surimi_clara chikita eljo_13.70.0110_c3_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Praktikum SurimiTRANSCRIPT
1
SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh :
Chikita Eljo Brilliarien Mahardhika
13.70.0110
Kelompok E3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
2
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, talenan, baskom, mangkok,
timbangan analitik, alat penggiling daging, kain saring, spatula, loyang, freezer, presser,
plastik bening, dan milimeter blok.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan bawal, garam, gula pasir,
polifosfat, dan es batu.
1.2. Metode
Ikan dicuci bersih dengan air mengalir.
Daging ikan di-filllet dengan cara dibuang bagian
kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulitnya.
Daging ikan diambil dan ditimbang sebanyak 100 gram.
3
Daging ikan dimasukkan ke dalam alat penggiling dengan
ditambahkan es batu, kemudian digiling hingga halus.
Daging ikan dicuci dengan air es sambil disaring menggunakan kain
saring sebanyak 3 kali hingga didapatkan tekstur yang gempal.
Daging ikan ditaruh di dalam plastik, kemudian ditambahkan dengan
sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam
sebanyak 2,5% (kelompok 1, 2, 3, 4, 5), dan polifosfat sebanyak 0,1%
(kelompok 1); 0,3% (kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5).
Plastik diikat dan ditaruh di dalam loyang untuk
kemudian dibekukan dalam freezer selama 1 malam.
4
Setelah di-thawing, surimi diuji kualitas
sensorisnya yang meliputi kekenyalan dan aroma.
Surimi diukur tingkat kekerasannya dengan
menggunakan texture analyzer.
Surimi dipress dengan
menggunakan presser.
5
Surimi diukur WHCnya dengan menggunakan milimeter blok
untuk kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut:
6
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pembuatan Surimi dengan Perlakuan Berbeda
Kel. Perlakuan Hardness
(gF) WHC
Sensoris
Kekenyalan Aroma
C1 Fillet ikan + sukrosa
2,5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,1%
137,22 293598,53 +++ +++
C2 Fillet ikan + sukrosa
2,5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,3%
132,55 267004,22 + +
C3 Fillet ikan + sukrosa
5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,3%
214,65 311814,35 ++ +
C4 Fillet ikan + sukrosa
5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,5%
126,59 277084,60 ++ ++
C5 Fillet ikan + sukrosa
5% + garam 2,5% +
polifosfat 0,5%
159,03 254345,99 + +++
Keterangan:
Kekenyalan Aroma
+ : tidak kenyal + : tidak amis
++ : kenyal ++ : amis
+++ : sangat kenyal +++ : sangat amis
Berdasarkan hasil pengamatan yang didapatkan diketahui bahwa dilakukan pengukuran
yang terdiri dari hardness, daya ikat air (WHC) serta pengamatan secara sensoris yang
meliputi kekenyalan dan aroma. Masing-masing kelompok diberikan perlakuan yang
berbeda pada surimi. Nilai hardness tertinggi sebesar 214,65 gF diperoleh fillet ikan
kelompok C3 dengan penambahan 5% sukrosa, 2,5% garam dan 0,3% polifosfat, dan
nilai hardness terendah sebesar 126,59 gF adalah kelompok C4 dengan penambahan 5%
sukrosa, 2,5% garam dan 0,5% polifosfat. Nilai WHC tertinggi sebesar 311814,35
diperoleh fillet ikan kelompok C3, dan nilai WHC terendah sebesar 277084,60 dan
diperoleh fillet ikan kelompok C4. Hasil pengamatan sensori menunjukkan surimi C1
sangat kenyal dan berbau sangat amis, surimi C2 tidak kenyal dan tidak amis, surimi C3
kenyal dan tidak amis, surimi C4 kenyal dan amis, dan surimi C5 tidak kenyal dan
sangat amis.
