t1 [462008004] bab iv · gambar 4.1 denah lokasi rumah sakit paru dr. ario wirawan sumber: rumah...
TRANSCRIPT
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian
4.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan beralamat di jalan
Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan
SK menteri kesehatan RI, nomor 1208/Menkes/SK/IX/2002,
Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan (RSPAW) atau yang
lebih dikenal masyarakat sekitar dengan istilah Sanatorium
menjadi satu-satunya rumah sakit paru di Provinsi Jawa
Tengah. Kondisi geografis RSPAW yang berada
diketinggian kurang lebih 800 meter dari permukaan air laut
dan suhu udara berkisar antara 18-29o C, membuat RSPAW
menjadi rumah sakit yang sangat ideal bagi orang yang
terganggu kesehatan paru-parunya.
45
Gambar 4.1 Denah Lokasi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan
Sumber: www.rspaw.or.id
Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan merupakan Rumah
Sakit Vertikal di Salatiga yang berkembang dengan baik.
Selain memberikan pelayanan kesehatan paru, Rumah Sakit
Paru dr. Ario Wirawan juga mampu memberikan pelayanan
kesehatan umum. Dan oleh karena standar mutu
manajemen yang baik, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan
mendapatkan sertifikat ISO 9001-2008. Pada tahun 2011
sebanyak 5663 pasien telah dirawat, dengan 11 besar
kasus penyakit sebagai berikut:
46
Tabel 4.1 Sebelas Besar Penyakit di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan
Klasifikasi Penyakit Prosentase
Bronkitis, Emfisema, PPOK 14,42% Gagal Jantung 12,13% Tuberkulosa Paru 7,46% Pneumonia 4,54% ASMA 4,38% Dispepsia 3,4% Tumor Paru 3,13% Sekuel TB 2,84% Bronkiaktasis (BE) 2,61% Efusi Pleura 2,56% Diare 2,54%
Sumber: Medical Record Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan tahun 2011
Berdasarkan data flebitis pada bulan Januari sampai
dengan September 2011, prosentase kejadian flebitis adalah
6,07 % (243 dari 4005 pasien). Jumlah ini melebihi standar
rekomendasi dari INS yaitu 4-5%.
4.1.2 Data Umum
Dari penelitian ini didapatkan 309 responden yang
diamati setiap hari berkaitan dengan faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian flebitis. Dari 309 responden
diperoleh sebanyak 456 insersi kateter intravena yang layak
diobservasi perihal tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui
perbandingan angka kejadian flebitis pada tangan dominan
dan nondominan. Dari ke 456 insersi tersebut, 147
dilakukan di tangan dominan, yaitu 145 insersi pada tangan
47
kanan dan 2 pada tangan kiri. Sedangkan 309 insersi pada
tangan nondominan dilakukan pada tangan kiri.
4.1.3 Data Khusus
Dari 456 insersi kateter intravena yang diamati,
24,34% (111 dari 456) diantaranya mengalami flebitis. Dari
111 kejadian flebitis sebanyak 30,63% (34 dari 111
responden) terjadi pada tangan dominan dan 69,37% (77
dari 111 respoden) terjadi pada tangan nondominan. Acuan
pertama penentuan kejadian flebitis berdasarkan skala
flebitis dari Royal College of Nursing, 2010. Selain dari skala
flebitis peneliti juga melakukan validasi kepada perawat
yang bertugas. Dari 456 insersi kateter intravena yang
diamati, sebanyak 147 dilakukan di tangan dominan dan
309 insersi di tangan nondominan. Pada tangan dominan
sebanyak 23,13% (34 dari 147 responden) mengalami
flebitis, dan pada tangan nondominan sebanyak 24,92%
(77 dari 309 responden) mengalami flebitis.
48
4.2 Analisa Univariat
4.2.1 Karakteristik Responden
4.2.1.1 Jenis Kelamin
Pada penelitian ini, responden laki-laki berjumlah 247
orang (54,2%) dan responden perempuan berjumlah 209
orang (45,8%). Dapat dilihat bahwa jumlah responden lebih
banyak dari responden perempuan. Berdasarkan tangan
dominan dengan nondominan, distribusi jenis kelamin
adalah sebagai berikut: dari 247 responden laki-laki,
sebanyak 30,36% (75 dari 247) terpasang kateter intravena
pada tangan dominan dan sebanyak 69,64% (172 dari 247)
terpasang pada tangan nondominan. Dari 209 responden
perempuan, sebanyak 34,45% (72 dari 209) terpasang
kateter intravena pada tangan dominan dan sebanyak
65,55% (137 dari 209) terpasang pada tangan nondominan.
Jenis kelamin akan dianalisa apakah terdapat
perbedaan angka kejadian flebitis antara laki-laki dengan
perempuan. Pada kerangka konsep diketahui bahwa jenis
kelamin merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan
kejadian flebitis. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui
perbedaan kejadian flebitis antara laki-laki dengan
perempuan.
49
Untuk mempermudah melihat proporsi jenis kelamin
pada penelitian ini, dapat dilihat pada diagram lingkaran di
bawah ini.
Diagram 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin
Diagram 4.2 Distribusi Responden Laki-Laki
Berdasarkan Tangan Dominan dan Nondominan
50
Diagram 4.3 Distribusi Responden Perempuan
Berdasarkan Tangan Dominan dan Nondominan
4.2.1.2 Usia
Ada banyak pendapat tentang pengelompokan usia,
misalnya menurut Erick Erikson dan WHO. Oleh karena
banyak pendapat dalam pengklasifikasian usia, maka untuk
mempermudah penelitian peneliti membuat pengelompokan
usia menjadi enam, yaitu: <19 tahun, 20-29 tahun, 30-39
tahun, 40-49 tahun, 50-59 tahun, >60 tahun. Agar diperoleh
gambaran usia yang baik, maka peneliti membuat rentang
usia dengan rentang interval 10 tahun. Sebanyak 19
responden berusia dibawah 19 tahun, 27 responden berusia
20-29 tahun, 38 responden berusia 30-39 tahun, 82
responden berusia 40-49 tahun, 97 responden berusia 50-
59 tahun dan 193 responden berusia lebih dari 60 tahun.
Oleh karena dalam kerangka konsep terdapat usia yang
51
merupakan salah satu faktor berkaitan dengan kejadian
flebitis, maka penelitian ini juga akan menganalisa
perbedaan kejadian flebitis yang berkaitan dengan
pengelompokan usia tersebut.
