tafsir sufi · web viewal-ghazali, abi hamid muhamamd bin muhammad, ihya ‘ulul al-din, (beirut;...
TRANSCRIPT
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
TAFSIR SUFII. PENDAHULUAN
Perkembangan sufisme yang kian marak di dunia Islam ditandai oleh
praktik-praktik asketisme dan askapisme yang dilakukan oleh generasi awal
Islam. Hal ini dimulai sejak munculnya konflik politis sepeninggal nabi
Muhammad SAW. Praktik seperti terus berkembang pada masa berikutnya.
Seiring berkembangnya aliran sufi. Merekapun menafsirkan alqur’an
sesuai dengan faham sufi yang mereka anut. Pada umumnya kaum sufi
memahami ayat-ayat alqur’an bukan sekedar dari lahir yang tersurat saja.
Namun mereka memahaminya secara bathin atau yang tersirat.
II. PEMBAHASANA. Pengertian Tafsir Shufi Tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi.1 Sesuai dengan
pembagian dalam dunia tasawwuf tafsir ini juga dibagi menjadi dua yaitu
tafsir yang sejalan dengan tashawwuf an Nazhari disebut Tafsir al Shufi
al Nazhri, dan yang sejalan dengan tashawwuf amali disebut tafsir al
faidhi atau tafsur al isyari.
B. Sejarah lahirnya Tafsir ShufiPara sufi umumnya berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW
yang berbunyi:
مطلع حد ولكل حد حرف ولكل وبطن ظهر اية لكل“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki
batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk
melihatnya.”
Hadits di atas, adalah merupakan dalil yang digunakan para sufi
untukmenjustifikasi tafsir mereka yang eksentrik. Menurut mereka di balik
makna zahir, dalam redaksi teks Al-Qur’an tersimpan makna batin.
1 Prof. Dr. Moh Quraish Shihab. At all. 2001, Sejarah & Ulum al qur’an, Pustaka Firdaus: Jakarta ,halaman 180
30
Mereka menganggap penting makna batin ini. Nashiruddin Khasru
misalnya, mengibaratkan makna zahir seperti badan, sedang makna
batin seperti ruh; badan tanpa ruh adalah substansi yang mati.2 Tidak
heran bila para sufi berupaya mengungkap makna-makna batin dalam
teks Al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu bukanlah
unsur asing (Gharib), melainkan sesuatu yang inheren dengan Al-Qur’an.
Tafsir sufi menjadi eksentrik karena hanya bisa ditolak atau
diterima, tanpa bisa dipertanyakan. Tafsir tersebut tidak bisa menjawab
dua pertanyaan; mengapa dan bagaimana? Misalnya, ketika al-Ghazali
menafsirkan potongan ayat (QS:20;12) ( نعليلك yang secara zahir ( فاخلع
“tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut al-Ghazali makna
batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa) kedua alammu, baik
alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan
keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi, tai carilah
wajah Allah semata”.3 Kita boleh setuju atau tidak dengan penafsiran
seperti ini. Tapi kita tidak akan memperoleh penjelasan yang memadai
tentang mengapa penafsirannya seperti ini? Dan bagaimana al-Ghazali
bisa sampai pada penafsiran yang seperti ini? Kita hanya bisa menerima
atau menolaknya, tanpa bisa mempertanyakan penalaran di balik
penafsiran tersebut.