7
3. PEMBAHASAN
Salah satu bab dalam praktikum Teknologi Hasil Laut adalah pembuatan surimi. Surimi
adalah salah satu produk semi olahan yang dapat diolah menjadi berbagai macam
produk olahan pangan dan sebagai campuran olahan seperti sosis, bakso atau nugget
ikan. Surimi diproses dari daging ikan lumat yang telah diekstraksi dengan air dan
diberi bahan anti denaturasi protein. Prinsipnya proses pembuatan surimi melalui 4
tahap, yaitu pencucian, penggilingan, pengemasan, dan pembekuan. Surimi menjadi
popular karena teksturnya unik dan memiliki nilai gizi tinggi (Jin et al., 2009). Surimi
memiliki karakteristik tekstur yang elastis dan kenyal. Hal ini disebabkan karena surimi
memiliki kandungan konsentrasi protein miofibril yang tinggi. Luo et al., (2001)
menyatakan kemampuan pembentuk gel surimi menurun dengan peningkatan kadar air
akibat rendahnya konsentrasi myofibril protein dan penurunan kepadatan pilinan. Dari
cara pengolahan surimi, terdapat 3 tipe surimi yaitu Mu-en Surimi adalah surimi yang
dibuat dengan cara menggiling daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula
dan fosfat, tanpa penambahan garam dan telah mengalami pembekuan, surimi tipe dua
adalah Ka-en Surimi adalah surimi yang dibuat dengan cara menggiling daging ikan
yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan garam tanpa penambahan fosfat dan
telah mengalami proses pembekuan, serta surimi tipe tiga adalah Na-ma Surimi adalah
surimi yang tidak mengalami pembekuan (Park et al., 1996). Faktor penting yang
berpengaruh dalam pembuatan surimi yaitu cara penyiangan, besarnya partikel daging
lumat, kualitas air, temperatur ikan, peralatan yang digunakan dan cara tahap pencucian
bahan (Lee, 1984). Hamzah et al., (2015) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
menentukan dampak dari siklus pencucian dan penambahan tetrasodium pirofosfat
(TSPP) dan dengan atau tanpa penambahan 0,4% kalsium klorida (CaCl2) terhadap
karakteristik fisik seperti tekstur, warna, kelembaban mikro Cobia (Rachycentron
canadu) gel surimi. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa nilai hardness
tertinggi diperoleh dengan penambahan 0,1% TSPP pada pencucian tahap kelima.
Kombinasi 0,1% dan 0,4% CaCl2 yang ditambahkan pada pencucian siklus kelima
mengakibatkan tingkat whiteness tertinggi, berkurangnya kadar air dan terjadi
deformasi. Kekuatan gel surimi tertinggi diperoleh setelah tiga siklus pencucian dengan
penambahan 0,1% TSPP dan 0,4% CaCl2. Sehingga dapat disimpulkan, sifat fisik ikan
8
surimi dipengaruhi juga oleh jumlah siklus pencucian dan perlakuan pencucian dengan
penambahan TSPP dan CaCl2. Pada praktikum yang telah dilakukan, pencucian hanya
dilakukan dengan air es dalam 3 tahap pengulangan.
Dalam praktikum pembuatan surimi yang telah dilakukan, bahan utama yang digunakan
adalah daging ikan bawal, serta bahan tambahan lain meliputi gula pasir, garam,
polifosfat, dan es batu. Pemilihan ikan bawal sebagai bahan utama disebabkan karena
ikan bawal sesuai untuk pembuatan surimi yang memiliki daging berwarna putih, tidak
berbau lumpur, dan dapat membentuk gel yang baik. Hal ini didukung oleh pendapat
Miyake et al., (1985), yang menyatakan bahwa semua jenis ikan secara teknis dapat
dijadikan surimi dimana ikan tersebut berdaging putih, tidak berbau lumpur dan
memiliki kemampuan pembentukan gel yang bagus yang akan memberikan hasil akhir
surimi yang lebih baik. Pada umumnya ikan berdaging putih mempunyai kemampuan
membentuk gel yang lebih baik dibandingkan dengan ikan berdaging merah. Hal ini
sesuai dengan teori Winarno (1993) dimana kualitas surimi yang baik adalah yang
berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel. Langkah awal pembuatan surimi yaitu
ikan bawal dicuci bersih dengan air mengalir, yang bertujuan untuk membersihkan ikan
dari pengotor lain yang tidak diinginkan. Daging ikan dicuci dengan air, untuk
menghilangkan lemak dan komponen-komponen larut air agar dapat dihasilkan surimi
dengan kualitas yang baik (Ignacio S et al., 2006). Kemudian daging ikan di-fillet
dengan cara dibuang bagian kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut, dan kulitnya.
