sustaining peace in aceh

288
Proceedings of International Seminar on Sustaining Peace in Aceh Through the Integration of Local Values EDITORS: Muliadi Kurdi & Anton Widyanto Prophetic Pragmatism: Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao Civic Education in Post Conflict Area Pendidikan Hukum dan Pemberdayaan Civil Society dalam Menjaga Perdamaian di Aceh Membumikan Perdamaian dalam Bingkai Syari’at Islam di Aceh Promoting Peace Education Through Multicultural Education in Aceh Maslahah dalam Civil Society Jeffrey Ayala Milligan Anton Widyanto Fauzi Saleh Muhibbuththabary Muhammad Thalal Syamsuar Basyariah published by LEMBAGA KAJIAN AGAMA DAN SOSIAL (LKAS) BANDA ACEH Institute for Religious and Social Studies in cooperation with SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH, ACEH BARAT College for Islamic Studies

Upload: khairul-umami

Post on 30-Jun-2015

1.227 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Proceedings of International Seminar on Sustaining Peace in Aceh Through the Integration of Local Values

TRANSCRIPT

Page 1: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar on

Sustaining Peacein AcehThrough the Integration of Local Values

EDITORS:Muliadi Kurdi & Anton Widyanto

Prophetic Pragmatism: Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao

Civic Education in Post Conflict Area

Pendidikan Hukum dan Pemberdayaan Civil Society dalam Menjaga Perdamaian di Aceh

Membumikan Perdamaian dalam Bingkai Syari’at Islam di Aceh

Promoting Peace Education Through Multicultural Education in Aceh

Maslahah dalam Civil Society

Jeffrey Ayala Milligan

Anton Widyanto

Fauzi Saleh

Muhibbuththabary

Muhammad Thalal

Syamsuar Basyariah

published byLEMBAGA KAJIAN AGAMA DAN SOSIAL (LKAS) BANDA ACEH

I nst i tute for Re l igious and Socia l Studiesin cooperation with

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) TEUNGKU DIRUNDENGMEULABOH, ACEH BARAT

Col lege for I s lamic Studies

Page 2: Sustaining Peace in Aceh
Page 3: Sustaining Peace in Aceh

P r o c e e d i n g s o f I n t e r n a t i o n a l S e m i n a r o n

Sustaining Peace in AcehThrough the Integration of Local Values

Page 4: Sustaining Peace in Aceh
Page 5: Sustaining Peace in Aceh

Sustaining Peacein Aceh

Through the Integration of Local Values

EDITORS:Muliadi Kurdi

Anton Widyanto

P r o c e e d i n g s o f I n t e r n a t i o n a l S e m i n a r o n

Page 6: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar on Sustaining Peace in Aceh Through the Integration of Local Values

First publication, October 2010

EditorsMuliadi Kurdi

Anton Widyanto

ContributorsJeffrey Ayala Milligan, Anton Widyanto, Fauzi Saleh, Muhibbuththabary,

Kusmawati Hatta, Firdaus M. Yunus, M. Nasir Budiman, Muhammad Thalal,Fuad Mardhatillah UY. Tiba, Asmawati, Abd. Wahid, Juhari Hasan,

Syamsuar Basyariah, Andi Nuzul, Syarifuddin, M. Jamil Yusuf

Cover design/layoutKhairul Umami

All rights reserved © 2010, LKAS Banda Aceh

Published byLembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh

Jl. Teungku Dihaji, Lr. Nyak Awan, Gg. Pawang Adam, No. 14, LamdinginKecamatan Kuta Alam - Banda Aceh

E-mail: [email protected]

in cooperation withSekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tgk. Dirundeng

Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda, No. 100. Meulaboh-Aceh Barat Telp: 0655-7551591. Fax: 0655-7551591

E-mail: [email protected] Website: www.staidirundeng.ac.id

16 x 24 cmxii + 272 pages

ISBN. 978-602-95838-7-8

Copyright and reprint permissionAll rights reserved. This book, or parts thereof, may not be reproduced in any form

or by any means, electronic or mechanical, including photocopying, recording,or any information storage and retrieval system now known or to be invented,

without written permission from the Publisher.

Page 7: Sustaining Peace in Aceh

v

PREFACEFROM THE PUBLISHER

In response to the dynamics of peace in Aceh post-MoU Helsinki, in

cooperation with STAI Tgk. Dirundeng, on May 23, 2010 the Institute for

Religious and Social Studies (LKAS) Banda Aceh, held the international

seminar in Meulaboh, West Aceh with the theme: Sustaining Peace in Aceh

Through the Integration of Local Values. The main aspects examined

in this seminar was the role and contribution of peace education in the

context of sustaining peace in Aceh. This aspect is very interesting to be

discussed considering that character building is one of the main tools

in the effort to continue peace in Aceh. Redesigning of a character—

including the character of pro-peace—merely can be made through the

education process and certainly is not an easy job as turning the palm of

the hand. Constant tenacity, patience and devoutness are needed from all

stakeholders in Aceh.

The book currently before your hand is a compilation of papers

presented in the international seminar. We intentionally publish the

proceedings in order to become a starting point for everyone concerned to

establish peace education as part of the Acehnese community. As a nation,

we must realize that history has always been a spirit in doing various

enlightening life towards par excellent. We are aware that this book is still

Page 8: Sustaining Peace in Aceh

vi Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

far from perfection, both in terms of printing quality and layout. For that,

we expect your understanding and forgiveness. We are very grateful to

the local government of Aceh Barat, STAI Teungku Dirundeng, Meulaboh,

contributors, editors, layout staff, as well as all the parties involved, either

directly or indirectly, in the success of this activity.

We hope that not only is this book to be a valuable documentation,

but also to continue to be a reflection for all of us in learning and

maintaining peace on the land of Iskandar Muda. Therefore, our ideals are

not empty of meaning in creating a brighter future and dignity for Aceh.

Happy reading!

Banda Aceh, October 2010

Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh

Page 9: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES vii

PENGANTARKETUA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH

Aceh adalah salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami konflik

bersenjata berkepanjangan. Salah satu ekses dari konflik bersenjata ini

adalah runtuhnya nilai-nilai lokal (local values) di kalangan masyarakat

Aceh. Meski konflik bersenjata ini berakhir dengan ditandatanganinya MoU

Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, namun suasana di masa-masa awal

pasca penandatanganan tersebut tidak serta merta menjadi benar-benar

damai. Masih rendahnya rasa kepercayaan antara pihak yang bertikai di

masa transisi menjadikan Aceh masih dikungkung ketercekaman. Namun

demikian kondisi ini seiring dengan berjalannya waktu menunjukkan

perkembangan positif. Kepercayaan antara pihak yang pernah bertikaipun

perlahan mulai tumbuh subur. Perkembangan ini tentu patut diapresisasi

secara positif. Salah satunya adalah dengan cara menghidupkan kembali

nilai-nilai islami dan kearifan lokal di Aceh. Hal ini tentu sangat krusial

mengingat Aceh menyimpan banyak sekali budaya atau nilai-nilai lokal

keacehan yang relevan dengan nilai-nilai Islam. Sejarahpun mencatat bahwa

antara Aceh dengan Islam bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat

dipisahkan.

Salah satu kiat menghidupkan nilai-nilai lokal di Aceh adalah dengan

merevitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan yang ada di sekolah-sekolah.

Page 10: Sustaining Peace in Aceh

viii Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Nilai-nilai lokal seperti musyawarah, gotong-royong, menegakkan keadilan,

mementingkan persatuan, persamaan hak, persaudaraan, dan sekaligus

mementingkan kepentingan umum serta bertanggung jawab baik kepada

diri, masyarakat dan negara adalah aspek yang tidak bisa diabaikan. Nilai-

nilai ini semua relevan sekali dengan jiwa dan semangat syari’at Islam

yang berlaku di Provinsi Aceh. Ini juga juga merupakan bentuk masyarakat

madani yang pernah tersusun dengan rapi ketika Nabi Muhammad saw.

memimpin pemerintahan di negara Madinah selama 10 tahun.

Rajutan nilai-nilai tersebut di atas yang sama-sama bersumber dari

Alquran dan alhadis pada dasarnya tidak bertentangan dengan asas dan

prinsip yang ada dalam syariat Islam, Negara Kesatuan Republik Indonesia,

dan asas-asas pelaksanaan kemasyarakatan di Aceh. Hal ini juga sesuai

dengan spirit atau pesan dasar fiqh siyasah. Pengamalan nilai-nilai tersebut

akan berimplikasi pada lahirnya tiga kecerdasan dalam jiwa masyarakat Aceh

yang cinta damai yaitu kecerdasan spiritual, intelektual dan emosional, yang

kesemuanya berorientasi pada apa yang disebut dengan “titik ketuhanan”.

Dalam kerangka inilah seminar internasional Sustaining Peace in Aceh

through the Integration of Local Values menjadi sangat penting. Nilai-nilai

yang diangkat dalam pembahasan seminar ini diyakini dapat dijadikan

perekat antara Pemerintah Pusat (Jakarta) dengan Aceh, antara sesama

masyarakat Aceh, dan juga antarelemen pengikat antarbangsa. Lebih dari

itu, pesan utama yang disampaikan dari seminar internasional ini adalah

bahwa Aceh perlu membudayakan nilai-nilai tersebut sehingga perubahan

yang diinginkan di Aceh ke depan sesuai dengan rasa kemanusian manusia

sejagat.

Demikianlah pengantar ini kami sampaikan. Semoga sekelumit

pemikiran-pemikiran yang ada dalam buku ini maupun yang berkembang

selama dalam seminar dapat bermanfaat bagi pengembangan Aceh di masa-

masa mendatang. Amin ya Mujibas Sa’ilin.

Meulaboh, September 2010

Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)

Teungku Dirundeng Meulaboh,

Dr. Syamsuar Basyariah, M.Ag

Page 11: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES ix

PENGANTARBUPATI ACEH BARAT

Konflik Aceh yang telah berlangsung puluhan tahun terbukti telah

menyebabkan runtuhnya berbagai sendi penting kehidupan masyarakat

Aceh baik dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara.

Namun sejak MoU Helsinki ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005,

apa yang masyarakat Aceh cari sudah menemukan titik temu. Perdamaian

yang sudah terjalin, sudah barang tentu harus disyukuri dan wajib diisi

dengan penguatan masyarakat sipil untuk membentuk kesatuan masyarakat

Aceh yang madani.

Dalam mewujudkan misi mulia ini, saya meyakini bahwa nilai-nilai

Islam dan kearifan lokal Aceh perlu dihidupkan. Nilai-nilai kearifan lokal

Aceh sangat penting untuk direvitalisasi oleh semua pengambil kebijakan

(stakeholder) dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Dengan

menghidupkan budaya dan kearifan lokal, kelanjutan perdamaian Aceh

akan berlangsung secara kontinyu. Adanya keterkaitan erat antara nilai-nilai

lokal Aceh dan nilai-nilai Islam mengindikasikan bahwa semua masyarakat

Aceh harus melaksanakan syari’at Islam dengan baik dan benar dalam

kehidupan sehari-hari.

Pelaksanaan syariat Islam secara komprehensif di Aceh pada dasarnya

sejalan dengan pesan-pesan ilahiyah terkait dengan perdamaian. Oleh

Page 12: Sustaining Peace in Aceh

x Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

karena itu, perdamaian yang sudah terwujud di Aceh mutlak harus dijaga

dan dirawat dengan baik dan serius oleh semua elemen masyarakat Aceh.

Keseriusan dalam mempertahankan dan mengisi perdamaian ini tentu

akan berimbas secara positif bagi masyarakat Aceh untuk bisa mengejar

ketertinggalan dalam berbagai aspek yang diakibatkan konflik bersenjata

selama ini.

Selamat menelaah!

Meulaboh, September 2010

Bupati Aceh Barat

Ramli MS

Page 13: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES xi

Contents

Preface from the Publisher v

Pengantar Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam(STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh vii

Pengantar Bupati Aceh Barat ix

Jeffrey Ayala MilliganProphetic Pragmatism? Post-Conflic Educational Developmentin Aceh and Mindanao 1

Anton Widyanto Civic Education in Post Conflict Area 27

Fauzi Saleh Pendidikan Hukum dan Pemberdayaan Civil Societydalam Menjaga Perdamaian di Aceh 47

Muhibbuththabary Membumikan Perdamaian dalam Bingkai Syari’at Islam di Aceh 63

Kusmawati Hatta Integrasi Civic Education dalam Pendidikan Formaldalam Rangka Membangun Demokrasi Berkeadaban 81

Page 14: Sustaining Peace in Aceh

xii Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Firdaus M. YunusKonstruksi Kurikulum Pendidikan Damai di Aceh 91

M. Nasir Budiman Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal dalam MenjagaKeberlangsungan Perdamaian di Aceh 103

Muhammad ThalalPromoting Peace Education Through MulticulturalEducation in Aceh 117

Fuad Mardhatillah UY. Tiba Karekteristik Kebudayaan Aceh dan Implikasinya TerhadapKedamaian Hidup Masyarakat 129

Asmawati Integrasi Pendidikan Damai dalam MembangunPerdamaian di Aceh 141

Abd. Wahid Integrasi Damai dalam Pendidikan Islam BerasaskanOtonomi Khusus di Aceh 153

Juhari Hasan Pembelajaran Civic Education dalam Rangka MemperkuatDemokratisasi di Aceh 169

Syamsuar Basyariah Maslahah dalam Civil Society 179

Andi Nuzul Hukum Islam di Tengah Bangunan Sistem Hukum Nasional 203

Syarifuddin Pendidikan Karakter Solusi Pembentukan Manusia Acehyang Berkeadaban 221

M. Jamil Yusuf Urgensi Pendidikan Nilai Untuk Aceh Damai Berkelanjutan 243

Page 15: Sustaining Peace in Aceh

1

Prophetic Pragmatism?Post-Conflict Educational Development in Acehand Mindanao

Jeffrey Ayala MilliganAssociate professor of philosophy of education and sociocultural/international development education studies, Florida State University

Inquiry into the role of education before, during and after conflict

has grown in recent years in the hope of contributing to our understanding

of more effective means of preventing conflict through education or,

when conflict prevention fails, of maintaining or re-establishing effective

education during and after conflict (Sommers, 2002; Smith & Vaux, 2003;

Milligan, 2005; Davies, 2005). Such goals require, of course, a thorough

understanding of the specific socio-historical context of particular conflicts

and the roles education has played and might play in them, but they also

strongly suggest the necessity of a philosophical framework conducive to

understanding and developing strategic responses to common dimensions

of different conflicts while not losing sight of the critical particularities of

any single conflict.

In this essay, therefore, I will examine two cases of ethno-religious

conflict in Southeast Asia: Aceh, in far-western Indonesia, and Muslim

Mindanao, in the southern Philippines. Without, I hope, losing sight of

the important differences between these two cases, I will argue that their

similarities make the conflicts in Aceh and Mindanao useful comparative

Page 16: Sustaining Peace in Aceh

Jeffrey Ayala Milligan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES2 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

cases for the exploration and development of a philosophical framework

for understanding and responding to these and other similar conflicts. I

will argue that Cornel West’s (1989) conception of prophetic pragmatism

accounts for key socio-historical dimensions of both conflicts, that it is

adaptable to an Islamic religious context, that it anticipates many of the

postcolonial critiques of liberal developmentalism, and that it is consistent

with recent educational developments in Aceh and Mindanao. Thus, it

constitutes a useful basis for such a framework for these two cases and,

perhaps, other similar cases. I will conclude with a brief exploration of what

a prophetic pragmatic approach to education might mean in post-conflict

Aceh and Muslim Mindanao.

Separatist conflict in Aceh and Mindanao

The context of the separatist conflict in the Indonesian province of

Aceh has deep roots in the colonial and postcolonial history of the region.

Aceh is generally recognized as the site of the first introduction of Islam

into Southeast Asia and, by the 18th century, the site of an independent,

internationally recognized Muslim state (Riddell, 2006). Though hard-

pressed by the colonization of the region by Western powers, Aceh

maintained this independence until the early 20th century, when it was

finally brought under more or less effective Dutch control after more than

three decades of armed conflict with Dutch colonial forces (Alfian, 2006).

This relatively brief period of tenuous colonial control was brought to an

end by the Japanese occupation of Indonesia during World War II and the

successful Indonesian struggle for independence thereafter (Reid, 2006b).

This history of political independence and anti-colonial resistance, as well

as the ethnic distinctiveness of the Acehnese people constitute one of the

primary arguments of contemporary supporters of Acehnese independence

(Nielsen, 2002; Thaib, 2002).

A major theme of this discourse is the central role of Islam and Islamic

identity, not only in the cultural and political history of Aceh, but in more

contemporary explanations of Acehnese distinctiveness from a perceived

Java-centric Indonesian state as well and the rationales for independence that

Page 17: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Prophetic Pragmatism? Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao

3Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

follow from it. Thus Aceh is perceived to be the heir of an historical legacy

making it the site of a more orthodox Islamic identity than other regions

of Indonesia, the defense of which was a major motivation of resistance to

Dutch colonization (Alfian, 2006). The importance of religion as a factor in

the history of the Aceh conflict was reinforced in the immediate aftermath of

World War II during the so-called “social revolution,” in which supporters of

progressive ulama rooted in the network of Islamic educational institutions

in Aceh effectively ended the long political dominance of the traditional

political-economic elite and in the 1950s in Aceh’s prominent role in the

Darul Islam revolt, which pitted advocates of an Indonesian Islamic state

against the more secularist state emerging under Sukarno (Sulaiman, 2006;

Aspinall, 2006). While subsequent separatist rhetoric has been less explicitly

religious in its rationale for the independence struggle, resentment against

what is perceived as a neocolonialist imposition of a syncretic Javanese

culture continues to be a factor in the conflict (Chalk, 2001). Thus, while

religious identity may not be the only, or even the most important, element

of the conflict in Aceh, it has been and remains an important dimension

of the Acehnese’ sense of difference justifying the separatist struggle

(Salim, 2004). Therefore, a complete understanding of the conflict, and any

conceptualization of educational development in the region, must account

for the role of religion and religious identity.

As religious justifications for Acehnese independence receded, socio-

economic rationales assumed a new prominence in subsequent decades

(Salim, 2004; Sulaiman, 2006). Encouraged by the Indonesian government

in an effort to dilute Acehnese separatist sentiment, migrants from other

regions moved into Aceh to take advantage of new employment and other

economic opportunities in the province (Nielsen, 2002). This shift in the

ethnic balance of the population coincided with the development of the

natural gas and oil resources of the province, development which was

perceived to disproportionately benefit the national government rather than

the Acehnese people, thus contributing to a widespread sense of economic

exploitation (Sulaiman, 2006). This sense of alienation was exacerbated

further through the 1990s as the Indonesian government’s often heavy-

Page 18: Sustaining Peace in Aceh

Jeffrey Ayala Milligan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES4 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

handed and even brutal reaction to the armed separatist movement led to

frequent and well-documented human rights abuses (Aspinall, 2006). Thus

the Acehnese’ long-held sense of separateness from the larger Indonesian

state rooted in religion was reinforced by resentment against perceived

economic marginalization and anger over very real politico-military

repression (Nielsen, 2002).

The fall of the Suharto regime in 1998 has ushered in a new era

in Aceh’s relations with Indonesia. The on-going effort to democratize

Indonesian society, as well as the peace agreement signed between the

Indonesian government and the GAM in the aftermath of the 2004 tsunami,

has afforded a measure of political autonomy for the province while new

openings for political organization and expression have helped shift the

struggle for Acehnese independence from the military to the political arena

(Miller, 2006; Reid, 2006a). The push towards democratization has impacted

educational policy as well, leading to an on-going effort to decentralize

educational decision-making and a change in the focus of civic education

from an emphasis on the sameness of Indonesians in a unitary, organic

state to an emphasis on the knowledge and dispositions required for civic

engagement by citizens of a diverse democracy (Kalidjernih, 2005).

Thus the post-conflict context for educational re/development in Aceh

is marked by at least three critical elements intertwined with the problems of

poverty common to the rest of the country as well as the unique challenges

arising in the aftermath of the 2004 tsunami: 1) an historical sense of

difference grounded in religious identity, 2) a legacy of socio-economic

injustice, and 3) the challenge of transitioning from a repressive political

regime which suppressed difference in the interest of unity to a democratic

society which balances national unity with respect for individual liberty and

cultural diversity. Any strategy for post-conflict educational development

in Aceh would need to account in some way for all these elements.

Despite important differences, the experience of Muslim Mindanao

offers a number of striking parallels with the experience of Aceh. Like Aceh,

Muslim Mindanao’s history is a story of transformation from pre-colonial

cultural and religious prominence to post-colonial political and economic

Page 19: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Prophetic Pragmatism? Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao

5Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

marginalization (Majul, 1999; Vitug & Gloria, 2000). Like Aceh, western

Mindanao was the scene of the first introduction of Islam into the islands in

the 15th and 16th centuries and the most highly developed political entities in

the Sulu and Maguindanao sultanates. Unlike Aceh, Muslim Mindanao’s violent

confrontation with Western colonialism began much earlier and lasted much

longer. A series of relatively inconclusive military campaigns by the Spanish

colonial regime against different Muslim communities in Mindanao and

the Sulu archipelago were launched almost from the beginning of Spanish

occupation of the islands in the 16th century and carried on right up to the

end of Spanish rule in the late 19th century (Majul, 1999). However, by the

opening decade of the 20th century, as Aceh was losing its independence to

the Dutch, Muslim Mindanao was being brought under the effective control

of a Manila-based colonial government for the first time in its history by the

United States (Gowing, 1983). The legacy of this long conflict was a bitter

sense of separateness demarcated along religious lines: Muslim-Christian

became perhaps the most intractable cultural and political divide in colonial

and postcolonial Philippine society.

As in Aceh, both colonial and independent Philippine governments

attempted to effect the assimilation of a recalcitrant periphery by

encouraging the migration of poor Filipinos from overpopulated regions in

Luzon and the Visayas, shifting the population balance in most of Mindanao

in favor of Christian migrants. The resulting tensions over land and economic

opportunities, exacerbated by religious prejudice on both sides, erupted

into violent clashes between Muslim and Christian paramilitaries in the late

1960s. Out of this violence, and the Muslims’ powerful sense of religious,

cultural, and economic threat, the current Muslim secessionist movement

was born. Since then fighting between the Philippine Armed Forces and a

succession of Muslim secessionist groups has claimed more than 120,000

lives, displaced millions and caused untold economic devastation (George

1980; Vitug & Gloria, 2000).

While the conflict in Mindanao has been portrayed as religious,

it has had and has significant socio-economic dimensions. It was in part

sparked, for instance, by conflicts over ownership of land and is sustained

Page 20: Sustaining Peace in Aceh

Jeffrey Ayala Milligan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES6 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

by a powerful sense of economic deprivation, social exclusion, and political

marginalization (George, 1980; Vitug & Gloria, 2000). While religious

differences are equally, if not more, important, they have in fact provided

a convenient shorthand for identifying dividing lines, lines which have

enflamed the conflict, making it in many instances more virulent given

the long legacy of religious bigotry it taps into not only in the Philippines

but in the larger world as well. Thus religious identity and socio-economic

injustice are inextricably intertwined in Muslim Mindanao and therefore

critical to understanding the conflict there and the context it creates for

post-conflict educational re/development.

As in Indonesia, democratization in the Philippines after the fall of

Ferdinand Marcos in 1986 has created new challenges and opportunities

for post-conflict educational development in Mindanao (Blair, 2004). The

fall of Marcos led to the restoration of an admittedly imperfect democratic

rule and new, if still somewhat dangerous, space for an already vibrant civil

society. The return to democratic rule saw the creation of the Autonomous

Region in Muslim Mindanao, an attempt to allow greater political autonomy

without acceding to outright secession (Vitug & Gloria, 2000). As in Aceh,

democratization has created and creates the challenge of transitioning from

a highly centralized, paternalistic—if not outright authoritarian—political

culture to a genuinely democratic society.

In educational policy for post-conflict Mindanao, democratization has

created the challenge of transitioning from a long history of assimilationist

policies designed to ease separatist tensions by denying and erasing

cultural differences to educational policies that honor religious and cultural

differences and redress socio-economic inequities while preserving national

unity (Milligan, 2005). As in Aceh, the post-conflict educational landscape

of Muslim Mindanao is shaped not only by the challenges resulting from

endemic poverty but also by the long shadow of armed conflict rooted in

religious identity and a sense of socio-economic injustice as well as the

openings created by a democratizing multicultural society. Post-conflict

educational re/development in Muslim Mindanao must account for all of

these factors. To the extent that they coincide with elements of the post-

Page 21: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Prophetic Pragmatism? Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao

7Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

conflict educational terrain in Aceh and, perhaps, other post-conflict

situations, they constitute rudimentary criteria for the development and

evaluation of a philosophical framework for educational re/development in

similar post-conflict settings.

Prophetic pragmatism?

What perspective does Cornel West’s (1989) articulation of a prophetic

pragmatism bring to understanding these conflicts and to conceiving

educational re/development in their aftermath? First, West conceives of

prophetic pragmatism as a philosophical tool rooted in the tradition of

American pragmatism yet cognizant of the limitations of pragmatism in

understanding and responding to critical elements of modern experience.

Pragmatism’s contributions to West’s philosophical project are a non-

foundational epistemology and a coherence theory of truth which historicize

knowledge and truth claims. Drawing quite different conclusions from the

development of modern science in the 19th century than their epistemology-

obsessed philosophical brethren, pragmatists tended to view knowledge

as the by product of the application of a particular way of thinking—the

method of intelligence, or scientific method—to the solution of particular

problems that arise in the course of pursuing particular goals (Dewey, 1910).

Thus knowledge claims make no pretense of corresponding to the nature of

some ultimate reality; rather, they simply claim to work better than other

claims in solving particular problems and are held only so long as they are

not contradicted or improved upon by the results of future experience.

There are at least three consequences of pragmatism that appear to be

critical to West’s philosophical project. First, it historicizes knowledge and

truth claims and therefore undermines forms of absolutism. The body of

knowledge claims of a community depends upon what that community was

attempting to achieve in the particular circumstances of its own experience

at a particular time in its history. Since these goals change over time,

knowledge is historically and culturally contingent. Second, pragmatism re-

orients philosophical energies from the search for timeless truths to the

identification and solution of problems arising in human experience. Third,

Page 22: Sustaining Peace in Aceh

Jeffrey Ayala Milligan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES8 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

it shifts adjudication of competing knowledge claims from epistemological

grounds—which claim is true?—to ethical grounds—which claim represents

a more desirable conception of human flourishing? Thus pragmatism is a

philosophy oriented toward the critical understanding of and intervention

in individual and social experience.

For John Dewey, the most significant figure in the development of

pragmatism, democracy was the necessary socio-political environment for

the fullest flowering of the potential of human intelligence to solve social

problems because it permitted the greatest range of individual experience

and the freest communication of the consequences of that experience to

others, consequences that can then be used by others in the intelligent

solution of problems arising in their own experience. For Dewey, it also fore

grounded the importance of education as a mechanism for transmitting

the collective experience of a community in such a fashion that it equipped

the immature members of that society not with settled truths but with the

only freedom that matters, the freedom to frame and execute one’s own

purposes (Dewey, 1938). Thus Dewey’s contribution to pragmatism also

represents perhaps the most sustained, thorough, and explicit articulation

of the relationship between democracy and education available.

West’s articulation of prophetic pragmatism does not explore the

educational implications of pragmatism that occupied Dewey’s early work.

He focuses instead on its historicist undermining of absolutisms and the

implicit call for social critique imbedded in its engagement with human

experience. However, both elements of the pragmatist root of prophetic

pragmatism are deeply relevant to the post-conflict educational contexts

of Aceh and Mindanao in that they identify deep reservoirs of intelligent

reflection on and purposeful engagement with the problems that arise at

the crossroads of education, democracy, and critical social engagement.

For West, however, though the pragmatist philosophical tradition

is central to his project, it is inadequate on at least two counts. The first

of these inadequacies involves the social critique implicit in pragmatism,

which West finds analytically weak. It does not, in his estimation, adequately

explain the way social and economic inequality is created and sustained,

Page 23: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Prophetic Pragmatism? Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao

9Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

implying therefore that it cannot be as effective in redressing such social

problems as it might otherwise be. For this aspect of social analysis, West

argues that progressive Marxist—Gramscian—thought provides a more

robust analytical tool than pragmatism, that it in fact renders the criticism

implicit in pragmatism more explicit and thus useful. In this philosophical

tradition West finds a deep reservoir of sustained, thorough and explicitly

theoretical explanations of socio-economic inequality as well as a long

tradition of deliberate intervention in conditions of inequality in the interest

of radical change.

He is mindful, however, of the dogmatic potential in Marxist

metanarratives and the sordid history of the degeneration of libratory political

ideals into dictatorial political regimes. But it is here that the pragmatist

dimension of prophetic pragmatism complements the progressive Marxist

dimension: pragmatist historicism makes the prophetic pragmatist deeply

skeptical of absolutist pronouncements even as progressive Marxist

perspectives sharpen the pragmatist’s analysis of socio-economic inequality.

Thus pragmatism and Gramscian Marxism constitute two essential and

complementary elements of prophetic pragmatism. Taken together, they

embody important traditions of theory and practice on the understanding

of social inequality and the relationship between democracy and education,

two critical aspects of the post-conflict educational contexts of Aceh and

Mindanao described above.

Both, however, suffer from a common limitation which renders

them less effective as tools for understanding and intervening in human

experience: they are both more or less skeptical regarding traditional

religious belief. Marx famously dismissed religion as the opiate of the

masses while Dewey (1934) argued for the “surrender of the whole notion

of special truths that are religious by their own nature, together with the

idea of peculiar avenues to such truths” (33). West (1989) argues that such

hostility toward traditional religious belief renders progressives politically

impotent:

Since the Enlightenment…most of the progressive energies among

the intelligentsia have shunned religious channels. And in these

Page 24: Sustaining Peace in Aceh

Jeffrey Ayala Milligan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES10 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

days of global religious revivals, progressive forces are reaping the

whirlwind… The severing of ties to churches, synagogues, temples

and mosques by the left intelligentsia is tantamount to political

suicide (p. 234).

This political impotence is a consequence of the simple fact that, for

most people in the world, religion remains deeply important.

The culture of the wretched of the earth is deeply religious. To be

in solidarity with them requires not only an acknowledgement of

what they are up against but also an appreciation of how they cope

with their situation. This appreciation does not require that one

be religious...This appreciation also does not entail an uncritical

acceptance of religious narratives…Yet to be religious permits one to

devote one’s life to accenting the prophetic and progressive potential

within those traditions that shape the everyday practices and deeply

held perspectives of most oppressed peoples (West, 1989, p. 233).

West’s own prophetic pragmatism is engaged through the perspective

of his Christian faith, a faith which recognizes both the dignity of human

beings made in the image of God and the fallenness of imperfect human

beings prone to mistakes and injustice. This “Christian dialectic of human

nature” thus recognizes moral ideals toward which we are called to struggle

and aspire and the fact that we will inevitably fall short of those ideals

(West, 1982, p.17). It sustains a productive balance between idealism and

humility that keeps hope alive in the midst of tragic realities, thus providing

existential sustenance for those living on this side of paradise. It also provides

a framework for recognizing, criticizing, and transforming the varieties of

injustice that impede the fullest development of the fundamental dignity

of individual human beings. This is how the wretched of the earth copes

with its situation and the source of the prophetic and progressive potential

of religious traditions. Thus this third element of prophetic pragmatism

softens the religious skepticism of the first two by recognizing the power

of religious narratives to provide meaning and a sense of moral direction

for ordinary people that secular philosophies like pragmatism or Marxism

simply cannot match.

Page 25: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Prophetic Pragmatism? Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao

11Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Again, however, West is mindful of the absolutist tendencies in

religious narratives that have often betrayed people of faith into violence

against others, oppression within and without, and moral and intellectual

arrogance. There is also the danger of an otherworldliness that ignores the

injustices of this world in the belief that they will be transformed in the next.

Here again the critical and productive tensions among the three elements of

prophetic pragmatism come into play. Pragmatic historicism buttresses the

moral and intellectual humility implicit in the Christian dialectic of human

nature against the temptations of moral certainty with a philosophical

recognition of the historical contingency of claims to know. Progressive

Marxist insight into the nature of socio-economic injustice sheds light on

its human causes and thus the human responsibility to address it in this

life rather than another. Each of the three elements—pragmatism, prophetic

religion, progressive Marxist thought—provides an essential perspective

that enhances the libratory potential of the other by counterbalancing

the pitfalls to which each is prey. Each of the three elements responds

in some fashion to the common aspects of the post-conflict contexts of

Aceh and Mindanao discussed above: religious identity, the legacy of socio-

economic injustice, and the question of the meaning of education in a

democratizing society. Thus, I believe, West’s prophetic pragmatism offers

a useful starting point for the development of a philosophical framework

for conceptualizing educational re/development in post-conflict settings

like Aceh and Mindanao.

Islamic prophetic pragmatism?

My claim that prophetic pragmatism offers a useful framework for

thinking about education in post-conflict Aceh and Mindanao requires

consideration of the question of whether its approach to these common

concerns is amenable to the values and conditions of Aceh and Mindanao,

a question which raises several obvious difficulties. For instance, West’s

articulation of prophetic pragmatism is clearly influenced by his own

Christian faith. To what extent, then, is it Christian? And how relevant can

it be in these Muslim communities, particularly in Mindanao where the long

Page 26: Sustaining Peace in Aceh

Jeffrey Ayala Milligan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES12 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

history of Muslim-Christian tensions has been such an important part of

the conflict? How acceptable to Muslims are Marxist—even progressive

Marxist—analyses of socio-economic inequality? And finally, pragmatism’s

assertion of the historical contingency of knowledge and truth claims would

seem to be deeply problematic to a religion whose adherents believe the

truth has been revealed to man by God and is contained in the sacred text

of the Qur’an. Is prophetic pragmatism flexible enough to withstand these

concerns about its applicability in Aceh and Mindanao?

First, West acknowledges that his prophetic pragmatism is expressed

through his Christian faith because that is what he has found meaningful.

Prophetic pragmatism, however, is not in itself Christian. It is possible,

he writes, “to subscribe to prophetic pragmatism and belong to different

religious and/or secular traditions” (West, 1989, p. 232). In describing

his philosophy as prophetic rather than Christian pragmatism, West is

consciously invoking the figure of the Old Testament prophets shared by

Judaism, Christianity, and Islam who came, not as fortune tellers or foretellers

of the future, but as social critics who called attention to the gap between

the moral ideals espoused by their communities and the realities of their

social practices and the consequences of those contradictions. Moreover, a

consequence of pragmatism for prophetic pragmatism is recognition that

the religious or secular narrative through which it is expressed by any one

individual or group of individuals is a consequence of the contingencies

of experience of that individual or group rather than the consequence of

possession of the truth. West’s prophetic pragmatism is Christian because

that is where he is culturally and in his own history and because that faith

provides meaning and sustenance for him, not because Christianity is true

and Judaism or Islam is not. Thus prophetic pragmatism is not a Christian

philosophical perspective. It might just as easily be manifested through

Judaism or Islam or even secular perspectives. So, from the perspective

of prophetic pragmatism, there is nothing to prevent an Islamic version of

prophetic pragmatism.

Might there be, however, Islamic objections to an Islamic prophetic

pragmatism? Is pragmatism’s claim regarding the contingency of knowledge

Page 27: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Prophetic Pragmatism? Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao

13Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

and truth claims problematic to Islam? It would certainly seem to be

antithetical to any fundamentalist expression of Islam, but it would be equally

antithetical to any fundamentalism, whether Jewish, Islamic, Christian, or

secular. And it is an open question whether all Muslims understand their

faith in such a fashion, and for those who do, whether it is necessarily so.

The first question is empirical and the second theological. Both are beyond

the scope of this essay. I can only point to individual Muslim scholars whose

work seems to suggest the possibility of an Islamic pragmatism. The late

Fazlur Rahman (1982), for instance, argued that the Qur’an should be read

as instances of revelation in response to particular needs and events in the

life of the Prophet and his followers; therefore, it was a mistake to read any

particular passage as stipulating some timeless and decontextualized code

of conduct. Rather, one needed to read and understand these instances of

revelation in their totality to understand the underlying ethical principles

that guided particular choices at a particular point in time. Then these

principles might be applied in a different socio-historical context where

they might, because of the different context, require different choices.

Rahman seems to be arguing for ethical coherence and consistency

over metaphysical certainty, which seems not unlike West’s (1985)

argument that pragmatism historicizes knowledge and shifts the grounds

for the adjudication of competing truth claims from epistemology to

ethics. Furthermore, the principle of intellectual humility, of the ultimate

inability of finite creatures to fully know the infinite, widely recognized

in Islam, would seem to reinforce Rahman’s argument for the primacy of

ethical coherence over the search for secure epistemic foundations, that, in

struggling to the best of our ability to know and do what is right, we may

be wrong. Such arguments suggest that one might hold to certain truths

on faith without assuming that there is any epistemic rationale for holding

them or assuming that someone else should hold them as well. And they

suggest that one may arrive at similar ethical conclusions from different

assumptions of truth. Thus prophetic pragmatists of different faiths, or

perhaps no religious faith, should be able to pursue common ethical goals.

Even if Islam and pragmatism are irreconcilable philosophically, it

Page 28: Sustaining Peace in Aceh

Jeffrey Ayala Milligan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES14 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

does not mean that one cannot be pragmatic in one’s practice of Islam.

Pragmatism, as a philosophy oriented toward the identification and solution

of problems in human experience, surely has much in common with Islam,

which, Rahman (1988) argues, “teaches and orients man to change things in

the world” (p. 5). For Dewey (1916), it was this concern with the intelligent

and ethical direction of human experience that led him to recognize the

important link between education and democracy. And in both areas as well

Muslim scholars are carefully and systematically exploring the meaning of

democracy and pragmatic approaches to education in the context of Islam,

thereby debunking caricatures of Islam promulgated by Muslim extremists

and western stereotypes (Hashim, 2004; El Fadl, 2004).

Finally, what of prophetic pragmatism’s deployment of progressive

Marxist thought in the analysis of socio-economic injustice? Obviously, socio-

economic justice and injustice are not the exclusive concerns of progressive

Marxist thinkers. They are and have always been concerns within Islam as

well. And the dialectic between what is and what might be is the basis of

critical social theory whether it is Christian (West, 1982), Islamic (Kazmi,

2000), or neo-Marxist (Freire, 1990). What is objectionable about Marxism

to people of faith, whether Muslim or not, is its materialist metaphysics,

the complete rejection of any reality other than the material world, which

constitutes the substitution of one faith for another. It is in this sense

another form of fundamentalism. However, pragmatism’s skeptical stance

towards such dogmatic claims in effect de-couples the methods of analysis

from the fundamentalist materialism people of faith find objectionable,

thus asking not whether Marxism’s account of reality is correct, but whether

its methods of analysis of certain social problems are useful. If they are

useful in understanding injustice and helping to realize ethical ends shared

by different faith traditions, then they need not be objectionable.

My object here is not to describe an Islamic prophetic pragmatism,

but rather to argue that such a possibility is entirely consistent from the

perspective of prophetic pragmatism and enough of a possibility from the

Islamic perspective to warrant rejecting any a priori claim that prophetic

pragmatism is not compatible with Islam or the Muslim societies of Aceh

Page 29: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Prophetic Pragmatism? Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao

15Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

and Mindanao. If, as I have argued, the constituent philosophical elements

of prophetic pragmatism address theoretically the major historical elements

of post-conflict Aceh and Mindanao; and if, as I have argued, prophetic

pragmatism is not incompatible with Islam itself or the Muslim cultures

of Aceh and Mindanao, then we must still ask whether and to what extent

a prophetic pragmatic philosophical framework avoids the neocolonial

tendencies of so many well-intentioned colonial and postcolonial efforts

toward educational development in parts of the world like Aceh and

Mindanao.

Prophetic pragmatism and the postcolonial critique

The time is long since passed when relations between the developed

and developing world could be seen as straightforward altruism on the part

of the former for the latter. Since at least the last half of the 20th century

an extensive body of literature by postcolonial critics has traced the ways

in which Western intellectual and economic discourses have developed and

been deployed to rationalize Euro-American domination and colonization of

the so-called Third World (Memmi 1965, Fanon 1965, Said 1979) and were

actually productive of the very underdevelopment that Western development

agencies and experts commit themselves to rectify (Frank 1966). And long

after the demise of formal colonialism, similar discourses continue to foster

unequal relations between the developed and developing world. Wallerstein

(1995) and Amin (2004), for instance, argue that Western liberalism, as a social

theory both engendered by and supportive of capitalist economic theory,

actually creates and sustains the socio-economic inequalities between the

developed and developing worlds that constitute a form of neocolonialism.

And Western education, widely seen as social good, is not entirely innocent

in this process. Shaped by the same intellectual and economic discourses, it

becomes a tool for shaping the thought of both the children of the colonized

and the children of the colonizers in ways that make inequality seem natural

(Mazrui 1979, Freire 1990, Willinsky 1999). How does prophetic pragmatism,

as a potential philosophical framework for educational development in

societies like Aceh and Mindanao, answer these challenges?

Page 30: Sustaining Peace in Aceh

Jeffrey Ayala Milligan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES16 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

While there are several different expressions of pragmatism, the

work of the American pragmatist, John Dewey, offers the most thorough

account of pragmatism as a social and political philosophy. While Dewey’s

pragmatist social philosophy shares liberalism’s concern with the freedom

of the individual, which both Wallerstein (1995) and Amin (2004) identify as

a key ideological component underlying capitalist economic theory, Dewey

(1916) puts forth a theory of individuality as a product of the interaction

between the individual and his or her environment, both natural and

social. The individual is of course shaped by her environment, but is not

determined by it since she is capable of intelligent actions in pursuit of

her own purposes that transform that environment, making of it a new

experience, which, in turn, becomes an object of the individual’s experience.

Thus, it is not possible to talk about the individual or individual freedom as

some metaphysical ideal to be imposed upon human experience or exported

from one society to another. Rather, both ideas emerge in the context

of particular communities at a particular time in pursuit of particular

purposes. To impose a conception of individuality and individual freedom

found meaningful in one social context to another is, as both Wallerstein

(1995) and Amin (2004) argue, an infringement on the community’s and its

members’ freedom to frame and execute their own purposes, whether it is

done in the name of tradition or in the name of development.

Such an infringement, as Dewey repeatedly points out, usually serves

the interests of those in power and is inimical to democracy in its fullest

sense as a mode of associated living and not simply the machinery of

elections and political parties, what Amin (2004) refers to as “low intensity

democracy” (p. 46). The achievement of democracy as a mode of associated

living requires a citizenry educated not simply in the authorized knowledge

of the powerful but rather in the skills and dispositions necessary to generate

their own knowledge in pursuit of their own ends and to communicate the

results of their experience to others. Therefore, Deweyan pragmatism rejects

the subordination of the individual or the community to a priori political or

economic theories, as Wallerstein (1995) and Amin (2004) argue American

liberal developmentalism is guilty of, in favor of the freedom of individuals

Page 31: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Prophetic Pragmatism? Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao

17Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

and communities to use theoretical as well as practical knowledge to

achieve their own, rather than others,’ purposes. Thus Dewey’s theory of

democratic education, which follows from his conception of the individual

and democratic society, answers Ali Mazrui’s (1979) call for postcolonial

knowledge production that can be the basis of “self generating additional

knowledge” in the Third World, “be mobilized to reduce the economic and

cultural dependency of the Third World on the industrial nations,” and “be

mobilized to improve the living standards of the peoples of the Third World,

enrich their lives and fulfill their creative potentialities” (p. 49). The social

and educational theory implicit in West’s (1989) revision of pragmatism are

thus antithetical to the sort of educational development carried on by the

liberal developmentalism criticized by Wallerstein (1995) and Amin (2004).

West’s (1989) prophetic pragmatism draws upon pragmatism’s

democratization of knowledge production in pursuit of local rather than

imposed purposes but rejects the anti-religious myopia of much Western

intellectual discourse. Prophetic pragmatism recognizes, as does pragmatism

itself, that knowledge is a product of purposeful action by individuals and

communities—hence it is culturally and historically contingent; however,

it also recognizes that religious belief is often a large part of the cultural

milieu that shapes those purposes. As Abu Nimer (1996, 2001a) argues,

both cultural practices and religious beliefs must be taken into account in

conflict resolutions practices. Moreover, Islam, according to Nimer (2001b),

contains within its belief system deep spiritual and theological resources in

support of peace and social justice among the ideals that frame individual

and communal purposes in the Muslim world, just as West’s prophetic

pragmatism anticipates. To ignore the centrality of religious ways of

knowing and being in the world in places like Mindanao and Aceh in the

promotion of development projects constitutes an ideological imposition on

such societies no different from those criticized by Wallerstein (1995), Amin

(2004), and others. Prophetic pragmatism, as a philosophical framework for

development in such societies, avoids this sort of imposition by explicitly

articulating a role for religious perspectives in development consistent with

the role they play in developing societies.

Page 32: Sustaining Peace in Aceh

Jeffrey Ayala Milligan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES18 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Prophetic Pragmatic Post-Conflict Education in Aceh and Mindanao?

What would educational re/development in Aceh and Mindanao from

a prophetic pragmatic philosophical perspective look like? A prophetic

pragmatic approach to the challenges of post-conflict education suggests a

rapprochement between development work and religion, a re-establishment

of ties with the mosques, churches, and synagogues that minister to the

spiritual and existential needs of a wretched of the earth that remains

deeply religious. It would require a much stronger dialogue between those

engaged in educational re/development in post-conflict settings and the

leaders of religious traditions which offer meaning and solace in the face

of tragedy and define the shape of a hoped for future in culturally relevant

terms. Such a rapprochement might restore a continuity of experience

between cultural/religious identity and social/educational change, thus re-

connecting, as West envisions, the tremendous motive power of religious

faith to efforts to improve the lives and prospects of people suffering in the

aftermath of conflict.

There is some evidence in both Mindanao and Aceh that recent

education development projects may be moving in a direction more like that

I am arguing for here. No longer able to ignore the role religion has played

in both conflicts, development efforts appear to be more and more inclusive

of religious organizations. In Mindanao, for instance, the separation of

secular and Islamic schooling, a consequence of the imposition of a form

of liberal political ideology under the American colonial regime (Milligan,

2004), has long been a source of disenchantment among Muslim Filipinos

with government education (Milligan, 2003). After a century-long effort to

use secular education to assimilate Muslim Filipinos into the mainstream of

Philippine society, the Philippine Department of Education initiated Project

Madrasah Education, an effort to integrate Islamic values into government

education in Muslim Mindanao while strengthening the secular curriculum of

the madaris so they might be accredited by—and thus subject to the oversight

of—the Department of Education. This effort reflects, and in some respects

is influenced by, the broader Islamization of society in Muslim Mindanao

(Milligan, 2006). International development projects, including some funded

Page 33: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Prophetic Pragmatism? Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao

19Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

by the U.S. Agency for International Development, have also targeted madaris

for educational development. Though the focus of such projects tends to

be the secular aspects of madrasah education, the recognition of Islamic

schools as a legitimate beneficiary of development assistance is a major

step toward acknowledging the role of religious institutions in the decision-

making of development efforts (Moulton & Dall, 2006).

Indonesia, by contrast, has less of a history of separation of religious

and secular education than does the Philippines, which was so deeply influ-

enced by American political ideology (Milligan, 2005). For most of the 20th

century the integration of secular and Islamic curricula in the education of

Indonesian youth was relatively uncontroversial (Asra, Afrianty & Hefner,

2007). These integrative tendencies began to be formalized in the 1970’s as

an agreement between the ministries of Religious Affairs and National Edu-

cation recognized degrees earned in madaris as equivalent to those earned

in government schools. By 1989 the madaris were recognized as part of the

national system of education while the Ministry of Religious Affairs under-

took reforms in Islamic higher education by opening “the teaching of the

classical Islamic sciences to historical and contextualizing methodologies,” a

key element of West’s prophetic pragmatism (Asra, et al., 2007, p.189).

In Aceh itself, the law creating the autonomous government of

Nanggröe Aceh Darussalam gave the province legal authority over the local

economy, the imposition of Islamic law, and education, thus paving the way

for an even greater integration of Islamic and government schooling in a

province that already exhibited one of the highest madrasah enrollment

rates in the country (Miller 2006; Asra et al., 2007). And as in Mindanao,

international development projects are targeting Islamic as well as more

secular educational institutions. The USAID-funded Decentralized Basic

Education, for instance, is working to improve instruction in subjects such

as mathematics, science, and social studies and to improve teacher training

in secular schools and madaris as well as Islamic and secular institutions of

higher education (Education Development Center, 2008).

Thus, events on the ground in both Mindanao and Aceh have, in recent

years, moved in directions that anticipate in some respects one of the key

Page 34: Sustaining Peace in Aceh

Jeffrey Ayala Milligan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES20 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

elements of a prophetic pragmatic perspective on educational development;

namely, explicit recognition of the legitimacy of religious perspectives on

the direction of educational development in democratic and democratizing

societies. A prophetic pragmatic perspective on post-conflict educational

development need not mean, however, a surrender of all influence on the

nature and direction of educational re/development to local religious voices.

Such voices can be absolutist and potential impediments to the fullest and

freest development of a society, particularly to certain vulnerable populations

like girls, religious and cultural minorities, gays and lesbians, etc. But rather

than dismiss religious belief in its entirety as an impediment to progressive

social change, as is all-to-often the case among what West called the secular

intelligentsia, the prophetic pragmatic perspective calls attention to the

fact that the most compelling arguments against the oppressive tendencies

of any religious tradition are most likely to be found within the religious

tradition itself. Thus, secular criticisms of such oppressive tendencies are

more likely to be effective in alliance with the more moderate voices within

religious traditions rather than in opposition to the religion itself. A prophetic

pragmatic approach to educational development in post-conflict settings

would, therefore, seek out, establish and cultivate an on-going cooperative-

critical dialogue with moderate religious voices. So, while it can be argued

that prophetic pragmatism, in some sense, describes what is happening on

the ground in educational development in Mindanao and Aceh, the explicit

articulation of a prophetic pragmatic theory of educational development in

both regions provides a framework that can guide the development of policies

and practices that recognize the legitimacy, indeed the indispensability, of

religious perspectives while protecting the growth of democratic social and

political arrangements against the anti-democratic tendencies of religious

dogmatism.

The success of such a project may require that the practice of prophetic

pragmatism differ somewhat from West’s philosophical articulation of

it. Pragmatism’s non-foundational epistemology and coherence theory of

truth may simply be unacceptable to the religious whose faith rests, in their

minds, not on socio-historical contingencies but rather on an acquaintance

Page 35: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Prophetic Pragmatism? Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao

21Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

with spiritual truth. But pragmatism’s theory of knowledge and truth

rests not so much on an absolute rejection of the possibility of truth but

rather on a practical intellectual humility regarding the possibility of ever

achieving it. It rests on recognition that we have often been wrong and that

we might be again, so it is not wise to hold on to any knowledge claim with

dogmatic certainty. Here, I believe, pragmatism stands on the same ground

as religious believers who humbly acknowledge the inability of imperfect

and finite creatures to fully know the truth as revealed by God, even as they

have faith in its existence. On the common ground of intellectual humility

secular and religious prophetic pragmatists can shift their energies from

epistemology to ethics, from a concern with being right to a concern with

doing good. And this shared concern with doing good need not subscribe to

the materialist ontology of Marxist—even progressive Marxist—thought to

ask the pragmatic question of whether or not its analysis of impediments to

doing good—social justice, economic equality, etc.—are useful to pursuing

the good. Thus a prophetic pragmatic approach to post-conflict educational

re/development in the religious contexts of Aceh and Mindanao does not so

much require agreement on the philosophical underpinnings of prophetic

pragmatism as West describes it as it requires practical solidarity with

religious voices in the pursuit of similar ethical goals.

Such ethical pursuit is necessarily dialectical. It requires the critical

understanding of what is in the light of what might be as well as the freedom

to struggle toward the realization of the latter. This dialectic is, as Dewey

recognized, a necessary condition of democracy, not simply as governing

machinery, but rather as a mode of associated living that enables the fullest,

freest, and, therefore, most effective exercise of human intelligence on social

problems like poverty, injustice, and conflict. Therefore, in acknowledging

the importance of religion in the lives of the “wretched of the earth” in

places like Aceh and Mindanao and seeking to re-establish common cause

with prophetic religious voices in the creation of just societies, prophetic

pragmatism offers a useful philosophical framework for conceptualizing

goals and practices for education continuous with the spiritual and material

experience of different post-conflict societies.

Page 36: Sustaining Peace in Aceh

Jeffrey Ayala Milligan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES22 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

REFERENCES

Abu-Nimer, M. (1996). Conflict resolution approaches: Western and Middle Eastern lessons and possibilities. American Journal of Economics and Sociology55 (1), 35-52.

Abu-Nimer, M. (2001a). A framework for nonviolence and peacebuilding in Islam. Journal of Law and Religion 15 (1/2), 217-265.

Abu-Nimer. (2001b). Conflict resolution, culture, and religion: Toward a training model of interreligious peace building. Journal of Peace Research 38(6), 685-704.

Alfian, T.I. (2006). Aceh and the holy war. In A. Reid (Ed.), Verandah of violence: The background to the Aceh problem (pp. 109-120). Singapore: Singapore University Press.

Amin, S. (2004). The liberal virus: Permanent war and the Americanization of the world. New York: Monthly Review Press.

Aspinall, E. (2006). Violence and identity formation in Aceh under Indonesian rule. In A. Reid (Ed.), Verandah of violence: The background to the Aceh problem (pp. 149-176). Singapore: Singapore University Press.

Azra, A., Afrianty, D. & Hefner, R. (2007). Pesantren and madrasa: Muslim schools and national ideals in Indonesia. In R. Hefner & M. Zaman (Eds.), Schooling Islam: The culture and politics of modern Muslim education (pp.172 198). Princeton: Princeton University Press.

Blair, H. (2004). Assessing civil society impact for democracy programmes: Using an advocacy scale in Indonesia and the Philippines. Democratization 11 (1), 77-103.

Chalk, P. (2001). Separatism and Southeast Asia: The Islamic factor in southern Thailand, Mindanao, and Aceh. Studies in conflict and terrorism 24, 241-269.

Davies, L. 2005. Schools and war: Urgent agendas for comparative and international Education. Compare 35 (4), 357-371.

Dewey, J. (1910) How we think. Buffalo: Prometheus Books. Dewey, J. (1916). Democracy and education. New York: The Free Press.

Dewey, J. (1934). A common faith. New Haven: Yale University Press.

Page 37: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Prophetic Pragmatism? Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao

23Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Dewey, J. (1938). Experience and education. New York: Collier.

Education Development Center. (2008). Decentralized basic education. Retrieved July 5, 2008 from the Education Development Center website at http://www.dbe-usaid.org/index.cfm

El Fadl, K.A. (2004). Islam and the challenge of democracy. Princeton: Princeton University Press.

Fanon, F. (1965/2005). The wretched of the earth. New York: Grove.

Frank, A. (1966). The development of underdevelopment. In D. Brydon. (2000). Postcolonialism: Critical concepts, Vol. 5 (pp. 1784-1795). New York: Rutledge.

Freire, P. (1990). Pedagogy of the oppressed. New York: Continuum.

George, T. (1980). Revolt in Mindanao: The rise of Islam in Philippine politics. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Gowing, P. (1983). Mandate in moorland: The American government of Muslim Filipinos, 1899-1920. Quezon City: New Day Publishers.

Hashim, R. (2004). Pragmatic education for the development of the Muslim ummah. Paper presented at the Conference for Minority Affairs in the Asia Pacific Region, Singapore.

Kalidjernih, F. K. (2005). Post-colonial citizenship education: A critical study of the production and reproduction of the Indonesian civic ideal. Unpublished doctoral dissertation, University of Tasmania, Launceton, Tasmania, Australia.

Kazmi, Y. (2000). Historical consciousness and the notion of the authentic self in the Qur’an: Towards an Islamic critical theory. Islamic studies 39 (3), 375-398.

Majul, C. (1999). Muslim Filipinos. Diliman: University of the Philippines Press.

Mazrui, A. (1979). Churches and multinationals in the spread of modern education: A third world perspective. Third World Quarterly 1 (1), 30-49.

Memmi, A. (1965/1991). The colonizer and the colonized. Boston: Beacon Press.

Miller, M.A. (2006). What’s special about special autonomy in Aceh? In A. Reid (Ed.), Verandah of violence: The background to the Aceh problem

Page 38: Sustaining Peace in Aceh

Jeffrey Ayala Milligan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES24 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

(pp. 292-313). Singapore: Singapore University Press.

Milligan, J. (2003). Teaching between the cross and the crescent moon: Islamic identity, postcoloniality and public education in the southern Philippines. Comparative Education Review 47 (4), 468-492.

Milligan, J. (2004). Democratization or neocolonialism? The education of Muslim Filipinos under U.S. military occupation, 1903-1920. History of education 33 (4), 451-467.

Milligan, J. (2005). Islamic identity, postcoloniality and educational policy: Schooling and ethno-religious conflict in the southern Philippines. New York: Palgrave-Macmillan.

Milligan, J. (2006). Reclaiming an ideal: The Islamization of education in the southern Philippines. Comparative Education Review 50 (3), 410-430.

Moulton, J. & Dall, F. (2006). Delivering educational services in fragile states: lessons from four case studies. Washington, D.C.: Creative Associates International.

Nielsen, M. L. (2002). Questioning Aceh’s inevitability: A story of failed national integration? Global Political Network. Retrieved November 7, 2007 from http://www.globalpolitics.net.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Rahman, F. (1988). Islamization of knowledge: A response. The American journal of Islamic social science 5 (1), 3-12.

Reid, A. (2006a). Introduction. In A. Reid (Ed.), Verandah of violence: The background to the Aceh problem (pp. 1-21). Singapore: Singapore University Press.

Reid, A. (2006b). Colonial transformation: A bitter legacy. In A. Reid (Ed.), Verandah of violence: The background to the Aceh problem (pp. 96-108). Singapore: Singapore University Press.

Riddell, P. (2006). Aceh in the sixteenth and seventeen centuries: Serambi Mekkah and Identity. In A. Reid (Ed.), Verandah of violence: The background to the Aceh problem (pp. 38-51). Singapore: Singapore University Press.

Said, E. (1979). Orientalism. New York: Vintage Press.

Salim, A. (2004). ‘Shari’a from below in Aceh (1930s-1960s): Islamic identity

Page 39: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Prophetic Pragmatism? Post-Conflict Educational Development in Aceh and Mindanao

25Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

and the right to self-determination with comparative reference to the Moro Islamic Liberation Front (MILF). Indonesia and the Malay world 32 (92), 80-99.

Smith, A. & Vaux, T. (2003). Education, conflict and international development. London: Department for International Development.

Sommers, M. (2002). Children, education and war: Reaching education for all (EFA) objectives in countries affected by conflict. The World Bank, Conflict Prevention and Reconstruction Unit Working Papers.

Sulaiman, M.I. (2006). From autonomy to periphery: A critical evaluation of the Acehnese nationalist movement. In A. Reid (Ed.), Verandah of violence: The background to the Aceh problem (pp. 121-147). Singapore: Singapore University Press.

Thaib, L. (2002). Aceh’s case: A historical study of the national movement for the independence of Aceh-Sumatra. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.

Vitug, M. & Gloria, G. (2000) Under the crescent moon: Rebellion in Mindanao. Quezon City: Ateneo Center for Social Policy and Public Affairs/Institute for Popular Democracy.

Wallerstein, I. (1995). After liberalism. New York: The New Press.

West, C. (1982). Prophesy deliverance! An Afro-American revolutionary Christianity. Philadelphia: Westminster Press.

West, C. (1985). The politics of American neo-pragmatism. In J. Rajchman & C. West (Eds.), Post-analytic philosophy. New York: Columbia University Press.

West, C. (1989). The American evasion of philosophy: A genealogy of pragmatism. Madison: University of Wisconsin Press.

Willinsky, J. (1999). Learning to divide the world: Education at empire’s end. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Page 40: Sustaining Peace in Aceh
Page 41: Sustaining Peace in Aceh

27

Civic Educationin Post Conflict Area(A Case Study in Aceh, Indonesia)

Anton WidyantoLecturer at IAIN Ar-Raniry and Researcher at LKAS Banda Aceh. Graduated from Florida State University, USA

Introduction

Nanggroe Aceh Darussalam (most often simply called Aceh) is

located on the northern tip of the island of Sumatra in Indonesia. It is also

popularly called Serambi Mekah (the veranda of Mecca) because Islam was

first introduced to Aceh before spreading to other provinces in Indonesia.

Historically, the relationship between Islam and Acehnese culture is

something intertwined. Islam had been coloring their culture, custom, and

tradition for years. Thus, discussing about Aceh cannot be separated from

discussing about Islam.

Furthermore, history of Aceh is full of heroism. Aceh played important

role to struggle against colonization in Indonesia. With spirit of jihad,

Acehnese people fought to be free from Portuguese, Dutch, and Japanese

colonization. After Indonesian independence, the story of Aceh is still full

of blood. Aceh is one of several provinces in Indonesia that was trapped

in prolonged armed conflict against the Central Government of Indonesia

(Jakarta) for about 30 years. Thousands of people were killed either from

Darul Islam, GAM (the Free Aceh Movement), or Indonesian army.

Page 42: Sustaining Peace in Aceh

Anton Widyanto

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES28 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Interestingly, although Aceh has much diversity among ethnic groups

and cultures in its population, there is no armed conflict among them. The

conflict occurred during armed conflict was between some Acehnese and

non Acehnese people (mostly Javanese). Many of Javanese were expelled

from Aceh. However, there remain stereotypes and prejudices among the

groups. Furthermore, after the peace agreement, there has been significant

tension among them. Some districts want to be free from Aceh Province and

make another province. This is because they feel that they have been treated

“unfairly” by the Acehnese Government in terms of regional development.

Moreover, differences in culture also sharpen this tension.

Moreover, one of crucial constraints faced by Aceh Government

nowadays is concerning how Acehnese people can be integrated into one

nation, the Republic of Indonesia. Although the peace agreement between

GAM and the Republic of Indonesia was signed on August 15, 2005, some

people (particularly the combatants of GAM) still feel that it only benefits

some of them. Furthermore, some problems regarding the implementation

of the Act No. 11/2006 as a fruit of the peace agreement also makes the

integration still being challenge in Aceh. Consequently, the democratization

process in this province also still needs to be empowered.

Talking about democratization process through education in

Indonesia cannot be separated from discussing about civic education in

this country. During Soeharto’s era (the second president of the Republic

of Indonesia) or also known as the New Order regime, civic education

was called Pendidikan Pancasila. Pancasila is a philosophical concept

formulated by the first president of the Republic of Indonesia, Soekarno,

to unite Indonesian people who are diverse in terms of religions, ethnic

groups, languages, and cultures. It consists of five principles i.e. belief in

the one true God, just and civilized humanity, the unity of Indonesia,

democracy guided by the wisdom of representative deliberation, and social

justice for all Indonesians.

During the New Order (Orde Baru) Pendidikan Pancasila in schools

was used as a political tool under Soeharto’s regime to empower his

political position in Indonesia. In 1970s-1990s it was called Pancasila

Page 43: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Civic Education in Post Conflict Area

29Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Moral Education (Pendidikan Moral Pancasila). Then, based on curriculum

1994 it was changed to Pancasila, and Citizenship Education after 2004.

(Winataputra, 2003, p. 2).

This subject must be taught from elementary school until higher

education. Moreover, mostly its content was colored by Javanization which

means that only accommodated culture of Jawanese, rather than trying to

include other different cultures in Indonesia. This condition made other

people who are not Javanese upset. Hence, this subject became sensitive

to teach in provinces that have political conflict with the government of

Indonesia, like Aceh.

Regarding this, Munawar1 who works for the institution of education

quality assurance in Aceh told me that during armed conflict, it was very

dangerous to teach civic education in schools. This subject contains issue

of nationalism and patriotism which relate to jawanization. Since the Free

Aceh Movement had a vital agenda to free the Acehnese from Indonesia,

such issues were prohibited to teach in rural schools. Even in the time of

armed conflict in Aceh, the safety of teachers particularly in remote areas

could not be guaranteed. Many schools were burnt because they were

claimed as the propaganda of the Government of Indonesia. Many teachers

were asked to support the Free Aceh Movement by paying pajak nanggroe

(payments levied by the Free Aceh Movement).

Based on the condition above, in this research I would like to explore

this tension and how the Acehnese Government might try to solve it

especially through education. The main questions that I want to answer

in this research are: How is civic education taught in senior high school

in Aceh during and after armed conflict from 1976 to 2010? What are

problems faced by teachers in teaching civic education in Aceh and how

they solved them? What should teachers concern about civic education in

order to empower democratization in Aceh?

1 Thisnameisapseudonym.

Page 44: Sustaining Peace in Aceh

Anton Widyanto

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES30 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

The historical background of Aceh

Aceh before and after Indonesia’s independence

Geographically, Aceh is located in a very strategic place. It is

surrounded by Malacca Strait to the north and east. Hence, in the sixteenth

and seventeenth century, Aceh played an important role in international

trade. The Malacca Strait connects several areas and cultures including

India and China (Ahmad, 1972, Burger & Prajudi, 1962, Reid, 1995).

Before Islam came to Aceh, some Acehnese people followed pagan

religions, others were Hindu or Buddhists. There were many small Hindu

kingdoms established like Indrapuri, Indrapatra, Kroeng Raya, Pasei, and

Jeumpa (Peusangan) (Jacoeb, 1946, p. 11). All of these small kingdoms

continually fought to expand their rule. Finally, after Islam came to Aceh

and attracted many people because of its teachings that promote equality

and refuse castes, the influence of Hinduism and Buddhism was replaced

by Islam step by step.

There are three theories explaining how Islam came to Aceh. The first

theory says that Islam came to Aceh directly from Arabia; the second theory

says that it came from India and the third one says that it came from China.

Then, based on the conference of the history of Islam in Indonesia which was

conducted in Medan on March 17-20, 1963 and the conference of Islamic

history in Aceh on July 16, 1978, it was concluded that first, Islam came to

Indonesia in the first century of Islamic calendar (hijri) or around seventh

and eighth century A.D directly from Arabia; second, the first region where

Islam came into Indonesia was Aceh and the early Islamic kingdoms in Aceh

are Perlak, Lamuri, and Pasai; third, Islam was spread peacefully (Risalah

sejarah masuknya Islam di Indonesia, 1963; and Risalah sejarah masuk dan

berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh, 1978).

According to its history, the Kingdom of Aceh was founded in the

early sixteenth century. It was regarded as a powerful kingdom at that time.

Under Sultan Iskandar Muda, in the early seventeenth century, the kingdom’s

golden age came. He made Aceh one of the most important military and

trading powers in the region. Moreover, it maintained relations with foreign

powers including the Ottoman Empire, France, and Great Britain. When the

Page 45: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Civic Education in Post Conflict Area

31Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Dutch appended Aceh in 1874, the Acehnese started a guerilla war that

continued until 1912.

The armed conflict in Aceh after the independence of Indonesia in

1945 can be divided into two phases. The first phase of the conflict began

in 1953 when Indonesia experienced Darul Islam. These rebels wanted

to make Indonesia become an Islamic state. They were not only exist

in Aceh, but also in several other provinces in Indonesia including West

Java and Sulawesi (Sjamsuddin, 1985; Van Dijk, 1981). In Aceh’s case, the

rise of Darul Islam was because of two specific reasons: first, the use of

Pancasila philosophy as the basis of belief for Indonesia rather than Islamic

sharia’ (Islamic law); second, the fusion of Aceh into North Sumatera in

1950. Eventually this rebellion failed to achieve its goals. Through various

approaches including military operations and negotiations, this rebellion

was annihilated.

After that, in 1976 the second phase of the conflict began. In this

year, Hasan Tiro formed Free Aceh Movement (GAM), and declared the

independence of Aceh.

Basically, the relationship between the central government of the

Republic of Indonesia and Aceh local government during military conflict

was maintained. Nevertheless, this relationship could not run normally,

because there were military troubles coming from Free Aceh Movement.

Ironically, The Republic of Indonesia’s response to such separatist tensions

in Aceh and other provinces in defense of its conception of an organic,

unitary state has emphasized military repression and civic education

through a highly centralized educational bureaucracy (Kingsbury and

Aveling 2003, Bertrand 2004, Kalidjernih 2005). During President Soeharto

(the new order), Habibie (the reformation order), Abdurrahman Wahid,

and Megawati Soekarnoputri the approaches were still focused on military

operations. Factually, these approaches could not stop the Free Aceh

Movement’s actions effectively (ICG Asia Report N°17, Aceh: Why Military

Force Won’t Bring Lasting Peace, 12 June 2001). Moreover, the military

operations made the rebellions become more popular in Acehnese society.

For most Acehnese people, it was a symbol of struggle, because the military

Page 46: Sustaining Peace in Aceh

Anton Widyanto

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES32 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

operations made many violations in terms of human rights, such as torture,

kidnapping, and rape.

Although there were several efforts to solve this conflict such

as Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) between the Indonesian

government and the Free Aceh Movement (GAM) the conflict still continued

(ICG Asia Report, Indonesia Briefing. Jakarta/Brussels, 9 May 2003). This 30

year period of conflict not only affected the economy, but also influenced

the education sector as well. As part of this conflict, many schools were

burned and many teachers fled from this province.

