tafsir larangan memilih pemimpin muslim.docx

15
SEP17 Tafsir Ayat Pemimpin, Benarkah Pemimpin Non Muslim Haram? Published By ArifBijaksana under Politik Benarkah memilih pemimpin non muslim haram? Setidaknya begitulah pendapat sebagian kalangan Islam seperti yang mengemuka dalam kisruh isu SARA di pemilukada DKI akhir-akhir ini. Dalil Al-Qur’an yang mereka pakai di antaranya adalah surah Ali Imran 28, Al Ma’idah 51 dan An Nisaa 139 . Dalam terjemahan Indonesia, Al Ma’idah 51 berbunyi : “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Kata “pemimpin-pemimpin” pada ayat di atas adalah terjemahan dari kata auliya’. Pertanyaannya, tepatkah terjemahan tersebut? Coba kita telusuri terjemahan ayat ini dalam bahasa Inggris. Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Qur’an menerjemahkan auliya’ dengan friends and protectors (teman dan pelindung). Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an dan M.A.S Abdel Haleem dalam The Qur’an sama-sama menerjemahkannya dengan allies (sekutu). Bagaimana dengan penerjemah Inggris yang lain? Muhammad Marmaduke Pickthal dalam The Glorious Qur’an mengalihbahaskan kata auliya’ menjadi friends. Begitu juga N.J. Dawood dalam The Koran dan MH. Shakir dalam The Qur’an. Sedangkan berdasar The Qur’an terjemahan T.B. Irving, auliya’ diartikan sebagai sponsors. Anda juga bisa download sendiri terjemahan Quran versi inggris di http://www.islamway.com/SF/quran/data/Th… Walhasil, tak satupun terjemahan Inggris yang saya sebutkan tadi mengartikan auliya’ sebagai “pemimpin.” Dan secara bahasa Arab, versi terjemahan Inggris ini agaknya lebih akurat. Perlu diingat, kata auliya’,

Upload: yoga-septefa-nuris

Post on 08-Apr-2016

67 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: tafsir larangan memilih pemimpin muslim.docx

SEP17Tafsir Ayat Pemimpin, Benarkah Pemimpin Non Muslim Haram?Published By ArifBijaksana under Politik    

Benarkah memilih pemimpin non muslim haram? Setidaknya begitulah pendapat

sebagian kalangan Islam seperti yang mengemuka dalam kisruh isu SARA di

pemilukada DKI akhir-akhir ini. Dalil Al-Qur’an yang mereka pakai di antaranya adalah

surah Ali Imran 28, Al Ma’idah 51 dan An Nisaa 139 .

Dalam terjemahan Indonesia, Al Ma’idah 51 berbunyi : “Hai Orang-orang yang

beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi

pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang

lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka

sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak

memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Kata “pemimpin-pemimpin” pada ayat di atas adalah terjemahan dari kata auliya’.

Pertanyaannya, tepatkah terjemahan tersebut? Coba kita telusuri terjemahan ayat ini

dalam bahasa Inggris. Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Qur’an

menerjemahkan auliya’ dengan friends and protectors (teman dan pelindung).

Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an dan M.A.S Abdel Haleem dalam

The Qur’an sama-sama menerjemahkannya dengan allies (sekutu). Bagaimana dengan

penerjemah Inggris yang lain? Muhammad Marmaduke Pickthal dalam The Glorious

Qur’an mengalihbahaskan kata auliya’ menjadi friends. Begitu juga N.J. Dawood dalam

The Koran dan MH. Shakir dalam The Qur’an. Sedangkan berdasar The Qur’an

terjemahan T.B. Irving, auliya’ diartikan sebagai sponsors. Anda juga bisa download

sendiri terjemahan Quran versi inggris

di http://www.islamway.com/SF/quran/data/Th…

Walhasil, tak satupun terjemahan Inggris yang saya sebutkan tadi mengartikan auliya’

sebagai “pemimpin.” Dan secara bahasa Arab, versi terjemahan Inggris ini agaknya

lebih akurat. Perlu diingat, kata auliya’, bentuk plural dari waliy, bertaut erat dengan

konsep wala’ atau muwalah yang mengandung dua arti: satu, pertemanan dan aliansi;

kedua proteksi atau patronase (dalam kerangka relasi patron-klien).

