surfaktan
TRANSCRIPT
Teori Umum
Defenisi Kelarutan
Kelarutan didefenisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut dalam
larutan jenuh pada temperatur tertentu, dan secara kualitatif didefenisikan sebagai interaksi spontan
dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekuler homogen. Larutan dinyatakan dalam
mili liter pelarut yang dapat melarutkan satu gram zat. Misalnya 1 gram asam salisilat akan larut
dalam 500 ml air. Kelarutan dapat pula dinyatakan dalam satuan molalitas, molaritas dan persen.
Dalam istilah farmasi, larutan didefinisikan sebagai sediaan “cair yang mengandung satu
atau lebih zat kimia yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air, yang karena bahan-bahannya,
cara peracikan atau penggunaanya, tidak dimasukkan kedalam golongan produk lainnya”.
Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukkan konsentrasi maksimum
larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut tersebut. Bila suatu pelarut pada suhu tertentu
melarutkan semua zat terlarut sampai batas daya melarutkannya, larutan ini disebut larutan jenuh.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat adalah:
1. pH
2. Temperatur
3. Jenis pelarut
4. Bentuk dan ukuran partikel
5. Konstanta dielektrik pelarut
6. Adanya zat-zat lain, misalnya surfaktan pembentuk kompleks ion sejenis dan lain-lain.
Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus
lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Surfaktan
adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya.
Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang
suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif,
negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka
udara-air, minyak-air dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada
pada fase air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam
dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang
panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil (Jatmika, 1998)
Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan air, sedangkan
gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah bersenyawa dengan minyak. Di dalam molekul
surfaktan, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya. Bila gugus polarnya yang lebih
dominan, maka molekul-molekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh air
dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga
mudah menyebar dan menjadi fase kontinu. Demikian pula sebaliknya, bila gugus non polarnya
lebih dominan, maka molekulmolekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh minyak
dibandingkan dengan air. Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah sehingga
mudah menyebar dan menjadi fase kontinu.
Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan permukaan
larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan konstan walaupun
konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan melebihi konsentrasi ini maka
surfaktan mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi terbentuknya misel ini disebut Critical
Micelle Concentration (CMC), tegangan permukaan akan menurun hingga CMC tercapai. Setelah
CMC tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang menunjukkan bahwa antar muka menjadi
jenuh dan terbentuk misel yang berada dalam keseimbangan dinamis dengan monomernya (Genaro,
1990).
Tween 80 dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dan mediumsekaligus
membentuk misel sehingga molekul obat akan terbawa oleh misel larut ke dalammedium (Martinet
al., 1993). Penggunaan surfaktan pada kadar yang lebih tinggi akan berkumpul membentuk agregat
yang disebut misel. Selain itu pada pemakaiannya dengan kadar tinggi sampai Critical Micelle
Concentration (CMC) surfaktan diasumsikan mampu berinteraksi kompleks dengan obat tertentu
selanjutnya dapat pula mempengaruhi permeabilitas membran tempat absorbsi obat karena
surfaktan dan membranmengandung komponen penyusun yang sama (Attwood & Florence,
1985;Sudjaswadi,1991).
Salah satu sifat penting dari surfaktan adalah kemampuan untuk meningkatkankalarutan bahan yang
tidak larut atau sedikit larut dalam medium dispersi. Surfaktan pada konsentrasi rendah,
menurunkan tegangan permukaan dan menaikkan laju kelarutan obat(Martinet al., 1993).
Sedangkan pada kadar yang lebih tinggi surfaktan akan berkumpul membentuk agregat yang
disebut misel (Shargelet al.,1999)
Klasifikasi surfaktan berdasarkan muatannya dibagi menjadi empat golongan yaitu:
1. Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion. Contohnya
adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat, garam sulfonat asam lemak rantai
panjang.
2. Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu kation. Contohnya
garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-dimethil ammonium dan garam alkil
dimethil benzil ammonium.
3. Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan. Contohnya ester
gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester sukrosa asam lemak, polietilena alkil
amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina
oksida.
4. Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan positif dan
negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino, betain, fosfobetain.
