studi pola pergerakan, palatabilitas, kualitas … · studi pola pergerakan, palatabilitas,...
TRANSCRIPT
STUDI POLA PERGERAKAN, PALATABILITAS, KUALITAS PAKAN, DAN
KECERNAAN NUTRIEN SERTA RISIKO TOKSISITAS LANTADEN PADA
BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
Abstrak
Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan satwa langka yang hanya terdapat di
Taman Nasional Ujung Kulon, Banten Indonesia. Kondisi habitat yang ada saat ini
diduga mengalami perubahan perlahan akibat suksesi alami yang berakibat pada
berubahnya struktur vegetasi yang ada. Sebagai hewan herbivora yang sangat
bergantung pada tumbuhan sebagai sumber makanannya, maka kualitas nutrisi
tumbuhan pakan serta kualitas asupan pakan menjadi bagian yang penting untuk
dipantau dalam populasi saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk dapat memetakan
pola pergerakan badak di habitatnya dan mengukur palatabilitas, kualitas pakan,
kecernaan, serta asupan nutrien dan lantaden (toksin) dari badak yang diikuti.
Parameter yang dicatat terdiri dari: jalur lintasan badak (trajektori)beserta korelasinya
dengan keragaman pakan, dan jumlah kubangan. Palatabilitas, kualitas pakan, risiko
toksisitas dari konsumsi Lantana camara, kecernaan nutrien, dan juga ketersediaan
garam. Palatabilitas ditentukan dengan memilih lima jenis pakan dengan jumlah
ragutan terbanyak dari setiap badak. Analisis proksimat digunakan untuk mengukur
kualitas nutrien pakan, dan jumlah asupan nutrien.Toksin lantaden dihitung dengan
mengalikan hasil perhitungan jumlah ragutan (dalam gram) dengan kadar lantaden
dari studi literatur. Kandungan garam diukur dari tanah kubangan dengan metode
titrimetri,sementaraAcid insoluble ash (AIA) digunakan untuk mengukur tingkat
kecernaan bahan kering (BK). Hasil pengamatan menunjukkan korelasi yang kuat
antara ruang jelajah dengan keragaman jenis pakan serta jumlah kubangan. Hasil
pengamatan palatabilitas dan analisis proksimat menunjukkan keragaman jenis pakan,
identifikasi jenis pakan dengan kualitas nutrien tinggi, dan indikasi rendahnya kadar
air, nutrien, energi dari pakan pada bulan-bulan dengan jumlah kejadian hujan yang
rendah (kering) di bulan Oktober 2009 dan Maret 2010. Kadar asupan lantaden berada
pada tingkat yang relatif rendah (23.63 mg/ekor/hari). Upaya untuk memperbaiki
kondisi ini dapat dilakukan dengan pengkayaan jumlah tumbuhan pakan yang
mengandung kualitas nutrien tinggi yang antara lain terdiri dari: Moringa citrifolia,
Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus, (protein tinggi); Alstonia
angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (lemak tinggi); Derris
thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (energy tinggi);
Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (kandungan air
tinggi).Tumbuhan-tumbuhan ini idealnya ditanam dalam kerapatan 15 tumbuhan per
hektar (untuk jenis pohon) sampai kerapatan 5,406 tumbuhan per hektar (untuk jenis
semai) untuk memastikan ketersediaan yang seimbang.
Kata kunci: badak jawa, palatabilitas, nutrien, kecernaan
48
Study of movement, palatability, feed quality , nutrient digestibility, and risk of
lantadene toxicity in Javan rhinoceros in Ujung Kulon National Park
Abstract
Javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) is a critically endangered species
living in Ujung Kulon National Park, Banten Indonesia. The condition of the current
habitat is predicted to undergo gradual changes due to natural succession that affects
the structures of vegetations. This species is a large herbivore that relies on the feed
plant type as the source of food, so the quality of these plants, as well as the nutrient
intake become a crucial factor determining the well being of the animal and nutrition
status needs to be included as part of the population monitoring. This research is
designed for mapping the movement patterns (trajectory) and their correlation with
feed diversity and the abundance of the wallow holes. This research also measured
feed palatability, feed quality, nutrient digestibility, the risk of toxin intake from
Lantana camara consumption, as well as NaCl availability. Palatability was
determined by selecting the five feed plants with the highest amount of consumption
from each rhino based on the estimation of browse marks. Proximate analysis was
done to determine the nutrient quality form each feed plant. Lantadene toxin intake
was calculated by multiplying the calculated feed intake (in gram) with toxin contents
based on references. NaCl content was determined using tirimetric method done on
mud samples from wallow sites, while acid insolubel ash (AIA) is used as indicator in
measuring the digestibility. The result showed that feed plants with high palatability
(most liked), identification of feed plants with high nutritional values, and there was
an indication of low water, nutrien, and energy intake at certain times during months
with low rain occurences (dry) in October 2009 and March 2010. Lantaden toxin
intake was relatively small to cause clinical implications to the rhino (23.63 mg/day).
The possible intervention to overcome the situation is to enhance the feed availability
as well as to improve feed quality by replenishing high quality feed plants consisting
of: Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus, (high
protein); Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (high fat);
Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (high energy);
Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (high water). These plants
should ideally be planted in the density of: 15 plants per hectare (tree forms) to 5,406
plants per hectara (seedling forms) to ensure availability of these plants for the
rhinoceros.
Key words: Javan rhinoceros, palatability, nutrients, digestibility
49
Pendahuluan
Dari seluruh habitat badak yang ada di dunia, Taman Nasional Ujung Kulon
merupakan satu-satunya habitat yang dihuni oleh badak jawa. Walaupun kondisi
ekosistem di Taman Nasional ini bukanlah kondisi yang paling ideal bagi badak jawa
karena kondisi vegetasi yang berubah (suksesi) dan juga kondisi ketersediaan air yang
sangat terbatas di musim kering,dengan demikian, faktor nutrisi merupakan faktor
penting yang perlu dipelajari dari badak jawa. Nutrisi merupakan faktor penentu dari
kemampuan hewan untuk bertahan hidup, beradaptasi, serta bertahan terhadap
cekaman yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Pengamatan pada badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang dilakukan
oleh Mundiany et al.(2005) menunjukkan bahwa konsumsi berat kering harian setiap
ekor badak berada pada angka 3-4% dari berat badannya dengan kecernaan bahan
kering mencapai 57.49% sampai 80.45%.Badak sumatera menyukai 37 jenis pakan
yang tersedia secara alami di hutan yang antara lain terdiri dari: cakar elang
(Gardenia tubifera), soka merah (Psychotria angulata), sulangkar (Leea sambucina),
waru (Hibiscus tiliaceus), dan kasapan (Croton caudatus). Tumbuhan sulangkar dan
waru merupakan jenis tumbuhan yang juga disukai oleh badak jawa.
Dengan jumlah populasi yang kecil yaitu dalam kisaran 32-47 ekor (Hariyadi
et al. 2011), kemampuan badak jawa untuk bertahan hidup, beradaptasi, mentolerir
cekaman, serta pada akhirnya kemampuan untuk bertahan terhadap penyakit menjadi
faktor yang sangat penting dalam menentukan kemampuan spesies ini untuk terus
bertahan hidup dan bertahan dari kepunahan. Terlebih lagi, faktor nutrisi merupakan
faktor yang sangat penting dalam proses perkembang biakan yang kemampuannya
ditentukan oleh kemampuan sistem tubuh untuk mensintesis hormon reproduksi
(hormon steroid) yang bahan dasarnya diperoleh dari asupan nutrien seperti glukosa
dan asam lemak (Koolman & Röhm, 2001).
Permasalahan yang dihadapai dalam pengelolaan badak jawa adalah
kurangnya data dan informasi mengenai kondisi habitat serta implikasinya pada status
nutrisi pada badak jawa. Rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam kajian nutrisi dan
kecernaan ini memberikan tambahan informasi yang antara lain terdiri dari: pola
pergerakan badak yang dicatat oleh pengamat yang mengikuti pergerakan badak dari
hari ke hari, keragaman pakan dari setiap ekor badak, dan persentase asupan nutrien
dari setiap ekor badak. Informasi ini merupakan basis yang digunakan sebagai
50
landasan dan acuan dalam merancang kajian-kajian dan analisis dalam bab-bab
selanjutnya. Palatabilitias, pendugaan jumlah asupan, dan identifikasi antinutrisi
(toksin) merupakan informasi kunci yang dihasilkan dalam kajian penelitian ini.
