struktur spasial wilayah pheri urban sebagai sistem dari tata ruang

Upload: maks-muhlis-stewars

Post on 20-Jul-2015

1.055 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

STRUKTUR SPASIAL WILAYAH PHERI URBAN SEBAGAI SISTEM DARI TATA RUANG KOTAPosted December 28, 2009 by syahriartato Categories: Uncategorized

Abstrak Penulisan ini mengangkat judul tentang Struktur Spasial Wilayah Pheri Urban sebagai sub sistem dari suatu tata ruang kota. Dan akan mengulas lebih mendalam mengenai struktur keruangan wilayah pheri urban menyangkut tentang dimensi presentase bentuk pemanfaatan lahan kedesaan, dimensi presentase bentuk pemanfaatan lahan perkotaan. Daerah pinggiran kota adalah suatu daerah yang juga dikenal sebagai daerah urban-fringe atau daerah peri-urban atau nama lain yang muncul kemudian merupakan daerah yang memerlukan perhatian yang serius karena begitu pentingnya daerah tersebut terhadap peri kehidupan baik desa maupun di kota dimasa yang akan datang. Berbagai dimensi kehidupan dikemukakan secara sistematik agar memudahkan pembaca merasa mudah mengikuti alur pemikiran yang dibangun.Dalam wilayah pheri urban secara fisik morfologis inilah sifat-sifat baik kedesaan dan kekotaan non fisikal menunjukkan intensitas yang jelas, sehingga secara akademik, para peneliti dapat menggunakannya sebagai dasar identifiksi wilayah. Karena wilayah ini bersifat multidimensional sehingga sangat menarik berbagai disiplin ilmu. Ciri khas wilayah ini sangat istimewa yang tidak dimiliki oleh wilayah lain yaitu dalam hal keterkaitan yang begitu besar dengan aspek kehidupan kota maupun desa yang tercipta secara simultan. Dalam beberapa hal ini sifat kekotaan terlihat lebih menonjol. Perpaduan sifat kedesaan dan kekotaan inilah yang menarik untuk dibahas, dan hal ini menjadi sedemikian penting untuk dikemukakan, karena pemahaman struktur keruangan wilayah pheri urban akan memfasilitasi dalam pemahaman kekuatan kekuatan yang berperan mengubah performa dari berbagai perspektif. Dan bagian ini akan dikemukakan mengenai latar belakang permasalahan yang dihadapi wilayah pheri urban dan pentingnya studi wilayah pheri urban secara umum dan khusus di Indonesia. A. Pendahuluan Sejarah perkembangan studi wilayah pheri urban adalah Studi yang pertama kali mulai menyinggung WPU adalah studi yang dikemukakan oleh Von Thunen pada tahun 1926. Teorinya dikenal dengan The Isolated State Theory. Wilayah Pheri Urban yang disinggung adalah pola pemanfaatan lahan yang terbentuk berkaitan dengan pertimbangan biaya transportasi, jarak dan sifat komoditas. Oleh karena fakta empiris membuktikan bahwa keberadaan kota dan wilayah pheri urban sangat bervariasi adanya ditinjau dari segi fisikal, maka untuk membahas teorinya. Pada prinsipnya, wilayah pheri urban didominasi oleh lahan pertanian dimana jenis komoditas yang diusahakan oleh petani membentuk pola keruangan yang khas. Perkembangan kotanya didominasi oleh bentuk perkembangan konsentris dan terjadi sangat lambat dan bahkan terkadang stagnan karena kotanya dibatasi oleh benteng yang dibangun pada

masa sebelumnya untuk masa maksud pertahanan dan pada kasus ini perkembangan kotanya bersifat sentripental dalam wujud pemadatan bangunan (densifikasi) bangunan. Fakta empiris menunjukkan bahwa perkembangan fisik kota yang substansial terjadi sejalan dengan perkembangan teknologi transportasi dan telekomunikasi. Pada perkembangan selanjutnya, muncul ide ide baru dan berkembang sebagai teori teori baru . Walaupun belum secara khusus atau eksplisit mengemukakan mengenai wilayah pheri urban, namun sudah membahas kondisi wilayah pheri urban sendiri. Pada saat itu belum muncul istilah khusus yang mengacu pada wilayah pheri urban. Baru pada dekade abad 20, muncul istilah yang diperkenalkan oleh Gaplin (1915) mengenai wilayah pheri urban yaitu istilah urban. Istilah tersebut merupakan akronim dari kata rural dan urban yang pada awalnya digunakan untuk menunjukkan suatu wilayah kedesaan yang mengalami perubahan menuju sifat kekotaan. Kemunculan istilah baru tersebut sangat menarik perhatian para pemerhati wilayah perkotaan dan wilayah, sehingga mengundang munculnya studi baru dan memunculkan konsep-konsep baru pula. Beberapa tahun setelah itu bermunculan teori-teori baru mengenai kota dan sekitarnya (Yunus, 2008 : 42). B. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan Tujuan dari penulisan ini adalah: Menjelaskan faktor faktor yang mempunyai pengaruh substansial terhadap dimensi pembentuk pemanfaatan lahan dalam stuktur spasial wilayah urban. Menjelaskan teori-teori yang menyangkut struktur spasial wilayah pheri urban.

2. Kegunaan Kegunaan penyusunan ini adalah untuk mengetahui sejarah perkembangan studi wilayah pheri urban, mengetahui metoda pendekatan sistem yang dimanfaatkan untuk delimitas sub zona wilayah pheri urban serta untuk mengetahui dimensi bentuk pemanfaatan lahan di dalam struktur spasial wilayah pheri urban sebagai sub sistem suatu tata ruang kota. C. Pembahasan Seperti telah dikemukakan oleh banyak pakar mengenai studi kota, bahwa pada masa yang akan datang kebanyakan penduduk di dunia ini akan bertempat tinggal di kota. Hal ini didasarkan oleh kenyataan bahwa jumlah penduduk kota kota di dunia mempunyai kecendrungan makin besar. Sebagian besar penduuk kota yang baru tersebut akan menempati lahanlahan yang berada di sekitar lahan terbangun, karena keberadaan lahan lahan kosong yang dapat dimanfaatkan untuk permukiman di bagian dalam kota sudah sangat terbatas adanya atau bahkan sudah hilang sama sekali. Makin banyaknya jumlah penduduk yang menempati wilayah pheri urban ini dengan sendirinya akan membawa komsekuensi keruangan, sosial, ekonomi, kultural dan biofisikal di

wilayah pheri urban. Oleh karena latar belakang kondisi wilayah phei urban yang sangat bervariasi dari satu kota ke kota yang lain, maupun dari negara yang satu dengan negara lain, maka dapat dipastikan bahwa kondisi spasial, ekonomi, sosial, kultural dan lingkungan biofisikal yang terpengaruh oleh adanya perkembangan kota akan bervarisasi pula. Bertambahnya penduduk akan selalu diikuti oleh bertambahnya bangunan bangunan pemukiman maupun bukan permukiman. Bangunan bangunan non permukiman merupakan bangunan yang mengakomodasikan kegiatan kegiatan baru yang menyartai, seperti kegiatan ekonomi, sosial, kultural dan politik. Terlepas dari sudut kepentingan mana sebuah negara memandang, baik antagonis maupun protogonis mengenai hilangnya lahan pertanian di WPU tersebut, ternyata ada kesamaan pandangan bahwa sebaiknya perlu ada pengelolaan yang mengatur hal tersebut agar WPU sebagai wilayah pra- urban mampu menciptakan suasana kehidupan kekotaan yang ada pada saat ini. Dinamika wilayah pheri urban yang menyangkut proses perubahan berbagai elemen kehidupan ternyata telah menciptakan struktur spasial yang khas di WPU sendiri. Pengenalan struktur spasial WPU merupakan tahap awal mengenali berbagai permasalahan yang muncul di wilayah pheri urban. Pemahaman mengenai hal tersebut dapat dijadikan landasan untuk merumuskan berbagai kebijakan untuk mengantisipasi kecendrungan perkembangannya di masa yang akan datang (Yunus, 2008 : 91). 1. Pendekatan Sistem Secara garis besar, terdiri beberapa pendekatan sistem yang dapat dimanfaatkan untuk delimitas subzona wilayah pheri urban yaitu : a. Pendekatan Administratif Teknik ini adalah suatu cara untuk mendelitimasi subzona spasial wilayah pheri urban yang mendasarkan pada eksistensi unit administrasi sebagai unit analisis (analitical units) dan data mengenai bentuk pemanfaatan lahan. Secara teoritis, makin kecil unit analisisnya makin akurat identifikasi subzona yang dilakukan dan makin luas unit administrasi yang digunakan makin kurang akurat hasilnya. Sebagai contoh aplikasi pendekatan ini adalah zonifikasi sebagian wilayah pheri urban di daerah pinggiran kota Yogyakarta. Oleh karena penelitiannya dibatasi pada desa-desa yang berbatasan langsung dengan kota Yogyakarta secara administratif maka hasil yang diperoleh adalah jalur membingkai kota Yogyakarta. Walaupun secara administratif, desa-desa penelitian berbatasan langsung dengan kota Yogyakarta ternyata status spasial yang diperoleh menunjukkan variasi yang cukup besar. Pendekatan administratif ternyata tidak hanya dapat digunakan untuk identifikasi wilayah pheri urban atas dasar proporsi luasan bentuk pemanfaatan lahan semata, namun dapat pula digunakan untuk identifikasi wilayah pheri urban atas dasar proporsi jumlah penduduk atas dasar mata pencahariannya (Yunus, 2008 : 34). b. Pendekatan Fisikal Teknik ini merupakan cara identifikasi subzona wilayah pheri urban atas dasar unit-unit fisikal sebagai unit analisis. Cara ini dilaksanakan dengan cara mengenali unit analisis atas dasar batas-

batas fisikal yang ada seperti kenampakan linear (jalan, saluran air) sehingga tergambarkan blokblok unit analisis. Di dalam masing-masing blok kemudian dihitung mengenai proporsi bentuk pemanfaatan lahannya. Masing-masing unit analisis akan menampilkan proporsi bentuk pemanfaatan lahan kedesaan maupun lahan kekotaan. Batas fisikal kota koinsiden dengan batas administrasi kota. Konsdisi seperti ini disebut sebagai, True Bounded City. Memang, dalam perencanaan tata ruang kota akan memudahkan pemerintah kota, karena seluruh areal kekotaan berada pada batas-batas administrasi kota. Mengingat bahwa pada masa mendatang kota yang bersangkutan selalu akan bertambah luas arealnya, maka kerja sama/koordinasi kerja dengan pemerintah daerah dalam mengsinkronkan perencanaan tata ruang kota. Permasalahan hubungan antara batas kota secara administratif dan batas kota secara fisikal ini juga mempunyai dampak dalam analisis urbanisasi. Untuk kota yang bersifat True Bounded analisis urbanisasi tidak mengalami kesulitan karena semua nampak kekotaan sesuai dengan batas administrasi kota (Yunus, 2008 : 39). c. Pendekatan Sel/Sistem Grid Pendekatan ini menekankan pada eksistensi unit analisis yang dibentuk berdasarkan garis-garis konseptual yang dibuat secara vertikal dan horizontal pada suatu peta yang menggambarkan sebaran bentuk pemanfaatan lahan. Istilah pendekatan sel mengandung pengertian bahwa cara ini akan menghasilkan sel/kotak-kotak sebagai unit analisis dengan luasan tertentu yang dihasilkan oleh garis-garis vertikal maupun horizontal yang dibuat (Yunus, 2008 : 40). d. Pendekatan Ekologi Faktorial Istilah factorial ecology sendiri termasuk baru di dalam studi kota yang digunakan untuk menganalisis struktur keruangan kota (urban spatial structure) dengan menggunakan analisis faktor sebagai tekniknya. Memang dari pendekatan ini dimungkinkan mampu menggambarkan kota-kota secara lebih detail, namun cara ini dengan metode-metode induktifnya belum tentu menjamin generalisasi pola struktur sosial dan keruangan kota yang lebih baik (Yunus, 2000 : 238) 2. Wilayah Pheri Urban berada diantara Pure Urban Land Use dan Pure Rural Land Use sehingga timbul dimensi penilaian Dimensi penilaian tersebut antara lain : a. Dimensi Presentase jarak dari / ke batas 100% lahan kekotaan atau lahan kedesaan. Batas terluar wilayah pheri urban di setiap sisi tidak selalu mempunyai jarak yang sama ke/dari lahan perkotaan terbangun dan hal ini sangat tergantung dari kondisi keruangan masing-masing bagian. Dengan demikian ada beberapa faktor yang mempunyai pengaruh substansial terhadap dekat jauhnya jarak batas terluar WPU dari lahan terbangun, yaitu : 1. Faktor aksesibilitas; 2. Faktor topografis; 3. Faktor kendala alami; 4. Faktor telekomunikasi; 5. Faktor jaringan kelistrikan dan 6. Faktor politis. Faktor aksesibilitas fisikal mempunyai pengaruh substansial terhadap penjalaran nilai-nilai kekotaan ke arah daerah perdesaan. Aksesibilitas fisikal yang

