tadabbur dalam al-qur’an (perspektif semantik...
TRANSCRIPT
TADABBUR DALAM AL-QUR’AN (PERSPEKTIF SEMANTIK
TOSHIHIKO IZUTSU)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Khoirur Rifqi Robiansyah
NIM. 11150340000191
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
ii
TADABBUR DALAM AL-QUR’AN (PERSPEKTIF SEMANTIK
TOSHIHIKO IZUTSU)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Khoirur Rifqi Robiansyah
NIM. 11150340000191
Di bawah Bimbingan:
Kusmana, Ph.D
NIP. 19650424 199503 1 001
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul TADABBUR DALAM AL-QUR’AN (Prespektif
Semantik Toshihiko Izutsu) telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 November
2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memeperoleh
gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada progam studi Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir.
Jakarta, 20 November 2019
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Dr. Eva Nugraha, M.Ag
NIP. 19710217 199803 1 002
Sekertaris Merangkap Anggota,
Fahrizal Mahdi, Lc.,MIRKH
NIP. 19820816 201503 1 004
Anggota,
Penguji I
Dr. M. Suryadinata, M.Ag
NIP. 19600908 198903 1 005
Penguji II
Dr. M. Zuhdi Zaini, M.Ag
NIP. 19650817 200003 1 001
Pembimbing
Kusmana, Ph.D
NIP. 19650424 199503 1 001
iv
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Khoirur Rifqi Robiansyah
NIM : 11150340000191
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/ Prodi : Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Alamat Rumah : Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur.
Telp/Hp : 081381441269
Judul Skripsi : Tadabbur dalam Al-Qur’an (Prespektif Semantik
Toshihiko Izutsu)
Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata 1 di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarih
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 15 Desember 2019
Khoirur Rifqi Robiansyah
v
ABSTRAK
KHOIRUR RIFQI ROBIANSYAH
Tadabbur Dalam Al-Qur’an (Perspektif Semantik Toshihiko Izutsu)
Penelitian ini membahas mengenai analisis semantik kata Tadabbur
dalam al-Qur’an. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
menjawab relevansi penggunaan Tadabbur yang dikaitkan pada segala hal,
seperti Tadabbur alam dan Tadabbur budaya. Selain itu tokoh ternama, Cak Nun
memberi tawaran pendekatan Tadabbur sebagai solusi pengganti tafsir di tengah
ketatnya persyaratan mufassir yang terbilang susah untuk ditemui pada
masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu kiranya penting untuk mengkaji lebih
lanjut apa makna Tadabbur dalam al-Qur’an.
Penelitian ini menggunakan metode semantik Toshihiko Izutsu. Adapun
gerak metodologinya yaitu menentukan makna dasar, mencari makna relasional,
meninjau perkembangan makna Tadabbur melalui analisis historis dan terakhir
mencari weltanschauung kata Tadabbur.
Sejumlah temuan penelitian ini diantaranya: Makna dasar kata Tadabbur
adalah akhir sesuatu atau belakang sesuatu. Makna relasional melalui analisis
sintagmatik berkaitan dengan beberapa sistem kata yaitu kata Allah, al-Qur’an,
Tażakkur & Ūlūl Albāb¸ Musyrik & Munafik. Makna relasional melalui analisis
paradigmatik berkaitan dengan kata Tafsīr, Ta’wil, Tafakkur, Tażakkur.
Penggunaan kata Tadabbur, Tafsīr dan Ta’wil khusus untuk al-Qur’an tidak
seperti Tafakkur dan Tażakkur. Selanjutnya, berdasarkan kajian historis, kata
Tadabbur pada periode pra Qur’anik digunakan untuk menunjukan aktifitas hati
yang berhubungan dengan keinginan dan harapan. Kemudian pada periode
Qur’anik Tadabbur mempunyai sistem khusus untuk seruan mendekati al-
Qur’an yang ditujukan kepada orang muslim, orang kafir dan orang
munafik. Makna orientasi Tadabbur dalam dunia al-Qur’an terkesan lebih
mengarah untuk penguatan tauhid. Kemudian pada periode pasca Qur’anik,
para mufassir memberikan konsepsi Tadabbur yang difungsikan sebagaimana
kata تأمل ,يتفكر ,النظر فيه ,يسمع dan يتصفح untuk mengambil kandungan dari al-
Qur’an, seperti; nasehat-nasehat, peringatan-peringatan, dan ancaman
terhadap kemaksiatan. Makna orientasi etik terkesan kuat dalam konsepsi
Tadabbur pasca Qur’anik. Adapun weltanschauungnya Tadabbur dalam al-
Qur’an adalah sebagai sarana mendekati al-Qur’an untuk siapa saja dengan
tujuan untuk menguatkan iman dan mengambil pelajaran di dalam al-Qur’an.
Kata Kunci : Tadabbur, Semantik, Toshihiko Izutsu.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Subhānahu wa Ta’āla Tuhan
Maha Pengasih Maha Penyayang yang selalu memayungi dan memeluk
hambanya dengan Samudera luas Rahmat dan Kasih SayangNya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, dengan judul “Tadabbur
Dalam Al-Qur’an (Perspektif Semantik Toshihiko Izutsu)”. Salawat dan
salam kami haturkan pada Nabi Agung Muhammad Salallah ‘Alaihi Wa
al-Salām. Juga atas semua keluarga dan para Sahabatnya yang mulia.
Semoga kita dapat mengikuti jejak-jejak hidupnya yang mulia, dan
mendapatkan syafaat yang agung darinya, kelak di hari kiamat. Amin Ya
Allah Ya Rabbal ‘ālamȋn.
Rampungnya skrispi ini, tentu tidak terlepas dari bantuan dan
dukungan berbagai pihak yang ikut andil, baik secara langsung maupun
tidak langsung, baik secara moril maupun materil. Maka sepatutnya
penulis mengucapkan syukur, terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA, selaku rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yūsuf Rahman, MA, selaku dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha. M.Ag, selaku ketua program studi Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir, serta Bapak Fakhrizal Mahdi, Lc., MIRKH, selaku
sekretaris program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
4. Dosen pembimbing skripsi penulis, yakni Bapak Kusmana, Ph.D,
yang senantiasa membimbing, memberi arahan dan masukan kepada
penulis dalam melakukan penelitian, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
vii
5. Dosen penasehat akademik, yakni Bapak Muslih, MA, yang telah
memberikan masukan dan motivasi kepada penulis selama penulis
belajar di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh dosen di Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang telah
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis. Semoga segala ilmu
yang telah diberikan kepada penulis menjadi ilmu yang bermanfaat
sekaligus menjadi amal yang senantiasa megalir kebaikanya kepada
para dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
7. Orang tua penulis, yakni Bapak H. M. Purwaji dan Ibu Hj. Masfiyatur
Robiah yang selalu memberikan dukungan, semangat, memberi
nasehat, dan selalu mendoakan penulis, sehingga penulis dapat
menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8. Keluarga Padepokan Gus Khudori Iskandar Pondok Cabe (PGKI).
Selama kurang lebih tiga tahun tinggal, penulis mendapat ilmu,
pengalaman dan relasi saudara yang begitu berharga.
9. Keluarga besar HIMABI (Himpunan Mahasiswa Alumni Bahrul
‘Ulum Ibu Kota) dan IKABU Jabodetabek (Ikatan Keluarga Alumni
Bahrul ‘Ulum) sebagai tempat paling nyaman bagi penulis berkeluh
kesah dan melepas beban masalah untuk menumbuhkan asa dan
semangat baru.
10. Kepada seluruh sahabat dan teman dekat penulis yang senantiasa
memberi dukungan baik moril maupun materil. Penulis mendoakan
semoga kalian mendapat balasan terbaik dari Yang Maha Memberi
Balasan.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan
do’a kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla, semoga amal baik semua
viii
pihak yang sudah membimbing, mengarahkan, memotivasi, dan
mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan
pahala yang berlipat ganda dari sisi Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang
membacanya, terutama bagi penulis sendiri. Āmīn.
Ciputat, 15 Desember 2019
Khoirur Rifqi Robiansyah
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor: 158
Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987
1. Konsonan
No. Arab Latin No. Arab Latin
Tidak ا 1
dilambangkan
Ṭ ط 16
Ẓ ظ B 17 ب 2
‘ ع T 18 ت 3
G غ Ṡ 19 ث 4
F ف J 20 ج 5
Q ق Ḥ 21 ح 6
K ك Kh 22 خ 7
L ل D 23 د 8
M م Ż 24 ذ 9
N ن R 25 ر 10
W و Z 26 ز 11
H ه S 27 س 12
' ء Sy 28 ش 13
Y ي Ṣ 29 ص 14
Ḍ ض 15
1. Vokal pendek
__ : a كتب : kataba
--- : i سئل : su’ila
__ : u يذهب : yażhabu
2. Vokal Panjang
qāla : قال ā : ....آ
qīla : قيل ī : اي
yaqūlu : يقول ū : او
3. Diftong
kaifa : كيف ai : اي
ḥaula : حول au : او
x
Keterangan: Semua kata “al-Qur’an dan hadits” dalam penelitian ini,
merujuk pada ketetapan yang telah ditentukan oleh lembaga penelitian
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah. Selain itu, penulisan kata-
kata serapan, seperti: Allah, Islam, rida, ikhlas, syukur, dan lain-lain, tidak
mengikuti pedoman transliterasi, tapi mengikuti tata penulisan bahasa
Indonesia yang sudah baku.
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................. iv
ABSTRAK .............................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................ vi
LEMBAR PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................... ix
DAFTAR ISI ........................................................................................... xi
DAFTAR DIAGRAM dan TABEL .................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 7
C. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................ 8
D. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8
E. Manfaat Penelitian .................................................................... 8
F. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 9
G. Kerangka Teori ....................................................................... 16
H. Metodologi Penelitian ............................................................. 17
I. Sistematika Penulisan ............................................................. 19
BAB II GAMBARAN UMUM SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU23
A. Definisi Semantik .................................................................... 23
B. Sejarah Perkembangan Semantik ............................................ 28
C. Tafsir dan Semantik al-Qur’an ................................................ 34
D. Metode Semantik al-Qur’an Toshihiko Izutsu ....................... 39
1. Gambaran Umum .............................................................. 39
2. Langkah-Langkah Metode ................................................ 40
xii
3. Contoh Aplikasi Metode ................................................... 44
BAB III DESKRIPSI AYAT AYAT TENTANG TADABBUR ........ 49
A. Pengertian Tadabbur .............................................................. 49
B. Identifikasi Tadabbur dalam Ayat Al-Qur’an ........................ 50
C. Klasifikasi Ayat ...................................................................... 53
D. Tadabbur dalam Kitab Tafsir ................................................. 69
E. Hadist-hadist Terkait Tadabbur .............................................. 82
BAB IV ANALISIS TADABBUR PERSPEKTIF SEMANTIK
IZUTSU .................................................................................................. 85
A. Makna Dasar Tadabbur .......................................................... 85
B. Makna Relasi Tadabbur ......................................................... 87
1. Analisis Sintagmatik ......................................................... 87
2. Analisis Paradigmatik ....................................................... 91
C. Analisis Semantik Historis Tadabbur ..................................... 94
1. Pra Qur’anik Tadabbur ..................................................... 95
2. Qur’anik Tadabbur ........................................................... 98
3. Pasca Qur’anik Tadabbur ............................................... 104
D. Welthanscauung Tadabbur ................................................... 111
E. Relevansi Makna Tadabbur Prespektif Izutsu dalam Wacana
Islam ..................................................................................... 113
BAB V PENUTUP ............................................................................... 117
A. Kesimpulan ........................................................................... 117
B. Kritik dan Saran .................................................................... 119
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 121
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................. 127
Lampiran 1 Ayat-Ayat Yang Menyebutkan Tadabbur Dan Derivasinya127
Lampiran 2 Makna Tadabbur Menurut Mufassir ................................. 134
Lampiran 3 Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Tadabbur .......................... 139
xiii
DAFTAR DIAGRAM DAN TABEL
A. DAFTAR DIAGRAM
Diagram 2.1 : Medan Semantik Kata Kufr ......................................... 45
Diagram 4.1 : Medan Semantik Tadabbur ......................................... 93
B. DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Ayat-ayat Tentang Tadabbur ........................................... 51
Tabel 3.2 : Derivasi Tadabbur yang Bermakna Belakang/Akhir ....... 62
Tabel 3.3 : Derivasi Tadabbur yang Bermakna Seluruh/Akar-Akar . 64
Tabel 3.4 : Derivasi Tadabbur yang Bermakna Mengatur ................. 67
Tabel 3.5 : Derivasi Tadabbur yang Bermakna
Memikirkan/Merenung ....................................................................... 69
Tabel 4.1 : Rangkuman Analisa Sintagmatik dan Paradigmatik ........ 92
Tabel 4.2 : Ayat Makki Dan Madani Tadabbur. ............................... 99
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbedaan perumusan persyaratan mufasir yang meliputi syarat
integritas moral dan otoritas keilmuan menimbulkan permasalahan tentang
bentuk ideal dari syarat mufassir itu seperti apa. Dalam pusaran perbedaan
tersebut, Imam Mansur meneliti dengan menggeneralisasi pendapat yang
sama dari beberapa perbedaan pendapat para tokoh tentang syarat-syarat
mufassir. Tokoh tersebut ialah Manna Khalil al-Qattan1, Syihabuddin
Mahmūd al-Alusiy2, Muhammad Ibrahim 3, al-Ẓahabi4 dan Jalāluddin al-
1 Manna’ Khalil al-Qattan menjelaskan syarat mental bagi seorang mufassir
yaitu: Aqidah yang benar; Bersih dari hawa nafsu; Pemahaman yang cermat; Niat yang
baik dan bertujuan benar; Berakhlaq baik; Taat dan beramal; Tawadu’ dan lemah
lembut; Vokal dalam menyampaikan kebenaran; Mendahulukan orang yang lebih utama
darinya.
Kemudian disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir yaitu:
Menguasai bahasa Arab dengan segala cabangnya; Ilmu Tauhid; Ilmu Ushul; Ilmu
Nāsikh Mansūkh; Ilmu Asbāb al-Nuzūl. Lihat, Manna Khalil al-Qattan, Mabāhiṣ fi Ulūm
al-Qur’ān, terj. (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000), 462-466. 2 Syihabuddin Mahmud al-Alusiy mengatakan bahwa syarat mental mufassir
yaitu: Aqidah yang benar; Menetapi sunnah-sunnah agama; Taqwa; Wira’I;
Mengamalkan isi al-Qur’an dan sunnah Nabi; Berniat baik; Mengerahkan segenap tenaga
dan kekuatannya untuk menuntut ilmu; Hafal al-Qur’an
Kemudian persyaratan ilmu yang harus dikuasai yaitu: Mengerti hadis Nabi;
Paham dengan bahasa Arab; Ilmu Balāgha Lihat, . Lihat, . Syihabuddin Mahmud al-
Alusiy, Manhaj al-Alūsiy (Mesir: Majlis al-A’la, 1989), 11-12. 3 Muhammad Muhammad Ibrahim berpendapat syarat mental mufassir yaitu:
Aqidah yang benar; Berpegangan teguh pada sunnah-sunnah agama; Manhaj yang benar.
Lihat, Muhammad Muhammad Ibrahim, Rawāi’ al-Bayān fi Ulūm al-Qur’ān (Mesir: Dār
al-Taba’ah Muhammadiyah, 1984), 135.
Kemudian ilmu yang harus dimiliki yaitu: Ilmu bahasa; Ilmu Balāgah;
Mengetahui lafadz-lafadz zaman turunnya al-Qur’an; Ilmu Asbāb al-Nuzūl, Qaṣaṣ;
Nāsikh Mansūkh, ‘ām-Khāṣ, Mutlaq-Muqayyad, ilmu Fiqh dan Uṣūl. Lihat, Muhammad
Muhammad Ibrahim, Rawāi’ al-Bayān fi Ulūm al-Qur’ān, 138-143. 4 Muhammad Husain al-Ẓahabi menjelaskan sikap mental bagi mufassir yaitu:
Tidak ceroboh dalam menjelaskan al-Qur’an; Tidak melampaui batas dalam menafsiri
ayat yang menjadi hak prerogatif Alla Seperti menafsirkan ayat-ayat mutashabihāt yang
hanya Allah-lah yang tahu; Tidak menafsirkan dengan mengikuti hawa; Tidak
memantapkan tafsir dengan madzhab yang rusak; Tidak boleh potong kompas dengan
mengatakan yang dimaksud Allah adalah ini dan itu tanpa dalil yang kuat. Lihat
2
Suyuṭi5. Temuan kesamaannya adalah syarat mental mufassir yang
universal ada enam yakni: aqidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, niat
baik dan tujuan yang benar, taat dan mengamalkan ilmunya, berpegang
teguh pada sunnah, mengerahkan tenaga untuk belajar atau membekali diri
dengan ilmu. Kemudian Disiplin keilmuan yang harus dimiliki mufassir
secara universal ada tiga, yaitu penguasaan bahasa Arab, ‘Ulūm al-
Qur’an, ‘Ulūm al-Hadis. 6
Mengenai syarat mufassir berupa penguasaan bahasa Arab, dalam
konteks Indonesia terkini, antara pembaca dengan al-Qur’an memiliki dua
persoalan jarak, yaitu jarak waktu dan tempat. Jarak waktu berarti al-
Qur’an diturunkan sekitar 14 abad yang lalu, kemudian jarak tempat
berarti al-Qur’an diturunkan di sebuah tempat di jazirah Arab yang jelas
memiliki perbedaan bahasa, kosakata dan cara berfikir. Jika untuk
memahami al-Qur’an harus berpegang teguh dengan syarat-syarat
mufassir, menurut hemat penulis, hal ini menjadi masalah yang penting
terutama bagi mahasiswa jurusan Ilmu al-Qur’an & Ilmu Tafsir. Di mana
dalam dunia akademis pun penulis temui sendiri beberapa teman sejurusan
yang kesusahan untuk menguasai bahasa arab, apalagi melangkah ke
sayarat-syarat selanjutnya. Ini belum jika memperhatikan kampus-kampus
Muhammad Husain al-Żahabi, Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 1, 275.
Kemudian disiplin ilmu yang harus dikuasai mufassir yaitu: Ilmu bahasa Arab;
Ilmu nahwu; Ilmu ṣaraf; Ilmu isytiqāq, yakni ilmu bentuk asal kata; Ilmu ma’ani, bayān
dan badī’; Ilmu qira’at; Ilmu teologi; Ilmu ushul al-fiqh; Ilmu asbab al-nuzul; Ilmu
nasikh-mansukh; Hadis yang menjelaskan penafsiran yang mujmal dan mubham (samar);
Ilmu al-Muhibah, yakni ilmu yang diberikan oleh Allah buah dari mengamalkan ilmu
yang telah ia kuasai. Muhammad Husain al-Żahabi, Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 1,
265-268. 5 Jalaluddin al-Suyuṭi mengutip Abu Thalib al-Ṭabari, berpendapat, syarat
mental mufassir diantaranya: Memiliki i’tikad dan tujuan yang benar; Taat pada al-
Sunnah, qaul sahabat dan orang semasanya serta menjauhi hal-hal yang baru; Memiliki
wawasan agama yang tinggi; Zuhud terhadap dunia; Tidak membabi-buta menyatakan
pendapatnya. Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Maktabah
Ashriyyah, 2008), 869-870. 6 Lihat, Imam Mansur, “Telaah Kritis Syarat Mufassir Abad 21”. Jurnal QOF,
Vol.2, no.2 (juli 2018).
3
lain di seluruh Indonesia.
Momok syarat-syarat mufassir juga memicu keengganan untuk
membedah kandungan al-Qur’an dan hanya mengulang-ulang penafsiran
terdahulu. Namun di sisi lain, ditemui juga sebagian orang yang berbicara
al-Qur’an dengan asal berani tanpa bekal ilmu yang cukup, khususnya di
era modern ini. Ia memahami ayat hanya dengan bekal tarjamah ayat dan
menariknya sesuai keinginan, sehingga yang terjadi meletakkan ayat di
luar relnya, melegitimasi sebuah hukum dengan ayat yang bukan pada
tempatnya. Hal ini menjadikan al-Qur’an yang awalnya jadi petunjuk, tapi
malah berlaku sebaliknya akibat kecerobohan penafsir. 7
Dari permasalahan persyaratan mufassir tersebut, penulis
kemudian menemukan pandapat dari Emha Ainun Najib8 atau yang akrab
disapa cak Nun. Beliau menawarkan solusi untuk memahami al-Qur’an
melalui pendekatan Tadabbur. Pada beberapa kesempatan saat ceramah
beliau menyinggung tentang pentingnya mentadabburi al-Qur’an dari
menafsiri al-Qur’an.9 Menurut beliau tafsir al-Qur'an itu mempersyaratkan
penguasaan terhadap keilmuan tertentu secara ilmiah. Sedangkan
Tadabbur syaratnya sederhana yakni hanya cukup membuat pelakunya
bisa lebih beriman, lebih dekat dengan Allah dan lebih baik pribadinya.
7 Sebagai contoh peristiwa Bom Bali. Peristiwa tersebut di dalangi oleh Imam
Samudra. Keberanianya melakukan pengeboman adalah implikasi dari hasil
penafsirannya sendiri. Imam Samudra melegitimasi aksinya di Legian Bali dari
penafsiranya pada surat al-Taubah (9): ayat 5. Ayat tersebut dianggapnya sebagai
landasan hukum tahap keempat atas wajibnya jihad memerangi seluruh kaum kafir dan
musyrik, setelah tahap pertama yakni menahan diri (QS. Al-Baqarah (2 109), tahap kedua
yakni diizinkan perang (QS. al-Hajj (22): 39) dan tahap ketiga yakni wajib memerangi
secara terbatas (QS. Al Baqarah (2): 190). Lihat, Muhsin Mahfudz, “Implikasi
Pemahaman Tafsir al-Qur’an Terhadap Sikap Keberagamaan”. Jurnal Tafsere, Vol.4,
no.2 (2016): 145. 8 Emha Ainun Najib adalah budayawan asal kabupaten Jombang yang aktif
menulis dan memberikan ceramah di berbagai tempat. Lebih lengkap mengenai
biografinya lihat https://initu.id/amp/biografi-singkat-emha-ainun-nadjib-cak-nun-
jamaah-maiyahan/ diakses pada Rabu, 25 September 2019. 9 https://youtu.be/CVPVMFL50MA, lihat pada menit ke 2, diakses pada Rabu,
25 September 2019.
4
Oleh karena itu tafsir hanya berlaku untuk kalangan tertentu dan Tadabbur
berlaku untuk semua kalangan, baik ia bisa membaca al-Qur’an dengan
fasih atau tidak, ataupun cuma mengerti terjemahannya saja itu tidak
masalah.10 Hal ini yang kemudian membuat penulis tertarik untuk
mengkaji Tadabbur dalam al-Qur’an.
Setelah melakukan penelusuran dalam al-Qur’an, penulis
menemukan bahwa ayat yang secara jelas menunjukkan perintah atau
himbauan bukanlah pada tafsir, melainkan Tadabbur. Selain itu,
perbandingan jumlah penyebutanya dalam al-Qur’an pun berbeda, tafsir
hanya disebutkan satu kali.11 Sedangkan Tadabbur disebutkan sebanyak
44 kali dengan 15 derivasi, dan derivasi yang menunjukan arti perintah
atau himbauan Tadabbur disebutkan sebanyak 4 kali.12 Harusnya dengan
jumlah penyebutan yang lebih banyak dalam al-Qur’an, Tadabbur
memiliki peran penting dalam sistem al-Qur’an dan patut mendapat
perhatian lebih.
Beberapa tulisan yang membahas Tadabbur, penulis menemukan
kesamaan arah pembahasan yakni mengarah pada nuansa etis. Di
antaranya seperti pada tulisan Daris Tamim13 dengan judul Kerangka
Kerja Bimbingan Dengan Pendekatan Tadabbur al-Qur’an Untuk
Pengembangan Karakter Sabar Remaja, Sigit Karnianto14 yang berjudul
10 https://youtu.be/CVPVMFL50MA, lihat pada menit pertama, diakses pada
Rabu, 25 September 2019. 11Muhammad Fuād Abdu al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faẓ al-Qur’ān,
(Mesir, Dār al-Kutub al-Miṣriyah, 1947) 519; Penyebutan kata tafsir hanya berupa bentuk
Isim Maṣdar yakni kata benda yang menunjukan arti peristiwa. 12 Muhammad Fuād Abdu al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faẓ al-Qur’ān,
252-253.; Untuk penyebutankeseluruhan ayatnya lihat di lampiran I. 13 Daris Tamim, “Kerangka Kerja Bimbingan Dengan Pendekatan Tadabbur al
Qur’an Untuk Pengembangan Karakter Sabar Remaja”. Disertasi S3: Progam Studi
Bimbingan dan Konseling, UPI, Bandung, 2017. 14 Sigit Karnianto, “Kemampuan Berpikir Positif Mutadabbirin al Qur’an”.
Skripsi S1 : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013.
5
Kemampuan Berpikir Positif Mutadabbirin al-Qur’an, Rumiani dkk.15
yang berjudul Terapi Tadabbur al-Qur’an Untuk Mengurangi Kecemasan
Menghadapi Persalinan Pertama dan Maisarah dkk.16 yang berjudul
Keutamaan Amalan Tadabbur al-Qur’an Terhadap Pelajar Tahfiz.
Penulis mempunyai asumsi bahwa makna Tadabbur lebih luas dari kesan
etis yang diulas pada beberapa tulisan tersebut. Asumsi ini yang membuat
penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang makna Tadabbur
dalam al-Qur’an.
Dalam upaya memahami makna dan penggunaan Tadabbur dalam
al-Qur’an, menurut penulis pendekatan linguistik merupakan pendekatan
yang relevan. Sebab al-Qur’an memuat bahasa yang sudah berusia 1400
tahun. Maka untuk mengerti ragam pengetahuan dan makna yang
terkandung dalam al-Qur’an tentu harus memahami bahasa yang
digunakan ketika al-Qur’an diturunkan. Menurut Amin al-Khuli, salah
satu cara untuk memahami isi al-Qur’an adalah dengan melakukan studi
aspek internal al-Qur’an. Studi ini meliputi pelacakan perkembangan
makna dan signifikansi kata-kata tertentu di dalam al-Qur’an dalam
bentuk tunggalnya, kemudian melihat indikasi makna dalam berbagai
generasi serta pengaruhnya secara psikologi-sosial dan peradaban umat
terhadap pergeseran makna.17
Berdasarkan ungkapan di atas, maka dapat diketahui bahwa
pemaknaan al-Qur’an terikat oleh historisitas kata yang digunakan dalam
al-Qur’an. Oleh karena itu, semantik merupakan salah satu metode yang
ideal untuk mengungkap makna dan pelacakan perubahan makna yang
15 Rumiani dkk., “Terapi Tadabbur al Qur’an Untuk Mengurangi Kecemasan
Menghadapi Persalinan Pertama”. Jurnal Intervensi Psikologi, Vol. 7, No. 2 (Desember
2015). 16 Maisarah dkk., “Keutamaan Amalan Tadabbur al-Qur’an Terhadap Pelajar
Tahfiz”. Jurnal at Turath, Vol. 3, No. 2 (2018). 17 M. Yusron dkk, Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2006),
18.
6
berkembang pada sebuah kata. Sebab semantik adalah cabang ilmu
linguistik yang mengkaji makna, mengungkap bagaimana asal mula
makna dan perkembangannya, serta menganalisa mengapa terjadi
perubahan makna dalam bahasa.18 Dengan demikian, maka pendekatan
yang cocok untuk mengungkap secara utuh makna Tadabbur di dalam al-
Qur’an adalah semantik al-Qur’an.
Di era modern-kontemporer dewasa ini, ada seorang ilmuan yang
menjadi pioner dalam kajian semantik al-Qur’an. Ia adalah Toshihiko
Izutsu, seorang non-muslim dari Jepang. Menurut Izutsu, semantik adalah
kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu
pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual
weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan
bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, tetapi yang lebih
penting lagi, pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.19
Toshihiko Izutsu merupakan salah satu tokoh kesarjanaan non-
Muslim yang turut meramaikan khazanah kajian al-Qur’an.
Kehadirannya memberikan aroma tersendiri bagi dunia kajian al-Qur’an.
Setidaknya alasan yang menjadikan gagasannya amat menarik adalah
pendapat Izutsu berbeda dari arus kebanyakan sarjana no-Muslim yang
mengkaji al-Qur’an. Sebagian sarjana non-Muslim berpendapat bahwa al-
Qur’an bukan kalam Allah, melainkan perkataan Muhammad.20 Sementara
Izutsu berpandangan bahwa al-Qur’an merupakan kalam Allah yang
diturunkan secara mutawatir kepada Nabi Muhammad melalui perantara
18 M. Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer (Jakarta:
Prenamedia Group, 2016), 3. 19 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik
Terhadap al-Qur’an, Terj. Agus Fahri Husein, Supriyanto Abdullah & Amirudin
(Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1997), 3. 20 Mohammad Natsir Mahmud, Orientalisme; al-Qur’an di Mata Barat
(Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang, Dina Utama, 1997), 28.
7
Jibril.21
Melalui pendekatan Semantik, Izutsu menganalisa partikel
sederhana dalam al-Qur’an, namun sarat makna, yang diistilahkan oleh
Izutsu dengan kata kunci atau keyword. Lalu keyword inilah yang
dielaborasi dan diteliti secara menyeluruh hingga mampu membentuk dan
menemukan komponen dasar konsep-konsep tertentu, seperti keyword
Islam, Iman, Ihsan dan seterusnya.22 Menurut Izutsu, pandangan dunia al-
Qur’an bersifat Teosentris, sebab tidak ada kata kunci dalam al-Qur’an
yang tidak berkaitan dengan fokus tertinggi, yakni kata Allah.23
Demikian penggambaran ini merupakan latar belakang yang
menjadikan penulis ingin menggali makna kata Tadabbur secara
utuh dalam al-Qur’an, sementara itu pisau analisa yang penulis pilih
adalah menggunakan Semantik Toshihiko Izutsu. Penelitian tersebut
penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul “Tadabbur dalam al-Qur’an
Perspektif Semantik Toshihiko Izutsu".
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan, setidaknya
beberapa masalah bisa penulis identifikasi, yaitu :
Pertama, alasan dan sebab Tadabbur kurang populer dari pada
tafsir.
Kedua, makna dan konsep Tadabbur dalam al-Quran.
Ketiga, perbandingan makna dan konsep Tadabbur menurut para
ulama’ dan sarjana non muslim.
21 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, h. 165. Hal ini disampaikan
juga oleh Faturrahman dalam Tesisnya yang berjudul al Quran dan Tafsirnya dalam
Perspektif Toshihiko Izutsu, 60. 22 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 16. 23 Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Quran
(Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1993), 21.
8
Keempat, validitas Tadabbur diantara tafsir dan ta’wil.
Kelima, posisi Tadabbur dalam kajian Ulūm al-Qur’ān.
Keenam, aplikasi dan implikasi Tadabbur dalam kehidupan.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, penulis ingin menggali makna
Tadabbur dalam al-Qur’an. Penulis membatasi penggalian tersebut
menggunakan pendekatan semantik Toshihiko Izutsu. Adapun rumusan
masalah dalam penelitian ini sebagaimana diungkapkan dalam pertanyaan
berikut: apa dan bagaimana makna Tadabbur dalam al-Qur’an perspektif
semantik Toshihiko Izutsu?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan pemikiran Toshihiko Izutsu tentang semantik al-
Qur’an
2. Menguraikan makna Tadabbur dalam al-Qur’an
3. Menerangkan makna Tadabbur dalam al-Qur’an persektif
semantik Toshihiko Izutsu.
4. Sebagai syarat menyelesaikan studi Strata 1 untuk memperoleh
gelar S.Ag.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni
manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. Penulis merangkumnya
sebagaimana berikut:
1. Menambah khazanah kajian tentang metode semantik.
2. Melangkapi penjelasan mengenai Tadabbur dalam kajian Islam.
9
3. Penelitian ini memperkuat Tesis karya Faturrahman berjudul
“al-Qur’an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu”
tentang kelayakan pemikiran Toshihiko Izutsu dalam kajian al-
Qur’an.
4. Penelitian ini dapat dijadikan bahan ajar dalam matakuliah
Semiotik dan Hermeneutik di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi mereka yang
mengkaji tentang makna Tadabbur dalam al-Qur’an.
Tiga Poin pertama merupakan manfaat penelitian secara teoritis,
sedangkan dua poin terakhir merupakan manfaat secara praktis.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam kajian tinjauan pustaka, tertuang dua variabel judul
penelitian yang menjadi dasar kajian pada pembahasan ini. Dua kajian
variabel tersebut yaitu; term “Tadabbur” dan “pendekatan semantik”.
Adapun kajian variable pertama tentang term “Tadabbur”, ditemukan
beberapa hasil penelitian antara lain:
Kitab karangan Abdurrahman Habanakah24 yang berjudul
Qowā’īdu at-Tadabburi al-Amṣal li Kitābillah. Kitab ini menjelaskan
tentang 27 qoidah sebagai pegangan dan panduan untuk memahami dan
menghayati ayat-ayat al-Qur’an. Penulisan kitab ini berusaha mengangkat
kesadaran dan nilai penting dalam mentadabburi al-Qur’an yang
berdasarkan garis panduan tertentu.
Buku karangan Indra Rustam25 yang berjudul 10 Kunci Tadabbur
24 Abdurrahman habanakah al Maidani, “Qowā’īdu at-Tadabburi al-Amṣal li
Kitābillah”, (Dar al Qolam: Damaskus, 1980). 25 Indra Rustam, “10 Kunci Tadabbur al Qur’an”, (Mahad ‘Aly as Sunnah).
Diterjemahkan dari kitab Mafātīh Tadabbur al-Qur’an Karya Khālid Abdul Karim al-
10
al-Qur’an”, hasil penerjemahan dari kitab Mafātīh Tadabbur al-Qur’an
karya Khālid Abdul Karim al-Lāhim. Buku ini menjelaskan tentang kiat-
kiat dalam mewujudkan penghayatan, manfaat dan pengaruh dari ayat-
ayat al-Qur’an, yang mana antara satu kiat dengan kiat yang lainya saling
melengkapi.
Disertasi yang ditulis oleh Daris Tamim26 dengan judul Kerangka
Kerja Bimbingan Dengan Pendekatan Tadabbur al-Qur’an Untuk
Pengembangan Karakter Sabar Remaja. Tulisan ini berusaha
membuktikan bahwa pendekatan Tadabbur al-Quran dapat
mengembangkan karakter sabar pada remaja. Adapun aplikasi yang
ditawarkan oleh penulis untuk mewujudkan perkembangan karakter sabar
melalui kerangka kerja bimbingan dengan pendekatan Tadabbur adalah
sebagai berikut ; memperdengarkan ayat-ayat suci al-Quran yang
menyentuh hati, pengisahan hidup orang-orang sabar, pembacaan doa
penutup yang menyentuh hati, dan guru BK/konselor sekolah yang
kompeten dalam mengimplementasikan bimbingan dengan pendekatan
Tadabbur al-Quran.
Tesis yang ditulis oleh Fathor Rosy27 dengan judul Kitab Tadabbur
al-Qur’an Karya Bahtiar Nasir Dalam Prespektif Epistimologi. Tulisan
ini bertujuan untuk mengkaji epistimologi kitab Tadabbur al-Qur’an
Karya Bahtiar Nasir. Adapun temuan dalam tulisan ini adalah bahwa
konsep Tadabbur al-Qur’an karya Bachtiar Nasir tidak jauh beda dengan
kitab-kitab tafsir pada umumnya, yang
membedakan hanyalah
penambahan renungan atau Tadabbur di setiap akhir penafsiran ayat.
Lāhim.
26 Daris Tamim, “Kerangka Kerja Bimbingan Dengan Pendekatan Tadabbur al
Qur’an Untuk Pengembangan Karakter Sabar Remaja”. Disertasi S3: Progam Studi
Bimbingan dan Konseling, UPI, Bandung, 2017. 27 Fathor Rosy, “Kitab Tadabbur al-Qur’an Karya Bahtiar Nasir Dalam
Prespektif Epistimologi”. Tesis S2 : Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2017.
11
Sumber penafsiranya bil ra’yi, metode yang digunakan adalah ijmaly
(global), urutanya menggunakan urutan mushaf dan corak penafsiranya
adalah ijtima’i.
Skripsi yang ditulis oleh Sigit Karnianto28 yang berjudul
Kemampuan Berpikir Positif Mutadabbirin al-Qur’an. Tulisan ini, di
samping menunjukkan bahwa Tadabbur al-Qur’an/ dapat menjadikan
seseorang berpikir positif dalam menghadapi kehidupan, juga menjelaskan
manfaat Tadabbur al-Qur’an yaitu keyakinan bahwa setiap hamba
memiliki Robb-nya yang tidak pernah meninggalkan hamba-Nya; semakin
mengingat Alloh sehingga giat beribadah; semakin semangat
mentadabburinya karena merasa bahwa pengetahuannya saat ini sangatlah
sedikit sehingga semakin banyak mentadabburi al-Qur’an maka semakin
banyak memiliki solusi, kenyamanan dalam berpikir, bertindak, dan
berbuat, mendapat wawasan yang baru dari sebelumnya serta mendapat
ketenangan setelah kegelisahan.
Artikel yang ditulis oleh Rumiani dkk.29 yang berjudul Terapi
Tadabbur al-Qur’an Untuk Mengurangi Kecemasan Menghadapi
Persalinan Pertama. Tulisan ini bertujuan untuk menguji pengaruh terapi
Tadabbur al-Qur’an untuk mengurangi kecemasan menghadapi persalinan
pertama. Terdapat dua kelompok ibu hamil yang dijadikan eksperimen
yakni yang pertama mendapat terapi Tadabbur sedangkan yang kedua
tidak. Selanjutnya kedua kelompok ini dibandingkan dengan
menggunakan analisis MannWhitney untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan gain score (selisih) kecemasan yang signifikan saat prates dan
pascates. Adapun hasil temuannya adalah kelompok pertama yang
28 Sigit Karnianto, “Kemampuan Berpikir Positif Mutadabbirin al Qur’an”.
Skripsi S1 : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013. 29 Rumiani dkk., “Terapi Tadabbur al Qur’an Untuk Mengurangi Kecemasan
Menghadapi Persalinan Pertama”. Jurnal Intervensi Psikologi, Vol. 7, No. 2 (Desember
2015).
12
mengikuti Terapi Tadabbur al-Qur’an mengalami penurunan kecemasan)
dibandingkan dengan kelompok kedua yang tidak mengikuti terapi
Tadabbur.
Artikel yang ditulis oleh Nurul Zakirah30 yang berjudul Definisi
Qawaid al-Tadabbur : Satu Analisis Perbandingan deangn Qawaid al-
Tafsir. Tulisan ini mengulas tentang makna dan definisi Qawaid al-
Tadabbur serta membandingkanya dengan Qawaid al-Tafsir untuk
diketahui perbedaan dan hubungan antar keduanya.
Artikel yang ditulis oleh Maisarah dkk.31 yang berjudul
Amalan Tadabbur al-Qur’an Terhadap Pelajar Tahfiz. Tulisan ini
menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara
amalan Tadabbur dengan hafalan al-Qur’an khususnya dalam bab
pemahaman ma’na ayat.
Sedangkan variable kedua tentang term pendeatan semantik, ada
beberapa hasil penelitian diantaranya:
karya Faturrahman32 dan Lutfi Hamidi33 -dua orang yang penulis
sangat kagumi karyanya dan sangat representatif dalam menyoal Izutsu-,
keduanya sama-sama mengupas tuntas perihal Izutsu dari sisi
ketokohannya dalam bidang semantik al-Qur’an, Faturrahman
menegaskan bahwa Izutsu layak dijadikan rujukan dalam bidang studi al-
Qur’an, betapapun Izutsu adalah seorang Non-Muslim. Begitu juga Lutfi
Hamidi, menilai bahwa cara pandang Izutsu mampu menjadikan al-
Qur’an sebagai sesuatu yang dapat “disentuh”. Letak perbedaan antara
30 Nurul Zakirah, “Definisi Qawaid al-Tadabbur : Satu Analisis Perbandingan
deangn Qawaid al-Tafsir”. Jurnal Quranica, Vol. 6, No. 1 (Juni 2014). 31 Maisarah dkk., “Keutamaan Amalan Tadabbur al-Qur’an Terhadap Pelajar
Tahfiz”. Jurnal at Turath, Vol. 3, No. 2 (2018). 32 Faturrahman. “al-Quran dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu”
Tesis S2: Pendidikan Bahasa Arab, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010. 33 Lutfi Hamidi. “Pemikiran Thosihiko Izutsu tentang Semantik al Quran”
Disertasi S3: Ilmu Agama Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009.
13
Faturrahman dan Lutfi hanya seputar titik tekan pembahasannya saja,
Faturrahman lebih menyorot tentang kedudukan Izutsu sebagai Non-
Muslim yang justru memberikan cara pandang unik tentang Al-Qur’an,
sementara Lutfi lebih banyak mengurai tentang metode serta aplikasi
semantik al-Qur’an Izutsu.
Tesis yang ditulis oleh Pandu Kusdiansyah dengan judul
Pendekatan semantik terhadap lafadz nur dalam Al-Qur’an: Pendekatan
Semantik Toshihiko Izutsu34. Tesis ini menjelaskan bahwa nur
merupakan mashdar dari lafadz naara – yanuuru – nuuran yang
bermakna, cahaya, sinar, gejolak serta tidak adanya kepastian. Makna
relasional dari lafadz nur sangat beragam, diantaranya: petunjuk, nur
yang dilawankan dengan dzulumat (kegelapan), perumpamaan mengenai
orang yang mendapat cahaya dan mendapat kegelapan, petunjuk yang
ada pada kitab-kitab terdahulu dan petunjuk yang ada di dalam kitab Al-
Qur’an, balasan bagi orang yang beriman, Nabi Muhammad SAW.,
makna hakiki sebagai cahaya, dan contoh perilaku orang yang
mendapatkan kegelapan. Medan semantik dari semua lafadz nur bisa
diteliti fahami ketika lafadz nur disandingkan dengan lafadz Allah,
Rasul, amanu, kitab, ṣirat, huda, kharaja, qalb, jannah, qamar, żulumat,
dan kafara. Adapun konsep pandangan dunia Al-Qur’an terhadap lafadz
nur yakni, orang yang mendapatkan cahaya Allah SWT yakni orang yang
beriman dan orang yang mendapatkan kegelapan yakni orang kafir.
Skripsi yang ditulis oleh Muflihun Hidayatulloh yang berjudul
Ikhlas dalam al-Qur’an Prespektif Semantik ToShihiko Izutsu.35 Skripsi
34 Pandu Kusdiansyah, “Pendekatan semantik terhadap lafadz nur dalam
Alquran: Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu”. Tesis S2: Ilmu Alqur’an dan Ilmu
Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung 2018. 35 Muflihun Hidayatulloh, “Ikhlas dalam al Qur’an Prespektif Semantik
ToShihiko Izutsu”. Skripsi S1: Ilmu Alqur’an dan Ilmu Tafsir, UIN Syarif Hidayatulloh
Jakarta, 2018.