However, on 26 December 2004 a big earthquake and tsunami struck

the Indian Ocean. Aceh felt the impact of this natural disaster as well.

It killed about 132,000 people with 37,000 missing, and also destroyed

hundreds of buildings including schools.

This giant disaster impacted the conflict between the warring factions

as well. It forced the Free Aceh Movement (GAM) and the Indonesian

Government to sit together and discuss another peace agreement in Helsinki.

Unlike the previous agreements, this new Memorandum of Understanding

was more successful. It is because of the commitment of both sides to finish

the conflict became stronger after the tsunami destroyed Aceh. Besides,

the implementation of the agreement was overseen by international

organizations. Therefore, both Indonesian Government and Aceh Free

Movement tried to maintain peace, because no one wanted their image

destroyed in front of international organizations.

Although there was still tension during post conflict phase, the number

was not significant. The integration of Free Aceh Movement combatants

to Acehnese society was problematic because many people still doubted

whether the peace agreement would endure or not. Nonetheless, after Act No.

11/2006 on Aceh government as a product of peace agreement in Helsinki

was implemented by the Government of the Republic of Indonesia, many

people become more optimistic. As a result, the regional election to elect

Aceh governor and heads of district ran successfully. Moreover, the general

election in 2009 to elect the president and the vice president of the Republic

of Indonesia and parliament members was also well conducted.

Page 47: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Civic Education in Post Conflict Area

33Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Diversity in Aceh

According to the recent data, Aceh consists of 18 districts and five

municipalities. They are West Aceh, North West Aceh, Aceh Besar, Aceh

Jaya, South Aceh, Aceh Singkil, Aceh Tamiang, Central Aceh, South East

Aceh, East Aceh, North Aceh, Bener Meriah, Bireuen, Gayo Lues, Nagan

Raya, Pidie, Pidie Jaya, Simelue, Kodya Banda Aceh, Kodya Sabang, Kodya

Lhokseumawe, Kodya Langsa, Kodya Subulussalam. Meanwhile, the total

number of Aceh population based on statistical data 2005 is 4,031,589

(http://www.datastatistik-indonesia.com/component/option,com_tabel/

kat,1/idtabel,111/Itemid,165/). Most of them are Muslims, and the rest

are Christians (either Catholic or Protestant), Hindu, Buddhists, and

Confucians.

The population consists of various ethnic groups including Suku

Aceh, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Aneuk Jamee, Suku Melayu Tamiang,

Suku Kluet, Suku Devayan, Suku Sigulai, Suku Haloban dan Suku Julu. Most

of these ethnic groups have their own language and culture.

According to its long history in the past, Acehnese people are

descendants of various nations including Cham, Cochin China, and

Cambodia. Moreover, there were people who have descendants from Arabia

and India. The Arab people who came to Aceh were from Hadramaut

province (Yemen). It can be traced from the tribe names such as Al-Aydrus,

Al-Habsyi, Al-Attas, Al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier, etc, which still

exist in Aceh now. Meanwhile, the Indian descendants came from Gujarat

and Tamil. It can be seen from the variety of food in Aceh which is close

to the variety of Indian food. Furthermore, there are also Acehnese people

who have descendants from Portugal. They can still be found today in Kuala

Daya, Lamno. (http://www.id.indonesia.nl/content/view/186/89/)

There are several languages used by Acehnese people including

bahasa Aceh which is a part of Austronesian languages and used in most

Aceh districts; bahasa Gayo which is used in Central Aceh, Bener Meriah,

Gayo Lues and Serbajadi; bahasa Simeuleu which is used in Simeulue;

bahasa Melayu Tamiang which is used in Tamiang, East Aceh; bahasa Alas

and Aneuk Jamee which are used in South Aceh.

Page 48: Sustaining Peace in Aceh

Anton Widyanto

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES34 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Civic education curriculum

The design of civic education curriculum is centralized in Jakarta.

Hence, it only gives little opportunity for local teachers to accommodate

local culture and history. Most teachers I interviewed said that there were

changes several times in civic education curriculum from PMP (Pendidikan

Moral Pancasila/ Pancasila Moral Education) to PPKN (Pendidikan Pancasila

dan Kewarganegaraan/Pancasila and Citizenship Education), and the

last is PkN (Pendidikan Kewarganegaraan/Citizenship Education). If PMP

emphasized moral aspect of citizenship that based on the Pancasila values,

and PPKN has additional aspects of citizenship, PkN is more stressed on

rights and responsibilities of citizen. This change can be traced from national

curriculum 1994, curriculum based competency, and curriculum 2006. It

basically was influenced by the change of political condition in Indonesia

particularly when Indonesia has been shifting from “military government”

(the New Order era), to “civil society government” (Reformation Era).

According to most of civic education teachers I interviewed, since it is

not included in subjects tested in national examination for class 12, students

are less interested in learning it. Moreover, the lack of accommodation

of local culture and history also makes this subject less interesting for

them. However, regarding this point, they usually include some issues on

Acehnese’s culture and history when they teach particular materials like

rights and responsibilities of citizen. The issues normally also come up

in student’s discussion in class. Interestingly, regarding the past armed

conflict issues in Aceh, some teachers argued that they did not agree to

be included in civic education materials. So, when the issue came up in

student’s discussion, they tried to stop it by shifting to another issue. The

reason why they did that because they did not want students to remember

the past conflict and want them to face the future of Aceh by positive

thinking. They afraid of emerging spirit to fight for Aceh freedom like in

the past. Fatimah said, “Most our students are victims of the past armed

conflict in Aceh, and if we discuss the past problems, their spirit to rebel

will grow up. So, I think, issues of the past armed conflict should not be

taught in class”.

Page 49: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Civic Education in Post Conflict Area

35Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

However, some teachers said that teaching about the past armed

conflict is important. It will give them insights to analyze results of armed

conflict. What civic education teachers should teach is not about who is

wrong or right, but about the consequences of it. Moreover, students should

know how to solve conflicts. Thus, conflict resolution is something very

important here. By learning conflict resolution, it will prevent them to redo

what happened in the past armed conflict. Mila said, “We try to motivate

students not to be afraid to mention Gerakan Aceh Merdeka (GAM). I think

it is no problem to do that in class; although many people surround us were

GAM. We use to discuss conflict problems and consequences. Furthermore,

we also show pictures or movies we got from NGO to explain the negative

effects of the past armed conflict in Aceh; the position of GAM and TNI.

We do not discuss who is right and who is wrong. We show the impacts of

armed conflict and discuss why it happened in Aceh. We try as far as we

can. We try to be neutral in this case, but we still have to teach them”.

Still concerning the idea to include local culture and local history in

civic education such as the history of armed conflict in Aceh, MoU Helsinki,

or special autonomous for Aceh, many participants of this study informed

me that they never got any suggestion about it from parents. Although there

are meetings that include parents as school committee, usually the problems

discussed are related to school financial, school plans, or information about

some regulations. Many parents give their responsibilities to educate to

schools. Mila said, “Parents generally only focus on sending their children to

schools. So, if the question specifically asks whether parents ever suggested

including some materials in particular subjects, the answer is never. Usually

they are busy parents. Even, some of them say that it is up to school to

educate their children. They do not really care about what their children

learn at school”.

Civic education during and after armed conflict

As mentioned before, Aceh is one province in Indonesia that has

long experience in armed conflict. During armed conflict between GAM

and Indonesian National Army (TNI), most participants of this study whom

Page 50: Sustaining Peace in Aceh

Anton Widyanto

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES36 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

I interviewed explained that civic education was “a dangerous” subject to

teach in schools in Aceh. It is because this subject teaches students to be

good citizens in Indonesian frame. In another word, it sends message not

to rebel Indonesia. This message was perceived as an opposite of their

mission to free Aceh from this country. Hence, since there were senior high

school students who were GAM followers, teaching this subject became

dangerous. Basically, not only civic education that was negatively perceived

by some students, but also other subjects that “colored” by Indonesian

ideology like Bahasa Indonesia, and Constitution. Syakur, told me that

before becoming a principal of MAN 2 Banda Aceh, he taught the subject

in MTsN (State Islamic Junior High School). He said that almost no one

brave to teach the subject. Hence as a new teacher who just moved from

another junior high school in East Aceh because of armed conflict, he was

offered by the principal to teach civic education. As a homeroom teacher of

class 10, he accepted the offer. He felt it was not easy to teach the subject

because many of his students who were followers of GAM rejected it. They

said that the subject has no significance at all to teach because they want

to be free from Indonesia. He said:

“…at first students rejected (civic education). Some of them said, “Why

should we study civic education, while we will free from Indonesia

and will have an independent state?” In brief, they could not accept

civic education. In fact, not only civic education or constitution that

they rejected, but also other subjects like Bahasa Indonesia. They

protested and have no will to study Bahasa Indonesia. According to

them, they should learn Bahasa Aceh because it will be a national

language if they free from Indonesia. That was what they thought at

that time. However, with all efforts, through various methods, I tried

to persuade them that civic education and constitution are important

subjects to learn”.

To solve the problem, Syakur offered them a discussion and debate

about the concept of state. He asked them several questions what they

knew about requirements to build an independence state. Since they only

sympathizers of GAM ideology and have few understanding about the

Page 51: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Civic Education in Post Conflict Area

37Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

concept of state, they did not know how to answer those questions. Then, he

emphasized the importance of civic education and constitution subjects to

learn at schools. He explained that it would be useful for them who were GAM

followers and sympathizers since they wanted to free Aceh from Indonesia

and build an independence state. Without mastering the knowledge about

the concept of the state, they must have significant problems when they

could gain their freedom. After understanding the importance of the subject,

they finally could accept civic education. He said:

“Interestingly, what I remembered about, one time I asked them to

discuss with me in class. I asked them, “Ok, I do agree that you

want to build an independent state. As your civic education teacher,

I agree on that. However, my question is what do you know about

the requirements to build an independent state? At that time, they

could not answer the question. That makes sense because they only

get some “doctrines” about Aceh’s independence from their friends,

or others. When they could not answer my question, I told them that

civic education and constitution that we learn now is very important.

By learning this subject, you will be clever. If you are clever, you can

build an independent nation because you already knew the concept

of state. For instance you would know the system of the Republic

of Indonesia, the United States, or other states in Europe. You also

would know their concepts, systems, regulations, etc. Hence we will

know much and can conclude what state we should make for Aceh in

the future. Since that, they could accept civic education to be taught

in the school”.

The similar experience was also explained by Fatimah and Azizah.

Fatimah is a civic education teacher at MAN Rukoh Banda Aceh who has

been working for 11 years, while Azizah is a civic education teacher at

SMA 2 Peusangan, Bireuen, who has been working for 15 years. Fatimah

and Azizah told me that they ever felt a long hard period in teaching civic

education in their schools. Like Syakur, during armed conflict, some of

their students also rejected to learn the subject. More than that, Azizah was

ever threatened to be killed by her students who were GAM followers. The

Page 52: Sustaining Peace in Aceh

Anton Widyanto

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES38 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

problem was not only related to the subject she taught, but also because his

husband was not Acehnese.

Fatimah said, “Usually our students who were followers of GAM have

only little knowledge and were influenced by their environments. They

hated me because I teach civic education. Nevertheless, I told them that

this subject is like a bridge for them. If you do not like it, that is your

right. Above all, you have to know about it. Wherever we are, we have to

know how to live as a citizen. So, if you do not like, once again, that is

your right. I just hope that you can answer questions asked in examination.

After exam, either you can use it or throw it away”. To solve the problem

Fatimah explained, “Normally, I called students who hated me and made

verbal abuses, then, I began to ask what they want. My heart was hurt by

their attitudes, but I was not angry at them. I asked them to express their

feeling. By that, usually they can understand my position”. Similarly, Azizah

also used method of discussion to solve rejection of her students on the

subject she taught. She said, sometimes she was afraid of students who

threatened her life. However, she tried to cope that by her believe in God.

She submitted to God’s fate for every problem she faced.

After the peace agreement between GAM and the Republic of Indonesia

was signed on August 15, 2005, civic education gradually became acceptable.

It does not mean that this subject became “a favorite” one, but this subject

has no risk to teach at senior high schools in Aceh anymore. This condition

cannot be separated from the peaceful situation after prolonged armed

conflict as a fruit of MoU Helsinki which is followed up by the Act No.

11/2006 on Aceh Government.

When I asked whether the materials in civic education are still

relevant for Aceh people nowadays, most civic education teachers said it

is still relevant. Fatimah said, “I think they are still relevant because during

armed conflict students were influenced by the condition outside school,

while now such influences do not exist”. Regarding this matter, Syakur

explained, “I think civic education is still relevant to teach in Aceh because

we have to know our government system. If we do not teach civic education,

perhaps students do not know what parliament is, or what kind of system

Page 53: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Civic Education in Post Conflict Area

39Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

we use in our politics in Indonesia. All about it covered in civic education

materials. Hence, once again, civic education is still relevant for Aceh people

nowadays”.

Teaching strategy

Most participants of this study said that they often use lecturing as

a method to teach civic education. However, for some materials they also

use other methods such as discussion, and role play. Azizah explained,

“Mostly, I use lecturing in teaching civic education, and sometimes I use

discussion. I think other methods are not suitable to use in this school,

like learning outside class. I ever used it, but students are not seriously

involved”. Moreover, Fatimah told me, “There are some materials that not

suitable to teach by using particular method, for example materials on law.

Regarding law materials, I often ask my students to make role play in which

they can practice like in real court”.

From my observation, I saw students were not really care about

materials taught. Some of them were talking each other, especially who sat

in back raw of the classes. Some students who really paid attention to the

lecturing of teachers usually were girls. They usually like to sit in front raw

of the classes. Regarding this problem, Azizah said, “Usually students are

interested in learning civic education when we connect the materials to the

facts that we watch daily. So, whatever the materials are, if we connect them

to the facts surround us, they will be interested to learn. If we only focus on

what is written on the handbook, normally they are not interested. Hence it

really depends on teacher’s innovation”.

What Azizah said above is in line with what students told me in focus

group discussion. When I asked them about their impression to study civic

education, the answers were different. Some students said they were lack

enthusiasm to study materials that need memorization like the Acts or

constitution. However, they were interested in learning some topics related

to the daily problems like corruption, collusion, or human rights. This is

because they often watch those problems on TV, or they read on newspaper,

or internet.

Page 54: Sustaining Peace in Aceh

Anton Widyanto

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES40 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Discussion

Findings explained above shows that teaching and learning civic

education in Aceh still have many problems. The problems can be classified

into three parts: problems with curriculum, problems with teaching strategy,

and problems with democratization.

Concerning problems with civic education curriculum, I think it is really

important to accommodate local cultures and history of Aceh. Based on the

interviews and focus group discussion I conducted, most civic education

teachers and principals hoped that civic education includes those materials.

However, since civic education curriculum is designed in Jakarta, what civic

education teachers need to do is improving the materials by connecting to

local culture and history.

This improvement is really possible, because according to the Act No.

11/2006 on Aceh Government Chapter 215 Number 1, “Education in Aceh

is a part of national education system that adjusted to the characteristic,

potentiality, and need of society”. Then, the local regulation (Qanun) No.

5/2008, Chapter 3 says, “Aceh is a province that constitutes of lawful society

that have specialties and particular authorities to manage and regulate

government affairs and the interest of local people in line with regulations

in the system of the Republic of Indonesia based on the Constitution of the

Republic of Indonesia 1945, which is leaded by a governor”. Moreover, these

specialties are strengthened by regulations on the division of education

management authorities. Chapter 5 of this Qanun says, “The Government

of Aceh and District Governments implement the specialty of Aceh in

education altogether and add local materials which are in line with Islamic

Shari’a”. Then, regarding curriculum, chapter 35 No. 4 says, “School or

madrasah curriculum at all kinds and levels can add local curriculum based

on local needs”. This regulation indicates clearly that Aceh has rights to

make innovation in education by including local curriculum. Several issues

like special autonomous, the system of local government such as Wali

Nanggroe (provincial head of Acehnese culture, custom, and tradition),

Tuha Peut (four important leadership elements in a sub district), Tuha lapan

(eight important leadership elements), or history of conflict in Aceh that

Page 55: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Civic Education in Post Conflict Area

41Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

stresses on conflict resolution can be included either in local curriculum or

in the materials of civic education.

Next regarding problems with teaching strategy, I think civic education

teachers need to be trained in order to upgrade their capacity. Since civic

education is not a subject tested in the national examination, trainings for

teachers are rarely conducted. Moreover, meetings of subject teachers in

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP/Coordination Forum for Subject

Teachers) also not actively conducted. Training for teachers can be focused

on how to make civic education interesting to learn for students. The use

of lecturing as a principal method without combination with other methods

will make this subject boring for them. I think various methods related

to collaborative learning and learning by doing such as discussion, service

learning, field trips, and listening to the guest speakers can help teachers to

make civic education interesting.

Regarding the field trips students can learn about the judicial branch

and the court systems. Then, they can make a mock trial at school where

the students play part and they read the roles of different people. Then,

they can begin work on a more in depth mock trial where the students will

become the attorneys, the witnesses, and defendants. They can make up

their own questions. Teachers then can travel with students to the Court

House where will be in the real court room, with the real judge, and put the

entire trial on. The students will learn how the judge works, what goes in the

court room, court room etiquette, all of the players, and key components in

the court room. This of course will be very useful for them to understand

the judicial system in their country.

Furthermore, concerning service learning, teachers can make a project

assignment for students to do in society. They can choose what and where

they will conduct service learning. They can choose for example orphanage

residence, mosque, foundation, etc. By that they can experience and learn

directly how to live in different situations which will be very useful for their

future lives.

Furthermore regarding problems of democratization, according to

the Act No. 11/2006, Chapter 216 Number 1, “Every Acehnese has right to

Page 56: Sustaining Peace in Aceh

Anton Widyanto

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES42 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

have qualified education with Islamic values in line with the development

of knowledge and technology”; Number 2, “Education which is indicated

in the number 1 must be done on democracy basis and justice along with

respecting human rights, Islamic values, culture, and diversity in the nation”.

This law clearly sends a message that democracy is an important basis to

build Aceh. However, it is also crucial to note that democracy in Aceh has

to respect human rights, Islamic values, culture, and diversity in Indonesia.

Based on the explanation above, I think what students need to learn

from civic education is how to be good citizens. Instead of memorizing

chapters of law, or Pancasila, it will be more useful if students can

understand how to be “citizens in a democracy, what role citizen play in

democracy, and how to fully and effectively meet their obligations to fulfill

those roles” (Burroughs, et. al, 2007-2008: 50). To implement this concept,

I think civic education teachers can ask students to make a mock general

election to educate them that one of their responsibilities is to elect their

leaders. Moreover, teachers also can ask students to do site visit to watch

directly how their representatives in Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(Regional People Representatives) doing their responsibilities. In line with

this, in more concrete way, students also can learn directly from student

government at schools.

All methods above are used because basically civic education should

not only be taught “in book”, but “in action”. This is what can be called as

applied civics.

Conclusion

From the explanation above it can be understood that civic education

is crucial to teach in Aceh. The historical background of Aceh which full of

blood must be replaced by democratization of its citizens. Hence, education

plays important part here, because through education students can learn

how to be good citizens. Moreover, they can also learn how to maintain

peaceful condition in Aceh. The Memorandum of Helsinki which was signed

on August 15, 2005 and followed up by the Act No. 11/2006 emphasizes

that the contemporary and future Aceh must be developed in the frame

Page 57: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Civic Education in Post Conflict Area

43Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

of the Republic of Indonesia. Hence, to promote democratization in Aceh

civic education must be empowered through various ways. Regarding the

curriculum, civic education in Aceh should include local issues including

culture, special autonomous, and Aceh history. The history of conflict in

Aceh should be neutral and objective. It should be focusing on strengthening

human rights, and the consequences of past conflict, without blaming who

was right and wrong. Then, concerning teaching strategy, civic education

teachers in Aceh still need to be trained. The problems here are not only

concerning with the exclusion of this subject from national examination,

but also method of teaching used by the teachers. Civic education can be

interesting subject for students to learn if the teachers can connect materials

to factual condition in society. Hence, the improvisation of the teachers in

teaching this subject is really important. Next, regarding democratization

process in Aceh, students need to learn how to live in democratic society.

Therefore, it is important to teach them to be good citizens. It is can be

done by giving them opportunities to learn directly from environments

surround them.

Another aspect that needs to notice is concerning diversities in

Aceh. These diversities include ethnic groups, languages, religions, and

cultures. On the one hand, these diversities can be a positive power to

develop Acehnese society in the future. However, on the other hand, it

also can be negative potentialities that can destruct their future. To make

it positive power, it needs a strong commitment from the stakeholders to

implement multicultural education in schools. One possible way to do it

is by integrating multicultural education into civic education. I think with

Indonesian curriculum 2006 that allocates more dependency for teachers to

make innovation in teaching-learning process, this alternative is applicable.

To discuss about it more profoundly, I think there will be another research

conducted.

Page 58: Sustaining Peace in Aceh

Anton Widyanto

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES44 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

REFERENCES

Ahmad, Zakaria. (1972). Sekitar Keradjaan Atjeh dalam tahun 1520-1675 (About Acehnese kingdoms 1520-1675), Medan: Monora.

Argyris, C., Scho¨ n, D., (1974). Theory in Practice: Increasing Professional Effectiveness. Jossey-Bass, San Francisco.

Bertrand, J. (2004). Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

Burger, D.H. & Prayudi. (1962). Sejarah Ekonomis-Sosiologis Indonesia (The socio-economical history of Indonesia), Jakarta: Pradnyamitra.

Burroughs, et. al, Teaching for and about citizenship in a democratic society: comparative views of a selected civic educators in the United States, Europe, and Latin America. International Journal of Social Education, Volume 22, Number 2, Fall 2007-2008, PP. 49-69.

Crystal, David S, and Matthew DeBell’s (2002). Sources of Civic Orientation among American Youth: Trust, Religious Valuation, and Attributions of Responsibility. Political Psychology. Vol. 23, No. 1 (March), pp. 113-132.

Fieldman, Lauren, et.al (2007). Identifying Best Practices in Civic Education: Lessons from the Student Voices Program. American Journal of Education (November).

http://www.datastatistik-indonesia.com/component/option,com_tabel/kat,1/idtabel,111/Itemid ,165/ retrieved on Nov 26, 2009.

http://www.id.indonesia.nl/content/view/186/89/ retrieved on Nov 26, 2009.

ICG Asia Report N°17. (2001). Aceh: Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace.

ICG Asia Report. (2003) Indonesia Briefing. Jakarta/Brussels.

Ismail Jacoeb. (1946). Atjeh.

Reid, Anthony. (1995). Winesses to Sumatra: A travelers Anthology. New York: Oxford University Press.

Risalah sejarah masuknya Islam di Indonesia (The symposium on the history of Islamic entrance to Indonesia). 1963.

Page 59: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Civic Education in Post Conflict Area

45Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Risalah sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh (The symposium on the history of Islamic entrance and development in the special region Aceh), 1978.

Rubin, Beth C. (2007). “There’s Still Not Justice”: Youth Civic Identity Development Amid Distinct School and Community Contexts. The College Record. Vol. 109, Number 2, February, pp. 449-481.

Kahne, Joseph, Bernadette Chi, Ellen Middaugh.(2006). Building Social Capital for Civic and Political Engagement: The Potential of High-School Civics Courses. Canadian Journal of Education. 29, 2: 387-409.

Kalidjernih, F. (2005). Post-Colonial Citizenship Education: A Critical Study of the Production and Reproduction of the Indonesian Civic Ideal. Ph.D. dissertation. Tasmania: University of Tasmania.

Kingsbury, D. and Aveling, H. (2003). Autonomy and Disintegration in Indonesia. New York: RoutledgeCurzon.

Merriam, Sharan B. (1998). Qualitative research and case study applications in education. San Fransisco: Jossey-Bass education series.

Nieto, Sonia & Patty Bode. (2008). Affirming diversity: The sociopolitical context of multicultural education. New York: Pearson.

Sjamsuddin, Nazaruddin. (1985). The Republican Revolt: A Study of the Acehnese Rebellion. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Van Dijk, C. (1981). Rebellion under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.

Westheimer, Joel and Joseph Kahne. (2004). What Kind of Citizen? The Politics of Educating for Democracy. American Educational Research Journal. Vol. 41. No. 2 (Summer), pp. 237-269.

Winataputra, U. S. (2003, September-October). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi: Suatu Kerangka Acuan [Civic education for higher education: A frame of reference]. Paper presented at the Seminar Nasional III Pendidikan Kewargaan (Civic Education) di Perguruan Tinggi [Third National Seminar on Civic Education in Higher Education], Jakarta, Indonesia.

Page 60: Sustaining Peace in Aceh
Page 61: Sustaining Peace in Aceh

47

Pendidikan Hukum dan Pemberdayaan Civil Society dalam Menjaga Perdamaian di Aceh

Fauzi SalehDosen tetap pada Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry dan Peneliti pada Lembaga Kajian Sosial dan Agama (LKAS) Banda Aceh. Menyelesaikan pendidikan S-1 pada LIPIA dan STAI Az-Ziyadah, Jakarta, S-2 pada Institut Ilmu Alquran, Jakarta, S-3 pada IAIN Ar-Raniry, konsentrasi Fiqh Modern

Pendahuluan

Perdamaian yang dirasakan saat ini di Aceh merupakan sebuah

perjuangan panjang dengan segala dinamisasi dan fluktuasinya. Sebagai

tonggak sejarah yang sangat bermakna ini, maka segala daya dan usaha di

tempuh dengan berbagai jalan dan jalur agar perdamaian itu survive untuk

masa kini dan masa mendatang, kemudian menjadi warisan (inheritance)

yang sangat bermakna bagi generasi.

Masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dan menjadi

stakeholder yang penting dalam konteks ini sekaligus sebagai element yang

amat dominan untuk memainkan peran dalam mewujudkan perdamaian

yang abadi. Masyarakat yang dimaksud adalah akumulasi dari sejumlah

individu yang berperadaban dan memiliki worldview yang luas, mampu

bersanding dan bertanding dalam kacah dunia global untuk berperan

dalam memakmurkan alam. Masyarakat yang menyadari dirinya sebagai

khalifah Allah di atas muka bumi yang menyayangi, lapang dada, empati,

peka, ta’awun (kooperatif) terhadap makhluk lain, mampu mengkondisi

alam yang aman dan damai bagi segenap penghuninya.

Page 62: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES48

Fauzi Saleh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Wujud alam yang damai ini bermuara pada pemahaman dan ketaatan

setiap individu akan aturan-aturan baik yang bersifat normative dalam

artian memberikan bimbingan, arahan, sugesti dan petuah maupun bersifat

coercive yang berfungsi memaksa individu untuk mentaati kaidah dan

norma yang ada. Kebutuhan ini tentu berkait dengan domain hukum.

Proses sosialisasi hukum dimaksudkan pertama sekali untuk membentuk

masyarakat yang ideal dan harmoni. Masyarakat yang baik salah satu

indikatornya adalah mereka yang dapat hidup dengan teratur dan saling

menghormati antara satu dengan yang lain. Kehidupan yang mencerminkan

bahwa kebebasan individu selalu dikontrol dan dibatasi oleh kebebasan

orang lain.

Dalam konteks ini, pendidikan hukum menjadi bagian yang tak

terpisahkan dalam menata hidup dan kehidupan. Karenanya, perlu sebuah

kajian tentang pendidikan hukum dalam menguatkan civil society guna

mendukung perdamaian Aceh yang abadi.

Secara sistematis, makalah ini diawali dengan pendidikan hukum dan

urgensitasnya, lalu melihat bagaimana masyarakat yang diharapkan untuk

diperkuat sendi-sendinya. Dari uraian terakhir terdeskripsikan bagaimana

peran civil society yang sadar hukum dalam menjaga perdamaian di bumi

Serambi Mekkah ini.

Pengertian dan kontribusi pendidikan hukum

Secara kebahasaan, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu

atau tidak menetapkankannya. (Azra, 2005: 46). Secara terminologi,

hukum (law) dapat dapat dilihat dari definisi yang ditulis oleh Sheryl J.

Grana, Jane C. Ollecen Burger and Hans Kelsen sebagai berikut, Law: any

written or positive rule or collection of rules prescribed under the authority

of the sate or nation, as by the people in its constitutution (Grana and

Burger, 1999: 16)

Dalam perspektif sociology hukum diartikan: law are rules that are

enforced and sanctioned by the authority of government. Then may or may

not be norms. Hukum adalah aturan-aturan yang dipaksan dan diberikan

sanksi (atas pelanggaran) oleh pihak yang berwenang dalam pemerintahan,

Page 63: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES 49

Pendidikan Hukum dan Pemberdayaan Civil Society dalam Menjaga Perdamaian di Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

baik bersifat norma atau bukan. Perlu dijelaskan lebih detail lagi bahwa

norma yang dimaksud adalah Norms: share rules of conduct that specify

how people ought to think and act.

Sementara norma adalah aturan-aturan yang mengatur tingkah laku

untuk mengarahkan seseorang bagaimana seharus berpikir dan bersikap.

Dalam konteks ini, norma tidak sama dengan nilai. Perbedaan tersebut

dapat dipahami, sebagaimana dijelaskan Hans Kelsen, bahwa norma untuk

menjawab pertanyaan What ought to do (apa yang seharusnya dikerjakan)?

Sementara means (nilai) untuk menjawab: What must I do? (apa yang harus

saya lakukan)? Hal di atas menunjukkan bahwa norma lebih ditekankan

pada aspek moral dan akhlak, sedangkan nilai ditekankan pada aspek legal

formalnya. (Grana and Burger, 1999: 16 and Kelsen, 1991: 9)

Hukum adalah bentuk tulisan atau aturan positif atau sekumpualn

undang-undang di bawah kekuasaan Negara yang dicantumkan oleh

rakyat dalam konstitusinya. Sedang pendidikan hukum adalah pendidikan

diperuntukkan bagi seseorang yang ingin menjadi seseorang yang ahli

di bidang hukum maupun mereka yang secara sederhana bertujuan

menggunakan gelar hukumnya dalam beberapa tingkat, baik terkait dengan

hukum itu sendiri (seperti politik atau akademi) maupun bisnis.( http://

id.wikipedia.org )

Menurut Himahanto Juwana, pendidikan hukum ada dua macam, yaitu

pendidikan hukum yang bersifat akademis (pendidikan hukum akademis)

dan pendidikan hukum yang bersifat profesi (pendidikan hukum profesi.

Namun pendidikan hukum yang dimaksud di sini adalah proses transfer

informasi dan pengetahuan berkaitan dengan norma dan aturan (baca:

hukum) yang berlaku dalam Negara kepada kepada semua stakeholders.

Hal itu mengingat bahwa peranan hukum adalah untuk menjamin bahwa

pelaksanaan pembangunan baik materil maupun spiritual dapat berjalan

dengan cara yang teratur, tertib dan lancar. Perubahan yang teratur melalui

prosedur hukum, baik yang berwujud peraturan perundangan atau bewujud

keputusan badan-badan peradilan akan lebih baik daripada perubahan

yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata. (Atmodjahnawi,

1982: 71)

Page 64: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES50

Fauzi Saleh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Dengan demikian, masyarakat diharapkan memahami bahwa hukum

tidak hanya tool of social control tetapi juga tool of social engineering sebagai

alat yang mampu merubah suatu keadaan masyarakat yang kurang baik

dan kurang maju serta dapat menciptakan nilai-nilai baru. Oleh karenanya,

hukum merupakan suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses

pembangunan. (Atmodjahnawi, 1982: 71)

Pendidikan hukum bagi masyarakat paling kurang memiliki dua

fungsi, pertama, mendapatkan ilmu pengetahuan tentang ilmu hukum

dan hukum Indonesia. Kedua, menghasilkan output yang berkarakteristik

tertentu seumpama mampu melihat peristiwa atau fakta lebih dari satu

perspektif, pandai beragumentasi baik lisan maupun tulisan, piawai dalam

menafsirkan kata-kata dan penuh ketelitian. (Juwana: 17)

Untuk maksud di atas, pendidikan hukum diarahkan kepada

pemahaman hukum bagi masyarakat dengan tiga kategori pertama,

pengetahuan yang menyangkut perundang-undangan (substantive law),

kedua, pengetahuan yang menyangkut dengan keterampilan sehingga setiap

individu masyarakat memiliki keahlian dalam menganalisa, melakukan

riset, menulis, mengargumentasikan serta memecahkan masalah. Ketiga:

pengetahuan yang memberikan wawasan agar masyarakat memiliki

perspektif teoritis dan transnasional. (Juwana: 17)

Untuk mewujudkan maksud di atas, maka mesti didukung oleh

langkah dan perangkat yang baik, yakni pemerintahan yang baik (behoorlijk

bestuur), peradilan yang baik (berhoorlijk), dan perundangan yang baik

(behoorlijk wetgevingi)( Atmodjahnawi, 1982: 73).

Pemberdayaan civil society

1. Civil society dalam perspektif historis

Ide civil society muncul di Eropa antara abad ke-17 dan abad ke-18,

ide itu muncul dari kondisi krisis dalam social order dan kebuntuan dalam

paradigma tentang order itu sendiri. Secara umum krisis di Eropa abad ke-

17 meliputi: komersialisasi tanah, tenaga kerja, dan modal; pertumbuhan

ekonomi pasar; abad penemuan/kebangkitan sains; hingga revolusi

kontinental Inggris dan Amerika.

Page 65: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES 51

Pendidikan Hukum dan Pemberdayaan Civil Society dalam Menjaga Perdamaian di Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Konteks masyarakat yang mulai melepaskan diri dari dominasi

agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Agama

saat itu mulai tersekularisasi dalam arti wewenang dan legitimasi kekuasaan

mulai dilepaskan dari tangan agamawan. Di Eropa itu pula tumbuh ide

demokrasi yang diawali dengan Revolusi Perancis (1789) dan tumbuh pula

sistem ekonomi kapitalisme yang liberalistik. Civil society pada awalnya

sebagai gagasan adalah anak kandung filsafat Pencerahan (Enlightenment)

yang meretas jalan bagi munculnya sekularisme sebagai weltanschauung

yang menggantikan agama (gereja), dan sistem politik demokrasi sebagai

pengganti sistem monarkhi.

Civil society, yang sering diterjemahkan dengan masyarakat sipil,

yang terambil dari bahasa Latin ’civilas societas’. Secara historis karya

Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya klasiknya, An Essay on History

of Civil Society (1767) merupakan salah satu titik asal penggunaan

ungkapan masyarakat sipil (civil society). Gagasan masyarakat sipil

merupakan tujuan utama dalam membongkar konsep masyarakat model

Marxisme. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai wilayah yang

mengedepankan kepentingan individual, pemenuhan hak-hak individu

secara bebas. Masyarakat sipil merupakan bagian dari masyarakat yang

menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial yang monarkis,

feodal ataupun borjuis) serta membatasi diri dari lingkaran negara.

Civil Society juga sering diterjemahkan dengan ”masyarakat madani”

dalam bahasa Indonesia. Munculnya istilah ’masyarakat madani’ di Indonesia

adalah bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah

menjabat sebagai Menteri keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia,

ke Indonesia membawa istilah ”masyarakat madani” sebagai terjemahan

“civil society”, dalam ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka

Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 september 1995. (http://dzmiko.

multiply.com) Meskipun sebagian berpendapat bahwa konsep ”masyarakat

madani” di Malaysia merupakan hasil pemikiran Naquib al-Attas seorang

filosof kontemporer dari negeri jiran itu. (http://dzmiko.multiply.com)

Wacana civil society, sebenarnya mulai populer di Indonesia semenjak

akhir dasawarsa 1980-an. Nurcholis Madjid, misalnya, melakukan penafsiran

Page 66: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES52

Fauzi Saleh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

konsep civil society sebagai ‘masyarakat madani’, melalui pendekatan

semantik dan projecting back, yang merujuk kepada masyarakat Madinah

yang ditegakkan oleh Nabi Muhammad saw. (http://dzmiko.multiply.com)

2. Memahami civil society

Sebagaimana disebutkan di atas, civil society dalam bahasa Indonesia

diterjemahkan ”masyarakat madani”. Dalam bahasa Arab, kata “madani”

tentu saja berkaitan dengan kata “madinah” atau ‘kota”, sehingga masyarakat

madani biasa berarti masyarakat kota atau perkotaan. Meskipun begitu,

istilah kota di sini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi

justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk

sebuah kota. Dari sini kita paham bahwa masyarakat madani tidak asal

masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah

memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota, yaitu yang berperadaban.

Dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata “civilized”, yang artinya

memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan

kata “tamaddun” yang juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi.

(http://dzmiko.multiply.com)

Muhammad AS Hikam menguraikan lebih detail. Menurutnya, civil

society didefinisikan sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi

dan bercirikan, antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan

(self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi

berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma atau nilai hukum

yang diikuti oleh warganya.

Sebagai sebuah ruang politik, civil society adalah suatu wilayah yang

menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak

terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam

jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya

suatu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat di mana

transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat.

(http://74.125.153.132)

Sebagaimana terma lainnya, civil society memiliki sisi yang pandang

Page 67: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES 53

Pendidikan Hukum dan Pemberdayaan Civil Society dalam Menjaga Perdamaian di Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

berbeda. Karenanya, konsep civil society1 memiliki banyak versi dan

interpretasi, kendatipun secara idelogis dapat digolongkan ke dalam dua

versi ideologis, yakni versi kapitalisme dan sosialisme. (http://dzmiko.

multiply.com)

Menurutt Kofi Anan mengatakan bahwa civil society merupakan satu

cara untuk memahami relasi antara individu dan negara yang melestarikan

kebebasan dan tanggungjawab.

Dari penjelasan di atas, masyarakat madani memiliki akar istilah

bahasa Indonesia serapan dari bahasa Arab. Latar belakang sosio-historis

Islam atas istilah ’madani’ sangatlah penting untuk memahami dinamika

(kemungkinan perubahan makna dari zaman ke zaman) serta penarikan

simpul makna yang dikandungnya (relevan) saat ini.( (http://dzmiko.

multiply.com)

Sementara civil society pada awalnya memiliki akar yang berbeda

dengan masyarakat madani. Banyak orang memadankan istilah ini dengan,

civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani).

Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society

tradisi Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda

apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul. (http://dzmiko.

multiply.com)

Namun demikian, penggunaan istilah masyarakat madani dan civil

society di Indonesia sering disamakan atau digunakan secara bergantian.

1 AhmadBasomenyimpulkanada5(lima)teoricivil societyyangadadiBarat:Pertama,teoriHobbesdanLocke,yangmenempatkancivilsocietysebagaipenyelesaidanperedamkonflikdalammasyarakat.Jadi,civil societydisamakandengannegara.Kedua,teoriAdamFerguson,yangmelihatcivilsocietysebagaigagasanalternatifuntukmemeliharatanggungjawab dan kohesi sosial serta menghindari ancaman negatif individualisme, berupabenturanambisidankepentinganpribadi.Civil societydipahamisebagaientitasyangsaratdenganvisietisberuparasasoliderdankasihsayangantarsesama.Ketiga,teoriThomasPaine, yang menempatkan civil society sebagai antitesis negara. Negara harus dibatasisampai sekecil-kecilnya, karena keberadaannya hanyalah keniscayaan buruk belaka(necessary evil).Keempat, teoriHegel danMarx, yang tidakmenaruhآ harapanberartiterhadap entitas civil society.Konseptualisasimereka tentang civil society bukan untukmemberdayakannya atau menobatkannya, tetapi lebih untuk mengabaikan dan bahkanmelenyapkannya. Kelima, teori Tocquiville, yang menempatkan civil society sebagaientitasuntukmengimbangi(balancing force)kekuatannegara,meng-counter hegemoninegaradanmenahanintervensiberlebihannegara.

Page 68: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES54

Fauzi Saleh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai

persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang system

budaya negara yang berbeda. ((http://dzmiko.multiply.com) Karena itu,

penulis menggunakan kedua istilah itu secara bergantian.

Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara

yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk

kepada komponen di luar negara. Istilah Madani, Madinah (kota) dan al-Din

(diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata d-y-n.

Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Madinah bermakna

di sanalah ad-Din (Syari’ah Islam) berlaku dan ditegakkan untuk semua

kelompok (kaum) di Madinah. (http://dzmiko.multiply.com)

Menilik pengalaman sosio-historis Islam, masyarakat madani

merupakan representasi dari masyarakat Madinah yang diwariskan Nabi

Muhammad SAW, yang oleh Robert N. Bellah, sosiolog agama terkemuka,

disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat

modern, bahkan terlalu modern, sehingga sewafatnya Nabi, Timur tengah

dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang

diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang

pernah dirintis Nabi SAW. (http://dzmiko.multiply.com)

3. Pemberdayaan civil society dalam Islam

Civil society telah menjadi tiang penyangga utama bangunan

demokrasi dan menjaga keseimbangan kehidupan berbangsa. Tanpa civil

society, bangunan demokrasi akan rapuh, negara pincang, dan penguasa

pun tak berdaya.( Rohaniwan, http://www.simpuldemokrasi.com)

Istilah civil society barangkali tidak terdapat dalam peradaban Islam

secara eksplisit. Namun, nilai-nilai universal dari terma tersebut tentu

terdapat dan dipraktikkan dalam Islam. Dalam tulisan ini, penulis mencoba

mencari padanan istilah tersebut bila dilihat dalam khazanah Islamiyyah.

Bila merujuk pemaknaan civil society yang disebutkan di atas, praktik

muslimin Madinah telah mendeskripsikan inti masyarakat yang dimaksud.

Sebagian para ahli menerjemahkan civil society sebagai masyarakat madani.

Kata “madani” itu sendiri dinisbahkan kepada “Madinah” telah melahirkan

Page 69: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES 55

Pendidikan Hukum dan Pemberdayaan Civil Society dalam Menjaga Perdamaian di Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

suatu kondisi masyarakat yang saling berbagi, bekerja sama, ta’akha

(bersaudara) dan berakhlak mulia kepada Allah dan kepada sesama.

Nilai-nilai di atas menjadi penting apalagi bila dikaitkan dengan

perkembangan zaman sekarang ini. Noktah-noktah Alquran antara lain

memerintahkan kepada umat manusia untuk memikirkan pembentukan

suatu masyarakat dengan kualitas-kualitas tertentu. Dengan demikian,

memungkinkan bagi umat Islam untuk merekonstruksikan suatu gambaran

tentang masyarakat ideal berdasarkan petunjuk dan bimbingan Alquran

(Al-Munawwar, 2005: 167)

Adapun terma yang dipakai untuk mengindikasikan masyarakat

utama itu seumpama ummat wahidah(Q.S. (2): 13; Al-Maidah (5): 48; Al-

Anbiya (21): 92), ummat wasata(Q.S. (2): 143), dan khayr ummat (Q.S (3):

110). Terma terakhir diberikan indikator : menyeru kepada kebaikan,

mencegah dari yang buruk dan beriman kepada Allah swt. (Al-Munawwar,

2005: 176)

Prinsip yang umat terbaik yang dirumuskan oleh Jam’iyyah Nadhatul

Ulama dalam mu’tamarnya ke XIII, tahun 1935 tercermin pada mabadi

berikut:

● al-siddiq : kejujuran, kebenaran, kesungguhnya dan keterbukaan.

Kejujuran adalah satunya kata dan perbuatan, ucapan dan pikiran

● al-amanah wa al-wafa bi al-‘ahd. Amanah meliputi beban yang

harus dilaksanakan baik dengan perjanjian atau pun tidak. Sedang

al-wafa’ bi al-‘ahd hanya berkaitan dengan perjanjian. Gabungan

kedua istilah tersebut berarti dapat dipercaya, setia dan tepat

janji

● al-‘adalah: mengandung pengertian objektif, proporsional dan

taat asas.

● al-ta’awun yang merupakan sendi utama dalam tata kehidupan

bermasyarakat. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan

orang lain. Pengertian al-ta’awun meliputi tolong menolong, setia

kawan, dan gotong royong dalam kebaikan dan taqwa

● al-istiqamah mengandung pengertian konsistensi, kesinambunga

dan berkelanjutan. (Al-Munawwar, 2005: 178-179)

Page 70: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES56

Fauzi Saleh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Peran civil society untuk memelihara perdamaian dalam bingkai hukum

Melahirkan perdamaian merupakan hal yang sulit, tetapi akan lebih

sulit lagi menjaga dan memelihara perdamaian itu. Penulis berpendapat

bahwa perdamaian itu hanya mampu dilestarikan oleh orang yang merasa

pentingnya kondisi tersebut dalam payung hukum yang telah ditentukan.

Civil society merupakan masyarakat pilihan yang tahu akan hak dan

kewajiban bahkan menjadikan kepentingan publik di atas kebutuhan diri

dan golongan. Sesuai dengan bekal pendidikan hukum yang dimilikinya,

mereka akan sangat arif dalam mengkondisikan keadaan untuk menghindari

chaos (kekacauan) dan disorder (keadan yang tidak nyaman).

Penguatan civil society dalam memelihara perdamaian menjadi urgen

dikarenakan masih ada faktor-faktor internal-eksternal yang sering bersifat

pro-aktif, instrusif yang mengoyang perdamaian. Anak bangsa suatu saat

bisa terjebak pada labilitas, kerapuhan dan perpecahan di dalam, Maka hal

itu nanti akan mempengaruhi keutuhan masyarakat secara keseluruhan.

(Rais, 1998: 212)

Banyak hal-hal yang kecil berpotensi dan rawan terhadap gangguan

perdamaian. Pepatah Aceh mengingatkan hal tersebut, Asai cabok nibak

kudee, asai pakee nibak seunda, asai mukah nibak meuso, asai meulho nibak

dawa (asal borok dari kudis, asal pertengkaran itu dari senda, asal zina dari

cabul asal perkelahian dari pertengkaran). (Umar, 2008: 188-189)

Penguatan civil society dalam memelihara perdamaian melalui

kontribusinya sebagai berikut:

Pertama, memberikan kesadaran hukum kepada masyarakat akan

lebih tinggi, jika dapat memberikan pola yang rasional, dan tidak hanya

bergantung pada perasaan dan emosi seseorang. Jika emosi seseorang

ditimbulkan oleh sauna tertentu, maka apa yang disebut intituisi ini akan

menjadi sangat terpengaruh. (Sosrodihardjo, 1982: 13)

Kedua, memberikan kemampuan untuk berkontribusi dalam

penetapan dan pelaksanaan hukum termasuk memberikan perubahan

karena kondisi sosial yang berubah. (Sosrodihardjo, 1982: 13) Dengan

demikian, masyarakat dapat mengcounter kemungkinan terjadi conflicit

interest baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.

Page 71: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES 57

Pendidikan Hukum dan Pemberdayaan Civil Society dalam Menjaga Perdamaian di Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Ketiga, civil society dengan kapasitas pemahaman hukum yang

memadai diharapkan mampu menjadi problem solver bahkan ada sebagian

mereka menjadi theory builder. (Sosrodihardjo, 1982: 13) Dalam adat

orang Aceh, problem solver itu sudah dibangun dari tingkat bawah, yaitu

kampung. Perangkat kampong akan segera mengambil langkah-langkah

solutif bila terjadi hal-hal yang mengarah perpecahan dan mengganggu

perdamaian dalam masyarakat. Sebelum bola panas bergulir, masyarakat

dengan arahan tokoh-tokohnya mencari jalan alternative dan preventif

sehingga menghasilkan win-win solution.

Keempat: membangun civil society yang peka terhadap perubahan

dalam frame perdamaian. Pelestarian perdamaian dengan beradaptasi

dengan (1) perubahan sosial yang menyangkut tata nilai,2 sikap dan tingkah

laku manusia (2) perubahan untuk mampu bersanding dan bertanding

dengan daerah lain sehingga tidak melahirkan kesenjangan sosial; (3)

perubahan untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri dan mengadakan

penyesuaian dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat modern3

Kelima, civil society mampu berperan dalam proses mobilisasi

proyek terapan didasari yang memungkinkan untuk membangun

kondisi damai, seirama dengan perkembangan dunia untuk menyerap

pengetahuan yang dapat merubah sikap dan perilaku.4 Untuk kebutuhan

tersebut, civil society harus mampu mengembangkan jaringan (network)

2 Adatiganilaiyangmerupakansumbermakahidup;pertama creative values (nilai-nilaikreatif) : bekerja dan serta melaksanana tugas dengan keterlibatan dan tanggung jawabpenuh pada pekerjaan.Kedua, experiental values (nilai-nilai penghayatan): menyakinidanmenghayatikebenaran,kebajikan,keindahan,dankeimanansertanilai-nilailainyangdianggapberharga.Ketiga, additional values (nilai-nilaibersikap)menerimadengantabahdanmengambilsikapyangtepatterhadappenderitaanyangtdakdapatdihindarilagisetelahberbagiupayadilakukansecaraoptimaltetapitakberhasilmengatasinya.HannaDjumhanaBastaman,“MaknaHidupbagiManusiaModern”,dalamMuhammadWahyuniNafis(Ed.),Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam (Jakarta:Paramadina,1996),148-149.3 R. SuwondoAtmodjahnawi, “Pendidikan Hukum dalam RangkaPembinaan Hukum”AntoSoemarman,Pendidikan Hukum untuk Memenuhi kebutuhan Masyarakat (Yogyakarta:PusatPenelitiandanPEngabdianMasyarakatFakultasHukumUII,1982),59.4 http://www.pendidikan-damai.org/files/Kurikulum%20Pendidikan%20Damai/9/h.%20landasan%20filosofis.pdf

Page 72: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES58

Fauzi Saleh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

untuk sosialisasi nilai-nilai perdamaian dalam bingkai norma dan aturan

yang selama ini berlaku.

Keenam, upaya civil society yang mengarah pada pemberdayaan

sesama.5 Dakwah – bi al-lisan atau bi al-hal – yang selama ini sebagai

salah satu corong sosialisasi urgensitas perdamaian6 harus berorientasi

pada kaidah-kaidah dengan pendekatan religius – kultural. Masyarakat

sebagai mitra dakwah dapat menyentuh nilai-nilai sulhiyyah (perdamaian)

yang memandu mereka untuk menyelesaikan masalah kehidupan dengan

pendekatan dialogis berbasiskan ukhuwwah.

Kegiatan sosialisasi perdamian selama ini juga dikung oleh

komponen Civil Society Organizations (Organisasi-organisasi Masyarakat

Madani) di Aceh yang secara umum menyuarakan pandangan mengenai

perlunya penguatan masyarakat sipil pada masa pasca konflik. Penguatan

masyarakat sipil ini justru dalam konteks upaya memantapkan rekonsiliasi

dan keberlanjutan perdamaian ke depan.7

Dalam konteks ini, civil society dapat menjadi agent of change,

masyarakat pengubah. Civil society diharapkan menjadi wadah yang

mampu mengubah cara pikir dan worldview masyarakat dalam menyikapi

dan mengelola sebuah permasalahan dan perbedaan secara arif (bijaksana)

sehingga memberikan dampak positif baik bagi individu atau pun komunal.

Sebagai fungsi transformatif, civil society – melalui penguatan pendidikan

hukum – harus mampu menyampaikan dan menaburkan nilai sulhiyyah

dalam masyarakat8.

Penutup

Perdamaian merupakan prasyarat utama bagi suatu masyarakat

untuk membangun dan mengembangkan diri dan lingkungannya. Tanpa

5 Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Logos,2002),165.6 M.NasirBudiman,Pendidikan dalam Perspektif Alquran (Jakarta:MadaniPress,2001),107.7 http://www.escaeva.com/tips/12tips_mengirimkan_naskah.htm.8 S.Nasution,Sosiologi Pendidikan (Jakarta:BumiAksara,1995),22.

Page 73: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES 59

Pendidikan Hukum dan Pemberdayaan Civil Society dalam Menjaga Perdamaian di Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

rasa damai, semua perencanaan dan harapan akan sia-sia. Degradasi

pendidikan, ekonomi, social-budaya dan seterusnya termasuk di antara

dampak tidak adanya kondisi damai sehingga proses pembangunan

terhalangi karenanya.

Di antara element yang paling penting dan sekaligus terlibat untuk

menciptakan dan memelihara perdamaian adalah masyarakat. Masyarakat

yang dimaksud tentunya akumulasi individu yang baik, toleran, berjiwa

sosial dan peduli yang sekarang ini sering diistilah dengan civil society.

Kehidupan masyarakat ideal ini akan lebih tenteram bila diikat dengan

hukum yang memberikan guide untuk menggapai harapan cita-cita mereka.

Masyarakat yang diperkuat dengan pilar hukum ini diyakini mampu

berkiprah untuk memelihara perdamaian, dalam konteks ini di Propinsi

Aceh, untuk kemudian diwariskan kepada generasi yang akan datang. Dalam

bingkai hukum yang ditaati, setiap individu dalam meraih kesuksesan, tidak

individu atau kelompok mengganggu pihak lain. Korelasi yang dibangun

dalam masyarakat ini berdasarkan pada simbiosis mutualisme (saling

menguntung) dan reciprocal relationship (hubungan timbale balik) dengan

saling mengisi dan menyempurnakan. Kondisi yang demikian insya Allah

akan mengantarkan mereka ke suatu negeri ‘baldat tayyibat wa Rabb al-

Ghafur. Semoga!

Page 74: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES60

Fauzi Saleh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

DAFTAR PUSTAKA

Amin Rais. Tauhid Sosial. Bandung: Mizan, 1998.

Azymuardi Azra. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.

Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2002), h. 165

Hanna Djumhana Bastaman, “Makna Hidup bagi Manusia Modern”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis (Ed.). Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Jakarta: Paramadina, 1996.

Hans Kelsen. General Theory of Norms. Oxford: Clarendon Press, 1991.

Muhammad Umar. Darah dan Jiwa Aceh. Banda Aceh: Boebon Jaya, 2008.

M. Nasir Budiman. Pendidikan dalam Perspektif Alquran .Jakarta: Madani Press, 2001.

R. Suwondo Atmodjahnawi, “Pendidikan Hukum dalam RangkaPembinaan Hukum” Anto Soemarman, Pendidikan Hukum untuk Memenuhi kebutuhan Masyarakat. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan PEngabdian Masyarakat Fakultas Hukum UII,1982.

S. Nasution. Sosiologi Pendidikan .Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Said Agil Husin al-Munawwar. Hukum islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: Penamadani, 2005.

Sheryl J. Grana and Jane C. Ollecen Burger. The Social context of Law. New Jersey: 1999

Soedjito Sosrodihardjo. “Peranan Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Masyarakat” dalam Anto Soemarman, Pendidikan Hukum untuk Memenuhi kebutuhan Masyarakat. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum UII, 1982.

Talcott Parsons. “The Law and Social Control”, dalam William M. Evan, The Sociolog of Law. London: Collier Macmillan Publisher, 1980.

Abu Fikri, Konsep Civil Society dalam perspektif islam: sebuah tinjaun ideologis, http://www.gaulislam.com/konsep-civil-society-dalam-perspektif-islam-sebuah-tinjaun-ideologis

Aloys Budi Purnomo Rohaniwan, http://www.simpuldemokrasi.com/

Page 75: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES 61

Pendidikan Hukum dan Pemberdayaan Civil Society dalam Menjaga Perdamaian di Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dinamika-demokrasi/wacana-demokrasi/1305-ham-civil-society-dan-demokrasi.html

http://74.125.153.132/search?q=cache:F3lNHdnRA2cJ:blog.unila.ac.id/handayani/files/2009/08/civil-society-dan-masyarakat-madani.ppt+civil+society+adalah&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id

http://dzmiko.multiply.com/journal/item/36

http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_hukum

http://www.pendidikan-damai.org/files/Kurikulum%20Pendidikan%20Damai/9/h.%20landasan%20filosofis.pdf

http://www.escaeva.com/tips/12tips_mengirimkan_naskah.htm

Page 76: Sustaining Peace in Aceh
Page 77: Sustaining Peace in Aceh

63

Membumikan Perdamaian dalam Bingkai Syari’at Islamdi Aceh

MuhibbuththabaryDosen Tetap Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry. Menyelesaikan S-1, S-2 dan S-3 di IAIN Ar-Raniry. Pernah menjabat sebagai Asisten Direktur II Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry dan saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry

Pendahuluan

Tahun 2005 merupakan tonggak bersejarah bagi Aceh. Ada dua hal

yang menjadi catatan sangat penting pada tahun tersebut. Pertama, pada

tahun tersebut Aceh mulai bergerak bangkit dari keterpurukan pasca

musibah gempa dan tsunami yang kejadiannya bukan hanya menghentak

dunia nasional tapi juga internasional. Aceh yang semula ”nyaris tertutup”

dari masuknya organisasi internasional telah berubah menjadi wilayah yang

terbuka. Kedua, pada tahun tersebut Aceh juga mendapat anugerah yang

luar biasa dari Allah Swt karena berhasil mewujudkan perjanjian damai

di Helsinki yang perlahan tapi pasti telah mengakhiri konflik bersenjata

yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Sebuah proses panjang

pergolakan yang telah memakan banyak korban baik dari pihak angkatan

bersenjata Republik Indonesia, Gerakan Aceh Merdeka, maupun rakyat

biasa.

Proses terjadinya perjanjian damai tersebut memang bukan hal yang

mudah. Tapi dengan dilandasi itikad baik dari kedua belah pihak yang

berkonfrontasi, akhirnya perjanjian damaipun terwujud yang kemudian

Page 78: Sustaining Peace in Aceh

Muhibbuththabary

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES64 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

ditindaklanjuti secara konkret oleh lahirnya Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2006. Meski undang-undang dan perangkat perundang-undangan

yang kemudian menyertainya bukan berarti tidak memiliki kendala, namun

sejauh ini diskursus terkait solusinya senantiasa terjalin.

Hal terpenting yang menarik untuk diselami lebih lanjut dalam konteks

lokal Aceh pada dasarnya adalah terkait dengan bagaimana perdamaian

yang telah terwujud beberapa tahun lalu dapat dirawat dan dipertahankan

dengan baik. Hal ini tentu saja sangat krusial mengingat masyarakat Aceh

pada prinsipnya sudah jenuh dengan pertikaian berkepanjangan. Untuk itu

maka beragam faktor tentu perlu dipertimbangkan dengan baik. Salah satu

diantaranya adalah bagaimana menjaga perdamaian tersebut dalam bingkai

syari’at Islam. Krusialnya pembahasan mengenai hal ini dikarenakan

pembicaraan mengenai Aceh pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari

pembicaraan tentang ajaran dan nilai-nilai Islam dimana keduanya bisa

diibaratkan bagaikan dua sisi mata uang. Oleh sebab itu dalam makalah

ini penulis akan membahas persoalan perdamaian di Aceh dalam bingkai

syari’at Islam melalui pendekatan historis dan normatif. Perdamaian yang

penulis maksud di sini akan lebih dispesifikkan pada aspek pembinaan

kerukunan internal dan antar umat beragama di Aceh.

Aceh dan syarī‘at Islam: lintasan historis

Bagi Daerah Istimewa Aceh atau Rakyat Nanggroe Aceh Darussalam

(sebutan sekarang “Aceh”) pada umumnya, masalah penerapan Syarī‘at

Islam bukan merupakan persoalan yang baru, karena sejak abad VII H

agama Islam telah masuk ke daerah ini dan telah tumbuh menjadi kerajaan

Islam dan berkembang sampai abad XIV M. Hal itu sejalan dengan pandangan

bahwa “Dari penelitian sejarah, Hukum Islam (Syarī‘at Islam) telah ada di

Indonesia sejak bermukimnya orang-orang Islam di Indonesia”.1 Dengan

kata lain, keberadaan Syarī‘at Islam di ACEH bersamaan waktunya dengan

masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Meskipun ada di antara

para ahli yang berpendapat bahwa masuknya Islam ke Indonesia dari Arab,

1 DaudAli,Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia(Jakarta:YayasanRisalah,1990),7

Page 79: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Membumikan Perdamaian dalam Bingkai Syari’at Islam di Aceh

65Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

namun pada umumnya para ahli sejarah mengatakan bahwa “masuknya

Islam ke Indonesia bukan dari pusat lahirnya Agama Islam (Timur Tengah),

tetapi melalui Gujarat India”.2

Dari berbagai catatan sejarah masuk dan berkembangnya Islam

di Indonesia menyebutkan bahwa kerajaan Pasai adalah kerajaan Islam

pertama di Indonesia. Kerajaan ini berdiri sejak Raja Rajendra I dari India

(1023-1024) tidak berhasil menundukkan daerah itu. Ketika raja Rajendra

kehilangan dukungan dari penduduk setempat yang menyebabkan

kekalahannya, maka Malik al-Şalih menduduki tahta kerajaan. Malik al-

Şalih adalah raja yang pertama kali sebagai penguasa yang beragama Islam

menduduki kerajaan yang bernama Samudera Pasai. Di samping kerajaan

Samudera Pasai sebagai kerajaan pertama, sejarah juga mencatat kerajaan

Islam Aceh sebagai kerajaan yang menerapkan Syarī‘at Islam dengan

kuat, sehingga wilayah kerajaan Islam Aceh, baru dapat ditaklukkan oleh

penjajah secara keseluruhan setelah mengalami peperangan panjang yang

amat sulit.Kehadiran Islam pada umumnya, tidak hanya di Samudera Pasai dan Aceh saja, selalu disambut dengan akrab oleh penduduk setempat dan umumnya berlainan sekali dengan tanggapan mereka terhadap kehadiran agama lain. Sayang sekali sejarah memang tidak banyak yang mengungkap perkembangan dan gerak secara nyata langkah-langkah Islam di Samudera Pasai dan Aceh. Namun dari banyaknya nama-nama Islam serta peninggalan-peninggalan yang bernilai keislaman dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam pernah berlaku dan tertanam kuat di sana.3

Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 44 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dan Undang-undang

Republik Indonesia Nomor: 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai provinsi Aceh serta Undang-

undang Republik Indonesia Nomor: 11 Tahun 2006 merupakan payung

2 HoesinDjajadiningrat, Islam di Indonesia,dalamKnet.W.Morgan(Ed.), Islam Jalan Mutlak, Pembangunan(Jakarta:t.p,1963),553 ZainalAbidinAhmad,Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang (Ilmu Politik Islam V)(Jakarta:BulanBintang,1979),433

Page 80: Sustaining Peace in Aceh

Muhibbuththabary

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES66 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

hukum dalam rangka pelaksanaan Syarī‘at Islam di ACEH. Dalam kaitan ini

disebutkan bahwa: Ketika Islam lahir pada abad VI Masehi, Aceh menjadi

wilayah pertama di Nusantara yang menerima Islam. Setelah melalui proses

yang panjang, Aceh menjadi sebuah kerajaan Islam pada abad VIII M yang

kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan yang maju pada abad XIV

M dan dari sinilah Islam berkembang ke seluruh Asia Tenggara.

Pada sekitar akhir abad XV orang-orang Barat memulai petualangannya

di Timur dan menguasi bebarapa wilayah yang ada di Nusantara, tetapi

Aceh tetap dibiarkan sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat. Secara politis,

hubungan antara kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda cukup baik,

namun pada abad XIX mengalami krisis, meskipun dalam Traktat London

tanggal 17 Maret 1824 pemerintah Belanda berjanji kepada pemerintah

Inggris untuk tetap menghormati kedaulatan Aceh. Tetapi empat puluh

tahun kemudian, Belanda dengan licik berhasil meyakinkan Inggris untuk

tidak menghalangi keinginannya menguasi Aceh melalui Traktat Sumatera

tanggal 1 November 1871.4

Kehadiran Kompeni di Indonesia semula membawa missi perdagangan

untuk mencari keuntungan material dan kemudian berlanjut sebagai

penjajahan, namun karena agama yang mereka anut bukan agama Islam,

maka secara umum kehadiran mereka disambut dengan sikap apatis atau

kurang simpatik dan implikasinya kebudayaan mereka tidak dapat diterima

bagitu saja. Sehubungan dengan kehadiran mereka jauh belakangan

setelah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, mereka terpaksa

menghormati Islam sebagai agama dan kemudian berusaha mempersempit

bidang-bidang tertentu ajaran agama Islam sebagai agama yang dianut

oleh rakyat Pribumi. Hal itu pula yang merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan “Pada waktu pemerintah Batavia mendesak Sultan ‘Alauddin

Mahmudsyah agar Sultan bersedia mengakui kedaulatan Hindia Belanda

atas wilayah Aceh, tuntutan itu secara mentah-mentah ditolak oleh Sultan

‘Alauddin Mahmudsyah. Penolakan itulah yang dipakai oleh Hindia Belanda

4 Himpunan Undang-undang, Peraturan Daerah, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur dan Lain-lain Berkaitan Pelaksanaan Syarī‘at Islam(ProvinsiAceh:DinasSyarī‘atIslam,2002),7(SelanjutnyadisingkatdenganHimpunan).

Page 81: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Membumikan Perdamaian dalam Bingkai Syari’at Islam di Aceh

67Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

untuk menyatakan perang terhadap rakyat Aceh”.5

Penolakan terhadap eksistensi Hindia Belanda dimaksud dalam

perkembangan sesudahnya, berimplikasi terhadap keputusan penjajah

Hindia Belanda setelah ditanda tangani Traktat 1 November 1871 dengan

pemerintah Inggris untuk mengakui kedaulatan Aceh. Pada Tahun 1873

Belanda mulai menyerang Aceh dan mengakibatkan terjadinya perjuangan

rakyat Aceh melalui peperangan puluhan tahun, yang tidak hanya

menyebabkan timbulnya korban jiwa dan harta yang banyak, tetapi secara

politis mengakibatkan rakyat Aceh kehilangan kedaulatannya.

Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17

Agustus 1945, masyarakat Aceh memberikan dukungan atas kemerdekaan

Indonesia, karena melekatnya perasaan senasib sepenanggungan di bawah

kekuasaan penjajah dengan segenap masyarakat yang berada di daerah

lainnya. Wujudnya rakyat Aceh dengan rela menyumbangkan jiwa raga

dan harta benda, demi tegak dan survivenya Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih, selama Revolusi Fisik pasca

kemerdekaan Indonesia, daerah Aceh merupakan satu-satunya wilayah

yang tidak dapat diduduki oleh Belanda, sehingga Aceh disebut sebagai

daerah modal bagi perjuangan bangsa Indonesia.Atas perjuangan itu pula Aceh mendapat kedudukan tersendiri sehingga dengan Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor: 8/Des/WKPM/49 tanggal 17 Desember 1949, Aceh dinyatakan sebagai satu Provinsi yang berdiri sendiri lepas dari Provinsi Sumatera Utara. Namun setelah Republik Indonesia kembali ke Negara Kesatuan, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1950 status daerah Aceh kembali ditetapkan menjadi salah satu keresidenan dalam Provinsi Sumatera Utara. Ketetapan ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pemimpin dan rakyat Aceh, yang pada akhirnya menimbulkan gejolak perlawanan pada tahun 1953 yang melibatkan hampir seluruh rakyat Aceh, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga Daerah Aceh kehilangan peluang untuk menata diri.6

Untuk meredam gejolak dimaksud, secara politis pemerintah kembali

5 Hardi,Daerah Istimewa Aceh, Latar Belakang Politik dan Masa Depannya (Jakarta:KaryaUnipers,1993),176 Himpunan...,8

Page 82: Sustaining Peace in Aceh

Muhibbuththabary

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES68 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

merubah status keresidenan Aceh menjadi daerah otonom Provinsi Aceh

yang dituangkan dalam Undang-undang Nomor: 24 Tahun 1956 tentang

Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan

Pembentukan Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan itu ditindaklanjuti dengan

Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor: 1/Missi/1959, yang

meliputi agama, adat dan pendidikan. Namun pada masa pemerintahan

Orde Baru muncul kecendrungan pemerintah untuk melakukan pemusatan

kekuasaan dengan keluarnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 5

Tahun 1974 tentang Pokok Pemerintahan di Daerah, maka penyelenggaraan

keistimewaan Aceh tidak berjalan dengan semestinya, karena banyak hal

dalam Undang-undang dimaksud yang tidak sejalan dengan aspirasi dan

kehidupan rakyat di daerah.

Setelah jatuhnya rezim Orde Baru dan munculnya gerakan reformasi,

masalah keistimewaan Aceh mencuat kembali dalam panggung perpolitikan

Indonesia yang mengakibatkan lahirnya Undang-undang Republik

Indonesia Nomor: 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan

Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam Undang-undang dimaksud selain

menambahkan peran ulama dalam kebijakan daerah, juga dalam penjelasan

Undang-undang disebutkan bahwa untuk menyusun penyelenggaraan

keistimewaan Aceh perlu dituangkan dalam suatu Undang-undang Klausal

penjelasan inilah yang melahirkan Undang-undang Republik Indonesia

Nomor: 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah

Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh (ACEH). Kemudian lahir Undang-

undang Republik Indonesia Nomor: 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

Aceh yang memberi hak sepenuhnya bagi daerah untuk mengatur tatanan

kehidupan sesuai dengan Sosio Kultural masyarakatnya dalam bingkai

NKRI. Dengan Undang-undang ini tugas dan wewenang pemerintah Provinsi

Aceh menjadi lebih luas dan komprehensif, termasuk mengatur penerapan

Syarī‘at Islam.

