studi analisis putusan pengadilan...
TRANSCRIPT
ix
STUDI ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK NO. 768/Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. TENTANG HAK HADHANAH BAGI ANAK YANG BELUM MUMAYIZ.
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : A S M U N I
NIM. 2102116
JURUSAN AKHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2008
ix
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARIAH SEMARANG Jl. Raya Ngalian Boja KM. 03 Semarang Telp. (024) 7601291
PENGESAHAN
Skripsi Saudara : Asmuni
Nomor Induk : 2102116
Judul : Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/
Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. Tentang Hak Hadhanah Bagi Anak
yang Belum Mumayiz
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat
Cumlaude/ Baik/ Cukup, pada tanggal :
23 Januari 2008
Dan dapat diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S-1)
tahun akademik 2008.
Semarang, 23 Januari 2008
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Drs. Rokhmadi, M.Ag Drs, Saekhu, M.H. NIP. 150 267 747 NIP. 150 268 217 Penguji I Penguji II Hj. Rr. Sugiharti, S.H, M.H Drs. Miftah, M.Ag NIP. 150 104 180 NIP. 150 218 256 Pembimbing I Pembimbing II Drs. H. Eman Sulaeman, M.H. Drs. Saekhu, M.H. NIP. 150 254 348 NIP. 150 268 217
ix
ABSTRAK
Mengasuh dan memelihara anak merupakan kewajiban dan tanggung jawab kedua orang tua hal itu telah dijelaskan dalam pasal 45 Undang-undang Perkawinan begitu juga dalam hukum Islam menegaskan bahwa menjaga keturunan merupakan salah satu tujuan syariat Islam.
Ketika orang tua masih dalam satu ikatan perkawinan, pengasuhan anak dapat dilaksanakan secara bersama-sama namun bila terjadi perceraian antara kedua belah pihak maka sering kali anaklah yang menjadi korbannya, untuk itu Undang-undang maupun hukum Islam telah memberikan aturan tentang hak hadhanah anak ketika terjadi perceraian.
Dalam pasal 105 huruf (a) dan (c) serta pasal 156 huruf (a) sampai (d) menerangkan bahwa anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hak hadhanah dari ibunya serta semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuan sampai anak tersebut dewasa. Begitu juga dalam pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa kewajiban orang tua dalam mendidik anak berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Dalam hal keterkaitannya dengan masalah putusan No. 768/Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. Tentang Hak Hadhanah Bagi Anak yang Belum Mumayiz, majelis hakim mempunyai pandangan yang berbeda bahwa Majlis Hakim memutuskan hak hadhanah anak yang belum mumayiz jatuh kepada ayahnya bukan kepada ibunya.
Jenis penelitian yang kami gunakan adalah Field Research (penelitian lapangan), dan pengumpulan datanya melalui dokumentasi dan wawancara (interview) serta didukung dengan buku-buku dan semua literatur yang relevan dengan persoalan yang dibahas dalam skirpsi ini.
Penelitian yang kami peroleh bahwa Majlis Hakim mendasarkan putusannya tidak berdasarkan pada Undang-undang yang ada namun mereka lebih condong kepada kenyataan yang muncul dalam persidangan yaitu dikaitkan terhadap sikap dari pihak ibu yang selalu menghalang-halangi ayah untuk bertemu anaknya serta ketidak mampuan seorang ibu memberikan nafkah karena ibu tidak bekerja.
Putusan Majlis Hakim memberikan hak hadhanah kepada ayahnya sebenarnya sudah tepat namun ada yang tidak diperhatikan oleh Majlis Hakim bahwa segala putusan selain memuat alasan-alasan dan dasar juga memuat pasal-pasal dari peraturan yang berlaku sebagaimana pasal 62 ayat (1) No. 7 Tahun 1989.
ix
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
ئكةس والحجارة عليها مالها النايكم نارا وقودواهل سكملذ ين أمنوا قوا انفا يا ايها
)٦: التحريم ( غالظ شداد اليعصون اهللا ما امرهم ويفعلون مايؤ مرون
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu,
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada
mereka san selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim : 6)
PERSEMBAHAN
Tiada hal yang paling indah dan berharga kecuali rasa
syukurku kepadaMu Ya Rabbi. Skripsi ini penulis
persembahkan untuk : Bapak dan ibu penulis serta saudara-
sauda penulis yang telah memberikan bimbingan dan semangat
untuk sahabat-sahabat dan teman-teman penulis seperjuangan
yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Terima kasih
untuk semuanya …
ix
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis menyatakan bahwa skripsi ini
tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 8 Januari 2008
Diklarator
A S M U N I NIM. 2102116
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Yang senantiasa menerima taubat hamba-
hambanya yang ingin kebijakan, kedamaian, dan kesejahteraan hidup didunia dan
akhirat. Sesungguhnya tiada kasih yang melebihi kasih Allah. Tiada perhatian yang
mengungguli perhatian Allah. Adalah hamba yang bodoh bila tak tahu berterima
kasih atas segala kemurahan dan karuniaNya. Sholawat dan salam semoga tetap
tercurah untuk Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.
Merupakan kegemberiaan dan kebahagiaan tersendiri bagi penulis dengan
diberikannya kesempatan bagi penulis oleh Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang untuk menulis sebuah karya ilmiah (skripsi) khususny yang berkaityan
materi “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/Pdt.G/ 2003/ PA.
Dmk. Tentang Hak Hadhanah Bagi Anak yang Belum Mumayiz”. Guna memenuhi
tugas dan melengkapi syarat untuk memperoleh gelar sarjana S-1 dalam ilmu
Syari’ah, terutama jurusan AS (Akhwal Al-Syakhsiyah).
Ketika penulis masih dalam proses penulisan skripsi ini, banyak bantuan dan
sumbangsih dari berbagai pihak hingga terselesainya skripsi ini, tanpa mengurangi
maksud jasa dan keikhlasan mereka, perkenankanlah pada kesempatan ini penulis
mengungkapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, atas kebijaksanaannya
dalam memimpin dan membina Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.
2. Bapak Drs. H. Eman Sulaiman, M.H, yang bertindak sebagai pembimbing satu,
serta Bapak Drs. Saekhu, M.H, yang banyak memberikan pandangan dan
pengarahan yang amat bermanfaat bagi penulis.
3. Bapak Ibu dan saudara-saudara serta teman-teman yang telah banyak berkorban
baik moral maupun material sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di IAIN
Walisongo Semarang.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
HALAMAN ABSTRAKSI ................................................................................ iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................ v
HALAMAN DEKLARASI ................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................... 7
C. Tujuan Penulisan Skripsi................................................. 7
D. Telaah Pustaka ............................................................... 8
E. Metode Penulisan Skripsi................................................ 10
F. Sistematika Penulisan Skripsi ......................................... 12
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH
A. Pengertian Hadhanah ..................................................... 14
B. Dasar Hukum Hadhanah ................................................ 16
C. Syarat-syarat Hadhanah ................................................. 19
D. Urutan Orang yang Melakukan Hadhanah ..................... 22
E. Masa dan Upah Hadhanah ............................................. 24
ix
BAB III : PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK NO. 768/
Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. TENTANG HAK HADHANAH
BAGI ANAK YANG BELUM MUMAYIZ.
A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Demak .................. 29
B. Proses penyelesaian No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Di
Pengadilan Agama Demak ............................................. 34
C. Pertimbangan Pengadilan Agama Demak No. 768/ Pdt.
G/ 2003/ PA. Dmk. ........................................................ 46
D. Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Demak dalam
Perkara No. 768/Pdt.g/ 2003/ PA. Demak .. ................... 50
BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK
NO. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. TENTANG HAK
HADHANAH BAGI ANAK YANG BELUM MUMAYIZ.
A. Analisa Terhadap Proses Penyelesaian Perkara
No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk ................................... 53
B. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim
Pengadilan Agama Demak No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA.
Dmk ................................................................................ 60
C. Analisis Terhadap Dasar Hukum Hakim Pengadilan
Agama Demak No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk .......... 69
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... 74
B. Saran ............................................................................... 75
C. Penutup ........................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan salah satu sunah dari beberapa sunatullah yang
ditetapkan pada hamba-Nya1 untuk mengatur hubungan suami istri yang baik,
pernikahan juga media untuk menjaga kehormatan, keturunan serta kehidupan
yang kekal, jika suami istri mau melaksanakan dan memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing.
Adapun perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam diartikan suatu
akad yang sangat kuat atau mitsaqhan ghalidhon untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.2
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menegaskan bahwa
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia,
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam melaksanakan Undang-undang ini, suami istri perlu saling
membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan dan
mencapai kesejahteraan spiritual dan material, adapun tujuan perkawinan menurut
agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan
keluarga yang harmonis, bahagia dan sejahtera, artinya terciptanya hubungan
1 Sayid Sabiq, Fiqih Sunah, Bandung : Al Ma’arif, 1980, Jilid 6, hlm. 7. 2 Kompilasi Hukum Islam, Bandung : Fokus Media, 2005, hlm. 7.
2
2
lahir dan batin, sehingga timbul kebahagiaan dan kasih sayang antara anggota
keluarga.
Disamping itu perkawinan menjadikan proses keberlangsungan hidup
manusia di dunia ini berlanjut dengan melalui perkjawinan akan mendapatkan
anak serta mengemabngkan keturunan secara sah dan memenuhi naluri kebapakan
dan keibuan yang dimiliki seseorang dalam rangka melimpahkan kasih
sayangnya. Sebagai mana firman Allah dalam surat An Nahl ayat 72 :
ن ممكقرز وةدفح ونين بمكجوز ان ممك للعجا وجاوز امكسفن ان ممك للع جاهللاو
)٧٢: ل نحال( الافبالباطل يؤمنون وبنعمت اهللا هم يكفرون طاتبيالط
Artinya : “ Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rizki dari yang baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”
(An Nahl : 72)3
Dari uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa perkawinan tidak hanya
untuk mengembangkan keturunan secara sah akan tetapi harus disertai dengan
tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anaknya. Pemeliharaan dalam
hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu
yang menjadi kebutuhan pokok anak.4
Pada dasarnya pemeliharaan anak (hadhanah) merupakan tanggung jawab
kedua orang tuanya, namun dalam konsep Islam membedakan bahwa mengenai
3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemah, Jakarta : 1993,
hlm. 412. 4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, cet. 3,
hlm. 235.
3
3
tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga
meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat membantu suami dalam
menanggung kewajiban ekonomi tersebut, karena itu suami dan istri dalam
memelihara anak dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa.
Sebagaimana dalam kompilasi hukum Islam pasal 98 ayat 1, menjelaskan
bahwa batas usia anak yang mempu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawianan.
Namun bila terjadi perceraian suami istri, dan mempunyai anak yang
belum mumayyiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya)5 maka istrilah yang
berhak mendidik dan merawat anak itu, karena ia lebih berpengalaman dan lebih
sabar dalam hal tersebut.6
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Amr dikatakan :
ن اهللا صلى اهللا عليه وسلم الوسا ري : تال قةار امن ارم اهللا بن عدب عنع
هن اهوب امعزاء وق سهى ليدثاء وو حهي لرجح واءع وهى لنطب انآ اذى هناب
واحرج احمد وابو داود والبيهقى والحكم ( .ىحكن تمال مه بقحت ان الاق فنى مهعزني
)صححه
Artinya : “Dari Abdullah bin Amr, bahwa seseorang perempuan bertanya : “Ya
Rasulullah, sesungguhnya bagi anak laki-lakiku ini perutkulah yang menjadi bejananya, lambungku yang menjadi pelindungnyadan rusukku yang menjadi minumannya tetapi tiba-tiba ayahnya merasa
5 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung, Sinar Baru Al Gensindo, 1994, cet. 27,
hlm 423. 6 Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta, Pustaka Al Khautsar, 1998, cet. 1,
hlm.454.
4
4
berhak untuk mengambil dariku”. Maka sabda-nya “Engkau lebih berhak terhadanya selama engakau belum kawin dengan orang lain”.7
(HR. Ahmad Abdullah Baihaqi dan Hakim dan dia mensahkannya)
Hal itu sejalan dengan pendapat Sayyid Sabiq, bahwa jika terjadi
perpisahan antara ibu dan ayah sedang mereka ini punya anak maka ibulah yang
lebih berhak terhadap anak itu dari pada ayahnya selama tidak ada suatu alasan
yang mencegah ibu melakukan pekerjaan hadhanah tersebut, atau karena anak
telah mampu memilih apakah mau ikut ibu atau bapak.8
Atas dasar inilah bahwa ibulah yang lebih berhak untuk memelihara
anaknya, selama ibunya itu tidak menikah lagi dengan laki-laki lain. Apabila
ibunya menikah maka praktis hak hadhanah tersebut beralih kepada ayahnya,
sebab ibu anak terseut menikah, maka besar kemungkinan perhatiannya akan
beralih kepada suaminya yang baru, dan atau bahkan mengorbankan anak
kandungnya sendiri.9
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 41 yang menyatakan
bahwa : akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi
keputusannya.
7 Abu Dawud, Sunah Abu Dawud, bairut, Libanon, Dar al Fukri, 1996. 252. 8 Sayyid Sabiq, Op cit, Jilid 8, hlm. 175. 9 Ahmad Rofiq, Op cit, hlm. 251
5
5
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut.10
Kaitannya dengan kewenangan pengadilan agama mengenai perkara
hadhanah tersebut, telah ditentukan dalam Undang-undang No. 3 tahun 2006
pasal 78 huruf (b) yang menyatakan bahwa : selama berlangsungnya gugatan
perceraian, atas permohonan penggugat pengadilan dapat (b) menentukan hal-hal
yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
Dan hal ini pun telah dipertegas dalam KHI pasal 156 huruf (a) dan (c)
bahwa : (a) anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari
ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya digantikan
oleh wanita garis lurus ke atas dari ibu, ayah, wanita harus lurus ke atas ayah,
saudara perempuan dari ayah, dan (c) apabila pemegang hadhanah ternyata tidak
dapat menjamin keslamatan dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan
pengadilan agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula.
Dengan adanya KHI ini yang merupakan penegasan ulang atas ketentuan-
ketentuan UU Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975, maka ketentuan-
ketentuan UU tersebut akan terbawa ke dalam ruang lingkup yang bernafaskan
10 Subekti, et al, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradya Paramita, 2001, cet. 31, hlm. 549 – 550.
6
6
syari’at Islam, dengan demikian dapat dikatakan selain tetap berpedoman pada
UU Nomor 1 tahun 1974, kompilasi hukum Islam merupakan aturan dan hukum
khusus yang akan diperlakukan secara khusus bagi masyarakat Indonesia yang
beragama Islam.11
Kaitannya dengan putusan Nomor 768/ pdt. G/ 2003 PA. Dmk, tentang
hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz, dimana majlis hakim
menetapkan hak hadhanah anak diberikan kepada bapaknya (dalam hal ini
sebagai tergugat) bukan kepada ibunya (penggugat) yang sebenarnya lebih berhak
untuk mendapatkan hak tersebut.