14
ini menjelaskan bahwa penggunaan ikhlas dalam al-Qur’an bermakna
ketauhidan, keselamatan dan terpilih. Hal Tersebut dibuktikan dengan
pencarian makna dasar, makna relasi serta analisis diakronis dan
sinkronis untuk mendapatkan weltanschauung. Makn dasar ikhlas adalah
murni, sedangkan makna relasinya berkaitan dengan selamat, terpilih,
khusus dan bersih. Atas dasar itulah memebentuk weltanschauung ikhlas
dalam al-Qur’an berorientasi pada makna kemurnian tauhid, keselamatan
dan terpilih. Kemudian weltanschauung ketauhidan adalah konsepsi
tentang ketuhanan, sedangkan selamat dan terpilih kembali pada
konsepsi manusia. Hasil tulisan ini juga menjawab relevansi penggunaan
ikhlas dalam al-Qur’an tidak ada yang berkaitan dengan musibah sama
sekali.
Skripsi36 yang ditulis oleh Siti Fatimah Fajrin dengan judul
Konsep Al-Nar dalam al-Qur’an (Analisis Semantik Toshihiko Izutsu).
Hasil temuan dalam tulisan ini adalah Pertama, bahwa makna dasar kata
al-nar adalah cahaya, Kedua, pemahaman terhadap konsep al-nar
memiliki makna yang statis dan mengalami perubahan jika dilihat dari
segi aspek historisitas makna yaitu kata al-nar digambrkan dengan segala
macam aspek yang berkonotasi negative yakni api dan neraka, serta kata
al-nar dalam prespektif mufassir dan tokoh ilmuwan lainnya mengsrtikan
kata tersebut sebagai suatu tempat pembalasan di akhirat serta diaartikan
sebagai segala sesuatu perbuatan buruk (fisik maupun sifat) yang ada
dalam diri manusia selama hidup di dunia.
Skripsi37 yang ditulis oleh Saiful Fajar dengan judul Konsep
36 Siti Fatimah Fajrin, “Konsep Al-Nar dalam al Qur’an (Analisis Semantik
Toshihiko Izutsu)”. Skripsi S1: Ilmu Alqur’an dan Tafsir, UIN Sunan
Kalijaga,Yogyakarta, 2017. 37 Saiful Fajar, “Konsep Syaitan dalam al Qur’an (Kajian Semantik ToShihiko
Izutsu)”. Skripsi S1: Ilmu Alqur’an dan Ilmu Tafsir, UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta,
2018.
15
Syaitan dalam al-Qur’an (Kajian Semantik ToShihiko Izutsu). Skripsi ini
menjelaskan bahwa Kata syaiṭān memiliki makna dasar jauh. Secara
sintagmatik, kata syaiṭān senantiasa melingkupi tiga makna, yaitu: yang
merusak iman dan aqidah manusia, yang merusak diri manusia, dan yang
menjadi prajurit Nabi Sulaiman As. Secara paradigmatik kata syaiṭān
menjalin hubungan sinonimitas dengan kata al-ins, dan al-jinn.
Sedangkan hubungan antonimitas kata syaiṭān adalah dengan rabb dan
raḥman yaitu Tuhan sendiri. Kata ini pada masa pra Qur’anik dipahami
sebagai makhluk seperti jin. Sedangkan di masa Qur’anik, kata ini
dikonsepsikan sebagai sifat keburukan yang juga dimiliki manusia.
karena al-Qur’an sendiri menyebutnya dengan syayāṭīn alins wa al-jinn.
Dengan demikian, secara semantik, kata syaiṭān bermakna sebagai suatu
keburukan yang hidup dalam diri jin dan manusia yang mengarahkan
keduanya untuk menjauhi Allah Swt.
Skripsi 38 yang ditulis oleh Wahyu Kurniawan dengan judul,
Makan Khalifah dalam al-Qur’an : Tinjauan Semantik al-Qur’an
Toshihiko Izutsu. Skripsi ini menjelaskan bahwa kata Khalīfah dalam Al
Quran tidak mempunyai makna sebagai sebuah sistem politik akan tetapi
lebih kepada pengganti Allah dalam hal menjaga dan melestarikan bumi
(Khalīfah fi al Ardh) dan sebagai pengganti pemimpin sebelumnya.
Artikel yang ditulis oleh Ismatillah yang berujudul Makna Wali
dan Auliya dalam Al-Qur’an (Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik
Toshihiko Izutsu).39 Jurnal ini menjelaskan bahwa kata wali dan auliya
memiliki makna dasar dekat, dan memiliki makna relasional yang banyak
38 Wahyu Kurniawan, “Makna Khalifah dalam al Qur’an : Tinjauan Semantik
al Qur’an Toshihiko Izutsu”, Skripsi S1: Ilmu Alqur’an dan Ilmu Tafsir, IAIN Salatiga,
2017. 39 Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim & M. Maimun, “Wali dan Auliya dalam Al-
Quran (Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu)”, dalam Jurnal
Diya al-Afkar, Vol. 4, No. 02 Desember 2016.
16
tergantung konteks di mana kata tersebut digunakan, diantaranya yaitu
penolong, pelindung, teman setia, anak, pemimpin, penguasa, kekasih,
saudara seagama, ahli waris, orang yang bertakwa, yang semuanya tidak
lepas dari makna dasarnya yaitu dekat.
Dari beberapa karya tersebut yang secara spesifik mengulas
tentang ma’na Tadabbur dalam prespektif semantik Toshihiko Izutsu
masih belum ada. Sehingga penulis anggap kajian ini cukup penting
untuk dibahas.
G. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori semantik
Thosihiko Izutsu. Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo tahun 4 Mei 1914 dan
meninggal di Kakamura 7 Januari 1993.40 Toshihiko Izutsu merupakan
intelektual yang jenius, terutama dalam bidang bahasa. Toshihiko Izutsu
menguasai beberapa bahasa dunia, seperti Arab, Yunani, Inggris, dan
sebagainya. Kemampuan ini menunjukkan Toshihiko Izutsu memiliki
kapasitas yang kuat dalam menjelaskan persoalan bahasa.
Penyelidikannya terhadap kebudayaan dunia dapat dijelaskan secara
spesifik dalam mencari substansi berbagai sistem keagamaan maupun
filsafat melalui bahasa. Di antaranya filsafat Yunani kuno, filsafat Barat
abad pertengahan, mistisisme Islam, Yahudi, India, Konfusianis, Taoisme,
maupun filsafat Zen.41
Semantik menurut Toshihiko Izutsu adalah kajian analitik terhadap
istilah- istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya
sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia
40 Fatturahman, “Konsep Semantik Al-Qur‟an Perspektif Toshihiko Izutzu”,
Tesis Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana
UIN, 2013), 52. 41 Fatturahman, “Konsep Semantik”, 53.
17
masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara
dan berpikir, tetapi yang lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran
dunia yang melingkupinya.42
Dalam semantik, Toshihiko Izutsu menekankan pentingnya makna
dasar kata atau term itu sendiri, terutama dalam memahami al-Qur’an.
Hal ini mengarahkan kata kunci sebagai langkah pemaknaan diakronis
terhadap term-term pada al-Qur’an. Toshihiko Izutsu memberikan tiga
alasan mengenai pentingnya kata kunci dalam analisis semantiknya.
Pertama terdapat keterkaitan antara term yang dipahami dengan kata
kunci yang menjadi kunci pemaknaan yang komprehensif. Kedua kata
kunci menunjuk pada makna yang baru atau keistimewaan makna atas
term yang digunakannya. Ketiga semantik historis memiliki kelebihan
dibanding semantik statis dalam memahami kosakata dalam al-Qur’an.43
H. Metodologi Penelitian
Penelitian membutuhkan suatu metode44 agar mencapai hasil yang
objektif, sistematis dan ilmiah. Metode merupakan sarana yang amat
penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah
penelitian. Dalam penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan
beberapa kerangka metode penelitian sebagaimana berikut:
1. Sumber Data
Secara umum, sumber data dibagi menjadi dua, yaitu sumber data
42 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 2. 43 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 32. 44 Adapun metode yang dimaksud disini adalah metode penelitian, hal ini
mengacu pada pengertian metode penelitian yaitu ilmu yang mempelajari metode-
metode penelitian, lihat, Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta:
Reka Sarasih, 1996), 15.
18
primer dan sumber data sekunder. Dalam penelitian ini, penulis
mengambil sumber primernya dari ayat-ayat Tadabbur serta dengan
berbagai derivasiannya yang terdapat dalam al-Qur’an dan buku karya
Toshihiko Izutsu berjudul God and Man in the Koran untuk menggali
pemikiran semantik al-Qur’an Izutsu. Adapun sumber data sekunder
dalam penelitian ini adalah beberapa kitab Tafsir untuk menggali makna
Tadabbur dalam al- Qur’an. Selain itu juga mengambil dari karya- karya
ilmiah lainnya, jurnal, skripsi, tesis, dan disertasi yang berkaitan dengan
tema Tadabbur, Semantik, dan Thosihiko Izutsu.
2. Tehnik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang berupa buku dan karya ilmiah
tertulis, maka teknik pengumulan data dalam penelitian ini ialah tergolong
dalam penelitian kepustakaan atau Library Reseach. Data dicari dan
dikumpulkan melalui cara online dan offline. Cara online ditempuh
dengan mengakses website books.google.co.id, scholar.google.co.id,
portalgaruda.org, onesearch.id, dan Digital Library beberapa Universitas.
Sedangkan cara offline, penulis melakukannya dengan menelusuri buku-
buku terkait.
3. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analis isi45
dan semantik, dengan tahapan sebagai berikut :
a. Mendeskripsikan makna dasar kata Tadabbur yang terdapat
dalam berbagai kamus dan sumber lainnya, seperti puisi-puisi
45Analisis Isi adalah tehnik penelitian khusus untuk melaksanakan analisis
tekstual. Analisis Isi termasuk mereduksi teks menjadi unit-unit dan membuat skema
pengodean dalam unit-unit tersebut. Lihat terjemahan Maria Natalia, Pengantar Teori
Komunikasi Analisis dan Aplikasi, (Jakarta, Salemba Humanika, 2008). 86.
19
Arab klasik.
b. Melihat makna Tadabbur berdasarkan pendekatan sintagmatik,
yaitu menguraikan relasi makna Tadabbur berdasarkan kata-
kata yang menyertainya. Mencari hubungan asosiasi kata
Tadabbur secara paradigmatik dengan melihat hubungan makna
yang mendekati (similiarity) makna kata Tadabbur.
c. Menyusun jaringan asosiasi medan semantik Tadabbur.
d. Menelusuri semantik historis Tadabbur.
e. Mencari Weltanschaung Tadabbur dalam al-Qur’an.
4. Tehnik Penulisan
Penulisan penelitian ini akan merujuk pada pedoman penulisan
skripsi yang telah ditetapkan oleh Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah tahun 2017. Semua transliterasi Arab-Latin akan merujuk
pada penulisan transliterasi Arab-Latin yang ditetapkan oleh Menteri
Agama dan Menteri P dan K nomor 158 tahun 1987.
Terkait dengan transliterasi Arab-Latin, ada beberapa kata yang
penulisannya tidak mengikuti transliterasi, yaitu kata-kata serapan, seperti:
Allah, Islam, rida, ikhlas, syukur, dan lain-lain. Kata-kata serapan tersebut
ditulis dengan mengikuti tata penulisan dalam bahasa Indonesia yang
sudah dibakukan. Selanjutnya, penulisan kata “al-Qur’an dan hadits”
dalam penelitian ini, merujuk pada ketetapan yang telah ditentukan oleh
lembaga penelitian Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah tahun
2017.
I. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis agar memperoleh
hasil yang terarah, skripsi ini diuraikan ke dalam beberapa bab dengan
20
sub-subnya sebagaimana berikut :
BAB I yakni menjelaskan tentang pendahuluan yang mana bagian
ini menjelaskan latar belakang permasalahan kemudian diteruskan dengan
rumusan masalah sebagai bingkai penentu arah penelitian dengan
ditunjang oleh tujuan serta manfaat penelitian. Kemudian ada tinjauan
pustaka sebagai penjelasan tentang penelitian terdahulu yang relevan,
disertai dengan metode penelitian untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Penulis mengakhiri bab ini dengan sistematika penulisan. Bab
pendahuluan disusun dengan tujuan untuk memerkenalkan pokok-pokok
penelitian ini.
Bagian selanjutnya adalah BAB II. Bab ini menjelaskan tentang
definisi semantik dan sejarah perkembanganya. Kemudian bagaimana
pengalaman semantik bersentuhan dengan al-Qur’an. Pada bagian akhir
dijelaskan metodologi semantik al-Qur’an Toshihiko Izutsu. Tujuannya
dari bab kedua ini untuk menjelaskan gambaran umum semantik al-Qur’an
Toshihiko Izutsu
Bagian berikutnya adalah BAB III. Bab ini membahas tentang
pengertian Tadabbur dan penafsiran ayat tentang Tadabbur. Posisi bab
ketiga adalah lanjutan dari bab kedua. Setelah memahami bagaimana
gerak metodologi semantik al-Qur’an Toshihiko Izutsu, kemudian
dihantarkan untuk memahami makna Tadabbur dalam al-Quran dari
beberapa kitab tafsir. Pengertian Tadabbur dalam karya tafsir perlu
disampaikan sebelum mencari makna kata Tadabbur menggunakan
pendekatan semantik Izutsu, hal ini bertujuan untuk mempermudah
mengetahui makna dasar dan makna relasional Tadabbur.
Bagian selanjutnya adalah BAB IV. Bab ini membahas tentang
tehnik semantik Toshihiko Izutsu dan penerapannya pada kata Tadabbur.
Bab ini merupakan pokok penelitian dalam skripsi ini. Di akhir bab ini,
21
penulis mencantumkan uraian tentang penggunaan praktis kata Tadabbur
di kalangan masyarakat serta relevansinya dengan pandangan al-Qur’an.
Tujuannya, agar penelitian ini menemukan kegunaannya dan tidak hanya
menjadi wacana yang kosong.
Bagian terakhir adalah BAB V. bab ini menjelaskan kesimpulan
dan saran. Kesimpulan merupakan jawaban atas batasan dan rumusan
yang telah dibuat. Adapun saran berisi tentang saran kepada peneliti
selanjutnya yang akan meneliti baik Tadabbur maupun semantik
Toshihiko Izutsu.
22
23
BAB II
GAMBARAN UMUM SIMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU
Bab ini menjelaskan tentang definisi semantik dan sejarah
perkembanganya. Kemudian menjelaskan bagaimana pengalaman
semantik bersentuhan dengan al-Qur’an. Pada bagian akhir dijelaskan
metodologi semantik al-Qur’an Toshihiko Izutsu. Tujuannya dari bab
kedua ini untuk menjelaskan gambaran umum dan gerak metodologi
semantik al-Qur’an Toshihiko Izutsu
A. Definisi Semantik
Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa inggris
semantics. Secara etimologi, Semantik berasal dari bahasa Yunani sema
(kata benda) yang berarti "tanda" atau "lambang” atau semaino (kata
kerja) yang berarti "menandai" atau "melambangkan”.1 Dalam sumber
lain, Suhardi mengutip pendapat Tarigan menyatakan bahwa kata
Semantik berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata Semantickos. Seman
mengandung makna tanda, sementara tickos mengandung makna ilmu.
Dengan demikian, semantik dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang
tanda. Secara lebih luas kata Semantikos dapat diartikan penting atau
berarti.2
Adapun definisi semantik yang lebih lengkap dan lebih mengarah
kepada pembahasan semantik dapat dilihat dalam pengertian yang
dikemukakan oleh Griffiths yaitu bahwa semantik adalah kajian terhadap
perangkat makna: pengetahuan yang tersandikan dalam kosakata bahasa
dan bagaimana kata tersebut digunakan dalam membentuk makna yang
1 M. Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer (Jakarta:
Prenamedia Group, 2016), 2. 2 Suhardi, Dasar-Dasar Ilmu Semantik (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2015), 17.
24
lebih luas hingga pada tingkatan kalimat.3 Definisi yang agak berbeda
dapat disimpulkan dari apa yang terdapat dalam Encyclopedia of
Linguistics yakni Semantik adalah kajian terhadap makna tanda dan
representasi, baik secara mental maupun secara linguistik. Tujuan akhir
dari semantik adalah membangun teori yang bersifat umum tentang
makna.4 Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Semantik
adalah ilmu tentang makna kata, pengetahuan mengenai seluk-beluk dan
pergeseran arti kata-kata.5 Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa semantik merupakan cabang ilmu lingustik yang
mengkaji makna bahasa dan perubahan-perubahannya.
Kajian semantik lebih menitikberatkan pada bidang makna dengan
berpangkal dari acuan dan simbol. Selain menelaah makna, semantik juga
menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna,
hubungan makna yang satu dengan yang lain dan pengaruhnya terhadap
manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-
makna kata, perkembangannya, dan perubahannya. Jadi semantik adalah
makna, membicarakan makna, bagaimana asal mula makna, bagaimana
perkembangannya, dan mengapa terjadi perubahan makna dalam bahasa.6
Terdapat beberapa istilah yang bersinggungan langsung dengan
semantik yakni semiotik dan semiologi. Untuk melihat lebih jelas
hubungan antara istilah-istilah tersebut, perlu kiranya meninjau terlebih
dahulu definisi semiotik dan semiologi. Sebenarnya semiotik dan
semiologi merupakan dua istilah bagi disiplin ilmu yang mengkaji tentang
tanda. Menurut Umberto Eco, semiotik adalah ilmu yang berkaitan dengan
3 Makyin Subuki, Semantik : Pengantar Memahami Makna Bahasa (Jakarta:
Transpustaka, 2011), 4. 4 Makyin Subuki, Semantik : Pengantar Memahami Makna Bahasa, 5. 5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 850. 6 M. Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 3.
25
segala sesuatu yang dapat dijadikan tanda, yaitu segala sesuatu yang
secara signifikan dapat menggantikan sesuatu yang lain.7 Sementara
Roland Barthes menjelaskan bahwa semiologi adalah ilmu yang
mengeksplorasi makna terkait dengan signifikasi sosial-politisnya. Lebih
dari analisis kata-kata linguistik, semiologi juga menganalisis berbagai
objek kultural (pakaian, program televisi, makanan, dan sebagainya)
sebagai tanda-tanda yang menyembunyikan "mitos-mitos" kultural yang
berada di belakangnya. Akan tetapi, istilah yang lazim digunakan hingga
saat ini adalah semiotik. Perbedaan ini menandai perbedaan tradisi asal
kajian dan model pandangan terhadap tanda. Istilah semiotik (semiotics)
pada mulanya diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce di Benua
Amerika sedangkan semiologi (semiology) diperkenalkan oleh Ferdinand
de Saussure di Benua Eropa.8
Semantik dan Semiotik adalah dua istilah yang memiliki
persamaan dan perbedaan. Persamaan kedua bidang ilmu bahasa tersebut
adalah sama-sama menjadikan makna sebagai objek kajiannya. Sementara
perbedaannya, semantik lebih fokus mengkaji tentang makna kata,
sedangkan semiotik lebih fokus melakukan kajiannya pada makna yang
berkaitan dengan simbol, tanda, atau lambang.9 Lebih jauh lagi, Parera
mengatakan bahwa semiotik bukan hanya berhubungan dengan simbol
bahasa, melainkan juga berhubungan dengan simbol-simbol non-bahasa
dalam komunikasi antar manusia. Dapat dikatakan bahwa semiotika
adalah ilmu simbol komunikasi yang bermakna.10
Selain istilah semantik, semiotik, semiologi, dalam sejarah
linguistik ada pula yang menggunakan istilah lain seperti semasiologi,
7 Makyin Subuki, Semantik : Pengantar Memahami Makna Bahasa, 34. 8 Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi terj. M Ardiansyah (Yogyakarta:
Basabasi, 2017), 3. 9 Suhardi, Dasar-Dasar Ilmu Semantik, 42. 10 Jos Daniel Parera, Teori Simantik, Terj. (Jakarta : Erlangga, 2004.), 41.
26
sememik dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari
makna dari suatu tanda atau lambang. Namun, istilah semantik lebih
umum digunakan dalam studi ilmu bahasa karena istilah-istilah yang
lainnya itu mempunyai cakupan objek yang lebih luas, yakni mencakup
makna tanda atau lambang pada umumnya. Termasuk tanda-tanda lalu
lintas, kode Morse, tanda-tanda dalam ilmu matematika dan lain-lain.
Sedangkan cakupan semantik hanyalah makna atau arti yang berkenaan
dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal.11
Terlihat dari perbedaan antara semantik dan istilah-istilah lain di
atas bahwa makna adalah objek yang menjadi ruang lingkup kajian
semantik. Untuk lebih memperjelas ruang lingkup semantik, Parera
menjelaskan bahwa semua ujaran dalam bahasa yang bermakna dan
hubungan-hubungan makna yang dikandung oleh ujaran itu adalah obyek
kajian ruang lingkup semantik.12 Dengan kata lain, ruang lingkup
semantik adalah pencirian hakikat makna dan hubungannya. Subuki
memberi kesimpulan tentang batasan makna dalam semantik bahwa
makna yang dikaji dalam semantik terbatas pada makna kalimat, makna
komponen pembentuk kalimat dan bagaimana makna kalimat ini dibentuk
melalui makna komponen pembentuknya dan hubungan antar-komponen
tersebut.13 Lebih luas dari kalimat, Djadjasudarma mengatakan ruang
lingkup semantik dapat menjangkau semua tataran bahasa, fonologi,
morfologi, sintaksis, dan wacana, bahkan teks.14
Semantik merupakan bidang yang sangat luas, karena melibatkan
unsur-unsur struktur dan fungsi bahasa yang berkaitan erat dengan
11 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1995), 3. 12 Jos Daniel Parera, Teori Simantik, 51 13 Makyin Subuki, Semantik : Pengantar Memahami Makna Bahasa, 6. 14 T. Fatimah Djadjasudarma, Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna
(Bandung : PT Refika, 1999), 4.
27
psikologi, filsafat dan antropologi serta sosiologi. Antropologi
berkepentingan di bidang semantik antara lain, karena analisis makna di
dalam bahasa dapat menyajikan klasifikasi budaya pemakai bahasa secara
praktis. Filsafat berhubungan erat dengan semantik karena persoalan
makna tertentu yang dapat dijelaskan secara filosofis misalnya makna
ungkapan dan peribahasa. Psikologi berhubungan erat dengan semantik,
karena psikologi memanfaatkan gejala kejiwaan yang ditampilkan
manusia secara verbal atau nonverbal. Sosiologi memiliki kepentingan
dengan semantik, karena ungkapan atau ekspresi tertentu dapat menandai
kelompok sosial atau identitas sosial tertentu.15 Bahkan Izutsu mengatakan
selain sebagai studi makna, semantik tidak terkecuali menjadi sebuah
filsafat tipe baru yang secara keseluruhan didasarkan pada konsepsi baru
tentang ada dan eksistensi, lalu berkembang dengan banyak perbedaan dan
cabang berbeda-beda yang lebih luas dari ilmu tradisional.16
Para ahli Lingustik telah memunculkan beragam teori tentang
makna (semantik), akan tetapi sejauh ini belum ditemukan teori semantik
yang lengkap atau menyeluruh. Masing-masing ahli mendefinisikan
menurut pemahamannya masing-masing pula. Hal tersebut sebagaimana
yang dikemukakan Lyon bahwa belum ada teori semantik yang
memuaskan dan menyeluruh. 17 Dengan kata lain, Izutsu mengungkapkan
bahwa belum ditemukan kesatuan bentuk ilmu semantik yang rapi dan
teratur; semua teori yang dimiliki oleh para ahli terdahulu adalah sejumlah
teori tentang makna yang beragam. Artinya, setiap orang yang berbicara
tentang semantik tentu saja cenderung menganggap dirinya paling berhak
mendefinisikan dan memahami kata-kata tersebut sebagaimana
15 T. Fatimah Djadjasudarma, Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna, 3. 16 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Terj. Agus Fahri Husein, dkk.
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.), 2. 17 Suhardi, Dasar-Dasar Ilmu Semantik, 20.
28
disukainya.18 Oleh sebab itu untuk mengetahui berbagai macam teori yang
dikemukakan oleh para ahli, pada sub bab selanjutnya akan dijelaskan
sejarah dan perkembangan semantik.
B. Sejarah Perkembangan Semantik
Pada bagian ini penulis akan memaparkan tentang sejarah dan
perkembangan ilmu semantik. Penjelasan ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana para ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang
semantik.
. Istilah semantik sebenarnya merupakan istilah baru pada kurun
abad 19 M, akan tetapi jika berbicara benih (asal-usul) semantik, justru
telah ada sejak zaman filsuf Yunani klasik. Aristoteles (384 - 322 SM)
seorang sarjana bangsa Yunani sudah menggunakan istilah makna, yaitu
ketika dia mendefinisikan mengenai kata. Menurut Aristoteles kata adalah
satuan terkecil yang mengandung makna. Kemudian ia menjelaskan juga
bahwa kata itu memiliki dua macam makna, yaitu (1) makna yang hadir
dari kata itu sendiri secara otonom, dan (2) makna yang hadir sebagai
akibat terjadinya proses gramatika. Makna yang pertama barangkali bisa
dibandingkan sekarang dengan yang disebut makna leksikal, sedangkan
makna yang ke dua barangkali bisa dibandingkan dengan yang disebut
makna gramatikal.19
Sarjana Yunani lainnya, yaitu Plato (429 - 347 SM), yang juga
menjadi guru Aristoteles, dalam Cratylus ia menyatakan bahwa bunyi-
bunyi bahasa secara implisit juga mengandung makna-makna tertentu.
Sayangnya, pada masa itu studi bahasa mengenai tataran bunyi, tataran
gramatika, dan tataran makna belum ada. Studi bahasa masih lebih banyak
18 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 2. 19 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, 13.
29
berkaitan dengan studi filsafat. Pada masa itu memang ada perbedaan
pendapat antara Plato dan Aristoteles. Plato percaya adanya hubungan
berarti antara kata (bunyi-bunyi bahasa) yang kita pakai dengan barang-
barang yang dinamainya. Sedangkan Aristoteles berpendapat bahwa
hubungan antara bentuk dan arti kata adalah soal perjanjian di antara
pemakai bahasa. Pendapat Aristoteles inilah yang populer dianut
sekarang.20
Kegiatan para ilmuan di masa klasik dalam mengkaji makna
sebenarnya belum bisa dikatakan sebagai kajian semantik sebagai yang
berdiri sendiri yaitu cabang dari linguistik, seperti apa yang kita pahami
sekarang. Akan tetapi, kajian mereka itu merupakan embrio dari kelahiran
semantik.
Cikal bakal semantik sebagai disiplin ilmu dalam linguistik baru
dimulai pada tahun 1825 M. Seorang pakar lingusitik berkebangsaan
jerman yang bernama C. Reisig (1792 – 1829 M) mengemukakan
pendapatnya tentang kata bahasa yang dibagi atas tiga bagian yakni
etimologi, sintaksis, dan semasiologi. Etimologi merupakan studi tentang
asal usul kata, perubahan bentuk kata dan perubahan makna; sintaksis
merupakan studi tentang susunan kalimat dan semasiologi adalah studi
tentang makna, sebuah bidang yang berhubungan dengan istilah semantik
yang kita kenal saat ini.21
Baru di akhir abad ke-19, istilah "semantik" di Barat, sebagai ilmu
yang berdiri sendiri, dimunculkan dan dikembangkan oleh ilmuwan
Perancis, Michael Breal (1883 - 1915 M), melalui karyanya Les Lois
Intellectuelles du Langage dan Essai de Semantique (1897 M). Meskipun
saat itu Breal menganggap semantik sebagai ilmu baru, ia masih menyebut
20 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, 13. 21 Makyin Subuki, Semantik : Pengantar Memahami Makna Bahasa, 6.
30
semantik sebagai ilmu yang murni-historis, dalam arti masih berkaitan erat
dengan unsur-unsur di luar bahasa, seperti latar belakang perubahan
makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi, budaya, dan
sebagainya. Oleh karena itu, Breal dianggap sebagai orang pertama yang
mengkaji makna secara ilmiah, modern, dan spesifik. Dalam kajiannya
tersebut Breal meneliti makna kata yang terdapat dalam bahasa-bahasa
klasik yang terhimpun dalam rumpun bahasa India-Eropa seperti bahasa
Yunani, Latin, dan Sansekerta.22
Kajian semantik menjadi lebih terarah dan sistematis setelah
tampilnya Ferdinand de Saussure dari Swiss (1857 – 1915 M) dengan
karyanya, Course de Linguistique Generale (1916 M). Ia dijuluki sebagai
Bapak linguistik modern. Salah satu hal yang paling berpengaruh dari de
Saussure adalah pandangannya mengenai tanda. Ia berpendapat bahwa
tanda merupakan sebuah kesatuan antara dua entitas mental yang terdiri
atas signifiant (signifier atau penanda), yaitu image acoustique atau citra
bunyi, dan signifie (signified atau petanda), yang disebutnya sebagai
konsep. Hal lain dari de Saussure yang berpengaruh besar terhadap kajian
linguistik adalah pendapatnya bahwa penelitian sinkronik merupakan
dasar bagi penelitian diakronik. Dengan demikian, penelitian terhadap
bahasa dibatasi pada satu lapisan waktu tertentu saja, sehingga bahasa
dapat dilihat sebagai sebuah sistem yang tetap dan dapat dibebaskan dari
unsur ekstralingual, termasuk waktu. Akibatnya, penelitian bahasa,
termasuk semantik, lebih banyak bersifat deskriptif-sinkronik dari pada
historis-diakronis.23 Pandangan inilah yang kemudian mempengaruhi
berbagai bidang penelitian, terutama di Eropa. Hal lain yang menarik dari
Kajian de Saussure tentang tanda adalah selain didasarkan pada analisis
22 M. Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 8. 23 Makyin Subuki, Semantik : Pengantar Memahami Makna Bahasa, 6.
31
struktur bahasa juga berdasarkan analisis sosial, psikologis, dan
pemikiran.24
Setelah de Saussure, banyak bermunculan pemikir-pemikir barat
yang fokus mengkaji tentang bahasa seperti Edward Sapir (1884 – 1939
M) salah seorang tokoh Strukturalisme yang menulis buku berjudul
Language : Introduction to the Study of Speech (1921 M) walaupun tidak
pernah menyebut-nyebut istilah makna maupun semantik, tetapi dia
membicarakan juga tentang konsep atau ide. Dia menyatakan bahwa
bahwa bahasa, budaya, dan kepribadian adalah satu kesatuan utuh. Bahasa
adalah sarana apresiasi perilaku dan pengalaman manusia, karena
pengalaman dapat diinterpretasikan oleh adat kebiasaan bahasa. Dengan
demikian, maka bahasa – menurut Edward Sapir – merupakan alat untuk
mengungkapkan ide atau gagasan. Hipotesis ini kemudian diperkuat oleh
Hans Georg Gadamer (1900-1960 M.) yang menyatakan bahwa bahasa
adalah produk kekuatan mental manusia, dan setiap bahasa dengan
kekuatan linguistiknya merupakan wadah akal-budi manusia.25
Dua sarjana dari Ingris C.K. Ogden (1889 – 1957 M) dan LA.
Richards (1893 – 1979 ) menerbitkan buku berjudul The Meaning of
Meaning (1923 M). Karya ini menandakan satu titik balik historis dalam
sejarah semantik. Sudah banyak tulisan tentang semantik hanya berkisar
pada tataran kata, Juga terdapat tulisan tentang semantik yang hanya
memperhatikan aspek psikologi penggunaan bahasa. Dua penulis ini,
Ogden dan Richards, telah membawa satu pembaruan: disamping
menghubungkan kata dan pikiran ke benda dan objek, mereka membuat
pembagian bahasa menjadi dua jenis yakni bahasa simbolik dan bahasa
emotif. Setiap kata yang menyatakan perasaan dan sikap adalah
24 M. Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 8. 25 Fathurrahman, Al-Qur’an dan Tafsirnya Dalam Prespektif Thoshihiko Izutsu
(Tesis Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, 2010), 85.
32
bahasa emotif seperti ‘baik, kebebasan kemerdekaan, kesetiaan prinsip,
kepercayaan, rajin, penting’. Bahasa emotif mempunyai kegunaan dalam
proses komunikasi untuk membangkitkan sikap yang diharapkan dari
orang lain atau untuk mendorong orang lain bertindak. Akan tetapi bahasa
emotif tidak mempunyai tempat dalam ilmu baru simbolisme. Sedangkan
contoh dari bahasa simbolik adalah bahasa ilmu. Dalam bahasa ilmu, kata-
kata merujuk secara khusus, terbatas, dan tepat kepada kata
benda/fakta/data tanpa kemasukan sikap penulis. Seorang penulis tulisan
ilmiah tidak akan mengatakan "Hari ini panas". la akan menyatakan "Suhu
sekarang 33 derajat Celcius". Bahasa ilmu adalah bahasa simbolik
terbaik.26
Berikutnya muncul seorang filolog Swedia, yakni Gustaf Stern
(1882 – 1948) dengan karyanya Meaning and Change of Meaning, with
Special Refe rence to The English Language (1931). Stern, dalam kajian
itu, sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu
bahasa, yakni bahasa Inggris.27
Ada juga ilmuwan yang dianggap cukup memberikan corak, warna
dan arah baru dalam kajian bahasa, yaitu Leonard Bloomfield (1877 -
1949 M). dalam bukunya Language (1933) menjelaskan bahwa seseorang
dapat mendefinisikan arti kata secara tepat apabila arti tersebut
berhubungan dengan hal-hal umum yang diketahui secara ilmiah, tetapi ia
akan kesulitan mendefinisikan arti kata-kata seperti cinta dan benci, malah
seringkali dijumpai arti kata di dalam bahasa tidak cocok dengan
penggolongan ilmiah. Misalnya ikan paus dan ikan lumba-lumba yang
secara ilmiah termasuk golongan mamalia, tetapi di dalam bahasa di sebut
ikan. Di sinilah letaknya kelemahan pelajaran bahasa : arti lebih sering
26 Jos Daniel Parera, Teori Simantik, 28. 27 M. Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 10.
33
didefinisikan seberapa dapat saja. Dalam kamus malah sering terjadi
sirkumlokusi: Yakni penjelasan arti kata dilakukan secara berputar-putar.
Misalnya, kata kucing diartikan sebagai 'binatang rupanya sebagai
harimau kecil'; sedangkan harimau diartikan sebagai 'binatang buas,
rupanya sebagai kucing besar. Kalau kucing adalah harimau kecil, dan
harimau adalah kucing besar, maka apa itu kucing dan apa itu harimau
tetap belum jelas.28
Tokoh lain yang berjasa dalam perkembangan linguistik khususnya
semantik adalah Noam Chomsky (1928 – 2018 M), seorang tokoh aliran
tata bahasa transformasi. Dalam bukunya Aspect of the Theory of Syntax
(1965) dia menyebutkan bahwa makna merupakan unsur pokok dalam
analisis bahasa dan semantik merupakan salah satu komponen dari tata
bahasa. Dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi: dan arti kalimat
sangat ditentukan oleh komponen semantik.29
Pada paruh ke dua abad ke 20 kajian semantik memang mengalami
perkembangan yang signifikan. Istilah semantik pun menjadi bermacam-
macam, akan tetapi orang lebih banyak menggunakan istilah semantik,
seperti halnya Palmer (1976), Lyons (1977), dan Leech (1974). Selain
para tokoh di atas, masih ada Max Muller dengan dua bukunya The
Science of Language (1862) dan The Science of Thought (1887) Demikian
juga, Adolf Noreen (1854-1925) dengan bukunya lughatuna yang
mengkaji makna secara khusus dalam bab-bab bukunya dengan
menggunakan istilah semiology. 30
Fokus pengembanganya semantik pun telah meluas, disamping
pada umumnya untuk menelaah makna kata, kalimat dan teks bahasa, dari
jepang muncul sarjana yang melakukan analisis semantik terhadap
28 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, 15. 29 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, 16. 30 M. Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, 10.
34
beberapa konsep dalam kitab suci al-Qur’an. Ia adalah Toshihiko Izutsu
(1914 – 1993 M) yang menawarkan metode baru dalam semantik yang ia
sebut sebagai ‘Semantik al-Qur’an’. Gagasan semantik al-Qur’an
terdokumentasikan dalam bukunya yang berjudul The Structure of Ethical
Terms in the Koran (1959). Dalam buku ini, Izutsu menganalisa konsep
kepercayaan dalam teologi Islam. Tulisannya ini menjadi pantauan
sekaligus kajian cendekiawan muslim kaitannya dengan teks al-Qur’an.
Penggunaan semantik sebagai sudut pandang kajian Izutsu dalam
membaca teks dilakukannya secara serius. Hal ini dapat ditemukan dalam
berbagai karya yang ditulisnya, di antaranya: Language and Magic:
Studies in the Magical Function of Speech (1956), God and Man in the
Koran: Semantics of the Quranic weltanschaung (1964), Ethico-Religius
Concepts in the Koran dan The Concep of Belief in Islamic Theology
(1966). Lewat karya-karyanya, izutsu menunjukkan bahwa sejak awal ia
konsisten menggunakan metode analisis semantik terhadap bahan-bahan
yang disediakan oleh kosakata al-Qur’an.
Pada sub bab selanjutnya akan dibahasa lebih spesifik hubungan
antara semantik al-Qur’an dan khazanah ilmu tafsir.
C. Tafsir dan Semantik al-Qur’an
Istilah tafsir dan semantik memang muncul dari lingkungan tradisi
keilmuan yang berbeda. Lebih dahulu tafsir, ia muncul dari dunia timur
yang sarat akan nuansa kajian teosentrisnya, sedangkan belakangan,
semantik muncul dari dunia barat yang konsen dalam kajian dengan
nuansa antroposentrisnya. Akan tetapi jika kita ambil point semantik
sebagai diskursus yang fokus mengkaji makna teks bahasa sebagai cabang
ilmu linguistik, maka gagasan tersebut sama sekali bukan merupakam
teori baru, sebab dalam perjalanan perkembangan tafsir, sarjana muslim
35
klasik banyak yang telah menulis kitab tafsir dengan menggunakan
pendekatan linguistik, terutama analisa makna.
Meminjam istilah Nur Kholis Setiawan terdapat kesadaran
semantik yang telah lebih dulu ada pada penafsiran sarjana muslim klasik
dalam jagad penafsiran al-Qur'an. Dimulai sejak sarjana yang bernama
Muqātil ibn Sulaimān (w. 150 H/767 M) dengan karyanya yang berjudul
al-Asybāh wa al-Nażair fi al-Qur'an al-Karīm dan Tafsir Muqātil ibn
Sulaimān. Muqātil ibn Sulaimān menegaskan bahwa setiap kata dalam al-
Qur'an, di samping memiliki arti yang definitif, juga memiliki beberapa
alternatif makna lainnya. Salah satu contohnya adalah kata mawt, yang
memiliki arti dasar "mati." Menurut Muqātil dalam konteks pembicaraan
ayat, kata tersebut bisa memiliki empat arti alternatif, yaitu i) tetes yang
belum dihidupkan, ii) manusia yang salah beriman, iii) tanah gersang dan
tandus, serta iv) ruh yang hilang. Dalam konteks ayat 39 pada surat az-
Zumār, "sesungguhnya kamu akan mati, juga mereka," kata tersebut
berarti mati yang tidak bisa dihidupkan kembali. Dari contoh tersebut
berkenaan dengan kemungkinan makna yang dimiliki oleh kosa kata
dalam al-Qur'an, Muqātil menyatakan bahwa seseorang belum bisa
dikatakan menguasai al-Qur'an sebelum ia menyadari dan mengenal
berbagai dimensi yang dimiliki al-Qur'an tersebut".31 Hal ini merupakan
contoh perbincangan tentang denotasi dan konotasi dalam bahasa menurut
kaca mata semantik modern.
Salah satu hal yang disepakati dalam disiplin kajian semantik
adalah pembeda antara makna dasar dan makna relasiaonal. Muqātil telah
mencontohkan pengaplikasianya dengan kata mā’a, yang dalam konteks
pembicaraan al-Qur'an memiliki beberapa alternatif makna. Menurutnya,
31 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: elsaq
press, 2006), 169-170
36
kata ini memiliki tiga kemungkinan arti. Pertama, bisa berarti hujan,
seperti dalam Surat al-Hijr (15):22; "Kami turunkan hujan dari langit lalu
Kami beri minum kamu dengan air itu"32. Kedua, kata tersebut bisa berarti
air sperma, seperti dalam surat al-Furqan (25):54, "Dia-lah yang
menciptakan manusia dari air."33 Sedangkan kemungkinan arti yang
ketiga adalah "pijakan yang amat fundamental dalam kehidupan orang
beriman." Hal ini seperti yang tertera dalam surat an-Nahl (16):65 "Allah
menurun kan dari langit air dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi
sesudah matinya. Sesungguhnya, pada yang demikian itu, benar-benar
terdapat tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi orang-orang yang mengambil
pelajaran."34 Dalam ayat-ayat tersebut di atas, kata "air", oleh Muqāti,
dipahami sebagai metafora/amtsal.35
Sarjana selain Muqātil yang melakukan hal senada adalah Harun
ibn Mūsa (w. 170 H/786 M) dalam bukunya al-Wujūh wa al-Nażā'ir fi al-
Qur'an al-Karīm. Kata wajh, dalam karya ini, dimaksudkan sebagai
makna yang dikembangkan dari sebuah kosa kata. Di samping kosa kata,
sebagai faktor penentu makna adalah konteks linguistik serta struktur atau
sintaksis. Dua kajian tentang berbilangnya arti kosa kata al-Qur'an ini,
secara historis, dalam diskursus keIslaman, kembali kepada paruh kedua
abad ke dua Hijriah, tatkala ilmu keIslaman terbagi dalam tiga spesialisasi
besar yakni, i) hadits, ii) tafsir, dan ii) bahasa. Sedangkan karya-karya
tentang al-Wujūh wa al-Nażā'ir termasuk dalam kategori dua dan tiga,
yakni tafsir dan bahasa.36
Kajian tafsir lingustik kemudian lebih disempurnakan lagi oleh
يني 32 نزا ن نزاكموهو م نزاأ ن تمل هبي نزاءيم نزاءف أ سق ي ح ل و اقيح ف أ ن ز لن نزامين السم لن نزاالر يي و أ رس ق دييرا 33 هراو ك نزان ر بك نزاءيب ش راف ج ع ل هن س بنزاو صي مين الم الذييخ ل ق و هو ي ةليق ومي سم عون 34 ل ذ ليك ب عد م وتي نزاإينفي مين السم نزاءيم نزاءف أ حي نزابيهيال رض أ ن ز ل و الل35 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, 171. 36 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, 172.
37
generasi setelah Muqātil, seperti al-Jāhiz (w. 255 H/868 M), Ibn Qutaibah
(w. 276 H/898 M), juga oleh Abd al-Qāhir al-Jurjāni (w. 471 H/1079 M).
