tahu, pengetahuan, & cara memperolehnya
DESCRIPTION
Sistematika filsafat, definisi tahu dan pengetahuan, serta cara memperolehnya.TRANSCRIPT
TAHU, PENGETAHUAN, DAN CARA MEMPEROLEHNYA1
Oleh: Hilman Wahyudi
A. PENGANTAR
Secara antropologi filsafat atau yang lebih dikenal sebagai filsafat
manusia, manusia digelari sebagai makhluk yang bertanya. Tidak seperti makhluk
Tuhan lainnya, manusia adalah makhluk yang secara kodrati tidak hanya mampu
bertanya tentang realitas eksternal di luar dirinya, melainkan juga mampu
mempertanyakan (hakikat) dirinya sendiri.
Terkait dengan kodratnya sebagai makhluk yang bertanya itu, tidaklah
aneh kiranya jika (sebagian) manusia bertanya dan berupaya untuk menemukan
jawaban tentang realitas yang dialaminya sehingga pada titik tertentu ia
menemukan kepuasan. Namun ternyata, kepuasan tersebut bukanlah hal yang
mampu mengakhiri lahirnya pertanyaan-pertanyaan lain sebagai kelanjutan dari
apa yang telah ditemukan jawabannya pada waktu sebelumnya.
Di antara tak terhitungnya jumlah pertanyaan yang selalu muncul dalam
tiap generasi manusia adalah pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan kata
‘tahu’, ‘pengetahuan’, dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan? Dalam
kerangka menemukan jawab atas ketiga hal di atas, penulis telah menelusuri
beberapa literatur filsafat yang terkait dengan ketiganya. Hasil penelusuran itu
akan penulis paparkan dalam pemaparan berikut ini.
B. TITIK TEMU ANTARA FILSAFAT DENGAN FILSAFAT ILMU
(SAINS)
Sebelum masuk pada pemaparan tentang “tahu, pegetahuan, dan cara
memperolehnya”, penulis pikir amat perlu untuk mengkaji secara sekilas
hubungan antara filsafat dan filsafat ilmu. Dengan demikian kita akan
1 Makalah ini dipresentasikan dalam kuliah tatap muka Filsafat Ilmu yang diampu oleh Nina Nurmila Ph.D di PPs S. 2 UIN Sunan Gunung Djati Bandung Konsentrasi Ilmu Pendidikan Islam pada hari Rabu, 19 September 2012.
1
mendapatkan peta yang jelas tentang posisi ‘pengetahuan’ yang dikaji dalam
makalah ini.
Dalam kajian filsafat terdapat tiga masalah pokok yang terus berkembang.
Ketiga hal tersebut adalah masalah: ada, pengetahuan, dan nilai.2 Pertama, ‘ada’
adalah wilayah yang mengkaji hakikat sesuatu. Wilayah ‘ada’ ini terbagi menjadi
dua disiplin yakni: ontologi dan metafisika. Christian Wolff memberi demarkasi
antara ontologi dan metafisika secara tegas.3 Menurutnya ontologi bergulat di
wilayah ‘ada’ yang bersifat empirik; Sementara metafisika menggeluti ‘ada’ dari
aspek yang melampaui hal-hal empirik.
Kedua, wilayah pengetahuan. Wilayah ini memiliki empat disiplin filsafat,
yakni: epistemologi, filsafat ilmu pengetahuan (sains), metodologi, dan logika.
Epistemologi— para pakar filsafat, biasa menyebutnya sebagai teori
pengetahuan-- mengkaji hakikat pengetahuan dari empat segi, yaitu: sumber
pengetahuan, batasan pengetahuan, struktur pengetahuan, serta keabsahan
(validitas) pengetahuan. Filsafat sains merupakan cabang filsafat yang mengkaji
ilmu pengetahuan dari sisi ciri-ciri dan cara memperolehnya.4 Dengan pendapat
yang hampir sama, Irmayanti M. Budianto menyebutkan bahwa refleksi terhadap
filsafat ilmu pengetahuan adalah mengkaji secara kritis ciri dan cara kerja ilmu
pengetahuan. 5 Metodologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji metode-
metode yang digunakan dalam dunia ilmiah (scientific). Sedangkan, logika adalah
cabang filsafat yang mengkaji azas-azas berpikir secara lurus dan tertib.