Tujuan Penelitian
Status nutrisi merupakan kunci keberlangsungan hidup badak jawa di Taman
Nasional Ujung Kulon, namun ironisnya perangkat dan protokol pemantauan yang
memungkinkan pihak pengelola untuk mendapatkan informasi terkait status nutrisi ini
belum tersedia. Mempertimbangkan adanya kebutuhan untuk mengembangkan suatu
protokol pemantauan status nutrisi secara intensif yang dapat diterapkan untuk satwa
langka seperti badak jawa, maka penelitian ini bertujuan untuk menyusun protokol
pemantauan yang memberikan informasi mengenai:
1. Pola pergerakan, ruang jelajah, dan lintasan badak di habitatnya
(trajektori) sebagai basis dari pengamatan asupan pakan yang terjadi di
alam.
2. Keragaman pakan yang digemari (palatabilitas) badak obyek penelitian ini
3. Kualitas dan kuantitas asupan nutrien yang didapat badak jawa
4. Kecernaan bahan kering pakan
5. Ketersediaan garam di lokasi kubangan
6. Risiko toksisitas tumbuhan Lantana camara
Penelitian ini dirancang untuk menguji hipotesis bahwa kondisi habitat di Taman
Nasional Ujung Kulon merupakan daerah dengan daya dukung yang kurang memadai
bagi badak jawa.
51
Bahan dan Metode
Penelitian di Taman Nasional Ujung Kulon dilakukan untuk mempelajari:
komposisi pakan, palatabilitas, konsumsi, dan kecernaan tiga individu badak jawa
(Individu kode: 12, 13, dan 18) berkelamin jantan yang diikuti secara intensif selama
6 hari setiap bulannya dalam periode pengamatan bulan Oktober 2009 sampai April
2010. Penelitian ini menggunakan badak jantan sebagai sampel dengan pertimbangan
sebagai berikut:
1. Badak jantan memiliki pola ruang jelajah yang relatif konsisten sepanjang
waktu dibandingkan betina karena tidak dipengaruhi oleh masa
kebuntingan dan pengasuhan anak (White et al. 2007),maka pola
pergerakan dan profil diet setiap ekor badak yang diamati merupakan satu
hal yang dapat mewakili kondisi normal.
2. Badak jantan memiliki jumlah lebih banyak dibanding badak betina
dengan rasio 3:2 yaitu 16 jantan dan 11 betina (Hariyadi et al. 2011),
sehingga peluang untuk menemukan badak jantan akan lebih tinggi
dibandingkan dengan peluang untuk menemukan badak betina.
3. Badak yang dipilih dalam penelitian ini memiliki ruang jelajah yang datar
dan memungkinkan pengumpulan feses untuk analisis AIA.
Ruang Jelajah Badak Jawa
Tiga individu badak jawa jantan dewasa yang dipilih sebagai contoh dalam
penelitian ini sudah tercatat melalui kegiatan video trap WWF Indonesia periode
April 2008 – Juni 2009 dan setiap individu mewakili daerah konsentrasi yang berbeda
di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Sriyanto et al. (1995), individu 12 mewakili daerah konsentrasi 3
dengan kepadatan tinggi di area selatan, individu 18 mewakili daerah konsentrasi 1
dengan kepadatan sedang di area barat, sementara individu 13 mewakili daerah
konsentrasi 4 dengan kepadatan rendah di area utara. Ketiga daerah ini memiliki
struktur vegetasi dengan kepadatan tumbuhan yang berbeda (7.000 – 17.000
individu/ha untuk tumbuhan bawah; 5.200 – 8.400 individu/ha tumbuhan semai; 650-
1.200 individu/ha tumbuhan pancang; 80-180 individu/ha untuk tumbuhan tiang; dan
52
70-50 individu/ha untuk tumbuhan pohon) seperti ditampilkan pada Tabel 2 yang
disusun berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan oleh Rahmat et al.(2007).
Ketiga individu badak jantan yang digunakan sebagai contoh dalam penelitian ini
ditampilkan dalam Gambar 8. Rahmat et al. (2007) mencatat 231 jenis tumbuhan di
ruang jelajah badak, dan 184 diantaranya (80%) merupakan tumbuhan makanan
badak jawa.
Tabel 2. Jenis vegetasi tumbuhan paling dominan di lokasi ruang jelajah badak jawa.
Badak Vegetasi dominan
Bawah Semai Pancang Tiang Pohon
12 Donax canaeformis Leea sambucina Arenga obtusifolia Arenga obtusifolia Hibiscus tiliaceus
13 D melanochaetis Leea sambucina E polyantha Ardisia humilis B arborescens
18 D melanochaetis E polycntha Ardisia humilis Cerbera manghas Vitex pubescens
Sumber: Rahmat et al. (2007)
Informasi lintasan badak didapatkan dengan cara mengikuti setiap badak
secara langsung di jalur lintasan masing-masing yang telah diidentifikasi sebelumnya.
Untuk menghindari cekaman terhadap badak akibat keberadaan pengamat yang terlalu
dekat dengan badak, maka pengamat mengikuti pergerakan badak dalam jarak yang
cukup jauh yaitu sekitar 24-30 jam di belakang badak yang diikuti. Jarak ini
menempatkan pengamat dalam jarak yang relatif aman dan tidak dapat terdeteksi oleh
badak baik melalui penciuman, pendengaran, maupun penglihatan. Lokasi terjadinya
kontak visual pertama dengan badak dan verifikasi atas identitas badak (kode
individu: 12, 3, dan 18) didefinisikan sebagai titik awal. Pengambilan data
pengamatan dilakukan mulai dari titik awal ini yang kemudian dilanjutkan dengan
penelusuran jejak selama 1-3 bulan (minimal enam hari intensif setiap bulannya)
mengikuti ruang jelajah masing-masing badak. Titik akhir pengamatan didefinisikan
sebagai lokasi yang sama yaitu sampai badak kembali ke titik awal sehingga saat
dipetakan lintasan badak tersebut membentuk suatu lingkaran yang realatif tertutup
(temu gelang).
53
A
B
C
Gambar 8. Tiga ekor badak jantan yang dipilih sebagai obyek penelitian: badak
nomor 12 (A), nomor 13(B), dan nomor 18(C). Foto: Balai Taman
Nasional Ujung Kulon-WWF Indonesia (2010)
Informasi koordinat temuan jejak dan trajektori badak direkam dalam alat GPS
(Global Positioning system) Garmin 76CSX dan kemudian diterjemahkan ke dalam
peta digital untuk menggambarkan ruang jelajah badak secara visual, serta
memastikan bahwa badak telah diikuti secara penuh sampai kembali ke titik awal
(temu gelang) selama 7 bulan pengamatan dari bulan Oktober 2009 sampai bulan
April 2010. Luas ruang jelajah dan jarak tempuh yang ditunjukkan oleh ketiga ekor
badak sampel dibandingkan dengan pola asupan serta nutrisi untuk mendapatkan
korelasi antara keempat parameter di atas.
54
Palatabilitas
Palatabilitas ditentukan dengan memilih jenis tumbuhan pakan dengan
kuantitas terbanyak berdasarkan estimasi ragutan di lokasi tempat makan badak
(rumpang). Lima jenis tumbuhan pakan dengan jumlah ragutan terbanyak dari setiap
ekor badak dikategorikan sebagai tumbuhan dengan palatabilitas tinggi, dan
penggabungan dari tumbuhan palatabilitas tinggi dari setiap ekor badak digabungkan
untuk mewakili palatabilitas dari sampel populasi badak yang diamati dalam
penelitian ini.