Page 2: tafsir larangan memilih pemimpin muslim.docx

Q.S Ali Imran : 28

Q.S Al Maidah : 51

Q.S An Nisaa : 139

Karena itulah agak mengherankan ketika dalam terjemahan Indonesia pengertian

auliya’ disempitkan, kalau bukan didistorsikan, menjadi “pemimpin”, yang maknanya

mengarah pada pemimpin politik. Bisa jadi karena kata tersebut dianggap berasal dari

akar kata wilayah, yang memang artinya kepemimpinan atau pemerintahan.

Selintas masuk akal. Tapi kalau kita perhatikan lebih teliti, akan kelihatan bahwa

anggapan ini tidak tepat. Mengapa? Kalau memang kata auliya’ bertolak dari kata

Page 3: tafsir larangan memilih pemimpin muslim.docx

wilayah, mestinya kata itu disertai dengan preposisi `ala. Dengan begitu, kalau QS

5:51 berbunyi ba’dhuhum auliya’ `ala ba’dh, auliya’ pada ayat tersebut bermakna

pemimpin.Tapi ternyata redaksi ayat tersebut berbunyi ba’dhuhum auliya’u ba’dh,

tanpa kata `ala setelah auliya’. Jadi tidak pas kalau akar katanya wilayah. Yang tepat,

seperti sudah saya sebut di atas, adalah wala.’ Singkat kata, penerjemahan auliya’

sebagai pemimpin terbukti tak berdasar.

Lantas bagaimana kita mesti memahami ayat wala’ seperti QS 5:51, QS 3:28, QS :

4:139 yang secara harfiah melarang kaum mu’min untuk menjalin pertemanan dan

aliansi dengan kaum non muslim, apalagi minta perlindungan dari mereka? Apakah ini

larangan yang berlaku mutlak atau situasional? Memahami ayat tersebut secara

leterlek dan berlaku mutlak di manapun dan kapanpun akan sangat bermasalah. Ada

tiga alasan.

Pertama, makna harfiah ayat itu bertentangan dengan ayat lain yang justru

menyatakan kebalikannya. Misalnya ayat yang menghalalkan laki-laki muslim menikah

dengan perempuan Yahudi atau Kristen. Dalam ayat yang sama juga ditegaskan

bolehnya kaum muslim untuk memakan makanan mereka, dan sebaliknya (Q 5:5)

Selain itu, ada juga ayat lain yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang umat Islam

untuk “berbuat baik dan berlaku adil” terhadap pemeluk agama lain yang tidak

memerangi mereka dan mengusir dari tanah kelahiran mereka (QS: 8).

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik (bekerjasama) dan berlaku adil terhadap orang-orang (umat agama lain) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S.Al-Mumtahanah: 8);

Kedua, Nabi sendiri pernah menjalin aliansi dan meminta perlindungan dari kalangan

non Muslim. Kita ingat cerita hijrah para Sahabat ke Abessina (Habasyah) yang saat

itu diperintah oleh seorang raja Kristen. Kisah ini menunjukkan bahwa Nabi pernah

meminta perlindungan kepada non muslim. Ketika di Madinah, Rasulullah memelopori

pakta aliansi dengan komunitas Yahudi kota itu dalam bentuk Piagam Madinah.

Page 4: tafsir larangan memilih pemimpin muslim.docx

Bahkan pada level personal, Nabi bermertuakan orang Yahudi, yakni dari istrinya

Sofiah binti Huyai.

Ketiga, kalau QS 3:28,  QS 5:51, QS : 4:139 dipahami secara tekstual/harfiah dan

mutlak, lalu bagaimana dengan pendirian Republik Indonesia yang dalam arti tertentu

merupakan hasil kerjasama antara kaum muslim dengan pemeluk agama lain? Kasus

lain: bagaimana dengan keterlibatan negara-negara Islam di PBB yang nota bene

terdiri dari banyak negara non muslim sedunia? Bagaimana pula dengan Saudi Arabia,

negara yang tak mungkin berdiri tanpa sokongan dari imperialisme Inggris untuk

menghancurkan Khilafah Utsmaniyah pada awal abad 20? Sampai sekarang pun kita

tahu Saudi mendapat perlindungan dari Amerika Serikat. Bukankah semua itu

termasuk dalam kategori menjadikan non muslim sebagai auliya’? Berarti haram? Oh

alangkah absurdnya jalan pikiran semacam ini!

