti naqal (memindahkan), ibţâl (membatalkan), dan izâl
(menghilangkan).26
Sedangkan menurut istilah, naskh berarti mengangkat
(menghapus) hukum syara‟ dengan dalil hukum yang lain.27
Al-Syafi‟i menyatakan bahwa tidak boleh dua hadis yang sama-sama
shahih, yang satu sama lainnya bertentangan, yang meniadakan apa yang
24
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur‟an, Cetakan I, h. 30-31. 25
Hasbi As-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, h. 277. 26 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami,
(Bandung: Al-Ma‟arif, 1986), h. 422. 27
Ali Hasballah, Ushûl al-Tasyrî‟ al-Islâmy, (Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1970), h. 212.
26
ditetapkan oleh yang lain, bukan dari segi khusus, umum, segi ijma‟ tafsir,
kecuali atas jalan naskh, walaupun tidak diketemukannya.28
Dalam pembahasan naskh, dikenal dengan istilah nâsikh dan mansûkh.
Nâsikh secara bahasa adalah menghapus sedangkan mansûkh adalah yang
dihapus. Maksudnya adalah dalil bisa disebut sebagai nâsikh ketika
menghapus atau mengganti hukum awal yang disebut mansûkh.
Cara ini bisa digunakan untuk menggali hukum dalam al-qur‟an yang
terlihat bertentangan. Seperti pengambilan hukum khamr. Pada awal
permulaan Islam muncul, khamr dibolehkan dalam al-qur‟an namun
setelahnya, ada ayat yang me-nâsikh dengan mengatakan khamr itu haram
atau tidak diperbolehkan.
Dalam konteks ini, “penggantian” ayat dengan ayat lain berarti
perubahan hukum yang ada pada satu teks dengan teks lain dengan tetap
mempertahankan kedua teks tersebut.29
Metode ini juga memungkinkan dalam hadis yang sama-sama kuat
namun menghukumi sesuatu dengan berbeda. Untuk kasus ini,
penyelesaiannya harus menggunakan disiplin ilmu yang lain, asbâb al-
wurûd misalnya. Sehingga akan terlihat sebab dikeluarkannya hadis
tersebut. Hadis yang datang awal dan belakangan kemudian juga akan
terlihat konteks hadis itu ketika Rasulullah mengeluarkannya.
d. Tawaqquf
Yang dimaksud dengan tawaqquf adalah meninggalkan untuk ber-
istidlal dengan kedua dalil tersebut yang nampaknya bertentangan dan
pindah ber-istidlâl dengan hadis lain, jika ketiga usaha sebelumnya tidak
tercapai.30
Sebisa mungkin metode ini dihindari oleh para ulama, sehingga sangat
wajar metode ini menjadi pilihan paling akhir dalam menyelesaikan dalil
yang terlihat bertentangan.
28
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Imu Dirayah Hadis, h. 274. 29
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, (Yogyakarta: LkiS, 1993), h. 142. 30
Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, h.
421.
27
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ta‟âruđ dengan pengertian
pertentangan antara dua dalil, hanya terdapat pada dalil dzanni saja. Sedangkan al-
qur‟an dan hadis mutawatir yang notabenenya merupakan dalil qath‟i, tidak
terdapat ta‟âruđ, karena memang tidak ada pertentangan di antara ayat-ayat al-
Qur‟an.
Namun, jika diartikan sebagai menghendakinya suatu ayat dalam tema yang
sama dengan ayat lain yang menghendaki hukum berbeda, maka di dalam al-
Qur‟an bisa dikatakan ada.
Di antara metode-metode yang digunakan oleh para ulama dalam
menyelesaikan dalil yang terlihat bertentangan adalah al-jam‟u wa at-taufȋq.
Metode ini adalah metode utama dan yang paling utama dalam menentukan dalil
yang terlihat bertentangan baik dalam hadis maupun al-Qur‟an. Hal ini sangat
beralasan mengingat al-Qur‟an merupakan kalam Allah yang terjaga dari turunnya
sampai sekarang. Tiada keraguan di dalamnya. Tidak terdapat penambahan ayat
maupun pengurangan setelah benar ayat terakhir diturunkan. Jika terjadi ayat yang
terlihat kontradiktif, maka itu semua karena kekurang-pahaman dari yang
memahaminya saja.
Selain metode tersbut, naskh juga merupakan salah satu metode yang
digunakan para ulama ketika menghadapi ayat yang terlihat bertentangan.
Walaupun metode ini sudah menjadi disiplin ilmu tersendiri, namun dalam
menafsirkan suatu ayat yang terlihat bertentangan, tidak mungkin lepas dari yang
namanya naskh. Sangat memungkinkan dalil yang demikian masanya berbeda.
Sehingga perlu disiplin ilmu ini untuk menyelesaikannya. Pentingnya disiplin
ilmu ini seperti halnya ilmu asbâb al-nuzȗl dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an.
Harus melihat sisi histori dari sebuah ayat kenapa diturunkan.
Kaitannya dengan disiplin ilmu yang dibutuhkan dalam menafsirkan al-
Qur‟an, para ulama memberikan beberapa syarat bagi mufasir agar mampu
menafsirkan ayat al-qur‟an. Di antaranya adalah harus tahu bahasa arab,
menguasai ilmu nahwu dan sharf, naskh, asbâb al-nuzȗl, balâġah, mâni‟ bayân,
u‟lȗm al-Qur‟ân, kaidah-kaidah tafsir, dan masih banyak lagi.
28
BAB III
ANALISIS ATAS AYAT-AYAT YANG DIDUGA
BERTENTANGAN
Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai petunjuk untuk manusia. Tiada keraguan dalam kitab ini, semua
yang ada di dalamnya merupakan kebenaran hakiki dari Tuhan. Terjaga dari sejak
diturunkannya pertama kali sampai sekarang bahkan hingga sampai akhir zaman
nanti.
Berlaku sampai akhir zaman memang kemukjizatan tersendiri bagi al-
Qur‟an sehingga sangat mustahil beberapa ayat yang sudah diturunkan sudah
tidak terpakai karena tidak sejalan lagi dengan zamannya. Alasannya, sejarah
merupakan masa yang sangat memungkinkan untuk terulang kembali, dan ketika
saat itu terjadi, al-Qur‟an sudah siap untuk memberikan jawabannnya.
Kemukjizatan al-Qur‟an ini juga ditambah dengan tidak adanya ayat-ayat di
dalamnya yang saling bertentangan satu sama lain. Hal ini menjadi pengukuhan
tersendiri bagi kitab ini bahwa kedatangan dan isinya memang benar-benar dari
Tuhan, bukan dari buatan manusia yang mempunyai sifat lupa dan berubah. Lupa
dengan apa yang sudah dikatakan pada masa-masa dahulu dan perubahan pola
pikir yang sangat mempengaruhi dalam perbuatan dan perkataan masa yang akan
datang.
Persoalan seperti ini tidak mungkin terjadi dalam al-Qur‟an karena kitab ini
sendiri mengatakan bahwa ayat-ayatnya tidak ada yang bertentangan, saling
menjawab dan terkait satu sama lain. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan
al-Qur‟ân? Kalau kiranya al-Qur‟an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisâ‟ : 82). Maksudnya
adalah ketika al-Qur‟an itu dari sisi Allah, maka tidak akan ada perselisihan di
dalamnya sama sekali. Semua yang ada dalam kitab tersebut saling sesuai dan
saling membenarkan, sebagiannya tidaklah membatalkan sebagian yang lainnya.
29
Dengan demikian diketahuilah kesempurnaan al-Qur‟an dan bahwasanya ia
adalah dari Dzat yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.1
Sejatinya memang tidak terdapat kontradiksi yang sebenarnya antara dua
ayat, dua hadis shahih, atau antara ayat dengan hadis shahih. Apabila tampak ada
kontradiksi antara dua nash di antara nash-nash itu maka itu hanyalah kontradiksi
lahir saja sesuai dengan yang tampak kepada akal kita. Bukan kontradiksi yang
sebenarnya. Karena menurut syar‟i yang Esa dan Maha Bijaksana itu tidak
mungkin jika keluar dari Dia dalil yang menghendaki hukum suatu peristiwa dan
keluar dari Dia juga dalil lain yang menghendaki dalam peristiwa itu, hukum yang
bertentangan dengan hukum pertama dalam satu waktu.2
Biarpun begitu, memang ada beberapa ayat yang secara sekilas terlihat
bertentangan, namun ulama sepakat bahwa terjadinya perbenturan dalil tersebut
hanya dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil-dalil itu sendiri
tidak ada perbenturan.3
Bisa jadi hal ini dikarenakan sifat dasar dari manusia yang mempunyai sifat
lemah dan keterbatasan otak dalam berpikir. Dalam satu disiplin ilmu penunjang
untuk menafsirkan al-Qur‟an bisa jadi seorang mufasir/mujtahid sangat kompeten,
namun ketika dihadapkan kepada disiplin ilmu yang lain bisa jadi kurangnya
referensi menjadikan pengaruh yang besar pada hasil penafsirannya nanti.