Data dikumpulkan dengan cara mengikuti lintasan, mengidentifikasi rumpang
(lahan pakan), mengidentifikasi bekas ragutan untuk memastikan aktifitas makan,
mencatat, dan menimbang bekas makan (feeding marks). Pengamatan seperti ini
mengikuti metode yang pernah dilakukan Birkett & Stevens-Wood (2005) untuk
memberikan informasi tentang komposisi pakan kesukaan dari tiap individu. Gambar
9 menunjukkan kondisi lahan pakan badak yang ada di ekosistem Taman Nasional
Ujung Kulon.
A
B
Gambar 9. Kondisi lahan pakan badak (rumpang) dengan perbandingan tinggi
tumbuhan pakan dan manusia (A) serta kondisi rumpang yang relatif
terbuka dibandingkan areal pepohonan di sekitarnya (B). Foto:
RSetiawan – WWF Indonesia (2009).
55
Tiga kelompok pengamat yang masing-masing terdiri dari lima orang
mencatat jenis tumbuhan yang dimakan oleh badak dan mengukur (dengan
pendugaan) banyaknya tumbuhan pakan yang dikonsumsi oleh badak-badak tersebut.
Pendugaan ini dilakukan dengan memperkirakan banyaknya tumbuhan yang dimakan
badak dan menimbang tumbuhan tersebut untuk menduga berat pakan yang dimakan
oleh masing-masing badak dalam periode pengamatan. Bekas ragutan badak dapat
dibedakan dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi hewan besar selain badak yang memiliki perilaku makan
mirip dengan badak Jawa. Salah satu hewan ini adalah banteng (Bos
javanicus) yang juga menjelajahi daerah badak dan memakan beberapa
jenis tumbuhan yang sama dengan badak. Membedakan bekas ragutan
badak dengan bekas ragutan hewan lain. Bekas ragutan badak memiliki
karakteristik berupa potongan dahan dan ranting yang mirip seperti
pemotongan dengan menggunakan gunting tumpul. Hal ini terjadi karena
karakteristik anatomi rahang dan perilaku makan badak yang
menggunakan bibir atas (prehensil) untuk menggenggam dahan dan
ranting serta memangkas dahan dan ranting tersebut dengan menggunakan
gigi seri yang berada di rahang bawahnya.
2. Mengikuti pergerakan badak berdasarkan lokasi pakan dan bekas ragutan
untuk mendapatkan informasi mengenai ruang jelajah yang digunakan
setiap ekor badak.
3. Identifikasi dan pendugaan jumlah tumbuhan yang diragut dilakukan
dengan mengamati bekas ragutan, mengambil sebagian tumbuhan dari
ranting lain (sampel) untuk menyamai dengan bekas ragutan, dan
menimbang sampel tersebut dalam keadaan segar, kering jemur, dan
kering akhir.
Kualitas Pakan
Sampel tumbuhan pakan yang telah diidentifikasi dan dipilih kemudiandikirim
ke laboratorium Balai Penelitian Ternak (Balitnak) di Ciawi, Bogor untuk menjalani
analisis proksimat untuk mendapatkan data kandungan air, protein dan lemak dari
setiap jenis tumbuhan pakan. Sampel tumbuhan pakan juga dianalisis dengan bom
kalorimeter untuk mengukur energi yang terkandung.
56
Asupan nutrien dihitung berdasarkan konsumsi kering (KBK) yang dikalikan
dengan jumlah nutrien (protein dan lemak) dan energi hasil dari analisis
proksimat.Asupan nutrien ini disajikan dalam satuan g/hari bagi setiap individu,
sementara asupan energi disajikan dalam satuan kilokalori (kkal) per hari untuk setiap
ekor badak. Informasi tersebut merupakan basis yang digunakan dalam analisis
nutrien dan perbandingan dengan hewan model pada penelitian berikutnya.
Penghitungan kadar air dari tumbuhan pakan (dalam persen) dilakukan dengan
menghitung selisih berat segar dengan berat kering jemur serta menghitung persen
penyusutan yang terjadi untuk menentukan kadar air. Pengukuran berat kering akhir
sampel tumbuhan pakan dilakukan di laboratorium Balitnak Ciawi dan berat kering
akhir ini didapatkan setelah pengeringan dalam oven dengan suhu 105o C sampai
mencapai berat konstan.
Total kadar air tumbuhan pakan kemudian dihitung berdasarkan penjumlahan
dari kadar air antara berat segar dengan berat kering jemur dengan kadar air yang
terukur dari berat kering akhir hasil analisis laboratorium menggunakan metode
gravimetri.
Konsumsi Pakan
Pengamatan dilakukan dengan mengidentifikasi jenis tumbuhan pakan serta
memastikan adanya bekas ragutan. Badak jawa meragut tumbuhan pakan dengan cara
memegang ranting tumbuhan tersebut dengan bibir atas (prehensil) dan kemudian
memotong/memangkas bagian ranting tersebut dengan gigi insisor bawah yang
memiliki bagian tajam. Cara pemangkasan tumbuhan seperti ini memberikan tanda
bekas ragutan yang memiliki ciri sebagai berikut:
1. Tumbuhan menunjukkan adanya bagian yang lebih pendek dibanding
dengan bagian tumbuhan lainnya
2. Dahan atau ranting yang dipangkas menunjukkan adanya bekas potongan
yang halus seperti digunting.
Pendugaan jumlah dan jenistumbuhan yang dikonsumsi oleh badak dilakukan
dengan cara memotong bagian dahan ataupun ranting dari tumbuhan yang sama
sampai kira-kira ke titik bekas ragutan berada. Bagian tumbuhan ini kemudian
ditimbang untuk mendapatkan berat segar dari bagian dahan dan ranting tersebut.
Prosedur ini dilakukan pada bagian tumbuhan lainnya yang menunjukkan adanya
57
bekas ragutan. Total jumlah dahan dan ranting yang ditimbang ini merupakan
estimasi dari jumlah asupan pakan badak dari satu lokasi rumpang (areal pakan).
Pengamat memperhatikan dan memperkirakan usia bekas ragutan yang ada
pada tumbuhan tersebut untuk memastikan bahwa ragutan tersebut merupakan bekas
aktifitas makan yang dilakukan dalam periode pengamatan (maksimum 30 jam yang
lalu) dan bukan merupakan bekas aktifitas makan yang dilakukan oleh badak di luar
periode waktu ini.
Kuantitas asupan berupa konsumsi bahan kering (KBK) ditentukan dengan
menggunakan referensi literatur. Dengan mengacu kepada informasi konsumsi berat
kering pada badak india menurut Clauss et al. (2005) yang berada pada rentang 0.8-
1.3% dari berat badan per hari, maka konsumsi berat kering (KBK) harian pada
badak jawa diasumsikan berada pada tingkat 1% dari berat badan yang merupakan
nilai tengah dalam rentang tersebut. Berat badan badak dalam penelitian ini
diestimasi berdasarkan ukuran jejak yang dibandingkan dengan estimasi usia dan
berat berdasarkan tabel regresi yang disusun oleh Purchase (2007) dan ditentukan
sebagai berikut:
• Badak 12 (dewasa tua>65-70 bulan): 1,000 kg
• Badak 13 (dewasa sekitar >50 tahun): 1,000 kg
• Badak 18 (muda>25 bulan): 700 kg
Langkah-langkah ini menghasilkan informasi mengenai komposisi jenis
tumbuhan yang dikonsumsi, pendugaan jumlah pakan segar dan bahan kering yang
dikonsumsi (dalam kg). Berikut ini metode uji yang digunakan dalam analisis
proksimat untuk mengukur: kadar air (gravimetrik), nutrien protein (Kjeldahl) dan
lemak (ekstraksi dengan sokslet), energi, serat kasar, kalsium, fosfor, AIA, dan tannin
dari sampel pakan yang telah dikeringkan.
