studi kasus penangkaran
TRANSCRIPT
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
1/69
i
STUDI KASUS PENANGKARAN
PENYU HIJAU (Chelonia mydas), DI PANTAI PANGUMBAHAN,
KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT
SKRIPSI
ARY AJRAN AJIEMA RIANTO
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN PERIKANANFAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2012
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
2/69
ii
STUDI KASUS PENANGKARAN PENYU HIJAU (Chelonia mydas), DI PANTAI
PANGUMBAHAN, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT
Oleh:
ARY AJRAN AJIEMA. RL211 08 260
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjanapada
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
PROGRAM STUDI MANAJ EMEN SUMBERDAYA PERAIRANJURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2012
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
3/69
iii
ABSTRAK
Ary Ajran Aj iema. R. L211 08 260. Studi Kasus Pengelo laan Penyu Hijau(Chelonia mydas), di Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.Dibawah bimbingan Syamsu Alam Ali selaku Pembimbing Utama dan Hadiratul
Kudsiah selaku Pembimbing Anggota.
Populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) dikelompokkan sebagai endangeredspecies dalam IUCN Red List yakni spesies yang dalam waktu dekat sangatberesiko mengalami kepunahan. Pada bulan Januari 1999 Pemerintah Indonesiatelah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 yang melindungi PenyuHijau.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana model penangkaranPenyu Hijau (Chelonia mydas) yang ada di Pantai Pangumbahan, KabupatenSukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 februari sampai 31 maret 2012,
di Pantai Pangumbahan, Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap, KabupatenSukabumi, Provinsi Jawa Barat. Data primer diperoleh melalui wawancara,observasi dan dokumentasi. Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaituanalisis deskriptif kualitatif dengan bantuan table dan gambar.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua model penangkaran yangada di Pantai Pangumbahan, yaitu semi-alami meliputi penetasan yang dilakukandidalam ruangan dan blong, dan alami dilakukan di kandang buatan yang terdapatdi pesisir pantai. Persentase tertinggi rata-rata telur penyu/ekor terdapat pada Bulan April yaitu 88,20 %, sedangkan yang terendah pada bulan Februari yaitu 85,66 %.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
4/69
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. H. Syamsu Alam Ali, MS Dr. Ir. Hadiratul Kudsiah, MPNip.1955011411983011001 Nip.196711062006042001
Dekan Ketua Program Studi
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Manajemen Sumberdaya Perairan
Prof.Dr.Ir. Hj.Andi Niartiningsih, M.P Prof.Dr.Ir.H Sharifuddin Bin Andy Omar,M.Sc
Nip. 196112011987032002 Nip. 195902231988111001
Tanggal Pengesahan : Agustus 2012
Judul : Studi Kasus Penangkaran Penyu Hijau (Chelonia mydas), di
Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
Nama : Ary Ajran Ajiema. R
Stambuk : L 211 08 260
Skripsi telah diperiksa dan disetujui oleh :
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
5/69
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 19
November 1990, merupakan anak tunggal dari Pasangan
Rianto. K dan Rohani Lurang.
Pada tahun 1994 memulai pendidikan di TK Islam
Maradekaya, kemudian masuk sekolah dasar pada tahun
1995 dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di
SMPN 10 Makassar dan selesai pada tahun 2005. Pada Tahun 2005-2008, penulis
berhasil menyelesaikan pendidikan menengah di SMA Negeri 1 Makassar, yang
juga merupakan salah satu SMA favorit di Kota Makassar.
Tahun 2008, penulis berhasil diterima di Universitas Hasanuddin Makassar,
tepatnya di Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan, Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan. Selama menjalani studi di UNHAS, penulis pernah menjadi
Asisten Avertebreta Air, Ikhtiologi, Manajemen Sumberdaya Perairan, dan
Rehabilitasi. Selain itu penulis juga aktif di Himpunan Mahasiswa Profesi
Manajemen Sumberdaya Perairan, sebagai Koordinator Kesekretariatan pada
periode 2009-2010.
Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, penulis
melaksanakan tugas akhir (penelitian) yang berjudul “Studi Kasus Penangkaran
Penyu Hijau (Chelonia mydas), di Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat”.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
6/69
vi
KATA PENGANTAR
BI SMI LLAHI RAHMANI RAHI M
AlhamdulillahirabbilAlamin. Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT
karena berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Salam dan shalawat tak lupa dipanjatkan kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW, yang merupakan teladan bagi seluruh umat manusia.
Sejak penelitian hingga penyusunan skripsi, banyak kesulitan dan hambatan
yang dihadapi, namun Alhamdulillah berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai
pihak, sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis
mempersembahakan tulisan ini khusus kepada Bapak dan Ibu tercinta Rianto. K
dan Rohani Lurang.
Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah menbantu dalam proses penyusunan laporan ini, terutama untuk:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsu Alam Ali, M.S selaku pembimbing utama dan Ibu
Dr. Ir. Hadiratul Kudsiah, MP selaku pembimbing kedua , atas bimbingan
dan arahannya sampai penulisan skripsi ini selesai.
2. Bapak Ir.Abd. Rahim Hade, M.Si, Bapak Ir. Budiman Yunus, M.Si dan Bapak
Dr. Ir. Lodewyk S. Tandipayuk, MS selaku penguji yang telah memberikan
saran dan kritik yang membangun.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sharifuddin Bin Andy Omar M,Sc selaku Ketua
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, yang telah mengajarkan
banyak hal kepada penulis selama penulis menempuh perkuliahan, dan
seluruh staf dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.
4. Dinda Riski Aprianti yang telah banyak memberikan support selama
penelitian hingga penulisan skripsi.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
7/69
vii
5. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi yang memberikan izin
penelitian.
6. Staf Kawasan Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan
7. Keluarga besar laboratorium konservasi, Arman Pariakan S.Pi, Ida Amalia
S.Pi, Nur Hasanah S.Pi, Besse Faradiba S.Pi, Nur Maisyara S.Pi, dan
Handrianto Timbayo atas kerjasamanya.
8. Kawan-kawan Program Studi Manajemen SD Perairan #8
9. Seluruh Keluarga Besar Lemang Dg. Lurang
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi
ini, oleh karena itu apabila ada kritik dan saran yang sifatnya membangun mudah-
mudahan dapat menjadi bahan perbaikan kedepannya. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak.
Makassar, Agustus 2012
Ary Ajran Ajiema
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
8/69
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......... ......................................... .................................... 1B. Tujuan dan Kegunaan ........................................ .................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4
A. Pengertian Umum Penyu ………………………………………………… .... 4B. Peraturan Tentang Penyu ………………………………………………… .... 6C. Siklus Hidup Penyu ……………………………….. .................................... 7
D. Habitat Peneluran ………………………………………………………... ..... 8
III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 11
A. Waktu dan tempat ………………………………………………………… .... 11B. Alat dan Bahan …………………………………………………………….. ... 12C. Aspek Yang Diamati …………………………………………………… ........ 12D. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………………… 12E. Analisis Data ………………………………………………………………….. 13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 14
A. Kondisi Umum Lokasi ......................................... .................................... 14
B. Sejarah Singkat Penetapan Daerah Pengelolaan Penyu Hijau diPantai Pangumbahan ................... ......................................... .................. 15
C. Pengambilalihan Pengelolaan dan Penggantian Aset ............... .............. 15D. Penunjukan Dinas Kelautan dan Perikanan Sebagai Pengelola ............... 16E. Pencadangan Kawasan Penyu Pangumbahan Sebagai KKLD ................ 16F. Kegiatan Operasional Pelestarian Penyu Hijau di Pantai
Pangumbahan .......... ......................................... .................................... 17
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 23
A. Kesimpulan .............................. ......................................... ....................... 27B. Saran ....................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 29
LAMPIRAN ...................................................................................................... 31
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
9/69
ix
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Penyu hijau ................................ ......................................... ...................... 5
2. Peta lokasi penelitian ........................................ ...................................... 11
3. Struktur organisasi pengelola kkp pantai pangumbahan ................... ...... 17
4. Ruang penetasan (semi-alami) ................... ......................................... .. 21
5. Blong penetasan (semi-alami) ...................... ......................................... .. 22
6. Kandang penetasan (alami) .............................. ...................................... 22
7. Pemeliharaan tukik dalam bak ..................... ......................................... .. 23
8. Pelepasan tukik ............................... ............................... ......................... 24
9. Kepiting hantu (Ocypoda sp.) .................................................................. 24
10. Diagram persentase penetasan telur penyu hijau ................................ .. 25
11. Rata-rata telur penyu/ekor ............................... ...................................... 26
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
10/69
x
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Jenis vegetasi di pantai pangumbahan .......... ......................................... 32
2. Naskah kesepakatan bersama antara pemerintah daerahKabupaten sukabumi dengan CV. Daya bakti ......................................... 33
3. Keputusan bupati sukabumi tentang penunjukan dinas kelautan danPerikanan kabupaten sukabumi sebagai pengelola kawasanKonservasi penyu pantai pangumbahan ............................... .................. 36
4. Keputusan bupati sukabumi tentang pencadangan kawasan penyuPantai pangumbahan sebagai kawasan konservasi pesisir danPulau-pulau kecil (KKP3K) .......... ......................................... .................. 39
5. Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 7 tahun 1999
Tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa .................................... 43
6. Data peneluran penyu bulan februari 2012................................ ............. 56
7. Data peneluran penyu bulan maret 2012 ............................................... 57
8. Rata-rata penetasan telur penyu bulan februari-mei 2012 ....................... 58
9. Rata-rata telur penyu/ekor pada bulan februari-maret 2012 .................... 59
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
11/69
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang terdiri dari ribuan
pulau yaitu kira-kira 17,508 pulau dengan keadaan geografis dan topografi yang
berbeda. Dengan bentuk kepulauan dan perbedaan tersebut,sebenarnya
memberikan keuntungan tersendiri bagi jenis-jenis penyu laut untuk memilih
habitatnya disekitar pulau-pulau tertentu (Nuitja,1992).