Pembahasan
Pada percobaan ini diawali dengan melakukan pencampuran larutan yaitu antara air dan
surfaktan dengan perbandingan yang berbeda-beda sesuai dengan yang telah ditentukan. Kemudian
sampel (asam salisilat) dilarutkan dalam pelarut yang telah ditambahakn surfaktan tersebut dan
dilakukan pengocokan dengan menggunakan pengocok orbital selama 15 menit. Setelah itu
dilakukan titrasi pembakuan terhadap larutan baku sekunder (NaOH 0,1N). Titrasi yang dilakukan
adalah titrasi asam-basa, yaitu titrasi terhadap larutan asam salisilat terhadap larutan yang berasal
dari basa dengan menggunakan indikator fenolptalein (pp).
Indikator fenolptalein dipilih karena rentang pH yang dimilikinya, yaitu berkisar 8,0 - 10,0.
Indikator fenolptalein berfungsi untuk menetapkan atau mengetahui titik akhir titrasi atau titik
ekuivalen. Titik ekuivalen titrasi adalah titik dimana larutan titran dan larutan uji telah bereaksi
sempurna yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna dari tidak berwarna menjadi warna
merah muda. Sehingga diperoleh larutan jenuh, yaitu larutan dimana zat terlarut ada yang tidak larut
dalam pelarutnya. Larutan kemudian difiltrasi dengan kertas saring untuk memisahkan endapan dan
pengotor.
Larutan yang telah disaring kemudian di titrasi dengan larutan NaOH dan indikator pp
hingga diperoleh titik ekuivalen. Volume NaOH yang dibutuhkan untuk menitrasi asam salisilat
dalam berbagai konsentrasi pelarut dan surfaktan, berbeda-beda. Dari data hasil percobaan didapat
bahwa semakin besar konsentrasi surfaktan yang ditambahkan ke dalam larutan asam salisilat maka
semakin besar pula volume NaOH yang dibutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar
konsentrasi surfaktan maka akan semakin tinggi pula kelarutan asam salisilat di dalam air. Hal ini
terjadi karena surfaktan merupakan molekul ampifilik yaitu memiliki gugus hidrofilik (suka
air,polar) dan gugus lipofilik (suka minyak, nonpolar), sehingga surfaktan memiliki aftinitas dengan
pelarut polar (air) ataupun nonpolar (minyak).
Berdasarkan grafik hasil percobaan, menunjukkan bahwa kadar asam salisilat semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan. Grafik setelah naik akan
memperlihatkan garis lurus yang berarti konsentrasinya menjadi konstan. Hal ini menunjukan
surfaktan tersebut telah menurunkan tegangan permukaan pada larutan asam salisilat sampai pada
titik Critical Micelle Concentration (CMC). Pada titik Critical Micelle Concentration (CMC) ini
surfaktan menjadi jenuh dan surfaktan yang berlebih akan membentuk misel. Misel sendiri adalah
suatu agregat yang mengandung monomer-monomer surfaktan. Pada konsentrasi setelah CMC,
surfaktan akan meningkatkan kelarutan zat yang tidak larut air karena zat tersebut dapat
tersembunyi di dalam misel. Misel ini berperan dalam proses solubilisasi miselar. Solubilisasi
miselar adalah suatu pelarutan spontan yang terjadi pada molekul zat yang sukar larut dalam air
melalui interaksi yang reversibel dengan misel dari surfaktan larutan sehingga terbentuk suatu
larutan yang stabil secara termodinamika.
Kesimpulan
Dari data pengamatan dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Surfaktan dapat mempengaruhi kelarutan asam salisilat.
2. Semakin besar konsentrasi surfaktan yang ditambahkan ke dalam larutan asam salisilat maka
semakin besar pula volume NaOH yang dibutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
besar konsentrasi surfaktan maka akan semakin tinggi pula kelarutan asam salisilat di dalam
air.
3. Saat larutan mencapai Critical Micelle Concentration (CMC) maka surfaktan menjadi jenuh
dan akan membentuk misel yang dapat menjerat asam salisilat atau zat lain yang tidak larut
air atau pelarut lainnya.
4. Saat konsentrasi surfaktan yang ditambahkan sangat jauh melebihi CMC, makan
kelarutannnya pun akan menurun (larutan menjadi jenuh).