studi kasus hukum tata negara
TRANSCRIPT
Lukman Hakim Saifuddin: Kasus Century Hukum Tata Negara yang Bekerja
Lukman Hakim Saifuddin(Humas MPR RI)
Ketika terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan presiden atau wakil presiden maka mekanisme hukum yang bekerja adalah hukum tata negara melalui proses impeachment (pemakzulan). Mahkamah Konstitusi (MK) yang memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR. Jika terbukti, DPR meminta MPR untuk bersidang.
Demikian pandangan Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin ketika berbicara dalam Dialog Pilar Negara dengan bertema “Century: Antara Hak Menyatakan Pendapat dan KPK” di Ruang Perpustakaan Gedung Nusantara IV, Kompleks MPR/DPR/DPD, Jakarta, Senin 26 Nopember 2012. Nara sumber lain dialog ini adalah Dosen Fakultas Hukum UI Akhiar Salmi dan Koordinator ICW Febridiansyah.
Menurut Lukman Hakim Saifuddin, dalam kasus Century ada potensi keterkaitan dengan Wakil Presiden Boediono. Sebagai Wakil Presiden, dia memiliki kekhususan-kekhususan tersendiri. Pada dasarnya perlakuan hukum terhadap setiap orang sama. Namun, ketika seseorang menjadi presiden atau wakil presiden, dia tidak lagi menjadi warga negara biasa.
“Karena jabatannya (sebagai presiden dan wakil presiden), dia tidak bisa disamakan dengan warga negara biasa. Tetapi bukan berarti presiden atau wakil presiden kebal hukum. Karena itu dalam pandangan saya, kasus Century ini tetap jalan terus. Tetapi ketika bersinggungan dengan Wakil Presiden, dia tidak bisa dengan proses hukum pidana, baik oleh kepolisian, kejaksaan, bahkan KPK,” kata politisi PPP ini.
Apalagi kepolisian, kejaksaan, dan KPK berada di bawah presiden. “Agak tak lazim misalnya seseorang melakukan proses hukum terhadap atasannya (presiden dan atau wakil presiden),” katanya. Dia menambahkan presiden dan wakil presiden tidak bisa dilakukan hukum pidana. Hampir di semua konstitusi negara-negara lain, presiden dan wakil presiden tidak diproses secara hukum pidana. Kecuali apabila sudah tidak lagi
menjabat sebagai presiden atau wakil presiden maka menjadi warga negara biasa yang bisa diproses secara hukum pidana.
“Karena itu, dalam pandangan saya, dalam hal pelanggaran (yang dilakukan) Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka hukum tata negara yang bekerja melalui proses impeachment (pemakzulan). MK yang akan memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR. Jika memang diputuskan pendapat DPR itu benar, maka DPR meminta MPR untuk bersidang,” katanya.
Lukman juga tidak sependapat apabila proses politik (tata negara) kasus Century berjalan paralel dengan proses hukum di KPK. “Akan ada kekhawatiran kemungkinan terjadinya kekacauan sistem hukum tata negara,” ujarnya. Misalnya, proses di KPK menyatakan wapres sebagai tersangka dan dilakukan penahanan, tetapi proses di MK tidak terbukti secara hukum. Di satu sisi, wapres masih konstitusional, tapi di sisi lain dijadikan tersangka dan ditahan. Keadaan ini akan mengacaukan sistem ketatanegaraan.
Sementara itu Dosen FH UI, Akhiar Salim memiliki pendapat berbeda. Prinsip hukum adalah semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di muka hukum. Sebuah kebijakan publik juga bisa dipidanakan apabila terjadi indikasi penyalahgunaan wewenang untuk kebijakan publik itu. Terbukti dari kebijakan publik itu untuk kepentingan publik atau kepentingan kelompok. “Dalam prosesnya dicari orang yang paling bertanggungjawab atas kebijakan itu,” katanya.
Persoalannya, lanjut Akhiar Salim, adalah karena menyangkut orang nomor dua di republik ini. KPK bisa memproses dugaan penyalahgunaan wewenang ini. “Dimungkinkan siapa saja diproses kalau terjadi dugaan tindak pidana. Siapa saja, sebagai subjek hukum, harus dimintai pertanggungjawaban,” tegasnya.