Tidak ada penalaran yang jelas yang menghubungkan antara
nash Al-Qur’an dengan tafsir batin yang dikemukakan oleh para sufi
kecuali para sufi iut melihat nash Al-Qur’an sebagai isyarat bagi makna
batin tertentu. Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut dengan tafsir
isyari4, yang pengertiannya menurut versi Al-Zarqani adalah “menafsirkan
2 Ahmad al-Syurbasi, Qishashah al-Tafsir (Beirut: Dar-al0Jayl, 1988), h. 893 Ibid h.964 Ada yang menyamakan kedua istilah tersebut dan ada pula yang membedakannya. Al-Zarqani berpendapat bahwa kedua istilah itu sama, yaitu menunjuk pada tafsir yang dikemukakan oleh kaum sufi. Sementara ‘Ali Iyazi membedakan keduanya berdeasarkan tingkat apresiasinya terhadap makna zahir Al-Qur’an. Tafsir yang hanya mementingkan makna-makna batin Al-Qur’an dan mengabaikan makna zahirnya adalah tafsir sufi. Sedangkan tafsir yang menggali makna-makna batin Al-Qur’an tanpa mengabaikan makna zahirnya adalah tafsir isyari. Namun pendapat ini tidak popular. Lihat: Muhammad Abd l-Azim al-Zarqani, Manabil al-Irfan fi al-‘Ulul al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), V.2 h.79 Muhammad ‘ali Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
31
Al-Qur’an tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna batin,
karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun
demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna
zahirnya.
Jadi, isyarat-isyarat Al-Qur’anlah yang direnungkan oleh para
sufi, sehingga mereka sampai pada makna batin Al-Qur’an. Dan
disinilah letak masalahnya, karena isyarat sangat rentan untuk disalah-
tafsirkan atau disalahgunakan. Misalnya, penyalahgunaan yang
dilakukan oleh kaum Bathiniyah.5 Dengan dalih bahwa di balik makna
zahir Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir
batin yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri. Misalnya saja
ketika mereka menafsirkan surat al-Hijr ayat 99 (QS.15:99) ( حتى ك رب واعبد
اليقين ( ياتيك . Menurut pendapat jumhur, ayat itu berarti “sembahlah
Tuhanmu sampai ajal tiba”. Namun kaum Bathiniyah mengembangkan
penafsiran sendiri. Menurut mereka makna ayat itu adalah “barangsiapa
telah mengerti makna ibadah, maka gugurlah kewajiban bagnya”.6
Jelas bias kesektariannya sangatlah kental dalam tafsir kaum
bathiniyah. Dan para sufi mencela penafsiran seperti itu. Walaupun
mereka juga menggali tafsir batin Al-Qur’an, namun para sufi merasa
bahwa tafsir mereka tidaklah sama dengan tafsir kaum Bathiniyah;
Pertama karena penafsiran mereka diperoleh mengalau kasyaf.7 Kedua,
Mu’assash al-Tiba’iyah wa Nasyr Wizarah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1415 H). h.57-61.5 Bathiniyah adalah salah satu sekte (aliran) Syi’ah ‘Ismailiyyah; yaitu mereka yang mengklaim bahwa setelah Ja’far al-Shadiq Imamah jatuh ke tangan anak sulungnya yang bernama Ismail. Ciri utama ajaran Bathiniyah ini adalah menafsirkan aspek lahir ajaran Islam secara batin dan menganggap bahwa segi-segi lahir syar’iy hanya untuk orang-orang awam yang tidak sempurna rohaniya. Sedangkan bagi mereka yang cerdas dan sempurna rohaninya, ritual ibadahnya tidak lagi penting. Lihat: Allamah M.H. Thabaththaba’I, Islam Syi’ah asal Usul dan Perkembangannya, (Jakarta, Pustaka Utama Graffiti, 1993), h.82-86.6 Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur’an Perkenalan dengan Metode Tafsir, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987). H.2227 Kassyaf secara etimologi berarti terbukanya tirai. Kasysyaf adalah tersingkapnya tabir pemahaman seseorang, seakan-akan dia melihat dengan mata kepala sendiri, walaupun pada hakikatnya ia melihat dengan mata batin. Kasysyaf adalah terbukanya rahasia-rahasia pengetahuan yang hakiki. Kasysyaf adalah suatu keadaan yang bersifat individual, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah. Kasysyaf baru diperoleh setelah seseorang betul-betul bertaqwa dan selalu mawas diri. Al-ghazali sering menyebutkan bahwa kasysyaf adalah epistemology pengetahuan yang tertinggi karena kasysyaf berarti terbukanya cahaya-cahaya atau informasi-informasi gaib ke dalam jiwa manusia. Lihat: M. Solihin, Tasawuf Tematik Membedalh Tema-tema Penting Tasawuf, (Bandung: Pustaka
32
karena mereka tidak mengabaikan makna zahir Al-Qur’an sebagaimana
yang dilakukan kaum Bathiniyah. Namun demikian, apakah betul karena
itu, yakni karena berbeda dengan kaum Bathiniyah, sehingga tafsir sufi
steril dari bias sectarian? Masalah ini perlu dielaborasi lebih lanjut.