2 Donny Gahral Adian. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju. hlm. 53 Ibid.4 Selain ciri-ciri dan cara memperolehnya, dewasa ini filsafat sains juga mengembangkan kajian ke wilayah aksiologis. Di antaranya mengkaji persoalan nilai sains (subjektif atau objektif) dan tanggung jawab moral ilmuwan. Hal terakhir ini telah menjadi bagian inhern dalam konsep pengembangan ilmu di masa kejayaan Islam, sebagai inspirasi kemajuan sains Barat positivistik. Pada saat dunia Barat mengembangkan sains positivstik mulai abad 18an, wilayah aksiologis ini menjadi persoalan yang terlepas dari konsep pengembagan sains. 5 Irmayanti M. Budianto. 2002. Realitas dan objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra. hlm. 21
2
ADA
ETIKA
ESTETIKA
FILSAFAT ILMU
EPISTEMOLOGI
METODOLOGI
LOGIKA
ONTOLOGI METAFISIKA
NILAI
PENGE-TAHUAN
Ketiga, wilayah nilai. Wilayah ini memiliki dua disiplin filsafat yakni etika
yang merefleksikan nilai moral (baik-buruk) dan estetika yang merefleksikan
nilai-nilai estetis (indah-tidak indah).
Gambar 1.
Sistematika Filsafat
Pemaparan singkat di atas, mengantarkan kita pada pemahaman bahwa
titik temu antara filsafat dan filsafat ilmu adalah pada wilayah pengetahuan, lebih
tepatnya pada titik epistemologi. Dikatakan demikian karena filsafat ilmu-- yang
mendalami ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan itu-- beririsan sangat erat dengan
keempat segi yang didalami oleh epistemologi.
Salah satu permasalahan epistemologi yang cukup merebut perhatian para
pakar filsafat ilmu adalah persoalan mendasar tentang tahu dan pengetahuan. Oleh
karenanya, tidak sedikit buku atau dokumen lainnya yang bertema epistemologi
dan filsafat ilmu memberi ruang penjelasan tentang pengetahuan.
C. PENGERTIAN ‘TAHU’
Berdasarkan penelusuran penulis, literatur yang memberikan definisi
‘tahu’ kemudian membedakannya dengan ‘pengetahuan’, sulit untuk ditemukan.
Kebanyakan, para penulis buku tentang epistemologi dan filsafat ilmu tidak
3
membedakan definisi ‘tahu/ mengetahui’, dan ‘pengetahuan’. Hal seperti ini bisa
kita baca dalam karya A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua.6 Dalam karyanya
tersebut, mereka mengidentikkan ‘tahu’ dengan ‘pengetahuan’. Justru yang
menurut mereka perlu dibedakan secara tegas adalah persoalan pengetahuan
dengan keyakinan.
Pada salah satu bab dari buku karya Keraf dan Dua disebutkan tentang 4
jenis tahu, yaitu: tahu bahwa, tahu mengenai/ atas, tahu bagaimana, dan tahu
mengapa. Kategori ‘tahu mengapa’ ini, dianggap oleh penulisnya sebagai
pengetahuan yang paling mengagumkan karena dipandang sebagai jenis ‘tahu’
yang paling reflektif.
Di antara terbatasnya literatur yang menjelaskan definisi ‘tahu’ itu, penulis
beruntung memilki bahan ajar filsafat ilmu untuk mahasiswa S.1 PAI UIN
Bandung yang ditulis Tedi Priatna. Di sana dikemukakan bahwa yang dimaksud
dengan ‘tahu’ adalah keadaan seseorang memiliki arsip informasi dalam
memorinya (otak/ hatinya). ‘Tahu’ diartikan juga sebagai mengenal sesuatu
setelah mengamati atau menemukan dalam kenyataan.7 Sayangnya, di sana tidak
dicantumkan sumber pengambilan (referensi) definisi tersebut sehingga
menyulitkan penelusuran lebih lanjut.