Implementasi syarī‘at Islam di Aceh

Penerapan Syarī‘at Islam di Provinsi Aceh seperti yang diatur dalam

Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 44 Tahun 1999, Undang-

Page 83: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Membumikan Perdamaian dalam Bingkai Syari’at Islam di Aceh

69Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Undang Republik Indonesia Nomor: 18 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh dan

kemudian lahir Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh merupakan suatu fenomena yang menarik dan

juga menantang. Undang-undang ini tidak hanya memberikan akses bagi

masyarakat yang tinggal di Serambi Mekkah untuk merealisasikan Syarī‘at

Islam dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi juga secara politis merupakan

suatu keberhasilan masyarakat di Provinsi ini dalam mentransformasikan

Syarī‘at Islam ke dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hasil

wawancara dengan salah seorang anggota MPU ACEH yang menyatakan bahwa

keberhasilan ini juga dihadapkan kepada berbagai tantangan, terutama yang

menyangkut dengan kesiapan Pemerintah Daerah dan seluruh masyarakat

Aceh untuk mengimplementasikannya secara kaffah.7

Para pemerhati hukum Indonesia menilai penerapan Syarī‘at Islam di

Aceh merupakan peristiwa pertama pasca kemerdekaan Republik Indonesia,

dalam hal ini daerah ACEH yang berada dalam bingkai Negara Kesatuan

Republik Indonesia diberikan kewenangan untuk menerapkan suatu sistem

hukum (Syarī‘at Islam) yang relatif berbeda dengan hukum Nasional yang

mengenal sistem unifikasi hukum dalam negara yang berdasarkan Pancasila.

Namun sesungguhnya secara historis, bagi masyarakat Aceh penerapan

Syarī‘at Islam bukan merupakan hal yang baru, karena kultur masyarakat

Aceh sangat Islami dan tergolong fanatis. Begitu dekatnya masyarakat

Aceh dengan Islam, sehingga daerah ini sering dijuluki Serambi Mekkah.8

Ungkapan di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh salah seorang

sejarawan Aceh sebagai berikut:Sejak Islam menapak di bumi Aceh, Islam dapat dikatakan telah senyawa dengan rakyat Aceh. Semua kehidupan rakyat Aceh dipengaruhi dan dituntun oleh Syarī‘at Islam. Terkenal pribahasa Aceh “Hukom ngon Adat lage zat ngon sifeut”. Hukum yang dimaksudkan di sini adalah hukum-hukum agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’ān dan Al-Sunnah Nabi Muhammad SAW. Hukum ini adalah peraturan-peraturan agama Islam yang dijaga dan dipelihara ketat oleh masyarakat Aceh.

7 WawancaradenganAnggotaMPUACEHTgk.H.Bardadtanggal30Januari20078 DaudRasyid,Republika,13Nopember1999

Page 84: Sustaining Peace in Aceh

Muhibbuththabary

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES70 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Adat adalah tata kehidupan masyarakat sehari-hari dalam segala lapangan kehidupan yang dipengaruhi oleh Syarī‘at Islam. Hukum ditetapkan oleh ulama dan adat ditetapkan oleh penguasa. Bagi masyarakat sulit sekali membedakan hukum dengan adat. Hukum dengan adat telah sangat menyatu dalam menata masyarakat. Hal ini berjalan ratusan tahun di dalam dinasti raja-raja Aceh, khususnya kerajaan Aceh Darussalam.9

Ungkapan di atas selain menggambarkan perspektif masyarakat Aceh

dan boleh jadi bersifat apologis dan ethnosentris, namun fakta sejarah juga

menunjukkan bahwa Syarī‘at Islam telah berurat berakar dalam kehidupan

masyarakat Aceh. Hal itu pula yang menyebabkan munculnya tuntutan

masyarakat Aceh untuk menerapkan Syarī‘at Islam pasca kemerdekaan

Republik Indonesia, karena masyarakat Aceh menilai komitmen pemerintah

pusat sejak awal kemerdekaan tidak pernah terealisasikan.

Lahirnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 44 Tahun

1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, seperti disebutkan

pada Pasal 3 ayat (1), merupakan legitimasi atau pengakuan dari bangsa

Indonesia yang diberikan kepada daerah karena perjuangan dan nilai-

nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun temurun

sebagai landasan spritual, moral dan kemanusiaan. Sedangkan pada ayat

(2) disebutkan bahwa penyelenggaraan keistimewaan Aceh meliputi: (1)

Penyelenggaraan kehidupan beragama, (2) Penyelenggaraan kehidupan adat,

(3) Penyelenggaraan pendidikan, dan (4) Peran ulama dalam menetapkan

kebijakan daerah10. Kemudian diikuti lahirnya Undang-undang Republik

Indonesia Nomor: 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh yang memberi legitimasi

kewenangan bagi daerah ini untuk mengatur tata kehidupannya dengan

tetap berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Dalam proses selanjutnya, lahir pula Undang-undang Republik

Indonesia Nomor: 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang

9 Badruzzaman,A. Hasjmi:Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan (Jakarta: BulanBintang,1994),199-121.10Himpunan ...,3

Page 85: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Membumikan Perdamaian dalam Bingkai Syari’at Islam di Aceh

71Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

menegaskan bahwa Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan

masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam

sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD

1945 (Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 11 Tahun 2006 Pasal 2

ayat 2). Untuk memenuhi maksud ini, di mana penyelenggaraan kehidupan

beragama harus diwujudkan dalam pelaksanaan Syarī‘at Islam, maka

langkah-langkah yang telah ditempuh oleh Pemerintah Daerah Aceh, yaitu

mengatur berbagai aspek pelaksanaan Syarī‘at Islam sebagai berikut:

1. Penetapan Peraturan Daerah

Seperti tertuang dalam Konsideran Peraturan Daerah Nomor: 5

Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syarī‘at Islam, disebutkan pada poin

(d) bahwa sebagai perwujudan keistimewaan di bidang penyelenggaraan

kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara, perlu diatur aspek-

aspek pelaksanaan Syarī‘at Islam yang wajib dijunjung dan diamalkan oleh

masyarakat di daerah Istimewa Aceh dan (e) bahwa untuk terwujudnya

kepastian hukum dalam pelaksanaan hak-hak Istimewa sebagai tersebut

di atas, perlu diatur pokok-pokok pelaksanaan Syarī‘at Islam di Provinsi

Daerah Istimewa Aceh dengan menetapkan suatu Peraturan daerah.11

Peraturan Daerah Nomor: 5 Tahun 2000 sebagai peraturan pelaksanaan

dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 44 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor: 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi

ACEH, terdiri dari IX Bab dengan 24 Pasal, di mana Bab I tentang Ketentuan

Umum, Bab II Tujuan dan Fungsi, Bab III Kewajiban dan Pengembangan dan

Pelaksanaan Syarī‘at Islam, Bab IV Aspek Pelaksanaan Syarī‘at Islam, Bab V

Ketentuan Pidana, Bab VI Pengawasan dan Penyidikan, Bab VII Pembiayaan,

Bab VIII Ketentuan Peralihan dan Bab IX Penutup. Langkah berikutnya

adalah ditandai dengan lahirnya KEPGUB Nomor: 01 Tahun 2004 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Wilāyat al-Hisbah di ACEH.

11Himpunan ...,53

Page 86: Sustaining Peace in Aceh

Muhibbuththabary

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES72 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Kemudian lahir Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 11 Tahun

2006 tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan penyempurnaan terhadap

Undang-undang sebelumnya. Semua Undang-undang ini merupakan mata

rantai bagi terwujudnya konsep pelaksanaan Syarī‘at Islam di ACEH secara

adil dan merata serta penuh rasa tanggung jawab.

2. Penataan hukum materil dan hukum formil

Meskipun Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh dianggap baru, namun dalam Undang-undang

Republik Indonesia Nomor: 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Aceh yang telah ada sebelumnya menyebutkan, khususnya

dalam Bab III tentang Pelaksanaan Keistimewaan yang dalam pasal 4

disebutkan bahwa (1) Penyelenggaraan Kehidupan Beragama di Daerah

diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syarī‘at Islam bagi pemeluknya

dalam bermasyarakat. Wujud kongkrit pelaksanaannya tertuang dalam

PERDA Nomor: 5 Tahun 2000 yang dalam Bab IV Aspek Pelaksanaan Syarī‘at

Islam Pasal 5 ayat (1) Untuk mewujudkan keistimewaan Aceh di bidang

penyelenggaraan kehidupan beragama, setiap orang atau badan hukum yang

berdomisili di daerah, berkewajiban menjunjung tinggi pelaksanaan Syarī‘at

Islam dalam kehidupannya. (2) Pelaksanaan Syarī‘at Islam sebagaimana

dimaksudkan dalam ayat 1 meliputi: ‘aqīdah, ‘ibādah, mu‘āmalah, akhlak,

pendidikan dan dakwah Islamiyah/amar ma‘ruf nahi munkar, bait al-māl,

kemasyarakatan, syi‘ar Islam, pembelaan Islam, qada, jināyat. Munākahat,

dan mawāris. 12

Aspek-aspek pelaksanaan Syarī‘at Islam yang dimaksud dalam Pasal

5 ayat (2) di atas jauh lebih rinci dan meluas dari materi yang dikenal

secara luas dalam Fiqh Islam, yaitu meliputi bidang ibādah, mu‘āmalah,

munākahat dan jināyat. Salah satu materi yang menjadi aspek pelaksanaan

Syarī‘at Islam adalah pendidikan dan dakwah Islamiyah/amar ma‘ruf nahi

mungkar yang bukan saja sebagai kelengkapan dari aspek-aspek hukum,

melainkan menunjukkan adanya fungsi kontrol Pemerintah Daerah terhadap

pelaksanaan Syarī‘at Islam. Fungsi kontrol tersebut memberikan kewenangan

12Himpunan ...,56

Page 87: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Membumikan Perdamaian dalam Bingkai Syari’at Islam di Aceh

73Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

kepada pemerintah daerah untuk: a. menata dan mengatur pelaksanaan

Syarī‘at, dan; b. menetapkan sanksi hukum terhadap pelanggarnya.

Dalam pelaksanaan dan penerapan Syarī‘at Islam secara kaffah seperti

tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 5 Tahun 2000 Bab IV Pasal 5

ayat (1) dan ayat (2) memerlukan norma-norma hukum yang lengkap, baik

yang menyangkut dengan hukum materil13 yang berisikan norma-norma

tentang hak dan kewajiban dalam kehidupan sehari-hari, maupun yang

menyangkut dengan hukum formil.14

Perlu juga ditambahkan bahwa dalam penerapan Syarī‘at Islam di

Aceh masih dihadapkan kepada berbagai persoalan yang menyangkut

dengan hukum materil. Karena Hukum Materil yang menyangkut dengan

berbagai aspek seperti dimaksud dalam Undang-undang di atas memerlukan

penataan kembali, sebab kitab-kitab fiqh klasik yang memuat Hukum

Materil dianggap tidak memadai, dan kalaupun ada juga tidak disajikan

secara sistematis.15 Selain itu, Hukum Formil juga masih sangat terbatas

dan perlu dikaji ulang serta ditulis sesuai dengan kondisi masyarakat

Aceh sebagai prototif masyarakat yang diberikan kewenangan menerapkan

Syarī‘at Islam di daerahnya pada saat ini dalam bingkai Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

13 Hukum materil (subtantive law) adalah hukum yang terdiri dari peraturan-peraturanyangmemberihakdanmemberikewajiban.Setiapharinyaorangdapatdikatakanselaluberhubungandenganhukummateril.Pemenuhankebutuhandalamkehidupansehari-haridapat dikatakan seseorang menjalani hukum materil. SudiknoMertokusumo,Mengenal Hukum Suatu Pengantar(Yogyakarta:Liberty,1986),10514 Hukum formil (adjective law) atau disebut juga hukum acara adalah aturan-aturanpermainan(rule of game)hakimdalammemeriksadanmemutuskanperkaradiPengadilan.HukumMateril selalu membutuhkan Hukum Formil. Kalau tidak demikian jika terjadipelanggaranHukumMateril,orangakanleluasamelakukanperbuatanmenghakimisendiri.SudiknoMertokusumo,Mengenal Hukum Suatu Pengantar...,10615 Perludijelaskanmenunjukkepadahukummaterilyangsudahadadalamkitab-kitabFiqhsangattidakmemadai,bahkanhaldemikianitudapatmenimbulkanketidakpastianhukum.Secara fiqhiyah dalam sesuatumasalah selalu terdapat beberapa pendapat yang berbedaantarasatudenganyanglainnya.Olehkarenaitudiperlukanadanya“tasyri‘”, yaitu membuat peraturan perundang-undangan, baik bersumber kepada Wahyu (tasyri‘ samawi),maupunberdasarkanakaldanpenalaran(tasyri‘wad‘i).MasjfukZuhdi,Pengantar Hukum Syarī‘ah(Jakarta:HajiMasagung,1990),1

Page 88: Sustaining Peace in Aceh

Muhibbuththabary

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES74 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

3. Sistem peradilan

Seperti telah dikemukakan bahwa dalam menerapkan berbagai

aspek Syarī‘at Islam seperti yang dimaksud dalam peraturan perundang-

undangan di atas, selain memerlukan penataan kembali berbagai persoalan

yang menyangkut dengan Hukum Materil dan Hukum Formil, berupa

Hukum Acara Pidana dan Perdata, juga memerlukan sistem peradilan

Syarī‘at yang berbeda dengan sistem peradilan yang diatur dengan Undang-

undang Republik Indonesia Nomor: 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-undang ini hanya diberikan wewenang untuk mengatur berbagai

persoalan yang menyangkut dengan perceraian, kewarisan dan wakaf.

Pembentukan sistem peradilan merupakan bagian penting dari

tujuan penataan Hukum Materil dan Hukum Formil. Hanya saja jika ada

sistem peradilan yang tertata dengan baik, maka hukum dapat ditegakkan.

Penegakan hukum melalui implementasi Syarī‘at Islam di Aceh menjadi

wewenang pemerintah melalui pembentukan lembaga peradilan yang

dikenal dengan Mahkamah Syar‘iyyah (Undang-undang Republik Indonesia

Nomor: 44 Tahun 1999 Pasal 5, Undang-undang Republik Indonesia Nomor:

18 Tahun 2001 Pasal 25, Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 11

Tahun 2006 Pasal 228). Mahkamah Syar‘iyyah sebagai sistem peradilan yang

diterapkan di ACEH adalah sarana yang cukup penting untuk melindungi

terpenuhinya hak-hak warga negara serta terpeliharanya darah, kehormatan

dan harta benda.

Penataan lembaga-lembaga peradilan Mahkamah Syar‘iyyah pada

Tingkat Daerah dan Provinsi merupakan jawaban terhadap hajat hukum

masyarakat pencari keadilan di ACEH. Institusi Mahkamah Syar‘iyyah

secara konsepsional belum dijumpai dalam kitab fiqh klasik kecuali istilah

Qādi dan Qādi al- Qudāt yang dikenal dalam sejarah dinasti-dinasti Islam

terdahulu. Padahal dalam sistem peradilan saat ini memerlukan seperangkat

penegak hukum sebagai alat kelengkapan sistem peradilan seperti jaksa,

panitera, pengacara dan jurusita sebagai perangkat yang diberikan tugas

dan wewenang tertentu .

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa penerapan Syarī‘at Islam di

Aceh bukan merupakan persoalan yang baru bagi masyarakat Aceh sesuai

Page 89: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Membumikan Perdamaian dalam Bingkai Syari’at Islam di Aceh

75Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dengan sejarahnya. Pemberlakuannya adalah tanggung jawab individu,

masyarakat dan negara. Hal ini, tentu saja diperlukan payung hukum secara

politis dari pemerintah pusat dan juga memerlukan kebijakan daerah.

Kebijakan itu menyangkut dengan penetapan Peraturan Daerah, penataan

Hukum Materil dan Hukum Formil serta membentuk sistem peradilan

yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya berbeda dengan sistem

peradilan yang telah diatur dalam Hukum Positif Indonesia.

Damai dalam bingkai syarī‘at Islam

Salah satu prinsip mendasar dari syari’at Islam adalah ditendensikan

untuk memberikan kemaslahatan dalam kehidupan manusia, baik dalam

konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Oleh

sebab itu, agar syari’at Islam salih li kulli zaman wa makan (senantiasa

selaras baik dalam konteks waktu dan tempat), maka diperlukan ijtihad-

ijtihad serius yang memerlukan dukungan, baik dari kalangan ulama

maupun umara.

Sehubungan dengan konsep di atas, terkait dengan inisiasi menjaga

perdamaian dan stabilitas kehidupan bermasyarakat dan beragama di

Aceh, secara konseptual dapat dirincikan bahwa Wajah Islam di pentas

global, agaknya selalu beriring dengan label anarkis dan anti kebebasan.

Cap fundamental, ektrim dan bahkan teroris seakan sangat akrab dengan

komunitas ‘orang’ yang memeluk Islam. Generalisasi perilaku ‘sekelompok’

muslim seringkali menjadi justifikasi muka Islam sebagai agama, sehingga

label-label negatif tadi selalu pantas untuk diembelkan dengan Islam.

Lantas, benarkah Islam sebagai dogma mempunyai agenda kekerasan?atau

justru Islam itu sebenarnya yang selalu membawa pesan perdamaian? Disini

penulis mencoba menelisik kebenaran asumsi-asumsi di atas.

Perdamaian merupakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia,

karena dalam kedamaian itu terciptanya dinamika yang sehat, harmonis

dan humanis dalam setiap interaksi antar sesama. Dalam suasana aman dan

damai, manusia akan hidup dengan penuh ketenangan dan kegembiraan juga

bisa melaksanakan kewajiban dalam bingkai perdamaian. Oleh karena itu,

kedamaian merupakan hak mutlak setiap individu sesuai dengan entitasnya

Page 90: Sustaining Peace in Aceh

Muhibbuththabary

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES76 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

sebagai makhluk yang mengemban tugas sebagai pembawa amanah Tuhan

untuk memakmurkan dunia ini. Bahkan kehadiran damai dalam kehidupan

setiap mahluk merupakan tuntutan, karena dibalik ungkapan damai itu

menyimpan keramahan, kelembutan, persaudaraan dan keadilan. Dari

paradigma ini, Islam diturunkan oleh Allah Swt. ke muka bumi dengan

perantaraan seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk

menjadi rahmat bagi seluruh alam, (Q.S. 21:107) dan bukan hanya untuk

pengikut Muhammad semata. Islam pada intinya bertujuan menciptakan

perdamaian dan keadilan bagi seluruh manusia, sesuai dengan nama

agama ini: yaitu al-Islām. Menurut Muhammad al-Ghazāli, dalam bukunya

al-Ta’aşşub wa al-Tasāmuh Bayn al-Masihiyah wa al-Islām, secara leksikal

dalam bahasa al-Qur`ān, Islam bukan nama dari agama tertentu, melainkan

nama dari persekutuan agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi dan dinisbatkan

kepada seluruh pengikut mereka.

Itulah misi dan tujuan diturunkannya Islam kepada manusia.

Karena itu, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau

menyebarkan dendam kesumat di antara umat manusia. Konsepsi dan

fakta-fakta sejarah Islam menunjukan, bagaimana sikap tasāmuh (toleran)

dan kasih sayang kaum muslimin terhadap pemeluk agama lain, baik yang

tergolong ke dalam ahl al-Kitab maupun kaum mushrik, bahkan terhadap

seluruh makhluk, Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonisan

dan dan kedamaian.

Di antara bukti konkrit dari perhatian Islam terhadap perdamaian

adalah dengan dirumuskannya Piagam Madinah (al-sahifah al-madinah)

yang oleh kebanyakan penulis dan peneliti sejarah Islam serta para pakar

politik Islam disebut sebagai konstitusi negara Islam pertama. Piagam

Madinah menjadi instrumen penting atas kelahiran sebuah institusi yang

berorientasi pada perdamaian dan kebersamaan. Hal inilah yang menarik,

sehingga para pakar sejarah dan ilmuwan sangat interested terhadap

permasalahan ini. Karena lahirnya sebuah negara yang mengusung nilai-

nilai kemanusiaan, persamaan hak dan kebebasan kepada rakyatnya belum

pernah terjadi di seantero jagad raya ini, terlebih di kawasan Arab. Penting

untuk diingat, bahwa nilai-nilai kemanusiaan universal yang terkandung

Page 91: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Membumikan Perdamaian dalam Bingkai Syari’at Islam di Aceh

77Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dalam Piagam Madinah sangat jauh lebih tua ketimbang isu HAM yang

dijual oleh PBB yang tercermin dalam The Universal Declaration of Human

Right pada Desember 1948.

Dalam ungkapan teks agama, perdamaian sering dibahaskan dengan

al-aman, kemudian oleh ulama fiqh, dalam terjemahan sistem formalnya,

perdamaian sering dibahaskan dengan al-sulh, al-hudnah, al-mu’ahadah

dan aqd al-zimmah. Dalam kamus al-Muhith karangan Fairus Abadi, al-

sulh disepandankan dengan al-salam. Keduanya mempunyai arti yang sama

yaitu peace, yang jika diterjemahkan berarti perdamaian dan kerukunan.

Namun dalam terminologinya, al-şulh adalah perpindahan dari hak atau

pengakuan dengan konpensasi untuk mengakhiri atau menghindari

terjadinya perselisihan. Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya

perdamaian setelah adanya pertikaian atau takut terjadinya perselisihan

dengan melakukan upaya preventif terhadap hal tersebut. Lain lagi menurut

Ibn Qudāmah, al-Sulh berarti sebuah kesepakatan (ma’āqadah) yang

berorientsi pada perbaikan antara dua pihak yang bertikai. Sedangkan Prof.

Zuhayli mendefinisikan al-Şulh sama dengan al-Hudnah yaitu berdamai

(muşalahah) dengan ahl al-harb (musuh perang) untuk menghentikan

perang dalam batas waktu tertentu dengan konpensasi dan tetap mengakui

agamanya atau tidak, meskipun tidak di bawah otoritas pemerintah

Islam. Sedangkan terminologi al-amān, adalah sebuah kesepakatan untuk

menghentikan peperangan dan pembunuhan dengan pihak musuh.

Dari beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa konsep

al-Şulh lebih umum, karena tidak spesifik berkaitan dengan perdamaian

dalam posisi sebagai lawan perang. Hal ini karena al-sulh merupakan

solusi atas dimensi konflik yang terjadi dalam semua lini interaksi sosial,

dari komunitas yang paling kecil hingga yang paling besar. Hal ini terlihat

dari beberapa bentuk klasifikasi “al-Sulh” yang di antaranya adalah:1)

Perdamaian antara penegak keadilan dengan kelompok separatis (ahl al-

baghy). 2). Perdamaian antara suami istri ketika takut terjadinya perceraian.

3). Perdamaian antara dua sengketa pembunuhan. 4).Perdamaian antara

kaum muslimin dengan kaum kafir. 5).Perdamaian dua sengketa dalam

harta. 6).Sedangkan al-amān terdiri dari dua bentuk, yaitu yang bersifat

Page 92: Sustaining Peace in Aceh

Muhibbuththabary

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES78 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

khusus (khās) dan umum (‘ām). Perjanjian perdamaian yang bersifat khusus

yaitu yang terdiri dari kelompok dengan jumlah terbatas, sedangkan yang

umum adalah dari jumlah yang tidak terbatas dan yang berhak melakukan

negoisasi perundingan perdamaian adalah pemimpin.

Semua konsepsi pengertian perdamaian seperti yang tersurat di atas

merupakan wacana damai dari sudut pandang fiqhiyah (juristik), dan itu

umumnya masih dilatarbelakangi oleh adanya klasifikasi wilayah yang

berdasarkan identitas agama, seperti dār al-islām dan dār al-harb. Bahkan

lebih spesifik lagi, menurut Sidiq Hasan, bentuk wilayah Islam ada tiga

kategori, yaitu: (a. wilayah al-haram yang tidak boleh dikunjungi oleh kaum

kafir dalam kondisi apapun baik kafir dhimmi maupun harbi. (b). Hijaz

yaitu daerah yang meliputi Yamamah, Yaman, Najd dan Madinah. Daerah

kawasan ini boleh dikunjungi oleh kaum kafir dengan proses perizinan,

akan tetapi tidak boleh bermukim melebihi tiga hari seperti laiknya musafir.

(c). Seluruh daerah-daerah kawasan Islam. Daerah ini bermukim bagi kaum

kafir setelah ada perjanjian damai. (M Sidiq Hasan, al-Din al-Kholis, 1995).

Meskipun saat ini ada yang beranggapan bahwa klasifikasi itu tak lebih

dari fiksi belaka, mengingat realitas hubungan dunia global, hampir semua

negara dari pelbagai latar belakang ideologi telah menjamin persahabatan.

Penutup

Banyak kalangan memahami perdamaian sebagai keadaan tanpa

perang atau konflik. Pemahaman seperti ini merupakan contoh dari definisi

negatif perdamaian. Secara negatif, perdamaian hanya dimaknai sebagai

situasi absennya perang dan/atau berbagai bentuk kekerasan lainnya.

Pemahaman seperti ini memang sederhana dan mudah difahami, namun

melihat realitas yang ada, banyak masyarakat tetap mengalami penderitaan

akibat kekerasan yang tidak nampak dan ketidakadilan.

Melihat kenyataan ini, maka terjadilah perluasan definisi perdamaian

dan muncullah definisi perdamaian positif. Definisi positif dari perdamaian

adalah absennya kekerasan struktural atau terciptanya keadilan sosial.

Perdamaian dalam konsep ini meliputi semua aspek tentang masyarakat yang

baik, seperti: terpenuhinya hak asasi yang bersifat universal, kesejahteraan

Page 93: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Membumikan Perdamaian dalam Bingkai Syari’at Islam di Aceh

79Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

ekonomi, keseimbangan ekologi dan nilai-nilai pokok lainnya. Berdasarkan

konsep ini, perdamaian bukan hanya merupakan masalah pengendalian

dan pengurangan tercapainya semua aspek tersebut, namun perdamaian

merupakan konsep yang cukup luas dan pencapaiannya membutuhkan

proses yang panjang. Untuk mencapai kondisi tersebut, kita memerlukan

suatu gerakan yang sinergis, bukan gerarakan yang terpisah-pisah. Maka,

gerakan yang memperjuangkan hak kaum puriveral, tuntutan supremasi

hukum, atau gerakan yang menentang pelanggaran hak azasi manusia, dan

sebagainya seharusnya tidak lagi dilihat sebagai suatu gerakan yang berdiri

sendiri-sendiri, melainkan suatu gerakan yang selaras dengan tujuan yang

sama, yaitu perdamaian yang dapat menjunjung tinggi dan menjaga hal-hal

yang berkaitan dengan: agama, jiwa, akal, harta dan keturunan (al-Ushul al-

Khamsah) umat manusia secara keseluruhan.

Nah, dari uraian tadi, akankah masih relevan untuk melabelkan Islam

dengan kekerasan? Atau justru, orang-orang yang menuding Islam sebagai

‘referensi’ kekerasan, merupakan kelompok yang sedang menciptakan

kekerasan itu sendiri! Wallahuá’lam.

Page 94: Sustaining Peace in Aceh

Muhibbuththabary

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES80

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin. Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang (Ilmu Politik Islam V), Jakarta: Bulan Bintang,1979.

Ali, Daud. Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan Risalah, 1990.

Badruzzaman, A. Hasjmi: Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Djajadiningrat, Hoesin. Islam di Indonesia, dalam Knet. W. Morgan (Ed.), Islam Jalan Mutlak, Pembangunan, Jakarta: t.p , 1963.

Hardi, Daerah Istimewa Aceh, Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, Jakarta: Karya Unipers, 1993.

Himpunan Undang-undang, Peraturan Daerah, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur dan Lain-lain Berkaitan Pelaksanaan Syarī‘at Islam, Provinsi Aceh: Dinas Syarī‘at Islam, 2002.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1986.

Republika, 13 Nopember 1999.

Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Hukum Syarī‘ah, Jakarta: Haji Masagung, 1990.

Page 95: Sustaining Peace in Aceh

81

Integrasi Civic Education dalam Pendidikan Formal dalam Rangka Membangun Demokrasi Berkeadaban

Kusmawati HattaDosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Menyelesaikan pendidikan S-1 pada Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, S-2 pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, jurusan Konseling, S-3 pada University of Malaya, jurusan Konseling

Pendahuluan

Dalam undang-undang No 2 tahun 1989 dan Undang-Undang No

20 Sikdiknas tahun 2003 dinyatakan bahwa kurikulum setiap jenis dan

jenjang pendidikan termasuk pendidikan tinggi harus memuat pendidikan

kewarganegaran yang dalam kurikulum pendidikan tinggi merupakan salah

satu matakuliah umum (MKU). Seiring dengan perkembangan dan perubahan

politik dari era otoritarian ke era demokrasi, pendidikan kewarganaegaraan

melalui pendidikan kewiraan dianggap tidak relevan lagi diterapkan, karena

berbagai alasan antara lain: Pola pembelajarannya yang indoktrinatif dan

monolitik, muatan materi ajar yang sarat dengan kepentingan idologi rezim

Orde Baru (Orba), yang mengabaikan sisi afektif dan psikomotor, sehingga

dianggap pendidikan kewarganegaraan yang dimuat dalam mata kuliah

kewiraan sudah keluar dari semangat dan hakikat, sebagai pendidikan nilai

dan pendidikan demokrasi.

Melihat kenyataan tersebut, maka diperlukan upaya rekontruksi dan

orientasi pendidikan kewarganegaraan melalui matakuliah pendidikan

kewargaan (civic education) sebagai substitusinya.

Page 96: Sustaining Peace in Aceh

Kusmawati Hatta

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES82 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Upaya tersebut di atas, tidak terlepas dari ihktiar kalangan Perguruan

Tinggi untuk menemukan format baru yang dapat membangun bangsa dalam

menuju era demokrasi yang bermartabat. Ihktiar ini telah banyak dilakukan

sehingga pendidikan kewarganegaraan sampai kepada pendidikan civic

education (pendidikan kewargaan) sekarang ini merupakan salah satu hasil

dari segala upaya yang dilakukan untuk sampai kepada suatu pembelajaran

yang memuat segala macam persoalan masyarakat dan pemerintahan untuk

menuju kepada masyarakat madani.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, pendidikan kewarganaegaraan sudah

banyak mengalami perubahan seperti pada tahun 1987/1962 matakuliah

yang mengemban misi khusus pendidikan demokrasi di namakan civics,

kemudian pada tahun 1964 pendidikan kemasyarakatan yang merupakan

integrasi sejarah, ilmu bumi dan kewarganegaraan, kemudian pada tahun

1968/1969 menjadi pendidikan kewargaan Negara, kemudian pada tahun

1973 menjadi pendidikan kewargaan Negara, civics dan hukum, pada tahun

1975/1984 menjadi pendidikan moral pancasila dan PMP, Pada tahun 1994

menjadi PPKn. Dan pada 1960-an Perguruan tinggi ada yang namanya

matakuliah Manipol, USDEK, Pancasila dan UUD 1945, Pada tahun 1970/1987

filsafat Pancasila, pada tahun 1989-1990-an pendidkan kewiraan, dan pada

tahun 2000 sampai sekarang disebut pendidikan kewarganegaraan.

Dari serentetan nama yang berubah, tidak terlepas daripada materi yang

memuat bagaimana meberikan pendidikan kepada masyarakat dengan harapan

dapat menuju masyarakat yang demokratis, penegakan HAM yang kuat dan

Negara hukum yang berwibawa, namun harapan tersebut tidak sepenuhnya

dapat diterapkan dan dapat berhasil, karena selama ini pembelajaran pen-

didikan kewarganegaran masih sarat dengan kepentingan golongan dan

sangat indoktrinatif sehingga belum dapat menyentuh kalbu dari pada bangsa

Indonesia, dalam membangun warga Negara yang demokrasi, oleh karena itu,

sekarang dicoba dengan nama dan materi yang lebih luas dengan metode

pengajarannya yang lebih kreatif, yang disebut dengan pembelajaran CE

(Civic education), dimana belajar dengan metode aktif learning. Pertanyaannya

adalah apa itu CE (civic education), kemana tujuan, apa materinya, sehingga

dikatakan ia berbeda dengan pendidikan kewarganagaraan.

Page 97: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Civic Education dalam Pendidikan Formal dalam Rangka Membangun Demokrasi Berkeadaban

83Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Beberapa istilah dan definisi mengenai civic education

Henry Randal Wait (1886) dalam penerbitan majalah the Citizen dan

Civics, merumuskan pengertian civics dengan the science of citizenship,

the relation of man, the individual, to man in organized collections, the

individual in his relation to the state. Dari definisi ini, Sumantri (2001: 281-

282) merumuskan Civics dengan ilmu kewarganegaraan yang membicarakan

hubungan manusia dengan manusia dalam kumpulan-kumpulan yang

terorganisasi (organisasi social, ekonomi, politik), dan hubungan manusia

dengan individu-individu dengan Negara. Kemudian dalam perkembangan

selanjutnya arti civics bukan hanya meliputi government saja, melainkan

kemudian ada yang disebut dengan comunity civics, economic civics atau

vocational civics. Dengan demikian hampir semua definisi civics pada

intinya menyebut government, hak dan kewajibannya sebagai warga dari

sebuah Negara.

Azyumardi Azra (2002) menyatakan bahwa, secara bahasa istilah Civic

Education oleh sebahagian pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,

menjadi pendidikan kewargaan dan pendidikan kewarganegaraan. Akan

tetapi ianya sendiri dan Tim ICCE (Indonesian Centre for Civic education) UIN

Jakarta lebih menyebutkan Civic Education dengan pendidikan kewargaan.

Sementara pakar lainnya seperti Zamroni, Muhammad Norman, sumantri

dan Udin S dan Tim CICED (Centre Indonesian For Civic Education) lebih

kepada pendidikan kewarganegaraan.

Selanjutnya ia menyatakan bahwa istilah pendidikan kewargaan pada

satu sisi identik dengan pendidikan kewarganegaraan. Namun di sisi lain

istilah civic education secara subtantif tidak saja mendidik generasi muda

menjadi warga Negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya

dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tapi juga

merupakan penekanan dalam istilah pendidikan kewarganegaraan;

membangun kesiapan warganegara menjadi warga dunia (global society).

Dengan demikian secara subtantif pendidikan kewargaan lebih

luas cakupannya daripada pendidikan kewarganegaraan, seperti kajian

dan pembahasan tentang pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga

demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warga Negara, proses demokrasi,

Page 98: Sustaining Peace in Aceh

Kusmawati Hatta

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES84 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

partisipasi aktif dan keterlibatan warga Negara dalam masyarakat madani,

pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat dalam

pemerintahan, warisan politik, administrasi publik, sistim hukum, warga

Negara aktif, refleksi krisis, penyelidikan dan kerja sama, keadilan sosial,

pengertian antarbudaya dan kelestarian lingkungan hidup dan hak azasi

manusia.

Bila dilihat cakupan yang dikaji di dalam pendidikan kewargaan

yang begitu luas, maka sebenarnya apa kompetensi yang harus dicapai

dalam pendidikan CE ini?. Menurut Tim ICCE (2003) menyatakan ada tiga

kompetensi dasar yang harus di capai antara lain: Pertama, Civic knowledge

yaitu kemampuan penguasaan pengatahuan kewargaan yang terkait dengan

materi inti CE atara lain demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani

(civil society). Kedua, Civic dispositions yaitu kemampuan dan kecakapan

sikap kewargaan antara lain pengakuan kesetaraan, toleransi, kebersamaan,

pengakuan keragaman, kepekaan terhadap masalah warganegara. Ketiga,

Civic skill yaitu kemampuan dan kecakapan mengartikulasikan keterampilan

kewargaan seperti kemampuan berpartisisfasi dalam proses pembuatan

kebijakan publik, kemampuan melakukan control terhadap penyelenggara

Negara dan pemerintah. Keluasan cakupan civic education ini telah membawa

intelektual berfikir lain, untuk mengembangkannya dalam dunia pendidikan

dan pembelajarannya, sehingga dapat mencapai tujuan secara optimal,

Ada lima tujuan dalam pembelajaran civic education yaitu: (1) untuk

membentuk kecakapan partisipatif yang bermutu dan bertanggung jawab

dalam kehidupan politik dan masyarakat, baik di tingkat lokal, regional,

nasional maupun global, (2) untuk menjadikan warga masyarakat yang baik

dan mampu menjaga kesatuan dan persatuan serta integritas bangsa, guna

mewujudkan Indonesia yang kuat, sejahtera dan demokratis, (3) untuk

menghasilkan mahasiswa yang berpikir komprehensif, analitis, kritis dan

bertindak demokratis,(4) untuk mengembangkan kultur demokrasi, yaitu

kebebasan, persamaan, kemerdekaan, toleransi, kemampuan menahan

diri, kemampuan melakukan dialog, negosiasi, kemampuan mengambil

keputusan, serta kemampuan berpartisispasi dalam kegiatan politik,

kemasyarakatan, (5) mampu membentuk mahasiswa menjdi good and

Page 99: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Civic Education dalam Pendidikan Formal dalam Rangka Membangun Demokrasi Berkeadaban

85Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

responsible citizen (warganegara yang baik dan bertanggung jawab) melalui

penanaman moral dan keterampilan sosial, sehingga dapat memecahkan

persoalan-persoalan actual warga Negara, seperti toleransi, perbedaan

pendapat, bersikap empati, menghargai pluralitas, kesadaran hukum, tertip

sosial, menjunjung tinggi HAM, mengembangkan demokrasi dalam berbagai

kehidupan serta menghargai kearifan local.

Untuk mewujudkan itu semua, maka dirumuskanlah beberapa materi

ajar yang sinkron dan yang menjadi dasar yaitu demokrasi, hak asasi

manusia, dan masyarakat madani. Dari ketiga materi tersebut dijabarkan

lebih rinci seperti pendahuluan, identitas Nasional, Negara, kewarganegaraan,

konstitusi, demokrasi, otonomi daerah, good governance, hak asasi manusia

(HAM), dan masyarakat madani. Dengan demikian maka materi pendidikan

civic education diarahkan untuk Nation and charater building bangsa

Indonesia yang relevan dalam memasuki era demokratisasi.

Oleh karena itu, seharusnya pembelajaran ini, tidak hanya diberikan

pada jenjang perguruan tinggi saja, akan tetapi disemua jenjang pendidikan

formal, sehingga dapat lebih mudah untuk membangun bangsa yang

diinginkan.

Berdasarkan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006, tentang standar

Kompetensi Kelulusan, dalam Point B tentang Standar Kompetensi Kelompok

Mata Pelajaran (SK-KMP), yang salah satunya adalah kewarganegaraan dan

kepribadian, yang tujuannya dikembangkan kepada membentuk peserta

didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Tujuan itu dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlak

mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani.

mengembangkan logika, kemampuan berpikir dan analisis peserta didik.

Pada satuan pendidikan SD/MI/SDLB/Paket A, tujuan ini dicapai melalui

muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam,

ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal yang

relevan.

Dengan tujuan yang dirumuskan tersebut di atas, maka sangat relevan

bila pendidikan civic education diintergarsikan kedalam mata pelajaran

yang ada di tingkat dasar, menengah, maupun tingkat atas, karena tujuan

Page 100: Sustaining Peace in Aceh

Kusmawati Hatta

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES86 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

yang tersirat di dalam pembelajaran ini adalah bagaimana membangun

bangsa yang madani. Hal ini tidak mudah, tetapi diperlukan tenaga dan

perencanaan yang baik dan yang paling penting adalah dilakukan sejak dini

sehingga benar-benar menjadi kebiasaan dan tertanam di dalam sanubari

warga. Dengan demikian maka akan lahir warga Negara yang memiliki

integritas yang tinggi, bertanggung jawab, empati, dan selalu bersifat

demokratis dalam semua tindakan.

Urgensi intergrasi pendidikan kewargaan (civic education) dalam

membangun demokrasi berkeadaban

Edward L. Glaeser Giacomo, Ponzetto dan Andrei Shleifer (2005),

menyatakan bahwa Pendidikan dengan demokrasi sangat berkorelasi, karena

hasil temuan penelitian memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan yang

tinggi akan menstabilkan demokrasi dalam masyarakat, dari pada yang tidak

berpendidikan. Almond dan Verba (1989, P.1) menyatakan dalam kajian

awal tentang hubungan antara tingkat pendidikan dengan angka partisipasi

politik, mendapati bahwa pendidikan sebagai penentu penting dari “budaya

kewarganegaraan” dan partisipasi dalam demokrasi politik “Orang tidak

berpendidikan atau orang dengan pendidikan yang terbatas akan berbeda

politik dari orang yang telah mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi

(hal 315)”. Oleh karena itu untuk merubah dan membangun bangsa, maka

harus membangun dan merubah paradigma dunia pendidikan.

Paradigma pendidikan dalam konteks suatu bangsa (nation) akan

menunjukkan bagaimana proses pendidikan akan berlangsung , yang

kemudian dapat diperidiksikan kualitas dan profil lulusan sebagai hasil

proses pendidikan. Dalam hal ini ada 4 hal yang menjadi dasar dan terkait

dengan pendidikan, yaitu: (1) peserta didik (siswa dan mahasiswa), (2) guru

dan dosen, (3) materi , dan (4) managemen pendidikan. Dalam pelaksanaan

pendidikan selama ini terdapat dua paradigma yang paradoksal, yaitu;

feodalistik dan humanistik.

Pertama, paradigma feodalistik mempunyai asumsi bahwa, lembaga

pendidikan merupakan tempat melatih dan mempersiapkan peserta

didik untuk menghadapi masa akan datang, oleh karena itu peserta didik

Page 101: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Civic Education dalam Pendidikan Formal dalam Rangka Membangun Demokrasi Berkeadaban

87Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

ditempatkan sebagai objek semata di dalam pembelajaran, sedangkan

guru atau dosen merupakan satu-satunya sumber ilmu, kebenaran dan

informasi, sehingga berprilaku otoriter dan birokratis. Materi ajar di kemas

secara rigit sehingga memasung kreatifitas peserta didik, guru dan dosen.

Sementara itu manajemen pendidikan dan pembelajaran dibuat secara

sentralistik, birokratis dan monolitik, dan strategi pembelajarannya juga

sangat dogmatis, indoktrinatif dan otoriter.

Kedua, paradigm humanistic mempunyai asumsi bahwa peserta

didik adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang

berbeda-beda, oleh karena itu, peserta didik ditempatkan sebagai subjek

sekaligus objek pembelajaran, sedangkan guru dan dosen ditempatkan

sebagai fasilitator yang mempermudah penyerapan, dan dialog dari

peserta didik dalam pembelajaran. Materi ajar di susun berdasarkan pada

kebutuhan dasar (basic needs) peserta didik, bersifat fleksibel, dinamis dan

fenomenologis, sehingga materi tersebut bersifat kontekstual dan memiliki

relevansi dengan tuntutan dan perubahan social. Strategi pembelajarannya

bervariatif dan demokratis, sehingga mendorong terciptanya pembelajaran

yang hidup, kreatif dan inovatif. Sedangkan manajemennya di buat

berdasarkan desentralistik, tidak biokratik, tidak monolitik, dan mengakui

pluralistik.

Melihat kedua asumsi, dari dua paradigma pendidikan yang di

paparkan di atas, maka penulis menyatakan bahwa selama ini pembelajaran

di Indonesia lama sekali sudah menganut faham fiodalistik, dimana semua

system pendidikan, strategi dan manajemen di bangun dan dipaksakan

untuk mengikut kepada pembelajaran yang materi dibangun secara rigit,

strateginya otoriter dan biokratik, sangat monolotik, sehingga peserta didik

tidak memiliki daya kreatifitas yang dapat dikembangkan, karena selama

ini guru dan dosenlah yang berkuasa penuh atas peserta didik, apalagi

pelajaran pendidikan kewarganegaraan, yang memang terkait dengan

politik, demokrasi, hak asasi manusia, sudah pasti dibuat dan dikemas

untuk memenuhi kepentingan golongan. Oleh karena itu, mulai sekarang

dunia pendidikan harus dirubah dan diarahkan kepada paradigma yang

lebih manusiawi yaitu secara humanitik.

Page 102: Sustaining Peace in Aceh

Kusmawati Hatta

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES88 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Paradigma ini akan merubah system pendidikan dan profil lulusan

dari peserta didik, karena disusun berdasarkan kebutuhan dan kepentingan

masyarakat, dengan membangun kultur yang lebih berkeadaban, seperti

masyarakat madani. Memang tidak mudah, perlu usaha yang sungguh-

sunguh dan terpadu antara pemerintah, masyarakat dan dunia pendidikan

sehingga membentuk segitiga yang dapat saling , membangun, mengontrol,

dan mengevaluasi agar mencapai suatu kekuatan yang solit. Dengan

demikian maka dunia pendidikan akan mengeluarkan peserta didik yang

ber kualitas dan berkeadaban yang tinggi dalam lingkungan pluralitas yang

beragam.

Untuk mengembangkan civic education agar lebih membumi, maka

perlu di lakukan integrasi ke dalam semua mata pelajaran yang ditetapkan

di dalam kurikulum pendidikan formal pada tingkat dasar, menengah dan

atas, sehingga pemahamannya dapat diserap di dalam berbagai pelajaran

yang diberikan pada peserta didik, hanya saja guru dan dosennya yang perlu

diberikan pelatihan bagaimana metode pembelajaran dengan menggunakan

paradigma humanistik, yang mungkin selama ini belum pernah dibiasakan

di dalam dunia pendidikan. John Dewey (1994) mendefinisikan pendidikan

sebagai akuisisi kebiasaan yang berpengaruh kepada penyesuaian individu

dengan lingkungannya. Jadi bila pembiasaan ini dilakukan dari awal

maka warga akan dapat menyesuaikan diri mengikuti lingkungan. Kalau

lingkungan dibangun dengan demokrasi maka lama kelamaan individu

akan menyesuaikan diri mengikuti arah tersebut. Pada saat ini lingkungan

yang dianggap paling sepurna sehingga dijadikan pedoman dan cita-cita

yang harus dicapai oleh setiap warga yaitu masyarakat madani.

Masyarakat madani bila dipahami secara sepintas merupakan format

kehidupan alternative ketika roda pemerintahan dijalankan tidak demokrasi

,semena-mena tanpa memperhatikan hak asasi manusia, maka dimunculkan

lah konsep yang mengedepakan semangat demokrasi, menjunjung tinggi

nilai-nilai hak asasi manusia, dengan pemberdayaan dan penguatan

masyarakat sebagai control dalam kebijakan-kebijakan yang dijalankan

pemeritahan, yang pada akhirnya akan terwujut kekuatan masyarakat

sipil yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup, yang

Page 103: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Civic Education dalam Pendidikan Formal dalam Rangka Membangun Demokrasi Berkeadaban

89Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

demokratis dan juga menjunjung tinggi HAM, seperti pada masa Rasulullah

Saw membangun ummadnya.

Ramlan Surbakti (2001) menyatakan bahwa masyarakat madani,

juga difahami sebagai tatanan kehidupan yang menginginkan kesejajaran

hubungan antar warga negara dengan Negara atas prinsip saling

menghormati, sehingga terbangun hubungan yang konsultatif bukan

konfrontatif. Mayarakat tidak hanya bersikap dan berprilaku sebagai citizen

yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati

equal right, yang memperlakukan semua warga Negara sebagai pemegang

hak dan kebebasan yang sama.

Penutup

Untuk mengembangkan civic education tidaklah mudah, diperlukan

tenaga dan konsep yang matang sehingga tidak mengulang kesalahan yang

sama dalam dunia pendidikan. Pendidikan kewarganeagaraan yang selama

ini masih sangat sarat dengan indoktrinatif, monolitik, dan otokratik,

dengan system pembalajarannya sangat dogmatif, yang mengikut kepada

perkembangan politik, harus dirubah menjadi pendidikan kewargaan atau

yang disebut civic education yang mencoba membangun warga dengan

demokratis, dengan materi ajar yang lebih luas dan fleksibel, tidak monolitik,

tidak biokratik dan juga tidak otokratik.

Pendidikan dan pembelajarannya diarahkan kepada pengembangan

dan pemberdayaan peserta didik, sehingga dapat mengeksplorasikan

kreativitas daya cipta dan daya guna dalam dunia pendidikan. Managemen

pendidikannya dibangun secara desentralistik, materi ajarnya dirumuskan

berdasarkan basic needs peserta didik dan yang paling penting adalah dapat

diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran yang telah ditetapkan di

dalam kurikulum pendidikan, karena materinya yang universal dan luas

dalam melahirkan warga negara yang madani.

Page 104: Sustaining Peace in Aceh

Kusmawati Hatta

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES90

DAFTAR PUSTAKA

Azra Azyumardi (2002) Pendidikan Demokrasi dan Demokratisasi Di Dunia Muslim, makalah disampaikan pada Seminar Nasional II “Civic Education di Perguruan Tinggi” di Mataram. Tgl. 22-23 April.

Almond, Gabriel, and Sidney Verba (1989, 1 st st ed. ed. 1963), The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. London: Sage Publications

Edward L. Glaeser Giacomo, Ponzetto dan Andrei Shleifer. Why Does Democracy Need Education, Harvard University and NBER, Harvard University and Harvard University and NBER, 2005

John Dewey. Education as Growth, Capter 4: http://www.ilt.columbia.edu/publications/dewey.html, 1994

Ramlan Surbakti. Outonomi Daerah Seluas-luasnya dan Faktor Pendukungnya. Jakarta, 2001

Sumantri, Muhammad Numan. Mengagas Pembaruan Pendidikan IPS, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001

TIM ICCE UIN Jakarta Pensisikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 2003

Page 105: Sustaining Peace in Aceh

91

Konstruksi Kurikulum Pendidikan Damai di AcehStudi Deskriptif Analitik Melalui Pendekatan Kearifan Lokal

Firdaus M. YunusDosen Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Pendidikan (S1) diselesaikan pada Jurusan Aqidah Filsafat Fak. Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, (2000). Pendidikan (S2) pada Fakultas Ilmu Filsafat (2003), dan pendidikan (S2) Sosiologi (2005) pada Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

Pendahuluan

Pemberlakuan otonomi daerah dan perubahan pola kebijakan

pemerintah terhadap pendidikan nasional akhir-akhir ini dari sentralistik

yang serba terpusat, ke desentralistik diharapkan akan memberikan

kebebasan dan keleluasaan ruang gerak bagi lembaga-lembaga pendidikan.

Hal ini akan menjadi modal bagi lembaga-lembaga pendidikan untuk

menemukan bentuknya yang ideal sesuai dengan visi dan misi lembaga

pendidikan. Untuk meningkatkan kualitasnya dalam mengelola

pendidikan ke arah yang lebih baik, sistem sentralistik selain lamban

dalam mengantisipasi kebutuhan lingkungan pendidikan, sistem ini juga

memungkinkan terjadinya penyimpangan kebijakan pendidikan yang

berorientasi sebagai perpanjangan tangan birokrasi yang mematikan

prakarsa, partisipasi, inovasi, dan kreativitas peserta didik, masyarakat dan

pengelola pendidikan.

Usaha untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih bersemangat

tersebut, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang

penyelenggaraan pemerintah daerah menggantikan Undang-Undang Nomor

Page 106: Sustaining Peace in Aceh

Firdaus M. Yunus

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES92 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, dan Undang-

Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Perubahan ini

memberikan setumpuk harapan bagi daerah untuk mengelola pendidikan

berkualitas, harapan ini sangat wajar mengingat manajemen pendidikan

yang selama ini bersifat sentralistik cenderung kurang mampu mendorong

terjadinya demokratisasi dan desentralisasi pendidikan. Dengan

desentralisasi pendidikan diharapkan akan mampu melahirkan kebijakan

yang dapat mengakomodir berbagai macam bentuk keragaman, perbedaan

kepentingan daerah, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam

proses pendidikan, dan pada akhirnya akan mampu mengangkat kualitas

pendidikan yang selama ini di sana-sini masih bermasalah (HJ. Sriyanto,

2003 : 8-9).

Desentralisasi pendidikan, sampai saat ini masih tetap menyisakan

keraguan karena pemerintah pusat belum mau menyerahkan kewenangan

secara penuh kepada daerah untuk mengatur dan mengelola pendidikan

termasuk di dalamnya adalah membuat dan menentukan kurikulum. Bagi

pemerintah Aceh, kewenangan untuk mengelola pendidikan pada esensinya

sudah tertuang melalui pemberian otonomi khusus kepada Daerah

Istimewa Aceh melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Dengan

adanya otonomi khusus tersebut, pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam

sudah diberikan keleluasaan untuk menentukan arah pendidikan dengan

menetapkan qanun tentang penyelenggaraan pendidikan yaitu qanun

Nomor 23 Tahun 2002. Qanun tersebut telah mensyaratkkan bahwa

pendidikan Aceh boleh dilaksanakan sesuai dengan kurikulum lokal

(kurikulum berbasis syariat) sesuai standar nasional dan internasional.

Das sein dan das sollen pendidikan di Aceh

Diberikannya keluasaan dalam pengelolaan pendidikan kepada

Aceh yang dituangkan melalui qanun Nomor 23 Tahun 2002 sangat

menggembirakan kita semua, karena Aceh mendapat perlakuan khusus

dibandingkan banyak daerah lain di Indonesia. Dalam merespon amanah

qanun tersebut pemerintah Aceh melalui dana otsus, APBA, APBN dan

bantuan dari negara-negara donor secara perlahan telah memperbaiki

Page 107: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Konstruksi Kurikulum Pendidikan Damai di Aceh

93Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

infrastruktur sekolah, kampus maupun infrastruktur dinas-dinas pendidikan

di tingkat kabupaten kota hampir di seluruh Aceh. Disamping memperbaiki

infrastruktur, pemerintah Aceh telah meningkatkan anggaran pendidikan

dan memberikan beasiswa kepada putra putri terbaik Aceh untuk kuliah

di dalam maupun di luar negeri mulai tingkat sarjana sampai ke tingkat

doktoral dengan harapan agar dunia pendidikan Aceh lebih unggul dari

daerah-daerah lain di Indonesia.

Harapan besar pemerintah dan seluruh masyarakat Aceh sejak qanun

pendidikan diberlakukan belum sepenuhnya menampakkan hasil yang

optimal, mulai dari belum adanya kurikulum muatan lokal yang spesifik

sebagai jawaban bagi kebutuhan masyarakat lokal sampai pada rendahnya

mutu pendidikan. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah anggaran yang

dikucurkan oleh pemerintah Aceh yang jumlahnya jauh lebih besar dari

daerah-daerah lain di Indonesia. Kemudian yang lebih memilukan lagi dunia

pendidikan Aceh dikejutkan oleh banyak hal, mulai dari kecurangan ujian

nasional hampir setiap tahun, rendahnya kelulusan pada UMPTN sampai

pada rendahnya nilai akreditasi kampus. Realitas tersebut menimbulkan

pertanyaan mendasar: mengapa sekolah, atau kampus yang bangunannya

megah-megah belum sepenuhnya memuaskan masyarakat pada umumnya,

terutama sekali pada keluaran (output) kampus yang masih sulit untuk

bersaing dalam dunia kerja?

Lima tahun terakhir ini menjadi pelajaran paling berharga bagi

masyarakat Aceh yang sebagian besar tercengang melihat dan merasakan

kerasnya persaingan dunia kerja. Meskipun pekerjaan tersebut akan

dilaksanakan di depan mata, tetapi untuk masuk dan bekerja di sana

sangatlah sulit karena banyak kualifikasi persyaratan yang harus dipenuhi.

Semuanya membutuhkan skill dan ketelitian khusus. Kesempatan yang

terbuka lebar pasca konflik dan tsunami di Aceh tidak dengan serta merta

menyerap tenaga kerja lokal dari Aceh. Banyak tenaga lokal terkendala

oleh pengalaman, keahlian, dan relasi yang terbatas, sehingga tidak sedikit

yang menjadi penonton dari laju pertumbuhan pembagunan di kampung

halamannya sendiri (Firdaus M. Yunus, 2008: 142). Gambaran tersebut

sangat tepat digambarkan dengan hadih maja ‘buya krue tudong-dong buya

Page 108: Sustaining Peace in Aceh

Firdaus M. Yunus

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES94 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

tamong meurasiki’ karena kita kalah dalam bersaing baik dari segi skill

maupun kualitas dengan tenaga kerja dari luar.

Pada dasarnya pangsa kerja terbuka untuk siapa saja, apalagi Aceh

hari ini menjadi salah satu wiilayah yang sudah menginternasional,

maka kompetisi untuk mendapatkan pekerjaan tidak segampang

yang dibayangkan. Menghadapi fenomena yang demikian, maka aspek

pendidikan menjadi prioritas yang harus terpusatkan. Sektor pendidikan

harus menjadi sarana awal bagi pemecahan permasalahan-permasalahan

lokal masyarakat. Selama ini proses pendidikan banyak yang tidak

selaras dengan dinamika pembangunan lokal. Padahal proses pendidikan,

dalam artian pendidikan formal sesungguhnya diterapkan dalam rangka

memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang sanggup menyelesaikan

persoalan lokal, sehingga keluaran pendidikan merupakan orang-orang

yang sanggup untuk bersaing di dalam dunia kerja sekaligus mampu

memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat

(Firdaus M. Yunus, 2004: 97).

Pendidikan pada prinsipnya harus mampu menyadarkan dan

memengaruhi masyarakat, agar menjadi salah satu pelaksana misi

masyarakat. Untuk itu maka sejumlah perangkat pendidikan perlu

diperuntukkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Barnadib, 1996 : 15).

Pendidikan dengan demikian harus berdialektika dengan seluruh realitas

masyarakat. Tanpa semangat yang demikian maka pendidikan justru

menjadi alat untuk mencerabut masyarakat dari kultur yang diwarisinya.

Kemudian pendidikan harus mampu dan sekaligus bertanggung jawab

dalam menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal

ini perlu dilakukan agar pendidikan memiliki basis sosial dan basis budaya

dalam masyarakat.

Untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui pendidikan,

maka pemerintah dan seluruh elemen masyarakat harus mendukung

jalannya pendidikan di Aceh. Dengan majunya pendidikan, segala

ketertinggalan yang selama ini terasa di sana sini dapat diminimalisir

sesegera mungkin agar Aceh menjadi pusat kebudayaan dan pusat

peradaban bagi dunia baru Islam.

Page 109: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Konstruksi Kurikulum Pendidikan Damai di Aceh

95Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Konstruksi kurikulum damai berbasis kearifan lokal

Pemerintah dalam rangka mewujudkan cita-cita untuk mencapai tujuan

pendidikan nasional melalui berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan

sudah beberapa kali melakukan perombakan dan perubahan kurikulum

ke arah yang lebih optimal, agar kurikulum yang ditetapkan mampu

menyesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Kebijakan

pemerintah tersebut secara sistematis dilakukan sejak tahun 1975, 1984,

1994, dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2001.

Penerapan kurikulum pendidikan tahun 1975, 1984, dan 1994 yang

dikembangkan oleh pemerintah pada masa Orde Baru dianggap terlalu

memberatkan siswa-siswi dan juga orang tua siswa-siswi terutama dalam

membeli buku teks. Padatnya kurikulum berakibat pada padatnya informasi

pada buku teks. Kurikulum yang demikian sering mendorong guru untuk

membahas seluruh pokok bahasan dengan cara tatap muka di kelas. Karena

kurikulum yang demikian telah mengharuskan kepala sekolah untuk

mendorong para guru untuk mempertimbangkan penjabaran materi dengan

mendahulukan materi yang dianggap penting. Para guru harus bekerja

keras untuk memilih dan memilah materi yang membutuhkan pendalaman

dan yang bisa diberikan kepada siswa di sekolah, dan apabila dirasakan

kurang maka guru sering memberikan penugasan baik di sekolah maupun

di rumah kepada siswa (J. Drost, 1998 : 117-120)

Kebijakan kurikulum seperti itu sangat memberatkan guru dan

siswa. Untuk itu, diperlukan adanya pengurangan jumlah mata pelajaran

sekaligus jumlah materi pada setiap mata pelajaran. Kemudian guru harus

memiliki kebebasan untuk menerapkan kurikulum dengan memperhatikan

kompetensi dasar minimum yang disyaratkan bagi para siswa, dan

kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran harus ditentukan

bersama antara guru, siswa, bahkan masyarakat secara demokratis. Maka

isi kurikulum selalu harus kritis, di sini guru, dan siswa harus bekerja

sama dalam menentukan isi kurikulum yang mau dipelajari (Paul Suparno,

2001 : 24).

Kurikulum yang banyak dikembangkan selama ini merupakan

gambaran dari sistem pendidikan nasional yang membelenggu, karena

Page 110: Sustaining Peace in Aceh

Firdaus M. Yunus

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES96 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dalam manajemen pendidikan yang sentralistik, sekolah sebagai unit

pelaksana teknis berfungsi sebagai penyelenggara kurikulum nasional.

Orientasi pendidikan pada kebutuhan masyarakat, dilaksanakan dengan

penambahan kurikulum muatan lokal pada kurikulum nasional yang

sudah sarat dengan materi pelajaran, namun demikian kenyataan tersebut

tidak mampu menjadikan pendidikan berbasis masyarakat (community-

based education). Ketergantungan sekolah pada buku petunjuk pelaksana

dan petunjuk teknis dari pusat, mengakibatkan manajemen peningkatan

mutu pendidiakn berbasis sekolah tidak dapat terlaksana (Hari Suderadjat,

2004 : 4-5).

Kebijakan untuk menentukan kurikulum bersama pada masa

pemerintahan Orde Baru justru tidak pernah terjadi, sehingga telah

berimplikasi luas pada rendahnya mutu pendidikan di Indonesia secara

merata dalam semua jenjang pendidikan. Terpuruknya mutu pendidikan

Indonesia lebih disebabkan oleh banyak faktor, salah satu diantaranya adalah

terjadinya kekakuan pemerintah dalam menerapkan kebijakan mengenai

kurikulum pendidikan nasional, karena asumsi mengenai kurikulum

nasional adalah kurikulum dari pusat, sementara daerah meskipun

berpotensi untuk membuat dan mengembangkan kurikulum muatan lokal,

tetapi pemerintah belum memperbolehkan daerah untuk membuat maupun

menerapkan kurikulum muatan lokal. Menurut Mangunwijaya, pelaksanaan

kurikulum muatan lokal dalam suatu daerah tidak harus sama, tetapi lebih

baik disesuaikan menurut situasi masing-masing daerah, sehingga guru

dapat menyesuaikan isi sebagian kurikulum dengan suasana dan keperluan

khas daerah setempat (Y.B Mangunwijaya, 2003 : 98)

Pengembangan kurikulum harus didasarkan pada karakteristik,

kebutuhan dan perkembangan suatu daerah (Nana Syaodih Sukmadinata,

2001 : 201). Agar efektif dan efisien, desentralisasi kurikulum harus diikuti

dengan desentarlisasi sistem evaluasi agar setiap daerah dapat menentukan

sistem evaluasinya sendiri. Sehingga dengan demikian akan melahirkan

suatu keterbukaan yang dinamis dalam masyarakat, dan kurikulum yang

dijalankan diharapkan akan mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh

proses pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan.

Page 111: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Konstruksi Kurikulum Pendidikan Damai di Aceh

97Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Kehadiran kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang sekarang

diganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) secara

nasional merupakan jawaban bagi peningkatan mutu pendidikan menuju

ke era persaingan global. Untuk kepentingan teresebut pemerintah

memprogramkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai

acuan bagi pelaksana pendidikan untuk mengembangkan berbagai ranah

pendidikan dalam seluruh jalur pendidikan, khususnya dalam jalur

pendidikan sekolah. Hal ini terkait dengan “gerakan peningkatan mutu

pendidikan” (E. Mulyasa, 2003: 37) Berpijak dari kebijakan pemerintah

tentang kurikum seperti tergambar di atas semakin menunjukkan

bahwa kurikulum merupakan alat yang sangat penting (vital) bagi suatu

keberhasilan pendidikan, karena tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat

maka tujuan dan sasaran yang diinginkan akan sulit tercapai.

Kurikulum biasanya berkembang sejalan dengan perkembangan dan

praktek pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori yang

dianut. Menurut Mac Donald (1965: 3), sistem persekolahan terbentuk dari

mengajar, belajar, dan kurikulum. Mengajar merupakan kegiatan profesional

yang diberikan oleh guru. Belajar merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

siswa sebagai respon terhadap kegiatan mengajar yang diberikan oleh

guru. Keseluruhan pertautan kegiatan mengajar dan belajar, membutuhkan

kurikulum sebagai suatu rencana yang memberikan pedoman atau pegangan

dalam proses belajar-mengaja.

Sementara Beauchamp dalam Nana Syaodi Sukmadinata (2001: 3) lebih

memberikan tekanan bahwa kurikulum adalah suatu rencana pendidikan

atau pengajaran. Pelaksanaan rencana itu sudah masuk pengajaran,

selanjutnya kebaikan suatu kurikulum tidak dapat dinilai dari dokumen

tertulis saja, melainkan harus dinilai dari proses pelaksanaan fungsinya

di dalam kelas. Kurikulum bukan hanya rencana tertulis bagi pengajaran,

melainkan hanya sesuatu yang fungsional beroperasi di dalam kelas, yang

memberikan pedoman dan mengatur lingkungan kegiatan yang berlangsung

di dalam kelas.

Kurikulum dengan demikian menjadi unsur yang menentukan dalam

setiap pembentukan model pendidikan, karena tanpa adanya kurikulum

Page 112: Sustaining Peace in Aceh

Firdaus M. Yunus

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES98 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

sulit rasanya bagi para perencana pendidikan mencapai tujuan pendidikan

yang diselenggarakannya. Mengingat pentingnya kurikulum, maka

kurikulum perlu dipahami dengan baik oleh semua pelaksana pendidikan

(Hj. Suyanto, 2000 : 59)

Kurikulum pada intinya memegang kedudukan kunci dalam

pendidikan, sebab kurikulum berkaitan dengan penentuan arah, isi dan

proses pendidikan, yang pada akhirnya akan menentukan bermacam-

macam kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan. Kurikulum juga

menyangkut rencana dan pelaksanaan pendidikan, baik dalam lingkup kelas,

sekolah, daerah, wilayah, maupun nasional. Dengan demikian kebijakan

dalam pelaksanaan kurikulum harus memperhatikan implikasi secara lokal

maupun nasional.

Dewey mengatakan bahwa ada tiga butir pokok yang harus

diperhatikan dalam mengembangkan sebuah kurikulum di segala tingkat.

Pertama, hakikat dan kebutuhan siswa-siswi. Kedua, hakikat dan kebutuhan

masyarakat di mana siswa-siswi merupakan bagian dari masyarakat.

Ketiga, masalah pokok yang digumuli siswa-siswi untuk mengembangkan

diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin hubungan dengan

masyarakat (John Dewey, 1961 : 86). Dalam hal ini, penerapan kebijakan

pemerintah mengenai kurikulum tentu saja tidak boleh kaku, karena apabila

kurikulum yang diterapkan mengalami kekakuan maka akan berimplikasi

pada pelaksanaan pendidikan di sekolah.

Untuk dunia pendidikan Aceh, penerapan kurikulum muatan

lokal sudah menjadi keharusan dan tanggung jawab stakeholder dunia

pendidikan. Banyak muatan lokal yang terabaikan selama ini, seperti

belum adanya kurikulum bagi siswa yang mendiami di perdesaan. Selama

ini kurikulum yang diterapkan pada sekolah-sekolah di daerah perdesaan

mengikuti kurikulum perkotaan yang kadang kala sulit dijangkau oleh anak-

anak yang dikelilingi oleh areal pertanian dan lautan. Kemudian yang lebih

penting lagi adalah merancang kurikulum pendidikan damai, agar siswa/

mahasiswa serta masyarakat paham terhadap teori damai dan konflik.

Selama ini banyak masyarakat yang tidak mengetahui bagaimana cara

mengelola konflik dengan baik, sehingga konflik yang kecil menjadi besar

Page 113: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Konstruksi Kurikulum Pendidikan Damai di Aceh

99Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dan penyelesaianya menjadi berlarut-larut karena tidak ada manajemen

yang tepat dalam mengelola konflik.

Kurikulum pendidikan damai dibutuhkan bukan karena Aceh pernah

dilanda konflik, tetapi konflik merupakan realitas kehidupan yang muncul

setiap saat akibat benturan kepentingan, baik kepentingan sesaat maupun

kepentingan jangka panjang. Kurikulum pendidikan damai diharapkan

dapat berperan sebagai acuan bagi proses pendewasaan siswa/mahasiswa

serta masyarakat agar dapat membangun paradigma dan sikap kritis dalam

menyikapi setiap konflik tanpa kekerasan. Proses ini menggambarkan

bahwa makna hakiki pendidikan damai tidak hanya menyangkut aspek

kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik.

Kurikulum pendidikan damai disamping menyangkut ketiga aspek

di atas, kemudian juga berfungsi untuk menyampaikan, meneruskan atau

menstransmisikan nilai-nilai guna mengantarkan manusia ke arah kondisi

yang tenteram, saling menghormati, menghargai dan memberikan apresiasi

dalam kemajemukan dan kebhinekaan. Lebih dari itu juga mengajarkan

kearifan dalam menyikapi konflik sebagai sunnah Allah yang tidak harus

dihindari, akan tetapi perlu dikelola melalui pengembangan potensi-

potensi yang ada sehingga memberikan dampak positif bagi individu dan

masyarakat (Fauzi Saleh, 2005 : 23).

