systematic review - repository.bku.ac.id
TRANSCRIPT
ANALISIS FAKTOR - FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
PENGGUNAAN ZAT BORAKS PADA LONTONG :
SYSTEMATIC REVIEW
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
TRY NADYA GIOWATI
NIM BK.1.16.022
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
2020
i
LEMBAR PERSETUJUAN
JUDUL : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
PENGGUNAAN ZAT BORAKS PADA LONTONG (SYSTEMATIC
REVIEW)
NAMA : TRY NADYA GIOWATI
NIM : BK.1.16.022
Telah Disetujui Untuk Diajukan Pada Sidang Skripsi Program
Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Bhakti Kencana
Menyetujui :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Sri Komalaningsih, MS Dr. Ratna Dian K, M.Kes
NIP. 19612305 198609 2001 NIK. 02009030149
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Ketua
Agung Sutriyawan, SKM., M.Kes
NIK. 02018030186
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan dan telah diperiksa sesuai dengan masukkan
Dewan Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Bhakti Kencana
Pada Tanggal Juli 2020
Mengesahkan
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Bhakti Kencana
Penguji I
Supriyatni, SKM., MKM
NIK. 02002030111
Penguji II
Karlina, MKM
NIK. 020200303040
Fakultas Ilmu Kesehatan
Dekan
Dr. Ratna Dian K, M.Kes
NIK. 02009030149
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama : Try Nadya Giowati
Nim : BK.1.16.022
Program Studi : S-1 Kesehatan Masyarakat
Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Penggunaan Zat Boraks Pada Lontong : Systematic
Review
Menyatakan :
1. Tugas akhir saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
memperoleh gelar sarjana baik di Program Studi S-1 Kesehatan
Masyarakat Universitas Bhakti Kencana maupun di perguruan tinggi
lainnya.
2. Tugas akhir saya adalah karya tulisan murni bukan hasil flagiat/jiplakan
serta asli dari ide dan gagasan saya sendiri tanpa bantuan pihak lain
kecuali arahan pembimbing.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan apabila
dikemudian hari terdapat penyimpangan yang tidak etis, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang saya peroleh serta
sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi.
Bandung, Juni 2020
Yang Membuat Pernyataan
TRY NADYA GIOWATI
iv
ABSTRAK
Penggunaan bahan berbahaya pada makanan sebagai bahan tambahan pangan masih
sering dilakukan oleh masyarakat. Bahan tambahan pangan berupa pengemulsi,
penyedap, pemanis, pengawet, pewarna, aroma, zat gizi, antioksidan dan lain-lain.
Salah satu bahan berbahaya sebagai bahan tambahan pangan adalah zat boraks.
Penggunaan zat boraks oleh produsen bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
lebih besar sebab boraks dapat sebagai pengawet dan pengenyal makanan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap,
dan pengawasan dengan penggunaan zat boraks pada lontong. Metode penelitian ini
menggunakan Literature Review dengan pendekatan kualitatif teknik naratif (Meta-
Sintesis). Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian menggunakan 7 artikel
yang terkreditasi sebagai sumber analisa. Setiap artikel yang diperoleh dilakukan
analisis perbedaan dan persamaan. Hasil menunjukan bahwa produsen memiliki
tingkat pendidikan dan pengetahuan yang terkategorikan rendah. Adanya faktor
kebiasaan, kebudayaan, dan ekonomi yang dapat mengarahkan sikap produsen untuk
menggunakan boraks. Pengawasan yang masih kurang menyebabkan produsen
dengan bebas memakai boraks sebagai bahan tambahan pangan. Perlunya langkah
preventif pembinaan dan penyuluhan oleh BPOM kepada produsen dan mengedukasi
masyarakat untuk meningkatkan wawasan dan kesadaran keamanan pangan.
Melakukan pemantauan, pengawasan uji sampel dan kerjasama lintas sektor untuk
menindak penjualan bahan kimia secara ilegal.
Kata Kunci : Pendidikan, Pengetahuan, Sikap, Pengawasan, Boraks.
Daftar Pustaka : 4 Buku, 4 Dokumen Pemerintah, 20 Jurnal.
v
ABSTRACT
The use of hazardous substances in food as food additives is still often done by the
community. Food additives such as emulsifiers, seasonings, sweeteners,
preservatives, dyes, aromas, nutrients, antioxidants, and others. One of the
dangerous ingredients as food additives is borax. The use of borax substances by
producers aim to get greater profits because borax can be a preservative and food
thickener. This study aims to determine the relationship of the level of education,
knowledge, attitudes, and supervision with the use of borax in rice cake. This
research method uses Literature Review with a qualitative approach to narrative
techniques (Meta-Synthesis). Based on the inclusion, and exclusion criteria the study
used 7 accredited articles as sources of analysis. Each article obtained was analyzed
differences and similarities. The results show that producers have a lowed level of
education and knowledge. The existence of customs, culture, and economic factors
that can direct the attitude of producers to use borax. The lack of supervision causes
producers to freely use borax as a food additive. The need for preventive steps for
guidance and counseling by BPOM to producers and educate the public to increase
insight and awareness of food safety. Monitor, monitor sample tests and cross-
sectoral collaboration to crack down on illegal chemical sales.
Keywords : Education, Knowledge, Attitude, Oversight, Borax.
Bibliography : 4 Books, 4 Government Documents, 20 Journals.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat illahi rabbi, Alloh SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya sebagai penyusun dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tak lupa saya panjatkan shalawat serta salam
bagi junjungan.kita Nabi Muhammad SAW.
Dalam kesempatan ini saya sebagai penulis sangat berbahagia karena telah
dapat meyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Faktor -Faktor Yang
Berhubungan Penggunaan Zat Boraks Pada Lontong” Skripsi ini diajukan
sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan dorongan semangat dari
berbagai pihak, sehingga saya sebagai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan tepat waktu. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. H. Mulyana SH., MPd, M.H.Kes. selaku Ketua Yayasan Adhi Guna Kencana.
2. Dr Entris sutrisno, M.H.Kes, Apt. selaku Rektor Universitas Bhakti Kencana.
3. Dr Ratna Dian K, M.Kes selaku Dekan Program Studi Kesehatan Masyarakat
dan selaku pembimbing 2 yang sudah bersedia membimbing mahasiswa.
4. Agung Sutriyawan, SKM., M.Kes selaku Ketua Program Studi S1 Kesehatan
Masyarakat.
5. Dr. Sri Komala, MS. selaku pembimbing 1 yang telah memberikan bimbingan
dalam penyusunan skripsi ini.
6. Kedua orangtua, keluarga dan teman – teman yang senantiasa memberikan
dukungan dan do’a untuk kelancaran proses penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih banyak
kekurangan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan
kesempurnaan pada skripsi ini.