Ternyata majlis hakim dalam mengambil keputusan tak hanya berdasarkan
pada hukum Islam dan peraturan yang berlaku tetapi lebih kepada kemaslahatan
yang ditimbulkan dari putusannya dan juga kenyataan yang ada dalam hal ini
dikaitkan dengan fakta yang terungkap dalam persidangan terutama sikap
penggugat dan keluarganya yang ternyata ada indikasi pemutusan silaturahmi
antara anak dan bapaknya maka hal ini akan mengganggu stabilitas emosi dan
akan berpengaruh bagi perkembangan jiwa anak tersebut dimasa yang akan
datang, dan juga akan halnya ketidak mampuan penggugat mencukupi nafkah
lahir anak tersebut, maka kesejahteraan jasmani anak tersebut secara tidak
langsung akan terbengkelai.
Berangkat dari uraian di atas penulis tertarik mengangkat kasus tentang
hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz.
11 Abdul Rahmad Budiono, Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia, Malang, Bayu Media, 2003, hlm. 63.
7
7
Untuk lebih jelasnya penulis ingin membuat dalam bentuk skripsi dengan
judul Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/ pdt.G/ 2003/
PA. Dmk. Tentang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz.
B. Rumusan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini terfokus pada pokok permasalahan, maka
penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan yang perlu mendapatkan
pembahasan dalam skripsi ini adalah :
1. Apakah putusan perkara No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. tentang hak
hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz sesuai dengan hukum Acara
Perdata.
2. Apa dasar dan pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan
perkara No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. tentang hak hadhanah bagi anak
yang belum mumayyiz
C. Tujuan Penulisan Skripsi
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui kesesuaian putusan perkara No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA.
Dmk. tentang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz dengan hukum
Acara Perdata.
8
8
2. Untuk mengkaji dan menganalisa dasar dan pertimbangan hukum yang
digunakan Pengadilan Agama Demak dalam penyelesaian perkara No. 768/
Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk. tentang hak hadhanah bagi anak yang belum
mumayyiz.
D. Telaah Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah menelaah beberapa buku
seputar masalah perdata dan praktek-praktek perdata khususnya masalah
hadhanah hingga pada putusan yang sangat membantu dalam penyusunan skripsi.
Diantara buku-buku tersebut adalah buku yang berjudul Peradilan Agama dan
Hukum Islam di Indonesia oleh Abdul Rohman Budiono, dalam buku ini
diterangkan tentang hak antara suami dan istri yang seimbang dalam hukum,
maka keduanya dapat mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama.12
Kemudian Ahmad Rofiq dalam bukunya, Hukum Islam di Indonesia,
memaparkan bahwa pemeliharaan anak merupakan tanggung jawab kedua orang
tuanya, untuk itu dibutuhkan adanya kerja sama dan tolong-menolong antara
suami istri dalam memelihara anak, dan mengantarkannya hingga anak tersebut
dewasa, namun jika terjadi perceraian, maka ibu mendapatkan prioritas utama
untuk mengasuh anak selama anak tersebut belum mumayyiz, seperti yang
dimaksud oleh pasal 105 kompilasi.13
12 Ibid, hlm. 65. 13 Ahmad Rofiq, op, cit, hlm. 250
9
9
Selanjutnya A. Muktiarto dalam bukunya Praktek Perkara Perdata pada
Pengadilan Agama, ia menjelaskan bahwa hal-hal yang melekat menjadi
kewajiban suami yang merupakan hak istri di antaranya adalah pemberian biaya
hadhanah bagi anak-anak yang belum dewasa, yang semuanya itu menurut
ketentuan yang berlaku dan berdasarkan keputusan.14
Demikian pula Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah dalam bukunya, Fiqih
Wanita, ia mengemukakan bahwa upah hadhanah sama seperti upah radha’ah
(penyusuan), seorang ibu yang masih bersuami dengan bapak anak yang
diasuhnya, maka ia tidak berhak pendapatkan upah dari sang suami, begitu juga
dengan wanita yang sedang menjalani masa iadah karena ia masih mendapatkan
nafkah dari keluarga (suami), sedangkan setelah selesai menjalani masa idah
maka ia berhak mendapatkan upah sebagai mana ia berhak mendapatkan upah
radha’ah (penyusuan).15
Begitu pula Sulaiman Rasyid dalam bukunya, Fiqih Islam, ia menjelaskan
tentang syarat-syarat menjadi pendidik (hadin) bagi anak dan urutan yang berhak
mempunyai hak hadhanah.16
Kemudian dalam buku Ilmu Fiqih yang ditulis oleh Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, dijelaskan bahwa hadhanah berbeda dengan tarbiyah,
dalam hadhanah disamping terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan
rohani juga terkandung pengertian pendidikan bagi anak, dan masa hadhanah
14 A. Mukriarto, Praktek-praktek Perkara pada Pengadilan Agama, Yogyakarta, 2005.
Cet. VI. Hlm. 219. 15 Kamil Muhammad Uwaidah, Op, Cit. hlm. 455. 16 Sulaiman Rasyid, Op, Cit. hlm. 427.
10
10
anak baik laki-laki maupun perempuan sampai meraka telah mencapai usia
baligh.17
Selain buku-buku tersebut di atas sebenarnya masih banyak lagi buku-
buku yang lain yang membahas mengenai seputar hadhanah, berdasarkan
literatur di atas sejauh pengetahuan penulis belum ada tulisan yang mengangkat
tema tentang hak hadhanah bagi anak yang belum ada tulisan mengangkat tema
tentang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz.
E. Metode Penulisan Skripsi
1. Jenis penelitian
Penulisan skripsi ini berdasarkan kepada penelitian lapangan (field
research) di Pengadilan Agama Demak disamping itu juga melalui library
research yang mempunyai relefansi dengan masalah hak hadhanah bagi anak
yang belum mumayyiz.
2. Sumber data
Dalam penelitian ini penulis mengambil dua sumber data yaitu :
a. Data primer berupa putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/ Pdt.G/
2003/ PA. Dmk.
b. Data skunder berupa buku-buku serta literatur yang relevan dengan
persoalan yang dibahas dalam skripsi ini.
17 Departemen agama, Ilmu Fiqih, Jakarta, Dirjen Pembinaan Kelembagaan agama Islam, 1985. hlm. 217.
11
11
3. Metode pengumpulan data
a. Dokumentasi
Yakni dengan pengumpulan data yang ada pada dokumentasi, obyek-
obyek penelitian terkait serta catatan-catatan lainnya yang terdapat di
Pengadilan Demak,18 diantaranya berkas perkara putusan Pengadilan
Agama No. 768/ pdt.G/ 2003/PA.Dmk. sebagai data primernya.
b. Wawancara (interview)
Yakni salah satu cara memperoleh informasi dengan jalan bertanya
langsung kepada pihak-pihak yang diwawancarai atau pihak ke dua,19
wawancara ini dilakukan di Pengadilan Agama Demak dengan para
responden yang terdiri dari hakim penitera, dan pihak-pihak yang
berperkara.
4. Metode analisis data
Setelah data terkumpul, kemudian penulis melakukan analisis dengan
menggunakan metode diskriptif normatif. Metode diskriptif normatif yaitu
metode yang digunakan untuk mendiskripsikan norma-norma yang menjadi
dasar para hakim dalam menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara di
Pengadilan.20
18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hlm. 234.
19 Hadari, Nawawi, Metode-metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Gajah Media Univgercity Press, 1993, Cet. V, hlm. 63.
20 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Serasin, 1989,
hlm. 68-69
12
12
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam penyusunan skripsi ini penulis akan membagi ke dalam lima bab,
di antara di suatu bab dengan bab lain merupakan rangkaian (kesatuan) yang
berkaitan.
Adapun bab tersebut meliputi sub bab yaitu :
Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan latar belakang
permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan skripsi.
Bab II Tinjauan Umum tentang Hadhanah
Dalam bab ini merupakan landasan teori yang berisikan antara lain
pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, syarat-syarat hadhanah,
tujuan dan hikmah hadhanah.
Bab III Putusan Pengadilan No. 768/ pdt.G/ 2003/PA.Dmk. tentang Hak
Hadhanah bagi Anak yang Belum Mumayyiz.
Pada bab ini akan disajikan hasil penelitian yang didahului oleh
gambaran umum profil Pengadilan Agama Demak, kedudukan dan
kewenangan Pengadilan Agama Demak dan proses putusan Pengadilan
Demak No. 768/ pdt.G/ 2003/PA.Dmk. tentang hak hadhanah bagi anak
yang belum mumayyiz.
13
13
Bab IV Analisis tentang Putusan Pengadilan Demak No. 768/ Pdt.G/ 2003/
PA.Dmk. tentang Hak Proses Hadhanah bagi Anak yang Belum
Mumayyiz.
Pada bab ini akan berisi tentang analisis terhadap putusan Pengadilan
Agama Demak No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA.Dmk. tentang hak proses
hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz. dan analisa hukum formil
dan analisis hukum materiil terhadap putusan Pengadilan Agam Demak
No. 768/ Pdt.G/ 2003/ PA.Dmk. tentang hak proses hadhanah bagi anak
yang belum mumayyiz.
Bab V Penutup
Bab ini merupakan bab ujung yang berisi kesimpulan dari seluruh
rangkaian penulisan tugas skripsi dilanjutkan saran-saran seperlunya
bagi penyusunan skripsi ini dan diakhiri penutup.
14
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH
A. Pengertian Hadhanah
Hadhanah berasal dari kata ناحض – يحضن – حضن yang berarti نبجال 1
(lambung, rusuk) erat atau dekat, jadi hadhanah ialah “meletakkan sesuatu dekat
dengan tulang rusuk atau di pangkuan”. Seperti kata, hadhanah ath-thoairu
baidhahu artinya burung itu menghimpit (mengeram) telur di bawah sayapnya.
Demikian juga jika seorang ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan
dipangkuannya seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya.
Sehingga lebih tepatnya hadhanah secara bahasa ialah memelihara anak dengan
meliputi biaya dan pendidikannya.2
Para ahli fiqih mendefinisikan hadhanah adalah : melakukan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa
perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,
menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani,
rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul
tanggung jawabnya.3
1 Ahmad Warson Munawar, Almunawir, Kamus Arab - Indonesia, Surabaya : Pustaka
Progresif , 1997, hlm. 212. 2 Abdur Rahman Al Jaziri, Kitabul fiqih ala Madzahibul Arba’ah, Bairut : Darul Fikri,
t.th. hlm. 594. 3 Sayid Sabiq, Fiqih Sunah,, Bandung : Al Ma’arif, hlm. 173.
15
15
Hadhanah merupakan kewenangan untuk merawat dan mendidik orang
yang belum mumayiz atau yang kehilangan kecerdasannya karena mereka tidak
bisa mengerjakan keperluan diri sendiri. Kewenangan seperti itu lebih tepat
dimiliki kaum wanita karena naluri kewaniataan yang ia miliki dan kesabarannya
dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibanding
laki-laki.4
Istilah hadhanah hanya dapat dijumpai dalam pasal 1565 kompilasi hukum
Islam (instruksi presiden nomor 1 tahun 1990). Namun kalau dilihat dari
pengertiannya bahwa hadhanah ialah memelihara dan mendidik anak, maka hal
ini diatur juga dalam pasal 45 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Hadhanah berbeda maksudnya dengan pendidikan (tarbiyah). Dalam
hadhanah terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani disamping
terkandung pula pengertian pendidikan terhadap anak. Hadhanah dilaksanakan
dan dilakukan oleh keluarga si anak yang merupakan hak dari hadin (pengasuh)
tetapi kalau tarbiyah bisa dilaksanakan oleh keluarga atau bukan dan ini
merupakan pekerjaan profesional, pendidikan belum tentu merupakan hak dari
pendidik.6
Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil definisi yang pokok bahwa
hadhanah adalah :
4 Abdul Azis Dahlan, et al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Intermasa, 1996, hlm. 415 5 Kompilasi Hukum Islam, Bandung, Fokus Media, 2005, hlm. 50. 6 Departemen Agama, Ilmu Fiqih, Jakarta, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1985, hal. 207.
16
16
1. Pemeliharaan terhadap anak-anak yang belum dewasa, dengan meliputi biaya
dan pendidikannya.
2. Hadhanah dilakukan oleh orang tua.
B. Dasar Hukum Hadhanah
Kewajiban orang tua kepada anaknya meliputi berbagai aspek, namun jika
disederhanakan aspek tersebut terdiri atas dua yaitu, kewajiban moril dan
meteriil.7 Dalam Islam kewajiban tersebut merupakan kewajiban bersama, jadi
tidak hanya ditujukan kepada ayah, namun ibu juga harus membantu dalam
memikul dan berusaha melakukan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Ketika kedua orang tua masih hidup dalam satu ikatan perkawinan,
pemeliharaan anak dapat dilakukan bersama-sama namun jika terjadi perceraian
antar keduanya, maka hak pengasuhan jatuh kepada ibu, tetapi ayah juga masih
bertanggung jawab terhadap biaya pemeliharaannya, tanggung jawab seorang
ayah tidak hilang karena terjadi perceraian, kewajiban memlihara (hadhanah)
didasarkan pada al Qur’an dan hadits.
1. Al Qur’an
ها الناس والحجارة عليها يكم نارا وقودواهل سكملذ ين أمنوا قوا انفا يا ايها
)٦: التحريم ( غالظ شداد اليعصون اهللا ما امرهم ويفعلون مايؤ مرونئكةمال
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
7 Rahmad Hakim, Perkawinan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2000, hlm. 224.
17
17
diperintahkanNya kepada mereka san selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim : 6)8
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada orang tua untuk
memelihara anaknya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota
keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menghentikan larangan
Allah termasuk dalam anggota keluarga dalam ayat ini ialah, anak.
لىعوط ةعاض الرمت ين ادر انم لنيلام آنيلو حنه دالو انعضر ياتدلوالو
ارضت الجاهعس وال اسف نفلكات لطفروعمال بنهتوسآ ونهقز ره لدولولما
االصا فادر انا فظكل ذلث مثارلو الىع وهدلو به لدولومالا وهدلو بةدالو
وا عضرتس تن امتدر انا وطامهيل عاحن جال فراوشتا ومهن ماضر تنع
نا اوملاع و اهللاوقات وطفورعمال بمتيتا ا ممتملا سذ امكيل عاحنجال فم آدالوا
)٢٣٣: البقره ( .ريص بنولمعا تبم اهللا
Artinya : “Para ibu hendaknya menyusukan anak-anak selama dua tahun, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf, seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya, janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya dan waris pun berkewajiban demikian, apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya, dan jika kamu ingin disusukan orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut, bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Al Baqarah 2 : 233)9
8 Departemen Agama Republik Indonesia, AlQur’an dan Terjemah, Surabaya, 1993,
hlm. 951. 9 Ibid , hlm. 57.