Bila pemeriksaan kepala daerah harus mendapat ijin dari presiden (ketentuan ini sudah dicabut MK), KPK bisa menggunakan Pasal 12 ayat 1e UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu bisa memerintahkan untuk penghentian jabatan. Ketentuan ini juga berlaku bagi jabatan wakil presiden.
Tidak serius
Sementara itu, Koordinator ICW Febridiansyah mengatakan proses politik (hak menyatakan pendapat) kasus Century dapat berjalan paralel dengan penyidikan di KPK. Langkah ini bisa mempercepat penuntasan kasus tersebut. Namun, Febri melihat DPR tidak serius dalam penyelesaian kasus Century melalui hak menyatakan pendapat. “DPR tidak serius. Hanya gertak sambal. Padahal DPR mempunyai kewenangan konstitusi untuk menggunakan hak menyatakan pendapat.,” katanya.
Menurut Febri, penggunaan hak menyatakan pendapat ini akan memberikan kepastian terlibat atau tidaknya Boediono dalam kasus Century. Belum tentu MK memutuskan
pendapat DPR terbukti. Begitu pun sebaliknya. Kalau pun terbukti, MPR bisa mengabaikan putusan MK. “Yang penting sudah terjadi proses di MK,” katanya.
Berikut analisis yang saya lakukan untuk berita di atas:
Problem Identification:
Judul berita: Lukman Hakim Saefuddin: Kasus Century Hukum Tata Negara Bekerja.
Narasumber: Lukman Hakim Saifuddin (Humas MPR RI), Dosen Fakultas Hukum UI
Akhiar Salmi dan Koordinator ICW Febridiansyah.
Persoalan atau permasalahan yang terjadi adalah terdapat perbedaan pendapat antara
Lukmanul Hakim dan dua narasumber lainnya yakni Akhiar Salim dan Febri mengenai
penanganan kasus Wakil Presiden RI yang terlibat dalam kasus bank Century. Akhiar
Salim dan Febri memiliki persamaan pendapat. Keduanya lebih berpihak pada KPK
dalam menangani kasus Wakil Presiden yang terduga terlibat dalam kasus bank
Century tersebut. Sebagaimana yang diucapkan “Dimungkinkan siapa saja diproses
kalau terjadi dugaan tindak pidana. Siapa saja, sebagai subjek hukum, harus dimintai
pertanggungjawaban,” artinya, Wakil Presiden RI, sekalipun orang kedua RI serta
atasan KPK maka mesti dimintai pertanggung jawabannya atas dugaan keterlibatannya
dalam kasus bank Century oleh pihak penyidik yang dalam hal ini adalah KPK.
Menurut Febry “DPR tidak serius. Hanya gertak sambal. Padahal DPR mempunyai
kewenangan konstitusi untuk menggunakan hak menyatakan pendapat.,” artinya
penyidikan dalat dilakukan oleh KPK selaku pihak yang dianggap lebih serius dalam
menyelesaikan kasus Boediono. Penyidikan paralel yang dilakukan oleh KPK ini dapat
mempercepat penyelesaian kasusnya.
Sedangkan Lukman sendiri sebagai ahli hukum tentunya, berpendapat: “Karena itu,
dalam pandangan saya, dalam hal pelanggaran (yang dilakukan) Presiden dan/atau
Wakil Presiden, maka hukum tata negara yang bekerja melalui proses impeachment
(pemakzulan). MK yang akan memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR. Jika
memang diputuskan pendapat DPR itu benar, maka DPR meminta MPR untuk
bersidang,” jika penyidikan dilakukan oleh KPK maka dikhawatirkan akan terjadi
kekacauan hukum tata negara. Seandainya KPK menetapkan Boediono sebagai
tersangka, sedangkan MPR belum membuktikan hal tersebut secara hukum maka
Boediono masih belum bisa dimakzulkan, artinya Boediono masih menjabat sebagai
Wakil Presiden secara konstitusional sekaligus juga sebagai tersangka KPK.