Karena itulah ayat tersebut mesti ditafsirkan secara kontekstual. Penerapannya pun

tak bisa sembarangan. Di sini ada baiknya saya mengutip Rashid Rida. Menurutnya,

ayat-ayat pengharaman aliansi dengan, dan minta proteksi dari non muslim sejatinya

hanyalah berlaku untuk non muslim yang nyata-nyata memerangi kaum muslim.

Aliansi yang dilarang juga yang nyata-nyata merugikan kepentingan umat Islam

( Tafsir Al Manar, Vol.3, 277).

Pandangan Rida ini juga sejalan dengan pendapat Fahmi Huwaydi, pemikir Islam

kontemporer dari Mesir. Dalam karyanya Muwathinun La Dimmiyyun (Warga Negara,

Bukan Dzimmi) Huwaydi menyatakan bahwa Islam sejatinya tidak melarang umatnya

untuk membangun solidaritas kebangsaan yang berprinsip kesetaraan dengan non

muslim, khususnya Kristen Koptik di Mesir. Ayat wala’/muwalah, di mata Huwaydi,

mestinya tidak dilihat sebagai larangan terhadap solidaritas semacam itu. Ayat 5: 51,

misalnya, sebenarnya diarahkan kepada kaum munafiq yang ternyata membantu pihak

non muslim yang kala itu berperang dengan umat Islam.

Dengan kata lain, QS 3:28 , QS : 4:139, QS 5:51  tidak berlaku secara mutlak, melainkan situasional. Artinya, larangan menempatkan non muslim sebagai sekutu atau protektor hanya berlaku manakala pihak non muslimnya jelas-jelas memerangi umat Islam. Adapun jika mereka tidak seperti itu, maka

Page 5: tafsir larangan memilih pemimpin muslim.docx

berarti larangan tadi otomatis tidak berlaku. Jadi dalam melihat suatu ayat, harus juga melihat asbabun nuzul atau penyebab/kejadian turunnya ayat tersebut. Dari asbabun nuzul tersebutlah kita dalam melihat apakah suatu ayat berlaku dalam segala kondisi ataukah situasional

Menarik untuk dicatat, argumen Rida dan Huwaydi ini sebenarnya bisa dipakai juga

untuk membantah klaim sejumlah kalangan Islam yang bergeming untuk memaknai

kata auliya’ dalam QS 3:28 dan 5:51 dengan bersandar pada terjemahan Indonesia

yang saya kutip di awal tulisan, yakni sebagai “pemimpin.” Dengan demikian, mereka

tetap ngotot untuk mengharamkan memilih pemimpin non-muslim. Terhadap mereka

kita bisa katakan bahwa ayat tersebut tidaklah berlaku mutlak melainkan situasional.

Artinya, larangan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin berlaku manakala si non

muslim tersebut nyata-nyata memerangi umat Islam. Di luar itu, larangan tersebut

tidak berlaku.

Tapi lepas dari itu, kalaupun auliya’ tetap diartikan sebagai “pemimpin,” penerapan

QS 3:28 dan 5:51 untuk konteks Indonesia modern juga salah sasaran. Perlu diingat,

negara kita berbentuk republik yang menerapkan demokrasi langsung, sesuatu yang

sama seklai tidak dikenal dalam sistem politik Islam klasik. Dalam sistem politik Islam

klasik yang lazimnya berbentuk kerajaan, otoritas kepemimpinan yang dipegang

khaliafah didasarkan pada legitimasi kuasa dari Tuhan, bukan dari rakyat. Pemimpin

dianggap sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dengan kekuasan yang absolut.

Tidak ada yang namanya pembagian kekuasaan ala Trias Politica sehingga sang

pemimpin memegang kekuasaan tertinggi dalam ranah legislatif, eksekutif, dan

yudikatif sekaligus. Dengan kata lain, kepemimpinan dengan model “Daulat Tuanku.”

Ini secara diametral berbeda dengan sistem republik yang menganut asas

kepemimpinan bersendi “Daulat Rakyat.” Di sini pemimpin bukanlah pemegang

kedaulatan tertinggi, karena legitimasinya justru berasal dari rakyat yang memberinya

mandat melalui pemilu. Kekuasaannya tidak tak terbatas, karena ia bekerja dalam

sistem demokrasi yang menerapkan pembagian kekuasaan. Dalam sistem semacam ini,

presiden atau gubernur hanyalah pemegang kuasa eksekutif saja alias “hanya”

pelaksana. Sebagai pemimpin, ia hanya berkuasa sepertiga.

