studi komperatif nasikh dan mansukh dalam...

17
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 107 STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURÁN DAN HADITS Nurdinah Muhammad Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh ABSTRACT Timbulnya fenomena nasikh dan mansukh berangkat dari realita ayat-ayat al- Qur‟an dan hadits yang secara sepintas kelihatannya kontradiktif. Di dasari atas keyakinan yang kuat para jumhur ulama dan para sahabat akan keotentikan dan keuniversalan kandungan al-Qur‟an dan hadits, maka tidak layak lagi mereka menilai bahwa di dalam pesan yang berlawanan tersebut termuat pesan-pesan kemaslahatan masyarakat yang cukup dalam. Tuntutan kebutuhan setiap umat memang selalu berbeda satu dengan yang lain. Di samping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan hukum Islam tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan kemajuan. Oleh karena itu wajar saja jika ulama dan para sahabat menghapuskan suatu tasyri` dengan tasyri` yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya tentang hukum pertama dan yang kemudian. Kata Kunci: Nasikh dan Mansukh, Al-Qurán, Hadits PENDAHULUAN Sebagai kitab suci umat Islam, al-Qur‟an merupakan sumber pokok ajaran keagamaan. Karena itu, interpretasi terhadap teks-teks al-Qur‟an menjadi sangat penting untuk bisa memahami Islam yang hakiki. Dan dengan sendirinya, ilmu- ilmu yang menjadi instrumen pemahaman terhadap teks-teks al-Qur‟an juga menjadi penting, seperti sejarah dan sebab-sebab turunnya suatu ayat dalam al- Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh. Ilmu-ilmu tersebut telah berkembang sejak awal munculnya upaya pemahaman terhadap al-Qur‟an dengan segala teori dan teknis operasionalnya. Karena ilmu-ilmu ini sifatnya ijtihadiyah maka terjadi banyak perbedaan dan ikhtilaf di antara ulama pada setiap masa dengan segala konsekuensinya. Fakta ini menunjukkan bahwa Ulumul Qur`an belum mencapai kematangannya dan masih terbuka untuk direkonstruksi ulang guna menghasilkan interpretasi teks-teks al- Qur‟an yang lebih tepat dan relevan dengan fenomena real kemasyarakatan muslim kontemporer. Hadits merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur‟an sebagai sumber yang utama. Untuk al-Qur‟an semua periwayatan secara mutawatir. Sedangkan periwayatan hadits sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga mulai dari sini timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas hadits. Sekaligus sebagai sumber perdebatan dalam kancah ilmiah, atau bahkan dalam kancah non ilmiah.

Upload: trankhue

Post on 02-Feb-2018

255 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 107

STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH

DALAM AL-QURÁN DAN HADITS

Nurdinah Muhammad

Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry

Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh

ABSTRACT Timbulnya fenomena nasikh dan mansukh berangkat dari realita ayat-ayat al-

Qur‟an dan hadits yang secara sepintas kelihatannya kontradiktif. Di dasari atas

keyakinan yang kuat para jumhur ulama dan para sahabat akan keotentikan dan

keuniversalan kandungan al-Qur‟an dan hadits, maka tidak layak lagi mereka

menilai bahwa di dalam pesan yang berlawanan tersebut termuat pesan-pesan

kemaslahatan masyarakat yang cukup dalam. Tuntutan kebutuhan setiap umat

memang selalu berbeda satu dengan yang lain. Di samping itu, perjalanan dakwah

pada taraf pertumbuhan dan pembentukan hukum Islam tidak sama dengan

perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan kemajuan. Oleh karena

itu wajar saja jika ulama dan para sahabat menghapuskan suatu tasyri` dengan

tasyri` yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan

pengetahuan yang dimilikinya tentang hukum pertama dan yang kemudian.

Kata Kunci: Nasikh dan Mansukh, Al-Qurán, Hadits

PENDAHULUAN

Sebagai kitab suci umat Islam, al-Qur‟an merupakan sumber pokok ajaran

keagamaan. Karena itu, interpretasi terhadap teks-teks al-Qur‟an menjadi sangat

penting untuk bisa memahami Islam yang hakiki. Dan dengan sendirinya, ilmu-

ilmu yang menjadi instrumen pemahaman terhadap teks-teks al-Qur‟an juga

menjadi penting, seperti sejarah dan sebab-sebab turunnya suatu ayat dalam al-

Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh.

Ilmu-ilmu tersebut telah berkembang sejak awal munculnya upaya

pemahaman terhadap al-Qur‟an dengan segala teori dan teknis operasionalnya.

Karena ilmu-ilmu ini sifatnya ijtihadiyah maka terjadi banyak perbedaan dan

ikhtilaf di antara ulama pada setiap masa dengan segala konsekuensinya. Fakta ini

menunjukkan bahwa Ulumul Qur`an belum mencapai kematangannya dan masih

terbuka untuk direkonstruksi ulang guna menghasilkan interpretasi teks-teks al-

Qur‟an yang lebih tepat dan relevan dengan fenomena real kemasyarakatan

muslim kontemporer.

Hadits merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur‟an sebagai

sumber yang utama. Untuk al-Qur‟an semua periwayatan secara mutawatir.

Sedangkan periwayatan hadits sebagian berlangsung secara mutawatir dan

sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga mulai dari sini timbul berbagai

pendapat dalam menilai kualitas hadits. Sekaligus sebagai sumber perdebatan

dalam kancah ilmiah, atau bahkan dalam kancah non ilmiah.

Page 2: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 108

Allah telah memberikan tugas kepada umat Islam untuk senantiasa

menjaga kesucian al-Qur‟an dan hadits. Hal ini sudah dicontohkan oleh para

pendahulu yang selalu menjaga al-Qur‟an dan hadits Nabi. Mereka adalah orang-

orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian memprioritaskan

perhatiannya untuk menjaga hadits Nabi dan ilmunya, mereka adalah para ahli

hadits.

Para sahabat tabi‟in, dan tabi‟ al-tabi‟in, juga sangat perhatian untuk

menjaga hadits-hadits Nabi dan periwayatannya dari generasi ke generasi yang

lain, karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap agama. Mereka selalu

mengajak untuk mengikuti cara hidup dan perilaku Rasulullah, mereka juga

diperintahkan untuk mengerjakan apa yang dibawa oleh Nabi dan dilarang untuk

mengerjakan semua larangan beliau sebagaimana firman Allah Swt, surah al-

Hasy:7 yang artinya : “Dan ambillah apa yang datang kepadamu dari Rasul dan

tinggalkan apa yang dilarang untukmu”.