ditentukan oleh keadaan prasarana dan sarana transportasi. Makin baik kondisi prasarana transportasi dan sarana transportasi dari daerah perkotaan ke daerah perdesaan dapat dikatakan makin tinggi aksesibilitasnya dan akibatnya, maka makin jauh pula jarak pengaruh kota terhadap daerah di sekitarnya. Faktor topografis juga mempunyai peranan yang besar terhadap jarak batas terluar wilayah pheri urban. Pada umumnya faktor topografis juga terkait dengan aksesibilitas fisikal sehingga pada bagian-bagian wilayah pheri urban yang ditandai oleh kondisi topografis yang terjal akan berbeda dengan bagian yang mempunyai kondisi topografis yang datar. Faktor telekomunikasi dalam beberapa hal dapat mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam penjalaran ide/nilai-nilai kekotaan dari kota ke desa. Oleh karena telekomunikasi mampu menghubungkan daerah satu ke daerah lain tanpa terkendala oleh halangan fisikal, maka bagian wilayah-wilayah yang terpencil secara fisikal sekalipun akan mampu terjangkau selama alat telekomunikasinya tersedia. Faktor jaringan listrik mempunyai imbas yang besar di dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya di daerah perdesaan. Sebenarnya, intensitas penjalaran nilai-nilai kekotaan melalui media elektronik sangat erat terkait dengan masuknya jaringan kelistrikan ke daerah perdesaan. Munculnya berbagai bentuk pemanfaatan lahan nonpertanian akan sangat mempengaruhi penentuan batas terluar dari wilayah peri urban. Faktor politis berkaitan erat dengan kebijakankebijakan pemerintah dalam pemanfaatan lahan. Untuk negara-negara maju dengan formulasi dan aplikasi tata ruang yang mapan, konsisten dan konsekuen penentuan batas terluar wilayah peri urban dapat ditentukan dengan cara antara lain moratorial, zoning regulation, green belt policies, dan beberapa kebijakan keruangan lainnya (Yunus, 2008 : 115). b. Dimensi persentase bentuk pemanfaatan lahan kedesaan Dimensi ini mengungkapkan proporsi bentuk pemanfaatan kedesaan yang ada dibandingkan dengan bentuk pemanfaatan lahan kekotaan. Bentuk pemanfaatan lahan kedesaan dalam hal ini diekspresikan sebagai bentuk pemanfaatan agraris dan selebihnya itu merupakan bentuk pemanfaatan lahan nonkedesaan atau dikenal sebagai bentuk pemanfaatan kekotaan. Bagian terluar dari wilayah peri urban ditandai oleh proporsi lahan kedesaan 100% yang kearah luar merupakan wilayah kedesaan sebenarnya dan kearah dalam merupakan wilayah peri urban.oleh karena wilayah peri urban meliputi daerah yang sangat luas, maka penghitungan proporsi lahan kedesaan tersebut memerlukan metode tertentu. Oleh karena wilayah peri urban terdiri dari rural fringe dan urban fringe, maka proporsi lahan kedesaan yang menjadi indikator batas antara keduanya adalah 50% lahan kedesaan. Hal ini berarti bahwa apabila proporsi lahan kedesaan yang ada di atas 50% berarti bagian ini termasuk ke dalam rural fringe dan apabila proporsinya tercatat kurang dari 50% maka bagian tersebut akan dikategorikan sebagai urban fringe (Yunus, 2008 : 121). c. Dimensi persentase bentuk pemanfaatan lahan perkotaan Bentuk pemanfaatan lahan perkotaan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah lahan nonagraris dalam arti luas. Seperti diketahui bahwa intensitas bangunan-bangunan atau bentuk pemanfaatan lahan nonpertanian/bentuk pemanfaatan lahan urban di wilayah peri urban tidak akan sama di seluruh bagian. Ada bagian tertentu yang sangat intensif, namun ada bagian yang lain yang tidak

intensif. Munculnya bangunan sebagai ekspresi bentuk pemanfaatan lahan non agraris sejalan dengan akselerasi konversi bentuk pemanfaatan lahan agraris ke bentuk pemanfaatan non agraris. Secara umum akan terlihat bahwa makin mendekati lahan kekotaan terbangun, maka akan semakin intensif pembangunan dan makin besar proporsi bentuk pemanfaatan lahan kekotaan dan begitu pula sebaliknya. Gambaran seperti ini akan tampak jelas pada kota-kota yang perkembangan fisikalnya didominasi oleh apa yang disebut sebagai perkembangan konsentris (concentric development). Bentuk perkembangan ini merupakan bentuk perkembangan yang paling lambat dibandingkan dengan bentuk-bentuk perkembangan yang lain. Perkembangan fisikalnya terjadi secara gradual sentrifugal di semua sisi-sisi lahan terbangun yang sudah ada. Sebagaimana upaya untuk mengidentifikasi wilayah peri urban dari sisi persentase proporsi bentuk pemanfaatan lahan kedesaan, upaya untuk mengidentifikasi proporsi bentuk pemanfataan lahan kekotaan. Secara diskrit memang sangat sulit untuk menemukenali batas antara urban fringe dan rural fringe. Oleh karena kondisi urban fringe dan rural fringe sebenarnya tidak semata dicirikhasi oleh bentuk pemanfaatan lahan dan suatu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa makin banyak faktor determinan maka makin kuat suatu bagian wilayah peri urban menjadi magnet bagi fungsi-fungsi kekotaan (Yunus, 2008 : 122). Jika dikaitkan dengan konsep wilayah pheri urban maka ada keterkaitan pada konsep kota modern. Kota modern adalah tempat para penghuninya mengaktualisasikan diri mereka secara berkelompok, tapi terutama secara individual, tanpa harus menginjak-injak hak kelompok atau individu lain. Sebuah masyarakat urban seperti hanya dapat terbentuk bila setiap kelompok sosial-religius atau etnis melepaskan klaim mereka akan sifat absolut sistem nilai yang mereka anut. Setiap kelompok harus mampu menekankan sebagian kepeningan kelompok mereka sendiri, demi terbentuknya komunitas urban yang heterogen secara etnis-religius tetapi homogen secara urban kultural. Kepentingan komunitas urban scara keseluruhan harus diberi prioritas utama dan dimenangkan terhadap kepentingan spesifik kelompok manapun, termasuk kelompok mayoritas (Santoso, 2006 : 84) 3. Teoriteori yang menjadi landasan dalam studi wilayah pheri urban a. Teori Trade off (clark) Menurut Clark (1982) pembahasan terjadinya concentric rings jenis-jenis tata guna lahan di wilayah pheri urban adalah wacana ekonomi dan pada masa selanjutnya model pembahasan tersebut dikenal dengan trade off. Model yang dikemukakan didasarkan pada asumsi seperti yang telah dikemukakan oleh Von Thunen, sebagai berikut : 1) Bahwa kota yang bersangkutan hanya mempunyai satu pusat kegiatan saja atau satu CBD dan semua kesempatan kerja hanya berada di bagian ini dan semua transaksi jual beli barang hanya berlangsung di bagian pusat ini. 2) Bahwa di daerah di sekitar kota merupakan daerah yang datar homogen. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya gradasi ongkos transport yang teratur proporsional ke dan dari pusat kota dan hal inilah yang mirip dengan apa yang dikemukakan oleh von thunen mengenai homoginitas kondisi lingkungan fisik di bagian wilayah pheri urban dalam kaitannya dengan

usaha pertanian. Homoginitas tanah dalam hal kegiatan pertanian yang homogin memungkinkan petani tidak mempunyai pilihan lain, karena dimana-mana mempunyai kemampuan yang sama. 3) Bahwa ongkos transport ke dan dari pusat kota menunjukkan gradasi yang proporsional ke segala arah dan bagian pusat kota merupakan tempat dimana derajad kemudahan untuk menjangkaunya (aksesibilitas) yang paling tinggi. 4) Bahwa keberadaan lahan akan dijual kepada pihak pihak yang mempunyai penawaran yang paling tinggi yang berarti bahwa semua pihak yang ada di kota mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan lokasi yang dianggap menguntungkan dan tidak ada persaingan yang bersifat monopolistik. 5) Bahwa pemerintah tidak mengadakan intervensi dalam hal persaingan bebas pemasaran lahan, serta tidak ada kebijakan kebijakan tertentu yang mampu mengubah performa lahan, seperti zoning regulation dan lain sejenisnya. Secara berturut-turut, zona cincin konsentris yang tercipta adalah (1) zona paling dalam merupakan inti dari cincin-cincin yang terbentuk dan merupakan bagian pusat kota yang merupakan daerah dengan fungsi komersial; (2) zona berikutnya merupakan cincin yang melingkari zona paling dalam dan merupakan zona yang ditempati oleh fungsi residensial; (3) zona paling luar merupakan cincin dengan fungsi utama industrial. Walaupun secara eksplisit tidak dikemukakan mengenai fungsi-fungsi mana sebenarnya yang berkembang di wilayah pheri urban, namun dalam uraiannya dapat diketahui bahwa cincin kedua dan ketiga sebagian atau seluruhnya merupakan fungsi yang telah dan atau sedang berkembang di wilayah pheri urban. Di bagian pusat kota atau zona inti , yang bukan termasuk ke dalam wilayah pheri urban, merupakan daerah yang paling tinggi aksesibilitasnya dan kondisi ini paling dibutuhkan oleh fungsi komersial. Oleh karena perkembangan fungsi ini sangat tergantung dari banyaknya custemors yang dapat menjangkau daerahnya, maka faktor tingginya aksesibilitas menjadi suatu hal yang sangat menentukan terhadap perkembangan fungsi ini, sehingga fungsi ini mau memberikan penawaran tertinggi terhadap lokasi yang dianggap paling ideal dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya seperti fungsi residensial dan industrial. Hal inilah yang menyebabkan terciptanya gradien yang sangat curam dalam kaitannya dengan jarak dari pusat kota. Sementara itu pada cincin pertama yang terbentuk melingkari zona inti, didominasi oleh fungsi residensial. Pada subzona cincin pertama didominasi oleh fungsi residensial dihuni oleh golongan berstatus ekonomi rendah sampai menengah bawah, karena para penghuni memprioritaskan bertempat tinggal dekat dengan tempet dimana mereka bekerja / dekat pusat kota dimana kesempatan kerja berada. Oleh karena kemampuan membayar sewa lahannya juga lebih rendah, maka gradien grafik yang terbentuk juga sedikit mendatar namun dalam luasan yang agak besar. Untuk golongan yang berstatus ekonomi tinggi, mempunyai opsi yang lebih luas. Apakah mereka akan bertempat tinggal di dekat pusat kota yang fasilitas kehidupannya paling lengkap dengan konsekuensi sewa lahan yang mahal. Berdasarkan beberapa penelitian memang ada kecendrungan bahwa golongan ini memilih bertempat tinggal di daerah pinggiran kota/peripheral locations atau bagian dari wilayah pheri urban yang fasilitasnya kurang, namun memberikan tawaran kepuasan dalam hal kenyamanan bertempat tinggal. Disinilah pemaknaan trade-off berada untuk golongan berstatus sosial tinggi berada. Zona paling luar merupakan zona