Perlakuan al-Jāhiz terhadap kosa kata al-Qur'an juga menunjukkan
kesadaran semantik. Berbagai karya telah ia tulis seperti al-Bayān wa al-
Tabyīn, al-Hayawān, Rasāil al-Jāhiz, al-Bukhala, al-Utsmāniyyah. Dalam
Rasāil, al-Jahiz mendiskusikan beberapa ayat al-Qur'an yang, olehnya,
dijadikan sebagai contoh atau representasi "nuansa makna" yang berbilang
dari kosa kata.37 Kemudian Ibn Qutaibah, pakar teoretik bahasa dan teolog
Sunni, melalui karyanya yang berjudul Ta'wīl Musykīl al-Qur'an
mendiskusikan sebagian dari aspek di bawah rubrik peralihan makna dari
zahir kosa kata (mukhālafatu zhāhir al-lafzh ma'nāhu). Rubrik ini tidak
saja mengulas kosa kata, tetapi juga sintaksis, di mana konteks, sekali lagi,
memegang peran yang amat penting. Penjelasan dan uraian Ibn Qutaibah
tentang pelbagai model dan bentuk konteks yang menjadi peralihan dan
pengembangan makna tidaklah begitu eksplisit. Analisisnya kerapkali
menyinggung peralihan dan perluasan makna sebuah bagian kalimat
seperti istifhām, yang mulanya berarti pertanyaan kemudian beralih
menjadi penetapan, atau amar yang tadinya merupakan perintah atau
kewajiban kemudian beralih menjadi saran atau bahkan kebolehan yang
dalam diskursus kajian ilmu bahasa Arab kontemporer, masuk dalam
bagian dari disiplin ma'ānā dan bayān.38
Pada periode selanjutnya muncul sarjana yang memumpuni dalam
kajian tafsir lingurstik, di antaranya al-Farrā‘ dengan karya tafsirnya
Ma‘ānī al-Qur′ān, Abū ‘Ubaydah, al-Sijistanī, dan al-Zamakhsharī. Pada
tahap selanjutnya, dikembangkan lagi oleh Amīn al-Khūlī yang akhirnya
teori-teorinya diaplikasikan oleh ‘Ā′isah bint al-Shāṭi‘ dalam tafsirnya al-
37 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, 173. 38 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, 174.
38
Bayān li al Qur′ān al-Karīm. Gagasan Amīn al-Khūlī ini juga
dikembangkan lagi oleh Toshihiko Izutsu yang dikenal dengan teori
semantik al-Qur’an.39
Era kontemporer saat ini, semantik al-Qur’an berkembang pesat
berkat sumbangsi Toshihiko Izutsu yang tertuang dalam karya-karyanya.
Karya-karya Izutsu ini di kategorikan oleh Fazlu Rahman pada kelompok
ketiga dalam pengkategorisasiannya, yaitu karya-karya yang bertujuan
untuk menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek tertentu saja dalam al-
Qur’an.40 Kategori ketiga ini hampir semua karyanya hanya membahas
aspek tertentu saja dalam al-Qur’an dan itu pun tidak bersumber dari al-
Qur’an sendiri, namun karya-karya Izutsu berbeda dengan karya-karya
barat lain yang menurut Fazlu Rahman bias kepentingan. Keberhasilan
Izutsu menghasilkan karya-karya terkait penafsiran al-Qur’an merupakan
pendekatan “baru” yang bisa digunakan oleh para sarjana Barat dan para
sarjana Islam dalam membaca al-Qur’an. Hal ini menempatkan karya-
karya Izutsu tersebut sebagai salah satu karya monumental yang
berkontribusi bagi pengembangan bahasa (linguistic function) serta
pembangunan dan pengembangan kultur budaya (cultural function).41
39 Saiful Fajar, Konsep Syaiṭān Dalam Al-Qur’an (Skripsi Ilmu Al-Qur’an dan
Ilmu Tafsir UIN Jakarta, 2018), 26. 40 Secara garis besarnya Fazlur Rahman membagi karya sarjana barat yang
mengkaji al-Qur’an dalam ke dalam tiga buah kategori: (1) karya-karya yang berusaha
mencari pengaruh Yahudi-Kristen di dalam al-Qur'an; (2) karya-karya yang mencoba
untuk membuat rangkaian kronologis dari ayat-ayat al-Qur'an; dan (3) karya-karya yang
bertujuan untuk menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek yang tertentu saja di dalam
ajaran al-Qur'an. Seharusnya karya-karya yang termasuk ke dalam kategori ketiga inilah
yang patut memperoleh perhatian yang paling luas. Lihat Fazlur Rahman, Major Themes
of the Qur'an, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: PUSTAKA, 1983), x. 41 Saiful Fajar, Konsep Syaiṭān Dalam Al-Qur’an, 27.
39
D. Metode Semantik al-Qur’an Toshihiko Izutsu
1. Gambaran Umum
Semantik menurut Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-
istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai
pada pengertian konseptual Weltanschauung atau pandangan dunia
masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara
dan berpikir, tetapi yang lebih penting lagi pengkonsepan dan penafsiran
dunia yang melingkupinya. Semantik, dalam pengertian itu, adalah
semacam Weltanschauungs-lehre, kajian tentang sifat dan struktur
pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode
sejarahnya yang signifikan, dengan menggunakan alat analisis
metodologis terhadap konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk
dirinya sendiri dan telah mengkristal ke dalam kata-kata kunci bahasa
itu.42
Izutsu secara konsisten dalam beberapa buku karyanya
menerapkan semantik untuk al-Qur’an yang kemudian ia menyebutnya
sebagai Semantik al-Qur’an. Term Al-Qur’an dalam frasa Semantik al-
Qur’an harus dipahami hanya dalam pengertian Weltanschauung al-
Qur’an atau pandangan dunia Qur'ani, yaitu visi Qur'ani tentang alam
semesta. Semantik al-Qur’an akan mempermasalahkan persoalan-
persoalan bagaimana dunia wujud distrukturkan, apa unsur pokok dunia,
dan bagaimana semua itu terkait satu sama lain menurut pandangan kitab
suci tersebut. Tujuannya adalah memunculkan tipe ontologi hidup yang
dinamik dari al-Qur’an dengan penelaahan analitis dan metodologis
terhadap konsep-konsep pokok yaitu konsep-konsep yang tampaknya
memainkan peran menentukan dalam pembentukan visi Qurani terhadap
42 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 3.
40
alam semesta.43
2. Langkah-Langkah Metode
Ada beberapa istilah penting yang perlu dipahami sebelum
menerapkan semantik terhadap teks al-Qur’an, yaitu kata kunci, kata fokus
dan medan simantik. Kata kunci adalah Kata-kata yang memainkan
peranan yang sangat menentukan dalam penyusunan struktur konseptual
dasar pandangan dunia Al-Qur’an, seperti kata Allah, islām, īmān, kāfir,
nabi, rasūl.44 Kata kunci merupakan pola umum kosakata yang mewakili
kata-kata yang menjadi anggotanya yang dalam kedudukannya memiliki
hubungan rangkap dan beragam antara satu sama lainnya, dan juga tidak
benar-benar bebas antara satu dengan yang lainnya; mereka saling
berhubungan dengan cara yang sangat rumit dan dengan arah yang
beragam. Sehingga secara keseluruhan tampak sebagai suatu sistem unsur
yang saling tergantung dan sangat teratur.45
Medan semantik adalah Wilayah atau kawasan yang dibentuk oleh
beragam hubungan diantara kata-kata kunci.46 Hubungan diantara kata-
kata kunci dalam medan semantik bersifat tumpang-tindih, hal inilah yang
menjadikan medan semantik menjadi begitu beragam dan rumit. Sehingga
diperlukan pembatas yang menjadi pusat konseptual kosa kata yang terdiri
dari sejumlah kata kunci tertentu. Inilah yang disebut dengan kata fokus.
Jadi kata fokus adalah kata kunci penting yang secara khusus
menunjukkan dan membatasi bidang konseptual yang relatif independen
dan berbeda pada masing-masing medan semantik. Kata fokus merupakan
konsep yang sangat fleksibel, jika suatu kata tertentu bertindak sebagai
kata fokus dalam medan semantik tertentu, itu tidak mencegah kata yang
43 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 3. 44 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 18. 45 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 19. 46 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 20.
41
sama bertindak sebagai kata kunci biasa dalam suatu medan atau medan-
medan lainnya. 47
Adapun langkah-langkah penerapan metode semantik al-Qur’an
Izutsu adalah sebagai berikut :
i. Menentukan makna dasar.
Makna dasar adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri,
yang lalu terbawa dimana pun kata itu diletakkan. 48 Dalam
menelusuri makna dasar dapat dilakukan menggunakan kamus-
kamus yang memumpuni.
ii. Menentukan makna relasional.
Makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan
ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata
itu pada posisi khusus dalam bidang khusus, berada pada relasi
yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam
sistem tersebut.49
Untuk menemukan makna relasional dapat menggunakan dua
model analisis, yaitu analisis sintagmatik dan paradigmatik.
Analisis sintagmatik adalah analisis yang berusaha menentukan
makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada
di depan dan belakang kata yang sedang dibahas dalam satu bagian
tertentu. Kata-kata tersebut memiliki hubungan keterkaitan satu
sama lain dalam membentuk makna sebuah kata. Analisis
paradigmatik adalah analisis yang mengompromikan kata atau
konsep tertentu dengan kata atau konsep lain yang mirip
(sinonimitas) atau sebaliknya bertentangan (antonimitas). Analisis
paradigmatis merupakan salah satu cara untuk mencari hubungan
47 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 22. 48 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 12. 49 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 12.
42
makna antara satu konsep dengan konsep lain (integrasi antar
konsep), serta mengetahui posisi konsep yang memiliki makna
yang lebih luas dan posisi konsep yang memiliki makna yang lebih
sempit sehingga menghasilkan pemahaman yang komprehensif
sesuai pandangan dunia al-Qur’an.50
iii. Menyusun jaringan asosiasi medan semantik.
iv. Analisis semantik historis.
Izutsu menggunakan analisis yang berhubungan dengan
kesejarahan kosa kata dalam al-Qur’an yang disebut dengan
semantik historis, yakni analisa sinkronik dan diakronik. Tujuanya
adalah untuk melihat bagaimana kata-kata berubah maknanya
karena perjalanan sejarah. Analisa sinkronik adalah sudut pandang
masa di mana kata tersebut lahir dan berkembang untuk
memperoleh suatu sistem kata yang statis. Dengan sudut pandang
ini, akan terlihat unsur-unsur lama yang terlepas dalam sebuah
bahasa, kemudian muncul unsur-unsur baru yang menemukan
tempatnya sendiri dalam sistem bahasa tersebut. Sedangkan analisa
diakronik adalah pandangan terhadap bahasa yang pada prinsipnya
menitikberatkan pada unsur waktu. Dengan demikian, secara
diakronik, kosakata membentuk sekumpulan kata yang masing-
masing tumbuh dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri
yang khas. Kemungkinan dalam suatu masa sebuah kosakata
mengandung makna yang penting dalam kehidupan masyarakat
dan pada masa yang lain mungkin kata itu mengalami distorsi
makna karena adanya kata-kata baru yang muncul. Tidak menutup
kemungkinan juga, sebuah kata bisa bertahan dalam jangka waktu
50 Saiful Fajar, Konsep Syaiṭān Dalam Al-Qur’an, 29.
43
lama pada masyarakat yang menggunakannya.51
Untuk menyederhanakan persoalan analisa semantik historis diatas,
Izutsu membagi periode penggunaan kosa kata menjadi 3 periode,
yakni : (1) Pra Qur’anik, sebelum turunnya Al-Qur’an, atau
jahiliyyah, (2) Qur’anik, masa turunnya Al-Qur’an dan (3) Pasca
Qur’anik, setelah turunnya Al-Qur’an.52 Yang menjadi patokan
pencarian kosakata pra-Qur’anik adalah (1) kosa kata badwi murni
masa nomaden, (2) kosa kata kelompok pedagang, (3) kosa kata
Yahudi-Kristen. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur
penting kosakata Arab pra-Islam.53 Pada masa Qur’anik, kosakata
al-Qur’an sangat luar biasa, bahkan tiada taranya sebagai bahasa
wahyu ilahi, maka wajarlah semua sistem pasca-al-Qur’an sangat
terpengaruh oleh kosa kata al-Qur’an tersebut. Pada periode pasca-
al-Qur’an, Islam banyak menghasilkan banyak sistem pemikiran
yang berbeda khususnya pada masa Abbasiyah, yakni teologi,
hukum, teori politik, filsafat, tasawuf. Masing-masing produk
kultural Islam ini mengembangkan sistem konseptualnya sendiri,
kosakatanya sendiri yang mencakup sejumlah subsistem. Dengan
demikian, kita sepenuhnya berhak untuk membicarakan kosakata
teologi Islam, kosakata hukum Islam, kosakata tasawuf, dan lain-
lain menurut teknis yang berbeda-beda.54
v. Mencari Weltanschauung.
Weltanschauung merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai yakni
menemukan sistem konseptual total atau keseluruhan konsep
terorganisir yang disimbolkan dengan kosakata masyarakat
51 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 32-33. 52 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 35. 53 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 35. 54 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 42.
44
pengguna bahasa.55 Jadi secara sederhana dapat diistilahkan dalam
aspek linguistiknnya disebut dengan kosakata, dan dalam aspek
konseptualnya adalah suatu Weltanschauung, dan dalam hal ini
difokuskan pada masalah Weltanschauung al-Qur’an. Sehingga
tujuan akhir seorang semantisis yang mengkaji al-Qur’an adalah
mengatur sifat dan mekanisme kerja keseluruhan sistem konsep al-
Qur’an yang secara esensial berbeda dengan semua sistem konsep
non-al-Qur’an.56
3. Contoh Aplikasi Metode
Mengenai kata fokus, kata kunci dan medan semantik, Izutsu
mencontohkan pembahasan kata kufr. Menurut Izutsu konsep kufr menjadi
kata fokus yang menguasai seluruh medan semantik yang tersusun dari
kata-kata kunci yang masing-masing mewakili segi esensial pemikiran al-
Qur’an dengan caranya sendiri dengan sudut pandang yang khusus. Medan
semantik kata kufr adalah kata lain yang memiliki hubungan dengan kata
kufr. Kosakata lain yang mengitarinya dalam diagram yang menunjukkan
keterkaitan adalah kata-kata kunci yang menandai aspek-aspek khusus dan
parsial dari konsep kufr itu sendiri atau kata kunci yang mewakili konsep-
konsep yang erat kaitannya dengan kata kufr dalam konteks al-Qur’an.
Berikut adalah contoh diagram yang menunjukkan relasi kata kufr.
55 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 27. 56 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 29.
45
Diagram 2.1 : Medan Semantik Kata Kufr
Pada persoalan makna dasar dan makna relasional, Izutsu
memberikan contoh kata kitāb, makna dasarnya, baik yang ditemukan
dalam al-Qur’an maupun di luar al-Qur’an adalah sama. Kandungan unsur
semantik tetap ada pada kata kitāb dimana pun ia diletakkkan dan
bagaimanapun ia digunakan. Dalam konteks al-Qur’an, kata kitāb
menerima makna yang luar biasa pentingnya sebagai isyarat konsep
religius yang sangat khusus yang dilingkupi oleh cahaya kesucian. Ini
dilihat dari kenyataan bahwa dalam konteks ini kata itu berdiri dalam
hubungan yang sangat dekat dengan wahyu Ilahi, atau konsep-konsep
yang cukup beragam yang merujuk langsung pada wahyu, seperti tanzīl
"menurunkan" (firman Tuhan), nabi "Nabi", ahl "masyarakat" (dalam
kombinasi khusus ahl al-kitāb yakni masyarakat berkitab yang berarti
masyarakat yang memiliki kitab wahyu seperti Kristen dan Yahudi, dsb.).
Ini berarti bahwa kata sederhana kitab dengan makna dasar sederhana "
kitāb ", ketika diperkenalkan ke dalam sistem khusus dan diberikan posisi
Allah
′Isyān Kufr
Syirk
Takzīb
Fisq
Dalāl
Zulm
Istikbār
46
tertentu yang jelas, memerlukan banyak unsur semantik baru yang muncul
dari situasi khusus ini, dan juga muncul dari hubungan yang beragam yang
dibuat untuk menunjang konsep-konsep pokok lain dari sistem tersebut.
Dan, sebagaimana sering terjadi, unsur-unsur baru itu cenderung
mempengaruhi dan sering secara esensial memodifikasi struktur makna
asli dari kata itu.57
Selanjutnya, dalam bukunya Izutsu banyak mencontohkan
persoalan semantik historis, seperti kata taqwa, di dalam al-Qur’an kata ini
merupakan kata yang sangat penting sebagai salah satu istilah kunci al-
Qur’an yang paling khas, namun kata ini pada masa jahiliah tidak
digunakan dalam pengertian religius. Taqwa dalam periode pra quranik
bermakna membela diri dengan menggunakan sesuatu, sebagaimana yang
terlacak dalam dalam syair pra Islam58 :
تينزاج يح ضيقأ س نزال ق و ميح ليم ائير و نميفيليبي و يدي#ع قيتأ
"la berkata (kepada dirinya sendiri): Aku akan memuaskan nafsuku
(yakni aku akan membunuh orang yang telah membunuh
saudaraku), kemudian aku akan membela diriku (attaqi) terhadap
musuh (yang sudah barang tentu akan membalas) dengan seribu
kuda beserta kendalinya untuk mendukung maksudku".
Pada periode qur’anik kata taqwa masuk dalam sistem konseptual
al-Qur’an dengan membawa serta makna dasar, namun kata ini
ditempatkan dalam semantik khusus yang tersusun dari sekelompok
konsep yang berkaitan dengan “kepercayaan” yang khas “monoteisme”
Islam. Kata tersebut mendapatkan makna religius yang sangat penting
yaitu “takut kepada hukuman Allah pada hari kiamat”, namun struktur
formalnya sendiri tidak berubah. Di sini yang dapat mencelakakan bukan
57 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 11. 58 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 264.
47
lagi bahaya fisik, tapi bahaya eskalatologis, yakni siksaan pedih dari Allah
yang timpakan kepada orang-orang yang menolak untuk beriman dan
berserah diri. Dalam konteks ini, ittiqa berarti seseorang yang menjaga
dirinya sendiri dari bahaya yang akan dihadapi, yakni siksaan Ilahi dengan
cara menempatkan dirinya dalam perlindungan berupa iman dan
kepatuhan yang sungguh-sungguh. Penafsiran ini diperkuat oleh
pandangan yang berasal dari penyusun Tafsir al-Jalalayn. Dalam tafsir
tersebut kata kerja ittaqa berarti. "Bahwa Anda menjaga diri sendiri dari
iqab (siksaan Allâh) dengan menempatkan antara siksaan itu dan diri
Anda sendiri turs (perisai) berupa ibadah".59
Taqwa dalam pengertian qur’anik ini merupakan konsep
eskatologis, yang maknanya adalah "takut kepada siksaan Ilahi di
Akhirat". Struktur dasar ini tampak pada surat al-Baqarah ayat 24 :
"Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan
batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir".
Secara psikologis, ini merupakan bentuk khusus dari rasa
takut (khawf), Suatu ketakutan eskatologis, seperti terlihat pada surat Hud
ayat 103:
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat"
Dalam hal ini, surat al-Zumar ayat 16 berikut ini sangat penting
karena ia menunjukkan hubungan semantik mendalam yang ada di antara
psikologi takut dan taqwa.
"Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah
merekapun lapisan-lapisan dari api). Demikianlah Allah
mempertakuti --(yukaifu, bentuk kausatif dari khawf)-- hamba-
hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertaqwalah (ittaqu) kepada-Ku
hai hamba-hamba-Ku"
Namun, pada periode pasca quranik, karena dimakan waktu, warna
eskatologis yang kuat ini menjadi semakin lemah sampai akhirnya makna
59 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 266.
48
taqwa mencapai tahap tidak lagi memiliki hubungan nyata dengan citra
Hari Pengadilan dan kengeriannya, lalu berubah menjadi hampir sama
dengan ketaatan. Pada tahap ini, taqwa hanya terkait sedikit atau sama
sekali tidak ada kaitannya dengan konsep "takut" (khawf). Itulah
sebabnya, di dalam Al-Qur’an kata muttaqi --bentuk partisipan dari ittaqa-
- seringkali digunakan dengan pengertian orang beriman yang taat yang
menjadi lawan dari kafir.60
60 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 267.
49
BAB III
DESKRIPSI AYAT TENTANG TADABBUR
Bab ini membahas tentang pengertian Tadabbur dan penafsiran
ayat tentang Tadabbur. Posisi bab ketiga adalah lanjutan dari bab kedua.
Setelah memahami bagaimana gerak metodologi semantik al-Qur’an
Toshihiko Izutsu, kemudian dihantarkan untuk memahami makna
Tadabbur dalam al-Quran dari beberapa kitab tafsir. Pengertian Tadabbur
dalam karya tafsir perlu disampaikan sebelum mencari makna kata
Tadabbur menggunakan pendekatan semantik Izutsu, hal ini bertujuan
untuk mempermudah mengetahui makna dasar dan makna relasional
Tadabbur.
A. Pengertian Tadabbur
Dalam mencari arti etimologi kosa kata bahasa arab selalu merujuk
pada bentuk wazan yang paling dasar yakni wazan fa’ala. Maka Tadabbur
asalnya adalah dabara, terbentuk dari gabungan tiga huruf asal yakni da -
ba - ra (دبر) memiliki pengeritan رالشيء bermakna “akhir sesuatu”.1 أ خي
Sedangkan menurut Ibnu Manḍur dalam kitabnya Lisān al-Arab
kata Tadabbur sendiri memiliki arti ع نزاقيب تيهي في ,”melihat akhir sesuatu“ , ن ظ ر
maksudnya adalah mengetahui ujung dan kesudahanya termasuk
mengetahui dampak dan konsekuensi sesuatu. Pendapat ini sesuai dengan
yang dikatakan oleh Muhammad bin Ya'quub dalam Kamus Muhīḍ dan
Muhammad Murtaḍy dalam Taj al-‘Arūz.2 Lebih lanjut Ibn Mandhur
mengutip ungkapan Ibn Jarir yang mana ungkapan ini adalah contoh
1 Ibn Manḍur, Lisān al-Arab, Jilid IV (Beirut: Dār Shādir), 268. 2 Ibn Manḍur, Lisān al-Arab, 273. Lihat juga Muhammad bin Ya'qūb al-Fayrūz
Abady, Qamus al-Muhīṭ (Lebanon : Dār Alfikr, 1995), 352., Muhibbuddin abī Fayḍ as-
Sayyid Muhammad Murtaḍy al-Husayny, Taj al-Arūs min Jawāhir al-Qāmus, jilid 6
(lebanon: Dār al-Fikr, 1994), 389.
50
penggunaan kata taddabur dalam sebuah bait indah:
ب ر ا ت د إل ي عريفون ال مر يب كم#و ل يصي ح ت ت ت قون الشر و ل
"Jangan pernah kamu mendekati kejelekan jika begitu ia akan
menimpamu, dan jangan pernah mengetahui sesuatu sebelum kamu
mengerti dampaknya".3
Dalam bahasa Indonesia kata Tadabbur merupakan kata serapan
yang telah dibakukan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Tadabbur
memiliki arti “merenungkan”. Seperti dalam konteks kalimat “di samping
membaca al-Quran, anda juga harus mentadaburkan makna-maknanya”.4
Kata Tadabbur dalam kajian Ilmu Sharaf5 merupakan bentuk
ṣigāt6 isim masdar yang mengikuti wazan tafa’ala. Bentuk wazan tafa’ala
termasuk fi'il ṡulātsi mazīd model kedua pada bab kedua dalam kajian
sharaf yang memiliki beberapa pengamalan, salah satunya adalah takalluf7
yakni berdaya upaya dalam pekerjaan untuk menghasilkan, maksudnya
adalah melakukan sesuatu dengan susah payah, sehingga mendapatkan
hasil setelah adanya mujahadah (usaha keras). Dapat disimpulkan bahwa
Tadabbur adalah mengerahkan usaha untuk melihat, memahami,
merenungi sesuatu, bahkan sampai pada akhir atau sisi terjauh.
B. Identifikasi Tadabbur dalam Ayat al-Qur’an
Sebagaimana yang dijelaskan pada bab sebelumnya, Tadabbur
terbentuk dari tiga huruf asal da - ba - ra. Secara keseluruhan kata yang
3 Ibn Manḍur, Lisān al-Arab, 273 4 https://kbbi.web.id/tadabur, diakses pada 01 Agustus 2019. 5 Ilmu sharaf adalah ilmu morfologi yakni bidang ilmu linguistik yang mengkaji
tentang pembentukan kata atau morfem-morfem dalam suatu bahasa. 6 ṣigāt adalah bentuk kalimat yang di tinjau dari ma’nanya. Baik itu dari segi
makna yang berkaitan dengan waktu, kedudukannya, dsb. Contoh ṣigāt : seperti fi’il māḍi
yang menjelaskan makna lampau, fi’il muḍāri’ menjelaskan makna sedang atau akan,
żaraf makān dan żaraf zamān yang menunjukkan makna tempat dan masa. 7 Terdapat 7 pengamalan Dari wazan tafa’ala, lihat Ma’shum bin Ali, al-
Amṡilatu at-Tashrifiyah (Maktabah as-Syaikh Salim bin Sa’ad, 1965), 14.
51
berasal dari 3 huruf asal da - ba - ra disebutkan sebanyak 44 kali dalam al-
Qur’an pada berbagai ayat dan surat dengan derivasi yang berbeda-beda.
Adapun derivasi tersebut antara lain8 :
a. ب ير .disebutkan sebanyak 4 kali يد
b. ب رون .disebutkan sebanyak 2 kali ي ت د
c. ب روا .disebutkan sebanyak 2 kali ي د
d. أ دب ر disebutkan sebanyak 4 kali.
e. ب ير اتي .disebutkan sebanyak 1 kali المد
f. مدبيرا disebutkan sebanyak 2 kali.
g. مدبيريين disebutkan sebanyak 6 kali.
h. ر .disebutkan sebanyak 1 kali إيدب
i. د ابير disebutkan sebanyak 4 kali.
j. دبر disebutkan sebanyak 5 kali.
k. ر .disebutkan sebanyak 13 kali أ دب
Adapun perincian ayat-ayat dari pembagian di atas bisa dilihat
pada tabel dibawah ini, sekaligus penulis sebutkan juga tempat turun pada
masing-masing ayat.
Tabel 3.1 : Ayat-ayat Tentang Tadabbur.
No Kata Surat-Ayat Turun
ب ير 1 يد Yunūs (10): 3 Makiyyah
2 Yunūs (10): 31 Makiyyah
3 al-Ra’d (13): 2 Madaniyyah
8 Muḥammad Fuād ‘Abd al-Bāqī, Al-Muʻjam al-Mufahrās Il al-fāẓ al-Qur′ān al-
Karīm (Mesir: Dār al-Hadist, 1364 H), 252-253.
52
4 as-Sajdah (32): 5 Makiyyah
ب رون 5 al-Nisā’(4): 82 Madaniyyah ي ت د
6 Muhammad (47): 24 Madaniyyah
ب روا 7 al-Mu’minūn (23): 68 Makiyyah ي د
8 Ṣad (38): 29 Makiyyah
al-Ma’ārij (70): 17 Makiyyah أ دب ر 9
10 al-Mudaṣṣir (74): 23 Makiyyah
11 al-Mudaṣṣir (74): 33 Makiyyah
12 al-Nāzi’āt (79): 22 Makiyyah
ب ير اتي 13 al-Nāzi’āt (79): 5 Makiyyah المد
al-Naml (27): 10 Makiyyah مدبيرا 14
15 al-Qoṣaṣ (28): 31 Makiyyah
al-Taubah (9): 25 Madaniyyah مدبيريين 16
17 al-Anbiyā’ (21): 57 Makiyyah
18 al-Naml (27): 80 Makiyyah
19 al-Rum (30): 52 Makiyyah
20 al-Ṣaffāt (37): 90 Makiyyah
21 Gāfir (40): 33 Makiyyah
ر 22 al-Ṭūr (52): 49 Makiyyah إيدب
al-An’ām (6): 45 Makiyyah د ابير 23
24 al-A’rāf (7): 72 Makiyyah
25 al-Anfāl (8): 7 Madaniyyah
26 al-Hijr (15): 66 Makiyyah
Yūsuf (12): 25 Makiyyah دبر 27
28 Yūsuf (12): 27 Makiyyah
29 Yūsuf (12): 28 Makiyyah
30 al-Qamar (54): 45 Madaniyyah
53
دب ر ه 31 al-Anfāl (8): 16 Madaniyyah
ر 32 Ali Imrān (3):111 Madaniyyah أ دب
33 al-Anfāl (8): 15 Madaniyyah
34 al-Ahzab (33): 15 Madaniyyah
35 al-Fatḥ (48): 22 Madaniyyah
36 Qaf (50): 40 Makiyyah
37 al-Hasyr (59): 12 Madaniyyah
ريكم 38 al-Maidah (5): 21 Madaniyyah أ دب
نزا 39 ريه al-Nisā’ (4) 47 Madaniyyah أ دب
ر هم 40 al-Anfāl (8): 50 Madaniyyah أ دب
41 al-Hijr (15): 65 Makiyyah
42 al-Isra’ (17): 46 Makiyyah
43 Muhammad (47): 25 Madaniyyah
44 Muhammad (47): 27 Madaniyyah
Melalui tabel di atas, dapat diketahui bahwa secara tempat turun,
ayat-ayat yang menyinggung tentang derivasi kata Tadabbur lebih
dominan pada periode Mekkah dari pada periode Madinah. Terdapat 27
ayat pada periode Makiyyah dan 17 ayat periode Madaniyyah. Sedangkan
ayat yang secara jelas menyebutkan kata Tadabbur yakni yang berasal dari
bentuk wazan tafa’ala terdapat 4 ayat yang mana dua ayat yang pertama
adalah Makiyyah dan dua ayat yang kedua adalah Madaniyyah.
C. Klasifikasi Ayat-Ayat tentang Tadabbur
Pada sub bab ini penulis akan mengelompokkan ayat-ayat yang
menyebutkan kata Tadabbur beserta derivasinya dari temuan identifikasi
54
pada sub bab sebelumnya. Pengelompokan ayat-ayat ini penulis bagi
berdasarkan beberapa makna yang memiliki kemiripan. Hal ini bertujuan
untuk menyederhanakan pola keseluruhan ayat sehingga memudahkan
untuk memahaminya.
Menurut Husain Ibn Muhammad al-Damigany dalam karyanya
yang berjudul Qamus al-Qur’an, menyebutkan bahwa kata bahasa arab
yang terdiri dari tiga huruf asal yaitu da - ba - ra di dalam al-Qur’an
menunjukkan setidaknya enam macam makna, yakni9 :
,yakni belakang الظهور .1
,yakni agama yang sesat أدينالبنزاطلة .2
,yakni akhir sesuatu عقيبالشيء .3
,yakni pergi ذهب .4
وآخر غنزابر .5 yakni yang tersisa,
.yakni memikirkan atau merenungkan التفكر .6
Dari pendapat di atas, penulis mencoba menyederhanakan lagi
pengelompokan maknanya menjadi 4 macam kelompok yakni Pertama
bermakna belakang/akhir, kedua bermakna seluruh/akar-akar, ketiga
bermakna mengatur dan keempat bermakna memikirkan/merenung.
Kemudian masing-masing dari empat kelompok makna tersebut akan
penulis analisa ayat-ayatnya dengan menemukan beberapa aspek
kesamaan di dalamnya, seperti lafad yang bersanding dengan derivasi
tersebut atau kandungan penjelasan pada ayat-ayat yang menyinggung
9 Husain Ibn Muhammad, Qamus al-Qur'an (Beirut: Dār al-Ilmi al-Malayin,
1983), 171-172.
55
derivasi tesebut.10 Berikut penjelasan kelompok-kelompok makna
tersebut :
1. Bermakna Belakang/Akhir
Makna belakang merupakan makna yang paling banyak ditemui
dari keseluruhan ayat-ayat yang menyebutkan derivasi kata Tadabbur.
Ditemukan sebanyak 5 bentuk derivasi yakni ر , دبر ر ,أ دب , إيدب أ دب ر , مدبير
a. Lafad دبر
b. Lafad دبر merupakan bentuk paling dasar dari derivasi Tadabbur.
Mempunyai makna belakang/akhir, disebutkan sebanyak lima kali yakni
pada QS.Yūsuf (12): 25, 27, 28, QS. al-Qamar (54): 45 dan QS. al-Anfāl
(8): 16. Ayat-ayat yang menyebutkan lafad دبر pada surat Yūsuf
menjelaskan tentang baju gamis nabi Yūsuf yang koyak pada bagian
belakang.
c. Kemudian pada surat al-Anfāl (8): 16 lafad دبر bersanding dengan
lafad ي و ل yang mempunyai arti berpaling atau mundur ke belakang
sebagaimana juga yang terdapat pada surat al-Qamar (54): 45,
ب ر ي هز مال معو ي و لون الد س
“Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke
belakang.” (QS. al-Qamar (54): 45)
Pada ayat sebelumnya (ayat 44) menjelaskan tentang kesombongan
orang musyrik yang melecehkan orang muslim dengan menganggap
merekalah yang paling kuat dan pasti akan menang dari orang muslim
dalam situasi apapun. Kemudian Allah membantahnya dengan
10 Hal ini penulis lakukan untuk mempermudah proses analisa sintagmatik dan
paradigmatik dalam pencarian makna relasional kata tadabbur pada bab IV.
56
diturunkanya ayat ini bahwa orang musyrik akan kalah dan mundur
pontang panting ke belakang.
d. Lafad ر أ دب
Derivasi selanjutnya yakni lafad ر yang disebutkan sebanyak 13 أ دب
kali. Dari 13 penyebutan terdapat beberapa ayat yang bersanding dengan
lafad yang sama. Pertama 6 ayat yang penyebutanya bersanding dengan
lafad ي و ل yang memiliki arti berpaling/mundur ke belakang. Kemudian
terdapat 3 ayat yang bersanding dengan lafad ر د yang memiliki arti
berbalik ke belakang. Selanjutnya terdapat 2 ayat yang bersanding dengan
lafad ي ضريب yang memiliki arti memukul bagian belakang/punggung.
Terakhir terdapat 2 ayat yang tidak mempunyai kesamaan lafad yang
bersanding yakni pertama pada QS. Qaf (50): 40,
السجوديو مين ر ف س ب يحهو أ دب الليلي
“Dan bertasbihlah kepada-Nya pada malam hari dan setiap selesai
shalat.”
yang kedua pada QS. al-Hijr (15): 65,
نكم ي لت فيتمي ر همو ل و اتبيعأ دب بيقيطعمين الليلي يثت ؤم رون أ ح ف أ سريبي هليك دو امضواح
“Maka pergilah kamu pada akhir malam beserta keluargamu, dan
ikutilah mereka dari belakang. Jangan ada di antara kamu yang
menoleh ke belakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang
diperintahkan kepadamu.”
Lafad رأ د ب yang bersanding dengan lafad ي و ل terdapat pada QS. Ali
Imrān (3):111, QS. al-Fatḥ (48): 22, QS. al-Hasyr (59): 12, QS. al-Ahzab
(33): 15, QS. al-Isra’ (17): 46 dan QS. al-Anfāl (8): 15. Pada 3 ayat yang
pertama memiliki kesamaan kandungan yang menjelaskan bahwa Allah
telah menjamin keamanan orang muslim dari segala gangguan orang kafir
57
dan munafik. Apabila mereka memerangi orang muslim niscaya mereka
akan kalah lalu mundur ke belakang dan kemudian mereka tidak akan
mendapat pertolongan dari Allah. Berikut contoh ayatnya,
ي نص رون ل ر و إيني ق نزاتيلوكمي و لوكمال دب أ ذى ل ني ضروكمإيل
“Mereka tidak akan membahayakan kamu, kecuali gangguan-
gangguan kecil saja, dan jika mereka memerangi kamu, niscaya
mereka mundur ke belakang (kalah). Selanjutnya mereka tidak
mendapat pertolongan.”
Kemudian pada QS. al-Anfāl (8): 15 Allah memerintah kepada
orang mukmin untuk tidak mundur ke belakang (menyerah) saat
menghadapi serangan dari orang kafir.
ر ت و لوهمال دب ك ف روا حفنزاف ل نزاالذيين آم نواإيذ ال قييتمالذيين أ ي ه ي
“Wahai orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-
orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu
berbalik membelakangi mereka (mundur).”
Hanya orang munafik yang mundur ke belakang saat menghadapi
serangan dari orang kafir sebagaimana yang dijelaskan pada QS. al-Ahzab
(33): 15,11
نزانوا ك و ك نزان ع هدالليم سئوو ل ق د ر ال دب ي و لون مينق بلل لع نزاه دواالل
“Dan sungguh, mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah,
tidak akan berbalik ke belakang (mundur). Dan perjanjian dengan
Allah akan diminta pertanggungjawabannya.”
Pada QS. al-Isra’ (17): 46 dijelaskan alasan mengapa orang kafir
berpaling dari kebenaran al-Qur’an.
ر آذ انييمو ق راو إيذ اذ ك رت ق لوبييمأ كينةأ ني فق هوهو في هو لواو ج ع لن نزاع ل ى و حد القرآني في ريبك أ دب من فوراع ل ى هي
11 Quraish Shihab menjelaskan bahwa konteks turunya ayat tersebut merujuk
pada pengingkaran Bani Haritsah dan Bani Salimah yang mengingkari janji untuk ikut
dalam perang Uhud. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 10 (Ciputat:
Lentera Hati, 2009), 432., Lihat juga Ibnu Kaṡir, Lubab al-Tafsīr, Terj. M. Abdul
Ghoffar, dkk. Jilid 6 (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2004), 456.
58
“Dan Kami jadikan hati mereka tertutup dan telinga mereka
tersumbat, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila
engkau menyebut Tuhanmu saja dalam Al-Qur'an, mereka
berpaling ke belakang melarikan diri.”
Quraish Shihab memberikan keterangan pada maksud berpalingya
orang kafir yakni mereka enggan menerima kebenaran al-Quran sebab
pada diri mereka terdapat keburukan hati serta sikap dengki dan ingin
mempertahankan keistimewaan yang mereka nikmati. Untuk mendengar
saja mereka enggan apalagi menarik manfaat dari al-Qur’an.
Sesungguhnya telinga mereka telah tersumbat oleh hawa nafsu. Padahal
masyarakat Arab waktu itu tidak pandai membaca sehingga alat/indra
untuk menangkap pesan-pesan adalah pendengaran.12
Lafad ر -terdapat pada QS. al ر د yang bersanding dengan lafad أ دب
Maidah (5): 21, QS. al-Nisā’ (4) 47 dan QS. Muhammad (47): 25.
Memiliki arti berbalik ke belakang. Pada QS. al-Nisā’ (4) 47 dijelaskan
bahwa Ahli Kitab adalah pelaku yang diancam oleh Allah agar tidak
menolak kebenaran dari al-Qur’an,
أ نوابي نزان زلن نزامص د يقنزاليم نزام ع كممينق بلي آمي نزاالذيين أوتواالكيت نزاب أ ي ه ريه ي أ دب وجوهنزاف ن رده نزاع ل ى نزاأ ونن طميس
الس نزال ع ننزاأ صح نزاب ك م أ مرالليم فعولن لع ن هم و ك نزان بتي
“Wahai orang-orang yang telah diberi Kitab! Berimanlah kamu
kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an) yang
membenarkan Kitab yang ada pada kamu, sebelum Kami
mengubah wajah-wajah(mu), lalu Kami putar ke belakang atau
Kami laknat mereka sebagaimana Kami melaknat orang-orang
(yang berbuat maksiat) pada hari Sabat (Sabtu). Dan ketetapan
Allah pasti berlaku.” (QS. al-Nisā’ (4) 47)
ayat di atas dengan tegas menjelaskan ancaman Allah pada Ahli
Kitab yang enggan menerima kebenaran dari al-Qur’an yakni wajah
12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 7 (Ciputat: Lentera Hati, 2009),
112.
59
mereka akan diputar sehingga menjadi berbalik ke belakang dan mereka
akan mendapat laknat dari Allah. Dalam memahami makna wajah,
Quraish Shihab Menukil dari Fakhruddin ar-Razi yang menjelaskan bahwa
kata wajah dapat diartikan secara majazi yakni sebagai pemuka agama
yang tadinya memiliki kekuasaan dan kehormatan, kemudian oleh Allah
diputar ke belakang menjadi tak terhormat lagi hina.13 Selanjutnya Ibnu
Kaṣir menjelaskan bahwa makna ancaman ini merupakan perumpamaan
bagi mereka yang menolak kebenaran, mengamalkan kebatilan, serta
berpaling dari jalan yang benar menuju jalan yang sesat. Mereka bagaikan
berjalan ke belakang.14
Jika pada ayat sebelumnya menjelaskan ancaman orang yang
menolak kebenaran al-Qur’an maka pada surat Muhammad (47): 25
menjelaskan sebab orang berpaling dari al-Qur’an dan berbalik ke
belakang kepada kekafiran. Sebab tersebut adalah godaan dari setan.
مالد ىالشيط نزانس ممينب عديم نزات ب ل ريهي أ دب مإينالذيين ارت دواع ل ى ل مو أ مل ى ل ول
“Sesungguhnya orang-orang yang berbalik (kepada kekafiran)
setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, setanlah yang merayu
mereka dan memanjangkan angan-angan mereka.”
Lafad ر .terdapat pada QS ي ضريب yang bersanding dengan lafad أ دب
Muhammad (47): 27 dan QS. al-Anfāl (8): 50 memiliki arti memukul
bagian belakang/punggung. Kedua ayat ini menjelaskan siksaan yang
dilakukan oleh para Malaikat saat mencabut nyawa orang kafir yakni
dengan memukul wajah dan punggung mereka. Sebagaimana yang
terdapat pada surat al-Anfāl (8): 50,
ر همو أ دب ةي ضريبون وجوه ئيك ك ف رواالم ل الذيين إيذي ت و ف ال رييقيو ل وت ر ى همو ذوقواع ذ اب
13 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 2 (Ciputat: Lentera Hati, 2009),
562. 14 Ibnu Kaṡir, Lubab al-Tafsīr, Terj. M. Abdul Ghoffar, dkk. Jilid 2 (Bogor:
Pustaka Imam Syafi’I, 2004), 327.
60
“Dan sekiranya kamu melihat ketika para malaikat mencabut
nyawa orang-orang yang kafir sambil memukul wajah dan punggung
mereka (dan berkata), “Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar.”
e. lafad ر إيدب
Derivasi selanjutnya yang menunjukan arti belakang adalah lafad
ر ,disebutkan pada satu tempat yakni pada QS. al-Ṭūr(52): 49 إيدب
النجوميو مين ر ف س ب يحهو إيدب الليلي
“dan pada sebagian malam bertasbihlah kepada-Nya dan (juga)
pada waktu terbenamnya bintang-bintang (pada waktu fajar).”