Para ulama, terutama di zaman klasik Islam, berusaha keras melakukan

penelitian dan penyeleksian secara ketat terhadap hadits-hadits sehingga dapat

dipilih mana hadits yang benar-benar berasal dari Nabi, dan mana yang bukan

berasal dari Nabi, dan mana hadits Nasikh wa al-mansukh. Untuk itu mereka

menyusun kaidah tertentu, sebagai acuan untuk menilai hadits-hadits tersebut.

Kaidah-kaidah inilah yang kemudian berkembang menjadi ilmu tersendiri, yaitu

ilmu hadits dan ilmu Nasikh wa al-mansukh.

Untuk menyelesaikan problematika hukum-hukum yang bertentangan di

dalam ayat-ayat dan hadits-hadits tertentu, para ulama menempuh jalan melalui

ilmu ushul fiqh. Sesuai dengan teori dafal-ta`arud (menghilangkan pertentangan),

yakni apabila ada ayat dan hadits yang sederajat bertentangan secara lahir, maka

diupayakan perkompromian kedua ayat dan hadis tersebut. Seandainya kedua ayat

dan hadits yang sederajat itu tidak bisa dikompromikan, maka salah satunya

ditarjih (diambil yang lebih kuat), dan apabila secara tarjih tidak bisa di tempuh

juga, maka salah satu ayat dan hadits tersebut dinasikhkan (dibatalkan)1.

Kandungan hukum yang dibatalkan disebut dengan mansukh, dan yang

membatalkannya disebut nasikh

PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURÁN DAN

HADITS

Dalam konteks Ulumul Qur`an, mansukh adalah ayat yang telah diangkat

hukumnya dengan sebab ayat yang datang kemudian. Ayat yang hukumnya

menjadi pengganti bagi hukum ayat sebelumnya di sebut nasikh. Proses nasikh

dan mansukh ini disebut naskh.

Menurut Nasr Hamid abu Zaid2, konsepsi ini menemukan momentumnya

dalam al-Qur‟an berdasarkan dua ayat al-Qur‟an, yang satu Makkiyyah, yaitu QS

al-Nahl [16] : 101, sebagai berikut :

Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai

penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,

_____________ 1 Al-Zarqani, Manhil al-„Irfan fi, Ulum Al-Qur‟an , Juz I, (Kairo: Isa al- babi al-Halabi,

tth), 4. 2 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nas Dirasah Fi „Ulum al-Qur`an, Alih Bahasa:

Khoiron Nahdiyin, Tekstualitas Al-Qur‟an Kritik Terhadap Ulumul Qur`an, Cet. II, (Yogyakarta:

LKiS, 2002), 142.

Page 3: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 109

mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan

saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.

Pengertian al-nasakh menurut bahasa seperti ini juga dijumpai dalam al-

Qur‟an, pada periode madaniyyah, yaitu QS al-Baqarah ( 2 ): 106, sebagai berikut:

Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa

kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding

dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa

atas segala sesuatu?

Karena kedua ayat tersebut secara zahir mengilustrasikan adanya

pergantian suatu ayat dengan ayat lain yang lebih baik atau yang sebanding.

Namun menurut Hasbi Ash-Shiddiqi, konsep nasikh dalam Al-Qur‟an dipengaruhi

oleh kasus naskh dalam sunnah. Seperti kasus pelarangan ziarah kubur yang

kemudian diizinkan3.

Nasikh sendiri memiliki beberapa kemungkinan arti sebagai berikut4:

“Allah menghilangkan (yansakhu) apa yang dimasukkan oleh syaithan.”

- Al-Raf`u wa-`izalah, artinya mencabut/ mengangkat dan menghilangkan,

sebagaimana orang Arab sering mengatakan nasakhati-al-Syams al-Zill

(matahari menghapus kegelapan), dan QS al-Hajj [22]: 52, sebagai

berikut:

- Al-Tabdil5, artinya menggantikan, sebagaimana QS al-Nahl [16]: 101 dan

QS Al-Baqarah [2] : 106.

- Al-Tahwil, artinya memindahkan atau mengalihkan, seperti ungkapan

tanasukh al-mawarits, yaitu memindahkan hak waris dari satu orang

kepada yang lain.

- Al-Taswir aw al-Naql, artinya menyalin atau memindahkan dari satu

tempat ke tempat lainnya, seperti ungkapan nasakht al-kitab (saya

menyalin kitab/ memindahkannya ke lembaran yang lain), dan QS. al-

Jatsiyah (45) : 29, sebagai berikut

“Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat (Nastansikhu) apa yang

telah kamu kerjakan “ - Al-Zarkasyi menambahkan makna lainnya bagi konsep ini, yaitu

“penangguhan”. Dia berpendapat bahwa kata nunsiha yang sebanding dengan kata Nansakh berasal dari pola افعل –انسى dan bacaannya menjadi

ننسنها (nunsiuha) yang berarti penangguhan6

_____________ 3 Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/ Tafsir, cet. 5,

(Jakarta: Bulan Bintang 1994), 115 4 Abu al-Faraj „Abdurrahman Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur‟an al-Nasikh wa al-

Mansukh,alih bahasa: Wawan Djunaedi Soffandi, Nasikh Mansukh Ayat-ayat yang Dihapus,

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), 23. 5 Muhammad Ibnu „Alawi al-Makki, Zubdah al-Itqan Fi Ulum Al-Qur‟an, Alih Bahasa:

Tarnama Abdul Qasim, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur‟an Ringkasan Kitab al-Itqan Fi Ulum`Al-

Qur‟an, Cet. I (Bandung : Aras, 2003), 172. 6 Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulum al-Qur‟an, Juz II,

(Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 1988), 49.

Page 4: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 110

Senada dengan pengertian di atas kata-kata nasikh7, menurut bahasa

dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan) kata nasikh juga dipergunakan

untuk makna naqal (memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain),

dan bisa juga bermakna ibthal (membatalkan). Menurut istilah nasikh ialah

mengangkat (menghapuskan) hukum syara` dengan dalil hukum (kitab) syara`

yang lain (yang datang kemudian).

Nasikh menurut bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil.

Sehingga seolah-olah orang yang menasakh itu telah menghapuskan yang

mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain.

Sedangkan menurut istilah, adalah: “pengangkatan yang dilakukan oleh Penetap

syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang

kemudian”.8

Sedangkan al-nasakh menurut istilah, sebagaimana pendapat ulama ushul

adalah:

رفع الشا رع حكما شرعي مرتاخ عنو“Syari‟ mengangkat (membatalkan) sesuatu hukum syara‟ dengan menggunakan

dalil syar‟i yang datang kemudian”.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ilmu Al-

Nasikh wa al-Mansukh dalam Hadits ialah:

علم يبحث فيو عن النا سخ و املنسو خ من االحا د يث“Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansukh-kan dan yang

menasikhkan-nya.”9

Konsekuensi dari pengertian ini adalah bahwa menerangkan nas yang

mujmal, mentakhsiskan yang „am, dan mentaqyidkan yang mutlak tidaklah

dikatakan nasakh.