Bandung, Juni 2020
Try Nadya Giowati
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................................. 5
1.3. Tujuan ................................................................................................................ 6
1.3.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 6
1.3.2 Tujuan khusus ........................................................................................ 6
1.4. Manfaat ............................................................................................................. 6
1.4.1 Teoritis ................................................................................................... 6
1.4.2 Aplikatif ................................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 8
2.1. Kajian Teori ....................................................................................................... 8
2.1.1 Makanan ................................................................................................. 9
2.1.2 Sanitasi Makanan ................................................................................... 9
2.1.3 Bahan Tambahan Pangan ....................................................................... 9
2.1.4 Peraturan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan ................................ 11
2.1.5 Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan ............................................ 13
2.1.6 Bahan Tambahan Pangan yang Dilarang ............................................. 15
2.1.7 Pengawet .............................................................................................. 16
2.1.8 Boraks atau Asam Borat ....................................................................... 16
viii
2.1.9 Karakteristik Boraks ............................................................................. 17
2.1.10 Kegunaan Boraks ................................................................................. 17
2.1.11 Penyalahgunaan Boraks ....................................................................... 18
2.1.12 Toksisitas Boraks ................................................................................. 18
2.1.13 Dampak Boraks Pada Kesehatan .......................................................... 20
2.1.14 Lontong ................................................................................................ 21
2.1.15 Ciri-ciri Lontong yang Mengandung Boraks ........................................ 21
2.1.16 Perilaku ................................................................................................ 22
2.1.17 Pendidikan ............................................................................................ 23
2.1.18 Pengetahuan ......................................................................................... 24
2.1.19 Sikap ..................................................................................................... 26
2.1.20 Pengawasan Petugas Kesehatan ........................................................... 28
2.2. Kerangka Teori ................................................................................................. 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... 31
3.1. Jenis Penelitian ................................................................................................. 31
3.2. Variabel Penelitian ........................................................................................... 31
3.2.1 Variabel Independen ............................................................................... 31
3.2.2 Variabel Dependen ................................................................................. 31
3.3. Pertanyaan Penelitian ....................................................................................... 31
3.4. Sumber Data ..................................................................................................... 32
3.4.1 Inklusi ................................................................................................... 32
3.4.2 Ekslusi .................................................................................................. 32
3.4.3 Artikel Penelitian .................................................................................. 32
3.5. Pengumpulan Data ........................................................................................... 33
3.6. Analisis Data .................................................................................................... 34
3.7. Prosedur Penelitian ........................................................................................... 35
3.8. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 37
4.1. Hasil Penelitian ................................................................................................ 37
4.2. Pembahasan ...................................................................................................... 42
4.2.1 Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Penggunaan Zat
Boraks Pada Lontong ............................................................................ 43
4.2.2 Hubungan Pengetahuan Dengan Penggunaan Zat Boraks
ix
Pada Lontong ........................................................................................ 46
4.2.3 Hubungan Sikap Dengan Penggunaan Zat Boraks
Pada Lontong ........................................................................................ 49
4.2.4 Hubungan Pengawasan Dengan Penggunaan Zat Boraks Pada
Lontong ................................................................................................ 51
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 55
5.1. Kesimpulan ...................................................................................................... 55
5.2. Saran ................................................................................................................ 56
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 58
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Matriks Analisis Jurnal 1 .................................................................................. 34
Tabel 3.2 Matriks Analisis Jurnal 2 .................................................................................. 34
Tabel 4.1 Matriks Analisis Jurnal 1 .................................................................................. 37
Tabel 4.2 Matriks Analisis Jurnal 2 ................................................................................... 39
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Teori .................................................................................... 30
Gambar 3.1 Alur Penelitian Literature Review ....................................................... 35
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan memiliki peranan penting dalam bidang kesehatan masyarakat.
Oleh sebab itu, seluruh masyarakat tanpa kecuali perlu memberikan perhatian
lebih pada makanan yang mereka konsumsi. Masyarakat sebagai konsumen
pangan masih kurang peduli dalam memilih makanan yang mereka konsumsi.
Masyarakat sering mengabaikan kualitas pada makanan itu sendiri. Pada proses
pengolahan dan produksi makanan harus menghindari penggunaan bahan
tambahan pangan yang dapat berdampak buruk kepada konsumen (Agung,
2016).
Pada sasaran pembangunan pangan perlu menyediakan pangan yang
cukup, bermutu dan aman. Perlu pencegahan dan menjauhkan masyarakat dari
berbagai jenis pangan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada tubuh
dan yang bertentangan dengan keyakinan. Dengan memaksimalkan
kelembagaan dibidang pangan agar diterapkannya peraturan-peraturan dan
perundang-undangan. Peraturan tersebut berfungsi sebagai pengatur pada mutu
gizi dan pada keamanan pangan oleh industri pangan maupun oleh masyarakat
sebagai konsumen (Fadilah, 2017).
Menurut Permenkes No.033 tahun 2012 bahan tambahan pangan (BTP)
yang ditambahkan ke dalam makanan dapat memengaruhi sifat dan bentuk
pangan. Bahan tambahan pangan harus memenuhi syarat gizi yang ditambahkan
dengan sengaja dengan bertujuan teknologi pada proses pembuatan pangan.
Bahan tambahan pangan tidak boleh masuk ke dalam bahan pencemar pada
makanan yang bertujuan dalam mempertahankan atau meningkatkan
2
kandungan gizi. Bahan tambahan pangan terdapat kandungan nilai gizi atau
tidak terdapat kandungan nilai gizi sama sekali.
Berdasarkan data BPOM RI tahun 2016 menunjukkan bahwa makanan
yang memenuhi syarat dengan sampel 15,706 atau sebesar 91,51%. Pada izin
edar makanan sebesar 35,507. Pengawasan pasar oleh BPOM di tahun 2013,
diketahui terjadi penurunan jumlah persentase pangan yang tidak memenuhi
syarat dari 16% menjadi 6% pada akhir tahun 2017 bahan berbahaya dan pangan
yang mengadung bahan berbahaya dari jumlah total 8,950 sampel pangan yang
diduga mengandung bahan berbahaya yang disampling di pasar sebanyak 537
sampel tidak memenuhi syarat terhadap uji parameter uji boraks, formalin,
kuning metanil dan rhodamin B (Badan POM RI, 2019a).
Berdasarkan BPOM Bandung tahun 2018 melakukan pemeriksaan
sampel kasus penyelidikan pada laboratorium pangan sebanyak 16 sampel,
terdiri 5 sampel memenuhi syarat 31,25%, dan 11 sampel tidak memenuhi
syarat mutu 68,75%. Sampel tidak memenuhi syarat diketahui mengandung
serbuk putih boraks, cairan formalin, mie basah berformalin, dan terasi
mengandung rhodamin B. Pada sampel kasus penyelidikan awal di laboratorium
pangan sebanyak 17 sampel, terdiri dari 5 sampel memenuhi syarat 29,41%, 5
sampel tidak memenuhi syarat mutu 29,41%, dan 7 sampel tidak memenuhi
syarat label 41,18%. Makanan yang diperiksa berupa lontong mengandung
boraks, tahu bulat mengandung formalin dan terasi mengandung rhodamin B
(Badan POM RI, 2019b).