Penghilangan beberapa bagian tersebut dikarenakan surimi hanya dibuat dengan daging
ikan, sedangkan bagian lain tidak diperlukan, bahkan isi perut harus dibuang karena
banyak mengandung lemak dan enzim protease, serta dapat menjadi sumber bakteri
yang dengan cepat akan menurunkan mutu ikan yang mengakibatkan turunnya
kemampuan pembentukan gel surimi. Di samping itu, menurut Suzuki (1981) isi perut
ikan dapat berpengaruh terhadap penampakan produk karena mengakibatkan warna
surimi dan produk olahannya menjadi gelap dan tidak menarik. Kemudian bagian
daging putih ikan yang telah di-fillet diambil sebanyak 100 gram, dan digiling hingga
halus, selama proses penggilingan dapat ditambahkan es batu yang bertujuan untuk
menjaga suhu tetap rendah sehingga dapat meminimalisir kerusakan dan mencegah
denaturasi protein karena adanya panas selama proses penggilingan berlangsung.
9
Selanjutnya daging ikan yang sudah halus dipindahkan ke kain saring dan dicuci dengan
air es sebanyak 3 kali, lalu disaring hingga tidak banyak mengandung air. Pengurangan
kadar air pada daging ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pembentuk gel,
hal ini didukung oleh Luo et al., (2001) yang menyatakan bahwa kemampuan
pembentuk gel surimi akan menurun seiring dengan peningkatan kadar air, akibat
rendahnya myofibril protein konsentrasi dan penurunan kepadatan pilinan. Kemudian
daging halus yang sudah disaring tersebut, dipindahkan ke dalam pengemas, pada
praktikum ini digunakan plastik bening.
Langkah selanjutnya penambahan sukrosa, garam, dan polifosfat pada daging di dalam
plastik tersebut. Proses penambahan garam berfungsi untuk melepaskan miosin dari
serat-serat ikan yang sangat penting untuk pembentukan gel yang kuat, selain itu juga
digunakan sebagai bumbu, penyedap rasa, dan penambah aroma, tetapi jika digunakan
dengan kadar yang cukup tinggi dapat mengubah cita rasa makanan. Cryoprotectant
merupakan zat tertentu yang apabila terdapat dalam konsentrasi tinggi akan
menstabilkan protein miofibrilar selama pembekuan dan penyimpanan pada suhu
freezing (Park, 2005). Cryoprotectant yang umum digunakan dalam industri pengolahan
surimi adalah campuran 1:1 dari sukrosa dan sorbitol (Zhou et al., 2006). Namun pada
praktikum ini, cryoprotectant yang digunakan hanya sukrosa saja. Menurut Lanier
(1992), cryoprotectant berupa sukrosa dapat meningkatkan tingkat N-aktomiosis dari
350 mg% menjadi 520 mg% dan meningkatkan kekuatan gel dari 400 gram menjadi
480 gram. Selain penambahan cryoprotectant, juga ditambahkan polifosfat yang dapat
memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutannya. Polifosfat yang
digunakan sebagai bahan tambahan makanan antara lain adalah dinatrium fosfat
(disodium monophosphate), natrium heksametafosfat dan natrium tripolifosfat (sodium
tripoliphosphate). Polifosfat ditambahkan untuk memperbaiki daya ikat air (water
holding ability) dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk
olahan surimi. Jumlah polifosfat yang biasa ditambahkan adalah sebanyak 0,2-0,3%
dalam bentuk garam natrium tripolifosfat atau natrium pirofosfat (Lanier, 1992).