Adapun yang dimaksud dengan ilmu nasikh dan mansukh dalam hadits

adalah:

“Ilmu yang membahas hadits-hadits yang berlawanan yang tidak

memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi (yang berlawanan)

yang pada akhirnya terjadilah saling menghapus, dengan ketetapan bahwa

yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian

dinamakan nasikh.”10

Senada dengan ungkapan di atas nasikh adalah hadits yang datang lebih

akhir, menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits yang

datang mendahuluinya.

Sedangkan nasikh wa al-mansukh adalah ilmu pengetahuan yang

membahas tentang hadits yang datang kemudian sebagai penghapus ketentuan

hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu.11

_____________ 7 Muhammad Zaini, Ulumul Qur`an, Suatu Pengantar, Cet. I (Banda Aceh: Yayasan

Pena, 2005), 64. 8 Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadits, Terj Mifdhol Abdurrahman,

(Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005), 127 9 Teungku Muhammad Hasbi Ash–Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Hadits,

(Semarang:: Pustaka Rizki Putra, 2009), 121. 10

Munzier Suparta, Ilmu Hadits, cet. III (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 37-38. 11

Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 200

Page 5: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 111

Demikian juga dapat dijelaskan bahwa apabila didapati sesuatu hadits

yang makbul, tidak ada perlawanan, dinamailah hadits tersebut muhkam. Jika

dilawan oleh hadits yang sederajat, tetapi mungkin dikumpulkan dengan tidak

sukar, maka hadits tersebut dinamai mukhtalif al-hadits. Jika tidak mungkin

dikumpulkan dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang kemudian itu

dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh. Nasikh itu terjadi pada

zaman Rasulullah Saw, terhadap sejumlah besar hukum, yang sebagian di

antaranya disebabkan oleh berangsurnya perubahan pola hidup manusia

meninggalkan pola hidup jahiliyah yang batil menuju pengamalan ajaran Islam

yang luhur.

Mengetahui hadits yang mengandung nasikh adalah salah satu ilmu yang

sangat penting dan tidak tertarik kepadanya kecuali para tokoh imam fiqh.

Al-Zuhri berkata, “Para fukaha telah mengerahkan segala tenaga dan

pikiran untuk mengetahui hadits Rasulullah Saw, yang berkedudukan sebagai

nasikh (yang menghapus) dan hadits yang berkedudukan sebagai mansukh (yang

dihapus).”

Imam „Ali pernah bertemu dengan seorang qadhi lalu bertanya, ”Apakah

kamu dapat membedakan antara hadits yang nasikh dan hadits yang mansukh?” Ia

menjawab. “Tidak”. Imam berkata, “Kamu celaka dan mencelakakan.”

Syarat-syarat dan Mekanisme Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qurán dan

Hadits

Para pendukung konsep nasikh menetapkan lima syarat bagi proses naskh

dalam al-Qur‟an,12

yaitu :

Pertama, hendaklah hukum yang terkandung dalam ayat nasikh dan ayat

mansukh saling bertentangan (ta`arud) sehingga tidak memungkinkan untuk

dikompromikan antara ke duanya (jam‟). Namun bila mungkin dikompromikan,

maka salah satu di antara kedua ayat tersebut tidak dapat me-nasikh yang lainnya.

Hal ini dapat terjadi karena dua sebab, (1) salah satu dalil bersifat umum („am)

dan yang satunya lagi bersifat khusus (khas), (2) masing-masing hukum memiliki

kondisi sendiri-sendiri yang tidak dipengaruhi oleh hukum lain.

Kedua, hendaklah hukum dari ayat yang mansukh sudah berlaku sebelum

digantikan oleh hukum ayat yang nasikh, dalam hal ini sebahagian berpendapat

suatu hukum boleh di naskh meskipun belum berlaku, untuk ini al-Suyuthi

memberikan contoh QS al-Mujadilah (58) : 13 yang kemudian di naskh dengan

ayat ke 1313

. Menurut Ibnu Jauzi, dua dalil naskh dapat dibedakan antara yang

pertama dan yang ke dua dengan dua cara, yaitu (1) dengan rasio (a`qli), dan (2)

melalui catatan kronologi sejarah 14

Ketiga, hukum yang di naskh haruslah hukum yang telah di tetapkan

dengan nash syar`i. Bila hukum sebelumnya ditetapkan dengan tradisi atau

kebiasaan, maka ketentuan yang datang berikutnya tidak disebut sebagai naskh

demikian menurut Ibnu Jauzi.15

Al-Suyuthi berpendapat bahwa tradisi dan

ketentuan umat-umat terdahulu juga dapat di naskh.16

_____________ 12

Abu al-Faraj „Abdurrahman Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an..., 27. 13

Muhammad Ibnu „Alawi al-Makki, Zubdah..., 173. 14

Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an..., 28. 15

Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an…, 28. 16

Al-Makki, Zubdah…, 173.

Page 6: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 112

Keempat, dalil nasikh hendaknya juga merupakan dalil syar`i,

sebagaimana dalil yang mansukh.

Kelima, hendaklah antara dalil mansukh dan dalil nasikh minimal berada

pada level yang setara, atau dalil nasikh lebih tinggi derajatnya dari dalil mansukh,

sebagaimana tampak dari QS. al-Baqarah (2) : 106. Dalam pengertian ini, maka

hukum yang di tetapkan oleh ayat al-Qur‟an tidak boleh di naskh dengan sunnah

atau hadits, melainkan dengan ayat al-Qur‟an pula17

. Sebahagian berpendapat

boleh menjadi nasikh bagi ayat al-Qur‟an sunnah mutawatirah dan tidak boleh

dengan sunnah atau hadits „ahad‟, yang lainnya berpendapat boleh juga menjadi

nasikh bagi al-Qur‟an hadits ahad yang shahih mereka yang menjadikan sunnah

atau hadits sebagai nasikh bagi ayat al-Qur‟an berargumentasi bahwa

sesungguhnya perkataan dan ketetapan nabi juga berasal dari Allah sebagaimana

QS. al-Najm (53) : 3-4:

“dan tiadalah yang diucapkan (Muhammad) menurut kemauan nafsunya,

melainkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya).18

Di samping ke lima syarat ini, ada ketentuan esensial lainnya yang perlu

dipahami dalam proses naskh. Bahwa naskh hanya belaku pada ayat-ayat yang

secara jelas menunjukkan amr (perintah) dan nahy (larangan). Karenanya, ayat-

ayat khabariyyah tidak termasuk dalam kategori naskh sebab khabar (informasi)

bersifat pasti.19

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam nasikh paling

tidak diperlukan syarat- syarat berikut :

1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara‟

2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syara‟ yang datang lebih

belakangan dari kitab yang hukumnya mansukh

3. Kitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu.

Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya

waktu tersebut, dan yang demikian tidak dinamakan nasikh.