Tugas untuk membuat kurikulum tidak bisa dilakukan secara

sendirian tetapi harus melibatkan semua pihak. Hal ini penting agar muatan

lokal pada masing-masing daerah dapat terakomodir dengan baik, dengan

demikian kurikulum yang dihasilkan benar-benar menjadi patron bagi

guru, murid, dan masyarakat dalam memahami dan memaknai pentingnya

pendidikan dan pengajaran.

Penutup

Keresahan terhadap dunia pendidikan sudah sering dikritik oleh

pemerhati pendidikan di dunia manapun termasuk di Aceh. Para pemerhati

pendidikan di Aceh sering mengkritisi proses pendidikan yang masih

lamban di sana sini dan terkesan monoton. Pendidikan pada esensialnya

tidak boleh monoton, tetapi harus terbuka terhadap realitas sosial

Page 114: Sustaining Peace in Aceh

Firdaus M. Yunus

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES100 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

kemasyarakatan. Kehadiran kurikulum pusat belum tentu sepenuhnya

cocok untuk diterapkan pada masing-masing daerah, terutama sekali bagi

daerah terpencil yang jauh dari pusat perkotaan. Bagi daerah seperti itu

kurikulum yang diterapkan tidak sepenuhnya kurikulum perkotaan akan

tetapi muatan lokal juga harus diperhatikan agar apa yang diharapan (das

sein) menjadi kenyataan (das sollen).

Pelaksanaan pendidikan, terutama di Aceh harus mengadopsi tiga

unsur, yaitu unsur muatan lokal, nasional, dan internasional, pengadopsian

ketiga unsur tersebut menjadi penting untuk menempatkan pendidikan

Aceh setara dengan daerah-daerah lain di Indonesia Untuk saat ini tidak

ada halangan bagi Aceh untuk tidak maju karena anggaran pendidikan yang

dialokasikan oleh pemerintahan Aceh sangat besar dan situasi Aceh untuk

memajukan pendidikan jauh lebih kondusif, sebab Aceh sudah melewati

masa-masa sulit baik pada saat konflik maupun pasca tsunami beberapa

tahun yang lalu.

Page 115: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Konstruksi Kurikulum Pendidikan Damai di Aceh

101Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

DAFTAR PUSTAKA

Dewey, John. Philosophy of education. New Jersey: Littlefeld Adam & Co, 1961

Drost, J. Sekolah mengajar atau mendidik?. Yogyakarta: Kanisius, 1998

Mac Donald, B. James. Educational models for instruction, Washington DC: The Association for supervision and curriculum developmen, 1965

Mangunwijaya, Y.B. Impian dari yogyakarta. Jakarta: Gramedia, 2003

Mulyasa. E. Kurikulum berbasis kompetensi: konsep, karakteristik, implementasi, dan inovasi. Bandung: Rosdakarya, 2003

Saleh, Fauzi. Konsep pendidikan dalam Islam. Banda Aceh: Yayasan Pena, 2005

Sriyanto. HJ. “Membaca kebijakan pemerintah terhadap pendidikan di era desentralisasi”. dalam, Jurnal demokrasi, Volume I, No.2, 2003

Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan kurikulum teori dan praktek. Bandung: Rosdakarya, 2001

Suparno, Paul. “Relevansi dan reorientasi pendididikan di Indonesia”, dalam Basis, No. 01-02. Tahun ke 50, Januari-Februari, 2001

Suderadjat, Hari. Implementasi kurikulum berbasis kompetensi (KBK): pembaharuan pendidikan dalam Undang-undang sisdiknas 2003. Bandung: Cipta Cekas Grafika, 2004

Yunus, Firdaus M. Pendidikan berbasis realitas sosial, Paulo Freire, Y.B. Mangunwijaya. Yogyakarta: Logung pustaka, 2004

__________. “Rehab rekon Aceh berbasis kearifan lokal, pendekatan filsafat budaya dan filsafat pendidikan”, dalam filosofi pendidikan berbasis syariat dalam education networks. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2008

Page 116: Sustaining Peace in Aceh
Page 117: Sustaining Peace in Aceh

103

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal dalam Menjaga Keberlangsungan Perdamaian di Aceh

M. Nasir BudimanGuru Besar Ilmu Pendidikan pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Pernah menjabat sebagai Asisten Direktur Bidang Akademik pada Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry dan Pembantu Rektor I periode 2005-2009

Pendahuluan

Indonesia terdiri dari lebih dari 3500 buah pulau yang dihuni oleh

berbagai suku bangsa yang mempunyai berbagai macam adat-istiadat,

bahasa, kebudayaan, agama, kepercayaan dan sebagainya. Berbagai

kekayaan alam baik yang terdapat di darat, laut, flora fauna dan berbagai

hasil tambang semuanya merupakan sumber daya alam yang semestinya

bisa dimanfaatkan dengan baik untuk kesejahteraan rakyatnya.

Kebudayaan nasional yang didukung oleh berbagai nilai kebudayaan

daerah yang luhur dan beradab yang merupakan nilai jati diri yang menjiwai

perilaku manusia dan masyarakat dalam segenap aspek kehidupan, baik

dalam lapangan industri, kerajinan, industri rumah tangga, jasa pertanian

(argo industri dan argo bisnis), perkebunan, perikanan peternakan,

pertanian holtikultura, kepariwisataan, pemeliharaan lingkungan hidup

sehingga terjadi kesesuaian, keselarasan dan keseimbangan yang dinamis.

Kurikulum kecuali mengacu pada karakteristik peserta didik,

perkembangan ilmu dan teknologi pada zamannya juga mengacu kepada

kebutuhan-kebutuhan masyarakat atau stakeholders. Penyusunan kurikulum

Page 118: Sustaining Peace in Aceh

M. Nasir Budiman

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES104 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

atas dasar acuan keadaan masyarakat tersebut disebut “Kurikulum Muatan

Lokal“.

Sebagai acuan keadaan masyarakat provinsi Aceh yang pernah

terjadi konflik, dan musibah gempa bumi dan tsunami adalah hilangnya

persaudaraan (ukhuwah), kasih sayang, saling curiga, krisis kepercayaan,

dan berkembang pula budaya suka menerima daripada memberi, maka

program pengembangan kurikulum dalam menjaga keberlangsungan

perdamaian di Aceh menjadi sangat relevan dijadikan sebagai program

pendidikan muatan lokal di PTAI semacam STAI Tgk. Di Rundeng Aceh

Barat, provinsi Aceh. Maka yang menjadi masalah di sini adalah terkait

dengan prosedur pengembangan muatan lokal yang relevan dengan

kebutuhan daerah bagi PTAI di Aceh secara umum, khususnya di STAI Tgk

di Rundeng Meulaboh, Aceh Barat.

Pengertian muatan lokal

Kurikulum muatan lokal dimaksudkan ialah program pendidikan

yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam

dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari oleh

mahasiswa sesuai dengan karakteristik daerah.

Menurut sejarah, sebelum ada PTAI/Perguruan Tinggi Agama Islam

formal, pendidikan yang berprogram muatan lokal telah dilaksanakan oleh

para orang tua mahasiswa dengan metode drill dan trial and error serta

berdasarkan berbagai pengalaman yang mereka hayati. Tujuan pendidikan

mereka terutama agar anak-anak mereka dapat mandiri dalam kehidupan.

Bahan yang diajarkan ialah bahan yang diambil dari berbagai keadaan

yang ada di alam sekitar. Sedang kriteria keberhasilannya ditandai bahwa

”mereka telah dapat hidup mandiri dan/atau percaya diri, meningkat harkat

dan martabatnya”.

Tujuan kurikulum muatan lokal

Secara umum tujuan program pendidikan muatan lokal adalah

mempersiapkan mahasiswa agar mereka memiliki wawasan yang mantap

tentang lingkungannya serta sikap dan perilaku bersedia melestarikan

Page 119: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal dalam Menjaga Keberlangsungan Perdamaian di Aceh

105Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dan mengembangkan sumber daya alam, kualitas sosial, dan kebudayaan

yang mendukung pembangunan nasional maupun pembangunan setempat.

Tujuan penerapan muatan lokal pada dasarnya dapat dibagi dalam dua

kelompok tujuan, yaitu tujuan langsung dan tujuan tidak langsung. Tujuan

langsung adalah tujuan dapat segera dicapai. Sedangkan tujuan tidak

langsung merupakan tujuan yang memerlukan waktu yang relatif lama

untuk mencapainya. Tujuan tidak langsung pada dasarnya merupakan

dampak dari tujuan langsung.

a. Tujuan langsung

1. Bahan pengajaran lebih mudah diserap oleh mahasiswa.

2. Sumber belajar di daerah dapat lebih dimanfaatkan untuk

kepentingan pendidikan.

3. Mahasiswa dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan

yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah yang ditemukan

dalam masyarakat.

4. Mahasiswa lebih mengenal kondisi alam, lingkungan sosial dan

lingkungan budaya yang terdapat di daerahnya masing-masing.

b. Tujuan tak langsung

1. Mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya.

2. Mahasiswa diharapkan dapat menolong orang tuanya dan

menolong dirinya sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan

hidupnya.

3. Mahasiswa menjadi akrab dengan lingkungannya dan terhindar

dari keterasingan terhadap lingkungan masyarakatnya sendiri.

Dengan menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar maka besar

kemungkinan mahasiswa dapat mengamati, melakukan percobaan atau

kegiatan belajar sendiri. Belajar mencari, mengolah, menemukan informasi

sendiri dan menggunakan informasi untuk memecahkan masalah yang

ada di lingkungannya merupakan pola dasar dari belajar. Belajar tentang

lingkungan dan dalam lingkungan mempunyai daya tarik tersendiri bagi

seorang anak. Jean Piaget (1958) mengatakan bahwa semakin banyak

seorang anak melihat dan mendengar, maka semakin ingin ia melihat dan

mendengar serta berbuat.

Page 120: Sustaining Peace in Aceh

M. Nasir Budiman

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES106 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Lingkungan secara keseluruhan mempunyai pengaruh terhadap cara

belajar seseorang. Benyamin S. Bloom menegaskan bahwa lingkungan sebagai

kondisi, daya dan dorongan eksternal dapat memberikan suatu situasi “kerja”

di sekitar mahasiswa. Karena itu, lingkungan secara keseluruhan dapat

berfungsi sebagai daya untuk membentuk dan memberi kekuatan/dorongan

eksternal untuk belajar pada seseorang. Landasan teoritik muatan lokal.

1. Tingkat kemampuan berpikir mahasiswa mengharuskan kita

menyajikan bahan kajian yang dapat mengembangkan kemampuan

berpikir dari tingkatan konkret sampai dengan tingkatan abstrak.

Pengembangan kemampuan berpikir ini ditunjang antara lain oleh

teori belajar dari Ausubel (1969) dan konsep asimilasi dari Jean

Piaget (1972) yang pada intinya menyatakan bahwa sesuatu yang

baru haruslah dipelajari berdasarkan apa yang telah dimiliki oleh

mahasiswa. Penerimaan gagasan baru dengan bantuan gagasan/

pengetahuan yang telah ada ini sebenarnya telah dikemukakan

oleh Johan Friedrich Herbart (1776-1841) yang dikenal dengan

istilah apersepsi.

2. Pada dasarnya anak-anak usia perguruan tinggi memiliki rasa

ingin tahu yang sangat besar tentang segala sesuatu yang terjadi di

lingkungan sekitarnya. Karena itu, mereka selalu akan gembira bila

dilibatkan secara mental, fisik dan sosialnya dalam mempelajari

sesuatu. Mereka akan gembira bila diberikan kesempatan untuk

menjelajahi lingkungan sekitarnya yang penuh dengan sumber

belajar. Dengan menciptakan situasi belajar, bahan kajian dan

cara belajar mengajar yang menantang dan menyenangkan maka

aspek kejiwaan mereka yang berada dalam proses pertumbuhan

akan dapat ditumbuhkembangkan dengan baik.

Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.Tujuan

pendidikan muatan lokal tentu saja tidak dapat terlepas dari tujuan umum

yang tertera dalam GBHN. Adapun yang langsung dapat dipaparkan dalam

muatan lokal atas dasar tujuan tersebut di antaranya adalah :

a. Berbudi pekerti luhur, sopan santun daerah di samping sopan

santun nasional.

Page 121: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal dalam Menjaga Keberlangsungan Perdamaian di Aceh

107Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

b. Berkepribadian; punya jati diri dan punya kepribadian daerah

disamping kepribadian nasional

c. Mandiri: dapat mencukupi diri sendiri tanpa bantuan orang lain

d. Terampil, menguasai 10 segi PKK di daerahnya

e. Beretos kerja, cinta akan kerja, makanya dapat menggunakan

waktu sebaik-baiknya.

f. Profesional dalam bekerja dan bertanggung jawab

g. Produktif, dapat berbuat sebagai produsen dan bukan hanya

sebagai konsumen

h. Sehat jasmani dan rohani

i. Cinta lingkungan, dapat menumbuhkan cinta kepada tanah air.

j. Kesetiakawanan sosial, dalam hal bekerja manusia selalu

membutuhkan teman kerja, oleh karenanya akan terjadilah situasi

kerja sama dan gotong royong.

k. Kreatif dan inovatif untuk hidup, karena tidak pernah menyia-

nyiakan waktu luang, dan yang bersangkutan menjadi orang ulet,

tekun, rajin dan sebagainya

l. Mementingkan pekerjaan yang praktis; Menghilangkan gaps

antara lapangan teori dan praktik

m. Rasa cinta budaya damai dan nilai-nilai syari’at Islam.

Untuk penentuan muatan lokal yang relevan dengan kebutuhan

masyarakat, kiranya PTAI perlu bekerja sama dengan stakeholder, terutama

pemerintah daerah, instansi lain yang terkait, badan swasta dan masyarakat

agar muatan lokal dapat diterima sebagaimana mestinya.

Fungsi muatan lokal dalam kurikulum

● Fungsi Penyesuaian

Perguruan tinggi berada dalam lingkungan masyarakat. Karena

itu program-program perguruan tinggi harus disesuaikan dengan

lingkungan Demikian pula pribadi-pribadi yang ada dalam perguruan

tinggi hidup dalam lingkungan, sehingga perlu diupayakan agar

pribadi dapat menyesuaikan diri dan akrab dengan lingkungannya.

● Fungsi Integrasi

Page 122: Sustaining Peace in Aceh

M. Nasir Budiman

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES108 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Mahasiswa merupakan bagian integral dari masyarakat, karena itu

muatan lokal harus merupakan program pendidikan yang be rfungsi

untuk mendidik pribadi-pribadi yang akan memberikan sumbangan

kepada masyarakat atau berfungsi untuk membentukdan mengi

ntegrasikan pribadi kepada masyarakat.

● Fungsi Perbedaan

Pengakuan atas perbedaan berarti pula memberi kesempatan bagi

pribadi untuk memilih apa yang diinginkannya. Karena itu muatan

lokal harus merupakan program pendidikan yang bersifat luwes,

yang dapat memberikan pelayanan terhadap perbedaan minat dan

kemampuan mahasiswa. Ini tidak berarti mendidik pribadi menjadi

orang yang individualistik tetapi muatan lokal harus dapat berfungsi

mendorong pribadi ke arah kemajuan sosialnya dalam masyarakat.

Terdapat 4 Landasan Demografik, Keindahan, Bangsa dan Negara

Indonesia terletak pada keanekaragaman pola kehidupan dari beratus-

ratus suku bangsa yang tersebar di berpuluh-puluh ribu pulau dari

Sabang sampai dengan Merauke. Kekaguman terhadap bangsa dan negara

Indonesia telah dinyatakan oleh hampir seluruh bangsa di dunia, karena

keanekaragaman tersebut dapat dipersatukan oleh falsafah hidup bangsa

yaitu Pancasila. Keanekaragaman tersebut bukan saja ada pada bidang

budayanya saja, tetapi juga pada keadaan alam, fauna dan floranya serta

kehidupan sosialnya. Semuanya itu merupakan dasar yang sangat penting

dalam mengembangkan muatan lokal.

Selain landasan-landasan pemikiran tersebut di atas, pengembangan

muatan lokal juga didorong oleh kenyataan yang menunjukkan bahwa

banyak mahasiswa Perguruan tinggi Dasar terpaksa harus meninggalkan

bangku perguruan tinggi yang antara lain disebabkan oleh keadaan sosial

ekonomi orang tua mahasiswa, kurang sesuainya kurikulum perguruan

tinggi dengan kebutuhan mahasiswa.

Pengembangan muatan lokal

Bahan muatan lokal dapat tercantum pada intra kurikuler, makalah

ini menawarkan mata kuliah metodologi Penelitian berbasis Participatory

Page 123: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal dalam Menjaga Keberlangsungan Perdamaian di Aceh

109Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Action Research dan ketrampilan, serta Bahasa Arab dan Bahasa Inggris.

Sedang bahan muatan lokal yang dilaksanakan secara ekstra kurikuler

bahan dikembangkan dari pola kehidupan dalam lingkungannya, termasuk

”pola budaya damai”.

Karena bahan muatan lokal sifatnya mandiri dan tidak terikat oleh

Kementerian Agama Jakarta, maka peranan dosen dalam melaksanakan

proses pembelajaran dalam muatan lokal ini sangat menentukan . Untuk

pengembangannya, langkah-langkah yang dapat ditempuh :

1. Menyusun Perencanaan Muatan Lokal

Dalam pelaksanaan proses pembelajaran selalu menyangkut berbagai

unsur atau komponen. Menyusun perencanaan muatan lokal juga akan

menyangkut berbagai sumber, tenaga pengajar, metode, media, dana dan

evaluasi.

Merencanakan bahan muatan lokal yang akan diajarkan antara lain

dengan:

a. Mengidentifikasikan segala sesuatu yang mungkin dapat dijadikan

bahan muatan lokal

b. Menyeleksi bahan muatan lokal dengan kriteria sebagai berikut :

1) Sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan peserta didik.

2) Tidak bertentangan dengan Pancasila dan aturan adat yang

berlaku.

3) Letaknya terjangkau dari perguruan tinggi.

4) Ada nara sumber baik di dalam maupun di luar perguruan

tinggi.

5) Bahan/ajaran tersebut merupakan ciri khas daerah tersebut.

c. Menyusun SAP yang bersangkutan

d. Mencari sumber bahan yang tertulis maupun yang tidak tertulis

e. Mengusahan sarana/prasarana yang relevan dan terjangkau.

2. Pembinaan Muatan Lokal

Pembinaan perlu ditangani oleh tenaga-tenaga yang profesioanal dan

dilakukan secara kontinyu, karena dalam pelaksanaan di lapangan kadang-

kadang mahasiswa lebih mahir dari pada dosennya, karena mahasiswa

sudah biasa melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dimaksud, misalnya

Page 124: Sustaining Peace in Aceh

M. Nasir Budiman

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES110 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

anak petani, anak pengrajin, bengkel, peternak, anak ulama dan sebagainya,

yang akibatnya akan terjadi pembuangan tenaga, waktu dan biaya.

3. Pengembangan Muatan Lokal

Ada dua arah pengembangan dalam muatan lokal, yaitu :

a. Pengembangan untuk jangka panjang

Agar para mahasiswa dapat melatih keahlian dan keterampilan

yang sesuai dengan harapan yang nantinya dapat membantu

dirinya, keluarga, masyarakat dan akhirnya membantu

pembangunan agama dan keagamaan serta nusa dan bangsanya.

Oleh karena itu perkembangan muatan lokal dalam jangka

panjang harus direncanakan secara sistematik oleh perguruan

tinggi, keluarga, dan masyarakat setempat dengan perantara

pakar-pakar pada instasi terkait baik negeri maupun swasta.

Untuk muatan lokal di perguruan tinggi masih bersifat concentris,

kemudian dilaksanakan secara kontinyu di perguruan tinggi dan

akan terjadi konvergensi antar perguruan tinggi.

b. Pengembangan untuk jangka pendek

Perkembangan muatan lokal dalam jangka pendek dapat dilakukan

oleh perguruan tinggi setempat dengan cara menyusun kurikulum

muatan lokal kemudian menyusun SAP-nya dan direvisi setiap

saat.

Dalam Pengembangan selanjutnya ada dua hal yang perlu diperhatikan,

yaitu:

1. Perluasan muatan lokal

Dasarnya adalah bahan muatan lokal yang ada di daerah itu yang

terdiri dari berbagai jenis jenis muatan lokal misalnya : pertanian,

kalau sudah dianggap cukup ganti peternakan, perikanan,

kerajianan dan sebagainya. Siswa cukup diberi dasar-dasarnya saja

dari berbagai muatan lokal sedang pendalamanya dilaksanakan

pada periode berikutnya.

2. Pendalaman muatan lokal

Dasarnya adalah bahan muatan lokal yang sudah ada kemudian

diperdalam samapai mendalam, misalnya masalah pertanian

Page 125: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal dalam Menjaga Keberlangsungan Perdamaian di Aceh

111Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dibicarakan dan dilaksanakan mengenai bagaimana cara

memupuk, memelihara, mengembangkan, pemasarannya dan

sebagainya. Oleh karena itu pelajaran ini diberikan pada siswa

yang telah dewasa.

Berhasil atau tidaknya pengembangan di perguruan tinggi tergantung

pada:

1) Kreativitas dosen.

2) Kesesuaian program

3) Ketersediaan sarana dan prasarana

4) Cara pengeloaan

5) Kesiapan mahasiswa

6) Partisipasi masyarakat setempat

7) Pendekatan pimpinan perguruan tinggi dengan nara sumber dan

instansi terkait

Adapun cara menentukan bahan pelajaran muatan lokal untuk satu

bidang studi dapat dilaksanakan dengan empat cara :

1. Bagi bidang studi yang sudah punya SAP, disusun pokok bahasan/

sub pokok bahasan, kemudian dipilih bahan mana yang berkriteria

muatan lokal.

2. SAP yang telah dipilih, sesuaikan dengan pola kehidupan

masyarakat.

3. Pola kehidupan dalam lingkungan alam, dijadikan sumber sebagai

SAP yang mungkin sesuai dengan SAP atau tidak sesuai dengan

SAP yang telah ada.

4. Pola kehidupan dalam lingkungan alam, dipilih unsur-unsurnya

yang perlu dimasukan dalam program pendidikan kemudian

dibuat SAP.

Ruang lingkup

Ruang lingkup muatan lokal adalah sebagai berikut:

1. Lingkup Keadaan dan Kebutuhan Daerah. Keadaan daerah adalah

segala sesuatu yang terdapat di daerah tertentu yang pada

dasarnya berkaitan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial

Page 126: Sustaining Peace in Aceh

M. Nasir Budiman

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES112 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

ekonomi, dan lingkungan sosial budaya. Kebutuhan daerah adalah

segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di suatu daerah,

khususnya untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf

kehidupan masyarakat tersebut, yang disesuaikan dengan arah

perkembangan daerah serta potensi daerah yang bersangkutan.

Kebutuhan daerah tersebut misalnya kebutuhan untuk:

a. Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban

daerah

b. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan di bidang

tertentu, sesuai dengan keadaan perekonomian daerah

c. Meningkatkan penguasaan bahasa Inggris untuk keperluan

sehari-hari, dan menunjang pemberdayaan individu dalam

melakukan belajar lebih lanjut (belajar sepanjang hayat)

d. Meningkatkan kemampuan berwirausaha

2. Lingkup isi/jenis muatan lokal, dapat berupa: ideologi dan bahasa

daerah, Bahasa Inggris, kesenian daerah, keterampilan dan

kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai

ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap

perlu oleh daerah yang bersangkutan.

Pengembangan mata kuliah muatan lokal

Pemberlakuan KTSP membawa implikasi bagi perguruan tinggi

dalam melaksanakan KBM sejumlah mata kuliah, dimana hampir semua

mata kuliah sudah memiliki Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.

Sedangkan untuk Mata kuliah Muatan Lokal yang merupakan kegiatan

kurikuler yang harus diajarkan di kelas tidak mempunyai Standar

Kompetensi dan Kompetensi Dasarnya. Hal ini membuat kendala

bagi perguruan tinggi untuk menerapkan Mata kuliah Muatan Lokal.

Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk mata

kuliah Muatan Lokal bukanlah pekerjaan yang mudah, karena harus

dipersiapkan berbagai hal untuk dapat mengembangkan Mata kuliah

Muatan Lokal. Ada dua pola pengembangan Mata kuliah Muatan Lokal

dalam rangka menghadapi pelaksanaan KTSP. Pola tersebut adalah:

Page 127: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal dalam Menjaga Keberlangsungan Perdamaian di Aceh

113Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pengembangan Muatan Lokal Sesuai dengan Kondisi Perguruan tinggi

Agama Islam saat ini.

Langkah-langkah pengembangan Mata kuliah Muatan Lokal bagi PTAI

yang perlu dikembangkannya, antara lain adalah:

1. Analisis Mata kuliah Muatan Lokal yang ada di perguruan tinggi.

Apakah masih layak dan relevan Mata kuliah Muatan Lokal

diterapkan di Perguruan tinggi? Ini kemudian dikelompokkan ke

dalam mata kuliah yang ada.

2. Substansi mata kuliah muatan lokal ditentukan oleh satuan

pendidikan, tidak terbatas pada mata kuliah keterampilan. Muatan

lokal merupakan bagian dari struktur dan muatan kurikulum

yang terdapat pada Standar Isi di dalam kurikulum tingkat satuan

pendidikan.

3. Keberadaan mata kuliah muatan lokal merupakan bentuk

penyelenggaraan pendidikan yang tidak terpusat, sebagai upaya

agar penyelenggaraan pendidikan di masing-masing daerah lebih

meningkat relevansinya terhadap keadaan dan kebutuhan daerah

yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan

mutu pendidikan nasional sehingga keberadaan kurikulum

muatan lokal mendukung dan melengkapi kurikuiurn nasional.

4. Muatan lokal merupakan dimasukkan sebagai mata kuliah

lainnya, sehingga satuan pendidikan harus mengembangkan

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis

muatan lokal yang diselenggarakan. Satuan pendidikan dapat

menyelenggarakan satu mata kuliah muatan lokal setiap semester.

Ini berarti bahawa dalam satu tahun satuan pendidikan dapat

menyelenggarakan dua mata kuliah muatan lokal.

Penutup

Kurikulum muatan lokal ialah program pendidikan yang diisi dan

media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam dan lingkungan

budaya serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari oleh mahasiswa

didaerah mereka. Kurikulum muatan lokal pada hakikatnya diberikan

Page 128: Sustaining Peace in Aceh

M. Nasir Budiman

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES114 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana

tercantum didalam GBHN.

Sebagai salah satu kurikulum baru dalam dunia pendidikan, Muatan

lokal dalam pembelajarannya banyak ditemukan kendala dan rintangan

yang ditemukan antara lain dari segi: peserta didik, guru, administrasi,

sarana dan prasarana, bahkan kurikulumnya sendiri. Tetapi kendala

tersebut lambat laun dapat diminimalisir dengan berbagai metode antara

lain dengan mengadakan pelatihan bagi para pengajar, lebih memantapkan

Syllabi dan SAP, serta dilaksanakan evaluasi yang berkesinambungan oleh

pihak yang profesional seperti Pusat Penjaminan Mutu, baik di tingkat

internal maupun eksternal.

Muatan lokal perlu untuk diberikan kepada peserta didik agar peserta

didik lebih mengetahui dan mencintai budaya daerahnya sendiri, berbudi

pekerti luhur, mandiri, kreatif dan profesional yang pada akhirnya dapat

menumbuhkan rasa cinta kepada budaya tanah air serta memungkinkan

mengawal keberlangsungan perdamaian di Aceh.

Page 129: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal dalam Menjaga Keberlangsungan Perdamaian di Aceh

115Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

DAFTAR PUSTAKA

Mohammad Ali. Pengembangan Kurikulum Sekolah.

Nana Syaodih Sukmadinata. Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum.

Nasution, S. Asas-Asas Kurikulum.

_______ . Kurikulum dan Pengajaran.

Subandijah. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum.

Nana Sudjana. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum.

Hamid Syarif, A. Pengenalan Kurikulum.

_______ . Pengembangan Kurikulum.

Iskandar Wiryokusumo. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum.

Mulyasa, H.E. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

Masnur Muslich. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) - Dasar Pemahaman dan Pengembangan.

_______ . KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) - Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.

Oemar Hamalik. Kurikulum dan Pembelajaran.

Wina Sanjaya. Kurikulum Dan Pembelajaran (Teori & Praktek KTSP).

Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Madrasah.

Muhaimin. Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Dakir, H. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum.

Suryosubroto, H. Tatalaksana Kurikulum.

Page 130: Sustaining Peace in Aceh
Page 131: Sustaining Peace in Aceh

117

Promoting Peace Education Through Multicultural Education in AcehLessons Learned from the U.S. Context

Muhammad ThalalResearcher at LKAS Banda Aceh, lecturer at IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Master of Education in Curriculum and Instruction from Texas A&M University, USA

Prologue

Aceh has been in an armed conflict for more than 30 years between

the Free Aceh Movement and the Government of Indonesia until eventually

the peace accord took place in Helsinki, Finland, on August 15, 2005. Barron

(from Conciliation Resources website) states that the conflict has killed

an estimated of 15,000 life, displaced over 100,000 people and caused a

widespread trauma to conflict survivors. Until the first half of 2003 when

the martial law was in effect, an estimated of 880 schools and education

facilities were closed due to damage. In addition, other important facilities

such as village health clinics, water and electricity infrastructures and

transportation were also directly damaged by the conflict.

Conflict is also claimed as the main caused to increase poverty

rates in the region. According the Barron, the poverty rates increased

significantly from 14.8 per cent in 1998 to 28.4 per cent in 2004, and by

2005, the poverty rates in rural areas of Aceh have achieved 36.2 per cent.

Aceh is one of the poorest provinces in Indonesia despite its large natural

resources including oil and gas reserves. Conflict and poverty have become

Page 132: Sustaining Peace in Aceh

Muhammad Thalal

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES118 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

the causal factor in reducing the educational opportunity of children in

Aceh Province (Thalal, 155).

Efforts to promote peace education in Aceh has been started as

early as 2002 where a group of academics and activists created a peace

curriculum grounded in the Islamic core peace beliefs and rooted in the

Acehnese social and cultural values. The curriculum is targeted mainly

those under-educated rural Acehnese who experienced violence, inequity

and trauma during the conflict. Six basic principles form the foundation

for the curriculum were also employed namely: introspection and sincerity,

rights and responsibilities, conflict and Violence, democracy and justice,

plurality of creation, and paths to peace (Wells, 2002).

Aceh Province is a multi-ethnic province since it is inhabited by people

of different backgrounds and spoken languages. Although the majority

of population is Acehnese and main religion is Islam, other population is

also occupying the rural areas of Aceh Province such as Gayo, Javanese,

Alas, Singkil, Tamiang, Simeulue and Chinese (Thalal, 151). Hence, it is

essential that the promotion of peace education in Aceh Province regard

the background differences of all its inhabitants.

Despite the current effort to promote peace education by integrating

local values and religious beliefs (e.g. Wells, 2002), this paper is intended

to seek the possibility of promoting peace education in Aceh Province by

employing the multicultural education concept as it was applied before in

the United States. The concept reviewed is based on James Banks’ Handbook

of Research on Multicultural Education published in 2004. The discussion

is also supported by other relevant references in multicultural education.

The concept of multicultural education: bringing concept into practice

The purpose of multicultural education is to reform educational

domains so that students from diverse racial, ethnic, and social backgrounds

and also gender will achieve an equal opportunity in education (Banks,

2004, 3). This reform includes institutional changes in the curriculum, the

teaching materials, teaching and learning styles, the attitudes, perceptions,

behaviors, and the goals, norms and culture of the school.

Page 133: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Promoting Peace Education Through Multicultural Education in Aceh

119Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Banks (2004, 22) also conceptualizes five multicultural education

dimensions which are (1) content integration, (2) the knowledge construction

process, (3) prejudice reduction, (4) equity pedagogy, and (5) empowering

school culture and social culture. These dimensions are essential concepts

to explain better understanding about multicultural education theories. In

addition, Banks emphasized at the end of his research review that practice is

the most important action to be taken after its theories were conceptualized

and formulated. Multicultural education should be implemented broadly in

order to make meaningful change within the educational institutions.

In his other work, Banks (2002) states that multicultural education

is a reform movement to do some changes within educational institutions

to achieve acquaintance and understanding that will reduce pain and

discrimination faced by students of color (in the U.S. context) due to

their racial, physical and cultural differences. Similar to Banks, Cumming-

McCann (2003, 11) agrees that bringing multicultural education into

practice is very important to students so they will feel more confident

during the educational process. Implementing multicultural education

effectively will consume time, energy and a lot of work, but this task will

result in providing an opportunity for students of color to see the world as

a fair and equitable place.

It is clear that schools should be reformed in terms of emphasizing

multicultural education within the curriculum, teaching materials and

behaviors. It seems easy in concepts and theories, but when we are going

to implement these in the real life situation, practice will be very difficult.

Teaching in a multicultural class consisting a variety of ethnics and colors

is complicated, especially if teachers are not aware about multicultural

education issues. For instance, are they going to say during the teaching

and learning process that White is good and Black is evil? This will be

very painful to non-white students and will develop prejudice and hatred

among students.

Ladson-Billings (2004, 53) comes with some forms of multiculturalism

such as conservative multiculturalism, liberal multiculturalism, and left-

liberal multiculturalism. By using the works of McClaren (1994) and King

Page 134: Sustaining Peace in Aceh

Muhammad Thalal

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES120 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

(2001), she points out that all forms are intended at different agendas. For

instance, although various ethnic groups have been represented in school

text and curriculum, the way people being represented may be conservative

or marginalizing without eliminating the privilege enjoyed by the dominant

class.

It is imperative to take into account five approaches in multicultural

education based on Sleeter and Grant’s classification which are: 1) teaching

the exceptional and the culturally different; 2) human relations; 3) single-

group studies to acquire knowledge, awareness, respect, and acceptance

of one group at a time; 4) multicultural education and; 5) education that

is multicultural and social reconstructionists (Gay, 2004, 42-43). Gay

(2004, 44) also states that the emphasis on critical analysis, knowledge

reconstruction, social transformation, and personal empowerment are

common themes in all approaches to multicultural education. She concludes

that multicultural education should be as interdisciplinary, integrative,

inclusive, comprehensive, transformative, liberative, and celebratory

enterprise. On the other hand, Bennett (2001, 175) describes a conceptual

framework illustrating the rich field of multicultural education in which she

categorizes 12 genres of research within four clusters: curriculum reform,

equity pedagogy, societal equity, and multicultural competence.

Critical Race Theory (CRT): Learning from the cases in the United States

Banks (2004, 57-58) explains that one of the theoretical frameworks

in the field of multicultural education is Critical Race Theory (CRT). In

this theory, one is not necessarily privileging race over class, gender or

other identity category. CRT includes some concepts: 1) the proposition

that racism is normal, ordinary, and natural; 2) the use of storytelling to

challenge racial oppression and; 3) the concept of interest convergence.

CRT has created a new way to analyze current practices in education by

connecting issues like school funding and school desegregation. Ladson-

Billings (2004, 61) emphasizes that CRT can be used as a theoretical tool for

revealing many types of inequity and social injustice.

Banks (1995, 391) also underlines that multiculturalism and

Page 135: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Promoting Peace Education Through Multicultural Education in Aceh

121Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

multicultural education have different meanings. Multiculturalism is “a

term often used by the critics of diversity to describe a set of educational

practices they oppose. Whereas multicultural education is an idea,

educational reform and a continuing process that never ends within a

democratic and pluralistic society. The Critical Race Theory (CRT) has been

utilized by Solorzano, Ceja & Yosso (2000) as a framework to examine the

racial microagressions [subtle forms of racism] and how they influence the

campus racial climate. The study reveals that racial microagressions exist

in both academic and social spaces in the campus environment and have a

negative impact on the campus racial climate.

Awareness of language differences in multicultural education

Minami and Ovando (2004, 576) describe that children of many

bilingual and multilingual communities have experienced a shift to English

as the dominant language of the United States. The language shift is so

rapid that people of color cannot maintain informal communication in their

heritage languages even within the scopes of the family and their children

start to lose their native tongues or use the languages in the diglossic

situations.

In addition, Minami and Ovando (2004, 580-583) also stress the

importance of preservation of students of color’s languages and cultures

by empowering students of color, their parents, and their community.

Empowering students of color through bilingual education plays a crucial

role in supporting students of color maintain their ethnic identity while

at the same time introducing White students to languages and cultures of

students of color. In addition, parental and community participation in

students of color’s education will promote their achievement.

In supporting the above, Alba, Logan, Lutz, & Stults (2002) find in their

research that as of 1990, the rates of only English for the third generation

immigrants of a number of groups suggest that Anglicization occurred

almost similarly for Asians as it did for the Europeans who came to the U.S.

in the early twentieth century. However, the Anglicization is slower among

the descendants of Spanish speakers. Their research also shows that the

Page 136: Sustaining Peace in Aceh

Muhammad Thalal

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES122 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

majority of third-and later-generation children speak only English at home,

which means that they will grow up to be English monolinguals with little

or no knowledge of their mother tongues.

Realizing the threat of stereotype in classroom diversity

Besides taking into account the language differences, stereotype is a

very important term to be regarded in multicultural education. It is a threat

and so dangerous to peace education. Steele (2004, 686) asserts stereotype

threat as a situational threat that can affect the members of any group

about whom negative or bad stereotype exists. In addition, the threat of

stereotypes can be sharply felt and hampers the academic achievement

of group members (p. 683). Steele’s definition of stereotype threat is as

follows: “the event of a negative stereotype about a group to which one

belongs becoming self-relevant, usually as a plausible interpretation for

something one is doing, for an experience one is having, or for a situation

one is in, that has relevance to one’s self definition.”

For instance, Steele explains stereotype threats experienced by

women in performing Math and African Americans on standardized tests.

His findings show that the gender difference conditions did not reduce

women’s performance in math (p. 689). On African American standardized

tests, he finds strong evidence of stereotype threat that Black greatly

underperformed White in the diagnostic condition but equaled them in the

nondiagnostic condition (p. 690). Therefore, stereotype threat is assumed to

have an everlasting effect on their academic achievement. As a support to

Steele, Aronson (2004) emphasizes that everyone is vulnerable to stereotype

threat. Studies indicate similar effects for women on math tests, Latinos on

verbal tests, and elderly on tests of short-term memory. He adds that even

groups who carry no historical stigma of inferiority can be impaired if one

arranges the situation to their disadvantage.

Schools, colleges, and universities in the United States are becoming

increasingly diverse due to the growth of people of color. Students come

from various linguistic, cultural, and educational backgrounds create a big

challenge for schools in providing equitable classrooms. Diverse students

Page 137: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Promoting Peace Education Through Multicultural Education in Aceh

123Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

with different previous academic achievement make it very likely that they

will form a social ranking and once this status has formed, it has negative

consequences for behavior and learning (Cohen and Lotan, 2004, 737-738).

Caruthers (n.d.) suggests some action steps to improve the quality of

teacher and student interactions that range from exploring, understanding,

and acting. During the exploring phase, the teacher should emphasize the

belief that all students can learn. In understanding phase, the teacher uses

curriculum development skills to help students acquire and use knowledge

for instance by incorporating multicultural contents. Finally, in the acting

phase, the teacher focuses on learning, application, and assessment

strategies that provide opportunities to students to demonstrate their skills

in multiple settings.

Employing multicultural education to promote peace education in Aceh

Province

Meirio (2007) argues that peace education is urgent to be implemented

in Aceh Province especially after a 30 year of conflict in order to guarantee the

true peace. He targets the peace education into three community segments

namely ex-combatants, government officers especially military officers,

and civilian. He divides civilian into children and adult. Peace education

for adults can be held in non formal education premises such as meunasah

(prayer hall) and village halls. However, Meirio does not indicate further the

way to build peace education for children on schools. Therefore, it opens

the path in this section to employ multicultural education in promoting

peace education in Aceh Province especially to school students.

Based on Gay’s description and Bennett’s framework, multicultural

education can be viewed as a rich field of study that still requires many

researches and works that are not limited in the U.S. scope as it was reviewed

earlier in this paper, but in the whole world. As for teacher in a multicultural

nation of Indonesia, especially the Aceh Province, there is a necessity to

learn from the U.S. multicultural education practices in order to maintain

tolerance and intergroup harmony in Aceh Province after a long term of

armed conflict.

Page 138: Sustaining Peace in Aceh

Muhammad Thalal

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES124 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Teacher in Aceh Province will need a tool to address ethnicity and

ethnic differences in classroom. It is possible that by utilizing the Critical

Race Theory (CRT), a teacher will be able to create a dynamic classroom that

challenges the old canon, stereotypes and dogmas. CRT will help teacher

to understand the multiple intersections of inequality and ethnicity and

improve a critical awareness in teacher and eventually in students. It will

result in the rise of awareness to respect other human being regardless their

looking as a member of specific ethnic group such as Aceh, Gayo or Singkil.

As a matter of fact, Steele (2004) seems to be right when he stated that

stereotypes are widely disseminated throughout the society. Stereotypes

are not also labeled to specific ethnicity but also to specific gender. Based

on own experience during high school time in Aceh, a male teacher always

tells classroom that female could not assume leadership in the society such

as governor, president and so forth because they are inferior to male. Before

the 2004 presidential election in Indonesia, some politicians postulated

religious verses from the Quran to deny a female presidential candidate.

When the writer was studying at Texas A&M University in the U.S. a male

teacher used to say that if Hillary Clinton is elected president, he will move

to Canada because the U.S. will be a weak country. It is not sure whether

his statement based on his doubt on Hillary’s capacity as professional or

because of Hillary’s gender. Anyway, based on the multicultural education

concept it is imperative to reduce the threats caused by stereotyping because

stereotype threats affect one’s performance.

From the need to reduce or if possible to eliminate stereotypes, peace

education must also take into account the maintenance of vernacular.

Maintaining the vernacular or first language is essential in multicultural

education. The shift to a dominant language is occurring in Aceh Province

since Bahasa Indonesia was pronounced as the only official and educational

language for the whole nation. The fact shows that Acehnese children

started to switch to the Bahasa Indonesia in their daily communication.

Frankly, most Acehnese of the old days are bilingual by nature since they

speak both Acehnese and Bahasa Indonesia. But currently, the vast majority

of Acehnese children start to maintain only the national language and the

Page 139: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Promoting Peace Education Through Multicultural Education in Aceh

125Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

vernacular is soon will be forgotten. The loose of vernacular is a sign to a

loose of self-identity which will lead to another conflict in the future.

Cohen and Lotan (2004, 742-746) suggest two ways of “status

treatment” to create equal-status interaction in the classrooms and minimize

the problem of unequal access and learning for low-status students. This

status treatment seems appropriate to be applied in Aceh as well. The first

way is changing expectations for competence by utilizing multiple ability

treatment that highlights specific skills and abilities students need for their

particular tasks rather than assuming that all students can be ranked along a

single dimension of intelligence, and by assigning competence to low-status

students. Both methods will enhance the frequency of activity of low-status

students in their groups. The second way is transforming the classroom by

fostering cooperative learning among students, broadening the curriculum,

utilizing multiple intellectual abilities, and conducting group and individual

performance assessment.

Epilogue

As diversity is on the rise in Aceh Province, a school classroom is a

reflection of its population. Building peace education without taking into

account the diversity of current population in Aceh is likely to succeed

slowly. It should be agreed with Cohen and Lotan (2004) that classroom

is a powerful social system that can create status order much stronger

than race in affecting behavior in groups. Teachers should not assume that

specific students have low social status among their classmates since this

assumption will lower teacher’s expectations on their academic success and

will not help in sustaining the peace education in Aceh Province.

Page 140: Sustaining Peace in Aceh

Muhammad Thalal

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES126 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

REFERENCES

Alba, R., Logan, J., Lutz, A., & Stults, B. Only English by the third generation? Loss and preservation of the mother tongue among the grandchildren of contemporary immigrants. Demography, 39 (3), 467-484. Retrieved on March 16, 2008, from Project MUSE, 2002

Aronson, J. (2004). Closing achievement gaps: The threat of stereotype. Educational Leadership, 62 (3), 14-19.

Banks, J.A. Multicultural education and curriculum transformation. The Journal of Negro Education, 64 (4), 390-400. Retrieved on February 2, 2008, from JSTOR database,1995

Banks, J. A. An introduction to multicultural education. Boston: Allyn and Bacon, 2002

Banks, J. A. Multicultural education: Historical development, dimensions, and practice. In J.A. Banks & C. A. M. Banks (Eds.), Handbook of research on multicultural education (pp. 3-29). San Francisco: Jossey-Bass, 2004

Barron, Patrick. (n.d.). Managing the resources for peace: Reconstruction and peacebuilding in Aceh. Conciliation Resources, retrieved on May 20, 2010 from http://www.c-r.org/our-work/accord/aceh/reconstruction.php.

Bennett, Christine. Genres of research in multicultural education. Review of Education Research, 71 (2), 171-217. Retrieved on February 2, 2008, from Sage Journals database, 2001

Caruthers, L. (n.d.). Classroom interactions and achievement. Retrieved on March 19, 2008, from http://www.mcrel.org/PDF/Noteworthy/Learners_Learning_Schooling/loycec.asp.

Cohen, E. G., & Lotan, R. A. Equity in heterogeneous classrooms. In J.A. Banks & C. A. M. Banks (Eds.), Handbook of research on multicultural education (pp. 736-750). San Francisco: Jossey-Bass, 2004

Cumming-McCann, Allison. Multicultural education: Connecting theory to practice. Focus on Basics, 6B, 9-12, 2003

Gay, Geneva. Curriculum theory and multicultural education. In J.A. Banks & C. A. M. Banks (Eds.), Handbook of research on multicultural education (pp. 30-49). San Francisco: Jossey-Bass, 2004

Page 141: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Promoting Peace Education Through Multicultural Education in Aceh

127Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Ladson-Billings, Gloria. New directions in multicultural education: Complexities, boundaries, and critical race theory. In J.A. Banks & C. A. M. Banks (Eds.), Handbook of research on multicultural education (pp. 50-65). San Francisco: Jossey-Bass, 2004

Meirio, Akbar. The urgency of peace education in Aceh. The Aceh Institute. Retrieved on May 20, 2010 from http://www.acehinstitute.org, 2007

Minami, M. & Ovando, C. J.. Language Issues in Multicultural Contexts. In J.A. Banks & C. A. M. Banks (Eds.), Handbook of research on multicultural education (pp. 567-588). San Francisco: Jossey-Bass, 2004

Solorzano, D., Ceja, M., & Yosso, T. Critical race theory, racial microagressions, and campus racial climate: The experiences of African American college students. The Journal of Negro Education, 69 (1/2), 60-73. Retrieved on February 2, 2008, from JSTOR database, 2000

Steele, C. M. A threat in the air: How stereotypes shape intellectual identity and performance. In J.A. Banks & C. A. M. Banks (Eds.), Handbook of research on multicultural education (pp. 682-698). San Francisco: Jossey-Bass, 2004

Thalal, Muhammad. The future of Acehnese children: Equity and access to primary schooling in Aceh province. At-Ta’dib 1(2), 150-159, 2009

Wells, Leah. Islamic peace education in Aceh. CommonDreams.org. Retrieved on May 20, 2010 from http://www.commondreams.org/views02/0718-08.htm, 2002, July 18

Page 142: Sustaining Peace in Aceh
Page 143: Sustaining Peace in Aceh

129

Karekteristik Kebudayaan Aceh dan Implikasinya Terhadap Kedamaian Hidup Masyarakat

Fuad Mardhatillah UY. TibaDosen tetap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Menyelesaikan Master dalam bidang Filsafat Pendidikan pada McGill University, Montreal, Canada

Pentingnya memahami suatu karakter dan identitas suatu etnis

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungghunya Allah Maha Mengenal dan Maha Mengetahui”. (Q.S. Alquran (49) :13)

Ayat di atas, adalah satu petunjuk Allah, menyangkut hal ikhwal alam

kodrat manusia dalam urusan bagaimana merajut dan membangun suatu

kehidupan bersama baik dalam konteks kehidupan antar individu maupun

antar kelompok masyarakat. Lebih tegasnya, di sini manusia harus dilihat

baik sebagai makhluk yang bersifat individual, yang memiliki egositas

(potensi dan kecendrungan untuk lebih mementingkan diri sendiri),

bersama sejumlah karakteristik individualnya yang juga saling berbeda

antara satu individu dengan individu lain. Maupun sebagai makhluk sosial

yang meniscayakan bahwa manusia tidak mungkin hidup sendiri-sendiri,

Page 144: Sustaining Peace in Aceh

Fuad Mardhatillah UY. Tiba

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES130 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

yang maka kemudian melahirkan kehidupan perkelompokkan, yang antara

satu kelompok dengan kelompok lain juga saling berbeda.

Dalam ayat tersebut, Tuhan memberi pedoman kepada manusia yang

berpikir, bahwa eksistensi makhluk manusia memiliki sifat-sifat, hukum-

hukum dan norma-norma yang secara kodrati melekat sebagai suatu

keniscayaan universal.

Konsekwensi logisnya, kehidupan manusia yang berkelompok-

kelompok itu mensyaratkan perlunya membangun relasi, interaksi,

komunikasi, interkoneksi dan jejaringan dan kerjasama, untuk kemudian

satu sama lain hendaknya menjadi saling mengenal, mengerti dan

memahami, bersama segala bentuk keharusan sosiologis (sociological-

must) lainnya, seperti keharusan tolong menolong, berkorban, toleransi dan

akomodasi. Karena hal-hal tersebut adalah sangat berperan penting dan

berguna dalam membangun dan membina suatu tata kehidupan bersama

yang harmonis, saling mengayom dan mendamaikan.

Maka, bahwa sifat eksistensial umat manusia yang niscaya hidup

secara berkelompok-kelompok dan satu sama lain memiliki aneka

perbedaannya masing-masing itu, baik secara formal, simbolik, substansial

maupun esensial, adalah sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan,

dipahami dan disadari sebagai sesuatu yang absah, wajar dan logis-rasional.

Perbedaan-perbedaan yang ada dalam dan antar kelompok itu merupakan

suatu hasil konstruksi historisitas sosial yang berlangsung secara alamiah,

dan terbangun melalui proses-proses rasionalitas, emosionalitas dan

spiritualitas tertentu, baik yang tumbuh di dalam kelompoknya masing-

masing, maupun saat mereka harus hidup berdampingan dengan berbagai

kelompok lain yang ada di sekeliling eksistensinya. Dan secara tak terelakkan

semua proses tersebut membentuk perbedaan-perbedaan antar kelompok,

yang terus terjadi sepanjang sejarah sejak kelahiran dan hingga terbentuknya

kelompok (etnis) itu sendiri. Kemudian semua produk historisitas sosial

itulah yang turun temurun diwariskan secara transgenerasional, dari satu

generasi ke generasi selanjutnya, sepanjang sejarah eksistensinya.

Dari realitas pengalaman sejarah kehidupan berkelompok yang

panjang ini, terbentuklah berbagai unsur alam pikiran dasar yang meliputi:

Page 145: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Karekteristik Kebudayaan Aceh dan Implikasinya Terhadap Kedamaian Hidup Masyarakat

131Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

world-view, common sense, kepercayaan, tata-nilai, upacara-upacara dan

prinsip-prinsip, system kebudayaan, mitologi, totemisme dan ritual. Semua ini

disepakati, dipercayai, dipegang-teguh dan diyakini secara bersama sebagai

kaedah-kaedah normatif yang mengikat dan mejadi elemen-elemen dasar

bagi konstruksi kehidupan bersama kekelompokan mereka. Kaedah-kaedah

normative ini, terkadang memiliki tingkat sakralitas tertentu, yang sangat

dipengaruhi oleh berbagai ajaran agama, latar filosofi kehidupan dalam

menata kehidupan bersama, yang kemudian dianggap agung, dimuliakan

dan muncul menjelma ke dalam dan mewarnai pola-pikir dan pola prilaku,

yang pada gilirannya menjadi kebiasaan kelompok, adat istiadat dan

kebudayaannya.

Oleh karenanya, faktor-faktor ethnografis yang saling berbeda antar

kelompok itulah yang kemudian mengisyaratkan perlunya jalinan hubungan

interaksional, yang satu sama lain harus melakukan aksi-aksi untuk saling

“kenal-mengenal,” yang hendaknya selalu dapat berlangsung secara kreatif,

inovatif dan produktif dari individu dan antar kelompok yang saling

berbeda-beda itu. Di sini, konteks interaksi kreatif, inovatif dan produktif

itu harus dipahami sebagai suatu kesediaan dan kerelaan, baik antar warga

dalam suatu kelompok etnis (ingroup relation), maupun antar kelompok

(outgroups relation). Di sini, setiap warga dan kelompok harus telah memiliki

dan menciptakan serbaneka cara atau jalan untuk mencari tahu secara

berkelanjutan, tentang seluk beluk satu sama lain, agar kemudian mereka

dapat saling “kenal-mengenal” tentang spesifikasi dan keunikan yang

dimiliki masing-masing kelompok, di luar kelompok dirinya sendiri.

Pada dasarnya, kesediaan untuk saling kenal-mengenal ini, hanyalah

suatu kegiatan saling belajar dan mempelajari belaka, tentang berbagai

keunikan masing-masing kelompok masyarakat etnis atau suku, yang

ternyata satu sama lainnya memang berbeda-beda dalam berbagai bentuk

perbedaan yang sangat variatif. Dari kegiatan belajar terhadap berbagai

bentuk perbedaan itu, diharapkan dapat menciptakan dan menumbuhkan

suatu kesadaran imajinatif, dimana setiap pribadi yang terpelajar itu mampu

selalu menyiapkan diri untuk bersedia memahami keberadaan orang-orang

lain dengan segala bentuk perbedaan yang berbeda dengan dirinya.

Page 146: Sustaining Peace in Aceh

Fuad Mardhatillah UY. Tiba

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES132 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Kesadaran semacam itulah yang oleh Elene Scarry disebut spontaneous

imaginative, yang secara fungsional digunakan untuk memahami, mengerti

dan menghargai keragaman yang terdapat dalam kelompok-kelompok

masyarakat. Jika banyak dari warga terpelajar, termasuk para local

genius nya suatu kelompok masyarakat, memiliki kapasitas spontaneous

imaginative ini, maka dapat dipastikan akan tercipta suatu kesalingan

timbal-balik dalam jalinan komunikasi dan interaksi sosial yang konstruktif

dalam menyusun, membangun, dan membina suatu kehidupan bersama

yang penuh pengertian dan mendamaikan.

Semua pemikiran di atas sungguh merupakan cita-cita ideal kehidupan,

yang menjadi hukum kodrat atau natural-law dari makhluk manusia, yang

di satu sisi menunjukkan kodrat egosentrisme yang memusatkan segala

kesadarannya untuk lebih cendrung pada pementingan diri keakuannya.

Darisini menumbuhkan sifat-sifat alamiah manusia yang sangat cinta pada

diri sendiri (egoistic).1 Namun, di sisi yang lain, manusia juga memiliki

dimensi sosiologis bersama dengan segala keharusan altruistiknya, yang

juga merupakan kodrat alamiahnya. Dari dua sisi kodrati manusia yang

terkesan bertentangan secara diametral ini, terciptalah gaya tarik-menarik

yang cendrung membentuk polarisasi ekstrim antar kedua dorongan

kodrati tersebut. Disini, dorongan egoisme individual tampaknya seringkali

mampu membuat berbagai keharusan altruistik itu menjadi terpinggirkan

dan bahkan ekstrimnya boleh jadi menjadi terabaikan sama sekali.

Oleh karena itu, dari kecendrungan kepada dorongan egositas

individualisme tersebut, membentuk berbagai kesulitan atau hambatan

internal-psychologis, baik dalam konteks psychologi individual maupun

1 Secara fenomenologis, bahwa pementingan dan bahkan pengagungan terhadap diriatau kelompok sendiri merupakan bagian dari ketaksadaran manusia yang seringkalimempengaruhi pola-pola nilai dan ideologi seseorang atau dalam lingkup yang lebihluas menjadi kesadaran suatu kelompok masyarakat etnis tertentu ketika ia berpikir,mempertimbangkandanbereaksidalammeresponsegalasesuatuyangberhubungandenganoranglain.Untukkajianfenomenologiterntangketaksadaranmanusiaini,bacamisalnya,AliceKasakoff,“LeviStrauss’IdeaofSocialUnconscious:TheProblemofElementaryandComplexStructuresinGitksanMarriageChoice,”dalamInoRossi,(ed.), The Unconscious in Culture, the Structuralism of Claude Levi Strauss in Perspective (NewYork:E.PDutton&Co,Inc,1974),143-165.

Page 147: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Karekteristik Kebudayaan Aceh dan Implikasinya Terhadap Kedamaian Hidup Masyarakat

133Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

psychologi komunal (kekelompokan) dalam membangun kesediaan setiap

dirinya, untuk selalu berkenan mencoba mempelajari, mengenali, memahami

dan menghormati orang lain, dan/atau lebih luasnya kelompok lain (respect

for others). Dalam lingkaran kesadaran yang lebih luas, kecendrungan

egositas itu berakumulasi menjadi kesadaran kelompok, dan selanjutnya

menjadi kesadaran ethnografis dari suatu kelompok rumpun etnis/bangsa.2

Ketika perihal hakikat jati-diri manusia seperti yang telah diutarakan

di atas dihubungkan dengan terjadinya berbagai konflik, pertikaian dan

bahkan permusuhan umat manusia, maka faktor-faktor dan elemen-elemen

kodrati dari eksistensi manusia itu perlu dan penting untuk dicermati,

ditelusuri, diteliti, dipelajari, dipahami dan dihargai sedemikian rupa,

baik dalam konteks hubungan seseorang dengan dirinya sendiri, maupun

dengan konteks kelembagaan kelompoknya (ingroup) dan dengan konteks

orang-orang di luar kelompoknya (outgroup).

Sebaliknya, dapat diyakini pula, bahwa harmoni yang misalnya

terbangun dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat, itu juga semestinya

dipahami sebagai adanya seperangkat world-view atau common sense yang

berlaku dan mengikat komitmen mereka dalam kebersamaan. Inilah yang

secara historis diturunkan untuk diterima, diwarisi, dipegang teguh secara

bersama oleh setiap warga suatu kelompok masyarakat sebagai tata-nilai,

karakter, sifat dan adat-istiadat. Dan kemudian digunakan sebagai patron

dalam membina suatu kelembagaan kehidupan bersama dalam kelompok

masyarakatnya.

Sementara adanya suatu harmoni dan kedamaian hidup berdampingan

2 Dalamkonteksberbagaikesulitanyangmungkinmuculdalammembinakesediaanuntukmemikirkanorangataukelompoklain,baikyangorang-orangdikenal(acquaintances)maupunyangtidakdikenal(foreigners)lain,adadeskripsidanilustrasimenarikyangpentingdibacadandirenungkan,sebutmisalnyabuahpikiranEleneScarry,“TheDifficultyofImaginingOther Persons” dalam EugeneWeiner, (ed.), The Handbook of Interethnic Coexistence, (NewYork:TheContinuumPublishingCompany,1998),40-62.Kesulitantersebutpotensialuntukkemudianberkembangmenjadidoronganmembencieksistensikelompokatauoranglain,yangseterusnyadapatmemuarakananekakekerasan.Untukmengatasikemungkinanekstrim tersebut, ia mengusulkan penting adanya semacam constitutional design, tempatdimanaspontaneous imaginativedapatberlangsungdanberkembang,dalammisalnyasuatukomunitasmasyarakatdisuatunegaraatauantarnegara/bangsa.

Page 148: Sustaining Peace in Aceh

Fuad Mardhatillah UY. Tiba

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES134 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dengan kelompok-kelompok lain yang ada di sekelilingnya, adalah juga hasil

yang diperoleh setelah mereka satu sama lainnya saling mampu menghargai

world view mereka masing-masing, bersama seluruh turunan rasional

dan irrasionalnya, seperti system mitos dan tabu. Maka dari situ tumbuh

semacam kesepahaman yang dapat secara bersama dirumuskan menjadi

tata-nilai, prinsip dan cita-cita universal, seperti keadilan dan kesejahteraan,

dalam konteks kehidupan bersama antara kelompok masyarakat.

Maka dapatlah disimpulkan bahwa keharmonisan hidup umat manusia

yang memiliki sifat-sifat individual dan social, selalu sangat ditentukan

oleh sejauhmana setiap individu, baik secara sendiri-sendiri maupun

bersama-sama, mampu menempatkan kepentingan individualnya secara

tepat, seimbang dan tidak berlebihan serta sebanding dengan keharusan

mempertimbangkan kepentingan orang-orang lain atau kelompok-

kelompok lain.3

Metodologi dan pendekatan dalam memahami karakter dan identitas.

Sebelum memahami “karakter” dan “identitas” suatu kaum, kiranya

perlu lebih dulu dijelaskan apa batasan pengertian (definisi) yang sebenarnya

terkandung dalam ke dua kosa-kata tersebut. Sehingga jelas apa focus dan

objek yang ingin dicermati dalam konteks kehidupan kolektif perkauman

(etnis), baik secara personal maupun komunal. Dalam hal ini, karakter dan

identitas yang ingin ditelusuri itu, adalah sangat berhubungan dengan

persoalan bingkai pola-nilai yang menyifati dan menandai keberadaan

suatu kaum, dalam segala aktivitas dan aktualitas kehidupannya yang

multi aspek. Ini berarti bahwa, ketika seseorang berada di tengah orang-

orang lain (ingroup maupun outgroup), baik secara sadar maupun tak-

sadar, semua ucapan dan tindakannya selalu berlangsung bersama segala

3 Problemketidak-seimbangandantarik-menarikantarkepentingankeakuandantuntutansocial inilah sering menjadi sumber masalah bagi munculnya suasana ketidak-damaiandalam kehidupan masyarakat, dan dalam konteks kekelompokan antar kelompok untukdapat hidup berdampingan secara damai dan salingmenguntungkan. Untukmencermatibagaimanasejarahimajinasikomunitasetnistertentudalammemahamikeberadaansuatukelompoklainyangadadisekelilingnya,bacamisalnya,Comaroff,Jean,Ethnography and the Historical Imagination (Oxford,SanFransisco:WestviewPress,1992).

Page 149: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Karekteristik Kebudayaan Aceh dan Implikasinya Terhadap Kedamaian Hidup Masyarakat

135Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

simbol dan substansinya, yang secara kolektif mencirikan sifat dan tanda

keberadaannya. Dengan demikian, sifat dan ciri yang dimiliki bersama itu

berlangsunglah proses identifikasi diri, bersama interpretasi dan interaksi

seseorang sebagai anggota dari suatu kaum atau kelompok masyarakat,

dalam menanggapi dan bertindak, dimana di dalamnya terdapat unsur-

unsur yang secara kolektif menjadi pengikat dan pemersatunya.4

Jadi batasan pengertian dari apa yang kita pahami dan sebut sebagai

karakter adalah, sifat-sifat atau watak-watak yang secara historis dimiliki para

warga suatu kaum. Sifat dan watak ini, pada awalnya tidak terbentuk begitu

saja, tetapi merupakan hasil yang terbentuk setelah adanya pertimbangan-

pertimbangan dan proses-proses rasionalitas betapapun dangkalnya. Maka

barangkali lebih banyak dipengaruhi oleh emosionalitas dan imagi-imagi

yang secara intriksik melekat dalam keinginan “ego-kolektif” suatu kaum.

Ini semua lantas membentuk semacam basic personality structure,5 dan

kemudian diwariskan secara transgenerasional.

Sifat dan watak yang terlahir dan terbentuk dari pertimbangan

dan proses-proses rasionalitas, emosionalitas dan imagi-imagi ini, secara

dominan kembali mempengaruhi pola-pikir dan pola manifestasinya dalam

peri-laku individu-individu dalam menyikapi berbagai suasana dan problema

hidup sehari-hari, dyang berjalan dalam rentangan sejarah eksistensinya

yang panjang, sehingga lepas dari segala kesadaran awal saat ia terbentuk

4 Melaluiperspektif teoriInteraksionisme Simbolis,dapatlahditegaskanbahwatindakansosialmerupakan tindakan individuyang lahirdarihasil tafsiran, tanggapandanperananseseorangyangsebelumnyatelahmemilikiwarisanpolaberpikirdancarabertindaktertentuyang kiranya sangat sulit untuk dirubah, tanpa adanya suatu pendekatan transformativetertentuyang tepat, yang lebihdulumampumemahamidanmempertimbangkanunsure-unsuresensialyangterkandungdifdalampoladancarayangtelahdiwariskanitu.Untuklebihlanjutbaca,misalnya,MargaretM.Poloma,(terj.),Sosiologi Kontemporer(Jogjakarta:YayasanSolidaritasGadjahMada,1984),268-278.5 Basic Personality Structure merupakansuatuentitaskepribadianyangtersusundariunsur-unsurkarakterdanidentitasyangterdapatdalampikiransetiapwargadarisuatukelompokmasyarakat etnis yang kiranya penting untuk dipahami. Namun, pemahaman itu bukandalamkontekspenaklukan, tetapi lebihdalamkonteksmembangunharmoni,yangdapatmenghindarkan kita dari kemungkinan-kemungkinan konflik yang seharusnya tak perluterjadi.Untuklebihdetilnya,bacamisalnya,PhilipK.Bock,Continuities in Psychological Anthropology, (SanFranscisco:W.H.FreemanCompany,1980),khususnya,85-95.

Page 150: Sustaining Peace in Aceh

Fuad Mardhatillah UY. Tiba

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES136 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dulu. Maka para warga suatu kaum yang datang kemudian tidak lagi merasa

perlu mengkritisinya, namun dipakai begitu saja baik dalam konteks

dirinya sendiri sebagai individu, maupun dalam konteks sebagai warga dari

perkaumannya (etnis).

Dengan adanya konsep pemahaman sifat dan watak individual para

warga dari suatu kaum seperti itulah, menuntut para outsiders untuk

berkenan memberikan pertimbagan, pengertian dan penghargaannya.

Karena ini merupakan hasil konstruksi sosial alamiah, yang boleh

jadi juga rasional, adalah salah satu faktor penting yang perlu dimiliki

dan dihayati lebih dulu, ketika suatu konstruksi kehidupan bersama

secara berdampingan dari berbagai etnis ingin dibangun. Meskipun

kita menyadari, ada berbagai kesulitan yang dimiliki para outsiders

untuk membayangkannya dan sekaligus bersedia mempertimbangkan.

Khususnya ketika para outsiders merasa memiliki kekuasaan, dimana

ia kemudian berkeinginan membangun hegemoni atas keberadaan

kelompok-kelompok lain yang ingin dikuasai.

Untuk menjelajahi dan lantas memahaminya, berbagai karakter dan

identitas etnografis keacehan dapat digunakan pendekatan semiotika

bahasa yang perlambangannya tersusun dalam berbagai proverb atau

dalam ungkapan lokal disebut Hadih Madja yang telah eksis sejak ratusan

lalu dan hingga kini masih diakui oleh masyarakat Aceh sebagai sesuatu

yang wajar atau benar. Hadih Madja ini adalah suatu ungkapan padat

dan singkat yang mengandung kebenaran umum atau pembenaran yang

memiliki filosofi hidup tersendiri, yang lahir dari suatu kesadaran tentang

suatu aspek kehidupan, setelah berlangsung dalam rentangan sejarah yang

panjang. Sehingga semua ungkapan itu tidak lagi dimungkinkan untuk

diketahui siapa sesungguh penggagas dan pengucap pertamanya. Namun,

secara etnografis, hadith madja ini telah diterima masyarakat Aceh sebagai

sebuah kebenaran dan pembenaran yang muatan dan isinya dapat memberi

gambaran tentang karakter dan identitas etnis Aceh. Jadi kandungannya

dapat dipahami sebagai sebuah warisan yang diturunkan secara turun

temurun, meskipun untuk sebagiannya, pada hari ini barangkali, sudah

tidak lagi diterima sebagai kebenaran yang perlu dipertahankan.

Page 151: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Karekteristik Kebudayaan Aceh dan Implikasinya Terhadap Kedamaian Hidup Masyarakat

137Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Tetapi secara umum, banyak dari Hadih Madja ini yang masih sangat

diterima oleh masyarakat Aceh sebagai diktum aksiomatik, yang seringkali

memberi justifikasi terhadap prilaku budaya, meskipun terkadang sangat

tidak rasional, atau sangat emosional, namun cukup dipandang wajar.

Hubungan timbal-balik antara karakter/identitas dan perdamaian

Jika karakter yang menjadi identitas budaya suatu etnis itu ditelusuri

implikasi nya terhadap penciptaan suasana kehidupan bermasyarakat,

tentu akan memperlihat suatu hubungan timbal-balik dan kausalitas yang

amat dekat dan potensial, baik bagi membangun masyarakat yang damai

ataupun sebaliknya yang merusak perdamaian. Sebut saja misalnya sikap

keras yang muncul dalam sikap-sikap yang militan dan ekstrim (ni bak sihet,

leubeh got roe, ni bak puteh mata leubeh got puteh tuleung, dll) yang jika

dihubungkan dengan cara-cara menyelesaikan konflik yang sering muncul

dalam masyarakat, tentu saja kekerasan kemudian cendrung digunakan

dalam upaya menyelesaikan pertikaian. Ini tentu saja besar pengaruhnya

bagi rusaknya suasana hidup yang aman dan damai. Demikian pula, karakter

budaya yang suka berterus-terang, atau blak-blakan yang terkadang dapat

pula membuat situasi menjadi tegang dan bermusuhan.