Oleh karenanya, hal ini perlu ditinjau ulang. Wakil Presiden Boediono, apakah KPK
atau DPR yang berhak menyidiki kasusnya. Termasuk dalam objek kajiannya hukum
tata negara, yakni mengenai pemakzulan pejabat eksekutif negara karena persoalan
kasus pidana.
Causal Interpretation: Wakil Presiden RI Boediono terlibat dalam kasus bank Century.
Boediono yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia diduga bekerja sama
dengan mantan Deputi Gubernur Indonesia, Budi Mulya. Keduanya beserta keterlibatan
sejumlah orang/pejabat lain berupaya untuk memperkaya diri dengan melanggar hukum
Indonesia serta merugikan keuangan dan perekonomian negara. Bahwa terdakwa Budi
Mulya selaku deputi gubernur Bank Indonesia bidang pengelolaan moneter dan devisa,
bersama dengan Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia, Miranda S Gultom selaku
Deputi Senior BI, Siti Chalimah Fadjrijah selaku Deputi Bidang Pengawasan Bank
Umum dan Syariah, Budi Rochadi (saat ini sudah meninggal dunia) selaku Deputi
Gubernur Bidang Sistem Pembayaran, BPR, Perkreditan Pengedaran Uang bersama
dengan Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim dalam pemberian Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek kepada PT Bank Century (saya mengutip dari berita yang
diterbitkan oleh VOA/Voice of America).
FPJP (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek) yang diberikan oleh Budi Mulya dan
melibatkan Gubernur BI –Boediono- saat itu dianggap bukan merupakan kebijakan
yang tepat. FPJP pertama kali diberikan sebesar Rp. 689 miliar. Menurut saksi, ada
penggelapan dana ketika FPJP dialirkan ke Bank Century serta syarat Bank Century
dalam kapasitasnya agar dapat menerima aliran dana FPJP itu sendiri belum terpenuhi.
Hal yang demikianlah yang membuat Boediono diduga terlibat dalam kasus tersebut,
mengingat jabatannya sebagai Gubernur Bank Indonesia saat itu. Artinya, keputusan
aliran dana ke Bank Century tidak terlepas dari pengaruh Gubernur Bank Indonesia
alias Boediono. Perlu dilakukannyanya penyidikan Gubernur Bank Indonesia yang
sudah menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
Karena statusnya sebagai Wakil Presiden Indonesia, maka terdapat mekanisme hukum
tertentu yang berbeda dengan hukum yang diberlakukan kepada masyarakat pada
umumnya. Dalam Pasal 7A UUD 1945 dituliskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila tidak terbukti lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
DPR dalam menjalani fungsinya, yakni fungsi pengawasan, DPR berhak menyatakan
pendapatnya mengenai Wakil Presiden yang diduga melakukan tindakan yang
melanggar hukum. Menurut UUD 1945, mekanisme pemberhentian (Impeachment)
Wakil Presiden mulanya dilakukan dengan memeriksa terlebih dahulu pengajuan DPR
mengenai pendapatnya bahwa Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.
Jadi, DPR mestinya menjadi pihak awal yang melakukan pemeriksaan atau penyidikan
terhadap Wakil Presiden RI, barulah hasilnya akan diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi
(Yudikatif). Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan
seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama
sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh
Mahkamah Konstitusi. Apabila hasil dari pemeriksaan itu adalah benar bahwa Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran, maka DPR perlu mengadakan sidang paripurna
untuk mengajukan permohonan pemberhentian Wakil Presiden kepada MPR. Dengan
ini MPR harus mempertimbangkan usulan pemakzulan Wakil Presiden dari DPR
tersebut dengan mengadakan rapat paripurna dan hasilnya mesti diputuskan sekurang-
kurangnya tiga puluh hari dari semenjak DPR mengajukan usulannya.1
Demikianlah proses pemakzulan yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan kasus
Boediono. Sebagai negara hukum maka kita harus menghormati serta melaksankan
prosedur yang telah disusun dalam Undang-Undang Dasar (konstitusi negara). Dan,
inilah sebab mengapa Lukman Hakim berpendapat demikian. Sedangkan Akhiar Salim
berpikir bahwa perlunya kita mengingat asas equality before the law. Artinya tidak ada
warga yang istimewa dalam hal ini. Semua warga negara yang melakukan pelanggaran
1 Lihat Pasal 7B UUD 1945
tindak pidana khususnya korupsi, sekalipun itu orang no dua di Indonesia. Tetap saja, di
depan hukum ia diperlakukan sama.