Pantai Pangumbahan, merupakan salah satu pantai yang terletak di Desa
Pangumbahan, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi,Provinsi Jawa Barat,
merupakan salah satu Pantai di Indonesia yang mempunyai tempat atau habitat
yang baik bagi penyu untuk bertelur (Rahayu, 2008).
Di Sukabumi, hampir sepanjang pantai yang masih alami mungkin saja
dapat dijadikan sebagai tempat penyu mendarat untuk membuat sarang dan
bertelur. Namun yang terbaik, terbesar dan terkenal hanya terdapat di Pantai
Pangumbahan Desa Gunung Batu Kecamatan Ciracap. Bahkan Pantai
Pangumbahan ini termasuk pantai pendaratan penyu terbaik se pulau jawa
bahkan diakui secara internasional. Pantai Pangumbahan memiliki garis pantai
sepanjang sekitar 3.000 meter (Rahayu, 2008)
Penyu merupakan satwa liar sisa peninggalan jaman purba yang
dilindungi baik secara nasional, regional maupun internasional. Namun, populasi
dan kelangsungan hidupnya sangat terancam punah akibat berbagai
permasalahan. Dan, tindakan manusialah yang paling sangat serius mengancam
keberadaan penyu dibanding fenomena alam. Seperti diantaranya
pengunduhan/pengambilan telur penyu secara langsung dari sarang alaminya,
yang secara tidak disadari pengunduhan telur sama saja pembinsaan penyu itu
sendiri. Perburuan penyu untuk diambil daging dan bagian-bagian lainnya,
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
12/69
2
kerusakan lokasi tempat pendaratan untuk bertelur di pesisir pantai, juga
pengambilan ikan oleh nelayan dengan menggunakan jaring yang secara tidak
sengaja mengambil penyu. Dan semuanya itu terjadi dan dialami penyu di pantai
pendaratan dan peneluran Sukabumi (Rahayu, 2008)
Penyu laut termasuk ke dalam kelompok reptilia yang mempunyai daerah
jelajah yang sangat luas, yang mendiami laut tropis dan subtropis di seluruh
dunia. Penyu laut diperkirakan telah menghuni bumi ini lebih dari 100 juta tahun.
Oleh karena itu penyu laut dikenal sebagai fosil hidup. Penyu telah mengalami
beberapa adaptasi untuk dapat hidup di laut, diantaranya yaitu dengan adanya
tangan dan kaki yang berbentuk seperti sirip dan bentuk tubuh yang lebih
ramping untuk memudahkan mereka berenang di air. Penyu laut juga memiliki
kemampuan untuk mengeluarkan garam-garam air laut yang ikut tertelan
bersama makanan yang mereka makan dan juga kemampuan untuk tinggal di
dalam air dalam waktu yang lama selama kurang lebih 20-30 menit. Telinga
penyu laut tidak dapat dilihat, tetapi mereka memiliki gendang telinga yang
dilindungi oleh kulit. Penyu laut dapat mendengar suara-suara dengan frekuensi
rendah dengan sangat baik dan daya penciuman mereka juga mengagumkan.
Mereka juga dapat melihan dengan sangat baik di dalam air. Penyu laut memiliki
cangkang yang melindungi tubuh mereka dari pemangsa (Nuitja, 1992).
Ada tujuh spesies penyu di Dunia. Enam diantaranya ditemukan di
perairan Indonesia. yaitu: Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Lekang
(Lepidochelys olivacea), Penyu Tempayan (Caretta caretta), Penyu Hijau
(Chelonia mydas), Penyu Pipih (Natator depressa), Penyu Belimbing
(Dermochelys coriacea) (Nuitja, 1992).
Penyu hijau (Chelonia mydas) adalah salah satu dari enam spesies
penyu laut yang ada di perairan laut Indonesia. Sebagai spesies migran spesies
penyu paling intensif dieksploitasi masyarakat Indonesia. Populasi penyu
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
13/69
3
hijau.dikelompokkan sebagai endangered species dalam IUCN Red List yakni
spesies yang dalam waktu dekat sangat beresiko mengalami kepunahan. Pada
bulan Januari 1999 Pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan
Pemerintah No. 7 tahun 1999 yang melindungi penyu hijau. Pemerintah
Indonesia yang memiliki kewenangan mengelola spesies langka dan terancam
kepunahan gagal menghentikan eksploitasi penyu hijau. Indikasi kegagalan
Pemerintah ditunjukkan oleh penurunan populasi penyu hijau secara terus
menerus hingga saat ini. Penelitian ini dilakukan terhadap pengelolaan penyu
hijau yang dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam. Evaluasi pengelolaan penyu hijau
dengan menggunakan metode Multidimensional Scaling dimana setiap UPT
dibandingkan satu sama lain. Pemetaan permasalahan pengelolaan dan
penilaian kinerja pengelolaan dapat dilakukan. Metode ini dapat menentukan
UPT yang menempati posisi ideal dan UPT-UPT yang memerlukan penanganan
segera sebagai tindakan antisipasi dari permasalahan yang ada di lapangan
(Wibowo,2007)
Sejauh ini, informasi tentang habitat dan penangkaran penyu laut,
utamanya penyu Hijau di Pantai Pangumbahan, masih sangat terbatas, inilah
yang menjadi latar belakang mengapa saya mengambil judul penelitian ini.
B. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana model penangkaran
Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang ada di Pantai Pangumbahan, Kabupaten
Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Hasil penelitian ini kedepan, diharapkan dapat memberikan informasi
yang akurat mengenai model penangkaran yang baik bagi Penyu Hijau dalam
menjaga kelestarian Penyu tersebut.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
14/69
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengert ian Umum Penyu
Penyu laut hidup di perairan tropis dan subtropis. Diantara tujuh jenis
penyu yang dikenal didunia, lima jenis terdapat di Indonesia. Tiga diantaranya
mempunyai arti penting sejak dahulu yakni Penyu Hijau (Chelonia mydas),
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) dan Penyu Belimbing (Dermochelys
coriacea) jenis lainnya juga terdapat secara sporadic di Indonesia meskipun tak
banyak dikenal, yakni Penyu Lekang (Lephidochelys olivacea), Penyu Pipih
(Natator depressa) dan Penyu Tempayan (Caretta caretta) (Nontji, 1993).
Penyu (turtle) atau biasa juga disebut kura kura laut, tuturuga, dan hen
adalah salah satu fauna atau hewan purba yang hidup di laut. Penyu adalah
salah satu satwa peninggalan zaman purba yang sampai sekarang masih hidup.
Penyu tergolong reptil yang hidup di laut pada perairan dangkal hingga laut
dalam di perairan tropis dan subtropis. Penyu mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi. Karena itu penyu menjadi salah satu fauna laut yang paling banyak diburu
(Rebel, 1974).
Penyu meruapakan salah satu hewan yang populasinya terancam punah.
Penyu mempunyai karapas atau tempurung yang keras pada bagian dorsalnya
Secara morfologi, penyu mempunyai keunikan tersendiri dibandikangkan
hewan-hewan lainnya, tubuh penyu terbungkus oleh tempurung keras yang
berbentuk pipih serta dilapisi oleh zat tanduk. Tempurung tersebut mempunyai
fungsi yang sebagai pelindung alami dari predator. Sedangkan penutup pada
bagian dada dan perut disebut dengan plastron ciri khas penyu secara
morfologis terletak pada terdapatnya sisik infra marginal (sisik yang
menghubungkan antara karapas, plastron dan terdapat alat gerak berupa flipper.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
15/69
5
Flipper pada bagian depan berfungsi sebagai alat dayung dan flipper pada
bagian belakang befungsi sebagai alat gerak. (Nontji, 1993).