C. Sekilas tentang SufismeUntuk dapat mengetahui serta mengelaborasi corak serta bias
sectarian dalam tafsir sufi. Perlu kiranya dipaparkan terlebih dahulu
penjelasan singkat tentang sufisme. Karena, tafsir sufi pada dasarnya
adalah tafsir yang dikemukakan oleh para sufi, dan para sufi menjadi sufi
karena sufisme.
Sufisme atau tasawuf8 adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari cara dan jalan tentang bagaimana seorang muslim dapat
berada sedekat mungkin dengan Tuhannya. Intisari dari Sufisme adalah
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia
dengan Allah SWT dengan mengasingkan diri dan berkontempelasi.
Sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan dengan Tuhan,
sehingga seseorang sadar betul baha ia berada di hadirat Tuhan.
Ada banyak variasi cara dan jalan yang diperkenalkan para
ahli sufisme untuk memperoleh tujuan tersebut. Mereka menyebutnya
dengan istilah maqamat, yaitu stasiun-stasiun yang harus dijalani para
sufi untuk sampai ke tujuan mereka. Dari sekian banyak versi maqamat,
yang biasa disebut ialah: tobat-zuhud-sabar-tawakkal-ridha. Kelima
stasiun itu harus ditempuh secara bertahap. Untuk berpindah dari satu
stasiun ke stasiun berikutnya diperlukan waktu dan usaha yang tidak
sedikit. Terkadang seorang sufi harus menyelami satu stasiun selama
Setia, 2003) h.59-618 Ada beberapa teori yang berkembang seputar asal-usul kata sufi, sufisme dan tasawwuf. Menurut teori-teori tersebut kata sufi, sufisme dan tasawwuf berasal dari: (1) ahl al-Suffal, yaitu para sahabat yang menjadi miskin karena hijrah dan tidur di Masjid Nabawi dengan berbantalkan al-Suffah (pelana), (2) shaf, yaitu barisan pertama dalam shalat berjamaah, (3) Shafa, yang berarti suci, (4) Sophos, kata Yunani yang berarti hikmat, dan (5) Shuf, kain wil kasar yang biasa dipakai para sufi. Diantara kelima teori di atas, teori terakhirlah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Lihat: Harun Nasution, Filsafat dan Mitissme dalam Islam, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1999), h.54-55.
33
bertahan-tahun sebelum akhirnya ia merasa mantap dan dapat
berpindah ke stasiun berikutnya.
Mengenai bentuk hubungan dengan Allah SWT, yang
menjadi tujuan para sufi, ada dua buah pendapat utama; monoisme dan
dualisme. Para penganut aliran monoisme berpendapat baha tahap
puncak hubungan seorang sufi dengan Tuhan bersifat manunggal/
monolitik, hubungan ini dapat mengambil bentuk hulul, ittihad atau wihdat
al-wujud.9 Para penganut aliran dualisme berpendapat bahwa hubungan
seorang sufi dengan Tuhan bersifat dulistik. Seorang sufi bisa jadi akan
sangat dekat dengan Tuhan, sehingga tidak ada lagi dinding pemisah
antara dia dengan Tuhan, namun dia tetaplah dia dan Tuhan tetaplah
Tuhan. Bagi aliran dualisme, puncak hubungan seorang sufi dengan
Tuhannya adalah al-Qurb (kedekatan).
Untuk menguraikan jalan dan tujuan sufisme ini, para ahli
tasawwuf menempuh dua jalan yang berbeda. Ada yang menggunakan
Al-Qur’an dan al-Hadits, dan ada pula yang menggunakan filsafat.
