ta’ȂruĐ dalam al-qur’an -...

67
TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN Analisis Atas Ayat-ayat Yang Diduga Bertentangan SKRIPSI AHMAD ZAIM NIM: 1111034000108 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/ 2018 M

Upload: truongcong

Post on 25-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN

Analisis Atas Ayat-ayat Yang Diduga Bertentangan

SKRIPSI

AHMAD ZAIM

NIM: 1111034000108

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/ 2018 M

Page 2: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut
Page 3: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut
Page 4: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut
Page 5: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

i

ABSTRAK

Ta’âruđ adalah perselisihan antar dalil dalam memberikan hukum. Ada

beberapa ulama yang mengartikan kata ta’âruđ dengan pertentangan. Sehingga

sangat wajar jika pada kesimpulan yang akhir mereka berpendapat tidak ada

ta’âruđ dalam al-Qur’an. Di sisi lain, ada juga ulama yang mengartikannya

dengan perselisihan. Sehingga pada kesimpulan akhir sangat memungkinkan

adanya ta’âruđ dalam al-Qur’an.

Ta’âruđ dalam pengertian tersebut dapat dikompromikan atau dicarikan

jalan keluarnya dengan cara al-jam’u wa at-taufȋq, naskh dan tarjȋḥ. Ketiga

metode itu juga digunakan dalam penentuan hadis-hadis yang dianggap ikhtilaf

atau berselisih pendapat.

Ayat yang dibahas menggunakan metode ini adalah ayat yang berbicara

tentang hidayah yaitu bisa atau tidaknya manusia memberikannya. Kemudian ayat

yang membahas boleh dan tidaknya orang Islam meninggalkan puasa karena

sedang sakit atau dalam perjalanan jauh. Pembahasan selanjutnya mengenai ayat

yang membahas ‘iddah seorang wanita yang ditinggal mati suaminya sedang ia

dalam keadaan mengandung.

Dari ketiga contoh pembahasan ayat di atas dan diselesaikan

menggunakan metode yang sudah disebutkan, maka dapat dikatakan bahwa

ta’âruđ dalam al-Qur’an memang benar-benar ada dengan makna perselisihan,

bukan pertentangan. Karena biar bagaimanapun, al-Qur’an merupakan kitab suci

umat Islam yang berasal dari Tuhan sehingga tidak mungkin terdapat kontradiktif

antar ayat di dalamnya.

Page 6: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

ii

KATA PENGANTAR

بسم ميحرلا نمحرلا هللا

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan hidayah

serta inayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi sebagai tugas

akhir masa studi yang berjudul “TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN: Analisa

Atas Ayat-ayat Yang Diduga Bertentangan” dengan lancar.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi agung

Muhammad SAW, keluarga dan shahabat-shabatnya. Karena berkat beliau-lah

kita dapat mengenal Islam dan keluar dari zaman jahiliyyah menuju zaman yang

terang benderang dengan dasar akhlak al-karimah yang kuat.

Tidak lupa juga kepada semua umat muslim dimanapun, semoga selalu

mendapatkan petunjuk-Nya. Terkhusus kepada pihak-pihak yang sudah

membantu saya baik materi maupun non materi hingga skripsi ini mampu selesai

dan berada di tangan pembaca.

Selain karena sebagai tugas akhir, sebenarnya penulis sudah menyoroti

tentang dalil-dalil yang terlihat bertentangan semasa mengikuti perkuliahan. Saat

itu penulis ingin sekali meneliti tentang hadis yang diduga bertentangan sebagai

tugas akhir. Namun, karena adanya beberapa faktor, sehingga penelitian harus

dialihkan ke al-Qur’an.

Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-

pihak terkait, yang sudah memberikan bantuan baik dari segi riil maupun materil.

Di antaranya adalah kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. Selaku rektor Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A. Selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta beserta jajaran

dekanatnya.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A. Selaku kepala program studi Ilmu

al-Qur’an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd sebagai

sekretaris jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.

Page 7: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

iii

4. Bapak Abd. Moqsith selaku dosen pembimbing akademik.

5. Rifqi Muchtar selaku pembimbing skripsi yang senantiasa sabar

memberikan bimbingan dan arahan yang membangun untuk skripsi ini.

6. Kepada Bapak Akhsin Sakho yang telah meluangkan waktunya untuk

konsultasi mengenai skripsi ini.

7. Kepada semua dosen di Fakultas Ushuluddin yang tidak bisa saya

sebutan satu persatu.

8. Kepada ayah dan ibu saya yang selalu sabar dan memberikan motivasi

untuk selesainya skripsi ini.

9. Tidak lupa kepada teman-teman jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang

telah memberikan semua bantuan dan dukungan kepada sayayang tidak

bisa saya sebutkan satu persatu.

10. Terima kasih kepada keluarga besar alumni pesantren Raudlatul Ulum

Guyangan, terkhusus yang berada di Jakarta dan hidup di sekitar saya,

terima kasih atas dukungannya selama ini sehingga skripsi ini bisa

selesai.

Penulis sadar skripsi sangat jauh dari kata sempurna. Dari berbagai segi

pasti tulisan yang berada di depan anda ini mempunyai banyak kekurangan.

Karena itulah dengan kerendahan hati penulis meminta saran dan masukan untuk

perbaikan sehingga nantinya dapat dibaca oleh berbagai kalangan dan semoga

mendapatkan pengetahuan di dalamnya.

Akhir kata semoga kita termasuk hamba-hamba yang saling membantu

dalam kebenaran, berpacu dalam beramal dan mendapatkan ridha dari apa yang

sudah kita lakukan. Semua kita tetap berada di jalan-Nya hingga maut menjemput

dan dikumpulkan bersama orang-orang yang shalih. Amȋn yâ rabbal ‘âlamȋn.

Ciputat, Juli 2018

Ahmad Zaim

Page 8: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

iv

Pedoman Transliterasi

Arab Indonesia Arab Indonesia

ţ ط a ا

’t ظ b ب

‘ ع t ت

ġ غ Ś ث

f ف j ج

q ق ḥ ح

k ك kh خ

l ل d د

m م ż ذ

n ن r ر

w و z ز

h ه s س

, ء sy ش

Y ي ş ص

h ة đ ض

Vokal Panjang

Arab Latin

 ا

ȋ إى

ȗ أو

Page 9: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK……………………………………………………...............………....i

KATA PENGANTAR……………………………….……… ...………………….ii

PEDOMAN TRANSLITERASI………………… ...…………………………….iv

DAFTAR ISI…………………………………...........................................……....v

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Permasalahan .............................................................................. 7

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 9

D. Manfaat Penelitian .................................................................... 10

E. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 10

F. Metodologi Penelitian ............................................................... 11

G. Sistematika Penulisan ............................................................... 12

BAB II LANDASAN TEORI ......................................................................... 14

A. Pengertian Ta‟âruđ ................................................................... 14

B. Macam-macam Ta‟âruđ ........................................................... 17

C. Syarat-syarat Ta‟âruđ ............................................................... 19

D. Cara Menyelesaikan Ta‟âruđ Dalam Al-Qur‟an ...................... 20

BAB III ANALISIS ATAS AYAT-AYAT YANG DIDUGA

BERTENTANGAN ........................................................................... 28

Analisa atas ayat yang diduga bertentangan tentang hidayah dalam

=surat al-Syura ayat 52 dengan surat al-Qaşşaş ayat 56. ................... 31

Analisa atas ayat yang diduga bertentangan tentang puasa dalam surat

al-Baqarah ayat 184 dengan ayat 185 ................................................ 38

Analisa atas ayat yang diduga bertentangan tentang „iddah dalam surat

al-Baqarah ayat 234 dengan surat at-Ţalaq ayat 4 ............................. 46

BAB IV PENUTUP .......................................................................................... 54

A. KESIMPULAN ......................................................................... 54

B. SARAN ..................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 56

Page 10: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an adalah kitab yang diturunkan Allah kepada seluruh umat manusia

melalui perantara Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya menyimpan berbagai

macam petunjuk untuk manusia agar berjalan atas ridha Ilahi. Tiada keraguan

dalam kitab ini seperti yang termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 2 “Inilah kitab

(al-Qur‟ân) tiada keraguan di dalamnya.”1

Sejak turunnya al-Qur‟an sampai sekarang, kesuciannya masih tetap terjaga

karena Allah sendiri yang menjaganya. “Sesungguhnya kami (Allah bersama

Jibril yang diperintah-Nya) menurunkan al-Qur‟an dan kami (yakni Allah dengan

keterlibatan manusia) yang menjaganya.”2 Untuk memperkuat bahwa al-Qur‟an

bukan berasal dari manusia, Allah berfirman “Katakanlah, Seandainya manusia

dan jin berkumpul untuk menyusun semacam al-Qur‟an ini, mereka tidak akan

berhasil menyusun semacamnya, walaupun mereka bekerja sama.”3

Muhammad Abduh mengatakan bahwa al-Qur‟an adalah satu-satunya kitab

yang memuat berbagai masalah alam, secara empiris maupun sosial. Zaman telah

berlalu, keadaan ilmu pengetahuan dan aktivitas manusia pun telah berubah,

namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut. Oleh karena itu,

benar kiranya jika keselamatannya dari kesalahan ini dijadikan sebagai salah satu

aspek kemukjizatannya bagi manusia.4

Suatu kebenaran akan benar-benar dipercayai ketika mampu membuktikan

daya tahannya terhadap kritikan dan mampu menjawab setiap persoalan. Inilah

yang terjadi dalam al-Qur‟an, banyak yang tidak percaya akan kebenarannya

hingga mencari tahu sisi kelemahannya. Namun sampai sekarang ketahanan al-

1QS. al-Baqarah ayat 2.

2Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2007), h. 7.

3Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, h. 5.

4Abdul Majid Abdussalam Al-Muhtasib, Visi Dan Paradigma Tafsir Al-Qur‟an

Kontemporer (Jatim: Al-Izzah, 1997), h. 132.

Page 11: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

2

Qur‟an masih tetap terjaga karena mampu menjawab semua anggapan maupun

kritikan tersebut.

Al-Qur‟an seolah menantang dirinya untuk dibedah. Tetapi, semakin

dibedah, rupanya semakin banyak saja yang tidak diketahui. Semakin ditelaah,

nampaknya semakin kaya pula makna yang terkuak darinya. Barangsiapa yang

mengaku tahu banyak tentang al-Qur‟an, justru semakin tahulah kita bahwa dia

tahu sedikit saja.5

Sejarah mengatakan sudah banyak yang ingin membuat yang serupa dengan

al-Qur‟an dan sampai saat ini belum ada satupun yang mampu menandinginya

baik dari segi keindahan makna maupun arti yang dikandungnya.

Bisa saja ada yang mengatakan “Sebenarnya ada yang sudah membuat

serupa dengan al-Qur‟an tapi tidak diketahui orangnya.” Ucapan semacam ini

jelas tidak ada dasarnya sama sekali. Ada beberapa alasan yang mendasarinya.

Pertama, amat sulit disembunyikan suatu berita penting menyangkut suatu

persoalan yang menjadi perhatian masyarakat umum. Bagaimana mungkin

keberhasilan menandingi al-Qur‟an dapat disembunyikan, sedangkan al-Qur‟an

sendiri mengajak seluruh manusia bahkan secara bersama-sama untuk

menandinginya?

Kedua, sejarah membuktikan adanya orang-orang yang berusaha

menandingi al-Qur‟an. Sejarah juga meriwayatkan ucapan-ucapan mereka, namun

pada akhirnya usaha mereka berakhir dengan kegagalan, bahkan mereka sendiri

mengakui akan kegagalan mereka.

Ketiga, pakar-pakar bahasa arab –non muslim sekalipun- hingga kini

mengakui keindahan al-Qur‟an dan kemukjizatannya. Prof. Isa J. Boullata, guru

besar Universitas McGill di Kanada dan beragama Kristen adalah salah seorang

yang mengajarkan al-Qur‟an dari segi keindahan bahasanya.

Keempat, sejarah menginformasikan adanya upaya-upaya menandingi al-

Qur‟an dari beberapa gelintir manusia, tetapi yang mereka upayakan dinilai oleh

kritikus susastra sebagai hal yang amat sederhana. Seperti contoh berikut ini:

ها سوة تسع تيي شساشفيي وحش الن تس كيف فعل زتك تالحثل اخسج ه

5 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur‟an , (Jakarta: Permadani, 2008), h. 3.

Page 12: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

3

Penyusunan kalimat-kalimat di atas ingin menggambarkan betapa

kekuasaan Allah dan anugerah-Nya terhadap seorang wanita hamil. Tuhan

mengelurakan dari perutnya suatu makhluk hidup yang dapat bergerak antara

tulang rusuk dari (sisi) perutnya.

Digunakannya kalimat alam tara kaifa fa‟ala rabbuka untuk menandingi

surah al-fil yang juga dimulai dengan kalimat yang sama, tetapi penyusunnya

tidak sadar bahwa kata fa‟ala apabila pelakunya Allah maka uraian berikutnya

merupakan siksa atau ancaman siksa. Seperti dalam QS. Hud [11]: 107, Al-Buruj

[85]: 16, dan lain-lain.

Konon Musailamah al-Kadzdzab, seorang Arab dari Yaman mengaku

mendapatkan wahyu. Dia meyampaikan wahyu-wahyu itu, antara lain;

ا تليل الفيل هاالفيل وها ادزىك هاالفيل له خسطىم طىيل وذة اثيل وها ذاك هي خلق زت

Artinya: Gajah, apakah gajah, tahukah engkau apa gajah, dia mempunyai belalai

yang panjang, dan ekor yang mantap. Itu bkanlah bagian dari ciptaan Tuhan kita

yang kecil.

Kita bisa melihat makna dan pesan yang dikandung kalimat-kalimat tersebut

sangat sederhana, tetapi juga kata-kata yang digunakan bukan pada tempatnya.

Bahasa Arab tidak menggunakan kata wa mâ adrâka kecuali dalam hal-hal yang

amat agung lagi sulit dijangkau hakikatnya. Karena itu al-Qur‟an tidak

menggunakan kalimat itu, kecuali untuk hari kiamat, surga, neraka, bintang

tertentu yang gemerlapannya menembus cakrawala, dan perjuangan mendaki

menuju hadirat Ilahi. Bukannya semacam apa yang diungkapkan di sini, tentang

gajah, belalai dan ekornya.

Demikian terlihat bahwa berita tentang adanya yang berupaya menantang

al-Qur‟an cukup tersebar, hanya saja tidak dihiraukan karena mutunya sangat

rendah.6

Selain penantang al-Qur‟an, ada juga orang yang menyerang al-Qur‟an

dengan mengatakan bahwa kitab umat Islam itu tidak konsisten karena terdapat

ayat-ayat yang saling bertentangan. Padahal al-Qur‟an sendiri mengatakan bahwa

6 Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur‟an ,(Bandung: Mizan, 1997), h. 269-271.

Page 13: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

4

ayat-ayatnya tidak ada yang kontradiktif, saling menjawab dan terkait satu sama

lain.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur‟an? Kalau kiranya al-

Qur‟an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang

banyak di dalamnya.” (An-nisa‟ : 82). Maksudnya adalah ketika al-Qur‟an itu

dari sisi Allah, maka tidak akan ada perselisihan di dalamnya sama sekali. Semua

yang ada dalam al-Qur‟an saling sesuai dan saling membenarkan, sebagiannya

tidaklah membatalkan sebagian yang lainnya. Dengan demikian diketahuilah

kesempurnaan al-Qur‟an dan bahwasanya ia adalah dari Dzat yang ilmu-Nya

meliputi segala sesuatu.7

Walaupun demikian, diakui maupun tidak, ada beberapa ayat yang memang

redaksinya terlihat bertentangan. Sehingga para ulama menyinggung tentang

ta‟âruđ dalam al-Qur‟an yang secara bahasa berarti bertolak belakang, kontradiksi

atau bertentangan.8 Seperti halnya banyak pembahasan tentang ta‟âruđ dalam

kitab-kitab ushul fiqh dan ulum al-hadis tak terkecuali juga kitab ulum al-Qur‟an,

al-itqan karya imam Jalaluddin Al-Suyuthi juga menyinggung soal ini.

Di antara ayat-ayat yang terlihat saling bertentangan adalah ayat yang

membahas tentang „iddah. Yaitu ayat 234 surat al-Baqarah dengan ayat 3 surat at-

thalaq. Ayat pertama menghendaki bahwa „iddah bagi seorang wanita adalah tiga

kali suci. Sedangkan ayat kedua menghendaki bahwa „iddah sorang wanita adalah

setelah melahirkan.

Contoh lainnya adalah dalam surat an-nisa‟ ayat 48:

ا و ث ي إ س ت اف د ف الل ت ك س ش ي ي ه و اء ش ي ي و ل ك ل ذ ى و ا د ه س ف غ ي و ه ت ك س ش ي ى أ س ف غ ي ل للا ى إ

او ي ظ ع

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni

segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.