yang didominasi oleh fungsi industrial. Zona yang ditempati oleh fungsi industrial, menurut rasional yang dikemukakan membutuhkan lahan yang luas serta faktor aksesibilitas juga menjadi bahan pertimbangannya. Oleh karena bangunan bangunannya relatif berskala besar, maka daerah dimana masih tersedia lahan yang dapat mengakomodasikan bangunan bangunan besar adalah pilihannya. Disamping itu, kemudahan untuk mengangkut bahan mentah (raw material) dan hasil produksi dalam jumlah besar menjadi pertimbangan utamanya. Oleh karena itulah, maka fungsi industrial menempati ring terluar. Di kebanyakan negara, perkembangan fungsi ini mendominasi bangunan bangunan di daerah pinggiran kota yang berselang seling dengan fungsi-fungsi residensial. Dua hal menarik untuk dikemukakan terkait dengan teori trade-off ini adalah pertama memberikan dasar penalaran bagi teori konsentirs yang dikemukakan oleh Burgess mengenai struktur internal kota yang terkenal dengan teori konsentris merupakan pionir pembahasan struktur tata ruang internal kota yang mampu memicu munculnya teori-teori baru. Hal menarik kedua terkait dengan dasar penalaran perubahan kekotaan yang terjadi di dalam struktur internalnya, adalah pembahasan yang mengaitkan antara fungsi-fungsi Bid-rent dengan tahapan-tahapan siklus keluarga di kota. Hal kedua ini, kemudian mendasari penalaran yang dikemukakan dalam teori yang dikenal dengan sosial area analysis (Yunus, 2008 : 99) Gambar 1. Model sebaran spasial (trade of model) di WPU ( Clark) b. Teori Land Use Triangle : Discrete (Robin Pryor) Pryor (1971) mengemukakan tesisnya tentang wilayah pheri urban atas dasar parameter yang terukur, yaitu mengenai proporsi bentuk pemanfaatan lahan. Pada masa sebelumnya, belum pernah ada konsep yang jelas mengenai keberadaan wilayah pheri urban itu sendiri serta bagaimana karakteristik soasial yang dapat diamati di lapangan. Berdasarkan fakta empiris yang dikemukakan oleh para peneliti terdahulu, dapat disimpulkan bahwa karakteristik wilayah pheri urban yang merupakan perpaduan antara karakteristik kekotaan dan karakteristik kedesaan muncul dalam ekspresi ekonomi, sosial, kultural dan spasial. Kemajaun teknologi transportasi dan informasi telah mengakibatkan penjalaran ide-ide, nilai-nilai, norma-norma kekotaan mampu menjangkau daerah yang relatif terisolir dalam artian fisikal dan dalam beberapa hal telah mampu mengubah sifat kedesaan menjadi sifat semi kekotaan atau bahkan kekotaan sepenuhnya. Berdasarkan proporsi keberadan lahan kekotaan dan lahan kedesaan dapat diketahui mengenai struktur spasial wilayah pheri urban. Menurut Pryor struktur spasial wilayah pheri urban dibedakan dalam 2 kategori yaitu urban fringe di satu sisi dan rural fringe di sisi yang lain yang didasari oleh kenyataan bahwa WPU merupakan wilayah yang berada diantara wilayah yang berkenampakan kekotaan seratus persen dan wilayah berkenampakan kedesaan seratus persen. Kenampakan wilayah dalam hal ini diartikan sebagai kenampakan fisikal lahan (land scape) yang diaktualisasikan dalam bentuk pemanfaatan lahan. Bentuk pemanfaatan lahan adalah kenampakan fisikal sebagai cerminan kegiatan manusia diatasnya dan hal adalah langkah awal dalam mengenali berbagai atribut wilayah yang berasosiasi dengan kenampakan fisikal bentuk pemanfaatan lahan seperti karakteristik demografis, kultural, ekonomi dan sosial. Berdasarkan fakta empiris, makin ke arah lahan kekotaan terbangun, makin intensif perubahan bentuk pemanfaatan lahan dari bentuk

pemanfaatan lahan kedesaan menjadi bentuk pemanfaatan lahan kekotaan dan begitupula sebaliknya. Oleh karena model diagramatik yang dikemukakan berujud segitiga bentuk pemanfaatan lahan, maka didalamnya memuat tiga dimensi penilaian yang digunakan untuk mengidentifikasi batas terluar dari masing-masing subzona. Tiga dimensi penilaian tersebut adalah (1) presentase jarak dari/ ke batas 100% kenampakan kekotaan atau ke batas 100% kenampakan kedesaan; (2) presentase proporsi lahan kedesaan dan (3) presentase proporsi lahan kekotaan (Yunus, 2008 : 111) Gambar 2. Model Zonifikasi WPU Negara Maju atas dasar Bentuk pemenfaatan lahan

Legenda A : percentage Distance Urban to Rural land B : Percentage Urban land Use C : Percentage Rural Land Use D : Boundari Of Built-Up Urban Area E : Boundari Of Built-Up Rural Land F : Rural Urban Fringe G : Urban Fringe H : Rural Fringe 1. 4. Studi Kasus Perkembangan wilayah pheri urban di Yogyakarta Pemahaman mengenai wilayah pheri urban di Negara Negara maju menghasilkan keragaman teori yang berbeda-beda serta istilah yang berbeda-beda pula. Walaupun esensi yang dikemukakan tidak menampilkan perbedaan yang signifikan, namun beberapa diantaranya terkadang memunculkan pemahaman yang sedikit menimbulkan kerancuan, apalagi apabila kacamata yang digunakan adalah kondisi WPU di Negara berkembang. Salah satu contoh kasus perkembangan WPU yaitu di kota Jogjakarta dengan mengambil kasus beberapa desa yang berbatasan langsung dengan kota Yogyakarta sebagai bagian paling dinamis dari WPU nya. Dengan mendasarkan zonifikasi yang ada, ternyata kecendrungan perkembangan kota baik ditilik dari segi fisikal maupun dari segi demografis dapat diketahui dengan jelas. Hal ini sangat penting dipahami para pemerhati masalah perkotaan, khususnya penentu kebijakan, keruangan dalam rangka pengendalian perkembangan kota sehingga sejak dini dapat diketahui

kemungkinan timbulnya dampak negative terhadap lingkungan dan sejak dini pula dapat melakukan langkah-langkah antisipatif untuk mengatasinya Gambar 3. Zonifikzsi WPU kota Yogyakarta atas dasar bentuk pemanfaatan lahan. kasus kota Yogyakarta tahun 1988 kasus kota Yogyakarta tahun 1998

Gambar 4. Zonifikzsi WPU kota Yogyakarta atas dasar komposisi mata pencaharian kasus kota Yogyakarta tahun 1988 kasus kota Yogyakarta tahun 1998

Memang dalam tataran praktik dan kemajuan teknologi seseorang dapat memantau kecendrunagn kota dengan menggunakan alat bantu foto udara atau remote sensing imageries lainnya, namun hal ini hanya dapat mengungkapkan perkembangan fisikal kekotaannya dan bukan kecendrungan perkembangan sosio demografinya. Kecendrungan perkembangan fisikal tidak selalu konsiden dengan perkembangan sosio demografis sehingga dengan mengetahui kecedrungan perkembangan kota dari dimensi yang berbeda-beda dharapkan dapat menjadi dasar yang menjadi kukuh untuk penyusunan kebijakan antisipasi baik dari segi spasial, fisikal, sosial, ekonomi dan kultura. Sebagai contoh yang dapat dikemukakan disini adalah kasus kota Yogyakarta. Perkembangan spasial fisikal yang terjadi yaitu kearah utara, baik ke arah timur laut maupun kearah barat laut walaupun insentitas perkembangannya berbeda-beda. Di bagian barat laut diidentifikasi peralihan status dari zobidekot menjadi zobikodes sedangkan dari bagian timur laut teridentifikasi perubahan dari zobikodes menjadi zobidekot. Hal ini mengindikasikan bahwa kea rah itu pula terjadi konversi lahan-lahan pertanian paling banyak terjadi. Sementara itu, di bagian tenggara tidak menunukkan perubahan status sifat kkotaan yang berarti. Namun demikian, ditilik dari sisi lain, yaitu sosio demografis ternyata ke arah barat daya menunjukkan perubahan sosio demografis yang sangat signifikan dari status zobides ke status zobikot dan hal ini tidak terdeteksi dari kecendrungan perkembangan fisikal. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan struktual sosio demografis yang signifikan di bagian barat daya. Demikian pula halnya di bagian utara juga terlihat perubahan yang sangat sgnifikan, dari semula bersifat zobikodes di bagian utara pada tahun 1988 menjadi bersifat zobikot pada tahun 1998 yang berarti sifat kekotaan semakin tampak dengan jelas dari segi kpmposisi demografisnya, khususnya mengenai mata pencahariannya. Sementara itu di bagian-bagian lain seperti di bagian barat tampak belum menunjukkan perubahan yang berarti dan signifikan. Apabila hal ini tidak diikuti oleh adanya konversilahan pertanian menjadi lahan non pertanian yang signifikan dapat dipastikan bahwa di bagian ini telah terjadi densifikasi pemukuman yang substansial da hal ini sangat perlu di monitor, karena densifikasi yang tidk terkontrol merupakan biang keladi terciptanya kekumuhan dalam pemukiman dan deteriorisasi lingkungan. Oleh karena formulasi kebijakan pengendalian kota tidak hanya mendasarkan pada satu dimensi saja,

maka keberadaan media yang dapat membantu mengenali kecendrunga perkembanagan kota dari berbagai dimensi akan lebih bermanfaat. (Yunus, 2008 : 153). D. Kesimpulan 1. Sejarah perkembangan studi wilayah pheri urban adalah Studi yang pertama kali mulai menyinggung WPU adalah studi yang dikemukakan oleh Von Thunen pada tahun 1926. Teorinya dikenal dengan The Isolated State Theory 2. Pendekatan Sistem Secara garis besar, terdiri beberapa pendekatan sistem yang dapat dimanfaatkan untuk delimitas subzona wilayah pheri urban yaitu :

Pendekatan administratif Pendekatan fisikal Pendekatan sel/sistem grid Pendekatan ekologi faktorial

3. Wilayah Pheri Urban berada diantara Pure Urban Land Use dan Pure Rural Land Use sehingga timbul dimensi penilaian Dimensi penilaian tersebut antara lain :

Dimensi Presentase jarak dari / ke batas 100% lahan kekotaan atau lahan kedesaan Dimensi persentase bentuk pemanfaatan lahan kedesaan Dimensi persentase bentukpemanfaatan lahan perkotaan

E. Daftar Pustaka Santoso, Jo. 2006. Menyiasati kota tanpa warga. KPG dan Centropolis : Jakarta Yunus, H.S. 2008. Dinamika Wilayah Peri-Urban Determinan Masa Depan Kota. Pustaka Pelajar : Yogyakarta _______. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka Pelajar : Yogyakarta _______. 2005. Manajemen Kota Prespektif Spasial. Pustaka Pelajar : Yogyakarta Comments: Be the first to comment