Ada juga sebagian pendapat yang menyatakan bahwa tahu adalah mengerti
sesudah melihat.8 Selintas, pendapat tersebut nampak benar, namun jika dipikir
lagi lebih dalam, kita akan temukan kekeliruannya. Pendapat tersebut hanya
merujuk kata ‘tahu’ hanaya pada hal-hal yang inderawi. Padahal tahu-nya manusia
ini tidak terbatas pada hal yang inderawi saja. Manusia bisa tahu sesuatu tanpa
6 Sonny Keraf, A. dan Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
7 Tedi Priatna. 2008. Filsafat Ilmu: Dasar untuk Penelitian (Hand out mata kuliah S.1 PAI UIN Bandung). Tidak dipublikasikan. Apabila kita sepakat dengan definsi ‘tahu’ yang disampaikan Tedi, hal yang harus dicermati dari definisi ‘tahu’ di sini adalah bahwa ‘kenyataan’ perlu dimaknai seluas-luasnya, tidak dibatasi pada wilayah rasional dan empirik saja. Sehingga tidak menutup pengetahuan di luar wilayah rasional empirik untuk masuk ke dalam kategori ‘tahu’ ini.
8 Definisi tahu seperti ini banyak dikutip di tulisan-tulisan yang tersebar di internet. Seperti dalam ’artikata.com’, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan banyak tulisan yang mengutip Notoatmojo.
4
pernah melihat sesuatu itu terlebih dahulu. Misalnya, dengan manusia memikirkan
objek yang belum ada secara inderawi, manusia bisa tahu sesuatu bahkan
menjadikan hasil pikirannya itu sebagai sesuatu yang baru di dunia inderawi.
Contohnya, Dulu sebelum abad modern muncul, manusia tidak tahu apa yang
disebut sepeda baik dalam arti konsep maupun bentuk nyatanya. Namun setelah
pikiran manusia maju dan berkembang, manusia mampu berpikir tentang sepeda
bahkan mewujudkan pikirannya itu dalam bentuk sepeda yang kongkret. Jadi,
definisi tahu seperti yang diajukan artikata.com, KBBI, Notoatmojo adalah
definisi yang dangkal sekali, tidak koheren.
Persoalan kemudian adalah dari mana munculnya? Untuk menjawab
persoalan inirannya , Gazalba menyatakan bahwa tahu adalah hasil dari kenal,
sadar, insaf, mengerti, dan pandai.9 Dengan jalan itulah ‘tahu’ menjadi bagian dari
subjek-yang-tahu.
D. DEFINISI PENGETAHUAN
Jika pada bagian sebelumnya kita melihat perbedaan para ahli dalam
mendefinisikan ‘tahu’, pada bagian ini akan kita lihat perbedaan yang lebih
variatif lagi tentang ‘pengetahuan’. Pengetahuan yang sering dipergunakan orang
Indonesia dalam keseharian ternyata membawa persoalan besar jika akan
dipergunakan dalam wilayah kajian akademis. Dalam pemaknaannya, istilah ini
pada satu sisi dipengaruhi bahasa Arab, ‘ilmu. Di sisi lain dipengaruhi oleh bahasa
Inggris, knowledge.
Tetkala orang Indonesia yang dipengaruhi— baik sadar maupun tidak
sadar—oleh khazanah bahasa Arab saja, kata ‘ilmu seringkali merujuk kepada dua
pengertian pengetahuan, yakni: pertama pengertian pengetahuan dalam arti
seluruh jenis pengetahuan yang diketahui dan dikembangkan manusia (mistik,
filsafat, seni, sains). Kedua, ‘ilmu dalam arti pengertian pengetahuan khusus yang
rasional dan empirik (science/ sains). Jadi dalam benak orang Indonesia yang
terpengaruh oleh Bahasa Arab ini tidak ada pembedaan— bukan perbedaan—
9 Sidi Gazalba. 1992. Sistematika Filsafat. Cet. 1. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 104
5
penggunaan istilah bagi ilmu dalam arti luas dengan ilmu khusus yang di dunia
Barat dikenal dengan sebutan science.
Bagi kelompok orang yang dipengaruhi oleh khazanah bahasa Arab dan
Inggris sekaligus atau oleh khazanah Bahasa Inggris saja, biasanya mereka akan
merujuk langsung makna pengetahuan itu dari kata ‘knowledge’. Secara semantik,
knowledge ini bermakna pengetahuan dalam arti luas yang mencakup keseluruhan
jenis pengetahuan manusia. Term ini jelas membuat garis demarkasi dengan term
science, yang khusus menggambarkan pengetahuan dengan ciri rasional dan
empirik. Istilah science sendiri oleh kelompok ini seringkali diterjemahkan
sebagai ilmu pengetahuan, sebuah frasa yang dibuat untuk membedakan science
dari pengetahuan dalam arti luas. Untuk memudahkan pemahaman, tidak jarang
juga ‘science’ diterjemahkan juga ke dalam kata ‘sains’. Dalam khazanah yang
kedua inilah penulis membahas pengetahuan.