58
Metode Uji
Air : IKM 01 (gravimetri)
Protein : IKM 02 (Kjelhdahl destruksi – autoanalisis)
Lemak : IKM 03 (gravimetri dan ekstraksi dengan soxlet)
Energi : IKM 04 (bomb kalorimeter )
Serat Kasar : IKM 05 (ekstraksi asam dan basa)
Abu : IKM 06 (gravimetri)
Ca : IKM 09 (AAS )
P : IKM 10 (spektrofotometri )
AIA : (gravimetri )
Tanin : (Spektrofotometri )
Kecernaan
Pengukuran kecernaan dilakukan dengan metode Van Keulen dan Young
(1977) penghitungan koefisien penyerapan (persen kecernaan) dilakukan dengan
mengukur selisih kandungan AIA (acid insoluble ash) pada asupan pakan dengan
feses. Hal ini sangat cocok untuk diterapkan dalam penelitian satwa liar seperti badak
jawa yang hanya dapat dipelajari di habitat alaminya sehingga metode penghitungan
koefisien kecernaan berdasarkan koleksi feses total (total fecal collection) hampir
tidak mungkin untuk dilakukan.
Pengambilan feses dilakukan dengan tata cara pengambilan yang menjamin
tersedianya sampel feses segar lengkap dengan informasi pendukung yang diperlukan
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Fernando et al. (2004). Prosedur
pengumpulan sampel terdiri dari kegiatan-kegiatan di bawah ini:
1. Mencari dan menemukan feses badak jawa yang terbaru atau sesegar
mungkin, dengan cara menyusuri jejak badak terbaru (usia jejak di bawah
tiga hari). Usia jejak dikenali dengan memperhatikan keutuhan jejak,
kesegaran tanah, adanya sisa-sisa daun, dan keberadaan jamur yang tumbuh
di dalam jejak. Usia jejak yang segar biasanya memiliki bentuk yang utuh
sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 10 dan tidak terdapat sisa daun
(serasah) ataupun jamur.
2. Memperhatikan letak feses serta memastikan bahwa sampel feses tersebut
tidak berada di aliran air sungai/terapung dikubangan. Perlu dipastikan juga
bahwa gumpalan feses (boli) yang ditemukan berada dalam kondisi utuh
tidak rusak akibat hujan.
59
3. Pengambilan sampel feses dilakukan dengan mengambil beberapa boli feses
dan menyimpannya dalam kantong plastik bersegel (plastik klip)
4. Peneliti mengisi lembar data informasi mengenai temuan contoh feses yang
meliputi; tanggal, waktu, koordinat posisi, lokasi, tipe vegetasi dominan,
temuan tapak dan arahnya
5. Peneliti mencatat informasi detil tentang sampel feses tersebut yang terdiri
dari: kondisi feses (letaknya ternaung atau daerah terbuka, apakah dekat
aliran sungai, keadaan kering atau basah, prakiraan usia, jumlah boli dalam
satu tumpukan, apakah tersebar atau mengumpul, adanya dekomposer, bau
dan rata-rata diameter boli) juga perlu diketahui prakiraan jarak dari feses
sebelumnya, dari aliran sungai, dari kubangan dan dari transek.
6. Peneliti juga mencatat informasi lain seperti: tapak satwa lainnya, adanya
tumpukan feses yang berdekatan tetapi berbeda ukuran, dan lain sebagainya
Gambar 10. Contoh jejak badak yang relatif segar. Badak berada di lokasi ini 12
jam sebelum jejak ditemukan. Foto: Ahariyadi-WWF Indonesia (2007)
Feses badak ditemukan dalam bentuk tumpukan yang terdiri dari beberapa
gumpalan feses berbentuk bola (boli), dan kesegaran feses tersebut dapat ditentukan
dari warna, kelembaban, serta keberadaan serangga yang mengelilinginya. Feses
segar biasanya berwarna coklat kehijauan dengan kelembaban permukaan yang khas
karena masih mengandung lapisan lendir (tidak lebih dari satu jam sejak ekskresi),
serta masih banyak dikelilingi serangga lalat. Dua buah boli dari setiap tumpukan
60
segar diambil sebagai sampel untuk analisis. Sampel ini kemudian ditimbang untuk
mendapatkan berat feses segar.
Keseluruhan sampel feses yang diekskresikan setiap hari oleh individu badak
dalam penelitian ini dikumpulkan dan ditimbang dalam keadaan basah untuk
mendapatkan berat feses segar, dan kemudian dikeringkan dengan menjemurnya di
udara terbuka sampai sampel dapat dilihat lebih kering. Sampel feses tersebut
kemudian ditimbang kembali untuk mendapatkan berat feses kering udara.
Sampel feses untuk mengukur pengeringan diambil dengan cara memilih
tumpukan boli yang relatif paling segar dan utuh dengan memperoleh kualitas sampel
feses yang baik. Maksimal 10% dari jumlah feses yang ada dalam tumpukan tersebut
diambil secara manual, dan sisa tumpukan feses dibiarkan berada di lokasi tersebut
agar tidak mempengaruhi fungsi tumpukan feses dalam penandaaan ruang jelajah
yang dilakukan oleh badak. Penghitungan penyusutan berat kering sampel feses dan
tumbuhan pakan dilakukan dengan menimbang berat basah di lapangan, berat kering
udara setelah mengalami penjemuran di bawah sinar matahari sampai berat menjadi
konstan, dan berat kering akhir setelah mengalami pengeringan dengan oven bersuhu
105o sampai mencapai berat konstan. Dalam kondisi ini sampel siap dianalisis lebih
lanjut di laboratorium untuk pengukuran AIA dari feses dalam kondisi kering akhir.
Hal yang sama juga dilakukan terhadap sampel tumbuhan pakan yang diragut
oleh badak untuk mendapatkan pengukuran AIA dari masing-masing jenis tumbuhan
pakan tersebut.
Metode AIA (Acid Insoluble Ash) Menurut Van Keulen & Young (1977)
Pengukuran AIA dilakukan dengan menggunakan 2 g sampel (pakan dan/atau
feses) yang diabukan pada suhu 600oC. Lalu abu dimasukkan dalam piala gelas dan
ditambah 25 ml HCl 2N dan dididihkan hingga volume awal menjadi kira-kira
setengahnya. Abu disaring ke dalam Crucible (yang sudah diketahui bobotnya).
Endapan dicuci dengan air suling panas (85-100oC) sampai bebas asam. Hasil
saringan diabukan lagi dan kemudian berat abu yang tidak larut dalam asam hasil
proses ini ditimbang dan dihitung dengan menggunakan rumus yang berlaku untuk
feses dan pakan sebagai berikut:
Persen AIA = berat abu yang tidak larut dalam asam x 100%
Berat sampel
61
Sementara dengan banyaknya AIA pada fese, maka penghitungan kecernaan berat
kering dilakukan dengan menggunakan rumus:
AIA feses – AIA pakan yang dikonsumsi x 100%
AIA feses
Analisis AIA ini dikoreksi dengan menggunakan faktor koreksi sebesar 10%
seperti yang digunakan dalam beberapa analisis kecernaan menggunakan metode AIA
(Mainka et al. 1989; Sims et al. 2007). Faktor koreksi ini perlu digunakan dalam
menghitung kecernaan berat kering mengingat adanya variasai akibat proses dehidrasi
saat konversi dari asupan segar menjadi asupan kering (Sims et al. 2007). Mainka et
al. (1989) menggunakan angka 10% sebagai faktor koreksi untuk memperhitungkan
dehidrasi.
Risiko Toksisitas dari Konsumsi Lantana camara
Kandungan antinutrisi lantaden dalam setiap gram kering tumbuhan Lantana
camara dihitung berdasarakan informasi yang disampaikan oleh Sharma et al.(2000)
yang mengidentifikasi adanya lantaden dari berat kering tumbuhan Lantana camara.