TATA GUNA LAHAN-SISTEM TRANSPORTASI SEBAGAI SUBSISTEM DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN

Posted December 28, 2009 by syahriartato Categories: Uncategorized

Abstrak Penulisan ini berjudul tentang Tata Guna Lahan dan Sistem Transportasi sebagai sub system dalam Perencanaan Pembangunan yang berkelanjutan yang membahas mengenai keterkaitan antara sistem guna lahan dengan system transportasi dalam melakukan pembangunan yang berkelanjutan.Transportasi merupakan salah satu kunci perkembangan bagi wilayah perkotaan. Kota yang baik dapat ditandai, antara lain, dengan melihat kondisi transportasinya. Transportasi yang aman dan lancar, selain mencerminkan keteraturan kota, juga mencerminkan kelancaran kegiatan perekonomian kota. Akan tetapi terdapat kecenderungan dengan berkembangnya suatu kota bersamaan pules dengan berkembangnya masalah transportasi yang terjadi. Kemacetan (congestion), keterlambatan (delay), polusi udara, polusi suara, dan pemborosan energy merupakan sebagian dari sekian hanyak permasalahan yang dihadapi suatu kola berkaitan dengan masalah transportasi.Permasalahan ini berkailan Brat dengan poles testes guna Lahan, karena sector ini sangat berperan dalam menentukan kegiatan dan aktivitas pergerakan yang terjadi.Penulisan ini menguraikan berbagai system pendekatan yang tepat juga mencakup seluruh aspek yang terkait untuk memberikan alternative pemecahan masalah yang tepat, sehingga dalam pemecahan permasalahan tersebut memerlukan suatu pemecahan yang comprehensive dan terpadu yang melibatkan semua unsur dan actor dalam pembangunan kota. A. Pendahuluan Kota dikenal dengan banyaknya permasalahan yang kompleks yang terdapat didalamnya, dimana terdapat kecenderungan bahwa berkembangnya suatu kota bersamaan pula dengan berkembangnya masalah transportasi yang terjadi, sehingga masalah ini akan selalu membayangi perkembangan suatu wilayah perkotaan. Wilayah perkotaan dari tahun ke tahun telah berubah sebagai akibat terjadinya pergeseran yang dramatis dari lahan pertanian menjadi daerah bisnis terjadi perubahan fungsi guna lahan. Daerah daerah tersebut saat ini menjadi pusat-pusat kegiatan financial dan peluang-peluang bisnis yang ekstensif yang kompleksitas dan diversitasnya mengalami siklus perubahan akibat beragam pengaruh social dan ekonomi. Dengan terjadinya perubahan fungsi lahan yang sering kita temui di suatu kota dimana tata guna lahan yang ada tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah dibuat. (Sujarto, 2001:139) Ada beberapa hal yang menjadi faktor utama dari timbulnya masalah tersebut, adalah sebagai berikut; 1. Bahwa karena dinamika masyarakat yang menyebabkan perubahan yang cepat di dalam system nilai dan kebutuhan masyarakat sering proses penyusunan terdahului oleh perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini menyebakan tidak sesuainya rencana dan kenyataan nyata manakala suatu rencana selesai disusun.

1. Kelanggenang suatu rencana kota dalam arti konsekuen dan konsistennya pembangunan kota dengan rencana kota sangat ditentukan juga oleh konsekwenan dan kekonsistenan pengelola kota dan masyarakat dalam memegang arahan pembangunan yang ditetapkan. Adanya saling ketergantungan antara tata guna lahan dan system transportasi, sehingga pola guna lahan dan system transportasi tidak dapat dipisahkan. Kegiatan transportasi yang terwujud pada hakikatnya adalah kegiatan yang menghubungkan dua lokasi guna lahan . Salah satu tujuan utama perencanaan setiap tata guna lahan atau system transportasi adalah untuk menjamin adanya keseimbangan yang efisien antara aktivitas guna lahan dengan kemampuan transportasi (Blunden dan Black, 1984; ASCE, 1986 dalam Khisty dan Lall, 2003: 74). Permasalahan ini bukan saja menyangkut pada kenyamanan system transportasi yang terganggu (kepadatan, kemacetan, keterlambatan, parkir dll), namun juga dapat meningkatkan pencemaran lingkungan melalui gas buangan dari kendaraan bermotor serta merupakan suatu bentuk pemborosan energy yang sia-sia. Penulisan ini mencoba melihat permasalahan dalam system transportasi secara komprehensif yang di dasarkan pada pendekatan system. Permasalahan transportasi ini merupakan suatu permasalahan kompleks yang melibatkan banyak aspek, pihak dari system yang terkait sehingga pemecahan permasalahan tersebut memerlukan suatu pemecahan yang comprehensive dan terpadu yang melibatkan semua unsur dan actor dalam pembangunan kota. Permasalahan di sektor ini tidaklah sederhana. Berbagai aspek/ pendekatan sistem yang mempengaruhi system tersebut yaitu system kegiatan, system jaringan, system pergerakan, dan lingkungan. B. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan Tujuan dari penulisan penulisan ini adalah: Mengidentifikasi system transportasi sebagai suatu system

Mengidentifikasi keterkaitan antara tata guna lahan dan system transportasi dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan 2. Kegunaan Berdasarkan tujuan penyusunan penulisan di atas, maka adapun kegunaan dari penulisan penulisan ini adalah: Untuk mengetahui bagaimana system transportasi sebagai suatu system

Untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antara tata guna lahan dan system transportasi dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. C. Pembahasan Transportasi dan tata guna lahan berhubungan sangat erat, sehingga biasanya dianggap membentuk satu landuse transport system. Agar tata guna lahan dapat terwujud dengan baik maka kebutuhan transportasinya harus terpenuhi dengan baik. Sistem transportasi yang macet tentunya akan menghalangi aktivitas tata guna lahannya. Sebaliknya, tranportasi yang tidak melayani suatu tata guna lahan akan menjadi sia-sia, tidak termanfaatkan. Suatu rencana kota juga tak pernah lepas dari rencana tata guna lahan serta rencana transportasi. Hal ini dapat dilihat pada gambar 1 seperti berikut : Gambar 1. Rencana Tata Guna Lahan dan Rencana Transportasi sumber : (http://www.google.co.id/search?hl=id&q=KETERKAITAN+TATA+GUNA+LAHAN+DENG AN+TRANSPORTASI&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=&aq=f&oq . 1. Pendekatan Sistem System adalah suatu perangkat yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan, yang menjalankan fungsinya demi mencapai tujuan. Pendekatan system (system approach) adalah suatu cara yang sistematik dan menyeluruh untuk memecahkan masalah yang melibatkan suatu system.(Mohammadi,2001 dalam Khisty dan Lall, 2003: 7). Gambar 1. Pendekatan Sistem Transportasi berkaitan dengan tata guna lahan, lingkungan dan energi.

sumber: (http:// www.go ogle.co. id/searc h?hl=id &q=KE TERKA ITAN+ TATA+ GUNA +LAHA N+DEN GAN+TRANSPORTASI&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=&aq=f&oq)

Sub system kegiatan merupakan system kegiatan tertentu yang membangkitkan pergerakan dan dapat menarik pergerakan. System ini berkaitan erat dengan pengaturan pola tata guna lahan sebagai unsur terpenting dalam pembentukan pola kegiatan kota atau daerah. Sistem tersebut dapat merupakan suatu gabungan dari berbagai system pola kegiatan tata guna lahan (land use) seperti kegiatan social, ekonomi, budaya dsb. Kegiatan yang timbul dalam system ini membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang perlu dilakukan setiap hari, besarnya pergerakan yang ditimbulkan tersebut sangat berkaitan dengan jenis dan intensitas kegiatan yang dilakukan. Pergerakan tersebut membutuhkan moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat moda tersebut bergerak. Prasarana yang diperlukan merupakan bagian dari system jaringan meliputi jaringan jalan raya, terminal, dll.Interaksi antara system kegiatan dan system jaringan akan menghasilkan suatu pergerakan. Dari ketiga sub system tersebut, masih diperlukan system kelembagaan. System ini terdiri dari individu, kelompok, lembaga, instansi pemerintah serta swasta yang terlibat. Di Indonesia system kelembagaan yang berkaitan dengan transportasi adalah: a. System kegiatan:Bappenas, Pemda b. System jaringan: Dep. Perhubungan, Bina Marga c. System pergerakan LLAJR,Polantas.

Seluruh kebijaksanaan yang diambil oleh masing-masing kelembagaan harus terkait dan terkoordinasi dengan baik. Secara umum dapat disebutkan, bahwa Pemerintah, Swasta dan Masyarakat harus ikut berperan dalam mengatasi masalah transportasi, Karena hal ini merupakan masalah bersama yang memerlukan penanganan dan keterlibatan semua pihak. Selain dari semua sub system diatas terdapat suatu aspek yang harus selalu diperhatikan dalam pengadaan system transportasi yaitu aspek lingkungan. 2. Pendekatan Sistem Kegiatan

Pendekatan terhadap system kegiatan ini sebenarnya sangat banyak macam dan faktornya, namun pada pembahasan ini ditekankan pada aspek pola tata guna lahan dalam suatu kota. Keterkaitan antara system kegiatan (model tata guna lahan) dengan system transportasi dapat dilihat bahwa perencanaan transportasi untuk masa yang akan datang selalu dimulai dari perubahan dan perkembangan tata guna lahan. Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui perencanaan tata guna lahan dalam merencanakan system angkutan. Tata guna tanah/lahan perkotaan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian dalam ruang dari peran kota; kawasan tempat tinggal, kawasan tempat kerja, kawasan tempat rekreasi dst. Pola distribusi kegiatan guna lahan pada saat sekarang sangat tidak teratur diakibatkan banyaknya rencana kota yang diabaikan karena alasan ekonomi. Faktor determinan yang mempengaruhi Guna lahan : a. Faktor kependudukan,

Tingginya aktifitas perkotaan sangat dipengaruhi oleh perkembangan jumlah penduduk; Perkembangan jumlah penduduk tidak saja dipengaruhi oleh natural growth, akan tetapi arus masuk (pergerakan penduduk) in migration Pertumbuhan penduduk yang tinggi sangat berpengaruh pada spasial perkotaan.

b. Faktor kegiatan penduduk, kegiatan-kegiatan penduduk seperti ekonomi, industry, perkantoran yang esensinya menggunakan lahan sangatlah mempengaruhi tata guna lahan. Pola penggunaan lahan di kawasan perkotaan, umumnya terbentuk polarisasi yaitu munculnya kutub-kutub pertumbuhan, atau meningkatnya daerah lain akibat dari aktifitas yang berbeda dalam sebuah kota sehingga pergerakan penduduk di dasari kebutuhan akan pekerjaan, tempat tinggal, fasilitas, dll. Jika manfaat lahan di setiap daerah untuk suatu kota telah diketahui, maka ini memungkinkan kita untuk memperkirakan lalu lintas yang dihasilkan (Blunden dan Black, 1984 dalam Khisty dan Lall, 2003: 74). Dari hal tersebut maka kita dapat mengetahui sejauh mana tingkat kebutuhan akan jasa transportasi yang merupakkan masukan yang berguna untuk merencanakan sampai tingkat mana fasilitas-fasilitas transportasi akan disediakan. Keterkaitan guna lahan dengan arus lalu lintas (Menhein, 1979 dalam Miro, 2004: 45) adalah sebagai berikut: Arus lalu lintas ditentukan menurut pola tata guna lahannya dan tingkat pelayanan system transportasinya.