Mekanisme kerja polifosfat adalah memisahkan aktomiosin dan akan berikatan dengan
miosin. Miosin dan polifosfat tersebut akan berikatan dengan air dan menahan mineral
dan vitamin.
10
Setelah ditambah dengan beberapa bahan tersebut, surimi dalam plastik dibekukan di
dalam freezer selama 1 malam. Penyimpanan surimi dalam suhu freezer ini bertujuan
untuk mempertahankan surimi agar tidak cepat busuk atau menurun kualitas mutunya.
Apabila disimpan dalam lingkungan dengan suhu yang cukup baik maksimal –20o
C,
tanpa banyak mengalami perubahan sifat fungsional, surimi dapat bertahan hingga
kurang lebih satu tahun. Menurut Winarno (2004), penyimpanan surimi pada suhu yang
tidak tepat dapat menimbulkan pecahnya sel-sel sehingga cairan dalam sel akan keluar
dari sel, warna bahan menjadi gelap, terjadi pembusukan dan pelunakan. Saat proses
pembekuan, surimi disimpan dalam wadah plastik bertujuan juga untuk menjaga
karakteristik fisik dari surimi. Hal ini juga dikemukakan oleh Lee (1984), bahwa pada
bahan pangan yang dibekukan tanpa dibungkus maka bagian luarnya akan menjadi
kering dan mengeras sehingga akan mempengaruhi tekstur produk akhir yang
dihasilkan. Pembekuan dapat mempertahankan nilai bahan pangan dan melindungi
produk dari kerusakan selama penyimpanan dalam jangka waktu lama.
Hasil pengamatan yang diperoleh dalam tabel pengamatan, menunjukkan surimi dengan
bahan campuran gula, protein, dan lemak yang berbeda antar kelompok. Dilihat dari
hasil nilai WHC yang tertinggi, dimiliki oleh kelompok C3 sebesar 311814,35 dengan
penambahan sukrosa sebanyak 5% dan polisakarida sebanyak 0,3%. Hasil yang
diperoleh sudah sesuai karena dengan dilakukannya penambahan sukrosa sebanyak 5%
(paling tinggi kadarnya daripada 0,1% dan 0,3%) akan menghasilkan nilai WHC yang
paling tinggi. Penambahan sukrosa sangat berpengaruh terhadap sifat daya ikat air,
semakin tinggi sukrosa maka kemampuan mengikat air akan semakin tinggi dan
menyebabkan nilai WHC meningkat. Hal ini didukung dengan pendapat Winarno et al.
(1980), sukrosa bersifat mengikat air sehingga menurunkan Aw. Selain ditambahkan
dengan gula, surimi juga ditambah dengan polifosfat. Penambahan polifosfat diketahui
berpengaruh terhadap kekenyalan surimi, dimana biasanya polifosfat ditambahkan
dalam bentuk garam natrium tripolifosfat. Menurut Ockerman (1983) natrium
tripolifosfat mempunyai fungsi yaitu untuk meningkatkan pH daging, kestabilan emulsi,
dan kemampuan emulsi. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kadar
polifosfat yang ditambahkan pada surimi, akan menghasilkan surimi dengan kekenyalan
11
yang tinggi dan nilai hardness yang rendah. Pada hasil perlakuan, diketahui nilai
hardness terendah dimiliki oleh kelompok C4 sebesar 126,59 gF, hasil ini sesuai seiring
kadar polifosfat yang ditambahkan paling tinggi yaitu 0,5%, namun kemudian dilihat
dari hasil pengamatan sensori menunjukkan sangat kenyal pada kelompok C1 dengan
penambahan polifosfat hanya sebesar 0,1%. Perbedaan hasil ini dapat dikarenakan
praktikan kurang teliti dalam membedakan kekenyalan antar kelima surimi tersebut,
pengamatan sensoris yang dilakukan praktikan dapat mengalami kekurangsesuaian
karena tingkat ketelitiannya tidak setinggi apabila dilakukan pengamatan dengan alat,
dan hasil pengamatan praktikan dapat lebih subyektif. Selain ditambah dengan sukrosa
dan polifosfat, surimi juga ditambah garam dengan konsentrasi 2,5% untuk seluruh
kelompok. Penggunaan garam pada proses pembentukan gel adalah sebagai bahan
pelarut myofibril, jika konsentrasi garam yang ditambahkan kurang dari 2% maka
miofibril tidak dapat terlarut, sedangkan apabila konsentrasinya lebih dari 12% maka
miofibril akan terhidrasi dan menyebabkan salting out atau keluarnya garam ke
permukaan jaringan ikan dan akan menyebabkan timbulnya rasa asin pada ikan.