Banyaknya jenis bahan kimia berbahaya yang ditambahkan oleh para
produsen ke dalam makanan menjadi lebih kenyal dan dapat bertahan lama.
Salah satu bahan kimia yang dilarang dimasukkan ke dalam makanan adalah
3
boraks. Boraks digunakan sebagai pengawet dan pengenyal pada makanan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Deny (2018) diketahui bahwa zat
boraks terdapat pada 13 sampel lontong 93% diantaranya positif mengandung
senyawa berbahaya boraks. Pada sampel bakso,dari 30 sampel yang dianalisa
17% diantaranya terdeteksi mengandung senyawa berbahaya boraks. Makanan
yang ditambahkan boraks diantaranya bakso, lontong, mie, dan kerupuk.
Produsen menggunakan zat boraks pada lontong karena tekstur dan sifatnya
yang kenyal dan mudah basi menjadi alasan para produsen menggunakan
boraks pada lontong yang mereka produksi (Nastiti, 2016).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anisyah (2015) di
kelurahan Padang Bulan Kota Medan, dari 24 sampel lontong yang diperiksa
terdapat 15 sampel lontong mengandung boraks dengan kadar tertinggi sebesar
4,081 gr/kg dan terendah sebesar 0,989 gr/kg. Sedangkan hasil pemeriksaan
Rahmalia (2019) terhadap lontong yang dijual di wilayah Kecamatan Setu
Kabupaten Bekasi diperoleh data bahwa dari 10 sampel lontong yang diperiksa,
seluruhnya mengandung boraks dengan adanya kadar terendah sebesar 220,23
gr/kg dan tertinggi sebesar 314,58 gr/kg.
Penggunaan bahan tambahan makanan berbahaya boraks oleh produsen
masih sering dilakukan, dengan alasan ketidaktahuan penggunaan bahan
tambahan pangan yang diizinkan dan yang tidak diizinkan, pengawasan yang
dinilai masih kurang tegas sehingga masih banyak ditemukan penjual bahan
tambahan pangan berbahaya di pasar yang dapat diperoleh dengan mudah oleh
produsen, dan harga pada bahan tambahan pangan yang diizinkan relative lebih
mahal dibandingkan dengan yang tidak dizinkan. Penggunaan zat boraks oleh
produsen dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap
4
produsen, dan pengawasan dalam penggunaan bahan tambahan pangan
berbahaya (Nugroho, 2017).
Menurut konsep perilaku L.Green dalam Notoatmodjo (2011). Perilaku
dapat dipengaruhi oleh 2 faktor perilaku yaitu; faktor perilaku (behaviour
causes) dan faktor diluar perilaku non-behaviour causes. Faktor perilaku
seperti; faktor predisposisi yang terdiri umur, pendidikan, pengetahuan dan
sikap seseorang, faktor pemungkin (Enabling Factors) terdiri dari terwujudnya
lingkungan fisik, sarana, dan jarak fasilitas kesehatan, dan faktor penguat
(Reinforcing Factors) faktor pendukung diperoleh dari pengawasan, sikap
keluarga, hingga tokoh masyarakat. Pengaruh penggunaan bahan tambahan
pangan berbahaya yaitu; pendidikan memiliki peran penting dalam menentukan
pengetahuan seseorang, pengtahuan mempengaruhi untuk menentukan sikap
yang akan diambil, pengawasan dapat mempengaruhi seseorang dalam
penggunaan boraks, semakin tegas pengawasan semakin takut seseorang dalam
menggunakan boraks dan sebaliknya apabila kurang pengawasan semakin
sering atau banyak dalem menggunakan boraks (Darmawan, 2016).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan (Nastiti, 2016) diketahui
bahwa faktor yang diteliti tingkat pendidikan yang rendah pada produsen
memiliki hubungan dalam penggunaan zat boraks pada makanan, pada faktor
pengetahuan yang kurang baik memiliki hubungan dalam penggunaan zat
boraks pada makanan. Pengetahuan yang salah terhadap pada objek akan
mempengaruhi sikap yang terbentuk terhadap objek akan salah. Diketahui pada
faktor sikap yang rendah juga memiliki hubungan dalam pengguanaan zat
boraks. Sikap yang kurang baik dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan
pengetahuan. Keduanya ini dapat mempengaruhi sikap dari seseorang sehingga
5
dapat melakukan tindakan/praktek. Sedangkan pada faktor pengawasan yang
tidak dilakukan oleh petugas kesehatan memiliki hubungan dalam penggunaan
zat boraks pada makanan. Pengawasan yang tidak dilakukan menyebabkan
maraknya penggunaan boraks oleh produsen.
Penggunaan boraks yang marak oleh produsen akan menimbulkan
gangguan kesehatan. Zat boraks yang berkontak langsung dengan tubuh seperti
terhirup, mengenai kulit, dan mata akan menimbulkan gatal-gatal, kemerahan,
rasa sensasi terbakar pada hidung dan tenggorokan dan mengalami kesulitan
dalam saat bernapas. Jika terkena mata menyebabkan mata berair, pandangan
menjadi kabur, hingga berakibat mengalami kebutaan. Sedangkan, penggunaan
zat boraks pada makanan dan mengkonsumsi makanan yang mengandung
boraks yang terlalu sering dapat meningkatkan resiko kesehatan dan
menimbulkan gangguan kesehatan pada system saraf otak, hati, anuria, depresi,
apatis, sianosis, kerusakan ginjal, pingsan, koma, kanker, dan dapat
menyebabkan kematian bila terkonsumsi 5 – 10 g/kg berat badan karena boraks
memeliki sifat akumulasi dan karsinogen (Agung, 2016).
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan Penggunaan Bahan
Tambahan Pangan Zat Boraks Pada Lontong.
1.2 Rumusan Masalah
Masih terdapat produsen yang menggunakan zat boraks pada lontong
yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan menjadi salah satu alasan dalam
penelitian dilakukan ”Analisis Faktor - Faktor Yang Berhubungan Penggunaan
Zat Boraks Pada Lontong”.
1.3 Tujuan Penelitian
6
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah menganalisis faktor -
faktor yang berhubungan penggunaan zat boraks pada lontong.
Sehingga dapat mengetahui faktor yang berhubungan pada produsen
dalam penggunaan zat boraks pada lontong.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan produsen
dengan penggunaan zat boraks pada lontong.
2. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan produsen dengan
penggunaan zat boraks pada lontong.