Kalau arus lalu lintas dalam jangka waktu yang lebih lama (panjang) semakin bertambah, hampir pasti bahwa pola tata guna lahan dan tingkat pelayanan transportasinya mengalami perubahan. Pengaturan tata guna lahan di kota-kota saat ini memang menjadi suatu permasalahan yang sangat sulit dan rumit mengingat pertumbuhan dan perkembangan nilai lahan yang sedemikian tinggi serta kepadatan bangunan yang sangat tinggi pula. 3. Pendekatan Sistem Jaringan Jaringan transportasi adalah jaringan prasarana trasnportasi (lintasan jalan, lintasan penyeberangan, lintasan transportasi laut, lintasan rel) dan simpul sarana transportasi (terminal, pelabuhan, bandara). Dalam hal ini akan dibahas mengenai system transportasi darat, sistem jaringan (prasarana) meliputi jalan dan terminal. Jaringan jalan merupakan suatu kesatuan jalan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam suatu hubungan hirarki. System jaringan jalan dengan peranan pelayanan, jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah ditingkat nasional dengan simpul jasa distribusi disebut jaringan jalan primer, dan system jaringan jalan dengan pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat di dalam kota membentuk system jaringan jalan sekunder. Transport jalan raya seringkali dikatakan sebagai urat nadi bagi kehidupan dan perkembangan ekonomi, social, dan mobilitas penduduk yang tumbuh mengikuti maupun mendorong perkembangan yang terjadi pada berbagai sector dan bidang kehidupan tersebut. Dalam hubungan ini transportasi khususnya transportasi jalan raya, menjalankan dua fungsi, yaitu sebagai unsur penting yang melayani kegiatan-kegiatan yang sudah/sedang berjalan (the servicing function) dan sebagai unsur penggerak penting dalam proses pembangunan (the promoting function). (Kamaluddin, 2003: 53). Dalam angkutan jalan raya, system jaringan jalan dan kendaraan bermotor tidak dapat dipisahkan. Dimana dalam pembangunan jaringan jalan harus memperhatikan jumlah kendaraan yang akan melewatinya. Permasalahan yang muncul, kondisi system transportasi yang memburuk akibat meningkatnya motorisasi yang diperparah akibat lebih tingginya kenaikan jumlah kendaraan bermotor dibanding kecepatan pembangunan jalan. Hal ini menggambarkan bahwa system penyediaan dan system permintaan terdapat ketimpangan sehingga system transportasi tidak berjalan dengan efektif dan efisien. Salah satu contoh dari permasalahan yang ditimbulkannya yaitu dapat menimbulkan kemacetan diakibatkan kapasitas jaringan jalan tidak sesuai dengan kendaraan yang ada. 4. Pendekatan Sistem Pergerakan Transportasi yang baik yaitu transportasi yang dapat memberikan kenyamanan, biaya murah dan efesiensi waktu. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki flow/jaringan transportasi untuk mengurangi masalah yang muncul yaitu dengan melakukan intervensi pada sarana transportasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberlakukan system angkutan

massal, dimana dengan hal tersebut kita dapat mengurangi system pergerakan pada jalan raya, juga sebagai suatu langkah antisipasi dalam peningkatan kepadatan lalu lintas. Sebaran geografis antara tata guna tanah (sistem kegiatan) serta kapasitas dan lokasi dari fasilitas transportasi (sistem jaringan) digabung untuk mendapatkan volume dan pola lalu lintas (sistem pergerakan). Volume dan pola lalu lintas pada jaringan transportasi akan mempunyai efek feedback atau timbal balik terhadap lokasi tata guna tanah yang baru dan perlunya peningkatan prasarana. Ada 2 masalah dalam meminimalkan pergerakan akibat land use yaitu a. Bangkitan lalulintas, Bangkitan lalu lintas tergantung dari land use sebuah daerah (permukiman, perkantoran, industry, perdagangan, dll) mempunyai karakteristik bangkitan lalu lintas maupun pergerakan yang berbeda-beda. Beberapa tipe antara lain :

Tipe land use yang menghasilkan lalu lintas yang berbeda dengan land use lainnya Land use yang berbeda menghasilkan tipe lalu lintas yang berbeda (pejalan kaki, truk, mobil) Land use yang berbeda menghasilkan lalu lintas pada waktu yang berbeda.

b. Jarak yang terlalu jauh yang mengakibatkan land use yang jauh jaraknya bakal ditinggalkan dan akan beralih fungsi, sehingga alih fungsi ini akan menimbulkan masalah baru. Dalam hal ini perlunya dalam rencana tata guna lahan memperhatikan zona-zona pembagian berdasarkan aktivitas penduduk yang saling berkaitan juga dalam rencana kota distribusi penduduk juga harus diperhatikan agar distribsi ruang dan distribusi . 5. Transportasi dan Dampak Lingkungan Kemacetan, polusi, konservasi energy dan penurunan kesehatan masyarakat adalah beberapa dampak lingkungan yang diakibatkan oleh pergerakan kendaraan bermotor. Kemacetan lalu lintas tidak hanya mengurangi efisiensi pengoperasian transportasi, tetapi juga membuang waktu dan energy, menimbulkan polusi yang berlebihan, membahayakan kesehatan masyarakat dan mempengaruhi ekonomi masyarakat. Kemacetan lalu lintas juga dapat membahayakan kesehatan.Konsentrasi Karbon monoksida yang tinggi pada jalan yang padat akan menghalangi aliran oksigen untuk para pengemudi, sehingga akan mempengaruhi kinerja pengemudi. Hal ini akan berakibat pada menipisnya lapisan ozon yang selanjutnya mengakibatkan sesak napas, batuk, sakit kepala, penyakit paru-paru, penyakit jantung,dan kanker. Tingkah laku agresif dan reaksi psikologis juga berhubungan dengan kondisi kemacetan lalu lintas (GAO dalam http://www.google.co.id/search?hl= id&q=KETERKAITAN+TATA+GUNA+LAHAN+DENGAN+TRANSPORTASI&btnG=Telus uri+dengan+Google&meta=&aq=f&oq) Dari tinjauan masalah transportasi dan dampaknya pada lingkungan, maka dapat dilihat kontribusi yang sangat besar dari masalah transportasi terhadap kenyamanan dan kelestarian

lingkungan. Hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah suatu pola pembangunan yang bertujuan untuk mencukupi /memenuhi kebutuhan generasi penduduk masa kini tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan dating untuk mencukupi /memenuhi kebutuhannya. (World Comission on Environment and Development/WCED (1987) dalam Yunus, 2005:141). Untuk mengatasi permasalahan ini sedikitnya terdapat tiga konsep yang dapat diberikan. Konsep yang pertama adalah usaha untuk mengurangi jumlah kendaraan bermotor yang ada, hal ini dapat dilakukan dengan penyediaan sarana transportasi massal yang nyaman, sehingga dapat menjadi alternative terbaik bagi masyarakat dan dapat mengurangi jumlah kendaraan pribadi. Konsep kedua adalah perbaikan mutu gas buangan dari kendaraan bermotor, baik dari segi desain, perawatan maupun pemakaian bahan bakar yang seminimal mungkin dapat memberikan pencemaran terhadap lingkungan. Konsep yang ke tiga adalah usaha mengurangi kemacetan lalu lintas di jalan sehingga pemborosan energy dan pencemaran lingkungan dapat dikurangi. 6. Studi Kasus Permasalahan Transportasi akibat perubahan guna lahan di Jakarta Jakarta merupakan kota terbesar di Indonesia, sebagai ibukota Negara, posisi Jakarta memegang posisi sangat penting dalam hal; politik, ekonomi, dan perdagangan. Tidak salah, kalau akhirnya Jakarta diserbu oleh pendatang (urban) yang berdatangan dari berbagai wilayah di Indonesia. berdasarkan catatan resmi catatan sipil, tahun 2007, jumlah penduduk Jakarta adalah 7.706.392 jiwa, sedangkan berdasarkan perkiraan, pada siang hari, penduduk Jakarta bisa mencapai 12 juta jiwa. Yang menjadi persoalan dimana lahan yang tersedia tidak bertambah akan tetapi jumlah penduduknya semakin hari semakin meningkat, dengan kata lain maka kebutuhan akan lahan pun semakin meningkat. Pengaturan tata guna lahan di Jakarta ini memang menjadi suatu permasalahan yang sangat sulit dan rumit mengingat pertumbuhan dan perkembangan nilai lahan yang sedemikian tinggi serta kepadatan bangunan yang sangat tinggi pula. Pengaturan ini sudah diarahkan, baik dalam Jakarta 1965-1985 Master Plan, maupun Jakarta 1985-2005 Structure Plan, namun implementasi-nya masih seringkali berubah dan tidak sesuai karena adanya berbagai kebutuhan dan kendala. Sebagai contoh adalah kasus di Kuningan, pada awalnya wilayah ini dalam Jakarta Struktur Plan 2005 diarahkan untuk pengembangan kawasan campuran, dengan sebagian besar untuk pemukiman kelas atas yang disediakan untuk para diplomat serta perkantoran. Tetapi sekarang kawasan ini tumbuh menjadi kawasan perkantoran kelas satu termasuk kantor-kantor komersial. Hal ini terjadi karena lokasi tersebut yang sangat strategis dibandingkan lokasi lain. Dari aspek accessibility kawasan ini mudah dicapai dari segala arah, tetapi pelayanan transportasi tidak cukup baik. Jalur lalu lintas sangat padat terutama pada jam-jamsibuk. Dengan kondisi ini maka kebijaksanaan tata guna lahan di kawasan ini dirumuskan kembali dengan konsep superblock system dan high rise building. Sebagai dampaknya kebutuhan transportasi meningkat pesat sedangkan sarananya sangat terbatas, akibatnya kemacetan dan kepadatan lalu lintas tidak dapat dihindarkan.

Dengan luas area 325 ha dan lebih dari setengah juta pekerja, maka kawasan ini sangat memerlukan alat dan sarana transportasi baru. Namun dalam realitanya, walau terjadi perubahan fungsi kegiatan (tata guna lahan), kebijaksanaan transportasi masih mengacu pada Jakarta Struktur Plan 2005, yang jelas-jelas sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi perkembangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan penggunaan lahan belum didukung dengan kebijaksanaan pengembangan transportasi. Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa kebijaksanaan tata guna lahan yang baik belum tentu dapat mendukung pemecahan masalah transportasi, Karena masih ditentukan oleh implementasinya yang banyak dipengaruhi oleh factor-faktor lain yang dianggap lebih penting dan mendesak dari penataan guna lahan itu sendiri. (http://www.google.co.id/search?hl=id&q=KETERKAITAN+TATA+GUNA+LAHAN+DENG AN+TRANSPORTASI&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=&aq=f&o D. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan sebelumnya maka dapat kami simpulkan bahwa :.

System transportasi merupakan suatu system dalam pengembangan suatu perkotaan. permasalahan system transportasi tersebut merupakan masalah yang kompleks yang melibatkan banyak aspek, pihak dan system yang terkait maka diperlukan pendekatan system yang tepat pula yang mencakup aspek yang terkait. Interaksi tata guna lahan dan system transportasi merupakan indicator yang mesti diperhatikan dalam melakukan perencanaan system jaringan transportasi guna terciptanya pembangunan yang berkelanjutan tanpa merusak ekologi yang ada.

2. Saran

Melakukan intervensi pada system transportasi baik pada aspek prasarana, sarana dan manajemen secara tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul. Meningkatkan pelayanan system transportasi bagi masyarakat. Kebijaksanaan penggunaan lahan seharusnya didukung dengan kebijaksanaan pengembangan transportasi, sehingga meminimalisir permasalahan yang muncul.

E. Daftar Pustaka http://www.google.co.id/search?hl=id&q=KETERKAITAN+TATA+GUNA+LAHAN+DENGA N+TRANSPORTASI&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=&aq=f&oq Kamaluddin, Rustian. 2003. Ekonomi Transportasi. Ghalia Indonesia: Jakarta Khisty, C.Jotin dan Lall, B.Kent. 2003. Dasar-dasar Rekayasa Transportasi. Erlangga : Jakarta

Miro, Fidel. 2004. Perencanaan Transportasi untuk Mahasiswa, Perencana, dan Praktisi. Erlangga : Jakarta Sudjarto, Djoko. 2001. Pengantar Planologi. ITB : Bandung Yunus, Hadi Sabari. 2005. Manajemen Kota Perspektif Spasial. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Comments: Be the first to comment

HAMBATAN DALAM SISTEM PEMBANGUNAN PERKOTAAN YANG BERKELANJUTANPosted December 28, 2009 by syahriartato Categories: Uncategorized

Oleh: Syahriar Tato Abstrak Dalam makalah ini dipaparkan mengenai pembangunan yang berkelanjutan, dimana terwujudnya pembangunan berkelanjutan merupakan dambaan tiap kawasan atau kota dalam melaksanakan pembangunannya sebab dengan terwujudnya pembangunan bekelanjutan berarti telah menjamin kesejahteraan kehidupan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan dating dalam segala dimensi kehidupan. Dengan melihat kondisi seperti sekarang ini, dimana ketersediaan lahan semakin terbatas maka dibutuhkan para perencana kota yang dapat mengatasi masalah kompleks perkotaan yang menghambat terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Dalam makalah ini juga dibahas mengenai berbagai macam masalah perkotaan yang menghambat pembangunan yang berkelanjutan yang sangat terlihat jelas yaitu masalah urbanisasi yang tidak terkendali yang mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan sehingga mempengaruhi secara langsung kondisi lingkungan dan kondisi keamanan perkotaan. Sehinnga dibutuhkan keahlian dari perencana kota yang dapat membuat perencanaan yang disatu pihak dapat memecahkan masalah urbanisai dan dilain pihak memperkaya fungsi kota dengan menata ruang perkotaan yang berdaya guna memenuhi segala macam aktivitas perkotaan. Dalam makalah ini juga terdapat contoh kasus yang meperlihatkan kondisi pembangunan yang tidak berkelanjutan di Kacamatan Tambora kotamadya Jakarta Barat. Contoh kasus ini menunjukkan tingkat kemiskinan yang signifikan yang berakibat pada banyaknya muncul permukiman kumuh yang dapat mengganggu keindahan kota serta mengakibatkan pencemaran lingkungan.