Dari beragam literatur epistemologi atau filsafat ilmu, penulis menemukan
perbedaan pandangan menarik tentang pengetahuan. Bukan hanya tentang
sumber, jenis, atau cara memperolehnya, perbedaan itu sudah dimulai ketika para
ahli memperbincangkan definisi pengetahuan. Pendefinisian term itu ada yang
bersifat amat sederhana tapi ditemukan juga yang rumit karena secara inhern
definisi tersebut sudah mengandaikan adanya hubungan subjek-objek dalam
pencapaiannya.
Ahmad Tafsir— baik dalam buku-bukunya maupun secara lisan di forum-
forum ilmiah-- merupakan pakar yang berpendapat secara tegas bahwa definisi
pengetahuan itu amat sederhana, yaitu segala sesuatu yang diketahui manusia,
titik.10 Pendapatnya ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Jujun S.
Suriasumantri, yang menyatakan bahwa pengetahuan itu pada hakikatnya
merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu.11
10Ahmad Tafsir. 2004. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Rosdakarya.
11 Jujun S. Suriasumantri. 2001. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. hlm. 104
6
Pendefinisian semacam itu dilakukan juga oleh Tedi Priatna dengan
mengemukakan bahwa pengetahuan adalah segala hal yang kita ketahui tentang
suatu obyek tertentu.12
Pendefinisian secara sederhana namun agak berbeda dari pendapat A.
Tafsir diberikan oleh Gazalba. Ia mengartikan pengetahuan sebagai sebagai semua
milik atau isi pikiran.13 Namun pendefinisian yang cukup mengejutkan otak untuk
berpikir lebih keras adalah pendefinisian yang dilontarkan oleh Pranarka. Ia
berpendapat bahwa pengetahuan adalah suatu persatuan antara subjek dan objek:
dengan mengetahui, subjek menjadi manunggal dengan objek dan objek menjadi
manunggal dengan subjek. Kemanunggalan ini adalah kemanunggalan yang
sungguh mendalam; maka pengetahuan bukan sekedar pertemuan antara subjek
dengan objek, akan tetapi sungguh merupakan suatu persatuan. Ada terjadi suatu
intrinsic union dan bukan sekedar extrinsic union antara subjek dan objek.14
Lebih lanjut ia menyatakan: “Pengetahuan pada hakikatnya akan selalu
bersifat relasional, artinya berada di dalam kesehubungan antara subjek dan
objek, dan relasi ini bukanlah apa yang disebut relasi extrinsic, melainkan suatu
relasi intrinsic. Maka dari itu pengetahuan bukanlah sekedar suatu hubungan
yang iuxta positif antara subjek dan objek, bukan sekedar pertemuan antara subjek
dan objek.”15
Al-Ghazali (tt: 7-12) mengartikan pengetahuan sebagai hasil aktivitas
mengetahui, yakni: tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak
ada keraguan terhadapnya. Menurut al-Ghazalli, jiwa yang tidak ragu terhadap
apa yang diketahui menjadi syarat mutlak diterimanya pengetahuan.16
E. HAKIKAT REALITAS DAN PENGETAHUAN
12 Tedi Priatna. op.cit.13 Sidi Gazalba. op.cit.14 Pranarka, A.M.W.. 1987. Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta: CSIS. hlm. 36
15 Ibid.16 Cecep Sumarna. 2008. Filsafat Ilmu. Cet. Ke-3. Bandung: Mulia Press. hlm. 106
7
Perbincangan mengenai definisi pengetahuan di atas merupakan gambaran
kecil saja dari perdebatan tentang tema besar hakikat pengetahuan. Perdebatan
tentang hakikat pengetahuan sebenarnya telah terjadi sejak kaum sophis17
meragukankan kemungkinan manusia memperoleh pengetahuan dilanjutkan
dengan lahirnya zaman yunani klasik sekitar abad 500 SM. Pada masa itu terjadi
perdebatan seputar hakikat realitas yang berimplikasi pada perdebatan hakikat
pengetahuan. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan didadarkan secara singkat
pandangan-pandangan tentang hakikat pengetahuan tersebut.