Adapun Febri, ia memandang bahwa akan dibutuhkan waktu yang terlalu berlarut-larut
jika penyidikan dilakukan melalui DPR, MK, dan MPR. Ditambah lagi ketidak seriusan
DPR dalam melakukan pengawasannya akan membuat kasus ini semakin lama
terpecahkan, maka alangkah lebih baiknya jika KPK lah yang menyidik Boediono.
Berhubung, KPK pun memiliki wewenang dalam menyidik kasus tersebut. Menurut
UU, KPK berhak melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang
lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum atau penyelenggara negara. Artinya, masih dalam koridor kewenangan
KPK jika penyidikan paralel dilakukan. Penyelenggara negara tersebut, juga melingkupi
Presiden dan Wakil Presiden (pihak Eksekutif) di dalamnya.
Adapun menurut UU RI No. 30 Th. 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, BAB II Pasal 6 mennyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi
mempunyai tugas sebagai berikut:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Melihat tugas KPK yang telah termaktub dalam UU di atas, dapat diketahui bahwa tidak
ada aturan yang membatasi wewenang KPK dalam penyidikan yang dilakukan kepada
Presiden dan Wakil Presiden. Siapapun mereka yang melakukan tindak pidana korupsi
maka KPK berhak penyidiknya.
Treatment Recomendation: perlu ditinjau ulang bahwa Pasal 7A UUD 1945 yang
bunyinya: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat,
baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila tidak terbukti lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Pasal di atas ditujukan kepada Presiden dan Wakil Presiden yang melakukan
penghianatan, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Berbeda dengan kasus
Boediono, ia diduga melanggar hukum saat sebelum ia menjadi Presiden yakni saat ia
menjadi Gubernur Bank Indonesia. Jadi, pasal tersebut tidak berlaku bagi Boediono
karena kasus Boediono bukanlah kasusnya sebagai Wakil Presdien RI melainkan
kasusnya sebagai warga negara biasa (Gubernur Bank Indonesia). Jelas, KPK berhak
menyidik kasus Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia bukan Wakil Presiden.
Serta benar adanya jika Akhiar Salim berpendapat bahwa semua orang, sekalipun itu
Presiden atau Wakil Presiden tetap memiliki status yang sama di depan hukum. Jika
penegak hukum yang paling kredibel di sini adalah KPK maka sepatutnyalah KPK yang
mesti cepat bergegas serta berani dalam menyidik kasus Boediono. Esensi dari prinsip
HAM yang berlaku universal adalah equality before the law. Tegas dan jelas bahwa
Pasal 27 ayat 1 UUD 45 menyebut segala warga negara bersamaan kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya (Wakil Ketua Bidang Politik dan Jaringan Indonesian
Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Ridwan Darmawan, kepada Rakyat
Merdeka Online, Selasa malam 20/11).
Kendatipun mengenai kekhawatiran Lukman Hakim bahwa akan ada kerancuan sistem
ketatanegaraan, maka Boediono mestinya mengundurkan diri dari jabatan Wakil
Presiden ketika ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Hal ini disebabkan karena
dalam hukum ketatanegaraan hingga saat ini belum ada persoalan yang mengatur
apakah presiden atau wakil presiden harus dicopot dari jabatannya atau tidak bila telah
ditetapkan sebagai tersangka. Jadi, karena belum adanya peraturan tersebut, maka hal
itu tergantung kepada Boediono, dan sepatutnyalah Boediono mengundurkan diri dari
jabatannya (Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra).
Demikianlah hasil analisis yang saya lakukan dalam penyelesaian masalah yang ada
dalam berita ini.
Nama: Tita Novitasari, Muamalat (Hukum Ekonomi Islam) 2014. Terima kasih.