Penyu adalah satwa yang tetap bertahan hidup semenjak 100 juta tahun
yang lalu dan tetap lestari hingga sekarang. Namun dalam 50 tahun terakhir ini
populasi penyu di alam terus menurun dengan drastis dan dikhawatirkan akan
punah jika tidak ada upaya untuk melestarikannya (Nuitja, 1992). Adapun
klasifikasi Penyu hijau (Chelonia Mydas), sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub-phylum : Vertebrata
Class : Reptilia
Ordo : Testudinata
Sub-Ordo : Cryptodira
Family : Cheloniidae Gambar 1 : Penyu Hijau (Chelonia mydas)
Genus : Chelonia Sumber: www.googleimages.com
Species : Chelonia mydas (Linnaeus,1758)
Penyu laut termasuk ke dalam kelompok reptilia yang mempunyai daerah
jelajah yang sangat luas, yang mendiami laut tropis dan subtropis di seluruh
dunia., Penyu pada umumnya bermigrasi dengan jarak yang cukup jauh dengan
waktu yang tidak terlalu lama. Jarak 3.000 kilometer dapat ditempuh 58-73 hari
(Wibowo,2007).
Jenis penyu di dunia ada 7 jenis dan 6 di antaranya berada di Indonesia.
Sementara jenis yang biasa ditemukan di Kepulauan Derawan ada 2 jenis, yaitu
jenis penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys
imbricata).
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
16/69
6
B. Peraturan Tentang Penyu
Pemanfaatan penyu di berbagai tempat di dunia telah lama dilakukan,
baik untuk dimakan maupun untuk perhiasan, seperti gelang, cincin, tusuk
konde, sisir dan lainnya. Di Negara China, selain untuk dimakan dan souvenir,
bagian-bagian tubuh penyu, seperti daging biasa dimanfaatkan untuk bahan
obat-obatan (Erkyansyah,1997).
Sejak tahun 1950 hingga tahun 2000 pemanfaatan telur penyu diatur
dengan peraturan daerah dan surat keputusan bupati dengan sistem lelang dan
kewajiban untuk menyisakan telur penyu untuk pembibitan. Pada tahun 2001
merupakan awal dari proteksi pulau penghasil telur penyu yang juga merupakan
awal dari kegiatan kawasan konservasi laut pada tahun 2005 melalui Peraturan
Bupati Berau (Yulanda,2007).
Penetapan KKL bukan berarti menghentikan pemanfaatan penyu dan
hasil laut lainnya. Pemanfaatan langsung segala bagian tubuh penyu sudah
dilarang sebelumnya oleh aturan yang lebih tinggi (UU 5/90 dan PP 7/99).
Keinginan pemerintah kabupaten Berau menetapkan kawasan perairan
kepulauan Derawan sebagai KKL tentu bukan tanpa pertimbangan. Apalagi
daerah ini merupakan daerah objek kunjungan wisata di Kalimantan Timur yang
kaya akan keindahan bawah laut. Pemanfaatan secara lestari terutama manfaat
tidak langsung menjadi pertimbangan utama, dan tentunya harus terus didukung
oleh semua pihak sehingga keputusan membuat KKL menjadi titik tolak
peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan, bukan
malah menyengsarakan. Peningkatan kunjungan wisata, peningkatan hasil
tangkapan nelayan dan persepsi positif dunia terhadap pengelolaan adalah
tujuan jangka panjang. Beberapa yang perlu menjadi pertimbangan untuk
pengelolaan KKL di Kabupaten Berau adalah sosialisasi kepastian status dan
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
17/69
7
peran masyarakat, pelibatan masyarakat, peningkatan kelembagaan dan SDM
masyarakat, dukungan lembaga lain untuk sukses pengelolaan dan pengamanan
kawasan, seperti BKSDA, TNI AL, Bea Cukai, NGO dan lainnya. Tertangkapnya
beberapa kapal pembawa penyu menandakan bahwa kawasan ini belum aman,
dan tentu (mungkin) tidak terjadi sekali dalam setahun. Keberhasilan program
KKL bukan sekadar menangkap penyu mati di dalam kapal asing. Akan lebih
baik jika tidak pernah ada kapal tertangkap membawa penyu. Namun tentu lebih
baik dari pada tidak sama sekali (Wibowo,2007).
Dalam rangka pengelolaan dan pelestarian penyu maka perlu dilakukan
kegiatan perlindungan habitat, mengurangi atau menghentikan pengambilan telur
serta mengurangi penangkapan penyu untuk kepentingan komersial, dimana
kegiatan ini hanya dapat dilakukan melalui koordinasi dari semua pihak baik
pemerintah, dunia usaha, lembaga masyarakat, perguruan tinggi serta
masyarakat setempat agar sinergi satu dengan lainnya (Dahuri,2003).
Penyu telah terdaftar dalam daftar Apendik I Konvensi Perdagangan
Internasional Flora dan Fauna Spesies Terancam (Convention on International
Trade of Endangered Species - CITES). Konvensi tersebut melarang semua
perdagangan internasional atas semua produk/hasil yang berasal dari penyu,
baik itu telur, daging, maupun cangkangnya (Wibowo,2007).
C. Siklus Hidup Penyu
Penyu laut, terutama penyu hijau, adalah salah satu dari beberapa hewan
yang memakan lamun. Seperti tumbuhan normal lainnya, lamun perlu untuk
dipangkas pendek agar sehat dan membantunya untuk tumbuh lebih subur di
dasar laut ketimbang bila daunnya panjang. Tindakan penyu laut yang
memotong lamun membantu untuk mempertahankan kesuburan padang lamun.
Setelah beberapa dekade, telah terjadi penurunan populasi padang lamun,
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
18/69
8
penurunan ini mungkin disebabkan karena populasi penyu laut yang ikut
mengalami penurunan (Nuitja,1992).
Laut yang dipilih oleh penyu hijau sebagai habitat pendewasaan,
perkawinan dan mencari makanan adalah laut yang tidak terlalu dalam dimana
masih ditemukan rumput laut dan ganggang laut di dasar perairannya yaitu pada
landas benua (Nuitja, 1992).
Penyu adalah jenis satwa yang organ penciumannya berkembang baik,
dan berdasarkan hasil penelitian beberapa ahli ada beberapa faktor abiotik yang
dapat mempengaruhi pemilihan lokasi peneluran, antara lain kelembutan pasir,
ketinggian pantai, geomorfologi dan dimensi pantai, bentuk batimetrik pantai,
tekstur pasir pantai, dan cahaya lampu pada lokasi pantai (Nuitja, 1992).
D. Habitat Peneluran
Penyu hijau sangat selektif dalam memilih pantai peneluran. Pantai
peneluran penyu mempunyai ciri khusus, pantai landai berpasir tebal dengan
latar belakang hutan lebat dan jenis Pandanus tectorius memberikan naluri
kepada penyu hijau untuk bertelur. Kondisi tersebut dapat ditemui di Pantai
Blambangan Taman Nasional Alas Purwo dan Pantai Sukamade Taman
Nasional Meru Betiri di Jawa Timur, Pantai Pangumbahan dan Pantai Citirem
di Jawa Barat (Ahmad, 1983).
Menurut Yusuf (2000), pasir pada pantai peneluran berpindah akibat
gerakan arus air laut maupun terpaan ombak. Fenomena perpindahan pasir ini
menyebabkan pantai bertambah tinggi dan luas, bila banyaknya pasir yang
tertimbun lebih banyak. Sebaliknya pantai akan berkurang dan menyempit bila
banyaknya pasir yang terkikis lebih banyak. Ukuran pasir yang halus akan
sangat mudah berpindah. Bila pasir di pantai berkurang maka pantai berpasir
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
19/69
9
akan berubah menjadi pantai pecahan karang yang sama sekali tidak cocok
untuk penetasan telur penyu.
Sebagian besar populasi penyu di alam melakukan migrasi. Migrasi
penyu terutama disebabkan oleh faktor gametik dan alimental. Naluri untuk
kawin dan bertelur menyebabkan penyu bermigrasi dari habitat pakannya
menuju kawasan peneluran (pengaruh gametik), kemudian kembali ke habitat
pakannya (pengaruh alimental) (Nuitja, 1992).
Tingkat salinitas yang tinggi dapat membahayakan perkembangan embrio
penyu dan cenderung dapat menunrunkan tingkat kesuksesan penetasan sebab
menyebabkan keracunan pada anakan penyu (Ewart, 1979). Salinitas juga
mempengaruhu aktifitas biologis yaitu pada proses osmoregulasi. Penyu
merupakan hewan poikilotermal, suhu tubuh mengikuti suhu lingkungan sampai
batas tertentu (Jackson, 1979).
Menurut Wisnujhamidaharisakti (1999), Pertumbuhan embrio sangat
dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu antara
24–33 0C, dan akan mati apabila di luar kisaran suhu tersebut. Kondisi
lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan embrio sampai penetasan,
antara lain suhu pasir.