Menurut Abu Muslim al-Asfahani20

,bila dianggap bahwa di dalam al-

Qur‟an ada ayat yang telah di mansukh-kan hukumnya, berarti membatalkan

sebagian isinya. Membatalkan isi kandungan al-Qur‟an berarti menetapkan bahwa

di dalam al-Qur‟an ada yang batl (salah), hal ini bertentangan dengan firman

Allah QS. Fushshilat (41): 42, “Tiada datang kepadanya al-Qur‟an) kebatilan baik

dari depan maupun belakangnya, karena (al-Qur‟an) diturunkan dari sisi Tuhan

yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.”

Al-Qur‟an adalah syariat yang diabadikan hingga akhir zaman dan

menjadi hujjah bagi manusia sepanjang masa. Oleh karenanya, tidak patut di

dalamnya terdapat ayat-ayat yang mansukh. Dalam konteks sunnah naskh bisa

terjadi karena sunnah merupakan syariat yang sebagiannya didatangkan untuk

kepentingan sementara saja, maka kemudian di naskh dengan sunnah yang datang

kemudian. Namun tidak demikian halnya dengan al-Qur‟an, apalagi sebagian

_____________ 17

Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an…, 29. 18

Al-Makki, Zubdah…, 172-173. 19

Al-Makki, Zubdah…, 173. 20

Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/Tafsir..., 109-110.

Page 7: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 113

besar kandungan al-Qur‟an bersifat kuliyyah, bukan juz`i atau khas. Hukum-

hukum di dalam al-Qur‟an diterangkan secara ijmali, bukan secara tafhsili.

Menurut Hasbi, beberapa ahli telah mengemukakan beberapa alasan yang

menguatkan pendapat Abu Muslim QS. al-Baqarah (2) : 106, tiada pasti

menunjukkan kepada nasikh ayat al-Qur‟an, karena kata “ayat” dalam teks

tersebut ketentuan agama-agama terdahulu yang telah di nasikh oleh syariat nabi

Muhammad Saw. Makna nasikh di sini juga dapat berarti memindahkan ayat-ayat

tersebut dari lauh al-mahfudh kepada nabi Saw, kemudian ditulis dalam lembaran-

lembaran mushaf.

Bila melihat redaksi ayat tersebut, maka bila dimaknakan nasikh berarti

mengangkat hukum, maka hal tersebut hanya menyatakan kemungkinan dan

kekuasaan Allah untuk melakukan nasikh, dan bukan menyatakan bahwa telah

terjadi nasikh dalam al-Qur‟an.

Golongan yang mengusung konsep nasikh menetapkan bahwa nasikh

terjadi pada ayat-ayat yang hukum-hukum pokoknya tidak mungkin dikompromi-

kan dan tidak dapat di tafsirkan. Pada hal, tidak ada ayat al-Qur‟an yang tidak

dapat di tafsirkan.21

Kerancuan nasikh ini tampak jelas dari ketidak-sepahaman mereka dalam

menetapkan jumlah ayat-ayat al-Qur‟an yang mengalami proses nasikh. Al-

Nuhhas menyisakan 100 lebih ayat yang tidak dapat ditafsirkannya, sehingga

dianggap mansukh. Jauh di-belakangnya, al-Suyuthi mampu menyesuaikan

sebahagian besar ayat-ayat tersebut hingga hanya tersisa 20 ayat saja yang di

anggap mansukh. Kemudian al-Syawkani menilai hanya tersisa 8 saja ayat yang

mansukh, karena dia berhasil mengkompromikan dan menafsirkan 12 ayat

lainnya. Ketika al-Khudari berhasil menyesuaikan ke 20 ayat yang mansukh

menurut al-Suyuthi, gugurlah konsepsi nasikh tersebut.22

Ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan Hadits bila ada dua Hadits Makbul

yang tanakudh tidak dapat dikompromikan atau di jam‟. Bila dapat dikompromi-

kan, hanya sampai pada tingkat mukhtalif al-Hadits, kedua Hadits Makbul

tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa di jama‟ (dikompromikan), maka Hadits

makbul yang tanakud tadi ditarjih atau dinasakh.

Bila diketahui mana di antara kedua Hadits yang diwurudkan dahulu dan

yang diwurudkan kemudian, maka wurud kemudian (terakhir) itulah yang

diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Dalam penyebutannya, yang

belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh.

Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetahui

nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah Saw sendiri, keterangan sahabat dan dari

tarikh datangnya matan yang dimaksud.23

Selanjutnya ilmu ini disebut juga ilmu Mukhtalif al-Hadits. Bila dua hadits

makbul yang lahir maknanya bertentangan dapat dijama‟ atau dikompromikan,

maka kedua Hadits tersebut diamalkan.

Cara talfiq al-hadits antara lain dengan men-takhsis makna hadits yang

umum, mentaqyidkan hadits yang mutlak.

_____________ 21

Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah..., 114. 22

Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah..., 120 23

Endang Soetari AD, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, Cet. IV, (Yogyakarta:

Mimbar Pustaka, 2005), 213.

Page 8: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 114

Para ulama banyak yang menaruh perhatian yang khusus dalam ilmu ini.

Imam Syafi‟i adalah termasuk ulama yang mempunyai keahlian dalam ilmu

Nasikh wa al-Mansukh. Hal itu kita ketahui berdasarkan wawancara Imam Ahmad

dengan Ibnu Warih yang baru saja datang dari Mesir. Kata Imam Ahmad:

“Apakah telah kamu kutip tulisan-tulisan Imam Syafi‟i?” “Tidak”, jawabnya.

“Celakalah kamu”, bentak Imam Ahmad, “kamu tidak dapat mengetahui dengan

sempurna tentang mujmal dan mufassal serta nasikh dan mansukhnya suatu hadits

sebelum kita semua ini duduk dengan Imam Syafi‟i.”