Ayat-ayat al-Qur‟an yang secara lahir dapat menimbulkan anggapan saling
bertentangan di antaranya adalah:
a. Ayat yang membahas tentang keadaan orang kafir di hari kiamat
Dalam beberapa ayat ditemukan keterangan bahwa orang-orang kafir
pada hari kiamat tidak berbicara. Sepeti yang tertera dalam surat an-naba‟
ayat 38. “Pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf
mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya
oleh Tuhan Yang Maha Pemurah dan Ia mengucapkan kata yang benar.”
1Abdurrahman bin Nashir Al-Sa‟di, Tafsir As-Sa‟di, h. 143.
2 As‟ad Abdul Ghani Al-Kafrawi dan Ahmad Mukhtar Mahmud, Muẖâđarât fî Uşûl al-
Fiqh, (Jamî‟ah al-Azhâr, Kulliyah al-Dirâsat al-Islâmiyah wa al-„Arâbiyah, 1422 H/2002 M), h. 183.
3 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, h. 243.
30
Namun pada ayat yang lain terdapat penjelasan bahwa mereka
berkata, mengakui segala perbuatannya, mengemukakan alasan tentang hal-
hal yang dilakukan dan yang tidak dilakukan, dan lain sebagainya.
b. Keadaan manusia ketika yaum al-ẖisâb
Dalam beberapa ayat disebutkan bahwa jin dan manusia tidak akan
ditanya tentang dosa-dosa mereka. Namun dalam ayat yang lain ditemukan
adanya pertanyaan-pertanyaan itu, seperti firman Allah yang terdapat pada
Q.S. As-Şâffât ayat 24.”Dan tahanlah mereka (di tempat pemberhentian)
karena sesungguhnya mereka akan ditanya.” (Q.S. As-Şâffât ayat 24). 4
c. Tentang sifat-sifat Allah
Beberapa ayat al-Qur‟an menyebutkan bahwa Allah Maha Tinggi,
berada di atas hamba-hamba-Nya, serta berada di „Arsy. Sedangkan di ayat
yang lain disebutkan Allah bersama hamba-hamba-Nya dimana saja mereka
berada, serta bersama orang yang sabar, benar, berbuat baik, dan
sebagainya.
d. Tentang larangan bergaul dengan orang kafir
Banyak ayat al-Qur‟an yang melarang kita menjalin hubungan dengan
orang-orang kafir. Tetapi di dalam ayat yang lain, kita diperintahkan untuk
berlaku baik kepada orang-orang kafir serta bergaul dengan mereka.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa, yaitu yang terlihat bertentangan
kelihatannya namun tetap masih dapat ditemukan titik terang dalam
menafsirkannya sehingga yang tadinya bertentangan pada akhirnya tidak lagi,
hingga semakin mengukuhkan dan membenarkan bahwa tidak ada ayat yang
bertentangan dalam al-Qur‟ân.
Ada banyak sebab suatu ayat terlihat kontradiktif atau memang kontradiktif.
Bagi orang yang membenci al-Qur‟an, dia akan mengatakan di dalamnya ada
banyak pertentangan baik ayat satu dengan yang lain maupun dengan nalar. Hal
ini bisa jadi karena tidak ada keimanan di dalam hatinya, padahal untuk
4 Salman Harun, Kaidah-kaidah Tafsir, (Jakarta: Penerbit Qaf, 2017), h. 770.
31
mempercayai sesuatu yang ghaib harus menggunakan iman atau kepercayaan.
Sangat sulit bagi orang yang tidak beriman mempercayai sesuatu yang tidak
terlihat. Karena itulah bagi mereka al-Qur‟an terkadang membahas sesuatu yang
tidak masuk akal karena di dalamnya juga membahas masalah ghaib.
Selain itu, penyebab lain bisa jadi karena ayatnya yang memang multi-
tafsir/mutasyâbih atau karena mufasirnya yang kurang kompeten dalam satu
disiplin keilmuan sehingga hasil penafsirannya akan tekstual. Seperti contoh bagi
orang yang mau menafsirkan al-Qur‟an, biarpun semua disiplin keilmuan
penunjang untuk menafsirkan dikuasai, tapi masih kurang satu lagi, asbâbun nuzûl
misalnya, menjadikan maknanya akan tekstual saja bahkan bisa bertentangan
dengan ayat lain. Hal ini karena ilmu asbâbun nuzûl berguna untuk mempelajari
sebab turunnya ayat dan keadaan serta konteks ayat itu diturunkan.
Hal lain lagi karena bisa jadi memang dari ayatnya yang sekilas terlihat
bertentangan. Seperti dalam pembahasan ta‟âruđ dalam ushul fiqih maupun
ulumul hadis, ulumul qur‟an pun walaupun sekilas juga membahas mengenai itu.
Sehingga pembahasan tersebut tidak hanya tentang hukum maupun hadis, bahkan
tentang ayat dalam al-Qur‟an juga ada.
Di antara contoh-contoh ayat yang terlihat bertentangan yang masuk dalam
kategori pembahasan ta‟âruđ adalah sebagai berikut:
1. Analisa atas ayat yang diduga bertentangan tentang hidayah dalam
surat al-Syura ayat 52 dengan surat al-Qaşşaş ayat 56.
Allah menciptakan manusia dan menjadikannya makhluk paling
sempurna di dunia. Kesempurnaan itu dikarenakan manusia memiliki akal
untuk berpikir dan memilih jalan yang diridhai oleh Allah atau justru
mengambil jalan yang dilarang-Nya. Biarpun Allah mampu untuk
menjadikan semua makhluk taat kepada-Nya, namun Allah memberikan
kebebasan untuk memilih jalan yang akan mereka ambil.
Tentu terdapat konsekuensi dibalik semua pilihan. Allah sendiri sudah
berjanji akan memasukkan ke surga kepada siapa saja yang beriman kepada-
32
Nya dan memasukkan mereka ke neraka bagi siapa saja yang mengambil
jalan yang tidak diridhai oleh Allah.
Sebenarnya pilihan jalan itu amat begitu nyata antara yang haq dan
yang bahil. Selain karena Dia sudah mengutus seorang nabi kepada manusia
sebagai pembawa berita bahwa syari‟at Allah sangat jelas. Tak terkecuali
Nabi Muhammad yang diutus selain untuk menyempurnakan akhlak, juga
menyempurnakan syari‟at Allah yang sudah pernah dibawa oleh nabi-nabi
sebelum beliau.
Turunnya al-Qur‟an juga sangat berkaitan erat dengan hal itu, yaitu
untuk menjelaskan haq (kebenaran) dan bathil. Kitab petunjuk yang sudah
terjamin keasliannya ini dan sudah dijaga sendiri oleh-Nya dan para hamba-
Nya yang mukmin, menjadi mukjizat bagi Rasulullah dan berlaku sampai
akhir zaman.
Meski demikian, masih banyak manusia yang ingkar, menentang
Allah sebagai Tuhan Pencipta bahkan ada yang menolak keberadaan-Nya
sedangkan mereka sendiri tiggal di bumi yang diciptakan-Nya. Dalam
konteks inilah kemudian hidayah sangat berharga bagi mereka agar tetap
berjalan di atas jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Hidayah merupakan modal dasar dan paling utama bagi hamba untuk
mendapatkan ridha-Nya. Karena itulah pembahasan tentang hidayah
menjadi sangat penting untuk dipelajari karena hal ini merupakan kajian
akidah yaitu salah satu jalan untuk percaya kepada Tuhan.
Mengenai hidayah Allah berfirman dalam Qur‟ân surat al-Qaşşaş: 56:
ادججذ ذ ي اك ل ر زذ أعهى ثبن شبء ذ ي هللا نك
“Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang
yang engkau cintai, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang
dikehendaki-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mau
menerima petunjuk.” (QS. al-Qaşşaş:56).
Ayat ini menjelaskan bahwa hidayah yang mengantar seseorang
menerima dan melaksanakan tuntunan Allah bukanlah wewenang manusia,
33
atau dalam batas kemampuannya, tetapi semata-mata wewenang dan hak
prerogatif Allah. Ayat ini mengingatkan Nabi Muhammad SAW tentang
hakikat tersebut sambil menguatkan pernyataannya dengan kata
“Sesungguhnya” yakni: Sesungguhnya engkau wahai Nabi Muhammad
yang merupakan manusia paling dicintai Allah dan paling mampu memberi
penjelasan, tidak akan dapat dan mampu memberi hidayah yang
menjadikan seseorang menerima dengan baik dan melaksanakan ajaran
Allah walau engkau berusaha sekuat tenaga dan walau upaya itu engkau
tujukan kepada orang yang engkau cintai dan inginkan memperolehnya.