3. Untuk mengetahui hubungan sikap produsen dengan
penggunaan zat boraks pada lontong.
4. Untuk mengetahui hubungan pengawasan petugas kesehatan
dengan penggunaan zat boraks pada lontong.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
informasi dan sumber ilmu kesehatan masyarakat terutama peminatan
kesehatan lingkungan dalam penggunaan bahan tambahan pangan
berbahaya.
1.4 2 Manfaat Aplikatif
7
1. Bagi Prodi Kesehatan Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu tambahn
referensi dan informasi kepada prodi kesehatan masyarakat
Universitas Bhakti Kencana sebagai instansi pendidikan yang masih
menjadi suatu permasalahan kesehatan di masyarakat dalam
penggunaan bahan tambahan pangan berbahaya pada makanan.
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
informasi dan referensi petugas kesehatan masyarakat kepada
masyarakat mengenai penggunaan bahan tambahan pangan
berbahaya dan dampak buruk yang timbul bagi kesehatan dengan
melakukan penyuluhan kesehatan.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber referensi
untuk dilakukannya penelitian selanjutnya mengenai penggunaan
bahan tambahan pangan berbahaya.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1 Makanan
Pangan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 28 tahun 2004, adalah segala sesuatu yang bersumber dari hayati
dan air, baik yang diolah ataupun yang tidak diolah, diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman untuk dikonsumsi oleh manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku dan bahan lainnya yang
dipergunakan (Agung, dkk, 2016)
Makanan merupakan kebutuhan pokok untuk kehidupan
manusia. Makanan berfungsi dalam memelihara kesehatan tubuh untuk
pertumbuhan atau perkembangan, untuk mengganti jaringan maupun sel
tubuh yang rusak, untuk mendapatkan energi dalam melakukan aktivitas
harian, mengatur metabolisme tubuh dan sebagai keseimbangan cairan
tubuh, air, dan mineral. Memiliki peran dalam mekanisme system
imunitas terhadap berbagai penyakit (Anisyah, 2015).
Menurut WHO (World Health Organization) makanan
merupakan semua substansi yang diperlukan oleh tubuh. Makanan harus
melalui proses pengelolaan yang tepat sehingga dapat bermanfaat bagi
tubuh. Makanan menjadi sumber bahaya bagi tubuh, jika telah
terkontaminasi oleh benda asing. Kontaminasi makanan dapat berasal
dari bahan tambahan makanan, air, hama, hewan peliharaan, penjamah
makanan (Food Handler), serangga, sampah, tanah, dan udara.
9
2.1.2. Sanitasi Makanan
Sanitasi makanan adalah upaya dalam pencegahan dari kegiatan
dan tindakan untuk membebaskan makanan dan minuman dari
kontaminasi bahaya yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
Sanitasi proses dari sebelum makanan akan diproduksi, proses
pengolahan, saat penyimpanan, proses pengangkutan, dan sampai
makanan atau minuman tersebut siap untuk dikonsumsi oleh masyarakat
atau konsumen. Sanitasi memiliki tujuan dalam menjamin keamanan
pangan dan kemurnian pangan, untuk mencegah konsumen dari
berbagai penyakit bersumber dari makanan, untuk mencegah penjualan
makanan yang dapat merugikan komsumen, mengurangi kerusakan atau
pemborosan makanan (Anisyah, 2015).
Menurut Sumantri (2010), sanitasi makanan yang kurang baik
dapat disebabkan oleh faktor kimia karena terdapat bahan kimia yang
dipergunakan untuk mengawetkan makanan, obat penyemprot hama,
menggunkan wadah bekas obat pertanian untuk kemasan makanan dan
lainnya. Sanitasi makanan yang buruk dapat disebabkan oleh 8 faktor
mikrobiologi karena terdapat kontaminasi parasit, jamur, virus, dan
bakteri. Dampak sanitasi makanan yang buruk dapat menimbulkan
gangguan kesehatan pada komsumen.
2.1.3. Bahan Tambahan Pangan
Berdasarkan Permenkes RI No.772/Menkes/Per/IX/88 dan
No.1168/Menkes/PER/X/1999 membahas mengenai bahan tambahan
10
pangan adalah bahan yang tidak dipergunakan sebagai makanan dan
biasanya bukan merupakan bahan baku khas makanan, memiliki atau
tidak memilikinya suatu nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam
makanan dengan maksud teknologi pada proses pembuatan, penyiapan,
perlakuan pengemasan, dan penyimpanan (Menteri Kesehatan RI,
1988).
Bahan tambahan pangan (BTP) merupakan bahan campuran,
bahan murni yang tidak termasuk pada bagian dari bahan baku pangan,
tetapi ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan agar dapat
mempengaruhi bentuk atau sifat pangan itu sendiri, seperti; bahan
pengawet, bahan pewarna, bahan penyedap rasa, bahan anti gumpalan,
bahan pemucat dan pengental makanan (Fadilah, 2017).
Penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses produksi
pangan harus dalam pengawasan bersama, oleh produsen ataupun
konsumen. Dampak penggunaan bahan tambahan pangan dapat
berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat sebagai konsumen.
Penyimpangan pada penggunaan dapat membahayakan semua orang,
khususnya bagi generasi muda yang memiliki peran sebagai penerus
dalam pembangun bangsa. Pada bidang pangan perlu menjadi lebih baik
untuk masa depan, yaitu panganan yang aman untuk dikonsumsi, lebih
bermutu tinggi, bernilai gizi, dan dapat bersaing di pasar global
(Cahyadi, 2009).
Menurut Cahyadi 2009. Tujuan dalam penggunaan bahan
tambahan pangan yaitu mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya
11
simpan pangan, menjadikan bahan pangan lebih mudah untuk
dihidangkan ke konsumen, dan memudahkan prepasi bahan pangan.
Bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
1. Bahan tambahan pangan dengan sengaja ditambahkan ke dalam
makanan, dengan mengetahui komposisi bahan yang digunakana
dengan tujuan mempertahankan kesegaran pada makanan, cita rasa,
dan membantu pengolahan sebagai pengawet, pewarna, dan
pengeras.
2. Bahan tambahan pangan tidak sengaja digunakan pada makanan,
yaitu bahan yang tidak memiliki fungsi pada makanan, secara tidak
sengaja dengan jumlah yang sedikit ataupun cukup banyak yang
berakibat perlakuan selama proses produksi, proses pengolahan, dan
proses pengemasan. Bahan ini dapat berupa kontaminan dari bahan
yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan bertujuan
untuk produksi bahan mentah.
2.1.4. Peraturan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Menurut Permenkes No.033 Tahun 2012 mengenai bahan
tambahan pangan masyarakat perlu untuk dilindungi dari penggunaan
bahan tambahan pangan berbahaya. Bahan tambahan pangan merupakan
bahan yang dimasukkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat
dan bentuk pangan. Bahan tambahan pangan harus memenuhi syarat
dengan tidak mngkonsumsi secara langsung atau tidak sebagai bahan
baku makanan.