Barang siapa yang mempersekutukan Allah, sesungguhnya ia telah berbuat dosa

yang besar.”

Di ayat lain, Allah juga berfirman :

7Abdurrahman bin Nashir Al-Sa‟di, Tafsir As-Sa‟di, (jakarta : Darul Haq, 2007), h. 143.

8Az-Zarkasyi, Bahrul Muẖîţ fî Ushûl al-fiqh, (Beirut: Dârul Kitâb Ilmiah, 1971), h. 407.

Page 14: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

5

ل ىا ع ف س س أ ي ي ر ال اد ث ا ع ي ل ق ا ع ي و ج ب ى الر س ف غ ي للا ى ا للا ة و ح ز ي ىا ه ط ت ل ن ه س ف أ

ن ي ح الس ىز ف غال ى ه ه إ

“Katakanlah: Hai hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri mereka

sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah

mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang maha Pengampun

lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Zumar: 53).

Ayat pertama berbicara tentang dosa yang tidak diampuni oleh Allah yaitu

syirik. Sedangkan ayat kedua mengatakan bahwa semua dosa yang dilakukan oleh

hamba-hamba-Nya pasti diampuni oleh Allah. Maka Dia melarang untuk berputus

asa dari rahmat-Nya. Keumuman pembahasan ayat kedua ini memunculkan

pemahaman bahwa semua dosa termasuk syirik akan diampuni oleh Allah. Dari

sini kemudian dapat diketahui bahwa kedua ayat di atas terlihat bertentangan.

Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, kedua ayat di atas tidaklah bertentangan

melainkan menafsirkan satu sama lain, walaupun tidak berurutan dan berada

dalam surat yang sama.

Seperti halnya yang disinggung dalam bukunya Dr. Umar Shihab,

penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an dalam kajian ulum al-Qur‟an dikenal

dengan dua macam metode tafsir. Pertama, tafsir muttashil, yakni menafsirkan

suatu ayat dengan ayat berikutnya secara berkaitan atau berhubungan. Kedua,

tafsir munfashil, yakni menafsirkan ayat dengan ayat lain yang berbeda tempat.9

Sehingga sangat wajar jika ayat satu menafsirkan ayat lain walaupun berbeda

surat.

Permasalahan seperti ini sering di salah artikan oleh banyak kalangan,

termasuk di Indonesia sendiri. Banyak yang beranggapan bahwa semua dosa

dapat diampuni oleh Allah kecuali dosa syirik. Padahal tidak, justru ayat yang

terkesan bertentangan menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan semua dosa

bisa diampuni oleh Allah SWT.

Bermula dari permasalahan tersebut, penulis merasa penting untuk

membahas dan menganalisa lebih lanjut ayat-ayat yang terlihat bertentangan agar

9 Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur‟an , h. 11.

Page 15: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

6

tidak terjadi kerancuan makna dalam menafsirkan al-Qur‟an serta membantah

sebagian orang yang mengatakan bahwa dalam al-Qur‟an terdapat ayat yang

saling bertentangan satu dengan yang lainnya sehingga bisa disebut sebagai kitab

yang tidak konsisten.

Sebenarnya pertentangan ini sangat dipengaruhi oleh pembaca al-Qur‟an.

Bisa jadi orang tersebut memang membenci Islam dan menyerang melalui al-

Qur‟an bahwa kitab tersebut bukan berasal dari Tuhan, dengan bukti ada

pertentangan di dalamnya. Kedua pertentangan tersebut berasal dari seseorang

yang memahami al-Qur‟an hanya sebatas dzahirnya saja sesuai kadar

keilmuannya. Sehingga menganggap dalam al-Qur‟an terdapat ayat yang

bertentangan.

Al-Qur‟an sendiri sudah menjelaskan tidak ada yang bertentangan antar satu

ayat dengan yang lainnya. Karena hal itulah penulis ingin lebih memfokuskan

pembahasan mengenai ayat-ayat yang terlihat bertentangan dengan mengambil

judul “Ta’âruđ Dalam Al-Qur’an. Analisis Atas Ayat-ayat Yang Diduga

Bertentangan” agar pembahasan lebih mendalam dan hasil yang didapat lebih

terperinci.

Alasan pengambilan judul ini juga dilatar belakangi oleh salah satu

pembahasan dari disiplin ilmu lain yakni ushul fiqih dan ulumul hadis.

Pembahasan tersebut yaitu mengenai ta‟âruđ, yang sering dikenal dengan

pertentangan dua dalil.

Dalam hukum fiqih, mungkin ta‟âruđ sangat terbuka lebar adanya

mengingat hukum fiqih juga berasal dari istinbath para ulama dan para para ulama

sangat memungkinkan dalam berbeda pendapat. Sehingga sangat wajar ketika

terdapat hukum yang seperti bertolak belakang dan mempunyai dasar masig-

masing.

Hal ini juga mungkin terjadi dalam ruang lingkup ilmu hadis. Mengingat

ilmu mukhtalif hadis, mengindikasikan ada hadis-hadis yang bermasalah

terkhusus seperti terlihat bertentangan. Permasalahan utamanya justru dalam dasar

hukum utama umat Islam, yaitu al-Qur‟an. Salah satu ayatnya menjelaskan tidak

Page 16: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

7

ada yang bertentangan, namun ternyata ada yang bertentangan walaupun dari segi

dzahirnya saja karena belum dikaji secara mendalam.

Lebih lanjut, terdapat kitab yang khusus membahas tentang ta‟âruđ dan

dalam isinya mengambil contoh ayat al-Qur‟an. Hal ini juga menjadi indikator

tersendiri bahwa dalam al-Qur‟an memang terdapat ta‟âruđ.

Inilah yang kemudian penulis ingin mengangkat tema analisa ayat-ayat

diduga bertentangan namun juga masih dianggap sebagai ta‟âruđ. Karena

pembahasan ini nantinya lebih kompleks dari sekedar pembahasan ayat yang

terlihat bertentangan namun tidak masuk dalam kategori ta‟âruđ.

Alasannya jelas, ta‟âruđ mempunyai syarat sendiri yang terbilang susah

dipercaya jika al-Qur‟an ternyata juga masuk dalam kajian pembahasan ini.

Mengingat yang dikenal secara umum ta‟âruđ merupakan pertentangan dua dalil

sedangkan ayat al-Qur‟an tidak ada yang bertentangan. Jelas dan pasti karena

kitab ini sendiri yang mengatakannya dalam salah satu ayatnya.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

a. Makna ta‟âruđ dalam al-Qur‟an.

b. Adakah ayat-ayat yang bertentangan (ta‟âruđ) dalam al-Qur‟an?

c. Cara menyelesaikan ayat-ayat yang terlihat bertentangan.

d. Analisa ta‟âruđ dalam al-Qur‟an yang berbicara tentang hidayah.

e. Analisa ta‟âruđ dalam al-Qur‟an yang berbicara tentang puasa.

f. Analisa ta‟âruđ dalam al-Qur‟an yang berbicara tentang „iddah.

2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

a. Pembatasan masalah

Agar pembahasan karya tulis ini lebih terarah, penulis membatasi masalah

yang akan dibahas hanya seputar analisa ayat-ayat yang terlihat bertentangan dan

merupakan ta‟âruđ. Ayat-ayat yang kemudian dijadikan contoh adalah ayat yang

berbicara mengenai hidayah, puasa dan „iddah. Lebih jelas, berikut adalah ayat-

nya yang merupakan ta‟âruđ dan terlihat bertentangan:

Page 17: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

8

a. Surat al-Syura ayat 52 dengan surat al-Qaşşâş ayat 56 tentang

hidayah.

b. Surat al-Baqarah ayat 184 dengan 185 tentang puasa.

c. Surat al-Baqarah ayat 234 dengan surat at-Ţalaq ayat 4 tentang „iddah.

Memang masih banyak ayat-ayat lain yang terlihat bertentangan selain

empat ayat yang terlihat kontradiktif di atas. Seperti halnya yang disinggung oleh

Amir Syarifuddin dalam kitab ushul fiqih karyanya. Disana beliau menuliskan

bahwa Al-Sayuthi dalam al-itqân menurut yang dinukilkan Al-Khudhari

menyebutkan bahwa perbenturan ayat-ayat dalam al-Qur‟an itu ditemukan pada

20 tempat.10

Kesemua ayat tersebut belum tentu merupakan ta‟âruđ. Sehingga lebih

mudahnya penulis mengambil contoh ayat yang dijadikan contoh pembahasan

ta‟âruđ dalam salah satu kitab ushul fiqih, yaitu kitab al-Ushûl min Ilmi al-Ushûl

karya Muhammad Shalih Al-„Usyaimin.

Dalam kitab tersebut terdapat beberapa contoh ayat untuk membahas bab

tentang ta‟âruđ ini. Tidak ada pembahasan secara rinci tentang contoh ayat

tersebut. Dalam kitab tersebut hanya dijelaskan tentang contoh ta‟âruđ kemudian

penyelesaiannya. Tidak disertakan bagaimana proses penyelesaian contoh-contoh

ayat yang terlihat bertentangan tersebut. Karena itulah penulis ingin mencoba

menganalisa lebih lanjut mengenai ayat-ayat tersebut.

Mulai dari alasan kenapa ayat tersebut dianggap sebagai ayat yang

bertentangan hingga metode yang digunakan mufassir dalam menafsirkan ayat

tersebut sehingga mendapatkan suatu kesimpulan. Tentu hal ini juga bertujuan

agar nantinya tidak ada kerancuan makna yang mengakibatkan pembelajar al-

Qur‟an menganggap bahwa kitab suci umat Islam ini tidak konsisten dalam

menentukan suatu hukum atau menyelesaikan suatu masalah.

Selain itu pembatasan masalah ini juga dikarenakan metode penyelesaian

yang digunakan. Terdapat tiga metode penyelesaian dalam menghadapi ayat yang

terlihat bertentangan. Karena itulah kemudian penulis membatasi pembahasan

10

Amir Syarifuddin, Ushul fiqih, (jakarta: Kencana, 2011), h. 260

Page 18: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

9

masalah hanya seputar tiga ayat tersebut karena memang masing-masing ayat

tersebut merupakan contoh dari metode yang digunakan.

b. Perumusan masalah

Rumusan masalah dalam penulisan ini meliputi pembahasan tentang ta‟âruđ

apakah terdapat dalam al-Qur‟an atau tidak. Pembahasan kemudian mengambil

contoh surat asy-Syura ayat 52 dengan surat al-Qaşşaş ayat 56. Apakah kedua

ayat ini memang bertentangan. Metode yang digunakan dalam menganalisa ayat

ini adalah dengan metode analisis.

Dalam menghadapi ayat-ayat yang terlihat bertentangan, dikenal dengan

metode al-jam‟u wa at-tafiq, naskh dan tarjih. Metode inilah yang akan

digunakan untuk menyelesaikan ayat-ayat yang terlihat bertentangan dalam

hidayah, puasa dan „iddah. Ayat yang dimaksud adalah ayat yang terdapat dalam

surat al-Baqarah yaitu ayat 184 dengan ayat 185 dan surat al-Baqarah ayat 234

dengan surat ath-thalaq ayat 4.

Dari latar belakang inilah kemudian penulis merumuskan masalah

bagaimana penyelesaian ayat-ayat tentang hidayah, puasa, dan iddah yang

bertentangan ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya

pertentangan ayat dalam al-Qur‟ân. Bagitu banyaknya ayat-ayat yang terlihat

bertentangan dalam al-Qur‟an menjadikannya menjadi sasaran empuk bagi

pembenci Islam untuk menyerang melalui dasar utamanya yaitu al-Qur‟an itu

sendiri. Biarpun begitu, tetap saja kitab suci ini mampu menghadapi tuduhan-

tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Penulisan ini juga bertujuan untuk menggali dan menganalisa lebih dalam

jawaban-jawaban yang disampaikan para ulama terhadap tuduhan-tuduhan tentang

adanya ayat-ayat yang bertentangan. Dengan kata lain, penulisan ini

menghadirkan ayat-ayat yang terlihat bertentangan kemudian menyelesaikannya

dengan kaidah-kaidah keilmuan yang ada.

Page 19: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

10

Kemudian, penelitian ini dilakukan juga untuk menggali dan menganalisa

lebih dalam ayat yang terlihat bertentangan dalam akidah, muamalat dan hukum

menurut pendapat ulama kontemporer. Sehingga penelitian ini mampu

menghadirkan salah satunya adalah proses dalam pengambilan dan penentuan

suatu hukum.

D. Manfaat Penelitian

Berawal dari tujuannya, penelitian ini mempunyai manfaat yang cukup

besar yaitu bisa menjadi jawaban tuduhan kaum pembenci Islam yang

mengatakan bahwa al-Qur‟an terdapat beberapa ayat yang bertentangan.

Penelitian ini diharapkan mampu menjawab tuduhan itu dengan menghadirkan

contoh ayat-ayat yang terlihat bertentangan kemudian menganalisanya hingga

mendapatkan titik temunya.

Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah informasi dan

pemahaman tentang ayat-ayat yang terlihat bertentangan dalam al-Qur‟an serta

cara yang tepat untuk menyikapinya. Sehingga hasilnya nanti diharapkan mampu

memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan dan pembaruan dalam

diskursus ilmu al-Qur‟an.

E. Tinjauan Pustaka

Penulis mengamati sudah ada Skripsi dan jurnal yang menyinggung tema

ini, yaitu skripsi yang ditulis Ali Muazis, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta lulus tahun 2015 dengan judul “Kajian Metodologis Pengkompromian

ayat-ayat yang tampak kontradiktif perspektif al-syinqithi.”11

Dia menjelaskan

tentang metode yang digunakan Al-Syinqithi dalam menafsirkan ayat-ayat yang

terlihat bertentangan. Sebelumnya dia juga menjelaskan syarat-syarat ayat yang

bisa dikatakan sebagai ta‟âruđ atau yang terlihat bertentangan.

Karya lain yaitu sebuah jurnal karya Kaizal Bay yang diterbitkan pada tahun

2011 juga membahas tentang ta‟âruđ namun hanya dalam lingkup hadis dan

11

Ali Muazis, “Kajian Metodologis Pengkompromian Ayat-ayat yang Tampak Kontradiktif Perspektif Al-Syinqithi”, (Skripsi S1 fakultas Ushuluddin,Universitas Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2015).

Page 20: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

11

metodenya. Jurnal tersebut berjudul “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif

Menurut al-Syafi‟i.”

Mengenai hadis, penulis juga melakukan kajian dalam jurnal-jurnal yang

hampir sama, yaitu membahas hadis yang terlihat bertentangan. Di antaranya

adalah jurnal yang berjudul Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif, Mukhtalif al-

Hadith (Pertentangan Hadis dan Metodologi Penyelesaiannya) dan Metode

Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi‟i. Selain itu, juga ada jurnal

yang membahas tentang al-Qur‟an yang berjudul Klarifikasi al-Darwaish atas

Pandangan Orientalis tentang Kontradiksi Ayat al-Qur‟an dengan Kaidah Nahwu.

Pembahasan tentang ta‟âruđ juga pernah dibahas oleh Syamsul Anwar

dalam suatu jurnal yang diterbitkan pada tahun 2013 dengan judul “Ta‟âruđ al-

„adillah dan Tanâwu‟ Dalam Ibadah: Tinjauan Tentang Bacaan Basmalah Dalam

Shalat.” Dia hanya menjelaskan spesifik tentang pertentangan bacaan basmalah

dalam shalat.

F. Metodologi Penelitian

a. Jenis penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode

kepustakaan atau yang biasa disebut dengan metode kualitatif. Yaitu metode yang

yang dalam pengertiannya adalah metode pengumpulan data yang hanya

menggunakan buku-buku referensi atau studi pustaka.

Penelitian ini tidak mengharuskan studi lapangan atau dalam penelitian dan

penyusunannya menggunakan metode kualitatif. Yaitu perhitungan data-data yang

sudah diperoleh dari survey lapangan kemudian disimpulkan menggunakan

perhitungan data untuk mendapatkan hasil yang akurat. Sehingga cukup hanya

menggunakan buku referensi untuk menyusunnya.

b. Sumber data

1. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah tafsir al-Qur‟an karya

Quraish Shihab yaitu tafsir al-Misbah. Kemudian didukung dengan

tafsir-tafsir lain yang juga memuat keterangan tentang ta‟âruđ.

Page 21: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

12

2. Sebagai sumber pendukung, penulis juga akan mencantumkan

beberapa pendapat ulama tafsir klasik maupun kontemporer lainnya

yang membahas tentang ayat-ayat yang terlihat bertentangan. Di

antara tafsir klasik yang dimaksud adalah tafsir Ibnu Katsir. Selain

menggunakan tafsir, penulis juga mengambil rujukan dari beberapa

dokumen, tulisan-tulisan yang sudah dipublikasikan dalam bentuk

buku, jurnal ataupun artikel yang menguraikan pembahasan berkaitan

dengan tema yang diteliti.

c. Metode pengumpulan data

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam

penelitian ini adalah dengan mengumpulkan tafsir-tafsir yang menyinggung

tentang ta‟âruđ. Selain itu penulis juga mengumpulkan buku-buku yang

sudah diterbitkan dan jurnal-jurnal yang membahas tentang tema ini.