Engkau hanya mampu memberi hidayah irsyâd dalam arti memberi petunjuk
dan memberitahu tentang jalan kebahagiaan bukan hidayah taufik, tetapi
Allah saja yang memberi hidayah taufik itu kepada orang yang dikehendaki-
Nya bila yang bersangkutan bersedia menerima hidayah dan membuka
hatinya untuk itu, dan Dia lebih mengetahui dari siapa pun tentang orang-
orang yang mau mneerima petunjuk.5
Dr. Muhammad Han Utsman mengartikan ادججذ ي ذ اك ل ر
dengan “Sesungguhnya kamu tidak mampu untuk memasukkan orang yang
kamu cintai ke dalam agama Islam.6
Riwayat-riwayat yang ditemukan dalam kitab-kitab hadis menyatakan
bahwa ayat ini berbicara tentang paman Nabi yaitu Abu Thalib. Nabi sangat
ingin agar paman beliau beriman dan mengucapkan dua kalimat syahadat
sebelum meninggalnya. Tetapi harapan Nabi itu tidak terpenuhi. At-Thabari
menulis bahwa ayat ini turun menyangkut keengganan Abu Thalib beriman,
bahkan Az-Zajjaj menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma‟
menyangkut turunnya ayat ini terhadap Abu Thalib.
Memang beberapa pakar hadis seperti Ahmad, Muslim, At-Tirmidzi,
Ibn Mardawaih, Al-Baihaqi dan lain-lain meriwayatkan melalui sahabat
Abu Hurairah bahwa ketika kematian Abu Thalib telah mendekat, Nabi
5 Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan, Keserasian Qur‟ân, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), h. 370. 6 Muhammad Han Utsman, I‟râb al-Qur‟ân al-Karȋm, Jilid 8, (Mesir: Ar-Risâlah, 1432
H/2011 M), h. 592.
34
mendatanginya dan bersabda: “Wahai pamanku, ucapkanlah lâ ilâha illa
Allâh niscaya aku akan bersaksi untukmu di sisi Allah pada hari kemudian.”
Abu Thalib menjawab, “Seandainya kaum Quraisy tidak mencelaku dengan
berkata “Tidak ada yang mendorongnya mengucapkannya kecuali karena
kesedihannya menghadapi maut, niscaya aku mengucapkannya untukmu.”
Maka turunlah firman Allah: Sesungguhnya engkau tidak akan dapat
memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, dan seterusnya.7
Keterangan ini juga terdapat pada kitab Asbâb al-Nuzȗl karya imam
Jalaluddin As-Suyuthi. Dalam kitab ini beliau juga menambahkan bahwa
an-Nasa‟i dan Ibnu „Asakir dalam Târikh Dimasyq meriwayatkan dengan
sanad yang bagus dari Abu Sa‟id bin Rafi‟ dia berkata “Aku pernah
bertanya kepada Ibnu Umar tentang ayat ini, „Sungguh engkau
(Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau
kasihi.” Apakah turun tentang Abu Jahal dan Abu Thalib? Ia menjawab
„Ya.‟”8
Walaupun begitu, ayat di atas menjadi masalah dan perlu dikaji ulang
ketika dihadapkan dengan ayat 52 surat asy-Syura. Karena ayat ini seakan
mengisyaratkan bahwa manusia dapat memberikan hidayah, sedangkan ayat
yang lalu mengatakan manusia tidak dapat memberikan hidayah. Ayat yang
dimaksud adalah:
ب ي د س ك ن ب ا د ا ك ن ز ك ل بة ز ك ب ان ي س ذ ر ذ ب ك ب ي ش ي ا ا ب ه ع ج ك ن ب
بد ج ع ي بء ش ي ث ذ ا س ى ق ز س ي اط ش ص ن ا ذ ز ن ك ا ب
“Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepadamu ruh dari urusan
Kami. Sebelumnya engkau tidak mengetahui apakah al-Kitab dan tidak
(pula) al-iman tetapi Kami menjadikannya cahaya, yang Kami menunjuki
dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan
7 Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan, Keserasian Qur‟ân, h. 372
8 Jalaluddin As-Suyuthi, Sebab Turunnya Qur‟ân, (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 424. Di
dalam kitab terjemahannya terdapat keterangan: Lihat Khabar ini yang diriwayatkan secara shahih
dalam ad-Durrul Mantsûr (5/145), tapi di dalamnya tidak disebutkan Abu Jahal. Ibnu Katsir juga tidak menyebut Abu Jahal, begitu pula al-Qurthubi. Tambahan ini adalah kekurangan pengarang –
semoga Allah merahmatinya.
35
sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan lebar yang
lurus.” (QS. Asy-Syura: 52).
Mutakallim dalam ayat ini adalah Allah sendiri dan mukhâţab-nya
adalah Rasulullah. Ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah yang
notabenenya adalah seorang utusan dan dari kalangan manusia, mampu
memberi petunjuk kepada umatnya dengan anugerah taufik dari Allah.
Selain karena seorang Nabi, beliau juga salah seorang yang memang
dikehendaki Allah menerimanya. Kehendak tersebut berkaitan erat dengan
kecenderungan hati seorang hamba.
Dan sesungghunya engkau benar-benar memberi petunjuk yakni
mampu menjelaskan dengan sangat baik cara-cara menuju ke jalan yang
lurus. Yaitu jalan Allah yang lebar yang miliknya segala apa yang ada di
langit dan di bumi. Maksudnya adalah mengajak kepada Islam.9
Ada beberapa riwayat terkait ayat ini:
Pertama, Bisyr menceritakan kepada kami, dia berkata: Yazid
menceritakan kepada kami, dia berkata: Said menceritakan kepada kami dari
Qatadah, tentang firman Allah “Dan sesungguhnya kamu benar-benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” Allah SWT berfirman, “Dan
bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (Q.S. Ar-Ra‟d
[13]: 7) Maksudnya adalah penyeru yang menyeru mereka kepada Allah
SWT.
Kedua, Ibnu Abdil A‟la menceritakan kepada kami, dia berkata: Ibnu
Tsaur menceritakan kepada kami dari Ma‟mar, dari Qatadah, tentang ayat
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan
yang lurus.” Ia berkata, “Maksudnya adalah, bagi setiap kaum ada orang
yang memberi petunjuk.
Ketiga, Muhammad menceritakan kepada kami, dia berkata: Ahmad
menceritakan kepada kami, dia berkata: Asbath menceritakan kepada kami
dari As-Suddi, tentang ayat “Dan sesungguhnya kamu benar-benar
9 Muhammad Han Utsman, I‟râb al-Qur‟ân al-Karȋm, Jilid 10, (Mesir: Ar-Risâlah, 1432 H/2011
M), h. 399.
36
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” Ia berkata, “Maksudnya adalah
kamu menyeru kepada agama yang lurus. 10
Dari beberapa riwayat di atas sangat jelas bahwa seorang manusia
yaitu Rasulullah mampu memberikan hidayah atau petunjuk jalan yang
lurus kepada umatnya. Sama halnya dengan al-Qaşşaş ayat 56, dlamir (ta‟)
pada kata tahdȋ yang mempunyai arti “kamu” adalah ditujukan kepada
Rasulullah SAW. Berbeda dengan ayat ini yang mengatakan bahwa bahwa
beliau tidak bisa memberikan hidayah kepada manusia, sedangkan pada
surat as-Syura mengatakan bahwa beliau mampu memberikan hidayah atau
petunjuk kepada umatnya, sebagai penjelas dari al-Qur‟an.
Ma‟mar meriwayatkan dari qatadah tentang firman Allah SWT:
ى ق ز س ي اط ش ص ن ا ذ ز ك ن ا “Dan sesungguhnya kamu benar-benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” Qatadah berkata, “ بد و ق م ك ن
„Dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk‟.”11
Kedua ayat di atas (al-Qaşşaş ayat: 56 dan asy-Syura: 52) sekilas
memang seperti bertentangan, dimana ayat satu mengatakan Rasulullah
tidak bisa memberi petunjuk sedangkan ayat satunya lagi mengatakan
Rasulullah bisa memberikan petunjuk. Ini bisa menjadikan kesalah pahaman
bagi pembelajar al-Qur‟an bahwa di dalamnya ada ayat yang bertentangan.