Untuk mempermudah melihat proporsi responden
dalam kelompok usia di atas, dapat dilihat pada diagram
batang di bawah ini:
Diagram 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan
Kelompok Usia
52
4.2.2 Lokasi Pemasangan
Dalam penelitian ini dari 309 responden diperoleh 456
insersi yang sesuai dengan kriteria penerimaan sebagai
sampel. Dari 456 insersi sebanyak 32,24% insersi (147 dari
456) dilakukan di tangan dominan, dengan rincian 145
insersi di tangan kanan dan 2 insersi di tangan kiri. Dan
sebanyak 67,76% dilakukan di tangan nondominan, dimana
semua insersi pada tangan nondominan dilakukan pada
tangan kiri.
Dari 147 insersi pada tangan dominan, sebesar
66,67% dilakukan pada vena Sefalika, 18,37% pada vena
Dorsal Metakarpal, 8,16% pada vena Basilika, pada 4,76%
vena Median Antebrachial dan sebesar 2,04% dilakukan
pada vena Median Kubital. Dan dari 309 insersi yang
dilakukan pada tangan nondominan, sebesar 77,99%
dilakukan pada vena Sefalika, 9,39% pada vena Dorsal
Metakarpal, 4,85% pada vena Basilika, 6,15% pada vena
Median Antebrachial dan sebesar 1,62% dilakukan pada
vena Median Kubital
Untuk mempermudah melihat distribusi responden
berdasarkan lokasi pemasangan kateter intravena di atas,
dapat dilihat pada diagram batang di bawah ini:
53
Diagram 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Lokasi Pemasangan Kateter Intravena pada Tangan Dominan
dan Nondominan
Diagram 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Lokasi Vena pada Tangan Dominan
54
Diagram 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Lokasi Vena pada Tangan Nondominan
4.2.3 Ukuran Kateter Intravena
Ukuran kateter merupakan salah satu dari faktor
mekanik yang menyebabkan flebitis. Ukuran kateter
intravena yang besar jika dipasang pada vena yang kecil
akan berakibat merusak tunika intima vena dan dapat
menyebabkan flebitis. Pada penelitian ini diperoleh bahwa
sebanyak 90,57% (413 dari 456) insersi menggunakan
kateter intravena nomor 22 dan sebanyak 9,43% (43 dari
456) menggunakan kateter intravena nomor 24.
Berdasarkan tangan dominan dan nondominan, dari 413
insersi yang dilakukan dengan kateter intravena nomor 22,
sebanyak 32,93% (136 dari 413) dilakukan pada tangan
dominan dan sebanyak 67,07% (277 dari 413) dilakukan
pada tangan nondominan. Dan dari 43 insersi dengan
55
menggunakan kateter intravena nomor 24, sebanyak
25,58% (11 dari 43) dilakukan pada tangan dominan dan
sebanyak 74,42% (32 dari 43) dilakukan pada tangan
nondominan
Untuk mempermudah melihat distribusi responden
berdasarkan ukuran kateter intravena yang digunakan,
dapat dilihat pada diagram lingkaran di bawah ini:
Diagram 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Nomor
Kateter Intravena yang Digunakan
Diagram 4.9 Distribusi Frekuensi Penggunaan Kateter IV
Nomor 22 pada Tangan Dominan dan Nondominan
56
Diagram 4.10 Distribusi Frekuensi Penggunaan Kateter
IV Nomor 24 pada Tangan Dominan dan Nondominan
4.2.4 Lama pemasangan
Dari penelitian ini diperoleh 456 insersi. Dari 456
insersi tersebut dipantau setiap harinya sampai muncul
flebitis atau sampai dilakukan pelepasan insersi. Dari 456
insersi pada hari pertama, yang bertahan sampai hari kedua
sebanyak 387 insersi, pada hari ke tiga 275 insersi, hari ke
empat 150 insersi, hari ke lima 71 insersi dan hari ke enam
29 insersi.
Untuk mempermudah melihat distribusi jumlah
pemasangan infus berdasarkan lama hari pemasangan infus,
dapat dilihat pada diagram batang di bawah ini:
57
Diagram 4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Lama
Hari Pemasangan Kateter Intravena
4.2.5 Cairan Infus
Dari penelitian ini didapatkan bahwa dari 456 insersi,
diperoleh 106 responden yang mendapatkan satu macam
cairan infus, yaitu; 11 responden mendapatkan Asering, 34
responden mendapatkan Dekstrose 5% (D5), 8 responden
mendapatkan Natrium Klorida 0,9% (NaCl) dan 53
responden mendapatkan Ringer Laktat (RL). Sedangkan
sebanyak 350 responden mendapatkan lebih dari satu jenis
cairan. Dalam penelitian ini terdapat 5 responden yang
mendapat tranfusi darah (PRC).
Untuk melihat secara lengkap distribusi responden
berdasarkan cairan infus yang diberikan, dapat dilihat pada
diagram batang dibawah ini.
58
Diagram 4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Cairan Infus
59
4.2.6 Obat yang Diberikan Secara Intravena
Dari penelitian ini, peneliti tidak secara umum
membuat distribusi frekuesi responden berdasarkan obat
yang diberikan. Peneliti hanya menampilkan distribusi
frekuensi obat pada pasien yang terkena flebitis. Dari 111
kejadian flebitis, diperoleh data bahwa 42 responden tidak
mendapatkan obat yang dapat menyebabkan flebitis
menurut Deglin & Vallerand (2005). Berikut adalah obat
menyebabkan flebitis pada 69 pasien:
Diagram 4.13 Distribusi Frekuensi Obat yang
Menyebabkan Flebitis
60
Dari data diatas diketahui bahwa, obat yang paling
banyak digunakan adalah Cefotaxime. Dari 69 responden
diatas, sebanyak 12 responden mendapatkan dua obat yang
beresiko menyebabkan flebitis.
4.2.7 Diagnosa Medis
Dari penelitian ini diperoleh bahwa, dari 456 insersi
yang diobservasi diagnosa yang paling banyak ditemukan
adalah PPOK, yaitu sebesar 16,22%. Hasil ini mengingat
bahwa PPOK menempati posisi pertama dalam 11 besar
penyakit yang dirawat di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan
tahun 2011. Pada penelitian ini setelah PPOK, 9 lain
diagnosa yang paling banyak diamati adalah CHF sebanyak
13,82%, TB sebanyak 12,06%, Dispepsia sebanyak 6,8%,
Diabetes Melitus sebanyak 3,29%, Asma sebanyak 2,85%,
Hematemesis sebanyak 2,63%, Efusi Pleura sebanyak
2,63%, Masa Paru sebanyak 2,41% dan Febris sebanyak
2,41%.