Terbenamnya bintang pada ayat di atas maksudnya adalah di akhir
malam atau waktu sahur yakni sebelum fajar muncul saat bintang-bintang
mulai terbenam.15
f. Lafad أ دب ر
Lafad أ دب ر menunjukan arti membelakangi atau berpaling menuju ke
belakang. disebutkan pada 4 tempat, yang mana 3 tempat menjelaskan
tentang sikap orang kafir, orang munafik dan fir’aun yang dengan
kesombonganya berpaling dari kebenaran yang telah disampaikan oleh
Allah dan Rasulnya yakni pada QS. al-Ma’ārij (70): 17, QS. al-Mudaṣṣir
(74): 23, 33 dan QS. al-Nāzi’āt (79): 22. Sedangkan 1 tempat lagi pada
QS. al-Mudaṣṣir (74): 33 yang menjelaskan tentang berlalunya malam.
g. lafad مدبير
Pada bagian ini terdapat dua bentuk, pertama bentuk mufrad yakni
lafad مدبير dan kedua bentuk jama’ mudzakar salim yakni lafad مدبيريين. Kedua
15 Mahmud Muhammad at-Thanāhi, min Asrāri al-Lughah fi al-Kitab wa al-
Sunnah, Jilid 1 (Makkah: Dār al-Fath, 2008), 605.
61
bentuk ini menunjukan arti orang yang lari ke belakang.
Lafad مدبير disebutkan pada 2 tempat yakni pada QS. al-Naml (27):
10 dan QS. al-Qoṣaṣ (28): 31 yang mana keduanya ayat ini menjelaskan
tentang cerita ketika nabi Musa menghadapi penyihir firaun, Allah
menyuruh nabi Musa untuk melemparkan tongkatnya. Kemudian tongkat
itu berubah menjadi ular sehingga membuat penyihir fir’aun lari ke
belakang tanpa menoleh.
Selanjutnya lafad مدبيريين disebutkan pada 6 tempat yakni pada QS. al-
Taubah (9): 25, QS. al-Anbiyā’ (21): 57, QS. al-Naml (27): 80, QS. al-
Rum (30): 52, QS. al-Ṣaffāt (37): 90, QS. Gfir (40): 33. Seluruh ayat ini
bersanding dengan lafad ولى yang menunjukan arti berpaling. Ayat-ayat
tersebut menjelaskan pelaku yang menjadi subjek keberpalingan adalah
orang kafir dan orang yang dibutakan dan tulikan oleh Allah. Tetapi hanya
pada surat al-Taubah (9): 25 yang menjadi pelaku keberpalingan adalah
orang mukmin.
ث ر ت ك ب تكم ثيري ةو ي وم حن إيذأ عج ك م و اطين في ئنزاو ض نزاق تع ل يل ق دن ص ر كمالل ي كمكمف ل مت غنيع نكمش
تممدبيريين و لي ال رضبي نزار حب ت
“Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak
medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu
yang besar itu membanggakan kamu, tetapi sama sekali tidak
berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu,
kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang.”
(QS. al-Taubah (9): 25)
Pada ayat di atas menceritakan tentang perang hunain yang mana
kemudian sebab yang membuat orang mukmin mundur lari ke belakang
dari perang adalah kesombongan. Sebagian orang mukmin saat perang
hunain membanggakan jumlah pasukan mereka karena lebih banyak dari
pada orang musyrik. Orang mukmin menjadi lupa akan tuntunan Allah
62
bahwa segala kemenangan semata-mata bersumber dari Allah
sebagaimana saat perang badr. Kemudian Allah memberikan pelajaran
kepada orang mukmin dengan membuat mereka terdesak oleh serangan
orang musyrik pada awal pertempuran. Sehingga membuat orang mukmin
lari ke belakang bercerai-berai meninggalkan Rasululloh.16
Berikut ringkasan penjelasan derivasi Tadabbur yang bermakna
belakang/akhir.
Tabel 3.2 : Derivasi Tadabbur yang Bermakna Belakang/Akhir
Surat/ayat Relasi Lafad Kandungan
دبر Yūsuf (12): 25 Bersanding dengan
lafad من قد
Kisah baju gamis nabi Yūsuf
yang koyak pada bagian
belakang Yūsuf (12): 27
Yūsuf (12): 28
al-Qamar (54):
45
Bersanding dengan
lafad ي ول memiliki
arti berpaling atau
mundur ke belakang
Larangan mundur saat perang
bagi orang mukmin
al-Anfāl (8): 16 Kekalahan orang kafir
أد برAli Imrān
(3):111
Bersanding dengan
lafad ي ول memiliki
arti berpaling atau
mundur ke belakang
Jaminan Allah atas keamanan
orang muslim dari segala
gangguan orang kafir dan
munafik. Jika mereka
memerangi orang muslim
niscaya mereka akan kalah lalu
mundur ke belakang dan
kemudian mereka tidak akan
mendapat pertolongan dari
Allah.
al-Fatḥ (48): 22
al-Hasyr (59):
12
al-Anfāl (8): 15 Perintah Allah kepada orang
mukmin untuk tidak mundur
ke belakang (menyerah) saat
menghadapi serangan dari
orang kafir.
al-Ahzab (33):
15
Hanya orang munafik yang
mundur ke belakang saat
menghadapi serangan dari
16 Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5 (Ciputat: Lentera Hati,
2009), 60.
63
orang kafir
al-Isra’ (17): 46 alasan orang kafir berpaling
dari kebenaran al-Qur’an
al-Maidah (5):
21
Bersanding dengan
lafad ر د memiliki
arti berbalik ke
belakang.
Seruan pada Bani Israil agar
tidak berbalik ke belakang
setelah masuk tanah palestina
al-Nisā’ (4) 47 Ahli Kitab adalah pelaku yang
diancam oleh Allah agar tidak
menolak kebenaran dari al-
Qur’an
Muhammad
(47): 25
Godaan setan adalah sebab
orang berpaling dari al-Qur’an
dan berbalik ke belakang
kepada kekafiran
Muhammad
(47): 27
Bersanding dengan
lafad ي ضريب memiliki
arti memukul bagian
belakang/punggung
siksaan yang dilakukan oleh
para Malaikat saat mencabut
nyawa orang kafir yakni
dengan memukul wajah dan
punggung mereka
al-Anfāl (8): 50
Qaf (50): 40 Akhir shalat
al-Hijr (15): 65 Kisah kaum Tsamud
إد برal-Ṭūr(52): 49 Akhir malam
أد ب رal-Ma’ārij (70):
17
Bersanding dengan
lafad ت و لsikap orang kafir, orang
munafik dan fir’aun yang
dengan kesombonganya
berpaling dari kebenaran al-Mudaṣṣir
(74): 23
Bersanding dengan
lafad است كب ر al-Nāzi’āt (79):
22
Bersanding dengan
lafad ي سع ى al-Mudaṣṣir
(74): 33
berlalunya malam
برا مد
al-Naml (27):
10
Bersanding dengan
lafad و لKisah nabi Musa menghadapi
penyihir firaun, Allah
menyuruh nabi Musa untuk
melemparkan tongkatnya.
Kemudian tongkat itu berubah
menjadi ular sehingga
membuat penyihir fir’aun lari
ke belakang tanpa menoleh.
al-Qoṣaṣ (28):
31
برين مد
64
al-Anbiyā’ (21):
57
Bersanding dengan
lafad و لKisah nabi Ibrahim melakukan
tipu daya pada berhala
kaumnya.
al-Naml (27):
80
Orang yang berpaling ke
belakang (dari kebenaran)
seperti orang mati dan tuli. al-Rum (30): 52
al-Ṣaffāt (37):
90
Orang kafir yang berpaling dari
kebenaran.
Gfir (40): 33
al-Taubah (9):
25
Kisah mundurnya orang
mukmin di awal perang Hunain
sebab kesombongan mereka.
2. Bermakna Seluruh/Akar-akar
Hanya terdapat satu derivasi yang menunjukan arti seluruh/akar-
akar yakni lafad د ابير yang terdapat pada 4 tempat yaitu pada QS. al-
An’ām (6): 45, QS. al-A’rāf (7): 72, QS. al-Anfāl (8): 7 dan QS. al-Hijr
(15): 66. Pada semua ayat ini memiliki kesamaan yakni bersanding dengan
lafad قطع yang berarti dimusnahkan seluruhnya. Adapun yang menjadi
subjek pemusnahan adalah Allah. Kemudian yang menjadi objek
pemusnahan masing-masing ayat berbeda-beda yakni orang dzalim, orang
yang mendustakan ayat-ayat Allah, orang kafir dan kaum nabi Luth yang
membangkang.
Berikut ringkasan penjelasan derivasi Tadabbur yang bermakna
seluruh/akar-akar
Tabel 3.3 : Derivasi Tadabbur yang Bermakna Seluruh/Akar-Akar
Surat/ayat Relasi Kandungan
دابر al-An’ām (6): 45 Bersanding
dengan lafad
yang berarti قطيع
dimusnahkan
seluruhnya
Allah memusnahkan orang dzalim
al-A’rāf (7): 72 Allah memusnahkan orang yang
mendustakan ayat Allah
al-Anfāl (8): 7 Allah memusnahkan orang kafir
al-Hijr (15): 66 Allah memusnahkan kaum nabi
Luth yang membangkang
65
3. Bermakna Mengatur
Terdapat dua derivasi yang menunjukan kata mengatur, yakni ب ير يد
dengan bentuk Fi’il Mudhāri’ dan ب ير dengan bentuk isim fā’il, yang المد
mana keduanya berasal dari satu wazan yang sama yaitu tafa’ala.
Lafad ب ير :disebutkan pada 4 tempat yakni pada QS. Yunūs (10) يد
3, QS. Yunūs (10): 31, QS. al-Ra’d (13): 2, QS. As-Sajdah (32): 5. Semua
ayat ini menjelaskan bahwa Allah-lah yang mengatur segala urusan baik di
langit dan di bumi. Sebagai contoh penulis mengambil surat al-Ra’d (13):
2,
و ع ل ىالع رشي است و ى نزا دت ر ون ه بيغ رييع م الذيير ف ع السم نزاو اتي رييلي ج الل كل و الق م ر الشمس لس ر ل ع لكمبيليق نزاءير تي لالي ي ف ص ي ب يرال مر ب يكمتوقينون مس مىيد
“Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang
kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia
menundukkan matahari dan bulan; masing-masing beredar
menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan, dan
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan
pertemuan dengan Tuhanmu.”
Imam Zamakhsyari dan Abu Su’ud dalam kitab tafsinya memaknai
lafad ‘amr¸ yakni objek perkara yang diatur oleh Alloh mencakup seluruh
urusan mahluk, urusan alam malakut dan urusan ketuhanan. Abu Su’ud
menambahkan pengaturan Allah di sini berdasarkan asas kemanfaatan dan
kemaslahatan.17 Sehingga segala sesuatu yang diatur oleh Alloh tidak ada
yang sia-sia.
Beberapa ayat yang menyebutkan lafadz ب ير pada bagian akhir يد
ayat terdapat penekanan yang berbeda-beda. Pada akhir surat al-Ra’d (13):
17 Muhammad bin Umar az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf (Beirut: Dār al-
Ma’rifah, 2009) 533., Abi Su’ud, Irsyadu al-Aqli as-Salīm, Jilid 5 (Beirut: Dār Ihya’ at-
Turats al-‘Arabi) 2.
66
2 Allah menekankan bahwa dari keagungaNya mengatur segala urusan
yang ada di bumi dan di langit bertujuan agar manusia yakin akan
kedatatangan hari akhir, yakni hari dipertemukanya manusia dengan
Allah. Selanjutnya pada akhir surat Yunūs (10): 3, setelah menunjukan
bahwa Allah lah yang menciptakan langit dan bumi, kemudian Allah
memerintah manusia agar senantiasa mengambil pelajaran. Terakhir pada
surat Yunūs (10): 31, di bagian akhir ayat Allah memperingatkan agar
manusia bertakwa kepada-Nya. Beberapa penekanan tersebut yakni
keyakinan pada hari Qiyamat, senantiasa mengambil pelajaran dan taqwa
merupakan implikasi bagi manusia setelah mengetahui bahwa Allah Maha
mengatur segala sesuatu.
Derivasi selanjutnya yang menyebutkan kata mengatur adalah
lafad ب ير ,yang terdapat pada surat al-Nāzi’āt (79): 5 المد
أ مرا ب ير اتي ف نزالمد “dan (malaikat) yang mengatur urusan (dunia).”
Ibu Su’ud dalam kitab tafsirnya menjelaskan subjek pengatur pada
ayat ini adalah malaikat yang telah dibagi oleh Allah pada kelompok
tertentu seperti untuk mencabut ruh dari jasad manusia.18 Qurais Shihab
memberikan komentar dalam urusan mengatur alam semesta, Allah
mempunyai malaikat yang ditugaskan sebagai perantara yang membawa
sebab-sebab dari wujudnya sesuatu sebelum sebab sebab material yang
biasa diketahui, dengan demikian malaikat adalah perantara Allah dengan
sesuatu yang lain. Hakikat ini terbaca dengan jelas dalam ayat-ayat al-
Qur'an. Dalam hal kematian, misalnya, peranan mereka sangat jelas.19
Meskipun dijelaskan malaikat sebagai perantara pengatur segala
18 Abi Su’ud, Irsyadu al-Aqli as-Salīm, Jilid 9 (Beirut: Dār Ihya’ at-Turats al-
‘Arabi) 95. 19 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 15 (Ciputat: Lentera Hati, 2009),
41.
67
urusan, hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan kuasa Allah yang
mutlak dan satu-satunya dalam mengatur serta menetapkan segala urusan.
Ini dapat diumpamakan sebagaimana saat kita memotong roti
menggunakan pisau. Dapat dikatakan bahwa yang memotong adalah
pisau. Sebenarnya sebab di balik pisau itu adalah tangan yang memegang
pisau. Selanjutnya pisau bergerak karena bergeraknya tangan.
Bergeraknya tangan karena sesuai perintah otak untuk memotong. Tetapi,
pergerakan manusia dan perintah otak itu diarahkan oleh malaikat, lalu
malaikat diarahkan oleh Allah.
Berikut ringkasan penjelasan derivasi Tadabbur yang bermakna
mengatur.
Tabel 3.4 : Derivasi Tadabbur yang Bermakna Mengatur
Ayat Relasi Kandungan
يدب رYunūs (10): 3 Subjeknya الل,
objeknya ال مر, akhir
ayat ت ذ كرون
Pada kekuasaan Allah mengatur
segala sesuatu agar manusia
senantiasa mengambil pelajaran
Yunūs (10): 31 Subjeknya الل, objeknya ال مر, akhir
ayat ت ت قون
Pada kekuasaan Allah mengatur
segala sesuatu agar manusia
bertakwa
al-Ra’d (13): 2 Subjeknya الل, objeknya ال مر, akhir
ayat توقينون
Pada kekuasaan Allah mengatur
segala sesuatu agar manusia
yakin akan kedatatangan hari
akhir
As-Sajdah
(32): 5 Subjeknya الل, objeknya ال مر, akhir
ayat ت عدون
Pada kekuasaan Allah mengatur
segala sesuatu agar manusia
mengerti lemahnya perhitungan
mereka
مدب راتal-Nāzi’āt
(79): 5
Subjeknya
Malaikat, objeknya
,ال مر
Malaikat yang mengatur urusan
4. Bermakna Memikirkan/Merenung
68
Terdapat dua bentuk derivasi yang secara khusus merujuk pada
makna memikirkan/merenung. Dua bentuk tersebut adalah ب ر ب ر dan ي ت د . ي د
Masing-masing dari keduanya disebutkan pada 2 tempat. Lafad ب ر ي ت د
disebutkan pada surat Al-Nisā’ (4): 82 dan surat Muhammad (47): 24,
sedangkan lafad ب ر disebutkan pada surat al-Mu’minūn (23): 68 dan ي د
surat Ṣad (38): 29.
Untuk bentuk lafad ب ر dalam kitab tafsir Jalalain dijelaskan ي د
bahwa bentuk asalnya adalah ب ر yang huruf ta’-nya diidghomkan pada ي ت د
huruf dal.20 Penjelasan tersebut sesuai dengan yang terdapat pada kitab
tafsir al-Bahrul al-Muhith, pada lafad ب ر ب ر asalnya ي د -yang huruf ya ي ت د
nya yang dihilangkan dan huruf dal ditasydid.21 Jadi dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara bentuk lafad ب ر ب ر dan ي ت د , ي د
artinya kedua lafad tersebut adalah sama.
Selain kesamaan bentuk lafad, terdapat kesamaan pula pada
kandungan semua ayat yang menyebutkan lafad ب ر ب ر dan ي ت د yakni ي د
menjelaskan tentang seruan Allah pada manusia untuk melakukan
pentadabburan (perenungan/memikirkan). Namun terdapat perbedaan
pada penyebutan objek yang menjadi sasaran pentadabburan.
Pada surat al-Mu’minūn (23): 68 yang menjadi objek
pentadabburan adalah lafad الق ول kemudian pada surat Ṣad (38): 29 objek
pentadabburan adalah lafad تيهي Kedua ayat ini turun pada periode . آي
makkah.
20 Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuṭi, Tafsir al-Jalalain (Dār Ibnu
Kaṡir), 346. 21 Abu Hayyan, al-Bahrul al-Muhith, Jilid 7 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah,
2010), 279.
69
Ayat selanjutnya pada surat al-Nisā’ (4): 82 dan surat Muhammad
(47): 24 yang keduanya turun pada periode Madinah, yang menjadi objek
penTadabburan adalah lafad القرآن .
Berikut ringkasan penjelasan derivasi Tadabbur yang bermakna
memikirkan/merenung.
Tabel 3.5 : Derivasi Tadabbur yang Bermakna Memikirkan/Merenung
Ayat Relasi Kandungan
ب روا يد al-Mu’minūn
(23): 68 Objeknya الق ول Seruan Allah pada manusia untuk
melakukan penTadabburan
(perenungan/memikirkan) Ṣad (38): 29 Objeknya تيهي آي
ي تدب رون
Al-Nisā’ (4):
82 Objeknya القرآن Seruan Allah pada manusia untuk
melakukan penTadabburan
(perenungan/memikirkan) Muhammad
(47): 24
Derivasi ب ر ب ر dan ي ت د merupakan bentuk derivasi yang menjadi ي د
kunci dari pembahasan tentang Tadabbur dalam al-Qur’an. Untuk
penjelasan detail mengenai penafsiranya akan diulas pada sub bab
selanjutnya.
D. Tadabbur dalam Kitab Tafsir
Pada sub bab ini penulis akan menyuguhkan beberapa penafsiran
para ulama’ terkait ayat-ayat yang secara jelas menyebutkan kata
Tadabbur dalam al-Qur’an yakni pada surat al-Mu’minūn (23): 68, surat
Ṣad (38): 29, Al-Nisā’ (4): 82 dan surat Muhammad (47): 24. Penulis
akan menyebutkan penafsiran para ulama’ dalam kitab mereka yang
mewakili pada dua periode yaitu periode klasik-pertengahan (Abad 3-9
70
H/9-15 M)22 dan periode modern-kontemporer (Abad 12-14 H/18-21 M)23.
Hal ini bertujuan untuk menemukan seberapa variatif makna Tadabbur
yang dihasilkan oleh ijtihad penafsiran para ulama’ pada rentang waktu
tertentu.24
Terlebih dahulu penulis akan mengurutkan ayat-ayat yang
menyebutkan kata Tadabbur berdasarkan tempat turunnya (Makkiyah dan
Madaniyah). Adapun urutan sesuai dengan tempat turunya adalah surat
Ṣad (38): 29, al-Mu’minūn (23): 68, Al-Nisā’ (4): 82 dan Muhammad
(47): 2425. Kemudian penulis akan menyebutkan asbāb al-nuzūl26 masing-
masing ayat (jika ditemukan) untuk mengetahui kondisi sosio-historis saat
ayat diturunkan. Berikut ini adalah penafsirannya :
1. Surat Ṣad (38): 29
أولوال لب نزابي تيهيو ليي ت ذ كر ب رواآي مب نزار كليي د كيت نزابأ ن ز لن نزاهإيل يك “Kitab (al-Qur'an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah
agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang
berakal sehat mendapat pelajaran.”
Ayat ini merupakan ayat yang turun pada periode Makkiyah. Tema
kandungan ayat ini merupakan rangkain dari ayat 27 sampai 29 yang
menjelaskan tentang kepastian hari kebangkitan dan keadilan di hari
kiamat.27 Penulis tidak menemukan informasi tentang asbāb al-nuzūl pada
ayat ini. Objek atau sasaran ayat ini adalah orang muslim periode Makkah.
22 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta : Idea
Press, 2016), 89. 23 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an,145. 24 Penyuguhan penafsiran para ulama’ ini juga akan membantu mempermudah
analisa makna pasca qur’anik pada bab IV. 25 Untuk lebih jelasnya lihat Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’an
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), 65-69. 26 asbāb al-nuzūl adalah pengetahuan tentang sebab-sebab diturukannya ayat.
Lihat lihat Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm ak-Qur’an, 77. 27 Riqza Ahmad, al-Qur’an & Ulum al-Qur’an MindMap (Kudus: PT. Buya
Barakah, 2019), 53.
71
Menurut Muqātil bin Sulaimān (702-767 M) maksud dari آي ب روا تيهيليي د
yakni agar mereka (orang-orang muslim) mendengarkan ayat-ayat al-
Qur’an. Kemudia objek dari ليي ت ذ كر adalah kandungan nasihat-nasihat di
dalam al-Qur’an, sedangkan maksud dari ال لب نزابي adalah ahli hati dan أولو
logika.28
Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī (839-923 M) menjelaskan bahwa ayat
ini merupakan seruan untuk orang muslim agar mengahayati hujah Allah
dan apa yang disyariatkan oleh Allah sehingga mereka bisa mengambil
nasehat dan pengetahuan darinya. Kemudian at-Ṭabarī menyebutkan
perbedaan qiraah : pada umumnya dibaca بروا dengan Ya’, yang ليي د
mengimplikasikan makna seseorang dari qaum yang nabi Muhammad
diutus pada mereka supaya mereka mau menghayati al-Qur’an. Sedangkan
Abu Ja’far dan Āṣim membaca : آيته بروا dengan Ta’, yang ليت د
mengimplikasikan makna eangkau (Muhammad) agar mengahayati al-
Qur’an dan mereka mengikutimu.29
Mengenai bentuk asal dari ب روا -Muhammad bin Umar al , ليي د
Zamakhsyarī (1075-1144 M) menjelaskan bahwa asalnya adalah ب روا ي ت د
sedangkan bentuk ب روا berfungsi untuk mengkhitobi seseorang.30 ي د
Pendapat ini juga sama sebagimana yang disampaikan Abdullah bin Umar
al-Baiḍāwī (w. 1286 M) dalam kitab tafsirnya, akan tetapi al-Baiḍāwī
memberi penjelasan bahwa bentuk ب روا adalah untuk mengkhitobi nabi ي د
28 Muqātil bin Sulaimān, Tafsīr Muqātil bin Sulaimān, jilid 3 (Beirut: Mu’asisah
at-Tārīkh al-‘Arabī, 2002), 643; pada ayat ini dalam mendefinisikan tadabbur Muqātil
menggunakan redaksi يسمع (yasma’u), teks lengkapnya dapat dilihat pada lampiran III. 29 Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ‘ay al-Qur’an, jilid
20 (Jizah: Dār Hijr, 2001), 79. 30 Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasyāf, jilid 5 (Riyad: Maktabah al-
‘Abīkān, 1998), 262.
72
Muhammad dan Ulama’ dari umatnya.31
Selanjutnya al-Zamakhsyarī menjelaskan اليت adalah تدبر
mencurahkan pemikiran dan meneliti pada ayat-ayat al-Qur’an sehingga
dapat mengantarkan kepada pemahaman takwil yang benar dan makna-
makna yang baik dari dzahirnya ayat, sebab sesorang yang hanya puas
dengan dzahirnya ayat maka tidak bisa membuka manfaat yang banyak.32
Hal senada tentang pentingnya memahami apa yang terkandung dibalik
dzahirnya ayat juga disampaikan al-Baiḍāwī dalam kitab tafsirnya.33
Sebagai pakar bahasa yang telah menulis karya tafsir dengan corak
balāgī34, Abu Hayyān (1256-1344 M) memberikan penjelasan mengenai
perbedaan bacaan dari redaksi تيهي آي ب روا ب روا Jumhur dan ‘Ali membaca . ليي د ليي د
dengan ditasydid huruf dal-nya, bentuk asalnya adalah ب روالي ي ت د , sedangkan
Abu Ja’far dan ‘Āṣim membaca ب روا dengan dua huruf ta’ dan huruf dal ليت ت د
tanpa ditasydid, kemudian salah satu dari dua huruf ta’ dibuang (tidak
disebutkan apakah ta’ muḍāra’ah atau ta’ setelahnya) sehingga asalnya
dibaca ب روالي ي ت د . Selanjutnya Abu Hayyān menjelaskan tentang arti
penyebutan التدبر yakni memikirkan tentang ayat-ayat al-Qu’an dan juga
menelitinya dengan penuh pertimbangan terhadap segala
akibat/konsekuensi yang muncul. Kemudian arti penyebutan التذكر adalah
31 Abdullah bin Umar al-Baiḍāwī, Tafsīr al-Baiḍāwī, jilid 5 (Beirut: Dār Iḥya’
al-Turāt al-‘Arabī, 1998), 28., Lihat juga Abu Su’ūd, Tafsir Abu Su’ūd, jilid 7 (Beirut:
Dār Iḥya’ al-Turāt al-‘Arābī), 224., Muhammad al-ṭāhir ibnu ‘Āsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wa
al-Tanwīr, jilid 23 (Tunisia: Dār al-Tūnisiyah, 1984), 252. 32 Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasyāf, 262; pada ayat ini dalam
mendefinisikan tadabbur al-Zamakhsyarī menggunakan redaksi ملالتفكر والتأ (tafakkaru
dan ta’amalu), teks lengkapnya dapat dilihat pada lampiran III. 33 Abdullah bin Umar al-Baiḍāwī, Tafsīr al-Baiḍāwī, 28.; al-Baiḍāwī dalam
mendefinisikan tadabbur pada ayat ini menggunakan redaksi التفكر (tafakkaru), teks
lengkapnya dapat dilihat pada lampiran III. 34 Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Depok: Lingkar Studi al-
Qur’an, 2013), 115.
73
ditujukan kepada orang yang berakal sebab akal merupakan sarana untuk
menunjukan pada kebenaran.35
Burhān al-Dīn al-Baqā’ī (w. 1480 M) menjelaskan maksud ayat ini
adalah seruan kepada orang muslim supaya mereka memperhatikan
akibat/konsekuensi dari setiap ayat dan juga memperhatikan pada makna-
makna batinnya, yang mana makna batin tersebut hanya bisa dirasakan
melalui penelitian yang mendalam pada dzahir ayat36. Abu Su’ūd (w.
1579) memberi penjelasan yang sama bahwa ayat ini diturunkan agar
orang muslim memikirkan ayat-ayat al-Qur’an terutama ayat-ayat yang
menjelaskan tentang rahasia penciptaan alam semesta dan rahasia
pensyariatan sehingga mereka mengetahui apa yang ada di balik dzahir
ayat seperti makna yang layak dan ta’wil yang tepat.37
Wahbah bin Musṭafā al-Zuḥaili (1932-2015 M) menjelaskan
maksud dari ليدبروا adalah agar orang muslim memikirkan dan
memperhatikan makna-makna ayat al-Qur’an. Kemudian beliau
menembahkan keterangan, Sesungguhnya jalan kebahagiaan yang abadi
ialah mengikuti al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk
dan rahmat bagi orang mukmin. Merupakan sebuah keberuntungan bagi
yang mengikuti al-Qur’an. Sesungguhnya Allah menurunkan al-Qur’an
pada manusia untuk ditadabburi dan difikirkan makna-maknanya,
bukanya hanya dibaca saja tanpa ditadabburi.38
35 Abī Hayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, jilid 7 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1993), 379. 36 Burhān al-dīn al-Baqā’ī, Nażmu al-Durar fī Tanāsubi al-Ayāt wa as-Suwar,
Jilid 16 (Kairo: Dār al-Kitāb al-Islāmī), 376.: al-Baqā’ī dalam mendefinisikan tadabbur
pada ayat ini menggunakan redaksi نظر (nażara), teks lengkapnya dapat dilihat pada
lampiran III. 37 Abu Su’ūd, Tafsir Abu Su’ūd, jilid 1 (Beirut: Dār Iḥya’ al-Turāt al-‘Arābī),
207. 38 Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, jilid 12 (Damaskus: Dār al-Fikr,
2009), 210.
74
2. Surat al-Mu’minūn (23): 68
ء همال ولي آب نزاء همم نزال ي تي أ مج ب رواالق ول أ ف ل مي د
“Maka tidakkah mereka menghayati firman (Allah), atau adakah
telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada
nenek moyang mereka terdahulu?”
Ayat ini turun pada periode Makkiyah. Pada rangkaian dari ayat 63
sampai ayat 77 menjelaskan tema tentang sifat-sifat orang kafir dan
perilakunya serta ancaman bagi mereka.39 Mengenai asbāb al-nuzūl pada
ayat ini penulis belum menemukan informasi tentangnya. Objek atau
sasaran ayat ini adalah kaum kafir/musyrik periode Makkah.
Menurut Muqātil bin Sulaimān (702-767 M) maksud dari ب رو ي د اأ ف ل م
-adalah apakah mereka yakni orang musyrik tidak mendengarkan al الق ول
Qur’an.40 Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī (839-923 M) memberi keterangan
pada ayat ini bahwa Apakah orang-orang musyrik itu tidak menghayati
firman Allah sehingga mereka mengetahui penjelasanya dan memahami
hujah/otoritas Allah kepada mereka.41
Selanjutnya Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī (1075-1144 M)
menjelaskan maksud redaksi القول adalah al-Qur’an. Makna ayat ini adalah
tidakkah mereka menghayati al-Qur'an supaya mereka mengetahui
sesungguhnya al-Qur’an adalah kebenaran yang nyata lalu mereka
membenarkan al-Qur’an dan Nabi SAW., tetapi (telah datang kepada
mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka)
39 Riqza Ahmad, al-Qur’an & Ulum al-Qur’an MindMap (Kudus: PT. Buya
Barakah, 2019), 33. 40 Muqātil bin Sulaimān, Tafsīr Muqātil bin Sulaimān, jilid 3, 161; pada ayat ini
dalam mendefinisikan tadabbur Muqātil menggunakan redaksi يسمع (yasma’u), teks
lengkapnya dapat dilihat pada lampiran III. 41 Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ‘ay al-Qur’an, jilid
17, 86.
75
sehingga mereka ingkar dan mengenyampingkan al-Qur’an.42 Abdullah
bin Umar al-Baiḍāwī (w. 1286 M) juga memaknai القول dengan al-Qur’an,
beliau menambahkan bahwa tujuan dari teguran Allah kepada kaum
musyrik untuk menghayati al-Qur’an adalah agar mereka mengetahui
melalui kemu’jizatan lafadnya dan kejelasan maknanya bahwa al-Qur’an
itu merupakan kebenaran dari Allah.43 Penjelasan ini juga senada dengan
keterangan dari Abu Hayyān (1256-1344 M).44
Burhān al-dīn al-Baqā’ī (w. 1480 M) menjelaskan ayat ini
ditujukan pada prang musyrik agar mereka memperhatikan kesudahan dan
akibat dari segala sesuatu, meskipun perhatian mereka tidak sampai
maksimal. Perhatian ini diperlukan supaya mereka mengetahui
sesungguhnya ungkapan itu patut diterima dan ungkapan itu merupakan
ungkapan yang ingdah. Pada ayat ini menggunakan redaksi القول
(ungkapan) sebagai objek dari pentadabburan boleh jadi itu adalah isyarat
bagi sesesorang yang tidak mau menerimanya ia bukanlah termasuk orang
yang faham, justru ia adalah bagaikan hewan ternak.45
Selanjutnya, Muhammad al-ṭāhir ibnu ‘Āsyūr (1879-1973 M)
memberi keterangan apabila orang musyrik menghayati al-Qur’an maka
mereka akan mengetahui bahwa al-Qur’an merupakan suatu kebenaran
yang nampak dari kemukjizatanya dan keindahanya. Namun mereka terus
keras kepala sebab mereka enggan menghayati al-Qur’an. Hal demikian
merupakan salah satu penyakit yang merusak mereka sehingga mereka
terjebak dalam kekufuran.46
42 Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasyāf, jilid 4, 239. 43 Abdullah bin Umar al-Baiḍāwī, Tafsīr al-Baiḍāwī, jilid 4, 91. 44 Abī Hayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, jilid 6, 381.; 45 Burhān al-dīn al-Baqā’ī, Nażmu al-Durar fī Tanāsubi al-Ayāt wa as-Suwar,
Jilid 13, 164. 46 Muhammad al-ṭāhir ibnu ‘Āsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, jilid 18, 87.
76
3. Al-Nisā’ (4): 82
ف ك نزان مينعينديغ رييالليل و ج دوافييهياختيل ب رون القرآن و ل و ي ت د ثيريانزاأ ف ل ك
“Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur'an?
Sekiranya (Al-Qur'an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka
menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.”
Ayat ini merupakan ayat yang turun pada periode Madinah. Tema
kandungan ayat ini merupakan rangkain dari ayat 71 sampai 84 yang
menjelaskan tentang norma-norma jihad dan posisi orang munafik dalam
jihad.47 Objek atau sasaran ayat ini adalah orang munafik. Mengenai
asbāb al-nuzūl pada ayat ini Penulis menemukan informasi dari riwayat
dari Muqātil yang terdapat dalam kitab Tafsir al-Munīr. Muqātil
mengatakan: “sesungguhnya nabi bersabda, “barang siapa cinta padaku
maka sungguh ia juga cinta pada Allah, dan barang siapa taat padaku
maka sungguh ia juga taat pada Allah”, kemudian orang munafik berkata
“adakah yang mendengarkan ucapan laki-laki ini? Sungguh ia melarang
kami menyembah selain Allah, ia menghendaki kami menjadikanya
sebagai tuhan sebagaimana kaum nasrani menjadikan isa tuhan”. Maka
kemudian turunlah ayat ini.48
Muqātil bin Sulaimān (702-767 M) menjelaskan maksud dari أ ف ل
ب رون -adalah apakah mereka (orang munafik) tidak mendengarkan al ي ت د
Qur’an.49
Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī (839-923 M) menjelaskan makna dari
firman Allah أفليتدبرونالقرآن( ) ialah apakah orang munafik tidak merenungi
47 Riqza Ahmad, al-Qur’an & Ulum al-Qur’an MindMap, 8. 48 Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, jilid 3, 177. 49 Muqātil bin Sulaimān, Tafsīr Muqātil bin Sulaimān, jilid 1, 392.; pada ayat
ini dalam mendefinisikan tadabbur Muqātil menggunakan redaksi يسمع (yasma’u), teks
lengkapnya dapat dilihat pada lampiran III.
77
terhadap apa yang nabi Muhammad sampaikan, yakni kitab Allah. Jika
saja mereka merenunginya maka mereka akan mengerti otoritas Allah atas
mereka yakni untuk taat kepada nabi Muhammad dan mengikuti
perintahnya. Sesungguhnya al-Qur’an yang Allah turunkan kepada mereka
mengandung kesempurnaan makna, keselarasan hukum, saling
menguatkan kebenaran, saling menguji satu kepada yang lain. Maka
sesungguhnya jika semua itu bukan dari sisi Allah maka hukum-hukum
tersebut akan rusak, makna-makna akan saling bertentangan, dan akan
saling memaparkan kerusakan satu sama lain. Kemudian at-Ṭabarī
menuqil riwayat dari Yahya bin Abī ṭhālib, dia berkata: Yazid bercerita
padaku, dia berkata : Juwaibir mengabarkanku dari ḍaḥāka, ia mengatakan
yakni Tadabbur adalah memperhatikan dibaliknya.50 )أفليتدبرونالقرآن( :
Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī (1075-1144 M)
memberikan penjelasan mengenai pengertian Tadabbur dalam ayat ini.
Menurutnya المر adalah meneliti dan mempertimbangkan apa yang تدبر
terdapat di balik sesuatu dan mempertimbangkan konsekuensi dan
kesudahan yang muncul darinya. Dalam perkembangannya kemudian
lafad Tadabbur digunakan dalam istilah أتمل (Ta’ammul) yakni penelitian.
Makna dari Tadabbur al-Quran adalah meneliti makna-maknanya dan
melihat sesuatu (yang terkandung) di dalamnya.51 Abu Su’ūd (w. 1579 )
50 Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ‘ay al-Qur’an, jilid
7, 252.; pada ayat ini dalam mendefinisikan tadabbur at-Ṭabarī menggunakan redaksi نظر
(nażara) yang dinukil dari riwayat Yahya bin Abī ṭhālib. Teks lengkapnya dapat dilihat
pada lampiran III. 51 Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasyāf, jilid 2, 115.; al-
Zamakhsyarī dalam mendefinisikan tadabbur pada ayat ini menggunakan redaksi dan نظر
(nażara) kemudian difungsikan untuk istilah تأمل (ta’ammul) yang mana penjelasan ini
sama dengan yang disampaikan Abī Hayyān, al-Syaukānī dan al-Marāgī. Lihat Abī
Hayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, jilid 3, 315., Muḥammad bin Alī al-Syaukānī, Fathu al-Qadīr
(Beirut: Dār al-Ma’rifah), 314., Aḥmad bin Musṭafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī, jilid 5
(Mesir: Maktabah wa Maṭba’ah Miṣr, 1942), 102. Teks lengkapnya dapat dilihat pada
lampiran III.
78
memberikan definisi yang berbeda bahwa Tadabbur artinya adalah
meneliti dan mempertimbangkan apa yang terdapat dibalik sesuatu dan
konsekuensi apa yang muncul darinya. Kemudian pada perkembanganya
lafad Tadabbur itu digunakan dalam setiap تفکر (tafakkur) dan نظر
(nażara).52
Muḥammad ibn Umar Fakhr al-Dīn al-Rāzī (1149-1210 M)
menjelaskan kandungan ayat ini yakni menceritakan tentang macam-
macam tipu daya dan kelicikan orang munafik, itu semua karena mereka
tidak meyakini bahwa al-Qur’an adalah risalah yang benar. Mereka
meyakini bahwa al-Qur’an itu mengada-ada dan kebohongan belaka.
Maka teguran Allah jelas kepada mereka untuk mempertimbangkan dan
memikirkan petunjuk tentang kebenaran atas kenabian Muhammad.
Kemudian al-Rāzī memberikan definisi tentang Tadabbur yakni روالتدب ريالتدب
adalah istilah untuk mempertimbangkan konsekuensi dan akhir sesuatu.
Sebagaimana ungkapan: “sampai dimana mereka menghayati batang
sesuatu telah berakhir kemunculanya”, dan ungkapan yang fasih : “jika
aku berhadapan dengan urusan yang dibelakangku, artinya jika aku
mengetahui sesuatu aku mengetahui pula akibat-akibatnya”.53
Abd al-raḥman bin Muḥammad al- Ṡaālabī (1384-1471 M)
memberikan komentar tentang pengertian Tadabbur yakni memperhatikan
konsekuensi sesuatu dan penjelasan/kesudahan sesuatu. Definisi ini
tercakup dalam firman Allah القرآن يتدبرون ()أفل , ini merupakn perintah
memperhatikan dan mengambil petunjuk kemudian memahami Allah
dengan hujah yang tepat, yakni jika ini berasal dari ucapan manusia maka
52 Abu Su’ūd, Tafsir Abu Su’ūd, jilid 1 (Beirut: Dār Iḥya’ al-Turāt al-‘Arābī),
207. 53 Muḥammad ibn Umar Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātih al-Gaīb, jilid 10 (Beirut:
Dār al-Fikr, 1981), 202.; al-Rāzī dalam mendefinisikan tadabbur pada ayat ini
menggunakan redaksi نظر (nażara). Teks lengkapnya dapat dilihat pada lampiran III.
79
di dalamnya akan ditemukan kontradiksi dan pertentangan yang tidak
mungkin dikumpulkan. Akan tetapi al-Qur’an merupakan kalam dari yang
Maha Luas dan Maha Suci.54
Selanjutnya, Muhammad al-ṭāhir ibnu ‘Āsyūr (1879-1973 M)
memberikan penjelasan yang cukup panjang mengenai Tadabbur. Beliau
berpendapat kata التدبر merupakan bentukan dari lafadz الدبر, yaitu belakang.
Ahli bahasa menarik dari kata بر secara hakiki. Mereka (belakang) الد
mengatakan :تدب ر ketika memperhatikan di balik suatu hal, yakni di balik
ketidakadaannya, atau akibat darinya. تدب ر termasuk fi'il yang musytaq
(berasal) dari isim jamid (isim yang tidak terbentuk dari kata lain). التدبر
mutaadi (membutuhkan pada objek) kepada apa yang ditadabburi,
dikatakan " المر تدب ر " yakni memperhatikan sesuatu. Kemudian beliau
menjelaskan القرآن mengandung dua makna, yang pertama يتدبرون
mengandung makna meneliti petunjuk ayat secara rinci yang menuntun
umat muslim untuk mencapai maksud tersebut, dengan kata lain
mentadabburinya secara rinci. Yang kedua mentadabburi al-Qur'an dari
segi bahasanya bahwa ia benar datang dari Allah dan yang menbawanya
adalah seorang yang jujur. Dalam konteks ayat ini makna Tadabbur yang
pertama lebih unggul, yaitu jika merenungi dan mentadabburi petunjuk
al-Qur'an maka mereka akan mendapat kebaikan besar. Kedua makna
tersebut sesuai dengan kondisi mereka, namun makna awal lebih sesuai
dengan konteks ayat tersebut.55
54 Abd al-raḥman bin Muḥammad al-Ṡa’ālabī, Tafsīr al-Ṡa’ālabī, jilid 2 (Beirut:
Dār ‘Iḥyā’ al-Turāṣal-‘Arabī, 1998), 268.; al- Ṡa’ālabī dalam mendefinisikan tadabbur
pada ayat ini menggunakan redaksi نظر (nażara). Teks lengkapnya dapat dilihat pada
lampiran III. 55 Muhammad al-ṭāhir ibnu ‘Āsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, jilid 5, 137.
80
4. Surat Muhammad (47): 24
ق لوبأ ق ف نزال ب رون القرآن أ مع ل ى ي ت د نزاأ ف ل “Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur'an ataukah hati
mereka sudah terkunci?”
Ayat ini merupakan ayat yang turun pada periode Madinah. Tema
kandungan ayat ini merupakan rangkain dari ayat 20 sampai 34 yang
menjelaskan tentang prilaku orang munafik dan akibatnya serta cobaan
bagi para mujahidin.56 Penulis tidak menemukan informasi tentang asbāb
al-nuzūl pada ayat ini. Objek atau sasaran ayat ini adalah orang munafik.