12
Bahan tambahan pangan dapat memiliki atau tidak memiliki nilai
mutu gizi, yang dengan sengaja ditambahkan pada makanan bertujuan
teknologis pada produksi, pengolahan, perlakuan, pengemasan,
penyimpanan dan distribusi untuk menghasilkan suatu komponen atau
pengaruh sifat pada makanan, baik secara langsung atau tidak langsung.
Bahan tambahan pangan tidak termasuk cemaran bahan yang
ditambahkan ke dalam makanan agar dapat meningkatkan atau
mempertahankan nilai gizi pada makanan.
Bahan tambahan pangan apabila terdapat penambahan dan
pengurangan pada jenis bahan tambahan pangan perlu melakukan
laporan secara berkala setiap 6 (enam) bulan. Bahan tambahan pangan
yang diproduksi di Indonesia harus sesuai dengan persyaratan dan
standar pada Kodeks Makanan Indonesia. Makanan yang ditambahkan
BTP perlu dicantumkan label mengenai golongan jenis BTP, nama jenis
BTP, dan nomor indeks khusus untuk pewarna.
Pembinaan pada industri terhadap penggunaan bahan tambahan
pangan dilakukan oleh direktur jenderal dan pengawasan dilakukan oleh
kepala badan. Kepala badan akan melaporkan pengawasan kepada
menteri melalui direktur jenderal secara berkala setiap 6 (enam) bulan.
Kepala badan dapat memberikan sanksi administratif terhadap pelaku
pelanggaran, yaitu dengan; peringatan tertulis, larangan mengedarkan
sementara waktu atau penarikan dari peredaran, pemusnahan, apabila
terbukti tidak memenuhi syarat keamanan pangan, pencabutan izin edar.
Sanksi tersebut diberikan oleh kepala badan dengan atau tanpa adanya
13
usulan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota (Menteri Kesehatan RI, 2012).
2.1.5. Bahan Tambahan Pangan Yang Diizinkan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 722/Menteri Kesehatan /Per/IX/88, mengenai Golongan Bahan
Tambahan Pangan yang diizinkan, yaitu :
1. Antioksidan (Antioxidant)
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat oksidasi
pada bahan makanan. Penggunaan bahan seperti lemak hewani,
minyak nabati, produk pangan dengan kandungan lemak tinggi,
produk daging, produk ikan, dll.
2. Antikempal (Anticaking Agent)
Antikempal adalah bahan tambahan pangan yang mencegah
terjadinya pengempalan pada makanan yang berupa serbuk dan
tepung.
3. Pengatur Keasaman (Acidity Regulator)
Pengaturan keasaman (asidulan) yaitu senyawa kimia bersifat asam
yang termasuk bahan tambahan pangan yang secara sengaja
ditambah ke dalam makanan dengan tujuan yang beragam. Sifat
asam senyawa ini bisa mencegah terjadinya pertumbuhan mikroba
dan berperan sebagai bahan pengawet makanan.
4. Pemanis Buatan (Artificial Sweeterner)
Bahan tambahan pangan yang dapat menimbulkan rasa manis pada
makanan yang tidak memiliki atau hampir tidak memiliki nilai gizi.
14
5. Pemutih dan Pematang Tepung (Flour Treatment Agent)
Bahan tambahan pangan sering digunakan pada bahan tepung-
tepungan dan produk olahannya, bertujuan karakteristik warna putih
pada tepung merupakan ciri khas tepung yang memiliki mutu baik
dan tetap terjaga, sama halnya dalam memperbaiki mutu selama
proses pengolahan, seperti pengembangan adonannya selama
pemanggangan.
6. Pengemulsi, Pemantap, dan Pengental (Emulsifier, Stabilizer,
Thickener)
Bahan tambahan pangan yang dapat membantu terbentuknya sistem
dispersi homogen pada makanan. Biasa dipergunakan untuk
makanan yang mengandung air atau minyak.
7. Pengawet (Preservative)
Bahan pengawet umumnya digunakan bertujuan dalam
mengawetkan makanan yang memiliki sifat mudah rusak. Bahan ini
menjadi penghambat pada proses fermentasi, pengasaman, atau
penguraian yang disebabkan oleh mikrobakteri.
8. Pengeras (Firming Agent)
Bahan tambahan pangan untuk memperkeras atau mencegah
pelunakan pada makanan.
9. Pewarna (Colour)
Bahan tambahan pangan untuk memperbaiki atau memberikan
warna pada makanan, biasanya warna dapat dipakai sebagai
indicator kesegaran dan kematangan.
15
10. Penyedap rasa, aroma, dan penguat rasa (Flavour, Flavour
Enhancer)
Bahan tambahan pangan bertujuan untuk memberikan,
menambahkan atau mempertegas rasa dan aroma.
11. Seksuestran (Sequestrant)
Bahan tambahan pangan untuk mengikat ion logam yang terdapat
pada makanan sehingga mencegah terjadinya oksidasi yang
menimbulkan perubahan warna dan aroma pada makanan. Biasanya
ditambahkan makanan pada produk lemak dan minyak atau produk
yang memiliki mengandung lemak atau minyak seperti daging dan
ikan.
2.1.6. Bahan Tambahan Pangan Yang Dilarang
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 722/Menteri Kesehatan /Per/IX/88, mengenai Golongan Bahan
Tambahan Pangan yang tidak diizinkan penggunaannya pada makanan,
yaitu:
1. Natrium Tetraborat (Boraks)
2. Formalin (Formaldehyd)
3. Kloramfenikol (Chlorampenicol)
4. P-Phenetilkarbamida ( p - Phenethylcarbamide, Dulcin, 4-
ethoxyphenyl urea)
5. Kalium Klorat (Pottasium Chlorate)
6. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC)
7. Nitrofuranzon (Nitrofuranzone)
16
8. Asam Salisilat serta garamnya (Salicylic Acid and its Salt)
9. Minyak nabati yang di brominasi (Brominated Vegetable Oils)
2.1.7. Pengawet
Pengawet Bahan pengawet merupakan bahan tambahan pangan
yang mencegah atau sebagai penghambat pada proses fermentasi,
pengasaman atau penguraian terhadap makanan yang terjadi akibat
adanya mikroorganisme. Tetapi, tidak jarang produsen makanan
menggunakan pada pangan yang relatif lebih awet dengan bertujuan
dapat memperpanjang masa penyimpanan maupun memperbaiki tekstur
makanan. Saat ini, masih ditemukan penggunaan bahan pengawet yang
tidak diizinkan untuk dipergunakan pada makanan dan yang berbahaya
bagi kesehatan, seperti boraks, dan formalin (Cahyadi, 2008).