Untuk melihat distribusi responden berdasarkan
diagnosa medis secara lengkap, dapat dilihat pada diagram
batang di bawah ini.
61
Diagram 4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Diagnosa Medis
62
4.3 Analisa Bivariat
4.3.1 Uji Hipotesis Penelitian
Berikut adalah hipotesis penelitian:
Hipotesis nol: Tidak ada perbedaan angka kejadian flebitis
pada pemasangan kateter intravena pada tangan
dominan dengan nondominan di Rumah Sakit Paru dr.
Ario Wirawan Salatiga.
Hipotesis alternatif: Ada perbedaan angka kejadian flebitis
pada pemasangan kateter intravena pada tangan
dominan dengan nondominan di Rumah Sakit Paru dr.
Ario Wirawan Salatiga.
Peneliti mempunyai dua cara perhitungan untuk menguji
hipotesis komparatif di atas yaitu secara manual dan dengan
bantuan SPSS.
4.3.1.1 Perhitungan Secara Manual
Perhitungan secara manual yang dilakukan peneliti
menggunakan tabel kontingensi 2x2 dalam uji hipotesis
komparatif.
63
Tabel 4.2 Tabel Kontingensi 2x2
Letak Pemasangan Infus di Ekstremitas
Atas (Tangan)
Pengaruh terhadap Kejadian Flebitis
Jumlah Terjadi Flebitis
Tidak Terjadi Flebitis
Dominan 34 113 147
Nondominan 77 232 309
Jumlah 111 345 456 Perhitungan menurut Sugiyono (2010), menggunakan rumus
Chi-Square dengan koreksi Yates:
Dengan taraf kesalahan 5% dan df=1, maka harga
Chi-Square tabel = 3,841. Ternyata harga Chi-Square hitung
lebih rendah dari harga Chi-Square untuk taraf kesalahan
64
5%. Dengan demikian maka Ha ditolak. Jadi dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan angka kejadian
flebitis pada pemasangan kateter intravena antara tangan
dominan dengan tangan nondominan. Hal ini berarti angka
kejadian flebitis pada tangan dominan dengan tangan
nondominan relatif sama.
4.3.1.2 Perhitungan dengan SPSS
Ketentuan uji hipotesis dengan menggunakan SPSS:
- Jika Chi-Square hitung < Chi-Square Tabel, maka Ho
diterima
- Jika Chi-Square hitung > Chi-Square Tabel, maka Ha
diterima
Atau
- Jika Asymp Sig. > α (tingkat kepercayaan 95%, α=0,05),
maka Ho diterima
- Jika Asymp Sig. < α (tingkat kepercayaan 95%, α=0,05),
maka Ha diterima
Dengan bantuan SPSS, diperoleh hasil harga Chi-
Square hitung adalah 0,083 dan dengan df 1 (Chi-Square
tabel adalah 3,841) serta Asymp Sig. 0,773. Asymp Sig.
menunjukkan signifikasi atau dalam kata lain adalah p-value.
Dengan harga Chi-Square lebih rendah dari Chi-Square
tabel dan Asymp Sig. lebih dari 0,05 maka Ha ditolak.
65
Dengan kata lain tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara kejadian flebitis pada tangan dominan dengan
nondominan.
4.3.2 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis pada Tangan Dominan dan Nondominan
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis pada Tangan Dominan
Pembuluh Vena
Tangan Kanan Tangan Kiri Total Insersi
N
Total Flebitis N (%)
Insersi n
Flebitis n (%)
Insersi n
Flebitis n (%)
Sefalika 97 23 (23,71)
1 0 98 23 (23,47)
Dorsal Metakarpal 27 6
(22,22) 0 0 27 6 (22,22)
Basilika 11 1 (9,1) 1 0 12 1
(8,33) Median Antebrachial 7 2
(28,57) 0 0 7 2 (28,57)
Median Kubital 3 2
(66,67) 0 0 3 2 (66,67)
Jumlah 145 34 2 0 147 34 (23,13)
Dari data diatas diketahui bahwa dari 147 insersi
yang dilakukan pada tangan dominan, dua per tiga
dilakukan pada vena Sefalika. sedangkan vena yang paling
sedikit digunakan untuk insersi adalah vena Median Kubital,
dimana prosentasenya hanya mencapai 2,04%.
66
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis pada Tangan Nondominan
Pembuluh Vena
Tangan Kanan Tangan Kiri Total Insersi
N
Total Flebitis N (%)
Insersi n
Flebitis n (%)
Insersi n
Flebitis n (%)
Sefalika 0 0 241 58 (24,07)
241 58 (24,07)
Dorsal Metakarpal 0 0 29 9
(31,03) 29 9 (31,03)
Basilika 0 0 15 2 (13,33) 15 2
(13,33) Median Antebrachial
0 0 19 7 (36,84)
19 7 (36,84)
Median Kubital 0 0 5 1 (20) 5 1 (20)
Jumlah 0 0 309 77 (24,92) 309 77
(24,92) Dari data diatas vena Sefalika juga merupakan vena
yang paling sering digunakan untuk insersi, dimana 77,99%
dari 309 insersi dilakukan pada vena tersebut. Vena Median
Kubital juga menjadi vena yang paling sedikit digunakan
untuk insersi, prosentase penggunaan vena ini hanya 1,62%.
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis pada
Tangan Dominan dan Nondominan
Pembuluh Vena
Tangan Dominan
Tangan Nondominan Chi-
Square
df (1), p-
value Insersi n
Flebitis n (%)
Insersi n
Flebitis n (%)
Sefalika 98 23 (23,47) 241 58
(24,07) 0,021 0,884
Dorsal Metakarpal 27
6 (22,22) 29
9 (31,03) 1,528 0,216
Basilika 12 1 (8,33) 15 2
(13,33) 1.190 0,275
Median Antebrachial 7 2
(28,57) 19 7 (36,84) 0,970 0.325
Median Kubital 3
2 (66,67) 5 1 (20) 25,391 0,00
Jumlah 147 34 (23,13) 309 77
(24,92) 0,083 0,773
67
Dari hasil diatas diketahui bahwa perbandingan antara
tangan dominan dengan nondominan tidak signifikan.
Namun, pada vena Median Kubital terdapat perbedaan yang
sangat kuat, dimana tangan dominan lebih beresiko terkena
flebitis. Hal ini dibuktikan dengan Chi-Square hitung 25,391
dimana dengan df 1 Chi-Square tabel adalah 3,841 dan
dengan p-value 0,00 lebih rendah dari 0,05.