Sayyidina „Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bertemu dengan seorang qadhi,

lalu ditanyalah sang qadhi itu. “Apakah kamu mengenal nasikh dan mansukhnya

suatu hadits?” “Tidak”, jawab qadli itu. “Celakalah dirimu dan membuat pula

celaka orang lain”, bentaknya.24

Bahkan menurut al-Zuhry, ilmu inilah yang paling banyak menguras

energi para ulama dan fukaha. Hal ini karena tingkat kesulitannya yang tinggi,

terutama dalam melakukan istinbat hukumnya dari nas yang samar-samar.

Untuk mengetahui nasikh dan mansukh ini bisa melalui beberapa cara:

1. Dengan penjelasan dari nash atau syari‟ sendiri, yang dalam hal ini ialah Rasul

Saw.

2. Dengan penjelasan dari para sahabat

3. Dengan mengetahui tarikh keluarnya hadits serta sabab wurud hadits. Dengan

demikian akan diketahui mana yang datang lebih dulu dan mana yang datang

kemudian.25

.

Bidang kajian ilmu nasikh-mansukh ini termasuk kebutuhan utama bagi

para ahli fiqh dan ijtihad. Sungguh salah besar dan akan menemukan kesulitan

yang tinggi orang yang jiwanya terdorong untuk berfatwa dengan hadits sesuai

dengan anggapan tanpa mengetahui ilmu ini, terlebih lagi menguasai syarat-syarat

yang lainnya.

Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, ia berkata: Hudzaifah26

pernah ditanya oleh

seorang tentang sesuatu, maka ia menjawab, “Orang yang memberi fatwa itu ada

tiga macam, yaitu orang yang mengetahui nasikh dan mansukh;- Orang-orang

bertanya, “Siapakah orang yang demikian itu?” Ia menjawab, „Umar‟ – dan orang

yang menjadi sultan yang karena jabatannya ia harus memberikan fatwa.

PEMBAGIAN ANTARA NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURÁN

DAN HADITS

Secara umum, nasikh itu terbagi kepada empat bagian: pertama, nasikh al-

Qur‟an dengan al-Qur‟an : bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi

dalam pandangan para ulama yang mengatakan adanya nasikh. Misalnya ayat

tentang pengharaman khamar yang turun sebanyak tiga tahap. Kedua, nasikh al-

Qur‟an dengan sunnah: sebagian ulama berbeda pendapat karena hanya boleh

menggunakan hadits yang martabatnya mutawatir, sedangkan berstatus ahad tidak

boleh karena al-Qur‟an itu mutawatir dan menunjukkan yakin. Ketiga, nasikh

sunnah dengan al-Qur‟an: bagian ini dibolehkan oleh jumhur, namun menurut

Imam al-Syafi`i tidak dibolehkan. Keempat, nasikh sunnah dengan sunnah :

bagian ini dikategorikan kepada empat bentuk yaitu :

_____________ 24

Fatchur Rahman, Ikhtisar..., 333 25

Munzier Suparta, Ilmu hadits..., 38 26

Munzier Suparta, Ilmu hadits…, 39

Page 9: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 115

1. Nasikh Mutawatir dengan mutawatir

2. Nasikh ahad dengan ahad

3. Nasikh ahad dengan mutawatir

4. Nasikh mutawatir dengan ahad27

Menurut kitab-kitab ulumul Qur`an, ayat-ayat al-Qur‟an yang mansukh

ada tiga macam:

Pertama, ayat yang mansukh rasm (tulisannya) dan hukumnya. Dalam

konteks ini, Ibnu Jauzi meriwayatkan dengan sanad yang agak panjang hingga

Abu Umamah bin Sahl bin Hanif bahwa ada sekelompok sahabat nabi Saw yang

memberi tahu dia tentang seorang laki-laki di antara mereka yang tidak tidur pada

tengah malam. Laki-laki tersebut bermaksud untuk membuka catatan sebuah

surah yang sebelumnya telah di hafal. Ternyata dia mempunyai rasm surah

tersebut kecuali hanya tulisan “bismillahirrahmannirrahim” maka, keesokan

paginya dia datang ke rumah nabi Saw guna menanyakan hal tersebut ternyata di

sana juga ada beberapa orang lainnya yang memiliki pengalaman yang sama,

yaitu tentang surah yang rasm-nya hilang. Setelah nabi Saw menerima mereka,

mereka pun memberi tahukan pengalaman tersebut dan menanyakan tentang

keberadaan surah tersebut. Rasulullah diam sejenak dan tidak berkata sepatah kata

pun. Setelah itu baru beliau bersabda: “tadi malam surah tersebut telah dinasakh.

Maka hafalan surah itu pun dinasakh dari dada kalian dan juga dari benda apapun

yang mengabadikan rasm surah tersebut.” Dan banyak riwayat lainnya tentang hal

yang serupa.

Kedua, ayat yang mansukh rasm-nya, namun hukumnya tetap ada. Dalam

konteks ini, al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam

kitab hadits mereka masing-masing tentang pernyataan Umar bin Khathab tentang

hukum rajam terhadap muhsan dan muhsanah yang berzina, bahwa rasm-nya

telah diangkat namun hukumnya tetap. Juga terdapat riwayat-riwayat lainnya

tentang jenis mansukh ini.

Ketiga, ayat yang mansukh hukumnya, namun rasm-nya masih tetap

ada.28

Kategori naskh inilah yang lazim dibicarakan dan dibahas oleh para ulama

dan ditetapkan kaidah-kaidahnya.

Urgensi Mengetahui Nasikh dan Mansukh dalam al-Qurán dan Hadits

Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat

yang cukup besar bagi para ahli ilmu, terutama bagi mufassir, fukaha, dan ahli

ushul. Tujuannya agar pengetahuan mereka tentang hukum tidak menjadi kacau

dan kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak atsar (perkataan sahabat maupun

tabi`in) yang mendorong agar mengetahui masalah ini.

Diriwayatkan, Sayyidina Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu

bertanya: “apakah kamu mengetahui mana yang mansukh? Hakim itu menjawab,

tidak. Maka Ali berkata: celakalah kamu dan mencelakakan orang lain.”

Pentingnya mengetahui masalah nasikh dan mansukh secara tegas

diungkapkan beberapa ulama, seperti yang dinyatakan dalam buku Al-Itqan Fi

Ulumi al-Qur‟an karangan imam Suyuthi:

_____________ 27

Manna‟ Khalil al-Qaththan, Mabahis Fi „Ulum al-Qur‟an, Terj, Mudzakir AS dengan

Judul Studi Ilmu-ilmu Qur`an, Cet. 6 (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2001), hal. 334-335 28

Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an...., 39-46

Page 10: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 116

Berkata para imam: „tidak boleh bagi seseorang menafsirkan kitab Allah

kecuali mengetahui tentang nasakh dan mansukh‟.