18
18
Dalam ayat di atas secara eksplisit tidak menegaskan bahwa tanggung
jawab pemeliharaan anak menjadi beban yang harus di penuhi suami sebagai
ayah, namun pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada ibu
melekat di dalamnya, tanggung jawab pemeliharaan anak. Hal ini diperkuat
lagi dengan ilustrasi, apabila anak tersebut disusukan oleh wanita lain yang
bukan ibunya sendiri, maka ayah bertanggung jawab untuk membayar
perempuan yang menyusuinya.10
2. Al Hadis
يا رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم ان : عن عبد اهللا بن عمر ان امراة قالت
زعم ابوه ابنى هذا آان بطنى له وعاء وحجري له حواء وثديى له سقاء و
واحرج احمد وابو داود . (انه ينزعه منى فقال انت احق به مالم تنكحى
)والبيهقى والحكم صححه
Artinya : “Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, bahwa perempuan bertanya : “Ya Rasullulah, sesungguhnya bagi anak laki-lakiku ini perutkulah yang menjadi bejananya, lambungku yang menjadi pelindungnya dan usukku yang menjadi minumannya, tetapi taba-tiba ayahnya merasa berhak untuk mengambil dariku, maka sabdanya “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum kawin dengan orang lain.11
Kemudian dasar pertimbangan hukum berikutnya :
لوسى رل اتءاج ةارم اتعمسى ناالا اذ هلوقاى الن املهلا : قال ابو هريرة
دق ونىاب ببهذ ين ادير يىجو زن اهللا الوس ريا: فقالت هدن عداعق نااو اهللا
فقالهيلا عمهشا: ى فقال رسول اهللا نعف ندق وةبن ابى عرئب ن مانىقس
10 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, cet. 3. hlm. 237.
11 Abu Daud, Sunah Abu Daud, Bairut, Dar Alfikri, 1996, hlm. 525.
19
19
ا مهي ادي بذخف كم اهذه ووكبا اذه: بى فقال النى دلى و فاقح ينا مهجوز
12 .ه بتقلطنا فهم ادي بذخا فتئشArtinya : "Ya Allah sesungguhnya saya tidak akan mengatakan ini kecuali
saya dengar perempuan datang kepada Rasulullah dan saya duduk disampingnya, maka wanita itu berkata, "Ya Rasulullah sesungguhnya suamiku mau membawa anakku pergi padahal dialah yang mengambil air untukku dari sumur Abi Ubah dan dia pun berguna sekali bagiku". Maka Rasulullah berkata : "Ini ayahmu dan ini ibumu,, pilihlah mana yang engkau sukai." Lalu anak tersebut memilih ibunya. Lalu ibunya pergi membawa anaknya.
Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 ketentuan pemeliharaan
anak dimaksukkan dalam bab X, tentang hak dan kewajiban orang tua dan
anak, pasal 45 – 49, sedang dalam kompilasi hukum Islam, hal yang sama
dimasukkan bab XIV tentang pemeliharaan anak yaitu pasal 98 – 99,
kemudian bagian ke tiga yang membahas akibat perceraian, yang terdiri atas
pasal 156 beserta ayat-ayatnya.
C. Syarat-syarat Hadhanah
Seorang hadhin (pengasuh anak) yang menangani dan menyelenggarakan
anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang
memerlukan syarat-syarat tertentu jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi
satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya. Syarat-
syaratnya itu adalah :
1. Berakal, tidak terganggu ingatannya
12 Abu Abdillah Abdussalam, Ibanatul Ahkam, Juz 3, Bairut, Darul Fikri, t. t, hlm. 465.
20
20
Sebab hadhanah merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab oleh sebab
itu seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak
layak melakukan tugas hadhanah.13
2. Dewasa
Sebab abak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia tetap membutuhkan orang lain
yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya karena itu dia tidak boleh
menangani urusan orang lain.14
3. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik
makhdun (anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang
bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
4. Amanah dan berbudi
Orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan tidak dapat dipercaya akan
dapat menunaikan kewajibannya dengan baik, orang yang rusak akhlaknya
tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh
karena itu ia tidak layak melaksanakan tugas ini.
Namun Syayid Sabiq berpendapat bahwa persyaratan seperti ini sangatlah
sukar dipenuhi dan memberatkan seorang hadhin sehingga banyak anak-anak
yang terlantar akibat sedikitnya hadhin yang bisa memenuhi syarat ini, Islam
tidak pernah mencabut anak dari asuhan ibu bapaknya atau salah seorang dari
mereka ini, karena kedurhakaan (kecurangannya). Tidak pernah Nabi dan para
13 Moh. Rifai, et. Al, Terjemah kholashah Kifayatul Akhyar, Semarang: CV Toha Putra,
hlm. 352. 14 Wahbah Zuhaili, Al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu, Juz 7, Bairut: Darul Fikri, t.th.
hlm. 726.
21
21
sahabatnya pun melarang seorang durhaka mendidik dan mengasuh anaknya
atau mengawinkan orang yang berada dalam perwaliannya.15
5. Islam
Seorang non muslim tidak berhak dan tidak boleh di tunjuk sebagai pengasuh.
Tugas mengasuh termasuk ke dalamnya usaha mendidik anak menjadi muslim
yang baik, dan hal itu jadi kewajiban mutlak atas kedua orang tua.
Hadhanah juga merupakan masalah perwalian sedangkan Allah tidak
membolehkan orang mukmin di bawah perwalian orang kafir.
Allah berfirman :
)141: النساء ( .....اليب سنينمؤى المل عنيرا فكلل اهللالعج ينلو.....
Artinya : ... dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir menguasai orang-orang mukmin ..... (An – Nisa' : 141)
6. Belum kawin lagi, jika yang melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak
yang diasuhnya. Dasarnya adalah penjelasan Rasulullah bahwa seorang ibu
hanya punya hak hadhanah bagi anaknya selama belum menikah dengan laki-
laki lain (HR. Abu Dawud). Namun ahli-ahli fiqih tidak menggugurkan hak
hadhanah pada ibu jika ia menikah dengan kerabat dekat si anak yang
memperlihatkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.16
7. Merdeka, karena seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan
degan tuannya sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.
15 Syayid Sabiq, Op cit. hlm. 180. 16 Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta, Prenada
Media, 2004, cet. 1, hlm. 172.
22
22
D. Urutan Orang yang Melakukan Hadhanah
Sebagaiman orang yang berhak mengasuh anak adalah ibu, maka para
fuqoha’ menyimpulkan, keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak dari pada
keluarga bapak. Urutan mereka yang berhak mengasuh anak adalah sebgai
berikut :
1. Ibu
2. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas
3. Nenek dari pihak ayah
4. Saudara kandung perempuan anak tersebut
5. Saudara perempuan se ibu
6. Saudara perempuan se ayah
7. Anak perempuan ibu yang sekandungnya
8. Anak perempuan ibu yang seayah
9. Saudara perempuan ibu yang sekandungnya
10. Saudara perempuan ibu yang se ibu (bibi)
11. Saudara perempuan ibu yang se ayah (paman)
12. Anak perempuan dari saudara perempuan se ayah
13. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung
14. Anak perempuan dari saudara lai-laki se ibu
15. Anak perempuan dari saudara laki-laki se ayah
16. Saudara perempuan ayah yang sekandung
17. Saudara perempuan ayah yang seibu
23
23
18. Saudara perempuan ayah yang se ayah
19. Bibinya ibu dri pihak ibunya
20. Bibinya ayah dari pihak ibunya
21. Bibinya ibu dari pihak ayahnya
22. Bibinya ayah dari pihak ayahnya, nomor 19 sampai dengan 22 dengan
mengutamakan yang sekandung pada masing-masingnya. 17
Jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan
muhrim diatas, atau ada juga tetapi tidak mengasuhnya, maka pengasuhan anak
tersebut beralih kepada kerabat laki-laki yang masih muhrimnya atau
berhubungan darah (nasab) dengannya sesuai dengan urutan masing-masing
dalam persoalan waris, yaitu pengasuhan anak beralih kepada.
1. Ayah anak tersebut
2. Kakek dari pihak ayah tersebut dan seterusnya ke atas
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki se ayah
5. Anak laki-laki dari anak laki-laki sekandung
6. Anak lakilaki- dari anak laki-laki se ayah
7. Paman yang sekandung dengan ayah
8. Paman yang seayah dengan ayah
9. Pamannya ayah yang sekandung
10. Pamannya ayah yang searah dengan ayah
17 Kamil Muhamad Uwaidah (terjemah) Abdul Gofur, Fiqih Wanita, Jakarta, Al Kautsar, 2006, hlm. 456.
24
24
Jika tidak ada seorang pun kerabat dari muhrim laki-laki tersebut, atau
ada tetapi tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih
kepada muhrim-muhrimnya yang laki-laki selain kerabat dekat, yaitu :
1. Ayahnya ibu (kakek)
2. Saudara laki-laki se ibu
3. Saudara laki-laki dari saudara laki-laki se ibu
4. Paman yang seibu dengan ayah
5. Paman yang sekandung dengan ibu
6. Paman yang seayah dengan ibu
Dan selanjutnya, jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat sama sekali,
maka hakim yang akan menunjuk seoarang wanita yang sanggup dan patut untuk
mengasuh dan mendidiknya.18
E. Masa dan Upah Hadhanah
Pada prinsipnya masa hadhanah akan berakhir tatkala tidak membutuhkan
lagi pemeliharaan, atau dia sudah bisa berdiri sendiri, bagi wanita jika ia sudah
menikah, namun bagi laki-laki jika ia sudah bekerja, menurut Hanafiyah,
berakhirnya masa mengasuh anak setelah anak berusia 7 tahun bagi laki-laki dan
9 tahun bagi anak perempuan,19sedang menurut Imam Syafi’i, tak ada batasan
yang jelas dalam mengasuh anak ini, tetapi bila anak itu telah sampai usia 7 atau 8
18 Ibid, hlm. 457. 19 Sa’id Thalib Hamdani (terjemah) Agus Salim, Risalatun Nikah, Jakarta, Pustaka
Amani, 1989, hlm. 264.
25
25
tahun atau anak itu sudah dianggap baliqh, dia disuruh memilih antara ibu dan
ayahnya, namun bila si anak memilih ibunya, maka tetap dipikul ayahnya.20
Dalam kompilasi hukum Islam pasal 98 ayat 1, dikatakan bahwa, Batas
usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa dalam 21 tahun, sepanjang
anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melakukan
perkawinan.21
Perkembangan anak dalam mencapai tingkat kedewasaan dapat ditempuh
melalui dua fase yaitu :
1. Fase pemeliharaan yaitu waktu si anak itu memerlukan penjagaan dan bantuan
yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan.
2. Fase beralihnya si anak ke tangan walinya, yaitu waktu si anak itu sangat
memerlukan bantuan orang yang melaksanakan pendidikan dan pengajaran.
Menurut Imam Hanafi bahwa anak yang ada pada tahap ini harus pindah ke
tangan ayah atau orang yang menyertainya dari kalangan ashabah.22
Hadits sebagai pedoman tentang masa hadhanah di antaranya.
a. Sabda Rasulullah kepada wanita yang mengadukan kepada Rasulullah bahwa
anaknya yang masih kecil diambil ayahnya (mantan suaminya) lalu beliau
bersabda : ىحكن تمال مه بقح اتنا
20 Rahmad Hakim, Op cit, hlm. 225. 21 Kompilasi Hukum Islam, Op cit, hlm.34. 22 Mu'amal Hamidi, Perkawinan dan Persoalannya, Bagaimana Pencegahannya dalam
Islam, Surabaya, Bina Ilmu, 1978, hlm. 161.
26
26
“Engkau lebih berhak terhadap anakmu ini selama engkau belum menikah
(dengan laki-laki lain).23
b. Peristiwa Umar bin Khatab yang memperebutkan anaknya dengan mertuanya,
mertuanya meminta agar anak diasuh ibunya (mantan istri Umar), kemudian
khalifah Abu Bakar memutuskan anak itu diserahkan kepada ibunya.24
c. Hadits yang berhubungan dengan anjuran Rasulullah SAW, agar orang tua
mengasuh anak-anaknya yang telah berumur 6 sampai 7 tahun untuk
mengerjakan shalat, jika anak tersebut umur 9 tahun enggan melaksanakan
shalat maka boleh dipaksa kalau perlu dipukul.25
Mengenai biaya hadhanah sama seperti upah rodhoah, ibu tak berhak atas
upah hadhanah selama ia masih menjadi istri dari ayah anak itu, atau selama
idahnya, karena dalam keadaan tersebut si istri masih mempunyai hak nafkah.26
Namun jika terjadi perceraian maka seorang istri yang dicerai berhak atas
upah hadhanah seperti halnya upah radha’ah sebagaimana yang disebutkan dalam
surat Al Baqarah ayat 223 dan surat At Talaq ayat 6.
Bedanya hanyalah nafkah langsung untuk keperluan anak, tetapi biaya
hadhanah diberikan secara tidak langsung, karena diberikan kepada hadhin atau
hadhinah.27
23 Abu Daud, Op cit, hlm. 525. 24 Depag, Ilmu Fiqih, Op cit. hlm. 216. 25 Ibid. 26 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Kakarta, Midas Surya Grafinda, 1988,
hlm. 409. 27 Depag, Op cit, hlm. 217.
27
27
Jika ibu tak sanggup melakukan hadhanah, maka hak hadhanah dapat
dipindahkan ke pihak lain, dengan biaya yang ditanggung oleh ayah (suami),
namun dalam hadhanah diutamakan kerabat yang ada hubungan muhrim,
mengingat keamanan si anak, sedang pada radha’ah boleh dilakukan oleh selain
kerabat karena tujuan radha’ah ialah memberi makan anak dengan makanan yang
sesuai dengan umurnya yaitu air susu, sedang tujuan hadhanah ialah memelihara
dan mendidik anak.28
Jika ibu enggan mengasuh kecuali dengan upah sedangkan di antara
keluarga (mahram) anak itu ada yang bersedia mengasuhnya dengan sukarela
maka hal itu harus dipertimbangkan sebagai berikut :
a. Jika bapak itu orang yang mampu maka ia harus memberikan upah mengasuh
itu kepada ibunya, anak itu tidak boleh diasuh oleh keluarganya yang lain
meskipun dengan sukarela, karena pengasuh seorang ibu kepada anaknya
lebih maslahat bagi anak itu sendiri, apabila bapak mempu membayarnya.
b. Jika bapaknya orang yang tak mampu, atau upah mengasuh akan diambil dari
harta anak itu sendiri, maka anak itu boleh diasuh oleh wanita keluarga yang
mengasuh dengan sukarela. Hal ini atas pertimbangan supaya harta anak itu
selamat dan dapat dipelihara untuk kepentingan hari depannya.29
28 Ibid, hlm. 218. 29 Peunoh Daly, Op. cit, hlm. 409 – 410.
29
29
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK NOMOR 768 /Pdt. G/ 2003/ PA.