4.3.3 Perbandingan Kejadian Flebitis pada Vena yang Digunakan
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis pada Tiap Lokasi Vena
Pembuluh Vena
Total Insersi
N
Total Flebitis N (%)
Chi-Square,
df, p-value
Sefalika 339 81 (23,89)
16,667 df: 4 0,02
Dorsal Metakarpal
56 15 (26,79)
Basilika 27 3 (11,11)
Median Antebrachial 26 9
(34,62) Median Kubital
8 3 (37,5)
Dari Hasil perhitungan SPSS di atas, dengan harga
Chi-Square hitung 16,667 dengan df 4 (Chi-Square tabel:
9,488), maka harga Chi-Square hitung lebih besar dari Chi-
Square tabel dan dengan p-value bernilai 0,02, maka dapat
diartikan bahwa terdapat perbedaan kejadian flebitis pada
lokasi vena di ekstremitas atas. Vena Median Kubital
68
merupakan vena yang paling tinggi kejadian flebitisnya yaitu
sebesar 37,5%.
4.3.4 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Karakteristik Responden
4.3.4.1 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Jenis Kelamin pada Tangan Dominan dan
Nondominan
Jenis Kelamin
Dominan Nondominan Chi-
Square, df (1),
p-value Insersi n
Flebitis n (%)
Insersi n
Flebitis n (%)
Laki-Laki 75 13 (17,33) 172 35
(20,04) 0,243 0,622
Perempuan 72 21
(29,17) 137 42
(30,66) 0,067 0,796
Jumlah 147 34 (23,13) 309 77
(24,92) 0,083 0,773
Dari Hasil Chi-Square di atas, dengan nilai Chi-Square
0,243 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,622 menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada
kejadian flebitis antara laki-laki yang terpasang kateter
intravena pada tangan dominan dengan nondominan. Hasil
serupa juga ditunjukkan pada perbandingan antara
perempuan yang terpasang kateter intravena pada tangan
dominan dengan nondominan. Hal ini dibuktikan dengan
nilai Chi-Square 0,067 dengan df 1 dan p-value bernilai
0,796 Dari hasil ini dapat dilihat bahwa kejadian flebitis
69
antara tangan dominan dengan nondominan tidak
dipengaruhi oleh jenis kelamin.
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis
Berdasarkan Jenis Kelamin
Pembuluh Vena
Laki-Laki Perempuan Chi-
Square, df (1),
p-value Insersi n
Flebitis n (%)
Insersi n
Flebitis n (%)
Sefalika 195 36 (18,46)
144 45 (31,25)
3,449 0,063
Dorsal Metakarpal 17 5
(29,41) 39 10 (25,64) 0,164 0,686
Basilika 15 2 (13,33) 11 1
(9,1) 0,727 0,394
Median Antebrachial 15 3
(20) 12 6 (50) 12,857 0,00
Median Kubital 5 2
(40) 3 1 (33,33) 0,641 0,413
Jumlah 247 48 (19,43) 209 63
(30,14) 2.469 0,116
Dari Hasil Chi-Square di atas, dengan nilai Chi-Square
2,469 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,116 menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
kejadian flebitis pada laki-laki dengan perempuan.
70
4.3.4.2 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Usia Responden
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Usia Responden
Kelompok Usia Insersi n
Flebitis n (%)
Chi-Square, df,
p-value <19 thn 19 3 (15,79)
10,056 df: 4 0,04
20-29 thn 27 4 (14,82)
30-39 thn 38 7 (18,42)
40-49 thn 82 23 (28,05)
50-59 thn 97 30 (30,93)
>60 thn 193 44 (22,8)
Dengan nilai Chi-Square hitung 10,056 dengan df 4 (Chi-
Square tabel: 9,488), sehingga Chi-Square hitung lebih
besar dari pada Chi-Square tabel dan dengan nilai p-value
0,04 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan antar kelompok usia.
4.3.5 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Intravena
Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Intravena pada Tangan
Dominan dan Nondominan
Nomor Kateter IV
Dominan Nondominan Chi-
Square, df (1),
p-value Insersi n
Flebitis n (%)
Insersi n
Flebitis n (%)
Nomor 22 136 29 (21,32) 277 65
(23,47) 0,091 0,763
Nomor 24 11 5 (45,45) 32 12
(37,5) 7,118 0,008
Jumlah 147 34 (23,13) 309 77
(24,92) 0,083 0,773
Dari Hasil Chi-Square di atas, dengan nilai Chi-Square
0,091 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,763 menunjukkan
71
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada
kejadian flebitis pada penggunaan kateter intravena nomor
22 di tangan dominan dengan nondominan. Namun pada
penggunaan kateter intravena nomor 24, didapatkan
perbedaan bahwa nomor 24 yang dipasang pada tangan
dominan lebih beresiko terkena flebitis. Hasil ini dibuktikan
dengan nilai Chi-Square 7,118 dengan df 1 dan p-value
bernilai 0,008
Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Intravena
Pembuluh Vena
Nomor 22 Nomor 24 Chi-
Square df (1),
p-value Insersi n
Flebitis n (%)
Insersi n
Flebitis n (%)
Sefalika 316 71 (22,47) 23 10
(43,48) 6,785 0,009
Dorsal Metakarpal 45
9 (20) 11
6 (54,55) 16,33 0,000
Basilika 24 3 (12,5) 3 0 - -
Median Antebrachial 21 8
(38,1) 5 1 (20) 5,586 0,018
Median Kubital
7 3 (42,86)
1 0 - -
Jumlah 413 94 (22,76) 43 17
(39,53) 4.587 0,032
Dari hasil perhitungan di atas, menunjukkan bahwa
nilai Chi-Square hitung 4,587 lebih besar dari Chi-Square
tabel dengan df 1 dan nilai p-value 0,032. Dengan demikian
maka terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian
flebitis berhubungan dengan ukuran kateter intravena.
Dimana nomor 24 lebih beresiko menyebabkan flebitis
daripada nomor 22.
72
4.3.6 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Lama Pemasangan Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Resiko Kejadian Flebitis
Berdasarkan Lama Hari Pemasangan
Lama Hari Pemasangan
Insersi n
Flebtis n (%)
Chi-Square, df,
p-value 1 456 28 (6,14)
2,811 df: 1
0,729
2 387 28 (7,24)
3 275 28 (10,18)
4 150 18 (12)
5 71 6 (8,45)
6 29 3 (10,35)
Dari penelitian ini didapatkan kejadian flebitis pada
hari pertama sebesar 6,14% (28 dari 456 insersi), hari ke
dua sebesar 7,24% (28 dari 387 insersi), hari ke tiga 10,18%
(28 dari 275 insersi), hari ke empat sebesar 12% (18 dari
150 insersi), hari ke lima sebesar 8,45% (6 dari 71 insersi)
dan pada hari ke enam sebesar 10,35% (3 dari 29 insersi).