Selanjutnya al-Zarqani juga mengungkapkan bahwa mengetahui nasikh

dan mansukh adalah rukun yang pokok untuk mengetahui Islam dan juga sebagai

petunjuk akan kebenaran suatu hukum.29

Begitu urgennya masalah nasikh dan

mansukh, maka para ulama mujtahid telah membahas secara spesifik dan

mendalam di berbagai kitab klasik dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur‟an, ilmu-ilmu

hadits dan ilmu ushul fiqh. Salah satu sebab yang menggerakkan para ulama

begitu tertarik mempelajari nasikh dan mansukh dikarenakan adanya firman Allah

Swt pada surat al-Baqarah ayat 106.

Berdasarkan dalil ayat al-Qur‟an di atas, para ulama berprinsip bahwa al-

Qur‟an sendiri telah melegalisasikan keberadaan nasikh al-Qur‟an dengan al-

Qur‟an. Ulama yang berpendapat demikian di antaranya adalah Imam Syafi`i30

dan Ibnu Hazm. Imam Syafi`i berpendapat bahwa;

“Sesungguhnya masalah nasikh itu adalah nasikh ayat al-Qur‟an dengan

ayat al-Qur‟an sedangkan sunnah tidak bisa menasikh-kan ayat al-Qur‟an, sunnah

berfungsi mengikut kitabullah atau menafsirkan makna yang kurang jelas.”

Penjelasan Imam Syafi`i ini menunjukkan suatu pemahaman bahwa beliau

hanya membolehkan nasikh kitab dengan kitab. Maksud kitab di sini adalah al-

Qur‟an, dan ia tidak membenarkan nasikh kitab dengan sunnah. Berbeda dengan

Imam Syafi`i, salah seorang ulama mujtahid dari mazhab Dzahiri, bernama Ibn

Hazm31

, berpendapat bahwa nasikh al-Qur‟an dengan sunnah diperbolehkan,

contohnya ayat 15 dari surat al-Nisa;

“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah ada

empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila

mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu)

dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan

lain kepadanya.” (QS Al-Nisa : 15).

Ayat di atas di nasikhkan oleh Sunnah:

“Yahya bin Yahya Attamimi menceritakan kepada kami, Hisyam mengkhabarkan

dari Manshur, dari Hasan, dari Hathan bin Abdullah, dari Ubadat bin Shamat

berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Ambillah dariku, ambillah dariku

sesungguhnya Allah telah menjadikan kepada mereka (wanita-wanita yang

melakukan perbuatan keji) jalan. Gadis dengan pria (yang belum pernah nikah)

hendaklah dijilid seratus kali dan diasingkan (buang negeri) dan kepada yang

sudah kawin hendaklah dijilid seratus kali dan di rajam”. (HR. Muslim).

Argumentasi Ibn Hazm tentang diperbolehkan menasikh-kan al-Qur‟an

dengan Sunnah adalah didasarkan ayat 3-4 surah Al-Najm:

_____________ 29

Muhammad bin Idris al-Syafi`i, Al-Risalah (Bairut : Daru al Fikr, tth), 106 30

Abu Muhammad „Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm, Al-Ihkam Fi Ushul al Ahkam, Juz. IV

(Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah tth), 235. 31

Abu Muhammad „Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm . . ., 519

Page 11: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 117

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa

nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan

(kepadanya),” (QS An-Najm : 3-4)

Menurut Ibn Hazm sabda Rasulullah adalah wahyu dari Allah, al-Qur‟an

juga wahyu, oleh sebab itu tiada halangan untuk menasikh-kan wahyu dengan

wahyu32

. Keterangan di atas dapat dikatakan bahwa telah terjadi perbedaan

pendapat di antara Imam Syafi`i dengan Ibnu Hazm dalam masalah nasikh dan

mansukh. Yang pertama tidak membenarkan adanya nasikh al-Qur‟an dengan

Sunnah dan yang terakhir sebaliknya, dengan alasan yang jauh berbeda. Hal ini

mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum atas

suatu peristiwa yang sama. Secara sederhana barangkali bisa dikatakan bahwa

Imam Syafi`i tampak lebih moderat dan rasional jika dibandingkan dengan Ibn

Hazm. Hal ini dapat dilihat dari landasan berfikir yang digunakan oleh kedua

Imam tersebut.

Contoh Ayat-ayat yang Dinasikh dan Hadits-hadits yang dimansukh

Al-Suyuthi menyebut dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat yang

dipandangnya sebagai ayat-ayat mansukh. Di antaranya ialah33

.

Ayat Tentang Qiblat

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap

di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha

Mengetahui,” (QS al-Baqarah: 115).

Ayat tersebut di atas telah di nasakh oleh ayat berikut:

“Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.

palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (QS al-Baqarah : 144).

Ayat Tentang Wasiat

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-

tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak

dan karib kerabatnya..........” (QS al-Baqarah: 180)

_____________ 32

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Mizan, Bandung, 1994) 146. 33

Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan Fi „Ulumul Al-Qur‟an, Juz II (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.),

20-21.

Page 12: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 118

Ayat di atas mansukh oleh ayat-ayat tentang kewarisan dan oleh hadits yang

artinya: “sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang

mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.

Ayat Tentang Puasa

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak

berpuasa) membayar fidyah”......(QS al-Baqarah: 184).

Ayat ini telah di nasikh-kan oleh ayat:

“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia

berpuasa”.....(QS al-Baqarah : 185).

Hal ini berdasarkan keterangan dalam kitab Shahih Bukhari dan

Muslim, bersumber dari Salamah Ibn Akwa: “ketika turun surat al-Baqarah:

184, maka orang yang ingin tidak berpuasa, mereka berencana membayar

fidyah, sehingga turunlah ayat sesudahnya yang menasikh-kannya.

Ayat tentang Berperang

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:

"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar,” (QS al-Baqarah :217).

Ayat ini telah di nasakh oleh ayat 36, al-Taubah:

“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun

memerangi kamu semuan,” ( Al-Taubah; 36).

a. Ayat Tentang `iddah

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan

meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi

nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)”. (QS

al-Baqarah : 240)

Ayat ini telah di nasikhkan oleh ayat :

“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan

isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat

bulan sepuluh hari. (QS al-Baqarah: 234).

Hadits Nasakh dapat diketahui melalui beberapa hal sebagai berikut.

a. Ditetapkan dengan tegas oleh Rasulullah Saw; seperti hadits :

هنيتكم عن ز يا رة ا لقبور وىا“Semula aku melarangmu untuk berziarah ke kubur, namun (sekarang)

berziarahlah”. (HR. al-Tirmidzi)

b. Melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti hadits Jabir bin Abdullah r.a.,

ia berkata.