Sebagaimana dengan ayat-ayat sebelumnya Muqātil bin Sulaimān
(702-767 M) menjelaskan lafad القرآن ب رون ي ت د dengan penjelasan apakah أ ف ل
orang munafik itu tidak mendengarkan al-Qur’an.57
Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī (839-923 M) memberikan penjelasan
apakah orang-orang munafik itu tidak menghayati nasihat-nasihat Allah di
dalam al-Qur’an yang telah diturunkan kepada nabi SAW. dan
memikirkan hujah-hujah dalam al-Qur’an yang telah dijelaskan pada
mereka saat al-Qur’an diturunkan. Sehingga mereka mengetahui kesalahan
mereka. Kemudian at-Ṭabarī mengutip riwayat dari Basyar, ia berkata:
telah bercerita Yazid, ia berkata: telah bercerita Sa’īd, dari Qatādah:
(tidakkah mereka menghayati al-Qur'an ataukah hati mereka sudah
terkunci?) demi Allah, di dalam al-Qur’an mereka akan mendapatkan
ancaman berbuat maksiat kepada Allah, jika saja mereka memperhatikan
dan memahaminya, tetapi sayangnya mereka justru mengambil yang
samar, sehingga mereka malah binasa.58
56 Riqza Ahmad, al-Qur’an & Ulum al-Qur’an MindMap, 65. 57 Muqātil bin Sulaimān, Tafsīr Muqātil bin Sulaimān, jilid 4, 49.; pada ayat ini
dalam mendefinisikan tadabbur Muqātil menggunakan redaksi يسمع (yasma’u). Teks
lengkapnya dapat dilihat pada lampiran III. 58 Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ‘ay al-Qur’an, jilid
81
Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī (1075-1144 M)
menjelaskan maksud dari القرآن أ ف ل ب رون ي ت د yakni apakah mereka enggan
menghayati al-Qur’an untuk menelaah nasehat-nasehat, peringatan-
peringatan dan ancaman maksiat yang terkandung di dalamnya sehingga
orang munafik tidak berani lagi bermaksiat. kemudian maksud dari ع أ م ل ى
أ ق ف نزال نزا yang (am) أم yakni lafad (?ataukah hati mereka sudah terkunci) ق لوب
bermakna بل (bal) dan adanya hamzah taqrir sebagai catatan bahwa hati
mereka tertutup sehingga dzikir tidak bisa menjangkau hati mereka.59
Selanjutnya Aḥmad bin Musṭafā al-Marāgī (1883-1952 M)
memberikan keterangan tentang maksud dari القرآن ب رون ي ت د yakni menelaah أ ف ل
apa yang ada di dalam al-Qur’an seperti nasihat-nasihat dan peringatan-
peringatan sehingga mereka dapat berpindah dari tempat kebinasaan. al-
Marāgī menambahkan keteranganya, apakah orang munafik itu tidak
menghayati nasihat-nasihat yang telah Allah sampaikan dalam kitabNya.
Apa mereka tidak memikirkan hujah-hujah yang jelas dari turunya al-
Qur’an sehingga mereka mengetahui kesalahan mereka, ataukah Allah
telah benar-benar mengunci hati mereka sehingga mereka tidak mengerti
pelajaran dan nasihat-nasihat yang terkandung di dalam kitab Allah?.60
Wahbah bin Musṭafā al-Zuḥaili (1932-2015 M) memberikan
penjelasan maksud dari Tadabbur pada ayat ini yakni memahami dan
menelaahnya untuk melihat apa yang terkandung didalamya seperti
21, 215.; mengenai riwayat dari Qatādah lihat juga pada Muhammad bin Umar al-
Zamakhsyarī, al-Kasyāf, jilid 5, 226., Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, ad-Dur al-Manṣūr fi al-
Tafsīr bi al-Ma’ṣūr, jilid 13 (Kairo: Markaz li Buhūṣ wa al-Dirasāt al-‘Arabiyah, 2003),
447. 59 Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasyāf, jilid 5 (Riyad: Maktabah al-
‘Abīkān, 1998), 262.; mengenai implikasi tadabbur agar orang munafik tidak lagi
bermaksiat lihat juga pada Abī Hayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, jilid 8, 82., Abdullah bin Umar
al-Baiḍāwī, Tafsīr al-Baiḍāwī, jilid 5, 123. 60 Aḥmad bin Musṭafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī, jilid 26, 69.
82
nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan, sehingga orang munafik itu
tidak menerobos kemaksiatan dan melestarikan kebiasaan-kebiasaan
(buruk).61
E. Hadist-Hadist Terkait Tadabbur
Sejauh penelusuran penulis dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li
‘Alfāżi al-Hadiṣ al-Nabawī,62 setidaknya penulis menemukan 2 hadist
yang secara spesifik menyebutkan kata Tadabbur. Berikut redaksi
hadistnya :
Hadist pada kitab Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal, yang
menjelaskan kata Tadabbur dalam makna pengamatan.63
دبنع بديا ث ن نزام م ع نيالح د إيسح نزاق ث ن نزاإيسر ائييلع نأ بي لليبنيالزب رييح د ع نيابنيع بنزاسق نزال ص ل تدب ر تتمييميي ي ة ر سولي
إيبط يهي ع ل يهيو س لم ف ر أ ي تهم و ييف ر أ يتب ي نزاض الليص لىالل
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin az-
Zubair telah menceritakan kepada kami Isrāīl dari Abu Isḥāq dari
at-Tamīmī dari Ibnu Abbās, ia berkata; "Aku mengamati shalat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu aku melihat beliau
merenggangkan (tubuh dan tangan) hingga aku melihat putih
ketiak beliau."
Hadist pada kitab al-Muwaṭṭa’ yang menjelaskan tempo Zaid bin
ṣābit dalam membaca al-Qur’an yang tidak buru-buru mengkhatamkannya
guna agar bisa mentadabburinya.64
بني دبني ي و م م كنتأ ن بنيس عييدأ نهق نزال ع نم نزاليكع ني ي ث ني وح د نزاليس يف د ع نزام مدر جلف ق نزال بنزان ج ح
أ نهأ ت ى أ بي الرجلأ خب ر ني ف ق نزال مينأ بييك لذييس يعت بي ني بن ث أ خبي قير اء ةيالقر يد ت ر ىفي ك يف ل ه بعبيتف ق نزال س في آني
61 Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, jilid 13, 446. 62 Wensik, al-Mu’jam al-Mufahras li ‘Alfāżi al-Hadiṣ al-Nabawī, jilid 2
(Leiden: Maktabah Barīl, 1936), 109. 63 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal (Riyad: Dār al-
Salām, 2013), 169. 64 Mālik bin Anas, al-Muwaṭṭa’ (Beirut: Dār al-Turāṣ al-‘Arabī, 1985), 201.
83
ف ق نزال ذ اك لي إيل و س لني نيصفأ وع شرأ ح ب يدح س نو ل نأ ق ر أ هفي يدليك يف ق نزال ق نزال أ سأ لك ع ل يهيو أتدب رهإين ي أ قيف
Telah menceritakan kepadaku dari Mālik dari Yahyā bin Saīd
bahwa dia berkata, "Aku dan Muhammad bin Yahyā bin Habbān
sedang duduk-duduk. Muhammad kemudian memanggil seorang
laki-laki seraya berkata, "Kabarkanlah kepadaku apa yang telah
kamu dengar dari bapakmu." Laki-laki itu lalu berkata, "Bapakku
mengabarkan kepadaku, bahwa ia pernah mendatangi Zaid bin
ṣābit dan berkata kepadanya, "Menurutmu bagaimana tentang
menghatamkan bacaan Al-Qur'an dalam tujuh hari?" Zaid
menjawab, "Baik, tetapi menghatamkannya dalam setengah bulan
atau sepuluh hari lebih aku sukai. Tanyakan kepadaku kenapa hal
itu." Bapakku berkata, "Aku bertanya kepada anda?" Zaid berkata,
"Agar aku dapat mengambil pelajaran dan mengetahuinya."
Dari semua penjelasan dalam bab ini, dapat dijelaskan secara
singkat bahwa kata Tadabbur merupakan bentuk ṣigāt isim masdar yang
mengikuti wazan ل ع ف ت ي – ل ع ف ت )Tafa’ala-Yatafa’alu(. Bentuk wazan
Tafa’ala-Yatafa’alu termasuk dalam bab fi'il ṡulāṡi mazīd model kedua
Berkaitan dengan itu, tidak banyak ayat al-Qur’an yang membahas tentang
Tadabbur. Dari sekian banyak ayat al-Qur’an, hanya ada empat ayat yang
menjelaskan tentang Tadabbur, yaitu surat Al-Nisā’ (4): 82, surat
Muhammad (47): 24, surat al-Mu’minūn (23): 68 dan surat Ṣad (38): 29.
Berkaitan dengan hal di atas, dalam empat ayat yang membahas
kata Tadabbur ditafsirkan oleh para mufassir dengan makna yang berbeda.
Diantara maknanya yaitu: mendengarkan, memikirkan, memahami,
menelaah dan meneliti ayat-ayat al-Qur’an untuk mengambil hikmah,
pelajaran, nasehat-nasehat dan lain sebagainya.
Terlepas dari penafsiran tentang Tadabbur, terdapat hadits Nabi
yang di dalamnya menjelaskan kata Tadabbur yaitu hadist yang
diriwayatkan oleh imam Malik yang menunjukan arti pengamatan pada
kata Tadabbur dan hadist riwayat imam Aḥmad bin Ḥanbal yang
menunjukan penggunaan Tadabbur dalam membaca al-Qur’an yaitu untuk
84
mengambil pelajaran dan hikmah di dalam al-Qur’an.
85
BAB IV
ANALISIS TADABBUR PRESPEKTIF SEMANTIK IZUTSU
Bab ini akan menganalisis makna Tadabbur dengan menggunakan
metode semantik Toshiko Izutsu. Analisis yang dilakukan ialah
menentukan makna dasar Tadabbur, menentukan makna relasional
Tadabbur, mengkaji makna Tadabbur dari melalui analisis semantik
historis, dan terakhir menentukan weltanschauung dari kata Tadabbur.
A. Makna Dasar Tadabbur
Langkah awal dalam gerak metodologi semantik Izutsu adalah
menelusuri makna dasar. Menurut Izutsu Makna dasar atau disebut juga
makna leksikal adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang
lalu terbawa dimana pun kata itu diletakkan.1 Untuk mendapatkan makna
dasar, dapat diketahui dengan mencari makna tersebut dalam kamus-
kamus.
Kata Tadabbur, dalam kitab Lisān al-Arab dijelaskan terbentuk
dari tiga huruf dasar yakni da - ba - ra. Bentuk asal dari Tadabbur
memiliki dua versi, yang pertama دب ر dengan didhommah huruf ba’nya,
kemudian دب ر dengan disukun huruf ba’nya. keduanya memiliki pengertian
bermakna akhir sesuatu atau lawan dari depan yakni belakang.2 آخر الشيئ
Penjelasan dua versi bentuk ini juga sama dengan yang terdapat dalam
kitab al-Mufradāt fi Garībi al-Qur’an, yang bermakna القبل لف خي الشئ دب ر
1 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Terj. Agus Fahri Husein, dkk.
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.), 12. 2 Ibn Mandhur, Lisān al-Arab, Jilid IV (Beirut: Dār Shaadir), 268. Makna الشيئ
lihat juga dalam Abi Husain Ahmad bin Faris, Mu’jam Maqāyīs al-Lughoh, Jilid 2 آخر
(Beirut: Dār al-Fikr, 1979), 324.
86
yakni belakang sesuatu lawan dari depan,3 seperti yang termaktub dalam
surat al-Anfāl ayat 16.
ء فيئ ةف ق دب ي يزاإيل مت ح ر يفنزاليقيت نزالأ ومت ح ريو م ني و ل ييمي وم ئيذدب ر هإيل الم صي نمو بيئس و م أو اهج ه بيغ ض بمين اللي
Dan barangsiapa mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk
(siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan
yang lain, maka sungguh, orang itu kembali dengan membawa
kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam,
seburuk-buruk tempat kembali.
Mundur dalam ayat di atas maksudnya adalah berpaling menempati
posisi di belakang untuk melarikan diri saat berperang.4
Adapun bentuk jama’ dari دب ر adalah أدبر dengan difathah
hamzahnya.5 Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Qaf ayat 40.
السجودي ر ف س ب يحهو أ دب و مين الليليDan bertasbihlah kepada-Nya pada malam hari dan setiap selesai
shalat. Maksudnya adalah di akhir setelah melakukan shalat.6
Dalam kitab Lisān al-Arab disebutkan terdapat versi yang berbeda
pada bentuk jama’ lafad دب ر, yakni ر dengan dikasrah hamzahnya,7 إيدب
sebagaimana yang terdapat dalam surat Ath-Thūr ayat 49
النجومي ر ف س ب يحهو إيدب و مين الليلي“dan pada sebagian malam bertasbihlah kepada-Nya dan (juga)
pada waktu terbenamnya bintang-bintang.”
Terbenamnya bintang pada ayat di atas maksudnya adalah di akhir
malam atau waktu sahur yakni sebelum fajar muncul saat bintang-bintang
3 ar-Rāgib al-Aṣfahani, al-Mufradāt fi Garībi al-qur’an (Beirut: Dār al-
Ma’rifat) 164. Lihat juga dalam Abu Nashr al-Jauhari, as-Shihah Taaj al-Lughoh
(Beirut: Dār al-Ilmu Lilmalaayiin, 1987), 253. 4 Mahmud Muhammad at-Thanāhi, min Asrāri al-Lughah fi al-Kitab wa al-
Sunnah, Jilid 1 (Makkah: Dār al-Fath, 2008) 605 5 ar-Ragib al-Aṣfahani, al-Mufradāt fi Garībi al-qur’an, 164. 6 Mahmud Muhammad at-Thanāhi, min Asrāri al-Lughah fi al-Kitab wa al-
Sunnah, 605. 7 Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, Vol. IV, 268.
87
mulai terbenam.8
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa kata
Tadabbur memiliki makna dasar akhir sesuatu atau belakang sesuatu.
Sebagai makna dasar, makna ini akan selalu terbawa di manapun kata
Tadabbur di tempatkan dalam sebuah struktur kalimat, baik di dalam al-
Qur’an maupun di luar al-Qur’an. Sebab kata dasar merupakan inti
konseptual kata.
B. Makna Relasi Tadabbur
Setelah menentukan makna dasar, selanjutnya adalah menentukan
makna relasional kata Tadabbur. Makna relasional adalah sesuatu yang
konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada
dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus.
Makna Relasional berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-
kata penting lainnya dalam sistem tersebut. Dengan kata lain, makna baru
yang diberikan pada sebuah kata bergantung pada kalimat di mana kata
tersebut digunakan. Untuk menemukan makna relasional Izutsu
menggunakan dua model analisis, yaitu analisis sintagmatik dan
paradigmatik.9
1. Analisis Sintagmatik
Analisis sintagmatik adalah analisis yang berusaha menentukan
makna suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di depan
dan belakang kata yang sedang dibahas dalam satu bagian tertentu. Kata-
kata tersebut memiliki hubungan keterkaitan satu sama lain dalam
8 Mahmud Muhammad at-Thanaahi, min Asraari al-Lughah fi al-Kitab wa al-
Sunnah, 605. 9 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 12.
88
membentuk makna sebuah kata.10 Oleh karenanya analisis ini sangat
penting dan dibutuhkan, sebab sebuah kata pasti tidak bisa terlepas dari
pengaruh kata-kata yang ada di sekelilingnya.
Dalam analisa ini penulis mencoba mengurai hubungan
sintagmatik pada 4 ayat yang secara jelas menyebutkan seruan untuk
Tadabbur. Penulis menyajikan ayat per ayat dikarenakan pada masing-
masing ayat kata Tadabbur mempunyai perbedaan keterkaitan makna
dengan kata atau frasa sebelum dan sesudahnya.
Penulis akan membagi keterkaitan ini berdasarkan hubungan
subjek, predikat, objek dan keterangan. Di samping untuk mempermudah
proses analisa sintagmatik, usaha ini memudahkan pula untuk mencari
hubungan asosiasi kata Tadabbur secara paradigmatik.
1. Surat al-Nisā’ (4) ayat 82
Pada ayat ini objek yang menjadi sasaran seruan Tadabbur adalah
al-Qur'an. Kemudian yang menjadi subjek dari seruan Tadabbur adalah
kata ganti mereka (ḍamīr jama’ goibah) yang secara implisit melihat
penjelasan ayat sebelumnya (ayat 81) menunjukan pada orang munafik.
Dijelaskan pada ayat 81 bahwa sikap orang munafik saat di depan nabi
Muhammad mereka patuh, sebaliknya ketika di belakang nabi mereka
mengatur siasat lain. Selanjutnya pada akhir ayat 82 disebutkan kata
Ikhtilāf (إختالف) yang menjelaskan keterangan argumentasi dari Allah
kepada orang munafik atas seruan Tadabbur yakni bahwasanya apabila al-
Qur'an bukan dari Allah niscaya akan ditemui banyak pertentangan di
dalamnya. Bentuk pertentangan ini pada ayat selanjutnya (ayat 83)
dijelaskan yakni berupa kabar atau informasi yang datang pada nabi
Muhammad dan umat muslim.
10 Saiful Fajar, Konsep Syaiṭān Dalam Al-Qur’an (Skripsi Ilmu Al-Qur’an dan
Ilmu Tafsir UIN Jakarta, 2018), 29.
89
Menyimpulkan dari penjelasan di atas hubungan sintagmatik kata
Tadabbur pada Surat al-Nisā’ (4) ayat 82 berkaitan dengan kata al-Qur'an,
orang munafik dan Ikhtilāf (إختالف) . Implikasi makna yang timbul adalah
seruan Tadabbur kepada orang munafik bertujuan untuk menyanggah keraguan
dan dugaan orang munafik bahwa nabi bukanlah seorang Rasul yang membawa
informasi langsung dari Allah.
2. Surat al-Mu’minūn (23): 68
Objek yang menjadi seruan Tadabbur pada ayat ini adalah kata al-
qoula (القول). Selanjutnya yang menjadi subjek dari seruan Tadabbur
adalah kata ganti mereka (ḍamīr jama’ goibah) yang secara implisit
melihat penjelasan ayat sebelumnya menunjukan pada orang musyrik.
Kemudian pada akhir ayat disebutkan kata abā’ahum (اباءهم) yang
menjelaskan keterangan argumentasi dari Allah alasan yang mendasari
mereka enggan melakukan Tadabbur yakni bahwa apakah telah datang
pada nenek moyang mereka apa yang belum datang sebelumnya. Pada
ayat selanjutnya (ayat 69) dijelaskan yang dimaksud apa yang datang
adalah kabar tentang kerasulan nabi Muhammad.
Dapat disimpulkan dari keterangan diatas hubungan sintagmatik
Tadabbur pada Surat al-Mu’minūn (23): 68 berkaitan dengan kata al-qoula
(اباءهم) musyrik dan abā’ahum ,(القول) . Implikasi makna dari keterkaitan ini
adalah seruan Tadabbur kepada orang musyrik bertujuan untuk meyakinkan
mereka akan reasulan nabi Muhammad.
3. Surat Ṣad (38): 29
Pada ayat ini objek yang menjadi sasaran seruan Tadabbur adalah
Ayāt (اياته). Kemudian yang menjadi subjek dari seruan Tadabbur adalah
kata ganti mereka (ḍamīr jama’ goibah) yang secara implisit melihat
90
penjelasan ayat sebelumnya menunjukan pada orang mukmin. Selanjutnya
pada bagian akhir ayat ini disebutkan keterangan yang berkaitan dengan
kata Tażakkur (تذكر) dan kata Ūlūl Albāb (اولو االلباب) . Kata Tażakkur &
Ūlūl Albāb merupakan dua kata yang memiliki jaringan sistem khusus,
sebab terdapat tiga ayat yang menyebutkan dua kata ini dengan keadaan
selalu bersanding yakni pada surat al-Ra’d (13): 19, Ṣad (38): 29 dan az-
Zumār (39): 9.11
Tażakkur memiliki arti mengambil pelajar sedangkan Ūlūl Albāb
menurut Eko Zulfikar12adalah seseorang yang memiliki empat kualitas
yang selalu melekat dan sulit untuk terlepas pada dirinya yakni :
spiritualitas, moralitas, intelektualitas, dan profesionalitas.
Menyimpulkan dari penjelasan di atas hubungan sintagmatik kata
Tadabbur pada Surat Ṣad (38): 29 berkaitan dengan kata ayāt (اياته),
mukmin, Tażakkara Ūlūl Albāb )تذكر اولو االلباب(. Implikasi makna yang
ditimbulkan adalah Posisi anjuran Ūlūl Albāb dalam bertażakkur adalah
setelah ia melakukan pentadabburan terhadap al-Qur’an. Dapat dikatakan
Tadabbur merupakan langkah awal bagi Ūlūl Albāb untuk mengambil
pelajaran dari al-Qur’an.
4. Surat Muhammad (47): 24
Objek yang menjadi seruan Tadabbur pada ayat ini adalah kata al-
Qur’an. Selanjutnya yang menjadi subjek dari seruan Tadabbur adalah
kata ganti mereka (ḍamīr jama’ goibah) yang secara implisit melihat
penjelasan ayat sebelumnya menunjukan pada orang munafik. Kemudian
disebutkan kata qulūb ‘afqāluhā (قلوب أقفالها) pada akhir ayat yang
11 Muhammad Fuād Abdu al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faẓ al-Qur’ān,
(Mesir, Dār al-Kutub al-Miṣriyah, 1947), 272. 12 Eko Zulfikar, “Makna Ūlūl Albābdalam al-Qur’an : Analisis Semantik
Toshihiko Izutsu”. Jurnal Theologia, vol. 29, no. 1 (2018).
91
menjelaskan keterangan argumentasi dari Allah alasan yang mendasari
orang munafik enggan melakukan Tadabbur bahwa apakah hati mereka
sudah terkunci. Pada ayat selanjutnya (ayat 25) dijelaskan penyebab
terkuncinya hati mereka adalah godaan setan dan panjangnya angan-
angan. Dan pada ayat sebelumnya (ayat 23) dijelaskan keburukan sifat
orang munafik yakni berpaling dari tuntunan agama, melakukan perusakan
di bumi dan memutus silaturahim.
Dapat disimpulkan dari keterangan diatas hubungan sintagmatik
Tadabbur pada Surat Muhammad (47): 24 berkaitan dengan kata al-Qur'an,
munafik dan qulūb ‘afqāluhā (قلوب أقفالها). Implikasi makna yang dapat
disimpulkan adalah seruan Tadabbur pada orang munafik bertujuan untuk
memberi pelajaran bagi mereka dan mengecam sifat-sifat buruk dari mereka.
2. Analisis Paradigmatik
Analisis paradigmatik adalah analisis yang mengompromikan kata
atau konsep tertentu dengan kata atau konsep lain yang mirip
(sinonimitas) atau sebaliknya bertentangan (antonimitas). Analisis
paradigmatis merupakan salah satu cara untuk mencari hubungan makna
antara satu konsep dengan konsep lain (integrasi antar konsep), serta
mengetahui posisi konsep yang memiliki makna yang lebih luas dan
posisi konsep yang memiliki makna yang lebih sempit sehingga
menghasilkan pemahaman yang komprehensif sesuai pandangan dunia al-
Qur’an.13
Terlebih dahulu penulis akan merangkum hasil analisa sintagmatik
pada sub bab sebelumnya. Penulis akan menyajikan rangkuman tersebut
dalam bentuk tabel di bawah ini agar memudahkan untuk mencari
13 Saiful Fajar, Konsep Syaiṭān Dalam Al-Qur’an (Skripsi Ilmu Al-Qur’an dan
Ilmu Tafsir UIN Jakarta, 2018), 29.
92
hubungan asosiasi kata Tadabbur.
S I N T A G M A T I K
P A
R A
D I
G M
A T
I K
Surat & Ayat Subjek Predikat Objek Keterangan
al-Nisā’ (4) ayat 82
Munafik Tadabbur al-Qur'an Ikhtilāf ()إختالف
al-Mu’minūn (23): 68
Musyrik Tadabbur al-qoula (القول)
abā’ahum )اباءهم(
Ṣad (38): 29 Mukmin Tadabbur ayāt (اياته) Tażakkara Ūlūl Albāb تذكر اولو االلباب()
Muhammad (47): 24
Munafik Tadabbur al-Qur’an qulūb ‘afqāluhā ( قلوب (أقفالها
Tabel 4.1 : Rangkuman Analisa Sintagmatik dan Paradigmatik
Perlu diingat bahwa analisa paradigmatik hanya membandingkan
konsep-konsep dalam satu kelas yang sama. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui jaringan asosiasi Tadabbur pada seluruh ayat secara
komprehensif.
Dapat dilihat dari tabel diatas, pada tataran predikat posisi
Tadabbur pada semua ayat adalah sebagai predikat. Artinya penekanan
Tadabbur menjadi aktifitas yang diperintahkan oleh Allah terkesan kuat.
Hal ini berbeda dengan tataran subjek, objek dan keterangan, terdapat
banyak perbedaan.
Pada tataran subjek terdapat tiga bentuk kata yakni mukmin,
musyrik dan munafik. Kemudian pada tataran objek juga terdapat tiga
bentuk kata yakni ayāt (اياته), al-qoula (القول) dan al-Qur’an. terakhir pada
tataran keterangan berupa kata Ikhtilāf ()إختالف , abā’ahum )اباءهم(,
Tażakkara Ūlūl Albāb )تذكر اولو االلباب( , qulūb ‘afqāluhā (قلوب أقفالها).
Melihat beragam bentuk kata yang menjadi subjek dari Tadabbur
dapat disimpulkan bahwa Tadabbur bersifat inklusif. Tadabbur dapat
diaplikasikan oleh berbagai kalangan meski dengan latar belakang
keimanan yang berbeda.
Adapun pada tiga kata yang menjadi objek Tadabbur meski
berbeda, namun tetap dalam satu bangunan konsep. Kata pertama yakni
93
al-qoula (القول) adalah bangunan besarnya. Kata ini dapat diartikan
sebagai wahyu yang disampaikan pada nabi Muhammad, bisa berupa al-
Qur’an atau Hadist. Kata yang kedua yakni al-Qur’an yang mendapat dua
kali penyebutan. Kata yang ketiga yakni ayāt (اياته) yang dapat diartikan
sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah atau (potongan ayat) dalam al-
Qur’an. Jadi objek dari Tadabbur tidak jauh dari konsep wahyu.
Keterangan yang menjadi relasi dari seruan Tadabbur jika ditarik
titik kesamaanya semuanya seolah bertemu pada titik penguatan tauhid.
Mulai dari argumentasi menolak adanya pertentangan informasi di dalam
al-Qur’an, keengganan menerima berita kerasulan nabi Muhammad yang
telah datang pada pendahulunya, mengunci hati untuk menerima berita
dari nabi Muhammad dan anjuran untuk melakukan Tażakkur.
Berdasarkan penjelasan di atas, berikut ini diagram medan
semantik dari kata Tadabbur.
Diagram 4.1 : Medan Semantik Tadabbur
Allah
Musyrik Tadabbur
Munafik
Mukmin
al-Qur'an
ayāt
al-qoula
Tażakkur
94
C. Analisis Semantik Historis Tadabbur
Gerak metodologi selanjutnya yakni, analisa sinkronik dan
diakronik yang disebut juga dengan semantik historis yakni analisa yang
berhubungan dengan kesejarahan kosa kata dalam al-Qur’an. Tujuanya
adalah untuk melihat bagaimana kata-kata berubah maknanya karena
perjalanan sejarah. Analisa sinkronik adalah sudut pandang masa di mana
kata tersebut lahir dan berkembang untuk memperoleh suatu sistem kata
yang statis. Dengan sudut pandang ini, akan terlihat unsur-unsur lama
yang terlepas dalam sebuah bahasa, kemudian muncul unsur-unsur baru
yang menemukan tempatnya sendiri dalam sistem bahasa tersebut.
Sedangkan analisa diakronik adalah pandangan terhadap bahasa yang pada
prinsipnya menitikberatkan pada unsur waktu. Dengan demikian, secara
diakronik, kosakata membentuk sekumpulan kata yang masing-masing
tumbuh dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang khas.
Kemungkinan dalam suatu masa sebuah kosakata mengandung makna
yang penting dalam kehidupan masyarakat dan pada masa yang lain
mungkin kata itu mengalami distorsi makna karena adanya kata-kata baru
yang muncul. Tidak menutup kemungkinan juga, sebuah kata bisa
bertahan dalam jangka waktu lama pada masyarakat yang
menggunakannya.14
Untuk menyederhanakan persoalan analisa semantik historis
diatas, Izutsu membagi periode penggunaan kosa kata menjadi 3 periode,
yakni : (1) Pra Qur’anik, sebelum turunnya Al-Qur’an, atau jahiliyyah, (2)
Qur’anik, masa turunnya Al-Qur’an dan (3) Pasca Qur’anik, setelah
turunnya Al-Qur’an.15
14 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 32-33. 15 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 35.
95
1. Pra Qur’anik Tadabbur
Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab II, bahwa pencarian
kosakata pra-Qur’anik dapat dilacak melaluih (1) kosa kata badwi murni
masa nomaden, (2) kosa kata kelompok pedagang, (3) kosa kata Yahudi-
Kristen. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur penting kosakata
Arab pra-Islam.16 Oleh karena itu, salah satu media relevan untuk
memahami arti kosa kata pada masa pra Qur’anik adalah syi’ir-syi’ir
jāhili, yaitu syair-syair yang berkembang sebelum datangnya Islam, sebab
syair merupakan produk budaya terbesar bagi Bangsa Arab.17
Ṯāha Husain memberikan penjelasan dalam kitabnya yang berjudul
al-ādab al-Jāhili bahwa jika ingin mengetahui syair-syair jahili yang sahih,
sempurna, maka cukuplah membaca syair-syair yang dikemukakan oleh
tiga penyair, yaitu : Zuhair, al-Nābigah dan al-Huṯai’ah.18
Namun, selain menyebutkan nama ketiga penyair tersebut, Husain
juga menyebutkan nama-nama penyair lain, seperti : Imri al-Qais, Lubaid
Turfah, ‘Amr Ibn Kultsum, ‘Antarah, al-Harts Ibn Hallazah, alqamah, dan
al-A’sya.19
Dalam upaya mengetahui makna kata Tadabbur pada masa pra
Qur’anik, penulis mencarinya dari bebrapa kitab Diwan yang
menghimpun syair-syair yang ditulis oleh mereka. Penulis menemukan
beberapa syair yang mengandung kata Tadabbur beserta beberapa
derivasinya, seperti kata مدبير (mudbir), يدبير (yudbiru), ر Berikut .(adbār) أ دب
16 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 35. 17 Lukita Fahriana, Pemaknaan Qalb Salim Dengan Metode Analisis Semantik
(Skripsi Ilmu al-Qur’an dan tafsir Fakultas Uśuluddin UIN Jakarta, 2019), 86. 18 Tepatnya, berikut ini ungkapan Ṯaha Husein :
هريو الننزابغةوالطئةلتقنعبذلكفمنزايصحلننزامنالشعرالنزاهليكنزاملاخللقمتقنالبننزاءفيهاثرالتفكريوالرويةوحسبكانتنظرفشعر
Lihat : Ṯaha Husain, al-Ādab al-Jāhili (Kairo : Faruq, 1993), 352. 19 Ṯaha Husain, al-Ādab al-Jāhili, 93.
96
penjelasanya,
Diwān Labīd bin Rabi’ah al-‘Amirī (545 – 661 M)
بري و ل وانن#و أعينزاعلىلقم نزان حكمالتد و أ خل فن قسنزال يت ني
“Kami menyeleweng pada Qussan andai aku telah melampaui
Luqman atas apa yang telah luqman harapkan”.20
Labīd bin Rabi’ah al-‘Amirī merupakan penyair yang lahir lebih
dahulu dari pada Nabi Muhammad. Dalam kitabnya disebutkan ia lahir
pada tahun 545 M, sedangkan nabi Muhammad lahir pada tahun 570 M21.
Hal ini menunjukan bahwa syair Labīd bin Rabi’ah al-‘Amirī relevan
untuk dijadikan rujukan mengetahui makna pra Qur’anik.
Terdapat penjelaskan dalam kitab Diwān Labīd tentang maksud
dari redaksi بري التد ويتمننزاه pada syair diatas yakni bermakna حكم يطلبه yang منزا
artinya “sesuatu yang diinginkan dan diharapkan”. Menurut hemat penulis
makna ini mereprentasikan aktifitas hati yang berhubungan dengan hasrat.
Sehingga Tadabbur pada masa jahiliyah keluar dari makna dasarnya yang
berupa belakang atau akhir.
Kemudian selain bentuk kata Tadabbur, penulis juga menemukan
beberapa syair yang menggunakan bentuk derivasi lain dari kata
Tadabbur, seperti:
Bentuk derivasi مدبير pada Syaraḥ Diwān Antarah bin Syadād (lahir
sekitar tahun 530 M).
#و ليتمن ه زيمنزاه زيي ة مدبير ي ومنزاأنني يع بل !ه لب ل يغتي
“Hai abal! apakah telah disampaikan padamu suatu hari bahwa
dirimu berpaling dengan keadaan yang melelahkan seperti lelahnya
20 Labīd bin Rabi’ah al-‘Amirī , Diwān Labīd bin Rabi’ah al-‘Amirī (Beirut: Dār
ṣādir, t.th), 71. 21 Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2013), 10.
97
orang yang lari ke belakang”.22
Makna مدبر pada syair ini masih terikat dengan makna dasar dari
Tadabbur yakni belakang. Namun makna مدبير digunakan untuk
menunjukan pelaku atau subjek yang bergerak atau lari kebelakang.
Bentuk derivasi ر pada Diwān A’syā Hamdān wa يدبير dan أ دب
Akhbārah (30 – 83 H).
نزا ره و أ ق ب لتاخل يلم هزوم ة#عيث نزاراتض ر يبأ دب
“Kuda perang maju, debu bertebaran di belakangnya”23
Pada syair ini kata ر juga secara jelas menunjukan arti belakang أ دب
yang sesuai dengan makna dasar dari Tadabbur.
م نزايدبير ي زن نك س ف نعلىم نزام ض ى#و ل أت ف ل
“Jangan menyesali hal yang terlewat, jangan susah dengan hal
yang terlewat”24
Kata يدبير menunjukan makna terlewat. Menurut penulis makna
terlewat ini masih terkait dengan makna dasar dari Tadabbur, sebab
sesuatu yang terlewat pasti ia berada di posisi belakang atau akhir.
Mengenai penjelasan dari syair-syair di atas, penulis
menyimpulkan bahwa penggunaan kata Tadabbur pada pada masa pra
Qur’anik atau masa jahiliyah berhubungan dengan keinginan dan harapan,
sehingga kata Tadabbur jauh terlepas dengan makna dasarnya. Namun
beberapa derivasi dari kata Tadabbur pada syair-syair di atas masih
menunjukkan makna yang berkaitan dengan kata dasarnya.
22 Al-Khoṭīb al-Tabrīzī, Syaraḥ Diwān ‘Antarah (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī,
1992), 81. 23 A’syā Hamdān, Diwān A’syā Hamdān wa Akhbārah, 124 24 A’syā Hamdān, Diwān A’syā Hamdān wa Akhbārah (Riyad: Dār al-‘Ulūm,
1983), 118.
98
2. Qur’anik Tadabbur
Pada periode Qur’anik kata Tadabbur masuk ke dalam sistem
bahasa al-Qur’an yang membangun konsep tersendiri tentang Tadabbur.
Untuk memahami makna kata pada periode Qur’anik, bisa ditelusuri
dengan cara melihat konteks sosio historis masyarakat Arab Makkah dan
Madinah pada saat al-Qur’an diturunkan.25
Periode Qur’anik terbagi ke ke dalam dua periode, yaitu : Pertama
periode Makkah (610 - 622 M), yaitu masa ketika ayat-ayat diturunkan
pada Nabi Muhammad saat bermukim di Makkah selama 12 tahun 5 bulan
13 hari, persisnya sejak 17 Ramadhan tahun41 dari kelahiran Nabi sampai
permulaan Rabi,ul Awal tahun 54 dari kelahiran Nabi. Kedua periode
Madinah (622 - 632 M) yaitu masa ayat-ayat turun setelah Nabi hijrah ke
Madinah, yakni selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, persisnya dari permulaan
rbi’ul Awal tahun54 dari kelahiran Nabi sampai 9 Dzulhijjah tahun 63 dari
kelahiran Nabi atau tahun 10 Hijriyah.26
Perlu diketahui bahwa konteks sosial masyarakat Makkah pra
Islam adalah Jahiliyah, yaitu masyarakat yang tidak mempunyai otoritas
hukum, nabi, kitab suci, dan terkenal dengan masyarakat yang cinta
terhadap penyembahan berhala.27 Oleh sebab itu tema kandungan ayat-
ayat Makkiyah tidak jauh menyesuaikan dengan kondisi mereka, yakni,
tentang masalah akidah, Mengajak untuk beriman pada Allah dan
beribadah hanya kepadaNya, Mengajak untuk beriman pada hari akhir dan
persiapan diri untuk menghadapinya, Penggambaran masalah keindahan
ciptaan Allah di alam semesta dan seruan untuk memperhatikan tanda-
tanda keagungan Allah pada ciptaan, Kisah-kisah para nabi dan umat
25 Lukita Fahriana, Pemaknaan Qalb Salim Dengan Metode Analisis Semantik,
91. 26 Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’an, 20. 27 Lukita Fahriana, Pemaknaan Qalb Salim Dengan Metode Analisis Semantik,
92.
99
terdahulu, dan tentang prinsip-prinsip dasar syariat secara global serta
tentang etika dan keutamaan perilaku yang baik seperti sabra, jujur,
pemaaf, adil, larangan membeunuh dan dzalim.28
Sedangkan ayat yang turun apada periode Madinah pada
umumnya berbicara tentang masalah kemasyarakatan.29 Sebab konteks
umat Islam pada periode Madinah telah mengalami peningkatan
kemapanan. Selain itu ayat pada periode Madinah juga berbicara tentang
penekanan dalam maslah jihad untuk menghadapi kepongahan orang-
orang kafir, serta menjelaskan detail masalah yang berhubungan
dengannaya seperti perjanjian, harta rampasan, tawanan,; menjelaskan
tentang masalah orang munafik dan ruang lingkupnya,; tentang perdebatan
dengan ahli kitab dan mengajukan bukti-bukti atas kesesatan mereka,;
tentang penjelasan secara detail terkait masalah hukum, etika dan
keharmonisan segala sisi kehidupan.30
Pada konteks empat ayat yang menyebutkan kata Tadabbur dalam
al-Qur’an tersebar dalam empat surat. Adapun urutan sesuai dengan
tempat turunya adalah surat Ṣad (38): 29, al-Mu’minūn (23): 68, Al-Nisā’
(4): 82 dan Muhammad (47): 2431. Berikut ini tabel terkait ayat Tadabbur
berdasarkan kategorisasi turunnya.
Tabel 4.2 : Ayat Makki Dan Madani Tadabbur.
No Lafaz Surat Kategori
ب ر 1 Ṣad (38): 29 Makiyah ي د
ب ر 2 al-Mu’minūn (23): 68 Makiyah ي د
ب ر 3 Al-Nisā’ (4): 82 Madaniyah ي ت د
ب ر 4 Muhammad (47): 24 Madaniyah ي ت د
28 Riqza Ahmad, al-Qur’an & Ulum al-Qur’an MindMap (Kudus: PT. Buya
Barakah, 2019), 113. 29 Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’an, 74. 30 Riqza Ahmad, al-Qur’an & Ulum al-Qur’an MindMap, 115. 31 Untuk lebih jelasnya lihat Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’an
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), 65-69.
100
Berdasarkan tabel di atas jumlah antara ayat yang turun di Makkah
dan Madinah adalah sama. Pada surat Ṣad (38): 29 tema kandungan ayat
ini merupakan rangkain dari ayat 27 sampai 29 yang menjelaskan tentang
peneguhan iman orang mukmim. Sebab orang kafir beranggapan bahwa
tidak ada hikmah pada segala penciptaan Allah. Untuk itu dalam rangka
menguatkan dan meneguhkan keimanan, pada ayat 29 secara jelas Allah
menyerukan untuk mentadabburi al-Qur’an dengan tujuan agar orang
yang mempunyai akal dapat mengambil pelajaran dari al-Qur’an.32
Pada surat al-Mu’minūn (23): 68 merupakan rangkaian dari ayat
66 sampai ayat 70 yang menjelaskan tema tentang sifat-sifat orang kafir
dan perilakunya serta ancaman bagi mereka.33 Objek atau sasaran ayat ini
32 Berikut redaksi ayat 27-29 pada surat Shad ;
72نار خلقنا السماء واألرض وما بينهما باطال ذلك ظن الذين كفروا فويل للذين كفروا من الوما
الحات كالمفسدين في األرض أم نجعل المتقين كالف ار أم نجعل الذين آمنوا وعملوا الص 72ج
72كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا آياته وليتذكر أولو األلباب
Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya
tanpa hikma Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah
orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. (27) ; Patutkah Kami
menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan
orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap
orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat? (28) ; Ini
adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran. (29) 33 Riqza Ahmad, al-Qur’an & Ulum al-Qur’an MindMap (Kudus: PT. Buya
Barakah, 2019), 33. Berikut redaksi ayat 66-70 pada surat al-Mu’min ;
66قد كانت آياتي تتلى عليكم فكنتم على أعقابكم تنكصون
62تهجرون مستكبرين به سامرا
لين 62أفلم يدبروا القول أم جاءهم ما لم يأت آباءهم األو
62أم لم يعرفوا رسولهم فهم له منكرون
27أم يقولون به جنة بل جاءهم بالحق وأكثرهم للحق كارهون
Sesungguhnya ayat-ayat-Ku (Al Qur'an) selalu dibacakan kepada kamu sekalian,
maka kamu selalu berpaling ke belakang, (66) ; dengan menyombongkan diri terhadap Al
Qur'an itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu
bercakap-cakap di malam hari. (67) ; Maka apakah mereka tidak memperhatikan
perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang
kepada nenek moyang mereka dahulu? (68) ; Ataukah mereka tidak mengenal rasul
mereka, karena itu mereka memungkirinya? (69) ; Atau (apakah patut) mereka berkata:
"Padanya (Muhammad) ada penyakit gila." Sebenarnya dia telah membawa kebenaran
kepada mereka, dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran. (70)
101
adalah orang kafir Makkah yang dengan kesombonganya menolak al-
Qur’an. Sehingga Allah menegur mereka dengan kesan marah agar
mereka mau mentadabburi al-Qur’an. Kemudian Allah mengajukan dalil
atau argumen bahwa keenggan mereka untuk mentadabburi al-Qur’an
bukan karena belum datang risalah kenabian yang belum dikenal leluhur
mereka. Juga bukan karena mereka tidak mengenal Rasulullah padahal
Rasulullah sudah masyhur dengan sebutan al-Amin pada masa itu.
Keengganan mereka mentadabburi al-Quran adalah sebab memang
mereka benci.