Untuk mempermudah melihat distribusi kejadian
flebitis berdasarkan lama pemasangan kateter intravena,
dapat dilihat pada diagram garis di bawah ini.
73
Diagram 4.15 Distribusi Frekuensi Resiko Kejadian Flebitis Berdasarkan Lama Pemasangan
4.3.7 Kejadian Flebitis Berdasarkan Cairan Infus
Tabel. 4.13 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Cairan Infus yang Diberikan
Cairan Infus Insersi
n Flebitis n (%) Cairan Infus Insersi
n Flebitis n (%)
Aminoleban/D5 2 1 (50) Asering/PRC 1 0
Aminovel/D5/RL 6 1 (16,67) D5 34 11
(32,35)
Asering 11 3 (27,27) D5/NaCl 49 7
(14,28)
Asering/Aminoleban 2 2 (100) D5/NaCl/RL 4 2
(50)
D5/Asering 17 8 (47,06) D5/NaCl/Albumin 1 0
D5/Asering/Aminovel 1 1 (100) D5/RL 231 48
(20,78)
D5/Aminoleban/PRC 1 1 (100) D5/RL/Manitol 1 0
D5/Aminovel 1 1
(100) NaCl 8 1
(12,5)
D5/RL/Asering 13 1 (7,69) NaCl/RL 10 2
(20)
RL/Asering/Manitol 1 0 RL 53 19
(35,85)
NaCl/Asering/PRC 1 0 RL/PRC 2
1 (50)
RL/Asering 6 1 (16,67)
74
Dari data diatas jika dikelompokkan menjadi kelompok
cairan kombinasi dan satu macam cairan infus yang
diberikan. Prosentase kejadian flebitis pada responden yang
mendapat satu jenis cairan infus sebesar 32,07%.
Sedangkan yang mendapat cairan infus kombinasi sebesar
22%. Apabila digunakan perhitungan SPSS diperoleh Chi-
Square hitung 1,852 lebih sedikit dari pada maka Chi-
Square tabel dengan df 1 (3,841) dan dengan p-value 0,174
dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kejadian flebitis yang disebabkan oleh
cairan infus kombinasi dan yang hanya satu macam cairan
infus.
4.3.8 Kejadian Flebitis Berdasarkan Diagnosa Medis
Pada penelitian ini, peneliti tidak membandingkan atau
menghubungkan kejadian flebitis dengan diagnosa medis.
peneliti hanya akan memaparkannya.
75
Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi Kejadian Flebitis Berdasarkan Diagnosa Medis
Diagnosa Insersi n
Flebitis n Diagnosa Insersi
n Flebitis
n Abdominal Pain 2 0 GE 2 0
Abses Paru 2 0 Hematemesis 12 5
Anemia 1 0 Hepatitis 6 4
Apendic 1 0 Hipertensi 6 3
Asma 13 2 Hipertermi 2 1
BE Terinfeksi 7 3 Hipoglikemia 1 0
Bekas TB 11 1 KP 1 0
Bleeding 1 0 LBP 4 2
Bradikardi 2 0 Masa Paru 11 4
Bronkiektasis 1 0 Meningitis TB 1 0
Bronkitis Kronis 3 0 Obs. Febris 7 1
BRPN 2 1 Oedema Paru 3 0
ca. Paru 2 0 Ost. Peartritis 2 0
Cardiomiopati 2 1 Oystitis Nefrokal 2 1
Cephagia 4 1 PJI 2 0
Chest Pain 11 1 Pneumonia 7 4
CHF 63 14 Pneumothorax 2 1
Cirosis Hepatica 3 0 PPOK 74 19
Coma Hepatica 2 0 Sirosis Hepatik 3 1
Colic Abdomen 3 2 Sindrom Otak Organik 5 4
Colic Renal 2 0 SNH 10 2
CPC 3 1 Stemi 2 0
Diare Akut 2 0 Susp. DHF 1 0
Dispepsia 31 11 TB 55 11
DM 15 3 TIA 2 1
Efusi Pleura 12 3 Tumor Paru 10 1
Febris 11 2 Typhoid 3 0
Gastritis 3 0 Usteral 1 0
Vertigo 4 0
Dari data diatas diperoleh bahwa 10 besar diagnosa
yang lebih rentan terkena flebitis, adalah sebagai berikut:
76
sindrom otak organik 80% (4 dari 5 insersi), Colic Abdomen
66,67% (2 dari 3 insersi), Hepatitis 66,67% (4 dari 6 insersi),
Pneumonia 57,14% (4 dari 7 insersi), Bronkopneumonia
50% (1 dari 2 insersi), Cardiomiopati 50% (1 dari 2 insersi),
Hipertensi 50% (3 dari 6 insersi), Hipertermi 50% (1 dari 2
insersi), Low Back Pain 50% (2 dari 4 insersi) dan Oystitis
Nefrokal 50% (1 dari 2 insersi).
4.4 Pembahasan
Penelitian ini mungkin pernah dilakukan pada awal
mula ditemukannya terapi intravena dalam dunia kesehatan,
namun peneliti tidak menemukan satu dokumen atau jurnal
yang menjelaskan tentang hal tersebut. Dalam penelitian
tentang faktor-faktor predisposisi terhadap kejadian flebitis
yang pernah dilakukan oleh Uslusoy dan Mete pada tahun
2008 dengan desain studi deskriptif, mendapatkan bahwa
tubuh sebelah kanan secara prosentase lebih beresiko
terjadi flebitis. Dengan ide penelitian yang muncul dari
penelitian Uslusoy dan Mete tersebut, peneliti melakukannya
secara lebih spesifik lagi dan dengan desain penelitian
Cohort Prospektif yang lebih sesuai dengan tujuan penelitian
yaitu untuk membandingkan.