Dmk TENTANG HAK HADHANAH BAGI ANAK YANG BELUM
MUMAYIZ
A. Sekilas Tentang Pengadilan Demak
1. Sejarah Pengadilan Agama Demak
Berdasarkan bukti sejarah yang tertulis dalam buku-buku sejarah,
dikertahui bahwa Pengadilan Agama di Indonesia telah ada sejak zaman
kerajaan-kerajaan Islam memerintah di Indonesia, seperti kerajaan Samudera
Pasai, Kesultanan Demak dan lain sebagainya.
Menurut para ahli sejarah, Samudera Pasai adalah kerajaan Islam
pertama di Indonesia dan Sultan Malik Al Salih adalah raja pertamanya.
Dalam hal ini sangat dimungkinkan di Samudera Pasai juga terdapat Peradilan
Agama pertama di Indonesia. Sedangkan untuk wilayah Jawa, para ahli
sejarah sepakat bahwa Kesulatanan Demak adalah kerajaan Islam pertama
yang berdiri di Jawa, dimana Sultan Patah adalah sultan pertamanya.
Sebagaimana halnya dengan Samudera Pasai, di Kesultanan Demak pun
sangat dumungkinkan adanya Peradilan Agama pertama di Jawa.1
Berdasarkan cerita yang ada, Peradilan Agama di Demak sudah ada
sejak pemerintahan Sultan Patah. Dalam menjalankan sistem Peradilan
1 Interview dengan Bpk. Abdurrahman, SH Panitera Pengadilan Agama Demak pada tanggal 1 November 2007.
30
30
Agama di Demak adalah para wali sembilan, khususnya Kanjeng Sunan
Kalijaga. Pengadilan Agama ini wilayah kekuasaannya tidak hanya meliputi
masalah-masalah perdata saja, melainkan juga masalah pidana. Hal ini
terbukti dengan meluas dan populernya cerita tentang Sunan Kalijaga dan
Syeh Siti Jenar. Dalam kisah tersebut bahwa Syeh Siti Jenar di dakwa telah
menyebarkan ajaran sesat yang kemudian di vonis hukuman mati oleh para
wali. Dan Sunan Kalijaga bertindak sebagai eksekutornya.
Meskupun cerita tersebut sudah sangat populer dan mengindikasikan
adanya Peradilan Agama, akan tetapi mengenai asal mula sejarah berdirinya
Pengadilan Agama di Demak sampai sekarang ini belum diketahui secara
pasti mengenai hari dan tanggalnya.2
Setelah Kesulatanan Demak tidak ada lagi dan wilayah Indonesia
didasarkan pada Koninklijk Besluit nomor 24 (dalam staablad nomor 152/
1882 yang berlaku sejak 1 Agustus 1882) yang mengatur tentang
pembentukan Bepaling Betreffende de Priesteraaden op Java en Madoera
(sering disingkat Priesteraad saja). Keputusan ratu Belanda ini lebih bersifat
administratif dan prosedural, walaupun dalam pelaksanaannya mengalami
berbagai kendala finansial dan administratif. Selebihnya, kebijakan ini masih
menguntungkan hukum Islam diterapkan sebagai hukum bagi pemeluk agama
Islam.
2 Interview dengan hakim PA Demak. Drs. Abdul Ghofur pada tanggal 1 November
2007.
31
31
Kebijakan yang berasal dari teori receptio in compiexu van den Berg
ini kemudian ditentang oleh teori receptie snouck hurgronje, bahwa hukum
Islam beru berlaku jika sudah diterima oleh hukum adat. Maka keluarlah
staatbland 1909 nomor 128 dan staatblad nomor 232. dalam ketentuan ini
tidak ada lembaga banding, dan keputusan Pengadilan Agama harus
dimintakan executoir verklaring dari landraad sehingga menimbulkan
dualisme penerapan hukum.
Berbagai keberatan terhadap ketentuan ini memaksa munculnya
staatblad 1931 nomor 53 yang mengatur pembentukan Mahkamah Islam
Tinggi sebagai lembaga banding Peradilan Agama. Dalam ketentuan ini,
kompetensi Peradilan Agama hanya terbatas pada masalah nikah, talak dan
rujuk. Kebijakan ini makin kukuh dengan pemberlakuan staatblad 1937
nomor 116 dan 610. kebijakan ini tetap berlangsung hingga masa pendudukan
Jepang dan baru mengalami perubahan bertahap setelah Indonesia merdeka.
Peradilan Agama di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat
berarti ketika diundangkan dan diberlakukannya UU No. 14/1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 1/1974
tentang Perkawinan. Dan mencapai puncaknya ketika UU No. 7/1989
diundangkan dan diberlakukan UU No. 14/1970 memberikan tempat kepada
Pengadilan Agama sebagai salah satu Pengadilan Negara dalam melaksanakan
kekuasan kehakiman. UU No. 1/1974 memperbesar kekuasaan peradilan
32
32
agama dibidang perkawinan. Dan UU No 7/1989 memperkokoh kedudukan
Pengadilan Agama
Dukungan dan diberlakukannya UU No. 7/1989, merupakan peristiwa
penting dalam perkembangan Peradilan Agama di Indonesia. Hal ini
dikarenakan adanya beberapa perubahan yang meliputi :
a. Dasar penyelenggaraan Peradilan Agama di Indonesia yang seragam,
b. Kedudukan Peradilan Agama yang sejajar dengan peradilan lainnya,
c. Kedudukan hakim yang semakin kokoh,
d. Pemulihan kembali kekuasaan Pengadilan Agama,
e. Hukum acara yang lebih jelas dan tertulis,
f. Administrasi peradilan yang lebih proposional, dan
g. Perlindungan terhadap kaum wanita.3
2. Tugas dan Wewenag Pengadilan Agama Demak
Sebagaimana diketahui bersma bahwa penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman di Indonesia dilaksnakan oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha
negara, yang berpuncak pada mahkamah agung sebagai pengadilan negara
tertinggi. Peradilan pada keempat lingkungan peradilan itu memiliki cakupan
dan batasan kekuasaan masing-masing.
Adapun tugas dan wewenang Pengadilan Agama Demak ini meliputi
wewenang absolut dan wewenang relatif :
3 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1998, hlm. 127 et, seq.
33
33
a. Wewenang absolut
Sesuai dengan pasal 49 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989, secara
umum tugas Pengadilan Agama Demak adalah memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama, antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, serta
wakaf dan sadaqoh yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.4 Di dalam
UU No. 3 tahun 2006 wewenang Pengadilan Agama bukan hanya meliputi
hal-hal tersebut, tetapi sudah ditambah untuk dapat menyelesaikan
permasalahan ekonomi syari'ah.
b. Wewenang relatif
Wewenang relatif adalah wewenang dalam mengadili perkara
berdasarkan wilayah atau tempat domisili, dimana setiap perkara yang
diajukan harus berdasarkan wilayah hukum masing-masing sehingga
pengadilan tidak diperkenankan mengadili perkara di luar wilayah
hukumnya.5
Adapun wewenang relatif Pengadilan Agama Demak meliputi 14
kecamatan, yaitu :
1. Demak
2. Bonang
3. Wonosalam
4 M. Yahya Harahab, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta :
Sinar Grafika, Cet II, 2003, hlm. 202 – 203. 5 Ibid, hlm. 212 – 213.
34
34
4. Dempet
5. Kebonagung
6. Karangtengah
7. Guntur
8. Sayung
9. Mijen
10. Karanganyar
11. Wedung
12. Gajah
13. Mranggen
14. Karangawen.6
B. Proses Penyelesaian Perkara No. 768/ Pdt. G/ PA. Dmk di Pengadilan
Agama Demak
Proses penyelesaian perkara di PA Demak, pada dasarnya adalah
sebagaimana yang dipakai dalam proses penyelesaian perkara di peradilan umum,
hal ini telah dijelaskan dalam pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 yaitu : Bahwa
hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama
adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum,
kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UU No. 7 tahun 1989 yang berlaku
sejak tanggal 29 Desember 1989.
6 Data statistik Pengadilan Agama Demak, tahun 2006.
35
35
Menurut pasal di atas, hukum Acara Peradilan Agama sekarang
bersumber pada :
1. UU Nomor 7 tahun 1989 yang telah dirubah menjadi UU nomor 3 tahun 2006.
2. UU yang berlaku di lingkungan peradilan umum.7
Adapun proses persidangan yang telah ditetapkan majlis hakim dalam
persidangan di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan
2. Perdamaian
3. Replik (tanggapan penggugat terhadap jawaban tergugat)
4. Duplik (tanggapan tergugat)
5. Pembuktian dari penggugat
6. Pembuktian dari tergugat
7. Kesimpulan putusan
Dalam penyelesaian perkara No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk.
Pengadilan Agama Demak secara garis besar telah melalui semua tahapan
tersebut mulai dari pemeriksaan sampai pelaskanaan putusan.
1. Tahap Peneriamaan Perkara
Pengadilan Agama mempunyai tugas untuk menerima, memeriksa dan
mengadili semua perkara yang di ajukan kepadanya. Bagi seorang yang akan
mengajukan permohonan/ gugatan, maka pihak pemohon/ penggugat dapat
7 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2003, hlm. 20 – 21.
36
36
mengajukan permohonannya/ gugatannya ke pengadilan, baik secara lisan
maupun tertulis.
Gugatan yang diputus oleh Pengadilan Agama Demak dengan nomor
768/ Pdt. G/ 2003/ Pa. Dmk, termasuk gugatan yang dilakukan secara tertulis.
Kasus hak hadhanah No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk, berawal dari
gugatan yang diajukan oleh Tri Dewi Setyoningrum binti Soemar'ah yang
selanjutnya disebut sebagai penggugat terhadap Nur Chandik bin Sukandar
yang selanjutnya sebagai tergugat.
Adapun mengenai duduk perkaranya adalah sebagai berikut : Bahwa
penggugat telah mengajukan gugatan cerai tanggal 23 Oktober 2003 yang
didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Agama Demak dalam register
nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk.
Dasar penggugat mengajukan surat gugatan cerai adalah : bahwa
penggugat dan tergugat adalah suami isteri yang sah berdasarkan ikatan
perkawinan menurut kutipan Akta Nikah nomor K-09/ PW.01/ 120/ 2003 dari
KUA Kecamatan Karangtengah Demak tertanggal 25 April 2002.
a. Bahwa setelah menikah tergugat tinggal di rumah penggugat selama
5 hari, kemudian penggugat tinggal di tempat tergugat selama 11 bulan
dan telah dikaruniai seorang anak bernama Risa Agustias Maharani
umur 1 tahun.
b. Bahwa antara penggugat dan tergugat terjadi pertengkaran dan
perselisihan yang disebabkan tergugat tidak mau diajak pergi ke orang tua
37
37
penggugat, akhirnya penggugat terpaksa pergi ke orang tuanya tanpa
pamit, setelah penggugat pulang dari orang tua sampai di rumah tergugat
marah-marah.
c. Bahwa karena tergugat sering marah-marah, penggugat merasa tak kuat
lagi untuk hidup bersama dengan tergugat, akhirnya tanggal 15 Maret
2003 penggugat pulang kerumah orang tuanya.
d. Bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah + 7 bulan lamanya.
e. Bahwa selama 7 bulan tersebut tergugat tidak pernah memberi nafkah
wajib dan membiarkan / tidak memperdulikan kepada penggugat.
f. Bahwa dengan demikian tergugat telah melanggar shigat ta'lik talak oleh
karenanya sigat ta'lik talak terpenuhi. Disebabkan karena adanya
perselisihan dan pertengkaran yang tajam dan terus menerus sehingga
rumah tangga antara penggugat dan tergugat telah pecah dan sudah tak
ada harapan untuk hidup rukun kembali dalam satu rumah tangga.
Bahwa berdasarkan kelakuan tergugat tersebut, maka penggugat tidak
rela dan bersedia membayar uang iwadl yang telah ditentukan, mohon kepada
ketua Pengadilan Agama Demak agar berkenan memanggil kedua belah pihak
untuk memeriksanya dimuka persidangan serta menjatuhkan putusan yang
amarnya berbunyi sebagai berikut :
a. Mengabulkan gugatan penggugat;
b. Menyatakan syarat ta'lik talak telah terpenuhi;
38
38
c. Menetapkan jatuh talak satu kali tergugat terhadap penggugat dengan iwad
Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah);
d. Menetapkan biaya perkara ini beserta pembebanannya menurut ketentuan
hukum yang berlaku.8
2. Proses Persidangan
Setelah penggugat memasukkan gugatannya dalam daftar pada
kepaniteraan dan telah pula melunasi biaya perkara, kemudian ditetapkan
majlis hakim yang akan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk; adapun majlis hakim yang menangani
perkara tersebut adalah :
a. Drs. Mamat S, MH sebagai hakim ketua
b. Drs. Radi Yusuf sebagai tim anggota I dan
c. Dra. Hj. Farida sebagai tim anggota II serta
d. Abdur Rahman, SH sebagai panitera pengganti.