Page 6: tafsir larangan memilih pemimpin muslim.docx

Dengan demikian, kalau memang pemimpin non-muslim hukumnya haram, mestinya

penerapannya untuk konteks negara kita bukan hanya berlaku untuk lembaga

eksekutif saja, melainkan juga legislatif dan yudikatif. Ini karena kepemimpinan dalam

sistem republik modern bukanlah bersifat personal melaiankan kolektif dan sistemik.

Tapi kalau itu dilakukan, maka sejatinya yang diharamkan bukan hanya memilih

pemimpin non muslim, melainkan juga bisa mengarah pada pengharaman terhadap

republik kita.

Hal lain, kalau memang dipimpin oleh non Muslim hukumnya haram, bagaimana

dengan umat Islam yang menjadi warga negara di India, Amerika atau Eropa? Apakah

mereka semuanya berdosa hanya karena jadi warga negara di negara-negara yang

dipimpin oleh non muslim? Apakah para pemain bola seperti Zinedine Zidane, Mesut

Oziel, Sami Khedira, Samir Nasri, Ibrahim Afellay, yang semuanya dipimpin oleh

presiden atau perdana menteri non muslim, harus hijrah ke negara orang tuanya

masing-masing di Timur Tengah?

Dengan paparan di atas, saya ingin menunjukkan bahwa wacana pengharaman

pemimpin non-muslim bukan hanya berbahaya karena membawa kita berkubang dalam

isu SARA yang berpotensi memecah belah Indonesia. Yang tak kalah problematis,

wacana tersebut ternyata tidak punya pijakan yang kokoh dari kacamata Islam itu

sendiri, karena pedomannya adalah terjemahan ayat secara tidak akurat, penafsiran

yang sempit, dan penerapan yang salah alamat.

Sumber : Akhmad Sahal, (Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU)

Page 7: tafsir larangan memilih pemimpin muslim.docx

Beberapa waktu lalu, ketika banyak pihak mempersoalkan ceramah Pak Rhoma Irama di Masjid Al Isra Tanjung Duren, Raja Dangdut itu menjawab sebagai berikut:

Saya menyampaikan firman Allah di rumah Allah. Apakah hal itu salah? Saya hanya menyampaikan kebenaran. Jika umat Islam memilih pemimpin yang kafir, maka mereka akan menjadi musuh Allah. Jika memilih pemimpin Non-Muslim, hukumannya akan menjadi musuh Allah dan mendapat azab di akhirat nanti. Allah melarang dengan tegas untuk memilih yang Non-Muslim dan ini perlu saya sampaikan karena sanksinya berat.   Saya wajib menyampaikan kebenaran. Bagaimana jika banyak umat Islam menjadi musuh Allah? (Berbagai sumber media).

Kemudian, ketika banyak pihak mempermasalahkan pernyataan Pak Marzuki Alie saat tampil sebagai pembicara seminar di hadapan Kader-kader Fatayat NU Jakarta, Ketua DPR itu menjawab sebagai berikut:

Kritik yang tidak sehat sudah menjadi bias jauh dari substansi materi seminar dan berkembang luas di media masa, terutama berbagai media sosial yang bersumber dari berita yang dimuat di salah satu media online. Namun, selaku muslim yang berbicara dalam komunitas muslim, dalam kelompok warga NU Ahlussunnah wal Jamaah, referensi tulisan dan ceramah saya tentu bersumber dari hukum Islam, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana sering saya khotbahkan sebagai khotib Jum’at, ataupun kegiatan keagamaan lainnya. (kompasiana.com).

Pernyataan Pak Rhoma, Pak Marzuki serta banyak para penceramah dan khotib tidak bisa dilepaskan dari pesta demokrasi yang sedang berlangsung di Ibukota Negara sekarang ini. Saya yakin kalau bukan karena ada Calon Wakil Gubernur yang beragama Kristen Protestan, pastilah tidak akan ada ceramah dan khotbah yang menyuruh umat Islam memilih pemimpin yang seiman, pastilah tidak akan ada selebaran dan baliho yang melarang umat Islam memilih pemimpin Non-Muslim.