Padahal tidak demikian, kenyataannya terdapat dua hidayah yang
dikenal. Yaitu hidayah langsung atau dikenal dengan hidayah taufîq yang
khusus dan hanya dimiliki Allah dan hidayah tidak langsung atau dikenal
dengan hidayah agama yang diberikan kepada Rasulullah dan bisa dimiliki
oleh siapa saja. Hidayah ini diperuntukkan bagi mereka yang menyeru ke
jalan yang diridhai Allah SWT.
Lebih lengkap, macam-macam hidayah dapat dilihat sebagai berikut:
Pertama, adalah hidayah tauhidiyah artinya potensi kesiapan untuk
mengesakan Allah. Kedua, berbentuk ilham. Hal ini dirasakan oleh anak
10
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jâmi‟ul Bayân an Ta‟wîl Ayi al-Qur‟ân, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 947.
11 Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 149.
37
kecil sejak ia dilahirkan. Ketiga, hidayah al-hawas (panca indra). Macam
hidayah ini sama-sama terdapat pada manusia dan hewan. Keempat, hidayah
al-„aql, hidayah ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan ilham dan panca
indra. Kelima, hidayah lubbiyah, hidayah ini merupakan paduan antara rasio
dan intuisi. Orang yang berada pada tahap petunjuk ini tidak hanya mampu
melihat dan mendengar yang ghaib saja, namun bisa memahami makna
yang terkandung di balik itu, walaupun demikian akal manusia tetap
terbatas.
Disini manusia memerlukan petunjuk yang melebihi petunjuk akal,
sekaligus meluruskan kekeliruan-kekeliruannya dalam bidang-bidang
tertentu. Hidayah yang dimaksud adalah agama. Kemudian untuk
menjalankan semua macam hidayah tersebut, dibutuhkan hidayah
selanjutnya yang disebut dengan hidayah taufîq, yaitu pertolongan Allah
terhadap hamba-Nya dalam berbuat sesuatu sesuai dengan apa yang dicintai
dan diridhai-Nya.12
Perbuatan seorang hamba tidak semata-mata intervensi dari Tuhan.
Manusia mempunyai kekuatan sendiri untuk melakukan apa yang
diinginkannya, melakukan perbuatan baik ataupun buruk semuanya
mempunyai balasan pada akhirnya. Ibarat petani, dia akan memetik apa
yang sudah ditanamnya.
Seperti halnya firman Allah : “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya
Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa
yang telah kamu kerjakan.” (QS. An-Nahl: 93). Sekilas ayat ini mengatakan
bahwa hidayah dan kesesatan seseorang merupakan kehendak Allah.
Padahal tidak, ada banyak faktor seseorang bisa memperoleh hidayah, di
antaranya adalah kesungguhan seseorang mencari kebenaran yang diridhai
oleh Tuhan. Karena kesungguhannya tersebut, seseorang akan mendapatkan
pertolongan oleh Allah dan mendapatkan hidayah. Firman Allah,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu
12
Bustami Saladin, Hidayah Dalam al-Qur‟an, vol. 10, (Jurnal Nuansa, 2013), h. 440-441.
38
sendiri yang mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS. Ar-Ra‟d:
11).
Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan tersendiri bagi manusia
yang ingin mendapatkan hidayah dari Allah. Apakah mau berusaha
meraihnya atau hanya keinginan belaka tanpa usaha.
Walaupun kesemuanya memang berasal dari Allah, namun Allah tetap
memberikan manusia akal dan pikiran untuk mencari jalan yang diridhai-
Nya. Selain itu Dia juga mengutus seorang Rasul bahkan memberikan
mukjizat berupa al-Qur‟an yang masih bisa dibaca, dipelajari dan dihayati
sampai hari kiamat nanti.
Manusia diarahkan melalui kekuatan akalnya untuk menemukan alat-
alat, rancangan-rancangan, dan berbagai kerajinan yang mengagumkan.
Dengan demikian melalui ilham yang luar biasa itu, manusia dengan
bantuan akalnya mampu membangun keluarga, masyarakat dan peradaban.
Begitu pula ilham lahiriah yang memerintahkan untuk menyucikan dan
menyempurnakan dimensi batinnya. 13
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada ta‟âruđ dalam
artian pertentangan dalil dalam al-Qur‟an. Karena pertentangan tersebut
masih bisa ditemukan titik temunya. Berbeda dengan sesuatu yang
bertentangan, bertolak belakang atau kontradiktif yang tidak memungkinkan
untuk dikompromikan lagi.
2. Analisa atas ayat yang diduga bertentangan tentang puasa dalam surat
al-Baqarah ayat 184 dengan ayat 185
Puasa merupakan salah satu dari rukun Islam dan harus dikerjakan
ketika bulan Ramadhan tiba. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 134).
Dalil ini sangat jelas dan tidak bisa dibantah lagi apapun alasannya
bahwa puasa adalah kewajiban dari Allah untuk hamba-Nya. Lamanya
13
Abd. M. Soeherman, dkk, al-Hikmah: Jurnal Studi-Studi Islam, no. 11 (Yayasan
Muthahhari untuk Pencerahan Pemikiran Islam: Bandung, 1993), h. 115.
39
berpuasa bukanlah 30 hari seperti pemahaman sebagian orang, melainkan
selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan. Awal perhitungannya
menggunakan hisab, dimana ketika awal Ramadhan tiba, umat Islam wajib
berpuasa sedangkan ketika bulan Ramadhan berakhir dan tiba bulan Syawal,
maka umat Islam diharamkan berpuasa.
Bagi sebagian orang yang terbiasa puasa sunnah, senin dan kamis
misalnya, ketika menjalani puasa di bulan Ramadhan tidaklah begitu berat
dibanding mereka yang tidak pernah berpuasa di hari-hari biasa.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa puasa sebenarnya sudah
diwajibkan kepada umat-umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad diutus.
Ada yang meriwayatkan bahwa puasa umat terdahulu sebelum umat Nabi
Muhammad lebih berat karena jangka waktu berpuasanya yang lebih lama.
Pembahasan kewajiban berpuasa di zaman Rasulullah menjadi
panjang jika dihadapkan kenyataan bahwa ada beberapa orang yang tidak
kuat berpuasa karena alasan-alasan tertentu. Seperti seorang ibu yang
sedang menyusui bayinya dan takut bayinya ikut menahan lapar karena air
susunya tidak keluar, kemudian orang yang sakit sakit, serta seseorang yang
sedang melakukan perjalanan jauh dan tidak memungkinkan untuk berpuasa
karena memberatkan.
Permasalahan ini sebenarnya sudah dijelaskan di ayat selanjutnya
yaitu surat al-Baqarah ayat 184 dan 185 tentang keringanan orang-orang
yang tidak berpuasa karena sakit atau karena bepergian jauh yang tidak kuat
untuk melaksanakan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan.
Namun persoalannys tidak hanya demikian. Dalam ayat tersebut Allah
seakan mendesak agar hamba-Nya tetap berpuasa karena itu untuk diri
mereka sendiri. Keringanan yang tercantum dalam ayat yang sama seakan
menambah kebingungan bagi para pembacanya. Ditambah jika dihadapkan
di ayat selanjutnya (al-Baqarah: 185) yang di dalamnya terdapat kalimat
“Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki
kesukaran” menjadikan persoalan semakin kompleks.
Berikut adalah pembahasan kedua ayat tersebut:
40
ك . ف اد د ذ ع ب ي بي أ ع ب ا ض ش ي ى ك ي ب ي ح ذ ع ف ش ف س ه بو أ ش خ أ ز ان ه ع .
ف ك س ي بو ع ط خ ذ ف ق ط ن ش خ ا ف ش خ ع ط ر ى ز ك إ ى ك ن ش ا خ ي ص ر أ
ه ع ر
(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah ayat 184).
Ayat ini membahas tentang keringanan dalam puasa di bulan
Ramadhan. Dikatakan bahwa ketika seseorang yang sudah diwajibkan
berpuasa, kemudian sakit atau dalam perjalanan, maka dia boleh
membatalkan puasanya. Tentu hal ini juga mempunyai konsekuensi untuk
mengganti puasanya di bulan yang lain dan di hari yang tidak diharamkan
untuk berpuasa.
Jika membayar puasa di lain hari juga tidak kuat baginya, Allah
memberi kemudahan untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan orang
miskin. Ini merupakan ketentuan Allah untuk hambanya untuk kebaikan
mereka sendiri. Di akhir ayat juga terdapat tambahan jika berpuasa itu lebih
baik.
Akhir dari ayat ini mengindikasikan bahwa daripada membatalkan
puasa karena alasan tertentu, lebih baik tetap berpuasa saja karena itu lebih
baik. Kalimat ini seakan menjadi desakan dari Tuhan agar tetap berpuasa,
menjadikan keringanan yang tertera di awal ayat menjadi pilihan yang
paling akhir ketika seseorang benar-benar tidak kuat dalam berpuasa.