Termasuk jurnal yang membahas tentang ayat dalam al-Qur‟an yang

dijadikan sebagai contoh ta‟âruđ.

Lebih lanjut penulis akan meneliti ayat tersebut dengan mengambil

pendapat-pendapat para ulama dalam memaknai ayat yang dimaksud.

Setelah terkumpul menjadi satu, penulis akan meneliti dan menarik

kesimpulan dari penelitian itu. Tidak lupa juga penulis mengambil marâji‟

dari karya-karya lain untuk mendukung kesimpulan tersebut.

d. Metode penulisan

Dalam teknik penulisan, penulis mengacu kepada Pedoman Penulisan

Skripsi Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah. Dan

menggunakan pedoman translitrasi Romanisasi Standar Bahasa Arab Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan.

G. Sistematika Penulisan

Demi terciptanya karya yang sistematis dan memudahkan pembaca

memahaminya, penulis membagi karya ini menjadi empat bab pokok dan

beberapa sub bab untuk menjelaskan antar bab pokoknya. Keempat bab pokok

Page 22: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

13

yang dimaksud adalah pendahuluan, pengertian dan pengetahuan umum tentang

ta‟âruđ, analisis dan penutup.

Bab pertama, merupakan pendahuluan dari kajian ini yang berisi dasar

pemikiran yang melatarbelakangi terpilihnya kajian ini. Kemudian identifikasi

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, berisi tentang pengetahuan umum tema yang dikaji, yaitu

ta‟âruđ. Bab ini membahas secara detail tentang ta‟âruđ. Mulai dari pengertian

umum, macam-macam ta‟âruđ, syarat-syarat ta‟âruđ, hingga cara yang benar

dalam menyelesaikan ta‟âruđ. Semua pembahasan dalam bab ini masih bersifat

umum/global.

Bab ketiga, membahas tentang tema utama penulisan ini, yaitu menganalisa

secara detail ayat-ayat yang terlihat bertentangan dan masuk dalam kategori

ta‟âruđ. Ayat yang dibahas meliputi ayat yang berbicara mengenai hidayah yaitu

surat asy-syura ayat 52 dengan surat al-qaşşaş ayat 56. Kemudian penulis akan

menganalisa ayat yang membahas tentang „iddah wanita dalam surat al-Baqarah

ayat 234 dengan surat at-thalaq ayat 4. Yang terakhir menganalisa surat al-

Baqarah ayat 184 dengan ayat 185 tentang puasa.

Bab keempat, merupakan penutup yang berisi kesimpulan secara

keseluruhan yang dilakukan oleh penulis berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan dan saran untuk melakukan riset lanjutan dari penulis kepada pembaca

untuk sesuatu yang kurang/belum dibahas dalam tema penelitian ini.

Page 23: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Ta’âruđ

Kata ta‟âruđ berasal dari bahasa arab „arađa yang berarti berlawanan,

bentrokan.1 Bertambahnya huruf (ta‟) dan (alif) di fa‟ fi‟il dan „ain fi‟il,

menjadikan maknanya saling berhadapan atau saling bertentangan. Dalam kaidah

ilmu sharaf, kata ta‟âruđ mengikuti wazan tafâ‟ala yang mempunyai faidah

musyârakah baina al-itsnaȋn yaitu saling bergantungan satu sama lain. Tidak akan

terjadi satunya tanpa adanya lainnya.2

Sudah menjadi hal biasa antar pakar keilmuan, meskipun substansi

maknanya sama akan tetapi terdapat beragam perbedaan redaksi dalam

mendefinisikan sebuah kata atau istilah. Begitu juga ushȗliyyîn dalam

mendefinisikan arti kata ta‟âruđ. Menurut Abdul Wahbah Khallaf ta‟âruđ adalah

kontradiksi di antara dua nash.3 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin mendefinisikan

kata ini dengan saling berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu di antara

dua dalil itu menafikan hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya.4 Sedangkan

menurut Muhammad bin Sholeh al-„Utsaimin ta‟âruđ adalah saling

berhadapannya dua dalil dari sisi salah satunya menyelisihi yang lain.5 Dalam

kitabnya, beliau juga mengutip dari pendapat ushȗliyyîn bahwa ta‟âruđ adalah

tuntutan salah satu dari dua dalil terhadap hukum dalam keadaaan tuntutan

tersebut bertentangan dengan tuntutan dalil lain.6

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ta‟âruđ adalah dalil

yang menghendaki suatu hukum yang dalil tersebut berbeda dengan dalil lain

1 Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia al-Munawir, Edisi kedua,

(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 917. 2 Abdul Lathif Abdullah Aziz Al-Barzanji, al-Ta‟âruđ wa al-Tarjîẖ Baina al-Adillah al-

Syar‟iyyah, (Beirut: Darul Kutub al-Alamiah, 1993), h. 15. 3 Abdul Wahbah Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2002), h. 369. 4 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pernada Media Grup, 2008),h. 241.

5 Muhammad bin Sholeh Al-„Utsaimin, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Abu

Shilah dan Ummu Shilah, (Tholib 2007), h. 116. Muhammad bin Sholeh al-„Utsaimin Al-Uşûl min Ilmi al-Wuşûl, Dar al-Hadi al-Muhammadi, h. 59.

6 Muhammad bin Sholeh al-„Utsaimin, al-Uşûl min „ilmi al-Wuşûl, h. 243.

Page 24: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

15

dalam menghukumi sesuatu yang sama. Walaupun asal kata mempunyai arti

bertentangan, namun dalam praktiknya belum tentu demikian. Asumsinya, bisa

dikatakan sebagai dalil yang bertolak belakang, kontradiktif, berlawanan jika dalil

tersebut benar-benar tidak bisa dikompromikan lagi. Seperti perkataan seseorang

dalam satu waktu yang mengatakan fulan pergi dan fulan tinggal. Karena tidak

mungkin dalam satu waktu fulan tinggal dan pergi. Dua kata tersebut kelihatan

dan memang kontradiktif satu dengan yang lain.

Berbeda dengan ta‟âruđ yang mana masih memungkinkan untuk

dikompromikan atau dicarikan titik temunya. Memang terdapat perbedaan antar

ulama dalam mengartikannya. Pendapat yang mengatakan bahwa ta‟âruđ adalah

kontradiksi antara dalil satu dengan lain, juga akan berpendapat bahwa tidak akan

terjadi dalam al-Qur‟an dan hadis shahih. Sedangkan yang mengatakan bahwa

ta‟âruđ adalah perbedan dalil dalam menghendaki suatu hukum akan

berkesimpulan bahwa ta‟âruđ juga terdapat dalam al-Qur‟an dan hadis.

Karenanya kemudian muncul metode yang digunakan dalam menyikapinya,

diantaranya adalah ilmu naskh kemudian, tarjȋh, dan lain sebagainya.

Para ulama juga berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang

mungkin berbenturan. Pendapat terbanyak di antara para ulama mengatakan

bahwa antara dua dalil yang qath‟i tidak mungkin terjadi perbenturan. Alasannya

karena setiap dalil yang qath‟i mengharuskan adanya madlȗl yang di antara

sesamanya saling berbenturan. Dengan demikian, akan terjadi dua hal yang saling

meniadakan pihak lain. Hal ini tidak mungkin terjadi, seperti adanya dalil yang

menunjukkan bahwa alam ini baru, dan dalam waktu yang sama ada dalil yang

menunjukkan bahwa alam ini qadim (terdahulu). Kedua dalil itu menunjukkan

baru dan qadimnya alam ini dalam waktu yang sama.

Hal ini tidak mungkin terjadi karena al-Qur‟an sendiri mengatakan bahwa

ayat-ayatnya tidak ada yang bertentangan, saling menjawab dan terkait satu sama

lain. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur‟an? Kalau kiranya al-

Qur‟an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang

banyak di dalamnya.” (an-Nisa‟ : 82). Maksudnya adalah ketika al-Qur‟an itu dari

sisi Allah, maka tidak akan ada perselisihan di dalamnya sama sekali. Semua yang

Page 25: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

16

ada dalam al-Qur‟an saling sesuai dan saling membenarkan, sebagiannya tidaklah

membatalkan sebagian yang lainnya. Dengan demikian diketahuilah

kesempurnaan al-Qur‟an dan bahwasanya ia adalah dari Dzat yang ilmu-Nya

meliputi segala sesuatu.7

Allah berfirman dalam kitab-Nya, “Allah menurunkan kitab al-Qur‟an

dengan penuh kebenaran dan kesimbangan,” QS. asy-Syura ayat 17. Sebagai

contoh, kata “hayât” terulang sebanyak antonimnya yaitu maut masing-masing

sebanyak 145 kali. Akhirat terulang sebanyak 115 kali sama dengan dunia.

Malaikat terulang sebanyak 88 kali sama dengan setan. Ṭuma‟ninah (ketenangan)

terulang 13 kali sebanyak kata dhijg (kecemasan). Panas terulang 4 kali sebanyak

kata dingin.

Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk kepada dampaknya yaitu

ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali. Kikir sama dengan akibatnya yaitu

penyesalan masing-masing 12 kali. Zakat sama dengan berkat yakni kebajikan

melimpah masing-masing 32 kali. Masih amat banyak keseimbangan lainnya

seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak 365 sejumlah dengan hari-hari dalam

setahun. Kata syahr (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam

setahun.8

Sejatinya, tidak terdapat kontradiksi yang sebenarnya antara dua ayat, dua

hadis shahih, atau antara ayat dengan hadis shahih. Apabila tampak ada

kontradiksi antara dua nash di antara nash-nash itu maka itu hanyalah kontradiksi

lahir saja sesuai dengan yang tampak kepada akal kita. Bukan kontradiksi yang

sebenarnya. Karena menurut syar‟i yang Esa dan Maha Bijaksana itu tidak

mungkin jika keluar dari Dia dalil yang menghendaki hukum suatu peristiwa dan

keluar dari Dia juga dalil lain yang menghendaki dalam peristiwa itu, hukum yang

bertentangan dengan hukum pertama dalam satu waktu.9

7 Abdurrahman bin Nashir Al-Sa‟di, Tafsir As-Sa‟di, (jakarta : Darul Haq, 2007), h. 143.

8 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Mauđû‟i atas Pelbagai Persoalan Umat,

(Bandung: Mizan, 1996), h. 4. 9 As‟ad Abdul Ghani Al-Kafrawi dan Ahmad Mukhtar Mahmud, Muẖâđarât fi Uşûl al-

Fiqh, (Jami‟ah al-Azhar, Kulliyah al-Dirâsat al-Islâmiyah wa al-„Arâbiyah, 1422 H/2002 M), h.

183.

Page 26: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

17

Maka jika didapati dua nash yang lahirnya kontradiksi, wajib berijtihad

untuk memalingkan dua nash itu dari lahirnya, dan memperhatikan hakikat

pengertian keduanya. Ini untuk memahasucikan Syâri‟ yang Maha Mengetahui

dan Bijaksana dari kontradiksi dalam pembentukan syari‟at-Nya. Jika mungkin

menghilangkan kontradiksi yang bersifat lahir antara dua nash itu dengan

menghimpun dan mengkompromikan keduanya maka dipadukanlah keduanya itu

dengan dilaksanakan keduanya. Karena sebenarnya tidak ada kontradiksi antara

kedua nash itu.10

Berbeda dengan pendapat di atas, ada juga sebagian ulama yang

berpendapat memungkinkan bertemunya dua dalil qath‟i yang saling meniadakan;

masing-masing dalil itu dipegang oleh ulama (mujtahid) tertentu yang

memandangnya sebagai dalil qath‟i.11 Namun, kedua golongan yang berbeda

pendapat itu semuanya sepakat bahwa terjadinya perbenturan dalil tersebut hanya

dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil-dalil itu sendiri tidak

ada perbenturan.12

B. Macam-macam Ta’âruđ

Secara umum ta‟âruđ dibagi menjadi tiga:

a. Ta‟âruđ antara dalil qath‟i dengan dzanni.

Yaitu pertentangan antara dalil-dalil syara‟ yang bersifat pasti (seperti

al-Qur‟an dan hadis mutawatir) dengan dalil yang bersifat praduga (seperti

hadis ahad). Banyak dari uşȗliyyîn mengatakan bahwa ta‟âruđ antara dalil

qath‟i dengan dalil dzanni itu tidak ada. Alasannya dalil qath‟i lebih kuat

dibanding dalil dzanni. Sehingga sudah sewajarnya jika dalil qath‟i harus

didahulukan dibanding dengan dalil dzanni. 13

b. Ta‟âruđ antara dalil qath‟i dengan qath‟i.

10

Abdul Wahbah Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2002),h. 371. 11

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, h. 242. 12

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, h. 243. 13

Muhammad Wafa, Ta‟âruđ al-Adillah al-Syar‟iyyah minal Kitâb wa al-Sunnah wa al-

Tarjîẖ Bainaha, (Al-Matani: 1992), h. 31.

Page 27: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

18

Yang dimaksud dalil qath‟i di sini adalah dalil-dalil syara‟ yang

bersifat pasti, yaitu al-Qur‟an dan hadis-hadis mutawatir. Ta‟âruđ ini

menghendaki pertentangan antara ayat al-Qur‟an dengan ayat al-Quran, ayat

al-Qur‟an dengan hadis mutawatir dan antar hadis mutawatir.

Banyak ulama-ulama fiqih dan uşuliyyîn diantaranya Baidlawi,

Syairazi, ibnu Subki, ibnu hajib dan lainnya mengatakan bahwa

sesungguhnya tidak ada pertentangan antara dua dalil qath‟i. Begitu juga

antara dalil-dalil yang bersifat naqli maupun „aqli.14

Imam Abu Ishak Asy-Syatibi (w. 1388) mengatakan dalam bukunya

muwâfaqât bahwa “Tidak ada, atau jarang sekali ditemukan, sesuatu yang

bersifat qath‟i dalam dalil-dalil syara‟, jika pandangan hanya ditujukan

kepada teks secara berdiri sendiri. Ini karena untuk menarik kesimpulan

yang pasti dibutuhkan premis-premis (muqaddimât) yang tentunya harus

bersifat pasti pula, sedangkan hal yang demikian tidak mudah ditemukan,

kalau enggan berkata “tidak ada.”

Kenyataan menunjukkan bahwa muqaddimât itu kesemuanya, atau

sebagian besar darinya, tidak bersifat pasti, sedang sesuatu yang bersandar

pada yang tidak pasti, tentulah tidak pasti pula. Muqaddimât yang dimaksud

oleh Asy-Syatibi adalah apa yang dikenal dengan al-ihtimâlât al-„asyrah

(kesepuluh kemungkinan), yaitu yang berkaitan dengan:

- Riwayat-riwayat kebahasaan.

- Riwayat yang berkaitan dengan tata bahasa yaitu nahwu dan sharaf.

- Lafazh yang digunakan apakah ambigu atau tidak.

- Hakikat dan majaz.

- Kata tersebut mengandung peralihan makna atau tidak.

- Dalam susunannya ada sisipan atau tidak.

- Adakah taqdîm atau ta‟khîr.

- Adakah naskh atau tidak ada.

- „Adam al-mu‟tarîđ al-„aqly (adakah penolakan logis atau tidak).

14

Muhammad Wafa, Ta‟âruđ al-Adillah al-Syar‟iyyah minal Kitâb wa al-Sunnah wa al-

Tarjîẖ Bainaha, h. 36.

Page 28: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

19

Karena itu, Imam Syatibi menegaskan bahwa yang dimaksud dengan

qath‟iy/pasti oleh ulama ushul fiqih adalah satu teks yang disertai dengan

aneka argumentasi pendukung yang menjadikannya memiliki kekuatan dan

mengantar kepada kepastian. Ia serupa dengan lidi, yang bila berdiri sendiri

mudah dipatahkan, tetapi bila menyatu dengan lidi-lidi yang lain, ia menjadi

kuat, sehingga dapat “dipastikan” bahwa ia tidak dapat dipatahkan.15

Hal ini semakin mempertegas bahwa al-Qur‟an adalah kitab yang

tiada cela karena memang berasal dari Tuhan. Tiada pertentangan di

dalamnya. Semua ulama juga bersepakat bahwa jika terjadi perbenturan

dalil yang terlihat kontradiktif, sebenarnya itu hanya pemikiran dari

mujtahid saja.

c. Ta‟âruđ antara dalil dzanni dengan dzanni

Imam Asnawi mengatakan mungkin saja terjadi ta‟âruđ antara dalil

dzanni dengan dzanni. Ibnu Subki juga mengatakan dalam Ibhaj

sesungguhnya ta‟âruđ antara dua dalil dzanni memang ada. Lebih jelas,

Jalal al-Mahalli berpendapat bahwa ta‟âruđ antara dua dalil dzanni pasti

adanya.16

Mengingat bahwa hadis ahad merupakan dalil dzanni, dan banyak

sekali hadis-hadis ahad yang bermasalah, bahkan dalam tingkatan shahih

sekalipin, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ta‟âruđ dalam artian

pertentangan sesungguhnya memang ada di antara dalil dzanni. Bahkan

sampai muncul disiplin ilmu baru yaitu, ilmu mukhtalif hadis. Yaitu suatu

ilmu yang khusus membahas hadis-hadis yang terlihat bertentangan.