1. Idealisme
Idealisme berasal dari kata dasar ‘idea’.18 Faham filsafat yang dibangun oleh Plato
ini adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa ‘Yang nyata’ (the real) ada di
dunia idea. Apa pun yang tampak oleh alat indera alah semu, bayangan dari yang
ada di alam idea. Secara sederhana faham ini berpendapat bahwa semua entitas
yang berada di luar dunia idea bukanlah kenyataan hakiki. Dengan begitu, realitas
bagi Plato terdiri atas realitas sejati dan realitas tiruan.19
Berdasar pada pandangan ontologis aliran idealisme ini, kita bisa melihat
bahwa idealisme menganggap mustahil untuk mendapatkan pengetahuan yang
bersesuaian dengan kenyataan inderawi karena kenyataan semacam itu adalah hal
semu (palsu), yang tidak patut dijadikan sebagai fondasi pengetahuan dan
kebenaran.
17 Secara etimologis, sophis berarti orang bijaksana. Akan tetapi dalam perkembangannya kaum yang muncul sebelum zaman Yunani Klasik ini mendapatkan stigma yang buruk sebagai kaum relativis yang anarkis. Mereka tidak meyakini kebenaran tunggal. Bagi mereka kebenaran itu diukur oleh subjeknya, manusia. Maka kebenaran itu bersifat subjektif dan relatif. Cikal bakal pluralisme kebenaran nampaknya dimulai dari kaum ini. Karena menganggap bahwa manusia adalah tolak ukur kebenaran, maka sebagian pakar filsafat menganggap kaum sophis ini sebagai kaum humanis. 18 Idea di sini bukanlah ide atau gagasan dalam pikiran seperti yang kita fahami saat ini. Idea-nya Plato ini dilukiskan sebagai sebuah dunia khayal yang melampaui dunia fisik tempat segala hal yang berada di dunia ini berasal. Jadi, dunia idea berada ‘di atas’ atau di luar otak manusia akan tetapi hanya bisa diketahui/ dikenali melalui akal manusia dengan proses yang disebut proses anamnesis/ remembrance (pengingatan kembali). Bisa dikatakan, dunia idea ini merupakan blue print dari alam fisik beserta isinya.19 Lihat: Bagus Takwin. 2008. Akar-akar Ideologi. Yogyakarta: Jalasutra
8
Pengetahuan bagi kaum idealis adalah proses-proses mental atau proses
psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu pengetahuan bagi seorang
idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang
realitas.20 Dianggap subjektif karena ditinjau dari sudut orang yang membuat
gambaran tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan menurut aliran ini tidak
menggambarkan kebenaran hakiki.
2. Realisme
Realisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa yang nyata adalah
yang segala hal yang real dalam arti terindera. Berbeda dengan idealisme, aliran
yang dikonstruk oleh Aristoteles— yang nota bene merupakan murid Plato
sendiri-- ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut
realisme adalah gambaran atau kopian yang sebenarnya dari apa yang ada dalam
alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam
akal adalah kopi dari hasil yang ada di luar akal. Hal ini tak ubahnya seperti
gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat
bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.21
Terkait dengan istilah ide, Aristoteles berbeda pendapat dengan gurunya.