Selanjutnya pada hari sidang yang telah ditentukan, penggugat dan
tergugat datang menghadap sendiri di persidangan. Kemudian majlis hakim
dalam persidangan yang terbuka untuk umum telah berusaha merukunkan dan
mendamaikan serta memberi nasehat agar keduanya bersabar dan membina
rumah tangganya kembali dengan baik. Akan tetapi usaha tersebut tidak
berhasil, maka dilanjutkan dengan membacakan gugatan penggugat yang
8 Putusan PA Demak.
39
39
isinya tetap dipertahankan oleh penggugat, lalu dilanjutkan dengan
penyampaian tanggapan secara lisan oleh tergugat yang isinya :
a. Membenarkan posita penggugat point 1 dan 2.;
b. Bahwa dalam posita 3 yang benar adalah tergugat selalu bersedia diajak
ketempat orang tua penggugat;
c. Membenarkan posita 4 dan 5;
d. Bahwa walaupun penggugat pergi tanpa pamit tergugat masih tetap
menengok dan memberi serta mengirim nafkah untuk penggugat dan
anaknya;
e. Tergugat masih ingin membina rumah tangga dengan baik dan tergugat
memohon kepada majlis pemeriksa perkara ini untuk menolak gugatan
penggugat karena gugatan tersebut bukan berasal dari hati nurani
penggugat sendiri melainkan di provokasi oleh pihak lain;
f. Apabila penggugat minta cerai kepada tergugat, maka tergugat
mengajukan khuluk sebesar Rp 100.000.000 (serarus juta rupiah).
g. Mengenai hadhanah anak yang bernama Risa Agustias Maharani
walaupun baru perumur 16 bulan oleh karena ada indikasi tidak baik dari
pihak penggugat untuk memutuskan tali silaturahmi antara anak dan orang
tua. Hal ini diserahkan sendiri oleh tergugat. Sejak kepulangan penggugat
ke rumah orang tuanya, tergugat sudah berulang kali menemui penggugat
dan anaknya, akan tetapi tidak pernah berhasil, karena selalu dihalang-
halangi oleh keluarga penggugat dan juga oleh karena penggugat tidak
40
40
bekerja dan penggugat juga pernah meninggalkan anak tersebut selama
2 minggu sedangkan tergugat telah berkerja dan hidup mandiri maka
mohon kepada majlis hakim agar anak diserahkan hak hadhanahnya dari
penggugat kepada tergugat, serta tergugat bersedia untuk menjaga tali
silaturahmi kepada penggugat dan keluarganya.
Terhadap tanggapan tergugat tersebut penggugat menyampaikan
tanggapan lisan yang pada pokoknya tanggapan tersebut tidak benar dan
penggugat tetap mempertahankan pokok gugatannya dan mengenai hak
hadhanah anak, penggugat sanggup untuk mengasuh dan memelihara anak
walaupun pembiayaannya minta kepada orang tua. Oleh karenanya mohon
agar majlis hakim menetapkan anak tetap berada di tangan penggugat,
mengenai khuluk yang diminta oleh tergugat, penggugat menyanggupinya
sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Walaupun pada awalnya tergugat keberatan oleh karena sikap
penggugat yang sudah tidak bersedia rukun kembali, maka akhirnya tergugat
diam dan tidak memberi tanggapan.
Untuk memperjelas keadaan rumah tangga antara penggugat dan
tergugat, sesuai dengan pasal 22 ayat (2) PP No. 9/ 1975, serta untuk
meneguhkan dalil-dalil gugatannya, penggugat mengajukan alat-alat bukti
berupa :
41
41
a. Foto copy duplikat kutipan Akta Nikah Nomor : K.09/ PW.01/ 120/ 2003,
yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangtengah
Tergugat Demak tanggal 25 April 2003.
b. Surat Keterangan nomor 474.2/86/10/ 2003 tanggal 23 Oktober 2003 yang
dikeluarkan oleh Lurah Desa Pulosari Kecamatan Karangtengah Tergugat
Demak.
c. Surat Keterangan nomor 474.2/86/10/ 2003 tanggal 16 Oktober 2003 yang
dikeluarkan oleh Lurah Desa Pulosari Kecamatan Karangtengah.
Kemudian dilanjutkan dengan tanggapan tergugat terhadap alat-alat
bukti tertulis yang disampikan penggugat tersebut. Bahwa tergugat tidak
keberatan alat bukti Nomor 1 dan 2 namun pada alat bukti ketiga tergugat
mengatakan keberatan yang intinya tergugat tidak pernah menganiaya
penggugat, dan tergugat pernah dianiaya ayah penggugat sendiri, akibat dari
usaha kekluargaan yang ditempuh tergugat tidak berhasil, bukan dari niat
tidak baik dari tegugat sendiri untuk memperkuat sanggahannya penggugat
menyampaikan bukti tertulis :
a. Poto copy kutipan Akta Kelahiran nomor 7193/ TP/ 2003, tanggal 12
September 2003, oleh kantor catatan sipil Tergugat Demak.
b. Poto copy Kartu Keluarga nomor : 1854, tanggal 12 September 2003,
yang dikeluarkan oleh Camat Demak Tergugat Demak.
c. Poto copy Buku Tamu Rt 02/ Rw 01 Desa Pulosari Kecamatan
Karangtengah Tergugat Demak.
42
42
d. Surat Undangan yang disampikan KUA Kecamatan Karangtengah,
tanggal 26 Mei 2003 tentang undangan untuk penggugat agar hadir dalam
penegakan putusan PA nomor 235/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk., tanggal 19
dan 21 Mei 2003 di KUA Kecamatan Karangtengah Tergugat Demak.
e. Poto copy pos wesel yang dikirimkan tergugat tanggal 27 Mei, 5 Juli, 2
Agustus dan tanggal 15 Oktober 2003 ditujukan kepada tergugat
keseluruhannya berjumlah Rp 450.000,- (empat ratus lima puluh ribu
rupiah).
f. Surat Keterangan nomor : 045.2/ 401/ III/ 2003, tanggal 30 Oktober 2003
yang dikeluarkan oleh Kepala Kelurahan Mangunjiwan Kecamatan
Demak Tergugat Demak.
Bahwa terhadap alat bukti yang dikemukana tergugat, penggugat
menanggapinya dengan menyatakan : alat bukti No. 1 dan 2 mengakuiya dan
alat bukti No. 5 hanya menerima sekali. Selebihnya tidak menerimanya dan
alat bukti yang lain menyatakan tidak mengetahuinya.
Pada tahap selanjutnya, baik penggugat maupun tergugat dimohon
untuk menghadirkan saksi-saksi keluarga masing-masing untuk memberikan
keterangan di persidangan.
1. Saksi keluarga penggugat
Yaitu, Sumaroh bin Rahmat, umur 56 tahun, Kepala Desa Pulosari.
Memberi keterangan di bawah sumpahnya sebagai berikut :
a. Saksi mengaku sebagai ayah kandung penggugat.
43
43
b. Bahwa saksi mengetahui penggugat dan tergugat, adalah suami istri
yang sah dan menikah 1 tahun 6 bulan yang lalu.
c. Bahwa setelah menikah tergugat tinggal di tempat penggugat selama
sekitar 1 minggu kemudian penggugat di tempat tergugat sekitar
1 tahun, sudah mempunyai 1 orang anak bernama Risa Agustias
Maharani.
d. Bahwa sekarang ini antara penggugat dan tergugat sudah hidup
berpisah selama sekitar 7 bulan.
e. Mengenai sebab perpisahan saksi tidak mengetahuinya hanya menurut
keterangan yang dikonfirmasikan oleh saksi, tergugat mengakui
pernah menganiaya penggugat dan selama berpisah tergugat hanya
pernah datang ke tempat penggugat satu kali tanggal 20 Agustus 2003,
setelah itu tergugat membiarkan dan tak memperdulikan penggugat.
f. Saksi mengaku sudah tidak berhasil lagi untuk mendamaikan
keduanya dan kelakuan tergugat juga tidak baik kepada saksi, karena
tergugat pernah melaporkan saksi ke pengadilan negeri sehingga saksi
mendapat hukuman percobaan selama 10 bulan, sehingga saksi
keberatan untuk bermantukan tergugat.
2. Saksi keluarga tergugat
Yaitu, H. Sukandar bin Paryadi, umur 47 tahun, (pedagang) memberikan
keterangan dibawah sumpahnya sebagai berikut :
a. Saksi mengaku sebagai ayah kandung tergugat.
44
44
b. Bahwa mengenai sebab terjadi perpisahan, saksi mengetahuinya yaitu
penggugat pulang sendiri kerumah orang tuanya tanpa pamit tergugat,
selama berpisah tergugat berkali-kali datang bersama isteri saksi
ketempat penggugat untuk menengok dan memberi nafkah kepada
penggugat dan anaknya. Akan tetapi penggugat dan orang tuanya tidak
menerimanya dengan baik kedatangan tergugat, akhirnya tergugat
mengirim nafkah lewat pos wesel.
c. Bahwa ayah penggugat pernah meneriakan maling kepada tergugat
sehingga tergugat dikerumuni orang banyak namun tidak terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan, dan ayah penggugat pernah memukul
tergugat yang akhirnya berakibat berperkara di pengadilan negeri
dengan hukuman 10 bulan percobaan.
d. Bahwa melihat sikap orang tua penggugat yang demikian saksi sudah
tidak sanggup lagi untuk merukunkan keduanya.
Setelah mendengar keterangan dari para saksi baik penggugat maupun
terggugat tidak lagi mengajukan alat-alat bukti tambahan lainya dan
selanjutnya penggugat menyatakan danggup membayar uang tebusan sebesar
Rp 1.000.000,- kepada tergugat dan tergugat pun menerimanya, kemudian
keduanya memohon kepada majlis hakim untuk memberikan putusannya.
3. Tahap Pelaksanaan Putusan
Setelah Pengadilan Agama Demak menerima dan memeriksa perkara
cerai gugat, maka pengadilan tersebut menetapkan :
45
45
a. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.
b. Menyatakan penggugat telah menyerahkan kesepakatan antara penggugat
dan tergugat tentang besarnya uang iwad/ tebusan Rp 1.000.000,- (satu
juta rupiah).
c. Menyatakan penggugat telah menyerahkan uang iwad sebesar tebusan
Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada tergugat dan tergugat telah
menerimanya.
d. Menetapkan memberi ijin kepada tergugat (Nur Candik bin
H. Sukandar), untuk mengucapkan ikrar talaknya terhadap penggugat
(Tri Dewi Setyaningrum) di depan didang Pengadilan Agama Demak.
e. Menetapkan hak hadhanah anak yang bernama Risa Agustias Maharani
binti Nur Chandik diberikan kepda tergugat.
f. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara yang
timbul dalam permohonan ini sebesar Rp 156.000,- (seratus enam puluh
enam ribu rupiah).
Demikian putusan ini dijatuhkan di Demak pada hari senin tanggal
5 Januari 2004 atau pertepatan dengan tanggal 19 Dzulqa'dah 1424, oleh
Drs. Mamat S, MH sebagai hakim ketua majlis, serta Drs. Radi yusuf dan
Dra. Hj. Farida, MH, masing-masing sebagai hakim anggota, putusan mana
hari itu juga diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh
majlis tersebut yang di hadiri Abdur Rahman, SH sebagai panitera pengganti
serta penggugat dan tergugat.
46
46
C. Pertimbangan Hukum Pengadilan Agama Demak Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/
PA. Dmk.
Dalam peradilan perdata, tugas hakim ialah mempertahankan tata
hukum perdata (burgerlijke Rechtsorde), menetapkan apa yang di tentukan oleh
hukum dalam suatu perkara.
Berhubung dengan tugas tersebut, oleh para ahli hukum dipersoalkan,
beberapa jauh hakim harus mengejar kebenaran (waarheid) di dalam proses.9
Dalam hal memnberikan keputusan seoarang hakim tidak boleh
memihak kepada salah satu antara orang yang berperkara, bersifat bebeas dan
tidak pula terpengaruh oleh pemerintah. Disamping itu seorang hakim wajib pula
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam agama,
dan masyarakat, apabila di Pengadilan Agama yang menangani tentang kasus-
kasus perdata, maka dalam hal ini hakim wajib dituntut utnuk menerapkan asas
hukum yang sebenarnya, sebab kesalahan hakim adalah merupakan petaka bagi
hakim sendiri maupun pihak yang telah dirugikannya, yang pada akhirnya harus
dipertanggung jawabkan, baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam memberikan pertimbangan hukum suatu putusan harus memuat :
1. Gambaran tentang bagaimana hakim mengkwalifikasir fakta/ kejadian.
2. Penilaian fakta-fakta yang diajukan.
3. Pertimbangan hakim secara kronologis dan rinci setiap item, baik dari pihak
tergugat maupun penggugat.
9 R. Soepomo, Hukum Acara Perdata PengadilanNegeri Jakarta, Jakarta : Pradya paramita, Cet. Ke 14, 2000, hlm. 13.
47
47
4. Dasar-dasar hukum yang digunakan hakim dalam menilai fakta dan memutus
perkara baik hukum tertulis maupun taktertulis.10
Adapun pertimbangan hukum hakim Demak adalah :
a. Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan penggugat yang dituntut
dengan kutipan Akta Nikah nomor 454/ 30/ VI/ 2001 tanggal 16 Juni 2001
oleh KUA Karangtengah antara penggugat dan tergugat telah terikat
dalam suatu perkawinan yang sah dan belum pernah bercerai.
b. Menimbang bahwa hubungan antara penggugat dan tergugat sudah tidak
harmonis lagi, bahwa ketidak harmonisan tersebut sudah berimbas kepada
besan kedua belah pihak, hal ini berdasarkan Surat Keterangan nomor
474.2/ 86/ 10/ 03, tanggal 16 Oktober 2003.
c. Menimbang bahwa terhadap gugatan penggugat, tergugat bersedia untuk
diminta cerai oleh penggugat dengan membayar chuluk berupa uang
tebusan sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak dan uang tersebut telah diserahkan dan diterima
oleh tergugat.
d. Menimbang bahwa berdasarkan pasal 148 ayat (4) kompilasi hukum Islam
menyebutkan bahwa setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya
tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin
bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan
10 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar. 1996, hlm. 263
48
48
Agama dan inipun sesuai dengan dalil hukum Islam dalam kitab Subulus
Salam Juz II halaman 252 yang berbunyi :
نيجو الزني باضرت الع معل الخحصي
Artinya : Sahnya chuluk apabila dengan kerelaan kedua belah pihak.
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka majlis hakim
menetapkan memberikan izin kepada tergugat untuk mengucapkan ikrar
talaknya pada penggugat di depan sidang Pengadilan Agama.
f. Bahwa mengenai pemeliharaan anak pasal 45 ayat (1) UU No. 1 tahun
1974 menyatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak-anak mereka sebaik-baiknya, kemudian dalam pasal 105 huruf
a dan c KHI, dinyatakan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz
adalah hak ibunya dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh bapaknya.