Cuaca juga menjadi salah satu faktor bagi penyu untuk bertelur, dimana
Cuaca dan laut memiliki interaksi yang erat karena perubahan cuaca dapat
mempengaruhi kondisi laut. Angin sangat menentukan terjadinya gelombang dan
arus di perrnukaan laut, sedangkan curah hujan dapat menentukan salinitas air
laut. Sebaliknya proses fisis di laut seperti te rjadinya air naik (upwelling)bisa
mempengaruhi keadaan cuaca setempat (Nontji, 1987).
Tingkah laku bertelur penyu sangat berkaitan dengan faktor cuaca.
Menurut Nuitja (1992), di Pangumbahan penyu hijau akan muncul tidak dari
hempasan ombak jika angin bertiup kencang, terutama pada bulan pumama dan
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
20/69
10
bulan mati. Pada musim barat angin bertiup kencang dan kadang kala diserta
dengan badai yang dahsyat. Angin yang kencang menyebabkan ombak menjadi
besar dan menerbangkan butiran-butiran pasir dan benda-benda ringan lainnya
di sepanjang pantai. Dalarn periode itu daerah peneluran akan lebih keras dan
lebih sulit untuk digali akibat curah hujan yang tinggi. Kesulitan penggalian dan
hujan yang jatuh terus-menerus memberikan pengalaman bagi penyu untuk
menunda proses bertelumya.
Penyu (turtle) juga sangat peka terhadap kenaikan paras muka air laut.
Bukan apa-apa, kenaikan paras muka air laut dapat menggenangi hamparan
pasir yang digunakan sebagai tempat bertelur dan menetaskan (nesting) telur-
telur penyu. Jadi kenaikan paras muka air dapat mempersempit aktivitas
reproduksi penyu (Subandono et al, 2009).
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
21/69
11
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 februari sampai 31 maret
2012, di Pantai Pangumbahan, Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap,
Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Gambar 2. Peta lokasi Penelitian.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
22/69
12
B. Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini adalah, kamera DSLR
Nikon D3000 yang berfungsi untuk mendokumentasikan proses kegiatan
penelitian, Pensil/pulpen untuk mencatat hasil-hasil penelitian yang diperoleh di
lapangan, buku catatan sebagai tempat mencatat hasil-hasil penelitian yang
diperoleh di lapangan, dan kuisioner berfungsi untuk memperoleh informasi dari
masyarakat dilokasi penelitian.
C. Aspek yang Diamati
Adapun aspek yang akan diamati pada penelitian ini yaitu kegiatan
pelestarian atau proses penangkaran penyu hijau (Chelonia mydas) meliputi
berbagai proses :
1. Pengamanan Penyu yang naik untuk bertelur,
2. Pengamanan telur,
3. Penetasan telur,
4. Pemeliharaan tukik,
5. Pelepasan tukik.
D. Teknik Pengumpulan Data
Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini dalam pengumpulkan
data adalah studi kasus melalui kegiatan :
1. Observasi, melakukan kunjungan ke lokasi penelitian untuk mengamati
kondisi alam dan sosial budaya masyarakat.
2. Daftar pertanyaan, membuat selebaran yang berisikan beberapa
pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian.
3. Dokumentasi, merekam kondisi alam pantai dalam bentuk foto.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
23/69
13
4. Wawancara, melakukan tanya jawab langsung dengan masyarakat sekitar
untuk melengkapi data primer dan data skunder.
5. Metode Pengamatan yang digunakan dalam mengamati penyu yang naik
bertelur dengan metode pengintaian/pemantauan langsung.
a. Data primer meliputi promosi dan publikasi Pantai Pangumbahan, kondisi
kegiatan penangkaran (penanganan telur, penetasan, pemeliharaan,
pelepasan tukik) penyu hijau.
b. Data skunder meliputi kondisi fisik oseanografi, morfologi pantai, kondisi
dasar perairan (tersedianya makanan tukik berupa lamun).
E. Analisis Data
Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis deskriptif
kualitatif dengan bantuan table dan gambar-gambar.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
24/69
14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondis i Umum Lokasi
Berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Kabupaten
Sukabumi dengan CV. Daya Bakti Nomor: 660.1/Pj-13-Huk/2002 tanggal 29 Juli
2002 tentang pengelolaan dan Pelestarian Penyu di Kawasan Pantai
Pangumbahan Desa Gunungbatu Kecamatan Ciracap Kabupaten Sukabumi,
kawasan persarangan dan peneluran penyu pantai Pangumbahan terletak di
Desa Pangumbahan (salah satu desa hasil pemekaran desa Gunungbatu),
Kecamatan Ciracap Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dengan panjang pantai
2.300 m dan lebar 500 m dari pasang tertinggi. Areal tersebut dalam penguasan
Pemerintah Kabupaten Sukabumi, dengan batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Perkebunan Wira Citespong / Sungai Cipanarikan
- Sebelah Barat : Samudra Hindia
- Sebelah Timur : Perkebunan Wira Citespong / Tambak Udang PT.BLA
- Sebelah Selatan : Green Belt (Sungai Cibalandongan).
Daerah Pangumbahan beriklim tropis dengan suhu berkisar antara
27o –32oC dan mempunyai curah hujan berkisar antara 1836-4403 mm/tahun,
dengan rata-rata 67-151 hari hujan. Bulan terbasah terjadi sekitar bulan
Desember dan bulan terkering terjadi sekitar bulan Agustus.
Pantai Pangumbahan mempunyai ketinggian 0-30 m dari permukaan laut,
memiliki tekstur pasir yang sangat halus dan berwarna putih. Diameter efektif
butiran pasir berkisar antara 0,2-0,5 mm.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
25/69
15
Jenis vegetasi (lampiran 1), yang tumbuh di pantai bagian depan adalah
jenis pohon Katang-katang (Ipomea pascaprae), kemudian diikuti Pandan Laut
(Pandanus tectorius), Ketapang (Terminalia catappa), Nyamplung (Callophyllum
inophyllum), dan pohon Waru (Hibiscus tilaceus).
B. Sejarah Singkat Penetapan Daerah Pengelolaan Penyu Hijau di Pantai
Pangumbahan
Pengelolaan pelestarian penyu di 9 lokasi peneluran penyu di wilayah
kabupaten Sukabumi telah dimulai sejak tahun 1973 oleh CV. Daya Bakti. Pada
tahun 1981, delapan lokasi peneluran penyu diserahkan pengelolaannya kepada
PHPA Departemen Kehutanan sebagai lokasi pelestarian penyu tanpa adanya
pemenfaatan telur. Delapan lokasi tesebut adalah (1) Citirem (2) Cibulakan (3)
Legok Matahiang (4) Ciujungan (5) Karang Dulang (6) Cebek (7) Batu Handap,
dan (8) Cikepuh. Sedang satu lokasi lagi yaitu Pantai Pangumbahan
pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan adanya
pemanfaatan sebagian telur untuk biaya pengelolaan.
Pantai Pangumbahan berada di luar daerah Suaka Alam dengan HPL
seluas 58,4367 Ha. Sampai dengan tahun 1979 jangka waktu pengelolaan setiap
1 tahun sekali diperbaharui, namun sejak tahun 1980 dikelola dengan jangka
waktu 10 tahunan hingga tahun 2002. kemudian di era otonomi daerah
pengelolaan dilakukan selama 15 tahun (tahun 2002 – 2017).
C. Pengambilalihan Pengelolaan dan Penggantian Aset
Mulai bulan Agustus 2008 pengelolaan Kawasan Konservasi Penyu
di Pantai Pangumbahan diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi
berdasarkan Kesepakatan Bersama Antara Pemerintah Daerah Kabupaten
Sukabumi dengan CV Daya Bakti No: 660.1/PJ.3425-HUK/2008 – No: 29/DB-
UPP/XII/2008 tanggal 18 Desember 2008 (lampiran 2).
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
26/69
16
Pengantian Aset milik CV Daya Bakti yang ada di dalam kawasan
konservasi penyu Pantai Pangumbahan dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten dengan mekanisme penilaian aset oleh Konsultan Jasa Penilai Publik
yaitu Amin. Nirwan. Alfiantori & Rekan yang beralamat di Graha Sucofindo
Gedung C, Jl. Raya Pasar Minggu Kav. 34 Jakarta 12780. Adapun pembayaran
nilai penggantian aset dilakukan melalui APBD Kabupaten Sukabumi Tahun
Anggaran 2009.
Pada Tahun Anggaran 2010, aset-aset berupa bangunan yang diperoleh
melalui Take Over dari CV Daya Bakti telah diajukan untuk dihapuskan dari
daftar Aset Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi berdasarkan surat Kepala
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi Nomor: 028/537/PSDKP
tanggal 20 Juli 2010 perihal Usulan Penghapusan Aset, karena kondisi
bangunannya rusak berat dan membahayakan pengguna. Namun hingga saat
ini, berita acara pengahapusan aset dimaksud belum terbit.