Selanjutnya pada surat Al-Nisā’ (4): 82, tema kandungan ayat ini
merupakan rangkain dari ayat 81 sampai 83 yang menjelaskan tentang
sifat orang munafik yang meragukan Kerasulan Muhammad. Di hadapan
Nabi mereka mengaku taat, namun ketika tidak di sisi Nabi mereka
mengatur siasat yang mereka rahasiakan pada Nabi. Keraguan mereka
nampak pada ayat 83, seolah mereka menduga bahwa nabi hanyalah
seorang pemimpin bukan seorang rasul yang mendapat wahyu (al-Qur’an)
langsung dari Allah. Hal ini diperkuat dengan ayat 82 dengan teguran
Allah pada mereka untuk mentadabburi al-Qur’an dengan mengajukan
dalil bahwa jika al-Qur’an bukan dari Allah niscaya banyak ditemukan
pertentangan di dalamnya.34
34 Berikut redaksi ayat 81-82 pada surat al-Nisā’ ;
يكتب ما أعرض عنهم يبيتون ف ويقولون طاعة فإذا برزوا من عندك بيت طائفة منهم غير الذي تقول والل
وكيال وكفى بالل 28وتوكل على الل
لوجدوا فيه اختالفا كثيرا أفال يتدبرون القرآن ولو كا 27ن من عند غير الل
سول وإلى أولي األمر م نهم لعلمه الذين وإذا جاءهم أمر من األمن أو الخوف أذاعوا به ولو ردوه إلى الر
يطان إال قليال يستنبطونه منهم ولو عليكم ورحمته التبعتم الش 28ال فضل الل
Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan: "(Kewajiban kami hanyalah)
taat". Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebahagian dari mereka mengatur
siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi.
Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari
mereka dan tawakallah kepada Alla Cukuplah Allah menjadi Pelindung. (81) ; Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (82) ;
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
102
Terakhir pada surat Muhammad (47): 24 Tema kandungan ayat ini
tentang seruan Allah pada orang munafik agar mereka mentadabburi al-
Qur’an dan mengecam orang yang berbalik pada kekafiran.35
Dengan demikian, Tadabbur pada periode ayat Makkiyah objek
sasaranya ditujukan pada orang mukmin kemudian orang musyrik.
Adapun untuk orang mukmin agara mereka mengambil pelajaran untuk
menguatkan keimanan mereka. Kepada orang musyrik seruan Tadabbur
lebih diarahkan agar mereka menerima kebenaran al-Quran. Penjelasan ini
selaras dengan konteks masyarakat jahiliyah di Makkah yang memang
butuh pada penguatan tauhid.
Tadabbur pada periode ayat Madaniyah objek sasaranya adalah
kepada orang munafik. Sebab mereka secara diam-diam menolak
kerasulan Muhammad dan menganggap informasi yang dibawa Nabi
Muhammad bukanlah berasal dari Allah. Oleh karena itu Allah menegur
mereka agar mentadabburi al-Qur’an. Dua ayat yang menyebutkan kata
Tadabbur untuk orang munafik ini mengisyaratkan akan pentingnya
mewaspadai sifat-sifat dari kemunafikan.
Selain melalui analisis yang mengategorikan ayat Makkiyah dan
Madaniyah, upaya untuk mengetahui makna dan penggunaan kata
Tadabbur pada masa Qur’anik juga dapat diketahui melalui hadis-hadis
Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia
dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil
saja (di antaramu). (83)
35 Berikut redaksi ayat 24-25 pada surat Muhammad ;
72أفال يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها
ل لهم وأملى لهم إن الذين ارتدوا على أدبارهم من ب يطان سو 72عد ما تبين لهم الهدى الش
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka
terkunci? (24) ; Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran)
sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat
dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. (25)
103
Nabi SAW.
Penulis menemukan Hadist yang menyebutkan kata Tadabbur pada
kitab al-Muwaṭṭa’. Berikut redaksi hadistnya, 36
بني دبني ي و م م كنتأ ن بنيس عييدأ نهق نزال ع نم نزاليكع ني ي ث ني نزاليس يف د ع نزام مدوح د بنزان ج ح ر جلف ق نزال
بن ث أ نهأ ت ى يد أ بي الرجلأ خب ر ني ف ق نزال مينأ بييك لذييس يعت بي ني قير اء ةيالقرأ خبي ت ر ىفي ك يف ل ه بعبيتف ق نزال س في آني
نيصفأ وع شر يدح س نو ل نأ ق ر أ هفي ف ف ق نزال ق نزال ذ اك لي إيل و س لني ب ر هو أ أ ح ب يدليك يأ ت د ق نزال أ سأ لك ع ل يهيإين ي قيف
Telah menceritakan kepadaku dari Mālik dari Yahyā bin Saīd
bahwa dia berkata, "Aku dan Muhammad bin Yahyā bin Habbān
sedang duduk-duduk. Muhammad kemudian memanggil seorang
laki-laki seraya berkata, "Kabarkanlah kepadaku apa yang telah
kamu dengar dari bapakmu." Laki-laki itu lalu berkata, " Bapakku
mengabarkan kepadaku, bahwa ia pernah mendatangi Zaid bin
ṣābit dan berkata kepadanya, "Menurutmu bagaimana tentang
menghatamkan bacaan Al-Qur'an dalam tujuh hari?" Zaid
menjawab, "Baik, tetapi menghatamkannya dalam setengah bulan
atau sepuluh hari lebih aku sukai. Tanyakan kepadaku kenapa hal
itu." Bapakku berkata, "Aku bertanya kepada anda?" Zaid berkata,
"Agar aku dapat mengambil pelajaran dan mengetahuinya."
Dalam hadits terdebut menjelaskan sikap Zain bin Ṣābit dalam
membaca al-Qur’an yaitu tidak tergesa-gesa mengkhatamkannya. Hal ini
dikarnakan agar Zaid dapat mentadabburi al-Qur’an untuk mengambil
pelajaran di dalamnya.
Melalui penjelasan di atas mengenai analisa Makkiyah dan
Madaniyah ayat Tadabbur serta penyebutan hadist terkait Tadabbur, dapat
penulis simpulkan bahwa penggunaan kata Tadabbur pada masa Qur’anik
adalah sebagai instrument khusus untuk bersentuhan dengan al-Qur’an.
Kemudian tujuan bertadabbur dalam al-Qur’an adalah sebagai jalan untuk
menguatkan iman dan mengambil pelajaran di dalam al-Qur’an.
36 Mālik bin Anas, al-Muwaṭṭa’ (Beirut: Dār al-Turāṣ al-‘Arabī, 1985), 201.
104
3. Pasca Qur’anik Tadabbur
Sisetem periode pasca Qur’anik dimulai setelah al-Qur’an
membentuk konsepnya secara utuh, dan konsep ini lebih mengacu pada
penelaahan secara mendalam terhadap konsep yang telah dibentuk oleh al-
Qur’an. Pada periode pasca Qur’anik, Islam banyak menghasilkan banyak
sistem pemikiran yang berbeda khususnya pada masa Abbasiyah, yakni
teologi, hukum, teori politik, filsafat, tasawuf. Masing-masing produk
kultural Islam ini mengembangkan sistem konseptualnya sendiri,
kosakatanya sendiri yang mencakup sejumlah subsistem.37 Periode pasca
Qur’anik dapat dibagi menjadi periode klasik-pertengahan (Abad 1-9 H/6-
15 M)38 dan periode modern-kontemporer (Abad 12-14 H/18-21 M).39
a. Periode Klasik-Pertengahan (Abad 1-9 H/6-15 M)
Menurut Muqātil bin Sulaimān (702-767 M) dalam kitabnya
memaknai Tadabbur dengan ن وعم سي ل ف أ (Apakah mereka tidak
Mendengarkan al-Qur’an?). Muqātil secara konsisten dalam empat ayat
yang memaknai Tadabbur dengan menggunakan redaksi ي سم ع (yasma’u)40.
Kemudian, Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī (839-923 M) mengutip
pendapat dari ḍaḥāka bahwa Tadabbur adalah هييفير ظ الن yakni
memperhatikan di dalamya.41
37 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 42. 38 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta : Idea
Press, 2016), 89. 39 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an,145. 40 Muqātil bin Sulaimān, Tafsīr Muqātil bin Sulaimān, jilid 3 (Beirut: Mu’asisah
at-Tārīkh al-‘Arabī, 2002), 643, 161.; jilid 4, 49.; jilid 1,392. 41 Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ‘ay al-Qur’an, jilid 7
(Jizah: Dār Hijr, 2001), 252. mengenai riwayat dari Qatādah lihat juga pada Muhammad
bin Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasyāf, jilid 5, 226., Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, ad-Dur al-
Manṣūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’ṣūr, jilid 13 (Kairo: Markaz li Buhūṣ wa al-Dirasāt al-
‘Arabiyah, 2003), 447.
105
Menurut Naṣir bin Muḥammad bin Aḥmad al-Samarqandī (w.
1003 ) Tadabbur adalah ن وركف ت ي ليآنيرقالظياعيو م في بي ب يع ي ، نزاوا ( memikirkan nasehat-
nasehat al-Qur’an agar mereka mendapat pelajaran).42 Pada redaksi lain
Tadabbur adalah نميهييفينزال ع ت للايل ز ن نزاا م يفين وركف ت ي ،و هييفين ورب ت ع ي و آن رالقن وعم س)أفليتدبرونالقران(ي
للاتعنزالن ميهنواأ مل عي ت،ح هيبينزائيج ع ةير ث ك ،و ديعيو و دعيو ((apakah mereka tidak mentadabburi
al-Qur’an) yakni mendengar al-Qur’an dan mengambil pelajaran darinya,
dan memikirkan janji dan ancaman yang Allah turunkan dan juga
banyaknya keajaiban-keajaiban al-Qur’an sehingga mereka mengetahui
bahwa al-Quran memang dari Allah).43
Menurut Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī (1075-1144 M)
Tadabbur adalah ظرالن و هلمأت هييل إيلو يؤ نزاي م و هيريب دإيفي نزاهه ت ن مو هيتيب نزاقيع في ل م عت اس، ليمأت ل يكفي ن عم ؛في
فيم رصبت هيينزانيع م لم:أت آنيرقالريبد ت هيينزا (meneliti dan mempertimbangkan pada aspek di
baliknya dan pada sesuatu yang menjelaskan konsekuensi dan
kesudahannya, kemudian lafad Tadabbur digunakan dalam setiap
penelitian. makna dari Tadabbur al-Quran adalah meneliti makna-
maknanya dan melihat sesuatu (yang terkandung) di dalamnya.)44
Menurut Abd al-Ḥaq bin Gālib Ibn Aṭiyah al-Andalusī (1088-1147
M) Tadabbur adalah رظالن نزاءيي شال تيل يويأت و ريومالنزابيق عأ في (mempertimbangkan
konsekuensi sesuatu dan kesudahan-kesudahan sesuatu).45
Menurut Muḥammad ibn Umar Fakhr al-Dīn al-Rāzī (1149-1210
M) Tadabbur adalah ريظالن نع ةنزار ب عي ج عواأ رب د ت مل إي:هلوق هنمينزا،و ه ريب دا و ريومالبياقيو ع في دق ريومأنزا
نزالق ي نزا،و ه ريودصتلو تفر ع ول ي،أ تر ب د ت نزااسيم ريمأ نميتل ب قت سايو:ل ميل ك الحييصيف في تفر نزاع م يريمأريدص في.هيتيب نزاقيع نمي (istilah untuk mempertimbangkan konsekuensi dan akhir sesuatu.
Sebagaimana ungkapan : sampai dimana mereka menghayati batang
42 Naṣir bin Muḥammad bin Aḥmad al-Samarqandī, Tafsīr al-Samarqandī jilid 1
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), 371. 43 Naṣir bin Muḥammad bin Aḥmad al-Samarqandī, Tafsīr al-Samarqandī jilid 3
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), 245. 44 Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasyāf, jilid 2 (Riyad: Maktabah al-
‘Abīkān, 1998), 115. 45 Menurut Abd al-Ḥaq bin Gālib Ibn Aṭiyah al-Andalusī, al-Muḥaddaru al-
Wajīz fi Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz, jilid 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), 83.
106
sesuatu telah berakhir kemunculanya, dan ungkapan yang fasih : jika aku
berhadapan dengan urusan yang dibelakangku, artinya jika aku
mengetahui sesuatu aku mengetahui pula akibat-akibatnya).46
Menurut Abdullāh bin ‘Umar al-Baiḍāwī (w. 1286 M) Tadabbur
adalah ريالشيءي أ دب ي ت ص فحون هو م نزا ,47(mempertimbangkan kesudahan sesuatu) الن ظرفي ل تح رياجيو ز الو ظياعيو م الن ميهييفي ع رسي الل وا ينزاصيع م ى (menelaah al-Qur’an dan nasihat-
nasihat serta peringatan-peringatan di dalamnya sehingga mereka tidak
berani pada maksiat).48 Pada redaksi lain Tadabbur adalah نزاف ي عريف وام نزا روافيي ه ليي ت ف ك
ع م الو ةيح يحيالصتيل يويأالتن نزاميه رنزاهيظ رب دي .ةيط بينت سمالنزاني (agar mereka memikirkan sesuatu di
balik dzahir ayat yakni dari ta’wil yang benar dan makna yang
terkandung).49
Menurut Abu Hayyān (1256-1344 M) dalam kitab tafsirnya yang
bercorak balāgī50 Tadabbur adalah ، ع نزاقيب تيهي في إيل يهي ي ؤ ول و م نزا ريهي إيدب في و النظ ري ال مري أت ملل م عت اس ذ بيي ،س يري ثيك النزالم الرب الد،و لمأت ل يكفي
ك لي ريب دل ليو نزابيق عل ىليق ب ي هنلي (meneliti sesuatu
dan mempertimbangkan apa dibaliknya dan apa yang menjadi
konsekuensinya. Kemudian istilah ini digunakan untuk setuap penelitian.
adalah harta yang banyak, dinamakan demikian sebab ia bertahan الدبر
sampai ujung dan akhir)51. الع ص نزاةي و عييدي ، ري و الز و اجي و اعيظي الم مين فييهي و م نزا ي ت ص فحون ه أ ي
(menelaah al-Qur’an dan nasihat-nasihat serta peringatan-peringatan di
dalamnya dan juga ancaman kemaksiatan).52
46 Muḥammad ibn Umar Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātih al-Gaīb, jilid 10 (Beirut:
Dār al-Fikr, 1981), 202. 47 Abdullah bin Umar al-Baiḍāwī, Tafsīr al-Baiḍāwī, jilid 2 (Beirut: Dār Iḥya’
al-Turāt al-‘Arabī, 1998), 86. 48 Abdullah bin Umar al-Baiḍāwī, Tafsīr al-Baiḍāwī, jilid 5 (Beirut: Dār Iḥya’
al-Turāt al-‘Arabī, 1998), 123. 49 Abdullah bin Umar al-Baiḍāwī, Tafsīr al-Baiḍāwī, jilid 5 (Beirut: Dār Iḥya’
al-Turāt al-‘Arabī, 1998), 28. 50 Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Depok: Lingkar Studi al-
Qur’an, 2013), 115. 51 Abī Hayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, jilid 3 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1993), 315. 52 Abī Hayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, jilid 8 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1993), 82.
107
Menurut Abd al-Raḥman bin Muḥammad al-Ṡaālabī (1384-1471
M) tadabuur adalah رظالن نزاءيي شال تيل يويأت و ريومالنزابيق عأ في (memperhatikan
konsekuensi sesuatu dan penjelasan/kesudahan sesuatu).53
Menurut Burhān al-dīn al-Baqā’ī (w. 1480 M) Tadabbur adalah
ت ذ إي-ء يالشترب د ت تركف ا هيريمأ ريخ آ و هيتيب نزاقيع في (aku mentadabburi sesuatu yaitu ketika
aku memikirkan konsekuensi dan akhir sesuatu).54
Berdasarkan penafsiran di atas, dapat diketahui bahwa para
mufassir pada masa klasik-pertengahan memaknai Tadabbur secara umum
menggunakan beberapa redaksi yakni عم سي (mendengarkan), هييفيرظ الن
(mempertimbangkan sesuatu), ركف ت ي (memikirkan), ل مأت (meneliti) dan حفص ت ي
(menelaah). Kemudian sebagian besar dari mereka memberikan definisi
Tadabbur yang menunjukkan perhatian serius terhadap objek yang
dijadikan Tadabbur. Perhatian itu sampai dengan apa yang ada dibalik
sesuatu yang ditadabburi, konsekuensi atau akibat yang timbul darinya
dan ujung atau kesudahan darinya.
Adapun jika Tadabbur dikaitkan dengan al-Qur’an maka
pemaknaan oleh mufassir masa klasik-pertengahan adalah Tadabbur
digunakan sebagai instrumen untuk mengambil kandungan dari al-Qur’an,
diantaranya seperti nasehat-nasehat, peringatan-peringatan, dan ancaman
terhadap kemaksiatan.
b. Periode Modern-Kontemporer (Abad 12-14 H/18-21 M)
Menurut Muḥammad bin Alī al-Syaukānī (w. 1834 M) Tadabbur
adalah تركف :ت ء يالشترب د ت نزالق ي ل مأت ،و هيتيب نزاقيع في ل م عت اس، هرمأ نزانس نالير ب يد ين:ا رييبيد الت ،و لمت ل يكفيت م ل إيرظني هننزا ك هتب نزاقيع هييل إيري صينزا (Dikatakan aku mentadabburi sesuatu : yakni aku
53 Abd al-raḥman bin Muḥammad al-Ṡa’ālabī, Tafsīr al-Ṡa’ālabī, jilid 2 (Beirut:
Dār ‘Iḥyā’ al-Turāṣal-‘Arabī, 1998), 268. 54 Burhān al-dīn al-Baqā’ī, Nażmu al-Durar fī Tanāsubi al-Ayāt wa as-Suwar,
Jilid 5 (Kairo: Dār al-Kitāb al-Islāmī), 340.
108
memikirkan konsekuensi sesuatu, dan menelitinya. Kemudian istilah تدبر
digunakan untuk تمل (meneliti). التدبري : manusia menghayati sesuatu sampai
mempertimbangkan pada konsekuensinya).55
Menurut Musṭafā al-Marāgī (1883-1952 M) Tadabbur adalah لصألمأ الترييبيدالت ه بياقيو ع و ريومالريب دأ في ل م عت اسنزا، رظن نزان ك اءو س لمأت ل يكفي هقيابيو س و،أ هيائيز جأ و ءييالشةيق ي قيح افي
ريكف الت و رظ النو همل ك اليرب د ت ،و هينزابيق عأ و هقاح ول وه،أ نزابيب سأ و لم عي نميةب نزاقيع نزا،و ه ي ل يإيميري تيالهيدينزاصيق م و هيتينزاي غ في.هفنزاليي نم و هيبي (asal Tadabbur yakni meneliti dibalik sesuatu dan akibat-
akibatnya, kemudian istilah ini dipakai untuk setiap penelitian begitu juga
memperhatikan hakikat sesuatu dan bagian-bagiannya atau pendahulunya
dan sebab-sebabnya atau kelanjutannya dan konsekuensinya. Kemudian
ميل ك الرب د ت yakni memperhatikan dan memikirkan tujuan dan arah
maksudnya, serta konsekuensi antar orang yang melakukanya dan orang
yang meninggalkanya).56 Pada redaksi lain Tadabbur adalah القرآن :أ ي ب رون ت د
فيم ن وحفص ت ي ع عل قي تح رياجيو ز الو ظياعيو م الن ميهيينزا عيوق والنيوا افي.نزاتيق بيول (Tadabbur al-Qur’an :
yakni menelaah apa yang ada di dalam al-Qur’an dari nasihat-nasihat dan
peringatan-peringatan sehingga mereka berpindah dari tempat
kebinasaan).57
Menurut Muhammad al-ṭāhir ibnu ‘Āsyūr (1879-1973 M)
Tadabbur adalah بن ميقتشمرب د الت و ر ظ ان ذ إير ب د وا:ت نزالق ،ف لعفيريبالدن واميقت ش،ايريهيالظ،أ ريالد ريبدفي،أ ريمال وأ هيبينزائيغ يفي هييفيلمي أ ت مالل ىإيد يع ت ي رب د الت .و نزاةينزام ال نزاءيس ال ن ميتق ت شايتيالنزاليع ف ال ن ميو ه،ف هيتيب نزاقيع في
ي هيسيفن بي ت نزالق ، .ريمال رب د : " musytaq dari lafadz التدبر) بر الد ", yaitu 'belakang'.
Mereka menarik dari kata dubur (belakang) secara hakiki. Mereka
mengatakan :تدب ر ketika memperhatikan di balik suatu hal, yakni di balik
ketidak adaannya, atau akibat darinya. تدب ر termasuk fi'il yg musytaq
(berasal) dari isim jamid (isim yg tidak terbentuk dari kata lain). التدبر
55 Muḥammad bin Alī al-Syaukānī, Fatḥul al-Qādīr (Beirut: Dār al-Ma’rifah,
2007), 314. 56 Aḥmad bin Musṭafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī, jilid 5 (Mesir: Maktabah wa
Maṭba’ah Miṣr, 1942), 102. 57 Aḥmad bin Musṭafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī, jilid 26, 69.
109
mutaadi (butuhkan pada objek) kepada apa yg ditadabburi, dikatakan "
Pada redaksi lain Tadabbur adalah 58.("تدبر األمر د ل ل تي الع قلييفي نزالالنظري والتدبر:إيعم
ريظالنن ميهنأ هلصأ .و هل تب ص نزان ىم ل ع ليئيل الد .ءد يب ذيىءد يبي ليمأ ت ملليهنميره ظي نزال م يفيي،أ ريمال ريبدفي التدبر) : pendayagunaan akal untuk memperhatikan petunjuk atas bukti yang
sukar. Asal التدبر adalah memperhatikan dibalik sesuatu hal).59
Menurut Wahbah bin Musṭafā al-Zuḥaili (1932-2015 M) Tadabbur
adalah ان ميهيينزافيم ن ورظني و ن آ رقالن ولمأ ت ي ع ل .ه ي ا ف م ب ر ص ب الت و هيينزانيع م لم:أت آنيرقالريبد ت ن عم ،ف ةيع ي ديب النزاني
(meneliti al-Qur’an dan memperhatikan makna-makna jauh didalamnya.
Makna تدبرالقرآن : meneliti makna-makna dan memperhatikan kandunga al-
Qur’an). 60 Pada redaksi lain Tadabbur adalah مون هو ي ت ص فحون هليي روا (ي ت ف ه القرا ن ب رون )ي ت د
عق ي يو نزاصيع م واالمحيت قي ل ت،ح رياجيو الزو ظياعيو م الن ميهيينزافيم .نزاتيق وبيمالوافي , ((mereka mentadabburi
al-Qur’an) yakni memahami dan menelaahnya untuk melihat apa yang
terkandung didalamya seperti nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan,
sehingga mereka tidak menerobos kemaksiatan dan terjerumus pada
tempat kebinasan). 61
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa para mufassir pada
masa modern-kontemporer memaknai Tadabbur secara umum
menggunakan beberapa redaksi yang sama dengan mufassir masa klasik-
pertengahan. Redaksi tersebut adalah هييفيرظالن (mempertimbangkan sesuatu),
ركف ت ي (memikirkan), لمأت (meneliti) dan حفص ت ي (menelaah). Adapun redaksi
yang tidak dipakai oleh mufassir modern-kontemporer dari mufassir
klasik-pertengahan adalah redaksi عم سي (mendengarkan).
Mufassir modern-kontemporer masih memakai definisi Tadabbur
yang gunakan oleh mufassir klasik-pertengahan, yaitu bahwa Tadabbur
menunjukkan makna adanya perhatian serius terhadap objek yang
58 Muhammad al-ṭāhir ibnu ‘Āsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, jilid 5
(Tunisia: Dār al-Tūnisiyah, 1984), 137. 59 Muhammad al-ṭāhir ibnu ‘Āsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, jilid 18, 87. 60 Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, jilid 3 (Damaskus: Dār al-Fikr, 2009),
117. 61 Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, jilid 13, 446.
110
dijadikan Tadabbur. Perhatian itu sampai dengan apa yang ada dibalik
sesuatu yang ditadabburi, lalu konsekuensi atau akibat yang timbul
darinya, serta ujung atau kesudahan darinya. Musṭafā al-Marāgī (1883-
1952 M) menambahkan aspek yang dituju oleh Tadabbur adalah sampai
dengan memperhatikan hakikat sesuatu yang ditadabburi dan juga bagian-
bagiannya kemudian memperhatikan pendahulunya dan sebab-sebab
adanya.
Sama halnya dengan mufassir klasik-pertengahan, mufassir
modern-kontemporer memaknai Tadabbur yang dikaitkan dengan al-
Qur’an adalah sebagai instrumen untuk mengambil kandungan dari al-
Qur’an, diantaranya seperti nasehat-nasehat, peringatan-peringatan, dan
ancaman terhadap kemaksiatan. Musṭafā al-Marāgī (1883-1952 M) dan
Wahbah bin Musṭafā al-Zuḥaili (1932-2015 M) menambahkan tujuan
mentadabburi al-Qur’an adalah agar manusia tidak mudah menerobos
kemaksiatan dan agar tidak terjerumus pada kebinasaan.
Melihat perkembangan makna Tadabbur pada periode pasca-
Qur’anik, dapat diketahui bahwa warna etik terkesan bertambah kuat
dalam konsepsi Tadabbur. Sebagian besar penafsir berpendapat bahwa
tujuan Tadabbur diantaranya adalah agar mencegah diri melakukan
kemaksiatan. Hasan al-Bashri juga berpendapat tentang warna etik dari
Tadabbur. Ia mengatakan,
"Sungguh, Al-Quran ini telah dibaca oleh budak-budak sahaya dan
anak kecil yang tak mengerti apa pun penafsirannya. Ketahuilah
bahwa mentadabburi ayatnya tak lain adalah dengan
mengikuti segala petunjuknya. Tadabbur tak hanya menghafal
huruf-hurufnya atau memelihara dari tindakan menyianyiakan
batasannya sehingga ada seorang berkata bahwa “sungguh aku
telah membaca seluruh al-Qur'an dan tak ada satu huruf pun yang
luput”. Sungguh, demi Allah, orang itu telah menggugurkan
seluruh al-Qur'an karena al-Qur'an tidak berbekas dan tidak terlihat
pengaruhnya pada akhlak dan amalnya!"62
62 Abī Bakr ‘Abd ar-Razāq al-ṣon’ānī, al-Muṣannaf li Imam al-ḥafiḍ Abī Bakr
111
D. Welthanscauung Tadabbur
Setelah menemukan makna dasar dan makna relasi Tadabbur serta
melakukan analisis sinkronik dan diakronik, tahap selanjutnya adalah
mencari Weltanschauung Tadabbur.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab II bahwa
Weltanschauung merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dari kerja
metode simantik ini yakni menemukan sistem konseptual total atau
keseluruhan konsep terorganisir yang disimbolkan dengan kosakata
masyarakat pengguna bahasa.63 Jadi secara sederhana dapat diistilahkan
dalam aspek linguistiknnya disebut dengan kosakata, dan dalam aspek
konseptualnya adalah suatu Weltanschauung. Kemudian Tujuan akhir
seorang semantisis yang mengkaji al-Qur’an adalah mengatur sifat dan
mekanisme kerja keseluruhan sistem konsep al-Qur’an yang secara
esensial yang berbeda dengan semua sistem konsep non-al-Qur’an.64
Weltanschauung Tadabbur dalam al-Qur’an membentuk sistem
kosa kata yang berhubungan erat dengan al-Qur’an. Tadabbur merupakan
kata yang dipakai secara khusus untuk seruan mendekati al-Qur’an.
Adapun seruan ini ditujukan kepada berbagai kalangan mulai dari orang
muslim, orang kafir sampai orang munafik. Hal ini menunjukan bahwa
Tadabbur al-Qur’an terbuka untuk siapa saja. Kemudian al-Qur’an
menjelaskan arah yang hendak dituju oleh Tadabbur adalah untuk
mengajak pada keimanan bagi orang musyrik dan munafik serta untuk
mengambil pelajaran di dalam al-Qur’an bagi orang muslim atau Ulul
Albāb. Makna orientasi Tadabbur dalam dunia al-Qur’an terkesan lebih
mengarah untuk penguatan tauhid.
‘Abd ar-Razāq, Jilid 3 (Beirut: Dār al-Tāṣīl, 2015), 273.
63 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 27. 64 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 29.
112
Pada konsepsi jahiliyah kata Tadabbur bergeser dari makna
dasarnya yaitu akhir/belakang sesuatu. Kata Tadabbur pada masa jahiliyah
menunjukkan makna yang mereprentasikan aktifitas hati yang
berhubungan dengan hasrat perihal keinginan dan harapan. Akan tetapi
derivasi lain dari kata Tadabbur masih sering dijumpai dalam syiir
jahiliyah yang mana kata dasarnya masih terbawa, seperti kata مدبير
(mudbir), يدبير (yudbiru), ر .(adbār) أ دب
Makna dasar Tadabbur terbawa kuat pada periode pasca Qur’anik.
Para mufassir memberikan konsepsi Tadabbur yang difungsikan
sebagaimana kata يسمع (mendengarkan), فيه mempertimbangkan) النظر
sesuatu), يتفكر (memikirkan), أتمل (meneliti) dan يتصفح (menelaah). Konsepsi
tersebut berkembang sampai dengan perhatian terhadap apa yang ada
dibalik sesuatu yang ditadabburi, lalu konsekuensi atau akibat yang timbul
darinya, serta ujung atau kesudahan darinya. Kemudian para mufasir
memberikan pemaknaan Tadabbur yang dikaitkan dengan al-Qur’an yaitu
sebagai instrumen khusus untuk mengambil kandungan dari al-Qur’an,
diantaranya seperti nasehat-nasehat, peringatan-peringatan, dan ancaman
terhadap kemaksiatan. Bahkan Musṭafā al-Marāgī dan Wahbah bin
Musṭafā al-Zuḥaili menambahkan tujuan mentadabburi al-Qur’an adalah
agar manusia tidak mudah menerobos kemaksiatan dan agar tidak
terjerumus pada kebinasaan.
Tidak ditemukan pergeseran makna yang signifikan antara
konsepsi Tadabbur periode Qur’anik dan pasca Qur’anik. Namun pada
periode pasca Qur’anik kata Tadabbur mengalami penarikan makna yang
lebih luas dan variatif. penarikan makna tersebut tidak sampai keluar dari
Weltanschauung Tadabbur dalam al-Qur’an, justru malah menguatkanya,
yaitu Tadabbur sebagai sarana untuk mendekati al-Qur’an bagi siapapun
113
dan dari kalangan manapun, dengan tujuan untuk menguatkan iman dan
mendapatkan pelajaran atau hikmah di dalam al-Qur’an. Warna etik
terkesan bertambah kuat dalam konsepsi Tadabbur pasca Qur’anik.
E. Relevansi Makna Tadabbur Prespektif Semantik Izutsu Dalam
Konteks Terkini
Analisis semantik bukan hanya analisis sederhana mengenai
struktur bentuk kata maupun studi makna asli yang melekat pada bentuk
sebuah kata atau analisis etimologi. Analisis etimologi hanya dapat
memberikan petunjuk bagi kita untuk mencapai makna ‘dasar’ kata.
Etimologi dalam banyak kasus tetap merupakan terkaan belaka dan sangat
sering merupakan misteri yang tak terpecahkan. Analisis semantik dalan
konsepsi Izutsu bermaksud mencapai lebih dari itu. Jika diklasifikasi ia
diakui sebagai ilmu budaya.65 Kenapa semantik disebut ilmu budaya
karena semantik mengungkap makna yang terkandung dalam al-Quran
sehingga mengetahui maksud dari suatu kata dengan melihat kandungan
ayat, yang mana sebagaian ayat menjelaskan tentang kebudayaan
masyarakat pada masa Rasulullah sehingga dapat diambil pelajaran dari
setiap kejadian untuk kemudian diaplikasikannya dalam kehidupan sehari-
sehari.
Tadabbur dalam prespektif semantik Izutsu menghasilkan
kesimpulan Weltanschauung dalam al-Qur’an yang dikonsepsikan sebagai
sarana untuk mendekati al-Qur’an bagi semua kalangan, baik dari
kalangan muslim, kalangan kafir maupun munafik, dengan tujuan untuk
menguatkan iman, mengambil pelajaran dan hikmah dalam al-Qur’an.
Artinya, menurut hemat penulis, tujuan akhir yang harus dicapai bagi
seseorang yang bertadabbur adalah membuahkan kebaikan atau bisa
65 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 17.
114
menjadikan diri lebih baik.
Temuan penulis tentang Weltanschauung Tadabbur sekaligus
mengkonfirmasi kesesuaian atau ketepatan dalam kaitanya dengan apa
yang dikatakan oleh Emha Ainun Najib tentang uregensi mentadabburi al-
Qur’an disamping menafsiri al-Qur’an.66 Beliau berpendapat bahwa tafsir
hanya berlaku untuk kalangan tertentu sedangkan Tadabbur berlaku untuk
semua kalangan, baik ia bisa membaca al-Qur’an dengan fasih atau tidak.
Adapun relevansi pemaknaan Tadabbur ini dapat
diimplementasikan pada konteks umat muslim di Indonesia. Problem
jauhnya jarak tempat dan waktu dari turunya al-Qur’an, diakui atau tidak,
membuat sebagian besar umat muslim Indonesia mengalami kesulitan
memahami kandungan al-Qur’an yang mempunyai bahasa dengan tingkat
gramatikal yang tinggi, sehingga untuk mempermudah mendapat
pemahaman al-Qur’an mereka cenderung menggandalkan terjemahan saja
dan mengikuti pendapat beberapa penceramah tentang tafsir al-Qur’an.
Hal ini dalam konsep Tadabbur sah-sah saja, sebab Tadabbur terbuka
untuk siapapun, bahkan dalam al-Qur’an sendiri menyebutkan, orang
musyrik dan munafik menjadi sasaran yang diserukan oleh Allah untuk
Tadabbur. Cara kerja Tadabbur tidak seperti tafsir yang mempunyai
persyaratan ketat meliputi integritas moral dan otoritas keilmuan, kerja
Tadabbur hanya mempermasalahkan orientasi dalam memahami al-
Qur’an yakni hanya untuk menuju perubahan diri menjadi lebih baik.
Menurut hemat penulis, hal yang mendasari adanya perbedaan
syarat dalam tafsir dan Tadabbur adalah cakupan sasaran atau objek dari
hasil antara tafsir dan tadabbur. Ketatnya persayaratan tafsir disebabkan
karena hasil dari tafsir untuk konsumsi publik, sedangkan dalam Tadabbur
66 https://youtu.be/CVPVMFL50MA, lihat pada menit ke 2, diakses pada Rabu,
25 September 2019.
115
tidak ditemui persyaratan yang ketat sebab hasil dari Tadabbur hanya
untuk konsumsi pribadi. Hal ini yang menjadikan tafsir terkesan eksklusif
dalam pengaplikasiannya yaitu hanya untuk kalangan tertentu. Berbeda
dengan tadabbur yang jauh lebih inklusif, dapat diaplikasikan oleh
siapapun. Namun meski tadabbur dapat diaplikasikan oleh siapapun,
tadabbur memiliki batas khusus. Batas tersebut bisa dikatakan sebagai
batas etik yaitu sebagai alat untuk mengambil hikmah dalam al-Qur’an,
untuk meperbaiki diri dan untuk mencegah diri terjerumus dalam tindak
maksiat.
Kemudian relevansi Tadabbur dalam konteks khazanah penafsiran
al-Qur'an, Tadabbur dapat menjadi solusi peredam dalam keteganggan
perdebatan tafsir yang tak mengenal titik henti. Ketegangang perdebatan
tersebut tak jarang pula menyebabkan berbagai macam konflik akibat
fanatisme berlebihan. Dari masa klasik-pertengahan banyak
sekali dijumpai perbedaan pendapat dalam penafsiran. Masing-masing
kemudian menformalkan penafsirannya hingga menjelma menjadi
kelompok-kelompok yang bersitegang, seperti Syi’ah, Khawarij,
Mu’tazilah, Maturidiyah, Qodariyah, Jabariyah, Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah, dan lain sebagainya.
Dewasa ini pada masa modern-kontemporer perdebatan mengenai
tafsir al-Qur’an mencapai titik persoalan mengenai beberapa hal pokok
seperti, tentang tujuan tafsir, antara mengarah untuk memahami kehendak
tuhan atau memang benar-benar untuk kemanfaatan manusia. Lalu gerak
penafsiran, antara bermula dari teks menuju realitas atau sebaliknya dari
realitas menuju teks. Selanjutnya, Metode penafsiran, antara deduktif-
normatif-tekstualis atau induktif-kritis-kontekstual serta tentang
eksklusifitas dan inklusifitas tafsir. Berbagai macam perdebatan tersebut
(dari klasik hingga kontemporer) tak jarang menimbulkan konflik-konflik
116
yang berkepanjangan. Padahal tujuan dari al-Quran sendiri adalah sebagai
petunjuk bagi manusia untuk menjalani kehidupan sebaik mungkin. Dan di
sinilah letak urgensi peran Tadabbur, dengan tendensi etiknya yang kuat
dapat dijadikan solusi untuk mencegah, setidaknya meminimalisir,
konflik-konflik yang terjadi akibat ketegangan perdebatan tafsir, baik dari
kalangan atas yakni para mufassirnya maupun mereka dari kalangan
bawah yakni para pengikut kelompok atau orang awam. Lebih tepatnya
untuk memukul sikap fanatisme berlebih dan memeunculkan sikap
toleransi atas ragam perbedaan pendapat. Bukankah memang perbedaan
merupakan Sunnatullah.
117
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian mengenai makna Tadabbur dalam al-Qur’an prespektif
Semantik Izutsu menghasilkan Weltanschauung Tadabbur dalam al-
Qur’an membentuk sistem kosa kata yang berhubungan erat dengan al-
Qur’an. Tadabbur merupakan kata yang dipakai secara khusus untuk
seruan mendekati al-Qur’an. Adapun seruan ini ditujukan kepada berbagai
kalangan mulai dari orang muslim, orang kafir sampai orang munafik. Hal
ini menunjukan bahwa Tadabbur al-Qur’an terbuka untuk siapa saja.
Kemudian al-Qur’an menjelaskan arah yang hendak dituju oleh Tadabbur
adalah untuk mengajak pada keimanan bagi orang musyrik dan munafik
serta untuk mengambil pelajaran di dalam al-Qur’an bagi orang muslim
atau Ulul Albāb. Makna orientasi Tadabbur dalam dunia al-Qur’an
terkesan lebih mengarah untuk penguatan tauhid.
Berdasarkan perbandingan kajian historis tentang makna
Tadabbur, Pada konsepsi jahiliyah kata Tadabbur menunjukkan makna
yang merepresentasikan aktifitas hati yang berhubungan dengan hasrat
perihal keinginan dan harapan. Makna ini terkesan jauh bergeser dari pada
makna Weltanschauung Tadabbur dalam al-Qur’an.
Kemudian pada masa pasca Qur’anik yakni masa berseminya
dunia penafsiran kata Tadabbur mengalami penarikan makna yang lebih
luas dan variatif. penarikan makna tersebut tidak sampai keluar dari
Weltanschauung Tadabbur dalam al-Qur’an, justru malah menguatkannya.
Para mufassir memberikan konsepsi Tadabbur yang difungsikan
118
sebagaimana kata يسمع (mendengarkan), فيه mempertimbangkan) النظر
sesuatu), يتفكر (memikirkan), أتمل (meneliti) dan يتصفح (menelaah). Konsepsi
tersebut berkembang sampai dengan perhatian terhadap apa yang ada
dibalik sesuatu yang ditadabburi, lalu konsekuensi atau akibat yang timbul
darinya, serta ujung atau kesudahan darinya. Adapun pemaknaan para
mufasir pada kata Tadabbur yang dikaitkan dengan al-Qur’an yaitu
sebagai instrumen khusus untuk mengambil kandungan dari al-Qur’an,
diantaranya seperti nasehat-nasehat, peringatan-peringatan, dan ancaman
terhadap kemaksiatan, agar tidak terjerumus pada kebinasaan. Warna etik
terkesan kuat dalam konsepsi Tadabbur pasca Qur’anik.
Untuk mendapatkan Weltanschauung terdapat makna dasar dan
makna relasi. Adapun makna dasar kata Tadabbur adalah akhir sesuatu
atau belakang sesuatu. Sementara itu makna relasional kata Tadabbur
melalui analisis sintagmatik berkaitan dengan beberapa sistem kata yaitu
pertama kata Allah sebagai kata fokus tertinggi pada sistem dunia al-
Qur’an. Kedua kata Al-Qur’an, semua ayat yang menyebutkan kata
Tadabbur menempatkan kata al-Qur’an sebagai objek dari Tadabbur.
Ketiga kata Tażakkur & Ūlūl Albāb¸ Tadabbur merupakan langkah awal
bagi Ūlūl Albāb untuk mengambil pelajaran dari al-Qur’an. Keempat kata
Musyrik & Munafik, Al-Qur’an secara jelas menegur orang musyrik dan
munafik karena keengganan mereka untuk melakukan Tadabbur terhadap
al-Qur’an. kemudian makna relasional kata Tadabbur berdasarkan analisis
paradigmatik berkaitan dengan kata Tafsir, Ta’wil, Tafakkur, Tażakkur.
Penggunaan kata Tadabbur, tafsir dan ta’wil khusus untuk al-Qur’an
sedangkan kata tafakkur dan Tażakkur lebih luas dari pada al-Qur’an.
119
B. Kritik dan Saran
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih minim dan
jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya di dalam skripsi ini tentu
terdapat kesalahan-kesalahan dan kekurangan. Sehingga menurut penulis,
penelitian ini dapat dilanjutkan dengan kajian yang lebih kohesif dan
representatif. Di antara beberapa hal yang dapat dikaji dalam hal ini
adalah:
Pertama, pengkajian secara mendetail mengenai konsep Tadabbur
dalam periode pra Qur’anik yang tidak hanya terfokus pada sebagian kecil
syiir saja. Mengingat literatur penulis pada penelitian ini sangat terbatas
dalam yang hal itu karena keterbatasan literatur penulis dalam
memahaminya.
Kedua, pengkajian konsep Tadabbur dengan menggunakan metode
yang lain, seperti Semiotika, Hermeunetika dan lain sebagainya. Namun
bisa juga pengkajian terhadap konsep lain dengan pendekatan semantik,
mengingat bahwa suatu kajian kosakata dalam al-Qur’an dengan
pendekatan semantik amat sangat membantu dalam proses memahami
makna sebuah bahasa yang erat kaitannya akan budaya, pesan moral dan
peradaban.
120
121
DAFTAR PUSTAKA
Abī Hayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993.
al-‘Amirī, Labīd bin Rabi’ah. Diwān Labīd bin Rabi’ah al-‘Amirī, Beirut:
Dār ṣādir, t.t.
Abdu al-Bāqī, Muhammad Fuād. al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faḍ al-
Qur’ān, Mesir, Dār al-Kutub al-Miṣriyah, 1947.
Abi Su’ud, Irsyadu al-Aqli as-Salīm, Beirut: Dār Ihya’ at-Turats al-‘Arabi.
Abu Hayyan, al-Bahrul al-Muhith, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah,
2010.