1. A. Pendahuluan Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan merupakan proses pengolahan sumber daya alam dan pendayagunaan sumber daya manusia dengan memanfaatkan tekhnologi. Dalam pola pembangunan tersebut, perlu memperhatikan fungsi sumber daya alam dan sumber daya manusia, agar dapat terus-

menerus menunjang kegiatan atau proses pembangunan yang berkelanjutan. Pengertian pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat bergantung padanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya. Proses pembangunan terutama bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat baik secara spiritual maupun material. Definisi ini menunjukan bahwa adanya suatu pembangunan karena suatu kebutuhan, dan masalah. Adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah suatu harapan. Sedangkan jika harapan tersebut tidak tercapai berarti, hal itu adalah masalah. Dengan demikian pembangunan mempunyai hubungan yang erat dengan masalah. Karena titik tolak pembangunan dimulai dari tindakan mengurangi masalah tersebut dengan tujuan memenuhi kebutuhan dan meningkatkan untuk mencapai suatu tingkatan yang layak. Pembangunan yang tidak bertitik tolak dari masalah berarti ada indikasi kesalahan konsep dan model pembangunan tersebut berorientasi pada penyelesaian masalah sebagai penyebab akar masalah bukan akar masalahnya. Hal ini menyebabkan peningkatan laju pembangunan lama untuk mencapai suatu pertumbuhan pembangunan yang merakyat. Model pembangunan yang merakyat berarti berangkat dari masyarakat. Pembangunan dalam konteks Negara selalu ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik yang merata. Pembangunan bukan hanya berarti penekanan pada akselerasi dan peningkatan pendapatan perkapita sebagai indeks dari pembangunan saja, akan tetapi pembangunan merupakan suatu proses multi dimensi yang meliputi pola reorganisasi dan pembaharuan seluruh sistem dan aktifitas ekonomi dan sosial dalam mensejahterakan kehidupan warga masyarakat. Bagi manusia, pembangunan tidak hanya dalam konteks pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi tetapi juga haruslah melihat aspek keadilan terhadap lingkungan. Lingkungan bagi ummat manusia adalah salah satu modal dasar dalam pembangunan. Lingkungan sehat, bersih, lestari, secara tidak langsung akan mempengaruhi keberlanjutan produktifitas manusia di masa yang akan datang. Artinya, dalam konteks tersebut selain keberlanjutan dari sisi ekonomi dan sosial, maka diperlukan juga keberlanjutan pada sisi ekologis. Sinergi tiga aspek tersebut yaitu, ekonomi, sosial dan budaya didalam pembangunan disebut dengan Pembangunan Berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah satu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk menikmati dan memafaatkannya. Menurut Brundtland Report dari PBB 1987, pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah

bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_berkelanjutan) Ada dua makna gagasan yang terkandung didalam cara pandang pembangunan berkelanjutan yaitu : gagasan kebutuhan, yaitu kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan kehidupan manusia dan gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan oerganiasi social terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. (http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2007/06/bagaimana-konsep-pembangunan-kota-.) Pembangunan berkelanjutan juga mensyaratkan adanya pemeliharaan keanekaragaman. Pemeliharaan keanekaragaman hayati untuk memastikan bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang. Yang tak kalah pentingnya adalah pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakuan yang merata terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti oleh masyarakat. Namun, tentunya masih saja ada hambatan dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan itu sendiri. Hambatan dalam pembangunan perkotaan berkelanjutan diantaranya diantaranya masalah internal dan eksternal perkotaan. Dalam pembahasan/penulisan ini dibahas mengenai hambatan dalam pembangunan berkelanjutan khususnya masalah internal perkotaan sebagai sistemnya dan sebagai subsistemnya dibatasi pada pada 3 masalah yaitu masalah kemiskinan di perkotaan, masalah kualitas lingkungan hidup perkotaan dan masalah keamanan dan ketertiban kota. 1. B. Rumusan Masalah Dari pembahasan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah pada penulisan penulisan ini adalah : 1. Apa yang menjadi masalah internal perkotaan. 2 . Bagaimana masalah kemiskinan di perkotaan. 3. Bagaimana masalah kualitas lingkungan hidup perkotaan. 4. Bagaimana masalah keamanan dan ketertiban kota. 1. C. Tujuan dan Kegunaan 1. 1. Tujuan Penulisan Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan penulisan ini adalah : 1. Untik mengidentifikasi masalah internal perkotaan 2. Untuk mengidentifikasi kemiskinan di perkotaan

3. Untuk mengidentifikasi kualitas lingkungan hidup perkotaan 4. Untuk mengidentifikasi keamanan dan ketertiban kota 5. 2. Kegunaan Penulisan Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan penulisan ini adalah : 1. 2. 3. 4. 5. Untuk mengetahui masalah internal perkotaan. Untuk mengetahui kemiskinan di perkotaan. Untuk mengetahui kualitas lingkungan hidup perkotaan. Untuk mengetahui keamanan dan ketertiban kota. D. Pembahasan

Permasalahan pembangunan berkelanjutan sekarang telah merupakan komitmen setiap orang, sadar atau tidak sadar, yang bergelut di bidang pembangunan. Permasalahan pembangunan berkelanjutan juga tak dapat diabaikan dalam perkembangan berbagai ilmu pengetahuan dan tekonologi, termasuk ilmu perencanaan kota. Perencanaan kota bertujuan menyelesaikan atau mengatasi permasalahan kota melalui penyediaan ruang untuk semua kegiatan masyarakat yang kompleks, baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Ini berarti tujuan kegiatan perencanaan kota, yang menghasilkan kebijakan rencana kota, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman utama pembangunan kota, adalah untuk mencapai proses pembangunan yang berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan sebagai hasil debat antara pendukung pembangunan dan pendukung lingkungan. Konsep pembangunan yang berkelanjutan ini terus berkembang. Pada tahun 1987, Edward B. Barbier mengusulkan bahwa pembangunan berkelanjutan harus dilihat sebagai interaksi antara tiga system : sistem biologis dan sumber daya, sistem ekonomi dan sistem sosial. Selain itu, dalam menjelaskan konsep pembangunan berkelanjutan ini, Budimanta membandingkan perkembangan kota Jakarta dengan kota-kota lain di Asia, yaitu Bangkok, Singapura, Tokyo yang memiliki kualitas pembangunan yang berkelanjutan yaitu cara berpikir yang integrative, perspektif jangka panjang mempertimbangkan keanekaragaman dan distribusi keadilan social ekonomi. (Arif Budimanta Dalam Bunga Rampai, 2005: 375-377) Beberapa pemikir dibidang perencanaan dan perancangan kota, serta lingkungan buatan di perkotaan, berpendapat bahwa untuk mencapai proses pembangunan berkelanjutan, perlu perencanaan dan perancangan yang bersifat ekologis dan berlandaskan etika non-antroposentris. Etika lingkungan non-antroposentris memandang manusia sebagai anggota komunitas hidup di dunia, seperti juga mahluk hidup lainnya, seperti juga semua mahluk hidup lainnya. Sejak paruh abad ke-20, berkembang etika lingkungan non-antroposentris sebagai salah satu akibat terjadinya krisis-krisis lingkungan. Etika lingkungan non-antroposentris itu terbagi atas beberapa aliran, seperti biosentris, bioregionalisme, ekofeminisme dan sebagainya Proses pembangunan berkelanjutan di perkotaan dapat diketahui dengan melakukan evaluasi terhadap kondisi kawasan-kawasan di kota tersebut, proses-proses yang terjadi di dalam masyarakat dan antara masyarakat dan lingkungannya. Evaluasi itu dapat dilakukan dengan beberapa cara. Salah satu cara adalah evaluasi berdasarkan criteria pembangunan berkelanjutan.

kriteria pembangunan berkelanjutan di perkotaan dirumuskan berdasarkan pemikiran-pemikiran yang berkembang seperti diuraiakan diatas, dan pemahaman bahwa kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah ancaman utama pembangunan berkelanjutan. Kemiskinan serta kerusakan lingkungan hidup merupakan ancaman utama bagi proses pembangunan berkelanjutan dengan melihat tujuan dari pembangunan berkelanjutan yaitu mencapai masyarakat sejahtera (masyarakat berkelanjutan) dalam lingkungan hidup yang berkelanjutan. (Madrim Djody Gondokusumo dalam Bunga Rampai, 2005: 405) Berikut dibahas mengenai tiga sub sistem masalah internal perkotaan yang merupakan hambatan dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan yaitu masalah kemiskinan di perkotaan, masalah kualitas lingkungan hidup perkotaan dan masalah keamanan dan ketertiban perkotaan. 1. 1. Masalah Kemiskinan di Perkotaan Kemiskinan merupakan salah satu contoh ketidakadilan yang dialami suatu kelompok (masyarakat pra sejahtera), dan terdapat di mana-mana, baik di Negara maju maupun di Negaranegara yang sedang berkembang. Ketidakadilan itu terlihat dari tidak terpenuhinya kebutuhankebutuhan mereka untuk bertahan hidup dalam kesehatan yang baik, sulitnya mendapat akses ke pelayanan publik (sanitasi sehat, air bersih, pengelolaan sampah ) rumah sehat, RTH, pelayanan pendidikan dan sebagainya. Ketidakadilan juga terlihat dari tidak adanya akses kepemilikan hak atas tanah yang mereka huni. Sebagai akibat itu semua, sulit bagi mereka untuk mendapat akses ke pekerjaan yang baik dan stabil. Ketidakadilan itu menyebabkan masyarakat miskin tetap miskin dan mengancam proses pembangunan yang berkelanjutan. Kerusakan lingkungan, kondisi permukiman buruk atau kumuh dalam suatu kawasan memperlihatkan bahwa kawasan tersebut sedang dalam proses tidak berkelanjutan. (Madrim Djody Gondokusumo dalam Bunga Rampai, 2005: 410) Saat ini masalah kemiskinan perkotaan merupakan masalah mendesak yang banyak dihadapi kota-kota di Indonesia. Yang paling mudah dan terlihat jelas dari wajah kemiskinan perkotaan ini adalah kondisi jutaan penduduk yang tinggal di permukiman kumuh dan liar. Kondisi kekumuhan ini menunjukkan seriusnya permasalahan sosial ekonomi, poltik, dan lingkungan yang bermuara pada kondisi kemiskinan. Pengertian kemiskinan sendiri bermakna multi-dimensi dari mulai rendahnya pendapatan, kekurangan gizi dan nutrisi, tidak layaknya tempat tinggal, ketidakamanan, kurangnya penghargaan social, dan lain-lain. Masalah lain yaitu, adanya urbanisasi. Urbanisasi hampr terjadi dimanapun diseluruh dunia disebabkan oleh perkembangan ekonomi dan daya tarik perkotaan yang kadang menjebak bagi mereka yang tidak mampu bersaing sehingga menjadi terpinggirkan. Di Indonesia perkembangan ini cepat sekali sejak tahun 70-an, sebelum itu urbanisasi juga sudah berjalan tapi lebih lambat dan terbatas. Daya tarik kota sebagai pusat mata pencaharian yang membengkak ini sering dibarengi dan diperbesar oleh kemunduran ekonomi diluar kota. menyebabkan mereka para pendatang yang tidak memiliki keterampilan dan kemampuan untuk bersaing di perkotaan memaksa mereka untuk terpinggirkan sehingga menjadi warga miskin di perkotaan, sebagai pengangguran.(Soefaat, 1999: 43)