Ia menyamakan ide dengan konsep dan gagasan. Jadi ide itu tidak berada di luar/
melampaui diri manusia, melainkan ada dalam diri manusia sendiri. Adapun
proses lahirnya ide ini bisa dideskripsikan sebagai berikut:
Gambar 2
Proses lahirnya lde menurut Realisme
Terkait dengan aliran-aliran yang berbicara tentang hakikat pengetahuan,
Pranarka menyebutkan tiga aliran besar yang satu sama lain berbeda. Pertama,
20 Amsal Bakhtiar. 2008. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. hlm. 96
21 Ibid. hlm. 94
9
Objek Eksternal
Penginderaan
Ide (makna tentang
objek yang diindera)
nominalisme. Aliran ini berpendapat bahwa hakikat pengetahuan adalah
pertemuan antara subjek dengan objek. Bagi kaum nominalis: di dalam pertemuan
itu terjadinya pengetahuan karena adanya objek, dan subjek hanyalah memberi
nama kepada objek-objek tersebut. Kedua, konseptualisme. Kelompok kedua ini
masih menganggap bahwa pengetahuan adalah pertemuan antara subjek dengan
objek. Perbedaannya dengan nominalis, kaum konseptualis menganggap bahwa
yang menentukan dalam pertemuan itu adalah konsep-konsep dari intelek
manusia. Ketiga, realisme-kritis atau realisme moderat. Kaum yang ketiga ini
sangat berbeda pandangan dengan nominalis dan konseptualis dalam memahami
pengetahuan. Realisme-kritis menganggap bahwa pengetahuan itu bukanlah
sekedar pertemuan antara subjek dengan objek, melainkan sebentuk persatuan
(kemanunggalan) antara subjek dengan objek.22
Pernyataan bahwa pengetahuan adalah persatuan antara subjek dan objek
ternyata tidak sederhana implikasinya. Ia harus membicarakan hubungan antara
subjek dan objek tersebut, dan di balik ini terkandung permasalahan antara
materialisme dan imaterialisme, dimensi material dan dimensi spiritual, induksi
ataukah deduksi, objektif ataukah subjektif, kriteria kebenaran dan masalah
kebenaran itu sendiri.23
F. CARA MEMPEROLEH PENGETAHUAN
Setelah pembicaraan tentang hakikat pengetahuan yang bersifat ontologis,
pada bagian ini akan dibicarakan beberapa pemikiran yang membicarakan cara
memperoleh pengetahuan. Ranah ini biasanya dikategorikan sebagai bagian dari
epistemologi.
Pada dasarnya manusia memperoleh pengetahuan dengan memaksimalkan
potensi-potensi kemanusiaannya, baik itu yang rasio, penginderaan, maupun
potensi batiniahnya. Potensi-potensi kemanusiaan ini pada gilirannya akan
melahirkan variasi pengetahuan sesuai dengan karakter masing-masing setelah
22 Pranarka, A.M.W.. 1987. Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta: CSIS. hlm. 36-37.23 Ibid. Hlm. 37
10
menggunakan prosedur dan teknik yang khas. Mengingat prosedur dan teknis
pemerolehan pengetahuan itu cukup banyak, maka pada bagian ini hanya akan
membahas cara memperoleh pengetahuan pada level filosofis saja.
1. Rasionalisme
Aliran ini beranggapan bahwa akal (rasio) adalah dasar kepastian
pengetahuan. Artinya, pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur melalui akal.
Rasionalisme tidak menafikan kegunaan alat indera dalam memperoleh
pengetahuan. Kegunaan indera bagi rasionalis adalah sebagai perangsang akal
dana memberikan bahan-bahan bagi akal untuk bekerja mengolah data yang
diterima indera. Akan tetapi keputusan tentang pengetahuan itu tetap ada pada
rasio, bukan pada indera.24 Menurut aliran ini, rasio memiliki kemampuan untuk
mengetahui struktur-struktur dasar alam dunia ini secara apriori.25
Rasionalisme mengidealkan cara kerja deduktif dalam memeperoleh
pengetahuan. Pengetahuan manusia tentang dunia merupakan hasil deduksi dari
kebenaran-kebebaran apriori yang diketahui secara jernih dan gamblang oleh akal
manusia. Pengalaman inderawi selalu dicurigai karena selalu berubah, tidak pasti
sehingga tidak memberi landasan yang kokoh bagi pengeahuan.26
2. Empirisisme
Empirisisme berakar dari kata ‘emepeiria’ yang berarti pengalaman. Aliran
in berlawanan secara diametral dengan rasionalisme dalam anggapannya tentang
sumber dan penjamin kebenaran pengetahuan. Empirisisme memandang bahwa
hanya pengalamanlah sumber pengetahuan manusia sekaligus penjamin kepastian
kebenaran pengetahuan. Karena sumber pengetahuan adalah pengalaman
inderawi, maka metode yang diajukan kaum ini adalah metode verifikasi-induktif.