C. Syarat-syarat Ta’âruđ

Menurut Dr. Muhammad Wafa ada beberapa syarat untuk terjadinya ta‟âruđ

antar dua dalil, yaitu:

15

Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 157-158. 16

Muhammad Wafa, Ta‟âruđ al-Adillah al-Syar‟iyyah minal Kitâb wa al-Sunnah wa al-

Tarjîẖ Bainaha, h. 39.

Page 29: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

20

1. Hukum yang ditetapkan dua dalil tersebut saling bertentangan. Karena

jika tidak bertentangan maka tidak bisa dikatakan sebagai ta‟âruđ.

2. Tempat terjadinya pertentangan dua dalil tersebut masih dalam obyek

yang sama. Jika membahas sesuatu yang berbeda maka tidak bisa

disebut sebagai ta‟âruđ.

3. Sasaran waktu dua dalil yang saling bertentangan tersebut sama. Jika

tidak dalam waktu yang sama maka tidak bisa dikatakan sebagai

ta‟âruđ. Seperti halnya dalil yang mengatakan bahwa khamr

dibolehkan pada masa permulaan Islam namun seiring berjalannya

waktu kemudian diharamkan. Jika memang terjadi pertentangan dalil

namun tidak dalam masa yang sama, maka pembahasannya sudah

masuk dalam ruang lingkup naskh.17

4. Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama. Karena

mungkin saja hukum tersebut sama dalam obyek dan masa namun

hubungannya berbeda.

5. Tingkatan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama baik

dari segi asal dalilnya maupun ketetapan dari dalil tersebut. Sehingga

tidak ada ta‟âruđ antara qur‟an dan hadis ahad karena qur‟an dari

asalnya adalah dalil qath‟i sedangkan hadis ahad merupakan dalil

dzanni.18

D. Cara Menyelesaikan Ta’âruđ Dalam Al-Qur’an

Dalam al-Qur‟an sebenarnya banyak sekali ayat-ayat yang terlihat

bertentangan. Namun pertentangan tersebut terjadi sebagai akibat dari kekurang-

jelian memahami ayat secara utuh. Sebab jika masing-masing ayat dipahami

sesuai konteks pembicaraannya, anggapan seperti itu tidak akan terjadi.

Ayat-ayat al-Qur‟an yang secara lahir dapat menimbulkan anggapan saling

bertentangan di antaranya adalah:

17

Abdul Lathif Abdullah Aziz Al-Barzanji, al-Ta‟âruđ wa al-Tarjîẖ Baina al-Adillah al-

Syar‟iyyah, h. 131. 18

Muhammad Wafa, Ta‟âruđ al-Adillah al-Syar‟iyyah minal Kitâb wa al-Sunnah wa al-

Tarjîẖ Bainaha, h. 61-62.

Page 30: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

21

a. Ayat yang membahas tentang keadaan orang kafir di hari kiamat

Di dalam beberapa ayat disebutkan bahwa orang-orang kafir tidak

akan berbicara pada hari kiamat, sedangkan pada ayat yang lain disebutkan

bahwa mereka akan berbicara, membantah dan mengemukakan alasan-

alasan kekafiran mereka.

Konteks ayat yang menyebutkan mereka nanti berbicara sebenarnya

terjadi dalam proses awal pengadilan akhirat. Ketika itu mereka melakukan

protes dan mengingkari perbuatan mereka di dunia dengan cara bersumpah.

Tetapi setelah mulut mereka ditutup dan anggota badannya bersaksi,

akhirnya mereka tidak bisa berbicara lagi karena tidak mampu dan tidak ada

gunanya lagi berbohong untuk menghindari siksa yang akan mereka terima.

Sebagai perbandingan, pada ayat tertentu dosa jin dan manusia tidak

ditanyakan tetapi pada ayat yang lain disebutkan mereka akan ditanya: “Dan

(ingatlah) pada suatu hari (kiamat) ketika Allah menyeru mereka, seraya

berkata: „Apakah jawaban kamu kepada para rasul?‟ (QS. Al-Qaşşaş: 65)19

b. Tentang sifat-sifat Allah

Beberapa ayat al-Qur‟an menyebutkan bahwa Allah Maha Tinggi,

berada di atas hamba-hamba-Nya, serta berada di „Arsy. Sedangkan di ayat

yang lain disebutkan Allah bersama hamba-hamba-Nya dimana saja mereka

berada, serta bersama orang yang sabar, benar, berbuat baik, dan

sebagainya.

Kesan pertentangannya ada pada ayat yang mengatakan bahwa Allah

berada di atas „Arsy yang jauh di atas hamba-Nya. Sementara dalam ayat

lain mengatakan bahwa Allah memiliki sifat “rendah” yang hanya pantas

dimiliki makhluk-Nya, karena Dia bersama mereka kapan dan dimanapun

mereka berada.

Sebenarnya ayat-ayat tersebut ketika dikumpulkan tidak saling

bertentangan. Al-Qur‟an sendiri menegaskan ”Tidak ada sesuatu yang

menyerupai-Nya.”

19

Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur‟an, Cetakan I, (Bandung:

Mizan, 1997), h. 30-31.

Page 31: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

22

Lebih lanjut dapat ditegaskan kebersamaan-Nya dengan makhluk

dikhususkan kepada mereka yang berlaku baik, sabar dan sebagainya.

Kebersamaan di sana lebih dari sekadar bersifat umum. Sebab dalam kata

kebersamaan itu terkandung makna bahwa Dia menyayangi, menunjuki, dan

menolong mereka yang memiliki sifat-sifat terpuji.

c. Tentang larangan bergaul dengan orang kafir

Banyak ayat al-Qur‟an yang melarang kita menjalin hubungan dengan

orang-orang kafir. Tetapi di dalam ayat yang lain, kita diperintahkan untuk

berlaku baik kepada orang-orang kafir serta bergaul dengan mereka.

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil

terhadap mereka yang tidak memerangimu karena persoalan agama, dan

tidak pula mengusir kamu dari wilayah-wilayahmu. Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang berlaku adil. Allah hanya melarangmu

menjadikan mereka sebagai kawan yang memerangi kamu karena

persoalan agama, dan yang mengusir kamu dari wilayahmu atau yang

menjadikan mereka sebagai kawan, maka itulah orang-orang yang dzalim.”

(QS Al-Mumtahanah : 8-9).

Dengan demikian jelaslah bahwa bentuk pergaulan yang dilarang

dengan orang kafir adalah hubungan persahabatan dan kasih sayang karena

agama, sedangkan pergaulan yang disebabkan oleh ikatan kekeluargaan,

bertetangga, atau karena kemanusiaan diperbolehkan.20

Ta‟âruđ atau pertentangan dua dalil ini sebenarnya sangat lazim ditemukan

dalam hadis. Namun bukan berarti kasus seperti ini tidak terjadi dalam al-Qur‟an

walaupun pada akhirnya para ulama sepakat bahwa jika terjadi pertentangan

dalam ayat, maka itu hanya sebatas kepada mufasirnya, bukan dari ayatnya.

Terbukti sampai sejauh ini, ayat yang terlihat bertentangan dengan ayat lain

secara dzahiri, masih bisa dikompromikan dengan bantuan dari disiplin ilmu yang

lain. Asbâb al-nuzȗl, naskh, kedalaman ilmu adalah beberapa diantarnya yang

dapat mempengaruhi penafsiran seorang mufassir.

20

Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur‟an, Cetakan I, h. 34-35.

Page 32: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

23

Dalam hadis, para ulama menggunakan beberapa langkah dalam

menyelesaikanya. Namun tidak semua langkah ini dapat diaplikasikan dan

digunakan untuk menyelesaikan ayat yang terlihat bertentangan. Sehingga

langkah-langkah yang akan dikemukakan di bawah adalah gambaran umum

pembagian langkah-langkah yang dilakukan oleh para ulama dalam menghadapi

dalil yang terlihat bertentangan.

a. Al-jam‟u wa at-taufȋq

Metode ini juga biasanya disebut sebagai talfiq. Yaitu cara

menyelesaikan dua dalil yang terlihat bertentangan dengan mengumpulkan

dua dalil tersebut menjadi satu kemudian mengkompromikannya. Dalam

artian mencari jalan tengah atau menggunakan kedua dalilnya daripada

meniadakan keduanya.

Tidak dibenarkan hanya diamalkan salah satu dari keduanya, sedang

yang lain ditinggalkan.21

Lebih jelas Imam al-Nawawi mengatakan jika

pertentangannya memungkinkan untuk dikompromikan, maka harus

dilakukan pengkompromian. Jika sudah jelas maksud dari dua hadis tersebut

dan digabungkan maka hukumnya wajib unuk diamalkan.22

Dalam hadis sendiri, cara menjama‟ atau men-talfiq bisa dengan men-

takhsish yang umum, men-taqyid hadis yang mutlak, adakalanya juga

dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak jalan

datangnya.

Sebagai contoh dua buah hadis shahih yang maknanya berlawanan

menurut lahirnya, tetapi dapat dikumpulkan, ialah seperti hadis Abu

Hurairah yang mengabarkan:

ل و س ر ن ا هللاملسو هيلع هللا ىلصقال:ل ـالحديثـة ام ه ل و ة ر ي ط ل ىو و د

“Bahwa Rasulullah SAW bersabda: „Tidak ada penularan, ramalan jelek,

penyusupan (inkarnasi) roh orang yang telah meninggal ke burung hantu ...

dan seterusnya.” (Bukhari-Muslim)

21

Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: PT Al-ma‟arif, 1974), h. 336. 22

Imam Al-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu Hadis, penerjemah Syarif Hade Masyah, cet.

Kedua, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), h. 122.

Page 33: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

24

Hâmmah di sini adalah burung hantu. Adapun yang dimaksud dalam

hadis tersebut ada dua macam pentakwilan.

a. Menurut sahabat Anas bin Malik bahwa sudah menjadi

kepercayaan umum bagi masyarakat Arab pada waktu itu

apabila ada burung hantu yang hinggap pada rumah seseorang

adalah suatu isyarat jelek bahwa pemilik rumah atau

keluarganya akan tertimpa malapetaka (kematian).

b. Menurut kebanyakan muhadditsin ialah bahwa orang-orang arab

percaya bahwa tulang-tulang atau roh orang yang meninggal

dunia menyusup kepada burung hantu yang beterbangan kesana

kemari.23

Jumhur ulama mengatakan ketika menghadapi dalil yang terlihat

bertentangan sebisa mungkin tetap menggunakan kedua dalil tersebut.

Karena biar bagaimanapun jika dalilnya sama-sama kuat dan shahih, maka

tidak mungkin salah satunya salah karena baik al-Qur‟an maupun hadis

sejatinya berasal dari Allah. Sehingga ketika terdapat dalil yang terlihat

bertentangan, kemungkinan berasal dari pemahaman mujtahidnya.

Selain hadis, metode mengumpulkan dua dalil yang bertentangan

kemudian mengkompromikannya juga bisa digunakan untuk memahami

ayat al-qur‟an yang terlihat bertentangan seperti yang akan dibahas di bab

selanjutnya.

Contoh ayat yang telihat bertentangan namun kenyataannya

mempunyai titik temu tersendiri adalah keadaan tentang orang kafir di hari

kiamat nanti. Di dalam beberapa ayat disebutkan bahwa orang-orang kafir

tidak akan berbicara pada hari kiamat, sedangkan pada ayat yang lain

disebutkan bahwa mereka akan berbicara, membantah dan mengemukakan

alasan-alasan kekafiran mereka.

Konteks ayat yang menyebutkan mereka nanti berbicara sebenarnya

terjadi dalam proses awal pengadilan akhirat. Ketika itu mereka melakukan

protes dan mengingkari perbuatan mereka di dunia dengan cara bersumpah.

23

Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, h. 336.

Page 34: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

25

Tetapi setelah mulut mereka ditutup dan anggota badannya bersaksi,

akhirnya mereka tidak bisa berbicara lagi karena tidak mampu dan tidak ada

gunanya lagi berbohong untuk menghindari siksa yang akan mereka terima.

Sebagai perbandingan, pada ayat tertentu dosa jin dan manusia tidak

ditanyakan tetapi pada ayat yang lain disebutkan mereka akan ditanya: “Dan

(ingatlah) pada suatu hari (kiamat) ketika Allah menyeru mereka, seraya

berkata: „Apakah jawaban kamu kepada para rasul?‟ 24

b. Tarjîẖ

Yaitu cara menyelesaikan dalil-dalil yang terlihat bertentangan dengan

membandingkan di antara keduanya mana yang paling kuat. Cara ini tidak

bisa digunakan untuk menyelesaikan ayat al-Qur‟an yang terlihat

bertentangan karena semua ayat dalam al-qur‟an mempunyai derajat tingkat

yang sama untuk pengambilan suatu hukum.

Biasanya metode ini digunakan dalam hadis dengan cara men-takhrîj,

kritik sanad maupun matan untuk mencari hadis yang lebih shahih sehingga

dalam ber-istinbaţ menentukan hukum mempunyai landasan yang kuat.

Menurut para ulama, tarjȋḥ adalah membandingkan dalil-dalil yang

tampak bertentangan untuk dapat mengetahui manakah di antaranya yang

kebih kuat dibandingkan dengan lainnya.25

c. Naskh

Perkataan naskh menurut bahasa mengandung beberapa pengertian,

seperti naqal (memindahkan), ibţâl (membatalkan), dan izâl

(menghilangkan).26

Sedangkan menurut istilah, naskh berarti mengangkat

(menghapus) hukum syara‟ dengan dalil hukum yang lain.27

Al-Syafi‟i menyatakan bahwa tidak boleh dua hadis yang sama-sama

shahih, yang satu sama lainnya bertentangan, yang meniadakan apa yang

24

Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur‟an, Cetakan I, h. 30-31. 25

Hasbi As-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, h. 277. 26 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami,

(Bandung: Al-Ma‟arif, 1986), h. 422. 27

Ali Hasballah, Ushûl al-Tasyrî‟ al-Islâmy, (Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1970), h. 212.

Page 35: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

26

ditetapkan oleh yang lain, bukan dari segi khusus, umum, segi ijma‟ tafsir,

kecuali atas jalan naskh, walaupun tidak diketemukannya.28

Dalam pembahasan naskh, dikenal dengan istilah nâsikh dan mansûkh.

Nâsikh secara bahasa adalah menghapus sedangkan mansûkh adalah yang

dihapus. Maksudnya adalah dalil bisa disebut sebagai nâsikh ketika

menghapus atau mengganti hukum awal yang disebut mansûkh.

Cara ini bisa digunakan untuk menggali hukum dalam al-qur‟an yang

terlihat bertentangan. Seperti pengambilan hukum khamr. Pada awal

permulaan Islam muncul, khamr dibolehkan dalam al-qur‟an namun

setelahnya, ada ayat yang me-nâsikh dengan mengatakan khamr itu haram

atau tidak diperbolehkan.

Dalam konteks ini, “penggantian” ayat dengan ayat lain berarti

perubahan hukum yang ada pada satu teks dengan teks lain dengan tetap

mempertahankan kedua teks tersebut.29

Metode ini juga memungkinkan dalam hadis yang sama-sama kuat

namun menghukumi sesuatu dengan berbeda. Untuk kasus ini,

penyelesaiannya harus menggunakan disiplin ilmu yang lain, asbâb al-

wurûd misalnya. Sehingga akan terlihat sebab dikeluarkannya hadis

tersebut. Hadis yang datang awal dan belakangan kemudian juga akan

terlihat konteks hadis itu ketika Rasulullah mengeluarkannya.

d. Tawaqquf

Yang dimaksud dengan tawaqquf adalah meninggalkan untuk ber-

istidlal dengan kedua dalil tersebut yang nampaknya bertentangan dan

pindah ber-istidlâl dengan hadis lain, jika ketiga usaha sebelumnya tidak

tercapai.30

Sebisa mungkin metode ini dihindari oleh para ulama, sehingga sangat

wajar metode ini menjadi pilihan paling akhir dalam menyelesaikan dalil

yang terlihat bertentangan.

28

Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Imu Dirayah Hadis, h. 274. 29

Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, (Yogyakarta: LkiS, 1993), h. 142. 30

Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, h.

421.