Allah berfirman, “Barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan, maka hendaklah mengulanginya pada hari-hari yang
lain.” Yakni orang sakit dan yang bepergian tidak perlu bepuasa, namun
41
boleh berbuka dan meng-qadha dengan cara mengulanginya pada hari-hari
lain. Adapun orang yang sehat dan berada di tempat—bila dia mau—maka
berpuasalah dan bila tidak mau maka berbukalah, namun dia harus
memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari ia berbuka.
Berpuasa lebih baik daripada memberi makan. Demikianlah menurut Ibnu
Abbas, Ibnu Mas‟ud dan ulama salaf lainnya.” 14
Pada permulaan puasa diwajibkan, umat Islam boleh memilih antara
dua hal, yaitu berpuasa atau membayar fidyah. Mereka boleh membayar
fidyah walaupun sanggup berpuasa.kemudian kebolehan itu di-mansûkh-
kan. Ayat yang me-nâsikh-kannya adalah ayat selanjutnya yaitu 185.
Setelah turun ayat tersebut umat Islam wajib berpuasa, tidak boleh
menggantinya dengan fidyah, kecuali bagi orang yang sudah terlalu tua
yang tidak sanggup lagi berpuasa atau orang sakit yang sudah tidak
mungkin lagi sembuh. Menurut Ibnu Abbas, fidyah juga dibolehkan bagi
ibu yang sedang menyusui dan hamil yang tidak sanggup berpuasa.15
Kalimat inilah (berpuasa lebih baik) yang kemudian menyebabkan
pembaca al-Qur‟an sekilas memahami bahwa ayat tersebut mempunyai
keganjilan jika dihadapkan ke ayat selanjutnya yaitu ayat 185. Ayat 184
mengisyaratkan desakan Tuhan untuk tetap berpuasa sedangkan ayat
selanjutnya mengisyaratkan kelembutan Tuhan ketika seorang hamba tidak
kuat dalam berpuasa.
Ayat selengkapnya adalah:
ض ي س ش ش ز ان ب ف ل ض أ ث بط ه ن ذ انقشا ذ ان ي د ب ق ش ف ان ذ ش ف ب
ك ي ص ه ف ش انش ى ك ي ي ح ذ ع ف ش ف س ه ع ب أ ض ش ي ب بو أ ى ك ث هللا ذ ش ش خ أ
ي ه ع ا هللا ش ج ك ز ن ح ذ ع ا ان ه ك ز ن ش س ع ان ى ك ث ذ ش ل ش س ان ش ك ش ر ى ك ه ع ن ى اك ذ ب
(581)
14
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 297.
15 Kdar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 68.
42
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda
(antara yang haq dan yang bahil). Karena itu, barangsiapa diantara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu. Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu, supaya kamu bersyukur.
(QS. Al-Baqarah: 185).
Awal ayat ini hampir sama dengan ayat sebelumnya, yaitu membahas
tentang puasa di bulan Ramadhan dan bagi orang sakit atau dalam
perjalanan yang tidak kuat malkukannya. Namun di akhir dijelaskan bahwa
Allah menghendaki kemudahan, bukan kesukaran bagi hamba-Nya.
Sehingga jika dilihat sekilas, maka ayat pertama Allah mendesak hamba-
Nya agar tetap berpuasa sedangkan ayat kedua Allah membolehkan mereka
untuk tidak berpuasa dan tanpa desakan apapun. Bahkan Allah
menambahkan kalimat “Allah menghendaki kemudahan dan tidak
menghendaki kesukaran.”
Sejatinya, jika kedua ayat di atas dikatakan sebagai ayat bertentangan,
sungguh tiada kuat sama sekali. Jika dipikir secara logika saja, suatu
desakan untuk tidak membatalkan puasa bukan berarti melarang untuk
membatalkannya. Biar bagaimanapun, di awal ayat sudah dijelaskan tentang
keringanannya, kemudian di ayat kedua juga dicantumkan lagi
keringanannya sehingga sangat tidak mungkin keringanan untuk
membatalkan puasa yang sudah dicantumkan dan diperbolehkan kemudian
tidak berlaku lagi karena kalimat yang tidak jelas ada larangannya.
Sebenarnya ibadah puasa sudah ada sejak zaman Mesir kuno, sebelum
mereka mengenal agama samawi. Dari mereka praktek puasa beralih kepada
43
orang-orang Yunani dan Romawi. Puasa juga dikenal dalam agama-agama
penyembah bintang. Agama Budha, Yahudi dan Kristen juga demikian.
Ibnu al-Nadim dalam bukunya al-Fharasat-nya menyebutkan bahwa agama
para penyembah bintang berpuasa tiga puluh hari setahun, ada pula puasa
sunnah sebanyak 16 hari dan juga ada 27 hari. Puasa mereka sebagai
penghormatan kepada bulan, juga kepada bintang Mars yang mereka
percaya sebagai bintang nasib, dan juga kepada Matahari.
Dalam agama Budha juga dikenal puasa, sejak terbit sampai
terbenamnya matahari. Mereka melakukan puasa empat hari dalam sebulan.
Mereka menamainya uposatha, pada hari-hari pertama kesembilan, kelima
belas dan kedua puluh. Orang Yahudi mengenal puasa selama empat puluh
hari, bahkan dikenal beberapa macam puasa yang dianjurkan bagi penganut-
penganut agama ini, khususnya untuk mengenang para nabi atau peristiwa-
peristiwa penting dalam agama mereka.
Puasa juga dikenal dalam agama Kristen. Walaupun dalam kitab
Perjanjian Baru tidak ada isyarat tentang kewajiban puasa, dalam praktek
keagamaan mereka dikenal aneka ragam puasa yang ditetapkan oleh
pemuka-pemuka agama.16
Pada permulaan Islam, puasa dilakukan tiga hari pada setiap bulan.
Kemudian pelaksanaan itu di nasakh oleh puasa bulan Ramdhan. Dari
Mu‟adz, Ibnu Mas‟ud dan yang lainnya dikatakan bahwa puasa ini
senantiasa disyari‟atkan sejak zaman Nuh hingga Allah menasakh ketentuan
itu dengan puasa Ramadhan. Puasa diwajibkan atas mereka dalam waktu
yang lama sehingga apabila salah seorang dari mereka shalat „isya‟
kemudian tidur, maka sesudah itu haram baginya makan, minum, dan
berjima‟ serta perbuatan sejenisnya. Kemudian Allah menjelaskan hukum
puasa sebagaimana yang berlaku pada permulaan Islam.17
Dalam Islam juga dikenal puasa pada hari-hari yang telah ditentukan,
yaitu pada bulan Ramadhan dimana al-Qur‟an turun di bulan tersebut. Tidak
16
Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan, Keserasian Qur‟ân, vol. 1, h. 403. 17
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, (Jakarta: Gema
Insani, 1999), h. 287.
44
ada keterangan apakah diwajibkannya berpuasa pada bulan Ramadhan
merupakan penghormatan karena diturunkannya al-Qur‟an pada bulan itu.
Yang pasti puasa di bulan Ramadhan merupakan ketentuan dan kewajiban
dari Allah kepada hamba-Nya demi kebaikan mereka sendiri.
Dalam menafsirkan ayat di atas, Quraish Shihab dalam tafsir al-
Misbah mengatakan kewajiban tersebut dimaksudkan agar kamu bertakwa,
yakni terhindar dari segalam macam sanksi dan dampak buruk, baik
duniawai maupun ukhrawi. Jangan duga, kewajiban yang akan dibebankan
kepada kamu ini sepanjang tahun. Tidak! Ia hanya beberapa hari tertentu,
itupun masih harus melihat kondisi kesehatan dan keadaan kalian. Karena
itu, barangsiapa di antara kamu yang sakit yang memberatkan berpuasa atau
sedang dalam perjalanan, boleh untuk membatalkan puasa dan diganti di
hari-hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkan baik berturut-turut
maupun tidak. 18
Penjelasan ini kemudian diulangi lagi di ayat 185 agar tidak timbul
kesan bahwa komentar yang menyusul izin pada ayat 184 yaitu “berpuasa
lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui,” merupakan desakan Tuhan
agar tetap berpuasa walau dalam keadaan perjalanan yang melelahkan, sakit
yang parah, atau bagi orang-orang yang telah tua. Ini tidak dikehendaki
Allah, maka diulangilah penjelasan di atas, dan kali ini ditambah dengan
penjelasan bahwa “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagi kamu.”
Keringanan untuk menggantikan puasa Ramadhan pada hari-hari lain
juga dimaksudkan agar bilangan puasa selama satu bulan dapat terpenuhi.