Penganut aliran dualisme umumnya menggunakan yang pertama,
karena itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf sunni. Sedangkan
penganut aliran monoisme umumnya menggunakan yang kedua, karena
itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf filosofi.10
9 Ittihad adalah suatu model hubungan di mana sorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata: “Hai aku”. Sedangkan hulul secara etimologi berarti menempati. Artinya Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yang telah lenyap sifat kemanusiaannya. Adapaun wihdah al-wujud berarti kesatuan wujud. Ini berarti seluruh yang ada walaupun kelihatannya banyak namun hakikatnya adalah satu yaitu bayangan Tuhan. Seandainya Tuhan yang menjadi sumber bayang-bayang tidak ada, maka yang lain pun tidak ada. Jadi yang sebenarnya memiliki wujud adalah Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanyalah satu wujud, yaitu wujud Tuhan, sedangkan yang lain hanya merupakan bayang-bayang.10 Klasifikasi ini digagas antara lain oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi. Menurutnya, tasawwuf sunni adalah tasawwuf yang para pengikutnya memagari tasawwuf mereka dengan Al-Qur’an dan al-sunnah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya. Sedangkan tasawwuf filosofi adalah tasawwuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Berbeda dengan tasawwuf sunni, ajaran tasawwuf filosofis menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi tokoh-tokohnya. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), h.140 dan 187.
34
Mahmud Basuni Faudah, menyebut kedua macam aliran
tasawwuf tersebut dengan isitilah tasawwuf teoritis dan tasawwuf praktis.
Tasawwuf teoritis adalah tasawwuf yang didasarkan pada pengamatan,
pembahasan dan pengkajian, dan karena itu mereka menggunakan
filsafat sebagai saranya. Sedangkan tasawwuf praktis adalah tasawwuf
yang didasarkan pada kezuhudan dan asktisme, yakni banyak berzikir
dan latihan-latihan keruhanian. Menurut Faudah, para penganut kedua
aliran ini mendekati Al-Qur’an dengan cara yang berbeda. Karena itu,
produk penafsirannya pun relative berbeda. Ia membedakan keduanya
dengan istilah tafsir sufi nazhari dan tafsir dan tafsir sufi isyari. Tafsir sufi
Nazhari adalah produk sufi teoritis seperti Ibn ‘Arabi. Sedangkan tafsir
sufi Isyari adalah produk sufi praktis seperti Imam al-Naysaburi, al-
Tustari, dan Abu Abdurrahman al-Sulami.11
Sangatlah menarik untuk membandingkan lebih jauh tentang sufi
Nazhari dengan tafsir sufi Isyari ini. Hal ini, mengingat masing-masing
memiliki karakter tersendiri. Tafsir sufi Nazhari adalah produk sufi nota
bene membangun ajaran sufisme di atas landasan filsafat. Karena itu,
sangatlah mungkin ada bias filsafat di dalam tafsir aliran tersebut.
Sedangkan tafsir sufi isyari adalah produk para sufi menganut teologi
Asy’ariyah,12 sehingga besar kemungkinan ada bias Asy’ariyah di dalam
tafsir tersebut. Dan sebagaimana yang akan ditunjukkan oleh makalah
ini, asumsi-asumsi tersebut terbukti benar.
D Bias Filsafat dalam Tafsir sufi NazhariUpaya untuk menemukan bias filsafat dalam tafsir sufi
Nazhari, telah dilakukan oleh Mahmud Basuni Faudah. Ia berhasil
11 Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur’an Perkenalan dengan Metode Tafsir.12 Berdasarkan survey yang dilakukan penulis atas biografi para mufassir Sufi dalam buku al-Mufassrun Hayatuhum wa Manhajum karya ‘ali Iyazi, menunjukkan bahwa seluruh mufassir sufi menganut teologi Asy’ariyah. Belum ditemukan alasan yang memadai untuk menjelaskan fenomena ini. Tesis sementara yang mungkin dapat diajukan adalah adanya kecocokan antara ajaran-ajaran tasawwuf dengan teologi Asy’ariyah yang cenderung fatalistic, sementara teologi lain seperti Mu’tazilah tidak memberikan landasan teologi yang kompatibel dengan ajaran-ajaran tasawwuf karena cenderung menghargai free will.