Ahmad, Riqza. al-Qur’an & Ulum al-Qur’an MindMap, Kudus: PT. Buya
Barakah, 2019.
al-Andalusī, Abd al-Ḥaq bin Gālib Ibn Aṭiyah. al-Muḥaddaru al-Wajīz fi
Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001.
al-Aṣfahani, ar-Rāgib. al-Mufradāt fi Garībi al-qur’an, Beirut: Dār al-
Ma’rifat.
al-Zamakhsyari, Muhammad bin Umar. Tafsir al-Kasyaf, Beirut: Dār al-
Ma’rifat, 2009
al-Baiḍāwī, Abdullah bin Umar. Tafsīr al-Baiḍāwī, Beirut: Dār Iḥya’ al-
Turāt al-‘Arabī, 1998.
Barthes, Roland. Elemen-Elemen Semiologi terj. M. Ardiansyah,
Yogyakarta: Basabasi, 2017.
al-Baqā’ī, Burhān al-dīn. Nażmu al-Durar fī Tanāsubi al-Ayāt wa as-
Suwar, Kairo: Dār al-Kitāb al-Islāmī.
Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1995.
Djadjasudarma, T. Fatimah. Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna
(Bandung : PT Refika, 1999.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Fahriana, Lukita. Pemaknaan Qalb Salim Dengan Metode Analisis
Semantik, Skripsi Ilmu al-Qur’an dan tafsir Fakultas Uśuluddin
UIN Jakarta, 2019.
Fajar, Saiful. “Konsep Syaitan dalam al Qur’an (Kajian Semantik
Toshihiko Izutsu)”. Skripsi S1: Ilmu Alqur’an dan Ilmu Tafsir,
UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, 2018.
Fajrin, Siti Fatimah. “Konsep Al-Nar dalam al Qur’an (Analisis Semantik
Toshihiko Izutsu)”. Skripsi S1: Ilmu Alqur’an dan Tafsir, UIN
Sunan Kalijaga,Yogyakarta, 2017.
Faturrahman. “al-Quran dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko
Izutsu” Tesis S2: Pendidikan Bahasa Arab, UIN Syarif
122
Hidayatullah, Jakarta, 2010.
al-Fayrūz Abady, Muhammad bin Ya'qūb Qamus al-Muhīṭ, Lebanon : Dār
Alfikr, 1995.
Habanakah al-Maidani, Abdurrahman. “Qowā’īdu at-Tadabburi al-
Amtsal li Kitābillah”, Dar al Qolam: Damaskus, 1980
Hakim, Ahmad Husnul. Kaidah-kaidah penafsiran, Depok: Lingkar Studi
al-Qur’an, 2017.
_______. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, Depok: Lingkar Studi al-Qur’an,
2013
Hamdān, A’syā. Diwān A’syā Hamdān wa Akhbārah, Riyad: Dār al-
‘Ulūm, 1983.
Hamidi, Lutfi. “Pemikiran Thosihiko Izutsu tentang Semantik al Quran”
Disertasi S3: Ilmu Agama Islam, UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2009.
Hidayatulloh, Muflihun. “Ikhlas dalam al Qur’an Prespektif Semantik
ToShihiko Izutsu”. Skripsi S1: Ilmu Alqur’an dan Ilmu Tafsir,
UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, 2018.
Husain Ibn Muhammad, Qamus al-Qur'an, Beirut: Dār al-Ilmi al-Malayin,
1983.
Husain, ṯaha. al-ādab al-Jāhili, Kairo : Faruq, 1993.
al-Husayny, Muhibbuddin abī Fayḍ as-Sayyid Muhammad Murtaḍy Taj
al-Arūs min Jawāhir al-Qāmus, lebanon: Dār al-Fikr, 1994.
Ibn Anas, Mālik. al-Muwaṭṭa’, Beirut: Dār al-Turāṣ al-‘Arabī, 1985.
Ibn ‘Āsyūr, Muhammad al-ṭāhir. Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Tunisia:
Dār al-Tūnisiyah, 1984.
Ibn Faris, Abi Husain Ahmad. Mu’jam Maqāyīs al-Lughoh, Beirut: Dār al-
Fikr, 1979.
Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal, Riyad: Dār al-
Salām, 2013.
Ibnu Kaṡir, Lubab at-Tafsir, Terj. M. Abdul Ghoffar, dkk., Bogor: Pustaka
Imam Syafi’I, 2004.
Ibn Mandhur, Lisān al-Ara, Beirut: Dār Shādir, t.t.
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim & M. Maimun, “Wali dan Auliya dalam
Al-Quran (Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko
Izutsu)”, dalam Jurnal Diya al-Afkar, Vol. 4, No. 02 Desember
2016.
Ibn Sulaimān, Muqātil. Tafsīr Muqātil bin Sulaimān, Beirut: Mu’asisah at-
Tārīkh al-‘Arabī, 2002.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung, Tafakkur, t.th..
Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik
Terhadap Al-Qur’an, Terj. Agus Fahri Husein, Supriyanto
Abdullah & Amirudin, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1997.
123
_______. Konsep-Konsep Etika Religius dalam al Quran, Yogyakarta,
Tiara Wacana Yogya, 1993.
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuṭi, Tafsir al-Jalalain, Dār
Ibnu Kaṡir, t.t.
al-Jauhari, Abu Nashr. as-Shihah Tāj al-Lughoh, Beirut: Dār al-Ilmu
Lilmalaayiin, 1987.
Karnianto, Sigit. “Kemampuan Berpikir Positif Mutadabbirin al Qur’an”.
Skripsi S1 : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2013
Kurniawan, Wahyu. “Makan Khalifah dalam al Qur’an : Tinjauan
Semantik al Qur’an Toshihiko Izutsu”, Skripsi S1: Ilmu Alqur’an
dan Ilmu Tafsir, IAIN Salatiga, 2017.
Kusdiansyah, Pandu. “Pendekatan semantik terhadap lafadz nur dalam
Alquran: Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu”. Tesis S2: Ilmu
Alqur’an dan Ilmu Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung
2018.
Mahmud, Mohammad Natsir. Orientalisme; al-Qur’an di Mata Barat
(Sebuah Studi Evaluatif), Semarang, Dina Utama, 1997.
Maisarah dkk., “Keutamaan Amalan Tadabbur al-Qur’an Terhadap
Pelajar Tahfiz”. Jurnal at Turath Vol. 3 No. 2, 2018.
Ma’shum bin Ali, al-Amṡilatu at-Tashrifiyah, Maktabah as-Syaikh Salim
bin Sa’ad, 1965.
Mansur, Imam. Telaah Kritis Syarat Mufassir Abad 21, Jurnal QOF, Vol.
2, nomor 2, juli, 2018.
al-Marāgī, Aḥmad bin Musṭafā. Tafsīr al-Marāgī, Mesir: Maktabah wa
Maṭba’ah Miṣr, 1942.
Matsna, Muhammad. Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer,
Jakarta: Prenamedia Group, 2016.
Muhajir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Reka Sarasih,
1996.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKis
Printing Cemerlang, 2012.
_______. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta : Idea Press,
2016.
Natalia, Maria. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi,
Jakarta, Salemba Humanika, 2008.
Parera, Jos Daniel. Teori Simantik, Terj., Jakarta : Erlangga, 2004.
Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur'an, terj. Anas Mahyuddin,
Bandung: PUSTAKA, 1983..
al-Rāzī, Muḥammad ibn Umar Fakhr al-Dīn. Mafātih al-Gaīb, Beirut: Dār
al-Fikr, 1981
Rosy, Fathor. “Kitab Tadabbur al-Qur’an Karya Bahtiar Nasir Dalam
124
Prespektif Epistimologi”. Tesis S2 : Pasca Sarjana UIN Sunan
Ampel, Surabaya, 2017.
Rumiani dkk., “Terapi Tadabbur al Qur’an Untuk Mengurangi
Kecemasan Menghadapi Persalinan Pertama”. Jurnal Intervensi
Psikologi Vol. 7 No. 2, Desember 2015.
al-Ṡa’ālabī, Abd al-raḥman bin Muḥammad. Tafsīr al-Ṡa’ālabī, Beirut:
Dār ‘Iḥyā’ al-Turāṣal-‘Arabī, 1998.
al-Samarqandī, Naṣir bin Muḥammad bin Aḥmad. Tafsīr al-Samarqandī,
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993.
al-Ṣan’ānī, Abī Bakr ‘Abd ar-Razāq. al-Muṣannaf li Imam al-ḥafiḍ Abī
Bakr ‘Abd ar-Razāq, Beirut: Dār al-Tāṣīl, 2015.
Setiawan, Muhammad Nur Kholis. al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar,
Yogyakarta: elsaq press, 2006.
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah, Ciputat: Lentera Hati,
2009
_______. dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2013.
_______. dkk., Ensiklopedi Al-Qur'an: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera
Hati, 2007.
Suhardi. Dasar-Dasar Ilmu Semantik, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2015.
Subuki, Makyin. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa,
Jakarta: Transpustaka, 2011.
al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn. ad-Dur al-Manṣūr fi al-Tafsīr bi al-Ma’ṣūr, Kairo:
Markaz li Buhūṣ wa al-Dirasāt al-‘Arabiyah, 2003.
al-Syaukānī, Muḥammad bin Alī. Fatḥul al-Qādīr, Beirut: Dār al-
Ma’rifah, 2007.
al-Ṭabarī, Abī Ja’far bin Jarīr. Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ‘ay al-Qur’an,
Jizah: Dār Hijr, 2001.
al-Tabrīzī, Al-Khoṭīb. Syaraḥ Diwān ‘Antarah (Beirut: Dār al-Kitāb al-
‘Arabī, 1992), h. 81.
Tamim, Daris. “Kerangka Kerja Bimbingan Dengan Pendekatan
Tadabbur al Qur’an Untuk Pengembangan Karakter Sabar
Remaja”. Disertasi S3: Progam Studi Bimbingan dan Konseling,
UPI, Bandung, 2017.
Team kodifikasi Purna Siswa 2005 (KOPRAL), Kontelstualisasi Turāṣ,
Kediri: Pustaka De-Aly, 2009.
at-Thanāhi, Mahmud Muhammad. Min Asrāri al-Lughah fi al-Kitab wa
as-Sunnah, Makkah: Dār al-Fatḥ, 2008.
Yusron, Mumammad. dkk, Studi Kitab Tafsir Kontemporer, Yogyakarta:
Teras, 2006.
aż-żahabi, Muhammad Husain. Tafsīr wa al-Mufassirūn, Kuwait, Dār al-
Nawādir, 2010.
125
Zakirah, Nurul. “Definisi Qawaid al-Tadabbur : Satu Analisis
Perbandingan deangn Qawaid al-Tafsir”. Jurnal Quranica Vol. 6
No. 1, Juni 2014.
al-Zuḥailī, Wahbah. al-Tafsīr al-Munīr, Damaskus: Dār al-Fikr, 2009.
https://initu.id/amp/biografi-singkat-emha-ainun-nadjib-cak-nun-jamaah-
maiyahan/ diakses pada Rabu, 25 September 2019.
https://youtu.be/CVPVMFL50MA, diakses pada Rabu, 25 September
2019.
https://youtu.be/CVPVMFL50MA, diakses pada Rabu, 25 September
2019.
126
127
Lampirann I
AYAT-AYAT YANG MENYEBUTKAN TADABBUR DAN DERIVASINYA
Kata Surat/ayat Turun Teks ayat Terjemah
Yunūs (10): 3 Makiyah يدبر الذييخ ل ق السم نزاو اتي و ال رض إينر بكمالل م تةيأ ي سي فيم نزامينش في ب يرال مر يد ع ل ىالع رشي مينب عديإيذاست و ى نيهييعإيل
ر ت ذ ك ر بكمف نزاعبدوهأ ف ل ليكمالل ون ذ
Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam
di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan.
Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-
Nya. Itulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah
kamu tidak mengambil pelajaran?
Yunūs (10): 31 Makiyah لي أ مني نزاءيو ال رضي قكممين السم كالسمع و ال بص نزار قلم ني ري ي و يريجالم ي يتي مين الم ب يو م نيريجال ي و م نيد مين ال ي ي رت
ف ي قولون الل ف س ت ت قال مر ون قلأ ف ل
Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki
kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah
yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang
mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab,
“Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa
(kepada-Nya)?”
al-Ra’d (13): 2 Madaniyah دت ر و بيغ رييع م الذيير ف ع السم نزاو اتي ع ل ىن ه نزاالل است و ى رييلي كل و الق م ر الشمس و س ر ب يرالع رشي ج لمس مىيد
ل ع لكمبيليق نزاءير ب يك تي لالي ي ف ص ي متوقينون ال مر
Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang
kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia
menundukkan matahari dan bulan; masing-masing beredar
menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan
(makhluk-Nya), dan menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-
Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu.
As-Sajdah
(32): 5
Makiyah ي ع ال رضي مين السم نزاءيإيل ب يرال مر ك نزان يد ي وم رجإيل يهيفيس ن ةمينزات عدون ارهأ لف ميقد
Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian
(urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya
128
(lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.
:Al-Nisā’ (4) يتدبرون
82
Madaniyah و ل و القرآن ب رون ي ت د هيرييالليل و ج دوافييك نزان مينعينديغ أ ف ل ك ثيريا فنزا اختيل
Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur'an?
Sekiranya (Al-Qur'an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka
menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.
Muhammad
(47): 24
Madaniyah ق لوبأ ق ف القرآن أ مع ل ى ب رون ي ت د نزال نزاأ ف ل Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur'an ataukah hati
mereka sudah terkunci?
al-Mu’minūn يدبروا
(23): 68
Makiyah أ مج نزاء همم نزا ب رواالق ول آأ ف ل مي د ء همال ولي ل ي تي ب Maka tidakkah mereka menghayati firman (Allah), atau adakah
telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang
kepada nenek moyang mereka terdahulu?
Ṣad (38): 29 Makiyah مب نزار ك ب رواآي كيت نزابأ ن ز لن نزاهإيل يك أولوال ليي د لب نزابيتيهيو ليي ت ذ كر Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepadamu penuh
berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-
orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.
al-Ma’ārij أدبر
(70): 17
Makiyah و ت و ل Yang memanggil orang yang membelakangi dan yang ت دعوم نأ دب ر
berpaling (dari agama),
al-Mudaṣṣir
(74): 23
Makiyah و است كب ر أ دب ر kemudian berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan
diri,
al-Mudaṣṣir
(74): 33
Makiyah إيذأ دب ر ,dan demi malam ketika telah berlalu و الليلي
al-Nāzi’āt
(79): 22
Makiyah ي سع ى أ دب ر Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa).
al-Nāzi’āt مدبرات
(79): 5
Makiyah أ مرا ب ير اتي .dan (malaikat) yang mengatur urusan (dunia) ف نزالمد
:al-Naml (27) مدبرا
10
Makiyah ك أ ن ه نزاج نزان نزار آه نزات هت ز ف ل م ع ص نزاك مدبيراو ل ي ع و أ لقي ق يبو لالمرس ي نزافل د ي ل ت فإين ي ل موس ى لون ي
Dan lemparkanlah tongkatmu!” Maka ketika (tongkat itu
menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti
seekor ular yang gesit, larilah dia berbalik ke belakang tanpa
menoleh. ”Wahai Musa! Jangan takut! Sesungguhnya di
129
hadapan-Ku, para rasul tidak perlu takut,
al-Qoṣaṣ (28):
31
Makiyah ك أ ن ه نزاج نزار آه نزات هت ز ف ل م ع ص نزاك مدبيراو ل و أ نأ لقي نزان و ل
مين إينك ت ف أ قبيلو ل موس ى الميني ي ع ق يبي Dan lemparkanlah tongkatmu.” Maka ketika dia (Musa)
melihatnya bergerak-gerak seakan-akan seekor ular yang
(gesit), dia lari berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Allah
berfirman), “Wahai Musa! Kemarilah dan jangan takut.
Sesungguhnya engkau termasuk orang yang aman.
:al-Taubah (9) مدبرين
25
Madaniyah ك ثيري ةو ي و م و اطين في ب تكمل ق دن ص ر كمالل إيذأ عج م حن ئنزاو ض نزاق تع ي ث ر تكمف ل مت غنيع نكمش ب تل يكمال رضبي نزار حك
تممدبيريين و لي
Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak
medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu
yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang
banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang
luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke
belakang dan lari tunggang-langgang.
al-Anbiyā’
(21): 57
Makiyah مدبيريين و ت لليل كييد نأ صن نزام كمب عد أ نت و لوا Dan demi Allah, sungguh, aku akan melakukan tipu daya
terhadap berhala-berhalamu setelah kamu pergi
meninggalkannya.
al-Naml (27):
80
Makiyah تسميعالصمال و ل وت ى تسميعالم ل ن دع نزاء إيذ او لوامدبيرييإينك Sungguh, engkau tidak dapat menjadikan orang yang mati
dapat mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang yang tuli
dapat mendengar seruan, apabila mereka telah berpaling ke
belakang.
al-Rum (30):
52
Makiyah تسميعالصم و ل وت ى تسميعالم ل ين الدع نزاء إيذ او لوامدبيريف إينك Maka sungguh, engkau tidak akan sanggup menjadikan orang-
orang yang mati itu dapat mendengar, dan menjadikan orang-
orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka
berpaling ke belakang.
al-Ṣaffāt (37):
90
Makiyah ف ت و لواع نهمدبيريين Lalu mereka berpaling dari dia dan pergi meninggalkannya.
Gfir (40): 33 Makiyah اللي وم ت و لون مدبيريين م نزال كممين الليمينع مو م نيضليلي نزاصي (yaitu) pada hari (ketika) kamu berpaling ke belakang (lari),
130
نزال همينه نزاد tidak ada seorang pun yang mampu menyelamatkan kamu dari ف م
(azab) Allah. Dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah,
niscaya tidak ada sesuatu pun yang mampu memberi
petunjuk.”
النجومي al-Ṭūr(52): 49 Makiyah إدبار ر ف س ب يحهو إيدب dan pada sebagian malam bertasbihlah kepada-Nya dan (juga) و مين الليلي
pada waktu terbenamnya bintang-bintang (pada waktu fajar).
:al-An’ām (6) دابر
45
Makiyah الذيين ظ ل مواو ال مدلليي الع نزال مي ف قطيع د ابيرالق ومي ر ب ي Maka orang-orang yang zhalim itu dimusnahkan sampai ke
akar-akarnya. Dan segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.
al-A’rāf (7):
72
Makiyah ن نزاهو الذيين م ع هبير ح ةميننزاو ق ط ع يف أ ن ي بوا ك ذ الذيين تين نزان نزاد ابير ي ك نزانوامؤميني و م نزا
Maka Kami selamatkan dia (Hud) dan orang-orang yang
bersamanya dengan rahmat Kami dan Kami musnahkan
sampai ke akar-akarnya orang-orang yang mendustakan ayat-
ayat Kami. Mereka bukanlah orang-orang beriman.
al-Anfāl (8): 7 Madaniyah أ ن ه نزال إيحد ىالطنزائيف ت ي و إيذي عيدكمالل ذ كمو ت و دون أ نغ ي ر اتيا أ نييق نزاتيهيو ي قط الشوك ةيت كونل كمو يرييدالل بيك ليم ل ق ع د ابير
الك نزافيريين
Dan (ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa
salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah
untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak
mempunyai kekuatan senjatalah untukmu. Tetapi Allah hendak
membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan
memusnahkan orang-orang kafir sampai ke akar-akarnya,
al-Hijr (15):
66
Makiyah لي ن نزاإيل يهيذ ءيم و ق ض ي ؤل ه أ ند ابير ال مر قطوعمصبيحي ك Dan telah Kami tetapkan kepadanya (Luth) keputusan itu,
bahwa akhirnya mereka akan ditumpas habis pada waktu
subuh.
و ق دتق مييص همين Yūsuf (12): 25 Makiyah دبر أ لف ي نزاس ي يد ه نزال د ىدبرو و است ب ق نزاالب نزاب سوءاإي ق نزال تم نزاج ز اءم نأ ر اد بي هليك أ نيسج ن أ والب نزابي ل
ع ذ ابأ لييم
Dan keduanya berlomba menuju pintu dan perempuan itu
menarik baju gamisnya (Yūsuf) dari belakang hingga koyak
dan keduanya mendapati suami perempuan itu di depan pintu.
Dia (perempuan itu) berkata, “Apakah balasan terhadap orang
yang bermaksud buruk terhadap istrimu, selain dipenjarakan
atau (dihukum) dengan siksa yang pedih?”
131
Yūsuf (12): 27 Makiyah ك نزان ب تو هو و إين مين الصنزاديقي ق مييصهقدميندبرف ك ذ Dan jika baju gamisnya koyak di bagian belakang, maka
perempuan itulah yang dusta, dan dia (Yūsuf) termasuk orang
yang benar.”
Yūsuf (12): 28 Makiyah ق مييص هقدمين نزار أ ى إينهمينف ل م ك يد كندبرق نزال ك يديكنإين ع ظييم
Maka ketika dia (suami perempuan itu) melihat baju gamisnya
(Yūsuf) koyak di bagian belakang, dia berkata, “Sesungguhnya
ini adalah tipu dayamu. Tipu dayamu benar-benar hebat.”
al-Qamar (54):
45
Madaniyah ب ر الد ي هز مال معو ي و لون Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur س
ke belakang.
:al-Anfāl (8) دبره
16
Madaniyah مت ح ر يفنزالي فيقيت نزالأ ومت ح ي يزاو م ني و ل ييمي وم ئيذدب ر هإيل ئ ةف ق دإيل
ء بيغ ض بمين الليو م أو اهج ه نمو بيئس ريب الم صي Dan barangsiapa mundur pada waktu itu, kecuali berbelok
untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan
pasukan yang lain, maka sungguh, orang itu kembali dengan
membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka
Jahanam, seburuk-buruk tempat kembali.
Ali Imrān األدبار
(3):111
Madaniyah أ ذىو إيني ق نزاتيلوكمي و ل ي نل ني ضروكمإيل ل ر ص رون وكمال دب Mereka tidak akan membahayakan kamu, kecuali gangguan-
gangguan kecil saja, dan jika mereka memerangi kamu,
niscaya mereka mundur berbalik ke belakang (kalah).
Selanjutnya mereka tidak mendapat pertolongan.
al-Anfāl (8):
15
Madaniyah أ ي ه نزا ك ف ي ت و لوهالذيين آم نواإيذ ال قييتمالذيين مروا حفنزاف ل ر ال دب
Wahai orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan
orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah
kamu berbalik membelakangi mereka (mundur).
al-Ahzab (33):
15
Madaniyah ي و لون مينق بلل ك نزانواع نزاه دواالل و ك نزان ع هدالليو ل ق د ر ال دب م سئول
Dan sungguh, mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah,
tidak akan berbalik ke belakang (mundur). Dan perjanjian
dengan Allah akan diminta pertanggungjawabannya.
al-Fatḥ (48):
22
Madaniyah ر ك ف روال و لواال دب دون و ليينزاو ل و ل وق نزات ل كمالذيين ي ريال ن صي Dan sekiranya orang-orang yang kafir itu memerangi kamu
pastilah mereka akan berbalik melarikan diri (kalah) dan
mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong.
132
Qaf (50): 40 Makiyah السجودي ر ف س ب يحهو أ دب Dan bertasbihlah kepada-Nya pada malam hari dan setiap و مين الليلي
selesai shalat.
al-Hasyr (59):
12
Madaniyah ي رجون م ع همو ل ئينقوتيل ي نصرون همو ل ئيل ئينأخريجوال نوال ي نص رون ل ر ن ص روهمل ي و لنال دب
Sungguh, jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak
akan keluar bersama mereka, dan jika mereka di-perangi;
mereka (juga) tidak akan menolongnya; dan kalau pun mereka
menolongnya pastilah mereka akan berpaling lari ke belakang,
kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan.
:al-Maidah (5) أدباركم
21
Madaniyah ك ت ب المق دس ة التي ادخلواال رض ق ومي ت رت دي ل كمو ل واالل
ريين ريكمف ت ن ق ليبواخ نزاسي أ دب ع ل ىWahai kaumku! Masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah
ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu berbalik ke
belakang (karena takut kepada musuh), nanti kamu menjadi
orang yang rugi.
al-Nisā’ (4) أدبارها
47
Madaniyah آمينوابي نزان زل أ ي ه نزاالذيين أوتواالكيت نزاب نزام ع كمميي نن نزامص د يقنزاليم أ ن ريق بلي أ دب وجوهنزاف ن رده نزاع ل ى نزال ع ن طميس ك م ننزاه نزاأ ون لع ن هم
و ك نزان أ مرالليم فعول السبتي أ صح نزاب
Wahai orang-orang yang telah diberi Kitab! Berimanlah kamu
kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an) yang
membenarkan Kitab yang ada pada kamu, sebelum Kami
mengubah wajah-wajah(mu), lalu Kami putar ke belakang atau
Kami laknat mereka sebagaimana Kami melaknat orang-orang
(yang berbuat maksiat) pada hari Sabat (Sabtu). Dan ketetapan
Allah pasti berlaku.
هم أدبار al-Anfāl (8):
50
Madaniyah ئي ك ف رواالم ل الذيين إيذي ت و ف ةي ضريبون وجوه همو ل وت ر ى ك ال رييقي ر همو ذوقواع ذ اب و أ دب
Dan sekiranya kamu melihat ketika para malaikat mencabut
nyawa orang-orang yang kafir sambil memukul wajah dan
punggung mereka (dan berkata), “Rasakanlah olehmu siksa
neraka yang membakar.”
al-Hijr (15):
65
Makiyah و اتبيعأ بيقيطعمين الليلي ي لت فيتمينف أ سريبي هليك ر همو ل كمدب ت ؤم رون أ ح دو امضواح يث
Maka pergilah kamu pada akhir malam beserta keluargamu,
dan ikutilah mereka dari belakang. Jangan ada di antara kamu
yang menoleh ke belakang dan teruskanlah perjalanan ke
tempat yang diperintahkan kepadamu.”
133
al-Isra’ (17):
46
Makiyah ق لوبييمأ كينةأ ني فق هوهو آذ انييمو ق راو إيذ او ج ع لن نزاع ل ى فيأ و حد هو لواع ل ى القرآني في ر بك ريهيمن فوراذ ك رت دب
Dan Kami jadikan hati mereka tertutup dan telinga mereka
tersumbat, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan
apabila engkau menyebut Tuhanmu saja dalam Al-Qur'an,
mereka berpaling ke belakang melarikan diri (karena benci).
Muhammad
(47): 25
Madaniyah ريهيممينب عديم نزات أ دب مالإينالذيين ارت دواع ل ى د ىب ل م ل مو أ مل ى ل الشيط نزانس ول
Sesungguhnya orang-orang yang berbalik (kepada kekafiran)
setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, setanlah yang merayu
mereka dan memanjangkan angan-angan mereka.
Muhammad
(47): 27
Madaniyah ةي ضريبون ف ك يف ئيك ر همإيذ ات و ف ت همالم ل وجوه همو أ دب Maka bagaimana (nasib mereka) apa-bila malaikat (maut)
mencabut nyawa mereka, memukul wajah dan punggung
mereka?
134
Lampiran II
MAKNA TADABBUR MENURUT MUFASSIR
Nama Wafat Penafsiran
Muqātil bin Sulaimān 702-767
M
يسمون)أفليتدبرون(يعنیأفل (apakah mereka tidak menghayati) yakni apakah mereka tidak mendengar
Abu Ja’far bin Jarir at-
Thabari
839-923
M
،عنالضحنزاكقوله:)أفليتدبرونالقرآن(قنزال:يتدبرون .فيهالنظرحدثنیييیبنأبطنزالب،قنزال:ثننزايزيد،قنزال:أخبنجو يبي Telah menceritakan padaku Yahya bin Abī ṭhālib, dia berkata: Yazid bercerita padaku, dia berkata :
Juwaibir mengabarkanku dari ḍaḥāka, ia mengatakan : (أفليتدبرونالقرآن ) yakni Tadabbur adalah
memperhatikan dibaliknya.
Naṣir bin Muḥammad bin
Aḥmad al-Samarqandī 1003 M
فمعنزانالقرآن،يتفكرونفمواعظالقرآن،ليعبوابنزا،ويقنزال:أفليتفكرونأفليتدبرونالقرآنيعنأفل Apakah mereka tidak menghayati al-Qur'an yakni apakah mereka tidak memikirkan nasehat-nasehat al-
Qur’an agar mereka mendapat pelajaran. Ada pendapat : apakah mereka tidak memikirkan makna-makna
al-Quran
يعلمواأنهمنللاتعنزال.ه،حتفيمنزاانزلللاتعنزالفيهمنوعدووعيد،وكثرةعجنزائبويتفكرونفيه،ويعتربونالقرآنيسمعون)أفليتدبرونالقران(يعنأفل (Apakah mereka tidak menghayati al-Qur'an) yakni apakah mereka tidak mendengar al-Qur’an dan
mengambil pelajaran darinya, dan memikirkan janji dan ancaman yang Allah turunkan dan juga
banyaknya keajaiban-keajaiban al-Qur’an sehingga mereka mengetahui bahwa al-Quran memang dari
Allah.
Muhammad bin Umar az-
Zamakhsyari,
1075-
1144 M
منزافيه،بصرتمعنزانيهأتملفإدبرهومنزايؤولإليهفعنزاقبتهومنتهنزاه،استعملفكلأتمل؛فمعنتدبرالقرآن:النظروأتملهتدبرالمر: meneliti dan mempertimbangkan pada aspek di baliknya dan pada sesuatu yang menjelaskan : تدبرالمر
konsekuensi dan kesudahannya, kemudian lafad Tadabbur digunakan dalam setiap penelitian. makna dari
Tadabbur al-Quran adalah meneliti makna-maknanya dan melihat sesuatu (yang terkandung) di dalamnya.
ومنزافيهمنالواعظوالزواجرووعيدالعصنزاةويتصفحونه)أفليتدبرونالقرآن(
135
(Apakah mereka tidak menghayati al-Qur'an) merekan menelaah nasehat-nasehat, peringatan-peringatan
dan ancaman maksiat sehingga mereka tidak berani lagi bermaksiat.,
الذييؤديإلمعرفةمنزايدبرظنزاهرهنزامنالتأويلتالصحيحةوالعنزان.التأملفيهنزا،والتفكروتدبراليت: adalah mencurahkan pemikiran padanya dan meneliti sesuatu yang dapat mengantarkan kepada وتدبراليت
pengetahuan takwil yang benar dan makna-makna yang baik dari dzahirnya ayat
Abd al-Ḥaq bin Gālib Ibn
Aṭiyah al-Andalusī
1088-
1147 M
فأعقنزابالموروأتويلتالشينزاءالنظروالتدبر: .mempertimbangkan konsekuensi sesuatu dan kesudahan-kesudahan sesuatu : التدبر
Muḥammad ibn Umar Fakhr
al-Dīn al-Rāzī,
1149-
1210 M
واستقبلتمنأمريمنزافعواقبالموروادبرهنزا،ومنهقوله:إلمتدبرواأعجنزاأمورقدولتصدورهنزا،ويقنزالففصيحالكلم:لالنظرالتدبريوالتدبرعبنزارةعن استدبرت،أيلوعرفتفصدرأمريمنزاعرفتمنعنزاقبته.
: istilah untuk mempertimbangkan konsekuensi dan akhir sesuatu. Sebagaimana ungkapan : التدبريوالتدبر
sampai dimana mereka menghayati batang sesuatu telah berakhir kemunculanya, dan ungkapan yang fasih :
jika aku berhadapan dengan urusan yang dibelakangku, artinya jika aku mengetahui sesuatu aku
mengetahui pula akibat-akibatnya.
Abdullah bin Umar al-
Baiḍāwī 1286 M
فأدبرالشيء.النظرفمعنزانيهويتبصرونمنزافيه،وأصلالتدبريتأملون)افليدبرونالقرآن( (apakah mereka tidak menghayati al-Qur’an) meneliti makna-maknanya dan melihat apa yang ada di
dalamnya, asal التدبر adalah mempertimbangkan kesudahan sesuatu.
ومنزافيهمنالواعظوالزواجرحتلسرواعلىالعنزاصي.يتصفحونه)أفليتدبرونالقرآن( (apakah mereka tidak menghayati al-Qur’an) menelaah al-Qur’an dan nasihat-nasihat serta peringatan-
peringatan di dalamnya sehingga mereka tidak berani pada mkasiat.
فيهنزافيعرفوامنزايدبرظنزاهرهنزامنالتأويلتالصحيحةوالعنزانالستنبطة.ليتفكروا)ليدبرواآيته( (agar mereka menghayati tanda-tanda-Nya) agar mereka memikirkan sesuatu di balik dzahir ayat yakni
dari ta’wil yang benar dan makna yang mustanbit.
Abi Hayyan al-Andalusi 1256- لعقنزابوللدبرفإدبرهومنزايؤولإليهفعنزاقبته،استعملفكلأتمل،والدبرالنزالالكثري،سيبذلكلنهيبقىلالنظرالمروأتملالتدبر:
136
1344 M التدبر : meneliti sesuatu dan mempertimbangkan apa dibaliknya dan apa yang menjadi konsekuensinya.
Kemudian istilah ini digunakan untuk setuap penelitian. الدبر adalah harta yang banyak, dinamakan demikian
sebab ia bertahan sampai ujung dan akhir.
ومنزافيهمنالواعظوالزواجر،وعيدالعصنزاةيتصفحونه)أفليتدبرون(أي (apakah mereka tidak menghayati) yakni menelaah al-Qur’an dan nasihat-nasihat serta peringatan-
peringatan di dalamnya dan juga ancaman kemaksiatan.
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī 1445-
1505 M
فيهالنظرأخرجابنجرير،وابنالنذر،وابنأبحنزامت،عنالضحنزاك:)أفليتدبرونالقرآن(.قنزال:يتدبرون Dikeluarkan oleh ibn Jarīr dan Ibn munżir dan ibn Abī ḥātim, dari ḍaḥāka : )أفليتدبرونالقرآن( yakni
mempertimbangkannya
Abd al-raḥman bin
Muḥammad al- Ṡaālabī
1384-
1471 M
فأعقنزابالموروأتويلتالشينزاءالنظروالتدبرهو adalah memperhatikan konsekuensi sesuatu dan penjelasan/kesudahan sesuatu التدبر
فأدبرهوعواقبهنظرت؛يقنزال:تدبرتالمر:إذافيعتربونيتفكرونقنزالالروي:قولهتعنزال:)أفليتدبرونالقرآن(معننزاه:أفل al-Harawī mengatakan makna firman Allah )أفليتدبرونالقرآن( yakni apakah mereka tidak memikirkan lalu
mengambil pelajaran. Dikatakan تدبرتالمر yakni ketika aku memperhatikan dibalik sesuatu dan
konsekuensi sesuatu
Burhanuddin al-Baqo’i 1480 M
فعنزاقبتهوآخرأمرهتفكرتإذا-،يقنزال:تدبرتالشيءيتأملون)أفليتدبرون(أي ketika aku memikirkan konsekuensi dan akhir تدبرتالشي : yakni mereka meneliti, dikatakan )أفليتدبرون(
sesuatu.
Muḥammad bin Alī al-
Syaukānī 1834 M
كنزانهتفكرتيقنزالتدبرتالشيء: نزاقبتهإلمنزاتصريإليهعينظرفعنزاقبته،وأتمل،استعملفكلتمل،والتدبري:انيدبرالنسنزانأمره Dikatakan تدبرتالشيء : yakni aku memikirkan konsekuensi sesuatu, dan menelitinya, kemudian istilah تدبر
digunakan untuk تامل (meneliti).
.manusia menghayati sesuatu sampai mempertimbangkan pada konsekuensinya : التدبري
137
Aḥmad bin Musṭafā al-
Marāgī
1883-
1952 M
كنزاننظرافحقيقةالشيءوأجزائه،أالتأمل)أفليتدبرونالقرآن(أصلالتدبري وسوابقهوأسبنزابه،أولواحقهفأدبرالموروعواقبهنزا،استعملفكلأتملسواءيإليهنزا،وعنزاقبةمنيعملبهومنينزالفه.وأعقنزابه،وتدبرالكلمهوالنظروالتفكرفغنزايتهومقنزاصدهالتيرم
(أفليتدبرونالقرآن) asalnya adalah التدبري yakni meneliti dibalik sesuatu dan akibat-akibatnya, kemudian istilah ini
dipakain untuk setiap penelitian begitu juga memperhatikan hakikat sesuatu dan bagian-bagiannya atau
pendahulunya dan sebab-sebabnya atau kelanjutannya dan konsekuensinya.
yakni memperhatikan dan memikirkan tujuan dan arah maksudnya, serta konsekuensi antar orang تدبرالكلم
yang melakukanya dan orang yang meninggalkanya.
منزافيهمنالواعظوالزواجرحتيقلعواعنالوقوعفالوبقنزات.يتصفحونتدبرونالقرآن:أي yakni menelaah apa yang ada di dalam al-Qur’an dari nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan : تدبرونالقرآن
sehingga mereka berpindah dari tempat kebinasaan.
Muhammad Al-Tahir Ibn
'Ashur
1879-
1973 M
بر،أيالظهر،اشتقوامنالدبرفعل،فقنزالوا:تدب رإذا لفعنزالالتاشتقتمنالسنزاءدبرالمر،أيفغنزائبهأوفعنزاقبته،فهومنافنظروالتدبرمشتقمنالد النزامنزاة.والتدبريتعدىإلالتأم لفيهبنفسه،يقنزال:تدب رالمر.
" musytaq dari lafadz التدبر الدبر ", yaitu 'belakang'. Mereka menarik dari kata dubur (belakang) secara hakiki.
Mereka mengatakan :تدب ر ketika memperhatikan di balik suatu hal, yakni di balik ketidak adaannya, atau
akibat darinya. تدب ر termasuk fi'il yg musytaq (berasal) dari isim jamid (isim yg tidak terbentuk dari kata
lain). التدبر mutaadi (butuhkan pada objek) kepada apa yg ditadabburi, dikatakan " تدب رالمر ".
ذيبدء.وقدتقدمفالعقليفدللتالدلئلعلىمنزانصبتله.وأصلهأنهمنالنظرفدبرالمر،أيفيمنزاليظهرمنهللمتأملبدىءالنظروالتدبر:إعمنزال سورةالنسنزاء.
adalah التدبر pendayagunaan akal untuk memperhatikan petunjuk atas bukti yang sukar. Asal : التدبر
memperhatikan dibalik sesuatu hal. Penjelasanya telah dijelaskan pada surat al-Nisā’ .
Wahbah bin Musṭafā al- 1932- بنزافيه.والتبصرمعنزانيهأتمل)أفليتدبرونالقران(يتأملونالقرآنوينظرونمنزافيهمنالعنزانالبديعة،فمعنتدبرالقرآن:
138
Zuḥaili 2015 M (أفليتدبرونالقران) yakni meneliti al-Qur’an dan memperhatikan makna-makna jauh didalamnya. Arti تدبر القرآن :
meneliti makna-makna dan memperhatikan kandunga al-Qur’an
(يتفهمونهويتصفحونهلريوامنزافيهمنالواعظوالزواجر،حتليقتحمواالعنزاصيويقعوافالوبقنزات.القران)يتدبرون (القرانيتدبرون) yakni memahami dan menelaahnya untuk melihat apa yang terkandung didalamya seperti
nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan, sehingga mereka tidak menerobos kemaksiatan dan melestarikan
kebiasaan-kebiasaan (buruk).
فمعنزاناليت.)ليتدبروا(ليتدبرواأيليتفكرواوينظروا (ليتدبروا) yakni agar mereka memikirkan dan memperhatikan makna-makna ayat.
139
Lampiran III
PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG TADABBUR
al-Nisā’ 82 Muhammad 24 Al-Mukminun 68 Ṣad 29
Muqātil bin Sulaimān (702-767 M)
يعلمونأنه)القرآن(فيسمعون)أفليتدبرون(يعنیأفلك نزان مينعينديغ رييالليل و ج دوافيي) ك ثيرياو ل و فنزا (هياختيل
(apakah mereka tidak menghayati)
yakni mendengar (al-Qur’an)
sehingga mereka mengetahui
(Sekiranya al-Qur'an bukan dari
Allah, pastilah mereka menemukan
banyak hal yang bertentangan di
dalamnya).
قرآن)أفليتدبرونالقران(يقولانليسمعونال (apakah mereka tidak menghayati
al-Qur’an) yakni tidak mendengar
al-Qur’an.
)أفلميدبرواالقول(يعنأفلميستمعواالقرآن(tidakkah mereka menghayati
ungkapan) yakni apak mereka tidak
mendengar al-Qur’an.
ليتدكر(بنزا)ليدبرواءايته(يعنليسمعواآيتالقرآن)والعقلفيهمنالواعظ)أولواللبب(يعنأهلاللب
(agar mereka menghayati tanda-
tanda-Nya) yakni untuk mendengar
ayat-ayat al-Qur’an (agar
mengambil pelajaran) dari nasihat-
nasihat (orang-orang yang berkal)
yakni ahli hati dan akal.
Abu Ja’far bin Jarir at-Thabari (839-923 M)
ليتدبرونقنزالأبوجعفر:يعنبقولهجلثننزاؤه:)أفللميممد،تقوالقرآن(أفليتدبرالبي يتونغريالذي
كوات يبنزاعكتنزابللا،فيعلمواحجةللاعليهمفطنزاعته،أمرك،وأنالذىأتيتهمبهمنالتنزيلمنعندربضهبعضنزالت يسنزاقمعنزانيه،وائتلفأحكنزامه،وأتييدبع،فإنذلكلوبلتصديق،وشهنزادةبعضهلبعضبلتحقيق
تنزاقضكنزانمنعندغريللالختلفتأحكنزامه،وتن معنزانيه،وأبنبعضهعنفسنزادبعض.
يعظهمبنزافأفليتدب رهؤلءالننزافقونمواعظ للاالتالقرآنالذيأنزلهعلىنبيهعليهالصل ةوالسلم،آيي
تنزيله،فيعلمواويتفكرونفحججهالتبي نهنزالمفمنزاهمعليهمقيمون؟ بنزاخطأ
د،عننزايزيد،قنزال:ثننزاسعيحدثننزابشر،قنزال:ثنبأفقنزالنزا(قتنزادةقوله:)أفليدبرونالقرآنأمعلىقلواجراعنمعصية للا،لو.إذنوللادونفالقرآن
شنزابهفهلكواتدب رهالقومفعقلوه،ولكنهمأخذوابلت
تنزيل للاقولتعنزالذكره:أفلمي تدب رهؤلءالشركون وكلمه،فيعلموامنزا
تجبنزاعليهمفيه؟حبججللاالتاحفيهمنالعب،وي عرتيفوا Firman Allah menyebutkan : Apakah
orang-orang musyrik itu tidak
menghayati apa yang Allah turunkan
dan firman-Nya sehingga mereka
mengetahui penjelasanya dan
mengerti hujah Allah kepada
mereka?
منشرائعه،فيهنزا،ومنزاشرعفيهيدبرواحج ج للايالت فيتعظواويعملوابه.