Page 36: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

27

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ta‟âruđ dengan pengertian

pertentangan antara dua dalil, hanya terdapat pada dalil dzanni saja. Sedangkan al-

qur‟an dan hadis mutawatir yang notabenenya merupakan dalil qath‟i, tidak

terdapat ta‟âruđ, karena memang tidak ada pertentangan di antara ayat-ayat al-

Qur‟an.

Namun, jika diartikan sebagai menghendakinya suatu ayat dalam tema yang

sama dengan ayat lain yang menghendaki hukum berbeda, maka di dalam al-

Qur‟an bisa dikatakan ada.

Di antara metode-metode yang digunakan oleh para ulama dalam

menyelesaikan dalil yang terlihat bertentangan adalah al-jam‟u wa at-taufȋq.

Metode ini adalah metode utama dan yang paling utama dalam menentukan dalil

yang terlihat bertentangan baik dalam hadis maupun al-Qur‟an. Hal ini sangat

beralasan mengingat al-Qur‟an merupakan kalam Allah yang terjaga dari turunnya

sampai sekarang. Tiada keraguan di dalamnya. Tidak terdapat penambahan ayat

maupun pengurangan setelah benar ayat terakhir diturunkan. Jika terjadi ayat yang

terlihat kontradiktif, maka itu semua karena kekurang-pahaman dari yang

memahaminya saja.

Selain metode tersbut, naskh juga merupakan salah satu metode yang

digunakan para ulama ketika menghadapi ayat yang terlihat bertentangan.

Walaupun metode ini sudah menjadi disiplin ilmu tersendiri, namun dalam

menafsirkan suatu ayat yang terlihat bertentangan, tidak mungkin lepas dari yang

namanya naskh. Sangat memungkinkan dalil yang demikian masanya berbeda.

Sehingga perlu disiplin ilmu ini untuk menyelesaikannya. Pentingnya disiplin

ilmu ini seperti halnya ilmu asbâb al-nuzȗl dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an.

Harus melihat sisi histori dari sebuah ayat kenapa diturunkan.

Kaitannya dengan disiplin ilmu yang dibutuhkan dalam menafsirkan al-

Qur‟an, para ulama memberikan beberapa syarat bagi mufasir agar mampu

menafsirkan ayat al-qur‟an. Di antaranya adalah harus tahu bahasa arab,

menguasai ilmu nahwu dan sharf, naskh, asbâb al-nuzȗl, balâġah, mâni‟ bayân,

u‟lȗm al-Qur‟ân, kaidah-kaidah tafsir, dan masih banyak lagi.

Page 37: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

28

BAB III

ANALISIS ATAS AYAT-AYAT YANG DIDUGA

BERTENTANGAN

Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

SAW sebagai petunjuk untuk manusia. Tiada keraguan dalam kitab ini, semua

yang ada di dalamnya merupakan kebenaran hakiki dari Tuhan. Terjaga dari sejak

diturunkannya pertama kali sampai sekarang bahkan hingga sampai akhir zaman

nanti.

Berlaku sampai akhir zaman memang kemukjizatan tersendiri bagi al-

Qur‟an sehingga sangat mustahil beberapa ayat yang sudah diturunkan sudah

tidak terpakai karena tidak sejalan lagi dengan zamannya. Alasannya, sejarah

merupakan masa yang sangat memungkinkan untuk terulang kembali, dan ketika

saat itu terjadi, al-Qur‟an sudah siap untuk memberikan jawabannnya.

Kemukjizatan al-Qur‟an ini juga ditambah dengan tidak adanya ayat-ayat di

dalamnya yang saling bertentangan satu sama lain. Hal ini menjadi pengukuhan

tersendiri bagi kitab ini bahwa kedatangan dan isinya memang benar-benar dari

Tuhan, bukan dari buatan manusia yang mempunyai sifat lupa dan berubah. Lupa

dengan apa yang sudah dikatakan pada masa-masa dahulu dan perubahan pola

pikir yang sangat mempengaruhi dalam perbuatan dan perkataan masa yang akan

datang.

Persoalan seperti ini tidak mungkin terjadi dalam al-Qur‟an karena kitab ini

sendiri mengatakan bahwa ayat-ayatnya tidak ada yang bertentangan, saling

menjawab dan terkait satu sama lain. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan

al-Qur‟ân? Kalau kiranya al-Qur‟an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka

mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisâ‟ : 82). Maksudnya

adalah ketika al-Qur‟an itu dari sisi Allah, maka tidak akan ada perselisihan di

dalamnya sama sekali. Semua yang ada dalam kitab tersebut saling sesuai dan

saling membenarkan, sebagiannya tidaklah membatalkan sebagian yang lainnya.

Page 38: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

29

Dengan demikian diketahuilah kesempurnaan al-Qur‟an dan bahwasanya ia

adalah dari Dzat yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.1

Sejatinya memang tidak terdapat kontradiksi yang sebenarnya antara dua

ayat, dua hadis shahih, atau antara ayat dengan hadis shahih. Apabila tampak ada

kontradiksi antara dua nash di antara nash-nash itu maka itu hanyalah kontradiksi

lahir saja sesuai dengan yang tampak kepada akal kita. Bukan kontradiksi yang

sebenarnya. Karena menurut syar‟i yang Esa dan Maha Bijaksana itu tidak

mungkin jika keluar dari Dia dalil yang menghendaki hukum suatu peristiwa dan

keluar dari Dia juga dalil lain yang menghendaki dalam peristiwa itu, hukum yang

bertentangan dengan hukum pertama dalam satu waktu.2

Biarpun begitu, memang ada beberapa ayat yang secara sekilas terlihat

bertentangan, namun ulama sepakat bahwa terjadinya perbenturan dalil tersebut

hanya dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil-dalil itu sendiri

tidak ada perbenturan.3

Bisa jadi hal ini dikarenakan sifat dasar dari manusia yang mempunyai sifat

lemah dan keterbatasan otak dalam berpikir. Dalam satu disiplin ilmu penunjang

untuk menafsirkan al-Qur‟an bisa jadi seorang mufasir/mujtahid sangat kompeten,

namun ketika dihadapkan kepada disiplin ilmu yang lain bisa jadi kurangnya

referensi menjadikan pengaruh yang besar pada hasil penafsirannya nanti.

Ayat-ayat al-Qur‟an yang secara lahir dapat menimbulkan anggapan saling

bertentangan di antaranya adalah:

a. Ayat yang membahas tentang keadaan orang kafir di hari kiamat

Dalam beberapa ayat ditemukan keterangan bahwa orang-orang kafir

pada hari kiamat tidak berbicara. Sepeti yang tertera dalam surat an-naba‟

ayat 38. “Pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf

mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya

oleh Tuhan Yang Maha Pemurah dan Ia mengucapkan kata yang benar.”

1Abdurrahman bin Nashir Al-Sa‟di, Tafsir As-Sa‟di, h. 143.

2 As‟ad Abdul Ghani Al-Kafrawi dan Ahmad Mukhtar Mahmud, Muẖâđarât fî Uşûl al-

Fiqh, (Jamî‟ah al-Azhâr, Kulliyah al-Dirâsat al-Islâmiyah wa al-„Arâbiyah, 1422 H/2002 M), h. 183.

3 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, h. 243.

Page 39: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

30

Namun pada ayat yang lain terdapat penjelasan bahwa mereka

berkata, mengakui segala perbuatannya, mengemukakan alasan tentang hal-

hal yang dilakukan dan yang tidak dilakukan, dan lain sebagainya.

b. Keadaan manusia ketika yaum al-ẖisâb

Dalam beberapa ayat disebutkan bahwa jin dan manusia tidak akan

ditanya tentang dosa-dosa mereka. Namun dalam ayat yang lain ditemukan

adanya pertanyaan-pertanyaan itu, seperti firman Allah yang terdapat pada

Q.S. As-Şâffât ayat 24.”Dan tahanlah mereka (di tempat pemberhentian)

karena sesungguhnya mereka akan ditanya.” (Q.S. As-Şâffât ayat 24). 4

c. Tentang sifat-sifat Allah

Beberapa ayat al-Qur‟an menyebutkan bahwa Allah Maha Tinggi,

berada di atas hamba-hamba-Nya, serta berada di „Arsy. Sedangkan di ayat

yang lain disebutkan Allah bersama hamba-hamba-Nya dimana saja mereka

berada, serta bersama orang yang sabar, benar, berbuat baik, dan

sebagainya.

d. Tentang larangan bergaul dengan orang kafir

Banyak ayat al-Qur‟an yang melarang kita menjalin hubungan dengan

orang-orang kafir. Tetapi di dalam ayat yang lain, kita diperintahkan untuk

berlaku baik kepada orang-orang kafir serta bergaul dengan mereka.

Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa, yaitu yang terlihat bertentangan

kelihatannya namun tetap masih dapat ditemukan titik terang dalam

menafsirkannya sehingga yang tadinya bertentangan pada akhirnya tidak lagi,

hingga semakin mengukuhkan dan membenarkan bahwa tidak ada ayat yang

bertentangan dalam al-Qur‟ân.

Ada banyak sebab suatu ayat terlihat kontradiktif atau memang kontradiktif.

Bagi orang yang membenci al-Qur‟an, dia akan mengatakan di dalamnya ada

banyak pertentangan baik ayat satu dengan yang lain maupun dengan nalar. Hal

ini bisa jadi karena tidak ada keimanan di dalam hatinya, padahal untuk

4 Salman Harun, Kaidah-kaidah Tafsir, (Jakarta: Penerbit Qaf, 2017), h. 770.

Page 40: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

31

mempercayai sesuatu yang ghaib harus menggunakan iman atau kepercayaan.

Sangat sulit bagi orang yang tidak beriman mempercayai sesuatu yang tidak

terlihat. Karena itulah bagi mereka al-Qur‟an terkadang membahas sesuatu yang

tidak masuk akal karena di dalamnya juga membahas masalah ghaib.

Selain itu, penyebab lain bisa jadi karena ayatnya yang memang multi-

tafsir/mutasyâbih atau karena mufasirnya yang kurang kompeten dalam satu

disiplin keilmuan sehingga hasil penafsirannya akan tekstual. Seperti contoh bagi

orang yang mau menafsirkan al-Qur‟an, biarpun semua disiplin keilmuan

penunjang untuk menafsirkan dikuasai, tapi masih kurang satu lagi, asbâbun nuzûl

misalnya, menjadikan maknanya akan tekstual saja bahkan bisa bertentangan

dengan ayat lain. Hal ini karena ilmu asbâbun nuzûl berguna untuk mempelajari

sebab turunnya ayat dan keadaan serta konteks ayat itu diturunkan.

Hal lain lagi karena bisa jadi memang dari ayatnya yang sekilas terlihat

bertentangan. Seperti dalam pembahasan ta‟âruđ dalam ushul fiqih maupun

ulumul hadis, ulumul qur‟an pun walaupun sekilas juga membahas mengenai itu.

Sehingga pembahasan tersebut tidak hanya tentang hukum maupun hadis, bahkan

tentang ayat dalam al-Qur‟an juga ada.

Di antara contoh-contoh ayat yang terlihat bertentangan yang masuk dalam

kategori pembahasan ta‟âruđ adalah sebagai berikut:

1. Analisa atas ayat yang diduga bertentangan tentang hidayah dalam

surat al-Syura ayat 52 dengan surat al-Qaşşaş ayat 56.

Allah menciptakan manusia dan menjadikannya makhluk paling

sempurna di dunia. Kesempurnaan itu dikarenakan manusia memiliki akal

untuk berpikir dan memilih jalan yang diridhai oleh Allah atau justru

mengambil jalan yang dilarang-Nya. Biarpun Allah mampu untuk

menjadikan semua makhluk taat kepada-Nya, namun Allah memberikan

kebebasan untuk memilih jalan yang akan mereka ambil.

Tentu terdapat konsekuensi dibalik semua pilihan. Allah sendiri sudah

berjanji akan memasukkan ke surga kepada siapa saja yang beriman kepada-

Page 41: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

32

Nya dan memasukkan mereka ke neraka bagi siapa saja yang mengambil

jalan yang tidak diridhai oleh Allah.

Sebenarnya pilihan jalan itu amat begitu nyata antara yang haq dan

yang bahil. Selain karena Dia sudah mengutus seorang nabi kepada manusia

sebagai pembawa berita bahwa syari‟at Allah sangat jelas. Tak terkecuali

Nabi Muhammad yang diutus selain untuk menyempurnakan akhlak, juga

menyempurnakan syari‟at Allah yang sudah pernah dibawa oleh nabi-nabi

sebelum beliau.

Turunnya al-Qur‟an juga sangat berkaitan erat dengan hal itu, yaitu

untuk menjelaskan haq (kebenaran) dan bathil. Kitab petunjuk yang sudah

terjamin keasliannya ini dan sudah dijaga sendiri oleh-Nya dan para hamba-

Nya yang mukmin, menjadi mukjizat bagi Rasulullah dan berlaku sampai

akhir zaman.

Meski demikian, masih banyak manusia yang ingkar, menentang

Allah sebagai Tuhan Pencipta bahkan ada yang menolak keberadaan-Nya

sedangkan mereka sendiri tiggal di bumi yang diciptakan-Nya. Dalam

konteks inilah kemudian hidayah sangat berharga bagi mereka agar tetap

berjalan di atas jalan yang diridhai oleh Allah SWT.

Hidayah merupakan modal dasar dan paling utama bagi hamba untuk

mendapatkan ridha-Nya. Karena itulah pembahasan tentang hidayah

menjadi sangat penting untuk dipelajari karena hal ini merupakan kajian

akidah yaitu salah satu jalan untuk percaya kepada Tuhan.

Mengenai hidayah Allah berfirman dalam Qur‟ân surat al-Qaşşaş: 56:

ادججذ ذ ي اك ل ر زذ أعهى ثبن شبء ذ ي هللا نك

“Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang

yang engkau cintai, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang

dikehendaki-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mau

menerima petunjuk.” (QS. al-Qaşşaş:56).

Ayat ini menjelaskan bahwa hidayah yang mengantar seseorang

menerima dan melaksanakan tuntunan Allah bukanlah wewenang manusia,

Page 42: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

33

atau dalam batas kemampuannya, tetapi semata-mata wewenang dan hak

prerogatif Allah. Ayat ini mengingatkan Nabi Muhammad SAW tentang

hakikat tersebut sambil menguatkan pernyataannya dengan kata

“Sesungguhnya” yakni: Sesungguhnya engkau wahai Nabi Muhammad

yang merupakan manusia paling dicintai Allah dan paling mampu memberi

penjelasan, tidak akan dapat dan mampu memberi hidayah yang

menjadikan seseorang menerima dengan baik dan melaksanakan ajaran

Allah walau engkau berusaha sekuat tenaga dan walau upaya itu engkau

tujukan kepada orang yang engkau cintai dan inginkan memperolehnya.

Engkau hanya mampu memberi hidayah irsyâd dalam arti memberi petunjuk

dan memberitahu tentang jalan kebahagiaan bukan hidayah taufik, tetapi

Allah saja yang memberi hidayah taufik itu kepada orang yang dikehendaki-

Nya bila yang bersangkutan bersedia menerima hidayah dan membuka

hatinya untuk itu, dan Dia lebih mengetahui dari siapa pun tentang orang-

orang yang mau mneerima petunjuk.5

Dr. Muhammad Han Utsman mengartikan ادججذ ي ذ اك ل ر

dengan “Sesungguhnya kamu tidak mampu untuk memasukkan orang yang

kamu cintai ke dalam agama Islam.6

Riwayat-riwayat yang ditemukan dalam kitab-kitab hadis menyatakan

bahwa ayat ini berbicara tentang paman Nabi yaitu Abu Thalib. Nabi sangat

ingin agar paman beliau beriman dan mengucapkan dua kalimat syahadat

sebelum meninggalnya. Tetapi harapan Nabi itu tidak terpenuhi. At-Thabari

menulis bahwa ayat ini turun menyangkut keengganan Abu Thalib beriman,

bahkan Az-Zajjaj menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma‟

menyangkut turunnya ayat ini terhadap Abu Thalib.

Memang beberapa pakar hadis seperti Ahmad, Muslim, At-Tirmidzi,

Ibn Mardawaih, Al-Baihaqi dan lain-lain meriwayatkan melalui sahabat

Abu Hurairah bahwa ketika kematian Abu Thalib telah mendekat, Nabi

5 Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan, Keserasian Qur‟ân, (Jakarta: Lentera

Hati, 2002), h. 370. 6 Muhammad Han Utsman, I‟râb al-Qur‟ân al-Karȋm, Jilid 8, (Mesir: Ar-Risâlah, 1432

H/2011 M), h. 592.

Page 43: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

34

mendatanginya dan bersabda: “Wahai pamanku, ucapkanlah lâ ilâha illa

Allâh niscaya aku akan bersaksi untukmu di sisi Allah pada hari kemudian.”