Dalam perkembangannya di abad ke-20, empirisisme tidak hanya
menerima pengalaman inderawi sebagai sumber pengetahuan. Empirisisme abad
itu memaknai pengalaman lebih luas lagi, dari yang awalnya hanya menerima
24 Amsal Bakhtiar. Op.cit. hlm. 10325 Donny Gahral Adian. Op.cit. hlm. 4326 Ibid. Hlm. 44
11
pengalaman inderawi sebagai penjamin kebenaran pengetahuan menuju kepada
pemaknaan pengalaman yang berasal dari berbagai jenis peristiwa yang dialami
manusia sebagai makhluk yang bertubuh serta punya cipta, rasa, dan karsa dalam
interaksinya dengan objek-objek dalam lingkungan sekitarnya.27
3. Intuisionisme
Intuisionisme adalah aliran yang seringkali disandarkan kepada Henry
Bergson, seorang filsuf asal Perancis yang berpengaruh besar terutama pada abad
ke-20. Menurut Bergson intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Baginya, intuisi merupakan hasil evolusi pemahaman yang
tertinggi. Kemampuan ini mirip insting akan tetapi berbeda dalam hal kesadaran
dan kebebasannya. Bergson juga menyatakan bahwa intuisi adalah pengetahuan
langsung, mutlak, dan bukan pengetahuan yang nisbi (relatif).28 Analisa, atau
pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat
menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme
Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di
samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian, data yang
dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping
pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan.29
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkari nilai pengalaman
inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme--
setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-- hanya mengatakan bahwa pengetahuan
yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang
nisbi-- yang meliputi sebagian saja-- yang diberikan oleh analisis.30
4. Iluminasionisme
27 Ibid. Hlm. 4928 Amsal Bakhtiar. op.cit. hlm 10729 http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi30 Ibid.
12
Aliran ini mirip dengan aliran intuisionisme. Biasanya iluminasi
berkembang di kalangan ulama atau tokoh agama. Dala dunia Islam, aliran ini
biasa disebut dengan aliran ma’rifah yang berarti penegtahuan yang datang ari
Tuhan dengan jalan pencerahan atau penyinaran. Pengetahuan jenis ini akan
diperoleh oleh orang yang hatinya telah bersih, telah siap, dan sanggup menerima
penegtahuan tersebut. Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung itu
diperoleh dengan cara latihan (riyadhoh).31 Jadi, seperti halnya pengetahuan
intuitif, pengetahuan iluminatif ini didapatkan secara langsung melalui hati
(dzauq), bukan melalui rasio atau pun penginderaan.
5. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan Allah kepada manusia
melalui perantaraan para nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan langsung dari
Tuhan tanpa upaya, tanpa susah payah, tanpa memerlukan waktu untuk
memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta.
Tuhan mensucikan-nya. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya
pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran denganjalan wahyu.32
G. PENUTUP
Demikian hasil penelusuran penulis atas literatur mengenai hakikat tahu
dan pengetahuan serta cara memperolehnya. Dari penelurusuran tersebut penulis
menemukan bahwa dua kata yang sederhana, tahu dan pengetahuan, ternyata
menimbulkan implikasi konsep filosofis yang justru tidak sederhana. Berbicara
tentang pengetahuan secara filosofis ternyata akan mengantarkan kita pada
perdebatan tentang hakikat kenyataan, sumber pengetahuan, relasi subjek-objek
dalam pembentukan pengetahuan, deduksi dan induksi, standar keabsahan
pengetahuan sekaligus penjamin kebenarannya, dan implikasi lainnya yang tidak
terangkum dalam makalah singkat ini. Hal penting yang penulis simpulkan setelah
31 Amsal Bakhtiar. op.cit. hlm. 108 32 Ibid. hlm. 109-110
13
pemaparan makalah ini adalah bahwa pendefinisian tentang pengetahuan akan
sangat dipengaruhi oleh school of thought (madzhab) filosofisnya, baik pada
wilayah ontologis maupun epistemologis.
REFERENSI
1. A.M.W. Pranarka. 1987. Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta: CSIS.2. A. Sonny Keraf & Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: Kanisius.3. Ahmad Tafsir. 2004. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: Rosdakarya.4. Cecep Sumarna. 2008. Filsafat Ilmu. Cet. Ke-3. Bandung: Mulia Press.5. Donny Gahral Adian. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David
Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju.6. Irmayanti M. Budianto. 2002. Realitas dan objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara
Kerja Ilmiah. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra.7. Jujun S. Suriasumantri. 2001. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.8. Sidi Gazalba. 1992. Sistematika Filsafat. Cet. 1. Jakarta: Bulan Bintang.9. Tedi Priatna. 2008. Filsafat Ilmu: Dasar untuk Penelitian (Hand Out Mata Kuliah S.1
PAI UIN Bandung).10. http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi
14