Sedang dalam pasal 156 huruf a sampai d, menerangkan bahwa anak yang
belum mumayyiz berhak mendapat hak hadhanah dari ibunya, kecuali
ibunya meninggal dunia, dan jika pemegang hak hadhanah ternyata tidak
dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya
hadhanah telah dicukupi maka hak ini dapat pindah kepada kerabat lain
dan semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungjawab ayah
menurut kemampuan sampai anak tersebut dewasa (21) tahun.
g. Bahwa berdsasarkan pasal-pasal di atas anak yang bernama Risa Agustias
Maharani baru berumur 1 tahun 4 bulan, maka yang berhak memelihara
anak tersebut ialah ibunya dengan catatan ibunya (penggugat) dapat
49
49
menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak dengan biaya yang
ditanggung ayahnya (tergugat), namun jika jaminan tersebut tidak ada
maka Pengadilan Agama dapat memindahkan hak tersebut kepada pihak
lain.
h. Bahwa dikaitkan dengan kenyataan yang terungkap dalam persidangan
terutama sikap penggugat dan keluarganya, ternyata ada indikasi
pemutusan hubungan tali silaturrahmi antara anak dengan bapaknya, maka
hal ini akan mengganggu stabilitas emosi anak tersebut dan akan
berpengaruh negatif bagi perkembangan jiwa anak dimasa yang akan
datang, dan ketidak mampuan penggugat mencukupi kebutuhan nafkah
lahir anak karena penggugat tidak bekerja, maka kesejahteraan jasmani
anak tersebut secara tidak langsung akan terbengkelai.
i. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka majlis
hakim berpendapat guna menjamin terpenuhinya kebutuhan lahir dan
batin anak tersebut, maka akan lebih maslahat apabila hak hadhanah
tersebut dipindahkan dari penggugat kepada tergugat, serta membebankan
biaya perkara kepada penggugat berdasarkan pasal 89 ayat (1) UU No. 1
tahun 1989.11
D. Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Demak dalam Perkara Nomor 768/
Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk.
11 Departemen Agama, Bahan Penyuluhan Hukum, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999, hlm. 75.
50
50
Dasar hukum setiap putusan berisi tentang dasar hukum hakim dalam
memutus perkara, karena Pengadilan Agama dalam pangadilan khusus, maka
dasar untuk memperkuat putusan adalah segala peraturan perundang-undangan
negara yang berlaku, relevan disusun menurut urutan derajatnya dan urutan tahun
terbitnya, lalu dasar hukum Islamnya atau hukum taktertulis lainya.
Untuk lebih konkritnya penulis kemukakan dasar hukum yang dipakai
oleh hukum dalam memutus perkara nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk tentang
hak hadhanah anak yang belum mumayyiz jatuh kepada ayahnya.
Dasar hukum hakim dalam memutus perkara tersebut adalah pasal 45
ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu :
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya.
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.12
Kemudian dasar pertimbangan berikutnya adalah sebagai masa
pasal 105 huruf a, b dan c kompilasi Islam sebagai berikut :
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
12 Ibid, hlm. 103.
51
51
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.13
Dasar hukum berikutnya adalah pasal 156 huruf a sampia d kompilasi
Islam yaitu :
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh :
1) Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu.
2) Ayah.
3) Wanita-wanita dalam garis lurus dari ayah.
4) Saudara-saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
5) Wanita-wanita kerabat menurut garis samping ibu.
6) Wanita-wanita kerabat menurut garis samping ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat yang memepunyai
hak hadhanah.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun).
13 Lihat, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 35 – 36.
52
52
Demikianlah putusan Pengadilan Agama Demak beserta pertimbangan
dan dasar hukumnya. Putusan tersebut dijatuhkan pada hari senin tanggal 5
Januari 2004 M bertepatan dengan tanggal 19 Dzulqa'dah 1424 H, hukim yang
mengadili perkara tersebut yaitu Drs. Mamat S, MH sebagai hakim ketua
sedangkan hakim anggotanya adalah Drs. Hadi Yusuf dan Dra. Hj. Farida, MH.
Dan putusan tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum oleh ketua majlis, serta sebagai pemitera pengganti adalah
Abdurrahman, SH.
53
53
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK NOMOR 768 / Pdt.
G/ 2003/ PA. Dmk. TENTANG HAK HADHANAH BAGI ANAK YANG
BELUM MUMAYIZ
A. Analisis Terhdap Proses Penyelesaian Perkara Nomor 768 / Pdt. G/ 2003/
PA. Dmk.
Proses penyelesaian perkara di Pengadilan Agama Demak, pada dasarnya
adalah menggunakan tata cara sebagaimana yang dipakai di dalam hukum acara
yang berlaku di dalam lingkungan pengadilan umum, yaitu menurut tahap-tahap
penerimaan perkara.
1. Pemeriksaan
2. Perdamaian
3. Replik (tanggapan penggugat terhadap jawaban tergugat)
4. Duplik (tanggapan tergugat)
5. Pembuktian dari tergugat
6. Kesimpulan
7. Putusan
Proses di atas telah sesuai dengan ketentuan hukum yang ditentukan
dalam pasal 54 UU No. 7 tahun 1989, yang berbunyi sebagai berikut : "Hukum
acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah,
54
54
hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini".
Menurut pasal di atas hukum acara Peradilan Agama sekarang bersumber
(garis besarnya) pada 2 peraturan, yaitu : (1) yang terdapat dalam UU No. 7 tahun
1989 yang diamandemen UU No.3 tahun 2006, dan (2) yang berlaku di
lingkungan Peradilan Umum. Oleh sebab itu mengenai Putusan Nomor 768 /Pdt.
G/ 2003/ PA. Dmk, dimana hakim dalam melaksanakan proses penyelesaian
perkara telah sesuai dengan koridor-koridor hukum yang ada di Indonesia, sebab
pada dasarnya dapatlah dikatakan bahwa di Indonesia terdapat tiga sistem hukum
yaitu : sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum barat, yang
dalam perkembangan sistem hukum ini telah menjadi bahan baku dalam hukum
Indonesia.1
Kaitannya dengan perkara Nomor 768 /Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk.
Pengadilan Agama Demak dalam hal ini telah melalui beberapa tahap yaitu :
1. Tahap penerimaan perkara
2. Tahap pemeriksaan hingga upaya pembuktian
3. Tahap putusan
Mengenai tahap-tahap tersebut lebih jelasnya akan diuraikan sebagai
berikut :
1. Tahap Penerimaan Perkara
1 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2003, hlm. 21.
55
55
Dalam tahap ini melalui beberapa meja, yaitu meja I, meja II dan meja
III, meja tersebut merupakan kelompok pelaksanaan teknis yang harus dilalui
oleh suatu perkara di Pengadilan Agama, mulai dari pemeriksan sampai
perkara tersebut diselesaikan.2 Dalam penerimaan perkara ini secara garis
besar adalah meliputi :
a. Menerima gugatan.
b. Membuat surat kuasa untuk membayar (SKUM) dan menyerahkannya
kepada calon pemohon/ penggugat.
c. Menyerahkan kembali kepada calon penggugat/ pemohon.
d. Kemudian menaksir biaya perkara sebagaimana pasal 121 HIR.
Penerimaan perkara di Pengadilan Agama secara keseluruhan garis
besarnya meliputi :
a. Perkara permohonan.
b. Perkara gugatan.
c. Perkara banding.
d. Perkara kasasi.
e. Perkara PK.
Selanjutnya yang perlu diperhatikan dalam penerimaan perkara
tersebut di atas adalah memberi penjelasan-penjelasan yang dianggap perlu
berkenaan dengan perkara yang diajukan, begitu pula dalam memberi
2 Abdul Manan dkk, Proses Penyelesaian Perkara di PA, Jakarta : CV Mita Sarana,
1996, hlm. 5.
56
56
penjelasan, hendaknya dihindarkan dialog-dialog yang tidak perlu di dalam
meja.3
2. Tahap Pemeriksaan Hingga Upaya Pembuktian.
Setelah surat gugatan di daftarkan pada tanggal 23 Oktober 2003; dan
ditetapkan hari sidangnya, Pengadilan Agama Demak mulai memeriksa
Perkara Nomor 768 /Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Setelah persidangan dibuka,
majlis hakim menyatakan persidangan ini terbuka untuk umum, para pihak
yang berperkara yaitu penggugat yang bernama Tri Dewi Setyaningsih dan
tergugat Nur Chandik. Masing-masing hadir di persidangan, maka majlis
hakim menganjurkan damai antara pihak yang berperkara, sebab
bagaimanapun juga bahwa anjuran damai pada permulaan sidang adalah
bersifat mutlak atau wajib dilakukan. Akan tetapi usaha tersebut tidak
berhasil, maka kemudian sidang dinyatakan tertutup untuk umum dan
dilanjutkan dengan membacakan syarat penggugat yang isinya dipertahankan
oleh penggugat, kemudian majlis hakim mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kepada penggugat yang pada intinya diminta untuk menjelaskan perkara yang
diajukan tersebut.
Sidang berikutnya, dilanjutkan dengan tanggapan tergugat secara lisan
yang isinya antara lain membenarkan sebagaian posita penggugat dan tidak
membenarkan sebagian yang lain serta adanya permohonan mengenai
hadhanah anak yang bernama Risa Agustias Maharani, untuk diberikan
3 Ibid. hlm. 6.
57
57
kepadanya. Karena ada indikasi tidak baik dari pihak keluarga penggugat
untuk memutuskan silaturahmi antara anak dan tergugat, hal ini dirasakan
sendiri oleh tergugat, setiap ingin menemui penggugat dan anaknya tidak
pernah berhasil.
Hal ini sesuai dengan pasal 78 UU No. 7 tahun 1989 Jo pasal 24 UU
No. 9 tahun 1975, pada saat pemeriksaan perkara perceraian dapat
dimohonkan mengenai hal :
a. Penentuan nafkah.
b. Penentuan mengenai pemeliharaan anak.
c. Penentuan hal-hal untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang
menjadi hak suami dan isteri.4
Kemudian dilanjutkan dengan tanggapan penggugat atas jawaban
tergugat, yang intinya penggugat tetap mempertahankan pokok gugatannya
serta memohon kepada majlis hakim agar menetapkan anak berada di tangan
penggugat, mengenai khulu' penggugat hanya menyanggupi uang iwad
sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), walaupun tergugat awalnya
keberatan karena ia meminta Rp 100.000.000,- (seratus juta rupuah) namun ia
akhirnya diam dan tak memberi tanggapan.
Sidang berikutnya dilanjutkan dengan pembuktian baik dari penggugat
dan tanggapan tergugat terhadap bukti-bukti serta dihadirkan saksi-saksi
keluarga dari masing-masing pihak, mengenai hal ini secara teknis telah
4 Yahya harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta : Garuda Metropolitan, 1990, hlm. 282.
58
58
penulis paparkan pada bab III, proses ini telah sesuai dengan hadits Nabi yang
berbunyi :
.ركن انى مل عنيملياى وعدمى الل عةنالبيArtinya : "Keterangan (bukti) itu atas penggugat, sedangkan sumpah atas
orang yang mengingkari".5
Dalam perkara ini hakim senantiasa memberikan penerangan serta
berusaha mendamaikan kedua belah pihak untuk tidak bercerai, usaha
mendamaikan ini tak hanya pada sidang pertama namun terus dilakukan pada
setiap sidang pemeriksaan sebagaimana pasal 31 UU No. 1 tahun 1974. akan
tetapi penggugat bersikeras untuk tetap mempertahankan gugatannya,
sehingga pada tahap selanjutnya diteruskan dengan putusan hakim.
3. Tahap Pelaksanaan Putusan
Setelah majlis hakim menerima dan memeriksa perkara gugat cerai
dan hak hadhanah, maka majlis hakim bermusyawarah serta memutuskan
bahwa, memberikan ijin kepada tergugat (Nur Chandik bin H. Sukandar)
untuk mengucapkan ikrar talak terhadap penggugat (Tri Dewi Setyaningrum
binti Soemaroch), menetapkan hak hadhanah anak yang bernama Risa
Agustias Maharani bin Nur Chandik, diberikan kepada tergugat, dan
membebankan biaya perkara kepada penggugat yang hingga kini
diperhitungkan sebesar Rp 156.000,- (seratus lima puluh enam ribu rupiah).
5 Ibnu Hajar Al Asqalany, Bulughul Maram, Manadillah Al Ahkam, Bandung :
al-Ma'arif , t.t, hlm. 291.
59
59
Putusan Perkara Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ Pa. Dmk, adalah tepat dan
sejalan dengan proses hukum yang berlaku.
Putusan perkara ini adalah putusan akhir yang mempunyai kekuatan
eksekutorial, dan bersifat contradiktoir, artinya bahwa dalam pemeriksaan ini
dilalui dengan cara jawab menjawab secara timbal balik dengan kata lain
bahwa dalam pemeriksaan ini terjadi dialog langsung dalam bentuk replik dan
duplik. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim
adalah kepala putusan yang berbunyi :
"Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"
Putusan ini mengabulkan gugatan untuk sebagian dan menolak
selebihnya, dengan mengabulkan untuk gugat cerai namun menolak hak
hadhanah untuk diberikan kepada penggugat dan putusan ini merupakan
putusan akhir.6
Sesuai dengan pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama Demak.
Dalam sejarah peradilan Islam seperti dimasa Rasulullah dan para sahabatpun,
pemeriksaan perkara juga dilakukan oleh majlis hakim sebab hal itu akan
lebih menjamin kecermatan dan wujudnya keadilan.7 Oleh karena itu, setelah
dirasa cukup dalam proses pemeriksaan dalam Perkara Nomor 768/ Pdt. G/
2003/ PA. Dmk, maka hakim wajib menjatuhkan putusannya dengan segera
6 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada PA, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2000, hlm. 259. 7 Roihan dan A. Rasyid, op cit, hlm. 121.
60
60
dan tidak dibenarkan menunda-nunda putusan tersebut tanpa alasan yang
dibenarkan Undang-undang.
Dalam perkara ini hakim telah menerapkan putusan dengan sebenar-
benarnya dan tidak menyalahi aturan perUndang-undangan yang berlaku.
B. Analisis terhadap Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Demak
Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk.
Alasan yang dijadikan pertimbangan suatu putusan adalah memuat
pertimbangan hakim yang merupakan alasan pemutusan perkara, yang di timbang
secara kronologis dan korelasi terhadap segala macam dalil atau keterangan yang
diajukan oleh pihak yang berperkara.
Berikut ini penyusun akan menganalisis pertimbangan hukum hakim
dalam Perkara Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk, sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan pasal 148 ayat (4) kompilasi hukum Islam
menyebutkan bahwa setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwad
atau tebusan, maka pengadilan agama memberikan penetapan tentang izin bagi
suami untuk mengikrarkan talaknya adi depan sidang pengadilan Demak.
Hakim memerintahkan suami untuk mengikrarkan talak di depan sidang,
adalah sudah sesuai dengan keadan yang ada karena hubungan antara suami istri
tidak harmonis, serta kesepakatan antara keduanya dalam masalah iwad atau
tebusan sebagaimana dalil hukum Islam :
61
61
.بين الزوجينى ضر التن معل الخحصيوArtinya : "Sahnya khuluk apabila dengan kerelaan kedua belah pihak".8
Kedua, mengenai hak hadhanah anak yang bernama Risa Agustias
Maharani, hakim mendasarkan putusan dengan 3 pasal yaitu :
1. Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974, menyatakan bahwa : kedua orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2. Pasal 105 huruf a dan c kompilasi hukum Islam menyatakan bahwa
pemeliharan anak yang belum mumayiz atau belum berumut 12 tahun adalah
hak ibunya dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh bapaknya.