Abu Thalib menjawab, “Seandainya kaum Quraisy tidak mencelaku dengan

berkata “Tidak ada yang mendorongnya mengucapkannya kecuali karena

kesedihannya menghadapi maut, niscaya aku mengucapkannya untukmu.”

Maka turunlah firman Allah: Sesungguhnya engkau tidak akan dapat

memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, dan seterusnya.7

Keterangan ini juga terdapat pada kitab Asbâb al-Nuzȗl karya imam

Jalaluddin As-Suyuthi. Dalam kitab ini beliau juga menambahkan bahwa

an-Nasa‟i dan Ibnu „Asakir dalam Târikh Dimasyq meriwayatkan dengan

sanad yang bagus dari Abu Sa‟id bin Rafi‟ dia berkata “Aku pernah

bertanya kepada Ibnu Umar tentang ayat ini, „Sungguh engkau

(Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau

kasihi.” Apakah turun tentang Abu Jahal dan Abu Thalib? Ia menjawab

„Ya.‟”8

Walaupun begitu, ayat di atas menjadi masalah dan perlu dikaji ulang

ketika dihadapkan dengan ayat 52 surat asy-Syura. Karena ayat ini seakan

mengisyaratkan bahwa manusia dapat memberikan hidayah, sedangkan ayat

yang lalu mengatakan manusia tidak dapat memberikan hidayah. Ayat yang

dimaksud adalah:

ب ي د س ك ن ب ا د ا ك ن ز ك ل بة ز ك ب ان ي س ذ ر ذ ب ك ب ي ش ي ا ا ب ه ع ج ك ن ب

بد ج ع ي بء ش ي ث ذ ا س ى ق ز س ي اط ش ص ن ا ذ ز ن ك ا ب

“Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepadamu ruh dari urusan

Kami. Sebelumnya engkau tidak mengetahui apakah al-Kitab dan tidak

(pula) al-iman tetapi Kami menjadikannya cahaya, yang Kami menunjuki

dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan

7 Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan, Keserasian Qur‟ân, h. 372

8 Jalaluddin As-Suyuthi, Sebab Turunnya Qur‟ân, (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 424. Di

dalam kitab terjemahannya terdapat keterangan: Lihat Khabar ini yang diriwayatkan secara shahih

dalam ad-Durrul Mantsûr (5/145), tapi di dalamnya tidak disebutkan Abu Jahal. Ibnu Katsir juga tidak menyebut Abu Jahal, begitu pula al-Qurthubi. Tambahan ini adalah kekurangan pengarang –

semoga Allah merahmatinya.

Page 44: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

35

sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan lebar yang

lurus.” (QS. Asy-Syura: 52).

Mutakallim dalam ayat ini adalah Allah sendiri dan mukhâţab-nya

adalah Rasulullah. Ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah yang

notabenenya adalah seorang utusan dan dari kalangan manusia, mampu

memberi petunjuk kepada umatnya dengan anugerah taufik dari Allah.

Selain karena seorang Nabi, beliau juga salah seorang yang memang

dikehendaki Allah menerimanya. Kehendak tersebut berkaitan erat dengan

kecenderungan hati seorang hamba.

Dan sesungghunya engkau benar-benar memberi petunjuk yakni

mampu menjelaskan dengan sangat baik cara-cara menuju ke jalan yang

lurus. Yaitu jalan Allah yang lebar yang miliknya segala apa yang ada di

langit dan di bumi. Maksudnya adalah mengajak kepada Islam.9

Ada beberapa riwayat terkait ayat ini:

Pertama, Bisyr menceritakan kepada kami, dia berkata: Yazid

menceritakan kepada kami, dia berkata: Said menceritakan kepada kami dari

Qatadah, tentang firman Allah “Dan sesungguhnya kamu benar-benar

memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” Allah SWT berfirman, “Dan

bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (Q.S. Ar-Ra‟d

[13]: 7) Maksudnya adalah penyeru yang menyeru mereka kepada Allah

SWT.

Kedua, Ibnu Abdil A‟la menceritakan kepada kami, dia berkata: Ibnu

Tsaur menceritakan kepada kami dari Ma‟mar, dari Qatadah, tentang ayat

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan

yang lurus.” Ia berkata, “Maksudnya adalah, bagi setiap kaum ada orang

yang memberi petunjuk.

Ketiga, Muhammad menceritakan kepada kami, dia berkata: Ahmad

menceritakan kepada kami, dia berkata: Asbath menceritakan kepada kami

dari As-Suddi, tentang ayat “Dan sesungguhnya kamu benar-benar

9 Muhammad Han Utsman, I‟râb al-Qur‟ân al-Karȋm, Jilid 10, (Mesir: Ar-Risâlah, 1432 H/2011

M), h. 399.

Page 45: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

36

memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” Ia berkata, “Maksudnya adalah

kamu menyeru kepada agama yang lurus. 10

Dari beberapa riwayat di atas sangat jelas bahwa seorang manusia

yaitu Rasulullah mampu memberikan hidayah atau petunjuk jalan yang

lurus kepada umatnya. Sama halnya dengan al-Qaşşaş ayat 56, dlamir (ta‟)

pada kata tahdȋ yang mempunyai arti “kamu” adalah ditujukan kepada

Rasulullah SAW. Berbeda dengan ayat ini yang mengatakan bahwa bahwa

beliau tidak bisa memberikan hidayah kepada manusia, sedangkan pada

surat as-Syura mengatakan bahwa beliau mampu memberikan hidayah atau

petunjuk kepada umatnya, sebagai penjelas dari al-Qur‟an.

Ma‟mar meriwayatkan dari qatadah tentang firman Allah SWT:

ى ق ز س ي اط ش ص ن ا ذ ز ك ن ا “Dan sesungguhnya kamu benar-benar

memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” Qatadah berkata, “ بد و ق م ك ن

„Dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk‟.”11

Kedua ayat di atas (al-Qaşşaş ayat: 56 dan asy-Syura: 52) sekilas

memang seperti bertentangan, dimana ayat satu mengatakan Rasulullah

tidak bisa memberi petunjuk sedangkan ayat satunya lagi mengatakan

Rasulullah bisa memberikan petunjuk. Ini bisa menjadikan kesalah pahaman

bagi pembelajar al-Qur‟an bahwa di dalamnya ada ayat yang bertentangan.

Padahal tidak demikian, kenyataannya terdapat dua hidayah yang

dikenal. Yaitu hidayah langsung atau dikenal dengan hidayah taufîq yang

khusus dan hanya dimiliki Allah dan hidayah tidak langsung atau dikenal

dengan hidayah agama yang diberikan kepada Rasulullah dan bisa dimiliki

oleh siapa saja. Hidayah ini diperuntukkan bagi mereka yang menyeru ke

jalan yang diridhai Allah SWT.

Lebih lengkap, macam-macam hidayah dapat dilihat sebagai berikut:

Pertama, adalah hidayah tauhidiyah artinya potensi kesiapan untuk

mengesakan Allah. Kedua, berbentuk ilham. Hal ini dirasakan oleh anak

10

Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jâmi‟ul Bayân an Ta‟wîl Ayi al-Qur‟ân, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 947.

11 Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 149.

Page 46: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

37

kecil sejak ia dilahirkan. Ketiga, hidayah al-hawas (panca indra). Macam

hidayah ini sama-sama terdapat pada manusia dan hewan. Keempat, hidayah

al-„aql, hidayah ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan ilham dan panca

indra. Kelima, hidayah lubbiyah, hidayah ini merupakan paduan antara rasio

dan intuisi. Orang yang berada pada tahap petunjuk ini tidak hanya mampu

melihat dan mendengar yang ghaib saja, namun bisa memahami makna

yang terkandung di balik itu, walaupun demikian akal manusia tetap

terbatas.

Disini manusia memerlukan petunjuk yang melebihi petunjuk akal,

sekaligus meluruskan kekeliruan-kekeliruannya dalam bidang-bidang

tertentu. Hidayah yang dimaksud adalah agama. Kemudian untuk

menjalankan semua macam hidayah tersebut, dibutuhkan hidayah

selanjutnya yang disebut dengan hidayah taufîq, yaitu pertolongan Allah

terhadap hamba-Nya dalam berbuat sesuatu sesuai dengan apa yang dicintai

dan diridhai-Nya.12

Perbuatan seorang hamba tidak semata-mata intervensi dari Tuhan.

Manusia mempunyai kekuatan sendiri untuk melakukan apa yang

diinginkannya, melakukan perbuatan baik ataupun buruk semuanya

mempunyai balasan pada akhirnya. Ibarat petani, dia akan memetik apa

yang sudah ditanamnya.

Seperti halnya firman Allah : “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya

Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa

yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa

yang telah kamu kerjakan.” (QS. An-Nahl: 93). Sekilas ayat ini mengatakan

bahwa hidayah dan kesesatan seseorang merupakan kehendak Allah.

Padahal tidak, ada banyak faktor seseorang bisa memperoleh hidayah, di

antaranya adalah kesungguhan seseorang mencari kebenaran yang diridhai

oleh Tuhan. Karena kesungguhannya tersebut, seseorang akan mendapatkan

pertolongan oleh Allah dan mendapatkan hidayah. Firman Allah,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu

12

Bustami Saladin, Hidayah Dalam al-Qur‟an, vol. 10, (Jurnal Nuansa, 2013), h. 440-441.

Page 47: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

38

sendiri yang mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS. Ar-Ra‟d:

11).

Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan tersendiri bagi manusia

yang ingin mendapatkan hidayah dari Allah. Apakah mau berusaha

meraihnya atau hanya keinginan belaka tanpa usaha.

Walaupun kesemuanya memang berasal dari Allah, namun Allah tetap

memberikan manusia akal dan pikiran untuk mencari jalan yang diridhai-

Nya. Selain itu Dia juga mengutus seorang Rasul bahkan memberikan

mukjizat berupa al-Qur‟an yang masih bisa dibaca, dipelajari dan dihayati

sampai hari kiamat nanti.

Manusia diarahkan melalui kekuatan akalnya untuk menemukan alat-

alat, rancangan-rancangan, dan berbagai kerajinan yang mengagumkan.

Dengan demikian melalui ilham yang luar biasa itu, manusia dengan

bantuan akalnya mampu membangun keluarga, masyarakat dan peradaban.

Begitu pula ilham lahiriah yang memerintahkan untuk menyucikan dan

menyempurnakan dimensi batinnya. 13

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada ta‟âruđ dalam

artian pertentangan dalil dalam al-Qur‟an. Karena pertentangan tersebut

masih bisa ditemukan titik temunya. Berbeda dengan sesuatu yang

bertentangan, bertolak belakang atau kontradiktif yang tidak memungkinkan

untuk dikompromikan lagi.

2. Analisa atas ayat yang diduga bertentangan tentang puasa dalam surat

al-Baqarah ayat 184 dengan ayat 185

Puasa merupakan salah satu dari rukun Islam dan harus dikerjakan

ketika bulan Ramadhan tiba. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan

atas kamu berpuasa sebagaimana atas orang-orang sebelum kamu agar

kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 134).

Dalil ini sangat jelas dan tidak bisa dibantah lagi apapun alasannya

bahwa puasa adalah kewajiban dari Allah untuk hamba-Nya. Lamanya

13

Abd. M. Soeherman, dkk, al-Hikmah: Jurnal Studi-Studi Islam, no. 11 (Yayasan

Muthahhari untuk Pencerahan Pemikiran Islam: Bandung, 1993), h. 115.

Page 48: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

39

berpuasa bukanlah 30 hari seperti pemahaman sebagian orang, melainkan

selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan. Awal perhitungannya

menggunakan hisab, dimana ketika awal Ramadhan tiba, umat Islam wajib

berpuasa sedangkan ketika bulan Ramadhan berakhir dan tiba bulan Syawal,

maka umat Islam diharamkan berpuasa.

Bagi sebagian orang yang terbiasa puasa sunnah, senin dan kamis

misalnya, ketika menjalani puasa di bulan Ramadhan tidaklah begitu berat

dibanding mereka yang tidak pernah berpuasa di hari-hari biasa.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa puasa sebenarnya sudah

diwajibkan kepada umat-umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad diutus.

Ada yang meriwayatkan bahwa puasa umat terdahulu sebelum umat Nabi

Muhammad lebih berat karena jangka waktu berpuasanya yang lebih lama.

Pembahasan kewajiban berpuasa di zaman Rasulullah menjadi

panjang jika dihadapkan kenyataan bahwa ada beberapa orang yang tidak

kuat berpuasa karena alasan-alasan tertentu. Seperti seorang ibu yang

sedang menyusui bayinya dan takut bayinya ikut menahan lapar karena air

susunya tidak keluar, kemudian orang yang sakit sakit, serta seseorang yang

sedang melakukan perjalanan jauh dan tidak memungkinkan untuk berpuasa

karena memberatkan.

Permasalahan ini sebenarnya sudah dijelaskan di ayat selanjutnya

yaitu surat al-Baqarah ayat 184 dan 185 tentang keringanan orang-orang

yang tidak berpuasa karena sakit atau karena bepergian jauh yang tidak kuat

untuk melaksanakan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan.

Namun persoalannys tidak hanya demikian. Dalam ayat tersebut Allah

seakan mendesak agar hamba-Nya tetap berpuasa karena itu untuk diri

mereka sendiri. Keringanan yang tercantum dalam ayat yang sama seakan

menambah kebingungan bagi para pembacanya. Ditambah jika dihadapkan

di ayat selanjutnya (al-Baqarah: 185) yang di dalamnya terdapat kalimat

“Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki

kesukaran” menjadikan persoalan semakin kompleks.

Berikut adalah pembahasan kedua ayat tersebut:

Page 49: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

40

ك . ف اد د ذ ع ب ي بي أ ع ب ا ض ش ي ى ك ي ب ي ح ذ ع ف ش ف س ه بو أ ش خ أ ز ان ه ع .

ف ك س ي بو ع ط خ ذ ف ق ط ن ش خ ا ف ش خ ع ط ر ى ز ك إ ى ك ن ش ا خ ي ص ر أ

ه ع ر

(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara

kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka

(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada

hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat

menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):

memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati

mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa

lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah ayat 184).

Ayat ini membahas tentang keringanan dalam puasa di bulan

Ramadhan. Dikatakan bahwa ketika seseorang yang sudah diwajibkan

berpuasa, kemudian sakit atau dalam perjalanan, maka dia boleh

membatalkan puasanya. Tentu hal ini juga mempunyai konsekuensi untuk

mengganti puasanya di bulan yang lain dan di hari yang tidak diharamkan

untuk berpuasa.

Jika membayar puasa di lain hari juga tidak kuat baginya, Allah

memberi kemudahan untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan orang

miskin. Ini merupakan ketentuan Allah untuk hambanya untuk kebaikan

mereka sendiri. Di akhir ayat juga terdapat tambahan jika berpuasa itu lebih

baik.

Akhir dari ayat ini mengindikasikan bahwa daripada membatalkan

puasa karena alasan tertentu, lebih baik tetap berpuasa saja karena itu lebih

baik. Kalimat ini seakan menjadi desakan dari Tuhan agar tetap berpuasa,

menjadikan keringanan yang tertera di awal ayat menjadi pilihan yang

paling akhir ketika seseorang benar-benar tidak kuat dalam berpuasa.

Allah berfirman, “Barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau

dalam perjalanan, maka hendaklah mengulanginya pada hari-hari yang

lain.” Yakni orang sakit dan yang bepergian tidak perlu bepuasa, namun

Page 50: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

41

boleh berbuka dan meng-qadha dengan cara mengulanginya pada hari-hari

lain. Adapun orang yang sehat dan berada di tempat—bila dia mau—maka

berpuasalah dan bila tidak mau maka berbukalah, namun dia harus

memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari ia berbuka.

Berpuasa lebih baik daripada memberi makan. Demikianlah menurut Ibnu

Abbas, Ibnu Mas‟ud dan ulama salaf lainnya.” 14

Pada permulaan puasa diwajibkan, umat Islam boleh memilih antara

dua hal, yaitu berpuasa atau membayar fidyah. Mereka boleh membayar

fidyah walaupun sanggup berpuasa.kemudian kebolehan itu di-mansûkh-

kan. Ayat yang me-nâsikh-kannya adalah ayat selanjutnya yaitu 185.

Setelah turun ayat tersebut umat Islam wajib berpuasa, tidak boleh

menggantinya dengan fidyah, kecuali bagi orang yang sudah terlalu tua

yang tidak sanggup lagi berpuasa atau orang sakit yang sudah tidak

mungkin lagi sembuh. Menurut Ibnu Abbas, fidyah juga dibolehkan bagi

ibu yang sedang menyusui dan hamil yang tidak sanggup berpuasa.15

Kalimat inilah (berpuasa lebih baik) yang kemudian menyebabkan

pembaca al-Qur‟an sekilas memahami bahwa ayat tersebut mempunyai

keganjilan jika dihadapkan ke ayat selanjutnya yaitu ayat 185. Ayat 184

mengisyaratkan desakan Tuhan untuk tetap berpuasa sedangkan ayat

selanjutnya mengisyaratkan kelembutan Tuhan ketika seorang hamba tidak

kuat dalam berpuasa.