Krisis ekonomi meningkatkan angka kemiskinan absolut di daerah perkotaan. Penduduk perkotaan yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat secara signifikan sejak terjadinya krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1997. Sebenarnya pemerintah telah berusaha untuk mengentaskan atau mengurangi kemiskinan dengan berbagai programnya. Namun demikian, tampaknya dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang ini, kemiskinan masih tetap merupakan masalah penting sehingga perlu ditangani secara bersama-sama terutama dikawasan perkotaan. (Gita Chandrika Dalam Bunga Rampai, 2005 : 7). Selain itu, dibutuhkan kebijakan yang tegas dari pemerintah Indonesia dalam melihat masalah ini. Dalam kondisi seperti ini kita dapat belajar pada Negara tetangga kita Malaysia, dalam menetapkan strategi jangka pendeknya. Deputi perdana menteri Malaysia, Datuk Anwar Ibrahim, telah menginstruksikan kepada Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian untuk menghentikan import sayur-sayuran dan buah-buahan. Bersamaan dengan itu, beliau menginstruksikan agar masyarakat mau memberdayakan sumber daya lahan yang tersedia untuk menanam sayur-sayuran, paling tidak untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Upaya praktis ini tentu saja tidak dapat secara makro memperbaiki kondisi ekonomi kita, namun paling tidak sejumlah devisa dapat dihemay dan lapangan kerja pertanian dapat digairahkan kembali. Apalagi, seringnya nilai tukar rupiah merosot terhadap nila dollar AS menimbulkan kenaikan harag berbagai jenis barang, termasuk harga-harga kebutuhan pokok yang dampaknya menyentuh segenap lapisan masyarakat. Pada dasarnya hal ini tidak akan terjadi apabila semua kebutuhan pokok tersebut dapat dicukupi oleh kita sendiri. Sebenarnya bukan hal yang tidak mungkin melakukannya, mengingat bangsa Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati. Hanya saja hingga ssat ini pengelolaan sumberdaya tersebut belum optimal. Kebutuhan bahan pokok sebenarnya mampu kita penuhi, mengingat produk-produk bahan poko tersebut berasal atau bersumber dari sumber daya hayati. Kebutuhan masyarakat, baik pangan, sandang, maupun papan, semuanya merupakan produk olahan yang menggunakan bahan dasar sumber daya hayati. Kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki hingga saat ini bellum dimnafaatkan secara optimal. Seharusnya dengan kekayaan hayati tersebut, kebutuhan kita akan barang-barang, khususnya yang berdasar sumber daya hayati, dapat kita penuhi sendiri. Swasembada bahan pokok seharusnya dapat kita lakukan. Swasembada bahan pangan yang kita lakukan masih mengalami hambatan sebab meskipun Negara kita hidup dalam pola agraris, tetapi ketergantungan terhadap agro-industri, baik hulu maupun hilir dapat dilepaskan. Sebagai contoh, dalam pengadaan beras, melalui pancausaha tani pemerintah mengharuskan petani menggunakan varietas benih unggul padi, yang awalnya yang diperoleh dari IRRI (Iinternasional Rice Research Institut). Padahal, seperti kita ketahui pada jenis tersebut tidak dapat tumbuh tanpa dipupuk dan diberi pestisida. Hal tersebut mengakibatkan petani sangat tergantung pada indutri pupuk dan pestisida, padahal tidak ada satu pun industri yang bahan bakunya tidak tergantung impor. Sehingga begitu dollar AS naik, harganya pun ikut naik, dan dampak sampai kepada sektor pertanian. Yang menjadi kunci permasalahan adalah mengapa pasokan hulu dan hilir tidak dikembangkan secara mandiri di tingkat lokal dan nasional. Ketergantungan petani terhadap bibit tersebut menyebabkan petani tidak menjadi orang bebas. Oleh karena itu, untuk kembali memperdayakan petani, maka kekuasaan atas bibit harus dikembalikan kepada mereka. Mereka diberikan peluang untuk membudidayakan bibit-bibit

lokal yang sudah ada. Bila hal ini dilakukan, ketergantungan petani dari jaringan internasional industri bibit akan hilang dan memunculkan kekuatan lokal. Krisis ekonomi yang menyebabkan naiknya harga kebutuhan bahan pokok telah menimbulkan berbagai kerusuhan. Kerusuhan ini bahkan telah menembus sampai kawasan pedesaan atau kawasan pinggiran kota. Hal ini disebabkan desa telah kehilangan daya tahan menghadapi krisis. Kultur agraris yang menjadi basis pertahanan ekonomi desa telah hilang maupun ditinggalkan, diganti dengan pola modern yang tergantung pada industri. Dementara industry yang diharapkan mampu menopang sektor pertanian, kondisinya sangat rentang dan keropos, karena ketergantungannya pada bahan baku impor. Kebijakan tegas untuk meninggalkan kultur agraris, karena ada pandangan bahwa pola pertanian yang ada selama ini tidak memberikan nilai tambah, sangatlah naif. Nilai tambah yang dimaksud dalam konteks tersebut adalah yang bisa memberikan konstribusi devisa, bukan dalam pengertian mampu memberikan daya hidup pada komunitas desa. Bahkan kecenderungannya adalah mengubah kawasan pedesaan yang mampu mandiri berbasis pertanian keanekaragaman hayati, sebagai ajang konversi, menjadi kawasan industri dan kawasan permukiman perkotaan. Ketahanan kita akan kebutuhan bahan pokok sangatlah kurang, karena investasi yang ada selama ini bukan untuk pembangunan industri yang berbasis sumber daya alam hayati (agroindustry). Tempe, yang merupakan makanan Indonesia sejak dahulu kala, ternyata kita belum mampu menjadi produsen bahan baku kedelainya hingga kini. Kedelai hingga kini masih harus diimpor. Semuanya itu disebabkan kita belum pernah mengadakan penelitian bioteknologi, yang dapat mendukung pola agraris yang kita miliki agar efisien. Penelitian yang ada selama ini bukan membumi, tetapi menuju ke langit. Untuk itu, dalam rangka peningkatan ketahanan akan kebutuhan bahan pokok, diperlukan upaya pembangunan daerah yang berbasis keanekaragaman hayati setempat.(Sugandi, 2007: 46-50) Penelitian penelitian terbaru menunjukkan bahwa kemiskinan tidaklah statis. Orang miskin bukanlah orang yang pasif. Ia adalah manajer seperangkat asset yang ada di seputar diri dan lingkungannya. Keadaan ini terjadi pada orang yang miskin yang hidup di Negara yang tidak menerapkan sistem Negara kesejahteraan (welfare state). Sistem yang dapat melindungi warganya menghadapi kondisi-kondisi yang memburuk yang mampu ditangani oleh dirinya sendiri. Kelangsungan hidup individu dalam situasi seringkali tergantung pada keluarga yang secara bersama-sama dengan jaringan sosial membantu para anggotanya dengan pemberian bantuan keuangan, tempat tinggal dan bantuan-bantuan mendesak lainnya. Pendekatan kemiskinan yang berkembang selama ini perlu dilengkapi dengan konsep keberfungsian sosial yang lebih bermatra demorasi-sosial ketimbang neo-liberalisme. Rebounding atau pelurusan kembali makna keberfungsian sosial ini akan lebih memperjelas analisis mengenai bagaimana orang miskin mengatasi kemiskinannya, serta bagaimana struktur rumah tangga, keluarga kekerabatan, dan jaringan sosial mempengaruhi kehidupan orang miskin. Paradigma baru lebih menekankan pada apa yang dimiliki si miskin ketimbang apa yang tidak dimiliki si miskin . (Suharto, 2005 : 148)

Pada akhirnya kebijakan pengurangan kemiskinan yang selama ini yaitu pendekatan top-down dalam perencanaan kebijakan yang sekarang dilakukan, yaitu pemerintah dan para pakar menganggap dirinya yang paling mengetehaui tentang proses-proses yang terjadi dimasyarakat, perlu diganti dengan pendeketan bottom-up, yaitu melibatkan partisipasi masyarakat melalui dialog-dialog yang demokratis, menghargai perbedaan-perbedaan, keadilan dan kesetaraan jender. Ilmu pengetahuan modern antroposentris sebagai dasar perencanaan kebijakan publik untuk mengelola kehidupan masyarakat dan lingkungan perlu diganti dengan ilmu pengetahuan yang bersifat non-antroposentris, menghargai etika dan nilai-nilai yang ada di masyarakat dan di lingkungan alam. (Madrim Djody Gondokusumo Dalam Bunga Rampai, 2005 : 418) 1. 2. Masalah Kualitas Lingkungan Hidup Perkotaan Pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan lingkungan, yaitu mengurangi resiko lingkungan atau dan memperbesar manfaat lingkungan. Sejak berabad tahun yang lalu nenek moyang kita telah merubah hutan menjadi daerah pemukiman dan pertanian. Perubahan hutan menjadi sawah merupakan usaha untuk memanfaatkan lahan untuk produksi bahan makanan dibawah kondisi curah hujan yang tinggi dan juga untuk mengurangi resiko erosi di daerah pegunungan. Hingga sekarang pencetakan sawah masih berjalan terus. Dengan perubahan hutan atau tata guna lahan lain menjadi sawah berubahlah pula keseimbangan lingkungan. Jadi jelaslah keserasian bukanlah suatu hal yang kekal, melainkan berubah-ubah menurut umur orang atau golongan, tempat dan waktu. Karena itu melestarikan keserasian bertentangan dengan hakekat hidup yang menginginkan perubahan. Melestarikan keserasian akan berarti meniadakan kebutuhan dasar untuk dapat memilih. Karena itu akan berarti menurunkan mutu lingkungan dan dengan itu mutu hidup. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan pada hakekatnya tidak bisa dilepaskan dari pembangunan manusia itu sendiri. Manusia merupakan subjek sekaligus objek pembangunan. Manusia berada pada posisi sentral sahingga pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilya tidak boleh mengabaikan dimensi manusianya. Untuk dapat melakukan hal tersebut, diperlukan pendekatan pembangunan yang menitikberatkan pada segi manusia. Pembangunan dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup manusia. Di lain pihak, pembangunan yang makin meningkat akan memberikan dampak negatif, berupa resiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan. Kerusakan ini pada akhirnya akan menjadi beban yang malah menurunkan mutu hidup manusia, sehingga apa yang menjadi tujuan pembangunan akan sia-sia. Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan kepentingan manusia, sehingga menuntut tanggung jawab dan perannya untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Keberlanjutan pembangunan harus memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam, sumber daya manusia, serta pengembangan sumber daya buatan, dan menjadi sarana untuk mencapai keberlanjutan pembangunan, serta menjadi jaminan bagi kesejahteraan serta mutu hidup generasi masa kini dan generasi mendatang.