Kandungan lantaden dalam tumbuhan Lantana kering didefinisikan sebagai jumlah
lantaden yang telah diukur dalam studi laboratorium yaitu: 1,930.4 mg/100g Lantana
kering. Penghitungan asupan lantaden dilakukan dengan mengukur berat kering
konsumsi harian Lantana camara pada setiap ekor badak dan mengalikan jumlah
tersebut dengan kandungan Lantaden. Perhitungan tersebut dikompilasi dalam rumus
sebagai berikut:
Asupan lantanden = konsumsi bahan kering x kandungan lantaden
(mg/ekor/hari) (gram kering/ekor/hari) (mg/100g)
100
Ketersediaan Garam
Empat kubangan di wilayah jelajah ketiga ekor badak dipilih berdasarkan
status kubangan yang merupakan kubangan aktif (masih digunakan oleh badak paling
tidak dalam 1 bulan terakhir). Untuk memastikan ketersediaan kandungan mineral
NaCl dalam tanah di sekitar kubangan, maka sampel tanah dari beberapa kubangan di
wilayah jelajah ketiga ekor badak tersebut dikumpulkan dengan menggunakan pipa
62
PVC berukuran diameter 1.75 cm (0.5 inci) yang ditancapkan sedalam 10 sentimeter
ke dalam lumpur di tepi kubangan. Lumpur yang mengisi pipa tersebut didorong
keluar dan dikumpulkan dalam kantong plastik untuk dianalisis lebih lanjut dengan
metode titrimetrik di laboratorium SUCOFINDO Cilegon Banten.
Analisis Data
Data disajikan secara deskriptif dan korelasi antara jarak tempuh dengan keragaman
pakan yang tersedia dianalisis menggunakan koefisien korelasi Pearson.
63
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik Ruang Jelajah Badak Jawa
Penyusuran jejak dengan mengikuti jalur lintasan badak (trajektori)
menunjukkan bahwa ketiga badak jantan yang dipilih sebagai obyek penelitian
memiliki jarak dan ruang jelajah yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan adanya
perbedaan ketersediaan pakan, air, dan kubangan. Bentuk ruang jelajah dari masing-
masing badak disajikan dalam Gambar 11. Hubungan antara luas ruang jelajah
dengan kondisi habitat ini dipertegas dengan adanya korelasi positif yang kuat (R=
0.9971) antara luas ruang jelajah badak dalam hektar dengan keragaman asupan pakan
(jumlah pakan yang dimakan) serta korelasi positif yang kuat pula (R = 0.9998) antara
luas ruang jelajah tersebut dengan jumlah kubangan yang digunakan (15 kubangan di
wilayah badak nomor 12; 25 kubangan di wilayah badak nomor 18; 33 kubangan di
wilayah badak nomor 13). Dari data yang ada dapat dilihat bahwa individu 12 yang
berada pada daerah yang memiliki kepadatan populasi tinggi di daerah selatan
semenanjung memiliki ruang jelajah yang lebih sempit (169 ha), sementara individu
13 dan 18 yang masing-masing berada di daerah dengan kepadatan populasi rendah
dan sedang memiliki ruang jelajah yang lebih luas (974 ha dan 631 ha).
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pada area dengan konsentrasi
kepadatan tinggi di area selatan (individu no 12) badak cenderung memiliki ruang
jelajah yang kecil, sementara pada area dengan konsentrasi kepadatan rendah di utara
(individu 13) badak menunjukkan ruang jelajah yang relatif besar. Berdasarkan
catatan ini dapat dilihat adanya indikasi bahwa tingkat kepadatan populasi (kualitatif)
memiliki korelasi negatif dengan luasnya ruang jelajah.
Dinerstein (2003) mencatat dari spesies badak di India dan Nepal (Rhinoceros
unicornis) bahwa badak jantan cenderung untuk memiliki ruang jelajah yang tidak
saling bersinggungan dengan pejantan lainnya. Sebaliknya, badak betina
menunjukkan persinggungan yang cukup besar dengan badak jantan. Dinerstein
(2003) juga mencatat bahwa ruang jelajah badak cenderung berubah menjadi lebih
besar pada musim kering dan berubah menjadi lebih sempit di musim hujan.
Berdasarkan informasi ini, maka pada kondisi badak jawa dalam penelitian ini ada
dua faktor yang mempengaruhi ruang jelajah badak yaitu faktor teritorial dan faktor
ketersediaan sumber daya pakan, dan kemungkinan situasi yang terjadi pada badak
jawa:
64
1. Faktor teritorial: Badak jantan cenderung mempertahankan ruang
jelajahnya sehingga di daerah dengan populasi padat (dan kemungkinan
ada kehadiran badak jantan lainnya) badak memperkecil luas ruang
jelajahnya walaupun persinggungan antara ruang jelajah dua ekor badak
atau lebih sangat mungkin untuk terjadi.
2. Faktor ketersediaan sumber daya: daerah tersebut memiliki kelimpahan
dalam ketersediaan pakan, kubangan, air, dan/atau mineral yang memadai
sehingga badak tidak perlu memiliki ruang jelajah yang luas dan
memungkinkan lebih banyak individu badak yang dapat mendiami suatu
lokasi.
Berdasarkan informasi perilaku dari kamera video otomatis dapat dilihat
bahwa, selain pada musim kawin, badak hampir tidak pernah menunjukkan interaksi
negatif (agresi) sesama spesies, bahkan beberapa data menunjukkan bahwa interaksi
positif terjadi antara dua individu dewasa. Berdasarkan pengamatan bahwa perbedaan
luas ruang jelajah kemungkinan besar diakibatkan oleh faktor yang disajikan pada
butir 2 di atas. Faktor habitat yang menentukan luasnya ruang jelajah dan bukan
faktor perilaku. Rangkuman luas ruang jelajah dan jarak tempuh badak dalam
penelitian ini disajikan dalam Tabel 3. Analisis korelasi menggunakan koefisien
Pearson menunjukkan bahwa ruang jelajah berkorelasi positif kuat dengan keragaman
pakan (R= 0.9971) dan juga dengan jumlah kubangan (R=0.9998).
Tabel 3. Rangkuman luas ruang jelajah dan jarak tempuh tiap ekor badak
Badak no Luas ruang jelajah (ha) Total Jarak tempuh (km)
12 169 26.40
13 974 45.93
18 631 44.70
65
A
B
C
Gambar 11. Pola lintasan badak no 13 di Utara (A), badak 18 di Barat (B), dan
badak no 12 di Selatan (C) beserta aktifitas dari masing-masing badak
sebagaimana tercatat dalam survei lapangan.
66
Palatabilitas dan Keragaman Pakan
Beberapa contoh tumbuhan pakan badak jawa ditampilkan dalam Gambar 12
untuk menunjukkan jenis tumbuhan pakan berupa tumbuhan semak dengan daun
lebar.Kompilasi catatan tumbuhan pakan yang dikomsumsi oleh badak selama masa
pengamatan terdiri dari 108 jenis tumbuhan, dan 94 dari 108 jenis tumbuhan ini
dipilih sebagai perwakilan dari jenis tumbuhan pakan tersebut untuk menjalani
analisis proksimat di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi, Bogor. Hasil analisis
proksimat tumbuhan pakan ini disajikan dalam Lampiran 2. Selain ruang jelajah yang
berbeda, setiap badak menunjukkan variasi palatabilitas jenis pakan yang berbeda-
beda pula sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4. Perbandingan jenis tumbuhan
palatabilitas tinggi dengan data kelimpahan pakan yang dikumpulkan oleh Rahmat et
al. (2007) menunjukkan adanya indikasi keterkaitan antara tingkat palatabilitas
tumbuhan pakan dengan kelimpahannya di lokasi tersebut. Tumbuhan dengan
palatabilitas tinggi biasanya secara proporsional memiliki kelimpahan yang tinggi di
lokasi tersebut.
A B C
Gambar 12. Beberapa contoh tumbuhan pakan badak Jawa yang tercatat dalam
pengamatan di lapangan. Foto di atas menunjukkan jenis tumbuhan
tepus: Amomum sp (A), Rotan: Calamus sp (B), dan Mara: Mallotus
floribundus (C). Foto: Rsetiawan – WWF Indonesia (2009)
67
Tabel 4. Badak jawa, lokasi, dan jenis pakan dengan palatabilitas tertinggi
(persentase konsumsi basah rata-rata per hari) selama pengamatan bulan
Oktober 2009 sampai April 2010.