قراءة:)واختلفتالقرأةفقراءةذلك؛فقرأتهعنزامةالهذاال بروا(بلينزاء،يعنی:ليت دب ر قرآنمنأرسلننزاكليي د
)إليهمنقومكيممد.وقرأهأبوجعفروعنزاصم:برواآيته(بلتنزاء،بعن: رهأنتيممدلت ت دبليت د
وأتبنزاعك.Mengahayati hujah Allah dan apa
yang disyariatkan oleh Allah
140
نزال:أخبنحدثنیييیبنأبطنزالب،قنزال:ثننزايزيد،ق،عنالضحنزاكقوله:)أفليتدبرونال قرآن(قنزالجو يبي
:يتدبرونالنظرفيه.Abu Jafar ra. Berkata:
Makna dari firman Allah أفال (
ialah apakah para يتدبرون القرآن (
mubayytun tidak merenungi apa
yang engkau ucapkan wahai
Muhammad, yakni kitab Allah.
Maka mereka akan mengerti
Otoritas Allah atas mereka dalam
taat kepadamu dan mengikuti
perintah mu. Sesungguhnya perihal
yang telah ku turunkan kepada
mereka itu dari Tuhan mereka
dengan kesempurnaan makna,
keselarasan hukum, saling
menguatkan dengan kebenaran,
saling menguji satu kepada yang
lain. Maka sesungguhnya jika
semua itu bukan dari sisi Allah
maka hukum-hukum tersebut akan
rusak, makna-makna akan saling
bertentangan, dan akan saling
memaparkan kerusakan satu sama
lain.
عندذلك.Apakah orang-orang munafik itu
tidak menghayati nasihat-nasihat
Allah di dalam al-Qur’an yang
telah diturunkan kepada nabi
SAW., dan memikirkan hujah-
hujah dalam al-Qur’an yang telah
dijelaskan pada mereka saat al-
Qur’an diturunkan, sehingga
mereka mengetahui kesalahan
mereka itu kekal.Basyar telah
menceritakan pada kami, ia
berkata : telah bercerita Yazid, ia
berkata : telah bercerita Sa’īd, dari
pendapat Qatādah : (tidakkah
mereka menghayati al-Qur'an
ataukah hati mereka sudah
terkunci?) demi Allah, di dalam
al-Qur’an mereka akan
mendapatkan ancaman berbuat
maksiat kepada Allah, jika saja
mereka memperhatikan dan
memahaminya, tetapi sayangnya
mereka justru mengambil yang
samar, sehingga mereka malah
binasa.
sehingga mereka mendapat nasehat
dan mengetahuinya.
Terdapat perbedaan qiraah : pada
umumnya dibaca ) ليدبروا ( dengan
Ya’, yakni maknanya seseorang dari
qaum yang engkau (Muhammad)
diutus pada mereka supaya
menghayati al-Qur’an. Sedangkan
Abu Ja’far dan āṣim membaca :
dengan Ta’, yakni ) لتدبروا آياته(
maknanya eangkau (Muhammad)
agar mengahayati al-Qur’an dan
mereka mengikutimu.
141
Telah menceritakan padaku Yahya
bin Abī ṭhālib, dia berkata: Yazid
bercerita padaku, dia berkata :
Juwaibir mengabarkanku dari
ḍaḥāka, ia mengatakan : ن ) أفال يتدبرو
yakni Tadabbur adalah القرآن (
memperhatikan dibaliknya.
Naṣir bin Muḥammad bin Aḥmad al-Samarqandī (w. 1003 M)
مواعظالقرآن،أفليتدبرونالقرآنيعنأفليتفكرونفالقرآن،ليعبوابنزا،ويقنزال:أفليتفكرونفمعنزان
فيعلمونأنهمنعندللاتعنزالApakah mereka tidak menghayati
al-Qur'an yakni apakah mereka
tidak memikirkan nasehat-nasehat
al-Qur’an agar mereka mendapat
pelajaran. Ada pendapat : apakah
mereka tidak memikirkan makna-
makna al-Quran sehingga mereka
mengetahui bahwa al-Quran
memang dari Allah.
لقرآننا)أفليتدبرونالقران(يعنأفليسمعوتعنزالفيهمنويعتبونفيه،ويتفكرونفيمنزاانزلللا
منللاوعدووعيد،وكثرةعجنزائبه،حتيعلمواأنه تعنزال.
(Apakah mereka tidak menghayati
al-Qur'an) yakni apakah mereka
tidak mendengar al-Qur’an dan
mengambil pelajaran darinya, dan
memikirkan janji dan ancaman
yang Allah turunkan dan juga
banyaknya keajaiban-keajaiban
al-Qur’an sehingga mereka
mengetahui bahwa al-Quran
memang dari Allah.
ءفالدال)أفلميدبرواالقول(وأصلهيتدبروافأدغمالتنزا يعنأفلميتفكروافالقرآن
(tidakkah mereka menghayati
ungkapan) asalnya adalah lafad يتدبروا
lalu Ta’ diidghomkan pada Dal yakni
bermakna apakah mereka tidak
memikirkan al-Qur’an
،قرأعنزاصمف)وليدبرواآيته(أيلكييتفكروافآيتهتفيفإحدىالروايت )لتدبروا(بلتنزاءمعالنصبو
تنزائ تتدبروا،فحذفتإحدىالالدال،وهوبعنی:لبلينزاءوتركتالخرىخفيفة،وقراءةالعنزامة)ليدبروا(نزاءفوتشديدالدال،وهوبعنیليتدبروا،أدغمتالت
الدالوشددت.(agar mereka menghayati tanda-
tanda-Nya) yakni supaya mereka
memikirkan ayat-ayat-Nya. Salah
satu riwayat Āṣim membaca
. لتتدبروا bermakna ) لتدبروا (
umumnya dibaca )ليدبروا( bermakna
. ليتدبروا
Muhammad bin Umar az-Zamakhsyari (1075-1144 M)
يهفتدبرالمر:أتملهوالنظرفإدبرهومنزايؤولإلمعنتدبرعنزاقبتهومنتهنزاه،استعملفكلأتمل؛ف
يهمنالواعظ)أفليتدبرونالقرآن(ويتصفحونهومنزاف والزواجرووعيدالعصنزاة،
اأنهالقه؛ليعلمو)القول(:القرآن،يقول:أفلميتدبروليتالب فيصدقوابهوبنجنزاءبه،بل)جنزاءهممنزا
تدبريتدبرواعلىالصل،ولتدبرواعلىاخلطنزاب.ومعرفةمنزالتفكرفيهنزا،والتأملالذييؤديإلاليت:ا
142
معنزانيهتبصرمنزافيه،القرآن:أتمل meneliti dan : تدبر األمر
mempertimbangkan pada aspek di
baliknya dan pada sesuatu yang
menjelaskan konsekuensi dan
kesudahannya, kemudian lafad
Tadabbur digunakan dalam setiap
penelitian. maknai dari Tadabbur
al-Quran adalah meneliti makna-
maknanya dan melihat sesuatu
(yang terkandung) di dalamnya.
لیقلوبحتلسرواعلىالعنزاصي،قنزال:)أمعسجيلعليهمبنللتأفقنزالنزا(وأمبعنبلومهزةالتقرير،
نزادة:إذاقلوبممقفلةليتوصلإليهنزاذكر.وعنقتاجراعنمعصيةللال وتدبروه،وللادوافالقرآن
ولكنهمأخذوابلتشنزابهفهلكوا.(Apakah mereka tidak menghayati
al-Qur'an) menelaah nasehat-
nasehat, peringatan-peringatan
dan ancaman maksiat sehingga
mereka tidak berani lagi
bermaksiat., kemudian firman
(ataukah hati mereka sudah
terkunci?) lafad أم bermakna بل
dan hamzah taqrir sebagai catatan
bahwa hati mereka tertutup, dzikir
tidak bisa menjangkau hati
mereka. Dari Qatādah : demi
Allah, di dalam al-Qur’an mereka
akan mendapatkan ancaman
berbuat maksiat kepada Allah,
jika saja mereka memperhatikan
dan memahaminya, tetapi
sayangnya mereka justru
mengambil yang samar, sehingga
mereka malah binasa.
ابءهم(؛فلذلكأنكروهواستبدعوه : adalah al-Qur’an, dikatakan ) القول (
tidakkah mereka menghayati al-
Qur'an supaya mereka mengetahui
sesungguhnya al-Qur’an adalah
kebenaran yang jelas lalu mereka
membenarkan al-Qur’an dan Nabi
SAW., tetapi (telah datang kepada
mereka apa yang tidak pernah datang
kepada nenek moyang mereka)
sehingga mereka ingkar dan
mengenyampingkan al-Qu’an.
سنة؛يدبرظنزاهرهنزامنالتأويلتالصحيحةوالعنزانالريطنزائل،لنمناقتنعبظنزاهرالتلو،ليلمنهبكث
كمثلمنلهلقحةدرورليلبهنزا،و مهرةنثوروكنزانمثله ليستولدهنزا.
lafad يتدبروا adalah asalnya,
sedangkan lafad ولتدبروا untuk lawan
bicara. وتدبر اآليات adalah
mencurahkan pemikiran padanya
dan meneliti sesuatu yang dapat
mengantarkan kepada pengetahuan
tentang takwil yang benar dan
makna-makna yang baik dari
dzahirnya ayat, sebab sesorang
yang puas dengan dzahirnya ayat
maka tidak bisa membuka manfaat
yang banyak, perumpamaanya
ibarat orang yang punya sapi perah
tapi ia tidak memerah susunya ,dan
ibarat gadis yang sudah dimahari
(nikahi) tapi tidak untuk
mendapatkan keturunan.
143
Abd al-Ḥaq bin Gālib Ibn Aṭiyah al-Andalusī (1088-1147 M)
نبغريبرهنزانالعنهؤلءالننزافقونالطنزاعنونعليكالرافعوظرونفصدرنبوتك،أليرجعونإلالنصفة.وينظهرلمبراهينهموضعالجةويتدبرونکلمللاتعنزال؟فت
ور،وتلوحأدلته،والتدبر:النظرفأعقنزابالم وأتويلتالشينزاء
Mereka orang-orang munafik yang
renta, kepadamu mereka
meninggikan tanpa membawa bukti
kenabianmu. ingatlah mereka
kembali pada nisfah. apakah
mereka melihat posisi hujah,
apakah mereka menghayati kalam
Allah?
mempertimbangkan : التدبر
konsekuensi sesuatu dan
kesudahan-kesudahan sesuatu.
تدبرالقرآن:)أفليتدبرونالقرآن(توقيفوتوبيخ،وعيمبلتبي والدی.
(Apakah mereka tidak menghayati
al-Qur'an) yakni anjuran dan
teguran,
menjamin dengan : تدبر القرآن
penjelas dan petunjuk.
،والضمريبشدالدالوالبنزاء«د بر والي»وقرأمجهورالننزاس: لنزاطبة.علىا«لتدبروا»للعنزال.وقرأحفصعنعنزاصم:
ال،اصلهبتفيفالد«لتدبروا»وقرأأبوبگرعنه:سبنزابتتدبروا،وظنزاهرهذهاليةيعطيأنالتدبرمنأدبرلإنزالالقرآن،فنزالرتتيلإذاأفضلمنالذ،إذالت
يل،وبقياليةب .يكونإلمعالرتت Jumhur membaca «وا «ليدبر dengan
ditasydid dal dan ba’. Hafs dari
Āṣim membaca «لتدبروا» untuk
mengkhitobi. Abu Bakar membaca
«لتدبروا» dengan meringankan dal,
asalnya تتدبروا
Muḥammad ibn Umar Fakhr al-Dīn al-Rāzī (1149-1210 M)
رهموكيدهماعلمأنهتعنزاللنزاحکیعنالننزافق أنواعمکكنزانوايعتقدونكونهم قنزا،وكنزانكلذلكلجلأنممنزا
ونأنهمفرتفادعنزاءالرسنزالةصنزادقنزافيه،بلكنزانوايعتقدويتفكروامترص،فلجرمأمرهمللاتعنزالبنينظروا
)أفلأنليتأملوافدايللثبوتهوهوالرادمنقوله كنزانيتدبرونالقرآن(فب أنالقولالذيهوالقرآن
بنزايننزامعروفنزالموقدمكنوامنالتأملفيهمنحيثكنزانمطوللكلمالعربفالفصنزاحة،ومبأعنالتننزاقضف
144
فالدلئلالدالةعلىصحةنبوته.موروادبرهنزاالتدبرعبنزارةعنالنظرفعواقبالالتدبريو
رهنزا،،ومنهقوله:إلمتدبرواأعجنزاأمورقدولتصدومنزاويقنزالففصيحالكلم:لواستقبلتمنأمريمناستدبرت،أيلوعرفتفصدرأمريمنزاعرفت
عنزاقبته.Ketauhilah sesungguhnya ketika
menceritakan tentang macam-
macam tipu daya dan kelicikan
orang munafik, itu semua karena
mereka tidak meyakini bahwa al-
Qur’an adalah risalah yang benar,
tetapi mereka meyakini bahwa al-
Qur’an itu mengada-ada dan
bohong, maka tidak diragukan
perintah Allah pada mereka untuk
mempertimbangkan dan
memikirkan petunjuk tentang
kebenaran ats kenabian
Muhammad.
istilah untuk : التدبير والتدبر
mempertimbangkan konsekuensi
dan akhir sesuatu. Sebagaimana
ungkapan : sampai dimana mereka
menghayati batang sesuatu telah
عصنزانعمره،ومنحيثينبهعلىمنزايلزمهممنمعرفةالاالبنزاطلوبرجعواومعرفةالوحدانيةفلمليتدبرونفيهليرتكو
إلالق.Enggan meneliti dalil-dalil
ketetapannya adalah maksud dari
redaksi ) أفال يتدبرون القرآن (
menjelaskan bahwa al-Qur’an telah
diketahui oleh mereka. Namun
mereka mencukupkan dari
pengetahuan yang mereka ketahui
dari kalam arab, dan membebaskan
diri dari pertentangan yang
menghabiskan umur, dan dari
pentingnya memantapkan diri untuk
mengetahui sang pencipta dan
keesaanya.
145
berakhir kemunculanya, dan
ungkapan yang fasih : jika aku
berhadapan dengan urusan yang
dibelakangku, artinya jika aku
mengetahui sesuatu aku mengetahui
pula akibat-akibatnya.
Abdullah bin Umar al-Baiḍāwī (w. 1286 M)
تبصرونمنزا(يتأملونفمعنزانيهوي)افليدبرونالقرآن فيه،وأصلالتدبرالنظرفأدبرالشيء.
(apakah mereka tidak menghayati
al-Qur’an) meneliti makna-
maknanya dan melihat apa yang
ada di dalamnya, asal التدبر adalah
mempertimbangkan kesudahan
sesuatu.
همنالواعظتصفحونهومنزافي)أفليتدبرونالقرآن(ي والزواجرحتلسرواعلىالعنزاصي.
(apakah mereka tidak menghayati
al-Qur’an) menelaah al-Qur’an
dan nasihat-nasihat serta
peringatan-peringatan di
dalamnya sehingga mereka tidak
berani pada mkasiat.
نربمرآنليعلمواأنهالقم)أفلميدبرواالقول(أيالق إبعجنزالفظهووضوحمدلوله.
(tidakkah mereka menghayati
ungkapan) yakni al-Qur’an agar
mereka mengetahui bahwa al-Qur’an
itu kebenaran dari tuhan mereka
dengan kemu’jizatan lafadnya dan
kejelasan maknanya.
نزايدبرظنزاهرهنزامنروافيهنزافيعرفوام)ليدبرواآيته(ليتفكىءالتأويلتالصحيحةوالعنزانالستنبطة.وقر
منزاءأيأنتوعل«لتدبروا»علىالصلو«ليتدبروا» أمتك.
(agar mereka menghayati tanda-
tanda-Nya) agar mereka
memikirkan sesuatu di balik dzahir
ayat yakni dari ta’wil yang benar
dan makna yang mustanbit.
Asalnya dibaca «ليتدبروا» , dibaca
«لتدبروا» yakni objek perintahnya
adalah Nabi dan Ulama’
Abi Hayyan al-Andalusi (1256-1344 M)
ليهفالتدبر:أتملالمروالنظرفإدبرهومنزايؤولإالكثري،نزالعنزاقبته،استعملفكلأتمل،والدبرال سيبذلكلنهيبقىللعقنزابوللدبر
meneliti sesuatu dan : التدبر
الواعظ)أفليتدبرون(أييتصفحونهومنزافيهمنوتوقيفيوالزواجر،وعيدالعصنزاةوهواستفهنزامتوبيي
علىمنزاربم(apakah mereka tidak
ق،و)ذكرتعنزالتوبيهمعلىإعراضهمعناتبنزاعالروافيهنزاالقول(القرآنالذيأتیبهممدأي:أفلميتفكنمعنزارضتهجنزاءبهعنللا،فيعلمواأنهالعجزالذيليكتدبرهوأنمفيصدقوابهوبنجنزاءبه،وبهمووقفهمعلى
:ليتدبروا.)ليدبرواآيته(بينزاءالغيبةوشدالدالوأصلهحذفتوقرأعلى هذاالصل.والصللتتدروابتنزاءينف
؟أمإحدامهنزاعلىاخللفالذيفيهنزااهيتءالضنزارعةكيالتنزاءالتتليهنزا؟.واللمف)ليدبروا .وأسند(لم
146
mempertimbangkan kesudahanya
dan apa yang menjadi
konsekuensinya. Kemudian istilah
ini digunakan untuk setuap
penelitian. الدبر adalah harta yang
banyak, dinamakan demikian sebab
ia bertahan sampai ujung dan akhir.
menghayati) yakni menelaah al-
Qur’an dan nasihat-nasihat serta
peringatan-peringatan di
dalamnya dan juga ancaman
kemaksiatan.
نزابرتمونظرهمالفنزاسد.مك Allah menegur berpalingnya mereka
dari mengikuti kebenaran, ) القول (
yakni al-Qur’an : tidakkah mereka
memikirkan ayat-ayat yang datang
dari Allah, sehingga mereka
mengetahui bahwa al-Qur’an adalah
mu’jizat yang tidak mungkin ada
yang melawanya lalu mereka
membenarkan al-Qur’an dan Nabi
SAW.
التأملالذيالتدبرفالميع،وهوالتفكرفاليت،ووأسنديقضيبصنزاحبهإلالنظرفعواقبالشينزاء.هديهإلالتذكرإلأولالعقول،لنذاالعقلفيهمنزاييتذكرواالقوهوعقله،فليتنزاجإلإلمنزايذكرهف
الصوصبلدحمذوف.اته () ليدبروا آي asalnya adalah ليتدبروا
Penyandaran التدبر adalah
memikirkan ayat-ayat, meneliti
yang mengharuskan seseorang
mempertimbangkan konsekuensi
sesuatu. Penyandaran التذكر adalah
kepada orang yang berakal sebab
akal menunjukan pada kebenaran
Ibn Katsir (1301-1372 M)
147
معنيقولتعنزالیآمراعبنزادهبتدبرالقرآن،ونهينزالهالبليغة،العراضعنه،وعنتفهممعنزانيهاحملكمةوألفنزاظتضنزادولومبالمأنهلاختلففيهولاضطراب،ول
تعنزارض.Allah berfirman, memerintahkan
pada mereka untuk merenungi al-
Qur’an, serta melarang mereka
berpaling darinya, dan dari
memahami makna-makna yang
muhkam (jelas) serta lafad-lafadnya
yang mencapai makna yang
dimaksud. Dan Allah mengabarkan
pula kepada mereka bahwa di
dalam al-Qur’an itu tidak ada hal
yang bertentangan, kerancuan dan
kontradiksi.
همللقرآنيقولتعنزالمنكراعلىالشرك فعدمتفهم العظيم،وتدبرهملهوإعراضهمعنه.
فالقرآنقنزالقتنزاده:)أفلميدبرواالقول(إذاوللادونكنهمأخذوااجراعنمعصيةللالوتدبرهالقوموعقلوه،ول
بنزاتشنزابه،فهلكواعندذلك.Allah berfirman seraya mengingkari
orang-orang musyrik karena
ketidakfahaman mereka terhadap al-
Qur’an yang agung, serta tidak
memperhatikanya. Qatadah
mengatakan ) أفلم يدبروا القول ( demi
Allah, di dalam al-Qur’an mereka
akan mendapatkan ancaman berbuat
maksiat kepada Allah, jika saja
mereka memperhatikan dan
memahaminya, tetapi sayangnya
mereka justru mengambil yang
samar, sehingga mereka malah
binasa.
148
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī (1445-1505 M)
نأخرجابنجرير،وابنالنذر،وابنأبحنزامت،عرونالنظرالقرآن(.قنزال:يتدبالضحنزاك:)أفليتدبرون
فيهDikeluarkan oleh ibn Jarīr dan Ibn
munżir dan ibn Abī ḥātim, dari
ḍaḥāka :
yakni ) أفال يتدبرون القرآن(
mempertimbangkannya
أفلوأخرجعبدبنحيد،وابنجرير،عنقتنزادة:)اج نرعيدبرونالقرآن(.قنزال:إذنوللافالقرآن
معصيةللا.وابتشنزابهقنزال:ليتدبرهالقومويعقلوه،ولكنهمأخذ
فهلكواعندذلكDikeluarkan oleh ‘Abid ibn
Hamid dan ibn Jarīr, dari Qatādah
ia mengatakan : ) أفلم يدبروا القول (
demi Allah, di dalam al-Qur’an
mereka akan mendapatkan
ancaman berbuat maksiat kepada
Allah, jika saja mereka
memperhatikan dan
memahaminya, tetapi sayangnya
mereka justru mengambil yang
samar, sehingga mereka malah
binasa.
رواالقول(.أخرجابنأبحنزامتعنقتنزادةفقوله)أفلميدباجراعنمع يةللاصقنزال:إذنوللاكنزانوادونفالقرآن
،لوتذبرهالقوموعقلوه.Dikeluarkan oleh ibn abī ḥātim, dari
Qatadah, ia mengatakan
demi Allah, di dalam ) أفلم يدبروا القول (
al-Qur’an mereka akan mendapatkan
ancaman berbuat maksiat kepada
Allah, jika saja mereka
memperhatikan dan memahaminya
Abd al-raḥman bin Muḥammad al- Ṡaālabī (1384-1471 M)
شينزاء،والتدبرهوالنظرفأعقنزابالموروأتويلتالكلهيقتضيهقولهسبحنزانه:)أفليتدب رونالقرآن(،هذا
قعالجة،وهذاأمربلنظروالستدلل،عرفتعنزالیبوكنزانمنكلمالبشر،لدخلهمنزافالبشرم نأي:لو
.الية(وقولهعزمنقنزائل:)أفليتدبرونالقرآن..عيمبلت ب والدى:توقيفوتوبيخ،وتدبرالقرآن
لتأم له.لقرآن(قنزالالروي:قولهتعنزال:)أفليتدبرونا
149
عه؛يكنمجالقضور،وظهرفيهالتننزاقضوالتننزافالذيلإذهوإذذلكموجودفكلمالبشر،والقرآنمنزهعنه؛
كلماحمليطبكلشيءسبحنزانه. adalah memperhatikan التدبر
konsekuensi sesuatu dan
penjelasan/kesudahan sesuatu.
Definisi ini tercakup dalam firman
Allah )أفال يتدبرون القرآن(, ini
merupakn perintah memperhatikan
dan mengambil petunjuk kemudian
memahami Allah dengan hujah
yang tepat, yakni jika ini berasal
dari ucapan manusia maka di
dalamnya akan ditemukan
kontradiksi dan pertentangan yang
tidak mungkin dikumpulkan. Akan
tetapi al-Qur’an merupakan kalam
dari yang Maha Luas dan Maha
Suci.
دبرتالمر:معننزاه:أفليتفكرونفيعتبون؛يقنزال:تتفأدبرهوعواقبهإذانظر
Firman Allah : )أفال يتدبرون القرآن(
yakni anjuran dan teguran,
adalah pemegang bukti تدبر القرآن
dan petunjuk bagi yang meneliti.
al-Harawī mengatakan makna
firman Allah )أفال يتدبرون القرآن(
yakni apakah mereka tidak
memikirkan lalu mengambil
pelajaran. Dikatakan تدبرت األمر
yakni ketika aku memperhatikan
kesudahan dan konsekuensi
sesuatu.
Burhanuddin al-Baqo’i (w. 1480 M)
-لشيء)أفليتدبرون(أييتأملون،يقنزال:تدبرتاعنزاقبتهوآخرأمرهإذاتفكرتف
,yakni mereka meneliti )أفال يتدبرون(
dikatakan : تدبرت الشي ketika aku
memikirkan konsekuensi dan akhir
قلوب)أفليتدبرون(أىكلمنلهأهليةالتدبر/ببنمنفتحةمنشرحةليهتدواإلخري،)القران(
النزامعلكلالكتنزابهدونأنفسهمفأنيتفكروافأدبرخريالفنزارقب كلملبستفكرمنينظرف
افأدبرهو)أفلميدبرواالقول(أيالتلوعليهمبنينظروإلهإلدغنزام،عواقبهولوليبلغوافنظرهمالغنزايةبنزاأشنزار
ليعلمواأنهموجبالقبنزالوالوصنزال،ةإلأنوالوصفبحسنالقنزال،ولعلهعببلقولإشنزار
علةالنزالنزال،لعلمهبالتدبربجلیالفكر،منح العواقبحبيثأنهمنشدةإتعنزابه)ايته(أيلينظروافلبنزاطنةالتكلآيةومنزاتؤدىإليهوتوصلإليهمنالعنزانا
أشعربنزاطولالتأملفالظنزاهر.
150
sesuatu. علىالمورومنزاذايلزممنعواقبهنزاليعلواانهلعونفالصلحفالرضوصلةالرحنزاموالخلصلل
كلطنزاعةوالباءةمنكلمعصية لزوم yakni setiap orang )أفال يتدبرون(
yang ahli menghayati / dengan
hati yang terbuka dan lapang agar
mereka mendapatkan kebaikan, (
dengan mereka berupaya القران (
untuk memikirkan pada al-kitab
yang mencakup segala kebaikan
dan yang menjadi pemisah antara
tiap orang yang putus asa
memikirkan seseorang yang
memperhatikan kesudahan
sesuatu dan konseskuensinya
supaya mereka mengetahui
sesungguhnya tidak ada
pertolongan pada perbaikan di
bumi, menyambung persudaraan,
ikhlas pada Allah di setiap taat
dan bebas dari setiap maksiat.
هوفلمنليتقبلهليسبهلالفهمشيءمنالقولب عدادالبهنزائم.
yakni ditujukan pada )أفلم يدبروا القول(
mereka agar mereka memperhatikan
kesudahan dan konsekuensi sesuatu
meskipun perhatian mereka tidak
sampai maksimal, supaya mereka
mengetahui sesungguhnya ucapan itu
sesuai dengan kedatangan dan
kepergian, dan sebagai gambaran
dari indahnya ungkapan, maka boleh
jadi redaksi القول itu adalah isyarat
bagi sesesorang yang tidak mau
menerimanya, ia bukan termasuk
orang yang faham justru ia adalah
bagian hewan ternak.
dengan sebab pemikiran ketika التدبر
penurunan, untuk mengetahui
alasan penurunan dengan sekiranya
dari kesungguhan mengikuti. ) ايته (
yakni supaya memperhatikan
konsekuensi setiap ayat dan apa
yang mendatangkan dan
menyampaikan pada makna-makna
batin yang bisa dirasakan dengan
penelitian yang mendalam pada
dzahir ayat.
Muḥammad bin Alī al-Syaukānī (1834 M)
تالشيء:يعرضونعنالقرآن،فليتدبرونهيقنزالتدبرلتمل،تفكرتفعنزاقبته،وأتمل،استعملفك
كنزانهينظرإلم نزاتصريإليهوالتدبري:انيدبرالنسنزانأمره
ملعليهمنالعن:أفليتفهمونه،فيعلمونبنزااشتيمنلهفهمالواعظالزاجرة،والباه القنزاطعةالتتكف،والعملوعقل،وتزجرهعنالكفربهلل،والشراكبه
الدال،وهو)ليتبوا(أصلهليتدبروا،فأدغمتالتنزاءف بحنزانهإمننزازلننزاه.وفاليةدليلعلىأنللاسمتعلقبن
ردالتلوةأنزلالقرآنللتدبر،والتفكرفمعنزانيه،لجمل
151
عنزاقبتهMereka berpaling dari al-Qur’an,
lalu mereka enggan menghayatinya.
Dikatakan تدبرت الشيء : yakni aku
memikirkan konsekuensi sesuatu,
kemudian istilah تدبر digunakan
untuk تامل (meneliti).
manusia menghayati sesuatu : التدبير
sampai mempertimbangkan pada
konsekuensinya.
بعنزاصيه.Maknanya adalah apakah mereka
tidak memahami al-Qur’an, lalu
mereka mengerti tentang apa yang
tercakup disana seperti ucapan2
tercela, dan argumen2 cacat, yang
cukup bagi pribadi waras dan
yang dapat memperingatkan
tentang kufur kepada Allah,
menyekutukan Nya, dan amal
perbuatan maksiat
بدونتدبر ’Ta ,ليتدبروا asalnya adalah )ليتبروا(
diidghomkan pada Dal, ini
berhubungan dengan penurunan al-
Qur’an. Ayat ini sebagai dalil
bahwa Allah menurunkan al-Qur’an
agar dihayati dan difikirkan
maknanya, tidak semata dibaca saja
tanpa dihayati.
Aḥmad bin Musṭafā al-Marāgī (1883-1952 M)
أدبر)أفليتدبرونالقرآن(أصلالتدبريالتأملفك نزاننظراالموروعواقبهنزا،استعملفكلأتملسواء
ه،أوالشيءوأجزائه،أوسوابقهوأسبنزابفحقيقةكرفلواحقهوأعقنزابه،وتدبرالكلمهوالنظروالتفعملبهوغنزايتهومقنزاصدهالتيرميإليهنزا،وعنزاقبةمني
منينزالفه. asalnya adalah ) أفال يتدبرون القرآن (
yakni meneliti dibalik sesuatu التدبير
dan akibat-akibatnya, kemudian
istilah ini dipakain untuk setiap
penelitian begitu juga
memperhatikan hakikat sesuatu dan
واعظتدبرونالقرآن:أييتصفحونمنزافيهمنال.والزواجرحتيقلعواعنالوقوعفالوبقنزات
توعظبنزافقونمواعظللاالأيأفليتدبرهؤلءالننزاهبينهنزافتنزيلفآیكتنزابه،ويتفكرونفحججهالت
لللافيعلمواخطأمنزاهمعليهمقيمون،أمهمقدأقفمنالعبعلىقلوبمفليعقلونمنزاأنزلفكتنزابه
والواعظ؟ yakni menelaah apa : تدبرون القرآن
yang ada di dalam al-Qur’an dari
nasihat-nasihat dan peringatan-
peringatan sehingga mereka
berpindah dari tempat kebinasaan.
يعلموامنزاخصدبرواالقرآنف)أفلميدبرواالقول(أيإنمليتلوقتبهمنفصنزاحةوبلغة،وقدكنزانلديهمفسحةمنا
موأنهمبأمنمتكنهممنالتدبرفيهومعرفةأنهالقمنربمنزافيهمنإل-التننزاقضوسنزائرالعيوبالتتعرتيالكلم
لحججدامغة،وبراه سنزاطعة،إلمنزافيهمنفضنزائمق،إلمنزافيهمنتشريعإنهالداب،وسنزاميالخل
كنزانواسنزادةالبشر،واتبعهمالسودوالح كنزاناتبعوه كمنزا ر، لناتبعهمنالسنزابق الول منالؤمن
yakni sesungguhnya )أفلم يدبروا القول(
mereka enggan menghayati al-
Qur’an sehingga mereka mengetahui
fashaha dan balaghah yang khusus
152
bagian-bagiannya atau
pendahulunya dan sebab-sebabnya
atau kelanjutannya dan
konsekuensinya.
متدبر الكال yakni memperhatikan dan
memikirkan tujuan dan arah
maksudnya, serta konsekuensi antar
orang yang melakukanya dan orang
yang meninggalkanya.
Maksudnya apakah orang
munafik itu tidak menghayati
nasihat-nasihat yang telah Allah
sampaikan dalam kitabNya, dan
apa mereka tidak memikirkan
hujah-hujah yang jelas dari
turunya al-Qur’an sehingga
mereka mengetahui kesalahan
mereka, ataukah Allah telah
benar-benar mengunci hati
mereka sehingga mereka tidak
mengerti pelajaran dan nasihat-
nasihat yang terkandung di dalam
kitab Allah?
dari al-Qur’an, padahal bagi mereka
terdapat cukup waktu yang
memungkinkan mereka untuk
menghayati al-Qur’an dan
mengetahui bahwa al-Qur’an itu
kebenaran dari tuhan mereka dan
sungguh al-Qur’an itu terbebas dari
kontradiksi dan segala cacat redaksi,
Muhammad Al-Tahir Ibn 'Ashur (1879-1973 M)
الدبروالتدبرمشتقمنالدبر،أيالظهر،اشتقوامنفغنزائبهفعل،فقنزالوا:تدب رإذانظرفدبرالمر،أيمنالسنزاءأوفعنزاقبته،فهومنالفعنزالالتاشتقتسه،يقنزال:بنفالنزامنزاة.والتدبريتعدىإلالتأم لفيه
تدب رالمر.أحدمهنزاأنفمعنيتدبرونالقرآن،وذلكيتملمعني أرشدإليهنزايتأملوادللةتفنزاصيلآيتهعلىالقنزاثدالتتأملوادللةالسلم ،أيتدبرتفنزاصيله؛وثنيهمنزاأني
لذيجنزاءمجلةالقرآنبلغتهعلىأنهمنعندللا،وأنا
لىمنزاوالتدبر:إعمنزالالنظرالعقليفدللتالدلئلع يفيمنزالنصبتله.وأصلهأنهمنالنظرفدبرالمر،أسورةيظهرمنهللمتأملبدىءذيبدء.وقدتقدمف
النسنزاء.قبدللةعن:أنملوتدبرواقولالقرآنلعلمواأنهالوال
كنزاناستمرارعننزادهمإل هوبصحةأغراضه،فمنزا لنمإعجنزاالكفر.ليدبرواالقول.وهذاأحدالعللالتغمرتبمف
pendayagunaan akal untuk : التدبر
memperhatikan petunjuk atas bukti
قربيتدبروا،فقلبتالتنزاءدالل«يدبروا»أصلجعفربومرجيهمنزاليتأتىالدغنزاملتفيفه.وقرأأ
نزا:لتتدبروابتنزاءاخلطنزابوتفيفالدالوأصله«لتدبروا»ومنمعهفحذفتإحدىالتنزاءيناختصنزاراواخلطنزابللنيب
منالسلم .كنزانيعلمهوهوصنزادق والتذكر:استحضنزارالذهنمنزابستحضنزارمنزاهومنسيوبستحضنزارمنزاالشأنأنل
نللننزاسآيغفلعنهوهومنزايهم العلمبه،فجعلالقرطنزاقةفإنمليتدبروامعنزانيهويكشفواعنغوامضهبقدرال
153
رهننزاينزاقهذهاليتيرجححلالتدببهصنزادق.وسقرآنعلىالعنالول،أيلوأتملواوتدبرواهديال
مالتهيلصللمخريعظيم،ولنزابقواعلىفتنتهني سببإضمنزارالكفرمعإظهنزارهمالسلم.وكلالع
نزاحكيصنزاحلحبنزالم،إلأنالعنالولأشدارتبنزاطنزاب.عنهممناحوالم
" musytaq dari lafadz التدبر الدبر ",
yaitu 'belakang'. Mereka menarik
dari kata dubur (belakang) secara
hakiki. Mereka mengatakan تدبر :
ketika memperhatikan di balik
suatu hal, yakni di balik ketidak
adaannya, atau akibat darinya. تدبر
termasuk fi'il yg musytaq (berasal)
dari isim jamid (isim yg tidak
terbentuk dari kata lain). التدبر
mutaadi (butuhkan pada objek)
kepada apa yg ditadabburi,
dikatakan " تدبر األمر ".
mengandung dua يتدبرون القرآن
makna, yang pertama mengandung
makna meneliti petunjuk ayat
secara rinci yang menuntun umat
muslim untuk mencapai maksud
tsb., dengan kata lain
yang sukar. Asal دبرالت adalah
memperhatikan dibalik sesuatu hal.
Penjelasanya telah dijelaskan pada
surat al-Nisā’ .
Maksud ayat : apabila mereka
menghayati al-Qur’an maka mereka
akan mengetahui bahwa al-Qur’an
merupakan suatu kebenaran, nampak
dari petunjuk kemukjizatanya dan
keindahanya, namun mereka terus
keras kepala sebab mereka enggan
menghayati al-Qur’an. Hal demikian
merupakan salah satu penyakit yang
merusak mereka dalam kekufuran.
نزايةمنعلىتعنزاقبطبقنزاتالعلمنزاءبهليصلونإلنليتذكروامنزامكنونهولتذكرهماليةبنظريهنزاومنزايقنزاربنزا،و
هوموعظةلموموقظمنغفلتم ’huruf Ta, يتدبروا asalnya يدبروا
diganti Dal karena berdekatan
mahrajnya kemudian diiqgomkan
untuk meringankan. Abu Ja’far
membaca لتدبروا yang asalnya التتدبرو
, dibuang salah satu huruf Ta’nya
untuk meringkas dan mengkhitobi
pada Nabi SAW, dan orang muslim
yang bersama Nabi.
154
mentadabburinya secara rinci.
Yang kedua mentadabburi al-
Qur'an dari segi bahasanya bahwa
ia benar datang dari Allah dan yg
menbawanya adalah seorang yg
jujur. Dalam konteks ayat di atas
makna Tadabbur yg pertama lebih
unggul, yaitu jika merenungi dan
mentadabburi petunjuk al qur'an
maka mereka akan mendapat
kebaikan besar. Kedua makna
tersebut sesuai dengan kondisi
mereka, namun makna awal lebih
sesuai dengan konteks ayat tsb.
Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar bin Abdul Qadir al-Jakni asy-Syinqithi (1905-1973 M) نالعظيم،معلومأنكلمنليشتغلبتدبرآيتالقرآ
بنزا؛أيتصفحهنزاوتفهمهنزا،وإدراكمعنزانيهنزا،والعملنكنزارفإنهمعرضعنهنزا،غريمدبرلنزا،فيستحقال
نزاهفهمنزااليت،إنكنزانللاأعطوالتوبيخالذكورف يقدربهعلىالتدبر.
telah diketahui bahwa setiap
orang yang tidak disibukkan
dengan mentadabburi ayat al-
Qur’an yang mulia, yakni
نيتضمنحضهمعلىتدبرهذاالقولالذيهوالقرآق،وأنالعظيم؛لنمإنتدبروهتدبراصنزادقنزاعلمواأنهح
م.اتبنزاعهواجبوتصديقمنجنزاءبه ل Mengandung himbauan pada mereka
untuk mentadabburi ungkapan ini
yakni al-Qur’an yang mulia, sebab
sesungguhnya mereka bila
mendadabburi al-Qur’an dengan
benar maka mereka akan mengetahui
bahwa al-Qur’an adalah kebenaran,
155
melakukan penelaahan dan
memahaminya, lalu mengetahui
makna-maknanya serta
mengamalkanya, sesungguh ia
telah berpaling dari al-Qur’an
tanpa menghayatinya maka layak
ia melakukan pengingkaran
sebagaimana pada ayat ini.
wajib mengikutinya serta wajib
membenarkan yang membawanya
(Nabi)
Wahbah bin Musṭafā al-Zuḥaili (1932-2015 M)
نمنزافيهمن)أفليتدبرونالقران(يتأملونالقرآنوينظرونزانيهوالتبصرالعنزانالبديعة،فمعنتدبرالقرآن:أتملمع
بنزافيه.من»سببالنزول:رویمقنزاتلأنالنيبكنزانيقول:فقنزال«أحبنفقدأحبللا،ومنأطنزاعنفقدأطنزاعللاقدقنزارفالننزافقون:ألتسمعونإلمنزايقولهذاالرجل؟لذهرب الشرك،وقدنىأننعبدغريللا،ويريدأننت
ةكمنزااتذتالنصنزارىعيسي،فأنزلللاهذهالي -yakni meneliti al )أفال يتدبرون القران(
Qur’an dan memperhatikan makna-
makna jauh didalamnya. Arti تدبر
meneliti makna-makna dan : القرآن
memperhatikan kandunga al-
Qur’an
Sebab turun : diriwayatkan dari
ريوامنزافيهمنمونهويتصفحونهل(يتفهالقران)يتدبرونقعوافالواعظوالزواجر،حتليقتحمواالعنزاصيوي
الوبقنزات.(القران)يتدبرون yakni memahami
dan menelaahnya untuk melihat
apa yang terkandung didalamya
seperti nasihat-nasihat dan
peringatan-peringatan, sehingga
mereka tidak menerobos
kemaksiatan dan melestarikan
kebiasaan-kebiasaan (buruk).
االقرآن)أفلميدبرواالقول(أيأفليتفهمالشركونهذفصنزاحةالعظيم؟معأنمخصوابه،وهومعروفلمبينزانو
وبلغةومضمونسنزامينزا،ولينزلعلىرسولأكملولعليهميقنزابلوانعمةللاأشرفمنه،فكنزاناللئقبؤلءأن
تضنزاهنزا.بقبولنزا،والقينزامبشكرهنزاوتفهمهنزا،والعملبق yakni apakah orang )أفلم يدبروا القول(
musyrik enggan memahami al-
Qur’an yang mulia ini? Seraya
mereka perhatian padanya. al-Qur’an
dikenal oleh mereka pada
kejelasanya, kefasihanya,
balaghahnya dan kandunganya yang
mulia, dan tidak mengurangi
kesempurnaan dan kemuliyaan rasul,
maka patut bagi mereka menerima
nikmat Allah dan mensyukurinya
معنزاناليت.)ليتدبروا(ليتدبرواأيليتفكرواوينظرواف زلهللاإنطريقالسعنزادةالبديةهواتبنزاعالقرآنالذيأنلهتعنزالهدىورحةللمومن والنجنزاةلنتبعه،وقدأنز
لتلوةبدونتدبرللننزاسللتدبروالتفكرفمعنزانيه،لجملردا ،وليتعظأهلالعقولالراجحةبهوببينزانه.
yakni agar mereka )ليتدبروا(
memikirkan dan memperhatikan
makna-makna ayat.
Sesungguhnya jalan kebahagiaan
yang abadi ialah mengikuti al-
Qur’an yang diturunkan oleh Allah
sebagai ppetunjuk dan rahmat bagi
orang mukmin, dan keberuntungan
bagi yang mengikuti al-Qur’an.
Sesungguhnya Allah menurunkan
al-Qur’an pada manusia untuk
156
Muqātil sesungguhnya nabi
bersabda “barang siapa cinta
padaku maka sungguh ia juga cinta
pada Allah, dan barang siapa taat
padaku maka sungguh ia juga taat
pada Allah”, kemudian orang
munafik berkata “adakah yang
mendengarkan ucapan laki-laki ini?
Sungguh ia melarang kami
menyembah selain Allah, ia
menghendaki kami menjadikanya
sebagai tuhan sebagaimana kaum
nasrani menjadikan isa tuhan ”.
Maka kemudian turunlah ayat ini.
serta memahaminya lalu
mengamalkan yang seharusnya.
ditadabburi dan difikirkan makna-
maknanya, bukanya hanya dibaca
tanpa ditadabburi.