2.1.8. Boraks atau Asam Borat
Boraks merupakan bahan pengawet kayu, antiseptik kayu dan
sebagai Insectisida pengontrol kecoa, dengan nama kimia natrium
tetraborat dekahidrat (NaB4 O7 10H2O). Boraks juga memiliki nama
lain, yaitu; borax decahydrate, sodium borat, sodium biborate
decahydrate, disodium tetraborate decahydrate, sodium pyroborate
decahydrate, sodium tetraborate decahydrate, boron sodium oxide, dan
fused borax (Suhanda, 2012).
Asam Borat (H3 BO3) adalah senyawa bor dikenal dengan nama
lain yaitu boraks. Di daerah Jawa Barat sering dikenal oleh masyarakat
dengan nama “bleng”, sedangkan di daerah Jawa Tengah dan Jawa timur
17
sering dikenal oleh masyarakat dengan nama “pijer”. Penggunan bahan
tersebut ke dalam makanan berfungsi sebagai pengenyal dan pengawet
(Cahyadi, 2008). Boraks murni yang hanya diproduksi oleh industri
farmasi dan diperdagangkan dalam bentuk balok padat, kristal, tepung
dengan warna putih kekuningan, atau cairan tidak berwarna.
2.1.9. Karakteristik Boraks
Karakteristik Boraks atau yang sering disebut dengan asam borat
(Boric Acid) merupakan senyawa kimia turunan dari logam berat boron
(B). Asam borat terbagi tiga macam senyawa kimia, yaitu; asam
ortoborat, asam metaborate, dan asam piroborat (Suhanda, 2012).
Boraks adalah senyawa hidrat dari garam natrium tetraborat dengan
molekul Natrium Tetraborat Dekahidrat dengan garam natrium
tetraborat adalah garam natrium dari asam piroborat. Boraks adalah
senyawa bor yang berbentuk granular, tidak memiliki bau, tidak larut
dalam alkohol, dan stabil pada suhu dan memiliki tekanan normal.
Apabila larut di dalam air boraks akan berubah menjadi natrium
hidroksida dan asam borat. Dengan seperti itu bahaya boraks sama
dengan bahaya asam borat (Lubis U, 2016).
2.1.10. Kegunaan Boraks
Boraks atau borate mempunyai nama lain sodium tetraborate
biasa dipakai pada industri non-pangan untuk keperluan antiseptik dan
zat pembersih. Selain itu, dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan detergen, pengawet kayu, antiseptik kayu, pengontrol kecoa
18
(hama), dll (Lubis U, 2016). Boraks dapat dipakai pada perindustrian
elektronik seperti pembuatan kapasitor atau kondensor elektronik yang
digunakan pada sistem mesin auto mobil, pendingin eletrik, radio,
Televisi, dan barang elektronik lain (Suhanda, 2012).
2.1.11. Penyalahgunaan Boraks
Boraks disalahgunakan untuk bahan tambahan pangan dengan
tujuan untuk mempengaruhi sifat makanan itu sendiri seperti
mengenyalkan dan mengawetkan makanan. Boraks biasa dikenal oleh
masyarakat awam pijer, bleng, cetitet, dan gendar. Penggunaan boraks
dilakukan oleh produsen pada makanan seperti; kerupuk ketika digoreng
akan mengembang dan memiliki tekstur bagus serta renyah, lontong dan
bakso akan menjadi kenyal dan tahan lama begitu pun pada cendol dan
cincau. Penggunaan ini sudah terjadi sejak lama dan menjadi hal biasa
dilakukan oleh masyarakat sendiri.
2.1.12. Toksisitas Boraks
Mekanisme toksisitas boraks memiliki dua fase. Fase pertama,
adalah; fase kinetik berupa proses absorbsi, distribusi, metabolisme
tubuh, dan proses pembuangan (ekskresi). Pada fase pertama zat toksik
akan terjadi proses sinergestis atau antagonis. Pada fase kedua
merupakan fase dinamik yang berupa suatu proses lanjut dari fase
kinetik. Pada fase ini, zat toksik yang tidak dapat dinetralisir oleh tubuh
akan terjadi reaksi dengan senyawa hasil proses biosintesa seperti
19
protein, enzim dan lemak dan hasilnya bersifat merusak terhadap proses
biomolekul dalam tubuh (Suhanda, 2012).
Proses masuknya boraks ke dalam tubuh manusia yaitu dengan
melalui oral disaat manusia mengkonsumsi makanan yang mengandung
boraks. Kemudian boraks yang masuk ke dalam tubuh terabsorbsi secara
kumulatif oleh saluran pencernaan dan selaput lendir (membran
mukosa) dan sedikit demi sedikit zat boraks akan terakumulasi dalam
tubuh. Sering mengkonsumsi makanan yang mengandung zat boraks
dapat mengganggu pergerakan pada pencernaan usus dan bisa
menyebabkan usus tidak dapat mengubah zat makanan sehingga tidak
dapat diserap dan diedarkan ke seluruh tubuh. Kemudian boraks
terdistribusikan melalui peredaran darah oleh vena porta ke hati. Hati
memiliki banyak tempat pengikatan. Kadar enzim yang melakukan
metabolisme xenobiotik di dalam hati tinggi terutama pada enzim
sitokrom P-450. Enzim ini menyaring toksikan besar menjadi kurang
toksik dan dapat lebih mudah larut dalam air sehingga mudah
diekskresikan oleh hati (Lubis U, 2016).
Masuknya boraks yang terlalu sering akan menyebabkan terjadi
kerusakkan pada membran sel hati, yang akan diikuti pada kerusakan
pada sel parenkim hati. Hal tersebut dapat terjadi akibat gugus aktif pada
boraks B=O yang akan mengikat zat protein dan lemak tak jenuh.
Sehingga, menyebabkan terjadinya peroksidasi lemak. Peroksidasi
lemak dapat merusak permeabilitas pada sel. Sebab, membran sel kaya
akan lemak yang dapat berakibat semua zat dapat keluar masuk ke dalam
20
sel yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel hati (Suhanda,
2012).
Ketika sel-sel hati telah rusak maka terjadi induksi enzim yang
terletak di dalam sel hati (enzim intraseluler) enzim intraseluler akan
dilepaskan ke aliran darah. Enzim tersebut merupakan Serum Glutamic
Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic Piruvic
Transaminase (SGPT). Peningkatan pada kadar SGPT dan SGOT dalam
darah dapat dijadikan suatu indikator biologis secara tidak langsung
untuk mendeteksi keracunan boraks. Di dalam aliran darah boraks dapat
mengakibatkan gangguan metabolisme asam folat yang memiliki peran
untuk pembentukan sel darah (Lubis U, 2016).
2.1.13. Dampak Boraks Pada Kesehatan
1. Dampak Bersifat Akut
1) Terhirup (Inhalasi) dapat menyebabkan iritasi pada selaput
lendir dengan gejala batuk.