Ayat selengkapnya adalah:

ض ي س ش ش ز ان ب ف ل ض أ ث بط ه ن ذ انقشا ذ ان ي د ب ق ش ف ان ذ ش ف ب

ك ي ص ه ف ش انش ى ك ي ي ح ذ ع ف ش ف س ه ع ب أ ض ش ي ب بو أ ى ك ث هللا ذ ش ش خ أ

ي ه ع ا هللا ش ج ك ز ن ح ذ ع ا ان ه ك ز ن ش س ع ان ى ك ث ذ ش ل ش س ان ش ك ش ر ى ك ه ع ن ى اك ذ ب

(581)

14

Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 297.

15 Kdar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 68.

Page 51: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

42

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di

dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi

manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda

(antara yang haq dan yang bahil). Karena itu, barangsiapa diantara kamu

hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia

berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan

(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang

ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki

kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu. Dan hendaklah

kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah

atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu, supaya kamu bersyukur.

(QS. Al-Baqarah: 185).

Awal ayat ini hampir sama dengan ayat sebelumnya, yaitu membahas

tentang puasa di bulan Ramadhan dan bagi orang sakit atau dalam

perjalanan yang tidak kuat malkukannya. Namun di akhir dijelaskan bahwa

Allah menghendaki kemudahan, bukan kesukaran bagi hamba-Nya.

Sehingga jika dilihat sekilas, maka ayat pertama Allah mendesak hamba-

Nya agar tetap berpuasa sedangkan ayat kedua Allah membolehkan mereka

untuk tidak berpuasa dan tanpa desakan apapun. Bahkan Allah

menambahkan kalimat “Allah menghendaki kemudahan dan tidak

menghendaki kesukaran.”

Sejatinya, jika kedua ayat di atas dikatakan sebagai ayat bertentangan,

sungguh tiada kuat sama sekali. Jika dipikir secara logika saja, suatu

desakan untuk tidak membatalkan puasa bukan berarti melarang untuk

membatalkannya. Biar bagaimanapun, di awal ayat sudah dijelaskan tentang

keringanannya, kemudian di ayat kedua juga dicantumkan lagi

keringanannya sehingga sangat tidak mungkin keringanan untuk

membatalkan puasa yang sudah dicantumkan dan diperbolehkan kemudian

tidak berlaku lagi karena kalimat yang tidak jelas ada larangannya.

Sebenarnya ibadah puasa sudah ada sejak zaman Mesir kuno, sebelum

mereka mengenal agama samawi. Dari mereka praktek puasa beralih kepada

Page 52: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

43

orang-orang Yunani dan Romawi. Puasa juga dikenal dalam agama-agama

penyembah bintang. Agama Budha, Yahudi dan Kristen juga demikian.

Ibnu al-Nadim dalam bukunya al-Fharasat-nya menyebutkan bahwa agama

para penyembah bintang berpuasa tiga puluh hari setahun, ada pula puasa

sunnah sebanyak 16 hari dan juga ada 27 hari. Puasa mereka sebagai

penghormatan kepada bulan, juga kepada bintang Mars yang mereka

percaya sebagai bintang nasib, dan juga kepada Matahari.

Dalam agama Budha juga dikenal puasa, sejak terbit sampai

terbenamnya matahari. Mereka melakukan puasa empat hari dalam sebulan.

Mereka menamainya uposatha, pada hari-hari pertama kesembilan, kelima

belas dan kedua puluh. Orang Yahudi mengenal puasa selama empat puluh

hari, bahkan dikenal beberapa macam puasa yang dianjurkan bagi penganut-

penganut agama ini, khususnya untuk mengenang para nabi atau peristiwa-

peristiwa penting dalam agama mereka.

Puasa juga dikenal dalam agama Kristen. Walaupun dalam kitab

Perjanjian Baru tidak ada isyarat tentang kewajiban puasa, dalam praktek

keagamaan mereka dikenal aneka ragam puasa yang ditetapkan oleh

pemuka-pemuka agama.16

Pada permulaan Islam, puasa dilakukan tiga hari pada setiap bulan.

Kemudian pelaksanaan itu di nasakh oleh puasa bulan Ramdhan. Dari

Mu‟adz, Ibnu Mas‟ud dan yang lainnya dikatakan bahwa puasa ini

senantiasa disyari‟atkan sejak zaman Nuh hingga Allah menasakh ketentuan

itu dengan puasa Ramadhan. Puasa diwajibkan atas mereka dalam waktu

yang lama sehingga apabila salah seorang dari mereka shalat „isya‟

kemudian tidur, maka sesudah itu haram baginya makan, minum, dan

berjima‟ serta perbuatan sejenisnya. Kemudian Allah menjelaskan hukum

puasa sebagaimana yang berlaku pada permulaan Islam.17

Dalam Islam juga dikenal puasa pada hari-hari yang telah ditentukan,

yaitu pada bulan Ramadhan dimana al-Qur‟an turun di bulan tersebut. Tidak

16

Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan, Keserasian Qur‟ân, vol. 1, h. 403. 17

Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, (Jakarta: Gema

Insani, 1999), h. 287.

Page 53: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

44

ada keterangan apakah diwajibkannya berpuasa pada bulan Ramadhan

merupakan penghormatan karena diturunkannya al-Qur‟an pada bulan itu.

Yang pasti puasa di bulan Ramadhan merupakan ketentuan dan kewajiban

dari Allah kepada hamba-Nya demi kebaikan mereka sendiri.

Dalam menafsirkan ayat di atas, Quraish Shihab dalam tafsir al-

Misbah mengatakan kewajiban tersebut dimaksudkan agar kamu bertakwa,

yakni terhindar dari segalam macam sanksi dan dampak buruk, baik

duniawai maupun ukhrawi. Jangan duga, kewajiban yang akan dibebankan

kepada kamu ini sepanjang tahun. Tidak! Ia hanya beberapa hari tertentu,

itupun masih harus melihat kondisi kesehatan dan keadaan kalian. Karena

itu, barangsiapa di antara kamu yang sakit yang memberatkan berpuasa atau

sedang dalam perjalanan, boleh untuk membatalkan puasa dan diganti di

hari-hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkan baik berturut-turut

maupun tidak. 18

Penjelasan ini kemudian diulangi lagi di ayat 185 agar tidak timbul

kesan bahwa komentar yang menyusul izin pada ayat 184 yaitu “berpuasa

lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui,” merupakan desakan Tuhan

agar tetap berpuasa walau dalam keadaan perjalanan yang melelahkan, sakit

yang parah, atau bagi orang-orang yang telah tua. Ini tidak dikehendaki

Allah, maka diulangilah penjelasan di atas, dan kali ini ditambah dengan

penjelasan bahwa “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak

menghendaki kesukaran bagi kamu.”

Keringanan untuk menggantikan puasa Ramadhan pada hari-hari lain

juga dimaksudkan agar bilangan puasa selama satu bulan dapat terpenuhi.

Karena itu lanjutan ayat di atas menyatakan, “Dan hendaklah kamu

mencukupkan bilangannya dan hendaklah juga kamu mengagungkan Allah

atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu, supaya kmau bersyukur.”19

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa puasa sudah ada

sejak zaman dahulu sebelum Islam muncul. Kebiasaan ini kemudian dibawa

18

Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan, Keserasian Qur‟ân, vol. 1, h. 403. 19

Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan, Keserasian Qur‟ân, vol. 1, h. 406.

Page 54: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

45

oleh Islam sehingga pengikutnya diwajibkan berpuasa pada bulan

Ramadhan.

ق ي قجهكى نعهكى رز ب كزت عه انز بو ك كى انص ءايا كزت عه ب انز أ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa

sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu

bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).

Diwajibkanya berpuasa mempunyai hikmah yang sangat besar,

salah satunya adalah bukti kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Bahkan

dalam suatu riwayat dijelaskan:

ب هخ انقذس إ قبو ن ي ، ج ر ادزسبث ب غفش ن يب رقذو ي ب ب إ صبو سيضب ب ي

ج ر ادزسبث ب غفش ن يب رقذو ي

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan

pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa shalat di

malam lailatul qadar karena iman dan mengharapkan pahala, akan

diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu

Hurairah).

Walaupun puasa Ramadhan diwajibkan oleh Allah, kenyataannya Dia

memberikan keringanan kepada hamba-Nya yang tidak kuat mengerjakan

puasa dengan cara mengganti di hari yang lain atau memberi makan orang

miskin karena tidak puasanya tersebut di hari-hari yang telah ditentukan.

Dalam surat al-Baqarah: 184, dijelaskan “Dan berpuasa lebih baik bagimu

jika kamu mengetahui” mengindikasikan bahwa berpuasa memang desakan

Allah kepada hamba-Nya.

Namun di ayat selanjutnya (al-Baqarah: 185) Allah mengulangi lagi

keringanan bagi yang tidak kuat berpuasa. Kemudian di akhir ayat

ditambahkan “Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki

kesukaran bagi kamu” seakan menjadi jawaban dari ayat sebelumnya yang

seakan Allah mewajibkan dan benar-benar mendesak hamba-Nya agar tetap

melakukan puasa biarpun dalam keadaan sakit maupun sedang dalam

perjalanan.

Page 55: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

46

Sungguh hal itu tidak benar mengingat ayat 185 Allah menghendaki

kemudahan bagi hamba-Nya mengindikasikan bahwa seorang hamba yang

tidak kuat berpuasa karena sedang sakit atau dalam perjalanan jauh boleh

membatalkan puasanya. Jika puasa satu bulan penuh menjadikan seorang

hamba justru kesulitan, maka boleh membatalkannya dan menggantinya di

hari yang lain. Dengan alasan bahwa Allah menghendaki kemudahan dan

tidak menghendaki kesukaran bagi hamba-Nya.

3. Analisa atas ayat yang diduga bertentangan tentang ‘iddah dalam surat

al-Baqarah ayat 234 dengan surat at-Ţalaq ayat 4

Hukum alam mengatakan tidak ada yang kekal di dunia ini. Adanya

kehidupan pasti akan mengalami kematian. Begitu juga suatu hubungan,

adanya pertemuan memungkinkan akan terjadinya suatu perpisahan. Tak

terkecuali pertemuan yang sudah didasari dengan ikatan suci yaitu

pernikahan, juga sangat memungkinkan terjadinya perpisahan/perceraian.

Perpisahan seorang suami dengan istri diakibatkan oleh banyak sebab,

di antaranya adalah karena perceraian, kematian, tidak ada kabar, dan lain

sebagainya yang dapat dibagi menjadi dua saja, yaitu cerai hidup dan cerai

meninggal.

Perpisahan dalam hubungan suami istri tidak serta merta berhenti

ketika mereka memutuskan untuk tidak bersama lagi. Bagi seorang istri

yang berpisah dengan suaminya, masih mempunyai kewajiban untuk

menunggu hingga memutuskan menikah kembali dengan orang lain. Masa

menunggu ini mempunyai fungsi salah satunya adalah seorang suami dan

istri masih bisa memikirkan kembali apakah benar-benar berpisah atau

kembali lagi. Dalam hukum Islam, masa menunggu ini dikenal dengan

„iddah.

„Iddah merupakan masa tunggu seorang istri ketika berpisah dengan

suami. Kata ini berasal dari kata „adad yang artinya hitungan. Maksudnya

adalah perempuan (istri) menghitung hari-hariya dan masa bersihnya.

Dalam istilah agama, „iddah berarti lamanya perempuan (istri) menunggu

Page 56: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

47

dan tidak boleh menikah lagi setelah kematian suaminya atau setelah

bercerai dengan suaminya sampai batas waktu tertentu.

Pendapat lain mengatakan „iddah diartikan dengan masa menunggu

bagi perempuan untuk melakukan perkawinannya setelah terjadi perceraian

dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk

mengetahui keadaan rahimnya atau berpikir ulang bagi suaminya.20

Setelah terjadi perceraian antara seorang perempuan sebagai istri

dengan seorang laki-laki sebagai suami, maka perempuan tersebut dilarang

melakukan perkawinan dengan laki-laki lain selama batas waktu tertentu

yang ditetapkan oleh syara‟. Dalam masa „iddah ini suami istri yang telah

bercerai dapat berpikir, apakah perkawinan tersebut lebih baik

dipertahankan; dalam pengertian rujuk atau tidak. Disamping itu, “masa

tunggu” juga dimaksudkan untuk mengetahui apakah rahim perempuan itu

berisi janin atau tidak, sehingga apabila ternyata perempuan itu hamil, maka

nasab anak tersebut akan dapat diketahui dengan jelas.

„Iddah sendiri bermacam-macam banyaknya yang setiap diantaranya

masing-masing mempunyai waktu berbeda tergantung alasan kenapa dia

berpisah dengan suaminya. Menurut sebabnya, „iddah terbagi atas beberapa

macam, antara lain „iddah talak, „iddah hamil, „iddah wafat, „iddah karena

suami hilang, dan „iddah karena ila‟.21

Dasar hukum „iddah ini sudah diatur dalam al-Qur‟ân, sumber pokok

hukum umat Islam. Namun sebagai sumber utama, ada beberapa orang yang

mempermasalahkan aturannya terkait dengan „iddah karena dianggap

kontradiktif atau terlihat bertentangan secara kasat mata. Ayat yang

dimaksud adalah surat al-Baqarah ayat 234 dengan surat al-Thalaq ayat 4.

ا فبر عشش ش اسثعخ اش فس ثب ب زشثص اج اص زس كى ي ف ز انز ا ثه

فل خجش اجه ه ب رع هللا ث ف عش ثبن فس ف ا ب فعه كى ف جبح عه

20

Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran, Cet 1, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 224.

21 Siti Zulaikha, „Iddah dan Tantangan Modernitas, (Jurnal, Mei, 2010), h. 86.

Page 57: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

48

“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan

istri-istri, (hendaklah istri-istri itu) menunggu dengan menahan diri mereka

sendiri (ber‟iddah) empat bulan dan sepuluh (malam). Apabila telah sampai

ke batas akhir („iddah) mereka maka tiada dosa bagi kamu membiarkan

mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah

mengetahui apa yang kamu perbuat.”

Menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah, ayat ini masih ada

hubungannya dengan ayat sebelumnya yaitu masih dalam konteks

pembahasan perceraian akibat kematian. Jadi sangat beralasan saling

berurutan karena ayat sebelumnya menyinggung kewajiban waris dan hak

anak bila ayah meninggal dunia.22

Beliau juga menjelaskan alasan mengapa lama waktunya adalah empat

bulan sepuluh hari. Tentu hal ini tidak bertujuan untuk mengetahui apakah

istri sedang hamil atau tidak. Jika demikian, yang melahirkan beberapa saat

setelah suaminya meninggal, tidak perlu menunggu selama empat puluh

hari. Karena hal itu cukup jika harus menunggu tiga kali qurȗ‟ (sucian).

Demikian juga kalau dia monopause atau belum dewasa, maka cukup tiga

bulan saja. Ayat ini mengisyaratkan bahwa arti sesungguhnya “menunggu

dengan menahan diri mereka” adalah tidak hanya sekadar menunggu, tetapi

penantian itu dilakukannya atas kesadaran dari lubuk hatinya, bukan karena

paksaaan atau dorongan dari luar.23

Berbeda, Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa Musayyab

dan ulama lainnya mengatakan hikmah dari penetapan „iddah karena

kematian selama empat bulan sepuluh hari ialah untuk mengetahui

kemungkinan adanya kehamilan dalam rahim. Dengan jangka waktu selama

itu dapat diketahui ada tidaknya kehamilan, sebagaimana dalam hadis Ibnu

Mas‟ud yang terdapat dalam şahîhain dan kitab lainnya.

عهقخ يضم رنك, صى ب طفخ صى ك ي اسثع اي خ ف ثط خهق ادذكى ج إ ك

هك ان ح )سا انجخبس يسهى(يضخ يضم رنك صى جعش ان انش فخ ف ف

22

Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah,vol 1, h. 507. 23

Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah,vol 1, h. 508.

Page 58: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

49

“Sesungguhnya penciptaanmu dalam perut ibumu adalah selama empat

puluh hari sebagai tetesan, kemudian menjadi segumpal darah selama itu

pula kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula kemudian Allah

mengutus malaikat yang meniupkan ruh kepadanya.” (HR. Bukhari dan

Muslim).24

Berkaitan dengan waktu „iddah seorang istri ditinggal mati oleh

suaminya, banyak hadis yang membahasnya, seperti halnya hadis yang

diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

ط أسثعخ ل ذم ل ، إل عه ص صلس و اخشرذذ عه يذ ف ان ثبهل ي يشأح ر

ا )سا يسهى( عشش ش أش

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari

akhir untuk berkabung terhadap mayat lebih dari tiga hari, kecuali atas

kematian suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.”25 (HR. Muslim).