D. Penunjukan Dinas Kelautan dan Perikanan Sebagai Pengelola
Dalam rangka pengelolaan konservasi penyu dan habitatnya di Pantai
Pangumbahan, Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi menunjuk Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi sebagai pengelola berdasarkan
Surat Keputusan Bupati Sukabumi Nomor: 523/Kep.638/Dislutkan/2008 tentang
Penunjukan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi sebagai
pengelola kawasan penyu pantai Pangumbahan (lampiran 3).
E. Pencadangan Kawasan Penyu Pangumbahan sebagai KKLD
Dalam rangka pembentukan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)
mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, maka Bupati Sukabumi menerbitkan
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
27/69
17
Surat Keputusan Nomor : 523/Kep.639-Dislutkan/2008 tentang Pecadangan
Kawasan Penyu Pantai Pangumbahan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Kabupaten Sukabumi dengan Status “Taman
Pesisir” (lampiran 4).
F. Kegiatan Operasional Pelestarian Penyu Hijau di Pantai Pangumbahan
Terhitung sejak bulan Agustus 2008 pengelolaan Konservasi Penyu dan
habitatnya di Pantai Pangumbahan dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Sukabumi berdasarkan Surat Keputusan Bupati Sukabumi Nomor:
523/Kep.638/Dislutkan/2008 tentang Penunjukan Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Sukabumi sebagai pengelola kawasan penyu pantai Pangumbahan.
Secara operasional, pengelolaannya dibawah kendali Bidang PSDKP
(Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan), sedangkan secara teknis
di lapangan dilaksanakan oleh Koordinator Lapangan (1 orang), Pengawas
Lapangan (4 orang), Karyawan Harian Lepas (12 orang) dan Pemandu Wisata (5
orang). Secara struktur, organisasi ini disajikan dalam sebuah bagan struktur
pada (Gambar 3).
Gambar 3. Struktur organisasi pengelola kawasan konservasi penyu
Taman Pesisir Pantai Pangumbahan.
Kepala Dinas K.P*
Kepala Bidang
Koordinator
Pengawas
Pemandu WisataTenaga Harian Lepas
KETERANGAN
- KP : Kelautan dan Perikanan
- SDKP : Sumber Daya Kelautan dan
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
28/69
18
Demi menjaga kelestarian Penyu Hijau (Chelonia mydas), ada beberapa
tahapan pekerjaan/kegiatan dalam pengelolaan pelestarian penyu di Pantai
Pangumbahan, diantaranya yaitu: Pengamanan penyu yang naik untuk bertelur,
pengamanan telur, penetasan telur, Pemeliharaan anak penyu (Tukik) sampai
dengan pelepasan tukik ke laut.
1. Pengamanan Penyu yang Naik Untuk Bertelur
Kawasan peneluran penyu pantai Pangumbahan sepanjang 2.300 m
terbagi menjadi enam pos penjagaan. Masing – masing pos dijaga oleh satu
orang petugas. Setiap penyu yang naik ke darat diawasi oleh petugas mulai
penyu tersebut muncul dari air hingga selesai bertelur. Tujuan dari pengawasan
adalah untuk melindungi penyu dari gangguan binatang lain maupun manusia,
sehingga penyu tersebut gagal bertelur. Tidak semua penyu yang naik ke pantai
selalu bertelur, ada pula penyu yang gagal bertelur akibat adanya gangguan dari
sekelilingnya baik berupa gangguan dari binatang lain, manusia maupun cahaya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Suwelo (2005), yang menyatakan bahwa jika
ada sedikit ganguan seperti cahaya, suara bising, aktifitas manusia maupun
kayu-kayu penghalang, maka penyu akan merasa terkejut dan terganggu
sehingga tidak jadi bertelur.
2. Pengamanan Telur
Proses lamanya penyu bertelur mulai dari penyu mendarat hingga
kembali lagi ke laut dapat mencapai 2-3 jam tergantung kondisi media pasir
tempat bersarang. Menurut Nuitja (1992), apabila curah hujan yang sangat
rendah maka akan meningkatkan suhu pasir sehingga dapat menyulitkan penyu
untuk membuat sarang, hal ini sependapat dengan Rebel (1974), yang
menyatakan bahwa banyaknya false crawl atau tidak bertelurnya penyu hijau di
pulau Ascension Brazil karena sarang yang digali terus menerus ambruk karena
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
29/69
19
suhu yang tinggi. Kondisi yang sangat rawan dari gangguan adalah pada saat
penyu naik ke darat hingga selesai membuat sarang. Setelah penyu mulai
meletakkan telurnya di sarang, penyu tersebut tidak lagi menghiraukan
gangguan dari manapun dan dalam bentuk apapun hingga bertelur selesai.
Pengambilan telur dari lubang kecil sarang alami dilakukan pada saat penyu
mengeluarkan telur dengan cara membuat atau memperbesar sisi lubang kecil
di bawah salah satu kaki belakang penyu yang tidak dipergunakan untuk
menahan tubuh saat penyu bertelur. Kegiatan ini di daerah Pangumbahan
disebut Nande. Pekerjaan ini tidak memakan waktu lama, ketika penyu selesai
bertelur dan akan menutup lubang kecil, maka selesai pula pekerjaan ini.
Selanjutnya penyu dibiarkan menutup sarangnya dan kembali lagi ke laut. Cara
ini, apabila dilakukan dengan teknik yang benar tidak akan mengganggu
kebiasaan biologis penyu untuk menutup lubang sarang dan membuat sarang
palsu. Telur-telur yang didapat dari sarang alami, dihitung dan disimpan dalam
ember untuk dibawa ke gudang di tempat penetasan (lampiran 5). Biasanya
telur-telur tersebut ditanam pada sarang-sarang buatan yang ada didalam blong
(penetasan di dalam ruangan) maupun sarang-sarang buatan yang ada di pantai
(penetasan di luar ruangan) pada pagi harinya selang 2-10 jam dari saat
pengumpulan telur.
3. Penetasan Telur
Kegiatan penetasan telur merupakan salah satu tahapan pekerjaan yang
sangat penting, karena penetasan telur merupakan awal terbentuknya individu.
Ada dua sistem penetasan yaitu : semi alami dan Alami
Semi alami
Pada penetasan semi-alami ada dua cara yang dilakukan yaitu, dengan
memindahkan telur ke sarang buatan yang sudah dibuatkan ruangan
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
30/69
20
(Gambar 4) dan blong penetasan (Gambar 5). Sarang peneluran semi-alami
dalam ruangan memiliki kelebihan diantaranya yaitu, dapat terhindar dari
predator, pencurian, dan juga, terhindar dari air pasang. Hal ini sesuai dengan
pendapat (Agus,2007), yang menyatakan bahwa proses penetasan yang
dilakukan di dalam ruangan akan mengamankan telur penyu dan tukik yang
baru menetas dari ancaman predator atau pemangsa. Sedangkan pada blong
penetasan kegiatatnnya diawali dari pengisian blong karton berbentuk silinder
yang berdiameter 40 cm dan tinggi 60 cm, dengan pasir pantai pangumbahan
yang memiliki kelembaban cukup kemudian dipadatkan selanjutnya digali
dengan tangan untuk membuat lubang sarang buatan. Telur-telur dimasukkan
ke dalam lubang sarang rata-rata 100 butir per lubang, kemudian lubang sarang
ditutup kembali dengan pasir selanjutnya blong karton ditutup rapat dengan
triplek. Masa inkubasi telur di dalam wadah hingga menetas rata-rata 55 sampai
60 hari (menurut Bp. Ma’mun petugas penetasan) Tanda-tanda untuk
mengetahui bahwa telur penyu sudah mulai menetas adalah timbulnya bunyi
gerakan tukik yang ada di dalam wadah blong. Model penetasan seperti ini juga
memiliki kelebihan yang sama dengan penetasan semi-alami di dalam ruangan
akan tetapi dalam proses penetasan yang dilakukan pada blong juga memiliki
kekurangan, diantaranya pada saat mimindahkan telur dari sarang asli ke blong
penetasan harus dengan kehati-hatian karena pada saat di pindahkan posisi
telur tidak boleh terbolak-balik agar telur tersebut tidak rusak sehingga gagal
menetas.