Badak no Blok Palatabilitas tertinggi
12 B52 Leea sambucina, Dracontomelon puberulum,
Amomum megalocheilos, Spondias pinnata
13 B55 Zanthoxylum rhetsa, Lantana camara
18 B20 Diospyros macrophylla, Ficus hispida
Keterangan: Nama lokal disajikan dalam Tabel 5
Jenis-jenis tumbuhan yang memiliki palatabilitas tinggi memiliki kadar lemak
yang rendah (1.49-4.45%) dan energi yang memadai antara 3,521 – 4,151 kkal/kg.
Kadar lemak yang rendah merupakan faktor yang perlu diperhatikan mengingat lemak
adalah bahan baku dalam sintesa hormon steroid yang berperan penting dalam siklus
reproduksi badak jantan maupun betina (Koolman & Röhm 2001).
Kualitas dan Kuantitas Asupan Nutrien
Analisis proksimat menunjukkan kandungan air, nutrien (protein dan lemak),
serta energi dari masing-masing tumbuhan pakan dengan palatabilitas tinggi seperti
yang ditampilkan pada Tabel 5. Untuk melakukan penghitungan konsumsi bahan
kering (KBK) yang besarnya 1% BB dari setiap ekor badak.
Tabel 5. Komposisi nutrien dan energi dari tumbuhan pakan yang disukai badak jawa
(palatabilitas tinggi).
Tumbuhan pakan Rataan
Konsumsi
segar
(g/hr)
Air
(%)
Protein
(%)
Lemak
(%)
Energi
(kkal/kg) Nama Ilmiah Nama lokal
Leea sambucina Sulangkar 1,232.86 8.93 5.60 3.07 3,607
Dracontomelon p Dahu 66.09 10.51 9.84 1.49 3,906 Amomum
megalocheilos Tepus 845.50 9.58 10.24 1.63 4,151
Spondias pinnata Kedondong 257.73 9.42 9.16 2,62 3,005
Zanthoxylum
rhetsa
Kitanah 164.31 16.33 17.11 1.94 3,667
Diospyros
macrophylla Kicalung 70.71 9.85 10.96 1.96 4,098
Ficus hispida Bisoro 1,217.55 13.11 11.84 1.97 2,721
Lantana camara Cente 344.85 8.37 7.67 4.11 4,004
Keterangan: Kadar air merupakan kadar yang diukur setelah sampel tumbuhan
dikeringkan. Kadar air dalam tumbuhan segar memiliki angka 60-80%
lebih tinggi dibanding angka dalam tabel ini.
68
Identifikasi Tumbuhan Pakan dengan Kualitas Nutrisi Tinggi
Identifikasi tumbuhan pakan dengan kualitas nutrisi yang tinggi dilakukan dengan
memilih jenis-jenis tumbuhan pakan dengan kandungan nutrien dan energi yang
paling tinggi berdasarkan data dari analisis proksimat. Jenis-jenis tumbuhan pakan ini
ditampilkan dalam Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Daftar tumbuhan pakan dengan kandungan air, nutrien dan energi tertinggi
Nama Ilmiah Nama Lokal Air
g/100g
Protein
g/100g
Lemak
g/100g
Energi
kkal/kg
Moringa citrifolia Cangkudu 7.38 23.39 6.30 4,460
Callicarpa longifolia Areuy
Katumpang 8.76 23.61 6.69 4,110
Chisocheton
microcarphus
Kilangir 8.65 20.64 6.00 4,656
Alstonia angustiloba Lame Peucang 8.26 17.11 8.61 4,358
Callicarpa longifolia Areuy
katumpang 8.76 23.61 6.69 4,110
Macaranga spp Mara 13.38 10.78 6.78 3,901
Derris thyorsifolia Areuy Kawao 7.12 15.22 2.83 4,718
Pterospermum
javanicum
Bayur 6.94 12.36 2.06 4,678
Percampyulus glances Geureung 8.56 16.37 2.49 4,702
Paederia scandens Areuy kipuak 55.17 4.97 0.95 1,951
Alstonia scholaris Lame koneng 61.08 3.83 2.18 2,090
Costus speciosus Pacing 45.86 5.30 0.57 2,247
Keterangan: Kadar air merupakan kadar yang diukur setelah sampel tumbuhan
dikeringkan. Kadar air dalam tumbuhan segar memiliki angka 60-80%
lebih tinggi dibanding angka dalam tabel ini.
Bila informasi pada Tabel 4 (palatabilitas pakan) dan informasi pada Tabel 6
(pakan dengan kualitas nutrisi tinggi) dibandingkan, maka dapat dilihat bahwa hanya
jenis tumbuhan pakan Zanthoxylum rhetsa (kitanah) yang merupakan tumbuhan
pakan dengan palatabilitas tinggi sekaligus juga tumbuhan dengan kandungan protein
tinggi setara dengan kandungan protein pada Alstonia angustiloba (lame peucang).
Fakta ini menunjukkan bahwa tumbuhan dengan kualitas yang paling baik belum
tentu merupakan makanan yang paling banyak dimakan oleh badak jawa. Hal
tersebut tergantung pada struktur vegetasi dengan ketersediaan pakan (kepadatan
tumbuhan pakn) dengan kualitas nutrisi yang baik ini. Dengan mengacu pada
kerapatan tumbuhan pakan yang disukai oleh badak jawa berdasarkan Rahmat et al.
69
(2007), maka kerapatan masing-masing tumbuhan pakan berkualitas baik dalam Tabel
6 idealnya tersedia dalam kerapatan: 5,406 individu/ha (jenis tumbuhan bawah); 2,222
individu/ha untuk jenis semai ; 268 individu/ha untuk jenis pancang ; 32 individu/ha
untuk jenis tiang ; dan 15 individu per hektar untuk jenis pohon.
Konsumsi bahan kering berbanding lurus dengan asupan air, nutrien (lemak
dan protein), serta energi. Data asupan harian dari komponen-komponen yang terdiri
dari air, nutrien (protein & lemak), serta energi disajikan dalam Tabel 7. Data dari
Tabel ini menunjukkan bahwa ada fluktuasi asupan harian yang menyebabkan asupan
air, nutrient, dan energi tidak selalu tersedia dalam jumlah yang besar sepanjang
tahun.
Asupan air dari pakan berada pada tingkat yang rendah pada bulan November
(setelah musim kering di bulan Oktober); asupan protein menunjukkan titik terendah
di bulan Oktober (musim kering); asupan lemak menunjukkan titik terendah pada
bulan-bulan Oktober, November, Februari, Maret; dan asupan energi dapat dilihat ada
pada tingkat terendah pada bulan Desember. Fakta ini menunjukkan bahwa populasi
badak jawa menghadapi waktu-waktu tertentu saat terjadi keterbatasan air, nutrien,
dan energi.
Kompilasi perhitungan total konsumsi air, nutrien, serta energi dari setiap
badak sampel penelitian ini disajikan dalam Tabel 8. Analisis deskriptif pada rataan
asupan bahan kering harian pada ketiga ekor badak menunjukkan adanya perbedaan
antara badak 18 dengan kedua ekor badak lainnya (badak 12 dan 13). Hal ini
disebabkan karena perbedaan bobot tubuh antara badak dewasa (badak 12 dan badak
13) dengan badak muda (badak 18) yang memiliki bobot badan lebih kecil.