Konsentrasi garam yang paling umum digunakan untuk membuat produk surimi adalah
sebesar 2-3%, maka penambahan garam sebesar 2,5% pada setiap surimi dalam
praktikum ini sudah sesuai dengan pendapat Tan et al., (1988) dan Shimizu et al.,
(1992). Penentuan mutu dan kualitas surimi setelah ditinjau dari kekenyalannya, dilihat
dari aroma yang dimiliki surimi. Surimi dengan kualitas yang baik, dapat dinilai dari
ada atau tidaknya aroma amis pada surimi, surimi yang tidak amis lebih memiliki
kualitas dan mutu yang baik. Kelompok C2 dan C3 memiliki aroma yang tidak amis,
kelompok C4 memiliki aroma yang amis, sedangkan C1 dan C5 memiliki aroma sangat
amis. Munculnya bau amis ini berasal dari reaksi oksidasi pada ikan sehingga
mengubah asam lemak menjadi off-flavor, biasanya bau ini dihilangkan pada tahap
pencucian daging surimi. Dari adanya aroma amis tersebut, maka diketahui kualitas
ikan dibedakan dari aromanya, kualitas surimi C2 dan C3 lebih baik daripada surimi
yang lain. Namun hasil pengamatan lain, seperti nilai hardness, nilai WHC dan
kekenyalan juga harus dipertimbangkan untuk menentukan kualitas dari surimi tersebut.
12
Menurut Lan et al (1995), faktor-faktor lain yang mempengaruhi kualitas surimi adalah
bahan baku, jenis bahan dan jumlah bahan yang ditambahkan, kekuatan ion, pH, suhu
dan laju pemanasan, jenis ikan, dan tahap pembuatan.
13
4. KESIMPULAN
Surimi adalah produk antara hasil olahan ikan yang siap untuk diolah menjadi
produk lanjutan (co: nugget, bakso, sosis) yang diperoleh dengan beberapa tahapan
pengolahan.
Tahapan pembuatan surimi adalah proses pencucian (leaching), penggilingan
(straining), penambahan bahan tambahan (food additive), pengemasan, dan
pembekuan.
Ikan yang digunakan untuk pembuatan surimi sebaiknya segar, memiliki daging
berwarna putih, tidak berbau lumpur, tidak terlalu amis, memiliki kadar lemak
rendah, dan memiliki kemampuan pembentukan gel yang baik.
Faktor yang berpengaruh dalam pembuatan surimi yaitu cara penyiangan, besarnya
partikel daging lumat, kualitas air, temperatur ikan, peralatan yang digunakan dan
cara tahap pencucian bahan.
Kualitas surimi yang baik adalah memiliki warna putih, flavor baik, elastisitasnya
tinggi.
Penambahan es batu pada saat penggilingan bertujuan untuk mencegah denaturasi
protein karena panas akibat proses penggilingan.
Sukrosa dapat mencegah denaturasi protein, mengurangi keseimbangan kelembaban
relatif, dapat meningkatkan daya ikat air dan memiliki sifat kelarutan yang tinggi.