Alami
Kegiatan penetasan secara alami di pantai (di luar ruangan), diawali dari
pembuatan kandang pengaman telur (Gambar 6), yang ditetaskan dari
gangguan predator berupa binatang maupun manusia. Bahan dan ukuran
kandang bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan jumlah telur yang akan
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
31/69
21
ditetaskan. Di pantai Pangumbahan, kandang terbuat dari bambu dengan
ukuran 6x6 m dan 6x10 m dengan ketinggian 3 meter. Posisi kandang
diletakkan di atas pasir pantai yang memiliki kelembaban cukup dan agak jauh
dari pepohonan. Di dalam kandang tersebut dibuat lubang-lubang sarang
buatan dengan kedalaman 60 sampai 80 cm dan jarak antar lubang rata-rata 20
sampai 25 cm. Kemudian telur-telur penyu diletakkan ke dalam lubang sarang
rata-rata 100 butir persarang, dan selanjutnya lubang yang sudah diisi telur
ditutup dengan pasir. Masa inkubasi telur hingga menetas kurang lebih 48
sampai 55 hari (menurut Bp. Ma’mun petugas penetasan). Perbedaan waktu
masa inkubasi diduga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban sarang. Ciri-ciri
bahwa telur yang ada di dalam sarang sudah menetas ditandai dengan
menurunnya permukaan pasir pada lubang sarang, hal ini sesuai dengan
pendapat Agus (2007) bahwa salah satu tanda apabila telur telah menetas,
yaitu pada saat pasir yang terdapat pada sarang penangkaran menurun. Namun
berdasarkan hasil wawancara dengan petugas penetasan (Bp. Ma’mun),
mengatakan bahwa model penengkaran seperti ini sudah hampir satu tahun
ditinggalkan, kerena telur-telur yang ditetaskan di tempat tersebut banyak yang
dirusak dan dimakan oleh predator.
Gambar 4. Ruang Penetasan (Semi-alami)
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
32/69
22
Gambar 5. Blong penetasan (Semi-alami)
Gambar 6. Kandang Penetasan (Alami)
4. Pemeliharaan Tukik
Masa pemeliharaan tukik sebelum dilepas ke laut diupayakan tidak
terlalu lama yang dapat berakibat hilangnya sifat biologis tukik (Gambar 7). Masa
pemeliharaan tukik di dalam bak pemeliharaan paling lama berkisar 2-3 hari.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
33/69
23
Apabila tukik-tukik tersebut dipelihara lebih lama akan menghilangkan sifat
alamiah tukik (sifat liar dan berenang cepat ke laut), sehingga pada saat dilepas
ke laut tukik akan mengalami kebingungan dan sulit mencari makan sendiri
(jinak).
Gambar 7. Pemeliharaan tukik di dalam bak
5. Pelepasan Tukik (Gambar 8)
Pelepasan tukik biasanya dilakukan pada pagi atau sore hari pada saat
sinar matahari tidak terlalu terik. Ketika tukik-tukik dilepaskan di pantai, dia akan
menuju ke laut dengan sendirinya sesuai dengan naluri alamiahnya yaitu
merespon sinar matahari dan gravitasi bumi. Apabila pelepasan tukik dilakukan
pada malam hari, tukik-tukik tersebut akan pasif dan tidak berjalan sendiri
menuju ke laut, akan tetapi akan berjalan menuju suatu titik dimana terdapat
sinar lampu/senter.
Hal yang perlu diperhatikan pada saat penebaran tukik adalah adanya
binatang predator yang sangat buas yaitu kepiting hantu atau Ocypoda, di
daerah Pangumbahan disebut Kayakas (Gambar 9). Kepiting hantu akan
membunuh setiap tukik yang berjalan di atas pasir sebelum masuk ke dalam
kolom air dengan cara mengeroyok dan menggigit dengan capitnya. Setelah
tukik tersebut lumpuh ditinggalkannya, lalu kepiting mencari mangsa lainnya
hingga seluruh tukik mamasuki kolom air.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
34/69
24
Untuk menjaga agar tukik yang dilepaskan ke laut terhindar dari
gangguan predator, pelepasan tukik diupayakan sedekat mungkin dengan kolom
air, menghalau gerombolan kepiting yang akan menyerang, hingga seluruh tukik
masuk ke laut. Di dalam laut pun tukik tidak luput dari ancaman predator berupa
ikan-ikan besar yang siap memangsanya.
Gambar 8. Pelepasan tukik
Gambar 9. Kepiting Hantu (Ocypoda sp.)
G. Persentase dan Rata-Rata Penetasan Telur Penyu
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan
penetasan telur penyu hijau (Chelonia mydas) dari bulan Februari-Mei 2012 di
Pantai Pangumbahan disajikan dalam tebel (Lampiran 6). Berikut diagram
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
35/69
25
batang persentase penetasan telur penyu hijau (Chelonia mydas) pada bulan
Februari-Mei 2012 (Gambar 10).
Gambar 10. Diagram persentase penetasan Telur Penyu Hijau
Berdasarkan Gambar 10, terlihat bahwa persentase penetasan sejak
bulan Februari-Mei 2012 pada sarang penetasan yang semi-alami (ruangan dan
blong) tingkay penetasannya tidak jauh berbeda, hal ini dikarenakan
penangkaran pada masing-masing sarang semi-alami mengalami perlakuan
yang sama yaitu dilakukan di dalam ruangan dan jauh dari ganguan predator dan
hal-hal yang manggangu telur dalam menetas. Hal ini dibenarkan oleh (Suwelo,
2005), bahwa jika ada gangguan, baik itu dari aktifitas manusia maupun
predator, maka telur penyu akan menjadi rusak dan gagal menetas.
Adapun rata-rata jumlah telur yang dihasilkan seekor penyu yang naik
untuk bertelur di Pantai Pangumbahan pada bulan Februari-Mei 2012 dapat
dilihat pada tabel (Lampiran 8), dan disajikan pada gambar 11.
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.0099.78 99.87 99.99 99.96 100 100 99.93 99.96
p e r s e n t a s e p e n e t a s a n ( % )
Ruangan
Blong
FEBRUARI MARET APRIL MEI
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
36/69
26
Gambar 11. Rata-rata Telur Penyu/Ekor
Dari gambar 11, dapat kita lihat rata-rata telur penyu/ekor yang paling
tertinggi terdapat pada bulan April, ini dikarenakan pada bulan tersebut intensitas
hujan rendah dan juga merupakan musim penyu bertelur. Hal ini sesuai dengan
pendapat (Nuitja, 1992), yang mengatakan bahwa musim peneluran penyu
terdapat pada bulan April – September. Sedangkan yeng terendah terdapat
pada bulan Februari, hal ini tidak lepas dari sedikitnya penyu yang naik bertelur
pada bulan itu dapat dilihat pada lampiran 6, hal yang membuat kurangnya
penyu naik bertelur pada bulan itu dikarenakan faktor intensitas hujan yang
sangat tinggi, ini sejalan dengan pendapat (Agus, 2007), yang menyatakan
bahwa apabila intensitas dan curah hujan yang tinggi akan meningkatkan
kepadatan pasir, sehingga penyu akan kesulitan dalam membuat sarang.
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
FEBRUARI MARET APRIL MEI
FEBRUARI = 85.66
MARET = 87.30
APRIL = 88.20
MEI = 86.86
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
37/69
27
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang penangkaran penyu hijau (Chelonia
mydas) di Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi dapat disimpulkanbahwa :
A. Kes impulan
1. Terdapat dua model penangkaran yang ada di Pantai Pangumbahan, yaitu
semi-alami dan alami. Semi-alami meliputi penetasan yang dilakukan didalam
ruangan dan blong, dan alami dilakukan di kandang buatan yang terdapat di
pesisir pantai.
2. Penetasan yang dilakukan didalam ruangan dan didalam blong memiliki
tingkat penetasan yang tidak jauh berbeda.
3. Model penangkaran alami sudah ditinggalkan sejak tahun 2010 lalu, karena
banyaknya telur yang gagal menetas, akibat gangguan dari predator.
4. Persentase tertinggi rata-rata telur penyu/ekor terdapat pada Bulan April yaitu
88,20 %, sedangkan yang terendah pada bulan Februari yaitu 85,66 %
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
38/69
28
B. Saran
1. Penambahan tenaga ahli dalam penangkaran penyu hijau, agar proses
penangkaran bisa berjalan maksimal
2. Sosialisasi tentang pelestarian penyu hijau perlu adanya agar masyarakat
dapat sadar dan bisa ikut menjaga kelestarian Penyu tersebut.
3. Perlu dilakukan lagi penelitian lebih lanjut mengenai penangkaran penyu
hijau di Pantai Pangumbahan.
4. Pengoptimalan penetasan telur semi alami (dalam ruangan).
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
39/69
29
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, MY. 1983. Penetasan Semi Alamiah dan Pertumbuhan Embrio PenyuDaging (Chelonia mydas) di Pantai Citirem, Sukabumi. Karya Ilmiah.
Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Agus. 2007. Penangkaran Penyu. Angkasa. Bandung.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset PembangunanBerkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Erkyansyah.1997. Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas L.) Semi Alamipada Dua Pasir Yang Berbeda di Pantai Bandulu Kabupaten Anyer, JawaBarat. Skripsi. Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta.