70
Tabel 7. Data asupan nutrisi harian badak jawa
Individu Bulan
Asupan Harian (g/ek/h)
Air Protein Lemak Energi (Kal/ek/h)
BADAK 12 Oktober
6,817.47
803.37
249.00
36,698.43
November
6,782.38
1,132.47
238.38
38,123.76
Desember
3,271.27
1,061.48
277.83
38,065.81
Januari
3,843.73
1,333.57
288.78
37,306.61
Februari
6,214.17
1,257.08
246.22
39,878.90
Maret
3,271.98
1,169.00
280.77
40,064.76
April
4,910.03
1,124.94
287.25
33,491.94
BADAK 13 Oktober
5,220.71
1,161.44
297.52
37,160.07
November
3,067.49
1,215.83
353.37
38,026.67
Desember
19,869.04
1,099.87
290.81
35,909.84
Januari
31,633.70
966.16
266.54
37,338.69
Februari
18,155.98
1,045.49
273.25
35,470.19
Maret
3,537.91
1,052.38
255.36
35,800.96
April
7,470.35
1,243.47
351.06
36,922.17
BADAK 18 Oktober
3,535.39
754.34
166.89
25,669.98
November
1,173.19
764.45
186.49
25,266.01
Desember
12,813.47
767.19
175.48
11,096.92
Januari
7,023.90
796.14
179.01
22,607.03
Februari
8,394.51
792.38
181.89
22,716.09
Maret
3,741.64
696.49
170.48
23,755.24
April
1,209.83
695.29
214.81
26,226.10
Keterangan: data diambil pada tahun 2009-2010
Pada bulan-bulan dengan jumlah kejadian hujan yang rendah (Oktober-
Desember dan Maret-April) nampak jumlah konsumsi air asal pakan yang rendah,
kecuali pada badak no 12 yang menunjukkan konsumsi air yang tetap rendah di bulan
Desember dan Januari. Analisis regresi pada data di atas menunjukkan adanya
korelasi (koefisien Pearson = 0.87) dan hubungan linear positif (R2 = 0.76) antara
rata-rata kejadian hujan per bulan dengan kadar air pada tumbuhan pakan. Hasil
analisis ini menunjukkan adanya kecenderungan jumlah kandungan air asal pakan
yang dipengaruhi oleh curah hujan.
71
Tabel 8. Rataan asupan air, protein, lemak, dan energi per ekor per hari pada tiga
ekor badak yang diamati dalam penelitian.
Kode
Badak
Air
(g/ek/h)
Protein
(g/ek/h)
Lemak
(g/ek/h)
Energi
(kkal/ek/h)
12 5,015.86 1,125.99 266.89 37,661.46
13 12,707.88 1,112.09 298.27 36,661.23
18 5,413.13 752.33 182.15 22,476.77
Kecernaan
Perhitungan kecernaan berat kering (BK) menggunakan metode Van Keulen
(1977) menunjukkan bahwa tingkat kecernaan pada sistem digesti badak yang diamati
dalam penelitian ini berada pada rentang 77% sampai 91% dengan rata-rata 83%dan
rentang kecernaan terkoreksi pada 69.3%-81.9% sebagaimana ditampilkan dalam
Tabel 8. Rentang ini cukup besar bila dibandingkan dengan rentang kecernaan pada
badak lain berdasarkan literatur. Perbedaan kecernaan ini menunjukkan adanya suatu
implikasi yang terjadi akibatperbedaan kondisi ketersediaan pakan yang dihadapi oleh
badak di habitat alaminya. Pagan et al. (1998) menunjukkan adanya perubahan
persen kecernaan akibat perbedaan diet dan tingkat aktifitas pada kuda, hewan yang
memiliki anatomi dan sistem pencernaan yang sama dengan badak. Perbedaan pakan
yang tersedia bagi badak serta perbedaan tingkat aktifitas yang dilakukan masing-
masing badak dapat menyebabkan perbedaan dan rentang kecernaan seperti ini.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecernaan pakan terdiri dari: umur, kualitas
pakan, status hewan, jumlah konsumsi dan laju pakan (McDonald, 2002).
Tabel 9. Persen kecernaan berat kering dari tiga ekor badak dengan koreksi 10%
menurut Mainka et al.(1989)
Kode Badak
AIA Pakan AIA Feses % kecernaan %
kecernaan
terkoreksi
12 18.68 216.92 91% 81.9%
13 201.11 881.48 77% 69.3%
18 216.19 1,007.22 79% 71.1%
Tabel 9 menunjukkan bahwa individu badak nomor 12 tersebut memiliki
tingkat kecernaan pakan yang paling tinggi disertai dengan jumlah palatabilitas pakan
terbanyak berdasarkan informasi dari Tabel 4. Badak 12 yang merupakan badak
72
dewasa tua dengan ruang jelajah terkecil memiliki palatabilitas jenis pakan yang lebih
beragam dibandingkan dengan badak 13 dan badak 18. Selain faktor kondisi habitat,
kecernaan juga dipengaruhi faktor usia, fisiologi, dan juga genetika dari hewan yang
diamati.
Kecernaan terkoreksi yang dihitung dengan metode AIA dalam penelitian ini
(69.3%-81.9%) dapat dibandingkan dengan kecernaan pada badak sumatra (Koleksi
total): 57.49% - 80.45% (Mundiany et al. 2005), dan perbandingan ini menunjukkan
bahwa ada kemiripan dalam hal kecernaan berdasarkan kedua metode ini yaitu pada
pada rentang kecernaan berat kering 69.3%-80.45%. Informasi ini menunjukkan
kemungkinan adanya kompatibilitas antara kedua metode (AIA dan koleksi total)
dalam menghitung kecernaan pada badak. Kecernaan pada badak jawa berada pada
rentang yang sebanding dengan perhitungan kecernaan pada badak Sumatra
menggunakan koleksi total. Fakta ini menunjukkan bahwa perhitungan kecernaan
menggunakan metode AIA adalah kompatibel dengan perhitungan kecernaan
menggunakan metode koleksi total.Pengukuran dengan metode AIA biasanya
mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan metode koleksi total, hal ini
disebabkan saat pengambilan sampel feses secara kualitatif.
Kajian RisikoToksisitas Lantaden
Berdasarkan jumlah asupan Lantana camara yang tercatat di lapangan,
estimasi asupan lantaden perhari pada ketiga ekor badak dalam penelitian ini disajikan
dalam Tabel 10 di bawah ini. Rataan asupan Lantana camara dari Tabel 10 ini
menunjukkan bahwa badak mengkonsumsi lantana kering: 122.43 g/ekor/hari atau
setara dengan asupan lantaden sebesar rataan 23.63 g/ek/hari. McSweeney & Pass
(1983) menunjukkan bahwa jumlah asupan Lantana camara dengan dosis 4g/kg berat
badan yang setara dengan konsumsi Lantana kering sebanyak 4,000 g/ek/hari pada
badak berbobot 1 ton (dosis lantanden 772.16 g/ek/hari) akan menyebabkan
kerusakan pada hati yang ditunjukkan dengan gejala klinis berupa ruminal stasis
seperti yang terjadi pada domba. Asupan yang terjadi pada badak masih lebih kecil
dibandingkan dengan dosis ini.
73
Tabel 10. Estimasi penghitungan asupan antinutrisi lantaden harian melalui konsumsi
tumbuhan Lantana camara pada badak jawa (g/ek/h)
Badak no Rataan konsumsi
Lantana
harian(g/ek/h)
Konsumsi Lantaden
harian(g/ek/h)
12 28.00 5.41
13 286.27 55.26
18 53.02 10.23
Tabel 10 menunjukkan bahwa badak jawa juga nampaknya menghadapi risiko
dari konsumsi toksin lantaden di daerah-daerah tertentu di mana tumbuhan pakan
badak banyak didominasi oleh jenis Lantana camara. Badak nomor 13 menunjukkan
jumlah asupan tumbuhan Lantana sp dan juga toksin lantaden yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kedua ekor badak lainnya dalam penelitian ini. Hal tersebut
menunjukkan bahwa individu badak nomor 13 tersebut memiliki ruang jelajah dengan
dominasi tumbuhan Lantana sp yang tumbuh di areal pakan yang dikunjunginya.
McFadyen (1998) menunjukkan bahwa pengendalian tumbuhan Lantana sp dapat
dilakukan secara mekanis dan biologis, dan dapat menjadi bagian dari pengelolaan
habitat badak berbasis nutrisi dan kesehatan.
Ketersediaan Garam dan Air di Lokasi Kubangan
Analisis kandungan NaCl dalam tanah disajikan dalam box plot pada Gambar
13. Diagram ini menunjukkan bahwa lokasi 1 dan 2 (blok Cikeusik dan Cigenter)
tempat individu 12 dan 18 masing-masing berada memiliki kadar NaCl yang tinggi
dan kemungkinan besar menarik bagi badak sebagaimana dijelaskan oleh Rahmat et
al. (2007). Nilai tengah kandungan NaCl berada dalam kisaran 5-60 ppm dengan
beberapa pengecualian lokasi di muara cigenter (lokasi 2) yang memiliki outlier
kandungan NaCl yang sangat tinggi. Tingginya kadar garam ini dapat disebabkan
oleh lokasi daerah tersebut yang berada di daerah pasang surut yang terkadang
terendam oleh air laut saat pasang. Air laut yang menggenangi lokasi ini
menyebabkan kadar garam di daerah ini menjadi relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan lokasi ataupun daerah lainnya. Ketersediaan garam seperti ini akan membantu
proses absorpsi nutrien (termasuk glukosa) dari saluran cerna ke dalam darah.