Akan tetapi, dalam budaya Aceh, sebenarnya juga telah ada suatu

mekanisme penyelesaian konflik dengan menggunakan kearifan lokal sebagai

jalan penyelesaian-nya. Dengan metoda ini, kebijakan lokal menggunakan

mekanisme pengakuan bersalah dan pembayaran konpensasi sebagai jalan

untuk meniadakan permusuhan yang berkelanjutan antara para pihak yang

bertikai. Terlihat disini, bahwa di satu pihak terdapat budaya kekerasan

dalam masyarakat, namun di pihak lain terdapat kearifan local yang coba

menengahi pertikaian masyarakat yang secara tradisional telah diterima

masyarakat tempo dulu sebagai suatu dispute settlement.

Jadi dapatlah disimpulkan disini, bahwa ada sejumlah karakter

budaya Aceh yang punya potensi untuk merusak suasana damai dalam

suatu hubungan pergaulan, disaat satu sama lain tidak cukup paham

karakter kebudayaan dari masing-masing pihak dan tidak arif dalam

mencari penyelesaian.

Page 152: Sustaining Peace in Aceh

Fuad Mardhatillah UY. Tiba

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES138 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Wali Nanggroe: sebuah alternatif pemersatu

Melihat pada konteks raison d’etre sebagai landasan keinginan

masyarakat Aceh terhadap institusi Wali Nanggroe, seperti yang tersebut

dalam UUPA (pasal 96, ayat 1), agaknya ada kebutuhan masyarakat Aceh

tentang perlunya lembaga yang berfungsi sebagai penjaga adat-istiadat, nilai-

nilai luhur kebudayaan dan sekaligus berfungsi sebagai lembaga pemersatu

masyarakat. Padahal dalam sejarah Aceh agaknya belum pernah dikenal

adanya lembaga semacam Wali Nanggroe ini. Yang pernah ada adalah

lembaga Qadhi Malikul Adil yang fungsinya lebih sebagai lembaga Yudikatif

yang punya wewenang untuk mendelegitimasi keputusan-keputusan politik

eksekutif (Sulthan).

Akan tetapi, lembaga Wali Nanggroe ini dipandang perlu keberadaannya

sekarang, setelah dirasakan adanya semacam ancaman memudar, melemah

dan bahkan cebdrung menghilangnya berbagai kekayaan adat dan budaya

Aceh di tengah budaya masyarakat Aceh hari ini, yang juga dirasa tidak

menyenangkan. Maka persoalannya adalah, sejauh mana fungsi lembaga

wali nanggroe dapat pula menjadi sebuah kekuatan yang berfungsi sebagai

perekat persatuan masyarakat Aceh dan sekaligus menjadi penjaga

perdamaian?

Page 153: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Karekteristik Kebudayaan Aceh dan Implikasinya Terhadap Kedamaian Hidup Masyarakat

139Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

DAFTAR PUSTAKA

Amin, S.M. Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh. Jakarta: Soerongan, 1956.

Bernard, H. Russel. Handbook of Methods in Cultural Anthropology. California: Altamira Press, 1998.

Carmejoole, P.J. Atjeh. Groningen, 1931.

Coakley, John. The Territorial Management of Ethnic Conflict. London: Frank Cass and Co. Ltd., 1993.

Comaroff, Jean. Ethnography and the Historical Imagination. Oxford, San Fransisco: Westview Press, 1992.

Flynn, Pierce J. The Ethnomethodological Movement, Sociosemiotic Interpre-tations. New York: Walter de Gruyter & Co, 1991.

Forbes, H.D. Ethnic Conflict: Commerce, Culture, and the Contact Hypo-thesis. New Haven. London: Yale University Press, 1997.

Fukuyama, Francis. The End of History and the Last Man. New York: the Free Press, 1992.

Gellner, Ernest. Nations and Nationalism. Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983.

Ra’anan, Uri, et.al., (eds.), State and Nation in Multi-ethnic Societies. New York: Manchester University Press, 1991.

Reid, Anthony J.S. The Contest of North Sumatra. Kuala Lumpur: Univer-sity of Malaya Press.

Said, Muhammad. Centuries Along with the Acehnese History. Medan, 1961.

Siddiqi, Mazheruddin. The Quranic Concept of History. Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965.

Stavenhagen, Rudolfo. Ethnic Question: Conflict, Development and Human Rights. Tokyo: United Nation University Press, 1990.

Tiskov, Valery A., et.al, (eds.), Ethnicity and the Power in the Contemporary World. Tokyo: United Nation University Press, 1994.

Weiner, Eugene. The Handbook of Interethnic Coexistence. New York: Continuum Publishing Company, 1998.

Wicker, Hans-Rudolf. Rethinking Nationalism and Ethnicity, the Struggle for

Page 154: Sustaining Peace in Aceh

Fuad Mardhatillah UY. Tiba

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES140

Meaning and Order in Europe. New York: Berg Publisher, 1997.

Willet, Cynthia. Theorizing Multiculturalism: A Guide to the Current Debate. Massachusets: Blackwell Publisher, 1998.

Will, Kymlicka. Multicultural Citizenship. Oxford: Clarendon Press, 1995.

Wuthnow, Robert, et.al., (eds.). Cultural Analysis. London: Routledge, 1984.

Yinger, J. Milton. Ethnicity: Source of Strength? Source of Conflict?. New York: State University of New York Press, 1994.

Page 155: Sustaining Peace in Aceh

141

Integrasi Pendidikan Damai dalam Membangun Perdamaian di Aceh

AsmawatiDosen tetap pada Fakultas Ekonomi, Universitas Abulyatama, Aceh. Menyelesaikan S-1 pada Pendidikan Matematika Universitas Syiah Kuala, S-2 pada Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Syiah Kuala, sekarang sedang menyelesaikan program Doktor dalam Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Pendahuluan

Penandatanganan Nota Kesepahaman antara GAM dan Pemerintah RI

telah mengantarkan rakyat Aceh ke dalam babak baru yang dicita-citakan

yaitu perdamain. Namun demikian, damai yang telah tercapai barulah

damai dalam arti sempit (pasif) yaitu tidak ada lagi peperangan. Sementara

damai dalam arti luas (aktif) adalah damai yang memenuhi kondisi keadilan

sosial, kesejahteraan masyarakat, penegakan dan penghormatan hak azasi

manusia, perlu terus diupayakan pencapaiannya. Johan Galtung (seperti

ditulis Ghifarie 2010) mengartikan perdamaian sebagai tiadanya kekerasan

struktural, kultural, dan personal. Dengan demikian, menghilangkan semua

bentuk kekerasan tersebut harus merupakan agenda paling penting dalam

pembangunan Aceh pasca perjanjian damai. Ibarat pohon, perdamaian

Aceh merupakan pohon muda yang perlu dirawat agar tumbuh menjadi

pohon perdamaian yang kuat.

Terkait dengan perdamaian, Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu

Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) memberikan sejumlah karakteristik:

“1) perdamaian itu dinamis; 2) perdamaian itu merupakan penyelesaian

Page 156: Sustaining Peace in Aceh

Asmawati

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES142 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

masalah yang adil tanpa kekerasan; 3) perdamaian itu menghasilkan

keseimbangan dalam interaksi sosial sehingga manusia hidup dalam relasi

yang harmonis; 4) perdamaian itu baik untuk masyarakat; 5) bila ada

kekerasan, tidak akan ada perdamaian; 6) supaya ada keseimbangan dalam

dinamika interaksi sosial, perdamaian harus berdiri di atas keadilan dan

kebebasan; 7) bila ada ketidakadilan dan ketidakbebasan, tidak akan ada

perdamaian” (Suparno, 2008).

Lebih lanjut tentang pentingnya membela perdamaian, Boutros-

Ghali (1993) menyatakan “Tanpa perdamaian tidak ada pembangunan

dan demokrasi. Tanpa pembangunan, basis demokrasi akan hilang

dan masyarakat cenderung jatuh dalam konflik. Dan tanpa demokrasi,

pembangunan berkelanjutan tidak akan terjadi, dan tanpa pembangunan

seperti itu, perdamaian yang panjang tidak dapat dipertahankan”. Dengan

demikian. dapat dikatakan bahwa karakter masyarakat dalam perdamaian

yang aktif adalah masyarakat yang terus melakukan perubahan-perubahan

untuk mencapai keadilan dan hidup harmonis tanpa ada kekerasan dalam

bentuk apapun.

Didasarkan pada karakteristik tersebut, maka dapat dikatakan

perdamaian itu sendiri merupakan suatu proses sekaligus juga tujuan,

karenanya membangun perdamaian atau peace building adalah proses yang

tak pernah berhenti. Heathershaw (2007) menyebutkan peace building dalam

praktek sebagai “travelling concept” yang akan menemukan pengertian

baru di wilayah mana ia diimplementasikan. Ini dapat diartikan bahwa

membangun perdamaian adalah proses yang terintegrasi dengan potensi

lokal, baik potensi yang dapat mendukung proses perdamaian maupun

potensi yang dapat memicu konflik kekerasan.

Masyarakat Aceh pasca konflik

Dalam konteks Aceh, harus disadari, konflik dengan kekerasan yang

berlangsung lebih dari tiga dasawarsa telah mengakibatkan pergeseran nilai

dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dapat memperkuat kohesi sosial telah

luntur. Nilai kebersamaan, demokrasi dan gotong royong, mulai berganti

dengan nilai yang sangat mementingkan diri sendiri dan kelompok, egois

Page 157: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Pendidikan Damai dalam Membangun Perdamaian di Aceh

143Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dan tidak peduli pada kepentingan orang lain. Hubungan sosial mulai

berganti dengan nilai hubungan yang bersifat materi. Nilai musyawarah

dan demokrasi berganti dengan pemaksaan kehendak dan kekerasan.

Kemandirian dan sikap optimis mulai berganti dengan ketergantungan dan

sikap apatis. Dalam hal ini, Meirio (2007) menyatakan bahwa “di beberapa

tempat di Aceh, kini bisa dijumpai orang-orang yang mempunyai karakter

yang oleh Thomas Hobbes menyebutkannya sebagai “evil” yaitu orang-

orang yang tidak patuh pada aturan yang berlaku dan menghalalkan cara-

cara kekerasan untuk mencapai tujuan”.

Di sisi lain, kondisi masyarakat Aceh saat ini memperlihatkan

fenomena adanya segmen-segmen dalam masyarakat akibat konflik.

Pertama, yang paling dominan adalah kelompok yang merasa paling berjasa

dalam perjuangan mewujudkan Aceh seperti saat ini (dimana kekuasaan

yang lebih besar diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah Aceh dalam

mengurus pemerintahan sendiri dan pembagian hasil yang lebih besar dari

sumber daya hidrokarbon yang dimiliki). Kelompok ini, mempunyai akses

yang cukup baik pada kekuasaan, informasi dan sumber daya. Kedua, adalah

kelompok masyarakat yang merasa berjasa dalam perjuangan tetapi tidak

memiliki akses pada kekuasaan, informasi dan sumber daya. Kelompok

ketiga adalah mereka yang menjadi korban konflik baik langsung maupun

tidak langsung dan tidak mempunyai akses pada informasi, kekuasaan dan

sumber daya. Kelompok ini jumlahnya lebih besar. Keempat, kelompok

masyarakat profesional, yang memiliki akses tetapi terbatas pada sumber

daya, informasi dan kekuasaan.

Selain itu, bantuan langsung yang diberikan pemerintah kepada

masyarakat melalui badan-badan, dinas-dinas, atau organisasi non pemerintah,

disinyalir berpotensi memunculkan konflik baru dalam masyarakat

akibat adanya persaingan untuk mendapatkan bantuan, dan berdampak

memunculkan ketergantungan. Seringkali kita mendengar ungkapan “saya

juga korban tetapi belum pernah mendapat bantuan dari manapun”.

Ekses dari konflik dan perang sampai hari ini masih menyisakan

rasa sakit hati dan dendam di hati korban, terutama jika pelaku dengan

jelas diketahui dan tinggal bersama dalam satu wilayah. Hal ini berpotensi

Page 158: Sustaining Peace in Aceh

Asmawati

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES144 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

menimbulkan ketegangan antar personal dan antar keluarga, jika tidak

diselesaikan dengan baik. Dendam juga bisa dialamatkan kepada institusi

atau pemerintah. Saya mengenal seorang ibu yang anaknya menjadi korban

penculikan dan hilang. Ibu itu mengetahui dengan pasti salah seorang yang

melakukannya. Meskipun pelaku itu juga menjadi korban dan telah meninggal,

tetapi ibu itu mengakui sulit melupakan dan merasa sakit hati pada keluarga

pelaku. Walaupun ia menyadari dan mengakui keluarganya sama sekali tidak

berdosa. Sebenarnya hanya satu keinginan ibu itu, yaitu mengetahui dimana

kuburan anaknya. Ini hanya satu contoh, masih banyak kejadian serupa

yang sampai hari ini belum diselesaikan, termasuk pelecehan seksual dan

perkosaan. Belum ada pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.

Pergeseran nilai-nilai yang dianut, dan segmentasi yang tercipta dalam

masyarakat, memunculkan kekhawatiran tentang adanya kemungkinan

hasil pembangunan yang timpang. Dimana sebagian besar hasil-hasil

pembangunan hanya dinikmati dan dikuasai oleh sebagian kecil penduduk,

dan bagian terbesar penduduk hanya menikmati bagian sisa yang kecil

dari kue pembangunan. Pertumbuhan ekonomi misalnya, secara makro

kemungkinan akan cukup baik, tetapi soal pemerataan kemungkinan akan

sangat buruk. Hal ini akan memunculkan kemiskinan struktural yang parah

dan luas, selanjutnya dapat memberikan efek sangat yang buruk pada

pembangunan perdamaian. Karena bagaimanapun, kemiskinan adalah

suatu bentuk penjajahan non fisik. Aturan kelembagaan, dan kebijakan

sosial politik terkadang justru melestarikan dan memunculkan kemiskinan.

Ditambah lagi dengan adanya persoalan-persoalan masa konflik yang belum

menemukan penyelesaian dan keadilan, akan semakin berpengaruh buruk

pada pembangunan perdamaian.

Mengenai hubungan kemiskinan dan perdamaian, Paus Benedictus

seperti ditulis Wawan (2009) mengatakan, “kemiskinan kadang merupakan

suatu faktor pembentuk konflik”. Selanjutnya Ketua Komite Nobel

Norwegia tahun 2006, Ole Danbolt Mjoes, menegaskan,”perdamaian

yang berkelanjutan tak akan bisa diraih jika sebagian besar warga tidak

menemukan jalan untuk keluar dari jeratan kemiskinan”. Berikutnya,

Direktur Institut Norwegia untuk Masalah Internasional Sverre Lodgaard

Page 159: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Pendidikan Damai dalam Membangun Perdamaian di Aceh

145Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

juga mengatakan, “Tantangan bagi perdamaian dunia makin berbeda dari

tahun ke tahun. Kita makin sadar bahwa ada gejala baru yang berdampak

negatif pada keamanan kita. Perdamaian tidak saja berupa ketiadaan perang

tetapi juga ketiadaan faktor-faktor yang menyebabkan perang, Salah satu

penyebab perang, yakni kelaparan dan kemiskinan, harus diatasi mulai dari

akarnya” (Kompas, 14 Oktober 2006). Membebaskan orang dari kemiskinan

adalah membebaskan orang dari kekerasan. Dan, membebaskan orang dari

kekerasan adalah modal menciptakan perdamaian. Singkatnya, seluruh

kebebasan, termasuk kebebasan dari kemiskinan pada masa sekarang

(terutama di negara-negara miskin) jauh lebih penting dari sekedar bebas

dari kekerasan dan perang. Mengatasi kemiskinan lebih penting dari

sekedar menghadirkan perdamaian. Dus, kalimat “apalah artinya damai jika

miskin,” sangat mewakili, demikian Tjakrawerdaja (2007).

Pendapat-pendapat tersebut semakin memberikan kesadaran

bahwa diperlukan suatu upaya yang sistematis untuk menjaga jangan

sampai pembangunan Aceh hanya terfokus pada pertumbuhan tanpa

mempertimbangkan faktor pemerataan (equity). Baik pemerataan antar

lapisan masyarakat/segmen maupun antar region. Bagaimanapun,

disparitas pembangunan antar region juga mungkin akan terjadi, dilihat dari

kondisi yang digambarkan di atas. Jika ini terjadi akan sangat berpotensi

mengancam upaya membangun perdamaian. Kesadaran akan adanya saling

ketergantungan antar region, sangatlah penting.

Pendidikan damai untuk membangun perdamaian

Seyogianya, membangun perdamaian harus merupakan konsep

yang terintegrasi dengan membangun bangsa (nation building) atau

pembangunan itu sendiri. Kegiatan membangun perdamaian merupakan

kerja yang terintegrasi dari banyak komponen dan dapat dilihat dalam tiga

aspek sebagai berikut:

1) Muatan

Muatan yang ingin diwujudkan antara lain adalah pemerintahan

yang baik (good governance), keteraturan dan penegakan hukum,

demokrasi partisipatif, pemenuhan hak asasi manusia, dan

Page 160: Sustaining Peace in Aceh

Asmawati

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES146 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

kelestarian lingkungan hidup. Kelima komponen ini saling terkait.

Pemerintahan yang baik akan menjamin terbentuknya aturan

dan penegakan hukum yang jelas, pelaksanaan demokrasi yang

partisipatif, juga terpenuhinya hak-hak asasi manusia, lingkungan

hidup yang terjaga. Adanya aturan dan penegakan hukum, maka

demokrasi partisipatif dapat berjalan lancar, hak asasi manusia

dapat terpenuhi, sekaligus dapat mengontrol jalannya pemerintahan

dan kerusakan lingkungan. Terwujudnya demokrasi partisipatif

menjadi sarana untuk penyuaraan pemenuhan hak asasi manusia,

pengawasan pemerintahan, mengontrol penegakan hukum, dan

mengontrol eksploitasi lingkungan hidup. Terpenuhinya hak asasi

manusia menjadi dasar agar tiap individu dapat menjalankan

perannya dengan baik, yaitu menjalankan dan mengawasi jalannya

pemerintahan, menegakkan dan mematuhi hukum dan aturan serta

menegakkan demokrasi dan menjaga lingkungan hidup.

2) Hubungan

Hubungan yang dimaksud dalam membangun perdamaian adalah

kesetaraan peran dari semua pihak antar institusi dan antar

elemen dalam masyarakat, baik aparat pemerintahan, tokoh

masyarakat, para professional, pemuda, orang tua, dan anak-

anak, baik perempuan maupun laki-laki, kelompok minoritas

atau mayoritas, semuanya mempunyai kedudukan yang setara

dan sama-sama memiliki posisi penting dan berkontribusi dalam

membangun perdamaian.

3) Metode

Metode yang dipakai dalam membangun perdamaian adalah

metode-metode yang meninggalkan cara-cara kekerasan,

melibatkan semua pihak tanpa diskriminasi, dan memasukkan

aspek inter temporal, yang berarti membangun perdamaian bukan

hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, akan tetapi

juga memikirkan kebutuhan generasi mendatang agar anak cucu

kita nanti juga masih dapat menikmati perdamaian.

Cara-cara nir-kekerasan tersebut, sangat terkait dengan pembentukan

Page 161: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Pendidikan Damai dalam Membangun Perdamaian di Aceh

147Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

watak bangsa yang berperadaban serta bermartabat tinggi. Pendidikan

masih tetap menjadi andalan untuk membentuk karakter/watak tersebut. Di

sinilah urgensinya pendidikan damai (peace education). Hanya pendidikan

damai yang dapat menguatkan kembali nilai-nilai positif yang hidup dalam

masyarakat, mengembalikan hakekat manusia sebagai mahkluk sosial yang

cinta damai, memberikan pemahaman bahwa secara alamiah kehidupan

manusia saling tergantung secara local dan juga global, memahami

implikasinya dan tanggungjawabnya.

Pendidikan damai dan membangun perdamaian harus menjadi

bagian dari satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling

melengkapi. Ketika kita melaksanakan pendidikan damai, maka pada saat

itu pula kita melaksanakan kegiatan membangun perdamaian, demikian

juga sebaliknya ketika kita melakukan kegiatan membangun perdamaian,

saat itu pula kita memerlukan pendidikan damai.

Masyarakat yang hidup dalam suasana konflik yang berlarut-larut,

melihat dan merasakan ketidakadilan dan kekerasan, sedikit banyak akan

melahirkan pribadi yang egois, mau menang sendiri, merasa paling benar,

sulit menerima pendapat orang lain, curiga dan sulit menerima kelompok

yang dianggap berbeda, dan tentu saja sulit untuk berdemokrasi dan suka

kekerasan. Pendidikan damai menjadi sangat penting dalam hal ini untuk

mampu melakukan “switching mentality” dari mental kekerasan kepada

mental damai yang mengarah pada pembentukan budaya damai (culture of

peace). Dalam hal ini, Yusny Saby (2007) menyatakan bahwa konflik dan

damai adalah budaya yang dapat direkayasa.

Program pendidikan damai adalah salah satu cara merekayasa

budaya damai, sehingga mampu mengelola potensi kemajemukan dengan

credo non violence dan berbasis kearifan lokal dalam mereduksi potensi

konflik. Untuk menyukseskan program pendidikan damai, UNESCO

mengajukan sepuluh dasar budaya damai (Suparno, 2008), sebagai berikut:

(1) Terpenuhinya kebutuhan dasar, termasuk kebutuhan material, politis,

sosial, hukum, pendidikan, kesehatan dan sebagainya; (2) Pendidikan bagi

perubahan untuk meningkatkan nilai-nilai yang menentukan tindakan

manusia sehari-hari; (3) Terbebas dari mitos-mitos yang menyebabkan

Page 162: Sustaining Peace in Aceh

Asmawati

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES148 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

manusia menghindari tangung-jawab; (4) Demilitarisasi pertahanan:

konflik tidak harus diselesaikan dengan kekuatan militer; (5) Tidak merasa

terancam; (6) Feminisasi budaya: ditandai otoritas sosial yang didominasi

pria; (7) Ketidakpatuhan sebagai kebijakan: kesadaran kritis untuk

menyelesaikan konflik; (8) Menghargai identitas kultural, menghilangkan

kebijakan imperialisme dan kolonialisme, dan menghindari kecenderungan

memaksakan terbentuknya sebuah budaya semesta; (9) Mengatasi logika

polarisasi blok, menerima dunia yang plural, dan membangun toleransi;

(10) Memberdayakan yang kecil.

Untuk menumbuhkan budaya damai tersebut pada masyarakat yang

pernah mengalami konflik, tentu memerlukan pendekatan yang berbeda

dengan situasi masyarakat sedang konflik, atau tidak pernah mengalami

konflik kekerasan. Materi pendidikan damai perlu disesuaikan dengan situasi

masyarakat yang menjadi sasaran. Demikian juga metode yang dipakai. Untuk

kasus Aceh yang baru lepas dari situasi perang dan sedang membangun

perdamaian, materi dasar pendidikan damai setidaknya harus mencakup: 1)

pendidikan untuk menghapus budaya perang dan kekerasan; 2) pendidikan

untuk resolusi konflik; 3) pendidikan untuk menghormati hak asasi manusia,

keadilan dan kesetaraan gender, demokrasi dan penegakan hukum; 4)

pendidikan untuk membangun sikap tolerans dan solidaritas antar budaya

dan etnik; 5) pendidikan untuk hidup penuh kasih sayang dan mempunyai

kepekaan sosial yang tinggi; 6) pendidikan untuk memelihara lingkungan

hidup baik lingkungan fisik maupun lingkungan social; 7) pendidikan untuk

menumbuhkan kesadaran akan adanya saling ketergantungan antar manusia

dan region, mengetahui implikasinya dan menerima tanggungjawabnya.

Ketujuh materi ini diberikan dengan tujuan akhir membangun perdamaian,

dan ketujuh materi ini tidak harus diberikan terpisah.

Kelompok sasaran pendidikan damai adalah seluruh masyarakat.

Menurut Meirio (2007) “pendidikan damai untuk masyarakat Aceh dapat

dibagi dalam tiga segmen besar yaitu aparatur pemerintahan termasuk

tentara dan polisi, mantan kombatan dan masyarakat umum”. Pembagian

kelompok sasaran yang lebih rinci juga diperlukan, karena modul-modul

pendidikan perlu dirancang sesuai dengan kelompok sasaran dimana modul

Page 163: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Pendidikan Damai dalam Membangun Perdamaian di Aceh

149Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

tersebut akan diimplementasikan. Modul untuk aparat pemerintahan,

tentu berbeda strategi penyampaian materinya dengan modul yang

diperuntukkan bagi mantan kombatan, guru, dosen, anak sekolah atau

masyarakat akar rumput.

Perbedaan strategi penyampaian ini perlu dilakukan, mengingat

adanya perbedaan latar belakang dan perbedaan peran yang dimainkan

dalam membangun perdamaian. Namun demikian, setidaknya ada

tiga prinsip yang perlu diperhatikan dalam merancang sebuah modul

pendidikan damai: pertama, modul harus mampu memfasilitasi kelompok

sasaran untuk berpikir obyektif, kritis, kreatif, dan integratif tentang

akar aspirasi keadilan sosial. Kedua, mampu mengembangkan kesadaran

kritis sebagai acuan pengembangan sikap dan perilaku. Ketiga, dapat

membangun kemandirian dalam memetakan potensi ketidakadilan sosial,

serta berinisiatif mengelola kemajemukan berbasis kearifan lokal.

Membangun perdamaian berarti membangun bangsa. Membangun

bangsa berarti membangun setiap pribadi dalam masyarakat. Jadi,

membangun perdamaian berarti membangun setiap pribadi. Dengan

demikian. pendidikan damai harus menjangkau setiap pribadi yang

merupakan elemen masyarakat dengan metode atau pendekatan yang

mungkin berbeda. Anak usia sekolah harus mendapat pendidikan damai

di sekolah, tidak hanya pendidikan damai yang dipelajari sebagai ilmu

dan tertera secara eksplisit pada lembar kurikulum sekolah, tetapi harus

menghasilkan tindakan nyata berupa bangunan budaya sekolah sebagai

budaya damai. Untuk itu, diperlukan keteladanan dan proses pembelajaran

yang tidak hanya bertumpu pada aspek kognitif semata, aspek afektif dan

psikomotor juga harus menjadi perhatian utama.

Pendekatan yang dipakai kepada aparat pemerintahan, guru, dosen,

para professional, kombatan, masyarakat umum dapat melalui workshop,

diskusi, seminar, pelatihan, seni budaya dan bahan-bahan bacaan lainnya.

Seluruh kegiatan tersebut harus menimbulkan tindakan nyata berupa

perubahan prilaku keseharian dalam seluruh aktivitasnya ke arah budaya

damai. Karena, secara pedagogis, indikator efektivitas komunikasi dan

berpikir kritis yang paling penting adalah menimbulkan tindakan nyata.

Page 164: Sustaining Peace in Aceh

Asmawati

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES150 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pada aparat pemerintahan misalnya, tindakan nyata yang dihasilkan

dari proses pendidikan damai adalah menghasilkan rancangan pembangunan

dan proses pelaksanaannya yang mengedepankan aspek pemerataan (equity),

keseimbangan lingkungan hidup baik fisik maupun sosial, transparan dan

bebas dari KKN. Dengan kata lain menghasilkan rancangan pembangunan

yang sensitif konflik. Bagi guru dan dosen, tindakan nyata yang dihasilkan

dapat berupa prilaku disiplin, bertanggungjawab dan cara-cara mendidik

yang tanpa kekerasan, menyisipkan nilai-nilai budaya damai dalam setiap

materi yang diajarkan, bahwa setiap ilmu yang dipelajari mempunyai

relevansi dengan budaya damai dan pembangunan perdamaian. Demikian

juga bagi mantan kombatan, tentara, polisi tindakan nyata dapat berupa

tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan untuk pemaksaan kehendak,

cara musyawarah harus menjadi prioritas. Secara keseluruhan pendidikan

perdamaian harus menghasilkan masyarakat yang sejahtera, demokratis,

patuh pada aturan, hukum yang tertegakkan, dan yang terpenting tidak ada

kekerasan dalam berbagai bentuk, lebih tegas lagi menghasilkan budaya

damai.

Akhirnya, pendidikan damai dapat dilakukan oleh pemerintah, NGO,

LSM, partai politik, atau organisasi profesi, ormas dan masyarakat umum,

yang konsen pada membangun perdamaian.

Penutup

Dari pembahasan di atas maka beberapa simpulan yang dapat diambil

adalah sebagai berikut:

1. Pembangunan Aceh yang berkelanjutan dan bermartabat harus

dilakukan dalam kerangka membangun perdamaian.

2. Pendidikan damai harus merupakan kegiatan yang terintegrasi

dengan membangun perdamaian.

3. Pendidikan damai harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat

dengan strategi penyampaian yang sesuai.

4. Program pendidikan damai harus menghasilkan tidakan nyata

berupa terwujudnya budaya damai.

Page 165: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Pendidikan Damai dalam Membangun Perdamaian di Aceh

151Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

DAFTAR PUSTAKA

Boutros,Ghali. Report on the Work of the Organization From the Forty-seventh to the Forty-eight Session of the General Assemgly. New York. United Nation, 1993

Ghifarie Ibn .Terorisme, Ketidakadilan, dan Pendidikan Perdamaian. Detik com. Suara Pembaca, 2010

Heathershaw,John. Peacebuilding as Practice: Discourses from Post-conflict Tajikistan. International Peacekeeping, Vol 14 no 2 April 2007

Kompas. M. Tunus Terima Nodel Perdamaian. Berita Utama, 14 Oktober 2006

Meirio,Akbar. Urgensi Pendidikan Damai di Aceh. Aceh Institute, 2007

Suparno, Pendidikan Damai Kunci Membentuk Manusia yang Berperadaban dan Bermartabat. Disampaikan pada sambutan membuka Seminar Nasional dan Diskusi Panel Pendidikan Damai. di Aula Utama UM, 22 Desember 2008.

Tjakrawerdaja,Subiakto. Nobel Kemiskinan. Gemari online, 16 Maret 2007

Yusni Saby, Konflik dan Damai Budaya yang Dapat Direkayasa. Pengantar buku Pergulatan Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multikultural. Yayasan Pena dan IAIN Ar Raniry, 2007

Wawan.S. Melawan Kemiskinan Untuk Membangun Perdamaian, Pesan Bapa Suci Paus Benedictus 1 Januari 2009. Wikimu, Kanal: Peristiwa (2009)

Page 166: Sustaining Peace in Aceh
Page 167: Sustaining Peace in Aceh

153

Integrasi Damai dalam Pendidikan Islam Berasaskan Otonomi Khusus di Aceh

Abd. WahidDosen tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Menyelesaikan studi S-1 di IAIN Ar-Raniry, S-2 di PPs IAIN Ar-Raniry dan S-3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Email: [email protected]

Pendahuluan

Secara historis komunitas Aceh telah mengalami sejarah panjang

dari zaman sebelum masuknya Islam ke nusantara, masa Kerajaan Aceh,

dan masuknya Islam ke Aceh, masa kolonial, dan masa bergabungnya

Aceh ke dalam Negara Republik Indonesia NKRI. Salah satu hal yang

penting berkenaan dengan masyarakat Aceh adalah pengalaman konflik

dan perang yang berkepanjangan. Hal ini menimbulkan kesan dengan

bermacam-macam untuk menjuluki daerah atau untuk masyarakat Aceh,

seperti ”orang Aceh hobi perang”, ”orang Aceh keras kepala” bahkan ”Aceh

Pungoe” dan lain-lain.

Pada masa sekarang (2010), Aceh telah aman dan damai. Hal ini

merupakan anugerah Allah Swt. yang sangat berharga yang sangat penting

dipelihara agar damai tersebut dapat bertahan sampai masa-masa yang

tidak mengenal batasnya. Untuk itu, masyarakat bersama pemerintah yang

berkuasa memiliki kewajiban melalui berbagai pendekatan untuk menjaga

perdamaian tersebut agar tetap abadi sepanjang masa. Salah satu cara atau

pendekatan yang ditempuh oleh berbagai komponen masyarakat maupun

Page 168: Sustaining Peace in Aceh

Abd. Wahid

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES154 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

pemerintah adalah, menghubungkan damai tersebut dengan pendidikan.

Istilah ini setidaknya masih tergolong baru, karena keadaan damai tersebut

belum begitu lama terjadi di Aceh.

Di samping itu, Aceh juga merupakan salah satu daerah yang memiliki

peran penting dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Hal

ini dikarenakan Aceh memiliki berbagai keunikan dibandingkan dengan

provinsi-provinsi lain di Indonesia. Salah satu hal terpenting dalam hal

perkembangan pendidikan Islam adalah ditetapkannya Aceh sebagai daerah

pemberlakuan syari’at Islam. Cakupan syari’at Islam yang dimaksudkan

bukan hanya dalam bidang hukum saja, tetapi mencakup berbagai aspek

kehidupan, termasuk pendidikan. Pada sisi lain, sistem pendidikan secara

nasional diatur oleh pemerintah pusat melalui lembaga Departemen

Pendidikan Nasional. Namun demikian, khusus dalam hal pendidikan

keagamaan terdapat kewenangan yang terbatas bagi Departemen Agama.

Seperti halnya di provinsi lain, lembaga-lembaga pendidikan di Aceh

juga terbagi dalam berbagai bentuk, seperti pendidikan umum di bawah

Departemen Pendidikan Nasional dan pendidikan khusus (keagamaan)

di bawah Departemen Agama. Di samping itu, terdapat juga lembaga-

lembaga pendidikan khusus seperti pendidikan kejuruan, dan profesi

dalam berbagai tingkatannya. Seiring dengan pemberlakuan Syari’at Islam

di Aceh, lembaga-lembaga pendidikan dimaksud tentu menjadi salah satu

aspek yang perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan perkembangan

Daerah (Aceh).

Dalam pengembangan pendidikan yang bernuansa syari’at, tentu harus

melalui berbagai langkah yang sistematis dan strategis. Langkah-langkah

dimaksud adalah sebuah upaya penyesuaian konsep dan bentuk pendidikan

di Aceh dengan Undang-Undang Syari’at Islam. Pada sisi lain, Aceh juga

merupakan daerah Otonomi Khusus yang terjelma dalam ”Nanggroe Aceh

Darussalam”. Nuansa otonomi khusus, dalam hal-hal tertentu memiliki

hubungan yang erat dengan Syari’at Islam. Namun demikian, memerlukan

penelaahan secara mendalam untuk memperoleh suatu rumusan yang

merangkum ke dua Undang-Undang tersebut (Syari’at Islam dan Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam).

Page 169: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Damai dalam Pendidikan Islam Berasaskan Otonomi Khusus di Aceh

155Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Arah pengembangan pendidikan Islam di Aceh dipengaruhi oleh

pemberlakuan Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 tentang ”Otonomi

Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam” pada tanggal 9 Agustus 2001 telah memberi kesempatan

kepada rakyat Aceh untuk membuat aturan hukum dan mengatur tata

kehidupan dalam wilayahnya, sejalan dengan undang-undang Negara

Republik Indonesia. Kesempatan ini menunjukkan bahwa pemerintah

daerah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat menetapkan

sejumlah peraturan daerah (Perda) dan qanun sebagai penjabaran Undang-

Undang nomor 18 tahun 2001 tersebut.

Ada beberapa Perda dan qanun yang telah disahkan, antara lain

Perda nomor 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan syari’at Islam dan qanun

nomor 23 tahun 2002 tentang penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan

syariat Islam yang termaktub dalam Perda nomor 5 tahun 2000 meliputi

aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, pendidikan, dakwah islamiyah/amar

ma’ruf nahi mungkar, baitul mal, kemasyarakatan, syiar agama, pembelaan

Islam, qadha, jinayat, munakahat dan mawaris. (MPU, 2003: 27)

Untuk itu, dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah

berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 44 Tahun

1999, tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh dan UU Nomor 18

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh

sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat diterapkan secara luas

dalam masyarakat, di antaranya adalah pelaksanaan Syari’at Islam yang

diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2001. Penerapan Syari’at Islam di NAD

merupakan fenomena menarik sekaligus menantang. Menantang di sini

dimaksudkan terutama kesiapan pemerintah NAD dan masyarakat dalam

menerima dan melaksanakan Syariat Islam secara kaffah, termasuk bidang

pendidikan yang berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan syari’at

Islam tersebut. Demikian juga dalam bidang pendidikan, pemerintah telah

mengambil kebijakan menyusun Qanun Nomor 23 tahun 2002 tentang

penyelenggaraan pendidikan.

Dalam Qanun Nomor 23 tahun 2002 tersebut dinyatakan bahwa

pendidikan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berdasarkan pada

Page 170: Sustaining Peace in Aceh

Abd. Wahid

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES156 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

al-Qur’an dan al-Hadits, falsafah negara Pancasila, Undang-Undang Dasar

1945 dan kebudayaan Aceh. Pendidikan provinsi NAD berfungsi untuk

memantapkan iman dan taqwa kepada Allah SWT, mengembangkan

kemampuan, ilmu dan amal saleh dalam upaya meningkatkan mutu

kehidupan sesuai dengan tuntunan ajaran Islam dalam rangka mewujudkan

tujuan pendidikan nasional. Lebih lanjut lagi tujuan pendidikan provinsi

NAD adalah untuk membina pribadi muslim seutuhnya, yang beriman dan

bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, demokratis, menjunjung

tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia, berpengetahuan,

berketerampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian baik dan

mandiri, mampu menghadapi berbagai tantangan global, dan memiliki

tanggung jawab kepada Allah Swt., masyarakat dan Negara (MPU, 2003:

223).

Bagaimanakah mengintegrasikan damai ke dalam ranah pendidikan?

Apakah harus dibuat kurikulum khusus dalam bentuk pelajaran damai?

Atau dapatkah damai itu diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran

yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai jenjang?

Tulisan ini, paling tidak berusaha mengemukakan beberapa pemikiran ke

arah itu.

Konsep pendidikan damai dalam ajaran Islam

1. Definisi pendidikan Islam

Pendidikan, secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yaitu

education yang berarti bimbingan dan pertolongan yang diberikan kepada

orang lain, baik fisik maupun mental, dengan cara penuh tanggung jawab

untuk membawa orang lain agar mampu mencapai tingkat kehidupan

yang lebih baik secara benar dan wajar (Cryn dan Reksosiswoyo: 1989,

7). Menurut Kamus Bahasa Indonesia pendidikan diartikan sebagai suatu

pekerjaan (hal, cara dan sebagainya). Mendidik juga berarti pengetahuan

tentang mendidik atau pemeliharaan badan, batin, dan sebagainya (W.J.S.

Poerwadarminta: 1991, 250). Dalam bahasa Arab, istilah pendidikan sering

disebut tarbiyah yaitu isim mashdar dari rabba yarubbu yang berarti

mengasuh atau mendidik (Mahmud Yunus: 1988, 136).

Page 171: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Damai dalam Pendidikan Islam Berasaskan Otonomi Khusus di Aceh

157Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Dalam terminologi Islam, tidak semua ahli sepakat untuk menyebutkan

istilah tarbiyyah sebagai ungkapan bermakna pendidikan. Namun tidak

sedikit para ahli yang cenderung mengatakan bahwa kata tarbiyah sebagai

istilah yang paling cocok untuk memberi makna pendidikan.

Muhammad Naquib al-Attas, sebagaimana dikutip oleh Abuddin

Nata mengatakan bahwa penggunaan kata tarbiyah untuk pendidikan

merupakan istilah yang masih relatif baru dan merupakan terjemahan dari

kata education dalam bahasa Inggris. Menurutnya, istilah ini lebih bersifat

meniru konsep Barat dalam menjelaskan pendidikan kepada masyarakat.

Ia menambahkan bahwa istilah tarbiyah memiliki sasaran yang bersifat

umum yang meliputi semua jenis spesies makhluk hidup baik yang berakal

maupun tidak.

Untuk memperkuat pendapatnya al-Attas mengajukan sebuah konsep

pendidikan yang mengacu pada pemberian ilmu pengetahuan, pengalaman,

kepribadian dan sebagainya. Menurutnya, pendidikan Islam harus dibangun

dari paduan kata ’ilm (ilmu pengetahuan), ’adl (keadilan), ’amal (perbuatan/

tindakan), dan haq (kebenaran) serta segala sesuatu yang berkaitan dengan

kebenaran itu, seperti nalar, ’aql dan qalb (hati). Semua istilah tersebut

terangkum dalam kata al-adab (Syed Muhammad Naquib al-Attas: 1994,

65). Menurutnya istilah al-adab merupakan sebuah konsep tentang

pendidikan Islam. Dengan kata lain, menurut Naquib, istilah tarbiyah tidak

dapat dikatakan sebagai istilah yang bermakna pendidikan, tetapi al-adab.

Perbedaan pandangan dalam menetapkan suatu istilah, tentunya bukan

sesuatu yang harus ditolak, karena masing-masing penggagas memiliki

argumen tersendiri sebagai penguatnya.

Pendidikan dapat dipahami sebagai suatu proses belajar mengajar

dengan memanfaatkan fasilitas yang memadai dalam rangka meningkatkan

kemampuan (skill) orang lain atau anak didik sehingga mereka dapat tampil

dengan terampil sebagai pribadi-pribadi yang tangguh dan paripurna.

Dalam hal ini, Khursyid Ahmad (1992,14).berpendapat bahwa pendidikan

adalah suatu upaya menyampaikan informasi dan menyalurkan bakat

dalam rangka mengembangkan bakat yang tersembunyi.

Nampaknya, Khursyid lebih condong menggolongkan pendidikan

Page 172: Sustaining Peace in Aceh

Abd. Wahid

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES158 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

sebagai suatu proses penggalian identitas diri manusia. Secara psikologis,

setiap individu itu pada dasarnya memiliki potensi luar biasa yang masih

tersembunyi. Potensi itu akan berkembang sesuai dengan tingkat rangsangan

yang diberikan terhadap individu yang bersangkutan. Untuk itu pendidikan

merupakan salah satu upaya merangsang seseorang agar potensi yang

masih tersembunyi itu nampak ke permukaan, sehingga lahirlah ia sebagai

individu yang sempurna.

Al-Nahlawi, seorang ulama dan pemikir Islam kontemporer, termasuk

tokoh yang setuju dengan konsep tarbiyah untuk menjelaskan pendidikan

secara menyeluruh, meskipun konsep ini lebih bersifat interpretative

(Abdurrahman al-Nahlawiy: 1983, 20). Ketika istilah tarbiyah ini diterima

menjadi konsep pendidikan dalam Islam, maka secara otomatis konsep

tersebut akan berbeda dengan istilah education dalam literatur Inggris.

Konsep education lebih bersifat umum dan cenderung berorientasi kepada

konsep-konsep Barat. Sedangkan tarbiyah merupakan konsep pendidikan

yang mengacu dan merujuk kepada Islam (al-Qur’an dan Sunnah) dan

hasil rumusan para ulama yang ahli di bidang ini. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses pencerahan yang

dilakukan baik secara formal atau tidak, sesuai dengan tuntunan dan

tuntutan ajaran Islam.

Berdasarkan objeknya, pendidikan Islam mengacu kepada dua

sasaran pokok, yaitu pendidikan yang bersifat pembinaan dan penajaman

wawasan intelektual dan pembinaan ketajaman spiritual. Ketajaman

intelektual diarahkan agar peserta didik itu mampu menggunakan akalnya

untuk memahami berbagai fenomena yang ada di alam ini sehingga mampu

menggali sumber daya alam yang ada, seperti belerang, minyak dan gas,

demi kesejahteraan masyarakat banyak. Di samping ketajaman intelektual,

ketajaman spiritual pun sangat dibutuhkan dalam rangka menemukan jati

diri manusia yang sesungguhnya. Melalui ketajaman spiritual ini manusia

akan menemukan tiga unsur kehidupan yang salng terkait satu dengan

yang lain, yaitu unsur alam, manusia dan Tuhan (Allah).

Dengan menyadari adanya ketiga elemen tersebut di atas maka

manusia akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa ia tidak berbuat apa-

Page 173: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Damai dalam Pendidikan Islam Berasaskan Otonomi Khusus di Aceh

159Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

apa tanpa adanya Tuhan dan alam itu. Kesimpulan ini akan membawa

manusia semakin patuh dan tunduk terhadap semua perintah Tuhan.

Dengan ketundukan itulah maka kepada mereka diberi tugas oleh Allah

sebagai Khalifah di permukaan bumi. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa ketajaman intelektual akan mendorong manusia untuk menjadi

orang-orang yang cerdas dan kecerdasaran intelektual akan melahirkan

orang-orang yang tunduk (tawadhu’) dan rendah hati. Pintar, cerdas dan

tawadhu’ merupakan cita-cita mulia pendidikan Islam.

2. Definisi pendidikan damai

Istilah ”Pendidikan Damai” merupakan rangkai dua kata yang terdiri

dari ”pendidikan” yang dapat diartikan sebagai proses belajar mengajar,

kurikulum serta hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Sedangkan ”damai”

dapat bermakna: tidak ada peperangan, tidak ada kerusuhan, aman,

tenteram, tenang serta rukun (Depdiknas, 2003, 263).

Dalam istilah al-Qur’an istilah yang dapat dikategorikan ungkapan

terhadap damai adalah: al-sulh. Kalimat ini juga berarti ”baik”. Di samping

itu damai juga terkandung dalam kalimat Islam itu sendiri, yaitu dari kata

salima, yaslamu, yang bermakna selamat, damai, sejahtera dan sebagainya.

Dengan demikian, pendidikan damai dapat diartikan dalam beberapa

makna, seperti: pendidikan bernuansa damai; pendidikan yang di dalamnya

terdapat pembelajaran tentang perdamaian; pendidikan yang di dalamnya

dibicarakan unsur-unsur perdamaian; pendidikan yang di dalamnya

terkandung unsur pembicaraan tentang bagaimana menjaga perdamaian,

dan lain-lain.

Pendidikan damai dalam koridor Undang-undang otonomi khusus

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan wilayah paling ujung

sebelah Barat pulau Sumatera. Menurut catatan sejarah, ”letak Aceh di

bagian Barat dan wilayahnya memiliki dua muka laut (Samudera India dan

Selat Malaka)”… ”bahwa wilayah ini tempat singgah permulaan dari kegiatan

mondar mandir pelayaran antara kepulauan Indonesia dengan pelabuhan-

Page 174: Sustaining Peace in Aceh

Abd. Wahid

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES160 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

pelabuhan sebelah Barat baik India, Parsi, Iraq, Arab, Afrika, (Madagaskar,

Abessinia) maupun Mesir, Rumawi dan Eropa lainnya (Muhammad Said:

1981, 17).

Dapatlah diperhitungkan bahwa Aceh merupakan wilayah Indonesia

yang pertama dikunjungi oleh para saudagar dari luar negeri. Menurut

catatan sejarah Islam masuk Nusantara dibawa oleh para saudagar Islam

yang berasal dari Gujarat–India. Kerajaan yang pertama dikunjungi adalah

kerajaan Peureulak, Lamuri dan Pasai.” Di sinilah mereka mendirikan

kerjaan Islam yang pertama di Nusantara dan pada akhirnya tersebut di

seluruh pelosok di Indonesia.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah wilayah integral

Indonesia sejak perang kemerdekaan sampai dengan sekarang. Indonesia

telah menjadi sebuah negara berdaulat yang diproklamirkan pada tanggal

17 Agustus 1945. Aceh masih tetap dalam bingkai NKRI. Akan tetapi

pada tahun 1953-1960 terjadi suatu pergolakan politik di Aceh untuk

mendirikan Negara Islam Indonesia (Perang DI/TII). Pergolakan tersebut

berakhir dengan perjanjian antara pemerintah pusat dengan pimpinan

gerakan DI/TII yang dipegang oleh Muhammad Daud Beureu’eh. Karena ia

”menghendaki pelaksanaan unsur-unsur Syari’at Islam berlaku di Aceh”.

Dari perjanjian damai tersebut diberikan kepada kepada Aceh hak istimewa

untuk menjalankan ”unsur-unsur Syari’at Islam bagi Daerah Istimewa Aceh

di depan kaum muslimin ketika itu” (M. Kaoy Syah: 2000, 28).

Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang telah mendapat hak istimewa dari

Pemerintah Pusat sejak dikeluarkan ”Keputusan Perdana Menteri Republik

Indonesia No. I/MISSI/1959 (dikenal dengan Missi Hardi). Keistimewaan

tersebut meliputi bidang agama, adat istiadat dan pendidikan. Pada tahun

1999 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan ”Undang-Undang No.

44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam”. Undang-undang inilah sebagai payung hukum yang kuat

untuk menegakkan Syari’at Islam di Aceh sebagai salah satu propinsi yang

pertama dalam susunan propinsi di Indonesia. Di samping undang-undang

tersebut pelaksanaan Syari’at Islam perlu ada sebuah ketetapan khusus

dari pemerintah daerah berdasarkan fatwa Majelis Pertimbangan Ulama,

Page 175: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Damai dalam Pendidikan Islam Berasaskan Otonomi Khusus di Aceh

161Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

sehingga menjadi tolak ukur yang jelas tentang syari’at itu sendiri untuk

dilaksanakan.

Melalui perjalanan sejarah yang melelahkan, akhirnya pada tahun

1999 yang lalu dikeluarkan Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Aceh dan ditambah dengan otonomi

khusus. Terlepas dari berbagai unsur politis yang mungkin saja ada, hal

itu merupakan sebuah kemenangan untuk menjalankan keistimewaan

yang pernah hilang. Di samping itu mewujudkan pemerintahan yang bersih

dan berwibawa, Syari’at Islam merupakan sebuah alternatif ideal untuk

segera diimplementasikan kepada seluruh aparatur pemerintah di bawah

pemerintahan Aceh.

Arah pengembangan pendidikan Islam di Aceh dipengaruhi oleh

pemberlakuan Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 tentang ”Otonomi

Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam” pada tanggal 9 Agustus 2001 telah memberi kesempatan

kepada rakyat Aceh untuk membuat aturan hukum dan mengatur tata

kehidupan dalam wilayahnya, sejalan dengan undang-undang Negara

Republik Indonesia. Kesempatan ini menunjukkan bahwa pemerintah

daerah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat menetapkan

sejumlah peraturan daerah (Perda) dan qanun sebagai penjabaran Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut.

Ada beberapa Perda dan qanun yang telah disahkan, antara lain Perda

Nomor 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan syari’at Islam dan qanun nomor

23 Tahun 2002 tentang penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan syariat

Islam yang termaktub dalam Perda nomor 5 tahun 2000 meliputi aqidah,

ibadah, mu’amalah, akhlak, pendidikan, dakwah islamiyah/amar ma’ruf

nahi mungkar, baitul mal, kemasyarakatan, syiar agama, pembelaan Islam,

qadha, jinayat, munakahat dan mawaris.

Berkenaan dengan pengintegrasian damai, sejauh penelitian penulis,

tidak ditemukan secara langsung pasal-pasal atau qanun yang mengatur

tentang pendidikan berasaskan perdamaian, atau nilai-nilai perdamaian

dalam pendidikan di Aceh. Ada dua alternatif model integrasi damai

dalam pendidikan. Pertama, menjadikan semua mata pelajaran yang

Page 176: Sustaining Peace in Aceh

Abd. Wahid

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES162 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

diajarkan kepada peserta didik sebagai media penyampaian tentang

makna perdamaian serta faktor-faktor yang dapat melestarikan damai

tersebut. Kedua, menciptakan suatu mata pelajaran sebagai media khusus

mengajarkan tentang perdamaian. Dalam konteks ini kedua alternatif

tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Opsi pertama

memiliki kelebihan antara lain tidak terganggunya kurikulum yang sudah

didesign sedemikian rupa, karena ia hanya membutuhkan beberapa menit

dalam semua pelajaran untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian.

Sementara kelemahannya adalah penyampaian yang terlalu singkat tidak

dapat memberikan informasi yang lengkap dan sempurna. Adapun kelebihan

opsi kedua adalah dapat tersampaikan informasi dan pesan-pesan serta hal-

hal lain yang berhubungan dengan damai karena disampaikan dalam waktu

yang khusus, akan tetapi hal ini akan menganggu kurikulum yang sudah

disusun sedemikian rupa, baik dalam hal keseimbangan materi maupun

jumlah jam pelajarannya. Untuk itu, ada baiknya hal ini dilakukan suatu

seminar yang melibatkan para ahli, untuk menghasilkan sebuah konsep

yang baku tentang pendidikan damai.

Kedua opsi tersebut, pada dasarnya juga bukan menjadi tujuan, tetapi

merupakan teknis saja. Dengan kata lain, dapat saja kedua opsi tersebut tidak

menjadi tumpuan pelaksanaan, namun yang terpenting adalah tercapainya

tujuan dan sasaran yang akan dicapai dalam pelaksanaan pendidikan damai.

Oleh karena itu, mengetahui tentang tujuan dari pendidikan damai juga

sesuatu yang sangat penting, sehingga mudah dalam menentukan metode

atau teknisnya. Di antara tujuan pendidikan damai dapat disebutkan seperti

berikut:

● Memperkenalkan nilai-nilai damai serta membangun budaya

damai pada anak-anak, guru, dan orangtua melalui majalah

Harmonis.

● Melatih guru untuk menggunakan alat bantu atau media belajar

mengajar yang menarik dan menyenangkan bagi anak.

● Meningkatkan akses pada anak-anak untuk mendapatkan media

belajar yang menarik dan menyenangkan. (World Vision, t.th)

Sedangkan dari segi tema-tema yang dapat diperkenalkan adalah

Page 177: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Damai dalam Pendidikan Islam Berasaskan Otonomi Khusus di Aceh

163Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

sebagai berikut:

1. Menghargai Keanekaragaman (suku, budaya, agama, jenis kelamin)

2. Kerjasama

● Menyadari manusia sebagai makhluk sosial

● Mengakui bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan

kekurangan

● Adanya rasa ketergantungan antar manusia

● Saling tolong menolong

● Kerjasama untuk menghasilkan sinergi

3. Komunikasi

● Komunikasi berarti hubungan dua arah (Mendengar &

berbicara)

● Menghilangkan prasangka & curiga

● Menghilangkan Stereotype (Pelabelan)

● Empati (memahami perasaan)

● Persepsi (cara pandang) yang baik

● Saling percaya

4. Menjadi anak damai

● Mengenal dan menerima diri (Kelebihan dan kekurangan)

● Mengenal dan menerima orang lain apa adanya (dengan

kelebihan dan kekurangan)

● Berani minta maaf untuk mengakui kesalahan

● Tidak pelit dalam memberi maaf

● Pemecahan masalah secara kreatif

● Menyikapi masalah dan konflik

● Penyelesaian masalah dan konflik tanpa kekerasan (melalui

dialog)

● Menciptakan berbagai pilihan untuk menyelesaikan masalah

dan konflik . (World Vision, t.th)

Penutup

Pendidikan tentang pentingnya perdamaian tidak hanya menjadi

pembicaraan yang bersifat lokal, tetapi juga menjadi isu nasional dan

Page 178: Sustaining Peace in Aceh

Abd. Wahid

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES164 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

internasional. Dalam sebuah dialog, penguasa negara adidaya pernah

dikejutkan oleh seorang pendidikan asal Indonesia dengan pernyataan

tentang betapa besarnya biaya perang yang dikeluarkan oleh Negara

Amerika itu, sementara di Indonesia memiliki jumlah lembaga serta peserta

didik yang kekurangan dana. Tokoh itu bernama Arief Rahman, Dosen

Universitas Negeri Jakarta. Saat berdialog dengan George W. Bush pada 20

Nopember lalu, ia memberikan gambaran bahwa Indonesia mempunyai

lebih dari 41 juta siswa yang harus kita didik dari TK sampai SMA, 2,1 juta

guru yang harus terus mengikuti perkembangan keilmuan dan harus terus

diperbaiki, dan 300.000 lembaga pendidikan yang harus terus ditingkatkan

kemampuannya. Seperti sejumlah tokoh lainnya yang diundang berdialog

dengan Bush, Arief hanya diberi waktu tiga menit untuk memaparkan

pemikirannnya. Ia lantas mengusulkan kepada sang presiden agar biaya

untuk peperangan di dunia ini sebaiknya dialihkan untuk pembangunan

pendidikan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Gambaran ini, merupakan salah satu bukti, bahwa betapa pentingnya

mengintegrasikan damai dalam konsep dan tata laksana pendidikan, baik di

Aceh, maupun di Indonesia secara umum serta di berbagai belahan dunia.

Page 179: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Damai dalam Pendidikan Islam Berasaskan Otonomi Khusus di Aceh

165Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal, dkk. Dimensi Pemikiran Hukum dalam Implementasi Syari’at Islam di Aceh. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2007

Abuddin. “Konsep Pendidikan Ibn Sina”, Disertasi. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1997

--------------.Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006

Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.

--------------.Wajah Aceh Dalam Lintas Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999

Ahmad, Khursyid. Principles of Islamic Education, terj. A.S. Robith, Surabaya: Pustaka Progressif, 1992

Ali Hasan, M., dan Mukti Ali. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003

Amiruddin, A. Hasbi. Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat Aceh. Lhokseumawe: Nadia Foundation, 2003

al-Attas, Syed Muhammad Naquib. The Concept of Education in Islam: Frame Work for an Islamic Philosophy of Education, terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1994

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Prenada Media, 2004

Budiman, M. Nasir. “Pendidikan Moral Qur’ani: Strategi Belajar Mengajar dan Evaluasi pada MAN se Daerah Istimewa Aceh. Disertasi. Yogyakarta: Pascasarjana IAIN Yogyakarta, 1998

--------------. Pendidikan dalam Perspektif Alquran. Jakarta: Madani Press, 2001.

Cryn dan Reksosiswoyo, Pengantar Pendidikan Pengajaran, Jakarta: Noor Dhof, 1989

Djajadiningrat, P.A. Hoesein, , “Islam di Indonesia”, Dari Sini Ia bersemi. Banda Aceh: Panitian Penyelenggara MTQ Tingkat Nasional, 1881

Fadjar, A. Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1998

Page 180: Sustaining Peace in Aceh

Abd. Wahid

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES166 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999

Hasjmy, A., “Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah”, Majalah Sinar Darussalam, No. 63, Banda Aceh: Ar-Raniry Pos, 1975.

--------------.Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah. Jakarta: Beuna, 1983.

--------------.“Keistimewaan Aceh dalam Bidang Pendidikan”, Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Majelis Pendikan Derah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995.

Hurgronje, Snouck, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid II. Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985

Idris, Safwan. “Perkembangan Pendidikan Pesantren/Dayah: Antara Tradisi dan Pembaharuan”, Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendikan Derah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995

Ismail, Azman, dkk, Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2007

Maksum.“Transformasi Pendidikan Islam di Lingkungan Departemen Agama pada Masa Orde Baru: Studi Tentang Pembaharuan Kurikulum dan Kelembagaan Madrasah”. Disertasi, Jakarta: Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1998

MPU. Kumpulan Undang-Undang, Perda, Qanun dan Instruksi Gubernur tentang Keistimewaan nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: MPU, 2003

Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Rosdakarya, cet. II. 2002

al-Nahlawiy, Abdurrahman. Pendidikan di Rumah-Sekolah dan Masyarakat, terj. Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press, 1983

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991

Rijal, Syamsul, dkk. Dinamika Keagamaan dalam Pelaksanaan Syari’at Islam, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2007

--------------. Dinamika dan Problematika Penerapan Syari’at Islam. Banda Aceh: Dinas Syari›at Islam, 2007

Page 181: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Integrasi Damai dalam Pendidikan Islam Berasaskan Otonomi Khusus di Aceh

167Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Said, Muhammad. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Penerbit Madju, 1981

Saleh, Abdul Rachman. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi dan Aksi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006

Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984

Syah, M. Kaoy. Keistimewaan Aceh dalam Lintasan Sejarah, Proses Pembentukan UU No. 44/1999. Jakarta: Pengurus Besar al-Jami’atul Washliyah, 2000

Undang-Undang Sisdiknas 2003. Jakarta: Sinar Grafika, 2006

World Vision, KONSEP DASARIntegrasi Pendidikan Damai dalam KTSP SDMelalui Majalah Harmonis Sebagai Sumber Belajar dengan Metode PAKEM, t.th

Yunus, Mahmud. Kamus Arab – Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Alquran, 1988

Page 182: Sustaining Peace in Aceh
Page 183: Sustaining Peace in Aceh

169

Pembelajaran Civic Education dalam Rangka Memperkuat Demokratisasi di Aceh

Juhari HasanJuhari Hasan merupakan Dosen Sosiologi dan Civic Education pada Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Beberapa pelatihan yang pernah diikuti antara lain: Studi Purna Ulama (SPU), IAIN Ar-Raniry, tahun 1993-1994; Workshop for Lecturers on Civic Education, UIN Jakarta, tahun 2001; Workshop for Lecturers on Civic Education, IAIN Imam Bonjol Padang, tahun 2002 dan tahun 2003; Workshop for Lecturers on Civic Education, Pusdiklat BPKP, Bogor, 2007; dan Short Course on Community Development, McGill University, Canada, 2008

Pendahuluan

Sepanjang sejarah, Aceh hampir tidak pernah sepi dari berbagai

konflik dan perang, seperti perang kemerdekaan melawan penjajah Belanda,

Jepang dan Portugis, Perang Cumbok, peristiwa DI/TII tahun1953, G.30 S/

PKI tahun dan Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 1976 (A.Rani Usman,

2003 : 114 – 133; Anthony Reid, 2007 : 2-3).

Pergolakan politik yang terus menerus mewarnai kehidupan sosial di

Aceh telah mendorong masyarakatnya terjebak ke dalam situasi yang kurang

menguntungkan. Salah satu problema yang dirasakan hingga saat ini adalah

kurangnya sumber daya manusia (SDM) handal yang mampu memajukan

Aceh sejajar dengan daerah lain di Indonesia. Meskipun Provinsi Aceh

telah mendapatkan julukan sebagai daerah modal dan memiliki predikat

istimewa yang diukuhkan melalui surat keputusan Perdana Menteri

Republik Indonesia Mr. Hardi Nomor : 1/ Missi/ 1959 (T.M.Yunus Nagor,

1995 : 67) dan Pengesahan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang

keistimewaan Aceh serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus (Himpunan UU, Kepres, Perda/ Qanun, Ingub dan Edaran

Page 184: Sustaining Peace in Aceh

Juhari Hasan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES170 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Gubernur : 2005 : 1 dan 12), namun kenyataan memperlihatkan bahwa

kehebatan Aceh saat ini tidak sehebat namanya.

Di samping lemahnya Sumber Daya Manusia, tidak berkembangnya

ekonomi kerakyatan, rendahnya pemahaman rakyat terhadap pendidikan

politik dan kekurangterbukaannya para tokoh agama dalam memahami dan

menghargai perbedaan yang ada baik secara tekstual maupun kontekstual

juga merupakan problema lain yang ikut mendorong mundurnya kehidupan

sosial di Aceh. Dalam situasi yang demikian, maka peluang bagi setiap

individu atau kelompok tertentu untuk mengklaim dirinya sebagai

kelompok paling sahih dan menolak keberadaan kelompok lain sebagai

kelompok yang tidak benar sangatlah terbuka lebar.

Klaim-klaim kebenaran yang terjadi di kalangan masyarakat, baik yang

berkaitan dengan urusan agama maupun politik merupakan fenomena dari

rendahnya sikap demokrasi yang diperlihatkan masyarakat baik ditingkat

grass root maupun di kalangan elite. Fenomena ini tidak saja didapati di

Aceh secara khusus, akan tetapi telah menjadi persoalan bangsa secara

nasional. Artinya, persoalan yang sama juga ditemukan di berbagai daerah

lain di Indonesia. Menyikapi berbagai persoalan bangsa yang ada, maka

pada tahun 2000 muncul gerakan intelektual di kalangan dosen IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta (sekarang Universitas Islam Negeri, disingkat UIN)

untuk menggalang kekuatan sehingga lahirlah mata kuliah Civic Education.

Pada tahun 2003 atas dukungan The Asia Foundation dan Indonesian

Centre for Civic Education (ICCE) mata kuliah ini mendapat pengesahan

resmi Menteri Agama Republik Indonesia sebagai pengganti mata kuliah

“Pendidikan Kewiraan” khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam

di Indonesia. Di antara tujuan mata kuliah ini adalah ingin mewujudkan

masyarakat Indonesia yang mampu mengembangkan kehidupan yang maju,

demokratis, adil dan beradab dengan selalu menjunjung tinggi hukum

dan HAM (Dede Rosyada, dalam A Ubaidillah: 2000:i). Sejak tahun 2000

kelompok ini telah berhasil membangun jaringan ke seluruh IAIN, UIN dan

STAIN se-Indonesia, termasuk IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dalam rangka

memperkuat civil society, penegakan HAM dan demokrasi di Indonesia yang

proses penegakannya diawali di kalangan mahasiswa.

Page 185: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pembelajaran Civic Education dalam Rangka Memperkuat Demokratisasi di Aceh

171Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pola pembelajaran Civic Education bagi mahasiswa tidak bersifat

mendikte atau memaksakan kehendak dari si pengajar akan tetapi lebih

bersifat membuka wawasan mahasiswa untuk memahami dan menemukan

sendiri berbagai persoalan yang ada di lingkungannya (baik lingkungan

kampus maupun di sekitar tempat tinggal mereka), serta mendorong

mereka untuk mencoba menyelesaikan persoalan yang ada itu secara

demokratis, arif dan bijaksana.

Civic education di perguruan tinggi Islam

Istilah Civic Education berasal dari kata Civic yang berarti masyarakat

sipil atau warga negara dan education yang bermakna pendidikan (John

M.Echols dan Hassan Shadily, 2003: 115 dan 207). Bila kedua kata ini

digabungkan maka akan melahirkan makna pendidikan kewargaan.

Penggunaan Civic Education menjadi salah satu mata pelajaran pokok di

Perguruan Tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, telah

dimulai sejak tahun 2000.

Sebelum zaman reformasi, khususnya saat rezim orde baru berkuasa

istilah civic education sebagai sebuah mata pelajaran agaknya belum dipakai

di kalangan Perguruan Tinggi. Namun pendidikan hampir serupa ini telah

dipraktekkan dalam kurikulum nasional Indonesia seperti Pendidikan

Moral Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewiraan.

Pada dasarnya beberapa pelajaran tersebut menginginkan tumbuh dan

berkembangnya semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan

peserta didik. Namun pada akhirnya cenderung memperlihatkan sesuatu

yang berbeda, dimana kepentingan politik pro status quo agaknya menjadi

sangat dominan dalam proses pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan

formal. Fenomena ini dipersulit lagi dengan adanya doktrin-doktrin politik

yang mengarah pada hilangnya semangat berdemokrasi dan pengekangan

hak-hak azasi manusia yang seharusnya dijunjung tinggi.

Pola pembelajaran demikian semakin lama agaknya semakin

menutup kebebasan berpikir, berkreasi dan berdemokrasi baik di kalangan

mahasiswa, dosen maupun di kalangan pegawai negeri lainnya, sehingga

telah menampilkan gaya-gaya kepemimpinan yang cenderung militeristik,

Page 186: Sustaining Peace in Aceh

Juhari Hasan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES172 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

lemahnya penegakan hukum dan hak-hak azasi manusia yang akhirnya

telah menimbulkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemimpin mereka.

Karena itu dapat dikatakan bahwa, bila berangkat dari suatu kurikulum

dan pola pembelajaran yang berbasis kepentingan politik suatu kelompok

tertentu, maka akan berujung pada kehancuran suatu bangsa itu sendiri.

Gerakan mahasiswa yang menuntut presiden Soeharto turun tahta dan

segera melakukan reformasi total di segala bidang merupakan wujud

kekecewaan anak bangsa terhadap sistem kepemimpinan negara yang

cenderung mengabaikan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan serta hak-

hak warga negara.

Berangkat dari fenomena sosial, ekonomi, hukum dan politik yang

kurang mengenakkan di zaman orde baru, maka muncul beberapa tokoh

yang menginginkan adanya pembaharuan kurikulum dalam rangka

mengembalikan harkat dan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang

maju dan demokratis. Karena itu pada tahun 2000 muncul sebuah gerakan

reformasi kurikulum berbasis kenegaraan yang diprakarsai oleh Universitas

Islam Negari (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diberi nama Civic

Education. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa pada tingkat praktis UIN

Jakarta sejak tahun akademik 2000 mulai menyelenggarakan Pilot Project

mata pelajaran Civic Education sebagai pengganti mata kuliah Pendidikan

Kewiraan (Azyumardi Azra, 2007 : 2).