Saya terdorong untuk mengkaji apakah yang disampaikan Pak Rhoma dalam ceramah Ramadhan itu sebuah kebenaran; apakah jika umat Islam tidak memilih pemimpin yang beragama Islam sanksinya berat, menjadi musuh Allah dan diazab di akhirat. Juga, apakah referensi tulisan dan ceramah Pak Marzuki itu benar-benar bersumber dari hukum Islam, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Intinya, tulisan ini akan mengupas hukum memilih Calon Wakil Gubernur yang beragama Non-Muslim.

Saya sudah membaca makalah Pak Marzuki yang berjudul “Nilai-Nilai Kepemimpinan di dalam Ajaran Islam”. Menurutnya, dasar kepemimpinan di dalam Islam yang harus dijadikan landasan, antara lain tidak mengambil orang Kafir atau orang yang tidak beriman sebagai pemimpin bagi orang-orang Muslim. Sayangnya, di makalah itu Pak Marzuki hanya mengutip ayat dan terjemahnya tanpa ada penjelasan.

Bukan Negara Islam

Page 8: tafsir larangan memilih pemimpin muslim.docx

Dalam UUD 1945 tidak ada pasal dan ayat yang menyebutkan keislaman Negara Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Pakistan, Mesir, Arab Saudi dan Suriah yang mencantumkan Islam dalam Konstitusi sebagai agama Negara, sehingga seluruh peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada ajaran Islam.

Dulu, sewaktu BPUPKI membahas rancangan Konstitusi, memang sempat muncul dalam Pembukaan UUD kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pengikut-pengikutnya”, dan dalam batang tubuh UUD ada pasal yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, namun kata-kata itu kemudian dirubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dan Presiden ialah orang Indonesia asli. Para Pendiri Republik ini sepakat bahwa Indonesia bukan Negara Islam.

Ketika UUD dibahas kembali oleh Konstituante hasil Pemilu 1955, mereka gagal menyusun Konstitusi baru, maka Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945. Amandemen UUD yang dilakukan MPR hasil Pemilu 1999 juga tidak mengubah Indonesia menjadi Negara Islam.

Dengan demikian, Negara kita bukan merupakan Negara Islam. Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengakui keberadaan agama Kristen, Katholik, Hindu dan Budha, selain agama Islam. Di mata Negara, kedudukan semua pemeluk agama sama dan mempunyai hak yang sama, termasuk hak memilih dan hak dipilih. Hal ini ditegaskan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…” dan Pasal 28D Ayat 3 yang menyatakan “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh warga Negara harus mengedepankan ayat-ayat Konstitusi daripada ayat-ayat Kitab Suci. Konstitusi adalah kesepakatan dan konsensus yang dibuat oleh seluruh warga Negara, yang diwakili oleh wakil-wakilnya di MPR. Karena itu wajib hukumnya, bagi seluruh warga Negara untuk menaati dan mematuhinya.

Allah berfirman dalam Surat An-Nahl : 92, yang terjemahnya sebagai berikut:

“Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali…”

Saya menafsirkan ayat ini dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, bahwa semua warga Negara berkewajiban menepati perjanjian yang telah dibuat, yang dituangkan dalam Konstitusi.

Pintalan benang yang kuat bisa dimaknai persatuan dan kesatuan Indonesia. Umat Islam sebagai bagian dari warga Negara, dilarang mencabik-cabik dan menggores persatuan dan kesatuan, seperti seorang perempuan yang menguraikan benang yang sudah terpintal dengan kokoh, sehingga benang menjadi cerai berai.

Karena itu, segala aktifitas baik ucapan maupun tulisan yang berpotensi memecah belah persatuan, tidak saja bertentangan dengan Konstitusi, tapi juga bertentangan

Page 9: tafsir larangan memilih pemimpin muslim.docx

dengan ajaran agama, dan itu harus dihindari oleh siapapun, terutama oleh para pemuka agama dan penyelenggara Negara.

Dasar Hukum Larangan Pilih Pemimpin Non-MuslimJika kita membuka “Al-Quran dan Terjemahnya” yang dikeluarkan Departemen Agama RI, kita akan menemukan setidaknya ada 4 ayat yang melarang umat Islam untuk memilih pemimpin Non-Muslim. Surat Ali Imran : 28, An-Nisa : 138-139, An-Nisa : 144 dan Al-Maidah : 57.

Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua Terjemah Al-Quran mengartikan kata “auliya” pada ayat-ayat ini dengan pemimpin. Ada yang mengartikan kata wali sebagai teman setia, kekasih, orang kepercayaan, penolong dan pelindung. Karena itu, mengkaji suatu hukum tidak bisa mengandalkan terjemah semata-mata. Apalagi terjemah kata per kata, antara satu penerbit dengan penerbit lainnya bisa berbeda-beda. Kita perlu juga membuka kitab-kitab Tafsir.