2) Kontak dengan kulit menimbulkan iritasi kulit.
3) Pada mata dapat menimbulkan iritasi, mata menjadi merah dan
terasa perih.
4) Apabila tertelan (Ingesti) menyebabkan gejala tertunda
meliputi badan terasa tidak enak, mual, muntah, terasa nyeri
pada perut bagian atas (Epigastrik), pendarahan lambung
(Gastroentritis) disertai dengan diare, muntah darah, lemah,
demam dan sakit kepala.
2. Dampak Bersifat Kronis
21
Menyebabkan nafsu makan menjadi turun, gangguan
pada pencernaan, anemia, terjadinya rambut rontok, kanker,
gangguanm pada hati, tidak terbentuknya urin (Urinaria), koma,
menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun,
kerusakan pada ginjal, pingsan. Kematian pada orang dewasa
yang sering mengkonsumsi dapat terjadi pada dosis 15-25 gram.
Sedangkan pada anak-anak yang sering mengkonsumsi dapat
terjadi pada dosis 5-6 gram (Cahyadi, 2009).
2.1.13 Lontong
Lontong merupakan makanan khas Indonesia yang telah dikenal
dan berkembang di masyarakat. Lontong terbuat dari beras yang
dibungkus oleh daun pisang yang kemudian dimasak secara dikukus di
atas air yang mendidih selama beberapa jam. Lontong biasa disajikan
dengan sate, dan gulai kambing. Lontong atau lepet berwarna hijau pada
bagian luarnya dan berwarna putih pada bagian dalam dan mempunyai
aroma yang khas pada lontong. Tekstur dan sifatnya yang kenyal dan
mudah basi pada lontong sering terdapat produsen yang sengaja
memasukan zat boraks pada lontong untuk bertujuan pengenya dan
pengawet pada lontong yang mereka jual (Rumanta, 2014).
2.1.14 Ciri – Ciri Lontong yang Mengandung Boraks
Makanan yang mengandung borkas ditandai dengan adanya;
memiliki aroma tajam seperti bahan kimia yang menyengat, bersifat
membal apabila ditekan terasa sangat kenyal dan padat, sedangkan yang
22
tidak mengandung boraks apabila lontong ditekan akan meninggalkan
bekas, lebih tahan lama, tidak lengket atau berlendir saat dipotong, dan
tidak dihinggapi oleh serangga seperti lalat (Rumanta, 2014).
2.1.14. Perilaku
Perilaku adalah hasil dari segala macam pengalaman serta
interaksi yang sangat luas Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2012)
yang telah membagi 3 ranah atau domain perilaku, yaitu; kognitif
(cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Perilaku
adalah reaksi psikis dari seseorang terhadap lingkungan, reaksi tersebut
memiliki beragam jenis bentuk yang digolongkan menjadi 2, yaitu;
bentuk pasif (tanpa adanya tindakan yang nyata atau konkrit), dan
bentuk aktif (dengan adanya tindakan konkrit). Bentuk perilaku d apat
diamati dengan melihat sikap dan tindakan, tetapi bukan berarti bentuk
perilaku hanya bisa dilihat dari sikap dan tindakan. Perilaku bisa bersifat
potensial dalam bentuk pegetahuan, motivasi, dan persepsi.
Menurut L.Green (1993) yang dikutip Notoatmodjo (2014),
mengatakan bahwa kesehatan pada seseorang individu ataupun
masyarakat dapat dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu; faktor perilaku dan
faktor diluar perilaku, dilanjutkan perilaku ditentukan atau dibentuk dari
3 faktor, sebagai berikut:
1. Faktor predisposisi (Predisposing factors) yang terwujudkan pada
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan
sebagainya.
23
2. Faktor pendukung (Enabling factors) yang terwujudkan pada
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana
prasarana.
3. Faktor pendorong (Reinforcing factors) yang terwujudkan pada
sikap dan perilaku petugas yang menjadi kelompok referensi atau
sebagai contoh dari perilaku masyarakat.
2.1.15. Pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara pengertian pendidikan merupakan
pengalaman belajar secara berlangsung dalam lingkungan dan selama
hidup (long life education). Pendidikan adalah situasi hidup yang dapat
mempengaruhi proses pertumbuhan seseorang. Secara simplistik
pendidikan sebagai sekolah, yaitu pembelajaran yang dilakukan di
sekolah sebagai peran lembaga pendidikan formal. Pendidikan
merupakan mempengaruhi suatu upaya kepada anak dan remaja yang
diserahkan kepada mereka agar memiliki kemampuan atau skill
sempurna dan kesadaran terhadap hubungan dan sosial mereka (Samho
& Yasunari, 2010).
Pendidikan adalah usaha sadar dilakukan oleh keluarga,
masyarakat dan pemerintah, dengan melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran atau latihan yang dilaksanakan di sekolah dan maupun luar
sekolah. Pengalaman belajar dalam pendidikan formal, nonformal
ataupun informal di sekolah berlangsung seumur hidup mempunyai
tujuan dalam mengoptimalisasi pertimbangan kemampuan seseorang,
agar dapat memainkan peran secara tepat. Peran sekolah progresivisme
24
menempatkan sekolah sebagai agen dalam perubahan (agent of change)
yang bertugas mengenalkan dan memberikan nilai baru kepada peserta
didik (Mudzkirah, 2016).
2.1.16. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari “Tahu” yang terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan pada suatu objek dengan
menggunakan penginderaan, yaitu; penciuman, pendengaran,
penglihatan, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
didapatkan dengan melalui penginderaan penglihatan dan penginderaan
pendengaran. Pengetahuan dalam domain kognitif memiliki 6 tingkatan,
yaitu:
1. Tahu (Know)
Tahu didefinisikan sebagai mengingat suatu materi yang sudah
dipelajari sebelumnya. Pengetahuan pada tingkatan ini merupakan
pengingatan kembali terhadap suatu yang lebih spesifik dari seluruh
rangsangan yang sudah didapatkan atau dipelajari. Karena itu, hal
tersebut adalah tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Dalam
mengukur bahwa seseorang mengetahui mengenai apa yang
dipelajari, yakni; menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan.
Menyatakan, dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan dalam
menjelaskan dengan tepat mengenai objek yang diketahui dan dapat
menginterprestasikan suatu materi secara benar. Orang yang sudah
25
memahami terhadap suatu materi atau objek harus dapat
menjelaskan, menyebutkan, menyimpulkan, meramalkan, dan
sebagainya terhadap objek yang sudah dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi dapat diartikan sebagai kemampuan dalam
menggunakan materi yang sudah dipelajari pada suatu situasi atau
kondisi yang nyata, aplikasi dapat diartikan sebagai pengaplikasian
atau penggunaan hukum, rumus metode, prinsip dan sebagainya
dalam konteks atau situasi yang berbeda.