Efisiensi absorpsi seperti ini akan membantu proses penyediaan energi dalam kondisi
cekaman ataupun meningkatkan kemampuan badak dalam mempertahankan
homeostasis.
74
Gambar 13.Rentang kandungan NaCl dalam tanah di empat lokasi kubangan yang
berada dalam lingkup ruang jelajah tiga ekor badak jawa yang diamati
dalam penelitian.
75
Simpulan dan Saran
Simpulan
1. Metode penyusuran lintasan (trajektori) merupakan suatu cara yang memiliki
peluang keberhasilan tinggi dan berpotensi untuk diterapkan sebagai prosedur
pemantauan kualitas nutrisi yang dapat diterapkan untuk pemantauan
kecukupan nutrisi badak di habitat alaminya.
2. Hasil analisis komposisi pakan di lapangan menunjukkan bahwa pakan yang
memiliki palatabilitas tinggi terdiri dari: Leea sambucina (Sulangkar),
Dracontomelon puberulum (Dahu), Amomum megalocheilos (Tepus),
Spondias pinnata (Tepus), Zanthoxylum rhetsa (Kitanah), Diospyros
macrophylla (Kicalung), dan Ficus hispida (Bisoro).
3. Badak 12 menghuni daerah dengan keragaman pakan yang cukup tinggi
dengan kualitas pakan yang relatif tinggi protein dan energi. Hal ini
menunjukkan struktur vegetasi yang memadai di ruang jelajah badak 12,
sehingga hewan ini tidak memerlukan ruang jelajah yang besar.
4. Jenis pakan ideal yang kaya nutrisi (protein dan lemak) serta energi bagi badak
jawa terdiri dari tumbuhan: Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia,
Chisocheton microcarphus, (protein tinggi); Alstonia angustiloba, Callicarpa
longifolia, Macaranga spp, (lemak tinggi); Derris thyorsifolia, Pterospermum
javanicum, Percampyulus glances, (energi tinggi); Paederia scandens,
Alstonia scholaris, Costus speciosus (kandungan air tinggi).
5. Ada indikasi kualitas air, nutrien, dan energi yang kurang memadai pada
waktu-waktu tertentu (periode kering Oktober-November 2009 dan Februari-
Maret 2010), terutama kandungan protein dan lemak yang rendah pada
tumbuhan dengan palatabilitas tinggi. Defisit nutrien lemak akan
mempengaruhi proses sintesa hormon steroid yang berfungsi dalam siklus
reproduksi. Secara keseluruhan konsumsi nutrien badak jawa masih memenuhi
kebutuhan untuk bertahan hidup dengan tingkat kecernaan yang tinggi.
6. Perbandingan hasil berdasarkan metode AIA dan koleksi total ini
menunjukkan bahwa metode AIA sedikit lebih tinggi bila dibandingkan
dengan metode koleksi total dan dapat digunakan dalam menghitung
kecernaan pada satwa liar dimana metode koleksi total tidak dapat dilakukan.
76
7. Asupan toksin lantaden melalui konsumsi Lantana camara yang terjadi pada
badak jawa tidak akan menimbulkan dampak pada kesehatan karena
jumlahnya yang sangat kecil (23.63 mg/ek/hari) atau 2.36 x 10-7
% dari berat
badan badak.
8. Kebiasaan menjilat lumpur (salt licking) merupakan upaya untuk memenuhi
kebutuhan garam, karena ada kandungan garam yang memadai pada lumpur
dan tanah di sekitar kubangan.
Saran
1. Perlu pengkajian potensi persemaiantumbuhan pakan bernutrisi tinggi untuk
dikembangkan sebagai bagian dari upaya pengkayaan habitat badak jawa.
2. Dengan berpedoman pada hasil analisis vegetasi yang dilakukan oleh Rahmat
et al. (2007), optimalisasi habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon perlu
dilakukan dengan memperluas sebaran dan memperbanyak ketersediaan
tumbuhan (sebutkan 5 terbaik) dengan formulasi kerapatan: 5,406 individu/ha
(jenis tumbuhan bawah) ; 2,222 individu/ha untuk jenis semai ; 268
individu/ha untuk jenis pancang ; 32 individu/ha untuk jenis tiang ; dan 15
individu per hektar untuk jenis pohon.
77
Daftar Pustaka
Birkett A, Stevens-Wood B,. 2005. Effect of low rainfall and browsing by large
herbivores on an enclosed savannah habitat in Kenya. African journal of
ecology 43: 123-130
Clauss M, et al. 2005. Studies on digestive physiology and feed digestibilities in
captive Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis). Journal of Animal
Physiology and Animal Nutrition 89 (2005) 229–237
Dinerstein E, 2003. The return of the unicorns. The natural history and conservation
of the greater one-horned rhinoceros. Columbia Universtiy Press, New york
Fernando P, Polet G, Foead N. Ng L. Melnick DJM. 2004. Mitochondrial DNA
analysis of the critically endangered Javan Rhinoceros. PHKA-WWF-Columbia
University
Hariyadi ARS, et al. 2011. Estimating the population structure of the Javan rhino
(Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park using the mark-recapture
method based on camera and video trap identification. Pachyderm no 49: 90-99
Koolman J, Rohm KH, Wanandi SI[ed], Sadikin M [ed]. 2001. Atlas berwarna dan
teks Biokimia. Cetakan I. Penerbit Hipokrates, Jakarta
Mainka SA, Zhao GL, Li M, 1989. Utilization of a bamboo, sugar cane, and gruel diet
by two juvenile giant pandas (Ailuropoda melanoleuca). Journal of zoo and
wildlife medicine 20:39-44
McFadyen REC,. 1998. Biological control of weeds. Annual review of entomology
43:369-393
McSweeney CS, Pass MA,. 1983. The mechanism of ruminal stasis in Lantana-
poisoned sheep. Quarterly journal of experimental physiology 68: 301-313
Mundiany L, Agil M, Astuti DA,. 2005. Studi Kasus: Estimasi Gambaran Nutrien
pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) Jantan di Suaka Rhino
Sumatera Taman Nasional Way Kambas. [Skripsi] Institut Pertanian Bogor
Pagan JD, et al. 1998. Exercise affects digestibility and rate of passage of all-forage
and mixed diets in throroughbred horses. American society for nutritional
sciences. J. Nutr. 128: 2704S-2707S
Purchase D,. 2007. Using spoor to determine the age and weight of subadult black
rhinoceroses (Diceros bicornis L). South African Journal of Wildlife Research
37(1): 96-100
78
Rahmat UM, Santosa Y, Kartono AP,. 2007. Analisis Tipologi Habitat Preferensial
bagi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) di Taman Nasional
Ujung Kulon. Institut Pertanian Bogor
Sharma OP, Singh A, Sharma S,. 2000. Levels of lantadene, bioactive pentacyclic
triterpenoids, in young and mature leaves of Lantana camara var acuelata.
Fitoterapia 71(5):487-491
Sims JA, et al. 2007. Determination of bamboo-diet digestibility and fecal output by
giant pandas. Ursus 18(1): 38-45
Sriyanto A, et al. 1995. A Current status of the Javan Rhino population in Ujung
Kulon National Park. Javan Rhino Colloquium
VanKeulen J, Young, BA. 1977. Evaluation of Acid Insoluble Ash as a Natural
Marker in Ruminant digestibility Studies. Journal of Animal Science vol 44 no:
2. 282-287
White AM, Swaisgood RR, Czekala N,. 2007. Ranging patterns in white rhinoceros,
Ceratotherium simum simum: implications for mating strategies. Animal
behaviour (74): 349-356