Coba kita lihat Surat Ali Imran : 28, yang terjemahnya sebagai berikut:

”Janganlah orang-orang Mukmin menjadikan orang-orang Kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah-lah tempat kembali.”

Dalam Kitab Tafsir Al-Alusi, Al-Bahrul Muhith dan Ruhul Ma’ani disebutkan asbabun-nuzul (sebab turunnya) ayat ini adalah berikut ini:

Menurut satu riwayat, ayat ini turun ditujukan kepada Ubadah bin As-Samit. Ia mempunyai sekutu atau sahabat dari kalangan Yahudi. Ia mau meminta pertolongan kepada mereka dalam rangka menghadapi musuh, maka turunlah ayat ini.

Riwayat lain menyebutkan ayat ini turun ditujukan kepada orang-orang Munafik, seperti Abdullah bin Ubay dan teman-temannya yang bersekutu dengan orang-orang Yahudi.

Riwayat lain lagi menyebutkan bahwa Al-Hijjaj bin Amr, Ibnu Abil Huqaiq dan Qais bin Zaid dari kalangan Yahudi membisiki sesuatu kepada kelompok Anshor dengan niat yang tidak baik menyangkut agama. Melihat hal itu, Rifa’ah bin Munzir, Abdullah bin Zubair dan Sa’ad bin Khaisamah berkata kepada orang-orang Anshor itu, “Menjauhlah Kalian dari orang-orang Yahudi itu dan berhati-hatilah! Jangan sampai mereka melakukan rencana buruk terhadap agama Kalian.” Tetapi orang-orang Anshor tetap pada pendiriannya, mereka tak bergeming, maka turunlah ayat ini.

Dengan demikian, ayat-ayat ini bukan sedang berbicara kepemimpinan. Bandingkan dengan Surat Al-Maidah : 51; Ali Imran : 118; An-Nisa : 89; dan At-Taubah : 23.

Meskipun demikian, di sini saya tidak akan memperdebatkan soal penerjemahan wali menjadi pemimpin. Saya mencoba mengikuti alur pemahaman mereka yang memandang ayat-ayat ini sebagai dasar larangan mengangkat pemimpin Non-Muslim. Seharusnya, jika itu yang dipahami, maka pemahamannya jangan berhenti sampai di situ. Membacanya harus utuh, lengkap atau menyeluruh.

Alasan Larangan Pilih Pemimpin Non-Muslim

Page 10: tafsir larangan memilih pemimpin muslim.docx

Seorang ulama Al-Azhar Kairo, Syaikh Ahmad Musthofa Al Maraghi dalam Kitab Tafsirnya, menafsirkan Surat Ali Imran : 118, bahwa orang-orang Islam dilarang mengambil orang-orang Non-Muslim, seperti orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik sebagai pemimpin atau teman setia, bila mereka memiliki sifat-sifat seperti yang ditentukan dalam ayat tersebut, yaitu:

Mereka tidak segan-segan merusakkan dan mencelakakan urusan orang-orang Islam

Mereka menginginkan urusan agama dan urusan dunia orang-orang Islam dalam kesulitan yang besar

Mereka menampakkan kebencian kepada orang-orang Islam melalui mulut mereka yang terang-terangan

Sifat-sifat tersebut adalah persyaratan yang menyebabkan dilarangnya mengambil pemimpin dan teman setia yang bukan dari orang-orang Islam.

Bila ternyata sikap mereka berubah, seperti orang-orang Yahudi yang pada permulaan Islam terkenal sebagai golongan yang paling memusuhi orang-orang Islam, kemudian mereka mengubah sikap dengan mendukung Islam dalam penaklukan Andalusia. Juga seperti orang-orang Kristen Koptik yang membantu orang-orang Islam dalam menaklukkan Mesir dengan mengusir orang-orang Romawi yang menduduki lembah Sungai Nil itu. Dalam keadaan seperti itu tidak dilarang mengambil mereka sebagai pemimpin atau teman setia.