Semakin tinggi sukrosa yang ditambahkan, surimi yang dihasilkan semakin kenyal
Penambahan garam bertujuan untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang
sangat penting untuk pembentukan jeli yang kuat, sebagai bumbu, penyedap rasa,
dan penambah aroma surimi.
Kandungan protein miofibril yang tinggi merupakan faktor utama dalam
pembentukan gel yang baik.
Semakin banyak jumlah polifosfat yang ditambahkan maka nilai hardness yang
dihasilkan semakin rendah.
Kekenyalan berbanding terbalik dengan nilai hardness.
Konsentrasi polifosfat 0,5% menghasilkan surimi yang lebih kenyal dibandingkan
dengan surimi yang ditambahkan polifosfat 0,1% dan 0,3%.
14
Konsentrasi sukrosa 5% memiliki daya pengikatan air lebih baik daripada sukrosa
2,5%.
Semarang, 15 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen,
Chikita Eljo Brilliarien M. Yusdhika Bayu S.
13.70.0110
15
5. DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, N; Sarbon: Amin. 2015. Physical Properties of Cobia(Rachycentron canadum)
Surimi: Effect of Washing Cycle at Different Salt Concentration. Journal Food
Science Technology. 13197-014-1622-1. 52(7): 4773-4784.
Ignacio S., et al. 2006. Protein And Water Structural Changes In Fish Surimi During
Gelation As Revealed By Isotopic H/D Exchange And Raman Spectroscopy.
Madrid: Instituto de Estructura.
Jin, S.K., Kim, I,S., Kim, S. J., Jeong, K. J., Choi, Y.J. & Hur, S. J. (2007). Effects of
Muscle Type and Washing Times on Physicochemical Characteristic and
Qualities of Surimi. Journal of Food Engineering. 81: 618-623.
Lan KA, Edwards RA, Eleet GH, Wootton. 1978. Ilmu Pangan. Purnomo Hdan adiono,
penerjemah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Lanier TC. 1992. Measurement of surimi composition and functional properties. Dalam:
Lanier TC, Lee CM (eds). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc.
Lee, C. M. 1984. Surimi Process Technology. Journal Food Technology 38 (11):69-80.
Luo, Y.K. et al. 2001. Comparison of Gel Properties of Surimi from Alaska Pollock and
Three Freshwater Fish Species: Effect of Thermal Processing and Potein
Concentration. Journal of Food Science Vol 66, No 3, 2001.
Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanebe, 1985. Technology of Manufacturing. Info
Fish marketing Digest. 5: 29-32
Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue, 10th Ed. Dept. of Animal Science.
Ohio: The Ohio State University and the Ohio Agricultural Reserch and
Development Center.
Park, J.W. (2005). Surimi Seafood: Products, Market, and Manufacturing. Di dalam:
Surimi and Surimi Seafood 2nd
edition. J.W. Park (Ed.). Hlm. 375-433. Boca
Raton, FL: CRC Press (ISBN: 0-8247-2649-9).
Park S, Brewer MS, Novakovski J, Bechtel PJ, McKeith FK. 1996. Process and
characteristics for a surimi-like material made from beef or pork. Journal Food
Science 61(2):422-427.
16
Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-
Fleshed Fish Species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology.
New York: Marcel dekker. Page.425-442.
Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein in Processing Technology. London: Applied
Science Publishing. Ltd.
Tan SM, Ng MC, Fujiwara T, Kok KH, and Hasegawa H. (1988). Handbook on the
Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia. Marine
Fisheries. Research Department-South East Asia Fisheries Development Center.
Singapore.
Winarno F. G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Winarno F. G., Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT.
Gramedia.
Winarno, F. G. 2004. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Zuo., J. A. 2006.. Inhibition of modori-associated proteinases by legume seed extract in
surimi production. Journal Food Science 67(2):578-581.
17
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
Kelompok C1
Kelompok C2
Kelompok C3
18
Kelompok C4
Kelompok C5
6.2. Laporan Sementara
6.3. Jurnal