Karena itu lanjutan ayat di atas menyatakan, “Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah juga kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu, supaya kmau bersyukur.”19
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa puasa sudah ada
sejak zaman dahulu sebelum Islam muncul. Kebiasaan ini kemudian dibawa
18
Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan, Keserasian Qur‟ân, vol. 1, h. 403. 19
Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan, Keserasian Qur‟ân, vol. 1, h. 406.
45
oleh Islam sehingga pengikutnya diwajibkan berpuasa pada bulan
Ramadhan.
ق ي قجهكى نعهكى رز ب كزت عه انز بو ك كى انص ءايا كزت عه ب انز أ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
Diwajibkanya berpuasa mempunyai hikmah yang sangat besar,
salah satunya adalah bukti kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Bahkan
dalam suatu riwayat dijelaskan:
ب هخ انقذس إ قبو ن ي ، ج ر ادزسبث ب غفش ن يب رقذو ي ب ب إ صبو سيضب ب ي
ج ر ادزسبث ب غفش ن يب رقذو ي
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan
pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa shalat di
malam lailatul qadar karena iman dan mengharapkan pahala, akan
diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah).
Walaupun puasa Ramadhan diwajibkan oleh Allah, kenyataannya Dia
memberikan keringanan kepada hamba-Nya yang tidak kuat mengerjakan
puasa dengan cara mengganti di hari yang lain atau memberi makan orang
miskin karena tidak puasanya tersebut di hari-hari yang telah ditentukan.
Dalam surat al-Baqarah: 184, dijelaskan “Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui” mengindikasikan bahwa berpuasa memang desakan
Allah kepada hamba-Nya.
Namun di ayat selanjutnya (al-Baqarah: 185) Allah mengulangi lagi
keringanan bagi yang tidak kuat berpuasa. Kemudian di akhir ayat
ditambahkan “Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki
kesukaran bagi kamu” seakan menjadi jawaban dari ayat sebelumnya yang
seakan Allah mewajibkan dan benar-benar mendesak hamba-Nya agar tetap
melakukan puasa biarpun dalam keadaan sakit maupun sedang dalam
perjalanan.
46
Sungguh hal itu tidak benar mengingat ayat 185 Allah menghendaki
kemudahan bagi hamba-Nya mengindikasikan bahwa seorang hamba yang
tidak kuat berpuasa karena sedang sakit atau dalam perjalanan jauh boleh
membatalkan puasanya. Jika puasa satu bulan penuh menjadikan seorang
hamba justru kesulitan, maka boleh membatalkannya dan menggantinya di
hari yang lain. Dengan alasan bahwa Allah menghendaki kemudahan dan
tidak menghendaki kesukaran bagi hamba-Nya.
3. Analisa atas ayat yang diduga bertentangan tentang ‘iddah dalam surat
al-Baqarah ayat 234 dengan surat at-Ţalaq ayat 4
Hukum alam mengatakan tidak ada yang kekal di dunia ini. Adanya
kehidupan pasti akan mengalami kematian. Begitu juga suatu hubungan,
adanya pertemuan memungkinkan akan terjadinya suatu perpisahan. Tak
terkecuali pertemuan yang sudah didasari dengan ikatan suci yaitu
pernikahan, juga sangat memungkinkan terjadinya perpisahan/perceraian.
Perpisahan seorang suami dengan istri diakibatkan oleh banyak sebab,
di antaranya adalah karena perceraian, kematian, tidak ada kabar, dan lain
sebagainya yang dapat dibagi menjadi dua saja, yaitu cerai hidup dan cerai
meninggal.
Perpisahan dalam hubungan suami istri tidak serta merta berhenti
ketika mereka memutuskan untuk tidak bersama lagi. Bagi seorang istri
yang berpisah dengan suaminya, masih mempunyai kewajiban untuk
menunggu hingga memutuskan menikah kembali dengan orang lain. Masa
menunggu ini mempunyai fungsi salah satunya adalah seorang suami dan
istri masih bisa memikirkan kembali apakah benar-benar berpisah atau
kembali lagi. Dalam hukum Islam, masa menunggu ini dikenal dengan
„iddah.
„Iddah merupakan masa tunggu seorang istri ketika berpisah dengan
suami. Kata ini berasal dari kata „adad yang artinya hitungan. Maksudnya
adalah perempuan (istri) menghitung hari-hariya dan masa bersihnya.
Dalam istilah agama, „iddah berarti lamanya perempuan (istri) menunggu
47
dan tidak boleh menikah lagi setelah kematian suaminya atau setelah
bercerai dengan suaminya sampai batas waktu tertentu.
Pendapat lain mengatakan „iddah diartikan dengan masa menunggu
bagi perempuan untuk melakukan perkawinannya setelah terjadi perceraian
dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk
mengetahui keadaan rahimnya atau berpikir ulang bagi suaminya.20
Setelah terjadi perceraian antara seorang perempuan sebagai istri
dengan seorang laki-laki sebagai suami, maka perempuan tersebut dilarang
melakukan perkawinan dengan laki-laki lain selama batas waktu tertentu
yang ditetapkan oleh syara‟. Dalam masa „iddah ini suami istri yang telah
bercerai dapat berpikir, apakah perkawinan tersebut lebih baik
dipertahankan; dalam pengertian rujuk atau tidak. Disamping itu, “masa
tunggu” juga dimaksudkan untuk mengetahui apakah rahim perempuan itu
berisi janin atau tidak, sehingga apabila ternyata perempuan itu hamil, maka
nasab anak tersebut akan dapat diketahui dengan jelas.
„Iddah sendiri bermacam-macam banyaknya yang setiap diantaranya
masing-masing mempunyai waktu berbeda tergantung alasan kenapa dia
berpisah dengan suaminya. Menurut sebabnya, „iddah terbagi atas beberapa
macam, antara lain „iddah talak, „iddah hamil, „iddah wafat, „iddah karena
suami hilang, dan „iddah karena ila‟.21
Dasar hukum „iddah ini sudah diatur dalam al-Qur‟ân, sumber pokok
hukum umat Islam. Namun sebagai sumber utama, ada beberapa orang yang
mempermasalahkan aturannya terkait dengan „iddah karena dianggap
kontradiktif atau terlihat bertentangan secara kasat mata. Ayat yang
dimaksud adalah surat al-Baqarah ayat 234 dengan surat al-Thalaq ayat 4.
ا فبر عشش ش اسثعخ اش فس ثب ب زشثص اج اص زس كى ي ف ز انز ا ثه
فل خجش اجه ه ب رع هللا ث ف عش ثبن فس ف ا ب فعه كى ف جبح عه
20
Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran, Cet 1, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 224.
21 Siti Zulaikha, „Iddah dan Tantangan Modernitas, (Jurnal, Mei, 2010), h. 86.
48
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan
istri-istri, (hendaklah istri-istri itu) menunggu dengan menahan diri mereka
sendiri (ber‟iddah) empat bulan dan sepuluh (malam). Apabila telah sampai
ke batas akhir („iddah) mereka maka tiada dosa bagi kamu membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah, ayat ini masih ada
hubungannya dengan ayat sebelumnya yaitu masih dalam konteks
pembahasan perceraian akibat kematian. Jadi sangat beralasan saling
berurutan karena ayat sebelumnya menyinggung kewajiban waris dan hak
anak bila ayah meninggal dunia.22
Beliau juga menjelaskan alasan mengapa lama waktunya adalah empat
bulan sepuluh hari. Tentu hal ini tidak bertujuan untuk mengetahui apakah
istri sedang hamil atau tidak. Jika demikian, yang melahirkan beberapa saat
setelah suaminya meninggal, tidak perlu menunggu selama empat puluh
hari. Karena hal itu cukup jika harus menunggu tiga kali qurȗ‟ (sucian).
Demikian juga kalau dia monopause atau belum dewasa, maka cukup tiga
bulan saja. Ayat ini mengisyaratkan bahwa arti sesungguhnya “menunggu
dengan menahan diri mereka” adalah tidak hanya sekadar menunggu, tetapi
penantian itu dilakukannya atas kesadaran dari lubuk hatinya, bukan karena
paksaaan atau dorongan dari luar.23
Berbeda, Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa Musayyab
dan ulama lainnya mengatakan hikmah dari penetapan „iddah karena
kematian selama empat bulan sepuluh hari ialah untuk mengetahui
kemungkinan adanya kehamilan dalam rahim. Dengan jangka waktu selama
itu dapat diketahui ada tidaknya kehamilan, sebagaimana dalam hadis Ibnu
Mas‟ud yang terdapat dalam şahîhain dan kitab lainnya.
عهقخ يضم رنك, صى ب طفخ صى ك ي اسثع اي خ ف ثط خهق ادذكى ج إ ك
هك ان ح )سا انجخبس يسهى(يضخ يضم رنك صى جعش ان انش فخ ف ف
22
Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah,vol 1, h. 507. 23
Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah,vol 1, h. 508.