3. Pasal 156 huruf a sampai d Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya,
kecuali ibunya meninggl dunia, dapat dipindahkan kepada pihak lain.
b. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rahani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan
agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mendapat hak hadhanah pula.
c. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekeluarga sampai anak tersebut dewasa dan
dapat mengurus diri sendiri (21) tahun.
8 Al-San’ani, Subulus Salam, Bairut : Darul Fikrit,t.th, hlm. 319.
62
62
d. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf a sampai d.
Dasar hukum yang dipakai majelis hakim untuk memutuskan perkara ini
adalah sangat tepat, namun hakim memberi putusan tidak sesuai dengan pasal-
pasal tersebut karena hakim beranggapan bahwa kalau anak diberikan kepada
ibunya maka tidak mencerminkan keadilan.
Suatu putusan harus memuat 3 macam :
1. Mencerminkan keadilan.
2. Mencerminkan kemanfaatan.
3. Mencerminkan kepastian hukum.
Dalam hal ini majlis hakim beranggapan bahwa jika anak diberikan
kepada ibunya sebagaimana pasal di atas, maka ayahnya tidak bisa menemui anak
tersebut, karena setiap ayah ingin menjenguknya selalu dihalang-halangi oleh
pihak ibu, hal ini pun diakui oleh pihak ibu sendiri.9
Pertimbangan hukum yang ketiga, bahwa hakim melihat kenyataan yang
terungkap dalam persidangan, terutama sikap penggugat dan keluarganya yang
ternyata ada indikasi pemutusan hubungan silaturahmi antara anak dan bapaknya,
maka hal ini akan mengganggu emosi anak dan berpengaruh negatif terhadap
perkembangan jiwa anak dimasa yang akan datang.
Pertimbangan hakim yang dipakai dalam memutus perkara ini memang
sangat tepat, hakim mendasarkan putusannya dengan melihat kenyataan yang
9Wawancara dengan Bapak. Drs. Rady Yusuf, Salah Satu Hakim yang Menangani Kasustersebut pada tanggal 5 November 2007.
63
63
terungkap dalam persidangan bahwa penggugat mempunyai sikap ingin memutus
hubungan antara anak dengan ayah karena setiap ayah ingin menemui anak
tersebut selalu dihalang-halangi oleh keluarga penggugat (ibunya).
Syarat orang yang melaksanakan hadhanah itu diantaranya harus amanah
dan berlaku baik, jika anak diasuh oleh orang yang berkelakuan jelek
dikhawatirkan sifat seorang anak akan meniru sifat tersebut. Sehingga akan
berdampak negatif dalam kehidupannya.10
Melihat dari berbagai proses pertimbangan yang berlangsung maka wajar
jika majlis hakim berpendapat bahwa penggugat mempunyai kelakuan yang tidak
baik terhadap pihak tergugat dengan tidak menginginkan tergugat untuk bertemu
anaknya, namun satu hal yang kurang diperhatikan oleh majlis hakim, bahwa
majlis hakim mengabaikan pasal UU yang ada , dengan hanya bersandar kepada
fakta yang muncul dalam persidangan sebagaimana dalam pasal 62 ayat 1 UU
Nomor 7 tahun 1989, bahwa segala penetapan dan putusan pengadilan, selalu
harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal
tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Dari pasal tersebut jelas bahwa putusan disamping memuat alasan-alasan
harus juga disertai dasar Undang-undang yang mendukungnya ataupun sumber
hukum tak tertulis lainnya.
10 Abdul Manan, Penerapan Hakim Acara Perdata Dilingkungan PA, Jakarta :
Prenada media, 2005, hlm. 426.
64
64
Dalam pasal 105 menerangkan bahwa anak yang belum mumayiz jika
terjadi perceraian hak hadhanah jatuh kepada ibunya, karena seorang ibu lebiuh
bersabar dan lebih mampu untuk mengasuhnya dari pada ayah.
Apalagi anak yang bernama Risa Agustias maharani, baru berumur
1 tahun 4 bulan, tentunya masih sangat membutuhkan kasih sayang dan belaian
seorang ibu,dilihat dari kemaslahatan anak walaupun ibu memiliki kelakuan yang
kurang baik terhadap ayah (suaminya) dengan tidak mengijinkannya untuk
bertemu dengan anak tersebut, seharusnya kebutuhan untuk saat ini harus
diutamakan seperti kaidah fiqih :
.ذا تعارض الحقوق قدم منها المضيق على الموسع والفور على التراخىاArtinya : “Apabila saling bertentangan ketentuan hukum, maka didahulukan
yang waktu sempit dari pada yang longgar dan dilakukan yang menghendaki segera dari pada yang ditunda”.11
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233 :
..... والوا لدات يرضعن اوالدهن حولين آاملين
Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh”. (Al-Baqarah : 233)12
Dari ayat ini bahwa pada masa-masa kurang dua tahun kebutuhan anak
terhadap ibu lebih tinggi daripada ayahnya, karena anak masih membutuhkan air
susu dari ibu dan kasih sayangnya.
11 Imam Musbikin, Aziz Mustofa, Qowaid Al-Fiqhiyah, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2001, hlm. 76. 12 Depag, Al-Quran dan Terjemah, Surabaya : Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 57.
65
65
Hal ini diperjelas dalam KHI pasal 156 bahwa anak yang belum mumayiz
adalah hak ibunya, namun ketika anak itu sudah bisa berdiri sendiri maka anak
tersebut berhak untuk memilih sendiri mau ikut ayah atau ibunya.
Di dalam kitab Fathul Mu'in diterangkan bahwa orang yang berhak
melakukan hadhanah anak yang belum mumayiz, adalah ibu dari anak yang
bersangkutan selama ibu belum kawin dengan laki-laki lain kemudian nenek
sibayi lalu nenek dari ayah dan seterusnya.13 Hal ini pernah terjadi pada masa
Rasulullah "Ya rasul anakku ini adalah duri kandunganku, pangkuanku
merupakan tempatnya berlindung dan dari susuku ia mendapat muniman,
bapaknya telah menceraikan aku dan ia hendak mengambil anak ini dariku"
Rasul bersabda :"Engkau lebih berhak terhadap anak ini selama engkau belum
kawin lagi".14
Hal ini ini pun diperkuat sabda Nabi :
ه الترمذ رجاخ( ةامي القمو يهتبحا نيب وهني ب اهللاقرا فهدلو وةدالوبين قر فنم )ماجهوابى
Artinya : "Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya maka
Allah akan memisahkan antara dia dan kekasihnya pada hari kiamat" (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah)15
Pertimbangan hukum yang keempat bahwa dikaitkan dengan ketidak
mampuan penggugat untuk mencukupi kebutuhan anak maka hakim berpendapat
13 Moch Anwar, et al, Terjemahan Fathul Mu'in, Bandung : Sinar baru Al Gensindo,
Jilid 2, hlm. 1502. 14 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Midas Surya Grafindo, 1988,
hlm. 400. 15 Ibnu Rusyd, Imam Ghazali Said (terjemah) et. al, Bidayatul Mustand, Jakarta :
Pustaka Amani, 2002, hlm. 526.
66
66
bahwa kesejahteraan jarmani anak tersebut secara tidak langsung akan
terbengkelai.
Mengenai hal ini hakim kurang tepat dalam menjadikannya sebagai
pertimbangan hukum. Karena hal ini sudah diatur dalam pasal 41 UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan jo pasal 105 dan 156 kompilasi hukum islam
bahwa apabila terjadi perceraian antara suami dan isteri maka biaya hadhanah dan
nafkah menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya. Sekurang-kurangnya
sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri, sedangkan ibu
hanya berhak untuk mengurus anak sampai usia mumayiz (12 tahun).
Firman Allah :
) ٢٣٣ :البقرة (.... فورعمال بنه توسآ ونهقز ره لدلولم الىعو .…
Artinya : “…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaiankepada para ibu dengan cara ma’ruf …16
FirmanNya lagi :
ن آنا ونهيلا عوقيضت لن هوارضتال ومآدج ون ممتنك سثي حن من هونكسا نهروج انهوتأ فمك لنعضر انا فنهلم حنعض يى حتنهيل عوقفنأ فلم حتالوا )٦: الطالق ( ىرخ اه لعي ضرتس فمتراسع تنا وفورعم بمكنيا بورمتأو
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
16 Q.S. Al-Baqarah. hlm. 57.
67
67
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Dari kedua ayat tersebut jelas bahwa suami wajib memberikan nafkah
kepada isteri dan anak-anaknya, jika mereka telah bercerai suami masih
berkewajiban memberikan biaya hadhanah dan nafkah kepada anak-anaknya
sampai mereka dewasa.
Orang tua wajib memberi nafkah kepada anak-anaknya dengan beberapa
syarat :
1. Kedua orang tua mempunyai kelonggaran rizki.
2. Anak tidak mempunyai harta dan pekerjaan.17
Kewajiban suami bukan hanya memberikan biaya kepada anaknya namun
juga harus memnerikan upah kepada isterinya yang memelihara anaknya.
Upah memelihara sama halnya nafkah menyusui, yaitu harus dibayar oleh
ayah apabila si anak kecil itu tidak mempunyai harta, dan jika dia punya harta
sendiri, maka upahnya diambilkan dari harta anak tersebut. Namun harus juga
diperhatikan bahwa jika ibu yang memelihara anak itu maka masih berhak
menerima upah pemeliharaan, begitu juga perempuan yang ditalak raj’i, selama
dia masih dalam iddah, karena menerima nafkah sebagai isteri dan nafkah iddah.18
Selanjutnya kembali pada pokok permasalahan dalam perkara Nomor 768/
Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Terlepas dari tepat dan kurang tepatnya pertimbangan
17 Imam Taqiyudin Abu Bakar Al Husaiani, Ahmad Zaidun (terjemah), Kifayatul
Akhyar, Surabaya : Bina Ilmu, 1997, hlm. 620. 18 Mu’amal Hamidy, Perkawinan dan Persoalannya, Bagaimana Pemecahannya
dalam Islam, Surabaya : Bina Ilmu, 1978, hlm. 160.
68
68
hakim dalam perkara ini, namun melihat dari seluruh proses pertimbangan yang
dilaksanakan oleh majlis hakim di Peradilan Agama Demak, dimana adanya
indikasi dari pihak ibu untuk memutus silaturahmi anak terhadap bapaknya serta
ketidak mampuan ibu dalam mencukupi kebutuhan anak karena ibu tak bekerja.
Maka sangatlah beralasan bila hukum Pengadilan Agama Demak memutuskan
bahwa hak hadhanah diberikan kepada ayahnya.
Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, menyatakan bahwa kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Dilanjutkan ayat (2) bahwa kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini berlalu sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.19
Menurut pasal ini memelihara dan mendidik anak adalah kewajiban orang
tua meskipun keduanya sudah bercerai, selama anak itu belum mencpai usia 18
tahun atau sampai anak itu kawin kewajiban orng tua memelihara anak meliputi
pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani). Pelayanan (memberi dan
menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu
kebutuhan primer dan skunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial
ekonomi orang tua anak.20
Dalam perkara ini selanjutnya majlis hakim mengadili bahwa berdasarkan
pasal 89 UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka biaya perkara
dibebankan kepada penggugat yang hingga kini diperhitungkan sebesar
19 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo, 2003, hlm. 245. 20 Abdul Manan, op cit, hlm. 429.
69
69
Rp 156.000,- (seratus lima puluh enam ribu rupiah) serta menyatakan bahwa
jatuhnya talak dan hak hadhanah jatuh kepada tergugat (ayahnya).
C. Analisis Terhadap Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Demak
Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk.
Dalam setiap putusan landasan yang digunakan majlis hakim harus sesuai
dengan dasar hukum dalam perUndang-undangan. Berikut ini penyusun akan
menganalisis putusan Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk, tentang hak hadhanah
anak yang belum mumayiz jatuh kepada ayahnya.
Dasar hukum yang dipakai hakim Pengadilan Agama dalam perkara
tersebut adalah pasal 45 UU Nomor 1 tahun 1974 Jo pasal 105 huruf a dan c serta
156 huruf a sampai d. kompilasi hukum Islam.
Sesuai dengan ketentuan yng berlaku, dasar hukum untuk memutus
perkara ini adalah peraturan perUndang-undangan negara yang berlaku disusun
menurut urutan derajatnya.
Beberapa sumber hukum yang digunakan di dalam lingkungan Peradilan
Agama adalah :
1. Kitab UU hukum perdata (Burgerlijk Wetbock Voor Indonesia) disingkat
BW.
2. Reglemen Indonesia yang dibaharui (Het Helziene Indonesia Reglement)
yang lebih dikenal dengan singkatan HIR atau RIB.
70
70
3. Reglemen acara daerah luar Jawa dan Madura (Reglement Tot Regiling Van
Het Rechwezen In De Gewesten Bulten Java En Madura), atau disingkat
RBG.
4. UU No. 7 tahun 1989
5. UU No. 14 tahun 1970
6. UU No. 14 tahun 1985
7. UU no. 1 tahun 1974 Jo PP No. 9 tahun 1975
8. UU No. 20 tahun 1947
9. Inpres No. 1 tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam)
10. Peraturan Mahkamah Agung
11. Surat edaran Mahkamah Agung RI
12. Peraturan Menteri Agama dan Keputusan Menteri Agama
13. Kitab-kitab Fiqih Islam dan sumber hukum tidak tertulis lainnya.
14. Yurisprudensi Mahkamah Agung.21
Dalam perkara ini, hakim menggunakan UU Nomor 1 tahun 1974
kemudian dikuatkan pasal 105 dan 156 huruf a sampai d Kompilasi Hukum Islam,
berarti secara urutan derajat adalah sudah tepat namun ada beberapa hal yang
kurang mendapat perhatian dari hakim :
Pertama, dasar hukum yang digunakan oleh hakim yaitu pasal 105 dan
156 kompilasi hukum islam ternyata tidak sesuai dengan alasan yang menjadi
pertimbangan hukum hakim, alangkah baiknya jika hakim menguatkannya
21 Mukti Arto, op cit, hlm. 12.
71
71
dengan undang-undang atau kitab-kitab islam yang menjadi rujukan bagi
Pengadilan Agama sebagaimana pasal 62 ayat (1) No. 3 Tahun 2006.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar diterangkan bahwa syarat-syarat orang
berhak mengasuh anak setelah perceraian di antaranya menjauhkan dari hal-hal
yang tidak baik dan dapat dipercaya, karena mengasuh anak berarti menguasai
anak tersebut jika yang memelihara anak bersifat kurang baik maka
dikhawatirkan anak akan tumbuh dewasa meniru cara hidup pengasuh tersebut.