Pada tahun 2001 atas bantuan dari The Asia Foundation, pilot

Project ini diperluas sekaligus disosialisasikan ke seluruh UIN, IAIN dan

STAIN, yaitu 6 UIN, 14 IAIN dan 30 STAIN yang ada di Indonesia. Evaluasi

menyeluruh terhadap Pilot Project ini dilakukan di Mataram pada tahun

2004 dengan menghadirkan Menteri Agama, para Rektor dan ketua STAIN

se- Indonesia. Hasil evaluasi terhadap proses pembelajaran Civic Education

dengan mengedepankan strategi Active Learning, Learning by Doing dan

Contextual Teaching and Laerning (CTL) menunjukkan hasil yang sangat

baik dan menjanjikan dalam rangka mengajarkan Civic Culture di kalangan

mahasiswa (Azyumardi Azra, 2007 : 2). Berangkat dari evaluasi nasional

tersebut Menteri Agama telah mengesahkan Civic Education menjadi mata

kuliah pengganti Pendidikan Kewiraan yang selama ini dinilai kurang

Page 187: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pembelajaran Civic Education dalam Rangka Memperkuat Demokratisasi di Aceh

173Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

memberikan wawasan demokrasi bagi peserta didik.

Adapun muatan kurikulum nasional pelajaran Civic Education dibagi

ke dalam 2 (dua) aspek, yaitu 3 (tiga) materi utama dan 5 (lima) materi

pendukung. Termasuk dalam materi utama adalah: (1) demokrasi, (2) HAM

dan (3) Masyarakat Madani. Sedangkan materi pendukung terdiri dari: (1)

Identitas Nasional dan Globalisasi, (2) Membangun Negara Berkeadaban,

(3) Konstitusi dan Tata Perundang-Undangan, (4) Otonomi Daerah Dalam

Kerangka NKRI, (5) dan Good and Clean Governance (A.Ubaedillah,dkk :

2006). Kedelapan materi tersebut dibahas secara bersama-sama antara

dosen dan mahasiswa dengan menempatkan mahasiswa dalam posisi

sebagai pencari informasi berdasarkan fenomena sosial yang ada

relevansinya dengan topik-topik yang dibahas. Dengan demikian melalui

proses pembelajaran dimaksud sekaligus telah mewariskan nilai-nilai

demokrasi dalam kehidupan mahasiswa.

Pembelajaran civic education sebagai wahana pendidikan demokrasi di

Aceh

Dalam kajian Civic Education ditemukan ada 3 (tiga) grand concept

yang sering dipakai dalam menjelaskan pendidikan kewargaan. Ketiga

konsep ini ditemukan dalam tulisan Udin Winataputra (2007: 12) yang

menyebutkan bahwa secara terminologis terdapat ada 3 (tiga) grand concept

yang sering dipakai dalam menjelaskan Pendidikan Kewargaan, yaitu Civics,

Civic Education dan Citizenship Education. Kata Civics merupakan istilah

yang paling tua sejak digunakan pertama kalinya oleh Chreshore pada

tahun 1886 yang berisi antara lain mempelajari hubungan antar warga

negara dan hubungan warga negara dengan negaranya. Hingga saat ini

istilah Civics masih digunakan sebagai nama mata pelajaran yang berdiri

sendiri atau terintegrasi ke dalam kurikulum sekolah lanjutan di Perancis,

Italia, Hongaria, Jepang, Netherlands, Spanyol, USA dan Singapore. Di

Indonesia sendiri istilah Civics ini pernah digunakan dalam kurikulum SMP

dan SMA pada tahun 1962, kurikulum SD pada tahun 1968 dan kurikulum

IKIP Bandung pada tahun 1973.

Pada tahun 1900-an diperkenalkan istilah Citizenship Education dan

Page 188: Sustaining Peace in Aceh

Juhari Hasan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES174 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Civic Education di Amerika Serikat. Istilah Citizenship Education cenderung

dipakai secara lebih luas tidak saja dalam pendidikan formal akan tetapi

juga di luar pendidikan formal. Hal ini berbeda dengan Civic Education yang

cenderung digunakan dalam pendidikan formal semata. Namun – menurut

Udin (2007) – kini istilah Civic Education lebih banyak digunakan di USA

serta beberapa negara baru di Eropa timur yang mendapat pembinaan

profesional dari Centre for Civic Education dan Universitas mitra kerjanya

di Amerika. (Udin S Winataputra, 2007 : 13).

Secara paradigmatik, Civic Education memiliki visi formal pedagogik

dalam rangka mendidik warga negara yang demokratis dalam konteks

pendidikan formal. Dalam rangka menyukseskan pembangunan Indonesia

menuju masyarakat madani, maka pembelajaran Civic Education mengusung

beberapa orientasi, antara lain :

1. Orientasi sosio – pedagogis, yaitu suatu orientasi yang dicanangkan

dalam rangka menggali dan mengembangkan potensi setiap individu

dari peserta didik (mahasiswa) untuk tampil sebagai makhluk Tuhan di

satu sisi dan sebagai makhluk sosial di sisi lain. Sebagai makhluk Tuhan

maka individu yang bersangkutan diharapkan mampu menempatkan

dirinya menjadi individu yang taat dengan selalu menjunjung tinggi

nilai-nilai ilahiyat dalam hidupnya. Sedangkan sebagai makhluk sosial

diharapkan setiap peserta didik menjadi warga negara yang bertanggung

jawab, demokratis, religius, egaliter, solider, adil dan beradab.

2. Orientasi sosiokultural, yaitu membangun wawasan kebersamaan dan

partisipatif di kalangan anak didik. Mahasiswa diharapkan mampu

memfasilitasi dan berpartisipasi dalam mewujukan cita-cita, sistem

nilai dan kepercayaan, konsep, prinsip dan semangat demokrasi dalam

konteks pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju,

adil dan makmur (masyarakat madani) secara cerdas dan bersahaja.

3. Orientasi substanstif–akademik, yaitu ikut mengembangkan konsep-

konsep ilmiah berkaitan dengan kehidupan kewargaan sebagai sumber

pengetahuan Civic Education, baik berkenaan dengan kemaslahatan

warga negara maupun pengembangan budaya bangsa itu sendiri.

Orientasi ini dapat diwujudkan melalui aktivitas riset tentang berbagai

Page 189: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pembelajaran Civic Education dalam Rangka Memperkuat Demokratisasi di Aceh

175Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

fenomena kebangsaan, terutama yang berhubungan dengan upaya-

upaya penegakan demokrasi, HAM dan masyarakat madani.

Ketiga orientasi agaknya menjadi modal dasar dalam membangun

tegaknya proses demokratisasi di Aceh. Konflik berkepanjangan yang

selama ini terjadi di Aceh agaknya juga bermuara pada rendahnya semangat

berdemokrasi yang dibangun oleh pemerintah pusat. Model pemerintahan

sentralistik yang diterapkan sejak pemerintahan Orde lama dan Orde Baru

terkesan telah memperkosa hak-hak demokrasi masyarakat sipil di berbagai

daerah, khususnya di Aceh. Inilah yang mendorong masyarakat Aceh

meneriakkan hak-haknya sebagai warga negara, namun teriakan itu kurang

terdengar oleh pemerintah pusat sehingga orang Aceh harus beberapa kali

berseteru dengan pemerintah pusat dalam bentuk pemberontakan (Mustafa

Abubakar, 2006 : 12, Ahmad Farhan Ahmid, 2006: bagian I).

Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka menyelesaikan

konflik Aceh, terutama melalui pendekatan pertahanan keamanan

dengan menempatkan militer sebagai ujung tombak penyelesaian. Pola

penyelesaian demikian terbukti tidak efektif dan tidak membuahkan hasil

yang maksimal. Namun setelah melalui pendekatan musyawarah (dialog)

dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi maka kedamaian di Aceh

dapat dinikmati oleh seluruh komponen masyarakat (Ahmad Farhan Hamid,

2006 : 477) menjelaskan bahwa saling mempercayai dan membangun

kerjasama yang harmonis antara pihak yang bertikai merupakan kunci

untuk membangun dan menjaga keberlangsungan damai di Aceh.

Berpijak dari kenyataan yang ada dalam masyarakat Aceh, dapat

ditegaskan bahwa penegakan demokrasi yang sesungguhnya di Aceh

merupakan salah satu pilihan upaya yang sangat urgen bagi meningkatkan

kenyamanan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Untuk itu

pemberian pemahaman yang komprehensif tentang makna demokrasi bagi

seluruh komponen masyarakat merupakan sesuatu yang mesti dilakukan.

Salah cara yang efektif untuk mensosialisasikan dan mewariskan nilai-nilai

demokrasi adalah melalui lembaga-lembaga pendidikan.

Perguruan Tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan formal

yang memiliki peran strategis untuk mewariskan nilai-nilai demokrasi

Page 190: Sustaining Peace in Aceh

Juhari Hasan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES176 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dan kebangsaan bagi generasi muda. Pendidikan dimaksud adalah model

pendidikan yang berorientasi pada pembangunan karakter bangsa melalui

pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran

melalui cara-cara yang demokratis, kritis, partisipatif, kreatif dan moralis.

Dalam konteks ini proses belajar mengajar bukan lagi menjadi monopoli

guru atau dosen, akan tetapi menjadi milik bersama dan menjadikan proses

belajar mengajar sebagai wadah untuk berdialog, berdiskusi dan belajar

bersama (A.Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2006: vii – viii).

Pola pembelajaran yang demikian dinilai sangat relevan bagi upaya

pengembangan pendidikan demokrasi di Aceh, sebab pengalaman belajar

di kelas dengan mempraktekkan demokrasi akan berpengaruh positif

terhadap proses transformasi nilai-nilai demokrasi yang diwujudkan

dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

sekolah atau Perguruan Tinggi merupakan laboratorium yang sangat

berguna untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa yang cerdas dan

memiliki komitmen menegakkan hukum, HAM dan demokrasi dengan

penuh tanggung jawab.

Penutup

Istilah Civic Education berasal dari kata Civic yang berarti masyarakat

sipil atau warga negara dan education yang bermakna pendidikan. Bila kedua

kata ini digabungkan maka akan melahirkan makna pendidikan kewargaan.

Pengesahan Civic Education menjadi salah satu mata pelajaran pokok di

Perguruan Tinggi – khususnya Perguruan Tinggi Islam seperti UIN, IAIN

dan STAIN di Indonesia. Di antara tujuan pembelajaran Civic Education di

Perguruan Tinggi adalah menumbuhkembangkan semangat berdemokrasi

dan saling menghargai perbedaan di kalangan mahasiswa sebagai penerus

estafet kepemimpinan bangsa.

Proses pembelajaran Civic Education dititikberatkan pada 3 (tiga)

orientasi utama, yaitu : (1) Orientasi sosio – pedagogis, yaitu suatu orientasi

yang dicanangkan dalam rangka menggali dan mengembangkan potensi

setiap individu untuk tampil sebagai makhluk Tuhan yang taat dengan

selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Ilahiyat dalam hidupnya. Sedangkan

Page 191: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pembelajaran Civic Education dalam Rangka Memperkuat Demokratisasi di Aceh

177Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

sebagai makhluk sosial diharapkan setiap peserta didik menjadi warga

negara yang bertanggung jawab, demokratis, religius, egaliter, solider, adil

dan beradab. (2) Orientasi Sosio – Kultural, yaitu membangun kebersamaan

dan semangat partisipatif di kalangan anak didik. Mereka diharapkan

mampu memfasilitasi dan berpartisipasi dalam mewujukan cita-cita,

sistem nilai dan kepercayaan, konsep, prinsip dan semangat demokrasi

dalam kontek pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju,

adil, makmur dan beradab. (3) Orientasi substanstif – Akademik, yaitu ikut

mengembangkan konsep-konsep ilmiyah berkaitan dengan kehidupan

kewargaan sebagai sumber pengetahuan Civic Education, baik berkenaan

dengan kemaslahatan warga negara maupun pengembangan budaya bangsa

itu sendiri. Orientasi ini dapat diwujudkan melalui aktivitas riset tentang

berbagai fenomena kebangsaan, terutama yang berhubungan dengan upaya-

upaya penegakan demokrasi, HAM dan masyarakat madani.

Pendidikan Civic Education yang berorientasi pada pembangunan

karakter bangsa dengan menempatkan peserta didik sebagai subjek

pembelajaran melalui cara-cara yang demokratis, kritis, partisipatif, kreatif

dan moralis merupakan salah satu model pembelajaran yang sangat efektif

dalam rangka mewariskan nilai-nilai demokrasi di kalangan anak didik.

Dalam konteks ini proses belajar mengajar bukan lagi menjadi monopoli

guru atau dosen, akan tetapi menjadi milik bersama dan menjadikan

proses belajar mengajar sebagai wadah untuk berdialog, berdiskusi dan

belajar bersama

Model pembelajaran demikian tentu sangat relevan bagi upaya

pengembangan pendidikan demokrasi di Aceh, sebab pengalaman belajar

di kelas dengan mempraktekkan demokrasi akan berpengaruh positif

terhadap proses transformasi nilai-nilai demokrasi yang diwujudkan

dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

sekolah atau Perguruan Tinggi merupakan Laboratorium yang sangat

berguna bagi mempersiapkan generasi penerus bangsa yang cerdas dan

memiliki komitmen menegakkan hukum, HAM dan demokrasi dengan

penuh tanggung jawab.

Page 192: Sustaining Peace in Aceh

Juhari Hasan

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES178

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. “Pendidikan Kewargaan: Tinjauan Politik”, Makalah Tidak Diterbitkan, disampaikan pada Seminar RUU Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta, 2007

Bakar, Mustafa Abu. Aceh Lon Damai Aceh Merdeka Abadi. Banda Aceh: BRR NAD – Nias, 2006

Echols, John dan Hassan Shadly. Kamus Inggris – Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2003

Hamid, Ahmad Farhan. Jalan Damai Nanggroe Endatu. Jakarta: Suara Bebas, 2006

Nagor, M Yunus. Melestarikan Tiga Keistimewaan Aceh. Banda Aceh: Citra Karya, 1995

Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh. Jakarta: Yayasan Obor, 2007

Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak. Demokrasi, Hak-Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE – UIN, 2006

Usman, A Rani. Sejarah Peradaban Aceh. Jakarta:Yayasan Obor, 2003

Winataputra, Udin S. “Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Alternatif Pembelajaran Demokrasi, HAM dan Civil Society”, Makalah tidak Diterbitkan, disampaikan Workshop for Lecturers on Civic Education, Jakarta, 2007

-----------. Himpunan UU, Kepres, Perda/ Qanun, Ingub dan Edaran Gubernur, Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2005

Page 193: Sustaining Peace in Aceh

179

Maslahah dalam Civil Society(Kajian dalam Perspektif Fiqh Siyasah untuk Konstribusi Perdamaian Aceh)

Syamsuar BasyariahKetua STAI Teungku Dirundeng Meulaboh, Aceh Barat. Menyelesaikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Dakwah, Magister (S-2) Konsentrasi Penyiaran dan Penerangan Agama Islam pada Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, dan Doktor (S-3) pada IAIN Ar-Raniry, konsentrasi Fiqh Modern

Pendahuluan

Mashlahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak

disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh

untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Namun, jika dikerjakan akan

mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah

disebut juga mashlahat yang mutlak. Karena tidak ada dalil yang mengakui

kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat

mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan

arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan

kerusakan bagi manusia.

Para ahli usul al-fiqh mengemukakan beberapa pembagian maslahah,1

Kemaslahatan manusia itu mempunyai tingkatan-tingkatan. Tingkatan

pertama lebih utama dari tingkatan kedua dan tingkat yang kedua lebih

utama dari tingkatan yang ketiga. Tingkatan-tingkatan itu, antara lain:

1 AbuIshaqal-Syatibi,al-Muwafaqatfi Usul al-Syari‘ah(Beirut:Daral-Ma’rifah,1973),8-12.AbuHamidal-Ghazali al-Mustasyfa fi ‘Ilm al-Usul,JilidI(Beirut:Daral-Kutubal-Islamiyyah,1983),139.

Page 194: Sustaining Peace in Aceh

Syamsuar Basyariah

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES180 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Tingkatan pertama yaitu tingkatan dhurari, tingkatan yang harus ada.

Tingkatan ini terdiri atas lima tingkatan pula, tingkatan pertama lebih utama

dari yang kedua, yang kedua lebih utama dari yang ketiga dan seterusnya.

Tingkatan-tingkatan itu adalah memelihara agama; memelihara jiwa;

memelihara akal; memelihara keturunan; dan memelihara harta. Sementara

tingkat yang kedua adalah tingkat yang diperlukan (haji), dan tingkat ketiga,

adalah tingkat tahsini. Dengan demikian kata Asafri Jaya Bakti, “Tidak

terwujudnya aspek daruriyyah dapat merusak kehidupan manusia dunia

dan akhirat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hajiyyah, tidak

sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, akan tetapi hanya membawa

kepada kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya.

Sedangkan pengabaian aspek tahsiniyyah, membawa upaya pemeliharaan

lima unsur pokok tidak sempurna.”2 Ketiga kemashalahatan ini perlu

dibedakan, sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam

mengambil suatu kemaslahatan. Kemaslahatan daruriyyah harus lebih

didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah dan kemaslahatan hajiyyah

lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyyah.3 Dengan demikian, berarti

telah menempatkan kemaslahatan pada tempat yang proporsional.

Di antara contoh mashlahat mursalah adalah usaha khalifah

Abu Bakar mengumpulkan Alquranyang terkenal dengan jam’ul Quran.

Pengumpulan Alquran ini tidak disinggung sedikitpun oleh syara’, tidak

ada nash yang memerintahkan dan tidak ada nash yang melarangnya.

Setelah terjadi peperangan Yamamah banyak para penghafal Alquranyang

mati syahid (± 70 orang). Umar bin Khattab melihat kemaslahatan yang

sangat besar pengumpulan Alquranitu, bahkan menyangkut kepentingan

agama (dhurari). Seandainya tidak dikumpulkan, dikhawatirkan Alquran

akan hilang dari permukaan dunia nanti. Karena itu Khalifah Abu Bakar

menerima anjuran Umar dan melaksanakannya.

Demikian pula tidak disebut oleh syara’ tentang keperluan mendirikan

rumah penjara, menggunakan mikrofon di waktu adzan atau shalat jama’ah,

2 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid Syari‘ah Menurut al-Syatibi, Cet. I (Jakarta:RajaGrafindoPersada,1996),72.3 NasrunHaroen,Ushul Fiqh I, Jil.I,Cet.II(Jakarta:LogosWacanaIlmu,1997),116.

Page 195: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Maslahah dalam Civil Society

181Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

menjadikan tempat melempar jumrah menjadi dua tingkat, tempat sa’i dua

tingkat, tetapi semuanya itu dilakukan semata-mata untuk kemashlahatan

agama, manusia dan harta.

Dalam mengistinbatkan hukum, sering kurang dibedakan antara

qiyas, istihsan dan mashlahat mursalah. Pada qiyas ada dua peristiwa atau

kejadian, yang pertama tidak ada nashnya, karena itu belum ditetapkan

hukumnya, sedang yang kedua ada nashnya dan telah ditetapkan hukumnya.

Pada istihsan hanya ada satu peristiwa, tetapi ada dua dalil yang dapat

dijadikan sebagai dasarnya. Dalil yang pertama lebih kuat dari yang kedua.

tetapi karena ada sesuatu kepentingan dipakailah dalil yang kedua. Sedang

pada mashlahat mursalah hanya ada satu peristiwa dan tidak ada dalil yang

dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa itu, tetapi

ada suatu kepentingan yang sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan

hukumnya. Karena itu ditetapkanlah hukum berdasar kepentingan itu.

Imam al-Ghazali menggunakan istilah istishlah sebagai kata yang sama

artinya dengan mashlahat mursalah.

Dasar hukum

Para ulama yang menjadikan mashlahat mursalah sebagai salah satu

dalil syara’, menyatakan bahwa dasar hukum mashlahat mursalah adalah

sebagai berikut:

a) Persoalan yang dihadapi manusia selalu tumbuh dan berkembang,

demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya. Kenyataan

menunjukkan bahwa banyak hal-hal atau persoalan yang tidak terjadi pada

masa Rasulullah, kemudian timbul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya,

bahkan ada yang terjadi tidak lama setelah Rasulullah meninggal dunia.

Seandainya tidak ada dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang demikian

berarti akan sempitlah kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang dapat

menetapkan mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan mana

yang tidak sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama Islam. Jika hal itu

telah ada, maka dapat direalisir kemaslahatan manusia pada setiap masa,

keadaan dan tempat.

b) Sebenarnya para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ulama

Page 196: Sustaining Peace in Aceh

Syamsuar Basyariah

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES182 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat

segera menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin

pada masa itu. Khalifah Abu Bakar telah mengumpulkan AIquran, Khalifah

Umar telah menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh

tiga, padahal pada masa Rasulullah hanya jatuh satu, Khalifah Utsman

telah memerintahkan penulisan Alquran dalam satu mushaf dan Khalifah

Ali pun telah menghukum bakar hidup golongan Syi’ah Rafidhah yang

memberontak, kemudian diikuti oleh para ulama yang datang sesudahnya.

c) Obyek mashlahat mursalah

Yang menjadi obyek mashlahat mursalah, ialah kejadian atau

peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun

nash (Alqurandan Hadits) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini

disepakati oleh kebanyakan pengikut madzhab yang ada dalam fiqh,

demikian pernyataan Imam al-Qarafi ath-Thufi dalam kitabnya Mashalihul

Mursalah menerangkan bahwa mashlahat mursalah itu sebagai dasar untuk

menetapkan hukum dalam bidang mu’amalah dan semacamnya. Sedang

dalam soal-soal ibadah adalah Allah untuk menetapkan hukumnya, karena

manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadat itu. Oleh

sebab itu hendaklah kaum muslimin beribadat sesuai dengan ketentuan-

Nya yang terdapat dalam Alquran dan Hadis.

Menurut Imam al-Haramain: Menurut pendapat Imam asy-Syafi’i dan

sebagian besar pengikut Madzhab Hanafi, menetapkan hukum dengan

mashlahat mursalah harus dengan syarat, harus ada persesuaian dengan

mashlahat yang diyakini, diakui dan disetujui oleh para ulama.

Seluk beluk civil society

Sebagai sebuah gagasan, civil society adalah produk pengalaman

sejarah, yakni sejarah masyarakat Barat. Sepanjang sejarahnya, civil society

mengalami pelbagai model pemaknaan, sejalan dengan keragaman dan

dinamika pemikiran serta keragaman dan dinamika konteks kesejarahan

tempat pemikiran itu diterapkan. Dalam sejumlah literatur, terdapat

sejumlah model pemaknaan civil society.

Pemahaman yang paling kuno, civil society dipahami sebagai sistem

Page 197: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Maslahah dalam Civil Society

183Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

kenegaran. Civil society identik dengan state (Negara).4 Pemahaman demikian

dikembangkan oleh Aristoteles dan lain-lain. Pada paruh kedua abad ke-18,

Adam Ferguson (1767)5 lebih memaknai civil society sebagai visi etis dalam

kehidupan bermasyarakat untuk memelihara tanggung jawab sosial yang

bercirikan solidaritas sosial dan yang terilhami oleh sentiment moral serta

sikap saling menyayangi antar warga secara alamiah. Ketiga, Thomas Paine

(1792) mulai memaknai civil society dalam posisi diametral dengan Negara,

bahkan civil society dinilai sebagai antitesis Negara. Negara harus dibatasi

sampai sekecil-kecilnya, karena keberadaannya hanyalah keniscayaan

buruk (necessary evil)6 belaka. Civil society harus lebih kuat dan mengontrol

Negara demi keperluannya.

Bila Karl Marx menempatkan civil society pada basis material, Gramsci

menaruhnya pada superstruktur, berdampingan dengan Negara yang

ia sebut sebagai political society. Civil society adalah tempat perebutan

posisi hegemonik di luar kekuatan Negara. Di dalamnya, aparat hegemoni

mengembangkan hegemoni untuk membentuk consensus dalam masyarakat.

Mohammad AS. Hikam7mengkatagorikan Hegel, Karl Marx, dan

Gramsci ini sebagai pemakna civil society dalam pengertian ”elemen

ideology kelas dominant”. Itulah model keempat pemaknaan civil society.

Model terakhir ini kemudian diperkaya oleh Hannah Arendt dan Juergen

Habermas dengan ”ruang publik yang bebas” (the free public sphere). Dengan

demikian, terwujudnya ruang publik yang bebas merupakan elemen utama

dalam perjuangan pembentukan civil society.

4 IstilahCivil Society (koinonie politike, societas civilis, buergarliche gesellschaft, civil society, societa civile), dipakai secara bergantian dengan state (polis, civitas, etat, staat, state, dan stato).JohnKeane,“DespotismandDemocracyTheOriginsandDevelopmentofTheDistinctionBetweenCivilSocietyandTheState1750-1850”,dalamJohnKeane(ed.),Civil Society and The State New European Perspectives,(NewYork:Verso,1988),35.5 ErnestGellner,Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan(Bandung:Mizan,1995),68-90.6 JohnKeane,Civil Society and …,45.7 MuhammadAS. Hikam, Civil Society dan Masyarakat Indonesia, makalah seminar“MencariKonsep,Keberadaan,danStrategiMewujudkanCivil SocietydiIndonesia”olehLP3ESdanYAPPIKA,Jakarta,14April1998,5-8.

Page 198: Sustaining Peace in Aceh

Syamsuar Basyariah

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES184 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Civil society model Tocqueville sebagai rekonstruksi pengalaman

Amerika dan kemudian tumbuh di Eropa inilah yang selanjutnya menjadi

basis kehidupan demokrasi modern, yang berlandaskan prinsip toleransi,

desentralisasi, kewarganegaraan, aktivisme dalam ruang publik, sukarela,

swasembada, swadaya, otonom, dan konstitusionalisme. Secara institutional,

civil society mewujud dalam berbagai asosiasi yang dibuat masyarakat di

luar pengaruh Negara. Misalnya, lembaga swadaya masyarakat, organisasi

sosial dan keagamaan, paguyuban, kelompok kepentingan, partai politik,

hingga organisasi yang awalnya dibentuk Negara, namun berfungsi sebagai

pelayan masyarakat, seperti Konnas HAM di Indonesia.

Masyarakat madani yang dikenal dari bahasa asalnya civil society

berasal dari bahasa Latin “civilis,” yang berarti warga, diterjemahkan dengan

bermacam-macam. Diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim,8 dan

kemudian dipopulerkan oleh cendekiawan muslim, pakar fiqh siyasah

dusturiyyah, Nurcholish Madjid. Nurcholish Madjid juga menterjemahkan

dengan bahasa yang sama “masyarakat madani.” Terjemahan ini

dipromosikan Nurcholish Madjid dan sangat kuat diterima oleh Tim Nasional

Reformasi Menuju Masyarakat Madani semasa B. J. Habibie.9 Dalam buku

kecil Ringkasan Eksekutifnya, disimpulkan antara lain: “Untuk menghindari

perdebatan yang berkepanjangan dan tidak perlu, maka “masyarakat

madani.” 10 disepakati sebagai terjemahan dari “civil society.” Walaupun

8 DalamceramahnyapadaSimposiumNasionaldalamrangkaFestivalIstiqlaldiJakarta,26September1995,AnwarIbrahim-saatitumasihmenjabatsebagaiMenteriKeuangandanTimbalanPerdanaMenteriMalaysia-memperkenalkanistilah“masyarakatmadani”untukcivil societyyangmemangsudahberkembangdiMalaysia.DawamRahardjo,“Masyarakat Madani...,1.9 TimNasional ReformasiMenujuMasyarakatMadani,Transformasi Bangsa Menuju Masyarakat Madani(Jakarta:SekretariatTimMadani,kantorSekwapres,1999),2-3.10 NurcholishMadjid tidakmenterjemahkancivil societydenganmasyarakat sipilkarenadikhawatirkan akan bertentangan dengan masyarakat militer. Hal ini dipertegas olehAzyumardiAzra,yangkatanya“sejauhyangsayaketahui,diatidakmempersoalkanantarasipildenganmiliter.CakNurtetapmenolakketerlibatanmiliterdidalampolitik.Masyarakatmadani,bagidiaadalahtegaknyanilai-nilaikeadaban,apakahmelaluilembagapemerintahataunonpemerintahsehingga civil societybisahidup.Adalaw and order.”AzyumardiAzra,Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih,Cet.I(Bandung:Mizan,2000),313.

Page 199: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Maslahah dalam Civil Society

185Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

wacana tentang masyarakat madani belum berumur panjang, namun cita-

cita untuk mewujudkan masyarakat madani telah berkembang sejak zaman

pergerakan kemerdekaan.” Satu konsep pentingnya adalah fungsi relasional

“negara vs masyarakat,” yakni melindungi individu, sebagai suplementer

kepada tugas negara, dan sebagai pengisi atau komplemen “terhadap hal-

hal penting dalam kehidupan sosial yang berada di luar jangkauan atau

perhatian negara.”11

Bagaimana Nurcholish Madjid mengartikan masyarakat madani?.

Masyarakat madani menurut Nurcholish terdiri dari dua kata yakni

“masyarakat” dan “madani.” “madani” berasal dari kata ‘Arab al-madaniyyah

yang artinya peradaban. Dalam bahasa Inggris, istilah yang sepadan dengan

ini adalah kata civility yang berarti “keadaban.” Dalam bahasa ‘Arab modern,

terjemahan civil society adalah al-mujtama‘ al-madani.

Nampak jelas bahwa dalam konteks ini yang menjadi kata kunci

bagi Nurcholish Madjid adalah “Madinah” yang secara etimologis berarti

“kota.” Dalam literatur bahasa ‘Arab, kata ini bermakna “pola hidup

berperadaban,” yang karena itu, istilah madaniyah berarti “peradaban.”

Dengan mengutip Ensiclopedia Britannica, Nurcholish Madjid mengatakan

bahwa kata ini pun dipergunakan dalam bahasa Ibrani menjadi Madinah,

madinat, atau medinat, dan mengalami perubahan makna menjadi “negara.”

Dalam bahasa Ibrani, nama resmi Israel adalah Madinat Israel atau Medinat

Yisra’il. Kesimpulannya, istilah Madinah, erat kaitannya dengan “negara.”

Setidaknya “negara-kota” yang menyiratkan pentingnya aspek keadaban,

dan dalam bahasa ‘Arab hal tersebut adalah madaniyah atau dalam bahasa

Inggris disebut civility.12

Selanjutnya, dalam membahas atau merumuskan masyarakat madani,

Nurcholish Madjid sering mengintegralistikkan antara tiga kata yakni

masyarakat madani, civility, dan demokrasi.13 Dalam pandangan Nurcholish

11 TimNasionalReformasiMenujuMasyarakatMadani,Transformasi Bangsa….2-3.12 NurcholishMadjid,“Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,”Makalah yang disempurnakan dari pidatoHalal bi Halal KAHMI, Jakarta, 11 Syawal1419/28Januari1999,1-2.13 Reformasi tidak dapat dipisahkan dari demokrasi. Tetapi demokrasi, menurut suatu

Page 200: Sustaining Peace in Aceh

Syamsuar Basyariah

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES186 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Madjid, jika demokrasi-sebagaimana dipahami di negara maju-harus

mempunyai “rumah,” maka rumahnya adalah “masyarakat madani” atau

“civil society,” sementara “civility” merupakan kualitas etik yang dimiliki

oleh masyarakat itu sendiri,14 seperti toleransi, keterbukaan, kebebasan, dan

tanggung jawab. Bagaimana keterkaitan masyarakat madani dengan civility?

Eksistensi masyarakat madani, lebih jauh, tegas Nurcholish Madjid sangat

determinan oleh sejauh mana kualitas civility tersebut dimiliki warganya.

Civility mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk

menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial, juga

kesediaan untuk menerima pandangan bahwa tidak selalu ada jawaban

yang benar15 atas suatu masalah.16

Di atas segalanya, rumusan yang diajukan oleh Nurcholish Madjid

harus diberi perhatian secara lebih luas. Sebagian besar melalui rumusannya,

wacana tentang civil society dengan terjemahan “masyarakat madani”

akhirnya dapat diterima banyak kalangan di Indonesia.17 Bahkan, dalam

beberapa hal, rumusan Nurcholish Madjid itulah yang menandai titik akhir

analisis pengamat sosial politik, tidak mungkin berlangsung jika civil society lemahdalam berhadapan dengan negara. Demokrasi akan berlangsung jika civil society kuatdalamberhadapandengannegara.Mengenaipengertiandankonsepdemokrasidannilai-nilainyayangdimaksudkanNurcholishMadjidtelahdikajidalambentuktesisolehAnasUrbaningrum (mantan Ketua Umum PB HMI-sekarang Ketua DPP Partai Demokrat)denganjudulIslamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid,Cet.I(Jakarta:Republika,2004).14 NurcholishMadjid,Cita-cita Politik Islam Era Reformasi,Cet.I(Jakarta:Paramadina,1999),144-149.15 Kebenaran manusia dalam pandangan Nurcholish Madjid bersifat relatif, sementarakebenaran absolut hanya ada di tangan Tuhan. Jadi dengan demikian, kata NurcholishMadjid“tidakadaklaimkebenaran.”16 NurcholishMadjid,Cita-cita Politik …,148.17 Suatu isupentingdalam“KonstitusiMadinah”adalahpersamaansemuawarga,sebagaielemenpokokcivil societyatau“masyarakatmadani”satuterjemahanyangdipromosikanNurcholish Madjid dan sangat kuat diterima oleh Tim Nasional Reformasi MenujuMasyarakatMadani semasaB. J.Habibie.TimNasionalReformasimenujuMasyarakatMadani, Transformasi Bangsa menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Sekretariat TimMadani,kantorSekwapres,1999).

Page 201: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Maslahah dalam Civil Society

187Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dari usaha merumuskan visi tentang civil society bagi kalangan muslim.18

Ketika para intelektual dan aktivis lain seperti Mohammad AS Hikam,

Dawam Rahardjo, dan Mansour Fakih mengalami kesulitan mendasar untuk

menarik wacana civil society ke dalam konteks kesejarahan Islam, karena

keyakinan mereka bahwa tradisi Islam tidak memiliki pengalaman historis

mengenai hal tersebut, Nurcholish Madjid secara meyakinkan meminjam

istilah Anwar Ibrahim dan kemudian melacak akar-akar sejarah sosial Islam

dari konsep tersebut.

Hal inilah yang agaknya membuat banyak orang merasa bahwa

ternyata Islam memiliki fondasi yang kuat dalam apa yang sekarang

disebut civil society. Melalui tangan Nurcholish Madjid, istilah “masyarakat

madani” seakan-akan mendapatkan kesejatian dan daya tarik yang

ampuh.19Kemudian dari hasil bacaan dan pengamatan Hendro Prasetyo,

Ali Munhanif, dan kawan-kawan, mengatakan “wacana tentang masyarakat

madani kemudian menjadi semakin dekat dengan wacana keagamaan

Islam. Inilah salah satu yang akhirnya menjadi acuan bagi banyak orang

untuk tidak lagi ragu mensandingkan wacana tentang civil society dan

pesan-pesan sosial politik Islam.”20

Atas dasar penjelasan di atas, dalam sebuah wawancara dengan Ahmad

Baso, yang direkam kembali oleh Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dan kawan-

kawan, bahwa rumusan Nurcholish Madjid tentang masyarakat madani

menyebabkan “banyak kalangan intelektual-aktivis Islam tidak lagi mengalami

stigma intelektual ketika berbicara mengenai wacana tersebut, dimana

sebutan-sebutan yang kental dalam nuansa civil society dari pengalaman

sejarah sosial Eropa, seperti masyarakat borjuis, sekuler, liberalisme, dan

kritik terhadap institusi dan kekuasaan, muncul.”21 Di sini masyarakat madani

18 Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia(Bandung:PustakaHidayah,1999).19 HendroPrasetyo,AliMunhanif,dkk.,Islam dan Civil Society …,169.20 NurcholishMadjid,“Asas-asas Pluralisme …,1-2.21 HendroPrasetyo,AliMunhanif,dkk.,Islam dan Civil Society …,169.

Page 202: Sustaining Peace in Aceh

Syamsuar Basyariah

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES188 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dengan ciri khas22 terpokok menjadikan kehidupan masa Nabi Muhammad

sebagai teladan tentu memiliki nilai tambah tersendiri dibanding dengan

gerakan civil society kalangan lain yang lebih banyak mendasarkan diri pada

pengisian makna dari konsep-konsep dan pengalaman Barat. Dengan bahasa

lain, dalam konsep civil society kelihatan nuansa agama yang tidak dominan,

dan itu berarti belum mencapai tingkat civility.23

Nabi Muhammad telah merintis dan memberi teladan kepada

umat manusia dalam membangun masyarakat madani (masyarakat yang

berperadaban) dengan mereformasi sosio-kultural masyarakat Yasthrib

yang kering dari nilai-nilai etika, dan tidak mengindahkan hak-hak azasi

perorangan serta suatu tatanan masyarakat yang kacau. Perubahan

mendasar yang dipelopori Nabi Muhammad ini, kata Nurcholish Madjid

mengantarkan masyarakat Yasthrib kepada suatu tatanan masyarakat

berperadaban (ber-madaniyyah), masyarakat yang tunduk dan patuh

kepada ajaran kepatuhan (al-Din) dan dinyatakan dalam supremasi hukum

dan peraturan.24 Usaha Nabi Muhammad itu disebut juga sebagai proses

pembinaan kesadaran dan perpecahan dengan mencari dan mengaktualkan

kembali petunjuk Allah, sehingga mentransformasikan masyarakat Arab

menjadi masyarakat madani. Proses ini dapat dikatakan sebagai proses

yang relatif panjang, sebab lebih kurang dua puluh tiga tahun lamanya Nabi

Muhammad berjuang untuk itu.25

22 Ciri-ciri mendasar masyarakat madani yang dibangun Nabi Muhammad menurutNurcholish Madjid di antaranya: 1). Egalitarianisme; 2). Penghargaan kepada orangberdasarkanprestasi (bukankesukuan,keturunan,ras,dansebagainya);3).Keterbukaanpartisipasiseluruhanggotamasyarakat;4).Penegakanhukumdankeadilan;5).Toleransidan pluralisme; 6). Musyawarah. Nurcholish Madjid, Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi,Cet.II,(Jakarta:RajaGrafindoPersada,1999),193.23 AhmadBaso,Civil Society versus Masyarakat Madani:…,254.24 NurcholishMadjid,“Masyarakat Madani dalam Perspektif Agama dan politik, Asas-Asas Pluralisme dalam Masyarakat Madani”.MakalahdisampaikanpadaSeminarNasionaldiAuditoriumIAINJakarta22Pebruari1999,1.25 Safwan Idris, “Menuju Masyarakat Madani dengan Bimbingan al-Qur’an”,makalahdisampaikanpadaacaraCeramahNuzulQuran17Ramadhan1419H/4Januari1999MdimasjidIstiqlalJakarta.

Page 203: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Maslahah dalam Civil Society

189Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Setelah mencapai tingkat kemapanan, nama Yathrib dirubah Nabi

Muhammad menjadi “Madinah”26 artinya “kota,” kemudian sering dilengkapi

menjadi “al-Madinah al-Nabiy,” sampai sekarang terkenal dengan nama “al-

Madinah al-Munawwarah.”27 Secara konvensional, perkataan “Madinah”

diartikan dengan “kota,” tetapi secara ilmu kebahasaan perkataan itu

mengandung makna peradaban. Dalam bahasa ‘Arab, untuk “peradaban”

digunakan kata-kata “madaniyyah” atau “tamaddun,”28 selain kata hadarat.

Berangkat dari pengertian kata tersebut, Nurcholish Madjid

memandang tindakan Nabi Muhammad merubah nama “Yathrib” menjadi

“Madinah” pada dasarnya adalah pernyataan niat, atau proklamasi,

bahwa Nabi Muhammad bersama pendukungnya (Muhajirin dan Ansar)

hendak mendirikan dan membangun masyarakat yang berperadaban (ber-

madaniyyah),29 sehingga perubahan nama memiliki makna yang integral

dan sesuai dengan karakter masyarakatnya.

Cita-cita fiqh siyasah dusturiyyah Nurcholish Madjid ingin mewujudkan

masyarakat Islam (Islamic society) yang dalam wacana lain sering disebut

“masyarakat madani” yang ia terjemahkan dari “civil society.” Civil society

menurut Nurcholish Madjid sebagaimana dikutip Ernest Gellner adalah

“produk Barat.” Tetapi secara substansial paradigma nilai masyarakat madani

itu telah terdapat dalam ajaran Islam. Adanya hubungan konseptual antara

civil society dengan nilai-nilai dasar Islam, dalam perspektif Nurcholish

Madjid dapat ditemukan dalam seluk-beluk demokrasi.

26 SebelumnyabernamaYathrib.Yathribsebuahnamayangmengandungkonotasipagan,dankemudianberubahmenjadiMadinat al-Nabiy(kotaNabi)paskahijrahnyaRasulullahke negeri ini. Cyril Glassie, The Concice Encyclopedia of Islam, (London: StaceyInternational,1989),h.226.Madinahmempunyai29nama,dimanasalahsatunyaadalahYathrib.27 Diterimanya perubahan nama dariYathribmenjadiMadinah al-Nabiy atauMadinah al-Munawwarah sebagaibentukpenghormatanterhadapNabiMuhammad.BadriYatim,Sejarah Peradaban Islam,Cet.IX(Jakarta:RajaGrafindoPersada,1999),25.28Wahbah Zuhaily membedakan pengertian antara term tamaddun dan madaniyyah.Tamaddunberartijugamodernisasiataukosmopolitansi,sementaramadaniyyahmerupakanfisikkosmopolitansi.Fisik,saranaperhubunganyangdapatditerima.29 NurcholishMadjid,Cita-cita Politik…,164.

Page 204: Sustaining Peace in Aceh

Syamsuar Basyariah

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES190 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Masyarakat madani memiliki banyak ide (bersifat kelompok atau

lokal) tentang kiat-kiat membangun negara, sementara negara adalah

representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik

warganya dan berhak penuh untuk intervensi ke dalam civil society. Dengan

demikian, civil society adalah entitas yang cenderung melumpuhkan diri

sendiri (myself crippling entity),30 dan karenanya memerlukan tuntunan

negara lewat kontrol hukum, administrasi, dan politik.

Intervensi negara dalam wilayah masyarakat, bagi Nurcholish

Madjid, bukanlah tindakan illegitimate. Karena negara adalah pemilik ide

universal, dan hanya pada dataran negara, politik bisa berlangsung murni

serta utuh. Selain itu, masyarakat madani atau civil society modern pada

kenyataannya tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri serta tidak

mampu mempertahankan keberadaannya bila tanpa keteraturan politik

dan ketertundukan pada institusi lebih tinggi, yakni negara.

Demokrasi dalam pandangan Nurcholish Madjid berfungsi sebagai

the rule of game. Tentu saja demokrasi digunakan sebagai mekanisme

untuk mengoreksi “kesalahan-kesalahan pelaksanaan pemerintahan

dan penggunaan kekuasaan ditinjau dari sudut kepentingan rakyat dan

ketentuan-ketentuan konstitusional.”31 Jika demikian, demokrasi akan

berkembang secara dinamis, dan karenanya pula perlu pengawasan yang

lestari dengan mengikutsertakan semua warga negara dalam keterbukaannya

sistem demokrasi. Keikutsertaan masyarakat menyebabkan demokrasi itu

tidak statis. Ukurannya adalah proses progresif yang mengikuti suatu garis

kontinum. Jadi kata Nurcholish Madjid “antara keadaan masyarakat kita

sekarang ini (das Sein) dan keadaan demokratis yang kita kehendaki (das

Sollen) tidak bisa kita ukur jarak ruang atau waktunya.”

Selanjutnya, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa “suatu masyarakat

tidak demokratis jika tidak ada proses demokratisasi. Sebaliknya, cukuplah

suatu masyarakat disebut demokratis, jika terdapat proses demokratisasi

yang lestari dan konsisten.” Proses seperti ini, lanjutnya, adalah bisa

30 JohnKeane,Civil Society and …,50.31 NurcholishMadjid,Cita-citaPolitik …,69.

Page 205: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Maslahah dalam Civil Society

191Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

diukur atau diketahui dalam beberapa “check-list,” terutama bagaimana

kita mengembangkan nilai-nilai yang merupakan implikasi masyarakat

demokratis seperti nilai-nilai tawhid, hak-hak asasi manusia, kebebasan

menyatakan pendapat, kebebasan berserikat, tertib dan keadilan hukum,

perwujudan, kesempatan yang merata, dan seterusnya.32Nilai-nilai ini jika

diaplikasikan dalam kehidupan, diyakini akan membawa pelakunya kepada

kemaslahatan.

Maslahah dalam civil society

Maslahah dalam ushul fiqh terbagi tiga macam sebagaimana yang telah

diuraikan di atas. Ketika kajian fiqh siyasah dikaitkan dengan maslahah,

maka ternyata dalam fiqh siyasah dapat juga dimasukkan ketiga macam

mahlahah yang terdapat dalam pembahasan ushul fiqh yaitu Daruriyyah

(primer), Hajiyyah (sekunder), dan Tahsiniyyah (tertier). Berdasarkan

pembahasan yang telah lalu, ditemukan sejumlah nilai-nilai civil society

yang relevan dengan maslahah sebagimana terdapat pada tabel berikut:

Nilai-nilai Civil Society Berdasarkan Maslahah

No. Macam-macam Maslahah Nilai-nilai Civil Society

1. Daruriyyah (primer) Tawhid

2. Hajiyyah (sekunder) Keadilan, musyawarah, amanah, kebebasan, persaudaraan, penegakan hukum, persamaan, HAM, dan nilai pertanggung jawaban publik.

3. Tahsiniyyah (tertier) -

Dilihat dari macam-macam maslahah yang terbagi kepada tiga

yaitu maslahah daruryyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah, maka nilai-nilai

civil society dapat digolongkan kepada dua macam maslahah. Pertama,

maslahah daruriyyah dan yang termasuk di dalamnya hanya satu yaitu

prinsip pokok atau tawhid. Kedua, maslahah hajiyyah dan yang termasuk

32 NurcholishMadjid,Cita-citaPolitik …,70-71.

Page 206: Sustaining Peace in Aceh

Syamsuar Basyariah

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES192 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dalam kelompok ini adalah nilai-nilai keadilan, musyawarah, amanah,

kebebasan, persaudaraan, penegakan hukum, persamaan, HAM, dan prinsip

pertanggung jawaban publik.

Kesesuaian Nilai-nilai civil society dengan Maqasid Syar‘iyyah

No. Nilai-nilai Civil Cociety Maqasid syar‘iyyah1. Tawhid Hifz al-din2. Keadilan Hifz al-mal3. Musyawarah Hifz al-‘aql4. Amanah Hifz al-mal5. Kebebasan Hifz al-nafs6. Persaudaraan Hifz al-nasl7. HAM Hifz al-nasl8. Persamaan Hifz al-mal9. Pertanggung jawaban publik Hifz al-din

Konsep dan penerapan nilai utama (tawhid) yang baik dikaitkan

dengan maqasid syar‘iyyah pada tabel di atas termasuk katagori Hifz al-

din (menjaga agama). Adapun penerapan nilai-nilai pendukung (keadilan,

musyawarah, amanah, kebebasan, persaudaraan, persamaan, dan nilai

pertanggung jawaban publik) dikaitkan dengan maqasid syar‘iyyah

termasuk katagori hifz al-mal (menjaga harta).

Penerapan nilai musyawarah termasuk katagori hifz al-‘aql (menjaga

akal) dan nilai persaudaraan termasuk katagori hifz al-nasl (menjaga

keturunan). Sementara penerapan prinsip pendukung (HAM) yang dikaitkan

dengan maqasid syar’iyyah termasuk katagori hifd al-nafs (menjaga jiwa).33

‘Illatnya karena manusia adalah makhluk paling mulia dan ciptaan Allah

tertinggi. Maka memelihara, menjaga dan melindungi jiwa serta memenuhi

33 DibandingkandenganAhmadFarrag,‘AliShari‘ati,Brugger,Hohfeid,JackDonnelly,MuhammadArkoun,A.Gewirth,C.R.Beitz,McClosky,danFeinberg,NurcholishMadjiddalampandanganM.M.Billah “belummengelaborasi implikasi pandangannya tentangkonsepmanusiaitukedalampemikirantentanghakasasimanusia,kecualiamatsekilasmendaftarbeberapahaksecaratersurat.”M.M.Billah,“RefleksiatasPemikiranHAMCakNur,”dalamAbdulHalim,(Editor):Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan: Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid,Cet.I(Jakarta:PenerbitBukuKompas,2006),254.

Page 207: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Maslahah dalam Civil Society

193Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

hak-hak dasarnya merupakan kewajiban bersama masyarakat Aceh.

Sebagai gambaran, Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan

nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam

(2001-2009) adalah sebuah provinsi di Indonesia dan merupakan provinsi

paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri,

berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan

sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara,

Samudra Hindia di sebelah Barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan

Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda

Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang,

Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk

dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir

pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar,

Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.

Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan

gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga

terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit

Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu

Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung

Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara. Pada zaman kekuasaan

zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan

negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal

Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan

Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi

hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-

kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan

Belanda.

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan

sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-

18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18,

Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di

Semenanjung Melayu kepada Britania Raya. Pada tahun 1824, Persetujuan

Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya

Page 208: Sustaining Peace in Aceh

Syamsuar Basyariah

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES194 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah

koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania

membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah

Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera

Pasai yang hancur pada abad XIV. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau

Sumatera dengan ibu kota Kutaradja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang

panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan

begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam

mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam

menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur

dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan,

hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan

negara lain.

Analisis

Dua sejarah Aceh yang masih segar dalam ingatan masyarakat kita,

sekaligus menjadi sejarah dunia, yaitu komflik Aceh yang berkepanjangan

mencapai puluhan tahun, telah menelan korban dalam jumlah yang banyak,

perusakan pembangunan fisik yang tidak terelakkan, suasana kehidupan

yang mencekam, masyarakat hidup penuh ketakutan. Dan peristiwa Tsunami

26 Desember 2004 telah membuat Aceh lebih hancur berantakan. Kuburan

Massal dimana-mana menjadi bukti sejarah sepanjang masa untuk dikenang.

Dua perintiwa ini mengundang perhatian dunia luar dari berbagai arah.

Sejumlah besar negara-negara seketika itu tiba di tanah rencong dengan misi

kemanusiaan, membantu dan menghibur masyarakat yang lagi mengalami

keguncangan yang memilukan dan luka yang sangat dalam.

Belum lagi usai konflik di tengah-tengah masyarakat Aceh, ditambah

dengan amukan gelombang air laut, membuat Aceh menjadi lebih parah.

Sebagian warga yang ikut dibawa bersama air bah berkata “kiamat telah

tiba”. Aceh benar-benar hancur dan lumpuh. Banda Aceh sebagai pusat kota

provinsi Aceh, biasanya sarat dengan kurumunan manusia dengan berbagai

aktifitas menjadi kota mati seketika.

Page 209: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Maslahah dalam Civil Society

195Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Di sela-sela pemulihan Aceh dari amukan stunami yang dahsyat,

berbagai pihak terus berjuang berusaha mencari solusi bagaimana Aceh bisa

dipulihkan kembali dari peristiwa demi peristiwa yang menderanya. Melalui

sebuah perjalanan panjang, yang difasilitasi komunitas Internasional, Aceh

dapat dirujuk kembali kepangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). 15 Agustus 2005 merupakan awal perdamaian Aceh, tepatnya pukul

15.00 Wib dan pukul 11.00 waktu Helsinki Finlandia. Ribuan masyarakat

Aceh menyambut gembira menyaksikan penandatanganan MoU perdamaian

GAM dan Pemerintah RI. Mulai saat itu dan seterusnya masyarakat Aceh

akan hidup dalam kedamaian. Jauh dari kesengsaraan yang telah dialami

selama 30 tahun.

Seiring berjalannya MoU, selama itu pula perdamaian terbangun

dengan baik di Aceh. Perlahan-lahan iklim damai mulai dirasakan masyarakat.

Suasana mulai berubah, kondusif dan menyenangkan. Masyarakat terlihat

bersemangat membangun kembali Aceh Baru. Hal ini tentunya tidak terlepas

dari bantuan berbagai lembaga seperti AMM, BRA, dukungan masyarakat

Aceh, masyarakat internasional, NGO dan KPA. Namun, yang menjadi

pertanyaan kita hari ini adalah “Mampukan masyarakat Aceh, Pemerintah

dan GAM melestarikan perdamaian dengan berbagai persoalan yang ada?”

Tidak ada pilihan lain untuk menjawab pertaanyaan di atas, selain

“harus mampu”. Harus mampu membangun strategi .dalam menata

kehidupan Aceh ke arah yang lebih baik dalam era damai menjadi sebuah

tuntutan mutlak. Rakyat Aceh telah lama merindukan kedamaian di

bumi tercinta ini. MoU telah membuka jalan sekaligus menjadi dasar

bagi penyusunan sistem pemerintah Aceh yang demokratis dan sistem

pengelolaan anggaran yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. MoU

membuka kesempatan Aceh untuk mengelola kekayaan alam, budaya dan

sumber daya manusia untuk keluar dari jeratan kemiskinan dan ketidak

adilan. Serta keluar dari berbagai bentuk kekerasan dan teror.

Hasil sosialisasi MoU Helsinki, melahirkan RUUPA dan telah menjadi

UUPA No. 11 Tahun 2006 sebagai dasar konstitusional dalam perwujudan

perdamaian, keadilan dan kesejahteraan. Membangun dan menata kembali

Aceh dalam bentuk yang bermartabat serta mampu bersaing dengan

Page 210: Sustaining Peace in Aceh

Syamsuar Basyariah

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES196 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

wilayah lain di Indonesia dalam berbagai bidang dan dunia internasional di

era kontemporer yang serba kompetitif.

Perdamaian Aceh berjalan sudah lebih 5 tahun. Perkembangan yang

terjadi cukup dinamis, baik politik, ekonomi, keamanan dan rencana-

rencana Aceh ke depan. Salah satu yang terpenting, Aceh telah mampu

melewati pilkada 2006 dengan suasana yang aman dan kondusif. Seluruh

rakyat bisa ikut serta memberikan suara secara bebas tanpa intervensi dari

pihak mana pun. Ini menunjukkan perdamaian di Aceh benar-benar tercipta

dan terpelihara dengan baik.

Keberhasilan Aceh baru yang bermartabat, terletak ditangan rakyat

Aceh. Bagaimana rakyat Aceh bisa menghargai dan memaknai pentingnya

sebuah perdamaian. Karena tanpa perdamaian mustahil pembangunan

menuju arah perbaikan dan kemajuan bisa digapai. Dunia pendidikan

bisa ditingkatkan, kesejahteraan semakin merata, keadilan bisa dirasakan

diberbagai tingkat lapisan masyarakat. Melalui suasana perdamaianlah

Aceh akan bangkit dari keterpurukan dan kehancuran yang selama ini

melandanya. Berbagai elemen yang ada turut membantu melestarikan

perdamaian secara bersamaan, yaitu dengan mendukung berkembangnya

sistem politik baru yang demokratis, ruang gerak dan pertisipasi terbuka

dan keamanan yang perlahan-lahan membaik serta ikut pula perbaikan

perekonomian.

Suasana perdamaian yang saat ini dimiliki rakyat Aceh, membuat

mereka lebih kreatif, inovatif, produktif dalam melahirkan ide-ide

barunya untuk membangun Aceh ke depan. Berbagai jenis usaha mulai

bermunculan kembali di Aceh. Berbagai bidang usaha digeluti masyarakat

tanpa rasa takut dan was-was. Kehidupan dan aktifitas malam hari menjadi

pulih kembali. Artinya, rakyat Aceh aktif mendukung pemerintah Aceh

mewujudkan masyarakat sejahtera dan makmur. Demikian juga di bidang

pendidikan, masyarakat Aceh terlihat begitu antusias mendukung kemajuan

pendidikan. Masyarakat di seluruh Aceh sadar akan pentingnya kemajuan

pendidikan untuk memajukan anak bangsa. Hal ini terlihat seperti lahirnya

Universitas-Universitas, sekolah tinggi-sekolah tinggi seperti di wilayah

Barat Aceh, telah lahir, menampakkan diri dan sekaligus memantapkan

Page 211: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Maslahah dalam Civil Society

197Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dirinya sebagai Universitas Teuku Umar, dan Sekolah Tinggi Agama Islam

Teungku Dirundeng Meulaboh yang berdiri tahun 1986. Tidak hanya itu, di

berbagai wilayah kabupaten/kota dalam jumlah yang banyak juga terdapat

sekolah tinggi-sekolah tinggi. Hal ini terbuka peluang bagi masyarakat luas

untuk dapat menikmati dunia pendidikan secara menyeluruh.

Perdamaian yang saat ini dirasakan rakyat Aceh, tidak menutup

kemungkinan sewaktu-waktu suasana kekacauan akan muncul kembali.

Terlebih lagi pemilu 2011 yang sudah di ambang pintu. Jumlah partai

yang ikut dalam pemilihan umum lebih dari 40 partai dan diperkirakan

pemilukada 2011 kalau tidak menurun drastis, kemungkinan akan

bertambah. Tentunya saingan para elit politik semakin ketat untuk menuju

kursi panas. Kondisi ini membuka peluang terwujudnya pertikaian internal,

yang kadangkala juga bisa membesar menjadi pertikaian eksternal. Situasi

buruk biasanya diawali dengan terjadinya polarisasi yang tajam ditingkat

elit politik karena sibuk memperebut sumberdaya politik dan ekonomi.

Situasi ini bisa memperkeruh pedamaian Aceh, karena itu perlu diwaspai.

Dalam perspektif Islam, antara kandidat pimpinan bersama seluruh

pendukungnya dengan kandidat pimpinan lain bersama seluruh pendukung

mereka harus saling menghargai, saling menghormati, tidak menghardik

serta melakukan intimidasi terhadap calon dan pendukung yang lain. Apa

lagi melakukan fitnah, dilarang oleh Allah (Q. S. al-Hujarat/49: 10-13). Visi

dan misi serta program strategi masing-masing kandidat melalui dengan

cara-cara yang baik dan santun serta mudah dipahami. Situasi seperti ini

perlu dipelihara dan dilestarikan dibumi persada agar perdamaian Aceh

abadi.

Kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah pemerintahan atau

suatu daerah sangat ditentukan oleh peraturan dan kebijakan yang ada

dalam daerah tersebut. Keadaan ini dapat di capai bila pemimpin dan para

pembantunya mempunyai kapasitas dan kapabilitas untuk melaksanakan

pemerintahan yang sungguh-sungguh, berlaku adil, dan senantiasa

memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Masyarakat dapat

memperoleh segala imformasi yang dibutuhkan dengan mudah. Terjalinnya

komonikasi yang harmonis dan merasa saling membutuhkan.

Page 212: Sustaining Peace in Aceh

Syamsuar Basyariah

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES198 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Sesungguhnya terbentuk masyarakat Aceh Baru adalah sumbangan

terbesar terhadap proses pembentukan masyarakat baru di Indonesia.

Dinamika sosial-politik dan budaya yang terjadi Aceh telah menjadi

modalitas untuk pembentukan masyarakat Indonesia yang baru dan

modern. Apa yang terjadi di Aceh saat ini, memberi ispirasi pula pada dunia

dalam mgupayakan rehabilitasi dan konstruksi pasca bencana alam besar

dan perdamaian. Rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi modali awal yang

diberikan dunia menuju Aceh baru dan masyarakat Indonesia Baru. Karena

itu, kesadaran akan solidaritas kemanusiaan secara universal bersifat

mutlak. Perdamaian, menunjukkan bahwa kontinuitas Indonesia tidak lagi

diurus dengan senjata tetapi dengan hati.

Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh

Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia

melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia

akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik

antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun. Pada

26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang

melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan

menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.

Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah Aceh,

khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri

dari Aceh dan membentuk provinsi-provinsi baru. Pasca Gempa dan Tsunami

2004, yaitu pada 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh

Merdeka sepakat mengakhiri konflik di Aceh. Perjanjian ini ditandatangani

di Finlandia, dengan peran besar daripada mantan petinggi Finlandia, Marti

Ahtisaari.

Proses perdamaian Aceh difasilitasi oleh Crisis Management Initiative

(CMI) yang bermarkas di Finlandia. Adapun tahap tahap menuju perdamaian

melalui pembentukan Komisi Keberlanjutan Perdamaian Aceh (Cospa),

Badan Reintegrasi-Damai Aceh (BRA), Kesepakatan Damai 15 Agustus 2005,

Perjanjian Penghentian Permusuhan (Coha), Jeda Kemanusiaan.

Perdamaian Aceh tidak berjalan mulus, bahkan mengalami berbagai

hambatan seperti milisi di Aceh, terhambatnya proses demokrasi yang

Page 213: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Maslahah dalam Civil Society

199Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

sehat, institusi politik yang belum mapan, masih adanya pelanggaran

HAM, tata kelola pemerintahan yang masih kotor, law inforcement yang

lemah, pembangunan ekonomi yang masih belum merata, pelaksanaan dan

penerapan syariat Islam belum maksimal, tuntutan pemekaran provinsi

Aceh yaitu pemekaran provinsi Aceh Lauser Antara (ALA) dan Aceh Barat

Selatan (ABAS) masih mengental.

Damai Aceh Baru perlu diwujudkan, dipertahankan, dan dirawat agar

selalu eksis, dan kokoh. Pesan terakhir Hasan Tiro (85) sebelum meninggal

dunia adalah menyangkut perdamaian Aceh. Pendiri Gerakan Aceh

Merdeka (GAM) ini ingin perdamaian terus terjaga di bumi Serambi Makkah.

”Dia sudah melihat kedamaian di Aceh. Hasan Tiro ingin perdamaian

ditumbuhkembangkan, karena perdamaian ini yang ditunggu-tunggu rakyat

Aceh,” kata pendiri Institut Perdamaian, Farid Husein.

Aceh Baru pasca MoU Helsinki di Finlandia itu diharapkan senantiasa

berpijak pada nilai-nilai yang pernah ditawarkan dan dipraktikkan pada

masyarakat Madinah ketika dipimpin oleh Nabi Muhammad. Nilai-nilai civil

soceity tersebut di antaranya ialah nilai-nilai tawhid, keadilan, ukhuwwah,

persatuan, HAM, dan pertanggung jawaban publik. Nilai-nilai ini harus

dipraktikkan oleh masyarakat Aceh Baru karena relevan dengan budaya/

kearifan lokal orang Aceh yang berjalan seiring antara syari’at dengan adat.

Semua orientasi adat/budaya orang Aceh, begitu juga dengan orientasi

akhir dari syari’at Islam adalah terwujudnya lima kemashlahatan yaitu

kemashlatan agama, kemashlahatan jiwa, kemashlahatan akal, kemashlatan

keturunan, dan kemashlahatan harta benda. Terwujudnya tujuan syara’ ini

sekaligus dapat terjawab qaidah ushul fiqh “adh-dhararu yuzal” artinya

kemudharatan harus dihilangkan. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa dengan mempraktikkan nilai-nilai masyarakat madani/civil soceity,

masyarakat Aceh Baru akan mampu memberantas kemudharatan yang

dapat merusak agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta, yang sudah tentu

dengan konsekwensi logisnya, kemashlahatan atau konsep mashlahah

mursalah dapat terimplementasi.

Page 214: Sustaining Peace in Aceh

Syamsuar Basyariah

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES200 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid al-Ghazali. al-Mustasyfa fi ‘Ilm al-Usul, Jilid I. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1983

Abu Ishaq al-Syatibi. al-Muwafaqat fi Usul al-Syari‘ah. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973.

Adi Suryadi Culla. Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, Cet. II. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999

Adi Suryadi Culla.“Masyarakat Madani dalam Perspektif Agama dan politik, Asas-Asas Pluralisme dalam Masyarakat Madani”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional di Auditorium IAIN Jakarta 22 Pebruari 1999

Ahmad Baso. Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999

Anas Urbaningrum. Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid, Cet. I. Jakarta: Penerbit Republika, 2004

Asafri Jaya Bakri. Konsep Maqasid Syari‘ah Menurut al-Syatibi, Cet. I. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996

Azyumardi Azra. Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih, Cet. I. Bandung: Mizan, 2000

Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Cet. IX. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.

Cyril Glassie. The Concice Encyclopedia of Islam. London: Stacey International, 1989.

Ernest Gellner. Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat Menuju Kebebasan. Bandung: Mizan, 1995

John Keane. “Despotism and Democracy The Origins and Development of The Distinction Between Civil Society and The State 1750-1850”, dalam John Keane (ed.), Civil Society and The State New European Perspectives. New York: Verso, 1988

M. M. Billah. “Refleksi atas Pemikiran HAM Cak Nur,” dalam Abdul Halim, (Ed.), Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan:

Page 215: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Maslahah dalam Civil Society

201Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid, Cet. I. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.

Muhammad AS. Hikam. Civil Society dan Masyarakat Indonesia, makalah seminar “Mencari Konsep, Keberadaan, dan Strategi Mewujudkan Civil Society di Indonesia” oleh LP3ES dan YAPPIKA. Jakarta, 14 April 1998

Nasrun Haroen. Ushul Fiqh I Jilid I, Cet. II. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

Nurcholish Madjid. “Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani,” Makalah yang disempurnakan dari pidato Halal bi Halal KAHMI, Jakarta, 11 Syawal 1419/28 Januari 1999

----------------. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Cet. I. Jakarta: Paramadina, 1999.

Safwan Idris. “Menuju Masyarakat Madani dengan Bimbingan Alquran”, makalah disampaikan pada acara Ceramah Nuzul Alquran17 Ramadhan 1419 H/4 Januari 1999 M di Masjid Istiqlal Jakarta

Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani. Transformasi Bangsa Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Sekretariat Tim Madani, Kantor Sekwapres, 1999

Page 216: Sustaining Peace in Aceh
Page 217: Sustaining Peace in Aceh

203

Hukum Islam di Tengah Bangunan Sistem Hukum Nasional(Penguatan Civil Society dan Supremasi Hukum di Aceh dalam Bingkai NKRI)

Andi NuzulDosen Ilmu Hukum pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone, Sulawesi Selatan. Menyelesaikn S-1 pada IAIN Alauddin, Watampone (1978), S-2 pada UGM (2003), S-3 pada UGM (2009) jurusan Ilmu Hukum

Pendahuluan

Reformasi Hukum merupakan salah satu amanat penting dalam

rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup

agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari

tingkat pusat sampai ke tingkat pemerintahan desa (gampong), pembaruan

berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari UUD sampai

ke tingkat Peraturan Desa, dan pembaruan dalam sikap, cara berpikir dan

berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang

sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Menurut Jimly Asshiddiqie,1

agenda reformasi hukum tercakup pengertian reformasi kelembagaan

(institutional reform), reformasi perundang-undangan (instrumental

reform), dan reformasi budaya hukum (cultural reform). Pendekatan yang

dikemukakan Jimly ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari teori

1 JimlyAsshiddiqie,“HukumIslamDanReformasiHukumNasional”,disampaikandalamSeminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi SistemNasional,diselenggarakanolehBPHNDepartemenKehakimandanHakAsasiManusia,diJakarta,27September,2000,7,http://www.theceli.com/dokumen/produk/jurnal/jimly/j011.htm#_ftn1(Download,Juni2009).

Page 218: Sustaining Peace in Aceh

Andi Nuzul

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES204 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

L.M. Friedman bahwa dalam rangka membangun sistem hukum yang kuat

dan demokratis harus tertuju pada 3 aspek dasarnya yaitu struktur hukum;

substansi hukum dan kultur hukum2.

Hukum Islam di Indonesia tidak ada yang meragukan eksistensinya,

kecuali jika masih ingin mempercayai teorinya Receptie Snouck Hurgronje3.

Akan tetapi kini muncul pertanyaannya, bagaimana membumikan hukum

Islam dalam sistem hukum di Indonesia?, Atau dalam kerangka kebijakan

otonomi daerah, sejauhmana hukum Islam dapat didesentralisasikan.

Perkembangan eksistensial hukum Islam

1) Otonomi daerah dan desentralisasi sistem hukum

Berdasarkan konsep kekuasaan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU

No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian UU ini diganti

dengan UU No. 32 tahun 2004, di mana kekuasaan peradilan termasuk

urusan yang ditentukan sebagai kewenangan pemerintahan pusat.

Masalahnya, apakah yang dimaksudkan dengan peradilan itu mencakup

pula pengertian substansi hukum yang dijadikan pegangan dalam proses

peradilan. Jika kekuasaan peradilan dipahami dalam pengertian institusi

peradilan yang terstruktur mulai dari Pengadilan tingkat Pertama sampai

ke tingkat Mahkamah Agung, maka pembinaan administrasinya dan

pengelolaan sistem peradilannya tentu tidak dapat didesentralisasikan.

Karena kekuasaan peradilan itu, sesuai ketentuan UUD 1945, berpuncak

pada Mahkamah Agung yang mandiri. Bahkan, berdasarkan ketentuan

UU No.4 Tahun 2004, baik urusan acara peradilan maupun administrasi

peradilan, dikembangkan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung

2 Riedman, M. Lawrence, 2001, American Law An Introduction,( Second Edition),diterjemahkan olehWishnuBasuki dengan judul, “HukumAmerika Sebuah Pengantar,Cet.I(Jakarta:Tatanusa,tt),8-9.3 “Hukumyanghidupdanberlakudikalanganrakyat Indonesia (padawaktu itu:bumiputra)adalahhukumadat.HukumIslammeresepsi terhadaphukumadat.HukumIslamhanyamempunyaikekuatanberlakujikahukumadatmenghendakinya”,AndiNuzul,2008,Pengaruh Ajaran Hukum Kewarisan Bilateral Hazairin Terhadap Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia,HasilPenelitianyangdibiayaiDIPASTAINWatamponeTahun2008,48.