49
“Sesungguhnya penciptaanmu dalam perut ibumu adalah selama empat
puluh hari sebagai tetesan, kemudian menjadi segumpal darah selama itu
pula kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula kemudian Allah
mengutus malaikat yang meniupkan ruh kepadanya.” (HR. Bukhari dan
Muslim).24
Berkaitan dengan waktu „iddah seorang istri ditinggal mati oleh
suaminya, banyak hadis yang membahasnya, seperti halnya hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
ط أسثعخ ل ذم ل ، إل عه ص صلس و اخشرذذ عه يذ ف ان ثبهل ي يشأح ر
ا )سا يسهى( عشش ش أش
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
akhir untuk berkabung terhadap mayat lebih dari tiga hari, kecuali atas
kematian suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.”25 (HR. Muslim).
Dalam hadis lain yang juga shahih, Rasulullah bersabda:
ب؟ قبنذ: ب سسل هللا ايشاح أ ب أفكذه قذ اشزكذ ع ب ج ب ص ع ف ر ثز إ
ل قذ كبذ -ل -ل. كم رنك ق عشش ش أسثعخ أش ب صلص ب، صى قبل: إ أ ر يش
ك هخ ر ف انجب ش سخ )سا انجخبس يسهى(إدذا ك
“Seorang wanita bertanya, „Wahai Rasulullah, putriku ditinggal mati oleh
suaminya dan matanya kesakitan, apakah saya boleh mencelak matanya?
Beliau melarangnya. Nabi mengatakan „tidak‟ dua atau tiga kali. Kemudian
bersabda: Dia harus menunggu selama empat bulan sepuluh hari, bahkan
pada masa jahiliyah seorang wanita dari kalian harus mengurung diri
selama satu tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim).26
Mengenai hal ini, imam Syafi‟i berkata, “Ketika Sabi‟ah binti Harits
melahirkan seorang anak beberapa hari setelah kematian suaminya,
Rasulullah SAW berkata kepadanya, qad halalti fatazawwajȋ yang artinya
“Engkau telah halal, maka menikahlah.” Hadis ini shahih dan Bukhari
meriwayatkan pada bab al-tafsir (2/65). Juga imam Malik dalam al-
24
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, h. 394. 25
Abi al-Husain Muslim, Şâḥȋḥ Muslȋm, (Riyâđ: Dâr as-Salâm, 1419 H/1998 M), h. 645. 26
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, h. 396.
50
muwaththa‟ pada bab at-thalaq (75), dan selain mereka. Lihat Syifâ‟ al-„Iyyi
bi tahqîq musnad al-syafî‟iyy, Jilid II halaman 99 dan 100 hadis nomor 168
dan 169.27
Senada dengan pendapat tersebut imam Ibnu Katsir juga mengatakan
bahwa Ibnu Mas‟ud ditanya tentang seseorang yang menikah lalu dia
meninggal sebelum sempat men-dukhul-nya. Orang-orang berulang kali
mempertanyakan hal itu kepada Ibnu Mas‟ud. Dia berkata, saya akan
sampaikan pendapat saya mengenai hal itu. Jika benar, maka itu dari Allah
dan jika salah, maka dariku atau setan karena Allah dan Nabi terbebas dari
kesalahan: wanita itu berhak menerima mahar secara penuh. Dalam redaksi
lain dikatakan, baginya mahar seperti yang diberikan kepada wanita yang
sudah di-dukhul. Jangan mengurangi atau melebihi, dan berlaku atasnya
iddah serta berhak menerima harta pusaka. Kemudian Mu‟qil bin Yasar Al-
Asyja‟i beranjak seraya berkata saya mendengar Rasulullah SAW pun
memutuskan masalah Barwa‟ Binti Wasyiq dengan ketetapan demikian.
Mendengar itu, Abdullah ibn Mas‟ud gembira sekali.
Dalam riwayat lain dikatakan, maka orang-orang dari kabilah Asyja‟
bangkit seraya berkata, „Kami bersaksi bahwa Rasulullah memutuskan
demikian terhadap kasis Barwa‟ binti Wasyiq. Tidak dikecualikan dari
ketetapan tersebut selain istri yang ditinggal mati oleh suaminya tatkala dia
hamil. Maka „iddah-nya ialah sampai dia melahirkan, walaupun dia
melahirkan tidak begitu lama setelah kematian suaminya.
Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah SWT, “Wanita-wanita
yang hamil „iddah-nya ialah hingga mereka melahirkan” dan karena
dikatakan dalam sunnah, yaitu mengenai cerita Sabi‟ah Al-Aslamiyah yang
dikemukakan dalam şaẖîẖain dari berbagai jalan, “Bahwa Sabi‟ah ditinggal
mati oleh suaminya yang bernama Sa‟ad bin Khaulah ketika dia hamil.
Tidak lama setelah suaminya meningal, dia pun melahirkan.”
Dalam riwayat lain dikatakan: satu malam setelah dia meninggal, si
istri pun melahirkan. Dan setelah nifasnya kering, Sabi‟ah pun berdandan
27
Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi‟i, Jilid 1, (Jakarta: Almahira, 2008), h. 428.
51
untuk memikat pelamar. Maka ia didatangi oleh Abu Sanabil ibnu Ba‟kak
dan berkata kepadanya, “Saya lihat kamu ini berdandan seperti orang yang
ingin kain saja. Demi Allah kamu tidak boleh kawin sebelum ewat empat
bulan sepuluh hari.” Sabi‟ah berkata, “Setelah Abu Sanabil mengatakan
demikian kepada saya, maka pada sore harinya saya mengemasi pakaian
kemudian pergi utnuk menemui Rasulullah SAW guna menanyakan hal
tersebut. Maka beliau menasihatiku bahwa saya sudah halal untuk kawin
setelah saya melahirkan, dan beliau menyuruhku kawin jika saya mau.”28
Ada juga pendapat yang mengatakan masa „iddah-nya dua wanita
yang lebih lama, yaitu antara melahirkan dan tiga kali qurȗ‟ (suci). Apabila
waktu kelahiran lebih dari tiga kali qurû‟ maka waktu kelahiranlah yang
menjadi masa „iddah-nya. Sedangkan apabila tiga kali qurȗ‟ lebih lama dari
kelahiran (seperti Sabi‟ah Al-Aslamiyah), maka tiga kali qurȗ‟ yang
menjadi masa iddahnya. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib
dan Ibnu Abbas.29
Ayat lain yang membahas tentang „iddah adalah surat at-ţalaq ayat 4:
ئ نى ذ انل ش صلصخ اش اسرجزى فعذر سبءكى ا ذض ي ان ي ئ ئس انل , ض
ق هللا ز ي , ه د ضع ا بل اجه الد الد ا. سش ايش جعم ن ي
“Dan mereka yang telah berputus asa dari haidh di antata perempuan-
perempuan kamu-jika kamu ragi-ragu- maka „iddah mereka adalah tiga
bulan; dan (juga) yang idak haidh. Den perempuan-perepuan yang hamil,
batas waktu mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungan mereka.
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan
baginya dalam urusannya kemudahan. Itu adalah perintah Alah yang
diturukan-Nya kepada kanu; barang siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya serta akan melipat
gandakan pahala baginya.”30
28
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, h. 393. Hadis ini
diriwayatkan oleh muttafaq „alaih. Lih: Ahmad Mujab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah,
Hadis-Hadis Muttafaq „Alaih, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2004), h. 74. 29
Al-Syanqithi, Ađwâ‟ul Bayân, Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 439. 30
Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 14, h. 297.
52
Ayat ini berbicara tentang „iddah seorang wanita dan tuntunan kepada
suami agar berpikir panjang sebelum menjatuhkan putusan serta
menguraikan apa yang harus dilakukan jika suami bertekad untuk
menjatuhkan thalaq. Begitu juga dengan seorang laki-laki yang ingin
menikahi seorang wanita yang masih dalam waktu yang dilarang untuk
menikah kembali setelah ditinggal suaminya („iddah).
Ibnu Jarir, Ishaq bin Rahawaih, al-Hakim dan lainnya meriwayatkan
dari Ubay bin Ka‟ab yang berkata, “Ketika turun ayat yang terdapat dalam
surat al-Baqarah, yaitu yang berbicara tentang masa „iddah beberapa
kelompok wanita, para shahabat berkata, „masih ada beberapa golongan
wanita lagi yang belum ditetapkan masa „iddah-nya, yaitu yang masih kecil,
yang sudah tua (sudah menopause), dan wanita yang sedang hamil.‟ Allah
lalu menurunkan ayat ini.” Riwayat ini sanadnya shahih.