ا مس الناركان اجر اال مرين من رسو ل اهلل صلى اهلل عليو وسلم تر ك الو ضوء مم

Page 13: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 119

“Dua perintah terakhir Rasulullah saw, adalah tidak perlu berwudhuk‟

karena memakan makanan yang tersentuh api.” (HR. Abu Daud dan al-

Nasa‟i)

c. Melalui fakta sejarah, seperti hadits Syidad bin Aus dan lainnya yang

menjelaskan bahwa Rasulullah Saw bersabda :

افطر احلاجم واحلجوم“Orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal puasanya”.

(HR. al-Tirmidzi)34

Dan hadits Ibnu Abbas r.a., ia berkata:

ان النيب صلى اهلل عليو وسلم احتجم وىو صاءم“Sesungguhnya Rasulullah Saw berbekam, padahal beliau sedang berpuasa”.

(HR. Muslim)35

Al-Imam al-Muthathalibi Muhammad bin idris al-Syafi‟i menjelaskan

bahwa hadits yang kedua merupakan nasikh terhadap hadits yang pertama.

Buktinya cukup unik. Yakni diriwayatkan kepadanya bahwa Syidad pada masa-

masa penaklukan kota Makkah bersama Rasulullah Saw. Ketika Rasul melihat

seseorang berbekam pada siang hari bulan Ramadhan, maka beliau berkata :

افطر احلاجم واحملجوم )رواه الرتميذ(Dan diriwayatkan kepadanya bahwa Ibnu Abbas berkata:

انو صلى اهلل عليو وسلم احتجم وىو حمرم صِاءم“Sesungguhnya Rasulullah Saw. Berbekam, padahal beliau sedang berihram dan

berpuasa” 36

) HR. Muslim)

Dengan demikian, jelas bahwa hadits yang pertama (hadits Syidad) itu

terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yaitu pada tahun delapan Hijri

dan hadits kedua (hadits ibnu Abbas) terjadi pada waktu Haji Wada‟, yaitu pada

tahun sepuluh Hijri. Jadi, hadits yang kedua merupakan nasikh bagi hadits yang

pertama.

Implikasi dan Kitab-kitab yang membahas hadits Nasikh dan Mansukh

Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh itu sudah ada sejak pendewanan

hadits pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu

yang berdiri sendiri. Kelahirannya sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah bin

Di‟amah As-Sudusy dengan tulisan beliau yang diberi judul “An-Nasikh wa al-

Mansukh”.

“Pada tahun-tahun yang berada di antara abad kedua dan ketiga, bangunlah

ulama-ulama untuk menulis kitab Nasikh wa al-Mansukh. Di antara sekian banyak

kitab nasikh yang masyhur di abad ini ialah kitab Nasikh al-Hadits wa

mansukhuhu”, buah karya al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-

Atsram, rekan Imam Ahmad. Kitab yang terdiri dari 3 juz kecil-kecil itu juz

ketiganya didapatkan di Daru‟l-Kutubi‟l-Mishriyah.37

Dalam hal ini dapat dilihat karya-karya yang disusun sebagian ulama

tentang nasikh dan mansukh dalam hadits, di antaranya :

_____________ 34

Nuruddin, Ulum Al-Hadits 2, cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 111-113 35

Nuruddin, Ulum Al-Hadits..., 114 36

Nuruddin, Ulum Al-Hadits..., 111-113 37

Fatchur Rahman, Ikhtisar..., 333.

Page 14: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 120

1. An-Nasikh wa al-Mansukh, karya Qatadah bin Di‟amah al-Sadusi, namun

tidak sampai ke tangan kita.

2. Nasikh al-Hadits wa Mansukhihi, karya al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin

Muhammad al-Atdram, sahabat Imam Ahmad.

3. Nasikh al-Hadits wa Mansukh, karya ahli hadits Iraq, Abu Hafsh Umar

Ahmad Al-Baghdady, dikenal dengan sebutan Ibnu Syahin.

4. Al-I‟tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, karya Imam al-Hafidh

An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi al-Hamadani.

5. An-Nasikh wa al-mansukh, karya Abdul Faraj Abdurrahman bin Ali, atau yang

lebih dikenal dengan sebutan Ibnu al-Jauzi.38

Selain ulama-ulama yang menyusun kitab nasikh dan mansukh yang

dikemukakan di atas. Banyak ahli yang menyusun kitab-kitab nasikh dan mansukh

ini, sebagai perintis adalah al-Syafi‟i, kemudian dilanjutkan antaranya Ahmad ibn

Ishaq al-Dinary, Muhammad ibn Bahar al-Ashbahany, Ahmad ibn Muhammad al-

Nahas. Kemudian sesudah itu muncullah Muhammad ibn Musa al-Hazimy

menyusun kitabnya yang dinamai al-I‟tibar. Kitab ini mudah diperoleh. Kitab al-

I‟tibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abd al-Haqq.39

Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa; Kitab “Nasikh al-Hadits wa

Mansukhuhu” karya muhaddits „Iraq, Abu Hafshin bin Ahmad al-Bagdady, yang

lebih populer dengan nama kunyahnya Ibnu Syahin adalah kitab nasikh dan

mansukh abad keempat yang sampai dan dapat kita manfaatkan. Kitab itu terdiri

dari dua buah naskah tulisan tangan (manuskrip). Yang sebuah berada di

Perpustkaan Ahliyah (nasional) di Paris dan yang sebuah lagi disimpan di

Perpustakaan Escorial (Spanyol).

Kemudian setelah itu keluarlah kitab “al-I‟tibar fi-Nasikh wa‟l-Mansukh

mian‟l-Atsar”, karya al-Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimy.40

Beliau memanfaatkan usaha ulama-ulama yang terdahulu dalam ilmu ini,

sehingga kitab yang disusunnya sudah mencakup seluruh buah pikiran ulama-

ulama itu. Sistematikanya diatur menurut bab-bab fiqhiyah. Pada setiap bab

fiqiyah dikemukakan hadits-hadits yang nampaknya berlawanan itu dengan tidak

mengabaikan pendapat-pendapat dari para ulama dan sekaligus nasikh dan

mansukhnya. Tidak sedikit pula kita dapatkan pendapat beliau sendiri dalam

merajihkan suatu pendapat atas pendapat yang lain. Pada tahun 1319 H, kitab itu

dicetak di India, kemudian pada tahun 1346 H, dicetak di Kairo dan pada tahun

yang sama dicetak di Halab dengan tahqiq Syaikh Rahib al-Thabakhy al-Halaby.