Lebih lanjut Imam Nawawi menfatwakan bahwa kelayakan ibu dalam
mengasuh anak harus ditetapkan didepan hakim, kalau ayah atau yang lainnya
yang mempunyai hak asuh menyangkal kelayakan ibu dalam mengasuh anak.22
Kedua, hakim hanya mendasarkan pada fakta yang terjadi dalam
persidangan namun alasan tersebut tidak disertai dengan dasar-dasar hukum yang
dapat menguatkannya.
Dari pertimbangan-pertimbangan hukum yang dipakai oleh majlis hakim
ternyata hakim hanya mendasarkan pada kenyataan yang terungkap dalam
persidangan namun tidak disertai dengan dasar hukum yang menguatkan
putusannya, dalam hal ini hakim memaparkan pasal 105 dan 156 KHI yang isinya
bahwa hadhanah anak kecil adalah hak seorang ibu.
Lebih-lebih dalam perkara hadhanah, ditinjau dari kebutuhan anak yang
masih kecil dan belum mandiri, hadhanah merupakan kewajiban bagi orang tua,
ketika orng tua masih dalam hubungan perkawinan. Hadhanah bisa dilaksanakan
22 Imam Taqiyudin Abu Bakar al Husaini, op cit. hlm. 647.
72
72
bersama-sama namun jika terjadi perceraian tidak sedikit anak yang menanggung
akibat perceraian itu.
Prinsip perceraian dalam Islam adalah dilarang, hal ini dapat dilihat pada
isyarat Rasulullah SAW, bahwa talak adalah perbuatan yang paling dibenci Allah,
sabda Rasulullah SAW :
ضغب املس وهيل عى اهللال ص اهللالوس رالق: رضى اهللا عنه قال رمعن ابى ع )رواه ابو داود وابى ماجه والحاآم( قال الط اهللاى اللالالح
Artinya : "Diriwayatkan dari ibn Umar r.a. katanya : Rasulullah pernah
bersabda " perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak / perceraian"23.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternatif
terakhir, sebagai "pintu darurat" yang boleh ditempuh manakala bahwa
kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhannya dan
kesinambungannya.24 Kalau memang ternyata harus dilakukan perceraian maka
kepentingan anak harus di pikirkan misalnya siapa yang harus memelihara, hak
apa saja yang harus diberikan orang tua kepada anaknya, termasuk juga tuntutan
hak pernguasaan anak.25
Untuk itu hakim yang memeriksa dan mengadili hadhanah haruslah
bersikap hati-hati, harus mempertimbangakan dari berbagai aspek kehidupan dan
hakim wajib memberikan putusan seadil-adilnya, dalam hal ini hakim harus
memiliki 2 pengetahuan, yaitu : pengetahuan tentang hukum dan pengetahuan
23 Abu Dawud, Sunah Abu Dawud, Bairut : Dar al Fikr, 1996, hlm. 120. 24 Ahmad Rafiq, op cit, hlm. 268. 25 Abdul Manan, op cit, hlm. 424.
73
73
mengenai peristiwa hukum yang terjadi, lalu mengkualifikasirnya dan selanjutnya
menerapkan hukum yang semestinya pada peristiwa itu.26
Maka dari itu, bagi para hakim di Pengadilan Agama dituntut harus aktif
dalam menemukan pokok permasalahan yang dihadapi para pihak yang
berperkara, sehinga dalam putusan tersebut, hakim akan terhindar dari kesalahan
fatal, yang akan menjerumuskan masa depan anak.
26 Ibnu Qoyim Al Jauziah Adnan Qohar, anshoruddin(terjemah), Hukum Acara
Peradilan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 2.
74
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Putusan perkara Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk. Berawal dari gugatan
yang diajukan oleh Tri Dewi Setyaningrum terhadap tergugat Nur Chandik
bin H. Sukandar, yang berisi tentang tuntutan untuk mengajukan talak khul’i.
Namun dalam persidangan diajukan pula hak hadhanah anak yang bernama
Risa Agustias Maharani yang pada saat itu berumur 1 tahun 4 bulan, ternyata
telah sesuai dengan Hukum Acara Perdata. Secara garis besar dalam
prosesnya melalui beberapa tahap yaitu, tahap penerimaan perkara, tahap
pemeriksaan hingga pembuktian dan tahap pelaksanaan putusan.
2. Pertimbangan hukum yang digunakan Majelis hakim dalam memutus perkara
Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk tentang hak hadhanah bagi anak yang
belum mumayiz, adalah bahwa hakim melihat kenyataan yang muncul dalam
persidangan yaitu adanya indikasi dari pihak ibu untuk memutus hubungan
tali silaturahmi antara anak dan ayahnya, karena pihak ibu selalu menghalang-
halangi ayah setiap kali ingin menemui anaknya serta di kaitkan ibu tidak
bekerja, maka kebutuhan hidup anak secara tidak langsung akan terbengkelai,
sehingga majlis hakim menetapkan hak hadhanah jatuh kepada ayahnya
namun hal ini tidak sesuai dengan pasal 105 dan 156 KHI yang dijadikan
75
75
dasar hukum oleh majlis hakim tersebut, karena pasal itu menerangkan bahwa
yang wajib membiayai kebutuhan hidup anak adalah ayah.
3. Dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam memutus yaitu pasal 45
ayat 1 UU tahun 1974 jo 105 dan 156 KHI belum cukup kuat untuk
mendukung alasan-alasan hakim, alangkah baiknya jika hakim menguatkan
putusanya dengan kitab-kitab fiqih islam dan sumber hukum tidak tertulis
lainnya yang dapat menguatkan putusannya.
B. Saran-saran
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang penulis lakukan, ada beberapa
hal yang ingin penulis sampaikan :
1. Para hakim di Pengadilan Agama Demak dalam mengambil pertimbangan
hukum untuk perkara yang sama dengan perkara Nomor 768/ Pdt. G/ 2003/
PA. Dmk, hendaknya sesuai dengan pasal-pasal yang dijadikan dasar
hukumnya. Pertimbangan hukum majlis hakim dalam hal ini adalah adanya
kenyataan bahwa ibu tidak bekerja, sehingga tidak bisa menjamin kebutuhan
anak padahal pasal 41 UU nomor 1 tahun 1974 Jo pasal 105 dan 156
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa semua biaya hadhanah dan
nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah sampai anak itu dewasa.
2. Para hakim di Pengadilan Agama Demak dalam mengambil dasar hukum
yang sama dengan perkara nomor 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk jangan hanya
mengacu pada pasal 45 UU Nomor 1 tahun 1975 Jo pasal 105 dan 156
Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi dalil yang digunakan dalam mengambil
76
76
putusan tersebut, seharusnya juga menyertakan kitab-kitab fiqih islam dan
sumber hukum tidak tertulis lainnya, sehingga kredibilitas hakim
dimasyarakat akan terjaga.
C. Penutup
Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang tidak ada daya dan kekuatan
kecuali dari-Nya, hanya karena Anugerah dan Pertolongan-Nyalah penulis dapat
mengatasi segala hambatan dan rintangan yang mengusik selama proses
penyelesaian karya ilmiah ini hingga pada akhirnya penulis dapat berhasil
menyelesaikannya.
Seluruh kemampuan dan usaha telah penulis coba demi sebuah hasil yang
baik dan maksimal, akan tetapi kami sadari dan akui akan keterbatasan
pengetahuan, kemampuan serta pengalaman yang ada dalam diri kami, dari itulah
penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan skripsi ini.
Kepada semua pihak yang turut membantu baik langsung maupun tidak
langsung hingga kami berhasil menyelesaikan skripsi ini, dengan segala
kemurahan hati penulis haturkan terima kasih, seiring do’a semoha Allah SWT,
memberikan balasan yang lebih baik.
Akhirnya dengan mengharap Ridla dan Kemurahan-Nya semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya.
Wallahu al-Muwafiq ila Aqwami al-Thariq
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, dkk, Proses Penyelesaian Perkara di PA, Jakarta: CV Mita Sarana, 1996
Abdussalam, Abu Abdillah, Hibanatul Ahkam, Bairut: Darul Fikri, t,th, Juz III. A. Muktiarto, Praktek-praktek Perkara pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: 2005,
Cet. VI. Ansorudin, (terjem), Hukum Acara Peradilan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006. Al-Asqolani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Manadillah Al Ahkam, Bandung:
Al Ma’arif, t.th. Al-Husaini, Imam Taqiyudin Abu Bakar, Ahmad Zaedun (terjem), Kifayatul Akhyar,
Surabaya: Bina Ilmu, 1997. Al-Jaziri, Abdurrohman, Kitabul Fiqih Ala Madzahibil Arba’ah, Bairut: Darul Fikri,
t, th. Al-San’ani, Subul Al-Salam, Juz III, Lebanon – Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiah,
1988. A. Rasyid, Roehan, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003. Arikunto, Suharsini, Prosedut Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 1997. Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998. Budiono, Abdul Rahmat, Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia, Malang:
Bayu Media, 2003. Dahlan, Abdul Aziz, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, Jakarta: Ikhtiyar Baru,
Van Hoefe, 1996, Cet 1. Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan islam, Jakarta: Midas Surya Grafinda, 1988.
Dawud, Abu, Sunan Abu Dawud, Bairut – Lebanon: Dar Al-Fikr, 1996. Depag, Al-Quran Dan Terjemah, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993. ________, Ilmu Fiqih, Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985. ________, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1999 Efendi, Satria, Probematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Prenada
Media, 2004 Hakim, Rahmad, Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000. Hamdani, Said Thalib, Agus Salim (terjem), Risalatun Nikah, Jakarta: Pustaka
Amani, 1989. Hamidi Muamal, Perkawinan dan Persoalannya Bagaimana Pencegahannya dalam
Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1978. Harahab, M. Yahya, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta:
Sinar Grafika, Cet. II, 2003 Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Islam, Cet. 1, 2005. Mannan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan PA, Jakarta:
Prenada Media, Cet. 3, 2005. Moh Anwar, dkk, Terjemahan Falkhul Mu’in, Bandung: Sinar Baru Al Gensindo,
Jilid 2. Moh Rifai, dkk, Terjemah Khulashoh Khifayatul Akhyar, Semarang: CV Toha Putra. Muhadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Serasin, 1989. Munawar, Ahmad Warson, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997 Musbikin, Imam, Quwaid Al Fiqhiyah, Jakarta: Raja Drafindo Persada, 2001. Nawawi, Hadari, Metode-metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Gajah Media
University Press, 1993. Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk.
Rasyid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Al Gensindo, 1994, Cet. 27. R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri Jakarta, Jakarta: Pradya
Paramita, Cet. 14, 2000 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Graf indo Persada, 1998 Said, Imam Ghozali, dkk, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani,
2002 Subekti, dkk, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradya Pramita, 2001 Syabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, Jilid 6, Bandung: Al-Ma’arif, 1980 Uwaidah, Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998. Wahbah Zuhaili, Al Fiqhu al Islami wa Adilatuhu, Bairut: Darul Fikri,t.th.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Asmuni
Tempat, Tanggal Lahir : Demak, 20 April 1982
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Desa Krandon Rt. 11 Rw. III Kecamatan Guntur
Kabuapten Demak
Pendidikan : 1. Madrasah Ibtidaiyah Tholibin Krandon Tamat
Tahun 1995.
2. Madrasah Tsanawiyah Hidayatus Syuban Genuk
Tamat Tahun 1998.
3. Madrasah Aliyah Fuhiyyah 1 Mranggen Tamat
Tahun 2002.
4. Fakultas Syariah Jurusan Ahkwal Sakhsyiah IAIN
Walisongo Semarang.
BIO DATA PENULIS
Nama : Asmuni
Tempat, Tanggal Lahir : Demak, 20 April 1982
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Desa Krandon Rt. 11 Rw. III Kecamatan Guntur
Kabuapten Demak.
Nama Orang Tua
a. Ayah : Mat Thohir
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat : Desa Krandon Rt. 11 Rw. III Kecamatan Guntur
Kabuapten Demak.
b. Ibu : Al Fiyah
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat : Desa Krandon Rt. 11 Rw. III Kecamatan Guntur
Kabuapten Demak.
Drs. H. Eman Sulaeman, M.H
Tugurejo A.3 Rt. 02 Rw. 01
Tugu Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 5 (tiga) eksemplar
Hal : Naskah Skripsi Semarang, 14 Januari 2008
a.n. Sdr / a Kepada Yth.
Asmuni Bapak Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Setelah saya mengadakan korelasi dan perbaikan seperlunya, maka bersama ini saya
kirimkan naskah skripsi saudara :
Nama : Asmuni
NIM : 2102116
Jurusan : Ahwal Al-Syakhiyah
Judul skripsi : Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/Pdt.G/
2003/ Pa. Demak. Tentang Hak Hadhanah bagi Anak yang Belum
Mumayiz.
Dengan ini saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat di munaqosahkan.
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing I Pembimbing II Drs. H. Eman Sulaeman, M.H Drs. Saekhu NIP. 150 254 348 NIP. 150 268 217
Semarang, 14 Januari 2008
Kepada Yth.
Bapak Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Setelah kami selesai memberikan bimbingan penulisan skripsi saudara :
Nama : Asmuni
NIM : 2102116
Jurusan : Ahwal Al-Syakhiyah
Judul skripsi : Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/Pdt.G/
2003/ Pa. Demak. Tentang Hak Hadhanah bagi Anak yang Belum
Mumayiz.
Maka kami memberikan nilai sebagai berikut :
1. Proses bimbingan : ..................................................
2. Kemampuan penulisan
(metode & materi) : ..................................................
Nilai rata-rata : ..................................................
Demikian harap menjadikan maklum, dan atas perhatiannya kami ucapkan terima
kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing
Drs. H. Eman Sulaeman, M.H NIP. 150254348
Semarang, 7 Januari 2008
Kepada Yth.
Bapak Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Setelah kami selesai memberikan bimbingan penulisan skripsi saudara :
Nama : Asmuni
NIM : 2102116
Jurusan : Ahwal Al-Syakhiyah
Judul skripsi : Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak No. 768/Pdt.G/
2003/ Pa. Demak. Tentang Hak Hadhanah bagi Anak yang Belum
Mumayiz.
Maka kami memberikan nilai sebagai berikut :
1. Proses bimbingan : ..................................................
2. Kemampuan penulisan
(metode & materi) : ..................................................
Nilai rata-rata : ..................................................
Demikian harap menjadikan maklum, dan atas perhatiannya kami ucapkan terima
kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing
Drs. Saekhu NIP. 150268217