Khalifah Umar sendiri membentuk orang-orang yang mengurusi dewannya dari orang-orang Non-Muslim. Dan para khalifah sesudahnya melakukan hal yang sama. Ketentuan ini dijalankan oleh pemerintahan Bani Abbas dan lain sebagainya dari kalangan Raja-raja Islam. Mereka mempercayakan jabatan-jabatan kenegaraan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Pendapat Syaikh Yusuf Qaradhawi tak jauh beda dengan Syaikh Al Maraghi. Dalam buku Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, doktor alumni Universitas Al-Azhar itu mengatakan, orang-orang Islam dilarang mengangkat orang-orang Non-Muslim sebagai teman, orang kepercayaan, penolong, pelindung, pengurus dan pemimpin, bukan semata-mata karena beda agama. Akan tetapi, karena mereka membenci agama Islam dan memerangi orang-orang Islam, atau dalam bahasa Al-Quran disebut memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Syaikh Qaradhawi mendasarkan pendapatnya pada Surat Al-Mumtahanah : 1, yang terjemahnya sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang. Padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu…”

Syaikh Qaradhawi yang juga Ketua Persatuan Ulama Muslim Internasional, membagi orang Kafir atau Non-Muslim menjadi dua golongan. Pertama, yaitu golongan yang

Page 11: tafsir larangan memilih pemimpin muslim.docx

berdamai dengan orang-orang Islam, tidak memerangi dan mengusir mereka dari negeri mereka. Terhadap golongan ini, umat Islam harus berbuat baik dan berbuat adil. Di antaranya memberikan hak-hak politik sebagai warga Negara, yang sama dengan warga Negara lainnya, sehingga mereka tidak merasa terasingkan sebagai sesama anak Ibu Pertiwi.

Sedangkan golongan kedua, adalah golongan yang memusuhi dan memerangi umat Islam, seperti orang-orang Non-Muslim Mekah pada masa permulaan Islam yang sering menindas, menyiksa dan mencelakakan umat Islam. Terhadap golongan ini, umat Islam diharamkan mengangkat mereka sebagai pemimpin atau teman setia.

Pendapat Syaikh Qaradhawi ini didasarkan pada Surat Al-Mumtahanah : 8, yang terjemahnya sebagai berikut:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari kampong halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”

Boleh Memilih Calon Wakil Gubernur Non-MuslimDari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa, hukum dilarangnya mengangkat orang-orang Non-Muslim sebagai pemimpin karena adanya illat (alasan), yaitu adanya kekhawatiran dampak negatif bagi agama dan umat Islam. Selama pemimpin Non-Muslim tersebut diyakini mendatangkan keburukan atau kemudharatan, maka hukum memilihnya tidak boleh. Sebaliknya, bila keyakinan adanya bahaya itu tidak ada, maka hukumnya boleh. Umat Islam boleh memilih Calon Wakil Gubernur Non-Muslim, jika Pejabat tersebut tidak dikhawatirkan akan menghancurkan Islam dan memerangi umat Islam.

Di samping itu, dalam situasi dan kondisi Indonesia yang demokratis, tentu kekhawatiran seperti itu kurang beralasan, karena kekuasaan Pemerintah Daerah tidak mutlak dan tidak absolut. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur apa saja yang menjadi tugas dan kewenangan serta kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta apa saja yang tidak boleh dilakukan.

Misalnya Pasal 28 Poin (a) menyebutkan, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;

Kebijakan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak bisa sewenang-wenang dan sesuka hatinya, namun harus didasarkan peraturan perundang-undangan. Jika ada Kepala Daerah atau Wakilnya yang berani melanggar aturan, maka bersiap-siaplah untuk berurusan dengan aparat penegak hukum dan menghadapi demonstrasi rakyat.

Kebijakan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak bisa ditentukan sendiri secara otoriter. Setiap kebijakan yang diputuskan harus melalui musyawarah dengan banyak pihak, dan dalam pelaksanaannya diawasi oleh rakyat dan wakil-wakilnya yang duduk

Page 12: tafsir larangan memilih pemimpin muslim.docx

di Dewan Perwakilan Rakyat, serta dikontrol oleh koran, majalah, televisi, radio, dan juga LSM.

Semoga Allah membukakan pintu hati kita untuk bisa bersikap adil kepada sesama warga Negara, tanpa melihat latar belakang suku, agama, ras dan golongan. Janganlah karena perbedaan, lantas kita menutup mata terhadap kelebihan-kelebihan orang lain. “…Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu golongan, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah…” (Surat Al-Maidah : 8)