4. Analisis (Analisys)
Analisis merupakan kemampuan dalam menjabarkan suatu
materi atau objek ke dalam suatu komponen. Akan tetapi, masih
masuk pada suatu struktur organisasi dan masih saling berkaitan
satu dengan yang lainnya. Kemampuan analisa dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja yang bisa membedakan, menggambarkan,
mengelompokkan, dan sebagainya.
5. Sintesa (Synthesis)
Sintesa merupakan kemampuan dapat meletakkan atau
menggabungkan bagian pada suatu bentuk keseluruhan yang baru,
atau sintesis merupakan kemampuan dalam menyusun suatu formasi
baru dari informasi yang sudah ada. Misalnya; menyusun,
memakai, menyimpulkan, dan menyesuaikan pada suatu teori atau
rumusan yang sudah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
26
Evaluasi memiliki hubungan dengan kemampuan dalam
melakukan justifkasi atau penilaian terhadap suatu materi atau
objek. Penilaian itu berdasarkan pada suatu kriteria yang sudah ada
(Nastiti, 2016).
Kemudahan untuk mendapatkan suatu informasi bisa membantu
untuk mempercepat seseorang dalam mendapatkan pengetahuan
yang baru. Pengukuran pengetahuan dapat menggunakan media
wawancara atau angket dengan menanyakan mengenai suatu materi
yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden (Nastiti,
2016).
2.1.17. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon individu terhadap suatu
objek atau rangsangan. Sikap adalah reaksi bersifat emosional terhadap
stimulus sosial. Sikap merupakan belum menuju suatu tindakan atau
aktivitas tetapi merupakan suatu faktor predisposisi tindakan atau
perilaku. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap mempunyai
berbagai tingkatan (Nastiti, 2016), yakni :
1. Menerima (Receiving)
Menerima dmerupakan seseorang (subyek) dapat dan
memperhatikan stimulus atau materi yang diberikan (obyek)
kepadanya.
2. Merespon (Responding)
Merespon merupakan dapat memberikan jawaban jika dapat
ditanya, dapat mengerjakan, dan dapat menyelesaikan tugas yang
27
diberikan adalah salah satu indikator sikap. Karena, terdapat upaya
dalam menjawab suatu pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan. Terlepas dari apa yang dikerjakan itu benar atau salah
berarti orang itu menerima ide tersebut.
3. Menghargai (Valuing)
Menghargai dan mengajak orang lain dalam mengerjakan atau
berdiskusi terhadap suatu permasalahan merupakan suatu indikator
sikap pada tingkatan ketiga.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas semua hal yang sudah dipilih dengan
segala resiko merupakan tingkatan sikap yang paling tinggi
(Notoatmodjo, 2003).
Pengukuran pada sikap dapat dilakukan dengan cara menilai
pernyataan sikap dari seseorang. Pernyataan sikap merupakan suatu
rangkaian kalimat yang menyatakan sesuatu tentang obyek sikap yang
qkqn diungkapkan. Pernyataan sikap berisikan hal yang positif
mengenai suatu obyek sikap, mengandung kalimat bersifat mendukung
atau memihak pada obyek sikap, pernyataan tersebut adalah pernyataan
favourable. Dan sebaliknya, apabila pernyataan sikap berisikan hal
negatif mengenai suatu obyek sikap bersifat tidak mendukung atau
kontra terhadap suatu obyek sikap. penyataan tersebut adalah
pernyataan yang tidak favourable.
Pengukuran pada sikap dapat dilakukan dengan secara langsung
atau tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana
pendapat dan pernyataan responden terhadap suatu obyek, dan secara
28
tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan hipotesis kemudian
ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Nastiti, 2016).
2.1.17 Pengawasan Petugas Kesehatan
Tenaga kesehatan merupakan salah satu unsur yang berada di
masyarakat dan pemerintah yang diperlukan dalam perannya untuk
dapat mencapai tujuan pada pembangunan kesehatan. Selama ini peran
yang dikenal dari seorang. Harapan pada masyarakat kepada tenaga
kesehatan adalah dapat memberikan solusi terbaik dalam penyelesaian
suatu permasalahan kesehatan baik keluhan pada hal yang dasar sampai
dengan hal yang paling kompleks.
Dalam Undang-undang (UU) tentang Tenaga Kesehatan (UU
No. 36 Tahun 2014) telah disebutkan bahwa tenaga kesehatan
merupakan setiap individu yang mengabdikan dirinya dalam bidang
kesehatan dan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang didapatkan
melalui pendidikan di bidang kesehatan pada jenis tertentu dengan
membutuhkan kewenangan dalam melakukan suatu upaya kesehatan.
Semakin maraknya peredaran makanan yang mengandung bahan
tambahan pangan berbahaya diperlukannya melakukan pengawasan
terhadap peredaran makanan yang mengandung kemungkinan
mengandung BTP berbahaya (Kartikasari, 2012).
2.2. Kerangka Teori
Berdasarkan teori L.Green dalam Notoatmodjo (2011) mengatakan
bahwa perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor predisposisi
(predisposisi), faktor pemungkin (enabling), dan faktor penguat (reinforcing).
29
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Nastiti, 2016)
faktor yang mempengaruhi penggunaan zat boraks pada lontong dapat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap, dan pengawasan
oleh petugas kesehatan. Tingkat pendidikan pada seseorang dapat
mempengaruhi pengetahuan yang didapatkannya. Pengetahuan yang salah
pada suatu objek akan mempengaruhi sikap yang terbentuk terhadap objek
tersebut juga akan menjadi salah.
Sikap yang kurang baik dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan
pengetahuan. Keduanya dapat mempengaruhi sikap dari seseorang sehingga
dapat melakukan tindakan. Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kecenderungan perilaku penggunaan zat boraks oleh produsen. Pengawasan
yang kurang oleh petugas kesehatan mempengaruhi banyaknya produsen yang
masih menggunakan zat boraks pada lontong.
30
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Keterangan : Faktor – faktor yang berhubungan penggunaan zat boraks
Sumber :{Modifikasi Dari Teori Lawrence Green (1980) dan Nastiti (2016)}
Faktor Predisposisi (Predisposing factors)
1. Pendidikan
2. Pengetahuan
3. Sikap
4. Kepercayaan
5. Keyakinan
6. Nilai – nilai
7. Persepsi
Faktor Pendukung (Enabling factors)
1. Sarana Kesehatan
2. Fasilitas Kesehatan
3. Jarak Tempat Tinggal
Faktor pendorong (Reinforcing factors)
1. Pengawasan Petugas Kesehatan
2. Dukungan Keluarga
3. Tokoh Masyarakat
4. Dukungan Pemimpin
Perilaku Produsen Dalam
Penggunaan Zat Boraks