77
4.4.1 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis pada Tangan Dominan dengan Nondominan
Hasil analisa dari data yang diperoleh selama satu
bulan di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan, menunjukkan
bahwa pada kenyataannya tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara kejadian flebitis pada tangan dominan
dengan nondominan. Hal ini dibuktikan melalui perhitungan
yang dilakukan oleh peneliti baik manual maupun dengan
bantuan SPSS, dimana nilai Chi-Square hitung (0,08**) lebih
kecil dari nilai Chi-Square tabel dengan df 1 (3,841). Dari
hasil penelitian ini diperoleh kejadian flebitis pada tangan
dominan sebesar 23,13% (13 dari 147 insersi) dan tangan
nondominan sebesar 24,92% (77 dari 309 insersi).
Lebih jauh lagi peneliti mencoba untuk
membandingkan kejadian flebitis tiap vena pada tangan
dominan dengan nondominan. Hasilnya diperoleh bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara vena Median
Kubital antara tangan dominan dengan nondominan.
Dengan nilai Chi-Square 25,391 lebih besar dari Chi-Square
tabel dengan df 1 (3,841), dimana vena Median Kubital pada
tangan dominan lebih beresiko terjadi flebitis. Peneliti
berasumsi bahwa terjadi perbedaan tersebut karena tangan
dominan lebih aktif dari pada tangan nondominan, dan
dengan lokasi vena Median Kubital yang berada di
78
persendian siku sebelah dalam. Pada kasus ini pergerakan
pada sendi akan menyebabkan kerusakan pada balutan dan
pergeseran kateter intravena yang dapat menyebabkan
flebitis.
Berkaitan dengan perbandingan kejadian flebitis pada
tangan dominan dengan nondominan, peneliti hanya dapat
membandingkan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh
Uslusoy dan Mete (2008), terhadap 568 insersi. Penelitian
dari Uslusoy dan Mete (2008), tidak meneliti tentang
perbandingan dominan dengan nondominan namun
membandingkan antara tubuh sebelah kanan dengan
sebelah kiri. Dari penelitian yang dilakukan Uslusoy dan
Mete, kejadian flebitis pada tubuh sebelah kanan sebesar
57,5% (115 dari 200) dan tubuh sebelah kiri sebesar 52,7%
(194 dari 358). Dengan hasil Chi-Square hitung (1,195) lebih
kecil dari Chi-Square tabel dengan df 1 (3,841) dan nilai p-
value 0,274, dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbandingan yang signifikan pada kejadian flebitis antara
tubuh sebelah kanan dengan tubuh sebelah kiri.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, menunjukkan
bahwa faktor kejadian flebitis tidak akan mempengaruhi
pemilihan tangan yang akan digunakan untuk memberikan
terapi intravena. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi
79
pemilihan vena untuk digunakan dalam terapi intravena
sudah dijelaskan pada BAB II Tinjauan Pustaka, poin 2.2.
4.4.2 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis pada Tiap Lokasi Vena pada Ekstremitas Atas
Dari hasil penelitian ini diperoleh angka kejadian pada
vena Sefalika sebesar 23,89% (81 dari 339 insersi), vena
Dorsal Metakarpal sebesar 26,79% (15 dari 56 insersi),
vena Basilika sebesar 11,11% (3 dari 27 insersi), vena
Median Antebrachial sebesar 34,62% (9 dari 26 insersi) dan
vena Median Kubital sebesar 37,5% (3 dari 8 insersi).
Dengan hasil Chi-Square hitung 16,67 lebih besar dari Chi-
Square tabel dengan df 4 (9,488) dan dengan nilai p-value
0,02 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan antara perbedaan kejadian flebitis pada
lokasi vena di ekstremitas atas.
Dari hasil diatas didapatkan bahwa vena Median
Kubital merupakan vena yang paling banyak mengalami
flebitis. Vena Median Kubital merupakan vena yang berada
di persendian, yaitu di siku tangan sebelah dalam.
Pemasangan kateter intravena pada area sendi akan
beresiko mengalami komplikasi karena pada persendian,
balutan akan rentan terhadap gerakan. Hal ini dapat
menyebabkan balutan rusak sehingga mikroorganisme
80
dapat masuk atau jika terjadi gerakan dapat melukai tunika
intima vena.
Hasil serupa juga diperoleh Uslusoy dan Mete (2008),
yang melakukan penelitian terhadap 568 insersi. Pada
penelitian yang Uslusoy dan Mete lakukan, bukan vena
yang dijadikan indikator pengukuran namun letak
berdasarkan penampakan luar tangan. Hasil yang Uslusoy
dan Mete dapatkan adalah kejadian flebitis paling banyak
terjadi di persendian antar tangan dengan lengan yaitu
sebesar 51,3% (59 dari 115 insersi), dan pada punggung
tangan sebesar 51,3% (79 dari 154 insersi), kemudian pada
lengan tangan sebesar 43,1% (75 dari 174 insersi) dan pada
Anterkubital Fossa sebesar 36,8% (46 dari 125 insersi).
4.4.3 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Jenis Kelamin
Pada penelitian ini diperoleh bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara kejadian flebitis pada Laki-
laki dengan Perempuan. Dengan nilai Chi-Square hitung
2,469 lebih kecil dari Chi-Square tabel dengan df 1 (3,841)
dan dengan p-value 0,116 dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan kejadian flebitis yang signifikan antara
Laki-laki dengan Perempuan. Kemudian peneliti
menghubungkan jenis kelamin dengan tangan dominan dan
81
nondominan. Hasil perbandingan antara tangan dominan
dengan nondominan pada laki-laki diperoleh bahwa nilai
Chi-Square 0,067 dengan df 1 dan p-value bernilai 0,796,
hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan. Pada wanita juga memperoleh hasil tidak ada
perbedaan antara tangan dominan dengan nondominan. Hal
ini dibuktikan dengan nilai Chi-Square 0,243 dengan df 1
dan p-value bernilai 0,622.
Hasil ini juga sama dengan yang penelitian yang
dilakukan oleh Uslusoy dan Mete (2008) terhadap 568
insersi. Dimana diperoleh hasil bahwa sebanyak 42,3% (131
dari 179 insersi) perempuan terkena flebitis dan sebanyak
49,9% ( 128 dari 180 insersi) laki-laki terkena flebitis.
4.4.4 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Usia
Dalam penelitian ini diperoleh bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antar kelompok usia yang
dibuktikan dengan nilai Chi-Square hitung 10,056 lebih
besar dari Chi-Square tabel dengan df 4 yaitu 9,488 dan
nilai p-value 0,04. dimana resiko terkena flebitis tertinggi
yaitu sebesar 30,93% pada usia 50-59 tahun, kemudian
28,05 pada kelompok usia 40-49 tahun, 22,8% pada usia
lebih dari 60 tahun, 18,42% pada usia 30-39 tahun, 14,82%
82
pada usia 20-29 tahun dan 15,79% pada usia dibawah 19
tahun.