Dalam hadis lain yang juga shahih, Rasulullah bersabda:

ب؟ قبنذ: ب سسل هللا ايشاح أ ب أفكذه قذ اشزكذ ع ب ج ب ص ع ف ر ثز إ

ل قذ كبذ -ل -ل. كم رنك ق عشش ش أسثعخ أش ب صلص ب، صى قبل: إ أ ر يش

ك هخ ر ف انجب ش سخ )سا انجخبس يسهى(إدذا ك

“Seorang wanita bertanya, „Wahai Rasulullah, putriku ditinggal mati oleh

suaminya dan matanya kesakitan, apakah saya boleh mencelak matanya?

Beliau melarangnya. Nabi mengatakan „tidak‟ dua atau tiga kali. Kemudian

bersabda: Dia harus menunggu selama empat bulan sepuluh hari, bahkan

pada masa jahiliyah seorang wanita dari kalian harus mengurung diri

selama satu tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim).26

Mengenai hal ini, imam Syafi‟i berkata, “Ketika Sabi‟ah binti Harits

melahirkan seorang anak beberapa hari setelah kematian suaminya,

Rasulullah SAW berkata kepadanya, qad halalti fatazawwajȋ yang artinya

“Engkau telah halal, maka menikahlah.” Hadis ini shahih dan Bukhari

meriwayatkan pada bab al-tafsir (2/65). Juga imam Malik dalam al-

24

Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, h. 394. 25

Abi al-Husain Muslim, Şâḥȋḥ Muslȋm, (Riyâđ: Dâr as-Salâm, 1419 H/1998 M), h. 645. 26

Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, h. 396.

Page 59: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

50

muwaththa‟ pada bab at-thalaq (75), dan selain mereka. Lihat Syifâ‟ al-„Iyyi

bi tahqîq musnad al-syafî‟iyy, Jilid II halaman 99 dan 100 hadis nomor 168

dan 169.27

Senada dengan pendapat tersebut imam Ibnu Katsir juga mengatakan

bahwa Ibnu Mas‟ud ditanya tentang seseorang yang menikah lalu dia

meninggal sebelum sempat men-dukhul-nya. Orang-orang berulang kali

mempertanyakan hal itu kepada Ibnu Mas‟ud. Dia berkata, saya akan

sampaikan pendapat saya mengenai hal itu. Jika benar, maka itu dari Allah

dan jika salah, maka dariku atau setan karena Allah dan Nabi terbebas dari

kesalahan: wanita itu berhak menerima mahar secara penuh. Dalam redaksi

lain dikatakan, baginya mahar seperti yang diberikan kepada wanita yang

sudah di-dukhul. Jangan mengurangi atau melebihi, dan berlaku atasnya

iddah serta berhak menerima harta pusaka. Kemudian Mu‟qil bin Yasar Al-

Asyja‟i beranjak seraya berkata saya mendengar Rasulullah SAW pun

memutuskan masalah Barwa‟ Binti Wasyiq dengan ketetapan demikian.

Mendengar itu, Abdullah ibn Mas‟ud gembira sekali.

Dalam riwayat lain dikatakan, maka orang-orang dari kabilah Asyja‟

bangkit seraya berkata, „Kami bersaksi bahwa Rasulullah memutuskan

demikian terhadap kasis Barwa‟ binti Wasyiq. Tidak dikecualikan dari

ketetapan tersebut selain istri yang ditinggal mati oleh suaminya tatkala dia

hamil. Maka „iddah-nya ialah sampai dia melahirkan, walaupun dia

melahirkan tidak begitu lama setelah kematian suaminya.

Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah SWT, “Wanita-wanita

yang hamil „iddah-nya ialah hingga mereka melahirkan” dan karena

dikatakan dalam sunnah, yaitu mengenai cerita Sabi‟ah Al-Aslamiyah yang

dikemukakan dalam şaẖîẖain dari berbagai jalan, “Bahwa Sabi‟ah ditinggal

mati oleh suaminya yang bernama Sa‟ad bin Khaulah ketika dia hamil.

Tidak lama setelah suaminya meningal, dia pun melahirkan.”

Dalam riwayat lain dikatakan: satu malam setelah dia meninggal, si

istri pun melahirkan. Dan setelah nifasnya kering, Sabi‟ah pun berdandan

27

Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi‟i, Jilid 1, (Jakarta: Almahira, 2008), h. 428.

Page 60: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

51

untuk memikat pelamar. Maka ia didatangi oleh Abu Sanabil ibnu Ba‟kak

dan berkata kepadanya, “Saya lihat kamu ini berdandan seperti orang yang

ingin kain saja. Demi Allah kamu tidak boleh kawin sebelum ewat empat

bulan sepuluh hari.” Sabi‟ah berkata, “Setelah Abu Sanabil mengatakan

demikian kepada saya, maka pada sore harinya saya mengemasi pakaian

kemudian pergi utnuk menemui Rasulullah SAW guna menanyakan hal

tersebut. Maka beliau menasihatiku bahwa saya sudah halal untuk kawin

setelah saya melahirkan, dan beliau menyuruhku kawin jika saya mau.”28

Ada juga pendapat yang mengatakan masa „iddah-nya dua wanita

yang lebih lama, yaitu antara melahirkan dan tiga kali qurȗ‟ (suci). Apabila

waktu kelahiran lebih dari tiga kali qurû‟ maka waktu kelahiranlah yang

menjadi masa „iddah-nya. Sedangkan apabila tiga kali qurȗ‟ lebih lama dari

kelahiran (seperti Sabi‟ah Al-Aslamiyah), maka tiga kali qurȗ‟ yang

menjadi masa iddahnya. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib

dan Ibnu Abbas.29

Ayat lain yang membahas tentang „iddah adalah surat at-ţalaq ayat 4:

ئ نى ذ انل ش صلصخ اش اسرجزى فعذر سبءكى ا ذض ي ان ي ئ ئس انل , ض

ق هللا ز ي , ه د ضع ا بل اجه الد الد ا. سش ايش جعم ن ي

“Dan mereka yang telah berputus asa dari haidh di antata perempuan-

perempuan kamu-jika kamu ragi-ragu- maka „iddah mereka adalah tiga

bulan; dan (juga) yang idak haidh. Den perempuan-perepuan yang hamil,

batas waktu mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungan mereka.

Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan

baginya dalam urusannya kemudahan. Itu adalah perintah Alah yang

diturukan-Nya kepada kanu; barang siapa yang bertakwa kepada Allah

niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya serta akan melipat

gandakan pahala baginya.”30

28

Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, h. 393. Hadis ini

diriwayatkan oleh muttafaq „alaih. Lih: Ahmad Mujab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah,

Hadis-Hadis Muttafaq „Alaih, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2004), h. 74. 29

Al-Syanqithi, Ađwâ‟ul Bayân, Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 439. 30

Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 14, h. 297.

Page 61: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

52

Ayat ini berbicara tentang „iddah seorang wanita dan tuntunan kepada

suami agar berpikir panjang sebelum menjatuhkan putusan serta

menguraikan apa yang harus dilakukan jika suami bertekad untuk

menjatuhkan thalaq. Begitu juga dengan seorang laki-laki yang ingin

menikahi seorang wanita yang masih dalam waktu yang dilarang untuk

menikah kembali setelah ditinggal suaminya („iddah).

Ibnu Jarir, Ishaq bin Rahawaih, al-Hakim dan lainnya meriwayatkan

dari Ubay bin Ka‟ab yang berkata, “Ketika turun ayat yang terdapat dalam

surat al-Baqarah, yaitu yang berbicara tentang masa „iddah beberapa

kelompok wanita, para shahabat berkata, „masih ada beberapa golongan

wanita lagi yang belum ditetapkan masa „iddah-nya, yaitu yang masih kecil,

yang sudah tua (sudah menopause), dan wanita yang sedang hamil.‟ Allah

lalu menurunkan ayat ini.” Riwayat ini sanadnya shahih.

Muqatil juga meriwayatkan dalam kitab tafsirnya bahwa suatu ketika

Khallad bin Amru bin Jamuh bertanya kepada Rasulullah tentang „iddah

wanita yang tidak haid. Sebagai responnya, turunlah ayat ini.31

Berbeda dengan ayat (surat al-Baqarah) sebelumnya, ayat ini secara

khusus membahas tentang „iddah dari segi lamanya masa menunggu.

Sedangkan ayat sebelumnya membahas tentang masa „iddah bagi seorang

wanita yang dicerai sedang dia masih mengalami haidh dan masih terbuka

kemungkinan untuk dirujuk.32

Kedua ayat di atas (al-Baqarah dengan at-Thalaq) merupakan ta‟âruđ

al-a‟main (bertentangan dua keumuman), dan secara teori ushul fiqih harus

dilakukan tarjih (mencari yang lebih kuat) antara keduanya. Dan yang râjiẖ

(yang kuat) adalah yang bersifat khusus di antara keduanya, sedangkan yang

lebih umum itu adalah marjûẖ (dikalahkan).

Tarjȋẖ di sini maksudnya adalah membandingkan dan mengambil

yang lebih kuat secara umum. Keumuman disini maksudnya adalah takhşîş

yaitu meng-khusus-kan sesuatu dari yang umum. Karena tidak mungkin

31

Jalaluddin As-Suyuthi, Sebab Turunnya Qur‟ân, h. 584. 32

Quraih Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 14, h. 298.

Page 62: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

53

mengambil sesuatu dari ayat al-Qur‟an kemudian ayat yang lain dihapus.

Biar bagaimanapun, semua ayat dalam al-Qur‟an tidak bisa ditambah dan

dikurangi. Dari sejak awal turunnya sampai sekarang masih sama sehingga

dapat dikatakan sebagai mutawatir, yaitu banyak yang meriwayatkan dari

sejak diturunkannya.

Page 63: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

54

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari analisis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat ta’âruđ

dalam artian berselisih dalam al-Qur’an. Hal ini dibuktikan dengan perselisihan

al-Qur’an dalam menentukan hukum boleh tidaknya orang meninggalkan puasa,

bisa tidaknya manusia memberikan hidayah dan masa penantian bagi seorang

wanita yang ditinggal mati suaminya sedang dalam keadaan hamil.

Ketiga persoalan di atas dapat dipecahkan dengan menggunakan tiga

metode. Untuk persoalan hukum boleh tidaknya meninggalkan puasa,

menggunakan metode naskh. Bisa tidaknya seseorang memberikan hidayah dapat

dipecahkan dengan mengunakan metode al-jam’u wa at-taufȋq. Sedangkan untuk

menentukan lama waktu menunggu perempuan yang ditinggal mati suaminya

(‘iddah) sedang dalam keadaan hamil menggunakan metode tarjȋḥ. Yaitu

keumumannya disebut sebagai marjuh dank kekhususannya disebut sebagai râjiḥ.

B. SARAN

Penulis sangat menyadari skripsi butuh banyak perbaikan agar dapat

digunakan sebagai diskursus keilmuan di masa yang akan dating. Pembahasan

masalahnya juga sangat sedikit sangat memungkinkan terdapat sesuatu yang

terlewat dan belum dibahas ataupun disinggung. Di antaranya adalah contoh-

contoh ta’âruđ selain yang sudah dibahas di atas.

Karena penulis hanya memfokuskan penelitian seputar ada dan tidaknya

ta’âruđ dalam al-Qur’an, maka pembahasan tentang ayat-ayat yang diduga

bertentangan belum sepenuhnya dibahas secara lengkap dan mendetail. Oleh

sebab itu, penulis menyarankan agar pembaca meneruskan penelitian ini baik dari

segi ta’âruđ atau ayat-ayat yang diduga bertentangan.

Kelanjutan penelitian tersebut menjadi sangat penting untuk dilakukan

mengingat banyaknya penyerang-penyerang agama Islam yang mengatakan

terdapat ayat yang kontradiktif dalam al-Qur’an. Semoga hasilnya nanti mampu

Page 64: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

55

menjawab semua tuduhan tersebut dan memberikan pemahaman kepada pembaca

bahwa Islam merupakan agama yang benar dan al-Qur’an merupakan kitab yang

dating dari Tuhan.

Page 65: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

56

DAFTAR PUSTAKA

‘Utsaimin, Muhammad bin Sholeh. al-Uşûl min ‘Ilmi al-Wuşûl. Darul Hadi

Muhammadi.

Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas al-Qur’an. Yogyakarta: LkiS, 1993.

Baidan. Nashruddin. Metode Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

2002.

Barzanji, Abdul Lathif Abdullah Aziz. Al-Ta’âruđ wa at-Tarjîẖ Baina al-Adillah

asy-Syar’iyyah. Beirut: Darul Kutub al-Alamiah. 1993.

Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung: Mizan.

1997.

Farran, Musthafa. Tafsir Imam Syafi’i. Jakarta: Almahira. 2008.

Harun, Salman. Kaidah-kaidah Tafsir. Jakarta: Penerbit Qaf. 2017.

Hasballah, Ali. Uşûl at-Tasyri’ al-Islamy. Mesir: Dar al-ma’arif. 1970.

Kafrawi, As’ad Abdul Ghani dan Mahmud, Ahmad Mukhtar. Muẖâđarât fi Uşûl

al-Fiqh. Jâmi’ah al-Azhar. Kulliyah al-Dirasat al-Islâmiyah wa al-

‘Arabiyah. 1422 H/2002 M.

Khallaf, Abdul Wahbah. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002.

Mahalli, Ahmad Mujab. Hasbullah, Ahmad Rodli. Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih.

Jakarta: Fajar Interpratama Offset. 2004.

Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam. Visi Dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an

Kontemporer. Jatim: Al-Izzah. 1997.

Munawir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia Al-Munawir. Surabaya:

Pustaka Progressif. 1997.

Muslim, Abi al-Husain. Şâḥȋḥ Muslȋm. Riyâđ: Dâr as-Salâm. 1419 H/1998 M.

Nawawi. Dasar-dasar Ilmu Hadis. Pen. Syarif Hadee Masyah. Jakarta: Pustaka

Firdaus. 2009.

Page 66: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

57

Qaththan, Manna’ Kholil. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Mesir: Maktabah

Wahbah.

Qurthubi. Tafsir al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.

Quthb, Sayyid. Fi Dzilalil Qur’ân.

Rahman, Fatchur. Ikhtişâr Muşţalaẖul Hadis. Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1974.

Rifa’i, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani.

1999.

Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. Tafsir As-Sa’di. Jakarta : Darul Haq. 2007.

Saladin, Bustamin. Hidayah Dalam al-Qur’an. Jurnal Nuansa. Vol 10.

Pamekasan: 2013.

Salim, Abdul Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: PT. Teras. 2005.

Shabuni, Muhammad Ali. Shafwat at-Tafâsir. Jakarta: Pustaka Kautsar. 2011.

Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. 2007.

_______________ Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan, Keserasian al-Qur’an.

Jakarta: Lentera Hati. 2000.

Shihab, Umar. Kontekstualitas al-Qur’an. Jakarta: Permadani. 2008.

Shilah, Abu. Shilah, Ummu. Prinsip Ilmu Ushul Fiqih. Tholib.2007.

Soeherman, dkk. Al-Hikmah: Jurnal Studi-studi Islam. Bandung. 1993.

Subhan, Zaitunah. Al-Qur’an dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender Dalam

Penafsiran. Jakarta: Prenadamedia Group. 2015.

Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Maktabah

‘Ashriyah. 1988.

____________________________ Sebab Turunnya al-Qur’an. Jakarta: Gema

Insani. 2008.

Syaltut, Mahmud. Tafsir al-Qur’an al-Karim, Pendekatan Syaltut Dalam

Menggali Esensi al-Qur’an. Bandung: CV Diponegoro.

Syaltut, Mahmud. Tafsir al-Qur’an al-Karim. Darus Syuruq.

Page 67: TA’ȂRUĐ DALAM AL-QUR’AN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40645/1/AHMAD... · namun tidak ada kesalahan yang paten dalam masalah tersebut

58

Syanqithi. Adhwa’ul Bayan. Jilid 1. Jakarta: Pustaka Azzam. 2006.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana. 2011.

Thabari. Abu Ja’far Muhammad bi Jarir. Jâmi’ul Bayân an Ta’wîl ayi al-Qur’ân.

Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.

Utsman, Muhammad Han. I’râb al-Qur’anal-Karȋm. Jilid 8. Mesir: Ar-Risâlah.

1432 H/2011 M.

Wafa, Muhammad. Ta’âruđ al-Adillah al-Syar’iyyah Minal Kitâb wa as-Sunnah

wa at-Tarjîẖ Bainaha.

M. Yusuf, Kdar. Tafsir Ayat Ahkam. Jakarta: Amzah. 2013.

Zarkasyi. Bahrul Muẖîţ fî Uşûl al-Fiqh. Beirut: Darul Kitab Ilmiah. 1971.

_______________ Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Maktabah al-

‘Asriyyah. 1957.