35
menunjukkan beberapa penafsiran Ibn ‘arabi yang menjadi bukti bahwa
tafsir batin yang dikemukakannya mengandung bias filsafat. Ibn ‘arabi
sendiri adalah seorang sufi yang sangat terpengaruh oleh pandangan
wihdah al-wujud dan filsafat emanasi.
Bias filsafat terlihat ketika Ibn ‘Arabi menafsirkan surat
Maryam ayat 57 (QS.19:57) ( عليا مكانا :yang secara zahir berarti ( ورفعناه
“Dan Kami angkat martabatnya (Idris a.s.) ke tempat yang tinggi”.
Menurut Ibnu ‘Arabi, tempat yang tinggi adalah tempat beredarnya ruh,
alam, dan falak-falak (benda-benda langit) yaitu falak matahari. Disitulah
kedudukan ruhani nabi Idris a.s. Di baahnya terdapat tujuh falak dan di
atasnya juga tujuh falak. Tujuh falak yang ada di atas falak Idris as.
Adalah tempatnya umat Muhammad saw. Penafsiran seperti ini jelas
dipengaruhi oleh filsafat emanasi yang mengajarkan bahwa alam ini
terjadi dari pancaran akal pertama yang kemudian membentuk falak-
falak yang bertingkat-tingkat.13
Bias faham wihdah al-wujud terlihat ketika Ibn ‘arabi menafsirkan
surat al-Nisa ayat 1 (QS.4:1) ( نفس من خلقكم الذي كم رب قوا ات اس الن ها ياأي( واحدة . Secara sahir, ayat tersebut berarti “Wahai sekalian manusia
bertaqwalah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
satu diri (jenis)”. Ibn ‘Arabi menafsirkan ayat ini dengan penafsiran
sebagai berikut: “Bertaqwalah kepada Tuhanmu. Jadikanlah bagian yang
zhahir dari dirimu sebagai penjaga bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian
batinmu yang adalah Tuhanmu itu, sebagai penjaga bagi dirimu. Karena
perkaranya adalah perkara celaan dan pujian. Maka jadilah kalian
pemelihara-Nya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian
dalam pujian, niscaya kalian akan menjadi orang-orang yang paling
beradan di seluruh alam”. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh
faham wihdah al-wujud yang memandang alam ini sebagai
pengejawantahan (ego apresiasi) dari ego potensial yang merupakan
Dzat Tuhan yang hakiki.
13 Tafsir-Tafsir Al-Qur’an Perjalanan dengan Metode Tafsir
36
E. Bias Asy’ariyah dalam Tafsir sufi IsyariDi samping pengaruh-pengaruh di atas, dalam kitab-kitab
tafsir sufi Isyari, bias sectarian juga nampak terlihat. Tafsir-tafsir tersebut
umumnya membela teologi Asy’ariyah. Muhammad Husayn al-Zahabi
misalnya, menyebutkan secara gamblang dalam bukunya, al-Tafsir wa
al-Mufasirun, bahwa al-Naysaburi ketika menafsirkan Al-Qur’an, banyak
menceburkan diri dalam perdebatan teologi sebagai pembela Asy’ariyah.