Muqatil juga meriwayatkan dalam kitab tafsirnya bahwa suatu ketika
Khallad bin Amru bin Jamuh bertanya kepada Rasulullah tentang „iddah
wanita yang tidak haid. Sebagai responnya, turunlah ayat ini.31
Berbeda dengan ayat (surat al-Baqarah) sebelumnya, ayat ini secara
khusus membahas tentang „iddah dari segi lamanya masa menunggu.
Sedangkan ayat sebelumnya membahas tentang masa „iddah bagi seorang
wanita yang dicerai sedang dia masih mengalami haidh dan masih terbuka
kemungkinan untuk dirujuk.32
Kedua ayat di atas (al-Baqarah dengan at-Thalaq) merupakan ta‟âruđ
al-a‟main (bertentangan dua keumuman), dan secara teori ushul fiqih harus
dilakukan tarjih (mencari yang lebih kuat) antara keduanya. Dan yang râjiẖ
(yang kuat) adalah yang bersifat khusus di antara keduanya, sedangkan yang
lebih umum itu adalah marjûẖ (dikalahkan).
Tarjȋẖ di sini maksudnya adalah membandingkan dan mengambil
yang lebih kuat secara umum. Keumuman disini maksudnya adalah takhşîş
yaitu meng-khusus-kan sesuatu dari yang umum. Karena tidak mungkin
31
Jalaluddin As-Suyuthi, Sebab Turunnya Qur‟ân, h. 584. 32
Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 14, h. 298.
53
mengambil sesuatu dari ayat al-Qur‟an kemudian ayat yang lain dihapus.
Biar bagaimanapun, semua ayat dalam al-Qur‟an tidak bisa ditambah dan
dikurangi. Dari sejak awal turunnya sampai sekarang masih sama sehingga
dapat dikatakan sebagai mutawatir, yaitu banyak yang meriwayatkan dari
sejak diturunkannya.
54
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari analisis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat ta’âruđ
dalam artian berselisih dalam al-Qur’an. Hal ini dibuktikan dengan perselisihan
al-Qur’an dalam menentukan hukum boleh tidaknya orang meninggalkan puasa,
bisa tidaknya manusia memberikan hidayah dan masa penantian bagi seorang
wanita yang ditinggal mati suaminya sedang dalam keadaan hamil.
Ketiga persoalan di atas dapat dipecahkan dengan menggunakan tiga
metode. Untuk persoalan hukum boleh tidaknya meninggalkan puasa,
menggunakan metode naskh. Bisa tidaknya seseorang memberikan hidayah dapat
dipecahkan dengan mengunakan metode al-jam’u wa at-taufȋq. Sedangkan untuk
menentukan lama waktu menunggu perempuan yang ditinggal mati suaminya
(‘iddah) sedang dalam keadaan hamil menggunakan metode tarjȋḥ. Yaitu
keumumannya disebut sebagai marjuh dank kekhususannya disebut sebagai râjiḥ.
B. SARAN
Penulis sangat menyadari skripsi butuh banyak perbaikan agar dapat
digunakan sebagai diskursus keilmuan di masa yang akan dating. Pembahasan
masalahnya juga sangat sedikit sangat memungkinkan terdapat sesuatu yang
terlewat dan belum dibahas ataupun disinggung. Di antaranya adalah contoh-
contoh ta’âruđ selain yang sudah dibahas di atas.
Karena penulis hanya memfokuskan penelitian seputar ada dan tidaknya
ta’âruđ dalam al-Qur’an, maka pembahasan tentang ayat-ayat yang diduga
bertentangan belum sepenuhnya dibahas secara lengkap dan mendetail. Oleh
sebab itu, penulis menyarankan agar pembaca meneruskan penelitian ini baik dari
segi ta’âruđ atau ayat-ayat yang diduga bertentangan.
Kelanjutan penelitian tersebut menjadi sangat penting untuk dilakukan
mengingat banyaknya penyerang-penyerang agama Islam yang mengatakan
terdapat ayat yang kontradiktif dalam al-Qur’an. Semoga hasilnya nanti mampu
55
menjawab semua tuduhan tersebut dan memberikan pemahaman kepada pembaca
bahwa Islam merupakan agama yang benar dan al-Qur’an merupakan kitab yang
dating dari Tuhan.
56
DAFTAR PUSTAKA
‘Utsaimin, Muhammad bin Sholeh. al-Uşûl min ‘Ilmi al-Wuşûl. Darul Hadi
Muhammadi.
Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas al-Qur’an. Yogyakarta: LkiS, 1993.
Baidan. Nashruddin. Metode Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2002.
Barzanji, Abdul Lathif Abdullah Aziz. Al-Ta’âruđ wa at-Tarjîẖ Baina al-Adillah
asy-Syar’iyyah. Beirut: Darul Kutub al-Alamiah. 1993.
Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung: Mizan.
1997.
Farran, Musthafa. Tafsir Imam Syafi’i. Jakarta: Almahira. 2008.
Harun, Salman. Kaidah-kaidah Tafsir. Jakarta: Penerbit Qaf. 2017.
Hasballah, Ali. Uşûl at-Tasyri’ al-Islamy. Mesir: Dar al-ma’arif. 1970.
Kafrawi, As’ad Abdul Ghani dan Mahmud, Ahmad Mukhtar. Muẖâđarât fi Uşûl
al-Fiqh. Jâmi’ah al-Azhar. Kulliyah al-Dirasat al-Islâmiyah wa al-
‘Arabiyah. 1422 H/2002 M.
Khallaf, Abdul Wahbah. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002.
Mahalli, Ahmad Mujab. Hasbullah, Ahmad Rodli. Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih.
Jakarta: Fajar Interpratama Offset. 2004.
Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam. Visi Dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an
Kontemporer. Jatim: Al-Izzah. 1997.
Munawir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia Al-Munawir. Surabaya:
Pustaka Progressif. 1997.
Muslim, Abi al-Husain. Şâḥȋḥ Muslȋm. Riyâđ: Dâr as-Salâm. 1419 H/1998 M.
Nawawi. Dasar-dasar Ilmu Hadis. Pen. Syarif Hadee Masyah. Jakarta: Pustaka
Firdaus. 2009.
57
Qaththan, Manna’ Kholil. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Mesir: Maktabah
Wahbah.
Qurthubi. Tafsir al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.
Quthb, Sayyid. Fi Dzilalil Qur’ân.
Rahman, Fatchur. Ikhtişâr Muşţalaẖul Hadis. Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1974.
Rifa’i, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani.
1999.
Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. Tafsir As-Sa’di. Jakarta : Darul Haq. 2007.
Saladin, Bustamin. Hidayah Dalam al-Qur’an. Jurnal Nuansa. Vol 10.
Pamekasan: 2013.
Salim, Abdul Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: PT. Teras. 2005.
Shabuni, Muhammad Ali. Shafwat at-Tafâsir. Jakarta: Pustaka Kautsar. 2011.
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. 2007.
_______________ Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan, Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati. 2000.
Shihab, Umar. Kontekstualitas al-Qur’an. Jakarta: Permadani. 2008.
Shilah, Abu. Shilah, Ummu. Prinsip Ilmu Ushul Fiqih. Tholib.2007.
Soeherman, dkk. Al-Hikmah: Jurnal Studi-studi Islam. Bandung. 1993.
Subhan, Zaitunah. Al-Qur’an dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender Dalam
Penafsiran. Jakarta: Prenadamedia Group. 2015.
Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Maktabah
‘Ashriyah. 1988.
____________________________ Sebab Turunnya al-Qur’an. Jakarta: Gema
Insani. 2008.
Syaltut, Mahmud. Tafsir al-Qur’an al-Karim, Pendekatan Syaltut Dalam
Menggali Esensi al-Qur’an. Bandung: CV Diponegoro.
Syaltut, Mahmud. Tafsir al-Qur’an al-Karim. Darus Syuruq.
58
Syanqithi. Adhwa’ul Bayan. Jilid 1. Jakarta: Pustaka Azzam. 2006.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana. 2011.
Thabari. Abu Ja’far Muhammad bi Jarir. Jâmi’ul Bayân an Ta’wîl ayi al-Qur’ân.
Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.
Utsman, Muhammad Han. I’râb al-Qur’anal-Karȋm. Jilid 8. Mesir: Ar-Risâlah.
1432 H/2011 M.
Wafa, Muhammad. Ta’âruđ al-Adillah al-Syar’iyyah Minal Kitâb wa as-Sunnah
wa at-Tarjîẖ Bainaha.
M. Yusuf, Kdar. Tafsir Ayat Ahkam. Jakarta: Amzah. 2013.
Zarkasyi. Bahrul Muẖîţ fî Uşûl al-Fiqh. Beirut: Darul Kitab Ilmiah. 1971.
_______________ Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Maktabah al-
‘Asriyyah. 1957.