Page 219: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Hukum Islam di Tengah Bangunan Sistem Hukum Nasional

205Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

(one roof sysiem of judicial). Akan tetapi, dalam hubungannya dengan materi

hukum dan budaya hukum sebagai dua komponen penting dalam sistem

peradilan nasional dan sistem hukum nasional secara keseluruhan, tidak

ada ketentuan yang menegaskan keharusan untuk diseragamkan di seluruh

wilayah hukum Republik Indonesia. Karena pada dasarnya yang menjadi

tujuan ideal dari hukum adalah “untuk mencapai kesempurnaan hidup atau

ketertiban masyarakat”4

Dalam hubungannya dengan pertanyaan sejauhmana sistem hukum

Islam dapat didesentralisasikan guna mencapai tujuan ideal dari sistem

hukum yang memiliki dasar yang kuat dalam kehidupan masyarakat, maka

ada baiknya kita telusuri beberapa ketentuan baik yang bersumberkan dari

UUD tahun 1945 maupun berbagai turunannya.

Dalam Pasal 18 ayat (5) Perubahan Kedua UUD 1945 dinyatakan:

“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali

urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

Pemerintah Pusat. Kemudian dalam Pasal 18 A UUD tahun 1945 menyebutkan,

“Bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,

diatur dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Bahkan

dalam ayat (6) Pasal 18 A tersebut dinyatakan pula, “Pemerintahan daerah

berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk

melaksanakan otonomi dan tugas perbantuan”. Kemudian dalam Pasal 18 B

ayat (1) dinyatakan secara tegas: “Negara mengakui dan menghormati satuan-

satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa

yang diatur dengan undang-undang”. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Kemudian ketentuan Pasal

UUD Tahun 1945 di atas diadopsi secara penuh masuk dalam ketentuan

Pasal 2 ayat (8 dan 9) UU No. 32 tahun 2004.

4 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cet. I (Yogyakarta:Liberty,1996),8.

Page 220: Sustaining Peace in Aceh

Andi Nuzul

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES206 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Dengan demikian UUD Tahun 1945 mengakui dan menghormati

pluralisme hukum dalam masyarakat, meskipun sistem peradilan nasional

bersifat terstruktur dalam kerangka sistem nasional, namun materi hukum

yang dijadikan pegangan oleh para hakim dapat dikembangkan secara

beragam. Apalagi secara historis, sistem hukum nasional Indonesia seperti

dikenal sejak lama memang bersumber dari berbagai sub sistem hukum,

yaitu sistem hukum Barat, sistem hukum Adat, dan sistem hukum Islam,

ditambah dengan praktik-praktik yang hidup dalam masyarakat dipengaruhi

oleh berbagai perkembangan hukum nasional sejak kemerdekaan dan

perkembangan-perkembangan yang diakibatkan oleh pengaruh pergaulan

bangsa Indonesia dengan tradisi hukum dari dunia internasional.

Dalam dunia yang terus berubah ke arah hubungan-hubungan yang

makin saling mempengaruhi seperti sekarang ini, tidak mungkin dapat

menolak ide-ide dan norma-norma hukum yang berasal dari tradisi dan

praktek hukum negara-negara lain yang mempengaruhi sistem hukum

nasional kita. Demikian pula keragaman tradisi hukum yang tumbuh

dan hidup dalam pergaulan masyarakat kita sendiri yang sangat plural

dari Sabang sampai ke Merauke, tidak mungkin diabaikan jika sistem

hukum nasional kita diharapkan dapat bekerja secara efektif sebagai

instrumen untuk menciptakan kedamaian dan keadilan dalam kehidupan

bersama. Oleh karena itu, sumber-sumber tradisi hukum adat (kearifan

lokal) masyarakat kita yang masih menjadi kesadaran hukum, sumber-

sumber tradisi hukum yang dihayati secara mendalam dalam keyakinan

keagamaan masyarakat kita, dan bahkan sumber-sumber norma hukum

yang sama sekali asing sekalipun, sepanjang memang kita butuhkan

dan tidak melemahkan persatuan dan kesatuan sebagai substansi NKRI

untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran serta kedamaian hidup, tidak

mungkin ditolak pemberlakuannya dalam kesadaran hukum masyarakat

dan bangsa kita.

2) Pengakuan secara filosofis, sosiologis dan ketatanegaraan atas

hukum Islam

Dari sejarah hukum diketahui bahwa hukum Islam secara yuridis

Page 221: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Hukum Islam di Tengah Bangunan Sistem Hukum Nasional

207Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

telah berdiri sendiri untuk waktu yang cukup lama. Reglement op het beleid

Regeering van Nederlandhschi atau disingkta RR yang di muat dalam

Staatsdblad Hindia Belanda 1885 No. 2 Pasal 75 ayat (2), menyebutkan

bahwa, Hakim Indonesia hendaknya memberlakukan undang-undang

agama dan kebiasaan penduduk Indonesia. Bahkan dalam Pasal 78 RR

ayat (2) ditegaskan lagi bahwa jika terjadi perkara perdata anatara sesama

orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka

tunduk pada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka

menurur undang-undang agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka5

Namun dalam kenyataan sejarah pula, hubungan antara hukum adat dan

hukum Islam telah memperlihatkan hubungan yang tidak harmonis antara

keduanya, sehingga melahirkan beberap teori6, yang menunjukkan bentuk

pemberlakuan hukum Islam dalam kaitannya dengan hukum adat.

Dalam rangka mewujudkan sistem hukum Islam dalam bangunan sistem

hukum nasional, perlu ditelaah mengenai berbagai aspek perkembangan

eksistensial hukum Islam baik secara empiris, filosofis maupun secara

ketatanegaraan dalam kaitannya dengan pelaksanaan agenda reformasi

hukum nasional yang sekarang tengah berlangsung. Di satu segi, hukum

Islam perlu dijadikan objek penelaahan, karena ia berasal dari kesadaran

keyakinan bagi umat Islam Indonesia. Oleh karena itu agenda pembaruan

atau reformasi hukum nasional juga mencakup pengertian pembaruan

terhadap hukum Islam itu sendiri. Jangan sampai, misalnya, karena

kesibukan dalam memikirkan keseluruhan sistem hukum nasional yang

perlu direformasi, atau kesibukan kita disita oleh berbagai kasus kejahatan

besar di negara kita ini yang modus operandinya bermacam-macam yang

menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, menyebabkan kita

lalai memperhitungkan faktor sistem hukum Islam yang sangat penting.

Artinya dalam keseluruhan bangunan sistem hukum Nasional yang sedang

mengalami proses transformasi menuju ke masa depan yang diharapkan

5 Syahrizal,Hukum Adat Dan Hukum Islam Di Indonesia,Cet.I(Batuphat-Lhokseumawe:YayasanNadiya,2004),159-160.6 Teorireception in complexu; teori receptie; teorireception a contrario; teoriotoritas penataan hukum danteorieksistensi,Syahrizal,Hukum Adat…,160-187.

Page 222: Sustaining Peace in Aceh

Andi Nuzul

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES208 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

akan menjadikan hukum sebagai satu kesatuan sistem yang ‘supreme’

dalam bangunan NKRI.

Secara instrumental telah banyak ketentuan perundang-undangan

Indonesia yang telah mengadopsi berbagai materi hukum Islam ke dalam

pengertian hukum nasional. Secara institusional, eksistensi Pengadilan

Agama sebagai warisan penerapan sistem hukum Islam sejak zaman pra

penjajahan Belanda, juga terus dimantapkan keberadaannya dan menjadi

bukti historis. Bahkan secara sosiologis-empirik, praktek-praktek penerapan

hukum Islam itu di tengah-tengah masyarakat juga terus berkembang dan

makin lama makin meningkat dan meluas ke sektor-sektor kehidupan

hukum yang sebelumnya, belum diterapkan menurut ketentuan hukum

Islam. Misalnya perkembangan ekonomi kesyariahan, perda tentang zakat

dan penegakan norma-norma agama dibeberapa tempat di wilayah NKRI,

serta beberapa qanun (perundang-undangan) yang lahir di provinsi NAD.

Perkembangan itu semua, bahkan turut berpengaruh terhadap kegiatan

pendidikan hukum di tanah air, sehingga kepakaran dan penyebaran

kesadaran mengenai eksistensi hukum Islam itu di Indonesia makin

meningkat pula dari waktu ke waktu.

Dengan ruh reformasi yang tercetus tahun 1998, memungkinkan

fungsi peradilan dan penyelelesaian sengketa hukum selain tergantung

pada lembaga peradilan, juga berkaitan dengan sistem penyelesaian

sengketa dengan menggunakan mekanisme ‘Alternative Dispute Resolution’

(ADR) seperti melalui penggunaan fungsi lembaga arbitrase dan hakim

perdamaian seperti di desa ataupun dengan menggunakan jasa para

tokoh dan pemimpin informal yang dipercaya oleh masyarakat, seperti

para ulama dan guru. Karena itu, perlu ditelaah pula sejauhmana sistem

hukum Islam dapat berperan dalam pengembangan pemikiran dan praktek

mengenai penyelesaian sengketa hukum melalui mekanisme alternatif ini.

Menurut Jimli Ash-Shiddieqy7 bahwa, “di bidang ini, ia telah memprakarsai

pembentukan Badan Arbitrase Mualamat Indonesia (BAMUI) yang dewasa ini

telah menjalankan fungsinya dalam menyelesaikan berbagai kemungkinan

7 JimlyAsh-shiddiqie,“Hukum Islam …,2..

Page 223: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Hukum Islam di Tengah Bangunan Sistem Hukum Nasional

209Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

timbulnya sengketa mu’amalat antara lembaga perbankan syari’ah

dengan para nasabahnya. Misalnya, ketentuan mengenai hal ini selalu

dicantumkan dalam naskah kontrak antara Bank Mu’amalat Indonesia

dengan para nasabahnya. Diharapkan semua kontrak yang dibuat antara

perusahaan yang menerapkan prinsip syari’at Islam dengan para nasabah

atau pelanggannya, dapat mengaitkan ketentuan mengenai penyelesaian

sengketa di antara mereka dengan fungsi Arbitrase Mu’amalat ini”. Hanya

saja menjadi masalah sampai sampai saat ini, meskipun peradilan agama

telah berkembang fungsi dan peranannya, terutama masuknya ekonomi

syariah dalam deretan kewenangannya, tapi dikesani sebagian besar para

hakim peradilan agama belum siap secara mandiri dan professional dalam

menghadapi kasus-kasus baru yang muncul dalam penyeleseaian sengketa

syariah itu. Termasuk tidak kesiapan Mahkamah Agung untuk menerima

Sarjana yang bertitel Sarjana Ekonomi Islam (SEI) luaran Perguruan Tinggi

Islam (UIN. IAIN, dan STAIN) sebagai hakim di peradilan agama, mengingat

karena dalam Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 12

UU No. 3 Tahun 2006), maupun dalam Undang-Undang Advokat (UU No. 18

tahun 2003) masih tetap meneguhkan bahwa yang memenuhi syarat untuk

menjadi hakim dan pengacara dalam lingkup peradilan agama adalah

hanyalah yang memiliki gelar/titel Sarjana Hukum Islam (S.HI), dan Sarjana

Hukum (SH) yang menguasai hukum Islam.

Pemberlakuan Hukum Islam di bidang mu’amalat dapat dikatakan

telah mempunyai kedudukannya yang tersendiri. Dalam hukum perdata

Islam--hukum ekonomi Islam, telah lahir beberapa unadng-undang yang

berkaitan perekonomian umat, misalnya UU zakat (UU No 38 tahun

1999), Perwakapan (UU No. 41 tahun 2004), dan sejak tahun 1992 telah

diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

kemudian undang-undang ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998. Dalam UU Perbankan Indonesia tersebut telah mengakomodir

lahirnya BMT dan Bank Syariah. Dalam undang-undang tersebut secara tegas

mengakui keberadaan bank yang berdasarkan prinsip syariah di samping

bank konvensional. Sebagai tindak lanjut dari keluarnya Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 waktu itu, pemerintah mengeluarkan PP nomor 72

Page 224: Sustaining Peace in Aceh

Andi Nuzul

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES210 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Bagi Hasil. Bahkan saat ini sudah ada

RUU Perbankan Syariah yang merupakan RUU inisiatif DPR Komisi XI. 8

Sebelum berlakunya UU tentang Perbankan Tahun 1992, ketentuan

hukum Islam di bidang perbankan belum diakui dalam kerangka sistem

hukum nasional. Namun, sejak diberlakukannya UU tentang Perbankan

1992 yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah dalam rangka

pelaksanaannya, maka sistem operasi Bank Mua’malat Indonesia

berdasarkan syari’at Islam diakui secara hukum. Sejak itu, berkembang

luas praktek penerapan sistem mu’amalat itu dalam sistem perekonomian

nasional dan praktek dunia usaha. Dapat dilihat perkembangan Bank

Perkreditan Syari’ah yang berjumlah ratusan. Meskipun konsep pokoknya

sendiri, yaitu konsep Bank Perkreditan Rakyat (BPR), di kemudian hari dinilai

kurang berhasil, tetapi aspek penerapan hukum mu’malat dalam sistem

operasional Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tersebut telah memperlihatkan

kenyataan mengenai pemberlakuan aspek hukum syariatnya.9Lembaga-

lembaga pembiayaan lainnya seperti ‘Baitul Maal wa al-Tamwil” (BMT) yang

kadang-kadang di beberapa daerah disebut Balai-usaha Mandiri Terpadu

(BMT) yang dibina dan dikembangkan oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha

Kecil (PINBUK) yang bernaung di bawah Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha

Kecil (YINBUK). Yayasan ini didirikan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim se-

Indonesia (ICMI) bersama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Bank

Mu’amalat Indonesia (BMI). Di samping itu, atas prakarsa Pengurus ICMI,

telah pula didirikan usaha asuransi yang menjalankan prinsip syari’at

(takaful) dengan nama Takaful Umum dan Takaful Keluarga yang berdiri

berdasarkan sistem syari’at Islam. Bahkan, Pemerintah sendiri telah pula

mengembangkan Bank Pemerintah tersendiri yang menggunakan sistem

syari’ah, yaitu dengan berdirinya Bank Syari’ah Mandiri10.

Kita bayangkan betapa ironisnya Indonesia yang negara agraris namun

8 .AbdulGhofurAnshori,Peradilan Agama di Indonesia: Pasca UU No. 3 Tahun 2006(Sejarah,Kedudukan,&Kewenangan)(Yogyakarta:UIIPress,2007),59.9 .Ibid.,3.10 JimlyAsshiddiqie,“Hukum Islam…,4

Page 225: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Hukum Islam di Tengah Bangunan Sistem Hukum Nasional

211Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

impor pangannya luar biasa. Setiap tahun 25% daging sapi yang kita makan

harus didatangkan dari luar. Se banyak 30% gula, 2% beras, 90% bawang putih,

70% susu, dan juga 70% kacang kedelai untuk membuat tahu-tempe, dibeli

dari luar ne geri. Celakanya lagi, Indonesia yang luas laut annya dua pertiga

dari daratan, ternyata harus mengimpor 50% garam dari mancanegara11.

Haruskah kita masih mempertahankan sis tem yang eksploitatif ini? Tentu

jawabnya tidak! Sistem ekonomi demikian itu tak cocok dengan ni lai-nilai

yang dianut sebagian besar masya rakat Indonesia. Modal sosial bangsa kita

harus diopti malkan. Semangat gotong royong perlu lebih dikedepankan

ketimbang persaingan bebas yang mematikan.

Prinsip ekonomi yang meng arah pada keadilan harus menjadi arah

kebi jakan pemerintah, ekonomi kita harus melibatkan dan mengop-

timalkan sumber-sumber milik sendiri, termasuk sumberdaya manusia

(SDM) dan hal demikian merupakan inti bagian dari sistem ekonomi Islam.

Ekonomi basis Syariah merupakan suatu perekonomian yang orien tasinya

pada keterlibatan orang banyak dalam aktivitas ekonomi, yakni aktivitas

produksi, akti vitas konsumsi dan aktivitas distribusi. Hal yang berbe da

dengan ekonomi kapitalistik, yang bias pada konglomerat, dan kepentingan

individual lebih dominan serta mengejar keuntungan secara berlebihan.

Ekonomi yang kapitalistik menomor satukan pengejaran keuntungan

tanpa batas dengan cara bersaing, kalau perlu saling me matikan (free fight

competition). Sebaliknya, dalam perekonomian syariah semangat yang lebih

menonjol adalah bekerja sama, karena hanya melalui kerja sama berdasar

asas kekeluargaan tujuan usaha dapat dicapai.

Dengan situasi yang tidak menentu saat ini, kita tidak hanya merespons

dengan kebijakan- kebijakan jangka pendek sebagai “pemadam kebakaran”,

atau merespons situasi yang dalangnya di negeri lain. Kita harus melakukan

kaji ulang sistem dan praktik ekonomi nasional secara mendasar, kembali

membangun ekonomi de ngan nilai-nilai Islam dan kearifan lokal, atau

nilai-nilai keindonesiaan, dan nilai-nilai religiusitas, atau nilai-nilai yang

dianut oleh sebagian besar warga bangsa ini yang didasarkan atas asas

11 EdySuandiHamid,“EkonomiPancasila”Kedaulatan Rakyat,26Oktober2008:TahunLXIVNo.28).http:Iiwww.kr.co.id).

Page 226: Sustaining Peace in Aceh

Andi Nuzul

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES212 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

usaha bersama berdasar atas semangat kekeluargaan. Ibaratnya antara

pembangunan hukum ekonomi dengan aktivitas ekonomi yang dijalankan

para ekonom seperti pepatah yang mengatakan het recht hinkt achter de

feiten aan sehingga hukum tertatih tatih di belakang pelaku ekonomi yang

terus maju bergerak cepat dan seolah-olah telah meninggalkan prinsip-

prinsip hukum ekonomi yang “adil berimbang (equilibrium) di bawah panji-

panji ketauhidan”12. Akibatnya terjadi kesenjangan dalam masyarakat

yang pada gilirannya melahirkan realita kehadiran konglomerat dan kaum

melarat, dan tatanan hukum ekonomi telah jauh dari prinsip-prinsip dasar

Pasal 33 ayat (1) UUD Tahun 1945 bahwa, “Perekonomian disusun sebagai

usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.

Beberapa hukum pokok (basic law) di bidang hukum ekonomi

warisan kolonial Belanda, seperti BW (Burgerlijk Wetboek/KUHPerdata) dan

WvK (Wetboek van Koophandel/KUH Dagang) masih tetap berlaku. Pada hal

hukum Barat (BW dan WvK) menurut sejarahnya bukan diciptkan untuk

bangsa Indonesia, apalagi setelah kemerdekaan. Pandangan individualiasme,

dan materialisme satu bukti ke arah itu, tidak mampu mengantarkan bagi

masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraannya di bidang ekonomi.

Di satu sisi hukum Adat bangsa Indonesia yang masih tradisional,

yang sifatnya tidak tertulis, yang menentukan perjanjian sebagai perbuatan

riil, konkret, dan tunai, hanya mengatur kegiatan ekonomi lokal masyarakat

tradisional. Hukum Adat (bersifat lokal) tersebut tidak mungkin mampu

mengatur segala kebutuhan dan kegiatan ekonomi global pada masyarakat

dunia modern, seperti perdagangan internasional, pasar saham, perbankan,

perkreditan, perdagangan lewat electronic/internet (E- Commerce), dan

seterusnya.

Oleh karena dalam pembangunan hukum, tak terkecuali pada

bidang hukum ekonomi ada tiga hal penting yang harus dibenahi, yaitu

struktur hukum (legal structure) meliputi institusi/lembaganya, termasuk

aparatnya, jadi bagian dari rangka, bagian yang tetap bertahan lama, bagian

yang memberi semacam bentuk dan batasan terhada keseluruhan, misalnya

12Muhammad danAlimin,Etika Dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam,Cet.I(Yogyakarta:BPFEYogyakarta,2004,),38-40.

Page 227: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Hukum Islam di Tengah Bangunan Sistem Hukum Nasional

213Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

kedudukan peradilan, berapa seharusnya hakim agung, yuridiksinya,

bagaimana badan legislatif ditata, dsb; Kemudian subtansi hukum (legal

substantive), berupa aturan norma, pola perilaku nyata manusia yang

berada dalam sistem itu, atau produk/materi hukum yang dihasilkan

oleh orang yang berada dalam sistem itu, atau keputusan yang mereka

keluarkan, atau aturan baru yang mereka susun; serta kultur hukumnya

(legal culture), berupa suasana pikiran sosial dan atau kekuatan sosial yang

menentukan bagaimana hukum digunakan atau dimanfaatkan, dihindari

atau pun disalahgunakan Pendeknya ketiga unsur sistem hukum ini dapat

diibaratkan, struktur hukum adalah mesin; substansi adalah apa yang

dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin tersebut, sedangkan budaya hukum

adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupakan

dan mematikan mesin itu (Friedman, M. Lawrence: 2001).

Dari gambaran sistem hukum di atas, maka sebetulnya dapat

dipahami bahwa kemauan politik bangsa menentukan supremasi tidaknya

sistem hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena dengan

kemauan politik dari bangsa ini akan mendorong lahirnya berbagai

kebijakan di bidang hukum untuk kemaslahatan, termasuk bidang hukum

ekonomi. Bukankah ada pendapat yang mengatakan bahwa hukum yang

dibuat pada hakikatnya tiada lain adalah produk politik, karena itu politik

hukum yang banyak menentukan arah pengembangan sistem hukum yang

akan diberlakukan. Oleh karena itu, hukum ekonomi Islam sebagai salah

satu pilihan alternatif dalam mengatasi krisis perekonomian di negara

Indonesia, mengingat bahwa hukum ekonomi Islam menganut sistem

keseimbangan dalam mengelola asset perekonomian dan pelaku ekonom,

memperhatikan keseimbangan aspek individu dan aspek publik.

3) Bentuk peraturan hukum (Qanun).

Memang benar, berdasarkan prinsip ‘lex superiore derogat lex infiriore’

maka secara hirarkis peraturan perundang-undangan yang tingkatannya

di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya

lebih tinggi. Akan tetapi, dalam hukum juga berlaku prinsip ‘lex specialis

derogat lex generalis’ yang berarti bahwa peraturan yang khusus dapat

Page 228: Sustaining Peace in Aceh

Andi Nuzul

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES214 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.

Kecenderungan desentralisasi dan keragaman sistem hukum itu

berkembang sesuai dengan prinsip ‘lex specialis derogat lex generalis’ yang

dikenal dan diakui sebagai doktrin yang universal dalam hukum. Akan

tetapi, semua ini haruslah kita lihat sebagai elemen substantif dari sistem

hukum kita itu. Aspek substansi itu masih harus ditata dan dilembagakan

dalam bentuk-bentuk hukum yang memang disepakati bersama secara

demokratis. Dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, dalam Pasl 7 ayat (1) disebutkan jenis-

jenis peraturan yang dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan hukum dan

peraturan, mencakup UUD tahun 1945, Undang-Undang, Perpu, Peraturan

Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Daerah. Kemudian dalam

7 ayat (2) tersebut ditegaskan bahwa Peraturan Daerah meliputi Perda

Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa. Perda merupakan

peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya, dan menampung

kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.

Dengan pentingnya posisi hukum Islam dalam menambah khasanah

wawasan sistem hukum nasional yang sebagian dari bidang-bidang

hukumnya masih di cita-citakan (ius constituendum), maka pilihannya

adalah apakah materi hukum Islam bersifat integrasi atau mandiri dalam

perwujudannya?

Terintegarsinya hukum Islam masuk melebur menjadi norma dalam

hukum nasional seperti sejak lama dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun

1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agararia; hukum Perkawinan

berdasarkan UU No. 1 tahun 19974; UU tentang Perbankan Tahun 1992

yang sudah diperbaharui pada tahun 1998. Atau ke depan perlunya Undang-

Undang Hukum Kewarisan dengan corak bilateral yang sejak tahun 1960

melalui TAP MPRS No. II/1960 dengan memperhatikan aspek agama dan

kearifan lokal yang masih hidup dalam masyarakat sudah lama diamanatkan.

Sedangkan kalau norma hukum Islam menjadi bersifat mandiri, maka hukum

Islam berlaku intern bagi penganutnya, dan tidak boleh dipaksakan kepada

penganut agam lain, seperti keberlakuan INPRES No. 1 tahun 1991 mengenai

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang materi hukumnya meliputi Perkawinan,

Page 229: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Hukum Islam di Tengah Bangunan Sistem Hukum Nasional

215Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Kewarisan; UU Haji; UU Zakat. Kini persoalan yang harus disikapi secara

cermat dan konfrehensif serta penuh hati-hati yaitu, pemberlakukan hukum

Islam dalam bidang hukum publik terutama dalam kontek hukum pidana

Islam, umpamanya hukum rajam, hukum cambuk, qisash yang embrio

pengamalannya telah terbangun di Aceh dengan bersenjatakan pada UU

Pemerintahan NAD (UU No. 11 thn 2006), jo UU RI No. 18 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Daerah Aceh Sebagai Provinsi NAD; jo Qanun Provinsi

NAD No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam. Sebab sebagai

negara (Indonesia) yang berpenduduk mayoritas muslim, tidak ada yang

menafikan kedudukan hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, kecuali

jika orang tersebut adalah antek-antek C.v. Vollen Hoven dan Snouck

Hurgronje, karena dijamannyalah hukum Islam di keluarkan dari tata hukum

Hindia Belanda. Akan tetapi perdebatan utamanya sekarang terletak pada

cara-cara penerapan norma hukum Islam, misalkan haruskah qisash, rajam,

potong tangan; cambuk, atau qisash diyat dsb.

4) Membangun kesadaran hukum bagi masyarakat Aceh

Apa yang diuraikan di atas pada pokoknya menyangkut agenda

penataan kembali institusi hukum dan pembaruan berbagai perangkat

perundang-undangan yang diperlukan dalam upaya membangun sistem

hukum nasional di Provinsi Aceh yang sesuai dengan tuntutan perkembangan

zaman dan kesadaran berhukum masyarakatnya. Tujuannya tidak lain juga

adalah membangun kembali civil society yang pernah porak poranda pada

masa Daerah Operasi Militer (DOM) dan bencana Stunami. Oleh karena itu,

agenda pembangunan hukum di Aceh adalah untuk penguatan civil society

dalam bingkai NKRI. Jadi apapun nantinya yang dicapai dari keberhasilan

membangun sistem hukum yang bersendikan syariat di Aceh dalam upaya

rekonstruksi dan penguatan civil society pasca DOM atau bencana Tsunami

tersebut adalah menguatkan Aceh sebagai bagian NKRI. Akan tetapi reformasi

atau pembangunan hukum termasuk reformasi kelembagaan (institutional

reform) dan reformasi perundang-undangan (instrumental reform) di Aceh

tersebut tidak akan dapat diharapkan berfungsi efektif apabila kesadaran

hukum dan budaya hukum masyarakat tidak menunjang. Karena itu, perlu

Page 230: Sustaining Peace in Aceh

Andi Nuzul

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES216 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dikembangkan upaya-upaya pembinaan dan pembaruan yang sistematis

dan terarah mengenai oreintasi pemikiran, pendidikan hukum, sikap tindak,

dan kebiasaan berperilaku dalam kehidupan masyarakat luas (cultural

reform) di Aceh.

Sikap menghormati hukum dan orientasi berpikir dan bertindak

yang selalu didasarkan atas hukum masih harus dibina dan dikembangkan

menjadi kebiasaan hidup rakyat Indonesia. Di tengah isu hak asasi manusia

(HAM) yang dewasa ini menghantui cara berpikir hampir semua orang,

juga perlu disadari secara berbanding lurus mengenai pentingnya dimensi

kewajiban dan tanggungjawab asasi manusia (TAM). Sejatinya hukum dan

keadilan justeru terletak pada keseimbangan dinamis dalam hubungan

antara hak dan kewajiban yang tidak dapat dilepaskan dari kepentingan

para subjek hukum dalam arti sempit ataupun kepentingan masyarakat

pada umumnya13.

Pembinaan kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat di

Aceh itu perlu dikembangkan, baik melalui saluran pendidikan masyarakat

dalam arti yang seluas-luasnya maupun melalui saluran media komunikasi

massa dan sistem informasi yang menunjang upaya pemasyarakatan dan

pembudayaan kesadaran hukum yang luas. Sudah saatnya semua pihak

menanamkan keyakinan yang sunguh-sungguh mengenai pentingnya

menempatkan hukum sebagai “kalimatun sawa’” atau ‘pegangan normatif’

tertinggi dalam kehidupan bersama14 sebagai panglima dalam kehidupan

bersama. Demokratisasi hukum harus tetap teguh dalam prinsip-prinsip

keadilan, kejujuran, keberpihakan pada kebenaran, bukan demokratisasi

atas nama kebebasan yang kebabalasan yang sering diperontonkan baik oleh

elit politik, elit penguasa, juga pada kelompok masyarakat. Hukum yang

tertinggi adalah perilaku yang mengenal hak dan kewajiban secara baik.

Pengakuan terhadap sistem hukum Islam sebagai bagian tak

terpisahkan dari sistem hukum nasional, akan berdampak sangat positif

terhadap upaya pembinaan hukum nasional. Setidak-tidaknya, kita dapat

13 JimlyAsshiddiqie,“Hukum Islam …,7.14 Ibid.

Page 231: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Hukum Islam di Tengah Bangunan Sistem Hukum Nasional

217Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

memastikan bahwa di kalangan sebagian terbesar masyarakat Indonesia

yang akrab dengan nilai-nilai Islam, kesadaran kognitif dan pola perilaku

mereka dapat dengan mudah memberikan dukungan terhadap norma-

norma yang sesuai dengan kesadaran dalam menjalankan syari’at agama.

Dengan demikian, pembinaan kesadaran hukum masyarakat dapat lebih

mudah dilakukan dalam upaya membangun supremasi hukum di masa

yang akan datang. Hal itu akan sangat berbeda jika norma-norma hukum

yang diberlakukan justru bersumber dan berasal dari luar kesadaran hukum

masyarakat.

Penutup

Secara filofos, teoritik dan empirs, perkembangan ke arah adopsi

yang makin luas terhadap sistem hukum Islam ke dalam bangunan

sistem hukum nasional yang bersesuaian dengan dinamika kesadaran

hukum dalam masyarakat Indonesia, yang dituangkan dalam berbagai

bentuk peraturan perundang-undangan serta diwujudkan dalam esensi

kelembagaan hukum yang dikembangkan dapat dikaitkan pula dengan

pertimbangan-pertimbangan yang bersifat, historis, sosiologis dan filosofis

serta ketatanegaraan.

Secara umum dapat diakui bahwa UUD Tahun 1945 mengakui dan

menganut ide ketauhidan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara. Ide ketauhidan itu tidak saja ditegaskan dalam rumusan

Pembukaan UUD Tahun 1945 yang menyebut secara eksplisit adanya

pengakuan ini, tetapi juga dengan tegas mencantumkan Ketuhanan Yang

Maha Esa itu sebagai sila pertama dan utama dalam rumusan Pancasila.

Bahkan, dalam Pasal 29 UUD 1945, ditegaskan pula bahwa negara

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga dalam Pasal 9 UUD Tahun

1945 disebutkan bahwa setiap Presiden dan Wakil Presiden sebelum

memangku jabatan diwajibkan untuk bersumpah menurut agama “Demi

Allah”.

Ide Ketauhidan yang dikaitkan dengan ide Ke-Maha Kuasaan Tuhan

yang tidak lain merupakan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam pemikiran

kenegaraan Indonesia. Namun, prinsip Kedaulatan Tuhan itu berbeda dari

Page 232: Sustaining Peace in Aceh

Andi Nuzul

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES218 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

paham teokrasi barat yang dijelmakan dalam kekuasaan Raja,15 maka dalam

sistem pemikiran ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, hal itu dijelmakan

dalam prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan

rakyat dijelmakan ke dalam sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) yang selanjutnya akan menentukan haluan-haluan dalam

penyelenggaraan negara berupa produk-produk hukum tertinggi, yang akan

menjadi sumber bagi penataan dan pembinaan sistem hukum nasional. MPR-

lah yang dijadikan sumber kewenangan hukum bagi upaya pemberlakuan

sistem hukum Islam itu dalam kerangka sistem hukum nasional.

Dari perspektif hukum Islam, proses pemikiran yang demokratis

yang berhubungan erat dengan penafsiran inovatif terhadap ayat al-Quran

yang mewajibkan ketaatan kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada ‘ulul

amri’. Pengertian ‘ulul amri’ yang seringkali disalahpahami sebagai konsep

mengenai ’pemimpin’ (waliyu al-amri), justeru dipahami sebagai konsep

mengenai “perwakilan kepemimpinan” atau “para pemimpin yang mewakili

rakyat” (ulul amri)16. Karena itu, konsep parlemen dalam pengertian modern

dapat diterima dalam kerangka pemikiran hukum Islam, melalui mana

norma-norma hukum Islam itu diberlakukan dengan dukungan otoritas

kekuasaan umum, yaitu melalui pelembagaannya menjadi ‘qanun’ atau

peraturan perundang-undangan negara. Karena itu, dapat dikatakan bahwa

eksistensi hukum Islam dalam kerangka Sistem Hukum Nasional Indonesia

(SHNI) sangat kuat kedudukannya, baik secara historis, empiris dan filosofis,

politits, maupun juridis. Oleh karenanya meluasnya kesadaran mengenai

reformasi hukum nasional di NAD dewasa ini justeru memberikan peluang

yang makin luas bagi sistem hukum Islam untuk berkembang makin luas

dalam upaya memberikan sumbangan terhadap perwujudan penguatan

civil society dan penegakan supremasi hukum di Aceh dalam bingkai NKRI.

15 Ibid.,9.16 .Ibid.

Page 233: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Hukum Islam di Tengah Bangunan Sistem Hukum Nasional

219Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur. Peradilan Agama Di Indonesia: Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, & Kewenangan). Yogyakarta: UII Press, 2007

Friedman, M. Lawrence American Law An Introduction,( Second Edition), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki dengan judul, “Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cet. I Jakarta: Tatanusa, 2001

Hamid, Edy Suwandi. “Ekonomi Pancasila” Kedaulatan Rakyat, 26 Oktober 2008 Tahun LXIV No. 28). : http:Iiwww.kr.co.id.

Jimly Asshiddiqie. “Hukum Islam Dan Reformasi Hukum Nasional”, disampaikan dalam Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, di Jakarta, 27 September, 2000, http://www.theceli.com/dokumen/produk/jurnal/jimly/j011.htm#_ftn1 (Down load, Juni 2009).

Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cet. I. Yogyakarta: Liberty, 1996

Muhammad, dan Alimin. Etika Dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam, Cet. I. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2004.

Nuzul, Andi, 2008, Pengaruh Ajaran Hukum Kewarisan Bilateral Hazairin Terhadap Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Hasil Penelitian yang dibiayai DIPA STAIN Watampone Tahun 2008.

Qanun Prov. NAD Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam.

Syahrizal. Hukum Adat Dan Hukum Islam Di Indonesia, Cet. I. Batuphat-Lhokseumawe, NAD: Yayasan Nadiya, 2004

Undang-undang Dasar Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD

Page 234: Sustaining Peace in Aceh
Page 235: Sustaining Peace in Aceh

221

Pendidikan Karakter Solusi Pembentukan Manusia Aceh yang Berkeadaban

SyarifuddinDosen pada Fakultas ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan pengurus Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh

Pendahuluan

Bicara tentang pendidikan, tidak hanya secara nasional, namun secara

lokal ke-Acehan, bertolak dari paham tentang manusia adalah hal yang sangat

wajar, karena manusia merupakan pokok utama persoalan pendidikan.

Menurut Aristoteles, hanya manusia yang membutuhkan pendidikan. Para

dewa, sebagai makhluk rohani, sudah sempurna dan tidak membutuhkan

pendidikan lagi, sementara binatang merupakan makhluk yang nasibnya

sudah ditentukan, maka juga tidak membutuhkan pendidikan. Jadi, hanya

manusia yang memerlukan pendidikan.

Banyak hal yang diasumsikan oleh filsafat pendidikan sebagai

prasyarat. Pertama, manusia mempunyai kesadaran yang membuat

dirinya mampu mengambil jarak dari yang lain dan dari dirinya sendiri.

Dalam proses pendidikan kesadaran berperan penting dalam mengetahui

diri sebagai subjek dan keistimewaannya dibandingkan dengan makhluk

lain. Kedua, manusia mempunyai, atau setidaknya, merasakan adanya

kebebasan. Hal ini erat berkaitan dengan konsep pendidikan sebagai

dorongan dan kemampuan untuk menentukan pilihannya. Ketiga, karena

Page 236: Sustaining Peace in Aceh

Syarifuddin

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES222 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

adanya kemampuan untuk memilih, ia pun peka dan peduli akan nilai-nilai

dan dapat membandingkan yang baik dan buruk. Dan keempat, pilihan ke

arah yang baik berlangsung terus tiada henti. Hal ini membawa manusia

pada keterbukaan pada yang transenden, kesediaan untuk melangkah ke

depan yang belum diketahuinya. Kesadaran, kebebasan, peduli nilai, dan

keterbukaan atau orientasi ke depan ini merupakan hal-hal yang mendasar

dalam proses pendidikan (A. Sidiarja, Basis: 2007).

Aktivitas pendidikan sejak awal telah menjadi cara bertindak dari

sebuah masyarakat. Dengan pendidikan, para pendahulu melanggengkan

warisan budaya mereka. Kepada generasi yang lebih muda, mereka

mewariskan nilai-nilai yang menjadi bagian penting dari kultur masyarakat.

Jika tidak ada proses pewarisan itu, nilai-nilai yang menghidupi kebudayaan

masyarakat terancam punah. Karena itu, pendidikan mempunyai peran

vital sebab tidak hanya menentukan keberlangsungan masyarakat, namun

juga mengukuhkan identitas sebuah masyarakat. Belakangan pendidikan

dikeluhkan tanpa visi dan tanpa tujuan yang jelas. Berbagai macam

perubahan dalam bidang pendidikan justru semakin membebani peserta

didik. Apalagi ditambah dengan situasi sosial dan kultural masyarakat

akhir-akhir ini kian mengkhawatirkan. Berbagai macam peristiwa juga kian

merendahkan harkat dan derajat manusia.

Di samping ditagih hasilnya berupa sumber daya manusia yang siap

pakai, belakangan ini pendidikan banyak ditagih tanggung jawabnya dalam

membentuk manusia. Tingginya pelanggaran moral dalam masyarakat,

buruknya etika kehidupan dan tensi kesenjangan sosial yang menganga,

dan korupsi yang kian merajalela menyebabkan orang bertanya mana

tanggung jawab pendidikan. Ada masalah apa dengan pendidikan formal

sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang nyata dalam dinamika

dan gerak masyarakat.

Banyak penyebab mengapa pendidikan kita dalam konteks lokal

tidak mampu memelihara nilai-nilai lokal yang sebenarnya amat luhur

bagi pembentukan jati diri bangsa, sedangkan dalam konteks global kita

seperti anak ayam kehilangan induk. Dari segi tradisi pendidikan, jika

dibandingkan dengan negara-negara maju, kita memiliki tradisi yang relatif

Page 237: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pendidikan Karakter: Solusi Pembentukan Manusia Aceh yang Berkeadaban

223Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

muda. Perencanaan dalam pendidikan baru dilaksanakan pada pertengahan

abad XX. Sebelumnya, kita sibuk dengan perang dan pergulatan mencapai

kemerdekaan (Mujiran, Media Indonesia: 2007).

Oleh karenanya, karakter merupakan struktur antropologis manusia.

Pendidikan karakter akan memberikan bantuan sosial agar individu dapat

tumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan

orang lain di dunia. Pendidikan karakter di Indonesia telah lama berakar

dalam tradisi pendidikan. Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Hatta dan lain-

lain, telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai

pembentuk kepribadian dan integritas bangsa sesuai dengan konteks dan

situasinya (Koesoema, A: 2007, 7). Karakter sebagai struktur antropologis

melihat bahwa karakter bukan sekadar hasil dari sebuah tindakan,

melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses. Dinamika ini

menjadi semacam dialektika terus-menerus dalam diri manusia untuk

menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya. Karakter

mrupakan kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak

mau sekadar berhenti atas determinasi kodratinya, melainkan juga sebuah

usaha hidup untuk menjadi semakin integral mengetasi determinasi alam

dalam dirinya demi proses penyempurnaan diri secara terus-menerus

(Koesoema A, Basis, 2007)

Karakter

Pada prinsipnya, istilah karakter menimbulkan ambiguitas. Secara

etimologi berasal dari bahasa Yunani karasso, berarti cetak biru, format

dasar, sidik seperti misalnya dalam sidik jari. Karakter adalah sesuatu yang

tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusiawi, sebagaimana ganasnya laut

dengan gelombang pasang dan angin yang menyertainya. Memahami karakter

seperti laut, karena laut tidak terselami dan tidak dapat diintervensi. Oleh

karenanya, berhadapan dengan apa yang memiliki karakter, manusia tidak

dapat ikut campur tangan atasnya. Manusia tidak dapat memberikan bentuk

atasnya, sama seperti bumi, karena manusia tidak dapat membentuknya

sebab bumi memiliki karakter berupa sesuatu. Namun sekaligus, bumi itu

sendirilah yang memberikan karakter pada realitas lain.

Page 238: Sustaining Peace in Aceh

Syarifuddin

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES224 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Tentang ambiguitas terminologi karakter, memiliki dua cara

interpretasi atau karakter tersebut dapat dilihat melalui dua hal, yaitu

pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja,

atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita.

Karakter yang demikian dianggap sebagai sesuatu yang telah ada. Kedua,

karakter juga dapat dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana

seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang

demikian ini sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed) (Koesoema

A, Basis: 2007).

Karakter adalah titian ilmu pengetahuan (knowledge) dan keterampilan

(skill). Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan

menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan.

Karena itu, karakter menjadi prasyarat dasar dan integral. Karakter itu

akan membentuk motivasi, pada saat yang sama juga karakter dibentuk

dengan metode dan proses yang bermartabat. Karena itu, karakter bukan

sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan

hal-hal tersembunyi. Itu sebabnya orang mendefinisikan karakter sebagai

“siapa anda dalam kegelapan” (character is what you are in the dark).

Oleh karenanya, jika pembentukan karakter yang sehat dan benar itu

membutuhkan suatu proses (Sixtus Tanje, Seputar Indonesia, 2007).

Secara bebas karakter dapat diartikan sebagai sifat-sifat dasar yang ada

dalam diri manusia. Begitu mendasarnya sifat ini sehingga dapat menjadi

suatu ciri atau karakter yang sangat kuat dari setiap individu. Sebagai suatu

sifat, karakter dapat dibentuk. Pembentukan karakter seseorang terjadi

karena pengaruh lingkungan dan proses pendewasaan pribadi seseorang.

Mengingat bahwa sebagian besar waktu menjelang seseorang mencapai

titik tersebut dihabiskan di lingkungan sekolah, suka atau tidak suka

pembentukan karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh karakter tempat

orang tersebut bersekolah. Karakter suatu sekolah juga merupakan suatu

hasil pembentukan dari proses yang terus bekesinambungan mulai dari visi

pendiri sekolah tentang pembentukan sekolah tersebut. Visi merupakan

suatu gambaran tentang apa yang ingin dicapai dengan pendirian sekolah

(Francesco Marianti, Basis: 2007).

Page 239: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pendidikan Karakter: Solusi Pembentukan Manusia Aceh yang Berkeadaban

225Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pemaknaan pendidikan bagi pengembangan karakter

Pendidikan merupakan suatu aktivitas dalam rangka mengembangkan

seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup (Zuhairini

dkk, 1997:149). Dengan kata lain pendidikan tidak hanya berlangsung

dalam kelas, akan tetapi juga dapat berlangsung di luar kelas. Demikian juga

pendidikan merupakan tidak hanya bersifat formal, tetapi juga mencakup

non-formal dan informal (Muslim, 2007:1). Pendidikan juga sebagai proses

timbal balik dari tiap pribadi manusia dalam rangka penyesuaian dirinya

dengan alam semesta dan temannya. Pendidikan merupakan perkembangan

yang terorganisasi dan kelengkapan dari semua potensi-potensi manusia,

moral, intelektual dan jasmani (fisik), oleh dan untuk kepribadian

individunya dan kegunaan yang diharapkan demi menghimpun semua

aktivitas tersebut bagi tujuan akhir hidupnya. Demikian juga pendidikan

adalah proses, di mana potensi-potensi kemampuan kapasitas manusia

yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan supaya disempurnakan

oleh kebiasaan sedemikian rupa dan dikelola oleh manusia untuk menolong

orang lain atau dirinya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Brubacher:

1950, 371).

Pendidikan diyakini sebagai usaha sadar, terarah, dan disertai dengan

pemahaman yang baik untuk menciptakan perubahan-perubahan yang

diharapkan pada perilaku individu, dan selanjutnya pada perilaku jamaah

atau komunitas di mana individu tersebut hidup (Afifi, 1964:163), hal ini

termasuk dalam usaha internalisasi pendidikan karakter terhadap peserta

didik, di mana sebagian pakar dalam dunia pendidikan menganggap

telah terjadi pergeseran makna atau arah perubahan yang menjadi tujuan

pendidikan sudah jauh panggang daripada api.

Masalah pendidikan merupakan masalah yang berhubungan langsung

dengan kehidupan manusia, merupakan usaha manusia dewasa yang telah

sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar, dan

menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi

muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab

akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia sesuai dengan hakikat dan

ciri-ciri kemanusiaannya (Zuhairini, 1997:11). Dengan demikian pendidikan

Page 240: Sustaining Peace in Aceh

Syarifuddin

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES226 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Maka, sangat

dibutuhkan materi-materi pendidikan yang dapat berperan untuk mengatasi

problema yang dihadapi subyek didik dan masyarakat dalam kehidupannya

(Muslim: 2007, 11).

Menurut Komaruddin Hidayat (Kompas: 2005), ketika pendidikan

tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai

basisnya, maka yang akan dihasilkan adalah orang yang selalu mengejar

materi untuk memenuhi tuntutan physical happiness yang durasinya

hanya sesaat dan potensial membunuh nalar sehat dan nurani. Padahal,

aktualisasi nilai kemanusiaan membutuhkan perjuangan hidup sehingga

seseorang akan merasa lebih berharga dan bahagia saat mampu meraih

kebahagiaan nonmateri, yaitu intellectual happiness, aesthetical happiness,

moral happiness, dan spiritual happiness. Pendidikan yang sehat adalah

yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati,

dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai

yang moral, estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh

tokoh-tokoh moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang

mabuk kekuasaan.

Selama ini produk pendidikan amat kurang membantu pertumbuhan

spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit

terhadap bumi, gemercik air, festival awan, kekompakan hidup dunia

semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan

dan bacaan terbuka yang amat indah. Ini semua disebabkan kesalahan

proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal

budi dan emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.

Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan berdialog

dengan kehidupan secara menyeluruh.

Berdasarkan persoalan-persoalan tersebut, maka arah pencapaian

pendidikan harus ditata kembali, apalagi istilah pendidikan selama ini

agak sulit dirumuskan secara pasti karena bermakna ganda atau lebih.

Ketidakjelasan makna pendidikan, menurut M.D. Dahlan disebabkan karena

pengertiannya yang berbeda-beda, adakalanya pendidikan dipandang

sebagai:

Page 241: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pendidikan Karakter: Solusi Pembentukan Manusia Aceh yang Berkeadaban

227Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

a. Persekolahan yang mencakup segala kegiatan di lembaga

pendidikan, seperti taman kanak-kanak, sekolah, perguruan

tinggi, dan akademisi;

b. Pembelajaran berkenaan dengan keterampilan tertentu atau

pelatihan di lokasi tertentu;

c. Pelatihan tingkah laku tertentu yang seyogyanya dimiliki oleh

siswa;

d. Proses penanaman sikap, keyakinan, dan nilai tertentu yang

diperoleh melalui berbagai kegiatan sosial di sekolah.

Fenomena inilah yang menuntut untuk segera menafsirkan pendidikan

secara luas, sehingga pengertian pendidikan tidak hanya dibatasi sebagai

schooling, tetapi memerlukan pengertian pendidikan yang integral, baik itu

pengertian yang bersifat teoritis dan bersifat praktis sekaligus. Pendidikan

integral ini haruslah mendasarkan sistem pendidikannya pada norma atau

landasan hukum tertentu tanpa harus menafikan adanya proses lanjut yaitu

aspek pelaksanaannya (Ma’arif: 2005,74).

Untuk memahami pengertian pendidikan dengan benar, pendidikan

dapat dibedakan dari dua pengertian, yaitu pengertian yang bersifat teoritis

filosofis dan pengertian pendidikan dalam arti praktis. Pendidikan dalam

arti teoritis filosofis adalah pemikiran manusia terhadap masalah-masalah

kependidikan untuk memecahkan dan menyusun teori-teori baru dengan

mendasarkan kepada pemikiran normatif, spekulatif, rasional empirik,

rasional filosofis, maupun historis filosofis. Sedangkan dalam arti praktis,

adalah suatu proses pemindahan pengetahuan ataupun pengembangan

potensi-potensi yang dimiliki subjek didik untuk mencapai perkembangan

secara optimal, serta membudayakan manusia melalui proses transformasi

nilai-nilai yang utama (Thoha, 1996:98).

Berdasarkan kedua sifat pengertian pendidikan tersebut, perlu definisi

pendidikan yang tepat dalam menghadapi era globalisasi yang serba terbuka

dan pergeseran nilai termasuk dalam dunia pendidikan dewasa ini. Menurut

Ibrahim Ismat Muthawi’ dalam Syamsul Ma’arif (2005:76), pendidikan harus

diartikan sebagai proses menumbuhkan sisi-sisi kepribadian manusia

secara seimbang dan integral. Dalam terminologi H.A.R. Tilar (2000:56),

Page 242: Sustaining Peace in Aceh

Syarifuddin

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES228 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

pendidikan merupakan proses pembudayaan. Artinya, antara pendidikan

dan kebudayaan terdapat hubungan yang saling berkaitan. Tidak ada

kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula tidak ada praksis pendidikan

di dalam vakum tetapi selalu berada di dalam lingkup kebudayaan yang

konkret. Pendidikan memang bukan hanya menghasilkan manusia yang

pintar yang terdidik tetapi yang lebih penting ialah manusia yang terdidik

dan berbudaya (educated and civilized human being) pendidikan dapat kita

segarkan maknanya sebagai sebuah proses humanisasi dan hominisasi

seseorang yang berlangsung di dalam lingkungan hidup keluarga dan

masyarakat yang berbudaya, dan suatu proses pembudayaan yang diarahkan

kepada berkembangnya kepribadiaan seseorang yang demokratis (Tilar,

2000:89).

Pendidikan harus dipandang sebagai upaya pendewasaan moral,

sosial, ekonomi yaitu bahwa pendidikan seyogyanya menghasilkan

manusia yang memiliki pandangan dan pegangan hidup tertentu serta

mampu membuat keputusan normatif, mampu menjadi warga negara yang

konstruktif, produktif, dan turut bertanggungjawab atas kelangsungan

hidup masyarakatnya; mampu mencakup wilayah mikro (sempit, seperti

latihan pemecahan masalah, penguasaan pengoperasian mesin baru)

maupun makro (luas, seperti pendidikan sepanjang hayat, pendidikan massa

dan politik). Sekaligus pendidikan dipandang sebagai upaya penguatan rasa

kebangsaan, keagamaan, dan kesetiakawanan kelompok (Ma’arif: 2005, 79).

Dengan demikian, pendidikan di samping harus mentransfer pengetahuan

(transfer of knowledge), sekaligus harus transfer of value seperti sikap

dapat menghargai pluralitas, kebhinnekaan, dan keragaman. Pengertian

pendidikan semacam inilah yang sangat dibutuhkan pada era sekarang,

untuk menciptakan perdamaian dunia.

Sifat hakiki dari pendidikan adalah bahwa pandangannya selalu

tertuju ke masa depan. Pendidikan adalah potensi pembuat cetak biru masa

depan yang dikehendaki dan direncanakan, bukan sekadar masa depan

yang kebetulan dan tiba-tiba menyerbu. Pendidikan hari ini harus mampu

mengembangkan segala potensi untuk generasi sekarang, tetapi tetap

memungkinkan generasi berikutnya untuk lebih lanjut membangun masa

Page 243: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pendidikan Karakter: Solusi Pembentukan Manusia Aceh yang Berkeadaban

229Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

depan mereka. Pendidikan hari ini adalah usaha membangun masa depan

(Surakhmad: 2009, 22-23).

Pendidikan karakter

Berbicara tentang pendidikan karakter, ada dua sisi yang mesti

menjadi pertimbangan. Pertama, pendidikan senantiasa berkaitan dengan

dimensi sosialita manusia. Manusia sejak kelahirannya telah membutuhkan

kehadiran orang lain dalam menopang hidupnya. Pendidikan merupakan

usaha sadar yang ditujukan bagi pengembangan diri manusia secara utuh,

melalui berbagai macam dimensi yang dimilikinya (religius, moral, personal,

sosial, kultural, temporal, institusional, relasional, dan sebagainya) demi

proses penyempurnaan dirinya secara terus-menerus dalam memaknai

hidup dan sejarahnya di dunia ini dalam kebersamaan dengan orang lain.

Sedangkan karakter lebih bersifat subjektif, sebab berkaitan dengan struktur

antropologis manusia dan tindakannya dalam memaknai kebebasannya,

sehingga ia mengukuhkan keunikannya berhadapan dengan orang lain.

Karena itu, pendidikan karakter merupakan keseluruhan dinamika

relasional antarpribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam

maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati

kebebasannya, sehingga ia dapat semakin bertanggung jawab atas

pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain

dalam hidup mereka (Koesoema A., Basis, 2007)

Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, telah menggagas

sebuah terobosan dalam dunia pendidikan tahun 2010 yaitu mengenai

Pendidikan Karakter untuk Keberadaban Bangsa. Hal ini merupakan suatu

kejutan serta keprihatinan seorang menteri dalam melihat kondisi dan situasi

keberadaan sistem pendidikan di Indonesia selama ini. Sindrom trapped in

a comfort zone dalam dunia materialistik, yang hanya melahirkan orang-

orang pinter secara IQ namun miskin karakter dan buta mata batin, sudah

mendesak untuk direvolusi. Pendidikan yang cuma melahirkan manusia

mesin dengan mengabaikan nilai-nilai kearifan, kejujuran, kesantunan budi,

sudah tidak layak menjadi cita-cita. Disinilah penanaman nilai-nilai luhur

kemanusiaan dengan berorientasi pada sistem pendidikan, kurikulum

Page 244: Sustaining Peace in Aceh

Syarifuddin

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES230 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

maupun metode pembelajarannya untuk bagaimana memanusiakan

manusia harus senantiasa dihidupkan dan diinternalisasikan dalam setiap

mata pelajaran. Gagasan besar Menteri Pendidikan untuk menjadikan

pendidikan karakter sebagai titik balik membangun peradaban bangsa,

sejatinya juga menjadi agenda besar para pemangku kepentingan, untuk

diimplementasikan dengan serius dan berkelanjutan pada setiap jenjangnya

(Lailan F. Saidina, 2010).

Pendidikan adalah usaha sistematis dengan penuh kasih untuk

membangun peradaban bangsa. Di balik sukses ekonomi dan teknologi

yang ditunjukkan oleh negara-negara maju, semua itu semula disemangati

nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih

produktif, dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal

menjaga komitmen kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi, yang

oleh John Naisbit diistilahkan High-Tech, Low-Touch. Yaitu gaya hidup yang

selalu mengejar sukses materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan

hidup yang dalam. Akibatnya, orang lalu menitipkan harga dirinya pada

jabatan dan materi yang menempel, tetapi kepribadiaannya keropos.

Seseorang merasa diri hebat dan berharga bukan karena kualitas

pribadinya, tetapi jabatan dan kekayaan, meski diraih dengan cara yang tidak

terhormat. Pribadi semacam ini oleh Erich Fromm disebut having oriented,

bukan being oriented, pribadi yang obsesif untuk selalu mengejar harta dan

status, tetapi tidak peduli pada pengembangan kualitas moral (Hidayat,

Kompas: 2005). Terhadap persoalan-persoalan yang berkembang khususnya

persoalan dalam dunia pendidikan dewasa ini, maka pendidikan karakter

bisa menjadi sarana penyembuh penyakit sosial karena akan menghasilkan

peserta didik sebagai pribadi yang kokoh dan tahan uji. Pendidikan

karakter dapat menjadi sarana masyarakat keluar dari beragam masalah

yang mencengkeramnya. Situasi sosial yang kacau menjadikan pendidikan

karakter relevan untuk dilaksanakan (Mujiran, Media Indonesia: 2007).

Untuk memahami pendidikan karakter secara lebih utuh dan

menyeluruh, maka perlu melihat kembali bagaimana gagasan dasar tentang

manusia. Jika pendidikan merupakan proses pemanusiaan, atau humanisasi

dan proses pembudayaan, mengkritisi pemahaman tentang manusia

Page 245: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pendidikan Karakter: Solusi Pembentukan Manusia Aceh yang Berkeadaban

231Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

merupakan langkah awal yang tidak dapat ditinggalkan jika gagasan kita

tentang pendidikan karakter ingin solid dan memadai. Driyarkara (2006:

285) sebagaimana dikutip oleh Doni Koesoema A (Basis: 2009), membedakan

pemahaman tentang keberadaan manusia sebagai individu dan persona.

Manusia sebagai individu bersifat tertutup dalam dirinya sendiri.

Sedangkan persona atau sebagai pribadi memiliki sifat terbuka terhadap

orang lain dan dunia. Karenanya individu bersifat unik, tidak ada duanya

dan khas. Sedangkan dengan persona, individu bertransaksi dengan

individu lain dalam kebersamaan dalam rangka membangun dunianya.

Individu yang memiliki sifat tertutup, bisa dilepaskan dari masyarakat dan

tetap eksis dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, dalam berhubungan

dan berinteraksi dengan orang lain, akan selalu muncul konflik antara

kebutuhan dasar manusia sebagai individu maupun pribadi. Namun, justeru

dalam dinamika inilah manusia perlu menempatkan proses pembentukan

dirinya sebagai manusia berkarakter.

Menurut Brooks an Goble sebagaimana dikutip Koesoema A (2007:116),

menyebutkan pendidikan karakter yang diterapkan dalam pendidikan dasar

dan menengah merupakan daya tawar berharga bagi seluruh komunitas.

Peserta didik mendapatkan keuntungan dengan memperoleh perilaku dan

kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya diri dalam diri

mereka, membuat mereka lebih hidup, bahagia, dan produktif. Tugas guru

menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika peserta didik

memiliki disiplin yang besar di dalam kelas. Orang tua bergembira ketika anak-

anak mereka bergembira untuk belajar, menjadi lebih sopan dan produktif.

Para pengelola sekolah menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal

disiplin, kehadiran, beasiswa, pengenalan nilai-nilai moral bagi siswa maupun

guru demikian juga berkurangnya tindakan vandalisme di sekolah.

Secara ringkas, pendidikan karakter diaktualisasikan dalam tindakan

mengajarkan. Dalam pendidikan karakter, tugas pendidikan adalah

mengajarkan nilai-nilai sehingga anak didik mempunyai gagasan konseptual

tentang nilai-nilai pemandu perilaku yang bisa dikembangkan dalam

karakter pribadi. Pendidikan dalam hal ini adalah proses diseminasi nilai

yang tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas dengan

Page 246: Sustaining Peace in Aceh

Syarifuddin

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES232 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

memanfaatkan semua unsur lain dalam dunia pendidikan yang membantu

peserta didik. Aspek yang tidak kalah penting adalah menempatkan

pendidikan karakter bagi pendidik sendiri. Pendidikan karakter terutama

merupakan tuntutan bagi kalangan pendidik sendiri. Keteladanan memang

menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya sebuah tujuan pendidikan

karakter (Mujiran, Media Indonesia: 2007).

Menurut Lickona dkk (2007) terdapat sebelas prinsip agar pendidikan

karakter dapat berjalan secara efektif, yaitu

1. Kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja

pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik,

2. Definisikan ‘karakter’ secara komprehensif yang mencakup

pikiran, perasaan, dan perilaku,

3. Gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif

dalam mengembangkan karakter,

4. Ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian,

5. Beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral,

6. Buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang

menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter,

dan membantu siswa untuk berhasil,

7. Usahakan mendorong motivasi diri siswa,

8. Libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan

moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter

dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang

membimbing pendidikan siswa,

9. Tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan

dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter,

10. Libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam

upaya pembangunan karakter,

11. Evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidikan

karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang

baik.

Khoiruddin Bashori (2010), Pengamat dan Psikolog Pendidikan,

dalam tulisannya Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa, menganggap

Page 247: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pendidikan Karakter: Solusi Pembentukan Manusia Aceh yang Berkeadaban

233Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

bahwa pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika

inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa

hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja

pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan

sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk

mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud,

mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam

kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji

dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan

antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di

sekolah dan masyarakat. Yang terpenting adalah semua komponen sekolah

bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten

sesuai dengan nilai-nilai inti.

Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan

berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam

pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan

aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Seswa

memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya,

mengamati perilaku model, dan mempraktekkan pemecaham masalah

yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti

dengan mengembangkan ketrampilan empati, membentuk hubungan yang

penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar

cerita ilustratif, dan merefleksikan pengalaman hidup. Sekolah yang telah

berkomitmen untuk mengembangkan karakter melihat diri mereka sendiri

melalui lensa moral, untuk menilai apakah segala sesuatu yang berlangsung

di sekolah mempengaruhi perkembangan karakter siswa. Di samping itu,

sekolah dan keluarga perlu meningkatkan efektifitas kemitraan dengan

merekrut bantuan dari komunitas yang lebih luas (bisnis, organisasi pemuda,

lembaga keagamaan, pemerintah dan media) dalam mempromosikan

pembangunan karakter. Kemitraan sekolah-orang tua ini dalam banyak

hal sering kali tidak dapat berjalan dengan baik karena terlalu banyak

menekankan pada penggalangan dukungan finansial, bukan pada dukungan

program.

Page 248: Sustaining Peace in Aceh

Syarifuddin

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES234 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Urgensi pendidikan karakter, lokal ke-Acehan

Secara lingkup lokal Aceh, persoalan yang dihadapi dunia pendidikan

pada prinsipnya juga tidak jauh beda di tempat lain, hanya saja bagaimana

cara pendidikan dapat mensinergiskan budaya lokal dalam menerapkan

suatu sistem pendidikan. Perkembangan perjalanan pendidikan di suatu

daerah tidak lepas dari sistem budaya yang berlaku di suatu daerah,

tinggal saja bagaimana menggagas sistem pendidikan sehingga di suatu

daerah tanpa menggilas budaya lokal dan cita-cita dari sistem pendidikan

juga dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pada prinsipnya tujuan dari

pelaksanaan pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas juga sama, yaitu

dalam rangka mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang

berjalan seumur hidup, sebagai proses timbal balik dari tiap pribadi manusia

dalam rangka penyesuaian dirinya dengan alam semesta dan temannya,

perkembangan yang terorganisasi dan kelengkapan dari semua potensi-

potensi manusia, moral, intelektual dan jasmani (fisik), oleh dan untuk

kepribadian individunya dan kegunaan yang diharapkan demi menghimpun

semua aktivitas tersebut bagi tujuan akhir hidupnya.

Maksud pendidikan lokal ke-Acehan adalah pendidikan yang

membantu siswa berkembang seturut dengan talenta dan bakatnya, dan

sesuai dengan kebutuhan budaya lokal. Di setiap daerah memiliki ciri khas

pengembangannya sesuai dengan kultur budaya daerahannya demikian juga

perkembangan iklim di suatu daerah. Bila kemampuan intelektualias seorang

siswa memang rendah, maka keterampilan lainlah yang dikembangkan

atau kalau ternyata seorang siswa mempunyai karakter yang baik, maka

sisi itulah yang akan dikembangkan. Dengan demikian, tiap pribadi anak

yang memang unik akan dapat berkembang secara optimal sesuai dengan

kepribadiannya atau potensi lokal wilayahnya. Melihat Indonesia yang

begitu bervariasi, sekolah lokal kiranya perlu lebih digalakkan. Menurut

Paul Suparno (Basis: 2009) ada beberapa hal yang mempunyai keuntungan

dalam menggalakkan sekolah lokal, yaitu:

1. Semua anak bisa maju untuk menemukan potensi dan

keterampilannya yang unik dan dapat mengembangkannya

dengan optimal.

Page 249: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pendidikan Karakter: Solusi Pembentukan Manusia Aceh yang Berkeadaban

235Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

2. Sekolah dapat dengan sungguh memainkan perannya membantu

siswa secara riil, memperkuat yang lemah dan memberi

kesempatan untuk berkembang pada keunikan dan keunggulan

lokal.

3. Sistem ini juga memberi kesempatan pada semua pihak untuk

lebih menghargai perbedaan dan kepekaan pada yang lemah.

4. Pembelajaran untuk menghargai potensi lokal berarti memperkuat

ketahanan hidup masyarakat setempat karena tidak harus

tergantung pada pihak lain sehingga tidak ketakutan untuk tetap

hidup sebagai dirinya sendiri yang autentik secara damai dan

gembira.

Selanjutnya Doni Koesoema A (Basis: 2007), memberikan panorama

tentang urgensi pendidikan karakter, faktor-faktor yang menyebabkan

pendidikan karakter mengalami kemunduran, dan tujuan pendidikan

karakter. Menurut beliau ada dua macam paradigma dalam pendidikan

karakter. Pertama, memandang pendidikan karakter dalam cakupan

pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral

education). Paradigma ini lebih memandang pendidikan karakter berkaitan

dengan bagaimana menanamkan nilai-nilai tertentu dalam diri anak didik di

sekolah. Dan yang kedua, melihat pendidikan karakter dari sudut pandang

pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan

peristiwa dalam dunia pendidikan itu sendiri (educational happenings).

Integrasi atas kedua paradigma inilah yang melahirkan gagasan baru

tentang pendidikan karakter sebagai pedagogi yang akan menyertakan tiga

sebagai mantra pertumbuhan manusia, yaitu individu, sosial dan moral.

Individu, sosial, dan moral

Pada dasarnya, penerapan program pendidikan karakter dalam setiap

lembaga pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari tiga hal, yaitu individu,

sosial, dan moral. Secara historis, tiga hal ini tidaklah muncul begitu saja.

Ketiga hal itu bermula dari kelahiran pendidikan baru yang dipelopori oleh

Rousseau, terlepas dengan hadirnya berbagai macam kritik secara positif

atau negatif, namun hal ini merupakan suatu sumbangan besar Rousseau

Page 250: Sustaining Peace in Aceh

Syarifuddin

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES236 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dalam membuka mata kita akan adanya relasi negatif yang terjadi antara

masyarakat dan individu.

Dalam Emile, sebagai mana dikutip oleh seorang pengamat

pendidikan Doni Koesoema A (2007: 22-23), Rousseau menegaskan bahwa

secara kodrat manusia itu baik, namun masyarakatlah yang membelenggu

individu itu sehingga ia menjadi manusia yang bertumbuh semakin

menjauh dari kodratnya. Melalui Emile Rausseau menegaskan bahwa ada

hubungan erat antara lembaga pendidikan, kultur politik, kehidupan sosial,

dan pertumbuhan individu. Agar manusia itu bertumbuh sesuai dengan

kemampuan kodratnya, maka pendidikan semestinya melepaskan belenggu-

belenggu sosial dan membiarkan alam berkembang menjadi guru. Inilah

yang kemudian berkembang menjadi sebuah pendidikan negatif, yaitu

sebuah pendidikan yang mencoba menghilangkan hal-hal yang menghalangi

siswa untuk belajar secara mandiri sesuai dengan kemampuan alamiahnya.

Jika alam itu adalah guru, manusia akan semakin dapat menemukan

kebaikan di dalam dirinya. Belajar sesuai dengan perkembangan kodrat

manusia lantas menjadi semacam prinsip dasar bagi sebuah pendidikan

yang membebaskan.

Pendidikan karakter memberikan perhatian pada perkembangan

individu, meletakkannya dalam kerangka matriks sosial (tatana sosial dalam

masyarakat), melalui interpretasi nilai, semakin mengukuhkan diri manusia

sebagai makhluk yang bermoral. Fenomena ini menjadikan setiap pendidikan

karakter memiliki fungsi pedagogis. Melepaskan salah satu matra (individual,

sosial, dan moral) dari tiga matra penting yang sangat fundamental bagi

pendidikan karakter membuat setiap usaha pengembangan pendidikan

karakter menjadi timpang, superfisial dan tidak efektif. Pendidikan karakter

sebagai sebuah pedagogi memberikan prioritas utama pada pendidikan

karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas,

terutama melihat-isu-isu moral dalam keseluruhan peristiwa yang terjadi di

dunia pendidikan itu sendiri (educational happenings).