Al-Zahabi mencontohkan penafsiran al-Naysaburi atas surat al-An’am
ayat 25 (QS. 6:25) yaitu :
( يفقهوه أن ة اكن قلوبهم على Ayat tersebut artinya: “Dan Kami .( وجعلنا
jadikan atas hati mereka penutup untuk memahaminya”. Menurut al-
Nasaburi, ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memalingkan iman
dan menengahi antara seorang hamba dengan hatinya. Kaum Mu’tazlah
berupaya memalingkan ayat ini dari makaha zaharnya, karena tidak
sesuai dengan akidah mereka. Lalu al-Naysaburi memaparkan argumen-
argumen yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah. Setelah itu, ia
mematahkan satu persatu, sambil membela kaum Asy’ariyah.14
Contoh lain, dapat dikemukakan dalam tafsir Ruh al-Ma’ani,
karya al-alusi. Al-alusi menolak pendapat Mu’tazilah dan
mempertahankan Asy’ariyah, ketika ia menafsirkan surat al Kahfi ayat 29
QS. 18:29) : ( فليكفر شاء ومن فليؤمن شاء yang berarti “Barangsiapa ( فمن
yang ingin beriman, beirmanlah dan barangsiapa yang ingin kafir,
kafirlah!”. Menurut al-Alusi, ayat ini tidak menunjukkan adanya free will
dan free act sebagaimana yang diklaim oleh kaum Mu’tazilah. Hal ini,
karena free will dan free act bertentangan dengan dua hal; Pertama, bila
untuk berbuat manusia perlu berkehendak, maka untuk membuat
kehendak manusia juga perlu berkehendak, begitu seterusnya, sehingga
14 Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh al-‘arabiyah, 1396 H/1976 M.) Juz II, cet. II, h. 104
37
akan terjadi proses teologis yang tidak ada ujung pangkalnya. Kedua,
Allah SWT telah berfirman dalam surat al-Insan ayat 30 (QS. 76:30)
( الله يشاء أن إال Ayat ini jelas menunjukkan bahwa segala .( وماتشاؤون
sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Demikianlah menurut al-Alusi.15
F. Kitab-kitab Tafsir Shufi1.Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tutsuri (w.283 H)
2.Haqa’iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412 H)
3.Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an, karya Imam As-Syirazi (w.606 H).
III. KESIMPULAN1. Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih
mementingkan bathinnya lafal daripada lahirnya.
2. Dalam tafsir shufi terdapat dua corak tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari
dan tafsir sufi isy’ari.
3. Tafsir sufi nazhari adalah tafsir produk sufi teoritis, sedangkan tafsir
sufi isyari adalah tafsir produk sufi praktis.
4. Tafsir sufi seharusnya steril dari dimensi sektarianisme, karena ia
diklaim bersumber dari Tuhan yang adalah sumber dari segala
kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
15 Abu al Fadl Mahmud al-alusi, Ruh al-Ma’am fi Tafsir al-Qur’an ‘Azim wa Sab’I al-Matsani, (Beirut, Dar Ihya al-Turats al’arabi, t.th) v.15 h.266
38
Al-alusi, Abu al-Fadl Mahmud, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al’Azim waSab’I al-Masani, (Beirut: Dar Ihya Turas al-‘Arabi, t.th)
Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al-quran Perkenalan dengan Metode Tafsir, (Bandung Penerbit Pustaka, 1987)
Al-Ghazali, Abi Hamid Muhamamd bin Muhammad, Ihya ‘Ulul Al-Din, (Beirut;Dar Ihya Turas Al-‘Arabi)
Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufasirun ayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran:Mu’assasah Tiba’iyah Nasyr Wizarah Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, 1415 H).
Nasution Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1999)
Solihn, M. Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf,(Bandung: pustaka Setia, 2003)
Al-Suyuti, Jalaludin, Al-Itqan fil ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951)
Al-Surbasi, ahmad, Qissah Al-Tafsir, (Beirut: Dar Al-Jayl, 1988)
Al-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghanami, sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung; Penerbit Pustaka, 1997)
Thabathaba’I, Alammah M.H., Islam Syiah Asal Usul dan Perkembangan,(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993)
Al-Zarqani, Muhammad Abd Al-Azim, Manabil Al-Irfan fi Al-‘Ulum Al-Qur’an,(Beirut: Dar Al-Fikr, 1986)
Al-Dzahabi, Muhammad Huseyn, al-Tafsir wa Mufassirun, (Kairo:Mu’assasah at-Tariqh al-‘arabiyah, 1396H/ 1976 M) juz II cet. II h.104
39
TAFSIR SUFI
MATA KULIAH
MADZAHHIBUT TAFSIR WA MANAHIJUHU
Oleh:
Mihdah Wati
Muhammad Hasbi
40
Dosen Pembimbing:
DR. K.H. AHSIN SAKHO MUHAMMAD, MA
PROGRAM PASCA SARJANA
INSITTUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
2008
41