Ewart. M. A. 1979. The embryo and its eggs: Development and Natural History.H. 333 – 416. M. Harkss dan H. Morlock (Eds) Turtles, Perspective and
Research. John wiley and Jons, Inc – New York.
Jackson. C. G. 1979. Cardiovaskular System. In Turtle Perspective AndResearch. A Wiley-Interscience. Publication. New york.
Kordi. K. M. Ghufran H & Tancung Andi Baso. 1991. Pengelolaan Kualitas airdalam budidaya perairan. Rineka Cipta. Jakarta.
Nontji. A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Nuitja, I. N. S. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. IPB Press.
Bogor.
Nuitja. I. N. S & I. Uchida. 1983. Studies In The Sea Turtle-II: The Nesting Site Of
Characteristics Of The Hawksbill And Green Turtle. Laboratorium Ilmu-
Ilmu Kelautan, Universitas Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Ancol.
Jakarta
Rebel, P. T. 1974. Sea Turtle, Revised Edition. University of Miami Press.
Florida.
Subandono D. Budiman, Firdaus A. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim Di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. PT. Sarana Komunikasi. Bogor
Suwelo, I. S. 2005. Konservasi Penyu Dan Habitatnya (Perlindungan,
Pengawetan dan Pemanfaatan Secara Lestari). Yayasan Kelestarian
Penyu Indonesia. Bogor.
Wibowo,E. T. 2007. Evaluasi Pengelolaan Penyu Hijau(Chelonia midas) di
Indonesia. Berkala Ilmiah Biologi.
Wibowo,E. T. 2007. Rancangan Pengelolaan Penyu Hijau(Chelonia midas),(kasus kepulauan derawan). Institut Pertanian Bogor.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
40/69
30
Wisnujhamidaharisakti. D. 1999. Penetasan Semi Alami Telur Penyu Sisik(Eretmochelys Imbricata) Di Pulau Segamat Besar Kabupaten LampungTengah. Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan InstitutPertanian Bogor. Bogor.
Yulanda, D. A, Dkk. 2007. Studi Karakteristik Fisik dan Vegetasi PantaiPeneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) Pantai Panarikan-Tegal SerehTasikmalaya, Jawa Barat. Skripsi. FPIK Universitas DiponegoroSemarang.
Yusuf. A. 2000. Mengenal Penyu. Yayasan Alarn Lestari. Jakarta.
.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
41/69
31
Lampiran
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
42/69
32
Lampiran 1. Jenis Vegetasi di Pantai Pangumbahan
Distribusi Bibit Pandan Laut ke pantai Distribusi Bibit Ketapang dan Nyamplung
Kondisi Vegetasi di Pantai Pangumbahan
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
43/69
33
Lampiran 2. Naskah Kesepakatan Bersama Antara Pemerintah Daerah
Kabupaten Sukabumi dengan CV. Daya Bakti
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
44/69
34
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
45/69
35
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
46/69
36
Lampiran 3. Keputusan Bupati Sukabumi tentang Penunjukan Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Sukabumi Sebagai Pengelola Kawasan
Konservasi Penyu Pantai Pangumbahan.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
47/69
37
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
48/69
38
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
49/69
39
Lampiran 4. Keputusan Bupati Sukabumi tentang Pencadangan Kawasan Penyu
Pantai Pangumbahan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (KKP3K).
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
50/69
40
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
51/69
41
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
52/69
42
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
53/69
43
Lampiran 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999
Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 7 TAHUN 1999
TENTANGPENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya alam yang tidak
ternilai harganya sehingga kelestariannya perlu dijaga melalui upaya
pengawetan jenis;
b. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, dipandang perlu untuk menetapkan peraturan tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dengan Peraturan Pemerintah.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara
Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara 3419);
5. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3478);
6. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3482);
7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
54/69
44
8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3699);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3544);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 132,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3776).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN
DAN SATWA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar
habitatnya tidak punah.
2. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya adalah upaya
menjaga keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa agar tidak punah.
3. Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi
tumbuhan dan atau satwa di luar habitatnya (ex situ), baik berupa lembaga
pemerintah maupun lembaga non pemerintah.
4. Identifikasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengenal jenis,
keadaan umum, status populasi dan tempat hidupnya yang dilakukan di dalam
habitatnya.
5. Inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya mengetahui kondisi dan
status populasi secara lebih rinci serta daerah penyebarannya yang dilakukan
di dalam dan di luar habitatnya maupun di lembaga konservasi.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
55/69
45
6. Jenis tumbuhan atau satwa adalah jenis yang secara ilmiah disebut species
atau anak-anak jenis yang secara ilmiah disebut sub-species baik di dalam
maupun di luar habitatnya.
7. Populasi adalah kelompok individu dari jenis tertentu di tempat tertentu yang
secara alami dan dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan untuk
mencapai keseimbangan populasi secara dinamis sesuai dengan kondisi
habitat beserta lingkungannya.
8. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Pasal 2
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk:
a. menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan;
b. menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa;
c. memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada;
agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.
BAB II
UPAYA PENGAWETAN
Pasal 3
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya:
a. penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
b. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;
c. pemeliharaan dan pengembangbiakan.
BAB III
PENETAPAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
Pasal 4
(1) Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan:
a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
(2) Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan
Pemerintah ini.
(3) Perubahan dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak
dilindungi dan sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah
mendapat pertimbangan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority).
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
56/69
46
Pasal 5
(1) Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang
dilindungi apabila telah memenuhi kriteria:
a. mempunyai populasi yang kecil;
b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;
c. daerah penyebaran yang terbatas (endemik).
(2) Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan upaya pengawetan.
Pasal 6
Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi
tidak dilindungi apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu
sehingga jenis yang bersangkutan tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan
dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
BAB IV
PENGELOLAAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA SERTA HABITATNYA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur dalam ketentuan
Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi arti ketentuan tentang pengelolaan
jenis tumbuhan dan satwa pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
Pasal 8
(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan
pengelolaan di dalam habitatnya (in situ).
(2) Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk menambah dan
memulihkan populasi.
(3) Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ) dilakukan
dalam bentuk kegiatan:
a. Identifikasi;
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
57/69
47
b. Inventarisasi;
c. Pemantauan;
d. Pembinaan habitat dan populasinya;
e. Penyelamatan jenis;
f. Pengkajian, penelitian dan pengembangannya.
(4) Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya (ex situ) dilakukan
dalam bentuk kegiatan:
a. Pemeliharaan;
b. Pengembangbiakan;
c. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
d. Rehabilitasi satwa;
e. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.
Bagian Kedua
Pengelolaan dalam Habitat (In Situ)
Pasal 9
(1) Pemerintah melaksanakan identifikasi di dalam habitat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a untuk kepentingan penetapan
golongan jenis tumbuhan dan satwa.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 10
(1) Pemerintah melaksanakan inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (3) huruf b, untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan
satwa.
(2) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi survei dan
pengamatan terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa.
(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan
survei dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
58/69
48
Pasal 11
(1) Pemerintah melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (3) huruf c, untuk mengetahui kecenderungan perkembangan populasi
jenis tumbuhan dan satwa dari waktu ke waktu.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui
survei dan pengamatan terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa secara
berkala.
(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan
survei dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 12
(1) Pemerintah melaksanakan pembinaan habitat dan populasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf d, untuk menjaga keberadaan
populasi jenis tumbuhan dan satwa dalam keadaan seimbang dengan daya
dukung habitatnya.
(2) Pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan melalui kegiatan:
a. Pembinaan padang rumput untuk makan satwa;
b. Penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa, pohon
sumber makan satwa;
c. Pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa;
d. Penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;
e. Penambahan tumbuhan atau satwa asli;
f. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa penggangggu.
(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan habitat dan populasi tumbuhan
dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diaturoleh Menteri.
Pasal 13
(1) Pemerintah melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e, terhadap jenis
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
59/69
49
tumbuhan dan satwa yang terancam bahaya kepunahan yang masih berada
di habitatnya.
(2) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan melalui pengembangbiakan, pengobatan, pemeliharaan dan
atau pemindahan dari habitatnya ke habitat di lokasi lain.
(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melakukan
tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh
Menteri.
Pasal 14
(1) Pemerintah melaksanakan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis
tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f,
untuk menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber
daya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.
(2) Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pengkajian
terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalam bentuk penelitian
dasar, terapan dan ujicoba.
(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat melaksanakan kegiatan
pengkajian, penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan
jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Pengelolaan di Luar Habitat (Ex Situ)
Pasal 15
(1) Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a dilaksanakan untuk menyelamatkan
sumber daya genetik dan populasi jenis tumbuhan dan satwa.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
60/69
50
(2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi juga koleksi
jenis tumbuhan dan satwa di lembaga konservasi.