Pendidikan karakter apa pun yang diterapkan di dalam sekolah

tidak dapat melepaskan diri dari konteksnya yang lebih luas, terlebih

struktur-struktur yang mempengaruhi bagaimana seorang individu yang

Page 251: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pendidikan Karakter: Solusi Pembentukan Manusia Aceh yang Berkeadaban

237Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

terlibat dalam dunia pendidikan berperan sebagai subjek moral yang

aktif. Jika dimensi moral itu dilepaskan dari konteks kelembagaan di

mana seorang individu itu menghayati kebebasan dan tanggung jawabnya,

usaha menerapkan pendidikan karakter dalam konteks sekolah menjadi

inkonsisten dan parsial. Pendidikan karakter jika dipahami terlepas dari

peristiwa-peristiwa dalam dunia pendidikan itu sendiri akan menjadi sebuah

gerakan yang stagnan, buang energi, tenaga, pikiran dan biaya. Pendidikan

karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan ruang pertumbuhan bagi

setiap individu dalam lembaga pendidikan untuk bertumbuh secara integral

sebagai manusia yang menghayati nilai, khususnya nilai-nilai moral, nilai

religius dan nilai-nilai kewarganegaraan (Koesoema A, Basis: 2007).

Sejatinya pendidikan karakter harus mulai dibangun sejak

dari rumah, untuk selanjutnya dikembangkan di sekolah. Di sinilah

penanaman nilai-nilai luhur kemanusiaan dengan berorientasi pada

sistem pendidikan, kurikulum maupun metode pembelajarannya untuk

bagaimana memanusiakan manusia harus senantiasa dihidupkan dan

diinternalisasikan dan setiap mata pelajaran, sehingga pendidikan tidak

lagi berpisah dari kehidupan.

Gagalnya pendidikan di Indonesia (sebagaimana menjadi wacana

beberapa pakar pendidikan mengakui bahwa sistem pendidikan yang telah

ada, khususnya dalam bidang kepribadian/karakter telah gagal dilakukan)

menghasilkan manusia yang kurang berkarakter masih bisa diperdebatkan.

Bahkan kegagalan pendidikan ini dianggap karena pendidikan nasional

cenderung hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berpikir dan

menepikan penempatan kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan

kecerdasan batin. Dari sini lahirlah manusia-manusia yang berotak pintar,

manusia berprestasi dari secara kuantitatif akademik, namun tiada

kecerdasan budi sekaligus sangat berkegantungan, tidak merdeka mandiri.

Kurang berhasilnya sistem pendidikan membentuk sumber daya manusia

dengan karakter yang tangguh, berbudi pekerti luhur, bertanggung jawab,

berdisiplin, dan mandiri, terjadi hampir di semua lembaga pendidikan baik

negeri maupun swasta, baik yang berbasis agama maupun umum. Lebih

lanjut upaya nation character building sesuai dengan nilai-nilai budaya

Page 252: Sustaining Peace in Aceh

Syarifuddin

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES238 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

bangsa Indonesia terkesan tidak berjalan seperti yang diinginkan (Djudjun

Djaenuddin Supriadi, Penabur Jakarta: 2009).

Menurut Doni Koesoema A, pendidikan karakter jika ingin efektif

dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain, tanpa tiga basis tersebut

maka program pendidikan karakter di sekolah hanya akan menjadi wacana

semata, tiga basis desain tersebut adalah; Pertama, desain pendidikan

karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik

dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter

adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran.

Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak

arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama

berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan

keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di

dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas,

konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar

yang nyaman.

Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain

ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter

anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu

terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai

kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral

kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan

kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan

konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.

Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam

mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar

lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga

memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan

karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah

dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah

mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya

untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial

bersama.

Page 253: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pendidikan Karakter: Solusi Pembentukan Manusia Aceh yang Berkeadaban

239Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

UNESCO juga menegaskan bahwa fungsi utama pendidikan

menurutnya adalah learning to know (belajar untuk tahu), learning to

do (belajar untuk berbuat), learning to live together (belajar untuk hidup

bersama-sama). Untuk persoalan ini, sekolah memiliki peran besar

dalam membentuk karakter individu-individu yang dididiknya secara

klasikal. Sekolah diharapkan mampu menjadi guiding light bagi generasi

muda penerus bangsa. Sekolah juga berfungsi membentuk akhlak anak

didik sehingga menjadi manusia berbudi pekerti yang luhur. Pendidikan

seharusnya mengajarkan kepada setiap anggota masyarakat untuk dapat

menghargai kemajemukan dan membekali mereka dengan kemampuan

untuk hidup bersama secara rukun sebagai sesama umat manusia. Kalau

pendidikan memang disepakati sebagai upaya dan tugas kultural untuk

melahirkan manusia berwatak dan merdeka mandiri, maka mengakaran,

pengasahan, dan pemekaran rasa justru menemukan lahan suburnya lewat

pengalbuan rasa estetis sejak dini. Pendidikan yang berfungsi memekarkan

rasa menjadi penting dipertimbangkan kembali, karena dengan pendidikan

olah rasa dapat menjadikan manusia memperoleh kepekaan terhadap

masalah dan menjadikan manusia dapat berpikir (bercipta) unggul dan

berkarsa tangguh tidak semena-mena pada pihak lain (Ma’arif: 2005, 86-87).

Penutup

Akhirnya dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa pendidikan

dan berfunsi sebagai berikut, yaitu: pertama, menjaga kebudayaan suatu

masyarakat dan memindahkannya kepada generasi berikutnya. Sekolah

merupakan agen sosialisasi yang utama dan tempat di mana orang

mempelajari prinsip-prinsip yang akan mendasari perilakunya sebagai warga

masyarakat. Kedua, education had to be tied to life if it was to be effective.

Schooling found its justification in serving all areas of life, not simply the

narrawly intellectual and cultural. Ketiga, sekolah dan atmosfirnya harus

mampu mewujudkan jalan kepada peserta didik menuju kehidupan secara

personal dan sosial.

Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai sebuah bantuan sosial

agar individu itu dapat bertumbuh dalam menghayati kebebasannya

Page 254: Sustaining Peace in Aceh

Syarifuddin

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES240 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia yang dihadapinya.

Pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan

yang berkeutamaan. Pendidikan karakter tidak hanya berurusan dengan

penanaman nilai bagi siswa, namun lebih jauh merupakan sebuah usaha

bersama untuk menciptakan sebuah lingkungan pendidikan di man setiap

individu dapat menghayati kebebasannya sebagai sebuah prasyarat bagi

kehidupan moral yang dewasa.

Page 255: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Pendidikan Karakter: Solusi Pembentukan Manusia Aceh yang Berkeadaban

241Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

DAFTAR PUSTAKA

Afifi, al-Hadi, Muhammad. Al-Tarbiyah wa al-Taghoyyur al-Tsaqafi. Kairo: Maktabah Angelo al-Mishriyyah, 1964

Brubacher, John S. Modern Philosophies of Education. New York: McGraw Hill-Book, 1950

Dewey, John. Democracy and Education. New York: Mac-millan, 1916

Driyarkara. Karya lengkap Driyarkara. Essai-Essai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Disunting oleh Sudiarja, A., Budi Subanar, G., Sunardi, St., & Sarkim, T (Eds). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006

Koesoema A, Doni. Driyarkara: Transformasi Sosial Pendidikan, BASIS, Edisi September-Oktober 2009

----------------. http://pendidikankarakter.org/index.php?p=2_2

----------------. Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter. Jakarta: Grasindo, 2009

----------------. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo, 2007

----------------. Tiga Mantra Pendidikan Karakter, BASIS, Edisi Juli-Agustus 2007.

Ma’arif, Syamsul. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005

Mujiran, Paulus. “Pentingnya Pendidikan Karakter di Sekolah”, dalam Media Indonesia, 24 November 2007.

Muslim, Bukhari. Konsep Kurikulum Pendidikan Barat Menurut Perspektif Pendidikan Islam (Tinjauan Terhadap Filsafat Progressivisme), Banda Aceh: Ar-Raniry Press IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh bekerjasama dengan AK Group Yogyakarta, 2007.

Muthawi’, Ibrahim. Ushul al-Tarbiyyah. Cet. I. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1979

Sudiarja, A., Driyarkara: Pendidikan Kepribadian Nasional. BASIS. Edisi Juli-Agustus 2007

Page 256: Sustaining Peace in Aceh

Syarifuddin

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES242

Suparno, Paul. “Pendidikan Global vs Pendidikan Lokal”, dalam BASIS, Edisi Juli-Agustus 2009

Supriadi, Djudjun Djaenudin. Program Pendidikan Karakter di Lingkungan BPK , Tabloid Penabur Jakarta, Edisi Maret-April 2009

Surakhmad, Winarno. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009

Tanje, Sixtus. Pengembangan Karakter. Seputar Indonesia, Edisi 9 Desember 2007.

Tilar, H.A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 2000

Zuhairini dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997

Page 257: Sustaining Peace in Aceh

243

Urgensi Pendidikan Nilai Untuk Aceh Damai Berkelanjutan

M. Jamil YusufDosen tetap Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam pada Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh. Menyelesaikan sarjana (S1) pada Fakultas Tarbiyah (1984), melanjutkan studi S2 pada Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Program Studi Bimbingan dan Konseling (2000) dan melanjutkan Program S3 pada Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Program Studi Bimbingan dan Konseling (2007)

Pendahuluan

Di Eropa, gerakan pemikiran mengenai urgensi pendidikan nilai telah

dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia I ketika mereka menyaksikan

berbagai kehancuran yang ditimbulkan oleh perang tersebut. Dalam Perang

Dunia I jutaan manusia mati sia-sia. Lalu orang-orang ketika itu saling

menyapa “apa yang terjadi di antara kita?.” Dalam berbagai kesempatan,

mereka memperbincangkan tentang sesuatu yang lebih bernilai dari sekedar

kelimpahan materi, kehebatan sains dan teknologi, kemampuan militer dan

kekuatan ekonomi. Namun demikian, sebagai bagian dari tabi’at manusia

bahwa ia mudah lupa terhadap sesuatu. Penyesalan orang Eropa pada akhir

Perang Dunia I (1914-1918) itu dalam waktu kurang dari seperempat abad

lenyap ditelan masa dengan terjadinya Perang Dunia II (1941-1945) yang

jauh lebih dahsyat daripada perang-perang sebelumnya.

Begitu selesai Perang Dunia II, terus terjadi Perang Dingin (1945-1989)

yang hampir saja membawa manusia pada konflik nuklir yang diprediksikan

bisa membuat permukaan bumi ini menjadi rawa-rawa. Selama Perang

Dingin, isu-isu tentang nilai, moral, etika kehidupan, termasuk kelestarian

Page 258: Sustaining Peace in Aceh

M. Jamil Yusuf

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES244 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

lingkungan hangat diperbincangkan. Di samping itu, studi polemologi –

yang mengkhususkan diri pada asal usul, hakikat dan dimensi-dimensi

perdamaian serta cara menciptakannya— menjadi isu yang sangat populer.

Masyarakat pun menjadi sangat sensitif terhadap isu-isu apa pun yang

bermuatan nilai. Begitu juga halnya ketika umat manusia menyambut

datangnya abad 21, di mana majalah Newsweek pernah menurunkan

laporan utama yang mengevaluasi perjalanan manusia selama abad 20.

Dalam laporan tersebut disimpulkan bahwa selama abad ke-20 manusia

lebih banyak menggunakan waktunya untuk saling berperang daripada

untuk saling mewujudkan perdamaian.1 Di samping itu, isu pendidikan

nilai ini juga ada kaitannya dengan isu perbincangan masalah kecerdasan

emosional (Emotional Intelligence/Quotient, SI/EQ). Masalah SI/EQ ini telah

mengambil alih popularitas perbincangan mengenai intelegensi intelektual

(Intellegence Quotient, IQ) yang telah begitu lama mendominasi arena

psikologi sejak dasawarsa kedua abad ke-20.2

Di Indonesia, masalah pendidikan nilai juga lama menjadi tema

sentral untuk diperbincangkan, tetapi pada implementasinya belum digarap

secara serius dalam setiap gerak langkah pendidikan. Begitu juga halnya,

dalam gerak langkah pendidikan di Aceh dapat dikatakan belum ada

gerakan yang sistematis untuk penerapan pendidikan nilai. Dalam beberapa

tahun terakhir ini memang ada arus pemikiran dalam dunia pendidikan

di Indonesia untuk memberikan perhatian yang proporsional terhadap

dimensi-dimensi nilai dari tujuan pendidikan, bersama-sama dengan aspek

pengetahuan dan keterampilan. Sejak akhir dasawarsa 1970-an, para ahli

mulai secara sungguh mengembangkan teori pendidikan yang menekankan

pada aspek nilai dan sikap. Sedangkan dalam referensi Barat, gerakan ini

ditandai dengan munculnya teori confluence education, affective education

atau values education.

Dilihat dari sudut pandang kehidupan masyarakat Aceh pasca

1 RohmatMulyana,Mengaktualisasikan Pendidikan Nilai(Bandung:Alfabeda,2004),ii-iii.2 J.P. Chapplin, Kamus Lengkap Psikologi (Alih bahasa) Kartini Kartono (Jakarta:RajaGrafindoPersada,2006),253.

Page 259: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Urgensi Pendidikan Nilai Untuk Aceh Damai Berkelanjutan

245Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

penandatangan perjanjian di Helsinki, maka urgensi pendidikan nilai terletak

pada upaya mengokohkan keyakinan peserta didik supaya mereka berbuat

kebenaran, kebaikan dan keindahan, yang keberhasilannya diukur pada

tema-tema nilai yang universal. Idealnya, akibat dari proses pendidikan dan

pengajaran yang dilaluinya, —dengan program rehabilitasi dan rekonstruksi

sarana dan prasara pendidikan terutama pasca konflik dan tsunami,

mereka mampu berpikir logis dan menggunakan berbagai pengetahuan

dan keterampilan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Dengan

kecerdasan, kemudahan teknologi dan kecukupan sarana pendidikan,

seyogianya mereka nantinya lebih bijak dan arif dalam menempuh kehidupan

ini. Dalam kenyataan sekarang ini, ada sebagian lulusan yang kualitas

kemanusiaannya lebih rendah dibandingkan dengan kemajuan berpikir dan

teknologi yang dicapainya. Seharusnya dengan keadaan hidup yang telah

diperbaiki dan dibangun kembali (rehab rekons) itu dapat mewujudkan

suatu kehidupan yang aman dan damai serta lebih arif dan bijak dalam

mempersiapkan diri untuk membangun masa depan.

Begitu pentingnya pendidikan nilai seperti digambarkan di atas, maka

seyogianya masalah ini memerlukan usaha yang sungguh-sungguh dan

terintegrasi. Dengan demikian, pandangan monolistik dengan melimpahkan

tanggung jawab pendidikan nilai kepada guru bidang studi pendidikan

agama saja, tentunya sudah tidak relevan lagi. Dalam kajian ini ditekankan

pada upaya menemukan pandangan komplementer (tanggung jawab

bersama) untuk penerapan pendidikan nilai. Dengan demikian, diharapkan

dengan kualitas kepribadian, moral, pengetahuan dan keterampilan yang

dimiliki peserta didik dapat menjadi salah satu pilar terwujudnya Aceh

damai berkelanjutan.

Urgensi pendidikan nilai

Pertimbangan nilai merupakan peristiwa yang selalu dialami dalam

kehidupan seseorang. Pertimbangan nilai dapat terjadi pada setiap

persoalan kehidupan, mulai dari persoalan yang sederhana sampai pada

persoalan yang amat kompleks. Bayi yang menangis untuk mendapat

perhatian, pembeli yang memilih barang di pasar atau politisi yang berdebat

Page 260: Sustaining Peace in Aceh

M. Jamil Yusuf

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES246 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

mengenai persoalan bangsa, itu semua melibatkan persoalan nilai. Beberepa

pertimbangan nilai dapat terjadi pada persoalan-persoalan kecil, seperti

apakah seseorang memilih minum kopi, teh dingin, teh panas atau teh

tawar ketika ia hendak memesan minumannya. Bisa jadi dalam beberapa

pertimbangan itu terdapat nilai ekonomi, kesehatan atau nilai pergaulan/

persahabatan. Begitu pula halnya pertimbangan nilai mengambil peranan

penting ketika seseorang menentukan pilihan-pilihan strategis dan memiliki

dampak besar bagi kehidupan secara keseluruhan, baik individu, masyarakat

dan bangsa. Individu memiliki pertimbangan nilai tersendiri ketika ia hendak

menjalani hidup sebagai ilmuwan, pengusaha, memasuki dunia politik, dunia

seni, memasuki dunia olahraga professional atau ketika seseorang memilih

berbeda pendapat dan pandangan, bahkan peperangan.

Pada prinsipnya, kehidupan selalu menuntut untuk menentukan

pilihan atas dasar acuan nilai baik-buruk, benar-salah dan sebagainya.

Sejak zaman filsafat Yunani, persoalan nilai telah diangkat dalam kerangka

teoritik. Sekurang-kurangnya sejak zaman Plato, ide ”baik” ditempatkan

paling atas dalam hirarki ide-ide. Karena itu, kajian tentang nilai merupakan

kajian yang sudah sangat tua usianya. Namun pada akhir abad ke-19, kajian

tentang nilai semakin mendapat uraian mantap dalam filsafat akademis,

yang akhirnya melahirkan satu cabang filsafat baru yang disebut aksiologi

atau teori nilai.3 Teori nilai yang meliputi keaslian, hakikat, pengelompokan,

dan tempat kemudian mendapat perhatian yang cukup besar dalam kajian

para sarjana, yang akhirnya menjadi kajian yang amat menarik dewasa ini.

Masalah etika sebagai kajian nilai dalam tindakan manusia dan estetika

sebagai kajian nilai dalam seni merupakan dua masalah penting dalam

kajian urgensi pendidikan nilai ini.

Dalam masyarakat yang statis, nilai diletakkan dalam kebiasaan dan

tradisi. Dalam masyarakat seperti itu, mereka menerima dan mengikuti

nilai-nilai yang dirujuk dengan penuh kesadaran dan ketaatan. Berbeda

dengan masyarakat modern yang kehidupannya cepat berubah, nilai sering

muncul sebagai topik kontroversial dan menyebabkan konflik. Peristiwa-

3 Bertens,Etika,SeriFilsafatAtmaJaya15(Jakarta:Gramedia,1999),20.

Page 261: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Urgensi Pendidikan Nilai Untuk Aceh Damai Berkelanjutan

247Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

peristiwa yang terjadi di berbagai daerah, seperti konflik di Poso, Maluku,

Aceh dan pro kontra masalah ”pornoaksi” dan ”pornografi” di DPR RI

beberapa waktu yang lalu merupakan fenomena yang amat nyata tentang

pertentangan nilai. Pertentangan itu muncul disebabkan oleh perbedaan

pertimbangan nilai, perbedaan rujukan nilai dan perbedaan kepentingan.

Di samping itu, masalah standar nilai benar salah, baik buruk, indah

tidaknya suatu tindakan ditempatkan pada kategori interpretasi yang

subyektif. Nilai itu sebenarnya merupakan makna yang terkandung di

balik fenomena kehidupan seseorang. Dengan kata lain, nilai adalah

makna yang mendahului fenomena kehidupan itu. Pada waktu nilai itu

berubah, fenomena kehidupan pun mengikuti perubahan nilai tersebut.

Demikian pula sebaliknya, jika fenomena kehidupan itu berubah, maka

nilai cenderung mengikutinya.

Oleh karena itu, salah satu cara mengamati nilai dapat dilakukan

dengan memperhatikan fenomena yang lahir dalam kehidupan individu

dan masyarakatnya. Dalam konteks ini, ada beberapa hal penting yang

terjadi dalam kehidupan masyarakat Aceh akhir-akhir ini dan menjadikan

kehidupan masyarakat Aceh sudah jauh berubah dari sebelumnya.

Pertama, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)

telah membawa masyarakat Aceh pada umumnya ke dalam kancah

kehidupan modern. Kehidupan modern yang ditandai oleh kemajuan Iptek

yang demikian cepat, sering kali membuat sebagian anggota masyarakat

mendadak kaget dengan perubahan-perubahan yang terjadi di sekeliling

mereka. Mengapa demikian, dapat disimak dari pendapat Rohmat Mulyana

yang menyatakan bahwa jumlah penemuan di akhir abad ke-20 sama

banyaknya dengan jumlah penemuan sepanjang sejarah umat manusia.

Di samping itu, diperkirakan bahwa 90% dari semua ilmuwan yang pernah

dilahirkan di dunia ini, sekarang mereka itu masih hidup dan sedang

produktif bekerja untuk berbagai penemuan ilmiah berikutnya.4 Dengan

kemajuan Iptek benar-benar telah mengubah tatanan kehidupan menjadi

serba mudah dan instant. Namun di balik perubahan tatanan kehidupan

4 RohmatMulyana,Mengaktualisasikan...,99-100.

Page 262: Sustaining Peace in Aceh

M. Jamil Yusuf

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES248 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

yang bersifat material ini sering menimbulkan konflik nilai yang amat rumit

dipecahkan.

Kedua, dengan perkembangan globalisasi di mana masyarakat Aceh

merupakan bagian yang tak terpisahkan daripadanya, maka persoalan

pendidikan merupakan salah satu pilar utama yang perlu ditumbuh

kembangkan. Secara filosofis Socrates menegaskan bahwa pendidikan itu

merupakan proses pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom),

pengetahuan (knowledge) dan etika (conduct). Oleh karena itu, membangun

aspek kognisi, afeksi dan psikomotor secara seimbang dan berkesinambungan

adalah nilai pendidikan yang paling tinggi. Zaim Elmubarok menyebut ketika

Uni Sovyet meluncurkan pesawat luar angkasanya yang pertama Spotnic

tanggal 4 Oktober 1957, lalu dengan segera Amerika Serikat menghadang

karena—Amerika Serikat sebagai negara dengan kemampuan teknologi

tinggi— merasa dipecundangi oleh Uni Sovyet.5

Presiden Amerika Serikat ketika itu langsung membentuk tim khusus

(special unit) guna merespon perkembangan yang terjadi di Uni Sovyet.

Tim ini tidak dimaksudkan untuk menandingi kecanggihan teknologi Uni

Sovyet, tetapi secara khusus dibentuk untuk meninjau kembali kurikulum

pendidikan di AS mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai tingkat

perguruan tinggi. Dalam waktu yang singkat tim ini membuat sebuah

statemen yang amat mengejutkan, yakni kurikulum pendidikan Amerika

sudah tidak layak pakai dan segera harus direvisi. Amerika pun melakukan

pembaharuan di bidang pendidikan mulai dari kurikulum, mata pelajaran,

tenaga pengajar, sarana pendidikan sampai kepada sistem evaluasi. Usaha

yang amat berani ini segera membuahkan hasil yang luar biasa. Salah

satu indikatornya, tanggal 14 Juli 1969 Amerika berhasil menempatkan

manusia pertama di permukaan bulan. Dengan indikator ini sekaligus

menempatkan Amerika Serikat berhasil mengungguli teknologi Uni Sovyet

dalam masa 12 tahun.

Pada kejadian yang hampir serupa juga pernah terjadi di Jepang seusai

kekalahan mereka dalam Perang Dunia II dengan dijatuhkan bom atom di

5 Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai: Mengumpul yang Terserak, Menyambung yang Terputus dan Menyatu yang Tercerai(Bandung:Alfabeta,2008),4.

Page 263: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Urgensi Pendidikan Nilai Untuk Aceh Damai Berkelanjutan

249Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Hiroshima dan Nagasaki tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Keadaan Jepang

ketika itu praktis lumpuh dalam segala segi kehidupan. Bahkan Kaisar

Jepang kala itu menyatakan bahwa mereka sudah tidak punya apa-apa

lagi kecuali tanah dan air. Dalam suasana duka yang mendalam itu, Kaisar

memanggil para pejabat yang ada dan bertanya: ”berapa orang guru yang

masih hidup?” Ini merupakan pertanyaan yang amat sederhana ketika itu,

tetapi mengandung makna yang amat mendalam dalam bidang pendidikan

dan memberikan kontribusi yang amat signifikan bagi kemajuan teknologi

Jepang di masa sekarang. Jepang secara amat terprogram dan sistematis

membenahi sistem pendidikannya pada semua jenjang pendidikan. Dengan

pembenahan awal yang dimulai pada bidang pendidikan, Jepang berhasil

bangkit dari keterpurukan menjadi negara yang kuat dalam bidang teknologi,

ekonomi, komunikasi dan kemajuan bidang pendidikan itu sendiri, bahkan

menjadi pesaing utama bagi Amerika Serikat.

Ketiga, jika Jepang dibom tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 dibandingkan

dengan Indonesia yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945, maka kedua

negara ini dapat digolongkan sama-sama memulai pembenahan diri dari

keterpurukan pada waktu yang bersamaan. Pada tahun 2009 ini (dalam

masa 64 tahun) kedua profil negara ini memperlihatkan dua kondisi yang

saling bertolak belakang. Jepang kini tampil sebagai negara maju, kuat

dan rakyatnya sejahtera, sementara Indonesia masih menamakan diri

sebagai negara berkembang, dililit oleh utang, upah buruh yang rendah,

mayoritas rakyatnya miskin harus diberi bantuan langsung tunai, para

birokrat masih miskin appresiasi dan bergelimang dengan korupsi serta

haus kekuasaan.

Salah satu contoh kemajuan pendidikan di Jelang adalah berubahnya

pengertian ”buta huruf” dari ”tidak bisa tulis baca dan berhitung”

menjadi ”tidak bisa menggunakan komputer untuk berbagai kepentingan

kehidupan”. Sedangkan di Indonesia pengertian ”buta huruf” masih abadi

seperti pengertian semula ketika Indonesia baru merdeka tahun 1945,

yakni ”tidak bisa membaca, menulis dan berhitung”. Bahkan pada tingkat

regional di Aceh baru-Baru ini, hasil survey Yayasan Anak Bangsa (YAB)

pada empat SD di Kecamatan Banda Sakti dan Kecamatan Muara Dua,

Page 264: Sustaining Peace in Aceh

M. Jamil Yusuf

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES250 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Kota Lhokseumawe ditemukan 112 murid kelas IV s/d VI yang tidak bisa

membaca dan tidak bisa menulis.6 Oleh karenanya, program pemberantasan

buta aksara (Program Paket A) masih merupakan program prioritas untuk

pendidikan luar sekolah di Aceh. Anehnya, belum ada suatu kebijakan

khusus dari Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Kabupaten/Kota

dalam era otonomi ini yang secara tegas menyatakan bagaimana program

ini disukseskan dan kapan ia akan berakhir.

Keempat, dengan memperhatikan fakta sejarah yang ada, maka

agenda kebangkitan dan kemajuan Aceh harus diletakkan pada pendidikan

yang memiliki nilai-nilai tertentu bagi terwujudkan kondisi Aceh yang

damai secara berkelanjutan. Begitu sentralnya peranan pendidikan bagi

kebangkitan dan kemajuan ini, maka krisis multidimensi separah apapun

akan dapat diatasi jika dimulai dengan membenahi bidang pendidikan

secara terprogram dan sistematis. Dalam hal ini Mohd. Djawad Dahlan

mengatakan ”Kita memiliki orang-orang terdidik lulusan perguruan

tinggi yang jauh lebih banyak sepanjang sejarah. Namun, kemanusiaan

kita berpenyakit. Jadi, sekarang bukan pengetahuan yang kita butuhkan.

Kemanusiaan kita membutuhkan sesuatu yang spiritual”. Perguruan tinggi

telah banyak mencetak manusia yang tidak utuh, manusia bernalar tinggi

tetapi berhati kering, mereka meraksasa dalam teknik, tetapi merayap

dalam etika dan moral. Di mana-mana tersebar orang intelek yang pongah

dengan IPTEK, mereka bingung dalam menikmati hidup selaku hamba

Allah.7

Lebih lanjut Mohd. Djawad Dahlan menyebut bahwa hakikat

pengembangan SDM harus bertumpu pada pendidikan akhlak dan moral

bangsa. Jika pada bidang ini berhasil, kita mudah mengembangkan

keunggulan di bidang lainnya. Ini penting, karena fenomena yang ada di

tengah-tengah masyarakat mengisyaratkan: ”semakin banyak orang pandai,

6 SuratKabarHarianSerambiIndonesia,”Banyak Murid SD Tak Bisa Membaca”,tanggal22Juli2009,22.7 MohamadDjawadDahlan,"Warna Arah Bimbingan dan Konseling Alternatif Di Era Globalisasi"(Bandung:Psikopedagogia:JurnalPsikologiPendidikandanBimbingan,Vol.2nomor3,Mei2001),139-140.

Page 265: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Urgensi Pendidikan Nilai Untuk Aceh Damai Berkelanjutan

251Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

semakin sulit dicari orang jujur”. Jadi, agar kita lebih manusiawi, dibutuhkan

sesuatu yang sifatnya ruhaniah.8 Atas dasar tuntutan dan harapan inilah,

maka ada dua hal yang patut dipertanyakan di sini, yakni: (1) apa kesalahan

dalam sistem pendidikan yang ada sehingga tidak mampu menyiapkan

manusia berakhlak tinggi dan unggul di bidang keahliannya; dan (2) sistem

pendidikan seperti apakah yang dapat memenuhi harapan itu? Adakah

kesalahan dalam sistem pendidikan yang ada sehingga menyebabkan tak

selarasnya antara ilmu yang dimiliki oleh para lulusan dengan rendahnya

akhlak yang dimilikinya itu. Di sinilah letak urgensinya pendidikan nilai

bagi kelangsungan hidup paserta didik di masa depan.

Pendidikan nilai dan implikasi-implikasinya

Pada intinya nilai terdiri dari dua kategori, yakni nilai-nilai nurani

(values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani

adalah nilai yang ada dalam diri individu kemudian berkembang menjadi

perilaku dan menjadi cara individu itu memperlakukan orang lain. Yang

termasuk ke dalam nilai-nilai nurani, yakni kejujuran, keberanian, cinta

damai, disiplin, kesesuaian dan kepantasan. Sedangkan nilai-nilai memberi

adalah nilai yang seyogianya dipraktikkan atau diwujudkan oleh setiap

individu untuk kemudian ia akan menerima sesuai dengan apa yang ia

praktikkan. Di antara nilai-nilai yang termasuk kategori ini adalah kesetiaan,

kepercayaan, saling menghormati, kasih sayang, baik hati, ramah, berlaku

adil, kepedulian dan sebagainya. Terkait dengan persoalan nilai ini, UNESCO

menekankan pentingnya martabat manusia (human dignity) sebagai nilai

tertinggi. Penghargaan terhadap martabat manusia dipandang sebagai nilai

yang tidak terbatas dan dapat mendorong manusia untuk memilih nilai-

nilai dasar yang terkait dengannya, di antaranya nilai dasar kebenaran,

kesehatan, kasih sayang, spiritual, tanggung jawab sosial, efesiensi ekonomi,

nasionalisme dan nilai dasar solidaritas global.

Di samping itu, UNESCO telah merumuskan empat pilar pendidikan

yang inovatif dan relevan untuk pengembangan pendidikan nilai, yakni

8 Ibid,140-141.

Page 266: Sustaining Peace in Aceh

M. Jamil Yusuf

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES252 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat (learning to do),

belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be) dan belajar hidup bersama

(learing to live together). Apabila empat pilar pendidikan ini diartikulasikan

dalam pendidikan nilai, maka pendidikan nilai dituntut untuk menyediakan

suasana kondusif bagi perkembangan peserta didik.9 Penyediaan suasana

kondusif ini dalam sistem pendidikan formal di Aceh dapat ditempuh

melalui peningkatan pemahaman dan kesadaran terhadap nilai dengan

cara-cara sebagai berikut:

1. Peserta didik dibimbing dan dilatih untuk memperluas wawasan

pengetahuannya tentang nilai, sehingga mereka dapat memberikan

alasan-alasan moral sebelum mereka dituntut untuk melakukan suatu

perbuatan atau tindakan. Dengan demikian, proses belajar untuk

mengetahui (learning to know) terhadap nilai kebenaran, kebaikan dan

keindahan dapat diterapkan dalam suasana yang penuh pemahaman

dan kesadaran.

2. Peserta didik dibimbing dan dilatih untuk memiliki keterampilan

melakukan suatu tindakan atau perbuatan dari apa yang diyakininya

sebagai nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Tindakan atau

perbuatan ini adalah dua hal yang selalu melekat dalam realitas

kehidupan seseorang. Oleh karenanya, belajar bertindak dan berbuat

itu merupakan belajar mengalami kehidupan yang sebenarnya.

Jadi, membimbing dan melatih peserta didik untuk mampu berbuat

dan bertindak (learning to do) itu harus memiliki landasan empirik

yang kuat sesuai dengan kultur budaya dan pengalaman hidup

yang sesunguhnya serta memiliki signifikansinya terhadap prediksi

keterampilan perilaku yang dibutuhkan untuk hidup di masa depan.

3. Peserta didik dibimbing dan dilatih untuk memiliki sifat-sifat baik

dan melekat pada diri mereka. Nilai-nilai yang diputuskan oleh

peserta didik itu untuk selalu diwujudkan dalam suatu perbuatan

atau tindakan nyata, maka keberlangsungan perwujudannya itu

haruslah sepanjang hayat. Untuk itu, proses pendidikan nilai

9 RohmatMulyana,Mengaktualisasikan...,172.

Page 267: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Urgensi Pendidikan Nilai Untuk Aceh Damai Berkelanjutan

253Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

memerlukan tingkat konsistensi, intensitas dan frekuensi yang tinggi

dalam pembiasaannya mengenai hal-hal yang diputusan sebagi benar,

baik, indah dan bermoral. Dengan demikian, belajar untuk menjadi

dirinya sendiri (learning to be) itu harus benar-benar melalui proses

internalisasi yang mendalam dan berkesinambungan. Mohamad

Surya menyebut salah satu tugas hidup yang perlu dibimbing dan

dilatih dalam bidang ini adalah regulasi diri, yakni peserta didik

mampu mengatur diri sendiri, seperti dalam hal: (1) mewujudkan

dan mempertahankan harga diri; (2) pengendalian diri; (3) keyakinan

dan harapan yang realistik; (4) spontanitas dan respon emosionalnya

secara tepat; (5) stimulasi intelektual, pemecahan masalah dan

kreativitas; (6) rasa humor; dan (7) kesegaran jasmani serta mampu

menumbuh kembangkan kebiasaan hidup sehat.10

4. Peserta didik dibimbing dan dilatih untuk hidup secara harmonis

dalam lingkungannya. Setiap individu sebenarnya tidak dapat hidup

tanpa orang lain dan selalu mempunyai kepentingan terhadap individu

lainnya (hidup sebagai anggota masyarakat). Untuk itu, peserta didik

sebagai anggota masyarakat dituntut mampu menampilkan perilaku-

perilaku yang baik dan benar, sehingga dapat hidup harmonis

dalam lingkungan masyarakatnya serta tidak merugikan orang

lain. Dalam penerapan pendidikan nilai ini selain menitik beratkan

pada kemampuan peserta didik untuk kebebasan memilih, keaslian

tindakan dan konsistensi, juga dititik beratkan pada pelibatan

berbagai pihak, seperti keluarga, masyarakat dan dinas/intansi

terkait untuk turutserta memfasilitasi peserta didik dapat belajar

hidup bersama (learning to live together). Lebih lanjut Mohamad

Surya juga menekankan pentingnya peserta didik dibimbing dan

dilatih untuk mampu mengemban tugas hidup bidang persahabatan,11

yakni membangun hubungan sosial antar individu dalam masyarakat

dengan suatu komitmen bersama atas dasar keakraban dan saling

10MohamadSurya,Psikologi Konseling(Bandung:PustakaBaniQuraisy,2003),204.11 Ibid,205.

Page 268: Sustaining Peace in Aceh

M. Jamil Yusuf

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES254 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

pengertian. Dalam persahabatan ini, peserta didik akan memperoleh

dukungan sosial, dukungan emosional, dukungan informasl dan

sebagainya.

Program aksi bagi Aceh damai berkelanjutan

Sejalan dengan beberapa implikasi pendidikan nilai bagi pengembangan

martabat manusia dan nilai-nilai dasar yang terkait dengannya sebagaimana

dikemukakan di atas, maka di sini diajukan beberapa program aksi

pendidikan nilai bagi masyarakat Aceh, yang dalam kajian ini ditekankan

pada aspek penanaman nilai-nilai religius, nilai kewirausahaan dan praktik

pendidikan tanpa kekerasan. Dengan fokus pada tiga aspek ini memang

diakui belum menyentuh secara menyeluruh upaya-upaya mewujudkan

Aceh damai secara berkelanjutan. Namun demikian, setidak-tidaknya jika

tiga aspek ini diterapkan secara baik, sistematis dan berkesinambungan

juga memberikan kontribusi siginfikan untuk Aceh damai itu dari sisi

peranan pendidikan formal di sekolah.

Pertama, menanamkan nilai-nilai Islami sebagai pandangan hidup

peserta didik. Mohamad Djawad Dahlan menyebut bahwa adanya perbedaan

pandangan hidup berdampak besar terhadap penerapan pendidikan

nilai yang dikembangkan di negara itu12. Sejalan dengan pernyataan ini

dapat dilihat misalnya, Amerika Serikat menganut sistem liberal yang

menganggap tinggi nilai individu. Kebenaran dipandangnya tidak mutlak.

Individu berhak menginterpretasi terhadap kebenaran, bahkan nilai sebagai

individu mendapat perlindungan hukum. Implikasi pendidikannya adalah

individu diberi berbagai alternatif yang dapat dipilihnya. Artinya individu

dihadapkan pada berbagai model cara hidup dan cara menyelesaikan

masalahnya. Lain halnya di negara komunis yang menganggap adanya

kebenaran negara. Yang benar ialah komunisme. Nilai sebagai individu

tidak begitu tinggi, sehingga pendidikan lebih melihat individu sebagai

makhluk biologis. Dalam prinsip pendidikan, tingkah laku individu

dibentuk berdasarkan upaya rekayasa dan pengkondisian lingkungan.

12Mohamad Djawad Dahlan, Beberapa Pendekatan dalam Penyuluhan (Konseling): Psikoanalisa, Berpusat Pada Klien, Terapi Tingkah Laku(Bandung,Diponegoro,2005),19.

Page 269: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Urgensi Pendidikan Nilai Untuk Aceh Damai Berkelanjutan

255Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Berbeda halnya dengan Indonesia yang menganut adanya kebenaran mutlak

yang berasal dari Tuhan YME. Kebenaran mutlak tersebut menentukan pola

tingkah laku manusia, melalui proses pengembangan potensi yang memiliki

kebebasan untuk berkembang. Implikasi pendidikan adalah individu perlu

diberi rambu-rambu untuk menuju kepada kemutlakan dan diharapkan

dapat menemukan makna dirinya selaku hamba dari Pencipta Kemutlakan,

yakni Allah Swt.

Kedua, menanamkan nilai kewirausahaan (entrepreneurship) ke

dalam diri peserta didik. Idealnya, ketika seseorang lulus menjadi sarjana

misalnya, adalah merupakan suatu prestasi yang amat membanggakan.

Namun bila dalam waktu yang lama belum mendapat pekerjaan, maka rasa

bangga itu akan luntur dan berbalik menjadi rasa malu, stress yang akan

berlanjut menjadi frustasi. Situasi ini akan diperparah lagi, karena sebagian

besar para lulusan perguruan tinggi di Aceh, --meski belum dilakukan

survey yang mendalam--, adalah berjiwa ”pencari kerja”. Jiwa ”pencari

kerja” ini sebagian besar disebabkan oleh sistem pembelajaran di Aceh

pada umumnya bersifat mendorong peserta didiknya untuk cepat lulus dan

segera ”mencari kerja”. Para lulusan kurang mendapat pembinaan untuk

menjadi lulusan yang mampu menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri

dan membuka lapangan kerja baru yang bisa menyerap banyak tenaga kerja

dari masyarakat sekitarnya.

Oleh karena itu, ada satu hal yang perlu diluruskan dalam tradisi

penyelenggaraan pendidikan di Aceh, yakni lembaga pendidikan merupakan

lembaga paling efektif untuk proses menanamkan nilai-nilai kewirausahaan.

Untuk kasus perguruan tinggi, di tengah suasana semakin sulitnya mencari

pekerjaan bagi para lulusannya, telah muncul beberapa perguruan tinggi

di kota-kota besar yang berusaha membuka progran studi baru yang

berbasis pada ekonomi dan bisnis dengan soft skill wirausaha. Soft skill

merupakan keterampilan yang bersifat invisible dan tidak langsung atau

segera, misalnya kemampuan beradabtasi, komunikasi, kepemimpinan,

pengambilan keputusan, pemecahan masalah dan conflict resolution.

Sebagian dari program studi yang baru dibuka itu, menawarkan materi-

materi kuliah dengan muatan ekonomi dan bisnis yang lebih variatif untuk

Page 270: Sustaining Peace in Aceh

M. Jamil Yusuf

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES256 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

memenangkan persaingan global yang semakin ketat.13

Di samping itu, juga ditemukan sejumlah perguruan tinggi baru

dengan amat berani menawarkan bahwa nilai-nilai kewirausahaan

menjadi jiwa dari perguruan tinggi tersebut. Artinya tidak hanya dalam

muatan materi kuliahnya saja sebagai soft skill, namun juga metode

pembelajarannya pun mengutamakan nilai-nilai kewirausahaan. Mengapa

demikian? Karena suatu masyarakat tidak akan maju jika hanya mampu

menghasilkan sarjana ”pencari kerja”. Sebaliknya, akan menjadi masyarakat

yang makmur, jika mampu menghasilkan para lulusan yang tidak hanya

sebagai intelektual tetapi juga mampu ”menciptakan” lapangan pekerjaan.

Dengan demikian, program aksi yang penting difokuskan di sini adalah

nilai-nilai kewirausahaan harus menjadi arah pengembangan paradigma

baru pendidikan di Aceh. Dengan terbukanya berbagai lapangan kerja, para

pemuda lebih berpeluang untuk mengembangkan karirnya. Ini sekaligus

menjadi faktor yang mendukung peningkatan pendapatan, membuat hidup

masyarakat menjadi sejahtera, aman dan damai.

Ketiga, program aksi berikutnya adalah menerapkan praktik

pendidikan sekolah tanpa kekerasan. Dengan praktik tak ada kekerasan

di sekolah, baik guru maupun peserta didik harus berusaha menghindari

diri dari kebiasaan buruk berlaku kasar ketika proses belajar mengajar

berlangsung maupun dalam pergaulannya di lingkungan sekolah. Dengan

motto tak ada kekerasan ini merupakan disiplin serius yang harus ditegakkan

oleh setiap sekolah di Aceh. Hal ini penting, mengingat pengalaman konflik

masa lalu yang amat melelahkan dan pengalaman psikologis peserta didik

akibat gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Dari pengalaman yang

tak ada kekerasan inilah diharapkan manajemen sekolah menebarkan

kredo/motto non-violence kepada senegap warga masyarakat luas, baik

melalui rapat-rapat komite sekolah maupun dari mulut ke mulut terutama

melalui penuturan peserta didik berbasis pengalaman mereka belajar di

sekolah dalam suasana yang menyenangkan.

Mengapa masalah praktik pendidikan sekolah tanpa kekerasan

13 SuratKabarMediaIndonesia,”Jika Jiwa Wirausaha Jauh Panggang dari Api”,tanggal30April2009,23.

Page 271: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Urgensi Pendidikan Nilai Untuk Aceh Damai Berkelanjutan

257Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

ini dipandang penting untuk ditumbuhkembangkan, karena di berbagai

media massa sering dilaporkan bahwa tindak kekerasan dari pihak sekolah

terhadap peserta didiknya masih kerap terjadi. Sebagai contoh kasus,

dugaan tindak kekerasan terhadap peserta didik yang dilakukan oleh guru

pada SMAN I Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara. Seperti diberitakan

oleh Surat Kabar Harian Serambi Indonesia, bahwa Mutia Phonna (15 tahun)

ditampar dan ditarik pada jilbabnya oleh guru hingga ia tersungkur ke

lantai. Akibatnya, Mutia Phonna harus dirawat di RS Kesrem Lhohseumawe

karena mengalami infeksi telingan.14

Dalam konteks kasus seperti di atas, maka seyogianya guru mampu

menampilkan diri sebagai sosok pendidik teladan, dipercaya dan ditiru

tingkah lakunya oleh peserta didik.15 Oleh karena itu, guru adalah digugu

dan ditiru. Ungkapan semacam ini merupakan gambaran idealisme guru.

Idealnya untuk Aceh damai berkelanjutan, ungkapan ini perlu dicanangkan

menjadi suatu model praktik pendidikan sekolah tanpa kekerasan,

yakni guru sebagai pendidik profesional harus selalu memikirkan dan

merenungkan perilaku diri sendiri dalam proses pembelajaran. Mengapa

demikian, karena apa saja yang dilakukan guru akan dijadikan teladan tidak

hanya oleh peserta didiknya, tetapi oleh masyarakat di sekitarnya. Model

praktik pendidikan tanpa kekerasan adalah model yang sangat umum dan

dapat diamati dalam kehidupan pendidikan sekolah sehari-hari. Di samping

itu, perlu juga dikembangkan model pendidikan yang sifatnya tersirat dalam

berbagai pepatah budaya yang secara umum mudah dipahami oleh setiap

orang. Di antaranya, pepatah ”jika guru kencing berdiri, murid kencing

berlari”.

Dalam proses sosio-kultural, maka pendidikan nilai religius,

kewirausahaan dan praktik pendidikan tanpa kekerasan ini selanjutnya

diintegrasikan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu lingkungan

kultural tertentu, yakni adat budaya masyarakat Aceh. Oleh karena itu, perlu

14 Surat Kabar Harian Serambi Indonesia, ”Pendidikan Harus Bebas dari Tindak Kekerasan”, tanggal28Juli2009,1.15WakhidAkhdinirwantodanIdaAyuSayogyani,Cara Mudah Mengembangkan Profesi Guru(Yogyakarta:PengurusWilayahAgupenaDIYdanSabdaMedia,2009),16.

Page 272: Sustaining Peace in Aceh

M. Jamil Yusuf

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES258 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

adanya komitmen dan kesepakatan antara pihak sekolah dan masyarakat

setempat —yang dalam praktik sekarang ini disebut Komite Sekolah, untuk

merumuskan dan mendukung penerapan nilai-nilai yang harus diajarkan

kepada peserta didik dan peranan-peranan yang harus dimainkan oleh

pihak sekolah dan oleh masyarakatnya.

Penutup

Manusia adalah makhluk sosial, tidak ada orang yang dapat hidup

tanpa orang lain. Bayi yang baru lahir perlu kepada pertolongan ibunya untuk

menyusui, makan, tidur, istirahat dan lain-lain. Setelah bayi agak besar,

ia perlu kepada kawan-kawan untuk bermain. Di sekolah ia perlu kepada

bantuan guru untuk mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan.

Ketika remaja, ia perlu kepada teman sebaya untuk bertukar pikiran dan

menyampaikan isi hati serta perasaan. Setelah dewasa ia perlu berkeluarga

dan membina rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Dalam dunia

kerja ia perlu kerjasama dengan teman-temannya untuk meningkatkan

penghasilan dan kesejahteraan. Ketika usia lanjut ia perlu bantuan orang

lain, terutama sanak keluarga untuk menikmati hari-hari tuanya. Bahkan

ketika meninggal dunia pun ia perlu bantuan orang lain untuk menyelesaikan

masalah-masalah yang berkaitan dengan tajhiz janazah, penyelesaian

harta warisan, utang piutang dan sebagainya. Dalam berbagai interaksi

itu, adanya konflik antar manusia adalah merupakan masalah yang amat

penting untuk dihindari. Dalam hubungan antar manusia, konflik bermakna

perlawanan atau bentrokan yang terjadi antara dua orang atau lebih karena

adanya faktor-faktor pemicunya. Beberapa faktor itu, antara lain adanya

perilaku seseorang yang mengganggu orang lain, persaingan tidak sehat

dalam memenuhi kebutuhan atau mereka tidak memiliki kesamaan persepsi

mengenai nilai-nilai kebenaran, keadilan, kebaikan dan keindahan, tidak

terkecuali dengan konflk yang terjadi di Aceh beberapa waktu yang lalu.

Penerapan pendidikan nilai dalam sistem pendidikan sekolah di Aceh

haruslah menyentuh aspek filosofi tujuan pendidikan, yakni memanusiakan

manusia, membangunan manusia paripurna dan membentuk insan kamil

atau manusia seutuhnya. Salah satu indikatornya adalah menjadi individu

Page 273: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Urgensi Pendidikan Nilai Untuk Aceh Damai Berkelanjutan

259Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

yang secara gigih memperjuangkan hak-haknya dan secara arif pula

menghormati hak-hak orang lain. Kegagalan pendidikan yang paling fatal

adalah ketika produk didik (para lulusan) tidak lagi memiliki kepekaan

nurani yang berlandaskan nilai-nilai religiusitas, moralitas dan sence of

humanity. Ketika para lulusan pendidikan tidak lagi peduli, bahkan secara

tragis berusaha menafikan eksistensi kemanusiaan orang lain, seperti

intimidasi, penculikan, penghilangan dan pembunuhan, maka produk

pendidikan yang dihasilkan itu telah berada pada tingkat yang sangat

rendah dan menakutkan.

Oleh karena itu, dengan penerapan nilai-nilai Islami, diharapkan masa

depan kehidupan peserta didik menjadi terarah dan tidak salah kaprah.

Dengan penerapan nilai keriwausahaan, diharapkan peserta didik memiliki

kemampuan dan keterampilan berkiprah dalam kancah persaingan global,

mampu bekerja dengan penghasilan yang layak dan memenuhi kebutuhan

kehidupan, bahkan siap menciptakan lapangan pekerjaan. Demikian pula

dengan penerapan praktik pendidikan tanpa kekerasaan, diharapkan

peserta didik dapat menghayati indahnya kehidupan, cinta damai, hidup

harmonis, dan suka menebarkan kasih sayang. Mereka menjadi tidak

suka kepada permusuhan, pertikaian, pembunuhan dan berbagai tindak

kekerasan lainnya.

Page 274: Sustaining Peace in Aceh

M. Jamil Yusuf

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES260

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, Etika. Seri Filsafat Atma Jaya 15. Jakarta: Gramedia, 1999.

J.P. Chapplin. Kamus Lengkap Psikologi (Alih bahasa) Kartini Kartono. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006

Mohamad Djawad Dahlan. ”Warna Arah Bimbingan dan Konseling Alternatif Di Era Globalisasi”. Bandung: Psikopedagogia: Jurnal Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Vol. 2 nomor 3, Mei 2001

Mohamad Djawad Dahlan. Beberapa Pendekatan dalam Penyuluhan (Konseling): Psikoanalisa, Berpusat Pada Klien, Terapi Tingkah Laku. Bandung, Diponegoro, 2005

Mohamad Surya. Psikologi Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy,2003

Rohmat Mulyana. Mengaktualisasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeda, 2004

Surat Kabar Harian Serambi Indonesia. ”Banyak Murid SD Tak Bisa Membaca”, tanggal 22 Juli 2009

Surat Kabar Harian Serambi Indonesia. ”Pendidikan Harus Bebas dari Tindak Kekerasan”, tanggal 28 Juli 2009

Surat Kabar Media Indonesia. ”Jika Jiwa Wirausaha Jauh Panggang dari Api”, tanggal 30 April 2009

Wakhid Akhdinirwanto dan Ida Ayu Sayogyani. Cara Mudah Mengembangkan Profesi Guru. Yogyakarta: Pengurus Wilayah Agupena DIY dan Sabda Media, 2009

Zaim Elmubarok. Membumikan Pendidikan Nilai: Mengumpul yang Terserak, Menyambung yang Terputus dan Menyatu yang Tercerai. Bandung: Alfabeta, 2008

Page 275: Sustaining Peace in Aceh

261

YAYASAN PENDIDIKAN TEUKU UMAR JOHAN PAHLAWANSEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOHIZIN DIRJEN PENDIDIKAN ISLAM NOMOR: Dj.1/201/2008

ALAMAT: JALAN T.UMAR KOMPLEK NURUL HUDA MEULABOH TELP. (0655) 7551591

SURATKEPUTUSANKETUASEKOLAHTINGGIAGAMAISLAM(STAI)

YAYASANPENDIDIKANTEUKUUMARJOHANPAHLAWANNOMOR:379/STAI-YPTU-JP/KEP/2010

TENTANG

PANITIAPELAKSANASEMINARINTERNASIONALSTAITEUNGKUDIRUNDENGMEULABOHTA2009/2010

KETUASEKOLAHTINGGIAGAMAISLAMTEUNGKUDIRUNDENGMEULABOH

Menimbang : a.Bahwa dalam Pelaksanaan Seminar Internasional Sekolah TinggiAgama IslamTeungku DirundengMeulaboh, maka perlu dibentukPanitiaPelaksanaSeminarInternasionaltahun2010.

b.Bahwa untuk maksud tersebut perlu ditetapkan dalam suatu SuratKeputusan.

Mengingat : 1.Undang-undangNomor 20Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional

2.Peraturan Pemerintah Nomor. 60 Tahun 1996 tentang PerguruanTinggi

3.Akte Notaris Nomor 155 Tahun 2009 tentang PembentukanYAPENTU-JP

4.SuratKeputusanYayasanPendidikanTeukuUmar JohanPahlawanNomor: 01/YPTU/KPTS/2010 Tentang Pengangkatan PimpinanSekolahTinggiAgamaIslam(STAI)TeungkuDirundengMeulaboh.

Memperhatikan : 1.HasilrapatPimpinanSTAITeungkuDirundengMeulabohtanggal14April2010.

MEMUTUSKANMenetapkan :Kesatu : MembentukpanitiapelaksanaSeminarInternasional tahun2010STAI

TeungkuDirundengMeulabohsebagaimanadalamSuratKeputusanini.

Page 276: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES262 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Kedua : PanitiaPelaksanamelaksanakantugas-tugasyangmenyangkutdenganPelaksanaanSeminar Internasional tahun2010danmelaporkansecaratertuliskepadaKetuaSTAITeungkuDirundengMeulaboh.

Ketiga : Segala biaya akibat dikeluarkannya Surat Keputusan ini dibebankanpadaanggaranSTAITeungkuDirundengMeulabohtahun2010.

Keempat : Keputusaninimulaiberlakusejaktanggalditetapkandenganketentuanapabila terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diperbaikisebagaimanamestinya.

Ditetapkan :DiMeulabohPadaTanggal :14April2010.Ketua,

DR.SYAMSUAR,M.AgNik:0502050

Lampiran

Page 277: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES 263Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Lampiran :SuratKeputusanKetuaSTAITgk.DirundengMeulabohTentang :PanitiaPelaksanaSeminarInternasional2010.Nomor :379/STAI-YPTU-JP/KEP/2010.Tanggal :14April2010.

No Nama Panitia Jabatan dalam PanitiaI Ramli,MS(BupatiAcehBarat) PembinaII H.T.BustamiPuteh,SE(KetuaYayasan) PenasehatIII Dr.Syamsuar,M.Ag(KetuaSTAI) PenanggungJawabIV UsamahEl-Madny(KetuaLKAS) PengarahV Erizar,M.Ed

Asmawati,MAKetuaUmumWkKetua

VI T.Mairizal,MASuharman,M.Si

SekretarisUmumWkSekretaris

VII Sunarto.S.Ag BendaharaVIII AmrizalHamsa,S.HI

Nurhayati.A.MdHanifuddinJaminZulhanli

KoordinatorKesekretariatanAnggotaSdaSda

IX Muchsinuddin,S.AgJunlizarBantaAli,Lc

KoordinatorAkomodasidanPublikasiAnggotaSda

X Dra.SyarifahRohana,S.PdDra.MarianiSafrida,A.MdMaidijar

KoordinatorKonsumsiAnggotaSdaSda

Ditetapkan :DiMeulabohPadaTanggal :14April2010.Ketua,

DR.SYAMSUAR,M.AgNik:0502050

Lampiran

Page 278: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES264 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

NODA

TE/D

AYTI

MEAC

TIVI

TIES

SPEA

KERS

MODE

RATO

RSPE

RSON

IN C

HARG

E1

SUNDAY, 23 MAY 20108.3

0-9.3

0PE

MBUK

AAN

PANI

TIA

PANI

TIA

29.3

0-11

.00EM

POW

ERIN

G CI

VIC

EDUC

ATIO

NDR

. JEF

FERY

MILL

IGAN

AN

TON

WID

YANT

O, S

.Ag,

M.Ag

PANI

TIA

311

.00-11

.30IN

TEGR

ASI P

ERDA

MAIA

N DA

LAM

KURI

KULU

M PK

N DI

ACE

HPR

OF. D

R. W

ARUL

WAL

IDIN

AK,

MA

MULIA

DI K

URDI

, S.A

g, M.

AgPA

NITI

A

411

.30-1

2.00

PENG

EMBA

NGAN

KUR

IKUL

UM

MUAT

AN LO

KAL D

ALAM

MEN

JAGA

KE

BERL

ANGS

UNGA

N PE

RDAM

AIAN

DI

ACE

H

PROF

. DR.

M. N

ASIR

BUD

IMAN

, MA

SUHA

RMAN

, M.S

iPA

NITI

A

512

.00-1

2.30

TANY

A JA

WAB

/DIS

KUSI

612

.30-1

4.00

LUNC

H BR

EAK

714

.00-1

4.30

PEND

IDIK

AN H

UKUM

DAN

PE

MBER

DAYA

AN C

IVIL

SOCI

ETY

DALA

M PE

RDAM

AIAN

DI A

CEH

DR. F

AUZI

SAL

EH, L

c, MA

ASMA

WAT

I, MA

PANI

TIA

814

.30-1

5.00

MEMB

UMIK

AN P

ERDA

MAIA

N AC

EH

DALA

M BI

NGKA

I SYA

RI'AT

ISLA

MDR

. H. M

UHIB

UTHT

HABA

RY, M

.Ag

MUKH

SINU

DDIN

, S.A

gPA

NITI

A

915

.00-1

5.30

TANY

A JA

WAB

/DIS

KUSI

1015

.30-1

6.00

BREA

K11

16.00

-17.0

0PE

NUTU

PAN

DAN

PENY

ELES

AIAN

AD

MINI

STRA

SI

TERM

OF

REFE

RENC

E IN

TERN

ATIO

NAL S

EMIN

AR O

N PR

OMOT

ING

CIVI

C ED

UCUA

TION

AS

A PE

ACE

BUIL

DING

TOW

ARDS

CIV

IC S

OCIE

TY C

ONST

RUCT

ION

IN A

CEH

KETU

A PA

NITI

A,

ERIZ

AR, M

.Ed

Lampiran

Page 279: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES 265Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Lampiran

Direktur LKAS Banda Aceh, Usamah El-Madny, menyampaikan sambutan pada pembukaan International Seminar on Sustaining Peace in Aceh Through the Integration of Local Values di Meulaboh, Aceh Barat.

Ketua STAI Teungku DIrundeng, Dr. Syamsuar Basyariah, M.Ag, menyampaikan sambutan pada pembukaan International Seminar on Sustaining Peace in Aceh Through the Integration of Local Values di Meulaboh, Aceh Barat.

Page 280: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES266 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Lampiran

Direktur LKAS Banda Aceh, Usamah El-Madny, menyerahkan buku terbitan LKAS kepada perwakilan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat pada International Seminar on Sustaining Peace in Aceh Through the Integration of Local Values di Meulaboh, Aceh Barat.

Para peserta International Seminar on Sustaining Peace in Aceh Through the Integration of Local Values di Meulaboh, Aceh Barat.

Page 281: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES 267Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Lampiran

Direktur LKAS Banda Aceh, Usamah El-Madny, menyerahkan buku terbitan LKAS kepada Prof. Jeffrey Ayala Milligan, Ph.D, associate professor Florida State University, pada International Seminar on Sustaining Peace in Aceh Through the Integration of Local Values di Meulaboh, Aceh Barat.

Para peserta International Seminar on Sustaining Peace in Aceh Through the Integration of Local Values di Meulaboh, Aceh Barat.

Page 282: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES268 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Lampiran

Anton Widyanto (translator LKAS) pada International Seminar on Sustaining Peace in Aceh Through the Integration of Local Values di Meulaboh, Aceh Barat.

Pengurus LKAS Banda Aceh dan STAI Teungku Dirundeng berfoto bersama pemateri International Seminar on Sustaining Peace in Aceh Through the Integration of Local Values di Meulaboh, Aceh Barat.

Page 283: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES 269Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

LKAS singkatan dari Lembaga Kajian Agama dan Sosial.

Didirikan di Banda Aceh, Provinsi Aceh pada

Kamis, 22 Desember 2008 bertepatan dengan

25 Dzulhijjah 1429 H dengan akte notaris Sabaruddin Salam, SH, SpN No.

97 Tahun 2008. Tujuan didirikan lembaga ini antara lain ingin mewujudkan

pencerahan kehidupan sosial-keagamaan bagi masyarakat dalam berbagai

aspeknya. Diharapkan LKAS mampu menjadi lembaga professional dalam

internalisasi nilai-nilai agama, sosial, moral dan pendidikan masyarakat.

Sesuai dengan tujuan dimaksud LKAS membentuk beberapa divisi antara

lain: Divisi Penelitian dan Pengkajian. Divisi ini bertugas melaksanakan

riset, seminar, dan forum diskusi ilmiah di bidang agama, pendidikan

dan sosial kemasyarakatan yang meliputi seluruh realitas kehidupan

dalam berbagai dimensinya sekaligus merumuskan solusi atas masalah-

masalah aktual dari problematika yang berkembang. Divisi Pelatihan.

Divisi ini bertugas memberikan jasa training, workshop, training of trainer

bagi pemberdayaan sumber daya manusia dalam berbagai aspek. Divisi

Perberdayaan Perempuan dan Anak. Divisi ini bertugas mengadakan

kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan dalam bidang pendidikan,

professionalisme, persamaan hak dan keadilan. Di samping itu divisi ini

bertugas mengadakan kegiatan pemberdayaan dan pendidikan anak melalui

partispasi masyarakat agar tercipta percerahan bagi masa depan anak-anak.

Divisi Pendidikan Politik. Divisi ini bertugas meningkatkan pemahaman

dan wawasan kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan sehingga

tumbuh dan berkembang sistem pendidikan politik yang jujur, adil dan

bermartabat. Divisi Kemitraan. Divisi ini bertugas membangun kerja sama

dalam internalisasi nilai-nilai sosial dan agama dengan Pemerintah Aceh,

LSM, NGO dan lembaga swasta lainnya. Divisi Penerbitan dan Publikasi.

Divisi ini bertugas menerbitkan buku-buku, jurnal ilmiah dan artikel-artikel

yang sangat berguna bagi masyarakat. Di samping itu divisi ini bertugas

mengadakan publikasi lembaga dan melaksnakan kegiatan-kegiatan

kelembagaan. Dalam menjalankan tugas sesuai yang telah ditentukan maka

setiap devisi telah diisi oleh tenaga profesional dan proporsional yang

terdiri dari Philosophy of Doctor (Ph.D), Doktor, Master (MA) dan Magister.

Umumnya pengurus LKAS di samping berprofesi sebagai dosen pada IAIN Ar-

Raniry Banda Aceh dan Universitas Syiah Kuala, mereka juga pernah bekerja

pada NGO dan lembaga-lembaga swasta lainnya. LKAS hingga hari ini telah

menerbitkan beberapa karya penting antara lain: Aceh di Mata Sejarawan;

Profil Lembaga

Page 284: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES270 Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

Rekonstruksi sejarah sosial Budaya karya Muliadi Kurdi, Materi Khutbah

Jumat karya Muliadi Kurdi & Usamah El-Madny, Anthropomorphisme Al-

Juwayni karya Dr. Muhibbuththabary,M.Ag, Menalar Hukum Tuhan karya

Jabbar Sabil,MA, Pembaharuan Hukum Islam karya Prof. Dr. Mukhsin Nyak

Umar,MA. Karya yang akan terbit antara lain: Ensiklopedi Ulama Besar

Aceh karya Tim LKAS, Nikah Sirri karya Dr. Fauzi Saleh, Lc, MA & Muliadi

Kurdi,S.Ag, M.Ag, Pertalian Darah Menurut Hazairin karya Prof. Dr. Al Yasa’

Abubakar,MA, Toponimi Aceh karya LKAS, Konsep Pemikiran Pendidikan

Prof.Dr. Safwan Idris,MA. Selain itu, LKAS telah menerbitkan sejumlah jurnal

dan buletin seperti jurnal Progresif, Bidayah STAI Teungku Dirundeng, At-

Tasri’ STAI Teungku Dirundeng, At-Ta’dib STAI Teungku Dirundeng, At-

Tanzir STAI Teungku Dirundeng, Peunawa dan lain-lain.

Profil Lembaga

Page 285: Sustaining Peace in Aceh

Proceedings of International Seminar onSUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES 271Proceedings of International Seminar on

SUSTAINING PEACE IN ACEH THROUGH THE INTEGRATION OF LOCAL VALUES

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)Teungku Dirundeng Meulaboh adalah sebuah Perguruan Tinggi Islam di

pantai Barat, Aceh. Lembaga yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan

Teuku Umar Johan Pahlawan ini berdiri pada tahun 1986. STAI memiliki

tiga Program Studi yaitu Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah), Mu’amalah/

Ekonomi Islam (Syari’ah), dan prodi Komunikasi Penyiaran Islam (Dakwah).

Sistem yang diterapkan STAI adalah perkuliahan regular dan non regular.

Sejak berdiri, lembaga ini semakin ramai diminati oleh mahasiswa. Jumlah

mahasiswa yang sedang kuliah di perguruan tinggi tahun pelajaran

2010/2011 berkisar 1.925 orang. Tercatat sejak berdiri hingga Juni 2010

lembaga ini telah tujuh kali mewisudakan sarjana (S1) dengan jumlahnya

mencapai 1.450 orang. Pada tahun 2000 sampai 2010 STAI memperoleh

nilai akreditasi dengan peringkat B. Jumlah tenaga pengajar/dosen 93 orang

dengan 38 dosen tetap. Dosen luar biasa 20 orang dengan rincian Professor

5 orang, Doktor 8 orang, dan dosen S2 berjumlah 32 orang. STAI memiliki

tiga kampus yaitu Kampus A lokasi Komplek Masjid Nurul Huda Meulaboh,

Kampus B di Desa Gampa, dan Kampus C di Alue Peunyarieng dengan

jumlah areal 75 Hektar. Kelompok belajar terdiri dari 35 unit dengan waktu

belajar pagi dan sore. Tahun 2010 STAI memberikan beasiswa kepada tiga

dosen untuk melanjutkan program S3 ke dalam dan luar negeri. Dalam

bidang penerbitan sejak dua tahun terakhir STAI bekerjasama dengan LKAS

Banda Aceh telah mampu melahirkan empat jurnal ilmiah masing-masing:

At-Tanzir (Prodi KPI), At-Tasyri’ (Prodi Mu’amalah), At-Ta’dib (Prodi PAI),

dan Bidayah (jurnal ilmiah institusi). Semua jurnal itu diharapkan dapat

sebagai media peningkatan kualitas dosen di sekolah tinggi ini. Sejak berdiri

hingga saat ini STAI telah diisi oleh dua pimpinan antara lain: Drs. H. Razali

Azis (mantan Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh), Ketua STAI

pada periode pertama dan setelah itu hingga sekarang ini STAI dipimpin

Dr. Syamsuar Basyariah, M.Ag.

Profil Lembaga

Page 286: Sustaining Peace in Aceh
Page 287: Sustaining Peace in Aceh
Page 288: Sustaining Peace in Aceh

published byLEMBAGA KAJIAN AGAMA DAN SOSIAL (LKAS) BANDA ACEHI nst i tute for Re l igious and Socia l Studiesin cooperation with

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) TEUNGKU DIRUNDENGMEULABOH, ACEH BARATCol lege for I s lamic Studies

Sustaining Peacein AcehThrough the Integration of Local Values

We present this work as a starting point for everyone who cares in establishing peace education as part of the Acehnese community. As a nation, we should realize that history will always be our spirit in enlightening our life towards par excellent. In addition to be a precious documentation, this work is expected to be a reflection in learning and mantaining peace on the land of Iskandar Muda to achieve a brighter and more prestigious future for Aceh.

Sengaja kami suguhkan karya ini agar menjadi starting point bagi para pihak yang peduli untuk menjadikan pendidikan damai bagian dari masyarakat Aceh. Sebagai bangsa, kita harus sadar sejarah yang senantiasa menjadi semangat dalam melakukan berbagai pencerahan kehidupan menuju par excellent. Di samping menjadikan dokumentasi berharga, karya ini diharapkan menjadi bahan renungan dalam menghikmahi serta memelihara perdamaian dan kedamaian di bumi Iskandar Muda ini. Semoga masa depan Aceh lebih cerah dan bermartabat.

Proceedings of International Seminar on

9 7 8 6 0 2 9 5 8 3 8 7 8

ISBN 978-602-95838-7-8