Hasil penelitian ini juga memperoleh hasil yang mirip
dengan penelitian yang dilakukan oleh R Singh, et al (2008),
terhadap 230 insersi. Dari penelitian oleh R Singh, et al
(2008), didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antar kelompok usia, dimana usia yang beresiko
terkena flebitis adalah sebagai berikut: 81,8% (27 dari 33)
usia 31-40 tahun, 76,9% (20 dari 26) usia 41-50 tahun, 63%
(17 dari 27) usia 51-60 tahun, 58,8% (20 dari 34) usia lebih
dari 60 tahun, 52,2% (24 dari 46) usia 15-20 tahun dan
43,8% (28 dari 64) usia 21-30 tahun.
Menurut Ingram P dan Lavery I (2005), kelompok yang
beresiko dan rentan mengalami flebitis adalah orang yang
sudah tua. Hal ini dikarenakan proses degenerasi yang
dialami, Pengaruh degenerasi terhadap pembuluh darah
adalah keelastisan berkurang sehingga pembuluh darah
tidak dapat mempertahankan kecepatan aliran darah
dengan normal.
Proses degenerasi juga menyebabkan sistem imun
berkurang. Pada kasus pemasangan infus, peneliti
berasumsi bahwa tidak terdapat balutan yang steril 100%.
Sehingga jika terdapat bakteri, walaupun kecil resikonya
83
seorang yang sudah tua akan lebih mudah terkena infeksi
dan dapat berkembang menjadi flebitis.
4.4.5 Perbandingan Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan Ukuran Kateter Intravena
Hasil Chi-Square hitung antara ukuran kateter nomor
22 dengan nomor 24 adalah 4,587. Hasil ini lebih besar dari
nilai Chi-Square tabel dengan df 1 yaitu 3,841. Dan dengan
nilai p-value 0,032 (<0,05), menunjukkan bahwa secara
umum terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian
flebitis oleh karena perbedaan nomor kateter intravena.
Pada penelitian ini diperoleh bahwa kateter intravena
nomor 24 lebih beresiko dibanding dengan nomor 22.
Menurut La Rocca (1998), kateter intravena nomor 22
merupakan kateter intravena yang cocok digunakan pada
pasien anak-anak dan orangtua. sedangkan untuk nomor 24
digunakan pada pasien pediatrik dan neonatus. Nomor
kateter intravena berbanding terbalik dengan diameter
kateter intravena, semakin besar nomor kateter intravena
semakin kecil diameternya. Nomor 22 dan nomor 24 adalah
nomor yang sering dipakai di Rumah Sakit Paru dr. Ario
Wirawan. Besarnya diamater berpengaruh pada kecepatan
aliran cairan infus yang diberikan, diameter yang kecil akan
membuat aliran infus lebih kencang daripada yang
84
berdiameter besar. Kecepatan aliran akan berpengaruh
pada kejadian flebitis, hal ini berkaitan dengan iritasi yang
disebabkan cairan infus terhadap tunika intima yang dilalui.
Menurut La Rocca (1998) penggunaan kateter
intravena dengan ukuran kecil dapat memperlambat
pemberian cairan sehingga memerlukan alat infus tekanan
positif atau pemasangan kembali kateter intravena dengan
ukuran yang lebih besar. La Rocca (1998), juga
menambahkan bahwa dalam memilih kateter intravena
harus mempertimbangkan kondisi vena yang dipilih,
viskositas cairan, usia pasien dan lama terapi yang
diperkirakan.
Untuk ukuran kateter intravena yang lebih besar juga
dapat menyebabkan flebitis, hal ini berkaitan dengan letak
pemasangan. Ukuran kateter besar apabila dipasang pada
vena yang kecil dapat mengakibatkan trauma pada tunika
intima dan akhirnya dapat menyebabkan flebitis. Dengan
hasil yang menunjukkan bahwa kateter intravena
berdiameter kecil yang lebih beresiko menyebabkan flebitis,
dapat diartikan bahwa pada pemasangan kateter intravena,
perawat Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan mempunyai
kompetensi yang baik dalam melakukan insersi kateter
intravena.
85
Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh
Nassaji-Zavareh M, Ghobarani R dan oleh Uslusoy dan
Mete. Dari penelitian yang dilakukan oleh Nassaji-Zavareh
M, Ghobarani R (2008) terhadap 300 insersi didapatkan
bahwa sebanyak 27,5% (30 dari 109) kejadian flebitis terjadi
pada pemasangan kateter intravena nomor 20 dan
sebanyak 24,7% (47 dari 190) kejadian flebitis terjadi pada
pemasangan kateter intravena nomor 18. Dan penelitian
yang dilakukan oleh Uslusoy dan Mete (2008), terhadap 568
insersi diperoleh kejadian flebitis pada pemasangan kateter
intravena nomor 16 adalah 35,6% (16 dari 45), untuk nomor
18 sebanyak 47,7% (93 dari 195), nomor 20 sebanyak
45,6% (146 dari 320) dan untuk kateter intravena nomor 22
sebanyak 50% (4 dari 8).
4.4.6 Kejadian Flebitis Berdasarkan Lama Pemasangan Kateter Intravena
Dari hasil penelitian ini, peneliti mendapatkan proporsi
kejadian flebitis tiap lama hari pemasangan. Dengan hasil
kejadan flebitis pada hari pertama sebesar 6,14% (28 dari
456 insersi), hari ke dua sebesar 7,24% (28 dari 387 insersi
yang masih bertahan), hari ke tiga 10,18% (28 dari 275
insersi), hari ke empat sebesar 12% (18 dari 150 insersi),
86
hari ke lima sebesar 8,45% (6 dari 71 insersi) dan hari ke
enam sebesar 10,35% (3 dari 29 insersi).
Pada hari ke lima didapatkan hasil bahwa terjadi
penurunan resiko kejadian flebitis kemudian meningkat lagi
pada hari ke enam. Peneliti melihat bahwa jika tidak
dilakukan penggantian kateter intravena pada hari ke empat,
maka akan ada pilihan untuk mengganti balutan pada hari
ke empat atau ke lima.
Dari hasil diatas menggambarkan bahwa semakin
lama pemasangan kateter intravena, maka resiko kejadian
flebitis akan semakin bertambah. Hal ini sesuai dengan
ketentuan yang disampaikan oleh O’Grady, et al (2002), dan
Royal College of Nursing (2010), dimana semakin lama
pemasangan infus potensi terjadinya infeksi akan semakin
bertambah, dan oleh sebab itu dianjurkan untuk mengganti
kanulasi atau melakukan pemindahan tempat tusukan setiap
72-96 jam.