(3) Pemeliharaan jenis di luar habitat wajib memenuhi syarat:
a. memenuhi standar kesehatan tumbuhan dan satwa;
b. menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan nyaman;
c. mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan
pemeliharaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis di luar habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh
Menteri.
Pasal 16
(1) Pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b dilaksanakan untuk
pengembangan populasi di alam agar tidak punah.
(2) Kegiatan pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan tetap menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman
genetik.
(3) Pengembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi syarat:
a. menjaga kemurnian jenis;
b. menjaga keanekaragaman genetik;
c. melakukan penandaan dan sertifikasi;
d. membuat buku daftar silsilah (studbook).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangbiakan jenis tumbuhan dan
satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 17
(1) Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa di luar
habitatnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (4) huruf c dilakukan
sebagai uapaya untuk menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan
ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.
(2) Kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan
satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui
pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalam bentuk
penelitian dasar, terapan dan ujicoba.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
61/69
51
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan
jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 18
(1) Rehabilitasi satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
ayat (4) huruf d dilaksanakan untuk mengadaptasikan satwa yang karena
suatu sebab berada di lingkungan manusia, untuk dikembalikan ke
habitatnya.
(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit, mengobati
dan memilih satwa yang layak untuk dikembalikan ke habitatnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi satwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 19
(1) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf e dilaksanakan untuk
mencegah kepunahan lokal jenis tumbuhan dan satwa akibat adanya
bencana alam dan kegiatan manusia.
(2) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan melalui kegiatan-kegiatan:
a. memindahkan jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya yang lebih baik;
b. mengembalikan ke habitatnya, rehabilitasi atau apabila tidak mungkin,
menyerahkan atau menitipkan di Lembaga Konservasi atau apabila rusak,
cacat atau tidak memungkinkan hidup lebih baik memusnahkannya.
Pasal 20
(1) Pengelolaan di luar habitat jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya
dapat dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan
kegiatan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 21(1) Jenis tumbuhan dan satwa hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 dapat dilepaskan
kembali ke habitatnya dengan syarat:
a. habitat pelepasan merupakan bagian dari sebaran asli jenis yang dilepaskan;
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
62/69
52
b. tumbuhan dan satwa yang dilepaskan harus secara fisik sehat dan memiliki
keragaman genetik yang tinggi;
c. memperhatikan keberadaan penghuni habitat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelepasan kembali jenis tumbuhan dan
satwa ke habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh
Menteri.
BAB V
LEMBAGA KONSERVASI
Pasal 22
(1) Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan
atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan
kemurnian jenisnya.
(2) Disamping mempunyai fungsi utama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Lembaga Konservasi juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan
dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan.
(3) Lembaga Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Musium Zoologi,
Taman Satwa Khusus, Pusat Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani,
Herbarium dan Taman Tumbuhan Khusus.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Konservasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 23
(1) Dalam rangka menjalankan fungsinya, Lembaga Konservasi dapat
memperoleh tumbuhan dan atau satwa baik yang dilindungi maupun tidak
dilindungi melalui:
a. pengambilan atau penangkaran dari alam;
b. hasil sitaan;
c. tukar menukar;
d. pembelian, untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh tumbuhan dan satwa
untuk Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
oleh Menteri.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
63/69
53
Pasal 24
(1) Dalam rangka pengembangbiakan dan penyelamatan jenis tumbuhan dan
satwa, Lembaga Konservasi dapat melakukan tukar menukar tumbuhan atau
satwa yang dilindungi dengan lembaga sejenis di luar negeri.
(2) Tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan
dengan jenis-jenis yang nilai konservasinya dan jumlahnya seimbang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tukar menukar sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
BAB VI
PENGIRIMAN ATAU PENGANGKUTAN TUMBUHAN DAN SATWA YANG
DILINDUNGI
Pasal 25
(1) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang
dilindungi dari dan ke suatu tempat di wilayah Republik Indonesia atau dari
dan keluar wilayah Republik Indonesia dilakukan atas dasar ijin Menteri.
(2) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus:
a. dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang
berwenang;
b. dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengiriman atau pengangkutan
jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur oleh Menteri.
BAB VII
SATWA YANG MEMBAHAYAKAN KEHIDUPAN MANUSIA
Pasal 26
(1) Satwa yang karena suatu sebab keluar dari habitatnya dan membahayakan
kehidupan manusia, harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup
untuk dikembalikan ke habitatnya atau apabila tidak memungkinkan untuk
dilepaskan kembali ke habitatnya, satwa dimaksud dikirim ke Lembaga
Konservasi untuk dipelihara.
(2) Apabila cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat
dilaksanakan, maka satwa yang mengancam jiwa manusia secara langsung
dapat dibunuh.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
64/69
54
(3) Penangkapan atau pembunuhan satwa yang dilindungi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh petugas yang
berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai petugas dan perlakuan terhadap satwa yang
membahayakan kehidupan manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
BAB VIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 27
(1) Dalam rangka pengawetan tumbuhan dan satwa, dilakukan melalui
pengawasan dan pengendalian.
(2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang berwenang sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan melalui tindakan:
a. preventif; dan
b. represif.
(4) Tindakan preventif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a meliputi:
a. penyuluhan;
b. pelatihan penegakan hukum bagi aparat-aparat penegak hukum;
c. penerbitan buku-buku manual identifikasi jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi dan yang tidak dilindungi.
(5) Tindakan represif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b meliputi
tindakan penegakan hukum terhadap dugaan adanya tindakan hukum
terhadap usaha pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka segala peraturan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang telah ada sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau belum dicabut atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
65/69
55
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 Januari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1999 NOMOR 14
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I
ttd
Lambock V. Nahattands
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
66/69
56
Lampiran 6. Data peneluran Penyu Bulan Februari 2012.
februari 2012
Hari Tanggal
penyu yang naik
bertelur jumlah telur
jumat10-Feb 0 0
sabtu11-Feb 0 0
minggu12-Feb 0 0
senin13-Feb 0 0
selasa14-Feb 0 0
rabu15-Feb 0 0
kamis16-Feb 0 0
jumat17-Feb 0 0
sabtu18-Feb 6 490
minggu19-Feb 0 0
senin20-Feb 0 0
selasa21-Feb 0 0
rabu22-Feb 6 470
kamis23-Feb 6 480
jumat24-Feb 6 600
sabtu25-Feb 5 440
minggu26-Feb 6 500
senin27-Feb 6 580
selasa28-Feb 6 500
rabu29-Feb 6 480
total53 4540
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
67/69
57
Lampiran 7. Data peneluran Penyu Bulan Maret 2012.
Bulan Maret 2012
Hari tanggalpenyu yang naik
bertelur jumlah telur
kamis 1-Mar 6 480 jumat 2-Mar 6 480
sabtu 3-Mar 5 400
minggu 4-Mar 6 480
senin 5-Mar 6 600
selasa 6-Mar 6 580
rabu 7-Mar 6 580
kamis 8-Mar 6 470
jumat 9-Mar 6 480
sabtu 10-Mar 6 470
minggu 11-Mar 5 380senin 12-Mar 6 580
selasa 13-Mar 6 490
rabu 14-Mar 6 480
kamis 15-Mar 6 480
jumat 16-Mar 6 600
sabtu 17-Mar 6 580
minggu 18-Mar 6 580
senin 19-Mar 6 580
selasa 20-Mar 0 0
rabu 21-Mar 6 600
kamis 22-Mar 6 480
jumat 23-Mar 6 480
sabtu 24-Mar 6 580
minggu 25-Mar 6 510
senin 26-Mar 6 480
selasa 27-Mar 6 470
rabu 28-Mar 6 480
kamis 29-Mar 6 510
jumat 30-Mar 6 600
sabtu 31-Mar 6 580
total 178 15540
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
68/69
58
Lampiran 8. Rata-rata Penetasan Telur Penyu Bulan Februari-Mei 2012
Keterangan: - P = Data Primer
- S = Data Sekunder
(Sumber : Kantor KKP Pangumbahan, Sukabumi).
Bulan Tempat
penetasan
Jumlah
Telur
Telur
yang
Menetas
Rata-rata
Penetasan
(%)
Keterangan
(total jumlah
telur)
Februari (P)Ruangan 2270 2265 99.78
4540Blong 2270 2267 99.87
Maret (P)
ruangan 7720 7719 99.99
15540blong 7720 7717 99.96
Apri l (S)ruangan 8070 8070 100
16140
blong 8070 8070 100
Mei (S)
ruangan 7470 7465 99.9314940
blong 7470 7467 99.96
-
8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran
69/69
Lampiran 9. Rata-rata Telur Penyu/ekor Pada Bulan Februari-Maret 2012
BulanJumlah penyu telur yang Rata-rata
yang naik telur dihasilkan(butir) telur/ekor
Februari (P) 53 4540 85.66
Maret (P) 178 15540 87.30
Apri l (S) 183 16140 88.20
Mei (S) 172 14940 86.86