KESIMPULAN

Dari keseluruhan uraian dan pembahasan di atas ini dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan pengertian tentang terminologi nasikh. Para ulama

mutaqaddimin memperluas arti nasikh sehingga mencakup: pembatalan

hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang tetapkan kemudian;

pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus

yang datang kemudian; penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum

_____________ 38

Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar..., 129 39

Teungku Muhammad Hasbi ash – Shiddieqy, Ilmu Hadits,..., 121 40

Teungku Muhammad Hasbi ash – Shiddieqy, Ilmu Hadits,..., 123

Page 15: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 121

yang bersifat samar; penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum

bersyarat.

2. Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan

hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh

apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti

misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah di

saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di nasikh oleh perintah atau izin

berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan, bahwa

ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa

pra-Islam merupakan bagian dari pengertian nasikh.

3. Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang

kemudian (muta`akhirin). Menurut mereka nasikh terbatas pada ketentuan

hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau

menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu,

sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.

Keberadaan nasikh dalam al-Qur‟an memang dilegitimasi oleh ayat al-Qur‟an

itu sendiri (umpamanya lihat QS al-Baqarah: 106). Hikmah nasikh dalam al-

Qur‟an antara lain adalah untuk memelihara kepentingan hamba memelihara

perkembangan tasyri` menuju tingkat yang sempurna sesuai dengan

perkembangan dakwah Islam, dan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an

seseorang mufassir (ulama) harus menguasai ilmu nasikh dan mansukh agar

penafsirannya terarah dan tidak menyimpang.

4. Para pendukung nasikh mengakui bahwa nasikh baru dilakukan apabila, (a)

terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat

dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan

turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai

mansukh, dan yang kemudian sebagai nasikh41

.

5. Secara umum para ulama dapat dikatakan bahwa mereka semua sependapat

menyatakan yang dapat me-nasakh al-Qur‟an hanyalah wahyu-wahyu ilahi

yang bersifat mutawatir. Demikian juga dipandang sebagai ayat-ayat

mansukh di antaranya ialah: ayat-ayat tentang kiblat, wasiat, puasa,

berperang, dan ayat tentang `iddah.

6. Nasikh wa al-Mansukh adalah Ilmu yang membahas hadits-hadits yang saling

berlawanan maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi

hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia sebagai nasikh (penghapus)

terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia sebagai

mansukh (yang dihapus). Karena itu hadits yang mendahului adalah sebagai

mansukh dan hadits yang terakhir adalah sebagai nasikh.

7. Nasikh dapat diketahui melalui beberapa hal;

a. Hadits Rasulullah Saw dalam terjemahannya; Semula aku melarangmu

untuk berziarah ke kubur, namun (sekarang) berziarahlah.

b. Hadits Syidad bin Aus bahwa Rasulullah Saw, bersabda dalam artinya :

orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal puasanya.

(mansukh) Hadits Ibnu Abbas, r.a, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah

Saw berbekam, padahal beliau sedang berpuasa (nasikh)

_____________ 41

Quraish Shihab‟ Membumikan Al-Qur‟an…, 146

Page 16: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 122

8. Kegunaan dan pentingnya ilmu Nasikh wal-Mansukh adalah kewajiban bagi

orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syariat, karena seseorang

pembahas ilmu syari‟at tidak akan dapat mengambil hukum dari dalil-dalil

nash, dalam kaitan ini adalah hadits, tanpa mengetahui dalil-dalil nash yang

sudah dinasakhkan dan dalil-dalil yang menasakhnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Faraj „Abdurrahman Ibnu Jauzih Cet. II, Yogyakarta: LKiS, 2002.

Abu al-Fajar „Abdurrahman Ibnu Jauzi, Nawasikhu-l-Qur‟an al-Nasikh wa al-

Mansukh, Alih Bahasa: Wawan Djunaedi Soffandi, Nasikh Mansukh

ayat-ayat Al-Quir‟an yang di hapus, Jakarta: Pustaka Azzam,2002.

Abu Muhammad Ali Ibnu Ahmad Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Usul al ahkam, Juz.IV,

Beirut: Dar al-Kuttub al-Ilmiyyah, tth.

Al-Makki, Muhammad Ibnu „Alawi, Zubdah al-itqan fi „Ulumil Qur‟an, Alih

Bahasa: Tarnama Abdul Qasim, Samudra Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an

Ringkasan Kitab al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, Cet. I, Bandung: Arasy,

2003.

Al-Qaththam, Ma‟na Khalil, Mabahis, Fi Ulum Al-Qur‟an, Terj‟: Mudzakir AS

dengan Judul Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, Cet 6, Jakarta, Litera Antar Nusa,

2001.

Al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Itqam Fi „ulum al-Qur‟an, Juz II, Beirut: Dar al Fikr,

tth.

Al-Syafi‟i, Muhammad bin Idris, Al-Risalah, Beirut: Dar al Fikr, tth.

Ash-Shiddiqi, Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/Tafsir,

Cet. 15, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

-----, Sejarah dan Pengantar Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Al-Qur‟anul Karim

Al-Qaththan, Syaikh Manna‟, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Terj; Mifdhol

Abdurrahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2005.

Al-Zarqani, Manhil al-Irfan fi‟ulum Al-Qur‟an Al-Qur‟an, Juz I, Kairo: Isa al-babi

al-Halabi, tth.

Al-Zarksyi Baddru-l-Din, Muhammad bin „Abdullah, Al-Burhan fi „ulumi-l-

Qur‟an.juzz.II, Beirut: Daru-l-Kitab al-„Ilmiyyyah,1988.

Page 17: STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH DALAM …al-muashirah.com/wp-content/uploads/2016/10/1-Nurdinah.pdf · Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh

Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 123

Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadits, Jakarta, Bumi Aksara, 2002

Nasir Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nas Dirasah fi „Ulumi-l-Qur‟an, Alih Bahasa:

Khoirun Nahdiyin, Tekstualitas Al-Qur‟an Kritik terhadap „Ulumul-

Qur‟an, Cet. II, Yogyakarta: LKiS, 2002.

Nuruddin, Ilmu Al-Hadits 2, cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahu‟l Hadits, Bandung: PT. Alma‟arif, cet. I,

1974.

Shihab, Quraish “Membumikan Al-Qur‟an, Bandung: Mi„zan, 1994.

Soetari, Endang, AD, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, Yogyakarta:

Mimbar Pustaka, cet. IV, 2005.

Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, cet.III, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Zaini, Muhammad, Ulumul Qur‟an, Suatu Pengantar, cet. I, Banda Aceh:

Yayasan Pena,2005.