Permasalahan ketersediaan tanah di perkotaan sebagai lahan hijau sangat terbatas. Selain harga tanah yang mahal, juga kurangnya penghargaan bagi pemilik tanah terlantar untuk dimanfaatka sebagai lahan terbuka hijau. Penggunaan ruang terbuka hijau mulanya diawali dengan tumbuhnya perumhana liar yang semakin luas dan sulit dikendalikan, yang selanjutnya menimbulkan terbentuknya kawasan kumuh. Apalagi para penghuni tersebut dikenakan pajak tidak resmi sehingga mereka merasakan seolah mendapatkan legalitas untuk tinggal di tempat tersebut. Begitu juga, disisi lain factor urbanisasi, khususnya golongan berpendapat rendah dan kurangnya tingkat pendidikan, mendorong mereka untuk menduduki lahan ruang terbuka hijau. Seperti pemanfaatan tepian tepian bantaran sungai dan tepian jalur kereta api sebagai tempat tinggal. (Soemarwoto, 1983 : 60-61) Secara sistem, ruang terbuka hijau kota pada dasarnya adalah bagian dari kota yang tidak terbangun, yang berfungsi menunjang kenyamanan, kesejahteraan, penigkatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam, umumnya terdiri dari ruang pergerakan linear atau koridor dan ruang pulau atau oasis (Spreigen 1965). Perencanaan ruang terbuka hijau secara tepat mampu mampu berperan dalam menigkatkan kualitas atmosfer kota, penyegaran udara, menurunkan suhu kota, menyapu debu permukaan kota, menurunkan kadar polusi udara dan meredam kebisingan. Penelitian Embleton (1963) menyatakan bahwa 1 hektar ruang terbuka hijau dapat meredam suara pada 7 db per 30 meter jarak dari sumber suara pada frekuensi kurang dari 1000 CPS , atau penelitian Carpenter (1975) dapat meredam kebisingan 25-80 %. Kualitas udara bersih merupakan factor luar yang sangat berpengaruh. Karena itu, keberadaan ruang terbuka hijau kota merupakan eksternalitas ekonomis, bukan disekonomis. Artinya, ruang terbuka hijau akan menyebabkan seseorang atau beberap individu menjadi lebih sehat dan baik. Dengan demikian, ada kemauan untuk menerima ruang terbuka hijau dari penigkatan aktivitas lain yang menguntungkan. Oleh karena itu, perencanaan ruang terbuka hijau kota merupakan manfaat sosial yang terdiri dari surplus konsumen sekaligus juga merupakan surplus produsen, sehingga umumnya kesejahteraan (kesehatan) penduduk kota meningkat akibat lingkungan yang sehat. Pelaku-pelaku yang terlibat dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota terdiri atas sebagai berikut : 1. a. Pemerintah Kewajiban pemerintah kota, dalam hal ini instansi/lembaga dinas pertamanan, dan dinas kehutanan adalah mengadakan dan menyelenggrakan pembangunan secara adil untuk meningkatkan kehidupan masyarakat kota, termasuk di dalamnya bidang keamanan, kenyaman, dan keserasian. Apabila hal ini dikaitkan dengan jenis ruang terbuka hijau yang ada maka ruang terbuka hijau yang harus disediakan oleh pemerintah adalah ruang terbuka hijau korodor yang meliputi: jalur hijau kota dan jalur hijau jalan; ruang terbuka hijau produktif yang meliputi kawasan pertanian kota, perairan/tambak; ruang terbuka hijau konservasi yang meliputi kawasan cagar alam dan hutan kota; ruang terbuka hijau lingkungan yang meliputi kawasan taman lingkungan dan bangunan, serta permakaman, perkantoran dan kebun binatang 1. b. Swasta

Peranan swasta sebagai pelaku ekonomi kota, yang bergerak di sektor formal maupun informal, tidak secara mutlak berkewajiban untuk melaksanakan pengadaan ruang terbuka hijua kota. Melalui pertimbangan-pertimbangna tertentu serta pengkajian dari sudut pandang swasta, dapat disediakan ruang terbuka hijau yag memungkinkan untuk dikelolah oleh swasta, yaitu ruang terbuka hijau untuk keindahan/estetika; ruang terbuka hijau untuk rekreasi; ruang terbuka hijau lainnya yang dapat dikomersialkan. 1. c. Masyarakat Kota Peran serta masyarakat, baik secrara individual maupun kelembagaan terhadap ruang terbuka hijau lebih terbatas pada pemanfaatan dan pemeliharaan. Dari segi perencanaan maupun pengadaannya, peran serta masyarakat sangat kecil sekali. Hal ini disebabkan keberadaan ruang hijau kota biasanya terbentuk oleh adanya tanah kosong yang belum/tidak dimanfaatkan. Kelangsungan keberadaannya tidak dapat dijamin, sehubungan dengan sifat penguasaan tanahnya yang lebih banyak bersifat individu (bukan tanah negara). 1. d. Media Massa Media massa, baik media elektronik maupun media cetak, ikut berperan sebagai pelaku dalam pengelolaan ruang terbuka hijau, khususnya dalam menciptakan opini publik terhadap pentingnya keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan. Disamping hal tersebut, fungsi media massa juga bermanfaat untuk ikut mengawasi perkembangan ruang terbuka hijau. (Sugandy, 2007 : 103-105 ) Indonesia sudah mulai menyadari bahwa untuk mencapai masyarakat perkotaan masyarakat kehidupan perkotaan yang sejahtera, kualitas lingkungan hidupnya harus baik, karena akan beperngaruh pada kualitas hidupnya (Quality Of Life). Masalah yang terkait dengan kualitas lingkungan hidup dan pada akhirnya kualitas hidup masyarakat kota, meliputi aspek fisik seperti kualitas udara, air, tanah; kondisi lingkungan perumahannya seperti kekumuhan, kepadatan yang tinggi, lokasi yang tidak memadai serta kulaitas dan keselamatan bangunannya; ketersediaan saran dan prasarana serta pelayanan kota lainnya; aspek sosial budaya dan ekonomi seperti kesenjangan dan ketimpangan kondisi antar golongan atau antar warga, tidak tersedianya wahana atau tempat untuk menyalurkan kebutuhankrbutuhan sosial budaya, seperti untuk berinteraksi dan mengejawantahkan aspirasi-aspirasi sosial budayanya; serta jaminan perlindungan hukum dan keamanan dalam melaksanakan kehidupannya. Kohesi sosial dan kesetaraan (Equity) merupakan faktor penting dalam kualitas hidup di perkotaan. Kekumuhan kota disebabkan karena sumber daya yang ada di kota tidak mampu melayani kebutuhan penduduk kota. Kekemuhan kota bersumber dari kemiskinan kota yang desebabkan karena kemiskinan warganya dan ketidakmampuan pemerintah kota dalam memberikan pelayanan yang memadai kepada warga masyarakatnya. Kemiskinan warga disebabkan karena tidak memiliki akses kepada mata pencaharian yang memadai untuk hidup layak, serta akses pada modal dan informasi yang terbatas. Kemiskinan ini akan berdampak pada kemampuan

warga untuk membayar pajak yang diperlukan untuk membangun fasilitas dan infrastruktur di kawasannya. Permasalahan utama prasarana dan saran perkotaan (PSP) termasuk perumahan adalah tidak memadainya suplay dibandingkan dengan kebutuhan. Hal ini menyebabkan terbatasnya kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pelayan PSP yang layak. Akibat dari keterbatasan suplay dibandingkan dengan kebutuhan, maka masyarakat yang berpenghasilan rendah justru harus membayar harga mahal untuk memperoleh pelayanan PSP tersebut. Berkaitan dengan perumahannya, mereka terpaksa menggunaka lahan-lahan secara liar dengan kualitas perumahan yang jauh dibawah standar. (Gita Chandrika Napitupulu dalam Bunga rampai, 2005 : 7-8 ) 1. 3. Masalah Keamanan dan Ketertiban Perkotaan Beberapa teror bom yang terjadi di beberapa kota di Indonesia akhir-akhir ini, sperti di Bali, Jakarta dan lain-lain telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat perkotaan dan mengganggu jalannya perekonomian kota. Selain itu, beberapa kota di Indonesia juga mengalami penurunan kualitas kehidupan dengan banyaknya terjadi kerusuhan yang disebabkan oleh konflik antar kelompok masyarakat, seperti di Poso, Palu, Ambon, Banda Aceh dan sebagainya. Permasalahan ini diperberat dengan masalah ketertiban di perkotaan Karena tidak disiplinnya masyarakat perkotaan. Hal ini tercermin dengan jelas antara lain dalam disiplain berlalu lintas. Saat ini juga semakin sering terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah, terutama di kota-kota besar. Hal ini dapat terjadi karena berbagai hal seperti tidak adanya sosialisasi dari pemerintah, kurangnya pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, kurangnya pemamhaman akan hak-hak dan tanggung jawab masyarakta dalm pembanguna kota dan lain sebagainaya. Semua hal tersebut diatas sangat berpengaruh pada kinerja kotanya.( Gita Chandrika Napitupulu dalam Bunga rampai, 2005 : 9-10) Kemampuan untuk membuat perencanaan yang di satu pihak memecahkan masalah urbanisasi dan dilain pihak memperkaya fungsi kota merupakan keahlian yang sangat diharapkan dari para perencana kota pada masa akan datang. Setiap kota, selain berusaha untuk meningkatkan fungsifungsi perkotaan yang bersifat standar, sebaiknya juga mengembangkan fungsi-fungsi khusus yang kompetitif secara global. Tetapi kedua hal di atas hanyalah suatu strategi umum dalam menyiasati permasalahan pengembangan kota, dan sebenarnya baru bisa terlaksana bila beberapa permaslahan pokok dari kota-kota di Indonesia telah diperbaiki secara substansial. (Santoso, 2006 : 61) 1. 4. Contoh Kasus Contoh dari hambatan pembangunan yang berkelanjutan akibat kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup, yaitu yang terjadi di Kacamata Tambora, kotamadya Jakarta Barat (melalui penelitian yang dilakukan pada tahun 2002-2003). Kecamatan Tambora adalah kecamatan yang berkepadatan penduduk tertinggi di DKI Jakarta, yaitu lebih dari 500 orang per hektar, memiliki permukiman kumuh atau buruk yang sangat luas dan kemiskinan yang sangat signifikan. Evaluasi yang dilakukan berdasarkan Perhitungan criteria pembangunan yang berkelanjutan di

perkotaan (3 PRO) terhadap kecamatan itu memperlihatkan bahwa proses tidak berkelanjutan sedang berlangsung. Hal itu tentunya juga mengancam subsistem-subsistem lain dalam system kota Jakarta, karena komponen-komponen pembentukan yang membentuk jaringan, subsistem Kecamatan Tambora tersebut diatas, dapat dikelompokkan dalam tiga dimensi yang saling berinteraksi terus menerus, yaitu dimensi social ekonomi dan lingkungan. Kerusakan lingkungan, yang merupakan faktor ekologis sebuah kota, dalam kasus Kecamatan Tambora, dapat dilihat pada kondisi air, tanah, dan udara yang telah tercemar. Pencemaran itu disebabkan oleh berbagai sumber didalam dan luar Kota Jakarta, serta sebagai akibat tidak berfungsinya pengelolaan sampah dan limbah air kota. Tumpukan sampah di TPS juga merupakan sumber berkembangnya vektor-vektor penyakit, seperti kecoa, lalat, nyamuk, tikus, dll. Kondisi lingkungan pemukiman buruk atau kumuh seperti diuraikan diatas memperlihatkan bahwa kawasan itu sedang dalam proses yang tidak berkelanjutan. Kemiskinan dan fungsi-fungsi lingkungan hidup yang telah hilang atau rusak, tercemar, itu merupakan ancaman terhadap proses pembangunan berkelanjutan. Ancaman itu tidak hanya terjadi di dalam kawasan atau subsistem Kecamatan Tambora saja, tetapi juga akan mempengaruhi subsistem-subsistem lain yang membentuk kota Jakarta. 1. E. Kesimpulan dan Saran Dari hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan: 1. Bahwa hambatan dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan adalah kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, keamanan dan ketertiban kota, dan sebagainya. 2. Bahwa masalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadidi suatu kawasan tertentu memperlihatkan bahwa kawasan itu sedang dalam proses tidak berkelanjutan. 3. Kemiskinan dan fungsi-fungsi lingkungan hidup yang telah hilang atau rusak, tercemar, itu merupakan ancaman terhadap proses pembangunan berkelanjutan. Ancaman tersebut tidak hanya terjadi di kawasan itu saja, tetapi juga akan mempengs\aruhi sub-sub sistem lain yang membentuk kawasan itu Berdasarkan kesimpulan diatas, maka adapun saran bagi pemerintah agar dapat menerapkan sistem pembangunan yang berkelanjutan seperti di negara-negara maju lainnya dengan jalan menanggulangi kemiskinan serta meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta keamanan dan ketertiban di perkotaan guna menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya di Indonesia sehingga dapat dirasakan bukan hanya untuk di masa sekarang melainkanjuga untuk generasi yang akan datang. 1. F. Daftar Pustaka http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_berkelanjutan http://muhlissuhaeri