4.4.7 Kejadian Flebitis Berdasarkan Cairan Infus yang Diberikan
Penelitian ini tidak menggolongkan cairan infus
berdasarkan jenisnya menjadi cairan hipotonik, isotonik dan
hipertonik. Hal ini disebabkan penelitian ini berdesain cohort
prospektif, dimana setiap hari dilakukan observasi.
87
Sehingga peneliti mendapati setiap perubahan berkaitan
dengan cairan infus yang diberikan, peneliti menyajikan data
dimana tanda garis miring “/” menunjukkan pergantian
cairan infus. Dalam penelitian ini hanya 106 insersi yang
memperoleh hanya satu macam cairan infus, dengan rincian
sebagai berikut: NaCl 0,9% 8 insersi, Asering 11 insersi,
Dekstrose 5% (D5) 34 insersi dan Ringer Laktat (RL) 53
insersi.
Apabila dilakukan analisis mengenai perbandingan
kejadian flebitis antara satu macam cairan infus dengan
terapi kombinasi, diperoleh Chi-Square hitung 1,852 lebih
sedikit dari pada Chi-Square tabel dengan df 1 (3,841) dan
dengan p-value 0,174 dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kejadian flebitis yang
disebabkan oleh cairan infus kombinasi dan yang hanya
satu macam cairan infus.
Pada penelitian ini terdapat lima pasien yang diberikan
produk darah, dari penelitian ini sebanyak 40% (2 dari 5
insersi) mengalami flebitis. Untuk pemberian produk darah,
perawat harus lebih memperhatikannya karena selain
produk darah digolongkan ke dalam cairan hipertonik,
produk darah dapat menyebabkan tromboflebitis jika dalam
pemberiannya terdapat gumpalan darah yang melewati filter.
88
Maka untuk manajemen produk darah setelah darah habis,
harus cepat dilakukan irigasi dengan saline normal agar
tidak terbentuk gumpalan darah (La Rocca, 1998).
4.4.8 Kejadian Flebitis Berdasarkan Obat yang Diberikan Secara Intravena
Setiap terapi intravena baik sekecil apapun akan
mempunyai resiko terjadinya komplikasi, setiap jenis infus
akan beresiko menyebabkan flebitis bahkan tromboflebitis.
Hal tersebut tergantung dari pemantauan pemasangan infus.
Apabila terjadi gejala flebitis langsung dilakukan tindakan
sesuai dengan skala flebitis. Seperti halnya cairan infus,
semua obat jika diberikan secara intravena juga dapat
menyebabkan flebitis. Bukan hanya terkait dengan efek
samping dan kandungan obat, namun juga cara pemberian,
kepekatan obat, kelarutan obat, kecepatan yang sesuai
dengan jenis obat dan teknik aseptik.
Dari penelitian ini telah diperoleh data bahwa
Cefotaxime merupakan obat yang paling banyak
menimbulkan flebitis di RSPAW, Cefotaxime merupakan
Sefalosporin generasi ketiga, dan Sefalosporin sendiri
masuk dalam klasifikasi obat antiinfeksi. Menurut Mulyani
(2011), Obat yang dapat menyebabkan peradangan vena
yang berat antara lain: Kalium Klorida, Vancomysin,
89
Amphotrecin B, Sefalosporin, Diazepam, Midazolam dan
obat untuk kemoterapi.
4.4.9 Kejadian Flebitis Berdasarkan Diagnosa medis
Diagnosa medis yang mempunyai kejadian flebitis
tertinggi adalah sindrom otak organik yaitu 80% (4 dari 5
insersi yang diamati). Menurut Hinchliff (1999), pasien
dengan sindrom otak organik akan mengalami gangguan
ingatan serta kepribadian, kemunduran dalam perawatan
diri, kerusakan kemampuan kognitif dan disorientasi. Pasien
dengan diagnosa tersebut dapat digolongkan dalam
ketergantungan penuh.
Penyakit yang diderita oleh pasien akan
mempengaruhi pola istirahat dan aktivitas, pasien yang tidak
dapat bermobilisasi akan beresiko terkena flebitis. Hal ini
dipengaruhi oleh aliran darah yang lambat karena dalam
kondisi tersebut pompa jantung akan lebih rendah dari
keadaan normal. Sebaliknya jika pasien banyak melakukan
aktivitas dengan tangannya akan beresiko terkena flebitis
karena kepatenan fiksasi kateter intravena dapat berkurang.
Bagi pasien yang sering duduk atau berdiri akan beresiko
terkena flebitis, hal ini berkaitan dengan posisi jantung lebih
tinggi dari area insersi sehingga aliran yang akan menuju ke
90
jantung lebih lambat. Menurut La Rocca (1998), ketepatan
aliran infus dengan aliran darah akan mengurangi resiko
terjadinya komplikasi berupa flebitis.
4.5 Hambatan yang Dijumpai dalam Pelaksanaan Penelitian
4.5.5 Hambatan dari Peneliti
Peneliti menyadari bahwa peneliti masih perlu banyak
belajar mengenai konsep flebitis dan metodologi. Peneliti
juga merasa kesulitan untuk mendapatkan jurnal-jurnal
tentang flebitis karena sebagian besar jurnal tersebut harus
melalui pembayaran yang mahal dan dengan prosedur yang
rumit.
4.5.6 Hambatan dari Pasien
Dalam penelitian ini tidak sedikit pasien yang menolak
untuk diminta kerjasamanya untuk berpartisipasi mejadi
responden. Peneliti menyadari bahwa mereka dalam kondisi
sakit yang sedang mencari cara untuk sembuh dan ketika
peneliti datang, mereka dapat mengira bahwa peneliti hanya
akan mengganggu istirahat dan kenyamanan mereka.
91
4.5.7 Hambatan dari Rumah Sakit dan Perawat
Dalam kegiatan pelaksanaannya peneliti tidak
mendapat hambatan sama sekali dari perawat-perawat
Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan, bahkan banyak dari
perawat yang membantu proses penelitian. Hambatan yang
cukup dirasa oleh peneliti adalah ijin penelitian yang dalam
prosesnya memang lama yaitu hampir mencapai tiga
minggu. Namun, peneliti menyadari bahwa dalam
mengijinkan sebuah penelitian, Rumah Sakit akan
mempertimbangakn dampak baik dan buruk dari penelitian
yang akan dilakukan.